Seri 3 - Akibat Tabrakan dengan Para Preman

Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-1

Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-2



cewek amoy


Part 10

Beberapa hari Widya sempat mengeluh sakit setelah ia dianal paksa oleh Juned di kolong jembatan tempo hari. Ia mengeluh sakit ketika buang air besar, tapi ia sama sekali tidak pernah cerita apa-apa tentang anusnya di anal paksa yang ia alami. Widya hanya mengeluh kalau perutnya mengalami diare sehingga sakit ketika buang air besar.

Tapi untungnya, kesehatan Widya berangsur-angsur pulih. Aku tidak berusaha menanyakan dan Widya juga tidak pernah cerita apa-apa tentang kejadian di kolong jembatan. Hari-hari kamipun berjalan normal kembali. Normal dalam artian kembali seperti setelah syarat-syarat aneh yang diberikan Parjo.

Widya kini menaruh sebuah lemari kecil di teras. Di dalam lemari itu terdapat pakaian-pakaian yang ia gunakan ketika akan keluar rumah. Jadi ketika hendak keluar rumah, Widya bisa memakai pakaian di luar teras. Aku selalu merasa dag dig dug, bagaimana jika sampai ada orang yang melihat Widya memakai pakaian di teras. Pagar rumah kami memang tinggi dan ditutup dengan fiber. Tapi jika ada orang yang nekat melihat, pasti mereka bisa saja melihat tubuh Widya.

Di siang itu, Widya tiba-tiba mengajak aku ke mall. Ini kali pertama ia mengajakku pergi dalam beberapa minggu terakhir. Widya memang cenderung diam setelah diperkosa oleh Parjo dan teman-temannya. Aku sendiri tidak bisa menyalahkan Widya, karena aku juga diam. Suami yang seharusnya melindungi istrinya malah terangsang ketika istrinya disetubuhi orang lain.

“Mau beli apa mah?” Tanyaku.

“Aku mau beli baju.” Katanya singkat. “Mang Parjo yang suruh.” Tambahnya.

Aku tidak bertanya lebih jauh lagi, baju apa yang ingin Widya beli. Perjalanan menuju ke mall berjalan cukup singkat. Hari ini cukup cerah dan jalanan juga tidak terlalu padat. Padahal dua hari ke depan itu libur panjang.

Di mall kami langsung menuju ke etalase baju perempuan. Dulu kami sering belanja seperti ini, mungkin 2 minggu sekali. Tapi setelah malam jahanam itu, kami tak pernah melakukannya lagi. Bahkan saat ini, aku dan Widya sama sekali tidak bicara satu sama lain.

Widya bertanya kepada salah satu penjaga etalase. Dan petugas itu menunjuk sebuah arah di ujung mall. Kamipun pergi ke sana sesuai dengan arahan petugas itu.

Aku sangat terkejut ketika Widya mendatangi sebuah etalase bikini. Di lokasi ini hanya dijual bikini dan pakaian wanita untuk berlibur di pantai. Apa yang akan wanita berhijab lakukan dengan bikini seperti ini?

Tapi sadar, ini semua pasti permintaan Parjo dan teman-temannya. Aku seketika itu kembali lemas tak berdaya. Aku membayangkan jika Parjo akan mengajak Widya untuk berlibur ke pantai dan memaksanya memakai bikini seperti ini.

Widya nampak memilih-milih bikini yang dijual di etalase itu. Ia nampak tertarik memilih bikini model two pieces. Dan model two piece yang Widya lihat rata-rata sangat minim kain. Nyaris tak menutupi kulit tubuhnya jika ia sampai memakainya.

“Mbak, aku yang ini sama yang ini ya.” Kata Widya kepada penjaga etalase di sana.

“Oh baik bu.” Kata penjaga etalase itu.

Aku melihat ada sorot mata aneh dari penjaga etalase itu. Mungkin ia heran, mengapa wanita berhijab seperti Widya hendak pakai bikini two piece seperti yang ia pilih. Widya memilih dua bikini, warna kuning dan juga warna hitam. Keduanya sangat mini, benar-benar nyaris tidak menutupi apapun ketika ia memakainya.

“Aku boleh coba dulu mbak?” Tanya Widya.

Si penjaga etalase-pun tambah kebingungan. Memang sih, wajar jika seseorang mencoba pakaian yang ia beli sebelum membayar. Tapi bikini ini nyaris serperti pakaian dalam, jarang ada orang yang mencobanya di toko. Aku tidak tahu jika di luar negeri, tapi di Indonesia jelas sangat jarang sekali.

“Oh iya bu, boleh.” Kata penjaga etalase itu.

Wajahnya masih nampak kebingungan. Ia copot bikini itu dari hangar dan menunjukan kamar ganti di ujung ruangan.

“Silahkan dicoba di sana ya bu.” Kata penjaga etalase itu.

Widya menuju kamar ganti yang ditunjukan oleh penjaga etalase itu. Dan aku mengikutinya dari belakang. Kamar ganti itu lokasinya cukup jauh dari etalase toko sehingga sedikit sepi suasananya.

Aku menunggu di luar kamar ganti sambil memperhatikan layar handphone yang sedang aku pegang. Aku dan Widya sejauh itu masih saling diam. Tidak bicara sepatah katapun selama di dalam mall ini. Tapi tiba-tiba Widya memanggil namaku dari kamar ganti.

“Kira-kira apa ini cocok pah?” Kata Widya tiba-tiba.

Aku yang awalnya tidak memperhatikan dibuat terkejut dengan pertanyaan Widya. Bagaimana tidak, istriku bertanya sambil membuka gorden kamar ganti. Aku bisa melihat dengan jelas tubuhnya yang sekarang ini hanya menggunakan bikini warna kuning dengan jilbab masih menempel di kepalanya.

Mulutku terbuka, tapi tak ada kata-kata yang keluar untuk beberapa lama.

“Jangan bengong pah, gimana, cocok apa ndak?” Tanya Widya lagi.

Bikini two piece yang Widya kenakan benar-benar mengeskpose seluruh tubuhnya. Payudaranya hanya tertutup sebagian, aku masih bisa melihat bentuk bulatnya yang begitu indah. Bikini itu juga tidak menutup selangkangan Widya secara sempurna. Dan yang lebih gila lagi, Widya memperlihatkan itu semua kepadaku di kamar ganti mall. Mall ini memang tidak sedang ramai sekali, tapi tetap saja, orang bisa melihat kondisi Widya jika lewat tepat di depan kita.

“Ba, bagus mah, bagus sekali.” Kataku dengan terbata-bata.

Tanpa aku duga, kemaluanku berdiri tegak melihat istriku menggunakan bikini seksi seperti itu. Walau bagaimanapun, tubuh istriku memang sangat menggoda. Kulitnya putih nyaris tanpa cela. Kecuali tato yang menghiasi bawah pusarnya. Tubuh istriku juga masih kencang dengan payudara dan pinggul yang sangat ideal. Setiap laki-laki normal pasti akan ereksi jika melihat wanita seperti itu menggenakan bikini.

“Syukurlah kalau begitu.” Kata Widya. “Oh iya, tolong dong pah fotoin.” Tambah Widya.

‘Foto!’ Teriaku di dalam hati. Tentu saja aku kaget bukan main. Widya menyuruhku memfoto dirinya di tempat umum seperti ini?

Tapi toh aku tetap menuruti kata-kata Widya itu. Aku beranggapan jika Widya sedang diminta oleh Parjo dan teman-temannya. Menolak perintah mereka sama saja dengan bunuh diri.

“Oke,” Kataku. “Mama posenya yang agak bagus ya.” Tambahku.

Aku memfoto tubuh Widya dalam balutan bikini di ruang ganti mall. Widya mencoba beberapa pose untuk foto-foto itu. Ia memang pernah menjadi model dadakan untuk fashion hijab dan gamis. Tapi kali ini ia berfoto menggunakan bikini, meskipun tetap masih mengenakan hijab.

Sejauh ini, Widya memang hampir tidak pernah melepas hijabnya. Kecuali ketika berada di hadapanku dan ketika ia dipaksa melepas hijabnya oleh jawara di bawah kolong jembatan. Selain itu, ia selalu menggenakan hijabnya. Bahkan ketika dipakai beramai-ramai oleh Parjo dan teman-temannya.

Entah apa maksud Widya terus-menerus mengenakan jilbab. Meskipun seluruh auratnya yang lain ia umbar begitu saja. Aku benar-benar tidak paham keinginan Widya sesungguhnya.

Creeek, creeek, creek, aku mengambil beberapa foto Widya mengenakan bikini itu. Ia berpose di dalam kamar ganti dengan gorden terbuka. Sedangkan aku mengambil foto dari luar. Widya mencoba beberapa model bikini lain. Dan setiap ganti model, ia memintaku untuk memfoto dirinya.

Mungkin ada puluhan bahkan lebih foto yang sudah aku ambil. Apakah foto-foto itu akan Widya kirim ke Parjo dan kawan-kawan? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu, apa rencana Widya dengan bikini sebanyak itu.

Akhirnya, Widya membeli 5 buah bikini dengan beberapa warna berbeda. Aku yang membayar semua bikini itu di kasir. Kasir mall itu nampak tersenyum ketika aku membayar bikini itu. Ia mungkin berfikir jika aku suami yang mesum dan menyuruh istri solehah-nya untuk mengenakan pakaian aneh-aneh.

Setelah di mall, kami kembali ke rumah. Aku dan Widya kembali diam, tidak saling bicara lagi. Tapi tiba-tiba ia bercerita jika ia memang ada rencana dalam weekend ini.

“Aku diajak Parjo pergi di long weekend ini ya pah.” Katanya dengan singkat.

“Oh oke.” Kataku dengan singkat sambil nyetir.

“Mungkin aku belum pulang sampai rabu.” Tambahnya lagi.

“Oke mah.” Kataku dengan singkat lagi.

