Cerita Dewasa - AKIBAT PENGHIANATAN S-3

AKIBAT PENGHIANATAN S-1 AKIBAT PENGHIANATAN S-2

ABG colmek live miss nana
WINA


Bisnis pelacuran yang dilakukan oleh Wina dan keluarganya sebenarnya sudah terkenal di dunia perlendiran. Namun, bisnis ini tidak tercium, lantaran ditutupi dengan selimut agama. Para perempuan yang baru masuk selalu diperkenalkan oleh Wina di pengajian kepada Thalib. Kadang Thalib melakukan "test-drive" kepada calon pelacurnya, kadang juga tidak. Tapi semuanya juga tergantung pada Wina, butuh tes drive atau tidak.

Suasana di kawasan perumahan elit cukup legang bisa dikatakan sepi orang hilir mudik. Salah satu rumah adalah rumah sewaan Thalib untuk memfasilitasi Wina. Di dalam rumah, tepatnya di ruang tamu terdapat beberapa botol anggur merah berserakan di atas meja.

Hari belum siang, tetapi perempuan ini telah menghabiskan dua botol. Hari itu dia hanya memakai gaun tipis menutupi tubuh seksinya sambil melihat siaran tv kabel yang menampilkan film-film box office. Wina mengambil ponselnya lalu menelpon Thalib.

Ada satu aturan yang telah menjadi kesepakatan antara Wina dan Thalib. Kapan pun Wina menelpon Thalib harus mengangkatnya, tak peduli Thalib sedang berak, ngentot atau pun sedang mengisi pengajian. Dia sama sekali tak peduli.

Tak lama Thalib langsung mengangkatnya, "Ya, Halo?"

"Barang barunya gimana?" tanya Wina.

"Kata klien cukup memuaskan," jawab Thalib.

"Bagus, besok jemput gih barang baru lagi. Namanya Febi, anaknya masih mahasiswa. Barang mahal itu masih segel pula," kata Wina.

"Oke," jawab Thalib.

"Nggak mau test-drive? Daripada kau ngentotin bekas bini orang tiap hari," kata Wina.

"Setidaknya itu lebih baik daripada aku harus ngentotin kamu," kata Thalib.

Wina tertawa. "Bangsat, mulut itu dijaga. Kau tahu sendiri akibatnya kalau aku sampai bad mood. Bisa aku habisi keluargamu sekarang!"

Thalib hanya diam.

"Kudengar istrimu menggugat cerai. Gimana? Mau diperjuangkan atau tidak?"

"Dapat kabar darimana?" tanya Thalib

"Nggak usah tanya. Aku punya banyak telinga, bahkan aku juga tahu kau sekarang sedang menyimpan seorang perempuan di rumahmu. Dasar, ustadz tapi kontolnya nggak bisa dijaga. Hahaha" tembak Wina

"Jaga bicaramu, Win. Aku bersumpah suatu saat nanti aku akan menghabisimu," kata Thalib.

Wina makin tertawa kencang.

"Kau berani melakukannya? Masih ingat ancaman ayahku? Ingat ustadz, nyawamu dan keluargamu ada di tangan ayahku. Aku sendiri nothing to loose. Aku sudah mendapatkan apa yang aku mau, yang perlu dipikirkan itu adalah kau!"

"Sampai kapan kau terus memperlakukanku seperti ini, Win? Huh? Sampai kapan?"

"Tenang, sesuai dengan perjanjian kita. Sampai kau berikan pria yang layak untuk jadi partner seksku. Selama ini kau cukup memuaskanku lho, sampai-sampai kau sendiri bilang ketagihan memekku," ujar Wina.

Thalib menelan ludah.

Memang tak bisa dipungkiri ada perasaan aneh saat dia bercinta dengan Wina. Wina sangat jago mempermainkan birahinya, walaupun sebenarnya dia tak mau, tapi entah kenapa setiap bercinta dengan Wina, dia selalu kesetanan. Padahal dia tidak diberi obat atau apapun.

Wina memang perempuan yang ajaib, tubuhnya seksi seperti model, wajahnya juga cantik, tapi kelakuannya seperti iblis. Dan memang benar, Wina sangat menjaga tubuh seksinya itu. Sudah beberapa kali Thalib menawarinya partner seks, tetapi tidak ada yang bisa memuaskan.

"Besok, jemput barang baru, antarkan ke Tuan Fajrul. Kau mau test-drive silakan, tapi sebaiknya kau simpan itu tenagamu buat ngurusi rumah tanggamu yang kacau itu. Hahahaha." Wina menutup teleponnya begitu saja.

Wina menghela napas, lalu tiduran di sofa.

Sementara itu di luar rumah, beberapa puluh meter dari rumahnya, Arief sedang mendengarkan percakapan mereka melalui headset. Bagaimana Arief bisa mendengarkan pembicaraan mereka?

Sebenarnya Arief sudah memasang penyadap di ponsel Thalib dengan bantuan Leli. Setelah pertemuan dengan Leli pertama kali, Arief meminta tolong Leli untuk menginstal sebuah aplikasi tersembunyi di ponsel Thalib, sehingga kapanpun Thalib menelpon, Arief juga bisa mendengarkan percakapan mereka.

Arief mengamati jalanan. Setelah dirasa sepi dia pun keluar dari mobilnya menuju ke kediaman Wina. Dia berjalan santai seperti tak punya beban. Keberuntungan dia adalah rumah ini cukup jauh dari rumah-rumah lainnya, sehingga Arief tak kesulitan untuk bisa masuk begitu saja ke halaman rumah.

Arief lalu memasang penutup muka agar dia tak dikenali. Penutup muka tersebut menyisakan lubang di kedua mata dan mulutnya.

Pintu dibuka perlahan. Kadar alkohol sudah mempengaruhi kesadaran perempuan itu sehingga Arief cukup leluasa untuk masuk ke dalam rumah, setelah itu pintunya dikunci. Arief memastikan dia tidak melihat satu pun kamer CCTV di rumah tersebut maupun di jalanan yang menuju rumah ini.

Lelaki ini berjalan santai mengitari sofa tempat Wina berbaring. Dia memperhatikan perempuan yang sedang teler tersebut. Kemudian, dia beranjak ke dapur untuk mencari-cari sesuatu, hingga ia menemukan tali rafia. Tak lama, Arief kembali lagi. Perlahan-lahan dia mengambil kedua tangan Wina lalu dia ikat dengan simpul yang tak mudah untuk dibuka. Setelah itu Arief menepuk-nepuk pipi Wina.


Perempuan itu mengerjap-ngerjapkan mata.

"Siapa?" tanya Wina, "eh, anjing. Kau apakan tanganku?"

Arief memberi isyarat agar Wina diam.

"LEPASIN ANJING!" bentak Wina.

"Nona, katanya butuh partner seks?" tanya Arief.

"Darimana kau tahu?"

"Saya juga butuh partner seks, tetapi seks yang saya lakukan sedikit brutal. Nggak keberatan?"

Wina tertawa. "Brutal? Brutal bagaimana? Siapa kau ini? Suruhan Thalib?"

Arief mengangkat bahunya. "Yah, terserah sih kalau nggak mau, aku akan tinggalkan kamu dalam keadaan seperti ini. Biar teriak juga nggak akan ada yang kemari."

"Eh, brengsek. Nantangin... emang sekuat apa kau?"

"Nona, di sini aku yang berkuasa. Jadi, jika kau ingin dipuaskan, maka harus ikuti aturanku. Setuju?"

"Brengsek, aku nggak percaya kepadamu. Kau pasti suruhan Thalib. Biar aku bantai keluarganya karena memperlakukanku seperti ini."

"Oh, no no no no. Aku bukan suruhannya, tapi aku tahu keinginanmu. Trust me, aku bukan suruhan Thalib. Lagipula, Thalib juga nggak bakalan kenal aku," kata Arief.

Tangan Arief mulai mengelus-elus tubuh Wina. Ada getaran aneh di dalam diri Wina. Sentuhan Arief ini bukan sentuhan biasa. Setiap sentuhan yang dilakukan Arief seperti mengantarkan getaran-getaran listrik yang entah bagaimana membuat Wina gelisah.

Tangan Arief mulai mengelus perut, kemudian naik ke buah dada Wina, lalu naik ke ketiak Wina yang sangat terawat, lalu ke lengannya. Wina memejamkan mata menikmati sentuhan itu.

Kembali elusan-elusan itu berlanjut, kini mulai ke wajah Wina, bibirnya, lalu Arief memasukkan jari telunjuk ke mulut Wina. Perempuan itu mengisapnya seperti mengisap permen, tapi buru-buru Arief menariknya, masih dengan sentuhan-setuhan bergairah, gerakannya makin ke bawah, hingga sebuah sentuhan membuat mata Wina terbuka. Jari Arief sudah ada di selakangannya, menyentuh garis vaginanya.

"Bangsat, elusanmu enak juga," ucap Wina, "kau mau apa? Ngentotin aku? Coba aja, kalau kau bisa menaklukkan aku, maka aku nggak butuh Thalib lagi. Kau bisa jadi partnerku."

"Non, jangan salah. Di sini aku yang memegang kendali. Ingat?"

Wina meringis saat vaginanya digesek-gesek oleh jemari Arief.

"Kau mau apa eehhmmm... oohhh!"

"Aku mau kau tunduk kepadaku, melakukan apapun yang aku mau," ucap Arief.

Mata Wina melotot. "Berani sekali kau mengatakan itu. Kau tak tahu siapa aku, hah?"

"Justru karena aku tahu siapa kau, maka aku melakukan ini," kata Arief masih menggoda Wina dengan sentuhan-sentuhannya.

Kali ini klitoris Wina digesek-gesek. Dasar perempuan jalang yang tidak pernah pakai daleman di rumah, Arief bisa dengan leluasa mengobok-obok memek Wina.

"Ahh... Jyancuk enak banget. Kau apain itu memekku? Ahhh... sssttt... ehhmm..." tanya Wina dia tak bisa duduk untuk melihat, karena tangannya terikat ke atas.

Kedua tangan Arief kini bekerja, satu menggelitik pentil, satunya menggelitik klitoris perempuan itu. Wina menggeliat tak berdaya. Baju transparannya merupakan salah satu hal yang membuat Wina tak berkutik, sebab Arief bisa tahu letak putingnya yang mencuat.

"Siapapun kau... tolong... Enak banget... Cuuukkkk... Enak bangeeett... ahhh.... brengsek, aku keluar... aahhh... ngentoooott!!" jerit Wina diiringi semburan-semburan kecil di vaginanya, tetapi tangan Arief terus mengobok-oboknya.

"Sudah... sudah jangan diterusin... ngilu... ohhhkkk! Ngentot cuuuukkk!!" pinta Wina.

Arief berhenti.

Dia perlihatkan jemari tangannya yang mengobok-obok vagina perempuan itu, basah dan becek. Wina merapatkan selakangannya dengan pinggul berkedut-kedut. Butuh beberapa detik untuk dia bisa tersadar dari orgasme hebat tadi.

