Cerita Dewasa - Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-2

Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-1

cewek amoy
Widya


Dua minggu sudah berlalu semenjak kejadian tubuh Widya di tato dan ditindik oleh para preman itu. Kehidupan keluarga kami berangsur-angsur normal kembali. Tapi normal dalam artian kembali seperti setelah Kusni memberikan banyak syarat kepada istriku. Ya, rumah kami sampai sekarang tetap tidak mempunyai kunci. Sehingga kapanpun para preman itu mau masuk, mereka bisa dengan mudah masuk. Di rumah, Widya juga dilarang untuk mengenakan pakaian kecuali bra, celana dalam, dan hijab.

Dengan berbagai larangan itu, Widya kadang menjadi terbiasa untuk nekat. Sesekali, ia keluar rumah tanpa mengenakan pakaian dalam. Ia hanya mengenakan baju gamis stylist yang biasa ia pakai. Gamis yang cukup ketat dan menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya.

Ia menggunakan gamis ketat itu ketika belanja di tukang sayur atau pergi ke supermarket terdekat. Entah bagaimana pandangan orang-orang yang melihat istriku. Apakah mereka sadar jika istriku tidak mengenakan apa-apa di balik bajunya?

Lalu bagaimana dengan para preman itu?

Dalam dua minggu ini hanya Tono yang pernah berkunjung ke rumah. Ia datang di suatu pagi ketika aku masih tidur. Ketika bangun, aku dapati Widya sudah berada di ruang santai. Ia tidak mengenakan pakaian apa-apa kecuali sebuah jilbab berwarna pink. Di sana, ia sedang bersimpuh untuk menyepong Tono. Tono nampak menikmati sepongan Widya sambil duduk santai di atas sofa.

Aku kaget dengan kehadiran preman itu, tapi seperti biasa, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

“Enak non seponganmu.” Kata preman bergigi tongos itu.

Tono sendiri memang tidak terlihat dalam video ketika Widya kembali di gang bang oleh para preman tempo hari.

“Tindikanmu bagus non. Aku suka, non tambah cantik ditindik kayak gini!” Kata si Tono sambil membelai-belai tindikan yang ada di buah dada istriku.

Tono kemudian mengangkat istriku ke meja depan televisi. Dalam posisi tertidur di atas meja itu, Tono mejilati tubuh istriku dengan lidahnya yang cukup panjang itu. Widya nampak bergetar, merasakan jilatan lidah Tono. Ketiak, payudara, dan perut, semua disapu oleh lidah Tono.

“Tato non juga bagus, lain kali non harus nampah tato lagi.” Kata Tono sambil menjilati tato yang ada di perut bagian bawah Widya.

Setelah menjilati perut Widya, Tono terus turun hingga ke kemaluan istriku. Ia jilati itil Widya yang sekarang di tindik dengan anting cincin. Anting itu digigit-gigit oleh Tono, bahkan ditarik-tarik hingga tubuh Widya kelenjotan. Aku melihat, cairan lubrikasi dari dalam kemaluan Widya terus mengucur deras, bahkan hingga membasahi meja.

“Enak ya non? Non suka kan saya jilat-jilat begini?”

Widya hanya menjawab dengan anggukan kecil.

Mereka berdua terus bercumbu bahkan ketika mereka sadar kehadiranku. Tono tidak peduli, ia terus memberikan oral seks untuk istriku. Widya juga begitu, ia bahkan tak menyapaku sama sekali. Dari mulutnya hanya keluar desahan demi desahan.

“Aku masukin ya non!” Kata Tono.

Kontol Tono yang sudah berdiri dengan tegak itu dimasukan ke dalam liang senggama istriku. Widya hanya bisa merem menahan nikmat ketika kontol panjang itu menerobos masuk. Kontol Tono memang tidak sebesar Parjo dan Kusni. Namun panjangnya terbilang di atas rata-rata.

“Wah, enak tenan non, anget banget memek non!” Ujar Tono.

Aku melihat Widya hanya menggigit bibirnya ketika Tono perlahan melesakan kontolnya ke memeknya yang gundul itu.

“Aku masukin sampai mentok ya non!” Tambah Tono lagi.

Kontol Tono yang memang panjang itu tentu bisa dengan mudah menyentuh mulut rahim istriku. Satu hal yang tidak pernah bisa aku raih selama ini.

Tono akhirnya sampai pada mulut rahim Widya, dan kemaluannya itu belum seluruhnya terbenam di memek istriku. Ia terus dorong kontol itu hingga tenggelam seluruhnya. Barangkali rahim istriku sampai terdorong masuk ke dalam.

“Enak non, uggh enak banget!” Ujar Tono.

Perlahan namun pasti, Tono mulai menggenjot kontolnya. Kontol panjang itu mulai melesak-lesak keluar masuk memek istriku. Cairan kewanitaan istriku juga nampak mulai keluar mengikuti irama genjotan Tono.

Tono nampak bernafsu sekali dengan istriku. Ia sodok-sodok kontolnya dengan begitu mantab. Ia juga remas-remas payudara Widya seperti adonan kue. Kedua buah dada istriku itu hingga berwarna kemerahan. Tono tak lupa juga menciumi dan menjilati seluruh tubuh istriku.

“Ah enak non, enak banget tubuhmu non!” Kata Tono.

Aku sebenarnya masih ingin melihat adegan persetubuhan istriku dengan Tono. Tapi aku sadar, jam sudah berjalan begitu cepat. Aku harus mandi dan berangkat ke kantor di hari ini. Di kamar mandi, aku melihat kontolku berdiri dengan tegak. Aku begitu sange, melihat istriku disetubuhi preman yang sama sekali tak punya hak atas tubuh istriku. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak bisa menyembunyikan birahiku.


Selesai aku mandi, Widya dan Tono masih bersetubuh. Kali ini, Widya bersandar di meja samping televisi sementara itu Tono menyodoki memeknya dari belakang. Di hadapan Widya, ada foto ketika kami menikah dahulu. Foto itu diambil tepat setelah kami mengucapkan janji pernikahan.

Namun lihat sekarang! Apa yang ada di depan foto pernikahan yang sakral itu.

Istriku yang banyak orang bilang adalah wanita alim kini sedang ngentot dengan pria lain yang bukan suaminya. Ia masih pakai jilbab, tapi tubuhnya telanjang. Payudaranya diremas-remas dan memeknya disodoki oleh pria laknat ini. Bahkan dari memeknya, menetes cairan-cairan vagina yang menggenang di atas lantai.

Bunyi kecipok, tumbukan kelamin Widya dan Tono terdengar begitu menggema. Bunyi itu adalah tanda jika istriku dan preman itu sudah bercinta cukup lama hingga cairan lubrikasi mereka meluber-luber. Selama ini, aku tak pernah bisa bercinta sedahsyat itu dengan Widya. Bagaimana tidak, paling lama aku hanya bisa bertahan 5 menit ketika bercinta.

“Beruntung banget aku bisa nikmatin tubuh non!” Kata Tono.

Widya diam saja, dari mulutnya hanya keluar desahan-desahan lemah. Desahan yang jelas sekali ditahan oleh Widya.

“Oh ya, sebelum lupa, nanti malem bos Parjo mau dateng ya non. Non disuruh dandan yang cantik sama non. Kalau bisa siapin juga makanan sama minum.” Ujar Tono seenaknya. Tono mengatakan itu sambil terus menggenjot kontolnya di dalam memek istriku.

Widya hanya mengangguk saja, ia tidak berkomentar apa-apa.

Aku harus buru-buru berangkat, jadi aku tinggalkan istriku bersama Tono. Suami macam apa aku ini, meninggalkan istrinya yang sedang disetubuhi oleh orang lain. Tapi apa boleh buat, hari ini aku ada rapat pagi hari. Dan aku juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong istriku keluar dari cengkraman Tono. Mereka berdua terus saja bersetubuh, tanpa peduli aku yang pergi berpamitan. Seolah, aku tidak ada.

Di kantor, aku mendengarkan meeting dengan tatapan hampa. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Widya dan Tono sekarang. Apakah Tono masih terus menyetubuhi Widya? Atau ia pergi setelah selesai menyetubuhi istriku di pagi hari tadi.

Yang jelas, hari ini akan menjadi panjang bagi Widya. Karena Tono jelas memberitahu istriku jika malam ini Bos Parjo akan datang. Dan Widya diminta untuk mempersiapkan diri secara maksimal.

“Pak Arman, kok benggong.” Sahut direktur di tempat aku bekerja. Namanya Pak Wen, dia keturunan Tionghoa dengan badan yang gempal dan besar.

“Oh tidak pak, maaf kalau saya melamun.” kataku dengan gugup.

Kami waktu itu masih di tengah rapat. Dan kami sedang mendengarkan penjelasan vendor.

“Kapan kita gowes lagi pak? Lama lho kita ndak touring!” Sahutnya.

Dulu aku memang sering bersepeda dengan Pak Wen ini, tapi semenjak malapetaka yang menghampiri Widya kala itu, aku jadi jarang ikut gowes kantor.

“Boleh pak, kapan-kapan kita gowes lagi. Kebetulan sepeda saya sedang rusak. Belum sempat aku perbaiki.” Kataku.

Aku tidak berbohong, memang sepedaku rusak. Ada retak di dekat stang sepeda dan membuatnya menjadi bengkok. Bisa diperbaiki sebenarnya, tapi aku malas keluar-keluar di hari libur. Terutama sejak kejadian itu.

“Wah sayang sekali.” Kata Pak Wen.

“Nanti saya coba perbaiki dulu pak.” Tambahku.

“Haha, iya santai Pak Arman.” Kata Pak Wen. “Oh ya, kabar Widya bagaimana? Dia sehat kan, lama aku tidak bertemu dia.”

Soal ini, aku jadi teringat. Pak Wen ini selalu menaruh perhatian lebih pada Widya sejak pertama kali bertemu di pesta kantor dua tahun lalu. Dia bahkan tak segan mengatakan istriku sangat cantik, di tengah kerumunan orang. Pak Wen bahkan meminta istriku untuk duet karaoke dan berdansa di pesta itu.

Kata teman-temanku, “hati-hati Arman, bisa-bisa istrimu direbut oleh Pak Wen.”

Pak Wen sendiri sudah lama menduda. Istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil enam tahun yang lalu. Sejak itu, ia tidak menikah lagi. Bahkan pacaran saja tidak dengan wanita lain. Ia memang sesekali ada orang yang tahu ia menggandeng wanita. Tapi para wanita itu tak lebih dari simpanan saja. Untuk sekedar bersenang-senang.

“Baik Pak, Widya sehat-sehat saja.” Kataku.

“Syukurlah Pak Arman. Pak Arman sungguh beruntung, punya istri secantik dan sealim Widya.” Katanya sekali lagi memuji istriku.

“Terimakasih pak Wen.” Kataku.

“Oh ya, maaf lho ini Pak Arman. Saya kemarin baru dari Tiongkok. Saya dikasih obat gingseng ini.” Katanya sambil mengeluarkan sebuah kotak. Sambil berbisik dia berkata, “ini bisa buat meningkatkan kesuburan. Diminum buat Nak Widya ya.” Katanya.