Aku tak tahu harus bilang apa. Jantungku berdegup begitu kencang. Rasanya aku ingin marah sekali. Tapi tiba-tiba otaku melayang, membayangkan tubuh Widya kembali digumuli oleh para preman itu. Aku membayangkan Widya digumuli di pantai yang sepi dengan bikini yang ia kenakan.

Sesampainya di rumah, Widya membuka pakaian ketika masuk rumah, dan ia buru-buru packing. Ia tidak membawa banyak baju. Ia hanya membawa satu tas dengan satu ada dua gamis. Lalu semua bikini yang tadi kita beli ia masukan seluruhnya ke dalam tas. Semua itu ia lakukan dengan nyaris bugil.

Widya nyaris bugil kecuali jilbab yang ia kenakan di kepala. Semua itu karena aturan Parjo yang ia wajibkan kepada Widya. Di rumah, Widya tidak hanya boleh mengenakan bra, celana dalam, dan jilbab. Tapi kadang Widya telanjang sekalian.

Aku merasa pans dingin melihat kondisi Widya sekarang ini. Buah dadanya menggantung dengan indah ketika ia membungkuk untuk merapikan isi tas. Buah dadanya masih nampak terlihat kencang dan membulat sangat indah. Rasanya aku ingin sekali meremas buah dada itu.

Tanpa sadar, kemaluanku sudah berdiri dengan maksimal di balik celana. Aku ingin sekali menubruk Widya dan menyetubuhinya sekarang. Tapi melihat Widya dalam kondisi buru-buru seperti itu, berarti kemungkinan Parjo sudah dekat.

Setelah selesai berkemas, Widya mengenakan salah satu bikini yang tadi kami beli. Bikini berwarna kuning itu sangat pas dengan lekuk tubuhnya. Pendapat pribadiku, Widya malah lebih menggairahkan dengan pakaian minim seperti ini daripada ketika ia telanjang bulat. Entahlah, mungkin ini hanya pendapat pribadiku saja.

“Pah, aku pergi dulu.” Kata Widya berpamitan kepadaku.

Dia pergi dengan mencium tanganku, seolah mencari restuku. Ganjil sekali situasi yang aku hadapi sekarang ini. Istriku pergi dengan pria lain yang jelas-jelas akan menikmati tubuhnya. Sementara aku hanya bisa diam terpaku melihatnya keluar rumah dengan mengenakan bikini seksi.

Di teras, Widya mengenakan gamis untuk menutupi bikini yang ia kenakan. Tak lama, mobil Parjo-pun muncul, sebuah kijang lama berbentuk kotak. Ia datang bersama Kusni dan Tono.

“Sudah siap ya non?” Kata Parjo sambil memeluk istriku.

“Iya Mang.” Jawab istriku dengan nada malu-malu.

Parjo tak segan memeluk dan kemudian mengecup bibir Widya. Ia lakukan itu tepat di hadapanku seolah aku tak ada di sana. Aku lihat, lidah Parjo bahkan merangsek masuk ke dalam mulut Widya.

Sekejap kemudian, mereka sudah pergi. Meninggalkan aku dengan penuh tanda tanya dan kebingungan. Hati dan tubuhku terasa panas dingin. Aku membayangkan berbagai skenario yang bisa terjadi kepada Widya. Semua itu membuatku sangat terangsang. Kemaluanku dari tadi terus menerus berdiri tegak sedari tadi. Ah entah mengapa aku tidak menghentikan Widya untuk ikut para preman itu.

‘Ting tong’ bell gerbang rumahku berbunyi, tidak sampai 2 menit dari kepergian Widya.

“Nadia, wah lama sekali ndak mampir.” Kataku kepada seorang gadis yang sudah menunggu di di balik pintu gerbang.

Nadia adalah sepupu dari istriku Widya. Dulu ketika masih mahasiswa, ia sering sekali datang ke rumah kami untuk berkunjung. Terutama ketika weekend tiba. Tapi sekarang, ia sudah bekerja di sebuah kantor internasional. Karena itu ia jarang sekali mampir lagi ke rumah kami.

Untung Nadia datangnya sekarang, apa jadinya jika ia sampai melihat kakak sepupu-nya mengenakan bikini seperti tadi. Belum lagi kalau ia sampai melihat Widya berciuman dengan Parjo. Entah apa yang akan ia pikir dengan rumah tangga kami.

“Mbak Widya ada Mas Arman?” Tanyanya.

“Wah kebetulan, mbak Widya lagi pergi sama temen-temennya. Mau ada perlu apa dek?” Tanyaku.

“Hmmm, mau ngobrol aja sih.” Tambahnya.

“Eh, masuk dulu Nad, mendung juga.” Kataku.

Hari itu aku lihat memang mendung sudah menggelayut. Bau udara juga sudah tercium seperti tanah basah. Tanda jika hujan memang sebentar lagi mau turun.

Benar dugaanku, hujan turun tak lama setelah Nadia masuk ke rumah. Hujan turun dengan sangat derasnya. Jelas jika Nadia tak bisa pulang ke rumahnya.

“Deres banget mas.” Kata Nadia.

“Iya Nad, ya udah nunggu dulu aja di sini.” Kataku.

“Mbak Widya kapan balik mas?” Tanya Nadia.

“Hmm, kayaknya sih dia nginep Nad.” Kataku.

“Reunian sama temen SMA.” lanjutku mencoba berbohong.

“Wah, kok Mas ijinin sih mbak Widya nginep sama temen2nya?” Tambahnya.

“Oh, ndak papa sih Nad, lagian cewek semua kok.” Kataku.

Nadia ini adalah cewek yang imut dan lincah. Postur tubuhnya cenderung mungil. Ia suka mengenakan jilbab tapi untuk pakaian lain ia lebih suka mengenakan celana panjang dan kaos lengan panjang yang sangat ketat. Pilihan bajunya itu membuatnya nampak sporty dan enerjik. Satu hal yang sedikit bertolak belakang dengan Widya.

“Yakin mas cewek semua?” Tanyanya.

Entah mengapa tidak ada nada bercanda dalam pertanyaan Nadia itu. Apakah ia tahu sesuatu tentang Widya dan Parjo?

“Aku yakin Nad, santai aja.” Jawabku.

Dia melihat sepintas ke arah wajahku, seperti seorang detektif mencari clue dari sebuah kasus. Tatapan matanya tajam, ia memang cenderung blak-blakan dan cerdas. Sekali lagi, ini sifat yang bertolak belakang dengan Widya.

“Oke, hehe, kalau mas yakin begitu.” katanya dengan senyum lucunya.

Ngomong-ngomong hal yang lucu, aku sebenarnya kenal Nadia jauh lebih lama dari aku kenal Widya. Ketika aku masih mahasiswa, aku pernah mencari pekerjaan sambilan sebagai seorang pengajar di tempat bimbingan belajar. Dan Nadia adalah salah satu muridku di dalam bimbel itu.

“Mas Arman, aku kok laper ya.” Kata Nadia.

Di saat itulah, aku juga baru sadar kalau aku belum makan sejak tadi pagi. Pikiranku cukup ruwet terutama setelah tahu Widya akan pergi bersama dengan Parjo dan teman-temannya siang ini. Rasa lapar dan haus di tubuhku seolah sirna. Yang ada hanya rasa kalut dan bimbang.

“Wah gimana ya, mau pesan makan, tapi hujan. Atau kita makan di luar aja Nad? Kita pergi pakai mobil.” Kataku.

Nadia beranjak ke dapur dan melihat isi lemari es. “Ndak usah mas, gimana kalau kita masak aja? Kebetulan nih ada daging gyudon, sayur juga banyak sekali. Tenang, aku yang masak deh mas. Nanti tinggal bilang aja ke Mbak Wid kalau daginya aku habisin.” Katanya.

“Iya ya udah, aku bantu sini masaknya.” Kataku.

Krruuk, krrruk, krruuuk, sebuah suara keluar dari perutku.

Nadia tertawa melihatku, “Mas laper juga ya?” Tanya-nya.

“Hehe, iya Nad, belum makan dari tadi pagi.” Kataku tanpa berfikir panjang.

“Dih, gimana sih mbak Wid. Suaminya kok di sia-siain gini.” Tambahnya lagi. “Masak pergi sama temen-temennya suaminya ndak dikasih makan.”

“Tenang Nad, ndak papa.” Kataku. “Memang aku jarang sarapan kok.” Tambahku.

“Ya udah, sini, aku masakin yang enak.” Kata Nadia.

Nadia memang cukup pandai dalam memasak. Dulu setauku ia pernah merintis bisnis kuliner sebelum diterima di perusahaan multinasional. Bisnis itu sudah ia tinggalkan karena gaji dua digit mungkin lebih menggiyurkan baginya.

Cekatan sekali Nadia memasak, ia bisa mengkombinasikan beberapa bumbu dan bahan-bahan campur aduk seadanya di dapurku menjadi sebuah masakan istimewa. Kami makan di depan televisi sambil menontong film Netflix secara random. Kami asik mengobrol sana sini dan sepintas melupakan Widya sebagai obyek pembicaraan kami dari awal. Masakan Nadia benar-benar enak. Rasanya tidak kalah dengan restoran kelas atas yang pernah aku kunjungi.

Seusai masak, kami sama-sama ke dapur. Nadia mencuci piring dan aku merapikan peralatan masak yang tadi kami gunakan. Kalau ada orang yang melihat kami, mungkin mereka bakal berfikir jika kami adalah pasangan suami istri.

Nadia hendak mengambil sabun cuci piring di lemari ketika aku melintas di belakangnya. Tubuh kami bertubrukan dan Nadia nyaris jatuh ke atas tubuhku. Tapi tubuhku tersandar pada kusen dengan Nadia memeluk perutku.

“Ah, hampir saja.” Kataku dengan sedikit kaget. “Kamu ndak papa Nad?” Tanyaku.