“Siapa namamu? Siapa?” tanya Wina dengan napas terengah-engah karena orgasmenya.

“Panggil saja aku Mr. Black,” jawab Arief.

“Ah, brengsek. Nama alias. Okelah, Mister Blek. Sentuhanmu bisa bikin aku terangsang. Siapapun kau ini, entot aku sekarang!” pinta Wina.

“Oke, aku akan ngentotin kamu, tapi dengan satu syarat. Kau akan melakukan apapun yang aku inginkan,” kata Arief.

“Terserah, ayo! Kau mau hamili aku, keluar di dalem terus, mau aku jadi anjing terserah, yang penting puasin aku!” pinta Wina.

“Deal ya? Aku tidak mau sampai kau melanggar janji,” ucap Arief sambil tersenyum kepada Wina.

“Iya, aku janji. Deal.”

Dengan senyum kemenangan Arief lalu berdiri. Dia melepaskan bajunya satu per satu. Wina terbelalak menyaksikan kontol Arief yang sudah tegang. Wina ingin sekali melahap kontol itu dan mengemutnya. 

Arief lalu merobek baju Wina sampai tubuhnya pun terekspos. Dia menarik tangan Wina yang terikat agar duduk di sofa. Setelah itu dia hadapkan kepala kontolnya bersentuhan dengan bibir perempuan itu.

Wina medongak menatap Arief dengan mata penuh nafsu.

“Aku tak perlu mengajarimu kan apa yang harus kau lakukan?” tanya Arief.

Perempuan itu membuka mulutnya, lalu perlahan-lahan memasukkan batang kontol Arief ke dalam mulutnya. Ia sesapi batang kontol itu. Entah kenapa Wina bahagia bisa melahap kontol itu. Dia akan mencoba memuaskan Arief atau paling tidak mengalahkannya. Agar dia tidak jadi budak lelaki ini.

Apakah bisa?

Kepala Wina terangguk-angguk dengan mulut dijejali batang lelaki. Sudah barang tentu Arief memang sengaja melakukannya. Nyaris saja batang besarnya itu menyodok hingga tenggorokannya, hingga membuat Wina nyaris muntah, tetapi perempuan itu tidak protes. Matanya sampai berair karena menahan sodokan dari batang kontol keras itu.

“Pwaahh... Ahhh... ahhh.” Wina mengambil napas sejenak.

Ludahnya menetes dari mulutnya, lalu menetes ke buah dadanya.

Arief menampar-namparkan batangnya ke wajah perempuan cantik ini.

“Hei, lonte. Kamu suka kontol kan? Bilang kamu suka!”

“Iya, aku suka,” ujar Wina.

Arief menarik Wina, lalu menggeretnya. Wina ikut saja saat Arief menuju ke sebuah kamar. Tentu saja ini kamarnya Wina, kamar siapa lagi? Arief mendorongnya hingga tengkurap di kasur. Wina masih terikat dan tak berdaya. Arief lalu menunggingkan pantatnya setelah itu Wina terkejut karena mendapatkan serangan lidah ke mulut vaginanya.

“Aahhh... anjing... kau apain memekku, aahhhh!!” pekiknya.

Selama ini Wina tak pernah disiksa seperti ini. Thalib memang melayani nafsunya, tapi tidak seganas Arief. Baru disentuh saja dia sudah belingsatan, terlebih lagi dioral seperti ini. Yang ada cairan demi cairan terus keluar di bagian bawah tubuhnya.

“Udah... udah... please! Aduh... Anjing... kenapa enak sekali, jyanncuuuukkk!!!” Wina tak tahan hingga menyemprotkan beberapa kali.

Tubuhnya bergetar hebat, hingga ia ambruk.

Arief membiarkan sejenak tubuh Wina yang sedang dilanda orgasme. Perlahan-lahan Arief membuka nakas. Dia sudah tahu apa saja yang ada di kamar Wina. Sudah berhari-hari dia memata-matai rumah ini, dan juga sudah pernah masuk ke dalam rumah untuk mengetahui apa saja isi rumah ini saat Wina pergi.

Arief tidak pernah melewatkan satu inchi pun yang terlewat termasuk sex toys yang tersimpan di kamar Wina. Arief mengambil sebuah mainan berbentuk batang penis. Ini bukan sembarangan dildo, tetapi sebuah dildo yang bisa bergetar.

Perempuan itu tidak sadar apa yang sedang terjadi. Arief perlahan-lahan mengaktifkan tombol di dildo tersebut dan terdengar bunyinya. Kepala dildo tersebut tampak bergerak-gerak seperti ulat. Apa jadinya jika benda ini dimasukkan ke memek Wina? Arief tentu saja langsung mencobanya tanpa perlu berpikir panjang. Wina yang masih lemas, tiba-tiba diserang dengan mainan itu. Dia menjerit.

“Ahhhkk! Jangan pake itu,.. Anjing... ngilu!!” umpatnya.

Walaupun dia bilang begitu tetapi tidak melawan. Artinya, itu Cuma ucapan saja, sementara tubuhnya menginginkan.

“Dasar munafik, kalau kepengen bilang aja. Nih, emut lagi!” ucap Arief sambil menjambak rambutnya.

Akhirnya Wina sekali lagi melahap batang penis itu, sementara memeknya sedang dipermainkan oleh mainan dildonya.

Suasana di kamar itu makin panas, hanya terdengar suara dildo yang sedang mengobok-obok memek Wina dan suara kocokan kontol yang dilakukan oleh mulut seksinya. Arief sesekali membenamkan kontolnya sedalam-dalamnya ke dalam mulut Wina, sampai mata Wina berair, setelah itu dilepaskan lagi. Wina heran, meskipun Arief menyiksanya, tetapi dia suka. Inilah fantasi sex yang dia inginkan sejak dulu.

Tangan Arief pun bergerak ke payudaranya. Payudara Wina tidak begitu besar. Tak seindah milik Azizah. Tapi tentu saja bulat dan pas di tangan. Arief meremas-remasnya dengan gemas. Dia juga menjepit putting susu Wina dengan kuat membuat Wina menjerit, tetapi karena mulutnya penuh dengan kontol, ia hanya menggumam.

Arief menarik kontolnya setelah cukup lama dioral. Wina lagi-lagi heran, kontol itu masih perkasa dan belum keluar juga. Siapa orang ini?

“Mister Blek, entotin aku dong. Jangan dipermainkan gini,” rengeknya.

“Eh, siapa di sini yang lonte?” tanya Arief.

“Aku,” jawab Wina.

“Ya sudah, ikuti aja kemauanku.”

Arief lalu turun mensejajarkan tubuhnya. Tubuh Wina kini berbaring miring dan berhadapan dengan tubuh Arief. Wina penasaran dengan wajah lelaki yang ada di hadapannya ini, sebab Arief tak membuka penutup wajahnya sejak dari awal mereka bertemu. Ia tersentak saat Arief memaju mundurkan dildo yang sedang menggelitiki memeknya.

Tubuh wanita yang ada di hadapannya ini diperhatikan dengan seksama. Dari atas sampai bawah mulus, tanpa cela. Entah apa yang menyebabkannya sampai sebinal ini. Tapi Arief sudah bisa menduganya. Dia sudah menyelidiki segala hal tentang Wina. Semua berkat bantuan pamannya Raden Panji.

“Kau dulu tidak seperti ini bukan?” tanya Arief.

“Maksudmu? Ehhmm..,” tanya Wina sambil melenguh keenakan.

“Aku tahu kau sering dicabuli oleh ayahmu,” kata Arief.

Wina terbelalak. Ini adalah rahasia terbesar dalam hidupnya, kenapa Arief bisa tahu? Kenapa orang yang dia sebut Mister Blek ini bisa tahu?

“Tak usah khawatir, aku tak akan menyebarkan aibmu. Sesuai janjiku, aku akan membuatmu takluk,” kata Arief.

Wina menelan ludah. “Bagaimana kau bisa tahu? Kau ini siapa?”

“Sudah kubilang, aku bukan siapa-siapa,” ucap Arief.

Dia menghentikan aktifitasnya mengocok dildo. Dia tarik mainan seks itu dari memek Wina lalu membuangnya di atas kasur. Arief membelai rambut Wina.

“Aku bisa menolongmu bebas dari jerat ayahmu. Aku tahu selama ini kau juga harus melayani ayahmu sendiri saat dia minta. Aku tak bisa menyalahkanmu, sebab sejak kecil kau sudah ketagihan.”

Lagi-lagi tangan Arief menyentuh kulit Wina, dari lengannya, bahu, pinggang, lalu bokong. Wina merinding. Bulu kuduknya berdiri. Tiba-tiba Arief mengecupnya. Jantungnya berdegup kencang. Ini tak biasa. Apa yang sebenarnya terjadi? Wina menggeser badannya mundur. Ia jadi takut terhadap Arief.

“Kenapa?” tanya Arief.

“Tidak... ini tidak benar. Apa yang kau inginkan sebenarnya?” tanya Wina.

Arief mengejarnya, kini dia ada di atas tubuh Wina. Perlahan-lahan bibir Arief mengecup kening perempuan itu. Mengecup pipinya, mengigit daun telinganya. Jantung Wina makin berdebar-debar. Ini tak biasa.

Seumur-umur sudah ngentot dengan banyak orang, baru kali ini dia merasa diperlakukan seperti ini dan perlakuan Arief ini terasa lebih nyaman. Arief lalu mendaratkan mulutnya di putting susunya. Ia hisap kuat-kuat, Wina pun melayang.

Tanpa sadar Wina memeluk Arief dengan tangan terikatnya. Apapun yang dilakukan Arief sekarang benar-benar berbeda. This is what her want. This is her dream! Inilah impian Wina, dientot dengan perasaan.

"Bangsat! Tidak, sadar Win! Sadaaar!" Hati Wina menjerit, tetapi tubuhnya tak berdaya.

Kedua tangan Arief kini sudah menguasai susunya. Meremas-remasnya lembut dengan diiringi kecupan dan hisapan. Tak lupa Arief memberikan cupangan di masing-masing buah dadanya.

Vagina Wina sudah banjir. Entah sudah berapa kali dia orgasme sejak tadi. Lalu, sesuatu mulai menggesek-gesek memeknya. Nah, ini dia. Kontol yang tadi dia cari, yang sejak tadi dia inginkan. Tetapi dia takut kalau kontol itu merusak rasa nyaman yang sekarang ini sedang dia rasakan. Entah kenapa dia tak ingin ini semua cepat berakhir.

Kepala kontol itu sedang menggelitik klitorisnya. Memberikan sensasi nikmat dan penasaran. Seperti apa rasanya kalau kontol besar itu masuk.

“Mister, please masukin!” pinta Wina, “aku akan lakukan apa saja asal kau kontolin aku.”

“Kenapa? Kau sudah menyerah?”