Aku kaget bukan main ketika Pak Wen menyerahkan kotak gingseng itu. Ia sungguh memberi perhatian lebih pada istriku. Sampai-sampai ia membelikan hadiah obat tradisional untuk mempermudah aku dan Widya mempunyai anak.

“Wah, terimakasih sekali lagi Pak Wen. Maaf malah jadi merepotkan.” Kataku.

“Alah, tidak apa-apa, buat Nak Widya apa sih yang jadi repot.” Katanya.


Aku tak tahu apa perasaan Pak Wen terhadap istriku. Apakah ia sekedar perhatian saja, atau diam-diam ia jatuh hati terhadap Widya. Andai kehidupan kami masih normal, aku tentu akan bahagia sekali menerima hadiah ini. Tapi sekarang semua sudah berubah. Widya sudah menjadi budak seks bagi para preman itu. Dan lebih lagi, ia sudah pasang spiral sehingga kecil kemungkinan ia akan hamil.

Hariku di kantor berlalu dengan sangat cepat. Aku nyaris tidak melakukan apa-apa selain mendengarkan meeting bersama vendor-vendor kantor. Aku masih kepikiran Widya, sedang apa dia sekarang? Apakah Tono sudah pergi?

Sore itu, aku buru-buru pulang. Aku tak peduli hujan turun dengan derasnya di sore itu dan jalanan sangat macet. Aku hanya ingin melihat Widya sekarang.

Di rumah, aku menemui Widya sedang memasak di dapur. Baunya wangi sekali, jarang ia masak semewah ini. Tapi, Widya buru-buru mengatakan, kalau masakan ini bukan untuk aku. Ia memasak untuk Parjo, yang akan datang malam ini.

Aku kecewa, kecewa sekali. Tapi entah mengapa aku juga merasa terangsang. Widya saat ini memasak hanya dengan pakaian dalam dan jilbab saja. Bahkan ia tidak memakai celemek yang dulu selalu ia gunakan ketika memasak. Ia mau repot-repot seperti itu, demi seorang pria yang dahulu memperkosanya. Bukan untuk suaminya sendiri yang seharusnya mendapat perhatiannya.

Seluruh masakan itu ia tata di meja dengan rapi. Harum baunya wangi sekali, membuat perutku bergejolak bukan main. Tapi apa boleh buat, masakan itu bukan untuk diriku.

Selesai memasak, Widya mandi dan berdandan. Cantik sekali ia dengan hijab krem. Apalagi tubuhnya sekarang mengenakan bra dan celana dalam lingerie berwarna merah maroon. Merah maroon adalah warna kesukaanku. Jadi aku benar-benar panas dingin melihat penampilan istriku sekarang ini.

Tapi satu hal yang membuat aku kaget lagi. Celana dalam lingerie yang Widya gunakan ternyata model open crotch, yang bagian vaginanya terbuka. Aku bisa melihat tindik cincin yang terpasang di itil Widya.

Aku benar-benar sudah tidak mengenali sosok Widya. Seorang wanita yang dulu alim baik dari cara bicara dan cara busana. Kini seperti seorang pelacur yang menjajakan diri. Bahkan lebih dari itu, pelacur menjajakan diri demi uang untuk mengisi perut. Tapi apa yang dilakukan istriku saat ini?

Ia berdandan dan memakai pakaian sexy untuk memuaskan hasrat seorang preman. Preman yang bahkan dulu memperkosa dirinya. ‘Ah, apa yang aku pikirkan!’ Kataku di dalam hati. ‘Widya menjadi seperti ini juga karena salah diriku!’kataku lagi. Andai waktu itu aku menyelamatkan Widya, bertindak seperti laki-laki sejati, pasti sekarang Widya tidak seperti ini. Tapi apa daya, aku sudah menjadi seorang pengecut. Seorang laki-laki pengecut yang bahkan membiarkan istrinya dinikmati orang lain di depan mataku sendiri.

Malam itu, Parjo akhirnya datang. Widya menyambutnya di ruang tamu dengan dandanan yang sangat cantik. Ia juga menggunakan parfum yang sangat wangi.

“Cantik sekali kamu non malam ini.” Kata Parjo.

Parjo kemudian memeluk dan mencium bibir Widya. Mereka berciuman ala french kiss. Lidah mereka saling bertautan dan cairan lendir mereka saling bertukar.

Selesai berciuman, Parjo memandang tubuh istriku. Matanya nampak berbinar melihat penampilan Widya kala itu. “Kamu benar-benar cantik non pakai ini.” Kata Parjo. Parjo bahkan sempat sesekali menarik anting tindik yang ada di kelentit istriku.

Widya melayani Parjo lebih dari ia pernah melayaniku sebagai suami. Ia persilahkan Parjo untuk duduk di meja makan. Mempersiapkan makanannya, bahkan sesekali menyuapinya. Widya juga nampak memijat pundak Parjo sesuai permintaan laki-laki itu.

“Pijatanmu enak non.” Kata Parjo. “Ndak kalah sama yang profesional.” tambahnya.

Widya nampak tersipu malu mendengar perkataan Parjo tadi.

“Sini, aku ganti pijit.” Kata Parjo.

Mereka berdua masuk ke kamar tidurku. Tanpa memperdulikan aku yang selama ini duduk di kursi tengah. Di dalam kamar, Widya direbahkan di atas kasur. Parjo mengambil sebuah botol berisi cairan dari dalam kantong celananya. Cairan itu berwarna bening dan nampak lengket.

“Aku pijat ya non, biar non rileks.” Kata Parjo.

Ia tuang cairan itu ke punggung istriku. Cairan itu benar berbentuk lengket dan membuat kulit Widya yang mulus itu jadi semakin mengkilat. Kulit tubuh Widya memang sudah halus, ditambah halus lagi dengan cairan lengket itu. Bahkan kulitnya seolah memantulkan cahaya dari lampu seperti pualam.

“Uhhmm mmmph!” rintih Widya menanggapi pijatan Parjo.

“Aku copot tali BH-nya ya non.” Kata Parjo.

Parjo membuka tali bra di belakang punggung istriku. Kini dengan mudah ia bisa memijat punggung istriku secara leluasa. Ia tuangkan lebih banyak cairan kental itu ke punggung istriku dan mulai memijatnya lagi.

“Kalau sakit, bilang ya non.” Ucap Parjo.

Widya menangguk, tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan saja.


Parjo nampak sangat lihai memijat, ia urut punggung istriku dengan begitu mantab. Ia juga menekan sendi-sendi tertentu. Jadi, ia bukan sekedar ingin mengrepe-grepe Widya.

Dari punggung Parjo lanjut memijat kaki. Widya nampak sedikit meringis kesakitan ketika beberapa titik dipijat oleh Parjo. “Wah, non harus lebih sering olah raga!” Kata Parjo. Beberapa sendi kaki Widya ketika di urut sampai berbunyi ‘krek!’

“Panas ini non, aku copot baju ya!” Kata Parjo.

Dengan singkat, Parjo sudah telanjang bulat di dalam kamar. Kontolnya yang besar itu sudah nampak ereksi walaupun belum maksimal. Setelah mencopot bajunya, Parjo melanjutkan memijat Widya. Ia bahkan tak segan sesekali menggesek-gesek kemaluannya di kulit tubuh istriku.

Selain memijat secara normal, Parjo juga sesekali memijat bagian-bagian sensitif Widya. Ia pijat bagian samping dada istriku sambil ia tetap tengkurap. Ia pijat-pijat juga selangkangan bagian dalam tubuh Widya hingga ia menggelinjang tidak karuan.

“Ayo, sekarang balik badan non!” Perintah Parjo.

Widya yang semula tengkurap kini terbaring telentang. Tubuhnya nampak menggairahkan, dada-nya naik turun dengan nafas tersengal-sengal. Dan yang lebih mengejutkan lagi, kulitnya nampak mengkilap terang sekali.

Parjo tuang lagi cairan kental itu ke sekujur tubuh Widya. Ia bahkan tuangkan cairan itu ke dalam lubang memek istriku. Aku lihat, tubuh Widya menggelinjang kegelian.

“Enak kan non?” Kata Parjo sambil kembali mengurut tubuh istriku.

Widya hanya mengangguk pelan.

Parjo tertawa, ia tahu Widya sudah tenggelam di dalam nafsunya sendiri.

Dengan pelan namun pasti, Parjo mengurut-urut tubuh Widya lagi. Ia urut paha hingga paha bagian dalam. Ia urut juga pundak, ada bagian atas, dan perut. Namun kali ini ia seperti segaja menghindari bagian-bagian sensitif tubuh Widya.

Jelas sekali, ia ingin mempermainkan tubuh Widya. Ia ingin agar istriku mengelepar-lepar menahan nafsu yang sudah hampir memuncak. Aku bisa lihat, ketika tangan Parjo memijat-mijat daerah sekitar area sensitif Widya, istriku sengaja menggeser-geser tubuhnya agar jari Parjo bisa memijat area sensitif itu.

Parjo membuka lubang kemaluan Widya dengan menarik kedua labia-nya. Tapi ia tidak memasukan jarinya ke sana. Ia hanya meniup-niup lubang kemaluan istriku yang terbuka lebar itu. Udara dingin yang masuk ke dalam lubang kemaluan membuat istriku semakin kelenjotan bukan main.

“Geli ya non?” Tanya Parjo.

Widya hanya menganggukan kepala lagi.

“Non pengin dimasukin?” Tanya Parjo lagi.

Widya sekali lagi menganggukan kepala.

“Kalau gitu, non mohon donk ke saya.” Kata Parjo

Widya awalnya ragu, tapi apa boleh buat, nafsunya sudah berada di ubun-ubun.

“Aku mohon Mang Parjo, aku ingin dimasukin.” Kata Widya dengan malu-malu.

“Wah, non mintanya ndak jelas. Mau dimasukin apa non?” Tambah Parjo.

“Mau, dimasukin penis, eh mau dimasukin kontol.” Kata Widya lirih.

“Apanya yang dimasukin non?” Kata Parjo sambil tertawa-tawa.

“Memek, masukin ke memek aku. Masukin kontol Mang Parjo ke memek aku.” Kata Widya dengan suara lantang. Ia bahkan membenggangkan lubang mememknya dengan kedua tangan.

“Oke non, apa sih ndak buat non!” Kata Parjo.

Perlahan, Parjo memposisikan dirinya di hadapan Widya. Kontolnya sudah berdiri sangat tegak. Ia mungkin merasa terangsang juga setelah memijat-mijat tubuh istriku yang mulus.

Sedikit demi sedkit, kontol ukuran raksasa itu masuk ke memek Widya. Memek Widya yang sempit itu harus membuka lebar untuk memberi jalan kontol Parjo. Kontol berwarna hitam pekat itu sangat kontras dengan kulit mulus istriku. Bahkan area kemaluan istriku juga mulus.

“Ohhh, hemmmpp emmpphh!” rintih Widya.

Widya memang sudah beberapa kali disetubuhi oleh para preman ini. Tapi baru kali ini ia meminta preman itu untuk menyetubuhinya. Istriku sudah benar-benar jatuh dalam genggaman preman-preman ini.

“Enak non, memekmu masih sempit aja.” Kata Parjo.

“Ugghhh, hiigh, uhhhh!” rintih Widya merasakan Parjo mulai menyentak-nyentak memeknya.

