Cerita Dewasa - Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-1

cewek amoy
Widya


Namaku Arman, seorang assistant manager sebuah perusahaan ternama di negeri ini. Umurku 30 tahun dan sudah menikah 2 tahun dengan istri tercintaku. Nama istriku Widya, usianya baru 26 tahun. Kami kenal dulu karena dipertemukan oleh salah seorang sahabatku. Kebetulan sahabatku, Nisa, itu adalah teman Widya juga.

Sosok Widya ini benar-benar seorang wanita idaman. Dalam kesehariannya, ia memakai jilbab dan nampak alim sekali. Jilbab yang ia pakai masih tergolong jilbab trendy, namun itu tidak mengurangi aura alim dari dirinya.

Dari yang aku tahu, Widya ini sama sekali tidak pernah pacaran selama masa kuliah. Di masa SMA ia juga tidak pernah pacaran, walaupun banyak sekali pria yang mencoba untuk mendekati dirinya.

Nisa, teman satu kantorku juga membenarkan hal itu. Widya adalah salah satu yang paling cantik di angkatannya semasa kuliah. Dari mulai kakak angkatan hingga dosen muda-pun ada yang mendekati Widya. Tapi Widya memilih untuk fokus dulu pada pendidikannya di waktu itu. Wajar saja, karena ia juga tumbuh di keluarga yang taat.

Lalu bagaimana dengan aku?

Aku sendiri adalah bujang lapuk. Aku pernah sekali pacaran dengan teman kuliah, tapi setelah aku bekerja, kami putus secara teratur akibat jarak. Pacarku kebetulan mendapat beasiswa ke luar negeri dan kami memutuskan untuk berpisah. Semenjak itu, aku tidak pernah pacaran lagi hingga umur 28 tahun. Ketika aku dipertemukan dengan Widya.

Aku dan Widya tidak berpacaran lama, bahkan bisa dibilang tidak berpacaran sama sekali. Kami hanya saling kenal selama tiga bulan, lalu memutuskan untuk menjalin hubungan serius. Aku coba untuk datang ke rumah orang tua Widya. Dan ayahnya langsung bertanya kepadaku apakah aku ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan?

Aku tidak punya alasan untuk menunda lagi, usiaku sudah tidak muda. Lagipula secara harta aku juga sangat berkecukupan. Karirku bagus di perusahaan tempat aku bekerja. Dan kedua orang tuaku adalah pejabat di daerah.

Wajah Widya yang terbalut hijab itu nampak sangat manis. Putih dan bersih seperti wajah yang dirawat secara mahal. Padahal ia tidak pernah melakukan perawatan berlebihan. Hanya yang standar saja. Secara fisik, tubuh Widya tidak gemuk dan juga tidak kurus. Ukuran tubuhnya ideal, dan nampak sangat anggun dalam balutan pakaian model apapun.

Kami menjalani 2 tahun pernikahan ini dengan bahagia. Kami bahkan bisa dibilang tidak pernah bertengkar. Setiap konflik atau perbedaan pendapat, bisa kami bicarakan dengan baik-baik. Hanya saja ada satu hal yang kurang dari kami, sampai saat ini, kami masih belum dikaruniai anak.

Widya tidak pernah komplain atau membicarakan itu denganku. Bahkan, ia menurut saja ketika aku membujuknya untuk resign dari tempat kerjanya di sebuah bank syariah. Aku ingin agar ia istirahat saja di rumah dan tidak kecapekan. Karena gajiku sebagai assistant manager sudah jauh lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari kami.

Tapi hal itu tidak menutupi kenyataan bahwa aku sebenarnya sangat lemah di ranjang. Aku tidak bisa bertahan lama ketika bercinta dengan istriku. Paling lama aku hanya bisa melakukannya lima menit. Di samping itu, cairan spermaku juga agak encer. Aku sebenarnya takut, kalau aku sebenarnya mandul.

Selain cepat keluar, ukuran kemaluanku juga terbilang kecil. Bahkan tidak lebih dari 10 cm ketika ereksi maksimal. Apa kecilnya ukuran kemaluanku itu berpengaruh juga dengan gagalnya kami mempunyai anak? Entahlah, aku tidak tahu. Dan sampai sekarang, aku masih belum memutuskan untuk memeriksakannya ke dokter.

Setiap kali kita bercinta, istriku selalu memberikan yang terbaik kepadaku. Ia selalu berdandan cantik sekali. Dan ia memakai wangi-wangian yang aku suka. Ia bahkan selalu mencukur bulu-bulu kemaluan dan ketiaknya sampai bersih, karena itu yang aku suka.

Tapi sayang sekali, seluruh usahanya aku balas dengan waktu bercinta yang singkat. Tidak jarang aku merasa sedih dan bersalah. Tapi istriku selalu tersenyum ketika aku selesai. Walaupun aku tahu, ia tidak pernah merasa puas.

Pada malam minggu itu, aku dan istriku baru saja pulang dari sebuah acara kondangan. Karena acaranya terletak di sebuah villa di luar kota, kami harus mencari jalan alternatif untuk pulang agar cepat sampai. Jalan utama tentu macet bu Jalan itu termasuk kecil dan berkelok-kelok. Ditambah lagi, kabut tiba-tiba saja turun di malam hari itu.

“Pah, agak hati-hati nyetirnya ya.” Kata Widya.

“Iya, tentu saja ma.” Jawabku.

Malam itu Widya menggunakan gamis kebaya yang modis berwarna krem kecoklatan. Semua orang di acara kondangan memuji kecantikan istriku. Sedikit banyak, aku merasa bangga dengannya.

Di sebuah tikungan, tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh binatang yang tiba-tiba melintas. Sepetinya binantang itu kucing, tapi entahlah. Mobilku oleng dan tak bisa aku kendalikan. Hingga mobilku akhirnya menabrak sebuah mobil lain yang sedang terparkir di pinggir jurang.

Brakkkk!!!

Keras sekali mobilku menabrak, hingga airbag yang ada di mobilku mengembang. Mobil yang aku tabrak tidak beruntung. Posisinya terdorong hingga jatuh ke dalam jurang. Kami bisa mendengar mobil itu berguling-guling jatuh ke bawah hingga akhirnya tercebur di aliran air sungai yang deras.

Aku dan Widya selamat, dan kami nyaris tidak terluka sama sekali berkat airbag mobil yang menggembang tepat pada waktunya.

Aku lihat segerombolan orang tiba-tiba mengerubungi mobilku. Mereka meminta kami untuk keluar. Dari wajahnya, mereka nampak bukan orang biasa. Tampang-tampang mereka seperti preman. Jumlah mereka ada 5 orang. Semuanya nampak bertampang kasar dengan tubuh penuh tato.

“Untung aja aku tidak di dalam mobil itu, kalau tidak, aku sudah mati jatuh ke dalam jurang!” Kata seorang dengan tubuh paling tambun diantara orang-orang itu.

“Iya boss, bunuh aja ini orang!” Kata preman lain.

Yang mereka maksud untuk dibunuh itu tentu saja aku, dan mungkin juga Widya.

“Tolong jangan,” Kataku. “Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku bisa ganti rugi.” Kataku mencoba berdiplomasi.

Tapi seketika itu, Bukkkkk!! Sebuah tinju melayang tepat ke ulu hatiku.

Sakit sekali rasanya, aku sampai ambruk dan mataku berkunang-kunang.

“Aku benci orang-orang berduit kayak mereka. Dikira semua bisa dibeli sama uang.” Kata orang tambun yang disebut bos oleh preman lain itu.

Seorang preman membisiki si bos, dan ia tersenyum sambil melirik ke arah istriku. Istriku sendiri sudah dipegangi oleh dua orang preman. Wajahnya tampak ketakutan tapi ia tak bisa melawan.

“Ayo, bawa mereka. Ndak usah melawan, kalau kalian masih tetap mau hidup!” Kata si bos itu.

Mereka membawaku dan istriku ke sebuah mobil kijang tua. Aku duduk di belakang, ditemani oleh seorang preman. Sedangkan istriku duduk di tengah, diapit oleh si bos yang sekarang aku tahu bernama Parjo. Dan satu lagi preman bernama Kusni.

Tangan dan kakiku diikat, sementara mulutku disumpal oleh kain. Tapi aku liat istriku sama sekali tidak diikat. Ia hanya diam duduk tertunduk diapit oleh dua preman yang bernama Parjo dan Kusni. Mungkin ia sangat ketakutan dengan preman-preman ini.

Mobil ini melaju dalam kegelapan malam, entah apa yang akan mereka lakukan pada kami. Ulu hatiku masih terasa sakit sekali. Preman di depanku bahkan memain-mainkan pisau untuk mencukur jenggotnya. Ia bahkan sempat memukul lagi perutku ketika aku coba melihat keadaan istriku dengan gagang pisau. Rasanya sakit sekali dan aku ingin muntah.

Preman yang nantinya aku tahu bernama Kunto itu juga sempat membisikiku, “kalau sampai kau tereak atau melawan, istrimu bisa aku lempar ke jurang!” Ancamnya.

Jujur saja, aku sangat ketakutan. Aku belum pernah berada dalam situasi semacam ini. Apalagi mereka sepertinya tidak main-main dengan ancaman itu.

Aku perhatikan, istriku masih duduk dengan kepala tertunduk di kursi tengah. Parjo sepertinya membisikan sesuatu kepada istriku dan ia menganggung-angguk dengan anggukan orang yang panik ketakutan. Aku tak tahu apa yang ia bisikan. Tapi setelah itu, kepala istriku sempat beberapa kali tertengadah, seperti menahan sesuatu. Tubuhnya juga nampak lebih tegang dari sebelumnya.

Aku tahu, sesuatu sedang tejadi kepada istriku di kursi itu. Tapi aku tidak tahu apa itu. Aku hanya berharap, ia bisa melewati semua ini.

Perjalanan terasa sangat panjang, apalagi jalan di pegunungan ini naik turun dan berkelok-kelok. Suasana di luar nampak gelap sekali, aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa.

Aku lihat, kepala Widya semakin tertunduk, bahkan aku sempat mendengar suara aneh. Seperti suara becek air, aku tak tahu suara apa itu. Penasaran, aku coba mendongak ke depan. Tapi tiba-tiba Kunto menampar kepalaku.

Plaakkk!!

Pandanganku kembali berkunang-kunang dan darah keluar dari hidungku. Tidak berhenti di sana, ia juga kembali menghajar perutku. Bahkan tak segan memukul kemaluanku dengan gagang pisaunya.

“Argggh ampun!” Jeritku.

Sakit sekali rasanya dihajar Kunto. Aku sampai jatuh di atas lantai mobil dan mengerang menahan sakit.

“Sudah aku bilang, kamu diam saja. Nurut sama kami kalau mau nyawa selamat.” Kata Kunto dengan santainya kepadaku.

Rasanya sakit bukan main, terutama di area kemaluanku. Tapi Widya sama sekali tidak menoleh ke belakang. Seolah ia sedang disibukan oleh hal lainnya.

Pluukkk!

Ada sebuah kain yang jatuh tidak jauh dari wajahku. Kain itu berwarna putih, dan nampak sedikit basah. Aku tidak bisa melihat dengan jelas bentuk kain itu. Karena mobil ini sedang melaju di jalanan yang sangat gelap. Hanya saja, bau dari kain itu begitu menyengat dan aku jadi ingat akan satu benda.

Kunto mengambil kain itu dan menghirup baunya, “Wangi!” Kata dia.

Beberapa kali Kunto menciumi kain itu seolah kain itu adalah barang yang berharga buat dirinya. Kunto lalu menyimpan kain itu ke dalam saku rompi jeans yang ia kenakan.

Ah apa kain itu sebenarnya? Dari warna, bau, dan bentuknya, aku hanya bisa berfikir satu hal. Tapi aku benar-benar tak mau memikirkannya saat itu. Hanya saja, kemungkinan besar kain itu adalah satu benda, benda yang dipakai istriku Widya kemanapun ia pergi.

Kain itu adalah celana dalam Widya!

Setelah hampir 30 menit perjalanan, mobil kijang kuno inipun berhenti. Rupanya mobil ini berhenti di sebuah rumah tua yang kotor seperti gudang. Widya, istriku diminta turun lebih dulu. Sementara aku masih dibiarkan terikat di belakang mobil kijang ini.

Aku merasa khawatir dengan kondisi Widya, apa yang akan mereka lakukan kepadanya. Hanya saja, aku tak mendengar suara apapun dari istriku. Bahkan selama perjalanan panjang ini, ia tidak mengucapkan satu patah katapun.

Aku hanya sempat mendengar suara decapan becek. Entah dari mana suara itu? Apakah itu suara Widya? Atau suara dari tempat lain? Aku juga sempat mendengar seperti lenguhan, tapi aku tak bisa memastikan apakah itu suara Widya apa bukan.

Cukup lama aku ditinggalkan di dalam mobil itu, hingga Kunto kembali ke mobil untuk menjemputku.

“Ayo bangun!” Perintahnya.

Mataku masih berkunang-kunang dan perutku masih terasa cukup sakit. Mungkin karena jengkel aku bangun secara lambat, Kunto kembali memukulku. Pukulannya mendarat di punggungku dan membuatku tersungkur di atas tanah.

“Uhuuk, urrggh!” Lenguhku.

“Dasar laki-laki payah!” Kata Kunto.

Ia menendangku tepat di perutku yang masih sakit.

“Hentikan, hentikan.” rintihku meskipun suaraku tidak terdengar jelas karena mulutku disumpal oleh kain.

Kunto nampak menikmati kesakitan yang aku alami. Entahlah, mungkin ia punya kelainan seperti itu.

Plukkk! Ia menjatuhkan sebuah benda tepat di hadapanku. Benda itu adalah kain yang tadi ada di dalam mobil. Kain itu memang Kunto ambil dan sempat ia cium-cium aromanya.

Di dalam mobil tadi, aku tidak bisa melihat dengan jelas kain apa itu. Tapi sekarang, dengan diterangi lampu rumah tua, aku bisa melihat benda itu dengan cukup jelas.

“Kamu tahu ini apa?” Tanya Kunto.

Ternyata kecurigaanku benar adanya. Kain itu adalah celana dalam wanita. Celana dalam istriku Widya. Celana dalam itu basah dan becek. Penuh dengan cairan yang lengket.

Aku shock melihat celana dalam itu. Jadi, semenjak di dalam mobil tadi, para preman itu sudah melepas celana dalam istriku?

“Wangi ini kancut istrimu!” Kata Kunto sambil mengibarkan celana dalam itu dengan kedua tangannya.

Aku bisa melihat, bercak cairan itu tepat ada di bagian tengah celana dalam. Tepat di bagian kemaluan istriku jika ia memakainya.

“Kamu mau tau apa yang terjadi dengan istrimu di dalem mobil tadi?” Kata Kunto.

Jujur saja, aku tak tahu harus menjawab apa. Tubuhku tegang bukan main. Aku merasa eneg, membayangkan Widya dipermainkan oleh para preman-preman itu.