“Iya, mister. Aku pasrah. Siapapun kau, punya dendam apa kepadaku atau ayahku, terserah aku pasrah. Kalau kau tinggalkan aku dalam keadaan seperti ini maka aku akan membunuhmu. Tapi kalau kau entotin aku, aku akan takluk. Aku akan berikan apapun,” ucap Wina.

Kepala kontol itu masuk sedikit. Pinggul Wina bergetar.

“Seperti ini?” goda Arief.

“Ouuhhh... Lagi... Pleasee!” pintanya.

Arief mendorongnya lagi hingga kepala kontolnya masuk semua. Wina memejamkan mata meresapi kenikmatan sentuhan memek dan kontol itu.

“Lagi, masukin semua. Wina akan berikan servis terbaik,” kata Wina.

“Aku cabut ah,” kata Arief.

Tiba-tiba kedua kaki Wina mengunci pinggang Arief kuat-kuat.

“Jangan! Pleassee... Baru kali ini aku diperlakukan seperti ini. Baru kali ini aku puas berkali-kali. Aku mohon.”

“Kau yang minta,” ucap Arief. Setelah itu dia tusukkan batang kontolnya hingga mentok ke memek Wina. Wina pun melayang. Matanya memutih. Padahal baru masuk, dia orgasme lagi. Pinggulnya gemetar hebat dan memeknya makin becek. Dia memeluk Arief kuat-kuat.

“Amppuuunn... ooohh... b-besarr... penuh.... ehhmmm....!” rengeknya, “aku pipis lagi... anjiiingg... enaaakkk.!!! Ngentot enaak... ahhhh...”

Arief tak menggoyangnya. Wina sudah pasrah dan terkapar. Arief masih belum selesai. Dia memang ingin menyiksa perempuan ini. Akhirnya dia pun menggoyang pinggulnya pelan-pelan dan menusuk dalam. Wina kelonjotan diperlakukan seperti itu. Memeknya masih ngilu tapi diserang lagi dan lagi.

“Misterr... eenaaaakk.... Bangsattt.... Kenapa nggak dari dulu aja kau ngentotin aku?” kata Wina.

Genjotan Arief makin berenergi dan kuat. Suara benturan kedua selakangan mereka memenuhi ruangan. Kamar itu makin panas, sekalipun di dalam ruangan itu ada AC. Wina menggeleng-geleng, tak kuasa sebab Arief kini menciumi ketiaknya dan juga menggelitiki pentil susunya. Bagaimana bisa pemuda ini membuat dia melayang. Di bawah disodok, di atas di serang. Mampus, dia tak kuasa lagi.

“Sudah, sudah dulu... aku pipis lagi.. Ancuukkk!!!” jeritnya.

Arief menghentikan gerakannya. Dia menarik tangan Wina lalu perlahan-lahan dia lepaskan ikatan tangan Wina. Setelah itu dengan tanpa mencabut kontolnya, dia balikkan tubuh Wina. Perempuan itu benar-benar pasrah. Kini dia menungging dan Arief menggenjotnya dari belakang.

Tangan Arief pun menjambak rambut Wina. Wina yang sudah pasrah Cuma mendongak dan merintih keenakan. Sodokan-sodokan Arief sangat mantab dan beberapa kali dia tampar-tampar pantat bahenol Wina.

“Ampuuun... Aaahhhkk.... Kenapa ngentot bisa seenak ini? Aaahh... ahh.. ooohhh!”

Arief tiba-tiba berhenti. Dia lepaskan jambakan rambutnya, Wina agak kecewa. Tetapi yang dilakukan setelahnya membuat Wina sedikit terkejut. Arief mendorong tubuhnya, sehingga mereka turun dari kasur.

“Aku haus, kita ke dapur dulu cari minum,” ucap Arief.

Wina mengangguk saja. Kedua kelamin mereka tidak lepas, masih menancap dan Wina sesekali masih didorong oleh Arief. Kedua insan itu berjalan hingga menuju dapur, Wina membuka kulkas dengan pantatnya masih digenjot oleh Arief.

Dia ambil minuman jus jeruk yang ada di dalam botol. Arief menerimanya, lalu meminumnya. Arief menyisakan sedikit, setelah itu ia menarik leher Wina agar wajahnya mendekat lalu memberikan minuman yang ada di mulutnya ke mulut Wina. Terjadilah transfer air minum dari mulut Arief ke mulut Wina. Wina menerimanya dengan senang hati. Ini di luar perkiraannya. Gaya bercinta macam apa ini?

Kedua tangan Arief lalu beralih ke buah dadanya. Wina kembali disodok di dapur dengan kedua tangan bertumpu pada meja dapur. Kontol itu seakan-akan tak ada matinya, terus menggenjotnya tanpa henti.

“Aku mau muncrat,” ucap Arief.

“Iya, keluarin aja. Pejuhin aku,” kata Wina.

Arief menggoyang dengan cepat lalu yang dinantikan pun tiba. Semburan sperma yang dinantikan Wina pun terjadi. Berakhirkah?

Arief masih menancapkan kontolnya. Belum dilepas sekalipun semprotan terakhir sudah dia keluarkan tadi. Dia lalu mendorong tubuh Wina lagi. Mereka berjalan dengan kontol masih menancap di memek. Kini Arief dan Wina menuju ke pintu.

“Kau mau apa?” tanya Wina.

“Kita kentu di luar,” jawab Arief.

“Hahh??” Wina terkejut, tetapi dia menurut.

Ada sensasi aneh yang dia rasakan saat Arief mengatakan hal itu. Dengan kelamin masih menyatu, keduanya kini sudah keluar dari rumah dan berada di teras.

Arief memutar tubuh Wina, lalu mengangkat satu kakinya setelah itu mendorong Wina hingga menempel di salah satu pilar yang ada di teras. Arief langsung menggenjotnya lagi. Kontolnya yang setengah tegang pun kini dipaksa untuk tegang lagi. Nggak susah bagi Arief, dia pun kini sudah menggenjot Wina sekali lagi.

Tentunya apa yang dilakukan keduanya ini akan terlihat oleh orang yang lewat lalu lalang di jalan. Hal itu tambah membuat Wina berdebar-debar. Dia tak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Dan tentu saja Arief ini orang yang cukup gila.

“Gimana sensasinya? Kalau misalnya ada orang yang lewat?” tanya Arief.

“Brengsek kau. Tapi aku suka, terus... ohhh.... Ohh....”

Setelah beberapa saat mereka melakukan aktivitas tersebut, ada mobil lewat. Arief tak mempedulikannya. Wina berdebar-debar kalau-kalau orang tersebut melihat mereka.

Arief menyudahi aksinya. Tiba-tiba ia mencabut kontolnya sehingga terdengar suara ‘plop’ dari memek Wina. Arief melepaskan kaki Wina sehingga Wina langsung lemas dengan napas terengah-engah. Arief langsung mencium bibir Wina, lalu menariknya ke halaman.

Dia mendorong Wina hingga ke pagar besi, setelah itu Wina ditempelkan ke pagar tersebut. Susu Wina sekarang berada di antar pagar, kedua tangannya berpegangan di teralis pagar, kemudian posisinya menungging. Arief lalu kembali menyodoknya.

“Aahhh!!” rintih kedua insan ini.

Kalau saja ada orang lewat sudah pasti akan terlihat kedua insan lain jenis sedang ngentot. Wina sudah tak mempedulikan itu. Entah sudah berapa kali dia orgasme, rasanya dia benar-benar lemas, mana Arief masih terus menggenjotnya lagi dan lagi.

Dan benar saja. Beberapa pengendara motor lewat dan menyaksikan mereka. Anehnya, Wina tak merasa malu ataupun jengah, justru pengendara motor itu yang merasa jengah melihat mereka.

“Kamu suka ya dilihatin orang pas lagi ngewe?” tanya Arief.

“Iya,.. suka... ah.. ahhh,” ucap Wina.

“Win, aku mau keluar lagi. Tampung spermaku di rahimmu ya,” kata Arief.

“Iya, pejuhin aku! Ayo..!!”

Arief makin cepat menggoyang pinggulnya bahkan Wina dengan sisa-sisa tenaganya ikut menggoyangkan pantatnya hingga akhirnya gelombang orgasme datang lagi. Bersamaan dengan Arief pun menyemprotkan spermanya lagi.

Milyaran sel sperma itu berebutan masuk ke rahim Wina. Wina sudah tak peduli lagi kalau misalnya sperma itu akan membuatnya dibuahi, yang jelas ia merasa nikmat dan otaknya sekarang dipenuhi dengan endorphin. Wina tersenyum puas, lalu gelap dan lelap. Wina pingsan karena kehabisan tenaga.

Hari sudah malam saat Wina terbangun. Tubuhnya masih telanjang, tetapi dia sudah ada di kamarnya dengan tertutup selimut. Badannya rasanya segar. Padahal kemarin dia baru saja dientot. Dia meraba memeknya, lengket.

Diusapnya cairan yang ada di memeknya itu lalu dia cium. Bau sperma yang cukup menyengat. Tak pernah disangka dia takluk kepada lelaki itu. Di nakas ada secarik kertas. Ada sebuah pesan di sana bertuliskan,

“Aku akan menghubungimu nanti”

Dada Wina berdebar-debar. Ini tak pernah terjadi kepada siapapun sebelumnya. Baru kali ini dia telah ditaklukkan oleh seorang lelaki. Apakah dia telah jatuh cinta? Apakah ini yang namanya cinta? Cinta karena dientot?


===X=X===

Kegelapan langit memberikan selimut mendungnya, berlanjut menyeruakkan memori-memori yang tersisa.

Jannah masih terlelap dalam mimpinya. Kali ini mimpi tentang masa lalunya. Dia selalu teringat tentang perjumpaannya dengan Arief. Ingat pertama kali saat mereka dekat.

===X FLASHBACK JANNAH DALAM MEMORI X===

Mereka sering berdiskusi tentang masalah agama. Arief, seorang pemuda yang sangat cepat belajar. Jannah pun kagum kepadanya, tetapi bulan-bulan itu bukanlah bulan-bulan yang membuat Jannah tenang.

cerita desasa ntr selingkuh sex
JANNAH
Hari demi hari dia menunggu Thalib untuk menjemputnya, memenuhi janjinya, tetapi tidak juga datang. Dan harapannya terhadap Thalib pun pupus, ketika tak ada kabar dan sulit dihubungi. Seolah-olah Thalib menghilang begitu saja.

Jannah mencoba untuk mencari Thalib ke kostnya, tapi tak ada. Hingga akhirnya Jannah putus asa. Dia ingin keluar kota mencari Thalib, ke rumahnya. Sayangnya tak ada biaya. Apa yang harus dia lakukan?

Hujan turun hari itu tanpa diperintah. Jannah masih duduk di halte bus, termenung memikirkan Thalib. Kalau misalnya dia gunakan uang kuliahnya untuk pergi menemui Thalib, itu sama saja dia telah berbohong kepada orang tuanya. Kalau pun dia kerja, kerja apa? Kerja serabutan? Tapi itu akan memakan waktu, sedangkan dia akan mengerjakan skripsi.