Widya sempat melihat ke arahku, melihatku berdiri kaku melihat istrinya disetubuhi orang lain. Entah kenapa, setelah melihatku, Widya nampak lebih semangat bersetubuh dengan Parjo. Ia meminta preman itu untuk menciumnya. Ia juga menggerakan pinggulnya untuk menyambut sodokan-sodokan kontol Parjo.

“Ah ya, enak Mang, ah enak!” Rintih Widya.

Baru pertama kali aku mendengar Widya merintih seperti itu. Ia biasanya hanya pasif ketika disetubuhi para preman.

“Liat tuh non, suami non ngintip.” Kata Parjo.

“Ah iya Mang, ndak papa, biarin aja.” Kata Widya.

“Mungkin dia pengin non.” Tambah Parjo. “Kapan terakhir kali dia ngentot sama non?”

“Udah lama, udah lama Mang.” Rintih Widya sambil menjawab pertanyaan Parjo.

Mereka bercakap-cakap seperti itu sambil terus ngentot. Kontol Parjo yang raksasa itu menggempur memek istriku hingga keluar buih-buih putih.

“Gak enak ya non, ngentot sama suami non?” Tanya Parjo.

Widya awalnya tidak menjawab, tapi Parjo meremas kuat payudara istriku agar ia menjawab.

“Iya, iya, ngentot sama suamiku ndak enak. Ndak enak sama sekali. Kontolnya kecil!” Jawab Widya.


Aku merasa hancur mendengar Widya berkata seperti itu. Aku sudah lama tahu jika ia memang menikmati persetubuhannya dengan para preman itu. Tapi aku tak pernah membayangkan ia bakal berkata seperti itu secara langsung.

“Wah gitu ya non, kalau kontolku gimana non?” Tanya Parjo.

“Kalau kontol Mang Parjo gedhe, masuk sampai mentok!” Jerit Widya sambil merasakan hentakan sodokan kontol Parjo di memeknya.

“Saya suka omongan non!” Kata Parjo sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Widya dan Parjo terus saja ngentot di kamar tanpa mempedulikan kehadiranku. Istriku yang menggenakan hijab dan celana dalam lingerie itu terus digempur oleh Parjo. Kontolnya yang besar dan gemuk itu terus melesak-lesak masuk ke dalam memek Widya. Cairan-cairan kental dari dalam kemaluan Widya terus merembes keluar hingga membasahi sprei di bawah mereka bergumul.

Lebih dari 20 mereka bergumul di atas kasur. Pada akhirnya, Widya dan Parjo mengalami orgasme hampir bersamaan.

“Aku keluarin di dalem ya non!” Kata Parjo.

“Iya, aku pengin peju kamu Mang Parjo. Aku pengin pejumu, ohhhh!!” jerit Widya.

Parjo kembali mengeluarkan pejunya di dalam vagina istriku. Entah kali keberapa vagina istriku dikotori oleh peju-peju preman seperti itu. Parjo sepertinya cukup banyak mengeluarkan peju di dalam rahim Widya. Cairan putih kental itu bahkan meluber-luber keluar dari lubang vagina istriku yang masih dijejali kontol Parjo.

Setelah itu, Parjo memasangkan kalung di leher istriku yang masih berbalut jilbab. Entah dari mana ia dapat kalung seperti itu. Ia juga memasangkan rantai besi ke kalung itu. Sehingga leher Widya sekarang seperti mempunyai tali kekang.

Baru lima menit yang lalu Parjo dan Widya selesai bersetubuh. Kini Parjo menyuruh istriku untuk keluar kamar, bukan dengan berjalan kaki. Tapi dengan merangkak seperti anjing. Celana dalam lingerie merah yang ia gunakan tadi sudah dilepas. Hingga sekarang Widya tidak lagi mengenakan apa-apa kecuali jilbab di kepalanya.

“Ayo, tadi kamu bilang titit suamimu kecil kan? Sekarang minta maaf sama suami kamu non. Jadi istri yang baik buat suami kamu.” Kata Parjo.

Widya merangkak dengan tali kekang di lehernya. Payudaranya yang bertindik itu nampak bergoyang-goyang dan menggantung dengan indahnya. Widya kemudian mencium kakiku sambil meminta maaf.

“Maafkan aku ya pah.” Kata Widya istriku.

Sejujurnya, aku tak tahu harus berkata apa. Aku ingin marah, namun tak bisa. Melihat istriku sekarang ini bersimpuh telanjang bulat seperti budak. Aku justru merasa terangsang berat.

“Istri binal kayak gini memang harus dihukum.” Kata Parjo kemudian.

Entah darimana ia juga mendapatkan sebuah cambuk. Cambuk itu ia gunakan untuk melecut punggung dan pantat Widya. Tidak terlalu keras sebenarnya. Goresannya hanya menimbulkan sedikit guratan merah di kulit istriku.

“Ampun, jangan.” Rintih Widya.

Tapi Parjo terus saja melecut-lecutkan cambuk itu ke punggung Widya. Hingga semburat merah yang tadi hanya nampak samar-samar, kini terlihat semakin jelas.

“Ayo, kita jalan-jalan keluar! Kamu harus ikut juga!” Kata Parjo kepadaku.

Parjo menyeret Widya dengan rantai yang terpasang di lehernya. Tanpa penolakan, Widya mengikuti Parjo merangkak ke luar rumah.

Aku sempat tersentak, tunggu, Widya keluar rumah dengan keadaan seperti itu? Bagaimana jika sampai ada tetangga yang melihat. Atau bagaimana jika sampai ada yang memergoki dan melaporkan kejadian ini kepada yang berwajib?

Kompleks rumahku memang masih sepi. Rumah-rumah dibangun secara jarang dan berjarak cukup jauh satu sama lain. Hari memang sudah malam sekarang dan bisa jadi tidak ada orang yang berjalan-jalan keluar rumah. Tapi tetap saja, aku merasa khawatir.

Aku ikuti Parjo dan Widya keluar rumah. Benar saja, Widya tanpa malu-malau mengikuti Parjo keluar dari pagar. Ia merangkak seperti anjing. Sedangkan Parjo berjalan santai dengan menarik tali kekang yang ada di leher istriku.

“Ah ini bisa jadi hiasan bagus.” Kata Parjo.

Ia memungut sebuah lonceng kecil yang memang ada di pagar rumahku. Lonceng itu hanyalah sebuah hiasan saja sebenarnya. Tapi Parjo kemudian memasang lonceng itu di cincin yang ditindik di kelentit Widya. Dan lonceng itu jadi bergeremincing setiap kali Widya bergerak.

Gemerincing lonceng itu memang terdengar lirih. Tapi tetap saja, di malam yang sepi seperti ini, gemrincing itu bisa saja terdengar dari jarak yang lumayan jauh. Aku jadi semakin was-was jika Widya sampai terpergok orang dalam keadaan memalukan seperti ini.

Di sisi lain, aku sangat terangsang dengan pemandangan ini. Melihat Widya telanjang bulat merangkak di jalan paving kompleks perumahan ini membuat kontolku meronta-ronta di dalam celana.

“Ayo, jalan terus non!” Perintah Parjo.

Parjo memerintah Widya untuk terus merangkak sambil melecuti punggungnya dengan cambuk. Tidak hanya itu, Parjo juga tak segan menarik-narik tali kekang di leher istriku hingga membuatnya hampir terjatuh.

“Sekarang giliran kamu, aku serahkan hukuman untuk non sama kamu.” Kata Parjo kepadaku di sebuah persimpangan jalan.

Aku kaget, Parjo tiba-tiba menyerahkan tali kekang untuk kalung rantai Widya kepadaku. Ia juga memberikan pecut yang ia genggam.

“Kamu bisa aja lanjutin hukuman Non Widya, atau bisa juga pulang ke rumah. Itu terserah kamu. Untuk sekarang, nasib Non Widya ada benar-benar di genggaman tanganmu.” Kata Parjo kepadaku.

Di hadapanku sekarang memang terbentang dua arah jalan. Ke kanan itu artinya balik ke kompleks rumahku. Atau ke kiri, arah yang justru menjauh dari kompleks. Aku bimbang, tiba-tiba diberi pilihan seperti itu. Tapi entah mengapa, di dalam hatiku aku ingin menghukum istriku lebih jauh lagi.

Ctarr! Tanganku secara otomatis mencambuk punggung Widya. “Ayo, jalan lagi lonte!”

“Ah iya tuan, ampun, aku akan jalan.” Kata Widya.

Ada rasa puas ketika Widya mulai jalan merangkak lagi atas perintahku. Selama ini, ia sudah jarang mendengar perintahku sebagai suami. Tapi kini, ia merangkak telanjang seperti wanita binal sesuai dengan perintah yang aku berikan.

“Ayo, lebih cepat lonte!” Ctarr! Kataku memerintah Widya sambil melecut punggungku.

Lecutanku nampak lebih keras dari lecutan-lecutan Parjo. Semburat merah yang dihasilkan lebih kelihatan jelas. Widya juga melenguh lebih keras ketika aku lecut.

Jantungku berdegup sangat kencang. Meskipun menghukum Widya, tapi ada rasa was-was juga jika apa yang kita lakukan ini sampai ketahuan orang. Apa yang akan orang bilang jika sampai kita terpergok warga? Seorang suami gila yang menggiring istrinya untuk merangkak telanjang di jalan?

Di ujung jalan terdapat sebuah taman. Aku minta Widya untuk merangkak ke taman itu. Ia menurut tanpa sekalipun membantah perintahku.

Dari belakang, aku bisa melihat dengan jelas kulit mulus tubuh Widya. Tubuhnya yang tidak gemuk dan tidak kurus itu benar-benar menggairahkan. Payudaranya yang menggantung indah itu nampak ingin diremas-remas. Sementara itu lubang dubur dan vaginanya nampak terlihat jelas dari belakang, seolah meminta untuk ditusuk-tusuk.

Dari lubang vagina, merembes cairan-cairan kental. Cairan itu membasahi tindik cincin yang terpasang di kelentit istriku. Cairan itu juga membasahi lonceng yang sengaja Parjo pasang di tindik cincin Widya.

“Nah, sekarang istirahat dulu.” Kataku kepada Widya.

“Terimakasih tuan.” Kata istriku.

Ia nampak cukup letih berjalan merangkak seperti itu. Telapak tangannya memerah, dan lutunya juga mengalami hal yang sama. Jalan paving yang keras itu membuat kulitnya sedikit lecet. Keringat juga nampak membasahi sekujur tubuhnya, termasuk juga jilbab yang ia kenakan.

Aku giring Widya ke sebuah kolam. Di dalam kolam itu nampang terdapat beberapa ikan hias, namun tidak bisa jelas terlihat. Airnya agak keruh dan sepertinya jarang dibersihkan.

“Kalau capek, sekarang minum dulu.” perintahku.

Dengan kaki, aku mendorong kepala Widya mendekat ke kolam.

“Tuan, apa, jangan tuan.” Kata Widya. Ketika ia sadar aku menyuruhnya minum air kolam itu.

“Kenapa? Kalau anjing biasa aja minum air kayak gini!” Kataku dengan agak menghardik.

Parjo yang ada tidak jauh dariku nampak senyum-senyum saja. Ia bahkan sesekali merekam adegan ini dengan kamera handphone miliknya. Aku tak peduli, sudah banyak rekaman Widya dan aku di kamera handphone miliknya. Tambah satu tak membuatku lebih khawatir.

