Cerita Dewasa - Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-4

Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-1

Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-2

Akibat Tabrakan dengan Para Preman S-3


cewek amoy


Widya, seorang istri baik-baik berwajah alim. Kini sedang menikmati persetubuhan terlarang dengan seorang preman. Tak hanya itu, Widya sendiri yang menggerak-gerakan pinggulnya supaya kontol preman itu menghujam-hujam masuk ke dalam memeknya. Jika ada yang melihat adegan ini, pasti orang akan mengira jika Widya adalah seorang pelacur.

“Non, sini, agak nunduk. Aku kenyot susu non!” perintah Parjo.

Widya menurut saja permintaan Parjo, ia majukan payudaranya supaya preman itu bisa menghisapnya. Payudara Widya yang menggantung itu Parjo bekap dan remas. Lalu ia hisap puting susu Widya yang indah.

Mereka benar-benar memperlakukan tubuh Widya seenaknya. Seolah tubuh Widya adalah mainan pemuas nafsu para preman itu. Aku mengira jika para preman tidak berhenti di sana untuk mengerjai Widya. Dan benar saja, Kusni yang sempat menghilang membawa sebuah ikatan tali panjat tebing. Tali itu memang mereka bawa di dalam tas pendakian.

Kusni membuka sedikit ikatan tali itu hingga panjangnya sekitar satu setengah meter. Tali itu lalu ia putar-putar dan tanpa aba-aba, ia lecutkan tali itu ke punggung Widya.

Ctarrr!!

Bunyi pecutan tali yang mendarat ke punggung Widya terdengar cukup keras.

“Ah, sakit, ampun!” Jerit Widya.

Tapi Kusni sama sekali tidak bergeming. Ia kembali lecutkan tali itu ke punggung Widya. Ctarr!!

Tubuh Widya menggeliat kesakitan di atas tubuh Parjo. Hanya saja ia tak bisa bergerak bebas karena payudaranya sekarang sedang diremas oleh Parjo.

“Ampun, sakit, ampun.” Rintih Widya.

Aku kaget bukan main, mereka sampai hati menyiksa Widya seperti itu. Lecutan tali itu meninggalkan bekas semburat merah di punggung Widya. Aku tidak tahu apakah bekas lecutan itu akan meninggalkan luka permanen di sana atau tidak.

“Ahhg, guuahh, sakit, jangan, ampun.” Jerit Widya.

Tapi Kusni terus saja melecutkan tali itu ke punggung istriku.

“Terus Kus, pecut aja nih lonte! Pecut terus. Memeknya enak banget kalau lagi dipecut!” Kata Parjo.

“Hehe, dengan senang hati bos!” Kata Kusni.

Ctarr, ctarr, ctarr!

Lecutan demi lecutan mendarat di punggung Widya. Widyapun menangis, mengerang, dan merintih kesakitan. Tapi Kusni sama sekali tak punya ampun. Ia terus saja mencambuki punggung istriku hingga garis-garis merah kini memenuhi punggung-nya.

“Kalau ndak mau dicambuk, ayo goyang lebih kenceng!” Perintah Parjo.

Widya menuruti perintah Parjo, ia goyangkan pinggulnya lebih kencang lagi. Ia sudah seperti pemain film bokep profesional di dalam rekaman itu. Widya nampak begitu menggairahkan.

Somad yang dari tadi memegang kamera, sempat mengcloseup lubang vagina Widya yang dijejali kontol Parjo. Aku bisa melihat banyak sekali cairan bening yang sudah membuih menjadi putih di sana. Bunyi kecipak juga terdengar dengan sangat jelas di dalam rekaman itu. Tanda jika memang WIdya juga menikmati persetubuhan Parjo.

Widya disiksa, dipermalukan, dan direndahkan, tapi itu justru membuat kemaluannya semakin membanjir. Entah mengapa istriku semakin lama menjadi semakin jalang seperti itu. Entah mengapa ia semakin terjerumus menjadi budak nafsu dari Parjo dan kawan-kawannya.

“Gitu non, terus lebih kenceng lagi goyangnya!” Perintah Parjo.

Widya berusaha sekuat tenaga menggerakan pinggulnya. Kontol raksasa Parjo juga nampak keluar masuk ke dalam memek Widya, menimbulkan bunyi kecipak yang semakin lama semakin keras terdengar. Keringat kini membasahi kulit tubuh Widya, panas persetubuhan ini sudah mengalahkan hawa dingin di gunung itu.

“Ah Mang, aku mau sampai ah, ah, ah!” Rintih Widya.

“Terus aja non, Mang Parjo juga udah mau sampai nih. Terus non!” Perintah Parjo.

Tak berapa lama kemudian, Widya dan Parjo mencapai puncaknya dalam waktu hampir bersamaan. Tubuh WIdya nampak melengking kemudian bergetar dengan hebat di atas tubuh Parjo. Widya mengalami orgasme yang cukup dahsyat. Bahkan tanpa sadar, ia juga mengeluarkan air kencing hingga membasahi alas tidur.

“Huff, enak banget ngentot sama non Widya.” Puji Parjo sambil memeluk Widya yang kini ambruk di atas tubuhnya.

Nafas Widya tambah terengah-engah dengan keringat muncul di sekujur tubuhnya. Payudaranya nampak tergencet diatas dada Parjo. Jilbab yang ia kenakan sudah sangat lepek dan sebagain rambutnya nampak keluar. Tapi, Widya masih bersikeras untuk tidak mau melepaskannya.

“Nih siapa yang mau lanjut” Kata Parjo setelah beberapa saat istirahat.

Ia campakan tubuh Widya begitu saja ke atas lantai pendopo. Dari kemaluannya nampak cairan putih kental merembes keluar secara banyak. Vagina WIdya nampak sedikit menggangga, mungkin makin lama elastisatasnya sedikit rusak karena sering dipakai kontol raksasa. Meskipun jepitan vagina Widya masih kencang.

“Hayuk!” Kata Somad.

Kamera kini ditelatakan di sebuah penyangga. Entah apa penyangga itu, mungkin tas besar yang tadi Widya bawa. Tapi aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Yang bisa aku lihat dengan jelas sekarang ini adalah, dua orang preman itu mulai mendekati tubuh Widya yang masih terkulai di atas matras.

Ctar! Ctar! Ctar!

Kusni kembali melecuti tubuh Widya, tapi kali ini di bagian depan tubuhnya yang terbuka bebas.

“Ah sakit, ampun, sakit.” Rintih Widya.

“Ayo non, jangan rebahan mulu! Non sekarang nungging!” Perintah Kusni, “Atau saya pecut lagi badan non!”

Widya yang sudah ketakutan tak punya pilihan lain. Ia turuti kemauan Kusni itu. Sekarang ia berada pada posisi merangkak. Membuat buah dadanya yang ranum itu menggantung bebas di udara.

Dari lubang memek Widya, nampak peju Parjo menetes-netes keluar. Jumlahnya lumayan banyak dan sangat kental. Kusni hanya mengelap saja peju itu dengan sebuah kain lusuh yang entah ia temukan dari mana. Mungkin kain itu peninggalan penghuni pendopo dahulu.

Kusni juga mendapatkan sebuah knob lemari. Mungkin knob itu juga peninggalan penghuni pendopo ini dulu. Knob berwarna keemasan itu mempunyai sisi bundar di ujungnya. Ukurannya tidak terlalu besar, mungkin hanya sedikit lebih besar dari kelereng ukuran jumbo.

“Eh, apa-apaan ini, ah jangan, jangan, tolong, jangan!” Widya menjerit ketika tahu Kusni mulai memasukan knob itu ke dalam lubang duburnya.

“Tenang aja non, ndak terlalu besar kok, pasti ndak sakit!” Kata Kusni.

Entah mengapa Kusni sedari tadi ingin menyiksa Widya. Memang ukuran knob itu tidak besar. Dan mungkin saja Kusni tidak tahu kalau Widya sudah pernah disodomi oleh seorang pria. Tapi tetap saja, knob itu terbuat dari logam yang cukup keras. Dimasuki benda keras seperti itu tentu membuat dubur Widya terasa sakit. Belum lagi aku bisa lihat samar-sama permukaan bulat knob itu mulai tidak rata karena ada karatnya. Bisa saja luka dan karat itu akan membuat Widya infeksi.

“Ughh, sakit, uggh jangan, hu hu hu.” Tangis Widya.

Kusni tak peduli dengan tangisan Widya. Ia paksakan knob itu masuk, dengan hanya cairan lubrikasi sisa sperma Parjo yang merembes dari memek Widya. Perlahan, knob itu masuk hingga menancap erat di dubur Widya. Bentuk knob yang mempunyai leher ramping membuat benda itu menancap erat di dubur Widya.

“Hehe, manteb non, nancepnya pas!” Kata Kusni.

Somad juga terkekeh-keheh melihat kondisi Widya. Ia juga tak mau ketinggalan mengerjai istriku. Ia ambil juga satu tali lagi mirip tali pramuka dari tas yang tadi Widya bawa. Tali itu ia ikat ke cincin tindik di kelentit Widya. Dengan tindik cincin terikat tali itu, Somad bisa dengan mudah menarik-narik kelentit istriku.

“Ahh uuh, uaggh, ampun!” Rintih Widya ketika kelentitnya tertarik oleh Somad.

“Hehe, enak kan non, itil non ditarik-tarik gini?” Ucap Somad.

Kedua preman itu tak mau buang-buang waktu lagi. Kusni mulai memasukan kontolnya ke dalam memek Widya, sedangkan Somad melesakan kontolnya di mulut istriku. Widya dalam posisi merangkak kini harus dijejali kontol dari dua arah.

“Ayo, sekarang non Widya yang gerak. Jangan males ya non!” Perintah Kusni.

“Kalau non ndak gerakin badan non, tali ini bakal aku tarik yang kenceng.” Tambah Somad sambil sesekali menarik tali yang terikat dengan tindik di itil istriku.

“Ah, iya, ampun, jangan ditarik lagi. Sakit!” Rintih Widya.

Raut wajah Widya menggambarkan rasa ngilu sekali, mau tak mau ia harus menuruti kemauan para preman itu. Tubuhnya bergerak maju mundur untuk memuaskan nafsu Kusni dan Somad. Ia dengan suka rela membiarkan kontol dua preman itu merangsek masuk ke dalam lubang memek dan mulutnya.

Sembari terus menggerakan tubuhnya, Kusni dan Somad tak lupa memain-mainkan tubuh Widya. Diremas-remasinya payudara istriku yang menggantung bebas di udara. Kadang aku lihat mereka meremasnya sangat kencang hingga membuat Widya kesakitan.

Lalu bagaimana dengan aku? Apakah aku merasa iba tubuh istriku dipermalukan dan disakiti seperti itu?

Aku sendiri sudah melepas celanaku dan kini beronani di sofa depan televisi. Aku merasa begitu terangsang melihat istriku sendiri disetubuhi oleh dua preman sekaligus. Dan ya, aku masih merasa kecewa karena Widya tidak menceritakan hal sesungguhnya kepadaku. Ia tidak cerita kalau dirinya ternyata mandul.

“Ayo non yang lebih kenceng lagi, ayo!” Perintah Somad sambil menarik-narik tali yang terikat ke itil istriku.