“Aku akan cerita, tapi kamu tidak boleh marah atau berontak. Kalau sampai kamu marah atau berontak, maka kamu akan kami bunuh. Istrimu juga akan kami bunuh juga. Tapi ya mungkin kita bisa senang-senang dulu sebelum dia mati.” Kata Kunto dengan enteng. Seolah nyawaku dan istriku itu bukan apa-apa buatnya. “Gimana, kamu mau mendengar ceritaku?”

Aku hanya bisa menjawab dengan diam. Aku benar-benar binggung, tak bisa bereaksi dalam keadaan seperti ini. Harusnya aku marah, dan memberontak. Tapi nyaliku ciut di hadapan para preman ini.

Bukkkk!!

Kunto kembali menendang tubuhku. Kali ini tendangannya mendarat tepat di buah zakarku. Aku melenguh kesakitan, rasanya buah zakarku seperti mau pecah.

“Kalau ditanya itu jawab, minimal pakai anggukan kepala.” Kata Kunto.

Aku hampir seketika menganggukan kepala. Rasa sakit di sekujur tubuhku, terutama di buah zakarku, membuat kepalaku tidak bisa berfikir dengan jernih.

“Nah gitu donk,” Kata Kunto. “Nih ciumin cangcut istrimu nih.” Kata Kunto. “Padahal baru di grepe-grepe bentar aja, dia udah basah kayak gini? Istrimu itu benar-benar gampang banget terangsang. Udah cantik, hijaber, gampang dirangsang lagi. Kombinasinya pas bener.” Kata Kunto.

Jantungku seketika mau berhenti mendengar hal itu. ‘Di grepe-grepe? Jadi selama di mobil istriku digrepe-grepe sama mereka?’ Kataku dalam hati. (tanda petik satu ‘ mulai sekarang artinya kata-kata dalam hati - tidak diucapkan secara kencang).

“Pasti kamu jarang belai-belai istrimu ya? Makanya dia kayak cewek jablay. Digrepe dikit aja udah basah banget cangcut-nya. Bener ya? Kamu jarang ngasih jatah ke istri?”

Aku masih shock mendengar itu, ‘selama di jalan Widya di grepe-grepe sama preman?’

Bukkkkk!!

Kunto menendang perutku lagi. “Kalau ditanya itu jawab!” Teriak Kunto.

Aku melenguh kesakitan menerima tendangan Kunto. Perutku benar-benar sakit bukan main. Aku jawab pertanyaan Kunto tadi dengan anggukan kepala. Memang benar jika aku dan Widya cukup jarang berhubungan badan. Paling hanya seminggu sekali, itupun ketika aku tidak capek setelah pulang kerja.

Awal-awal menikah, kami cukup rutin berhubungan, mungkin 2 kali dalam seminggu. Tapi sekarang, pekerjaanku di kantor cukup banyak menyita waktu dan tenagaku.

“Sudah aku duga!” Kata Kunto. “Suami model kayak kamu pasti lebih seneng kerja di kantor daripada nyenengin istri.” Tambahnya.

Aku tahu, pernyataan Kunto itu ada benarnya. Semenjak aku setahun ini aku sangat sibuk dengan perkerjaan. Ditambah lagi, aku kecewa karena sampai sekarang belum dikaruniai anak. Hal itu membuat aku semakin minder untuk meminta Widya berhubungan badan.

“Kamu tau, istrimu tadi banjir banget, padahal Bos Parjo awalnya cuma belai-belai mekinya dari luar.” Kata Kunto sambil jongkok tepat di depan wajahku.

“Istrimu sampai nunduk nahan nikmat dibelai kayak gitu. Kasihan bener dia, jarang banget dibelai suaminya. Makanya dibelai-belai preman kayak kami dikit aja udah sange benget.” tambahnya.

Aku benar-benar tak percaya mendengar itu. Apakah Widya semudah itu takluk ke tangan preman-preman ini?

“Teteknya istrimu juga kenyal banget. Belum pernah aku rasain tetek sekenyal itu.” Kata Kunto.

“Padahal, aku cuma remes-remes dari kursi belakang. Bayangin gimana Bos Parjo atau Kusni yang remes-remes tetek istrimu dari depan? Pasti jauh lebih kenyal lagi. Istrimu cuma bisa merem melek, rasain teteknya diremes ama tangan-tangan kasar preman kayak kita-kita ini. Pasrah banget dia, sama sekali ndak nolak waktu teteknya kita remasin.” lanjutnya

Telingaku terasa panas mendengar kata-kata Kunto. Jantungku juga berdegup dengan kencang. Perutku terasa mual, membayangkan Widya istri tercintaku dilecehkan oleh preman-preman seperti mereka ini.

Widya wanita yang alim, sehari-hari memakai jilbab untuk menutupi aurat. Tapi hari ini ia digerayangi orang yang bukan muhrimnya. Bahkan ia mengalaminya tepat di hadapanku.

Rasanya aku ingin marah, aku ingin mengumpat. Tapi aku takut membuat Kunto murka dan kembali memukuliku. Atau bahkan lebih parah lagi, ia bakal membunuhku dan istriku.

Aku merasa tak berdaya, hanya bisa mendengarkan cerita Kunto sambil terikat di atas tanah. Tubuhku tegang mendegar ceritanya. Awalnya aku mengira, aku tegang karena marah. Tapi aku sadar, kemaluanku juga menjadi tegang. Bahkan batang kemaluanku seperti memberontak ingin keluar dari celana.

“Karena basah, cangcut istrimu dicopot sama Bos Parjo!” kata Kunto lagi.

“Istrimu sama sekali ndak melawan waktu cangcut-nya dilepas. Bahkan ia angkat pantatnya waktu kita narik cangcut-nya di dalem mobil.” lanjut Kunto.

Aku tambah tegang mendengar kata-kata Kunto. Jadi selama lebih dari setengah jam di mobil tadi, istriku tidak pakai celana dalam sama sekali? Dan para preman itu bisa menjamah area pribadinya secara bebas tanpa penghalang?

“Bos Parjo bilang, memek istrimu tembem, dan bersih banget tanpa jembut sama sekali. Pas sesuai selera Bos Parjo.” Kata Kunto.

Memang benar, Widya selalu mencukur bulu-bulu kemaluan dan bahkan bulu ketiaknya. Kebiasaan itu ia lakukan bahkan sebelum menikah denganku. Ia selalu ingin bersih, karena ia anggap kebersihan itu sebagian dari kepercayaannya. Tapi aku sama sekali tak menyangka, memek bersih istriku itu kini dijamah oleh tangan-tangan kasar para preman ini.

“Pasti istrimu suka dikobel-kobel sama Bos Parjo dan Kusni. Jari-jari mereka itu besar-besar kayak sosis. Kulitnya juga kasar banget penuh kapal.” Kata Kunto sambil ketawa.

“Pantes aja, istrimu terus aja belingsatan bukan main selama di mobil. Aku juga ikut rangsangin istrimu itu, aku remas-remas teteknya yang bulet banget. Kenyal banget tetek istrimu. Kayak adonan kue, kamu pasti jarang ya remesin tetek istrimu. Apalagi ngobel-ngobel memeknya?”

Sekali lagi, aku jawab pertanyaan Kunto itu dengan anggukan kepala. Kali ini anggukan kepalaku lemah sekali. Moralku jatuh, mendengar istriku kini sudah dilecehkan habis-habisan oleh para preman ini.

Memang benar, aku jarang sekali meremasi payudara istriku. Ketika bercinta dengan Widya, aku biasa melakukannya dengan cara yang sangat konservatif. Aku memang sering membelai-belai payudaranya yang membuat indah itu. Tapi jarang sampai meremas-remasnya. Aku takut itu akan menyakiti istriku.

Aku juga jarang mengobel-ngobel kemaluan Widya. Paling hanya membelai lembut di sekitar bibir vaginanya. Sekedar membuat bibir vagina itu cukup basah sebelum melakukan penetrasi. Aku tidak pernah memasukan jariku terlalu dalam.

“Wah, kenapa ini, kamu konak denger cerita istrimu kita emeg-emeg?” Kata Kunto.

Ia rupanya sadar, kemaluanku berdiri tegak dibalik celanaku. Aku merasa malu sekali, harusnya aku menyelamatkan istriku dari belenggu para preman ini. Tapi yang ada sekarang malah aku merasa terangsang.

“Hahaha, dasar suami pecundang. Sini, lepas aja celanamu!” Teriak Kunto.

Ia dengan kasar melucuti celana yang aku pakai. Tanganku dan mata kakiku yang terikat membuatku tak bisa menghalaunya. Dengan cepat, kemaluanku sudah menyembul keluar dari celana yang aku pakai. Benar saja, memang kemaluanku sudah berdiri dengan maksimal.

“Apa ini? Titit anak-anak? Haha kecil banget kontol kamu! Pantes aja istrimu diem aja kita lecehin. Pasti dia ndak pernah puas main sama kamu!” Hardik Kunto.

Entah apa salahku, mengapa aku harus menerima penghinaan ini. Aku tidak pernah menyakiti orang lain, aku juga tidak pernah punya niatan buruk terhadap orang lain. Mengapa hari ini tiba-tiba nasibku begitu buruk?

Kunto terus melucuti celanaku. Ia sempat melepas ikatan di kakiku agar celanaku bisa lepas seluruhnya.

Sreet, sreet,

Kunto mengesek-gesekan sepatu sandal dekilnya ke kemaluanku.

“Udah ngaceng maksimal toh ini? Hahaha, kecil banget ini mah. Mana puas istrimu dientot ini.” Kata Kunto.

Aku seharusnya marah, tapi entah mengapa tubuhku menjadi kelu.

Kunto panggil salah satu temannya yang bernama Somad. Ia tunjukan kemaluanku yang ereksi itu kepada Somad. Mereka berduapun tertawa terbahak-bahak mengejek ukuran kemaluan. Bahkan tak segan mereka memotret kemaluanku itu dengan kamera handphone.

“Kontol Bos Parjo jauh lebih gedhe dari ini. Istrimu bakal lebih puas sama dia dari pada titit kecil ini.” Ungkap Somad.

“Jangankan pakai kontol, tadi istrimu aja 2x ngecrot dikobel-kobel pakai jari Bos Parjo. Pasti kamu ndak pernah kan bikin istrimu orgasme pas ngentot? Kontol mini gini, mana bisa bikin cewek-cewek orgasme. Paling juga istrimu pura-pura puas.” Tambah Kunto.

Shock sekali rasanya mendengar kata-kata Kunto. ‘Dua kali orgasme?’ selama ini bahkan tak sekalipun istriku bisa mencapai puncak ketika kita berhubungan badan.

‘Widya, ada apa denganmu? Apa yang terjadi denganmu.’ Kataku dalam hati.

“Mau liat lagi apa istrimu sekarang? Dia kayaknya suka banget sama punya Bos Parjo.” Bisik Somad ke dekat telingaku.

Mataku langsung terbelalak mendengar kata-kata Somad. ‘Suka banget sama punya Bos Parjo?’ Apa maksudnya? Lagi apa Widya sekarang? Aku tidak mau memikirkan kemungkinan terburuk dari apa yang dilakukan istriku sekarang.

Tapi mau tidak mau aku terus terpikir akan hal itu. Pikiranku itu justru membuat tubuhku semakin tegang. Dan kemaluanku semakin keras berdiri.

“Liat tuh, titit mungil itu tambah ngaceng.” Kata Somad.

“Tapi percuma, mau sengaceng apapun, titit-nya tetep aja mungil.” Tambah Somad sambil tertawa terbahak-bahak.

“Ayo, ikut kita.” Kata Kunto.

Kunto dan Somad menyeret tubuhku. Badanku masih sakit semua karena dihajar Kunto tadi. Aku nyaris tidak mampu berdiri. Tapi meskipun badanku babak belur, kemaluanku masih tetap berdiri dengan tegaknya. Bahkan aku nyaris lupa, apakah aku pernah ereksi sehebat ini dalam hidupku.

Vila itu benar-benar sudah tua dan tidak terawat. Mungkin sudah puluhan tahun tidak ditinggali.

Tepat di depan pintu masuk vila, aku bisa melihat seonggok kain berwarna krem. Kain itu nampak sangat mencolok dibandingkan benda-benda berdebu lain di teras vila.

‘I itu, tidak mungkin, kain itu?’

Kain itu tidak lain adalah kebaya gamis yang dikenakan oleh Widya tadi. Jika kain itu teronggok begitu saja di sini? Lalu Widya sekarang pakai apa? Ditambah lagi ia juga sudah tidak menggenakan celana dalam.

Pikiranku berkecamuk bukan main. Walaupun sebenarnya, aku sudah paham kemungkinan terburuk yang bisa terjadi kepada istriku saat ini. Hanya saja, kepalaku masih berusaha untuk berfikir naif. Aku masih mencoba berfikir positif jika hal terburuk itu tidak akan dan tidak pernah terjadi kepada istriku.

“Lihat itu, baju istrimu tergeletak di situ. Jadi kamu paham kan sekarang istrimu gimana?” Kata Somad.

“Tadi Bos Somad ciumin istrimu di sini, bayangin, istri hijaber diciumi preman yang bukan suaminya di tempat terbuka gini. Ndak pakai baju lagi. Hahaha!” Tambah Kunto.

Mual sekali aku mendengar kata-kata mereka. Istriku yang alim itu, kini sudah dijamah oleh preman-preman ini? Istriku yang selama ini selalu menjaga diri dan auratnya. Kini dilecehkan dan dikotori oleh tangan-tangan yang tidak berhak atas tubuhnya.

Cruutt!

Entah kenapa, cairan pre-cum keluar dari lubang kemaluanku. Aku tidak mengalami orgasme, tapi mengalami pre-cum yang sangat dahsyat. Bahkan mungkin sedikit spermaku ikut keluar dari kemaluanku.

“Hahaha, liat tuh, ngecrit dia!” Ejek Kunto.

“Cowok letoy banget, danger cerita kalau istrinya di grepe-grepe orang malah ngecrit!” Tambah Somad.

Aku malu sekali, hingga tak mampu menegakkan kepala. Harga diriku runtuh, baik sebagai seorang laki-laki maupun sebagai seorang suami.

Kunto dan Somad mengajaku masuk ke ruang tamu villa. Di sana ada Tono, si cungkring dengan gigi tongos. Ia nampak sedang merokok dan di meja depannya terdapat beberapa botol bir.

“Wah ngapain tuh, dah nggak pake celana!” Ejek Tono kepadaku.

“Suami lembek ini Ton. Denger istrinya di grepe-grepe, malah ngaceng dia. Haha, biar dia liat lagi apa istrinya sama si bos.” Kata Kunto.

Di meja yang terdapat bir itu, nampak juga sebuah bra. Sekali lagi aku masih mencoba berfikir naif, jika bra itu bukan milik Widya istriku. Tapi siapa lagi? Semua orang di ruangan ini laki-laki.

“Ayo masuk!” Kata Somad.

Mereka membawaku ke sebuah kamar tidak jauh dari ruang tamu di depan.

Begitu masuk kamar, lututku langsung terasa lemas. Aku jatuh tersimpuh di atas lantai melihat apa yang terjadi di kamar itu. Aku sudah berusaha terus berfikir naif dan positif. Tapi melihat apa yang ada di kamar itu, seluruh harapanku pupus sudah.

Cruuttt!