Nadia diam sejenak, ia masih terus memeluk tubuhku dengan erat.

Tanganku bergerak untuk mendorong pelukan Nadia, tapi Nadia malah semakin erat memeluk tubuhku.

“Mas, sebentar lagi boleh?” Kata Nadia.

Sampai detik itu, aku masih bingung dengan apa yang Nadia inginkan.

“Kamu kenapa Nad?” Tanyaku.

“Sebentar saja mas, aku mau meluk kamu. Maaf ya, sebentar saja.” Kata Nadia.

Aku bisa merasakan pelukan tangannya makin kencang di pinggulku. Dalam eratnya dekapan tangan Nadia itu, aku bisa merasakan dada-nya yang melekat erat dengan tubuhku. Bohong jika aku tidak terangsang dengan sentuhan dada sepupu Widya ini. Perlahan, kemaluanku mulai bangkit dan mengeras. Aku yakin Nadia bisa merasakan kemaluanku yang mengeras di sekitar perutnya.

“Mas, boleh aku bilang sesuatu ke mas Arman?” Tanya Nadia.

Aku mencoba menghela nafas, aku sebenarnya tidak tahu harus berkata apa. Aku jawab pertanyaan Nadia dengan anggukan kepala.

“Mas, sebenarnya aku sudah lama suka sama mas Arman. Aku suka sama mas Arman sejak aku SMA, ketika mas Arman menjadi guru di tempat les aku.” Kata Nadia.

Seketika itu aku shock mendengar perkataan Nadia. Bagaimana tidak, aku tidak pernah seumur hidupku mendapatkan surat cinta dari seorang gadis. Bahkan aku yang mengungkapkan rasa cinta kepada Widya dahulu. Tapi sekarang, ketika aku sudah menikah, justru seorang gadis menyatakan cintanya kepadaku.

“Mas, mengapa mas Arman memilih Mbak Widya? Apa ada yang kurang dari aku mas?” Tanya Nadia. Entah apa maksud Nadia menanyakan hal itu.

“Nad, kamu tidak punya kekurangan.” Kataku mencoba memilih kata-kata yang tepat. “Kamu seorang wanita yang sempurna Nad.” Kataku lagi.

Aku bisa mendengar Nadia menghembuskan nafas panjang. “Tapi mengapa kamu memilih Mbak Widya mas?” Katanya lagi.

Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata Nadia tadi. “Cinta itu kadang misteri Nad.” Kataku mencoba mencari kata-kata yang pas. Tapi aku tak yakin kata-kataku itu pas untuk Nadia,

“Andai mas memilih aku, aku tidak akan seperti Mbak Widya, aku tidak akan mengkhianati perasaan mas.” Kata Nadia.

Degg, sekali lagi aku kaget dengan kata-kata Nadia. “Maksudmu apa Nad?”

“Aku tahu, mas Arman ini tidak bodoh, aku melihat mbak Widya selingkuh dengan pria lain. Dan aku yakin, mas Arman sebenarnya juga tahu akan hal itu.” Tambah Nadia.

Aku cukup syok mendengar kata-kata Nadia itu. Aku pikir, tidak ada yang tahu hubungan Widya dengan para preman itu. Tapi ternyata Nadia sudah tahu akan hal itu.

“Nad, kamu lihat apa?” Tanyaku.

“Aku lihat semua mas. Mbak Widya menyambut pria lain di rumah ini. Bahkan ia menyambutnya dengan cuma pakai pakaian dalam dan hijab aja. Mas, buka mata mas, Mbak Widya sudah main di belakang mas. Bahkan sampai ia berbuat serendah itu. Mana ada wanita baik-baik yang menyambut laki-laki lain di rumahnya sendiri. Bahkan pakai baju yang sangat memalukan seperti itu.” Kata Nadia dengan nada bergetar.

Selama bicara itu, Nadia terus memeluku dengan erat. Ia sama sekali tak melpaskan kaitan tangannya di pinggangku.

Aku sekali lagi menghela nafas panjang, tak tahu harus berkata apa lagi.

“Mas, kalau mas pilih aku, aku pasti akan setia mas. Aku tidak akan mengkhianati mas. Aku akan menjadi wanita seutuhnya untuk mas saja.” Kata Nadia lagi.

“Nad”, kataku, “Aku yakin kamu pasti akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari aku.” Tambaku. “Aku punya kekurangan Nad, dan kekurangan itu juga yang membuat Widya mulai menjauh dariku.” Kataku lagi.

“Kekurangan apa mas?” Tanya Nadia. “Bagi aku, mas itu laki-laki yang sangat sempurna, siapapun pasti akan bahagia hidup dengan mas.” Kata Nadia lagi.

Jujur aku terharu dengan pujian yang diberikan Nadia. Tapi semua itu tidak menutup fakta jika aku mempunyai kekurangan cukup besar. “Nad, kalau kamu jadi istriku, pasti kamu juga mempunyai pemikiran sama dengan Widya.” Kataku.

“Mas, jangan semudah itu menyamakan aku dengan Mbak Widya. Aku yakin aku pasti akan setia.” Kata Nadia sekali lagi.

“Nad,” Kataku lagi, “Aku ini lemah syawat. Aku tidak bisa memuaskan Widya.”

Nadia menatapku setelah aku mengucapkan kata-kata tadi. Ia menatapku sambil perlahan aku merasakan tangannya bergerak di sekitar perutku dan turun ke bawah.

“Ah, Nad!” rintihku ketika aku merasakan jarinya membelai kemaluanku yang sudah tegak berdiri di balik celanaku.

“Mas, punya mas sudah berdiri nih. Aku ndak yakin mas itu lemah syahwat. Barangkali mas aja yang punya anggapan salah kalau selama ini mas itu lemah syahwat. Tapi nyatanya, aku yakin mas itu normal.” Katanya sambil terus membelai kemaluanku di balik celana.

Bohong jika aku tidak menikmati sapuan lembut tangan Nadia. Tapi ini semua salah, aku dan Nadia tidak seharusnya melakukan ini.

“Nad, aku tidak bisa memberi Widya keturunan. Aku mandul!” Kataku lagi.

Nadia terhenyak menatapku lagi. Tangannya juga berhenti untuk membelai-belai kemaluanku. Aku kira, aku berhasil membuat fantasi Nadia berhenti. Fantasinya yang ingin mencoba untuk membuatku jatuh cinta terhadap dirinya. Namun ternyata aku salah. Nadia memang kaget, tapi ia kaget bukan karena pernyataan yang aku buat.

“Mas, siapa bilang kamu mandul?” Kata Nadia dengan nada keheranan.

“Nad, faktanya aku belum mempunyai anak. Aku memang belum periksa, tapi aku yakin akulah yang mandul. Di keluarga besarku, ada beberapa pasangan yang memang tidak mempunyai anak. Aku yakin, itulah penyebab aku tidak punya anak selama ini.” Kataku.

Nadia menatapku dengan wajah terheran-heran.

“Mas, kamu tidak tahu?” Kata Nadia.

“Tidak tahu, tidak tahu apa Nad?” Tanyaku lagi.

“Mbak Widya mandul!”


Part 11

“Mbak Widya mandul mas!” Kata Nadia.

Aku terkejut bukan main mendengar hal itu.

“Nad, kamu jangan ngomong sembarangan.” Kataku.

“Aku tidak bicara sembarangan mas. Aku yang menemani mbak Widya periksa ke dokter. Dan hasil pemeriksaan menunjukan kalau Mbak Widya itu mandul. Waktu itu ia sengaja tidak mengajak mas, karena ia bilang mas lagi ada tugas ke luar kota selama satu minggu.”

Aku benar-benar terkejut mendengar pernyataan Nadia.

“Kamu tidak berbohong Nad?” Tanyaku dengan nada bicara nyaris bergetar.

“Mas, aku berani bersumpah, aku membaca sendiri hasil pemeriksaan Mbak Widya. Ia menangis ketika membaca hasil pemeriksaan itu. Bahkan sampai 3 hari lamanya aku temenin Mbak Widya di rumah ini.” Katanya.

Aku ingat beberapa bulan yang lalu aku memang bertugas ke luar kota. Dan ketika aku bertugas, Widya pernah tidak mengontak aku selama beberapa hari. Sekarang aku tahu penyebabnya.

Aku syock, tubuhku membeku dan nyaris jatuh. Nadia yang masih memeluk tubuhku mencoba untuk menahanku. Ia membopongku ke kursi di depan televisi.

“Maafkan aku, tidak seharusnya aku bilang ini kepadamu mas. Aku kira Mbak Widya sudah menceritakan semuanya.” Kata Nadia.

Aku masih benggong, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja beredar di depanku. Entah mengapa aku tak paham, mengapa Widya menutupi semua informasi ini dariku. Dan bahkan sampai memasang spiral dengan dalih agar tidak hamil akibat persetubuhan Widya dengan para preman itu.

Aku menangis dan menatap kosong ke langit-langit. Suami macam apa aku ini, aku tidak tahu kalau istriku sendiri itu ternyata mandul, dan aku juga biarkan istriku bermain serong dengan para preman itu. Aku merasa, hidupku benar-benar hancur.

“Mas,” Kata Nadia.

Ia duduk di sampingku dan bersandar ke pundakku. Tangannya mencoba menggenggam tanganku.

“Nad,” Kataku. “Aku pengin ngentot!” Tambahku dengan tiba-tiba.

Nadia nampak kaget mendengar kata-kataku itu. Dan lucunya, aku merasa lebih malu lagi. Entah mengapa aku sampai hati mengatakan itu.

Nadia menarik tanganku untuk berdiri, ia sendiri sudah lebih dulu berdiri. Ia membuka jilbab yang ia kenakan, sehingga rambut lurus indahnya itu tergerai begitu saja.

“Yuk ke kamar mas.” Kata Nadia. “Jangan di sini.” tambahnya.