Widya menangis dan mengerang kesakitan, bahkan aku lihat ada sedikit air muncrat dari dalam memek istriku. Aku tidak tahu apakah cairan itu keluar karena Widya squirt atau ia terkencing-kencing karena kesakitan.

Widya sudah berusaha maksimal menggerakan tubuhnya. Aku bisa mendengar nafasnya menderu dengan kencang. Aku juga bisa melihat keringatnya keluar dengan deras di tengah dinginnya malam di atas gunung. Jilbab yang ia kenakan sudah basah oleh keringat, namun sekali lagi, ia bersikeras untuk tidak mau melepasnya.

“Ah kelamaan!” Kata Parjo.

Ia rupanya sudah tidak sabar menggenjot memek Widya secara kencang. Ia cengkram pinggul Widya dan kemudian ia tusuk-tusukan kemaluannya secara kencang bukan main. Widya menjadi sangat gelagapan, apalagi kontol Somad sekarang bisa menembus lebih dalam hingga merangsek ke kerongkongannya.

“Hooekk, houukk, hooeek, ampun, hooeek!” Rintih Widya merasakan kontol Somad masuk cukup dalam.

Widya sempat mengelepar-lepar seperti kehabisan nafas. Wajahnya juga pelan-pelan mulai memerah. Kontol Somad memang tidak sebesar Parjo, tapi tetap saja ukurannya cukup panjang. Jika masuk seluruhnya, tentu kontol itu akan menyumbat aliran nafas istriku.

“Hooeek, hoeek, huuuk hoeek, sudah, hooeek!” Rintih Widya lagi.

Cairan busa keluar dari mulutnya dan bahkan aku lihat dari hidungnya. Widya mungkin benar-benar sudah kesulitan untuk bernafas. Apalagi ia juga mulai terbatuk-batuk.

“Heh, mati istri orang nanti.” Kata Parjo yang duduk merokok tak jauh dari tempat persetubuhan itu.

“Haha, ya nanti tinggal kita cari lonte lain.” Sahut Kusni.

“Bener banget, kita cari yang lebih muda, mungkin mahasiswi atau cewek SMA.” tambah Somad.

Dadaku terasa sesak mendengar kata-kata para preman itu. Bisa-bisanya mereka ngomong seenteng itu. Padahal mereka sudah menikmati tubuh Widya selama berminggu-minggu lamanya.

“Ayo lonte, masukin kontolku lebih dalem lagi!” Kata Somad.

Somad terus memaksa Widya untuk melakukan deepthroat. Kontolnya yang panjangnya nyari 18 cm itu sudah nyaris masuk seluruhnya ke dalam kerongkongan Widya. Tentu saja istriku gelagapan dan kehabisan nafas.

Naas sekali kondisi Widya. Dari belakang, Kusni melesak-lesakkan kontolnya sambil mencengkram pinggul Widya kencang-kencang. Sementara itu Somad menjejalkan kontolnya sedalam mungkin di mulut istriku sambil memegangi kepalanya yang masih berbalut hijab. Aku masih bisa melihat semburat-semburat merah di punggung istriku karena lecutan-lecutan Kusni tadi. Kusni yang nampak masih belum puas, tak lupa menampar-nampar pantat Widya hingga merah merona.

“Uhuuk, uhuukk, hooekk uhuuuk.” Widya semakin terbatuk-batuk dan wajahnya semakin merah.

Kedua preman itu semakin mempercepat sodokan kontol mereka di memek dan mulut Widya, nampak keduanya sudah hampir mencapai puncaknya.

Benar saja, tak lama setelah itu, Somad orgasme terlebih dahulu. Ia jejalkan kontolnya hingga mentok di dalam kerongkongan istriku. Somad memasukan kontolnya begitu dalam hingga mata Widya mendelik menjadi putih semua.

“Uahh, enak bener nih seponganmu non.” Ujar Somad sambil tubuhnya bergetar berkali-kali. Tanda ia menyemprotkan pejunya di dalam kerongkongan Widya.

Kusnipun menyusul, tak berapa lama, ia tanamkan kontolnya sedalam mungkin di memek Widya. Tubuh preman itupun bergetar diikuti dengan semburan peju di dalam memek Widya.

“Uedan, enak bener memek kamu Non!” Tambah Kusni.

Kedua preman itu menyemburkan peju yang begitu banyak di dalam memek dan mulut Widya. Aku lihat cairan putih dan kental itu meluber keluar dari dua lubang istriku. Bahkan aku melihat, hidung Widya juga mengeluarkan cairan itu.

Tubuh Widya benar-benar lemas seperti orang yang mati. Tidak ada suara gelagapan lagi keluar dari mulutnya, juga tak ada suara batuk-batuk. Di saat itu aku khawatir jika Widya pingsan. Atau lebih buruk lagi, ia mati!

Begitu kedua kontol preman itu dicabut dari tubuh Widya, istriku langsung ambruk di atas matras. Nyaris aku sama sekali tak bisa melihat gerakan dari tubuh telanjangnya yang tengkurap. Bahkan sekedar gerakan nafaspun tidak.

“Widya mati? Widya mati?” Kataku dengan keras.

Bukannya aku panik atau apa, aku justru mempercepat kocokan kontolku sambil melihat tubuh Widya yang diam membeku itu. Somad memegang kembali kamera dan ia dekatkan ke tubuh Widya sehingga aku bisa melihat dengan jelas air mani berceceran di mulut dan hidungnya, lubang memeknya yang terbuka lebar, dan duburnya yang dijejali dengan knob.

Tak berapa lama, akupun mencapai orgasme. Pejuku muncrat membasahi televisi dimana video Widya aku putar. Sambil orgasme aku masih teriak.

“Widya mati?, ndak gerak dia, Widya mati!”


===X=X=X===

Part 13

Hari sudah berlalu dan kini selasa menjelang. Selasa ini, aku masih libur karena memang long weekend ini cukup panjang. Kepalaku terasa pening sekali, semalam aku nyaris tidak bisa tidur memikirkan apa yang terjadi kepada Widya.

Setelah disetubuhi dengan kasar oleh Kusni dan Somad, tubuh Widya sama sekali tak bergerak di malam hari itu. Aku sempat berfikir apakah Widya mati karena pemerkosaan itu. Ya aku memang sedang kecewa berat dengan Widya, karena ia sudah menyerahkan tubuhnya kepada para preman itu. Dan lebih lagi, karena ia sama sekali tak memberitahuku kalau ia sebenarnya mandul. Tapi, walau bagaimanapun, Widya masih istriku. Dan aku masih mencintainya.

Aku tahu jika ini semua aneh, tapi aku hanyalah manusia biasa. Aku menikahi Widya dahulu karena aku begitu mencintainya. Dan cinta itu masih ada di dalam hatiku sekarang ini.

Rasanya aku ingin sekali menelpon Widya dan menanyakan kondisinya. Tapi Parjo pernah memerintahku agar aku tak sekalipun menghubungi Widya ketika istriku bersama mereka. Aku hanya bisa pasrah dan mengikuti perintah Parjo karena para preman itu terus saja mengancam kami akan menyebarkan video mesum kami.

Hari terasa sangat panjang, detik-detik jam terdengar begitu kencang di telingaku.

“Ting!” Sebuah notifikasi tiba-tiba masuk.

Aku cek, ternyata benar itu adalah pesan dari Parjo. Sekali lagi pesan itu berisi video. Aku sangat penasaran dengan video kali ini. Apakah Widya masih selamat dan baik-baik saja?

“Jalan hati-hati ya non, awas jatuh.” Kata Parjo kepada Widya di video itu.

Aku langsung lega melihat video itu. Ternyata Widya masih hidup dan baik-baik saja.

Kondisi Widya sekarang sedang jalan di sebuah jalan setapak dan disampingnya ada jurang yang agak dalam. Di bawah jurang itu mengalir sebuah sungai yang cukup jernih airnya. Nampak segar sekali air di sungai itu.

Widya sudah mengenakan kembali bikini yang ia pakai kemarin. Ia juga masih mengenakan jilbab yang tempo hari tidak ia lepas ketika bersetubuh dengan ketiga preman itu. Ia tidak menggendong tas besar dan di punggungnya.

Aku bisa melihat semburat-semburat bekas cambukan di punggung Widya. Meskipun bekas itu sudah tidak terlalu nampak lagi. Syukurnya, tidak ada juga luka permanen di sana. Aku rasa preman-preman itu meskipun menyiksa Widya, tapi mereka masih tidak melebihi batas.

Widya dan ketiga preman itu berjalan menyusuri jalan setapak, kemudian turun untuk sampai pada permukaan sungai. Sungai itu nampak tenang dan bersih. Jauh dari polusi di kota-kota besar. Mungkin air sungainya berasal dari mata air. Aku dengar banyak sekali mata air di pegunungan dekat kota ini.

Parjo nampak kencing di ujung sungai. Ia menurunkan sedikit celananya dan air kencing berwarna kuning pekat itupun mengucur dengarn deras. Setelah kencing, ia meminta Widya untuk mendekat.

“Non sini deh, bersihin kontol saya non!” Perintah Parjo.

Widya ikut saja perintah Parjo. Ia dekati Parjo dan berlutut di depannya. Kontol Parjo itu masuk begitu saja ke dalam mulut Widya.

Dengan sangat menurut, Widya membersihkan kontol Parjo dari bekas air kencingnya. Aku kembali merasa cemburu. Sebagai suaminya, Widya tidak pernah melakukan itu kepadaku. Dan kini ia justru mau dengan entengnya membersihkan sisa air kencing di kontol seorang preman.

“Cukup non.” Kata Parjo. “Sekarang non buka seluruh baju non lagi dan non mandi di sungai.” Perintah Parjo lagi.

Widya sekali lagi mengikuti perintah Parjo itu tanpa membantah. Ia lepas lagi bikini two pieces yang melekat di tubuhnya. Aku masih bisa melihat sisa-sisa penyiksaan Widya kemarin dengan jelas, apalagi kamera sekarang diarahkan cukup dekat.

“Kasihan non, badannya merah-merah gini. Kus, kamu keterlaluan kemarin.” Kata Parjo.

“Hehe, ya maaf bos. Non Widya sendiri kan katanya yang pengin agak beda. Ya udah aku kasih donk yang agak beda.” Kata Kusni.

“Haha iya, ya udah, gimana non, non seneng ndak disiksa kayak kemarin?” Tanya Parjo.

Widya mengangguk, tapi Widya tetap mengatupkan bibirnya. Parjo kemudian mencium Widya yang sudah dalam keadaan nyaris telanjang itu kecuali jilbab di kepalanya.

“Lain kali, kita bakal bikin non seneng lagi.” Kata Kusni.

“Sekarang, non mandi dulu.” Perintah Parjo.

Kusni dan Somad tiba-tiba memegangi tangan dan kaki Widya.

“Eh apa-apaan ini?” Ucap Widya.

Kusni dan Somad lalu mengayun-ayunkan tubuh Widya dan melemparnya ke dalam sungai.

Byurrr!!

Aku baru ingat, Widya tidak mahir berenang! Benar saja, tak perlu waktu lama, Widya tiba-tiba gelagapan minta tolong.