Cairan pre-cum keluar lagi dari kemaluanku. Aku benar-benar lemah, aku tak mampu menahan rasa tegang di dalam tubuhku. Aku benar-benar lelaki hina. Bagaimana bisa aku justru terangsang melihat pemandangan yang ada di depanku saat ini. Pemandangan yang tidak seharusnya seorang suami lihat.

Kunto dan Somad membawaku dari halaman depan vila ke ruangan ini untuk melihat langsung keadaaan istriku Widya. Dan apa yang ada di hadapanku benar-benar membuat duniaku runtuh.

Aku melihat, orang yang bernama Bos Parjo ini sedang menggumuli wanita. Tubuhnya yang gempal itu membuatku sedikit tak bisa melihat dengan jelas wanita yang ia gumuli itu. Wanita itu telanjang bulat, kecuali hijab yang masih melekat di kepalanya.

Wanita itu, tidak lain dan tidak bukan adalah istriku sendiri, Widya!

Tubuh telanjang Widya tersental-sental mengikuti irama sodokan Parjo. Dari sini, aku bisa melihat vagina Widya membuka dengan lebarnya dimasuki penis Parjo yang ukurannya begitu besar. Jauh lebih besar dari batang kemaluanku. Widya meringis dan matanya tertutup. Aku tak tahu apakah ia kesakitan, atau justru merasakan hal yang lain.

Bos Parjo sadar aku berada di ruangan itu. Ia membisikan sesuatu kepada Widya. Bisikan itu membuat Widya membuka matanya yang sayu.

Widya menatapku dengan tatapan nanar. Tak ada satupun kata keluar dari bibirnya. Tangannya mencoba menggapaiku. Tapi bos Parjo cepat-cepat menggenggam tangan istriku dan bahkan menciumi bibirnya yang ranum.

Aku shock dan tak bisa bergerak. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang ini. Tubuh istriku yang berkulit halus dan cerah, ditindih oleh seorang preman bertubuh tambun dan berkulit gelap.

Parjo menciumi Widya secara ganas. Lidah Parjo masuk ke dalam mulut istriku hingga membuat ludah mereka meluber keluar. Mata Widya awalnya masih melihatku. Entah apa arti tatapan matanya. Tapi tak lama kemudian, ia kembali merem melek, menanggapi sodokan-sodokan Parjo.

“Wah, suami macem apa itu, liat istrinya ngentot sama orang lain malah ngaceng!” Kata Kusni. Orang yang sepertinya kaki tangan Parjo.

“Iya, dia udah dua kali nge crit juga. Dasar, suami lemah!” Kata Kunto.

“Orang kayak dia, mana bisa puasin istrinya. Paling juga semenit ngentot dah ngecrot!” Tambah Somad.

Mereka semua tertawa terbahak-bahak melihatku.

Kusni mendekatiku dan kemudian membisik ke telingaku, “Kalau kamu mau sampai macem-macem, kita tidak segan-segan bakal siksa dan bunuh kamu. Istrimu juga bakal kita bunuh, tapi kita nikmati dulu badan semoknya itu ramai-ramai. Lalu kita bisa jual tubuh istrimu itu ke pelacuran rendahan, biar dia di entot sama sopir-sopir, tukang, ama buruh pasar.”

Bisikan Kusni itu membuat nyaliku ciut. Sembari membisikiku, ia juga menekan sebuah pisau di batang kemaluanku. Bahkan memasukan ujung pisau itu ke mulut kepala penis miliku. Untung bagiku, pisau itu tidak sampai melukai penisku.

‘Mengapa? Mengapa semua ini terjadi kepadaku!’ jeritku di dalam hati. ‘Mengapa aku menjadi suami yang lemah. Sudah seharusnya aku marah dan menyelamatkan istriku dari cengkraman para preman ini. Tapi yang terjadi malah bergerak saja aku tak berani.’

Kunto dan Somad kemudian mengikatku pada sebuah kursi kayu di ujung ruangan. Tangan dan kakiku diikat erat pada kursi. Kursi itu tepat menghadap pada kasur, tempat Parjo dan Istriku bergumul dengan liarnya. Sebelum diikat, aku ditelanjangi hingga bugil seutuhnya.

“Gila, ngaceng terus itu kontol suaminya.” Kata Kusni.

“Iya, kayaknya dia emang seneng istrinya dientot orang lain.” Tambah Kunto.

“Mungkin dia sadar, kontol kecilnya itu ndak bakal bisa muasin istrinya. Makanya dia seneng banget pas kontol gedhe bos Parjo bisa muasin istrinya.” Tambah Somad.

“Haha, bener-bener suami pecundang!” Ejek Kusni.

Widya sempat melihatku sejenak, terutama kemaluanku yang memang terus saja berdiri tegak. Jujur saja, sudah lama aku tidak ereksi sekeras ini. Ketika aku bercinta dengan Widyapun biasanya kontolku cukup lembek. ‘Ah, kenapa aku jadi bilang kontol?’

“Liat nih, jariku aja lebih panjang dari titt ini orang!” Kata Somad sambil membandingkan jari telunjuknya dengan kemaluanku.

Seisi ruangan itu lalu tertawa terbahak-bahak. Tidak terkecuali Bos Parjo yang sedang menghujam-hujamkan penisnya di vagina istriku.

Widya, istriku sama sekali tidak meronta atau menolak diperkosa oleh bos Parjo. Bahkan ia biarkan saja ketika Kusni sesekali ikut meremas-remas buah dadanya yang nampak ranum itu. Padahal, ketika aku bercinta dengannya, biasanya Widya akan merasa risih ketika payudaranya aku remasi. Aku sama sekali tak tahu, apakah ia diam karena ketakutan atau karena hal lain?

“Dek Widya, kamu ini seksi banget, dek Widya ini salah satu cewek paling cantik yang pernah aku entot.” Puji Bos Parjo kepada istriku.

Wajah Widya seketika berubah merah padam. Ia seperti tersanjung mendengar pujian itu. Pujian yang selama ini hampir tidak pernah keluar dari mulutku. Sebagai suami, aku akui memang kurang memanjakan Widya istriku. Apakah hal ini membuat Widya menjadi wanita yang kurang kasih sayang?

“Hmmmphhh, emmmphh, emmpphh!!” Rintih Widya.

Tubuh Widya menegang hingga punggungnya sedikit tertekuk ke atas. Setelah itu, istriku mengenjan-ngejan seperti tersetrum listrik.

Widya mengalami orgasme, orgasme karena sodokan kontol di memeknya. ‘Entah kenapa aku mulai mengatakan alat kelamin itu dengan sebutan kotor.’ Orgasme itu tentu saja orgasme pertama yang Widya peroleh karena persetebuhan secara langsung. Orgasme yang selama ini tidak pernah sekalipun ia dapat ketika bersetubuh denganku.

Aku lihat, cairan bening memuncrat dari lubang vagina istriku. Cairan squirt itu memuncrat cukup banyak hingga membasahi kasur yang mereka gunakan untuk bersengama.

Di saat itu, aku merasa kalah. Istriku mendapatkan kenikmatan puncak dari orang lain. Bukan dari diriku sendiri sebagai suami. ‘Apa Widya sebenarnya menikmati persetubuhan ini?’lagipula, preman-preman itu nampak tidak berbuat kasar kepada istriku. Ya, mereka memang memperkosanya, tapi mereka tidak menyakiti istriku. Mereka memperlakukannya dengan cukup lembut sampai saat ini. Apakah itu membuat Widya merasa nyaman dengan mereka? Hingga ia tidak memberontak sedikitpun.

“Wah, banyak nih keluarnya. Sampai basah kontolku!” Kata Parjo.

“Hehe, manteb bos, nanti kita pas giliranku pasti non Widya ini juga bakal croot sampe kek gitu?” Kata Somad

‘Apa giliran? Mereka mau secara giliran memperkosa Widya?’ di sini ada 5 orang preman, apa mereka mau satu per satu menikmati tubuh istriku ini?

“Santai Mad, pelan-pelan, biar dik Widya ini ndak kecapekan. Ya dek ya?” Kata Parjo sambil mengecup kening istriku.

Widya hanya diam saja sambil memejamkan mata. Ia seperti masih menikmati sisa-sisa nikmat orgasme yang baru saja meledak di tubuhnya. Nampak sesekali selangkangannya masih berkedut-kedut. Tanda jika orgasmenya belum sepenuhnya usai.

“Enak kan Dek Widya kontolku. Aku yakin kamu tidak pernah ngerasain enaknya dientot kontol gedhe kayak gini. Apalagi kontol suamimu mungil banget. Kontolku bisa masuk sampai mentok ke rahim kamu dek. Kamu pasti ngerasa enak banget.” Kata Parjo seenaknya.

Ya, jangankan mentok sampai ke mulut rahim istriku. Ketika dalam posisi doggi saja, kontolku sulit sekali masuk ke memek istriku.

“Dek Widya, Mang Parjo genjot lagi ya.” Kata si Parjo itu dengan nada suara brengsek.

Widya sekali lagi tidak menjawab, tapi ia juga tidak menolak ketika Parjo kembali memompa kontol besarnya itu ke dalam memek istriku. ‘Ah kenapa aku sebut lagi kontol dan memek?’

Tangan Widya mencengkram lengan Parjo, seolah menahan sesuatu ketika Parjo mulai mendorong masuk kontolnya hingga mentok. Aku bisa melihat dengan jelas, cincin dengan batu permata mungil di jari manisnya. Cincin pernikahan kami. ‘Widya, kenapa kamu mau disetubuhi preman itu?’

Parjo terus memompa kontolnya di memek Widya. Hingga 20 menit kemudian ia akhirnya mencapai puncaknya. Parjo tanamkan kontol itu sedalam mungkin di memek istriku. Saking dalamnya, istriku mengalami orgasme ke-2, nayris bersamaan dengan Parjo.

“Oh, enak banget Dek Widya, memek kamu enak banget!” Lenguh Parjo.

Aku lihat, kontol raksasa itu berkedut-kedut di dalam lubang vagina istriku. Memek istriku juga nampak berkedut bahkan mengeluarkan kembali cairan squirt.

‘Berarti Widya sudah orgasme 4 kali di malam ini?’

Semenjak di mobil waktu kita dipaksa para preman tadi, Widya sudah digerayang-gerayang. Ia sudah orgasme setidaknya 2 kali. Dan sekarang, orgasme 2 kali lagi ketika digagahi oleh Parjo.

Parjo mendiamkan sejenak kontolnya di dalam vagina istriku selama beberapa saat. Bahkan ia sempat memasukan lagi kontolnya sedalam mungkin entah untuk apa. Setelah dicabut, nampak lelehan sperma berwarna putih meluber keluar dari lubang kemaluan Widya. Aku belum pernah melihat lubang kemaluan Widya menggangga selebar itu sebelumnya.

“Bersihin ya dik.” Perintah Parjo.

Parjo menyodorkan kontolnya yang penuh dengan busa-busa putih itu ke mulut Widya. Selama ini, Widya tidak pernah mau melakukan oral seks kepadaku. Aku tidak pernah menanyakan alasannya, aku hanya berfikir jika ia berasal dari keluarga yang alim dan bentuk seks seperti itu mungkin ia anggap tidak wajar.

Tapi diluar dugaanku, menuruti permintaan Parjo dan membuka mulutnya. Ia biarkan kontol besar Parjo yang kotor dan baru saja mengobok-obok vaginanya itu masuk ke dalam mulutnya.

‘Sruuut!’

Aku merasa ada cairan kental kembali keluar dari batang kemaluanku. Aku sanga terangsang melihat istriku sendiri dengan mengoral kontol orang lain. Sementara itu dari vaginanya, cairan putih kental terus saja mengalir keluar.

Setelah kontolnya bersih, Parjo mencium kening istriku dan berkata “Terimakasih ya dik Widya. Kamu benar-benar hebat, bisa bikin Mang Parjo puas.” Katanya dengan suara lembut. Jauh dari kesan preman yang beringas.

Widya tak berkata apa-apa, hanya saja wajahnya nampak sedikit memerah karena sanjungan itu. Parjopun keluar dari ruangan, tapi sebelum itu ia sempat membisik kepadaku. “Tenang, tadi istrimu bilang ini bukan masa suburnya, jadi dia tidak bakal bisa hamil karena ini.” Katanya.

‘Apa fakta itu membuatku lebih nyaman? Tentu tidak sama sekali.’

Aku sempat melihat ke arah kontol Parjo. Meskipun sekarang dalam keadaan lemas, kontol Parjo nampak begitu besar. Bahkan jauh lebih besar dari ukuran kemaluanku ketika ereksi maksimal.

Setelah Parjo keluar, kali ini Kusni bersiap-siap. Ia sudah telanjang. Dan tubuhnya yang berisi itu nampak penuh dengan tato.

Kontol Kusni nampak hampir sama besar dan panjangnya dengan milik Parjo. Besarnya seperti lengan tangan anak kecil. Kontol Kusni nampak beruarat-urat dan kokoh. Kepala kontolnya juga berwarna ungu pekat.

“Non Widya, non nungging ya.” Kata Kusni.

Kontol Kusni yang sudah berdiri dengan tegak itu perlahan-lahan masuk ke memek Widya. Sekali lagi, bibir kemaluan istriku harus membuka lebar-lebar untuk menerima kontol raksasa itu. Aku bisa melihat tangan Widya meremas kasur dan ada sedikit lenguhan keluar dari bibirnya.

‘Ini posisi sex yang istriku idam-idamkan dari dulu.’

Widya pernah bilang, ia ingin aku menyetubuhinya dari belakang. Apalagi jika kita bisa lakukan itu di kamar mandi sambil diguyur air shower. Entah dari mana Widya punya impian seperti itu. Permintaan itu barangkali adalah permintaan posisi sex satu-satunya yang pernah Widya minta padaku selama kami menikah. Hanya saja, aku tidak bisa. Penisku terlalu pendek untuk dapat menghujam masuk lebih dalam ke vagina Widya. Apalagi, pinggul dan pantat Widya memang sedikit semok, membuat penisku semakin sulit untuk masuk dari belakang.

Kontol Kusni yang hitam dan berurat itu sedikit demi sedikit masuk ke dalam vagina Widya. Semabari itu, Kusni meremas dan membelai-belai pantat istriku yang membulat indah.

“Pelan aja dulu ya non. Non pasti ndak pernah kan ngentot dari belakang kayak gini?” Ujar Kusni. “Kontol suami non pendek gitu, mana mungkin bisa masuk dari belakang.” Tambah Kusni dengan nada mengejek.

Rasanya, aku sudah kenyang dihina-hina malam ini. Lagipula, aku memang pantas untuk menerima hinaan itu. Aku seorang pecundang, seharusnya aku menyelamatkan istriku yang sedang diperkosa preman-preman tepat di depan mataku sendiri. Tapi aku malah tak berdaya. Terikat di sebuah kursi dan hanya bisa melihat satu per satu preman menikmati tubuh istriku sendiri.

Payudara Widya menggoyang-goyang indah ketika Kusni mulai menyodoki vagina istriku. Kusni menghujam-hujamkan kontolnya dengan tempo yang pasti. Tidak terlalu kencang, tapi tidak juga terlalu lambat.