Akhirnya, Widya menuruti perintahku. Ia tundukan kepalanya dan meminum air di kolam itu seperti anjing. Ya, ia minum seperti anjing dengan menjulur-julurkan lidahnya ke air kolam.

Puas sekali rasanya bisa menghukum Widya seperti itu. Aku juga merasa terangsang sekali melihat kondisi istriku sekarang. Kontolku sudah mengeras maksimal di balik celanaku. Rasanya, aku ingin menyetubuhinya sekarang juga.

“Ayo, sekarang merangkak ke kursi taman itu!” perintahku lagi.

Widya merangkak ke sebuah kursi taman yang berbuat dari logam. Kursi itu nampak agak basah karena tadi sempat hujan.

“Sekarang duduk, dan buka selangkanganmu lebar-lebar!” perintahku.

Dengan sedikit malu-malu, Widya duduk dan membuka kakinya di atas kursi itu. Widya tak berani menatap mataku. Aku bisa melihat dengan jelas jika cairan bening mengalir dengan deras dari lubang kemaluan istriku. Itu tandanya jika ia teransang juga dengan hinaan demi hinaan yang aku berikan.

Lonceng kecil yang terpasang di tindik cincin itil Widya aku lepas. Kemaluannya yang mulus tanpa bulu itu terpampang sudah sekarang. Tato yang ada di atas memek istriku malah membuatnya semakin menggairahkan. Mulus sekali memek istriku, bentuknya masih padat meskipun banyak dipakai preman-preman seperti Parjo.

Dengan kedua tangan, aku buka labia Widya. Dari sana aku bisa melihat bagian dalam kemaluan istriku yang berwarna kemerah mudaan. Sungguh sangat menggairahkan sekali.

Ah ya, ini bisa dibilang pertama kali aku liat lagi bagian dalam memek istriku setelah sekian lama. Ya aku memang sering melihatnya telanjang dan aku sering melihatnya disetubuhi oleh para preman itu. Tapi aku jarang melihat bagian dalam memek istriku setelah peristiwa ia diperkosa dulu. Sungguh bahagia rasanya, aku seperti punya kendali penuh atas tubuh istriku yang selama ini direnggut oleh para preman.

Tanpa berlama-lama lagi, aku melepas celana. Kontolku yang sudah tegang itu berdiri dengan kokohnya.

Bless, aku masukan kontolku ke memek Widya. Kontolku yang kecil itu dengan mudah masuk ke memek Widya yang sudah merasakan berkali-kali disetubuhi kontol raksasa. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak menyetubuhi istriku sendiri. Namun memeknya masih terasa sama seperti dulu. Hangat dan terasa begitu menggigit.

“Ah enak, memek kamu enak lonte!” Kataku dengan otomatis.

Aku tak tahu mengapa aku mengatakan kalimat itu kepada istriku sendiri. Aku melihat, ada nanar di mata Widya, seperti ia mau menangis.

Tapi aku tak peduli, aku genjot kemaluan istriku yang sudah lembab itu. Aku juga tak peduli jika memek itu tadi dinikmati oleh Parjo. Aku tak peduli cairan lembek di memek istriku ini sekarang cairan lubrikasi dari dirinya sendiri atau peju Parjo yang bercampur aduk.

Aku lihat Widya meliriku, ia melirik dengan tatapan yang aneh. Aku menyodok memeknya dengan penuh semangat, tapi ia tak sedikitpun bergeming. Tidak ada lenguhan, tidak ada ekspresi khas wanita yang sedang disetubuhi laki-lakinya. Ia hanya diam, ia tak bereaksi, seolah sodokan-sodokanku itu tak ada rasanya baginya.

Di dalam diriku merasa marah, aku teringat bagaimana Widya mengeliat-geliat disetubuhi Parjo. Ia juga melenguh-lenguh seperti pelacur murahan ketika disetubuhi Kusni dan teman-temannya. Ia seperti ketagihan kontol para preman itu. Tapi ketika bersetubuh denganku, Widya hanya diam, membisu. Seoalah kontolku tidak bisa lagi memuaskannya.

Aku coba lebih keras lagi menyetubuhi Widya. Aku sodok kontolku hingga penggulku merasa kaku. Tapi sekali lagi tak ada tanggapan berarti dari Widya. Ia hanya menatapku kosong, seolah tak merasakan apa-apa dari sodokanku. Tak ada desahan sama sekali yang keluar dari mulut istriku. Tak ada ekspresi sange yang muncul di wajahnya. Aku hanya mendengar suara tumbukan pinggulku dengan selangkangan Widya. Dan sedikit suara decitan kursi taman yang terbuat dari besi ini.

“Ah, ayo lonte, ayo, bilang kontolku enak!” Kataku kepada Widya.

Tapi tak ada reaksi apapun dari Widya kecuali tubuhnya yang bergerak mengikuti irama sodokan kontolku.

“Ayo lonte, lonte murahan, lonte kampungan!” Kataku mencai maki istriku sendiri.

Aku terus menyodok kontolku, meskipun pinggulku sudah terasa sakit sekali. Aku ingin Widya melenguh-lenguh seperti ketika ia disetubuhi Parjo dan Preman2 itu. Aku mau ia tunduk kepadaku. Tapi semua itu nampaknya sia-sia. Aku tak mampu seperti para preman itu. Aku lemah, dan tak lama setelah itu, peju dari dalam kontolku menyembur keluar di dalam rahim Widya.

Srooot, srroot, sroot, cairan pejuku menyembur dengan derasnya.

Widya tak bergeming sedikitpun, ia juga tak mengucapkan satu patah katapun.

Ketika aku mencabut kontolku dari memeknya, Widya hanya menatapku secara hampa.

Darahku semakin mendidih, aku ingin marah dan menampar istriku. Aku ingin ia tunduk di bawahku, aku ingin ia jadi budak milik-ku, bukan budak milik para preman itu.

Tapi apa daya, aku tak bisa memuaskan istriku sendiri. Apalagi setelah ia merasakan kontol-kontol besar para preman itu.

‘Klontang!’ Sebuah logam jatuh tiba-tiba mengagetkan aku dan Widya.

Di taman itu ternyata ada sosok lain selain kami bertiga. Pria itu berpakaian dekil, ia baru saja menjatuhkan mangkuk logam ke atas paving.

“Ka, kalian, apa yang kalian lakukan?” Kata pria dekil itu.

Pria dekil itu sekilas nampak seperti tunawisma yang memang sering mangkal di taman-taman kota. Pakaiannya compang-camping dan tubuhnya seperti tak terawat. Tubuhnya nampak sedikit tambun dan besar.

Aku kaget bukan main tertangkap basah di tempat umum seperti ini. Penisku masih meggantung basah setelah menyetubuhi Widya. Sementara itu Widya masih mengangkang lebar. Kemaluannya terbuka dengan cairan sperma miliku yang merembes keluar dari kemaluannya.

“Oii, ada yang mesum di sini, oiii!” Teriak Laki-laki dekil itu tiba-tiba.

Aku panik bukan main kalau sampai digerebek orang banyak, nama baik keluargaku bisa tercoreng. Bisa saja, aku dan Widya akan diarak oleh warga dalam keadaan bugil. Bahkan beritanya bisa tersebar ke seantero media sosial.

“Tunggu, jangan teriak!” Kataku.

Si lelaki dekil itu diam sejenak, tapi tidak lama ia teriak lagi.

“Oii, ada orang mesum, ada orang ngentot!” Teriaknya.

“Diam, Jangan teriak lagi!” Kataku. “Kalau kamu diam, ini lonte bakal sepong kontolmu!” Kataku secara hampir otomatis.

Widya nampak kaget mendengar perkataanku. Jangankan Widya, akupun kaget. Aku tak mengira sampai hati menyuruh istriku sendiri untuk menyepong seorang tunawisma.

“He? Bener? Haha, bolehlah kalau gitu.” Kata tunawisma dekil itu.

Tanpa babibu, pria itu membuka celananya. Kemaluannya nampak dekil sekali dan tidak terawat.

“Ayo lonte, sini, sepong kontolku!” Kata tunawisma itu.

Widya tidak berkata apa-apa, ia menuruti perintah tunawisma itu. Ia mendekat ke tunawisma itu dan mulai menjilati kontol dekil si tunawisma.

“Wah, enak, enak banget seponganmu.” Kata si tunawisma. “Jarang-jarang ada lonte pakai jilbab kayak gini.”

Aku hanya tertegun melihat istriku menyepong tunawisma dekil yang mungkin sudah tidak mandi berhari-hari. Ia jilati kontol yang berwarna hitam pekat itu, dengan bulu kemaluan lebat tidak tercukur. Kontol tunawisma itu lumayan besar, hampir sebesar kontol Parjo.

Widya menyepong kontol si tunawisma dengan nyaris tanpa rasa jijik. Padahal kontol itu dipenuhi dengan kerak-kerak putih karena jarang dibersihkan. Dari jauh saja, bau badan si tunawisma itu bisa aku cium. Aku tidak bisa membayangkan apa yang Widya cium dari jarak dekat.

Aku tidak lagi melihat Parjo, ia menghilang sejak aku ngentot Widya di kursi taman tadi. Apakah si tunawisma ini segaja dipanggil oleh Parjo? Atau hanya kebetulan aja dia muncul?

“Enak banget non seponganmu, ahhh sedepp!” Kata si tunawisma.

Slurrphh! Slurrph! Suara sepongan Widya ketika ketika kontol besar itu mulai masuk ke dalam mulutnya.

“Iya gitu non, sepong terus non, uhhh enak, manteb banget non!” Kata si tunawisma.

Mulut Widya terlihat membuka lebar sekali supaya kontol itu bisa masuk. Air liur-nya nampak sudah menetes-netes, mungkin bercampur juga dengan cairan-cairan pre-cum dari kontol si tunawisma. Cairan itu mengalir hingga membasahi jilbab dan payudara istriku.

“Ah, ijin aku remas-remas ya non lonte teteknya!” Kata Tunawisma itu.

Widya hanya menjawab dengan sedikit anggukan kepala.

Si tunawisma nampak senang sekali meremasi payudara Widya. Tangannya yang kotor dan dekil itu meremas payudara istriku seperti meremas adonan kue. Ia meremasnya cukup kencang hingga membuat Widya sendiri mengeluh-lenguh.

“Ouugghh hmmmpphh!” rintih Widya.

Si tunawisma itu duduk di kursi taman, ia kemudian meminta Widya untuk melanjutkan menyepong kontolnya. Tapi ia juga meminta Widya untuk mejepit kontolnya dengan kedua payudaranya.

Kontol si tunawisma itu cukup panjang ukurannya. Meskipun sudah dijepit payudara istriku tapi batangnya masih belum tenggelam seutuhnya. Sisa batang kontol itu Widya emut dengan lembut.

“Emang enak seponganmu non. Siapa nama kamu non? Kita belum kenalan nih.” Kata si tunawisma. “Namaku Sukmo.” Kata dia.

“Uggh, ooompph, namaku Widya.” Kata istriku sambil tetap menyepong kontol Sukmo.

“Nama yang cantik.” Kata Sukmo, “Secantik orangnya.” tambahnya lagi.