“Tolong, tolong, aku tidak bisa berenang. Airnya dalem, tolong!!” Widya berteriak sambil tangannya menggelepar-lepar di udara.

Para preman itu hanya tertawa-tawa saja melihat Widya. Mereka hanya merekam istriku minta tolong dan pelan-pelan terbawa arus sungai.

“Tolong, tolong!” Ucap Widya dengan suara yang semakin jauh.

Para preman itu masih tak bergeming. Mereka masih menonton saja Widya dari pinggir sungai. Walaupun kali ini mereka pelan-pelan mengikut Widya yang mulai terbawa arus.

“Tolong, aku mohon, tolong.” Rintih Widya sambil gelagapan air.

“Ayo, gerakin badan non! Ndak usah takut!” Ucap Kusni.

“Iya, ayo non, gerakin aja badan non! Pasti bisa berenang.” Tambah Somad.

Widya sudah panik bukan main. Pasti ia tak bisa berfikir dengan jernih. Aku hanya bisa melihat tubuh telanjangnya mulai timbul dan tenggelam. Dan kulit halusnya yang terkena air itu justru nampak begitu menggairahkan. Aku merasa terangsang sekali.

Melihat adegan Widya yang nyaris tenggelam, aku malah mulai mengocok kemaluanku. Entah mengapa, aku jadi sangat terangsang melihat istriku tersiksa seperti itu.

“Aku mohon, blupp blupp, bluupp, tolong aku.” Pinta Widya.

Parjo dan kawan-kawan masih saja tertawa-tawa.

“Kalau non ndak mau usaha coba renang, non mati lho.” Ucap Kusni.

Tak berapa lama, tubuh Widya tak lagi muncul di permukaan. Aku bahkan tak tahu di mana ia berada sekarang ini.

“Yah ilang beneran nih si Non.” Ucap Parjo.

“Gimana bos, mau aku bantuin?” Tanya Kusni.

“Ya udah sana, bantuin.” Kata Parjo.

Kusni membuka kaos dan sekalian celananya. Ia melompat-lompat diantara batu-batu sungai dan kemudian menceburkan diri di air.

Byurr, Kusni masuk ke dalam air dan berenang untuk mencari Widya. Tak butuh waktu lama, ia berhasil menemukan Widya dan mengangkat tubuhnya.

Dengan mudah, Kusni menggotong tubuh Widya dengan kedua tangannya. Nampak Widya sudah lemah sekali kehabisan nafas. Dan ternyata, sungai itu tak begitu dalam. Kusni masih bisa berdiri dengan baik dengan air setinggi dadanya.

Rupanya, para preman itu sudah tahu kalau sungai itu memang tidak begitu dalam. Karena itu mereka sengaja tidak menolong Widya dari tadi. Tapi ternyata Widya tetap saja panik dan nyaris tenggelam. Padahal kalau dia tenang, setidaknya pundak Widya bisa diatas air.

Kusni membaringkan Widya atas rumput pinggir sungai. Ia nampak kelelahan dan matanya tertutup. Tubuh telanjangnya nampak basah oleh air dan kulitnya begitu mengkilat. Jilbab yang Widya kenakan juga nampak tembus pandang. Rambutnya samar-samar terlihat dengan jelas dari luar.

“Aku mau kasih bantuan nafas buat si non.” Kata Kusni.

“Emang bisa Kus? Belajar dari mane?” Ujar Parjo.

“Haha, tenang bos, aku bisa lah kalau cuman gitu.” Tambah Kusni.

Kusni memberikan nafas buatan lewat bibir Widya. Namun ia melakukannya seperti sedang ciuman. Sudah jelas jika Kusni tidak bisa melakukan nafas buatan.

Kusni juga melakukan CPR, biasanya dilakukan dengan menekan-nekan dada agar pacu jantung kembali berdenyut. Tapi bukannya memberikan CPR di sekitar jantung, Kusni justru menekan-nekan dada Widya sambil meremasi payudaranya. Posisi Kusni juga sekarang menduduki perut Widya dengan kontol menjuntai karena ia tidak mengenakan celana.

“Huff huff, ayo non nafas lagi!” Kata Kusni sambil terus menekan-nekan dada Widya. Atau lebih tepatnya menekan dan meremas-remas payudara Widya.

“Kayaknya bukan gitu deh Kus caranya.” Ujar Somad sambil merekam video.

“Bodo amat lah, lagian kalau dia mati ya tinggal kita buang mayatnya.” Ujar Kusni lagi sambil tertawa-tawa.

Kusni tambah kurang ajar, ia jejalkan kontol hitamnya itu di antara kedua buah ada Widya. Buah dada Widya Kusni tekan supaya mencepit kemaluan preman itu. Setelah itu, ia tekan-tekan lagi dada Widya seperti melakukan CPR.

“Hehe, enak nih bos, empuk.” Kata Kusni.

“Wah bisa aja Kus!” Sahut Parjo.

Kusni terus saja menekan-nekan payudara Widya yang ia gunakan juga untuk menjepit kontolnya. Ia tekan-tekan terus dada Widya hingga kontolnya akhirnya muncrat. Orgasme Kusni hampir bersamaan dengan kembali sadarnya Widya dari pingsan. Istriku nampak batuk-batuk sambil berusaha mencari nafas.

Widya nampak kaget ketika tersadar dari pingsan. Ia juga nampak kaget karena cairan peju Kusni menyemprot dengan deras di dada dan wajahnya. Sungguh kasihan Widya, ia tidak hanya digunakan sebagai pemuas nafsu para preman itu, tapi juga sebagai bahan fantasi aneh-aneh dari mereka.

“Tolong, uhukk, uhuuk, tolong uhukk.” Kata Widya terbatuk-batuk.

Peju yang menyemprot ke muka dan mulut Widya beberapa ada yang tak sengaja ia telan.

“Nah berhasil kan. Kusni gitu lho.” Kata Kusni bangga setelah membuat Widya siuman.

“Haha, bisa aja kamu Kus.” Tambah Parjo.

Widya masih terbatuk-batuk ketika Kusni bangkit dari tubuhnya. Ada air yang keluar dari mulutnya, tanda jika memang Widya menelan cukup banyak air sungai. Nafas Widya terdengar parau, namun perlahan-lahan ia bisa menyesuaikan diri.

“Tenang Non, tenang.” Kata Parjo sambil jongkok dan mengelus-elus Widya. “Tarik nafas yang dalam, terus keluarin lagi.” Tambah Parjo.

Setelah beberapa waktu, Widya akhirnya bisa bernafas dengan baik. Ia tak lagi terbatuk-batuk dan pucat di wajahnya mulai menghilang.

“Nah dah tenang kan non. Sekarang non mandi sana. Tapi jangan jauh-jauh, nanti tenggelam lagi.” Ujar Parjo. “Masih banyak sisa peju di badan kamu non. Nanti kalau orang lain liat gimana?” Ujar Parjo semaunya sendiri.

Aku lihat, tubuh Widya masih lemas, tapi mau tak mau ia ikuti kemauan Parjo. Perlahan, Widya kembali mencelupkan tubuhnya ke dalam sungai namun ia tak berani jauh-jauh.

“Nih pakai sabun buat bersihin badan non!” Kata Parjo sambil melemparkan sebuah sabun batang ke Widya.

Dengan malu-malu, Widya nampak mulai menyabuni tubuhnya. Aku merasa pemandangan di sana ganjil sekali. Seorang wanita dengan jilbab, tubuhnya telanjang, mandi di sungai, dikelilingi tiga orang preman berwajah sangar. Ini benar-benar sudah seperti adegan film porno kelas atas. Gila sekali Widya mau melakukan ini.

“Sini aku bantuin non, biar sekalian saya jagain non biar ndak kebawa arus lagi.” Kata Kusni.

Preman itupun kembali masuk ke dalam sungai. Ia bantu menyabuni tubuh Widya. Tapi apa yang Kusni sabuni sebagian besar adalah payudara, kemaluan, dan dubur dari istriku. Aku baru sadar, jika knob yang semalam dipasang Kusni di dubur Widya sampai sekarang masih bersarang di sana. Kusni sembat membengangkan dubur istriku dan menyabuni-nya. Di saat itu aku bisa melihat knob besi masih tertancap di dalam dubur Widya.

“Sekalian non, mau keramas ndak? Copot aja jilbabnya.” Kata Kusni.

Widya menggelengkan kepala. “Tidak, aku mohon jangan.” Pinta Widya.

Kusni tertawa saja mendengar kata-kata Widya. Untuk permintaan ini, ia menuruti Widya. Ia tak copot hijab istriku. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa para preman itu terus membiarkan Widya mengenakan hijab. Mungkin mereka menghormati pilihan Widya, tapi mungkin juga karena Widya lebih menggairahkan dengan memakai hijab seperti itu.

“Aku juga mau ikut.” Kata Somad, ia serahkan kamera ke Parjo dan meneruskan rekaman video itu.

Somad juga melepas bajunya, sehingga preman itu kini telanjang. Jadilah Widya dimandikan oleh 2 orang preman sekaligus. Mereka tentu saja memandikan Widya secara mesum. Tubuh istriku itu disabuni dan digerayangi dengan seenak jidat. Bahkan mereka menyabuni leher istriku yang tertutup jilbab. Istriku kadang menghalangi tangan-tangan mereka, tapi kadang sesekali Kusni dan Somad masih saja ngeyel.

“Ini, bagian dalemnya disabuni juga.” Kata Somad sambil merogoh memek Widya dengan jari-jarinya.

“Ah, jangan, ndak usah, aduh.” Rintih Widya ketika jari-jari kasar dan gemuk Somad itu masuk ke dalam memeknya.

Somad juga terlebih dahulu menyabuni tangannya sebelum mengocok memek Widya sehingga memek istriku itu dipenuhi dengan busa sabun.

“Hehe, biar bersih non, kan tadi malem memek non kita peju-in.” Ucap Somad seenaknya.

Kusni tak mau kalah, ia terus menyabuni payudara, ketiak, dan juga pantat Widya. Ia bahkan meremas-remas payudara Widya dengan lapisan sabun di tangannya. Remasan itu lama kelamaan membuat Widya terangsang. Apalagi tiga jari Somad kali ini sudah merogoh masuk ke dalam memek Widya.

Memek Widya yang sudah sangat basah itu sampai menimbulkan bunyi kecipak ketika dikocok oleh Somad. Tiga jari Somad itu benar-benar membuat memek Widya membuka lebar. Aku tidak tahu apakah memek Widya lama kelamaan akan rusak akibat ulah para preman ini.

Aku hanya bisa membayangkan jika kontolku yang tidak terlalu besar ini mungkin suatu saat sama sekali tidak bisa dijepit oleh memek Widya. Mungkin memek istriku benar-benar akan dower nantinya. Jika itu sampai terjadi, aku tidak bisa lagi menikmati persetubuhanku dengan Widya. Tapi membayangkan hal itu, kontolku berdiri tegak bukan main.

Aku hanya berharap, Preman itu tidak memasukan lagi lebih banyak jarinya ke dalam memek istriku. Atau bahkan memasukan seluruh kepalan tangannya kesana. Jika sampai seluruh kepalan tangan preman itu bisa masuk ke memek Widya, maka berakhir sudah. Kontol kecilku ini tak mungkin mampu lagi memuaskan Widya. Dan aku juga tak mungkin merasakan nikmat bercinta dengan Widya.