Payudara Widya itu tak luput dari remasan-remasan tangan Kusni. Diremasnya payudara istriku hingga kepalanya tertengadah menahan sensasinya. Aku tak paham, apakah Widya sebenarnya kesakitan, atau justru ia menikmati remasan-remasan itu. Satu yang jelas, dari lubang kemaluan istriku mengalir deras cairan bening yang bercampur dengan sperma Parjo.

Kusni terus memperkosa istriku itu hingga ia akhirnya mencapai orgasme dalam posisi doggy seperti itu. Tubuh Widyapun juga kembali menegang, tanda jika ia mencapai orgasme juga yang hampir bersamaan dengan Kusni. Kusni menancapkan kontolnya sedalam mungkin ke vagina istriku, bahkan hingga kepala istriku tenggelam di atas kasur lusuh itu.

“Oh enak banget tempikmu non.” Kata Kusni.

Kusni baru melepas kontolnya setelah Widya ambruk di atas kasur lusuh. Tubuhnya nampak lemah dengan peluh keluar dari sekujur tubuhnya.

“Manteb banget istrimu.” Kata Kusni di dekat telingaku. “Memeknya masih sempit banget. Tapi mungkin abis malem ini, memek istrimu bakal lower dihajar kontol-kontol kita. Dan kontol kamu ndak bakal terasa apa-apa lagi pas masuk ke memek istrimu itu.” Tambahnya.

Aku tertunduk lesu, aku tahu jika saja aku dan Widya selamat melewati malam ini, kehidupan kami tidak akan lagi sama. ‘Apakah Widya masih akan anggap aku suaminya? Atau ia hanya akan melihatku sebagai seorang laki-laki pecundang yang diam saja ketika melihat istrinya diperkosa habis-habisan? Apakah rumah tangga kami masih bisa berjalan sekarang ini?’

Setelah Kusni keluar dari kamar itu, masuklah kembali Kunto, Somad, dan Tono. Tubuh mereka nampak lebih kurus dibandingkan dengan Kusno maupun Parjo. Tapi batang-batang kontol mereka ternyata tidak kalah besar dan panjang.

Mereka rupanya benar-benar ingin menikmati tubuh istriku satu per satu malam ini. Giliran selanjutnya adalah Tono. Orang yang giginya tongos. Ia menyetubuhi istriku dalam posisi telentang seperti Parjo tadi. Yang beda, Tono menyetubuhi Widya dengan tempo yang sangat kencang. Bahkan payudaranya sampai bergoyang-goyang tak terkendali.

Kunto tak mau tinggal diam, ia pegangi payudara Widya. Iapun jilat dan sedoti payudara itu seperti anak bayi yang butuh susu dari ibunya. Kunto bahkan sempat memberikan beberapa cupang di payudara Widya.

Aku lihat, Widya hanya bisa pasrah menerima rangsangan demi rangsangan yang diberikan para preman itu ke tubuhnya. Mulutnya sedikit terbuka dan matanya terus terpejam.

Tono, Kunto, dan Somad secara bergantian menikmati tubuh istriku. Masing-masing dari mereka menumpahkan sperma-nya ke dalam vagina istriku kecuali Kunto. Ia cabut kontolnya sebelum keluar dan menumpakan spermanya di wajah dan hijab Widya.

Wajah dan Hijab Widya kini kotor dengan sperma. Tapi ia seperti tak peduli untuk membersihkan sperma itu. Tubuhnya nampak sudah sangat lelah. Setidaknya ia mencapai orgasme tiga kali lagi selama diperkosa tiga orang itu.

Tubuh Widya sekarang terkulai lemah di atas kasur lusuh itu. Keringat mengucur dengan deras di seluruh kulitnya yang halus. Kakinya nampak mengangkang lebar. Memperlihatkan kemaluannya yang terbuka menganga. Dari lubang itu, mengalir cairan-cairan putih kental yang merupakan peju dari para preman itu.

‘Widya, istriku!’ Jeritku di dalam hati.

Istriku yang dulu adalah wanita alim dan baik-baik, kini sudah dikotori oleh 5 orang preman yang sama sekali tidak kami kenal. Aku merasa sedih dan hancur karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong istriku sendiri. Tapi lebih dari itu, aku merasa sedih dan hancur karena aku ternyata merasa terangsang, melihat istriku sendiri disetubuhi oleh pria-pria lainnya. Terbukti, penisku sekarang tegang bukan main. Bahkan tak sedikit cairan-cairan pre-ejakulasi keluar dan membasahi kursi kayu tempat aku terikat.

Di saat itu, tiba-tiba Kunto dan Somad melepas seluruh ikatan tubuhku di kursi. Mereka lalu mendorongku ke kasur, tempat istriku tergeletak tak berdaya.

“Ayo, sekarang, kamu entot istrimu!” Kata Somad.

“Kamu kan udah ngaceng dari tadi, udah sekarang giliranmu entot istrimu.” Tambah Kunto.

Lima orang preman sekarang ada di dalam ruangan itu. Beberapa memegang kamera handphone, seperti siap untuk merekam kami.

‘Entot istriku?’ Tanyaku di dalam hati.

Aku lihat tubuh istriku kotor sekali. Bahkan tak sedikit bekas sperma preman itu yang berceceran di sekitar hijab dan kemaluannya. Aku hendak membersihkan sperma itu, tapi Kunto melarangnya.

“Kenapa? Ndak mau entot istri kamu? Kita aja mau.” Ejek Kunto.

“Kalau kamu ndak mau entot istrimu sendiri, kita aja yang entot selamanya? Gimana?” Tambah Somad.

Aku lihat, istriku nampak pasrah dan tidak peduli dengan kata-kata Somad. Aku berharap ia berkata, ‘jangan, ayo mas entot aku, jangan biarkan mereka menjamah tubuhku lagi.’ tapi kata-kata itu sama sekali tidak muncul dari mulut istriku. Ia hanya diam, bahkan sedikit membuang muka dariku.

“Ayo, cepet, entot!” Kata Bos Parjo. Ia juga sudah memegang handphone, siap mereka persetubuhan kami.

Aku bingung dan tak punya pilihan.

Dengan gagap, aku masukan penisku ke vagina istriku. Ada rasa jijik ketika aku memasukan penisku ke lubang itu. Lubang itu baru saja dipakai lima orang preman dan hampir semuanya menumpahkan peju di sana. Bau peju mereka benar-benar menyengat dan cairan-cairan itu nampak meluber-luber keluar.

Penisku yang kecil itu dengan mudah masuk ke dalam vagina istriku. Rasanya lubang ini sedikit lebih lebar dari biasanya. Aku hampir tidak merasakan jepitan sama sekali.

“Ayo genjot istrimu!” Perintah Bos Parjo.

Aku pasrah dan ikuti perintah para preman itu. Aku setubuhi istriku sendiri dihadapan 5 preman yang sebagian merekam adegan ini di handphone mereka.

“Nah gitu dong, semangat entot istrimu.” Kata Bos Parjo.

“Gitu, dari tadi kamu dah ngaceng kan liat istrimu sendiri kita entot. Sekarang gantian dirimu entot istrimu!” Tambah Kusni.

Mereka tertawa-tawa sambil melihat dan merekam adegan persetubuhanku dengan istriku. Widya sendiri tidak bergeming, ia masih membuang muka tidak mau menatapku. Tangannya tertengadah begitu saja, tanpa berusaha menggapaiku.

Seharusnya, aku merasa iba dengan keadaan istriku sekarang. Ia benar-benar telentang tak berdaya. Tapi entah kenapa aku justru begitu bernafsu. Aku sangat ingin menyetubuhinya, meskipun tubuhnya sekarang ini kotor setelah diperkosa 5 orang preman.

Aku sodok-sodokan penisku yang ukurannya tak berapa itu dibandingkan para preman. Aku merasakan, vagina istriku sangat licin dan longgar. Jauh lebih longgar dari biasanya. Tapi meskipun begitu, aku tetap saja merasa terangsang. Bahkan setelah 3 menit, aku sudah nyaris mencapai puncaknya.

“Ayo, kita liat, berapa lama dia bisa tahan ngentot istrinya?” Kata para preman itu.

Mereka merekam adegan ini dalam dengan berbagai kamera handphone milik mereka. Aku heran, meskipun mereka preman dengan penampilan dekil, tapi mereka mempunyai handphone terbaru yang cukup mahal harganya. Bahkan handphone miliku yang seorang asisten manager ini kalah canggih. Dengan handphone seperti itu, hampir bisa dipastikan rekaman video persetubuhanku dengan Widya akan terekam dengan kualitas baik. Apa yang akan terjadi jika rekaman itu sampai tersebar ke masyarakat umum? Atau apakah mereka akan menggunakan rekaman itu untuk memerasku di kemudian hari?

Crot.. Crot.. Crot!

Aku akhirnya mencapai puncaknya. Aku tanamkan penisku sekalam mungkin di vagina Widya seperti yang kebanyakan para preman itu lakukan.

“Haha, 3 menit 12 detik!” Kata Bos Parjo.

“Wahaha, payah, cepet banget ngecrotnya!” Kata Kusni.

“Gimana mau istrinya puas? Udah kecil, cepet lagi keluarnya!” Ucap Kunto.

Aku malu sekali mendengar ejekan-ejekan mereka. Aku merasa sangat gagal menjadi suami dan juga laki-laki.

Para preman itu memaksaku untuk mundur dari tubuh istriku. Mereka bahkan mendorongku keluar dari kamar itu. Dan menutup pintunya dengan sangat kencang.

Pintu itu ternyata kayunya sudah tidak utuh, aku masih bisa melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu dari baliknya. Kelima preman itu rupanya kembali menggilir istriku. Satu demi satu, preman-preman itu menyetubuhi Widya. Mereka melakukannya dengan berbagai macam gaya. Widya sendiri sama sekali tidak menolak atau memberontak. Ia hanya diam, mengikuti perintah demi perintah para preman.

Aku seharusnya menolong istriku, aku seharusnya menyelamatkan kehormatannya. Meskipun jika tindakan itu sampai menghilangkan nyawaku. Tapi nyatanya, aku hanya terpaku mengintip di balik pintu. Dan yang lebih memalukan lagi, aku merasa terangsang. Penisku sudah berdiri dengan kaku-nya.

Aku merasa jijik dengan diriku sendiri, ‘mengapa aku bisa terangsang melihat istriku digagahi oleh pria lain?’ Tapi aku tidak berhenti sampai di situ. Perlahan aku melakukan masturbasi, mengocok kemaluanku sendiri sambil melihat Widya disetubuhi oleh preman-preman itu.


==X=X==

Hari sudah menjelang pagi ketika Aku dan Istriku diantar oleh para preman itu ke lokasi tabrakan mobil kemarin. Aku dan Widya berada dalam keadaan telanjang di dalam mobil di bagian kursi belakang. Jilbab masih menghiasi wajah Widya. Namun jilbab itu penuh dengan noda sperma.

Semalam, kelima preman itu menyetubuhi Widya istriku, setidaknya satu orang dua kali. Aku tidak tahu, berapa kali Widya mencapai orgasme ketika diperkosa para preman itu. Tapi yang jelas lebih dari lima kali. Padahal, ia sama sekali tidak pernah mencapai puncak ketika berhubungan badan denganku.

Tubuh Widya aku lihat penuh dengan cupang. Cupang-cupang itu nampak paling jelas di bagian payudara istriku. Para preman itu solah menandai jika istriku sudah menjadi milik mereka. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami setelah ini. Mereka tidak mengancam apa-apa. Mereka juga tidak meminta uang kepada kami setelah menculik kami semalaman. Mereka hanya merekam adegan persetubuhan mereka dengan istriku. Mereka juga sempat merekam persetubuhanku dengan Widya.

“Video ini akan kami simpan buat konsumsi pribadi. Tapi kalau kamu sampai lapor polisi atas kejadian ini, video ini bisa disebar ke masyarakat umum.” Ancam Bos Parjo. Tapi anehnya ia hanya mengancamku, dan tidak sama sekali mengancam Widya.

Para preman itu menurunkan kami tepat di depan mobil kami yang bagian depannya penyok. Mereka membuang baju kami begitu saja di jalan. Bajuku lengkap, tapi pakaian dalam Widya sama sekali tak ada.

Dengan buru-buru, aku masuk ke mobil dan mengenakan kembali pakaianku. Tapi Widya nampak tidak terburu-buru. Ia ambil gaun panjang gamisnya dan ia gunakan itu di balik pintu mobil tanpa masuk. Mungkin tubuhnya sudah lunglai setelah disetubuhi para preman itu habis-habisan.

Untungnya, mobilku meskipun penyok di bagian depan, tapi mesinnya masih bisa menyala. Air bag yang ada di dasbor mobil sudah kempis. Jadi aku bisa mengemudikan mobilku.

Selama perjalanan, Widya tidak berkata apa-apa. Akupun juga diam seribu kata. Aku tak tahu harus berkata apa. Semalam, aku hanya diam saja melihat istriku diperkosa seperti itu. Mungkin Widya marah dan kecewa denganku. Seharusnya aku menolongnya, itulah tugasku sebagai suami yang harus menjaga kehormatan istrinya. Tapi yang terjadi malah, aku terangsang melihat istriku sendiri diperkosa. Bahkan aku sempat beronani sambil melihat Widya disetubuhi para preman itu.

Aku malu sebagai suami, tapi lebih malu lagi sebagai seorang laki-laki. Aku tak bisa menjaga kehormatan istriku. Malah lebih parah lagi, aku merasa terangsang melihat kehormatan istriku tercabik-cabik.

***

Satu bulan sudah terlewati sejak peristiwa di malam minggu itu. Hubunganku dan istri tidak pernah kembali normal seperti dulu lagi. Kami jarang sekali bicara, kecuali dalam hal urusan yang sangat mendesak. Aku dan istriku tidak melaporkan juga kejadian malam itu ke polisi. Dan kamipun tidak pernah membicarakan itu lagi.

Aku berfikir untuk melupakan kejadian penculikan dan pemerkosaan Widya. Dan berharap kehidupan kami kembali normal. Widya juga sudah sempat haid, itu artinya ia benar-benar tidak di masa subur waktu diperkosa kemarin dan tidak hamil.

Hari minggu itu, aku memulai hari dengan bersepeda ke sekeliling kompleks rumah. Sementara Widya di rumah untuk memasak. Pagi itu aku dan Widya sarapan bersama. Seperti biasa, tak banyak yang kami bicarakan.

Menjelang siang, aku sedang di ruang tamu, membaca sebuah buku dari tab. Tiba-tiba, suara ketukan pintu mengagetkanku. ‘Siapa tamu di siang-siang seperti ini?’ batinku. Jarang ada orang yang bertamu, kecuali kurir pengantar paket.

“Ya sebent...” Kata-kataku terhenti ketika aku melihat sosok tamu yang ada di pintu rumahku.

Sosok pria itu bertubuh kekar dengan tato di tangan. Tubuhnya nampak sedikit tambun dan lebih tinggi dariku. Dia tidak lain adalah Kusni, salah satu preman yang tempo hari menculik-ku dan memperkosa Widya. Entah kenapa ia bisa tahu alamat rumah kami. Dan yang lebih penting lagi, mau apa dia kemari?