Sore itu mungkin sore terburuk baginya, tetapi sore itu pula dia mendapati seorang lelaki melindungi dia dari semburan percikan air saat ada mobil yang melintas. Jannah kaget dan nyaris melompat. Saat itulah dia sadar ada sebuah payung yang melindunginya. Kepalanya mendongak dan melihat Arief melindunginya dari percikan air.

“Mbak nggak papa?” tanya Arief.

Somehow, menurut dia, Arief terlihat beda hari itu. Seperti malaikat penolongnya. Tidak banyak yang tahu kalau pemuda ini ganteng, low profile dan cerdas. Terlihat dari setiap pengajian yang mereka ikuti, Arief selalu aktif bertanya. Kata teman-temannya juga Arief juga sangat aktif dalam mengikuti pengajian, tapi sampai sekarang dia tidak pernah mau diajak untuk ikut ekstrakurikuler rohani.

“M-makasih, Mas,” kata Jannah.

Terlihat bajunya Arief kotor akibat percikan air tadi. Jannah merasa iba. “Mas bajunya kotor.”

“Ah, nggak papa. Kotor ya dicuci. Nih, payung kalau mau pinjam,” ucap Arief sambil mengulurkan payungnya.

“Lha, mas sendiri?” tanya Jannah.

“Gampang, cowok nggak takut hujan,” jawab Arief.

Jannah tertawa kecil.

“Kenapa ketawa?”

“Aneh aja. Kalau takut hujan, kenapa mas bawa payung?”

“Agar bisa nolong orang yang takut hujan seperti mbak.”

“Heleh, ngerayu.”

Arief terkekeh. “Mbak Jannah ngapain di sini? Ngelamun pula.”

Jannah kembali teringat dengan Thalib. Dia menggeleng. “Nggak ada apa-apa kok.”

Arief lalu duduk di bangku halte. “Cerita saja kalau mau, aku akan dengerin.”

“Enggak usah. Aku nggak mau ngerepotin, mas.”

“Sama sekali nggak repot. Daripada bengong sambil nunggu hujan reda.”

Jannah tersenyum tipis. Dan bagi Jannah yang sekarang sedang dirundung resah, ia pun akhirnya menyerah. Lagipula menurutnya Arief ini orangnya baik.

“Maaf, mas bisa bantu aku?” tanya Jannah.

Arief menoleh ke Jannah. Kepala mengangguk-angguk. “Bantuan apa?”

“Aku minta bantuan, sebab mas aku lihat orangnya baik, low profile dan tidak banyak tingkah. Lagipula masnya dekat dengan ustadz Hamzah,” kata Jannah.

“Oke, terus?”

“Aku ingin mas pinjemi aku uang. Aku ingin pergi ke suatu tempat,” kata Jannah.

“Kemana?”

“Ada deh, bisa nggak?”

“Bisa, tapi aku harus ikut.”

“Kok gitu?”

“Lha, siapa juga yang rela meninggalkan mbak sendirian. Kalau nanti terjadi sesuatu?”

“Iya, tapi…”

“Sudah… urusan mbak, aku tak mau tahu. Tapi setidaknya kalau pergi ke suatu tempat, mbak harus butuh teman. Dan rasanya… aku yakin ini urusan sangat pribadi.”

Jannah mengangguk.

Mimpi Jannah terus berlanjut. Masa lalu yang mengikatnya tak akan bisa dia lupakan. Memori manusia adalah sesuatu yang ditanam di otak yang akan sulit untuk dilepaskan kecuali dicabut secara paksa. Manusia hanya bisa berdamai dengan apa yang ada di dalam ingatannya. Namun, tidak bagi Jannah. Dia tidak bisa berdamai dan akan tetap terus ingat.

Di antara bagian pecahan-pecahan memorinya, Jannah menemukan hal baru. Semakin dia mengingatnya, maka partikel-partikel itu semakin memadat. Dia merasa berada di dalam mimpinya, mimpi tentang masa lalunya yang penuh dengan kenangan indah.

Tak bisa dipungkiri, dari setiap kenangan indah, maka kenangan indah itu adalah Arief. Kenapa dia bisa mulai menyayangi Arief? Kenapa bisa sampai cinta? Semua karena Arief selalu ada untuknya. Seperti saat Arief berkorban untuknya dengan membayari ongkos untuk pergi ke tempat tinggal Thalib.

Mereka naik bus bersama. Hanya membawa ransel yang berisi baju ganti seadanya, sebab mereka memang tak mau berlama-lama pergi ke luar kota. Agaknya Arief baru tahu kalau tempat yang dituju oleh Jannah cukup jauh, menghabiskan waktu nyaris seharian. Dari berangkat pagi, tiba saat matahari nyaris terbenam.

Setelah mereka sampai di sebuah terminal besar, kemudian naik angkutan pedesaan, mereka sampai di sebuah tempat yang cukup jauh dari kota. Mau cari penginapan di desa ini? Tidak mungkin. Tak akan ada penginapan di desa ini, kecuali mereka cukup cerdas untuk meminta para penduduk desa yang baik hati mengizinkan mereka tinggal.

Selama perjalanan Arief terbilang sangat gentlemen. Dia selalu menawarkan Jannah makanan, minuman, bahkan tak pernah protes saat Jannah ketiduran dan bersandar di bahunya. Lengan Arief cukup kekar, tak tahu apa yang dilakukan oleh pemuda ini sampai punya otot seperti itu.

“Yakin di sini tempatnya?” tanya Arief, “ini jauh dari perkotaan lho, bahkan ini desanya terlihat jarang ada penduduk.”

“Tapi dia memberiku alamat ini. Di desa ini,” jawab Jannah.

“Kalau gitu segera saja kita ke alamat itu,” kata Arief.

Mereka pun melanjutkan dengan jalan kaki. Jalanan yang mereka lalui adalah jalanan aspal tipis dan tidak rata. Terkadang mereka menyandung kerikil-kerikil kecil. Langit sudah berwarna jingga dan di ufuk timur kegelapan mulai menyapa. Beberapa kampret terlihat terbang di antara sela-sela pepohonan, jangkrik-jangkrik juga mulai bernyanyi. Dari kejauhan tampak rumah-rumah penduduk mulai menyalakan lampu.

“Desa ini benar-benar sepi,” gumam Arief.

“Coba kita tanya ke warung itu,” tunjuk Jannah ke sebuah warung yang tak jauh dari tempat mereka sekarang berjalan.

Ada beberapa orang di warung tersebut, termasuk ibu-ibu penjaga warung. Mereka memperhatikan dua orang yang berjalan ke warung tersebut.

“Malam bapak-bapak, bu?” sapa Jannah.

“Malam. Adik-adik ini dari mana mau kemana?” tanya ibu penjaga warung.

“Anu, kami mencari alamat ini,” ucap Jannah sambil menunjukkan secarik kertas bertuliskan alamat.

Salah seorang bapak-bapak menerima secarik kertas itu lalu membacanya. “Oh, ini rumahnya Pak Lutfi. Memangnya adik-adik ini mau ketemu beliau? Memang banyak sih orang yang ingin sowan ke beliau. Tapi untuk anak muda seperti kalian rasanya jarang.”

“Saya teman anaknya,” ucap Jannah.

Semua orang tiba-tiba saling berpandangan. Ibu penjaga warung kemudian berkata, “Memangnya Pak Lutfi punya anak?”

Jannah dan Arief pun saling berpandangan.


Rumah Pak Lutfi ternyata mudah dicari. Sebenarnya dari tadi rumah itu sudah kelihatan dari jauh. Rumahnya merupakan salah satu rumah yang paling besar, letaknya berada di tanah yang lebih tinggi. Di sebelah rumahnya ada sebuah surau yang biasa digunakan orang-orang untuk salat berjama’ah.

Arief dan Jannah lagi-lagi harus berjalan ke tempat ini. Waktu itu sudah lewat salat Isya’ dan para jama’ah dari surau juga sudah pulang dari rumah masing-masing setelah melakukan wirid.

Arief menyempatkan diri juga untuk salat, sekaligus melakukan salat yang belum sempat ia lakukan. Jannah juga salat di belakangnya. Surau itu adalah saksi bisu keduanya salat bersama untuk pertama kali. Setelah Arief selesai salat, seorang lelaki paruh baya menghampirinya.

“Assalaamualaikum,” sapa lelaki itu.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Arief.

Sebagai sopan satun, Arief pun menjabat tangan orang tua ini.

“Ada perlu apa sampai kalian ke tempat seperti ini?” tanya laki-laki tersebut.

“Maaf, sebelumnya. Apakah bapak kenal dengan Pak Lutfi?” tanya Arief.

“Saya sendiri,” jawab laki-laki itu yang tak lain adalah Pak Lutfi.

“Alhamdulillah, syukurlah. Kami langsung bertemu dengan Bapak. Saya kemari sedang mengantarkan teman saya untuk mencari seseorang,” kata Arief sambil menunjuk Jannah yang ada di bilik wanita.

“Maaf, Pak. Apa benar Bapak ini orang tuanya Thalib?” tanya Jannah dari bilik wanita.

Pak Lutfi mengerutkan dahi. “Kalian salah kalau mencari anak itu di sini.”

“Kenapa?” tanya Jannah, “Thalib memberikanku alamatnya di sini Pak. Tapi para penduduk tadi bilang kalau Bapak tidak punya anak.”

Pak Lutfi mengangguk. “Mereka tidak salah.”

“Jadi, Thalib berbohong kalau ….,” ucapan Jannah dipotong oleh Pak Lutfi.

“Tapi mereka juga tidak sepenuhnya benar. Thalib tidak menyandang bin Lutfi. Dia anak hasil hubungan gelapku dengan seseorang,” ujar Pak Lutfi sambil tiba-tiba menangis.

Malam itu Pak Lutfi bercerita tentang masa lalunya. Thalib memang anak biologisnya, tetapi bukan anak dari pernikahan. Pak Lutfi dulu saat muda pernah menyukai seorang perempuan bernama Ida. Keduanya saling mencintai, tetapi terhalang akibat status keluarga masing-masing.

Singkat cerita keduanya pun punya ide gila, ingin kawin lari. Hingga akhirnya terjadilah hubungan terlarang itu. Sayangnya Pak Lutfi tertangkap oleh anak buah dari keluarga Ida. Dia dihajar habis-habisan dan akhirnya keduanya pun dipisahkan. Hasil dari hubungan satu malam itulah kekasihnya hamil. Tak terima anak mereka hamil, Ida diusir dan harus melahirkan mandiri.

Pak Lutfi suatu saat diberitahu oleh seorang tentang keadaan Ida. Begitu mendapatkan kabar tentang Ida, Pak Lutfi pun segera menemuinya. Sayangnya Ida meninggal setelah melahirkan anaknya. Anaknya telah dinamai oleh ibunya dengan nama Thalib.

Tentu saja, tidak mungkin membawa Thalib ke dalam keluarganya. Akhirnya Thalib dititipkan di panti asuhan. Di sanalah akhirnya Thalib tumbuh dan belajar agama. Dididik hingga besar. Setiap sebulan sekali Pak Lutfi menjenguknya.