Syukur, tak berapa lama kemudian, Widya mengalami orgasme yang hebat. Tubuhnya berkelenjotan di air sungai dalam pelukan Kusni dan kocokan tangan Somad.

“Hehe, nyampe juga si non.” Kata Kusni.

“Iya, tadi bilang ndak-ndak.” Tambah Somad.

Video kali ini berhenti di sana. Dan ketika aku buka messenger, ternyata sudah ada video lain yang dikirimkan oleh Parjo.


Part 14

Video selanjutnya dimulai tak lama setelah kejadian di sungai. Setelah mandi, rombongan itu melanjutkan pendakian gunung. Parjo dan Somad sudah mengenakan pakaian lagi sementara Widya mengenakan bikini yang lain. Tubuhnya nyaris tak tertutupi dengan bikini two pieces yang mini itu. Aku tak tahu apakah knob besi karatan itu masih tertancap erat di dalam dubur Widya. Tak lupa, sebuah hijab motif bunga menghiasi kepalanya. Widya nampak cantik menggenakan jilbab itu.

Jalan setepak di pegunungan nampak lebih curam sekarang ini. Nafas Widya terdengar berat sekali. Apalagi ia masih harus membawa tas dengan ukuran sangat besar. Keringat sudah membasahi kulit tubuh Widya dan ia harus mendaki dengan bantuan tongkat kayu untuk mempermudahnya melewati jalan tebing yang curam.

“Ayo, sebentar lagi kita sudah sampai.” Kata Parjo.

Sampai detik ini, aku masih tidak tahu secara pasti tempat apa yang dituju oleh Parjo dan kawann-kawannya. Yang jelas, katanya di ujung gunung itu terdapat sebuah tempat ritual. Entah ritual seperti apa yang ada di sana.

Benar saja, tak jauh dari jalan setepak itu, samar-samar terlihat sebuah gapura. Terbuat dari batu bata merah dan nampak sudah sangat tua. Di balik gapura itu ada air terjun kecil dan pemukiman. Entah berapa orang yang tinggal di pemukiman itu karena rumah-rumahnya terbuat dari kayu dan nampak sudah sangat tua.

Aku bisa melihat sedikit keragu-raguan muncul di wajah Widya. Mungkin ia ragu untuk melangkah lebih jauh lagi. Daerah itu sekilas memang terlihat sangat angker.

“Kenapa non? Ndak usah takut, ayo ikut.” Kata Parjo.

Aku mengira, Widya juga tidak tahu betul rencana Parjo. Ia hanya mengikuti perintah Parjo dari hari ke hari.

Di sekitar gapura, aku bisa melihat dari video jika banyak sekali menyan dan sesajen ditaruh di sana. Tanda jika memang daerah ini sering digunakan sebagai tempat ritual. Selain air terjun, aku bisa melihat ada sebuah kubangan lumpur. Bentuknya mirip dengan kubangan lumpur lapindo. Dan dari kubangan lumpur itu muncul sesekali gelembung udara dari bawah.

Aku melihat, di lumpur itu setidaknya ada 3 orang yang telanjang. Mereka berendam lumpur dan membasuh seluruh tubuhnya dengan lumpur itu. Termasuk juga dengan wajah mereka.

Parjo kemudian memasuki sebuah gubuk, di dalam gubuk itu ada seorang wanita tua yang mirip dengan dukun. “Ada perlu apa kamu datang kemari.” Tanya wanita tua itu.

Parjo mendekat dan kemudian membisikan sesuatu kepada wanita tua itu. Aku tak bisa mendengar apa yang ia ucapkan. Setelah selesai membisiki itu, si wanita tua itu menatap kepada Widya sambil tersenyum.

“Sini anakku, ayo kemari.” Kata Wanita Tua itu. “Namaku Parmi, siapa nama kamu cantik.” Tambah wanita tua itu.

“Aku, aku Widya.” Kata Widya dengan nada sedikit ragu-ragu.

“Sebut saja aku Parmi, atau orang sini sering sebut aku sebagai Mbah. Silahkan saja, suka-suka kamu anakku.” Tambah Mbah Parmi.

Mbah Parmi membimbing Widya untuk masuk lebih dalam ke ruangan itu. Aku bisa melihat dengan jelas ada ketakutan dan keraguan di wajah Widya. Aku semakin yakin jika ia memang tidak tahu maksud dan tujuan Parjo kesitu.

“Sekarang, kamu tiduran di sini ya nduk cantik.” Kata Mbah Parmi sambil mempersilahkan Widya untuk tiduran pada sebuah dipan bambu.

Widya masih nampak ragu tapi Parjo menyuruhnya untuk mengikuti saja perkataan Mbah Parmi.

Setelah Widya tidur diatas dipan bambu itu, Mbah Parmi meraba tubuh Widya dari pundak turun hingga perut. Aku melihat, Widya nampak bergetar ketika tangan Mbah Parmi meraba tubuhnya. Aku lihat juga Mbah Parmi menekan-nekan bagian perut Widya tepat di sekitar rahim-nya.

“Tato kamu bagus nduk.” Kata Mbah Parmi sambil membelai tato di bagian bawah perut Widya. Tato itu sedikit tertutupi oleh bikini yang Widya kenakan. ”Capek ya ndaki gunungnya? Tapi kamu hebat lho nduk, daki gunung cuma pakai baju mini seperti ini.” Ujar Mbah Parmi. “Aku suka tato kamu nduk. Kamu punya tato lain?”

Widya menggelengkan kepala. “Aku ndak punya mbah.”

“Kalau tindik, kamu punya tindik?” Tanya Mbah Parmi.

Widya mengangguk. “Aku punya.” tambahnya.

“Dimana tindik kamu nduk? Kok aku ndak bisa liat? Di lidah ya nduk?” Tanya Mbah Parmi.

Widya menggelengkan kepala. “Bukan mbah, ada di sini, sama di sini.” Kata Widya sambil menunjukan puting susu dan kemaluannya.

“Wah, ternyata, kamu nakal juga ya nduk.” Kata Mbah Parmi. “Tapi aku suka nduk, cewek hijaban kayak kamu tapi nakal.” Tambahnya. “Boleh aku liat nduk, tindik kamu kayak apa?” Tanya Mbah Parmi.

Widya agak ragu untuk mengangguk. Ia sempat menatap Parjo seolah menanyakan apa maksud semua ini.

Akupun tak habis pikir, apa keinginan para preman itu terhadap Widya. Mereka jauh-jauh menyuruh Widya mendaki gunung dengan mengenakan bikini. Dan sekarang mereka berada pada kediaman seorang dukun yang entah mau apa.

Mendapat persetujuan Widya, Mbah Parmi mengintip puting susu dan kemaluan Widya tanpa melepas bikini yang ia kenakan. “Hmm bagus sekali. Kamu punya badan bagus sekali nduk.” Kata Mbah Parmi. “Lumo pasti suka.” Kata Mbah Parmi.

‘Lumo?’ Kataku dalam hati ‘Siapa itu Lumo?’

“Baiklah, wanita ini sempurna.” Kata Mbah Parmi.

“Bagaimana, kalian mau mulai sekarang?” Tanya Mbah Parmi kepada para preman itu.

Parjo mengangguk tanda setuju.

Widya dibimbing keluar dari gubuk. Mbah Parmi mengajak Widya untuk berjalan mendekati kubangan lumpur yang ada tidak jauh dari gubuk tempat ia tinggal. Kubangan lumpur itu aku lihat sudah kosong, tak ada orang yang ada di dalam sana seperti tadi.

“Sekarang nduk, aku mau kamu masuk ke lumpur ini. Lapisi seluruh tubuhmu dengan lumpur ini sampai rata.” Kata Mbah Parmi.

Widya sempat menatap bingung kepada Mbah Parmi. Ia juga menatap bingung ke arah tiga preman tadi. Tapi Mbah Parmi meyakinkan Widya jika ia harus melaksanakan ritual ini untuk mengabulkan permintaan Parjo. Aku sendiri tak tahu apa permintaan Parjo. Dan aku tak yakin juga dengan menjalani ritual apapun seperti ini, bisa mengabulkan sebuah permintaan.

“Turuti saja non semua permintaan Mbah Parmi.” Kata Parjo. “Anggap saja perintah Mbah Parmi adalah perintahku.” tambahnya.

Kata-kata Parjo tadi sedikit banyak mengingatkan Widya jika ia harus menuruti semua permintaan Parjo. Seaneh dan sesulit apapun permintaan itu. Jika tidak, maka Parjo mungkin seenak jidat akan menyebarkan video mesum Widya.

Satu yang aku khawatirkan, jika sampai orang-orang di sini yang merekam Widya dan menyebarkannya ke internet. Tapi aku tak tahu di tempat terpencil seperti ini, orang-orangnya mempunyai peralatan elektronik seperti HP. Dua orang bapak-bapak bercawat yang kemarin sempat betemu dengan Widya ketika naik gunung juga tidak nampak batang hidungnya. Mungkin mereka sudah selesai melakukan ritual di sini.

“Buka semua bajumu ya nduk, biar lumpurnya meresep ke kulitmu.” Kata Mbah Parmi.

“Tapi Mbah, tapi.” Widya nampak sedikit keberatan.

“Tenang aja nduk, di sini yang tinggal cuma orang sini. Tadi malam ada ritual besar, sekarang mereka sudah pulang semua nduk. Jadi ndak usah khawatir.” Kata Mbah Parmi.

Sebenarnya, toh Widya juga tidak punya pilihan. Ia harus menuruti apa kata-kata Mbah Parmi, seolah itu adalah perintah dari Parjo langsung. Lagipula, ia juga sudah mengenakan pakaian minim sedari tadi. Di sini, mengenakan pakaian minim dan telanjang hampir dipandang sama oleh masyarakat. Sama-sama dicap sebagai pelacur.

Perlahan, Widya melepaskan bikini yang ia kenakan. Sekali lagi, tubuhnya terpampang dengan jelas tanpa penghalang apapun.

“Jilbabnya juga ya nduk.” Kata Mbah Parmi.

Kali ini Widya menggelengkan kepala. Ia tetap bersikeras tidak mau melepaskan jilbab meskipun tubuhnya telanjang dan bisa menjadi tontonan banyak orang. Mbah Parmi sempat menoleh ke arah Parjo, seolah bertanya. Tapi Parjo hanya mengangguk-angguk saja.

“Ya sudah, jilbabnya tidak perlu kamu lepas nduk. Tapi, kamu basuh muka kamu pakai lumpur ini sampai rata ya.” Kata Mbah Parmi.

Widya nampak mengerti, perlahan ia memasuki kubangan lumpur itu. Aku yang melihat dari video tak tahu apakah lumpur itu bau atau panas. Yang jelas, kubangan itu mengeluarkan beberapa gelembung.

Lumpur itu tidak terlalu pekat, namun juga tidak terlalu encer. Tubuh Widya dengan mudah masuk ke dalam lumpur itu. Widya disuruh berjalan hingga ke tengah kubangan. Semakin ke tengah, kubangan itu semakin dalam, namun tak sampai membuat Widya kesulitan untuk bergerak.