Sukmo mengangkat kepala Widya dan kemudian menciumnya. Lidah mereka saling beradu seperti sepasang kekasih. Tampak tak ada perlawanan sama sekali dari istriku ketika lidah Sukmo mengaduk-aduk mulutnya.

“Non cantik-cantik gini kok ngelonte sih?” Tanya Sukmo.

Widya tak menjawab, yang ia lakukan justru mengelus-elus kontol Sukmo dengan tangannya.

“Haha, kalau ndak mau jawab sih gak papa non.” Kata Sukmo. “Sini, masukin non, aku sudah tidak tahan lagi.” Tambah Sukmo.

Widya diminta mengangkangi kontol Sukmo. Dan pelan-pelan kontol tunawisma itu mulai merangsek masuk ke memek istriku.

Aku terkejut, aku sama sekali tidak meminta Widya untuk ngentot dengan tunawisma itu. Aku hanya ingin istriku menyepong tunawisma itu agar ia tutup mulut. Bukan bersetubuh dengan pria yang dekil ini.

“Oh, memek kamu sempit non, enak banget.” Kata Sukmo.

“Ah, iya, urrgghh!” rintih Widya merasakan memeknya kembali dijejali kontol besar.

“Enak mana non? Kontol saya atau kontol orang yang di sana itu.” Kata Sukmo menunjuk kepadaku.

Widya tidak menjawab, ia justru mulai menggoyang pinggulnya.

“Enak kontol saya ya non. Buktinya non mulai goyang sendiri ini.” Ejek Sukmo.

Widya hanya menjawab dengan anggukan lemah. Ia nampak konsetrasi menikmati kontol Sukmo yang menjejali memeknya. Kontol Sukmo ketika sudah tegang maksimal memang tidak sepanjang kontol Parjo. Tapi ukurannya bisa dibilang lebih gemuk dan besar.

“Kontol saya besar ya non? Lebih besar dari cowok di sana itu? Kontolnya kecil non, mana bisa buat non puas.” Katanya mengejekku.

“Iya, kontolnya kecil, lebing enak kontol Mang Sukmo.” Kata Widya dengan lirih.

“Hahaha, bener kan. Enak kontol saya, apa saya bilang!” Kata Sukmo.

Aku benar-benar terkejut mendengar kata-kata Widya ini. Parjo dan kawan-kawan memang sering mengejek ukuran kemaluanku. Tapi Widya tidak pernah mengucapkan itu sebelumnya. Baru kali ini saja, ia berkata kalau kemaluanku kecil.

“Ternyata non pakai tato ya di perut? Udah ditindik teteknya, perutnya di tato juga, ah ini kelentit non ditindik cincin juga. Non binal banget!” Kata Sukmo.

“Iya, ah, aku binal, aku binal. Ah ah ah!” Rintih Widya sambil terus menggoyangkan pinggulnya.

Bunyi kecipok tumbukan kelamin Widya dan Sukmo terdengar sangat keras. Widya terus menggoyangkan kontol besar itu di dalam memeknya. Ia seolah tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Dan yang jelas, ia tak peduli dengan keberadaanku.

Hampir tanpa sadar, aku mengarahkan handphone untuk merekam persetubuhan Widya dengan Sukmo. Aku mungkin mulai kehilangan kewarasanku. Aku rekam persetubuhan istriku sendiri dengan seorang tunawisma yang sama sekali tidak kita kenal.

Tidak hanya merekam, aku juga merasa terangsang melihat persetubuhan itu. Kontolku yang sampai sekarang masih telanjang, kondisinya sudah kembali berdiri maksimal. Aku benar-benar terangsang melihat Widya bersetubuh dengan orang yang dekil dan kotor seperti Sukmo.

“Liat tuh non, dia rekam kita.” Kata Sukmo.

Widya melirik ke arah kamera handphone. Aku bisa melihat dengan jelas ekspresi sange di wajahnya. Dan Widya sama sekali tidak berusaha menutupinya. Ia terus goyangkan pinggulnya sambil menatap ke kamera. Seolah menantang aku yang merekam dengan kamera ini untuk bisa lebih baik dari si pemulung tua dekil ini.

Slurrpph sluurrp, si tunawisma dekil itu mengenyot payudara Widya. “Ndak cuma enak diremes-remes non, dikenyot-kenyot juga enak tetek non ini. Beruntung banget saya bisa rasain badan non!” Ungkap Sukmo.

“Iya, urrghh.” Rintih Widya. “Sedot Mang, sedot tetek Widya.” Kata istriku sedikit mulai menimpali kata-kata Sukmo.

Slurrph, sluuurrph, “Iya non, enaknya tetek non ini. Padet, putih, sekel. Ngimpi apa semalem aku ini.” Kata Sukmo.

Sukmo menyedot-nyedot payudara Widya sambil terus bersetubuh. Widya menaik turunkan pinggulnya agar kontol besar Sukmo itu mengaduk-aduk memeknya. Cairan lubrikasi sudah mengalir kemana-mana. Membasahi selangkangan Widya, Sukmo, dan bahkan kursi tempat mereka beradu badan.

Mereka bersetubuh dalam keadaan WOT selama lebih dari 15 menit. Widya bahkan sampai sempat mengalami sekali orgasme ketika itu. Tubuhnya melengking diatas pangkuang Sukmo. Ia mengerang seperti wanita murahan.

Bosan dalam posisi WOT, Sukmo menyuruh Widya untuk menungging. Tangannya bertumpu pada bangku taman sementara bagian belakang punggungnya terbuka lebar bagi Sukmo. Payudara Widya menggantung bebas tanpa ada penghalang.

Sukmo kembali menjejalkan kontolnya ke dalam memek Widya. Dan tanpa menunggu lama-lama, ia sodok-sodok vagina istriku. Sukmo cengkram pinggul Widya untuk membantunya mengatur tempo sodokan. Namun ia juga sesekali menampari pantat Widya hingga nampak berkas-berkas merah disana.

“Enak banget non, nyodok non Widya dari belakang kayak gini.” Seru Sukmo.

Kontol Sukmo yang besar merangsek masuk begitu dalam di rahim Widya. Aku bisa melihat vagina istriku kembang kempis menerima sodokan Sukmo. Cairan-cairan kental mengalir dengan deras keluar dari dalamnya. Entah cairan apa saja yang mengalir keluar itu. Bisa saja itu cairan orgasme Widya, atau campuran spermaku tadi.

“Ayo, sini rekam lebih jelas!” Kata Sukmo menyuruhku untuk mendekat. Ia tidak risih direkam sambil bersetubuh seperti itu.

Sodokon Sukmo semakin lama semakin liar. Widya sampai harus kehilangan kontrol atas tubuhnya.

“Non enak banget sih badan non, urggh, aku mau keluar, keluarin di mana non?” Tanya Sukmo.

Dengan suara terengah-engah Widya hanya jawab “Terserah, suka-suka Mang Sukmo aja.” Kata istriku.

“Wah, hehe, kalau gitu saya keluarin di dalem ya non, biar non hamil anak saya!” Kata Sukmo.

“Terserah Mang, saya tidak peduli. Aku mau sampe juga, kita sampai bareng Mang!” Jerit Widya sambil terus melenguh-lenguh karena sodokan kontol Sukmo.

“Oke non, kita sampai bareng ya non! Ayo non, kita sampai bareng!” Kata Sukmo. Ia mempercepat tempo sodokannya hingga bunyi tumbukan kelaminnya dan istriku terdengar membahana.

“Uhhh iya, aku mau sampai Mang, aku mau sampai!” Jerit Widya.

Tak berapa lama kemudian, Widya dan Sukmo mencapai orgasme secara bersamaan. Sukmo menumpahkan sperma kentalnya ke dalam rahim istriku. Banyak sekali cairan kental itu, sebagian bahkan sampai meluber keluar dari lubang vagina Widya.

Si Tunawisma itu pergi setelah menikmati tubuh Widya. Ia biarkan istriku terkulai lemah di bangku taman. Tubuhnya penuh keringat dan berantakan sekali. Serta dari dalam vaginanya-nya mengalir cairan kental milik Sukmo.

==X=X==

Sudah dua minggu lewat sejak kejadian di taman itu berlalu. Aku dan istri sudah kembali ke kehidupan normal kami. Normal dalam artian setelah pemerkosaan Parjo dan rekan-rekannya. Istriku tetap hampir selalu telanjang jika di rumah. Ia hanya mengenakan pakaian dalam saja. Kadang ia justru tidak mengenakan pakaian sama sekali, kecuali jilbab di kepala.

Minggu ini, Widya mendapatkan perintah baru dari para preman itu. Setiap kali keluar dari rumah, ia tidak boleh pakai pakain dalam sedikitpun. Aku geram dengan tingkah laku mereka. Mereka terus saja mengerjai Widya dengan berbagai macam peraturan konyol ini. Tapi Widya nampak sama sekali tak keberatan. Ia menuruti permintaan para preman bahkan ketika para preman itu nyaris tidak mengawasi.

Widya hanya diancam, jika sampai ketahuan ia tidak menuruti perintah, maka video asusila istriku akan disebar.

Sampai sekarang, aku sama sekali belum lihat para preman itu datang untuk cek keadaan istriku. Setidaknya ketika aku ada dirumah dan tidak pergi ke kantor.

Apakah mereka punya mainan baru? Atau mereka bosan dengan Widya?

Hari ini hari rabu, kebetulan aku tidak masuk kantor sebagai pengganti lembur di hari sabtu minggu kemarin. Badanku lelah, dan berencana hanya ingin tidur-tiduran saja seharian.

Tapi tiba-tiba Widya memberi tahu kalau ia mau keluar. Ia bersama teman-temannya mempunyai kegiatan amal. Beberapa acara diantaranya adalah mengajar anak-anak jalanan dan juga memberikan makan buat pengemis. Hari ini ia berencana mengajar anak-anak jalanan, pemulung, dan banyak lagi di sebuah tempat di dekat kolong jembatan.

Widya pergi dengan menggunakan mobil sendiri. Aku awalnya ingin melanjutkan istirahatku di siang ini karena tubuhku yang sedang lelah bukan main. Tapi tiba-tiba aku ingat, minggu ini, Widya masih dilarang oleh Parjo dan teman-temannya untuk pakai pakaian dalam ketika keluar rumah.

“Gawat!” Kataku di dalam hati.

Apa yang akan terjadi kepada Widya ketika ia nanti mengajar? Pakaian yang ia gunakan memang gaun gamis modern terusan. Tapi tanpa pakaian dalam, paling tidak puting susunya akan tercetak dengan jelas. Apalagi gaun gamis yang ia kenakan cukup ketat.

Karena beberapa alasan itu, aku putuskan untuk membuntuti Widya. Untungnya, aku tahu kemana ia akan pergi. Setidaknya jika ia tidak berbohong kepadaku.

Aku segera mengendarai mobil ke arah luar kota. Di daerah terpencil dekat dengan pemukiman kumuh aku melihat mobil istriku terparkir dekat dengan kolong jembatan. Benar saja, ternyata ia berada di sini.

Dengan hati-hati aku coba mencari keberadaan Widya. Ternyata ia berada berada di sebuah kelas terbuka di bawah kolong jembatan itu. Kelas itu cukup sederhana, hanya ada papan dan bangku kayu sederhana. Tidak ada atap, karena kelas ini menggunakan jembatan sebagai atap ruangan.