Thalib tidak pernah tahu alasan ayahnya menitipkannya ke panti asuhan, hingga akhirnya diceritakan setelah cukup umur. Thalib menerima semuanya dan memaafkan orang tuanya.

“Thalib adalah dosa terbesarku, Nak,” kata Pak Lutfi, “Setiap aku melihatnya, aku jadi teringat dosa-dosaku di masa lalu.”

Arief dan Jannah tak mampu berbicara lagi. Mereka hanya bisa memperhatikan orang tua yang tenggelam dalam rasa bersalahnya. Kesimpulannya, mereka tak tahu dimana Thalib. Pemuda itu seperti menghilang begitu saja dan pencarian pun harus diakhiri.

Hari sudah larut. Jannah sedang duduk di teras surau. Di sebelahnya ada Arief, yang boleh dibilang adalah malaikat penolongnya. Lelah, itulah yang sedang dirasakan oleh Jannah. Pencariannya pun sia-sia. Janji Thalib tidak ditepati dan menghilang begitu saja. Arief membiarkan perempuan itu larut dalam lamunan. Hal itu dia sengaja agar Jannah bisa berkompromi dengan perasaannya sekarang ini.

Pak Lutfi sangat baik hati. Keduanya dipersilakan untuk menginap di rumahnya. Rumah tersebut hanya ditinggali oleh Pak Lutfi dan istrinya. Mereka sampai sekarang tak dikarunai anak. Sehari-hari mereka hanya mengolah ladang, kalau sore Pak Lutfi mengisi pengajian.

Hidup mereka bersahaja, seperti yang dibilang Pak Lutfi kalau beliau ingin bertaubat dan membersihkan dosa-dosa masa lalunya. Keduanya tampak bahagia saat menyambut Jannah dan Arief.

“Mbak nggak istirahat?” tanya Arief.

“Aku masih ingin di sini,” jawab Jannah.

“Aku kalau begitu aku ke kamar dulu,” ucap Arief, tetapi tiba-tiba Jannah menarik tangan pemuda itu.

Tekejut. Jannah tidak mengerti kenapa tangannya tiba-tiba reflek menarik tangan Arief. “M-maaf.” Buru-buru Jannah melepaskannya.

“Aku nggak tahu kalau Thalib seniorku, maklum aku orang yang jarang gaul,” kata Arief, “aku heran aja, kalian kan sama-sama aktivis kampus, bagaimana bisa kalian pacaran? Well, aku tak mau men-judge orang lain sih, hanya saja aneh menurutku.”

“Aku manusia biasa, Mas. Memangnya nggak boleh melakukan dosa?”

“Sekali lagi aku tidak menghakimimu. Seharusnya kau memberi contoh yang baik. Apalagi kau cukup dihormati oleh teman-teman kerohanian. Mbak Jannah, seorang aktivis kampus yang cukup vokal, sering menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan besar. Aku juga pernah melihat mbak memberikan angket ataupun selebaran dakwah, membimbing teman-teman mahasiswi ke dalam pengajian, mengajari mereka mengaji. Maksudku, sangat kontras. Aku sendiri… aku bukan pemuda baik-baik. Maka dari itulah aku rasanya tidak pantas jadi aktivis. Aku hanya ingin belajar, maka dari itulah aku selalu mengikuti ustadz Hamzah dan belajar ilmu dari beliau. Aku masih belum bisa jadi contoh yang baik,” ujar Arief.

“Tapi mas orang baik. Mas mau menolongku, bahkan sampai mengantarkanku ke tempat ini. Bahkan di perjalanan juga mas menjagaku.”

Arief tersenyum. “Karena aku menghargai kehidupan.”

Jannah mengernyit. “Menghargai kehidupan?”

“Aku nggak mau mbak tersesat dan kehilangan harapan. Jujur, aku bukan orang yang menghargai kehidupan sampai aku mendengar ceramah ustadz Hamzah. Bagiku, mbak harus melanjutkan kehidupan dan melupakan Thalib. Dia tak ingin ditemukan dan tak mau menemui mbak. Itu sudah cukup untuk pergi dari bayang-bayangnya.”

Jannah terdiam sejenak. Kepalanya menunduk memikirkan kata-kata Arief. Memang benar apa yang dikatakan Arief. Dia harus menatap masa depan. Sudah berbulan-bulan Thalib tak ada kabar bahkan di rumah yang diberikan alamatnya saja tidak ada. Orang tuanya juga tidak tahu sekarang dia ada dimana.

“Ayo, tidur! Besok kita pulang, perjalanan jauh lho,” ajak Arief.

Jannah pun berdiri. “Mas!?”

Arief menoleh kepadanya.

“Sekali lagi, terima kasih.”

Arief mengangguk, lalu pergi meninggalkan Jannah. Malam pun makin larut. Jannah pun hari itu mantab melepaskan Thalib. Meskipun mungkin dia masih berharap, hanya saja harapan itu sudah sirna atau mengecil.

Pak Lutfi dan istrinya menjamu Arief dan Jannah dengan baik. Sebelum Arief dan Jannah pulang, mereka sempat diajak untuk sarapan bersama. Arief dan Jannah diberi hadiah buku keagamaan dan Al-Qur’an. Tidak buruk, rasanya pergi sejauh ini. Bahkan, keduanya diberi nasihat-nasihat yang menyentuh.

Perjalanan pulang bukan sesuatu yang buruk. Rasanya Jannah sudah lega, walaupun tidak bertemu lagi dengan Thalib untuk waktu yang lama.

Waktu berlalu begitu cepat. Jannah teringat bagaimana Arief dan dia makin dekat. Sering bertemu di masjid, di perpustakaan, diajak makan bersama, hingga akhirnya mereka pun wisuda bersama.

Jannah masih teringat bagaimana Arief menghampirinya setelah acara wisuda itu. Saat itu dirinya berfoto dengan orang tuanya. Arief tiba-tiba menyalami ayahnya Jannah.

“Bapak, saya ingin melamar putri bapak. Bolehkah?” tanya Arief secara langsung.

Tentunya hal itu membuat orang-orang terkejut, baik orang tua maupun Jannah. Well, Jannah kebingungan dengan pertanyaan itu. Arief memang orangnya baik dan mereka mungkin ada kecocokan. Dan boleh diakui atau tidak Jannah selalu membutuhkan Arief, selama perkuliahan ini hubungan mereka makin dekat.

Singkat cerita pernikahan mereka sangat sederhana. Karena memang Arief saat itu hanya punya sedikit harta dari bapaknya dan belum bekerja.

Kilasan-kilasan memori di dalam kepala Jannah makin menjadi-jadi. Getaran bayangannya makin jelas, ketika di depan penghulu dia melihat Arief mengucapkan Ijab Qabul. Setiap mata tertuju kepada Arief untuk bisa mendengarkan perkataannya dengan jelas, hingga semua saksi berkata sah.

Sebenarnya Jannah bukan pertama kali melihat tubuh lelaki. Dia sudah melihat tubuh Thalib, walaupun tidak sampai bercinta. Mereka petting, saling memuaskan diri meskipun tanpa penetrasi. Sekarang Jannah harus menerima kenyataan menjadi suami dari seorang yang bahkan tidak dia kenal sebelumnya.

Namun, ia mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Dia sudah bulatkan tekad untuk bisa setia kepada lelaki yang kini sudah bertelanjang dada di hadapannya. Kini lelaki itu berlutut di depannya, menatapnya yang sejak tadi menunduk.

“Kau grogi?” tanya Arief.

Wajah Jannah yang cantik malam itu membuat lelaki manapun akan mabuk kepayang. Bibir Jannah melemparkan senyuman. “Menurut Mas?”

Arief menggeleng. “Aku tak peduli dengan masa lalumu, Sayang. Sebagaimana kau juga tak peduli dengan masa laluku. Demi kamu aku rela mengubur masa laluku. Kuharap kau juga begitu.”

“Mas sudah nggak perjaka?” tanya Jannah.

“Aku sudah bilang kalau aku bukan orang yang baik,” jawab Arief, “kau lupa?”

Jannah menggeleng. “Aku masih ingat. Justru karena mas mau jadi orang baik, aku akhirnya menerima Mas.”

“Can I kiss you?” tanya Arief.

Jannah memejamkan mata. Arief kemudian bangkit, duduk di sebelahnya. Setelah itu ia pegangi kepala Jannah, lalu mengecup bibirnya. Ini untuk pertama kalinya mereka berciuman. Perempuan itu memejamkan mata dan menikmati ciuman itu dengan syahdu.

Hari itu dia yakin untuk melupakan Thalib selama-lamanya. Sejak saat itu ia bertekad kalau Arief adalah cinta terakhirnya dan akan seperti itu selamanya.

Kedua bibir yang saling mengecup pun berganti jadi memagut. Lidah mereka saling bersilaturahim. Getaran-getaran listrik mulai menggelitik bulu kuduk mereka. Jannah meneteskan air mata, entah air mata bahagia atau air mata kesedihan. Arief menghapus air mata itu.

“Aku akan pastikan kamu akan selalu tersenyum dan tak pernah menangis lagi,” ucap Arief.

“Bisakah mas melakukannya untukku?”

“Kamulah salah satu alasanku untuk berubah.”

Jannah tersenyum manis. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa mereka ucapkan selain bahasa tubuh. Arief pun mulai membuka satu per satu baju yang menutupi Jannah. Kamar yang mereka tempati sekarang akan jadi saksi bisu bagaimana dua insan akan bersatu dalam memadu kasih. Mencumbu satu sama lain, memberikan kehangatan satu sama lain dalam kondisi halal.

Setiap helai pakaian yang menutupi perempuan itu kini terlepas. Bahkan Jannah membantu Arief untuk melepaskan bajunya sendiri. Perempuan itu berbaring, rambut panjangnya tergerai di sprei, menguarkan aroma kecantikan sejatinya. Arief juga sudah melepaskan celana satu-satunya yang dia pakai hingga kini batang kejantanannya mengacung tegak seperti menantang Jannah.

Batang penis kedua yang dia lihat. Jannah tidak malu. Bahkan saat Arief mendekatkan penis itu ke wajahnya. Jannah pasrah membuka mulutnya, menjilati kepala penis yang sudah keras dan mengkilap karena cahaya itu, padahal kamar mereka cukup remang-remang. Arief tak pernah bertanya bagaimana Jannah tidak jijik ataupun bertanya darimana Jannah belajar mengisap penis lelaki. Dengan telatennya Jannah meremas-remas dan mengocok batang penis tersebut sambil mengisapnya kuat-kuat.

“Ahh... istriku... nikmat sekali,” desah Arief.

Begitu syahdu kocokan dan hisapan Jannah, membuat Arief tak mau cepat-cepat mengakhiri momen ini. Pinggulnya pun bergoyang-goyang mengimbangi hisapan mulut istrinya. Jannah melanjutkannya dengan meremas-remas dua bolanya. Rasanya membuat Arief melayang.