“Ya terus nduk maju lagi.” Kata Mbah Parmi.

Ada sedikit keragu-raguan ketika Widya melangkah lebih jauh lagi. Lumpur sekarang sudah sampai setengah paha-nya. Jika masuk lebih dalam lagi, lumpur itu barangkali akan menutupi tubuhnya hingga kemaluan dan pinggang-nya.

“Tenang aja nduk, kamu aman. Kamu tidak akan tenggelam. Terus maju saja sampai aku bilang stop.” Kata Mbah Parmi.

Wajah Widya masih ragu-ragu, tapi ia terus maju. Lumpur berwarna abu-abu pekat itu mulai menelan paha mulus istriku. Pelan tapi pasti, kemaluan Widya juga ikut tenggelam di dalam lumpur. Entah ada apa saja di dalam lumpur itu. Cacing, larva, atau hewan menjijikan lainnya? Bagaimana kalau sampai ada yang masuk ke dalam lubang vagina Widya? Apalagi sekarang Widya sama sekali tidak mengenakan pakaian.

“Bagaimana nduk rasanya?” Tanya Mbah Parmi.

“Hangat, tapi juga sekaligus dingin mbah.” Ujar Widya.

“Benar sekali.” Kata Mbah Parmi. “Terus, maju sedikit lagi.” Katanya menyuruh Widya. “Nah sudah, berhenti di situ.” Kata Mbah Parmi.

Widya sekarang berada hampir di tengah kubangan lumpur. Perutnya nyaris tertutupi lumpur itu hingga hampir di atas pusar.

“Sekarang, kamu ratakan lumpur itu ke seluruh tubuh kamu ya nduk.” Ucap Mbah Parmi. “Caranya, kamu jongkok di lumpur itu ya nduk, terus ratain semua lumpurnya ke badan kamu.”

Aku pernah melihat video orang terapi mandi lumpur untuk kecantikan. Tapi itu biasanya dilakukan di klinik dan dengan olesan lumpur bercampur olahan herbal yang higienis. Tapi, entah apa lumpur yang merendam tubuh Widya sekarang ini. Apakah lumpur ini bersih? Apakah lumpur ini tidak bercampur dengan kotoran-kotoran lainnya?

Widya berjongkok menuruti perintah Mbah Parmi. Tubuh bagian atas perutnya perlahan masuk juga ke dalam lumpur. Tidak terkecuali dengan payudara istriku itu. Widya terus menenggelamkan tubuhnya hingga nyaris lehernya tertutupi. Sedikit jilbab bagian bawahnya juga terkena lumpur.

Ada satu kesan seksual ketika Widya mencelupkan tubuhnya di dalam lumpur. Tubuh Widya walaupun sekarang ini hanya bisa aku lihat dari pundak ke atas, tapi dengan lumpur menutupi tubuhnya, Widya nampak begitu menggairahkan. Aku konak sekali melihat itu. Sampai-sampai kemaluanku sekarang begitu ereksi maksimal.

Dengan perlahan tapi pasti, Widya meratakan lumpur itu ke seluruh tubuhnya. Ia seperti melakukan luluran, bedanya lulur yang ia gunakan saat ini adalah lumpur yang warnanya gelap dan sangat pekat. Lumpur yang berwarna gelap dan pekat itu WIdya ratakan ke seluruh tangannya. Tak lupa ia juga melapisi ketiaknya dengan lumpur itu hingga rata. Terakhir, Widya melapisi seluruh mukanya dengan lumpur hingga nyaris tak bisa lagi dikenali.

Awalnya Widya seperti merasa cukup ketika seluruh wajahnya sudah tertutup lumpur. Namun karena sebagian jilbab yang ia kenakan sudah tertutup lumpur, maka Widya sepertinya sekalian meratakan lumpur itu di setiap jengkal jilbabnya. Ia bahkan melapisi sedikit bagian dalam rambutnya yang tertutup jilbab agar juga terlapisi oleh lumpur itu.

Tubuh Widya sekarang sudah rata dengan lumpur. Mbah Parmi memintanya untuk bangkit dari kubangan itu dan berjalan keluar dari kubangan. Perlahan, tubuh Widyapun berdiri dari yang tadinya jongkok di atas lumpur. Aku benar-benar takjub melihat tubuhnya sekarang. Dari kepala hingga perut, semuanya tertutupi oleh lumpur. Bahkan payudaranya juga tertutup oleh lumpur pekat. Aku nyaris tak bisa melihat di mana puting Widya sekarang karena semuanya tertutup oleh lumpur.

Begitu Widya berjalan keluar dari kubangan, aku sedikit demi sedikit bisa melihat seluruh tubuhnya yang tadi terendam oleh lumpur. Paha, pantat, dan terutama kemaluannya. Semua bagian tubuhnya itu tertutup oleh lumpur. Widya sekarang seperti manekin hidup. Tubuhnya nampak mengkilap ditutupi oleh lumpur yang pekat.

Aku benar-benar ereksi maksimal melihat kondisi Widya sekarang. Teknisnya, Widya sekarang justru sama sekali tidak telanjang. Seluruh tubuhnya tertutupi oleh lumpur warna abu-abu yang pekat. Tapi seluruh tubuhnya yang tertutup lumpur itu sangat menggairahkan. Seluruh lekuk-lekuk tubuhnya bisa terlihat dengan jelas, malah lumpur itu memperjelas lekuk-lekuk tubuh Widya yang begitu seksi.

Somad datang dengan dua buah blok kayu di tangan. Blok kayu itu bentuknya seperti pancung dengan tiga lubang, satu di tengah dan dua di samping kanan serta kiri. Aku lihat, mbah Parmi memang sempat menyuruh Somad untuk mengambilkan sesuatu di gubuknya tadi.

“Nah, sekarang pasangkan pasung itu ke Nduk WIdya ya Mad.” Perintah Mbah Parmi kepada Somad.

Sesuai perintah Mbah Parmi, Somad memasangkan pasung itu ke Widya. Satu lubang besar di antara kedua bilah kayu itu rupanya untuk kepala Widya. Sedangkan kedua lubang kecil di kanan dan kiri untuk tangan Widya. Dengan pasung itu, kedua tangan Widya tidak bisa digerakan. Widya sama sekali tidak bisa menutupi ketelanjangan tubuhnya bahkan ketiaknya terbuka dengan sangat lebar.

Kondisi Widya sekarang seperti budak-budak romawi yang terpasung di kayu. Bedanya, orang Romawi masih memberikan pakain kepada para budak mereka, sedangkan Widya sama sekali tidak mengenakan pakain. Ah aku salah, Widya masih pakai pakaian. Ia mengenakan pakaian lumpur di seluruh tubuhnya. Bahkan tak ada se centi-pun kulit tubuhnya yang nampak dari luar.

“Aku kasih ini ya nduk.” Kata Mbah Parmi sambil memasangkan sesuatu di tindik cincin itil Widya.

Benda yang mbah Parmi pasangkan itu ternyata adalah sebuah lonceng. Lonceng itu ukurannya sebesar jambu air dan terbuat seluruhnya dari logam. Aku tidak tahu seberapa berat lonceng itu. Tapi aku bisa melihat ekspresi kesakitan dari Widya ketika Mbah Parmi selesai memasang lonceng itu di tindik itil Widya.

Krincing, krincing, bunyi lonceng itu terdengar begitu kencang ketika tubuh Widya bahkan hanya sedikit bergerak. Bunyinya cukup nyaring, bahkan dalam rekaman audio hp yang sebenarnya tidak terlalu baik. Bunyi lonceng kecil itu pasti terdengar lebih kencang aslinya.

Mbah Parmi kemudian memasang sebuah rantai besi ke pasung Widya. Rantai itu digunakan untuk menarik Widya dan mengarahkannya untuk jalan. Dengan rantai itu, Mbah Parmi mulai menarik Widya untuk mengikutinya berjalan.

“Ayo, ikut Mbah Nduk.” Ucap Mbah Parmi.

Widya ditarik Mbah Parmi untuk masuk ke dalam perkampungan. Dalam keadaan telanjang dan hanya berbalut lumpur, Widya mau tidak mau mengikuti langkah Mbah Parmi. Dengan tangan terpasung di kayu, Widya tidak bisa menutupi ketelanjangannya. Buah dadanya yang ranum itu nampak bergoyang dengan indah mengikuti langkah kakinya. Pantatnya yang kencang dan kemaluannya yang tanpa bulu itu diumbar begitu saja. Siapapun dapat melihatnya dengan jelas meskipun terlapisi dengan lumpur.

Krincing, krincing, krincing, bunyi lonceng di itil Widya begitu membahana. Bunyi itu seolah menjadi penanda dimulainya ritual. Dan aku lihat, sedikit demi sedikit warga perkampungan keluar dari rumah-rumah kayu mereka.

Perempuan dan laki-laki di perkampungan itu semuanya mengenakan pakaian yang sama. Mereka berbalut kain putih. Jika laki-laki mengenakan kain putih dari perut hingga ke mata kaki. Sedangkan perempuan membalutkan kain dari dada mereka ke lutut. Namun baik laki-laki maupun perempuan, semuanya mengenakan kain penutup mulut di wajah. Sehingga kita tidak bisa mengenali siapa mereka.

Laki-laki dan perempuan yang keluar dari rumah kayu itu mendengungkan semacam mantra. Aku tidak tahu mantra apa itu. Ucapannya seperti bahasa kuno namun tak bisa sama sekali aku pahami. Sambil mendengungkan mantra, para laki-laki dan perempuan itu melemparkan bunga-bungaan ke arah Widya. Aku lihat beberapa juga mengeluarkan dupa yang dibakar dengan asap begitu tebal.

Mbah Parmi menarik rantai kekang Widya secara perlahan. Ia seperti memang tak tergesa-gesa melewati perkampungan itu. Widya menunduk, mungkin ia malu. Lagipula, belum pernah seumur hidupnya, tubuh telanjangnya dilihat begitu banyak orang seperti ini.

Aku sendiri konak bukan main melihat video itu. Di satu sisi aku benar-benar tak rela tubuh istriku diumbar secara bebas seperti itu. Tapi di sisi lain aku begitu menikmati tubuh Widya dipermalukan dan dipertontonkan secara umum seperti ini.

“Hom sona hom, sonu, hom.” Denggungan mantra terdengar begitu sakral.

Lucunya, sampai sekarang aku masih belum tahu ritual apa yang akan Widya jalani. Dan aku juga tidak tahu permintaan Parjo kepada Mbah Parmi. Apakah ritual ini ditujukan untuk Widya? Atau Widya hanyalah sebagai tumbal untuk ritual ini?

Yang jelas, Widya terus saja digiring melewati jalan perkampungan yang cukup sempit itu. Para penghuni perkampungan menaburi Widya dengan bunga dan berbagai macam pernik lainnya. Aku tak tahu apa saja, karena tidak terlalu tertangkap kamera dengan jelas.

Beberapa penduduk kampung ada yg ikut mengarak Widya dari belakang. Dan aku lihat keseluruhannya adalah laki-laki. Aku tak tahu jumlahnya, yang jelas cukup banyak laki-laki yang ikut dalam arak-arakan itu.