Sesampainya di kamar, Nadia mencium bibirku. Aku merasakan, bibirnya yang hangat dan lembut itu, serta wangi parfum yang ia kenakan. Aku tidak pernah sedekat ini dengan Nadia, dan kini aku sadari jika Nadia benar-benar cantik. Tidak kalah cantik dengan Widya istriku.

Cupp, cupp, cupp,

kami berciuman bagaikan sepasang kekasih yang dimadu asmara. Lidah kami saling beradu dan liur kami saling bertukar. Aku bisa merasakan nafas panjang Nadia membuai kulit wajahku.

“Nad.” Kataku mencoba berkata-kata. Tapi Nadia buru-buru membungkam mulutku dengan jari telunjuknya.

“Stt, mas diam aja.” Katanya.

Kami lalu berciuman kembali dan saling beradu lidah. Sudah lama rasanya aku tidak berciuman sepanas dan sebergairah ini. Terutama sejak Widya dikuasai para preman itu.

Kami saling beradu pandangan setelah ciuman panas itu. Aku menatap wajah Nadia yang cantik yang mempunyai kesan sedikit tomboy dengan potongan rambut sebahu-nya yang lurus itu. Aku ingin kembali berucap, tapi Nadia kembali melarangku dengan kembali membungkam mulutku dengan satu jari telunjuknya.

Perlahan, Nadia turun bersimpuh di hadapakanku. Jari-jemarinya membuka celana panjang yang aku kenakan hingga celana itu turun ke atas lantai. Tanpa menunggu lama, Nadia juga menurunkan celana dalamku sehingga kemaluanku yang sudah berdiri dengan tegak itu mengacung tepat di hadapakan wajah Nadia.

Kemaluanku kini berdiri dengan sangat tegak. Entah mengapa aku merasa bergairah sekali. Apalagi melihat sosok Nadia yang kini bersimpuh di hadapanku.

Jari-jemari Nadia membelai-belai batang kemaluanku. Aku merasa kulit tangannya begitu lembut bahkan sedikit lebih lembut dari kulit tangan Widya. Belaian tangannya juga terasa begitu nikmat. Aku sama sekali tidak mengira jika Nadia mampu melakukan ini. Selama ini, aku mengira jika Nadia adalah seorang gadis lugu dan alim. Tak aku sangka ia bisa memainkan jarinya seperti itu di kemaluanku.

Satu tangan Nadia kini membelai-belai lembut buah zakarku. Entah mengapa ini sangat nikmat bagiku. Rasanya seperti melayang ke surga dunia. Aku nyaris tidak peduli lagi jika wanita yang ada di depanku ini masih saudara istriku sendiri.

“Ahh,” Aku merasa seperti tersetrum ketika lidah Nadia menjilat ujung bibir kemaluanku. Ujung kemaluanku sangat sensitif ketika disentuh, apalagi ketika dijilat oleh lidah. Entah dari mana, Nadia tahu titik-titik lemah tubuhku.

Nadia menatapku dari bawah sambil tersenyum. Ia seperti tahu jika aku merasa sangat terangsang dengan jilatan lidahnya itu. Ia bahkan sempat menggodaku dengan cara kembali menjilati ujung kemaluanku sembari melihat ekspresi belingsatan di wajahku. Dan ia terus saja tersenyum ketika tahu aku sangat terangsang.

Nadia menyibabkan rambut indahnya itu ke belakang telingga. Cantik sekali ia ketika melakukan itu. Namun, satu hal yang membuatku lebih terkesima lagi, ia langsung memasukan kemaluanku ke dalam mulutnya.

“Oh shiit!” Kataku sekonyong-konyong.

Aku langsung merasakan hangat, lembut, dan nikmatnya bibir Nadia. Satu hal yang sudah lama sekali tidak aku rasakan dari Widya. Nadia memasukan kemaluanku sebatas kepalanya di dalam mulutnya. Lidahnya menari-nari memainkan kepala kemaluanku. Sementara itu tangannya masih merangsangi batang dan buah zakarku.

Nadia menatapku kembali sambil terus memainkan kemaluanku. Ia melepaskan kulumannya di kemaluanku sambil kembali tersenyum. Ia seolah puas dan bangga bisa membuatku belingsatan. Di dalam batin, aku hanya bisa berkata, pria mana yang tidak akan belingsatan disepong oleh gadis secantik ini.

Nadia kembali memasukan kemaluanku di dalam mulutnya. Kali ini ia memasukannya sedalam yang ia bisa. Hampir seluruh batang kemaluanku ia telan di dalam mulutnya.

Hangat, rasanya benar-benar hangat dan nikmat. Kuluman Nadia bahkan aku rasa jauh lebih enak dari yang pernah Widya berikan. Terlebih lagi, Nadia benar-benar tahu di mana aku merasakan nikmat paling besar.

Saking nikmatnya sepongan Nadia, aku harus menghentikan sepongan itu. Aku khawatir aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Kemaluanku sudah tegang bukan main. Jika Nadia terus menyepongku, bisa-bisa sebentar lagi aku orgasme.

Nadia nampak mengerti, ia kembali tersenyum, berdiri, dan menciumku lagi dalam posisi saling berpelukan. Sambil berciuman, Nadia mulai melepaskan satu per satu kancing kemeja-nya. Kemeja itupun terlepas tak lama setelah itu. Menampilkan kulit kuning langsatnya yang begitu halus.

Nadia mempunyai kulit yang begitu menawan. Kulitnya kuning langsat, nyaris tanpa cacat. Aku bisa melihat payudaranya yang terbungkus bra berwarna hitam. Payudara itu ukurannya tidak begitu besar, namun nampak indah dan kencang.

Nadia kembali ternsenyum, melihat ekspresi wajahku yang mungkin melongo seperti orang bego. Ia mengajaku untuk ke ranjang. Tubuh Nadia bersandar di bantal dan ia kemudian melepaskan bra berwarna hitam yang ia kenakan. Kini aku bisa melihat dengan jelas payudara berukuran sedang itu, dengan puting susu berwarna cokelat muda. Puting susu Nadia sudah mengacung hebat, tanda jika ia juga merasa terangsang.

Tanpa berkata-kata, Nadia mendorong kepalaku ke arah payudaranya. Aku paham apa yang Nadia inginkan, meskipun ia sama sakali tak berkata apa-apa. Bercumbu tanpa sepatah kata apapun ini benar-benar membuatku sangat bergairah.

Perlahan, aku kecup payudara Nadia. Nadia sempat melenguh dan seperti merasa kegelian. Mungkin karena kumis tipisku yang lupa aku cukur. Aku jilati puting susu Nadia yang mungil itu. Alhasil, puting susu Nadia semakin terlihat mengacung.

Sampai detik ini, aku sudah mulai lupa jika Nadia adalah adik sepupu istriku. Aku juga sudah mulai lupa jika kami seharusnya tidak melakukan hubungan ini. Nasi sudah menjadi bubur, semua sudah kepalang tanggung. Masa bodoh apa yang akan terjadi di masa mendatang. Untuk saat ini, aku hanya ingin merengkuh kenikmatan dari Nadia.

Aku jilat, kulum, dan sedikit gigiti puting susu Nadia. Aku merasa gemas sekali dengan puting susu itu. Bagiku, Nadia masih sama seperti dulu. Seorang anak SMA yang lincah dan lugu. Tanpa ragu, aku menelanjangi diriku, membuang baju atasan yang masih aku kenakan. Aku sekarang sudah telanjang bulat, tanpa ada sehelai baju yang aku kenakan.

Payudara Nadia itu aku belai dan aku remas-remas. Nadia terus merintih merasakan rangsangan demi rangsangan yang aku berikan. Suara lenguhan Nadia terdengar begitu centil namun sama sekali tidak ada kesan murahan. Aku suka suara lenguhan seperti itu.

Sambil payudaranya aku cumbu, Nadia ternyata mulai melepaskan celana yang ia kenakan. Celana kain itu cukup mudah terlolosi dari kaki jenjangnya. Menyusul kemudian celana dalam hitam yang ia kenakan. Kini, Nadia sudah benar-benar polos tanpa ada satupun kain melekat di tubuhnya.

Dengan sedikit tatapan nakal, Nadia membuka selangkangannya. Kedua kakinya membuka membentuk huruf M. Kemaluannya nampak terlihat dengan bulu-bulu halus dan tipis nampak tercukur rapi di sekitarnya.

Tanpa berfikir panjang, aku lahap kemaluan Nadia. Vagina adik sepupu istriku itu terasa gurih dengan aroma khas wanita. Aku jilat kemaluan Nadia, aku sedot cairan yang keluar dari dalamnya, aku paksa lidahku untuk masuk ke dalamnya.

Nadia melanguh panjang, dan mungkin menggeliat tidak karuan. Aku tak bisa melihat dengan jelas reaksi Nadia sekarang ini karena aku terlalu sibuk untuk mengoral memeknya. Memek Nadia sudah becek sekali, mungkin memang ia juga sudah terangsang sedari tadi.

Memek Nadia masih terlihat begitu sempit. Aku tidak tahu apakah ia masih perawan atau tidak. Tapi, aku tidak ingin memikirkannya lebih jauh. Aku sudah kepalang tanggung, nafsuku sudah berada di ujung kepala. Aku yakin, Nadia juga merasa seperti itu.

Aku mendorong pinggul Nadia ke samping. Tanpa aku bicara, Nadia mengerti jika aku menyuruhnya untuk menungging. Sungguh, kami seperti dua pasang kekasih atau suami istri yang sudah lama bersama. Saling mengerti satu sama lain tanpa perlu mengucapkan kata. Setelah Nadia menungging, aku bisa melihat dengan jelas kemaluannya dari belakang. Aku juga bisa melihat dengan jelas lubang duburnya. Kedua lubang itu nampak menggairahkan. Warnanya sedikit kecoklatan muda, sedikit lebih coklat dibandingkan dengan kulit kuning langsatnya. Tapi semua itu tidak membuatnya jelek. Justru warna kontras itu membuatnya nampak lebih menggairahkan.