Puas dengan servis istrinya, Arief mulai turun. Penisnya benar-benar penuh dengan air liur Jannah. Perempuan itu tersenyum, tak ingin batang penis itu pergi, tetapi ia juga penasaran apa yang akan dilakukan oleh Arief?

Pemuda itu menciumi wajahnya. Keningnya, pipinya, hidungnya, bibirnya, lehernya, lalu turun ke dua buah dada yang padat. Ah, kesukaan para pria. Pria mana yang tidak suka dua bukit kembar itu? Jannah terangsang saat lidah Arief menyapu putting susunya. Dia menjerit kecil ketika Arief menggelitiki pentil coklat kemerahan miliknya. Lelaki ini sekarang menyusu seperti bayi, dengan kedua tangannya aktif meremas-remas memberikan rangsangan.

“Maassshhh... ohhh.... ehmmm, tetekku diapain?” lenguh Jannah.

Tak perlu dijawab, dia sudah tahu apa yang dilakukan Arief.

Sebagai seorang yang tidak sembarangan jajan, Arief punya keistimewaan yang tidak pernah diketahui oleh orang lain. Dia tahu cara memperlakukan wanita. Setiap sentuhannya seperti punya sesuatu yang bisa membuat perempuan terangsang.

Mungkin kemampuan ini sudah lama didapatkan dari bapaknya. Sebagai seorang yang disebut kepala preman, Suroso mengajarkan Arief cara menaklukkan orang dengan sentuhan. Setuhannya itulah yang membuat tidak ada orang yang bisa menolaknya.

Lenguhan demi lenguhan seperti senandung merdu di ruangan bercahaya temaram. Rasanya tak akan pernah puas dua insan ini bercumbu. Hingga tak terasa bibir Arief sudah mengobok-obok vagina gadis perawan ini. Jannah tak kuasa. Sentuhan Arief membuatnya muncrat berkali-kali.

“Mas, nggak tahaaan!” ucapnya.

“Aku belum masuk lho sayang,” kata Arief.

“Masukin saja mas. Ambil perawanku!” pinta Jannah.

“Kau yakin?”

Jannah mengangguk. “Sekarang, aku menyerahkan hidupku ama mas. Perawanku juga.”

“Jangan begitu. Kau tak perlu menyerahkan hidupmu kepadaku.”

“Tapi keperawanan bagi kaum wanita adalah hal yang paling berharga. Mereka akan melindungi benda itu untuk suaminya. Maka dari itulah aku menjaganya selama ini,” ucap Jannah.

“Baiklah, aku ambil sekarang,” kata Arief.

Jantung Jannah berdebar-debar saat Arief mulai bersiap-siap. Batang kontolnya yang perkasa sudah dia tempatkan di garis vaginanya. Arief sengaja menggodanya dengan menggesek-gesek kelaminnya. Jannah sudah tak sabar, pinggulnya mulai gelisah.

“Masshh... masukin. please!” pinta Jannah.

Awalnya kepala penis yang masuk. Cukup lancar karena dibantu dengan cairan pelumas yang terus banjir keluar dari celah sempit tersebut. Satu dorongan perlahan, tapi menusuk membuat Jannah tersentak. Sedikit batang penis yang masuk saja terasa perih.

Arief tak memberi kesempatan Jannah untuk bernapas, karena hentakan kedua membuat penis itu makin jauh masuk ke dalam, setelah itu Arief berhenti, terlebih saat memek istrinya mencengkeram batang kontolnya.

“Maass.. ehhmmmm... aahhhhh... perih,” ucap Jannah.

“Bertahanlah!” kata Arief.

Jannah mengangguk sambil menggigit bibirnya. Arief pun bergoyang perlahan, dia tarik lalu dorong, tarik dorong, tarik dorong, hingga Jannah terbiasa. Lama kelamaan hanya suara desahan yang terdengar dari dua insan ini.

“Sayang, aku kayaknya ingin muncrat,” kata Arief.

“Keluarkan saja, Mas. Ohh... suamiku... aku akan terima pejumu,” kata Jannah.

Arief lalu memeluk Jannah. Mereka berpelukan erat sambil berciuman, sementara pinggul Arief terus menerus membobol memek istrinya. Jannah menggeleng-geleng tak kuasa akan gelombang orgasme yang akan melandanya lagi.

“Maasss... aaahhhkkk!!!” pekiknya.

Dia sadar penis Arief makin berkedut liar. Hingga lepaslah semburan sperma kuat, kental dan panas ke dalam rahimnya.

Nikmat sekali rasanya. Keduanya merasa nikmat. Itulah pertama kali mereka merasakan nikmatnya bercinta dan akan terulang lagi, lagi dan lagi.

Setelah itu tidak ada hari tanpa bercinta. Kedua insan ini benar-benar ketagihan seks. Di kamar mandi, di dapur, di ruang keluarga, bahkan Arief pun tetap mendapatkan servis dari Jannah saat haidh dengan cara dioral.

Kebahagiaan mereka bertambah saat Jannah hamil. Betapa Arief sangat bahagia kala itu. Jannah juga demikian, tak sia-sia mereka selalu bercinta hampir setiap waktu.

Jemari mungil kecil berwarna kemerahan menyambut pagi itu. Hari dimana Khalil lahir ke dunia. Jannah bahagia melihat buah hatinya bergerak-gerak di sebelahnya, menyusu, menyesapi ASI yang keluar dari sumbernya. Arief juga bahagia, karena dia melihat manusia baru di dalam rumah tangga yang telah mereka bangun.

“Aku mau namai dia Khalil,” ucap Arief.

“Kenapa?” tanya istrinya.

“Yah, karena dia mungil,” jawab Arief.

Jannah terkekeh. Walaupun memang benar anaknya mungil, tapi apa harus dinamai Khalil?

“Maksudku, meskipun dia nanti sudah besar, aku ingin dia tetap anak kecilku, my little boy. Bukan begitu sayang?” tanya Arief sambil mengecup kening istrinya setelah semalam dia berjuang untuk melahirkan anak itu.

Jannah mengangguk. “Apapun namanya, semoga itu doa terbaik.”

Bahagia. Satu kata yang tidak akan pernah mereka lupakan. Buah hati itu telah membuat cinta Arief dan Jannah makin kuat. Ikatan cinta mereka seolah-olah tidak akan pernah terlepaskan sampai kapanpun. Jannah juga sudah bertekad untuk hidup semati bersama Arief, lelaki yang sekarang mengisi bagian hatinya yang kosong.

Hari-hari pun berlalu. Dimana semua impian Jannah mulai terwujud. Impian yang cukup sederhana, yaitu mendambakan keluarga yang kecil bahagia. Arief? Cukup menikmati hidupnya saja dengan keluarga kecilnya. Tidak ingin hal yang lebih. Namun, benarkah demikian?

Jannah masih ingat hari itu. Di sore hari dengan matahari yang sudah hendak tenggelam. Arief duduk di ruang tamu. Suaminya sedang menerima tamu seorang lelaki paruh baya. Wajah Arief terlihat datar. Jannah tak menyadari kalau ada tamu saat itu, karena dia ketiduran saat menidurkan Khalil. Lelaki paruh baya itu tersenyum kepadanya.

“Eh, ada tamu, Mas?” tanya Jannah.

“Bukan siapa-siapa. Tamunya sudah mau pulang,” jawab Arief.

“Begini caramu? Mengusir bapakmu sendiri?” ucap lelaki tua tersebut.

Jannah tak mengerti apa yang terjadi, tetapi ketika menyebutkan bapak, tentu saja Jannah yakin kalau lelaki itu adalah orang tua Arief. Memang saat pernikahan Arief tidak pernah menyebutkan keluarganya, bahkan orang tuanya juga tidak hadir. Arief hanya berkata orang tuanya sibuk dan ada di luar kota. Tentu saja melihat kenyataan ini Arief berbohong kepadanya.

“Aku sudah punya keluarga yang baik. Aku tidak ingin bapak berpengaruh kepada keluargaku,” kata Arief.

“Mas, dia orang tua mas?” tanya Jannah.

“Iya,” jawab Arief.

“Bapak, maafkan Mas Arief,” ucap Jannah, segera Jannah berlutut di hadapan Suroso.

Suroso menyambut tangan Jannah dan menerima sungkemnya.

“Saya senang bapak ada di sini, saya minta doa restu bapak,” kata Jannah.

“Sayang, pergi dari dia!” pinta Arief, “kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tapi dia kan orang tua mas,” kata Jannah.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Memang aku bukan orang tua yang baik. Terima kasih atas jamuannya,” ucap Suroso. Orang tua itu lalu berdiri, demikian juga Jannah.

Jannah tak mengerti kenapa Arief berkata seperti itu. Seumur-umur baru kali ini dia melihat Arief marah.

“Sampaikan salamku kepada cucuku,” ucap Suroso, “aku pergi.”

Kedua suami istri itu hanya melihat kepergian Suroso yang menghilang dari balik pintu. Jannah yang tak mengerti mulai menginterogasi suaminya.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Ada apa? Bukankah dia orang tua mas?”

Arief yang masih duduk di kursi pun menyandarkan punggungnya. “Kau mau tahu apa yang terjadi?”

Jannah ikut duduk di sebelahnya. “Tentu saja, aku ini istrimu.”

Arief menatap Jannah sambil tersenyum. Dia mencium bibir istrinya terlebih dahulu. “Kamu tahu kan kalau aku mencintaimu?”

Jannah mengangguk.

“Aku sebenarnya dulu hidup dalam dunia yang kelam. Keluargaku bukan orang baik-baik. Bapak adalah seorang tukang pukul. Tugasnya melenyapkan nyawa orang lain dan aku sebagai putranya adalah satu-satunya yang menjadi partnernya,” ucap Arief.

Jannah menelan ludah. Bagai tersambar petir, dia tak percaya dengan apa yang diucapkan Arief.

“Kau boleh percaya atau tidak. Tapi itulah kenyataannya. Aku jujur kepadamu dan aku ingin berubah setelah aku melihatmu. Kaulah yang membuatku berubah. Aku ikut pengajian ustadz Hamzah, itu juga salah satu tujuanku agar bisa berubah jadi orang baik. Kaulah salah satu alasan yang membuatku menjadi seperti sekarang ini,” tutur Arief.

Hati Jannah seperti tercubit. Dia merasa tersanjung dengan apa yang dikatakan Arief. Karena dialah pria yang ada di hadapannya ini berubah.

“Betulkah itu, Mas?”

Arief mengusap kepala Jannah. “Kamu ingat saat aku bertanya tentang kehidupan kepada ustadz Hamzah. Saat itulah aku ingin bisa lepas dari keluargaku. Sekarang aku sudah punya keluarga sendiri dan aku tak mau bapak ikut campur dalam urusan keluarga kita. Kau mau mendampingiku sampai akhir? Bersama-sama menuju surga-Nya?”