Krincing, krincing, krincing, suara lonceng di itil Widya makin nyaring. Makin banyak Widya bergerak, maka makin nyaring bunyi lonceng itu. Dan makin nyaring bunyi lonceng itu, makin banyak warga kampung yang keluar dari rumahnya.

Perkampungan itu tidak besar, tapi juga tidak kecil. Jalan kampung itu memanjang mengikuti arah jalan setapak menuju ke atas tebing. Di ujung tebing, aku melihat ada sebuah goa dan di sekitar goa itu terdapat juga lumpur mirip dengan yang ada di ujung desa satunya. Faktanya, kubangan lumpur seperti itu ada juga di beberapa titik di desa itu. Mungkin memang di bawah desa ini terdapat sumber magma aktif.

Perlahan, Widya akhirnya melewati perkampungan dan sekarang ia mendekati goa yang di pintunya ditumbuhi beberapa tumbuhan menjalar. Mbah Parmi dan para penduduk di yang mengikuti arak-arakan Widya kini berhenti. Mereka berlutut di depan pintu goa sambil mengucapkan nama yang tadi sempat Mbah Parmi sebutkan.

“Lumo, keluarlah, Lumo keluarlah.” Kata Mbah Parmi dan para penduduk desa.

Lumo, siapa itu lumo? Apakah dia penunggu daerah sini?

Samar-samar aku bisa melihat ada sosok dari dalam gua yang keluar. Sampai sini aku masih belum bisa membedakan apakah sosok itu hewan atau manusia. Dari siluetnya, aku bisa menebak kalau sosok itu ukurannya cukup besar. Mungkin tingginya nyaris 2m. Jalannya bongkok dan badannya nampak tidak proporsional.

Semakin sosok itu keluar dari goa, aku semakin bisa melihatnya dengan jelas. Ya, sosok itu adalah manusia namun dengan tubuh yang sangat aneh. Sosok itu badannya sangat besar, ada beberapa tonjolan seperti di bahu kirinya yang seperti cacat bawaan. Perutnya buncit dengan bulut-bulu yang lumayan banyak. Namun yang paling mengerikan adalah wajahnya. Wajahnya hancur bukan main. Banyak tonjolan mirip dengan daging tumbuh. Salah satunya bahkan menutupi mata kirinya.

Itulah sosok Lumo, sosok yang sedari tadi dipanggil oleh para penduduk perkampungan ini. Tubuhnya besar dan mengerikan seperti monster. Mungkin mirip dengan sosok orc dalam film Lord of the Rings. Pertanyaannya, mengapa sosok itu dipanggil oleh para penduduk perkampungan ini? Dan apa hubungannya Lumo dengan Widya yang sekarang terpasung dan tak bisa melarikan diri?


Part 15

Di layar televisi, aku melihat video Widya yang sedang diarak oleh Mbah Parmi dari perkampungan menuju ke goa di ujung desa. Kondisi Widya selama diarak benar-benar sangat memalukan. Tubuhnya telanjang kecuali hijab di kepalanya. Seluruh tubuhnya termasuk hijab dilapisi oleh lumpur berwarna abu-abu nan pekat. Di itilnya terpasang lonceng dengan bunyi sangat nyaring. Sementara kedua tangan dan lehernya terpasung oleh kayu sehingga tak bisa digerakan.

Sesampainya mereka di depan goa, ada sosok manusia tinggi besar yang keluar dari goa itu. Badannya gempal dengan bentuk sangat aneh. Mirip seperti monster atau orc dalam film Lord of The Rings. Para penduduk desa menyebutnya sebagai Lumo.

Lumo hanya memakai kain cawat untuk menutupi kemaluannya. Selebihnya tubuhnya dibiarkan telanjang. Ia berjalan melewati kubangan lumpur yang menutupi hampir seluruh pintu masuk ke gua itu.

Tebakanku, Lumo adalah orang yang lahir dengan cacat bawaan. Karena tubuhnya yang tinggi besar, mungkin orang-orang di sekitar desa itu mengkeramatkannya. Dan mungkin menganggap dia sebagai keturunan dewa atau orang sakti.

Aku bisa melihat ada ekspresi ketakutan di wajah Widya ketika sosok Lumo keluar dari goa itu. Meskipun wajahnya kini seluruhnya tertutup oleh lumpur. Ia juga sempat mundur, namun langkahnya dihentikan oleh Mbah Parmi yang menahan rantai kekangnya.

“Lumo, ini ada sosok wanita yang perlu kamu berkati. Tolong kamu berkati dengan baik ya.” Ucap Mbah Parmi.

Widya semakin panik ketika melihat Lumo mendekatinya. Ia semakin ingin membalik tubuhnya, namun dua orang penduduk perkampungan itu membantu Mbah Parmi untuk memegangi pasung Widya.

“Mbah, aku mau diapain?” Tanya Widya dengan nada ketakutan.

“Tenang Nduk, Lumo ini ndak jahat, wajahnya serem tadi dia baik.” Kata Mbah Parmi.

“Tapi mbah, aku mau pergi saja mbah.” Tambah Widya.

“Jangan nduk, nanti ritual kamu gagal, kalau sudah gagal, keinginan kamu ndak bakal teruwjud lagi.” Ucap Mbah Parmi.

“Tapi, tapi aku ndak pingin apa-apa mbah.” Kata Widya.

“Hehe, ndak papa nduk, mbah tau kok apa yang kamu pengin.” Tambah Mbah Parmi.

Ya, Widya memang tidak pernah meminta Mbah Parmi untuk melakukan ritual apapun. Parjo-lah yang meminta Mbah Parmi untuk melakukannya. Dan sampai sekarang, aku masih belum tau permintaan Parjo itu apa. Kemungkinan, Widya juga tidak tahu apa yang Parjo inginkan.

Lumo mendekati Widya, ia mengendus bau badan Widya seperti seekor anjing. Dari tengkuk, turun hingga ke perut Widya. Widya merasa risih dan bahkan memejamkan matanya. Ia mencoba menjauhkan tubuhnya, tapi pasung yang dipegangi oleh dua orang dari desa itu membuatnya tak bisa bergerak.

“Tolong jauhkan dia, tolong.” Pinta Widya.

Tapi Mbah Parmi dan penduduk desa itu tidak ada yang mempedulikan permintaan Widya. Mereka terus menjalankan ritual meskipun nampak sekali jika Widya ketakutan. Aku sendiri merasa penasaran, apa yang akan Lumo perbuat kepada Widya.

Mbah Parmi meminta dua penduduk desa yang memegangi Widya agar mendorongnya ke sebuah batu datar dekat kubangan lumpur. Batu itu bentuknya mirip seperti altar dan ada memang banyak sajen di sekitarnya. Di batu itu, Widya ditidurkan. Sementara itu Lumo mengikuti prosesi itu dari belakang.

“Eh, apa-apaan ini.” Ujar Widya kaget.

Selain dua orang yang memegangi pasung Widya, ada dua orang lagi yang memegangi kaki istriku. Mereka membenggangkan kaki istriku itu hingga kemaluannya kini nampak tanpa penghalang. Mbah Parmi mendekati Widya dan dua orang lagi untuk melepas lonceng yang ada di itil Widya lalu membuka lubang kemaluan Widya selebar mungkin dengan jari-jarinya.

“Ah tolong, jangan begini, apa yang kalian lakukan.” Rintih Widya.

Dua orang yang diperintah Mbah Parmi membuka bibir kemaluan Widya. Mereka membukanya hingga bagian dalam rongga kemaluan Widya yang berwarna pink cerah itu terlihat dengan sangat jelas. Kontras sekali warnanya, kulit tubuh Widya yang berbalut lumpur berwarna abu tua dengan rongga kemaluan Widya yang berwarna merah muda cerah.

“Jangan, tolong hentikan, jangan.” Rintih Widya.

“Tenang nduk, jangan banyak gerak. Ini semua juga demi ritual kamu nduk.” Ujar Mbah Parmi.

“Tapi mbah, tolong, jangan hentikan.” Pinta Widya lagi.

“Sebentar saja nduk, kamu tenang saja.” Tambah Mbah Parmi.

Dua laki-laki yang diperintah Mbah Parmi semakin membuka lubang vagina Widya. Mereka bahkan memasukan jari-jarinya untuk membuka vagina itu selebar mungkin. Aku bahkan tidak tahu kalau vagina Widya bisa membuka selebar itu. Dengan kamera saja aku bisa melihat jelas bagian dalam vagina Widya. Tentu saja orang-orang yang ada di dekat Widya bisa melihat bagian dalam itu lebih jelas dari aku.

Mbah Parmi menerima sebuah tongkat besi yang ujungnya seperti kail. Tongkat itu diambil oleh salah satu penduduk desa lainnya. Mbah Parmi mengamati lubang vagina Widya yang sudah menganga dengan lebarnya. Saking lebarnya, aku bisa melihat mulut rahim Widya di ujung sana.

“Sebentar ya nduk, kamu kan sudah pasang spiral, mbah mau ambil spiral kamu dulu.” Kata Mbah Parmi.

Aku tentu saja terkejut mendengar perkataan Mbah Parmi itu. Ia mau mengambil spiral Widya! Mbah Parmi seorang dukun desa di puncak gunung, aku yakin ia tidak punya pengetahuan mendalam tentang kedokteran. Bisa saja ia justru melukai rahim Widya dan membuatnya infeksi!

“Jangan, jangan mbah, aku mohon.” Pinta Widya.

“Tenang nduk, percaya sama mbah.” Kata Mbah Parmi.

Mbah Parmi meminta penduduk desa itu untuk melebarkan kemaluan Widya lebih jauh lagi. Lubang kemaluan Widya dibuat terbuka ke empat sisi. Lubang itu membuka begitu besar hingga mungkin kaleng minuman soda dapat masuk ke dalam sana dengan mudah.

“Ah, ampun, sakit, tolong, sakit.” Teriak Widya.

Namun teriakan Widya itu sama sekali tidak digubris. Aku benar-benar tegang melihat adegan di dalam video itu. Aku sama sekali tak menyangka jika kemaluan istriku bisa membuka selebar itu.

Ya, aku memang paham jika lubang vagina itu elastis. Dia bisa mengembang dan mengecil lagi. Bahkan jika dalam persalinan, lubang vagina bisa melebar hingga kepala bayi. Tapi itu dalam persalinan. Setahuku, jika dalam persalinan, tubuh wanita mengeluarkan enzim khusus yang akan mempermudah vagina untuk membuka selebar mungkin. Namun saat ini, Widya tidak sedang melakukan persalinan. Dan aku tak tahu, apakah setelah ini vagina Widya akan menjadi rusak karenanya.

Perlahan, Mbah Parmi memasukan tongkat dengan ujung kail itu ke dalam vagina Widya. Widya tentu saja ketakutan melihat tombak itu masuk ke dalam daerah paling privat tubuhnya. Akupun yang melihat adegan video itu dibuat tegang bukan main. Aku bahkan lupa mengocok kemaluanku dan hanya meremas batang kontolku karena saking tegangnya.

Tongkat dengan kail itu berhasil masuk ke dalam kemaluan Widya. Aku lihat Widya sangat ketakutan, tapi ia sekarang hanya memejamkan mata tanpa bersuara. Aku hanya berharap vagina Widya tidak luka atau robek karena ujung kail yang cukup tajam itu.