“Halo, selamat siang, hehe, maaf saya ada janji sama istri anda.” Kata Kusni dengan santainya.

Aku cukup shock dengan kedatangan Kusni yang tiba-tiba sehingga aku tak bisa berkata apa-apa.

Aku lihat Kusni tersenyum sambil melihat ke arah dalam rumah. Dan ketika kuikuti arah pandangan matanya, aku jadi jauh lebih syok lagi. Istriku, Widya, sudah berdiri di ujung ruang tamu dengan hanya mengenakan jilbab dan pakaian dalam saja.

‘Apa yang sedang terjadi!’ Batinku.

Widya berjalan mendekati Kusni, ketika ia berada di hadapanku, ia sempat berkata. “Mas diam saja. Agar kita semua selamat.” Kata Widya.

Kusni menyambut kedatangan istriku dengan pelakukan erat. Aku masih tak percaya dengan apa yang ada di hadapanku. Seorang istri soleha seperti Widya, menyambut kedatangan preman ke rumah hanya dengan pakaian dalam serta jilbab di kepalanya. Pakaian dalam yang Widya gunakan juga yang tipe sangat sexy. Celana dalam dan bra yang ia kenakan berwarna hitam dan berenda-renda di sisi-sisinya. Dan lebih parahnya lagi, semua itu ia lakukan tepat di hadapanku, suaminya sendiri!

Kusni mencium bibir Widya hingga lidahnya masuk ke dalam mulut istriku. Air liur mereka bercampur menjadi satu. Seperti dua pasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.

Tubuhku langsung lemas, melihat istriku sendiri digumuli orang lain tepat di hadapanku.

Ciuman Kusni terus berlanjut, bahkan hingga turun ke leher dan kemudian ke payudara Widya. Payudara istriku yang masih dibalut dengan bra warna hitam itu dilumat habis oleh Kusni.

Kusni menggandeng istriku menuju ke kamar, dan aku bisa melihat dari ruang tamu ini, mereka kembali bercumbu di dalam kamar. Raut muka istriku nampak datar, tidak menunjukan ekspresi senang, seding, atau penolakan.

Aku shock melihat pemandangan itu, suami macam apa aku ini, membiarkan istriku sendiri bercumbu dengan orang lain di kamar tidur kami. Tapi itulah yang terjadi dengan diriku, aku membiarkan tubuh Widya dilecehkan lagi oleh preman yang tempo hari memperkosa tubuhnya. Aku seharusnya menyelamatkan kehormatan istriku. Apalagi Kusni sekarang hanya sendiri, tapi tidak, aku tidak melakukannya, aku hanya diam di kamar tamu ini, duduk dan melihat siluet pergumulan istriku dan Kusni.

Kusni sekarang sudah bugil, tanpa pakaian sedikitpun. Kontolnya yang berukuran besar itu sudah nampak berdiri dengan tegak. Dengan tanpa paksaan, ia minta Widya untuk mengemut batang kontol itu. Batang kontol yang bahkan nampak sangat sulit untuk masuk ke dalam mulutnya.

Dengan masih menggunakan hijab di kepalanya, Widya mulai mengemut batang kontol Kusni. Aku merasa iri, sangat iri, karena Widya selama ini tidak pernah mau ketika aku minta untuk melakukan oral seks. Tapi, kini seorang preman yang sama sekali tidak punya hak atas tubuh Widya, merasakan nikmatnya oral seks dari mulut istriku.

“Makasih ya non, enak banget seponganmu.” Kata Kusni.

Widya tidak hanya menyepong batang kemaluan Kusni, tapi ia juga mengemut buah zakar preman itu. Kusni memang mencukur habis bulu-bulu di kemaluannya, jadi Widya bisa menjilatinya tanpa takut harus menelan bulu kemaluan.

Kusni nampak menikmati setiap detik sepongan istriku. Ia melepas ikatan bra di belakang punggung Widya sehingga sekarang payudaranya yang ranum itu nampak menggantung dengan indahnya. Kusni tidak menyia-nyiakan payudara istriku, ia remasi dan belai payudara itu dengan lembut.

Kusni mencium kembali Widya dengan lembuatnya. Lidah mereka kembali beradu dalam ciuman itu. Sembari berciuman, Kusni memelorotkan celana dalam yang Widya kenakan dan jari jemari tangannya mulai bermain di selangkangan istriku.

“Hmmph” Aku sempat mendengar lenguhan lirih Widya. Meskipun Widya berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga tatapannya agar tetap datar.

Dengan pelan, Kusni merebahkan Widya di atas kasur. Ia kemudian melepas sepenuhnya celana dalam istriku dan membuangnya ke lantai. Istriku sudah bugil sepenuhnya, kecuali jilbab yang masih menghiasi kepalanya.

Kusni menciumi selangkangan istriku, kemudian ia menjilat bibir vagina Widya. Sebuah lenguhan kecil kembali terdengar dari bibir istriku. Tangannya juga nampak mengepal, menggenggam sprei.

Kusni mengoral vagina Widya dengan mulutnya. Satu hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Tubuh Widya nampak menggeliat, merasakan jilatan demi jilatan lidah Kusni di vaginanya. Meskipun wajahnya tetap berusaha sedatar mungkin dan tak menunjukan reaksi menikmati.

Yang lebih mengejutkanku, Kusni tidak hanya menjilati bibir kemaluan istriku, tapi juga lubang duburnya. Ia tak segan memasukan lidahnya, ke dubur istriku. Sekali lagi, ini satu hal yang tidak pernah aku bayangkan untuk aku lakukan. Aku pernah ingin menjilat vagina Widya, seperti di film-film porno yang pernah aku tonton. Tapi menjilati dubur? Aku sama sekali tak pernah punya keinginan untuk itu.

“Muuaahh, oowhh!” rintih Widya.

Widya rupanya semakin tak bisa menyembunyikan rasa nikmat yang ia rasakan. Aku tahu, wajahnya mencoba untuk bersikap sedatar mungkin, tapi tubuhnya berkata lain. Selain melenguh, vagina Widya nampak mengkilap basah sekali. Tanda jika ia menikmati perbuatan Kusni atas tubuhnya.

Di saat seperti itu, tanganku seperti bergerak sendiri mengelus kemaluanku. Tak berapa lama, aku membuka celana training yang aku kenakan dan mulai mengocok batang kontolku sendiri. Kontolku sudah berdiri tegak, aku benar-benar terangsang melihat Widya digumuli oleh pria lain.

Kusni sempat melihat kearahku dan sebuah senyum terkembang di bibirnya. Ia lalu menempatkan istriku bersandar di bantal bantal kasur. Kakinya membentuk huruf M dan membuka dengan lebarnya. Memperlihatkan vagina-nya yang sekarang sudah penuh dengan cairan lubrikasi.

“Aku masukin ya non.” Kata Kusni.

Kontol Kusni yang besar itu didorong masuk ke vagina Widya. Kontol besar itu awalnya nampak kesulitan untuk masuk, padahal vagina Widya sudah sangat basah. Perlu beberapa waktu hingga kontol besar dan panjang itu bisa masuk sepenuhnya ke vagina istriku yang sempit.

“Memek Non bener-bener enak, terbaek emang non.” Puji Kusni.

Dengan gerakan yang pelan namun pasti, Kusni mulai menggenjot memek istriku. Tubuh Widya yang terbilang mungil dibandingkan dengan Kusni itu hanya bisa tersentak-sentak mengikuti irama sodokan Kusni.

Kontol Kusni masuk begitu dalam ke memek Widya. Tempat yang selama ini tidak pernah bisa dijangkau oleh kontolku yang pendek dan kecil ini. Aku melihat, ada rasa nikmat yang terpancar di wajah istriku. Meskipun ia berusaha sekeras mungkin untuk tidak menunjukkannya.

Kusni benar-benar merengkuh kenikmatan tubuh istriku semaksimal mungkin. Ia bolak-balik tubuh Widya, sesuka yang ia mau. Ia sodoki memek Widya dengan begitu bersemangat, seperti memek itu adalah milik istri sendiri. Ia terapkan juga berbagai gaya yang selama ini tidak pernah bisa aku lakukan bersama istriku.

Tapi yang membuatku sangat menyesak, Widya sama sekali tidak memberikan perlawanan. Bahkan berkali-kali aku bisa melihat di raut wajahnya jika ia turut menikmati persetubuhan itu. Widya juga tidak menolak, ketika Kusni kembali mencium bibirnya dengan mesra. Seolah mereka adalah sepasang kekasih atau suami istri yang dimadu asmara.

Kusni menyetubuhi Widya selama lebih dari 20 menit lamanya. Setelah itu, ia mencapai puncaknya dan membuang pejunya di dalam mulut istriku. Widya bukan hanya sudi menampung cairan menjijikan itu, tapi menelannya atas perintah Kusni. Satu hal yang selama ini tidak pernah ia lakukan kepadaku.

“Terimakasih ya non.” Kata Kusni sambil mengecup kening istriku. “Kamu luar biasa sekali.” Katanya.

Ada sedikit senyum tersirat di bibir istriku. Aku tak tahu makna senyuman tipis itu. Apakah Widya benar-benar ikhlas disetubuhi preman ini? Apakah ia menikmati persetubuhan tadi?

“Sini.” Kata Kusni, menyuruhku masuk ke dalam kamar.

Kondisiku sekarang benar-benar memalukan. Aku, seorang suami, justru mengocok kemaluannya sendiri ketika melihat kehormatan istrinya dicabik-cabik oleh orang yang tidak punya hak. Dan lebih memalukan lagi, aku ikut saja permintaan Kusni untuk masuk ke kamar itu.

Kusni memintaku melepas seluruh pakaian yang aku pakai. Aku tidak tahu, apakah aku ketakutan atau apa, yang jelas aku ikut saja permintaan Kusni. Tubuhku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Kusni. Tubuh Kusni benar-benar kekar dan besar. Berbeda dengan tubuhku yang relatif pendek.

“Ayo non, sekarang non layanin suami non.” Kata Kusni. “Non tidak pernah sepong suami non kan? Sekarang non sepong suami non.” Kata Kusni.

Jantungku langsung berdegup dengan kencang. Widya selama ini tidak pernah mau ketika aku meminta untuk menyepong kemaluanku. Ia berkata jika kemaluan itu bagian yang kotor, dan tidak sebaiknya untuk dimasukan ke mulut.

Tapi yang terjadi sekarang, tanpa protes Widya mengeliat mendekatiku. Tubuhnya yang telanjang tapi masih berbalut jilbab itu benar-benar menggairahkan. Perlahan, Widya menjilati batang kemaluanku. Dan tak lama setelah itu, ia memasukan batang penisku ke dalam mulutnya.

‘Ohh, ini luar biasa.’ Kataku dalam hati.

Mulut istriku benar-benar nikmat, rasanya benar-benar hangat, basah, dan lembut. Ini adalah sensasi yang sudah sejak lama aku ingin rasakan. Tapi baru kali ini aku merasakannya ketika seorang preman memerintahkan istriku untuk mengoral kontolku.

“Gimana, enak?” Tanya Kusni.

Aku hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala.

“Bagus kalau begitu, adegan ini harus diabadikan. Buat kenang-kenangan kalian berdua.” Kata Kusni lagi. Ia kemudian merekam adegan aku dan istriku dengan kamera handphone miliknya.


Aku sebenarnya amat merasa risih ketika Kusni merekam kami. Tapi anehnya, Widya nampak sama sekali tidak peduli. Ia terus saja menyepong kontolku sesuai perintah Kusni.

“Pelernya juga non.” Kata Kusni

Dengan tanpa tanya lebih jauh, Widya mulai menjilati buah zakarku. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa nikmat yang aku rasakan. Ini benar-benar luar biasa. Impianku selama ini kini terwujud. Istriku mau melakukan oral seks kepadaku, bahkan menjilati buah zakarku!

Aku kira Widya hanya berani sampai di situ, ternyata aku salah. Kusni tidak hanya memerintahkan Widya untuk menjilati buah zakarku, tapi juga mengulumnya. Otomatis, tubuhku bergelinjang bukan main. Bahkan aku nyaris mengalami orgasme karena itu. Widya mengulum satu buah zakarku dan satu lagi ia remas-remas dengan tangannya.

Buah zakarku terasa hangat dan nikmat di dalam kuluman Widya. Ada sedikit rasa sakit yang aku alami. Terutama karena buah zakarku ditarik-tarik dan diremas-remas. Tapi rasa sakit itu tak seberapa dibandingkan dengan nikmatnya kuluman Widya.

“Sekarang, kamu nungging.” Perintah Kusni kepadaku.

Aku awalnya bingung dengan perintah Kusni itu.

“Nah sekarang, jilat dubur suamimu, sambil tetap non kocok titit-nya!” Perintah Kusni kepada Widya.

Aku kaget bukan main, ‘Widya menjilati duburku?’ Tidak pernah terfikir sebelumnya jika Widya akan mau melakukannya. Walaupun, aku sendiri sangat ingin jika istriku sampai bersedia melakukannya.

Benar saja, Widya menuruti kata-kata Kusni tanpa protes. Widya jilati pantat dan duburku, sambil tangannya yang lembut itu terus mengocok tititku. Sensasi yang aku rasakan benar-benar luar biasa. Nikmat tiada tara rasanya. Jilatan-jilatan lidah Widya di anusku membuatku bergidik dan merinding.

Aku lihat, Kusni masih mengabadikan adegan ini dengan kamera handphone-nya. Entah untuk apa rekaman video itu nantinya.

“Oke cukup, sekarang non nungging di kasur. Terus kamu sodok istrimu dari belakang!” Perintah Kusni.

‘Menyodok dari belakang?’ Selama ini aku dan Widya jarang melakukan seks secara doggy karena penisku tidak terlalu panjang. Akibatnya, penisku agak sulit untuk masuk ke dalam vagina istriku.

Aku berusaha memasukan penisku ke lubang vagina istriku. Tapi Kusni buru-buru menyetop. “Kayaknya lebih seru kalau kamu masukin ke lubang satunya. Belum pernah kan kamu ngentot dubur istrimu?”

Degg! ‘Aku disuruh meng-anal Widya?’

Widya hanya menoleh sejenak, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia justru lebih menungging-kan pantatnya. Seperti memberi ijin kepadaku untuk menyodok lubang duburnya.

‘Anal? Aku memang dari dulu ingin mencoba anal dengan istriku. Pantatnya yang semok dan membulat indah itu selalu membuatku ingin memasukan penisku ke dalam duburnya. Tapi selama ini aku tak berani untuk meminta Widya. Aku takut kalau ia akan berfikir aku orang yang aneh.’

Tapi sekarang berbeda, istriku membuka jalan lebar. Ia mempersilahkan penisku untuk masuk ke dalam duburnya tanpa penghalang sedikit.

Perlahan, aku mulai mendekatkan kepala kontolku ke lubang dubur Widya. Aku coba memasukannya, tapi ternyata sangat sulit, tidak seperti yang aku bayangkan. Aku coba lebarkan lubang dubur Widya, hingga aku sedikit bisa melihat rectum istriku. Dan sekali lagi aku coba memasukan batang kontolku, tapi hal itu gagal.