Di dalam pikiran Jannah, dia mulai mengurutkan peristiwa-peristiwa dimana Arief pertama kali ikut pengajian. Pertanyaan-pertanyaan Arief seputar pengajian mengindikasikan lelaki ini sedang ada masalah yang cukup pelik di dalam hidupnya. Ternyata permasalahannya cukup besar.

Bibir Jannah mengecup bibir suaminya. “Aku akan mendampingi Mas. Mas sudah sejauh ini.”

“Janji? Kau mau menerima apa yang ada pada diriku?”

Jannah mengangguk. “Iya, aku menerima Mas seutuhnya.”

Jannah kemudian naik ke pangkuan Arief. Keduanya kembali dalam percumbuan yang mesra. Bahkan pintu rumah mereka sudah lupakan masih terbuka. Kalau orang lain di jalan melihat mereka pasti akan ketahuan. Namun, mereka sudah suami istri. Siapa pula yang mau protes?

Tangan Arief mulai terpancing untuk menurunkan resleting gamis istrinya yang ada di punggung. Saat tangannya meraba punggung Jannah yang halus tersebut, tak ada pengait bra. Jannah sudah tak memakai daleman. Memang sengaja dia lakukan agar mudah menyusui anaknya, hal itu membuat Arief makin gemas dengan salah satu tangannya meremas-remas buah dada Jannah yang montok mengandung ASI.

Baju gamis itu mengendur, hingga terlepas, menampakkan Jannah, seorang perempuan alim memakai kerudung dengan tubuh bagian atas tanpa tertutup apapun. Arief tanpa disuruh pun sudah mencaplok dua bukit kembar tersebut. Jannah menggelinjang, meremas-remas rambut suaminya, dia tak salah memilih pria ini sebagai suaminya. Perlakuannya sangat lembut dan cepat merangsangnya. Sentuhan-sentuhan Arief benar-benar membuatnya mabuk kepayang.

Ruang tamu ini sebagai saksi dimana kedua insan ini dimabuk cinta. Jannah pasrah, memasrahkan apapun yang ada di dalam dirinya untuk Arief.

“Oh, Mas... ehhmm....” Jannah menggeliat dalam pelukan Arief.

Bajunya juga sudah awut-awutan. Dengan lembut Arief sudah meloloskan pakaian Jannah hanya tersisa kerudung warna biru. Arief juga mulai melapaskan satu per satu pakaiannya. Jannah ikut membantu suaminya. Batang kontol suaminya sudah menunjuk ke mukanya.

Tangan lembut perempuan itu mulai menggenggam batang tersebut mengocoknya, lalu Arief bergerak menuju ke wajah istrinya. Sejurus kemudian Jannah sudah beraksi meremas, mengocok, menghisap batang suaminya.

Ah, sungguh menggairahkan. Lidah Jannah menggelitik batang keras itu. Batang yang perkasa, yang sudah menyemprot ke rahimnya hingga tak terhitung. Jannah masih ingat bagaimana awal-awal mereka menikah. Hampir tiap hari Arief menggarapnya tak kenal waktu. Dan Jannah benar-benar haus akan seks. Mereka berdua ketagihan untuk bisa ngentot tiap hari dengan berbagai gaya.

Beberapa menit kemudian setelah Arief puas diblowjob, gantian Jannah yang menggelepar-gelepar seperti cacing kepanasan. Lidah Arief sudah mengobok-obok liang senggamanya. Jari Arief turut serta menggelitik klitoris Jannah, membuat Jannah makin menggila.

“Massshh.... Ohhkk. Udah, masss... ehmm.... Aku nggak tahan... ahhhhkkk!!!” Jannah melengkungkan tubuhnya.

Matanya memutih, orgasme hebat datang dan vaginanya banjir cairan.

Beberapa detik kemudian Jannah lemas di atas sofa. Dadanya naik turun dan tangan kanannya ditempelkan di keningnya. Arief bangkit lalu menciumi bibir istrinya. Jannah masih dalam keadaan menikmati orgasmenya, lalu secara mengejutkan batang Arief ditusukkan begitu saja, yang membuat mata Jannah kembali terbuka.

“Aaaahhhh!” seru keduanya.

“Mas, kok enak ya?” tanya Jannah.

“Aku juga enak,” jawab Arief.

Arief pun menggenjot istrinya sambil memeluk tubuh istrinya yang masih terlihat mulus itu. Keduanya sudah dimabuk seks. Mereka nikmati sore itu dengan ngentot, ngentot dan ngentot. Untunglah anak mereka sudah tidur.

Arief menikmati setiap seks bersama Jannah. Menindih Jannah adalah posisi favoritnya, sebab dia bisa melihat wajah orang yang dicintainya. Jannah juga suka melihat Arief, terlebih lagi saat melihat Arief orgasme, bersamaan dengan semburan-semburan sperma suaminya. Tidak ada yang lebih nikmat daripada itu. Rahimnya hangat, itulah yang dirasakan oleh Jannah setiap kali disiram benih oleh suaminya.

Mereka baru selesai bercinta setelah dua jam lamanya. Bersamaan dengan itu Khalil menangis. Keduanya tertawa, setelah baru menyadari hari sudah gelap. Arief juga baru menyadari kalau selama mereka bercinta pintu rumah masih terbuka. Ia buru-buru menutup pintu. Keduanya lalu melihat Khalil yang terbangun karena ngompol dan popoknya penuh.

Setelah Khalil diganti popok, Jannah pun menyusui anaknya lagi. Melihat tubuh Jannah yang masih telanjang dan masih memakai kerudung, kontol Arief ngaceng lagi. Dia mepet ke tubuh Jannah, menaikkan paha istrinya, lalu ditancapkannya lagi batang kontolnya.

“Mas ngaceng mulu sih?” keluh Jannah dengan menggodanya.

“Habisnya, kamu nafsuin,” jawab Arief.

“Ntar jadi lagi gimana?”

“Ya... nggak apa-apa kan? Biar Khalil punya adik,” kata Arief yang sekaligus memulai goyangannya.

Jannah pun digenjot Arief dari belakang sambil menyusui anaknya. Jannah menahan agar goyangan suaminya tidak mengganggu Khalil. Bagi Arief, hal itu sangat menggairahkan. Tak butuh waktu lama Khalil tertidur lagi dan keduanya pun melanjutkan lagi kegiatan silaturahim kelaminnya.


Arief memang bisa diandalkan dalam segala hal. Lelaki yang tanggap terhadap apapun. Serta tidak pernah mengeluh terhadap kekuarangan Jannah. Awalnya Jannah mengira Arief memang dari keluarga yang bobrok dan ingin lepas dari keluarganya.

Kata-kata Arief “melenyapkan nyawa” tidak pernah dianggap serius oleh Jannah. Perempuan itu mengira Suroso hanyalah preman biasa. Tidak lebih. Hingga suatu ketika peristiwa yang tidak pernah mereka sangka pun terjadi.

Sudah beberapa bulan Arief terkena PHK. Dia kerja serabutan dan cari pekerjaan sana-sini. Utang pun menumpuk. Jannah bingung, sebab tidak ada pemasukan sama sekali dalam dua bulan, sedangkan setiap hari mereka harus makan. Khalil butuh susu, butuh popok.

Setiap hari Arief pulang sampai malam. Berusaha untuk cari pekerjaan. Kadang sehari hanya membawa beberapa puluh ribu saja. Arief sudah bertekad tidak akan minta bantuan keluarganya lagi walaupun mampu. Uang dari tabungan keluarganya pun sudah habis. Jannah pun mencoba untuk berjualan online. Dari gamis, obat herbal dan lain-lain. Sedikit demi sedikit dia ada pemasukan, tetapi tetap saja tidak ada pemasukan yang cukup.

Mungkin memang sudah jadi hukum alam, dimana setiap orang yang ingin berubah akan diuji. Arief diuji dengan berbagai kesusahan, kesengsaraan dan kekurangan. Sudah lima bulan dia belum dapat pekerjaan.

Selama itu pula Jannahlah satu-satunya yang jadi tulang punggung keluarga. Dia harus membagi waktunya untuk mengurus Khalil, ngepak barang untuk dikirim, malamnya melayani suaminya. Perempuan itu senang-senang saja melakukan itu, karena dia cinta kepada keluarganya, hingga suatu ketika terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan.

Jannah kebingungan saat tubuhnya terikat di kursi. Mulutnya disekap kain. Kaki dan tangannya benar-benar terikat dengan kuat oleh tali. Yang membuat dia sadar adalah suara Khalil yang menangis. Dia kebingungan. Terakhir kali dia sedang menjemur baju, lalu tiba-tiba gelap tidak ingat apapun.

“Hmmpphhh!” jerit Jannah dengan suara tertahan.

Beberapa orang lelaki tidak dikenal tampak sedang duduk di kursi sedangkan yang lain sedang mondar-mandir di dalam rumah. Membongkar barang-barangnya, melemparkan satu per satu isi lemarinya. Dua orang berjaga-jaga di luar. Siapa mereka?

“Tidak ada,” ucap seorang yang baru saja keluar dari kamar.

Jannah memperhatikan Khalil yang menangis. Tampak bocah itu sedang mencari-cari ibunya.

Orang yang sedang duduk di kursi menegakkan tubuhnya, lalu menatap ke Jannah.

“Mana suamimu?”

Jannah menggeleng.

“Jangan bohong. Aku tahu salah satu keluarga Suroso tinggal di rumah ini. Dia telah mengambil uangku, bahkan menghabisi adikku. Aku ingin menuntut balas,” kata orang tersebut.

Jannah ketakutan dan matanya berair. Perlahan lelaki misterius itu membuka sumpalan mulut Jannah, sehingga sekarang Jannah bisa bernapas.

“A-aku tidak tahu. Siapa kalian? Tolong jangan sakiti aku!”

Orang itu mendekat lalu memegang wajah Jannah. Tiba-tiba mulut busuknya mencium Jannah. Jannah berusaha menghindar, tetapi lelaki itu berhasil menciumnya. Sejurus kemudian susunya diremas-remas.

“Brengsek. Ini perempuan bodinya bagus!” kata lelaki itu.

“Udah, garap saja bos. Kami jaga di luar, kita gilir aja,” kata lelaki yang ada di luar rumah.

“Jangan! Kumohon! Jangaan!” pinta Jannah sambil menangis.

Si lelaki bertubuh besar itu tak peduli tangisan Jannah. Dia merobek baju Jannah hingga buah dadanya terutup bra terekspos. Si bos menelan ludah menyaksikan betapa putih dan mulusnya buah dada itu. Kepalanya pun dibenamkan ke jepitan toket lembut perempuan alim ini.

“Ah... jyancuk, wangi Cuk!” ucap Si Bos.

“Susune mulus, Bos. Sikat wis!” ucap anak buahnya.

“Jangaaan!” pinta Jannah.

Si Bos tidak mempedulikan. Dia menciumi dan menjilati payudara Jannah, setelah itu dia berdiri mengeluarkan isi celananya. Sejurus kemudian batang kontol hitamnya mencuat. Jannah ketakutan. Sebentar lagi kesuciannya akan ternoda. Dia memejamkan mata, tak berani melihat apa yang akan dilakukan oleh lelaki ini.