Setauku IUD atau spiral memang mempunyai tali pengait di ujungnya yang fungsinya agar mudah ditarik ketika mau dilepaskan. Namun biasanya butuh keahlian seorang dokter dan alat-alat khusus untuk melepaskannya. Bukan dengan cara memasukan tongkat kail seperti itu.

Tapi, toh Mbah Parmi akhirnya bisa melepaskan spiral itu dari rahim Widya. Benda kecil berbentuk huruf T itu bisa keluar dengan mudah. Tanpa menimbulkan luka di dalam rongga vagina Widya.

“Nah sekarang, kita bisa melanjutkan ritualnya nduk.” Kata Mbah Parmi.

Para penduduk desapun kembali mengucapkan mantra-mantra aneh yang sama sekali tak aku kenal. Beberapa orang yang tadi memegangi tubuh WIdya juga mundur. Kecuali dua orang yang memegangi tangan Widya agar istriku itu tetap tertidur di atas altar.

Lumo, pria berbadan seperti monster itu kembali mendekati Widya. Ia kembali mengendus-endus Widya dari kepala hingga ke perut, bahkan ke daerah sekitar vagina Widya. Lumo sama sekali tidak berkata-kata. Ia seperti anjing yang sedang mengendus-endus. Tebakanku, selain cacat fisik, Lumo juga mempunyai keterbelakangan mental.

“Jangan, please.” rintih Widya sambil memalingkan pandangannya.

Lumo membuang kain penutup selangkangannya. Dari situ, nampaklah kontolnya yang berukuran cukup besar. Lebih besar dari milik Parjo dan kawan-kawannya. Padahal kontol itu belum berdiri secara maksimal. Yang lebih mengerikan lagi, kontol itu juga ditumbuhi beberapa benjolan seperti yang ada di sekujur tubuh Parjo. Aku tak tahu, benjolan apa itu.

Widya nampak cukup panik melihat kontol Lumo yang besar dan penuh dengan benjolan itu. Tubuhnya nampak memberontak, tapi dua orang penduduk desa memegangi lengan dan tangannya yang masih terpasung pada kayu.

Melihat pemberontakan Widya, Parjo mendekat dan membisikan sesuatu ke telinga istriku. Bagai mendapatkan gendam, Widya tidak lagi memberontak. Entah apa yang dibisikan Parjo ke istriku, tapi wajahnya berubah dari memberontak menjadi pasrah.

Lumo melumuri tangan dan tubuhnya dengan lumpur yang ada di sekitar kubangan itu. Lumpur itu tidak sampai menutupi seluruh tubuhnya, tapi cukup untuk membuat tubuhnya tampak jauh lebih mengerikan lagi. Dengan kedua tangan raksasanya, Luma membengangkan kedua kaki istriku hingga kemaluannya kembali terbuka lebar tanpa perlindungan.

Pelan-pelan, Lumo menggesekan kontol besarnya itu di mulut vagina Widya. Mulut vagina Widya nampak mungil dibandingkan dengan kontol raksasa Lumo. Kontol itu besarnya nyaris sebesar lengan anak kecil. Belum lagi kepala kontolnya yang seperti palu godam besarnya.

“Guooh, gurrhhoh hguuah.” Suara itu keluar dari mulut Lumo.

Seperti tebakanku, Lumo tak bisa bicara normal. Mungkin ia benar-benar mempunyai keterbelakangan mental.

Ahhhh! Aku tegang maksimal!

Membayangkan istriku akan disetubuhi orang lain yang mempunyai keterbelakangan mental. Tidak hanya itu, seluruh tubuhnya juga ditumbuhi tonjolan daging seperti kanker. Seorang pemain bokep sekalipun yang sudah disetubuhi ratusan orang mungkin tak akan sudi melakukan ini. Namun Widya yang seorang istri berjilbab dari keluarga baik-baik malah mau melakukannya.

Adegan berikutnya, aku melihat kontol raksasa Lumo perlahan masuk ke dalam vagina Widya. Kontol itu benar-benar memaksa vagina Widya untuk kembali membuka secara maksimal. Bisa jadi, kontol Lumo adalah benda paling besar yang pernah masuk ke vagina istriku hingga saat ini.

“Huggh, ugghh, hmmpphh!” Rintih Widya.

Tubuh Widya nampak bergetar seiring masuknya kontol Parjo ke dalam vaginanya. Aku tidak tahu apakah Widya bergetar menahan sakit, atau bergetar menahan kenikmatan. Namun yang jelas seluruh otot tubuh Widya menegang bersamaan dengan penetrasi itu.

Sambil terus mencoba melakukan penetrasi, Lumo meremas salah satu payudara Widya dengan telapak tangannya yang besar. Payudara Widya yang masih berlapis lumpur itu ia remas-remas seperti adonan kue yang kenyal.

Widya benar-benar tak berdaya, kedua tangan dan lehernya masih terpasung di atas kayu. Pasung itu dipegangi oleh dua orang penduduk desa sehingga ia tak bisa bergerak kemana-mana. Tubuh telanjangnya masih berbalut dengan lumpur berwarna abu-abu pekat, hanya jilbab saja satu-satunya kain di tubuhnya. Sementara itu seorang pria buruk rupa dengan tubuh cacat seperti monster tengah memasukan penisnya ke dalam vagina Widya. Sebagai suami, seharusnya aku marah bukan main. Tapi entah mengapa aku semakin lama semakin terangsang melihat adegan itu. Aku bahkan membiarkan saja ketika ada dering telepon yang masuk ke dalam handphone miliku.

“Ah ganggu saja nih telepon!” Umpatku.

Aku sama sekali tak minat untuk mengangkat telepon itu. Bahkan untuk sekedar tahu siapa yang menelpon saja aku sama sekali tak minat.

Aku sedang konak sekali melihat adegan persetubuhan ganjil di tv. Persetubuhan semacam ini bahkan tidak pernah aku lihat di situs-situs porno yang paling liar sekalipun. Entahlah, aku memang tidak terlalu banyak melihat video porno di internet.

“Aggg ugghhh, hmmphh, ugghhh!” Rintihan Widya tiba-tiba terdengar.

Alangkah kagetnya aku ketika melihat Widya ternyata mencapai orgasme-nya. Ia mencapai orgasme ketika kontol Lumo baru setengah saja masuk ke dalam memeknya. Cairan bening keluar dari dalam memek Widya dan bahkan hingga menyemprot ke luar. Widya mengalami squirt bahkan ketika Lumo belum sepenuhnya memasukan kontolnya.

Aku tak menyangka, ternyata Widya menikmati persetubuhan ganjil itu. Kontol Lumo yang sekarang ereksi maksimal itu begitu besar dan kokoh. Tititku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan itu.

Tak lama, Kontol Lumo berhasil masuk sepenuhnya di dalam memek Widya.

Aku bisa membayangkan jika kontol Lumo itu pasti masuk hingga mentok ke mulut rahim Widya. Bahkan mungkin mendesak masuk ke dalam rahimnya. Ekspresi Widya sangat belingsatan, tanda jika ia memang mendapatkan kenikmatan begitu dalam pada persetubuhan ini.

Lumo kini meremas kedua payudara Widya dengan kedua tangannya. Ia lalu menggunakan payudara istriku itu sebagai pegangan ketika ia menggoyangkan pinggulnya. Sedikit demi sedikit, kontol Lumo mulai menusuk-nusuk vagina Widya. Teksturnya yang tidak rata itu membuat mulut vagina Widya mengembang dan mengempis secara acak.

Widya hanya dapat memalingkan kepala sambil meringis.

Aku tak tahu ia meringis karena menikmati persetubuhan ini atau karena mulai merasa kesakitan payudaranya diremas dengan kencang oleh Lumo. Telapak tangan Lumo yang besar itu dengan mudah menggenggam payudara Widya secara kencang. Daging payudara istriku nampak menyembul-nyembul di sela-sela jari tangan Lumo yang meremasnya.

“Gurh gurh gurh!” Hanya suara lenguhan seperti itu yang keluar dari mulut Lumo.

Lumo benar-benar menyetubuhi Widya seperti hewan. Sama sekali tak ada mesra-mesranya. Tak juga ada ciuman atau foreplay. Hanya sodokan-sodokan kontolnya tanpa basa-basi.

Video itu sempat mengarahkan bagaimana keadaan penduduk desa lainnya. Mereka masih mendengungkan mantra-mantra aneh yang sama sekali tak aku kenal. Sesaat aku sempat lupa kalau ini bagian dari ritual yang Widya jalani. Ritual yang sampai sekarang aku tidak tahu manfaat dan tujuannya.

Dua penduduk desa yang tadi memegangi pasung Widya, kini sudah melepaskannya. Mata Widya terpejam dan ekspresi wajahnya sudah berubah sekarang ini. Aku tahu, ekspresi wajah itu bukan ekspresi wajah orang kesakitan. Itu ekspresi wajah orang yang menikmati persetubuhan ini.

Menit demi menit berlalu, aku sungguh salut dengan stamina Lumo. Ia terus memompa vagina Widya dengan goyangan yang pasti. Tak ada waktu jeda dan istirahat yang ia berikan kepada istriku. Goyangannya seperti piston mesin pada mobil.

“Gurrh gurrh gurrh.” Suara itu terus keluar dari mulut Lumo.

Tapi bukan itu saja, cairan ludah mulai menetes-netes dari mulut Lumo. Membasahi tubuh Widya yang terus bergoyang mengikuti sodokan Lumo.

Aku lihat, lumpur yang menutupi tubuh Widya mulai mengering dan beberapa mulai mengelupas. Kulit tubuh istriku yang mulus itu sebagian mulai nampak kembali. Kulit mulus Widya sangat kontras dengan kulit tubuh Lumo yang kasar dan banyak ditumbuhi benjolan. Widya bagai seorang bidadari yang turun dari khayangan sementara Lumo seperti monster yang keluar dari perut bumi.

Lumo mengangkat tubuh Widya dari batu altar itu. Tubuh Widya ia angkat seolah seperti mengangkat boneka yang ringan. Padahal berat badan Widya kurang lebih 50 kg. Aku sendiri tidak kuat mengangkat istriku apalagi jika harus berlama-lama.

Tapi Lumo berbeda dengan diriku, ia mampu mengangkat tubuh Widya dengan mudahnya. Ia gendong Widya sambil terus menyetubuhinya. Kemaluan Lumo nampak keluar masuk ke dalam memek istriku kendati ia dalam posisi menggendongnya. Benar-benar kuat dan perkasa sekali Lumo ini.

Dalam gendongan seperti itu, lendir makin menetes-netes dari lubang kemaluan Widya. Tumbukan antara kelamin Widya dan Lumo kini dipenuhi dengan buih berwarna putih pekat. Aku bisa melihat dengan jelas kelamin Lumo yang bentuknya tidak wajar itu menusuk-nusuk memek istriku. Memek Widya juga dipaksa membuka sangat lebar, aku tak pernah melihat memek Widya terbuka selebar itu sebelumnya.