“Ugghh, hmph!” rintih Nadia ketika aku mulai menjilati duburnya.

Ya, aku menjilati dubur adik sepupu istriku itu. Aku tidak lagi merasa jijik untuk melakukannya. Aku juga tak merasa segan. Lidahku menyapu dubur Nadia, sambil jariku membelai-belai kemaluannya. Tubuh Nadia yang mungil itu berkelenjotan bukan main. Ia seperti orang yang tersengat listrik tegangan tinggi.

Aku mungkin sudah gila, gila dengan adik sepupu istriku sendiri. Aku tidak pernah menyadari betapa cantik dan menawan Widya ini. AKu selalu melihat Widya jauh dari Nadia. Namun sekarang ini, aku baru tahu jika Nadia juga seorang bidadari, sama seperti Widya.

Lidahku terus menyapu kulit Nadia. Tak segan lidahku menyapu ke bagian dalam dubur Nadia. Rasanya sedikit anyir, namun tak mengapa. Aku sama sekali tak merasa jijik. Justru aku merasa begitu bergairah menjilati dubur mungil itu.

Tubuh Nadia tertekuk ke bawah, ia nampak begitu menikmati jilatan-jilatanku. Payudaranya yang mungil itu kini tertekan diatas kasur. Mungkin ia sudah hilang kendali seperti diriku. Oh Nadia, andai saja aku tahu kamu suka sama aku. Mungkin hidupku akan sama sekali berbeda dari sekarang.

Nadia kembali membalik tubuhnya, ia terlentang dengan kedua kaki terbuka. Wajahnya yang sudah sayu itu menatap lekat ke arahku. Seolah memberikan tanda jika ia sudah siap sepenuhnya untuk menerima diriku.

Aku pegang batang kontolku yang sudah mengeras. Tak kusangka, kontolku sudah mengeras begitu kencang. Kontolku nyaris tidak pernah setegang ini, kecuali ketika melihat Widya sedang disetubuhi oleh para preman.

Aku mulai menggesekan kemaluanku di bibir vagina Nadia. Sepupu istriku itu kembali tertengadah sambil melenguh bukan main. Cairan bening meluber keluar dari mulut vagina Nadia dalam jumlah banyak sekali. Bahkan tak sedikit yang membanjiri seprei kasur tempat tidurku.

Nadia mengangguk pelan ketika aku mulai melakukan penetrasi. Sampai detik ini, aku tak tahu apakah Nadia masih perawan atau tidak. Yang aku tahu, kemaluanku pelan-pelan mulai merangsek masuk ke vaginanya yg sempit.

Gila, ini gila, selama pernikahanku hingga pagi ini, aku sama sekali tak terfikir untuk selingkuh. Bahkan setelah Widya melakukan hubungan tak senonoh dengan para preman itu. Aku masih mencoba untuk setia kepada Widya. Tapi Nadia meruntuhkan semua pertahananku. Aku tak berdaya di hadapannya.

Tak butuh waktu lama agar batang kontolku masuk seluruhnya ke dalam memek Nadia. Aku terkejut ketika tahu jika Nadia ternyata sudah tidak lagi perawan. Terbukti dengan cukup mudahnya kontoku masuk ke dalam memeknya tanpa halangan berarti. Tapi aku tak mau berfikir lebih jauh lagi. Sensasi nikmat jepitan memek Nadia seketika membuatku melayang. Jepitan vagina Nadia bahkan lebih enak dari jepitan memek istriku.

Aku mulai menggoyangkan pinggulku, kemaluanku yang ukurannya tak seberapa itu mulai menusuk-nusuk vagina Nadia. Entah mengapa, aku memperoleh sensasi berbeda ketika menyetubuhi Nadia. Aku merasa bisa bertahan lebih lama, aku merasa lebih perkasa. Batang kemaluanku bahkan berdiri lebih keras dari biasanya.

Apakah ini semua pertanda? Pertanda jika aku memang sebetulnya berjodoh dengan Nadia?

Aku bisa melihat Nadia begitu menikmati sodokan-sodokan kemaluanku. Wajahnya meringis dan matanya tertutup merasakan sensasi nikmat. Tubuh mungilnya tersentak-sentak menanggapi sodokanku. Dan buah dadanya yang sedang itu ikut bergoyang-goyang mengikuti irama permainan kami.

Ada rasa gemas yang menjalar ke tubuhku melihat tubuh Nadia. Di dalam otakku, ia masih gadis SMA yang pernah menjadi muridku ketika aku mengajar les dahulu. Wajahnya, perawakan tubuhnya, dan tingkah lakunya masih seperti dahulu. Bedanya, dahulu ada jarak diantara kami, sebagai seorang guru les dan muridnya. Namun sekarang, alat kelamin kita saling bersatu, tubuh kami saling menyatu.

Samar-samar, aku mulai mendengar Nadia merintih. Ia mencoba menutupi lenguhan dari bibirnya dengan tangan. Namun aku masih mampu mendengarnya dan bahkan semakin jalas.

Nadia imut sekali, Nadia cantik sekali. Aku terus genjot tubuhnya yang mungil itu seolah aku sudah kesetanan. Entah mengapa, bersama Nadia, aku bisa seliar ini. Entah mengapa juga aku bisa terus menerus menggenjot memeknya tanpa merasa ingin cepat-cepat ejakulasi.

Bukan berarti memek Nadia tidak enak. Memek Nadia benar-benar nikmat dan sangat menjepit. Tapi entah bagaimana, kontolku bisa bertahan selama ini. Waktu benar-benar berlalu sangat cepat, 5 menit berlalu, 10 menit berlalu, dan kini lebih dari 15 menit aku sudah menggenjot Nadia. Tidak pernah sebelumnya aku bisa bertahan selama ini ketika berhubungan badan dengan Widya. Biasanya aku hanya bisa bertahan 5 menit lamanya, bahkan kurang dari itu.

Nadia menggenggam lenganku, tanpa berkata-kata aku bisa tahu kalau ia menyuruhku berhenti sejenak. Ia menepuk-nepuk kasur di sebelah, tanda jika ia ingin aku sekarang di bawah. Aku menurutinya, aku rebahan sekarang dan membiarkan tubuh Nadia perlahan naik ke atas tubuhku.

Nadia genggam kemaluanku yang berlumur cairan cinta kami. Perlahan, ia masukan kembali kontolku di dalam memeknya. Rasa hangat dan jepitan nikmat itu kembali aku rasakan.

Nadia mulai menaik turunkan tubuhnya di atas kontolku. Tubuh mungilnya itu nampak begitu menggemaskan ketika ia menggenjotku. Rambutnya yang berantakan itu ia sibak ke belakang. Ia nampak begitu seksi dan menggairahkan ketika melakukan itu.

Dalam posisi di atas, Nadia bisa bergerak lebih leluasa. Ia bisa mempercepat dan memperlambat tempo sodokan kontolku di dalam memeknya. Akupun merasa nikmat bukan main. Aku bisa rebahan dan merasakan jepitan memek Nadia tanpa perlu capek-capek menggerakan pinggulku.

“Nad, aku mau sampai.” Kataku memecah keheningan. Setelah 5 menit Nadia berada di atas tubuhku. Aku merasa sudah tidak bisa bertahan lagi.

Nadia tersenyum mendengar perkataanku. Aku kira ia akan memperlambat goyangan pinggulnya, namun justru semakin mempercepatnya. Aku menjadi cukup panik karena aku tidak mengenakan pengaman saat ini.

“Nad, stop Nad, aku bisa keluar.” Kataku.

Namun Nadia seolah tidak peduli. Ia terus menggenjot kemaluanku secara kencang. Wajahnya sudah memerah dan aku yakin ia juga akan mencapai puncak sebentar lagi.

Tidak lama setelah itu, akupun mencapai puncak. Aku mengalami orgasme dengan kemaluan masih tertancap erat di dalam lubang memek Nadia. Cairan peju-ku menyembur begitu banyak karena aku sudah lama tidak masturbasi.

Di sisi lain, Nadiapun aku lihat mencapai puncaknya. Tubuhnya melenting di atas tubuhku dan mengalami kedutan beberapa kali. Setelah itu, tubuh Nadia ambruk di atasku.

Aku bisa merasakan hangat payudara Nadia di atas dadaku. Nafasnya terengah-engah sangat berat dan aku masih bisa merasakan kedutan-kedutan orgasme di dalam memeknya. Ya, sampai sekarang kontolku masih tertancap di dalam memek Nadia. Walaupun kontolku perlahan mulai mengecil dan melemas.

Kami sempat beristirahat sejenak. Posisi Nadia masih tumbang di atas tubuhku. Nadia masih tidak mengeluarkan satu katapun sedari tadi. Yang bisa aku dengar dari mulutnya hanyalah suara nafasnya yang masih terengah-engah.

Jujur aku tidak tahu harus berkata apa. Apakah Nadia marah kepadaku? Ah aku yakin tidak. Jika ia marah, pasti ia sudah lari dariku sedari tadi. Apakah ia kecewa kepadaku? Atau ia kecewa kepada dirinya sendiri?

Apa yang kami perbuat memang tidak patut dilakukan. Apalagi mengingat Nadia adalah adik sepupu dari istriku sendiri. Apa yang akan terjadi kepadaku dan Nadia setelah ini? Dan lebih lagi, apa yang akan Widya lakukan jika tahu kejadian ini?

Nadia pulang tidak lama setelah itu. Ia pulang begitu saja tanpa berkata satu patah katapun kepadaku. Ia bahkan tidak repot-repot membersihkan sisa pejuku yang masih ada di dalam memeknya. Begitu ia mencabut kontolku yang sudah lemas, tetesan pejuku keluar dari dalam memeknya. Tetesan itu jatuh ke atas selangkanganku dan sebagian lagi jatuh di atas kasur. Nadia langsung mengenakan celana dalam dan baju yang tadi ia kenakan. Tanpa merasa risih jika kemaluannya masih penuh dengan pejuku yang lengket.