“Ayo, semangat, kamu pasti bisa perawanin lubang bool istrimu!” Kata Kusni sambil terus merekam adegan ini.

‘Perawanin!’ Kata itu terpatri di dalam benak-ku. Aku harus bisa memerawani lubang dubur istriku. Aku harus bisa! Tapi entah kenapa penisku sulit sekali masuk.

Setelah berusaha cukup lama, perlahan kepala penisku bisa menyeruak masuk. Rasanya benar-benar lain, terasa lebih sempit dan menggigit. Aku dorong terus penisku untuk masuk. Aku bahkan tidak peduli, jika Widya merasa sakit atau tidak. Aku mendengar sedikit rintihan dari mulutnya. Tapi aku tidak mempedulikan itu.

‘Aku yakin, aku bisa memerawani dubur istriku!’ itu yang terus aku katakan di dalam hati.

Tapi pada kenyataannya, aku tiba-tiba tidak bisa menahan gelombang orgasmeku. Aku mencapai puncak, ketika baru kepala penisku yang tertancap masuk ke dalam lubang dubur Widya.

Penisku berkedut-kedut dengan kencang, dan cairan spermaku meluber memenuhi lubang dubur istriku. Cairan putih kental langsung terdorong keluar dan membasahi paha Widya. Setelah orgasme itu, penisku otomatis mengecil lagi dan menjadi lembek.

‘Aku gagal, gagal memperawani dubur istriku sendiri!’ batinku.

***

Sore itu, Kusni akhirnya pergi. Tapi ia meninggalkan sesuatu yang membuat kehidupan rumah tanggaku dengan Widya berubah selamanya. Kusni memaksa kami untuk menandatangani sebuah perjanjian, dengan ancaman akan menyebarkan video asusila ku dengan istriku kalau kami melanggar perjanjian tersebut.

Apa isi perjanjian itu?

Pertama, seluruh kunci rumah kami dipegang oleh Kusni dan kawan-kawannya. Jadi kami tidak bisa mengunci rumah dari mulai gerbang hingga kamar mandi sekalipun. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika sampai ada orang yang iseng atau bahkan pencuri yang mencoba masuk ke rumah kami? Apalagi jika Widya, istriku sedang berada sendirian di rumah. Apalagi, perjanjian kedua di bawah ini.

Kedua, di dalam rumah, Widya tidak boleh mengenakan pakaian lengkap. Ia maksimal hanya boleh mengenakan celana dalam dan bra serta jilbab. Selebihnya, Widya tidak boleh mengenakan apapun. Lalu, ditambah dengan peraturan soal kunci tadi, apa jadinya jika sampai ada orang yang iseng masuk ke rumah, dan menemukan istriku dengan pakaian seadanya seperti itu? Di luar rumah, Widya memang boleh mengenakan pakaian lengkap, tapi begitu masuk rumah, ia harus melepasnya.

Ketiga, adalah peraturan yang paling membuatku mendidih. Widya tidak boleh menolak siapapun yang ingin berhubungan badan dengannya. Dan aku juga tidak boleh melarangnya. Jadi, jika sampai ada pencuri atau orang yang masuk ke rumah serta ingin memperkosa istriku. Widya sama sekali tidak boleh menolak permintaan pencuri itu. Aku juga tidak boleh mencegahnya. Tapi di perjanjian itu menyebutkan, Widya justru boleh menolak permintaanku untuk menyetubuhinya. Permintaanku, suaminya sendiri! Dan aku tidak boleh protes!

==X=X==

Beberapa minggu sudah lewat dari kejadian minggu siang itu. Kusni tidak lagi datang, atau setidaknya itu yang aku tahu. Begitu juga dengan teman-teman preman lain. Widya sendiri menuruti perjanjian kami dengan Kusni. Ia tidak mengenakan pakaian lengkap selama berada di rumah. Ia hanya pakai bra dan celana dalam saja, serta kerudung. Kadang, bahkan ia kadang tak mengenakan bra.

Rasanya aku panas dingin selama di rumah. Dan juga ketika berada di luar rumah.

Terkadang, ketika menerima kurir paket atau belanja sayur. Widya hanya mengenakan pakain seadanya. Ketika keluar rumah, Widya memang dibolehkan Kusni untuk mengenakan pakain lengkap. Namun, entah mengapa ia lebih suka memakai gamis tipis dan menerawang.

Bahkan pernah aku menemui Widya mengambil paket di gerbang depan rumah ketika ia hanya mengenakan celana dalam, bra dan kerudung saja. Tanpa mengenakan pakaian yang lain. Memang gerbang depan rumah itu dilapisi oleh fiber yang gelap. Tapi tentu saja siluet tubuh Widya masih bisa terlihat.

Memang pada waktu itu ia sedang masak, jadi mungkin cukup ribet untuk harus berpakaian lengkap. Tapi apakah benar seperti itu? Atau karena alasan yang lain?

Selama dua minggu ini, aku tak bisa konsentrasi ketika bekerja di kantor. Aku terus membayangkan apa yang akan terjadi kepada istriku di rumah. Apakah ia selama ini diam-diam kembali diperkosa oleh Parjo, Kusni dan teman-temannya. Atau bahkan oleh orang lain yang tidak aku ketahui. Aku sebenarnya ingin memasang cctv di rumah. Tapi aku takut jika itu ketahuan, maka Kusni dan kawan-kawan akan melarangnya atau bahkan marah karena itu.

Jumat itu, Widya minta aku untuk ijin pulang cepat dari kantor. Katanya, ia ingin periksa ke dokter. Awalnya aku khawatir, selama ini istriku jarang sekali sakit. Yang lebih aku khawatirkan lagi, ia ternyata ingin periksa ke dokter kandungan.

Sejak haid terakhirnya, aku tidak pernah lagi mengeluarkan spermaku di vagina Widya. Terakhir, berhubungan badan dengan Widya, aku diminta untuk melakukan anal seks. Kusni bahkan merekam adegan itu dengan handphone miliknya. Anal seks yang akhirnya gagal karena aku ejakulasi dini ketika penisku baru masuk sedikit ke dubur Widya.

Lalu apakah Widya pernah berhubungan badan dengan orang lain? Dan hubungan itu membuat ia menjadi hamil?

Aku benar-benar tidak habis pikir dan panik. Aku tidak bisa konsentrasi ketika menyetir mobil untuk pulang.

Di rumah, Widya rupanya sudah berpakaian rapi. Ia menggunakan Jilbab motif bunga-bunga serta jaket coat panjang hingga ke mata kaki. Penampilannya sangat cantik. Waktu itu, ia sudah menunggu di teras. Karena ia tidak boleh mengenakan pakain luar seperti itu ketika berada di dalam rumah.

“Ayo pah, kita ke Rumah Sakit XX, aku sudah buat janji dengan dr. Handi.” Kata istriku.

Aku tidak berkata-kata apa-apa, aku takut kalau kekhawatiranku benar-benar terwujud. Selama beberapa waktu, Widya-pun tidak berkata apa-apa. Tapi ia akhirnya mengatakan sesuatu kepadaku.

“Mereka menyuruhku untuk pasang spiral.” Kata istriku.

Aku sempat kaget mendengar kata-kata istriku itu. Aku melihat ke arah wajahnya, apa ia serius? Selama ini kita ingin mendapatkan anak, karena itu aku tidak pernah pakai pengaman ketika bercinta. Tapi sekarang, Widya mau memasang spiral di rahimnya.

“Kamu yakin?” Kataku dengan singkat.

Widya menanggukan kepala, tanpa berkata-kata lebih lanjut.

Akupun diam, aku paham jika aku tak bisa berbuat apa-apa.

Rumah sakit di sore itu tidak terlalu penuh. Kami hanya perlu antri satu pasien untuk menemui dokter. Dokter Handi itu orangnya sudah tua. Rambutnya sudah beruban semua. Dia sempat bertanya, kenapa pasang spiral, padahal kami masih muda dan belum punya anak. Widya menjawab jika ia akan studi dan memutuskan untuk tidak punya anak untuk sementara waktu.

Aku sekali lagi kaget, Widya tidak pernah bisa berbohong seperti itu selama ini. Namun sekarang ia dengan mudahnya mengucapkan kata-kata bohong seolah itu bukan sesuatu yang besar.

Dokter itu nampak paham.

“Kalau begitu, silahkan untuk berbaring. Oh ya jangan lupa jaketnya dilepas dulu.” Kata Dokter Handi.

Widya perlahan melepas jaketnya, tapi tiba-tiba dokter itu kaget sampai menjatuhkan senter periksanya. Aku awalnya tidak paham, tapi ketika melihat ke arah Widya, aku juga ikut terkaget.

Di balik jaket coat panjang itu, Widya sama sekali tidak mengenakan apapun. Ia benar-benar telanjang kecuali sepatu dan kerudung yang ia pakai. Tubuhnya juga nampak bersih, dengan bulu-bulu kemaluan dicukur habis.

Dokter Handi dengan wajah cukup gugup mempersilahkan Widya untuk berbaring di kursi periksa. Aku yakin, ia sudah biasa melihat kemaluan wanita sebelumnya, tapi ia tentu kaget ketika melihat seorang wanita yang nampak alim seperti Widya ini dengan sengaja telanjang di ruang periksa.

Tok tok, “Bapak Arman, tolong ke ruang administrasi sebentar untuk menyelesaikan berkas.” Kata seorang perawat dari luar ruang periksa.

‘Mengapa harus di saat seperti ini!’ Batinku.

Widya sendiri sekarang sudah berada dalam posisi duduk mengangkang di kursi periksa. Kulit tubuhnya yang halus itu nampak mengkilap di bawah lampu sorot. Normalnya, dokter akan memberikan kain penutup, tapi kali ini tidak. Entah mengapa ia tidak melakukan itu.

“Papa ke ruang administrasi saja, biar cepat.” Kata istriku.

Sebagai seorang suami yang baik, seharusnya aku menemani istriku di ruang praktek dokter ini. Tapi entah mengapa, aku justru ingin meninggalkan istriku bersama dokter tua ini. Entah apa yang akan terjadi dengan Widya.

Sebelum meninggalkan ruang praktek itu, aku sempat melihat keadaan Widya. Dokter Handi memasukan sebuah alat dari logam untuk membuka kemaluan istriku lebar-lebar. Alat seperti cocor bebek itu masuk begitu dalam ke memek Widya. Widya sempat bergidik, mungkin karena cocor bebek itu terasa sangat dingin.

Dengan semacam tuas, cocor bebek itu membuka lebar. Sehingga sekarang membuka pulalah kemaluan istriku. Aku bisa melihat sekilas, bagian dalam kemaluan Widya yang berwarna pink. Meskipun aku hanya bisa melihat dengan samar-samar.

Setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan Widya. Aku pergi ke ruang administrasi untuk melakukan pembayaran. Kebetulan, kantor tempat aku bekerja mempunyai kerjasama dengan sebuah asuransi. Jadi semua hal yang berhubungan dengan rumah sakit selalu dibiayai oleh kantor. Tapi terkadang administrasinya agak susah. Sehingga aku harus melengkapi beberapa persyaratan.

Pengisian administrasi sebenarnya berjalan dengan cepat. Tidak sampai 5 menit lamanya. Tapi setelah itu, aku putuskan untuk mampir ke toilet sebentar karena aku ingin buang air kecil. Apesnya, setelah buang air kecil, pintu toilet tidak bisa terbuka.

Aku langsung panik, toilet ini berada di ujung rumah sakit. Aku perhatikan tadi jarang ada orang yang lewat di sini.

Aku teriak dan gedor-gedor pintu. Tapi pintu besi ini sangat kuat, pintu ini seperti dibuat di jaman penjajahan. Sekuat apapun aku gedor, ia tidak bergeming.

“Tolong, tolong, kuncinya macet!” Teriaku. Tapi tak ada orang yang membalas teriakanku.

Bagaimana bisa, aku terperangkap di dalam toilet ini. Sementara itu, istriku sekarang sedang telanjang bulat bersama seorang dokter di ruang prakteknya. Entah apa yang terjadi sekarang ini?

Setelah sekian lama berteriak, akhirnya ada orang yang menyahut. “Tunggu sebentar ya pak, saya panggilkan teknisi!” Kata orang itu.

Terpaksa, aku menunggu lagi. Waktu terasa begitu cepat berjalan, sekarang saja sudah lebih dari lima belas menit aku pergi meninggalkan Widya. Berdua, telanjang bulat di ruang periksa itu. Semoga dokter itu tidak berbuat aneh-aneh terhadap istriku.

Sepuluh menit kemudian, aku baru bisa keluar dari toilet. Teknisi bilang, memang pintu ini sering macet, karena bangunan ini memang banggunan asli jaman Belanda dulu.

Aku tidak peduli, aku hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan Widya.

Ketika masuk ke ruang periksa, Widya baru saja selesai mengenakan kembali jaket coat panjangnya. Dokter Handi yang sedang menuliskan sesuatu di atas kertas nampak senyum-senyum. Ia bahkan awalnya tidak sadar kehadiranku.

“Maaf, aku tadi terkunci di toilet.” Kataku.

“Oh tidak apa-apa pak.” Kata Dokter Handi. “Pemasangan IUD sudah selesai, kalau ada apa-apa, nanti hubungi saya saja ya bu.” Kata Dokter Handi.

“Baik dok.” Kata Widya.

Aku lihat, wajah Widya sedikit merah padam. Ada juga berkas keringat di wajahnya. Pikiranku semakin melayang kemana-mana. Apa yang mereka lakukan tadi ketika aku meninggalkan mereka berdua?

Sebelum ke parkiran rumah sakit, kami mampir ke koperasi. Widya ingin beli minuman katanya. Ia nampak agak haus dan kelelahan. Ketika hendak membayar di kasir, aku melihat ada cairan yang menetes tepat di bawah kaki Widya. Cairan itu nampak cukup kental. Apakah itu sperma?

Kepalaku langsung pusing bukan main membayangkan apa yang terjadi di ruang periksa tadi. Apakah Widya dan dokter Handi berbuat yang tidak-tidak di dalam ruang periksa tadi?

Tapi, hari itu ternyata masih panjang. Terutama bagi Widya. Istriku memintaku untuk mengantarnya ke sebuah tempat di luar kota. Widya sendiri nampaknya tidak tahu tempat seperti apa itu. Ia menggunakan handphone untuk mengetahui posisi lokasi itu.

Rupanya, petunjuk arah itu membawa kita ke sebuah tempat yang menurutku agak kumuh. Letaknya dekat sebuah pelabuhan lama yang sekarang tidak banyak digunakan kapal-kapal besar. Tapi kapal-kapal ukuran kecil masih menggunakannya.

“Berhenti di sana pah.” Kata Widya.

Aku memberhentikan mobilku di sebuah persimpangan jalan. Di sana nampak ada beberapa orang laki-laki yang nongkrong di jalan. Aku tidak tahu apakah mereka memang tinggal di sini, atau sekedar nongkrong. Wajah mereka nampak seperti preman.

Widya meninggalkan handphone, tas kecil, dan perhiasan yang ia gunakan, termasuk cincin di jari manisnya. Ia tinggalkan itu semua di jok mobil.

“Papa nanti pulang ya, tidak usah menunggu di sini. Aku ada perlu dulu.” Kata Widya.