Di sana, Widya mengajar bersama dengan temannya bernama Nadia. Nadia adalah teman Widya semasa kuliah. Perawakannya mirip dengan istriku, wajahnya juga tidak kalah cantik.

Nadia mengajar anak-anak di sana matematika, sementara Widya mengajar bahasa Inggris di jam berikutnya. Meskipun mengajar di jam berikutnya, Widya tetap membantu Nadia ketika ia mengajar. Anak-anak itupun nampak semangat, apalagi mereka diajar oleh 2 guru yang cantik.

Aku lega, Widya tidak mengalami pelecehan apa-apa di sini. Meskipun samar-samar aku bisa melihat puting susunya tercetak di gamis yang ia kenakan. Buah dadanya juga nampak berguncang-guncang ketika ia menunduk untuk mengajar anak-anak.

Aku sempat mendengar Nadia berbisik.

“Kamu ndak pakai BH ya Wid?”

“Oh iya.” Kata Widya dengan sedikit panik.

“Wah berani banget? Ndak risih?”

“Kebetulan lagi ada iritasi, jadi hari ini tidak pakai dulu.” Jawab Widya berbohong.

“Oh, hihi, sebenarnya aku juga pengin sekali-sekali kayak kamu.” Kata Nadia.

“Maksudmu?”

“Iya, ndak pakai BH kayak gini, di tempat umum. Kayaknya bakal adem.”

“Hihi, ya udah sana coba.”

“Oke, nanti deh aku coba. Oh ya, aku jam 11 mungkin ijin dulu ya. Ada perlu dadakan ngantar ibu ke rumah sakit.” Kata Nadia.

“Iya, nanti aku lanjut mengajar sendiri.”

Widya dan Nadia terus mengobrol, kebetulan mereka mengobrol dekat aku mengintip. Jadi aku bisa dengan jelas mendengar suara mereka.

Tak lama kemudian, Nadia pamit kepada Widya. Ia bergegas pergi karena akan mengantarkan ibunya ke rumah sakit seperti yang disebutkan tadi. Jadilah Widya hanya mengajar anak-anak jalanan itu sendiri.

“I am going to school, saya mau pergi ke sekolah.” Kata Widya.

Ia mengajar kata-kata sederhana bahasa Inggris. Aku cukup bangga kepada Widya karena ia bisa mengajar dengan sabar anak-anak itu.

Bruaakk, bruakkk!!

Tiba-tiba beberapa remaja punk memasuki area kelas itu.

“Mana, mana yang namanya Somad, mana!” Teriak para remaja punk itu.

“Eh itu, si Somad, itu tuh!” Kata Remaja Punk yang lain.

“Oh ini, ini yang namanya Somad!” Kata yang lain.

Seorang anak jalanan dikepung remaja punk itu. Kerah kaosnya ditarik dan mereka menyeretnya ke belakang kelas.

Karena Somad menolak, salah satu remaja punk itu meninjunya. Yang lain bahkan menampar Somad hingga ia wajahnya memar.

“Tunggu-tunggu, ada apa ini, sudah hentikan, kita bisa bicara baik-baik dulu.” Kata Widya sambil menghambur ke remaja punk itu. Ia berusaha melerai mereka agar tidak menghajar Somad.

“Diem ini urusan kami.” Kata Remaja punk itu sambil memukuli Somad.

Somad menangis ketakutan dan kesakitan. Usianya mungkin awal-awal SMA, sementara remaja punk itu usianya di akhir SMA atau awal kuliah jika mereka sekolah.

“Tolong, sudah, jangan pukuli Somad lagi. Stop, hentikan.” Kata Widya masih mencoba melerai.

“Gara-gara dia nih, temen kita ditangkap polisi. Ini bocah ngadu ke polisi nangkep temen kita yang rampok barang di toko!”

“Iya, hajar aja nih bocah. Biar kapok!”

“Please, kita bisa bicara, tolong.” Ucap Widya lagi.

Tapi para anak punk itu tak peduli. Mereka terus menghajar Somad. Ketika Widya mencoba lebih jauh untuk melerai. Salah satu anak punk itu mendorong tubuh Widya hingga istriku tersungkur di atas lantai tanah kelas itu.

Rok Widya sempat terbuka, namun buru-buru ia menutupnya.

Salah satu anak punk itu sepertinya sadar, ada yang salah dengan Widya. Ia minta teman-temannya untuk berhenti menghajar Somad. Aku lihat ia memperhatikan daerah payudara dan selangkangan istriku. Dan mungkin ia sadar akan sesuatu.

Anak punk itu berbisik-bisik kepada teman-temannya dan mereka kemudian sepakat akan sesuatu.

“Oke, kita tidak akan hajar ni bocah ingusan.” Kata salah satu anak punk. “Tapi ada syaratnya.” Tambahnya.

“Apa syaratnya, kalau uang, aku ada sedikit, yang penting lepaskan Somad.” Kata Widya.

“Uang itu gampang, nanti bisa kita cari.” Kata si anak punk itu.

“Lalu, apa yang kamu butuhkan?” Tanya Widya lagi.

Anak punk itu tadi mendekat kepada Widya dan membisikan sesuatu. Mata Widya sempat membelalak, ia kaget bukan main.

“Ka kalian!” Kata Widya dengan nada suara terbata-bata.

“Bagaimana? Tante setuju?” Kata Anak punk itu.

Widya tertunduk sejenak, ia nampak menimbang-nimbang sesuatu.

“Lepaskan dulu Somad dan anak-anak lainnya. Setelah itu aku akan menuruti kata-katamu.” pinta Widya.

Anak punk itu tersenyum, ia memerintahkan teman-temannya untuk melepaskan Somad. Ia juga mengusir anak-anak jalanan lain dari kelas itu. Kini hanya ada Widya, dan 4 orang anak punk di dalam sana.

“Nah, sekarang semua sudah pergi. Jadi tante bisa lihatin apa yang aku minta tadi ya.” Kata si anak punk kepada Widya.

Widya mengangguk tanda mengerti. “Kalian juga harus janji, jangan ganggu Somad lagi.” pinta Widya.

Anak punk itu mengangguk, 3 orang rekannya juga.

“Nah, sekarang buka baju tante. Kami mau liat badan tante. Lagian, tante ndak pakai dalaman kan? Emang dasar tante-tante mesum.” Kata si anak punk.

Deeggg! Jantungku terasa mau copot. Ternyata itu permintaan anak-anak punk itu. Mereka mau melihat tubuh telanjang Widya. Salah satu anak punk itu ternyata sadar jika Widya tidak menggenakan pakaian dalam.

Perlahan, Widya membuka resleting gamis yang ada di belakang punggungnya. Setelah itu, ia tarik gamis itu kebawah dan sedikit demi sedikit pundak Widya nampak terlihat tanpa penghalang.

“Putih bersih cuy!” Kata salah satu anak punk.

“Mulus!” Kata yg lain.

Dengan perlahan tapi pasti, gamis yang dikenakan Widya melorot ke atas tanah. Dan karena ia tidak mengenakan pakaian dalam lagi, sekarang ia benar-benar telanjang. Kecuali jilbab di kepala dan sepatu yang ia kenakan.

Widya menutupi payudara dan kemaluannya dengan tangan. Wajahnya memerah, mungkin karena malu telanjang bulat di tempat yang hampir terbuka seperti ini. Apalagi di depannya kini ada anak-anak punk yang matanya jelalatan melihat tubuhnya.

“Manteb bro!” Kata salah satu anak punk.

“Kelas atas ini, licin banget kayak pualam.” tambah yang lain.

“Udah cantik, badannya bagus, mesum lagi. Masak ngajar ndak pakai daleman.”

“Haha, ndak papa, kita yang untung kok.” kata yg lain lagi.

Widya tambah malu dan merapatkan tangannya ketika anak-anak punk itu mulai mendekat. Istriku itu hanya bisa menutupi payudara dan kemaluannya. Tapi tak bisa menutup bongkahan pantatnya.

Anak-anak punk itu mulai meraba dan membelai kulit tubuh Widya dengan jari-jarinya.

“Alus banget ni ya ampun.” Kata salah satu anak punk.

“Edan, kalau tante jadi pacarku, udah aku kekep tiap hari ini.” Kata yg lain.

Anak-anak punk itu melotot sambil merabai kulit tubuh Widya. Seolah tubuh istriku itu adalah benda yang paling indah yang pernah mereka lihat. Widya sedikit terpekik, ketika anak-anak punk itu mulai berani meremas-remas bongkahan pantatnya.

“Ayo, tangannya dibuka aja tante!” Kata salah satu anak punk.

Tapi Widya sedikit bersikeras, tidak mau membuka tangannya. Ia tetap menutupi payudara dan kemaluannya dengan tangan. Meskipun begitu, Widya tak mampu melindungi pantatnya. Sedari tadi, anak-anak punk itu terus saja membelai dan meremasi pantat istriku. Bahkan tak segan mereka merogoh-rogok masuk diantara dua bongkahan sekal itu.

“Wangi banget deh ini tante.”

“Pakai parfum apa sih tante? Bisa wangi gini?” Tambah yang lain.

Widya semakin nampak risih ketika anak-anak itu mulai mengendus-endus tubuhnya. Beberapa aku lihat mulai tak segan untuk menjilati tubuh istriku.

“Tante, ajarin kita biologi dong.”

“Iya tante, kita ndak pernah sekolah lho, jadi ndak tau bilologi itu apa.”

“Biologi tau bukan bilologi.”

“Eh iya, biologi.”

“Hahaha!”

Mereka merayu-rayu Widya sambil tertawa-tawa. Sementara itu tangan-tangan jahil mereka tak lepas membelai dan meraba-raba tubuh istriku. Semakin lama, mereka semakin berani. Tak segan mereka mulai menyusupkan tangannya ke sela-sela payudara istriku.

“Sudah, jangan.” Pinta Widya lirih.

Tapi anak-anak punk itu sudah kesetanan. Mana mungkin mereka mau berhenti di saat seperti ini. Di hadapan mereka, sudah tersaji seorang wanita cantik tanpa busana. Mereka tentu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Aku sendiri bagaimana?

Aku sebenarnya bisa saja melabrak anak-anak punk itu dan menyelamatkan istriku. Tapi sekali lagi, nafsu birahiku mengalahkan segalanya. Aku begitu terangsang melihat Widya dilecehkan oleh anak-anak punk. Sama seperti aku sangat terangsang ketika melihat Widya diperkosa oleh para preman. Kontolku sekarang sudah ereksi maksimal. Hal yang tidak pernah terjadi ketika aku berhubungan badan dengan Widya.

“Sudah, tolong.” pinta Widya lirih.

“Tante ajarin kita biologi dulu dong, baru kita berhenti.” Kata satu anak punk.

“Iya, ini namanya apa sih tante, yang tante tutupin pakai tangan ini?” Kata satu anak lain sambil meraba-raba payudara Widya.

“Sudah, ini payudara, sudah hentikan!” pinta Widya lagi.

“Oh payudara ya? Tetek ya?”

“Iya!” Jawab istriku sekenanya.

“Kalau ini apa tante, yang tante tutupin di bawah ini.” Kata yg lain lagi sambil meraba-raba daerah selangkangan Widya.