Ketika pulang, Nadia sempat mengecup keningku. Kemudian spontan ia mengecup bibirku lagi sambil menatap wajahku tajam. Ia beranjak setelah itu, meninggalkan aku yang diam terpaku di atas kasur. Aku tahu ini semua salah, tapi aku lebih tahu lagi kalau ini semua nikmat. Benar-benar nikmat.


Part 12

Aku terlelap setelah bercinta dengan Nadia, adik sepupu istriku sendiri. Dahulu, Nadia adalah muridku ketika aku sempat menjadi guru les ketika kuliah. Waktu itu, Nadia masih seorang gadis SMA. Sekarang, Nadia adalah seorang gadis matang yang cantik. Sesuatu yang tidak pernah aku sadari ketika itu.

Aku merasa bersalah, sangat bersalah. TIdak seharusnya aku bercinta dengan Nadia. Tidak seharusnya aku mengkhianati istriku sendiri. Meskipun aku tahu, jika istriku sekarang ini mungkin sedang menikmati sodokan-sodokan kontol para preman itu.

Mengingat itu, kontolku jadi mengeras lagi. Aku tak tahu di mana Widya sekarang berada. Yang jelas, ia tadi pergi bersama dengan Parjo dan kawan-kawan. Ia membawa bikini yang aku belikan untuk-nya. Mungkin mereka akan pergi ke satu pantai.

Aku memutuskan untuk mandi. Malam itu udara cukup dingin meskipun hujan tidak turun. Selesai mandi, aku mendengar beberapa pesan masuk ke dalam handphoneku. Aku buka pesan itu, dan ternyata pesan itu berisi video. Pesan itu tidak lain tidak bukan berasal dari nomor Widya.

Jantungku seketika itu berdegup dengan kencangnya. Video itu jelas bukan video sembarangan. Video itu pasti berisi kegiatan Widya hari ini bersama dengan Parjo dan kawan-kawan.

Sambil menelan ludah, aku mencoba membuka video itu. Aku bahkan lupa untuk mengenakan pakaian. Hanya ada handuk menutupi tubuh bagian bawahku.

“Indah sekali pemandangan di sini.” Kata sebuah suara di dalam video itu. Aku yakin itu adalah suara Parjo. Rekaman video itu menunjukan alam pegunungan yang indah. Aku tak tahu di mana itu, tapi hutan di daerah pegunungan itu cukup lebat.

Kamera kemudian memutar ke arah wajah Parjo, “Lain kali, ajak suamimu untuk ikut ke sini ya non.” Kata Parjo.

“Iya.” Jawab suara wanita yang tidak jauh ada di sana. Suara itu jelas adalah suara Widya.

“Nih non, kasih salam buat suami non.” Kata Parjo sambil mengarahkan kamera ke arah Widya.

Alangkah terkejutnya aku ketika melihat Widya sekarang. Di pegunungan dan alam terbuka seperti itu, Widya mengenakan bikini yang ia beli kemarin. Kulit tubuhnya nyaris kelihatan semua di balik bikini two pieces yang minim itu.

“Widya, gimana kalau ada orang yang lihat?” Teriaku seketika.

Namun meskipun menggunakan bikini seperti itu. Widya masih tetap mengenakan jilbab di kepalanya. Sungguh kontras sekali apa yang aku lihat dalam video itu. Seorang wanita, mengenakan jilbab, berbaju bikini, menggendong sebuah tas punggung besar, sedang berada di alam pegunungan terbuka bersama para pria paruh baya.

Entah apa yang diinginkan Parjo kali ini terhadap Widya. Apapun itu, ini sudah sangat keterlaluan. Bagaimana jika Widya sampai dilihat orang-orang lain? Bagaimana juga jika sampai fotonya beredar di media sosial?

“Gimana non, capek ndak?” Tanya Parjo.

“Iya Mang, aku capek.” Kata Widya dengan suara terputus-putus. Nafasnya terengah-engah, mungkin karena ia tidak terbiasa mendaki gunung. Memang Widya dahulu cukup rajin olah raga. Tapi olah raga yang ia lakukan hanyalah olahraga ringan seperti jogging dan sepeda statis.

“Ya udah non, di deket sini ada tempat buat istirahat yang bagus. Nanti kita berhenti di sana dulu ya.” Kata Parjo.

Widya hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Aku bisa melihat keringat mengucur deras di sekujur tubuh Widya. Bulir-bulir peluh jelas tercetak ditubuhnya yang hanya ditutupi oleh bikini two pieces mini itu. Dan aku baru sadar juga, kalau para preman itu nyaris tidak membawa apa-apa di punggungnya. Hanya Widya saja yang membawa tas dengan ukuran sangat besar.

Dari video itu, aku bisa melihat jika matahari cukup terik. Meskipun hawa pegunungan bisa terasa cukup sejuk. Parjo memperlihatkan tubuh Widya secara dekat ke kamera. Sehingga aku bisa dengan jelas melihat kulit tubuh istriku yang benar-benar halus itu.

Aku merasa terangsang melihat adegan video itu. Aku putuskan untuk melanjutkan menonton video-video itu sambil bersandar di atas kasur dan melepaskan handuk yang menutupi kemaluanku. Kontolku sudah berdiri tegak dibalik handuk itu.

“Non bentar ya, aku ambil minum dulu.” Kata Kusni.

Kusni mengambil botol minum di tas yang Widya gendong. Kusni nampak menenggak isi botol minum itu dengan rakus dan kemudian mengembalikannya kembali ke tas yang Widya gendong itu. Seolah Widya menjadi pesuruh para preman itu untuk membawakan barang-barang mereka.

“Seger banget non!” Kata Kusni.

Kontolku semakin berdiri tegak melihat adegan itu. Widya tidak hanya dipermalukan dengan disuruh mendaki sambil hanya mengenakan bikini. Tapi mereka juga memperlakukan istriku sangat rendah seolah Widya adalah pesuruh mereka.

Entah apa saja yang ada di tas itu. Tapi yang jelas aku bisa membayangkan jika beban-nya pasti sangat berat. Nampak dari wajah dan tubuh Widya yang nampak begitu kelelahan.

“Non haus ndak?” Tanya Kusni.

“Iya Mang, aku haus.” Kata Widya.

“Nanti ya non, kalau sudah sampai pos. Non boleh minum.” Tambah Parjo.

Para preman itu benar-benar seenak sendiri mengerjai Widya. Di satu sisi aku kasihan melihat istriku diperlakukan seperti itu. Tapi di sisi lain aku merasa terangsang bukan main.

Video berlanjut ketika mereka mulai memasuki wilayah hutan yang semakin lebat. Aku bisa melihat batang-batang pohon yang besar dan kokoh di sana sini. Tapi di sisi lain jurang, aku masih bisa melihat rumah-rumah penduduk dan bahkan kebun milik mereka.

“Ayo non, jalan lebih cepet lagi.” Ujar Parjo sambil menampar pantat Widya.

“Ahh, sakit!” Jerit Widya.

Parjo hanya tertawa-tawa saja melihat tingkah istriku.

Video berhenti di titik itu. Aku menarik nafas panjang setelah melihat video itu. Masih ada beberapa video yang belum aku lihat. Dan jantungku terasa berdegup kencang. Aku ingin melanjutkan melihat video-video lainnya. Sambil mengocok kemaluanku yang berdiri dengan tegak itu.

Aku putuskan untuk melihat video berikutnya. Di video itu, aku lihat Widya dan seluruh rombongan sudah sampai di pos istirahat. Nampak Kusni dan Somad duduk-duduk di sebuah batu sambil minum. Widya juga nampak duduk di sebuah batu dari kejauhan sambil membongkar isi tas gunung yang ia bawa tadi.

“Gimana non, capek?” Tanya Parjo.

Widya menganggukan kepala.

Tangan Parjo mulai bergerak merangkul pundak Widya. Ia pijat-pijat kecil pundak istriku itu dengan lembut. Terkadang ia pijat juga punggung istriku yang sekarang ini terbuka tanpa penutup karena bikini yang ia kenakan hanya sebatas tali di bagian punggung.

“Enak non?” tanya Parjo lagi.

Widya kembali mengangguk.

Tiba-tiba, datang dua orang laki-laki mendaki gunung itu. Pakaian mereka sangat aneh. Mereka hanya mengenakan penutup kain warna putih di sekitar kemaluannya. Selain itu, mereka tidak memakai apa-apa lagi kecuali tas di punggung dan tongkat kayu untuk membantu mereka mendaki.

“Wah, ada rombongan lain.” Kata salah satu dari dua orang pendaki itu.

Aku taksir usia mereka sudah berada di angka 50an. Rambut putih menyebar di kepala mereka serta perut mereka sudah buncit. Tubuh mereka nampak tidak sebugar Parjo dan teman-temannya, tanda jika mereka kemungkinan besar adalah pekerja kantoran.

“Ayo non, buka kaki non, goda mereka.” Bisik Parjo kepada Widya.

Widya menuruti perintah Parjo tanpa protes. Ia lebarkan kakinya sehingga kain tipis penutup kemaluannya bisa terlihat dengan sangat jelas.

Aku lihat, para bapak-bapak itu menelan ludah melihat sosok istriku. Bagaimana tidak, seorang wanita cantik, hanya mengenakan bikini dan jilbab naik gunung di tempat terbuka seperti ini. Pria normal pasti akan terangsang melihat sosok istriku seperti ini.

“Kalian mau ke tempat ritual juga?” Kata salah satu bapak itu. Sekilas ia terus mencuri-curi pandang ke arah istriku.