Dengan sebuah gerakan yang cepat, Lumo membalik tubuh Widya. Kini Widya menghadap ke arah para penduduk desa dan hebatnya, Lumo melakukan semua itu tanpa melepaskan sodokan kontolnya di kemaluan istriku. Sekarang, tubuh Widya benar-benar nampak tanpa penghalang, apalagi tangannya masih terpasung di kayu. Payudaranya menggantung bebas di udara. Tapi itu tidak berlangsung lama karena Lumo kembali meremas-remas payudara Widya dengan kasarnya.

Lumo perlahan menurunkan tubuh Widya. Istriku itu diturunkan di atas kubangan lumpur yang tidak terlalu dalam. Kini Widya dalam posisi nyaris merangkak, tapi kedua tangannya tak bisa menapak karena masih terpasung kayu. Ia hanya bisa pasrah kepada Lumo yang memegangi tubuhnya dari belakang.

Sambil memandang ke arah kerumunan warga desa, Widya disodoki oleh Lumo dari belakang. Tubuh istriku itu tersentak-sentak, mengikuti irama sodokan Lumo. Nampak Widya menggigit bibirnya sendiri, ekspresi wajah itu nampak benar-benar binal.

Aku tak tahu apakah ritual ini bertujuan supaya Widya bisa hamil. Aku tak tahu juga apakah Parjo dan kawan-kawannya tahu jika Widya itu ternyata mandul. Tapi jika benar ritual ini bertujuan agar Widya bisa mempunyai anak, dan anak Widya adalah hasil persetubuhannya dengan Lumo, aku sudah tidak lagi bisa berkata apa-apa.

Sejenak perutku merasa mual membayangkan jika Widya sampai punya anak dari Lumo. Jika sampai itu harus terjadi, apakah aku harus menerima anak Widya sebagai anak aku sendiri? Lalu bagaimana jika tampilan fisik Lumo sampai menurun kepada anak Widya?

Sudah 30 menit lebih Lumo menyetubuhi Widya, tak ada tanda-tanda ia mengalami kelelahan dan kecapekan. Gerakan pinggulnya konstan terus menumbuk memek Widya tanpa jeda. Bahkan Parjo dan Kusnipun aku hampir yakin tak bisa melakukan hal itu. Apalagi aku, yang nyaris tak mampu bertahan lebih dari 5 menit ketika bersetbuh dengan Widya.

Tiba-tiba, aku lihat ada satu orang penduduk desa yang maju mendekati Widya. Ia membawa sebuah cawan dari kaca dan meletakan cawan itu ke atas tanah. Setelah cawan itu diletakan, pria itu membuka kain penutup yang menutupi kemaluannya.

Kontol pria itu sudah cukup tegang dan ereksi. Wajar saja, seorang pria normal pasti ngaceng melihat wanita secantik Widya telanjang dan disetubuhi. Pria itu kemudian berlutut di depan cawan yang jaraknya tidak jauh dari wajah Widya.

Sambil berlutut, pria itu mulai mengocok kemaluannya. Ia mengocok sambil melihat dengan seksama ketika Widya disetubuhi oleh Lumo. Kontol pria itu langsung saja tegak berdiri maksimal. Ukurannya lebih kecil dari Lumo, lebih kecil juga dari Parjo dan Kusni, namun kontol pria itu ukurannya masih lebih besar dari punyaku.

Pria itu mengocok kontol sampai ia mencapai orgasme. Semprotan cairan pejunya yang pertama memuncrat hingga ke wajah Widya. Namun semprotan-semprotan selanjutnya ia buru-buru arahkan ke cawan kaca yang tepat berada di hadapan Widya.

Cairan putih kental nampak memuncrat beberapa kali ke cawan kaca itu. Aku duga, mereka akan coli bergantian di depan Widya sambil mengumpulkan peju mereka di cawan kaca itu. Benar saja, satu pria lain menggantikan pria yang sudah coli. Dan ia melakukan hal yang sama dengan pria sebelumnya, ia mengocok kemaluannya hingga pejunya muncrat memenuhi kaca.

Sedikit demi sedikit, peju para penduduk desa itu mengisi cawan kaca. Rata-rata dari para pria itu hanya butuh waktu cukup singkat untuk mengeluarkan peju. Mungkin mereka sudah sangat konak melihat persetubuhan istriku dengan Lumo. Dari sekian banyak penduduk desa yang coli, tak ada satupun yang berani menyentuh Widya ketika disetubuhi Lumo. Namun tak sedikit semprotan cairan peju penduduk desa itu yang muncrat hingga ke tubuh istriku. Terutama sekali wajah dan payudaranya Widya.

“Ah ah ah, ouhh.” Kata-kata itu terus keluar dari mulut Widya.

Sementara itu dari mulut Lumo hanya keluar erangan menjijikan seperti monster “Grrhh, ggoouh, ggoourhh!”

Lumo merubah posisi Widya lagi, kali ini ia menidurkan istriku di atas kubangan lumpur. Nyaris seluruh tubuhnya kembali terlapisi lumpur kecuali sebagian kepala dan wajahnya. Dan dalam kubangan itu, Lumo masih saja menggenjot memek istriku dengan sodokan yang hebat.

Aku mendengar, bunyi kecipak lumpur ketika Lumo menyodok memek Widya. Bunyi-nya terdengar sangat nyaring dalam video itu.

Dalam posisi ngentot seperti itu, pasti ada lumpur yang masuk ke dalam memek Widya. Apalagi kontol Lumo keluar masuk dalam posisi sedikit terendam lumpur. Aku tidak tahu bagaimana Widya akan mengeluarkan lumpur-lumpur itu dari dalam memeknya. Dan bagaimana jika sampai lumpur itu masuk ke dalam rahim Widya. Apakah lumpur itu akan membawa penyakit bagi Widya?

Satu jam sudah terlewati sudah, dan Lumo masih saja menggenjot memek Widya tanpa jeda. Ia benar-benar monster secara harfiah. Ia benar-benar seorang laki-laki perkasa yang bisa membuat Widya belingsatan bukan main. Dalam satu jam ini, mungkin Widya sudah melewati beberapa kali orgasme. Namun Lumo sama sekali tak memberikan Widya waktu untuk istirahat. Ia terus saja memompa kontolnya yang dipenuhi tonjolan-tonjolan besar itu ke dalam memek istriku. Semoga tonjolan itu dan lumpur yang masuk ke dalam memek Widya tidak membuat kemaluan istriku itu terkena penyakit di kemudian hari.

Sementara itu, sudah belasan penduduk desa yang menyemprotkan pejunya baik ke badan Widya maupun ke cawan kaca yang ada tidak jauh dari posisi Widya disetubuhi sekarang. Cairan putih kental mulai nampak terkumpul di sana. Aku sama sekali tak punya ide untuk apa peju-peju itu akan digunakan. Wajah Widyapun belepotan campuran antara lumpur dan peju. Bentuknya benar-benar ambruladul tidak karuan. Jika saja Widya bukan wanita yang cantik, tentu saja pemandangan itu begitu menjijikan. Namun melihat Widya belepotan peju dan lumpur abu-abu itu justru membuat istriku semakin cantik dan menggairahkan.

‘Ah, aku pengin banget ngentot!’ Pikirku dalam hati.

Aku ingin sekali memasukan kontolku ke dalam memek wanita. Aku sudah mengkhianati Widya sekali, apa salahnya mengkhinatinya lagi? Toh Widya juga sekarang ini sudah ngentot dengan belasan laki-laki. Itupun yang aku tahu, mungkin ia sudah ngentot dengan lebih banyak lagi laki-laki lainnya.

Aku sudah melakukannya kemarin dengan Nadia, aku merasa ketagihan. Aku mungkin akan melakukannya lagi di masa mendatang. Bahkan dengan wanita lain yang mungkin belum aku kenal. Atau aku akan menyewa PSK, PSK yang dahulu pernah memberikan nomor HP-nya kepadaku.

Lumo kembali membalik tubuh Widya. Kali ini ia membuat Widya menjadi menungging. Sekali lagi, karena kedua tangannya masih berada di dalam pasung maka kepala Widya nyaris separuhnya berada di kubangan lumpur. Begitu juga dengan kedua payudara Widya yang menggantung bebas itu.

“Grrr, guoh, guoh guoh!” Ucapan itu terdengar lebih kencang dari mulut Lumo.

Lumo juga mempercepat goyangan kontolnya di memek Widya. Barangkali, ia sudah hampir mencapai puncaknya setelah lebih dari satu jam mengobtok-obok memek Widya.

Benar saja, tak begitu lama, Lumo menancapkan kontolnya sedalam mungkin di rahim WIdya. Kepala Widya sampai tertelungkup dan masuk ke dalam kubangan lumpur akibat dorongan itu. Bersama dengan itu, tubuh Widya-pun aku lihat ikut bergetar dengan hebat. Mungkin ia juga mengalami orgasme bersamaan dengan Lumo. Orgasme yang entah sudah berapa kali Widya alami selama bergumul dengan monster itu.

Lumo mendiamkan sejenak kontolnya di dalam memek Widya. Tubuhnya nampak sesekali bergetar seperti tersetrum listrik. Mungkin itu sisa-sisa orgasme-nya tadi. Lumo akhirnya mencabut kontolnya dari memek Widya. Kontol raksasa itu masih nampak begitu besar, hanya saja sekarang kondisinya sudah lemas.

Widya ambruk di atas kubangan lumpur. Tubuhnya nampak lemas setelah ngentot dengan Lumo. Kamera sempat memperlihatkan bagian vagina istriku. Dan aku lihat, vagina Widya membuka lebar. Dengan cairan sperma mengalir keluar dari dalam lubang itu.

Widya seperti tak lagi peduli tubuhnya terendam lumpur itu. Aku bisa membayangkan jika ia sudah sangat lelah dan letih setelah perjalanan panjang mendaki hingga disetubuhi oleh Lumo. Aku hanya berharap, Widya bisa pulang. Pernah aku mendengar, seorang wanita hilang karena dijadikan tumbal sebuah ritual persembahan. Aku tak ingin Widya menjadi seperti itu.

Kejadian yang ada di dalam video ini sudah terjadi beberapa hari lalu. Dan sampai sekarang Widya masih belum pulang ke rumah.

Para penduduk desa mendekati Widya dan memapahnya menjauhi kubangan lumpur. Mereka membawa Widya ke tempat lain, bersama dengan cawan kaca yang dipenuhi dengan sperma tadi. Apa yang akan mereka lakukan? Aku sama sekali tidak tahu. Karena tiba-tiba saja ada pesan error keluar dari video tadi.

Aku mencoba mengulang video tadi dengan hasil yang sama, muncul pesan error ketika Widya dibopong penduduk desa ke tempat lain. Aku mencoba melakukan restart handphone dan juga televisi yang aku gunakan untuk menonton, tapi semua tidak berhasil. Video itu tak bisa diputar kembali. Mungkin memang video itu rusak ketika dikirim.

“Sial!” Kataku.

Aku masih konak sekali melihat video tadi. Dan aku ingin tahu kelanjutannya. Apakah para penduduk desa itu juga menikmati tubuh istriku? Atau mereka akan membiarkan Widya menjadi santapan Lumo secara terus-menerus. Lalu apa yang akan mereka lakukan dengan cawan penuh dengan sperma tadi?


BERSAMBUNG...?? / TAMAT..??

cerita sex yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya

Related Posts