“Ini organ intim wanita, ini vagina!” Jawab Widya lagi singkat.

“Oh vagina ya, memek ya?” Kata yg lain.

“Kita pengin liat lebih jelas ni tante, biar kita pinter kayak tante.” Katanya.

Tapi Widya bersikukuh untuk menutupi daerah sensitifnya dengan kedua tangan. Mungkin ia masih berharap anak-anak punk itu akan melepaskannya sebelum berbuat lebih jauh lagi. Satu hal yang sangat amat aku ragukan.

Tiba-tiba, anak-anak punk itu menyeret Widya dan menidurkannya di atas meja kelas. Kedua tangan dan kaki Widya diikat di masing-masing kaki meja sehingga Widya tidak bisa lagi menutupi bagian-bagian sensitif tubuhnya. Widya sempat meronta, tapi apa daya ia tak punya tenaga cukup melawan berandalan itu.

“Hentikan! Hentikan! Kalian apa-apaan ini!” Jerit Widya.

Ia mencoba meronta ketika kedua tangannya dipaksa untuk diikat di kaki-kaki meja, begitu juga dengan kakinya. Anak-anak punk itu kebetulan menemukan setumpuk tali di sudut kelas. Entah buat apa tali-tali itu sebelumnya.

“Tante jangan teriak-teriak, tante tau kan ini daerah kumuh, kalau tante teriak-teriak, bisa-bisa banyak pemulung dan pengemis dateng ke sini.” Kata salah satu anak punk.

Seketika itu Widya nampak sadar. Bisa jadi mungkin nasibnya akan lebih buruk lagi jika ia teriak-teriak.

Tak berapa lama, tubuh Widya sudah terikat tak berdaya di atas meja. Payudara dan kemaluannya yang gundul itu terpampang dengan jelas tanpa penghalang. Begitu juga dengan tato di selangkangan dan berbagai tindik di payudara dan kelentitnya.

“Eh baru sadar, ini tante pakai tindik!” Kata satu anak punk.

“Ada tatonya lagi di atas memek.” Kata anak punk yang lain.

“Jangan-jangan, tante ini memang lonte ya? Kok bisa punya tato sama tindik gini?”

“Iya, jangan-jangan abis ngajar di sini, ini tante ngelonte di hotel-hotel?”

“Haha, iya, abis ini ngelonte.”

“Liat nih, memeknya basah cuy.”

“Eh iya bener lho, memeknya udah basah!”

Dari jauhpun, aku bisa melihat jelas jika memek Widya sudah basah dan lembab. Apakah ia terangsang juga dilecehkan seperti itu oleh anak-anak punk? Atau ia sejak tadi sudah terangsang karena tidak pakai pakaian dalam?

“Eh ayo lanjutin pelajarannya!” Kata satu anak punk.

“Ini payudara buat apa tante fungsinya?” Tanya anak punk lain.

Mereka bertanya seperti itu sambil meraba-raba tubuh istriku. Beberapa bahkan sudah tidak segan meremasi payudara Widya.

Widya awalnya tak mau menjawab, tapi salah satu anak punk mencubit puting susu Widya.

“Ah sakit!” rintih Widya, “Ini gunanya untuk susu, untuk menghasilkan air susu ibu, untuk asi anak!” kata Widya.

“Asi ya? Mana tante? Kok ndak keluar asinya?” Kata satu anak punk sambil meremas-remas cukup kuat payudara Widya.

“Mungkin kudu disedot-sedot!” kata yang lain.

Anak-anak punk itupun mulai menjilati puting susu Widya dan menyedotnya. Tentu saja tak ada asi yang keluar dari sana. Tapi jilatan dan sedotan itu membuat Widya merintih-rintih tidak karuan. Puting susu adalah salah satu titik lemah istriku.

“Gimana sih ini, ndak keluar juga ASI-nya.” Kata salah seorang anak punk.

“Iya, gimana donk, padahal kita pengin nyusu.” Kata yang lain.

“Kalau yang ini, bisa disedot-sedot juga ndak ya?” Kata seorang anak

Anak itu menunjuk ledir di kemaluan istriku yang gundul. Dari memek Widya keluar banyak sekali cairan. Beberapa bahkan membasahi meja tempat tubuhnya diikat sekarang.

“Coba aja, cuy.” Kata salah seorang teman anak punk itu.

Tanpa ragu, salah satu anak punk itu menjilati memek Widya. Tentu saja Widya melenguh dan merintih merasakan memeknya dijilati. Anak punk itu ternyata sangat suka dengan aroma dan rasa cairan kemaluan istriku.

“Enak cuy, gurih, sedep.” Kata si anak punk itu.

“Sini, aku mau coba juga.” Kata anak punk lain.

Akhirnya, dua anak punk lain ikut mencicipi cairan memek Widya. Mereka menjilati dan menyedotnya seperti makan es krim yang enak. Tak ada rasa jijik sama sekali. Yang ada justru mereka merasa kegirangan.

Widya sendiri hanya bisa menggeliat seperti cacing kepanasan di atas meja itu. Tubuhnya yang terikat membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, puting susu dan payudaranya diremas-remas juga juga para anak punk itu. Membuatnya semakin mengeliat dan melenguh tidak karuan.

“Aduh, aku ndak tahan nih.” Kata satu anak punk.

Ia melepas celananya hingga kontolnya yang sudah tegang itu menyembul. Ukurannya tidak besar, standar remaja asia. Diameternya juga cenderung kecil.

Anak itu kemudian menggesek-gesekan kontolnya ke paha Widya. Anak-anak punk yang lain tak mau kalah. Mereka juga melepas celana mereka masing-masing. Aku lihat, ukuran kontol mereka rata-rata standar. Hanya sedikit lebih panjang dari punyaku. Tapi diameternya kecil-kecil.

“Ah mulus banget, enak!” Kata satu anak punk yang mengesek kontolnya di tangan Widya.

“Iya, enak banget, alusnya.” Kata yang lain sambil mengeluskan kontolnya di perut istriku.

Tubuh Widya benar-benar menjadi bulan-bulanan para anak punk itu. Tidak lama setelah itu, mereka berani menggesek-gesekan kontol mereka di payudara Widya. Satu anak juga mulai berani meminta Widya untuk menyepong kontolnya.

Widya awalnya menolak menyepong kontol anak punk itu. Tapi akhirnya ia mau karena anak-anak punk itu menyiksa Widya dengan menarik-narik tindik di puting dan klitorisnya.

“Wah, aku jadi pengin masukin ni kontol ke memek!” Kata satu anak punk.

“Aku juga pengin.” Kata yang lain.

Lalu ada satu orang yang punya ide, bagaimana jika mereka mencelupkan kontol mereka secara bergantian dulu. “Biar kenalan.” Kata anak punk itu. Ide itu mereka terima berjamaah.

Kontol-kontol anak punk itupun satu per satu masuk ke memek Widya. “Kenalin nih tante, kontol saya.” Kata satu anak. Ia mencelupkan kontolnya tiga sampai lima kali di dalam memek Widya sembelum memberikan kesempatan bagi yang lain.

Anak punk lain gantian mencelupkan kontolnya ke memek Widya. “Duh tante, memek kamu sempit banget. Enak banget sih.” Kata anak punk itu.

Empat anak punk itu bergantian mencelupkan kontolnya. Mereka hanya mencelupkan tiga sampai lima kali dan kemudian bergantian. Entah apa maksud mereka sesungguhnya. Tapi yang jelas, sekarang mereka rata bisa merasakan memek istriku ketika masih bersih tidak dipejuin.

Aku lihat, wajah Widya sudah sayu. Ia tidak lagi melawan ketika kontol-kontol anak punk itu masuk ke memeknya satu per satu. Kemaluannya bahkan semakin banjir. Meja tempat tubuhnya tergeletak sekarang sudah basah bukan main.

Pesta icip-icip pun berakhir, kini anak punk itu bersiap untuk benar-benar menyetubuhi Widya.

“Nah sekarang giliranku.” Kata satu anak punk yang sedari tadi memang sepertinya pemimpin mereka. Ia masukan kembali kontolnya ke memek Widya, dan kali ini ia menggenjotnya secara intens.

Kontol pemuda itupun keluar masuk ke dalam memek Widya. Kontol anak punk itu masuk dengan mudah ke memek Widya yang sudah dipenuhi lendir. Apalagi memek Widya memang sudah sering mencicipi kontol yang jauh lebih besar dari anak-anak itu.

“Huff, enak tante, memek kamu luar biasa!” Kata si anak punk.

Tanpa basa-basi lagi, si anak punk itu langsung menggenjot Widya. Ia bersemangat sekali menyetubuhi istriku, sodokan-sodokan kontolnya bahkan membuat meja tempat Widya terikat sekarang berdecit-decit.

“Sepong lagi donk tante!” Kata anak punk yang lain. Ia sodorkan kontolnya ke depan mulut Widya yang sekarang tanpa perlawanan langsung saja mengemut kemaluan itu.

Dua anak punk lain tak mau ketinggalan. Mereka meremasi payudara Widya dan menyedoti putingnya. Istriku berkelenjotan bukan main, mungkin ia merasakan sensasi nikmat yang luar biasa. Tubuhnya dipermainkan dan tak berdaya di depan anak-anak punk yang usianya jauh lebih muda darinya.

“Ah, tante, aku mau keluar tante!” Jerit anak punk yang menggenjot memek Widya.

Cairan sperma-pun menyembur keluar di dalam memek Widya. Cukup banyak juga cairan peju yang ia keluarkan, nampak beberapa sisanya keluar hingga menetes ke meja.

Si anak punk itu keluar dalam hitungan tidak sampai 5 menit. Walau bagaimanapun, mereka masih remaja dan belum berpengalaman dalam hubungan seks. Wajar jika ia keluar cepat-cepat.

“Enak tante, terimakasih ya!” kata anak punk itu.

“Sekarang giliranku!” Kata anak punk lain yang tadi kontolnya Widya sepong.

Bless, dalam sekejap, kontol itu sudah masuk ke dalam memek Widya. Ia jauh lebih kikuk dari anak punk pertama tadi. Gerakannya juga tidak mantab, ia seperti menahan ejakulasi yang hampir saja keluar.

“Aduh, enak banget ini memek, aduh!” Jerit si anak punk

Widya hanya bisa membuang muka saja. Ia tidak menatap para anak punk yang memperkosa dirinya. Namun apakah benar ini pemerkosaan? Iya, Widya memang dipaksa melakukan hubungan badan, tapi ia sama sekali tidak menolak sekarang. Bahkan ia membiarkan saja ketika ada anak punk yang minta disepong dengan mulutnya.

Braakkkk!!!

Tiba-tiba sebuah kayu menghantam salah satu anak punk. Anak punk itu jatuh tersungkur di atas lantai dan langsung pingsan.

“Dasar! Bocah gemblung!” Kata suara bapak-bapak yang tadi mengayunkan balok kayu. “Mau apa kalian, ngentot di siang bolong kayak gini. Bocah gendeng!”

Raut muka anak-anak punk itu berubah ketakutan. Mereka sepertinya kenal siapa orang yang baru saja memukul temannya dengan balok kayu. Cepat-cepat mereka pakai celana yang mereka lepas tadi dan buru-buru juga mereka mengangkut temannya yang pingsan.