Aku melihat ke arah wajahnya sejenak. Perasaanku campur aduk bukan main. Mau apa istriku datang ke tempat seperti ini? Lagipula, mengapa ia melepas seluruh benda berharga di tubuhnya. Apalagi handphone? Bagaimana jika nanti ada sesuatu dan Widya butuh menghubungiku? Ditambah lagi, Widya belum pernah melepas cincin nikahnya. Baru kali ini, ia melepasnya.

“Ingat ya pah, jangan ditunggu.” Kata istriku.

Widya kemudian keluar mobil dan melangkah menjauh. Perlahan, ia menghilang di antara bangunan kumuh itu. Menunggupun, aku tidak bisa tahu di mana Widya berada. Aku semakin khawatir, karena di balik jaket coat yang ia kenakan, Widya tidak pakai apa-apa lagi.

Dengan berat hati, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Perasaanku bercampur aduk, apakah Widya akan Parjo, Kusni, dan teman-temannya? Jika iya, apa yang akan mereka perbuat dengan istriku?

Yang jelas, aku kembali menunjukan kalau aku adalah lelaki yang lemah. Aku bukan saja membiarkan istriku pergi sendiri di daerah berbahaya itu. Tapi juga barangkali secara tidak langsung membiarkannya untuk dimangsa oleh preman atau lelaki lain di sana.

Ketika pulang, aku melewati sebuah jalan yang penuh dengan wanita penjaja malam. Wanita itu rata-rata masih berusia muda. Mungkin baru awal dua puluhan. Dulu aku merasa jijik melihat wanita seperti itu. Tapi sekarang, Widya sendiri barangkali sudah berubah menjadi seperti mereka ini. Dan orang yang paling bertanggung jawab, tidak lain dan tidak bukan adalah aku sendiri.

Ketika lampu merah, tiba-tiba ada satu wanita yang mendekati mobilku. Parasnya lumayan cantik, rambutnya dipotong sebahu, dan ia mengenakan rok pendek serta tank top. Wanita itu awalnya mengetuk-ketuk kaca mobilku. Tapi aku tidak membukakan kacanya. Aku menggelengkan kepala dan berkata “tidak” dari dalam mobil.

Wanita itu hanya tersenyum, ia kemudian meletakan sebuah kartu di wiper mobilku. Dari luar kaca, si wanita itu memberi simbol telpon dengan tangannya sambil berkata “call me”. Aku hanya geleng kepala sambil meneruskan menyetir ketika lampu sudah berubah menjadi hijau.

Malam itu, aku tidak bisa tidur, aku terus membayangkan bagaimana keadaan Widya di tempat kumuh itu. Apa yang ia lakukan di sana?

Di dalam hatiku, aku menyesal sudah meninggalkan Widya di sana. Tapi entah kenapa aku tak bisa berbuat apapun. Aku benar-benar laki-laki yang lemah. Suami yang tak berguna. Seharusnya aku melindungi Widya, dari jamahan tangan-tangan kotor para preman itu. Tapi entah kenapa, aku tak bisa melakukan itu.

Aku sampai ke rumah dalam keadaan lunglai. Hatiku merasa kacau tidak karuan. Aku rebahkan tubuhku di sofa depan televisi. Aku menyalakan televisi, tapi film laga yang ada di tv itu sama sekali tidak menarik buat aku tonton.

Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa berharap, Widya baik-baik saja di sana. Tapi apakah Widya bisa baik-baik saja di sana?

== skip ==

Aku rupanya bangun kesiangan, jam sudah menunjukan pukul 11 siang dan matahari sudah bersinar dengan terang. Aku ketiduran di kursi ruang tamu. Sekilas aku melihat handphone, tapi tidak ada pesan apa-apa yang masuk. Tidak ada kabar sama sekali dari istriku Widya. Entah bagaimana nasib dia sekarang.

Semalam, aku meninggalkannya di sebuah sudut kota yang kumuh. Aku tidak tahu siapa yang akan dia temui. Dan dia juga tidak mau bercerita kepadaku. Kemarin, ia pasang spiral, alat kb yang membuat ia tak bisa hamil. Entah apa yang maksud dari pemasangan spiral itu.

Aku tetap mencoba berfikir positif, tapi jelas semua itu tidak bisa. Bayangan Parjo, Kusni, dan teman-teman premannya terus saja membayangiku. Apakah Widya kembali diperkosa oleh para preman-preman itu? Apa yang terjadi kepada istriku jika mereka terus menerus memerasnya.

Hari berlalu begitu cepat, hingga tak terasa sabtu berganti dengan minggu. Pagi itu, Widya belum juga kembali. Tidak ada kabar juga darinya. Siang harinya, aku membulatkan tekat untuk menjemput Widya di daerah kumuh itu. Tapi tiba-tiba saja, pintu gerbang pagar terbuka. Dan Widya pulang dengan langkah yang cukup gontai.

“Mah, mama, kamu ndak papa?” Tanyaku.

Widya melirik kearahku dengan tatapan mata aneh. Aku tidak paham arti tatapan matanya yang tajam itu. Apakah ia marah dan kecewa kepadaku karena aku sama sekali tak menjemputnya? Atau ada arti lain?

Tiba-tiba, perlahan Widya membuka jaket yang ia kenakan. Padahal kita berdua masih berada di teras. Aku jadi ingat perintah Kusni beberapa hari yang lalu. Widya boleh menggenakan pakaian lengkap di luar rumah. Tapi di dalam rumah, ia hanya boleh mengenakan jilbab dan pakaian dalam saja.

Aku kaget bukan kepalang ketika Widya melepas jaketnya. Aku tahu, di balik jaket itu, ia sudah tidak mengenakan apa-apa lagi. Tapi yang membuat aku sangat kaget adalah kondisi tubuh istriku sekarang ini.

“Mah? Apa yang terjadi?” Ucapku dengan nada bicara yang kaget bukan main.

Bagaimana tidak kaget? Aku melihat banyak hal yang berubah dari tubuh istriku. Ada dua buah tindik yang masing-masih menancap di puting susu Widya. Tindik berbentuk anting itu membuat kedua puting susu Widya nampak lebih membusung.

Selain di puting susu, aku melihat satu lagi tindik di daerah kemaluan Widya. Tindik itu nampak sangat kelihatan karena berbentuk cincin. Ukurannya juga lumayan besar, diameternya seperti lingkar jari telunjuk. Tindik cincin itu melubangi klitoris istriku.

Tapi yang paling membuatku bergidik tak percaya adalah apa yang sekarang ada di bagian perut bagian bawah istriku. Di sana, terpampang sebuah tato tribal. Warnanya kombinasi merah, hijau, dan hitam. Bentuknya menyerupai kelopak-kelopak bunga dengan sebuah tulisan di tengahnya. Tulisan itu samar sekali dan agak sulit dibaca. Tapi jika kamu bisa membaca, maka tulisan yang ada di sana adalah “LONTE!”

Ketiga tindik yang ada di puting susu dan kemaluan Widya bisa dilepas sewaktu-waktu. Walaupun mungkin cukup susah. Tapi tato yang ada di bagian bawah perut istriku jelas tidak bisa dihapus begitu saja. Apalagi tulisannya sangat memalukan. Apa jadinya jika ada orang yang sampai bisa membaca isi tulisan itu.

Widya melepas jilbab yang ia kenakan dan kemudian menciumku di teras itu. Ia menciumku dengan begitu ganas, seolah ia sangat nafsu hari ini. Aku sempat keberatan, karena kita masih berada di teras. Takutnya, ada orang yang bisa melihat kita dari luar. Tapi Widya nampak tak peduli.

Widya mengelus-elus selangkanganku. Dan menemukan kalau kemaluanku sudah berdiri dengan tegaknya. Widya tersenyum ke arah wajahku. Senyum yang sudah lama tidak aku lihat dari wajahnya. Tapi seketika itu, ia berhenti. Ia tidak melanjutkan belaian tangannya di selangkanganku.

“Pah, lihat ini!” Kata Widya sambil menyodorkan sebuah flash disk kepadaku. “Aku mau mandi dulu.” Katanya setelah itu.

Widya berlalu begitu saja dari hadapanku. Meninggalkan aku yang sedang dirundung birahi. Bagaimana tidak, istriku yang dulu alim. Kini tubuhnya ditindik dan di tato entah oleh siapa. Di tambah lagi, selama dua hari ini, mungkin saja ia juga berhubungan badan dengan Parjo, Kusni dan teman-teman premannya. Atau bahkan orang lain.

Aku bisa melihat juga, di sekujur tubuh istrikut terdapat bekas-bekas cupang dan sedikit memar. Entah apa yang dilakukan istriku di luar sana? Apa ada hubungannya dengan flash disk ini?

Cepat-cepat aku membuka laptop dan melihat isi flash disk. Ternyata, di dalamnya banyak sekali video. Benar saja, ternyata istriku sudah ditunggu oleh Parjo, Kunto, Kusni, dan Somad di tempat kumuh itu.

Di video pertama, aku bisa melihat istriku memasuki sebuah gudang tua. “Ayo, buka aja!” Kata suara itu. Sepertinya, suara itu adalah suara Somad, salah satu preman yang dulu memperkosa Widya.

Widya tanpa melawan, membuka jaket coat panjang yang ia kenakan. Tubuhnya kini telanjang bulat, hanya jilbab saja yang masih menempel di kepalanya. Parjo mendekati Widya, dia tanpa basa-basi mencelupkan jarinya ke lubang memek istriku.

“Kamu sudah pakai spiral seperti yang aku suruh?” Tanya Parjo.

Widya menganggukan kepala.

“Bagus-bagus, wah dah becek ini memek!” Kata Parjo, “Bau peju lagi!” Tambahnya. “Loe ngentot sama siapa?” Tanya Parjo.

Widya awalnya diam dan ragu untuk menjawab.

“Inget, kamu harus nurutin apa kata kita non. Termasuk juga jawab pertanyaan kita.” Tambah Parjo.

Widya nampak paham, ia lalu jawab, “dengan dokter yang pasang IUD di rumah sakit!”

“Lho, kok bisa, kamu dianter suamimu kan?” Tanya Parjo.

“Suamiku, suamiku pergi bayar dan baliknya lama.” Kata Widya.

Degg! Aku sungguh tak percaya dengan jawaban Widya. Jadi ketika aku bayar rumah sakit dan terjebak di WC kemarin, Widya benar-benar sempat berhubungan badan sama dokter Hardi?

“Hahahaha!” Parjo tertawa terbahak-bahak, diikuti beberapa preman lain. “Emang suami kamu itu pecundang, lemah!” Kata Parjo. “Istri secantik ini kok dibiarin ngentot sama orang lain.”

“Tapi bagus non, berarti kamu memang nurutin apa kata kita. Siapa aja yang mau ngentot sama non, non tidak boleh nolak!” Kata Kusni yang ada tidak jauh dari Parjo.

Para preman itu kembali tertawa terbahak-bahak.

“Ya betul itu, non ndak boleh nolak siapa aja yang mau ngentot sama non. Mau itu preman kayak kita, pemulung, pengamen, atau orang gila juga, non harus layanin sebaik mungkin. Satu-satunya yang boleh non tolak, justru suami non ndiri. Paham kan ini non!” Tanya Parjo.

Widya mengangguk, “Aku paham”

“Jadi gimana tadi kontol si dokter itu? Lebih enak mana dari kontol suami mu non?” Tanya Kusni.

“Dokter Hardi tadi tidak sampai masuk.” Kata Widya. “Ia hanya gesek-gesek aja, sampai keluar.” Jawab istriku.

“Ya udah, sekarang kamu bersihin memek kamu tuh! Kita mau ada urusan nanti sama memekmu, biar bersih dulu pokoknya.” Kata Parjo.

Widya menuruti kata Parjo, ia membersihkan selangkangannya di kamar mandi di dalam gudang itu. Somad terus merekam Widya, bahkan ketika ia membersihkan memeknya yang belepotan dengan sperma dokter Hardi.

Para preman itu tidak langsung menyetubuhi Widya, tapi membawanya ke sebuah lorong sempit di belakang gudang. Mereka membawa Widya keluar gudang dalam keadaan telanjang bulat, hanya jilbab saja yang menutupi kepalanya. Lorong di belakang gudang itu tidak banyak ada orang. Tapi nampak ada dua gelandangan yang tidur di sana. Dan mereka kaget melihat Widya lewat dalam keadaan bugil seperti itu.

Mereka masuk ke bagian belakang sebuah ruko. Ruko itu nampak kumuh dengan banyak sekali kardus-kardus bekas berserakan.

“Oh ini ya ceweknya, canti juga.” Kata orang yang ada di ruko itu.

“Iya, lumayan kan? Bodinya cakep, binor, tapi belum punya anak.” Kata Parjo.

“Mau sekarang?” Kata orang itu lagi.

“Lha, ayo. Jangan ditunda lagi. Non, sekarang non duduk di sana.” Kata Parjo.

Di ruangan itu terdapat sebuah kursi, mirip dengan kursi periksa dokter Hardi. Tapi bedanya, kursi ini digunakan untuk membuat tato.

Widya duduk di kursi dan kedua kakinya mengangkang lebar bersandar pada dua sandaran kursi. Dengan begitu, kemaluannya bisa terlihat dengan jelas sekali.

“Haha, bener-bener lonte banget ini cewek. Mukanya aja ditutup kerudung, tapi memek sama teteknya diumbar habis-habisan.” Kata si tukang tato itu. “Kenapa kerudungnya ndak dicopot sekalian aja neng?” Tambahnya.

“Udah, ndak usah banyak cing cong loe ini. Non Widya ini pengin jaga auratnya. Aurat di kepala tapi. Aurat lain, itu dah jadi punya semua orang yang pengin liat. Ya ndak non?” Kata Parjo sambil terkekeh-kekeh.

Widya tidak menjawab kata-kata Parjo itu. Ia hanya duduk membisu di kursi tato itu dengan tangan menyilang di payudaranya. Aku tidak tahu, Widya merasa malu atau ia merasa kedinginan di malam itu.

“Sesuai WA yang aku kirim non, non bakal di tato di perut bawah. Setelah itu non bakal juga kita tindik.” Kata Parjo. “Sekarang, non pakai penutup mata ini. Nanti biar non surprise bentuk tato yang kita pilih kusus buat non!” Lanjut Bos Preman itu.

Rupanya, Widya tidak diberi tahu, bentuk tato yang akan menempel permanen di perut bagian bawahnya itu. Ia bahkan diberikan penutup mata, supaya ia tak melihat proses pembuatan tato itu.

Setelah matanya ditutup, tubuh Widya mulai di tato. Pertama, si tukang tato menggambar polanya di perut Widya. Dari cara yang ia lakukan, jelas tukang itu bukanlah amatiran.

Ketika jarum tato mulai menusuk, Widya menjerit kesakitan. Wajar saja, karena yang di tato adalah daerah yang cukup sensitif. Widya menjerit-jerit kesakitan di atas kursi itu. Namun tubuhnya dipegang oleh para preman agar tidak bergerak. Tentu saja, para preman itu memegangi tubuh Widya sambil menggerayanginya.