“Wah iya pak, kami mau ke sana. Tapi sambil jalannya santai aja.” Kata Parjo.

Ritual? Ritual apa? Tanyaku di dalam hati. Aku memang pernah mendengar salah satu gunung menjadi tempat ritual pesugihan di sekitar sini. Bahkan ada beberapa orang yang menjalankan ritual untuk mendapatkan momongan. Aku tidak tahu, apakah Parjo membawa Widya ke gunung keramat itu. Dan yang lebih tidak aku tahu lagi, apa maksud Parjo membawa Widya ke sana.

“Ritual akan dijalankan besok malam, di malam bulan purnama. Kalian harus sampai ke tempat itu jalan kaki sebelum besok malam.” Kata pria satunya.

“Iya pak, kami santai saja, sambil jalan pelan-pelan. Lagipula di rombongan kami ada wanita. Jadi kami tidak terburu-buru.” Tambah Kusni.

Lucunya, sambil bicara seperti itu, tonjolan di kain penutup kedua pria paruh baya itu nampak semakin menggembung. Jelas sekali kalau mereka sangat terangsang melihat Widya.

“Jarang ada wanita yang ikut ritual, apalagi yang masih muda seperti Neng ini.” Kata salah satu pria.

“Iya, lagian Neng berani banget, cuma pakai pakaian daleman. Eh tapi neng masih pakai jilbab juga ya.” tambah pria satunya.

“Hehe iya pak, Non saya ini ada permintaan khusus di ritual itu. Makanya dia jalanin ritual ndak pakai baju dari awal kami ndaki gunung ini.” Ujar Parjo.

“Wah gitu ya, semoga keinginan Non terpenuhi ya.” Ujar salah satu bapak itu.

Sampai sini aku benar-benar dibuat bengong, aku sama sekali tak tahu apa yang akan Widya lakukan. Ya aku paham, ada satu gunung keramat dimana orang-orang yang punya keinginan biasanya mendaki gunung itu hanya mengenakan sarung, atau malah tak pakai baju sama sekali. Tapi kenapa Widya ingin naik gunung itu? Apa yang dia inginkan sebenarnya? Atau apakah Parjo ingin sesuatu dari Widya?

Video terus berlanjut ke adegan berikutnya. Widya menyiapkan makan siang untuk Parjo dan kawan-kawan. Semua peralatan masak dan bahan makanan ada di tas besar yang Widya bawa dari tadi. Widya mau repot-repot memasak dan membawa peralatan buat para preman itu. Sedangkan di rumah, ia malah jarang sekali memasak untuk aku.

“Masak yang enak ya non.” Kata Parjo.

“Masak apa aja, kalau non WIdya pasti enak.” Tambah Somad.

“Wah, kita boleh minta juga kah?” sahut salah satu dari kedua bapak-bapak yang tadi bercawat.

“Boleh lah, masak ndak boleh.” Kata yg Parjo.

Aku tak tahu apa yang ada di benak Widya. Seorang wanita berhijab, tidak mengenakan pakaian kecuali bikini mini. Kini sedang memasak di alam terbuka untuk 5 orang pria paruh baya yang bukan sanak saudaranya. Aku tak tahu apakah Widya merasa malu. Dari tadi, gerak-geriknya diawasi oleh para bapak-bapak itu. Sementara itu Parjo dan kawan-kawan menunggu sambil bersantai, ngobrol dan merokok. Mereka bahkan tak segan meminta WIdya juga untuk membuatkan teh hangat dan menyajikan teh hangat itu kepada mereka.

Sejauh ini, kedua bapak-bapak itu masih berlaku sopan kepada Widya. Mereka tak berani melecehkan maupun menyentuh Widya. Mungkin mereka segan dengan Parjo dan kawan-kawan. Badan mereka jauh lebih besar dari kedua bapak-bapak itu. Tentu jika sampai berkelahi, kedua bapak-bapak yang tidak berotot itu pasti akan kalah.

Yang jelas, tonjolan terlihat jelas di kain penutup para bapak-bapak itu. Tanda jika mereka ereksi maksimal melihat Widya. Wajar saja, akupun merasa ereksi maksimal melihat kondisi Widya sekarang.

Widya sebenarnya hanya memasak mie instan dengan sosis. Tapi para preman dan bapak-bapak itu nampak begitu menikmati masakan Widya. Mereka memuji-muji masakan Widya.

“Masakan Neng mantab banget,” Kata salah seorang bapak-bapak itu.

“Iya, coba Neng jadi istri bapak, bakal betah bapak di rumah.” Kata bapak-bapak yang lain.

Aku lihat Widya malu-malu menerima pujian para pria paruh baya itu. Sekilas, aku sempat melihat bra bikini yang WIdya kenakan sedikit bergeser. Samar-sama aku bisa melihat aorela puting susunya yang berwarna cerah. Dan aku yakin para bapak-bapak itu sadar juga akan hal itu.

Para bapak-bapak itu berkata kalau mereka ingin berlama-lama di sana. Tapi janji mereka dengan seorang guru di puncak gunung itu mungkin tidak bisa ditunda. Setelah makan, mereka pergi meninggalkan rombongan istriku dan para preman.

“Wah sayang, mereka pergi.” Kata Parjo.

“Iya lho, padahal non udah mau pamer badan sama mereka.” Tambah Kusni.

Widya diam saja, ia tidak menanggapi ocehan para preman itu. Setelah makan, ia memunguti pring dan membersihkannya di sungai kecil yang mengalir di dekat mereka istirahat. Tak lama setelahnya, mereka melanjutkan perjalanan juga. Meskipun mereka cukup santai mendaki karena memang tidak dikejar oleh waktu seperti para bapak-bapak tadi.

Video berhenti sampai di sana, dan video selanjutnya menunjukan suasana ketika hari sudah mulai gelap. Widya, Parjo dan kawan-kawan akan bermalam di sebuah tempat yang cukup datar. Parjo dan Kusni sudah menyalakan api unggun. Dan mereka mengenakan jaket untuk menghangatkan badan. Kabut sudah mulai turun, dan tentu saja udara pasti terasa dingin sekali.

Tapi Anehnya, Widya masih tidak diperbolehkan mengenakan baju lain kecuali bikini yang menempel di tubuhnya. Aku bisa membayangkan, pasti Widya mulai merasa kedinginan sekarang ini. Ia berkali-kali menyilangkan tangan untuk menghangatkan tubuhnya di dekat api unggun.

“Non, nanti kita tidur di sana.” Kata Parjo sambil menunjukan sebuah pendopo reyot.

Sepertinya memang daerah sekitar situ bekas sebauh kompleks bangunan. Ada beberapa pendopo kayu yang sudah lusuh dan ditumbuhi banyak rumput. Namun masih layak untuk digunakan sebagai tempat tidur. Dengan tidur di pendopo itu, mereka tidak perlu mendirikan tenda.

Dari tas yang Widya bawa, Parjo dan kawan-kawan mengeluarkan alas tidur serta selimut. Jumlahnya ada 3 buah. Aku agak merasa janggal karena jumalh orang yang ada di sana 4 orang termasuk Widya.

“Nanti non tidur ndak usah pakai alas ya. Tapi kalau non mau, nanti non bisa kok nylempit tidur sama kita.” Kata Parjo seenaknya.

Kurang ajar sekali mereka. Parjo dan kawan-kawannya memperlakukan Widya seperti babu. Bahkan jauh lebih rendah lagi. Ia nyaris memperlakukan WIdya seperti budak. Wdiya tidak hanya dilarang menggenakan pakaian yang layak. Ia juga dilarang menggunakan selimut untuk tidur. Padahal jelas sekali hutan di sekitar pegunungan itu kini sedang berkabut. Udara di sana pasti dingin sekali.

“Kalau non Widya mau tidur bareng kita, brati non rela kita apa-apain.” Lanjut Kusni.

Di sini mulai jelas gelagat para preman itu. Mereka sengaja memang tidak mengerjai Widya sedari tadi. Mungkin untuk membiarkan tenaga mereka utuh di malam ini. Mungkin mereka juga sengaja tidak mengerjai Widya tadi supaya birahi Widya memuncak. Berjalan-jalan nyaris telanjang di alam terbuka seperti itu, bisa jadi itu membuat birahi istriku memuncak. Mereka sengaja membiarkan birahi Widya tidak tersalurkan sedari tadi. Supaya malam ini Widya rela menyerahkan dirinya kepada para preman.

Rekaman berhenti di sana. Rekaman itu adalah video terakhir di hari ini. Aku tidak tahu apa yang Widya lakukan dengan para preman itu di gunung. Apakah ia akan tahan dinginnya malam di sana dengan hanya mengenakan jilbab dan bikini? Atau ia akan menyerah dan membiarkan tubuhnya kembali dijamah para preman itu?

Aku merasa panas dingin membayangkannya. Walaupun aku sudah sering melihat Widya disetubuhi secara langsung oleh para preman itu. Tapi tetap saja, aku masih merasa sangat tidak rela.

Dua hari berlalu sudah, tidak ada kabar sama sekali dari Widya dan para preman itu. Hari senin ini memang masih libur karena long weekend. Dulu aku biasanya menyempatkan diri untuk berlibur bersama dengan istriku. Tapi kali ini justru istriku yang berlibur dengan pria-pria lain.

Selain Widya, Nadia juga tidak lagi menghubungiku. Aku merasa bersalah kepadanya. Seharusnya, aku bisa mengontrol hawa nafsuku. Aku telah bersetubuh dengan adik sepupu istriku sendiri! Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bakal terjadi.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah menumpahkan spermaku di dalam rahim adik sepupuku sendiri. Aku akan menerima semua konsekuensinya.

Senin berlalu dengan cepat dan hari menjelang sore ketika aku kembali menerima pesan di dalam handphoneku. Pesan itu tidak lain dan tidak bukan adalah pesan dari Parjo. Isinya apa lagi kalau bukan video-video mesum istriku.