“Ampun Bang, kita ndak akan ulang bang, ampun!” Kata salah satu anak punk itu.

“Bajingan tengik, pergi kalian! Kalau kalian dateng lagi ni ke wilayah gue, bakal gue hajar kalian!” Kata si bapak-bapak itu.

Bapak-bapak itu rupanya penguasa daerah sini. Ya seperti preman, tapi ia memang warga sini dan cukup dihormati. Namanya Juned, Ia seperti jawara di daerah sini. Pihak berwajib-pun segan dengan dia.

Anak-anak punk itupun pergi, meninggalkan Widya masih terikat telanjang di atas meja.

“Ck ck ck, dasar pelacur. Cuh!” Kata si Juned sambil meludahi wajah Widya.

Widya tak bergeming, ia hanya memalingkan muka.

“Bodi cakep, tapi jadi lonte! Pakai jilbab lagi! Malu-maluin, ini lepas aja!” Kata si Juned.

Ia sudah memegangi jilbab Widya, siap untuk menarik lepas.

“Tidak, tolong, jangan!” pinta Widya.

Plakk! Juned menampar pipi Widya.

“Lonte kayak kamu tidak pantas pakai jilbab.” Gertak-nya. “Lonte kayak kamu pantasnya ndak pakai baju, telanjang aja kemana-mana. Lonte murahan mana yang mau ngentot ama bocah-bocah ingusan kayak tadi? Hah! Loe lonte murahan ndak usah ngelawan sama gue!” Gertaknya lagi.

Widya menangis, ia benar-benar tertusuk dengan kata-kata Juned tadi. Selama ini ia memang dilecehkan dan direndahkan oleh banyak pria. Tapi tak satupun dari mereka mau menarik jilbab yang Widya kenakan.

Dengan sekali tarikan, jilbab Widya lepas. Ini kali pertama ia telanjang di depan pria lain selain aku tanpa mengenakan jilbab. Widya menangis, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya yang masih terikat di atas meja.

Juned lalu melepaskan ikatan kaki dan tangan Widya di meja. Tapi rupanya ia tidak berniat untuk melepaskan Widya begitu saja.

“Dih memekmu penuh peju gini, jijik gue!” Kata Juned.

Ia mencari sesuatu dan menemukan botol oli bekas di ujung rongsokan barang. Widya yang sudah hampir beranjak dan hendak memakai kembali bajunya tiba-tiba dijambak oleh Juned. Ia dorong tubuh Widya hingga menungging di atas lantai.

Juned lalu menungkan isi botol oli ke dalam dubur Widya. Juned juga melepaskan celananya sendiri. Lalu ia tuangkan juga sedikit oli ke kontolnya yang ternyata sudah berdiri tegak. Kontol Juned nampak keras dan berurat-urat. Ukurannya sedikit lebih kecil dari kontol Parjo dan Kusni. Namun urat-ruatnya yang besar itu nampak sangat menonjol.

“Eh, mau apa? Jangan, aku mohon jangan di situ!” Pinta Widya. Ia tahu jika Juned sebentar lagi akan menganal duburnya.

“Diem lu lonte, anggep aja ini balas budi lu karena gue udah nyelametin lue dari berandal-berandal itu!” Kata Juned seenaknya.

“Tapi, tidak, aku mohon jangan di situ, aku belum pernah.” Kata Widya.

“Brisik lu, lonte kayak lu masak belum pernah ngentot di dobol? Ya, anggep aja ini kehormatan buat lu, lu bisa ngerasain kontol gue buat perawanin tu dobol lu.” Kata Juned lagi.

“Ndak aku mohon jangan, ini mau aku kasih buat suamiku!” Kata Widya.

Degg! Jantungku terasa mau berhenti mendengar kata-kata Widya itu. Aku tak menyangka jika ia masih ingin memberikan keperawanan duburnya kepadaku. Tempo hari memang aku pernah akan menganal Widya. Tapi aku gagal waktu itu, dan aku sudah keluar duluan sebelum sempat menjebol keperawanan dubur Widya.

“Hehe, udah punya suami toh? Kok lu ngelonte?” Kata Juned.

Widya tak menjawab, aku lihat ia ingin memberontak dengan sisa tenaganya. Namun badan Juned yang kekar itu terus menahannya diatas lantai.

“Siap-siap ya non.” Kata Juned.

Perlahan Juned mulai memasukan batang kontolnya ke dubur Widya. Widya menjerit-jerit dan mencoba membebaskan diri. Tapi tubuhnya tidak mampu melawan badan Juned yang kekar.

“Aduh sakit, aku mohon hentikan!” Pinta Widya.

“Tenang neng, sakit dikit, nanti juga enak. Kayak waktu neng diperawanin memeknya dulu.” Sahut Juned.

“Sudah, aku mohon, yang lain aja, please, masukin memek aja atau aku sepong.” Kata Widya mencoba memohon lagi.

“Malas gue neng, memekmu dah kotor gitu.” Kata si Juned.

“Sepong, aku bakal sepong kamu Bang. Tolong, yang penting jangan di pantat.” Pinta Widya sambil menangis-nangis.

“Udah, nikmatin aja, nanti juga enak kok.” Kata Juned

Perlahan namun pasti, kontol Juned terus melesak masuk ke memek Widya. Oli yang tadi dituangkan benar-benar membuat dubur Widya lebih mudah untuk dimasuki. Meskipun kontol Juned sebenarnya cukup besar ukurannya.

“Sakit, perih, aduh, udah stop!” Rintih Widya.

“Bentar non, bentar lagi masuk semuanya.” Kata Juned.

Benar saja, kontol Juned itupun akhirnya ambles seluruhnya di dalam dubur Widya. Aku lihat wajah Widya benar-benar kesakitan. Wajar saja, karena ini adalah kali pertama ia di anal.

“Sempit banget non boolmu. Bool paling enak yang pernah gua rasain selama ini.” Kata Juned.

Widya diam saja, ia hanya merintih kesakitan.

“Gua mulai gerakin ya non!” Kata Juned.

Perlahan, Juned menggerakan pinggulnya. Kontol berurat miliknya itupun mulai maju mundur di dalam dubur Widya. Widya masih meringis kesakitan, tapi tidak separah tadi.

“Ayo neng, rileks aja biar ndak sakit.” Kata Juned.

Widya sepertinya menuruti kata-kata Juned itu. Lagipula, tak ada gunanya lagi melawan. Lubang duburnya sudah jebol sekarang. Semakin melawan, ia justru semakin sakit.

Dengan gerakan pelan namun pasti, Juned menyetubuhi lubang anal Widya. Dari gerakannya, nampak sekali ia sudah berpengalaman. Tidak seperti para anak punk ingusan tadi. Widyapun aku lihat sudah bisa sedikit rileks. Raut mukanya masih menunjukan sedikit rasa sakit. Tapi selebihnya ia bisa menikmati sodokan kontol Juned di duburnya.

“Gimana non enak kan sodokanku?” Tanya Juned.

Widya hanya menjawab dengan anggukan kecil.

“Haha, dasar lonte, emang neng itu lonte. Di anal sama orang yang baru ketemu aja bisa nikmatin. Lonte-lonte!” Kata Juned sambil tertawa-tawa.

Tapi benar saja, memang tubuh Widya terlihat menikmati sodokan-sodokan Juned di duburnya. Ia sekarang tidak menungging lagi, tubuhnya dalam posisi merangkak. Payudaranya menggantung bebas, dan bongkahan mulus itu tak lupa diremas-remas oleh Juned.

“Tetekmu mulus banget neng, enak diremes-remes.” Kata Juned. “Dah berapa orang yang remes-remes ni tetek neng? Banyak ya?” Tanya Juned lagi.

Widya tak menjawab, hanya lenguhan kecil keluar dari bibirnya. Tubuhnya sekarang sudah belingsatan, menimpali sodokan demi sodokan kontol Juned yang semakin intens.

“Suami neng tahu ndak, kalau istrinya lonte?” Tanya Juned lagi kepada Widya.

Widya menjawab dengan anggukan kepala.

“Wah, suami neng dah gila ya. Biarin istrinya yang mulus kayak gini jadi lonte.” Kata Juned. “Udah, neng cerai aja. Neng ikut gua aja, jadi gundik gua. Neng bisa ngentot enak tiap hari. Neng lonte karena suami neng ndak bisa puasin neng kan?”

Sekali lagi Widya menjawab dengan anggukan kepala. Semua itu ia lakukan dengan terus menikmati sodokan demi sodokan kontol Juned di duburnya. Rasa sakit sudah hilang dari ekspresi wajahnya.

“Sudah aku duga, biasanya cewek baik-baik kayak neng jadi lonte karena suaminya ndak bisa puasin nafsu neng. Neng liat gudang di seberang sungai itu? Gua ada di situ neng, lain kali kalau neng butuh kontol gua, neng bisa kesana.” Kata Juned.

Widya lagi-lagi menjawabnya dengan anggukan kepala yang lemah.

“Haha bagus-bagus neng.” Kata Juned.

Widya dan Juned terus melakukan anal sex itu hingga lebih dari dua puluh menit. Selain di anal, tubuh Widya juga diremas dan digigiti oleh Juned hingga nampak bekas gigitan merah di kulit tubuhnya yang halus. Juned cukup perkasa menyetubuhi Widya, bahkan nyaris tempo sodokannya tak terputus.

“Oh bener-bener enak ni badan lonte, oh, oh!!” Lenguh Juned sambil mempercepat sodokan kontolnya di memek Widya. Rupanya ia sudah mau orgasme.

Tubuh Widyapun bergetar-getar dengan hebat menimpali sodokan Juned. Raut mukanya juga menggambarkan jika ia pun sudah mau sampai di puncaknya. Tubuhnya juga sudah mulai bergetar-getar kecil seperti tersetrum.

“Aku keluarin neng! Ouuugghh Hoooh!” Jerit Juned sembari menyemburkan peju-nya ke dalam dubur Widya.

Widya-pun mengalami orgasme yang nyaris bersamaan. Tubuhnya bergetar dengan hebatnya, bahkan punggungnya sampai melengking.

Tubuh Widya ambruk setelah orgasme itu. Tubuhnya jatuh ke atas lantai tanah yang kotor. Junedpun mencabut batang kontolnya dari dubur Widya. Ada sedikit bekas bercak merah di sekitar lubang dubur Widya karena lecet.

“Puas saya neng!” Kata Juned.

Aku kira Juned sudah selesai mengerjai Widya. Tapi ternyata perkiraanku salah. Ia mengangkangi tubuh istriku sambil mengarahkan kontolnya ke sana. “Nih aku kasih bonus neng.” Kata Juned.

Surrr! Air kencing Juned yang berwarna kuning pekat itu mengalir dengan deras membasahi tubuh Widya. Widya sempat kaget, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya sudah terlalu lemah untuk melawan. Ia biarkan cairan kuning pekat itu membasahi dan mengotori tubuhnya.

“Lonte kayak neng emang pantesnya mandi pakai air kencing.” Kata Juned.

Ia lalu meninggalkan WIdya begitu saja di sana. Membiarkan tubuh Widya telanjang dengan lubang dubur dan kemaluan penuh dengan peju. Sementara itu air kencing membasahi seluruh tubuhnya.

==X bersambung dulu... X==

cerita sex yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya

Related Posts