Melihat tubuh Widya diperlakukan seenaknya oleh para preman itu membuatku merasa terangsang. Kemaluanku berdiri dengan tegaknya. Bahkan seperti memberontak ingin keluar dari celana.

Akhirnya, aku lepas saja celana yang aku gunakan. Hingga sekarang aku duduk di depan laptop sambil mengocok kontolku sendiri.

Suami macam apa aku ini. Terangsang melihat video istrinya digerayangi dan di tato preman-preman rendahan seperti itu. Aku seharusnya merasa malu dengan diriku sendiri.

“Gimana, wanita jilbaban tapi di dalem tatoan!” Kata Parjo.

Aku melihat, ada cairan lendir yang mengalir dari dalam vagina Widya. Sebuah tanda jika istriku merasa terangsang juga meskipun ia merasa tersakiti. Jeritan yang keluar dari mulut istriku juga terdengar semakin lemah. Bahkan terdengar semakin seperti desahan di telingaku.

Para preman itu nampak tertawa-tawa. Mereka puas melihat istriku terkulai tak berdaya di kursi tato itu. Perlahan, bentuk tato mulai nampak dengan jelas. Dan huruf Gothic yang bertuliskan Lonte itu juga mulai nampak terbaca.

“Nah sudah selesai!” Kata tukang tato itu.

Penutup mata Widya akhirnya dibuka, dan kini istriku bisa melihat dengan jelas tato yang ada di perut bagian perut bawahnya dari sebuah cermin. Widya jelas terbelalak melihat tato itu. Ia tidak percaya jika di kulit mulusnya, kini terpampang sebuah tato. Ditambah lagi, tulisan di tato itu begitu memalukan. Tulisan gothic yang jika dibaca menjadi “Lonte”.

Aku sempat melihat, mata istriku sedikit berkaca-kaca. Mungkin ia sedih, tato tersebut kemungkinan besar akan terus berada di tubuhnya, seumur hidupnya. Tapi, malam itu masih panjang. Setelah di tato, Parjo meminta tukang tato itu untuk sekalian menindik puting dan itil istriku.

Kedua tangan dan kaki Widya kembali direntangkan di kursi tato itu. Si tukang tato kemudian membawa sebuah penjepit, penjepit itu punya lubang di ujung jepitannya.

“Tidak usah dibius kan?” Kata si tukang tato.

“Tidak usah lah, biar cepat.” Kata si Parjo.

Widya sempat menatap Parjo seperti memohon sesuatu. Tentu ia memohon agar ia dibiarkan pakai bius, setidaknya bius lokal. Tapi Parjo tidak mempedulikan permintaan Widya.

Puting susu Widya kemudian di jepit. Dan si tukang tato membawa jarum ukuran besar untuk melubangi puting susu istriku. Dalam sekejap, jarum itu menembus daging puting susu Widya. Dan istriku seketika menjerit kesakitan dengan kencannya.

“Uggh, sakit, uggghhh!!” Rintih Widya.

Dengan cekatan, tukang tato itu memasangkan anting ke payudara istriku. Ia kemudian beralih ke payudara Widya yang satunya, menancapkan tindik dan kemudian memasangkan anting lagi. Semua itu ia lakukan dengan cukup cepat. Tanda, jika ia memang ahli.

Dalam hitungan tidak lebih dari satu menit, kedua puting payudara istriku sudah terpasang anting. Ada sedikit darah keluar dari puting susu Widya. Tapi darah itu tidak banyak. Kini giliran klitoris di kemaluan istriku yang akan dipasang anting.

Kusni dan Kunto memegangi kedua kaki Widya. Mereka tahu, jika tindik di klitoris itu jauh lebih sakit dari di puting. Mereka juga membantu membuka labia kemaluan istriku. Sehingga klitorisnya nampak dengan jelas terpampang.

“Tarik nafas panjang ya non.” Kata tukang tato itu.

Wajah Widya nampak ketakutan ketika si tukang tato itu menempelkan jepitan besi itu di klitorisnya. Dengan cepat, si tukang tato menusuk daging di balik klitoris istriku hingga tembus.

“Ah, sakitt! Tolonnng!!” Jerit Widya keras sekali.

Mungkin karena rasa sakit yang tiba-tiba, kemaluan Widya mengeluarkan sedikit air kencing. Para preman itu tertawa terbahak-bahak melihat Widya kencing seperti itu.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, si tukang tato itu memasangkan anting cincin ke klitoris istriku yang baru saja dilubangi. Kini lengkap sudah, tubuh Widya sudah memiliki tato dan juga tindik. Persis seperti wanita murahan di video-video porno.

Para preman itu nampak puas dengan hasil karya si tukang tato. Mereka bahkan mengijinkannya untuk menikmati tubuh Widya setelah ini. Tapi si tukang tato itu menolak.

“Aku ada urusan abis ini, lain kali aja.” Katanya.

Para preman itu kemudian mengajak Widya kembali ke gudang tua tempat mereka pertama kali bertemu. “Malam ini kita akan pesta.” Kata Parjo. “Ayo, sekarang bangun non!” perintahnya kepada istriku. Aku sungguh terbelalak dengan cara ia mengajak Widya bangun dari kursi tato itu. Ia menarik anting bentuk cincin yang terpasang di klitoris Widya.

“Ah, sakit, ampun,” rintih Widya.

Para preman itu kembali tertawa-tawa.

Di dalam gudang tua, Widya ditidurkan di sebuah kasur lusuh. Dan para preman itu bersiap untuk menyetubuhi istriku. Parjo sebagai bos mendapatkan giliran pertama. Ia meminta Widya untuk menyepong kemaluannya yang sudah berdiri dengan tegak. Kontol Parjo yang besar itu membuat Widya harus membuka mulutnya lebar-lebar.

“Oh anget banget seponganmu.” Kata Parjo.

Tak berapa lama, Parjo sepertinya sudah tidak tahan lagi. Ia dorong Widya hingga tertengadah, dan kemudian ia tancapkan kemaluannya yang sudah berdiri dengan tegak itu.

Widya nampak meringis ketika penis besar itu masuk ke dalam memeknya. Mungkin ia merasa perih karena klitorisnya habis di tindik. Tapi Parjo tidak peduli, begitu kontolnya amblas di memek Widya, ia langsung sodok-sodoki memek istriku itu.

“Oh, enak, aku kangen sama memek kamu non. Abis ini kita sering-sering ya ngentot kayak gini.” Ucap Parjo.

Widya tidak bicara, ia hanya merintih-rintih entah karena menahan sakit atau karena menahan nikmat dari sodokan Parjo. Bos Preman itu tak lupa untuk meremas dan menjilati payudara Widya yang sekarang sudah ada tindiknya. Ia jilati puting susu istriku yang bertindik dan kadang menggigitinya.

Parjo membelai juga tato yang ada di perut bagian bawah Widya. “Kapan-kapan, kita tambahin tato di tubuh non ya.” Ucap Parjo. Widya mencoba menggelengkan kepala tanda keberatan. Tapi Parjo tertawa-tawa saja, “ndak papa non, non kan kemana-mana pakai baju tertutup. Ndak akan ada yang tahu kok.”

Parjo terus menyetubuhi istriku, memain-mainkan badannya seolah Widya adalah miliknya. Aku terus melihat video-video ini, sambil tanganku mengocok kemaluanku sendiri. Aku sangat sange, melihat rekaman Widya di malam itu. Bagiamana tidak, istriku dalam sehari itu berubah, dari seorang wanita yang alim, kini menjadi budak seks bagi para preman. Tubuhnya sudah ditindik dan di tato. Bahkan ia juga pasang IUD, sehingga seberapa banyak-pun preman itu ejakulasi di dalam memek istriku, tetap saja ia tidak akan hamil.

“Memek kamu itu masih sempit aja sih non, bener-bener suamimu ndak pernah minta ngentot ya? Loyo banget dia.” Ejek Parjo.

Widya tidak berkomentar apa-apa mendengar aku, suaminya, terus-menerus dilecehkan seperti itu. Barangkali ia sudah pasrah, dan tidak mengharapkan apa-apa lagi dariku. Aku hanya laki-laki lemah, yang bahkan tidak bisa membela istriku sendiri.

Parjo terus menggenjot istriku dalam posisi misionaris. Perut gembulnya itu nampak bergesek-gesek dengan perut rata Widya. Ditindih laki-laki gemuk seperti Parjo, Widya nampak kesusahan bernafas. Belum lagi, Parjo sesekali juga menciumi mulut Widya, membuat istriku itu kian susah untuk mengambil udara.

Tak berapa lama kemudian, Parjo mempercepat sodokan-sodokan kontol di memek Widya. Itu adalah tanda jika ia sudah akan ejakulasi. Istriku nampak meringis, entah menahan sakit atau menahan sensasi nikmat di memeknya. Yang jelas, tubuh mungil Widya hanya bisa pasrah menerima sodokan dari preman bertubuh gembul raksasa itu.

“Ah, aku sampai non, aku keluarin di dalam ya!” Kata Parjo.

Tubuh Parjo kemudian berkedut-kedut. Ia telah ejakulasi di dalam kemaluan Widya. Di sisi lain, Widya juga aku lihat berkelenjotan seperti Parjo. Mungkin ia juga mengalami orgasme berbarengan dengan Parjo.

“Makasih ya non.” Kata Parjo sambil mengecup kening Widya. “Aku puas banget sama non.”

Parjo kemudian meninggalkan Widya di kasur itu. Dari memek Widya keluar cairan putih yang sangat kental. Sekarang istriku sudah memasang IUD, jadi mereka bisa sesuka hati menggunakan memek Widya.

“Gimana bos, masih enak kan?” Tanya Kusni.

“Ueenak lah, memek non Widya ini sempit banget.” Jawab Parjo.

“Haha sip lah, aku ijin ya bos, rasain juga tubuh non Widya.” Kata Kusni.

“Silahkan aja, sok lah!”

Kusni mendekati Widya yang terkulai lemah di atas kasur. Nafasnya nampak terengah-engah setelah persetubuhan tadi.

“Ayo non, sekarang nungging.” Perintah Kusni.

Kusni kemudian menyetubuhi Widya dengan posisi doggy. Ia menyodoki istriku sambil meremas-remas payudara-nya yang menggantung. Tak lupa, ia mainkan pula tindik di puting susu Widya. Ia goyang-goyangkan dan sesekali ia tarik. Kusni juga memainkan anting cincin yang ada di klitoris istriku. Ia tarik cincin itu hingga Widya menjerit-jerit kesakitan.

Cairan squirt keluar dari memek istriku ketika cincin itu ditarik. Kusni-pun tertawa-tawa melihat hal itu. Ia bangga bisa membuat Widya sampai squirting.

Dengan sangat bernafsu, Kusni terus menyetubuhi Widya. Ia sodok-sodok memek Widya dengan begitu kencang. Cairan-cairan kewanitaan Widya bercampur dengan sperma Parjo terus menetes-netes meluber.

“Bos, aku ikut juga ya.” Kata Kunto yang bertubuh kurus itu.

Kunto sodorkan kontol panjangnya ke mulut Widya. Dan istriku itu sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Ia buka mulutnya selebar mungkin agar kontol itu bisa masuk. Dengan senang hati, Kunto memasukan kontolnya ke mulut Widya.

“Anget, enak!” Kata Kunto.

Widya kini disetubuhi oleh dua orang preman sekaligus. Mulut dan memeknya disodoki oleh dua kontol yang besar. Payudaranya yang menggantung dan bertindik itu tak luput dari remasan dan tarikan tangan kedua preman itu. Mereka meremas-remas payudara istriku hingga warnanya berubah kemerahan.

Widya, seorang wanita yang dahulu merupakan istri yang alim, kini menjadi budak seks bagi para preman. Tubuhnya sudah dinikmati oleh beberapa laki-laki yang sama sekali tidak punya hak. Tubuhnya juga kini sudah bertato dan bertindik. Persis seperti wanita murahan. Dan ia ngentot dengan para preman itu, tanpa melepaskan jilbabnya. Benar-benar seperti wanita binal dan munafik.

Kunto dan Kusni mencapai orgasme hampir dalam waktu bersamaan. Di saat itu pula aku melihat tubuh Widya juga melengking, tanda jika ia mengalami orgasme juga. Cairan peju Kunto memenuhi mulut Widya sedangkan peju Kusni masuk ke dalam rahim istriku.

Tubuh Widya ambruk setelah Kusni dan Kunto melepaskan kontol mereka dari tubuh istriku. Ia ambruk di atas kasur lusuh itu.

Tapi, malam masih panjang bagi Widya. Para preman itu bergantian menyetubuhi Widya. Kadang sendiri, kadang berbarengan. Semua mencicipi tubuh istriku, setidaknya 2 kali. Parjo bahkan sampai empat kali mencicipi tubuh Widya. Entah obat kuat apa yang ia minum hingga ia bisa bersetubuh selama itu. Dari semua preman yang memperkosa Widya beberapa minggu lalu, hanya Tono yang aku tidak lihat keberadaannya.

Aku sendiri bagaiamana?

Selama menonton video itu, aku ejakulasi sampai 3 kali. Ini ejakulasi paling banyak yang pernah aku dapat dalam satu waktu. Video itu berdurasi panjang sekali, tidak semuanya aku tonton. Aku skip beberapa bagian. Tapi secara garis besar, aku menonton hampir seluruh bagian dari video itu. Dan aku sangat menikmatinya!

Aku melihat telapak tanganku, penuh dengan peju. Begitu juga dengan kursi tempat aku duduk. Aku tak percaya dengan diriku sendiri, aku menikmati video tentang istriku yang disetubuhi oleh para preman itu. Bahkan aku sampai bisa ejakulasi 3 kali. Suatu hal yang tidak pernah aku bisa selama ini.

Waktu sudah malam, dan Widya aku lihat tertidur di kamar. Ia tidak memakai pakaian sama sekali ketika tidur. Bahkan ia tidak memakai selimut. Aku bisa melihat dengan jelas, tindik di puting susu dan kemaluannya. Aku juga bisa melihat tato yang ada di perutnya. Tato yang bertuliskan “Lonte!”

Malam ini, aku sudah terlalu banyak ejakulasi. Bahkan hingga kemaluanku terasa nyeri dan sakit. Kontolku sudah lemas, tidak bisa bangkit lagi. Aku biarkan Widya istirahat malam ini. Aku selimuti tubuhnya yang bugil itu. Dan aku memutuskan untuk tidur di sofa.

Flash disk itu hanya berisi adegan Widya dari malam ketika aku tinggal di tempat lusuh itu hingga pagi menjelang. Namun kejadian apa yang menimpa Widya setelah itu hingga hari ini, aku sama sekali tidak tahu. Apakah mereka masih terus meng-gang-bang Widya? Ah, mungkin tidak, mungkin mereka melakukan hal lain. Atau apakah Widya bersetubuh dengan orang lain selain 4 preman itu? Mungkin saja, tapi entahlah. Aku tak mau memikirkan itu. Tubuhku terasa lelah setelah berjam-jam menonton video porno Widya. Aku sekarang mau tidur, mau istirahat. Aku merasa masa bodoh dengan hari esok. Aku tahu, jika aku sudah sakit. Keluargaku sakit. Aku dan Widya sudah tidak waras!

Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-2

yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya

Related Posts