Kali ini aku membukanya ketika sedang duduk di sofa depan TV. Aku putuskan untuk menghubungkan layar TV-ku dengan handphone dan membuka video itu di sana. Video pertama adalah lanjutan apa yang terjadi di sabtu malam lalu. Ketika Widya dibiarkan tidur di atas pendopo dengan hanya mengenakan bikini dan jilbab di tubuhnya.

“Hehe non kenapa?” Tanya Parjo sambil kamera dihadapkan pada istriku.

Dengan muka malu, istriku berkata. “Aku kedinginan Mang, boleh aku tidur di dalam selimut itu?” Tanya Widya.

“Boleh Non, tapi non tahu kan tidur di selimut ini tidak gratis.” Kata Parjo.

Widya mengangguk, “Ya, aku tahu Mang.” tambahnya.

“Oke, kalau non paham. Sekarang, buka baju non dan minta ijin di video ini sama suami non. Kalau non mau tidur di selimut ini dan nurut sama semua kemauan Parjo.” Kata Parjo seenaknya.

Widya mengangguk, tanpa panjang lebar, Widya membuka bikini mini yang ia kenakan. Dari bra kemudian celana bikini itu. Tak lama, tubuh telanjang Widya sudah nampak tanpa penghalang kecuali jilbab di kepalanya. Dan anehnya, aku bisa melihat sekilas kemaluan Widya sudah sembab dengan cairan bening.

Kemaluanku langsung berdiri tegak melihat tubuh telanjang Widya. Entah mengapa, ia begitu mempesona. Apalagi sekarang ia telanjang di tempat umum.

“Sekarang, katakan, non mau diapain aja sama kita.” Kata Parjo

Dengan tanpa ragu, Widya mengucapkan, “Mas Arman, aku udah ndak tahan lagi mas, disini dingin mas. Aku ijin minta diselimutin Mang Parjo dan temen2nya ya. Sebagai balesannya, aku rela diapa-apain sama mereka mas.” Ucap WIdya.

Aku merasa panas dingin mendengar itu. Tapi apa daya, aku tak bisa berbuat apapun. Aku lihat, Widya sudah menggigil kedinginan. Apalagi setahu aku memang ia tak kuat dingin. AC kamar pun tidak pernah diset kurang dari 24 derajat.

“Hehe, sini non masuk selimut.” Kata Parjo.

Aku lihat Parjo menyerahkan kamera kepada Somad. Sehingga kini aku bisa melihat Widya sedang mendekati Parjo. Tubuh telanjang Widya dipeluk oleh Parjo. Parjo sendiri masih menggunakan kaos dan celana pendek.

“Sini, cium aku non.” Ucap Parjo.

Merekapun berciuman dengan sangat mesra. Seolah mereka berdua adalah sepasang kekasih. Tangan Parjo tak lupa ikut bergerilya, ia remas-remas payudara Widya dan ia puntir puting susu-nya. Puting susu Widya yang bertindik itu nampak sudah tegang, tanda jika ia sudah terangsang.

Tangan Parjo satu lagi meraba kemaluan Widya. Ia menemukan jika kemaluan istriku itu sudah dipenuhi oleh lendir.

“Ternyata, non udah konak dari tadi!”

Widya dibaringkan di atas alas tidur. Aku bisa melihat Parjo dan Kusni mulai menggerumuli istriku secara bersamaan. Mereka merangsangi tubuh istriku dengan jilatan-jilatan lidah dan rabaan tangan mereka.

“Ugh, egmmm, ehmmm.” rintih Widya.

Tubuh WIdya nampak mengeliat-geliat dan pasrah menerima rangsangan demi rangsangan Parjo dan Kusni.

“Hehe, enak ya non?” Ucap Kusni.

Widya mengangguk, “iya enak, ugghh” rintih Widya.

Parjo membuka kaki Widya sehingga selangkangannya terlihat secara jelas. Sampai sekarang, aku masih kagum dengan selangkangan Widya. Kulitnya benar-benar mulus dan putih tanpa cela sedikitpun. Bibir kemaluannya juga masih nampak rapat, meskipun sudah berkali-kali disetubuhi kontol raksasa dari para preman.

Slurrph, sluurpph, slurrph

Parjo menjilati vagina Widya dengan rakus. Tak lupa ia mainkan juga tindik yang tertanam di itil istriku. Tindik bentuk cincin itu sesekali Parjo gigit dan tarik hingga membuat Widya sedikit merintih kesakitan.

Kusni tak mau kalah, ia terus puntir2 dan tarik tindik di puting susu WIdya. Widya merintih dan mengerang, tapi kedua preman itu sama sekali tak peduli. Mereka terus memperlakukan tubuh istriku seperti mainan.

“Neng, isep donk.” Kata Kusni.

Tanpa aku sadari, Kusni sudah membuka celananya. Dan kemaluannya yang besar itu sudah menjulang nyaris ereksi sempurna.

Tanpa ragu, Widya memasukan kontol itu ke dalam mulutnya. Widya hisap kontol itu dan ia jilati seperti lolipop.

“Uh, manteb, enak banget emang seponganmu non.” Ujar Kusni.

Aku benar-benar merasa iri, sebagai suami, Widya hampir tidak pernah sudi menyepong kontolku. Tapi ketika para preman itu meminta Widya untuk menyepong kontolnya, Widya sama sekali tidak merasa keberatan. Andai saja, aku punya kontol sekuat dan sebesar para preman itu. Tentu Widya akan semakin sayang kepadaku.

Di bawah, Parjo terus merangsang kemaluan Widya dengan jilatan lidah serta kobelan tangan. Parjo tanpa ragu memasukan dua jari-jari gemuknya ke dalam memek Widya.

Tak lama kemudian, ia masukan lagi satu jari hingga total tiga jari berukuran besar mengobok-obok vagina istriku. Pinggul Widya naik turun merasakan rangsangan demi rangsangan itu. Ia juga terdengar merintih-rintih tapi mulutnya tertutupi oleh kontol raksasa milik Kusni.

Plaaakk!

Tiba-tiba Kusni menampar payudara Widya.

Plakk! Plaakk!!

Telapak tangan Kusni yang besar dan penuh kapal itu terus menampari payudara istriku.

“Ugghhh, ampun, ampun!” rintih Widya meskipun tidak terdengar cukup jelas karena mulutnya dijejali oleh kontol.

Tapi Kusni tidak mau berhenti, ia terus menampar-nampari buah dada istriku hingga warnanya mulai memerah. Tak hanya ditampar, kadang Kusni juga meremas payudara istriku itu hingga bentuknya tidak karuan. Remasannya sangat kuat hingga payudara Widya seperti adonan kue yang diremat-remat.

“Ahh, sakit, ampun Mang sakit. Tolong hentikan.” Pinta Widya lirih. Lagi-lagi suaranya tidak terlalu terdengar karena mulutnya masih tertutup dengan kontol.

“Hehe, tadi non bilang mau diapa-apain sama kita. Ya brati non nurut aja, ndak usah ngebantah.” Ujar Kusni.

Mata Widya menjadi sayu mendengar perkataan Kusni tadi. Ia mungkin sadar, malam ini tidak akan berlalu dengan mudah. Padahal mungkin tubuhnya sudah letih mendaki gunung dari siang tadi.

Parjo kali inipun tak mau ketinggalan. Ia paksakan satu lagi jarinya masuk ke dalam memek Widya, sehingga kini ada 4 jari Parjo bersemayam di sana. Widya menggeliat dan mengelepar, merasakan memeknya dipenuhi oleh jari-jari gemuk Parjo. Cairan vagina Widya juga membanjir keluar hingga membasahi alas tidur.

Perlahan, aku lihat Widya sudah diambang orgasme. Rintihannya terdengar sudah parau dan tak beraturan. Cairan vagina juga semakin banyak terlihat keluar. Tapi ketika berada diambang orgasme. Parjo mencabut kocokan jarinya dari kemaluan Widya.

“Ahh, ahh, aduh, oh!” desah Widya.

Tubuh Widya belingsatan. Bukan karena orgasme, tapi karena ia gagal mencapai puncaknya.

“Ah, aduh, kok berhenti Mang.” Tanya Widya.

Para preman itu tertawa-tawa mendengar pertanyaan Widya.

“Kenapa non, pengin ngecrot?” Tanya Parjo.

Widya hanya menjawab dengan anggukan kepala.

“Kalau non pengin ngecrot, sini, bikin badan non ngecrot sendiri.” Kata Parjo.

Parjo kali ini berbaring dan meminta Widya untuk berada dalam posisi Women On Top. Widya yang sudah kepalang tanggung itu menuruti kemauan Parjo. Ia kangkangi selangkangan Parjo, dan perlahan ia masukan kontol Parjo itu ke dalam memeknya.

Dalam posisi wanita di atas, biasanya kontol pria masuk jauh lebih dalam. Nampak dari raut wajah Widya yang begitu sange. Dengan memek yang dipenuhi cairan vagina, kontol Parjo dengan mudah masuk ke dalam memek istriku.

“Ah anget non memek kamu.” Kata Parjo. “Ayo, sekarang gerakin pinggul non. Usaha sendiri kalau mau ngecrot!” Tambah Parjo.

Dengan posisi menunggangi Parjo, kini Widya yang harus menggerakan tubuhnya sendiri demi mendapatkan orgasme. Pelan-pelan Widya mulai menggoyangkan pinggulnya. Seiring berjalannya waktu, ia tingkatkan tempo kecepatan goyangan pinggulnya. Widya nampak begitu menikmati persetubuhan itu, ia terdengar merintih dan menggerang keenakan.

“Mantab non, uggh edan, enak banget goyangan non!” Kata Parjo.

‘Gila!’ Kataku dalam hati.



BERSAMBUNG...



Akibat Tabrakan dengan Para Preman 4

cerita sex yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya

Related Posts