Sejurus kemudian buah dadanya ada yang meraba dan sesuatu bergerak-gerak di jepitan payudaranya. Ternyata, Si Bos sedang menjepitkan kontolnya di belahan toket mulusnya.

“Anjing, enak. Uuhhh... mulus banget sih toketmu, Nduk? Kok enak ya?” ucap Si Bos.

Si Bos bergerak-gerak pinggulnya maju mundur. Menikmati jepitan payudara Jannah pada kontolnya. Jannah memejamkan matanya dan tak mau melihat apa yang terjadi. Si Bos keenakan sehingga dia tidak tahu kalau dalam detik-detik tersebut satu persatu anak buahnya telah meregang nyawa.

Arief pulang mendapati rumahnya ada orang tak dikenal. Dia merusak pagar kayu tetangganya, mengambil paku besar yang menancap, setelah itu melompati pagar. Tentu saja hal menjijikkan yang dilakukan oleh para preman ini dilihatnya.

Dengan ekspresi datar Arief menusukkan paku yang dia ambil tadi ke titik-titik vital dua orang yang berjaga di pintu rumahnya. Keduanya ambruk seketika. Sementara itu, tiga orang yang ada di dalam rumah merasa keheranan. Mereka pun keluar untuk memeriksa, sementara bos mereka asyik mengerjai Jannah.

Begitu cepat, Arief dengan paku penuh darah yang masih ada di tangannya menusukkan ke lubang telinga salah satu preman tersebut. Kedua preman lainnya syok, tidak siap hingga tiba-tiba Arief menusukkan lagi paku tersebut ke pembuluh nadi di leher salah satu orang, setelah itu orang terakhir dia geret tangannya, lalu dia tusukkan paku tadi ke ketiak orang tersebut berkali-kali, setelah itu dia tancapkan ke leher dan dia robek leher orang tersebut.

Dua orang masih menggelepar di tanah dengan berusaha berteriak, tetapi suara mereka tercekat karena tenggorokan mereka dirobek oleh Arief dengan sebuah paku.

Dengan santai Arief masuk ke dalam rumah melemparkan pakunya ke lantai. Si Bos keenakan dengan apa yang dilakukannya, sehingga tak menyadari keberadaan Arief. Pemuda itu tidak tinggal diam, dia langsung mengunci leher Si Bos, setelah itu menariknya, memelitirnya dan menghantamkannya ke meja tamu hingga meja tersebut hancur. Hal selanjutnya Arief duduk di atas dada lelaki itu, lalu berkali-kali tinjunya menghantam wajah preman itu.

Jannah tentu saja terkejut. Dia syok melihat itu. Terlebih melihat bagaimana Arief dengan sangat santai menghajar orang-orang ini.

“Mas, sudah cukup! Mas! MAAS!!” teriak Jannah.

Arief menghentikan pukulannya. Si Bos wajahnya sudah tak berbentuk lagi. Arief lalu berdiri menghadap ke Jannah, melepaskan ikatan istrinya lalu memeluknya.

“Semua sudah berakhir. Semua sudah berakhir!” ucap Arief.

Perempuan itu gemetar. Antara dia takut dan senang karena Arief menyelamatkannya. Namun, melihat apa yang sudah diperbuat oleh Arief menghabisi orang-orang itu, tentu saja membuat dia sangat takut. Takut kalau misalnya Arief marah akan melukainya suatu saat nanti.

“Mas, janji mas tidak akan melakukan ini lagi?” tanya Jannah.

Arief memperhatikan Jannah yang gemetar. Menyadari Jannah takut, Arief hanya mengangguk.

“Memangnya, selama ini aku berubah buat siapa?”

Semalaman keduanya tak tidur. Jannah sudah bisa menenangkan Khalil dan mengunci diri di kamar. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Arief di luar, sebab suaminya menyuruhnya masuk kamar dan tidak membukanya sampai Arief yang menyuruh. Pagi datang dan Arief mengetuk pintu.

Perlahan-lahan Jannah keluar dan mendapati ruang tamunya bersih. Tidak ada mayat orang-orang yang sudah dihabisi oleh Arief. Jannah tidak bertanya.

“Hari ini kita pindah,” ucap Arief, “beresi barang-barangmu!”

Hanya perintah tanpa alasan. Namun, Jannah tahu apa yang sedang terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi dengan masa lalu suaminya? Apakah separah ini?

Mereka pun pindah dan menetap di kota baru. Arief pun mulai usaha baru. Kerja apapun yang penting halal. Jannah juga melanjutkan bisnisnya jualan online dan mulai membuahkan hasil.

Waktu berlalu dengan begitu cepat, usia Khalil sudah masuk ke tahun kedua. Jannah makin berhasil dengan bisnisnya, sedangkan Arief masih belum memberikan tanda-tanda keberhasilan. Hingga suatu ketika saat Jannah dan Khalil berbelanja di swalayan dan seseorang menyapanya.

“Jannah?” sapa seorang lelaki.

Jannah yang saat itu sedang mendorong troli terkejut melihat orang yang menyapanya. “M-m-mas Thalib?”

Keduanya mematung. Sungguh perjumpaan yang tidak pernah disangka-sangka. Bagaimana mereka bisa berjumpa di tempat ini. Di kota ini? Di saat Jannah sudah mendapatkan kebahagiaan, kenapa orang ini hadir?

Bayang-bayang ingatannya kembali ke saat nasib mempertemukan keduanya lagi. Mereka janjian untuk bertemu kembali di taman bermain Anak.

Lusanya Jannah dan Thalib sedang memperhatikan tingkah lucu Khalil yang sedang bermain di taman bermain. Seolah-olah keduanya adalah pasangan suami istri yang sedang jaga anak.

“Jadi, bagaimana kehidupanmu?” tanya Thalib kepada Jannah.

“Yah, beginilah Mas. Aku sudah punya keluarga kecil dan hidupku bahagia,” jawab Jannah, “Mas sendiri?”

“Aku juga sudah punya keluarga,” jawab Thalib, “aku dijodohkan oleh pengasuh panti.”

“Apakah karena alasan itu Mas menghilang? Lalu, janji mas bagaimana?”

“Justru itu. Aku ingin minta maaf. Bukan maksudku menghilang waktu itu, tetapi keadaan tidak memungkinkan. Aku berada di dalam kondisi yang tidak bisa aku ceritakan.”

Jannah menghela nafas rendah. “Aku sudah tidak peduli lagi dengan kondisi Mas. Aku sampai menemui orang tua Mas, tapi Mas tidak ada di sana. Aku sudah putus asa.”

“Iya, aku tahu.”

“Mas tahu?”

“Bapak yang cerita.” kata Thalib

“Sungguh aku merasa bersalah kepadamu. Tapi, apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?” lanjut Thalib

“Cintaku sekarang untuk Mas Arief.”

Thalib menggenggam tangan Jannah. “Kau sudah melupakan perasaan itu? Kembalilah kepadaku. Kau beserta Khalil bisa hidup bersamaku.”

“Tidak semudah itu, Mas. Aku sudah punya keluarga, punya suami. Lalu, aku juga punya Anak”

“Tinggalkan dia! Aku bisa membantumu untuk meninggalkan dia.”

Jannah menggeleng. “Enggak, Mas. Ini dosa.”

“Dosa? Lalu perbuatan kita? Yang sering kita lakukan dulu, yang kamu merengek untuk bisa dipuaskan?”

“Sudahlah, Mas. Semuanya sudah berubah.”

“Tapi perasaanku tidak berubah.”

Thalib terus merayu Jannah. Seharusnya Jannah tidak menanggapinya, tetapi ada di sisi ruang hatinya yang masih mendambakan Thalib, meskipun statusnya sekarang adalah istri orang. Dan akhirnya Jannah pun luluh. Hal itu semata-mata hanya karena dia ingin bisa jauh dari Arief.

“Aku bisa membantumu,” kata Thalib.

“Tidak semudah itu,” kata Jannah.

“Apa yang membuat ini tidak mudah? Apakah suamimu mencintaimu?”

“Dia sangat mencintaiku dan anakku.”

“Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi? Aku sekarang ada di sini dan siap untuk bertanggung jawab atas apapun yang terjadi. Kalau untuk urusan suamimu itu tanggung jawabku,” ucap Thalib.

“Baiklah, aku akan kembali ke Mas. Tapi dengan satu syarat,” ucap Jannah.

“Apa?” tanya Thalib.

“Miskinkan suamiku agar aku bisa lepas darinya. Aku tak mungkin pergi begitu saja tanpa alasan,” jawab Jannah.

Thalib yang mendengar itu merinding. Dia tak menyangka Jannah mengusulkan ide itu. Dan ini bukan sembarangan ide dari seseorang yang pernah dia cintai. Memang kedengarannya tidak masuk akal. Tetapi Thalib sudah punya kekuatan. Wina bisa membantunya.

Berawal dari sinilah kisah bagaimana kehidupan Arief “dimiskinkan” oleh Thalib. Keluarganya ditawari berbagai kemudahan untuk berhutang, hingga akhirnya mencekik Arief. Arief yang sudah terlanjur bucin kepada istrinya tak bisa berbuat banyak. Dia menurut saja, hingga akhirnya Jannah punya alasan untuk berpisah dari Arief. Tentunya, dia tidak ingin suaminya tahu kalau selama ini Thaliblah yang membantunya dan satu alasan bahwa cinta dia kepada Thalib masih ada.

Jannah untuk pertama kalinya bercinta dengan Thalib di saat Arief pergi bekerja. Thalib nekad datang ke rumah Jannah. Saat itu Khalil dibiarkan bermain dan menonton tv, sedangkan kedua orang yang lagi CLBK (cinta lama bersetubuh kembali) ini, saling memuaskan birahi.

Tonjolan di balik cekana cingkrang Thalib itu yang selalu di pandang Jannah, Ya Kontol itu yang Jannah merindukan. Tak ada penolakan saat Thalib langsung mengeluarkan barangnya. Jannah rakus sekali mengisap, menyedot, mengocok. Thalib yang juga bernafsu sudah tak tahan ingin menggenjot Jannah. Pintu kamarnya dibuka, ketika Jannah disodok oleh Thalib dari belakang, dia mengawasi Khalil yang sedang bermain.

“Ahh.... Akhirnya aku dapatkan memekmu, Sayang,” ucap Thalib.

“Iya mass.... Ahhh.... Aku kangen kontol, Mas. Akhirnya masuk juga,” kata Jannah.

“Meskipun tidak perawan, tapi masih sempit. Ahh... .ahhh... oohhhh.... anjing, enak banget!”

“Enak mas, kontolmu. Teruss... ahhhh... .ohhhh.”

Tak terhitung berapa kali Thalib dan Jannah menodai rumah tangga Arief. Jannah telah mendapatkan apa yang dia inginkan selama ini. Cinta dari kekasihnya, walaupun dengan cara yang salah. Namun, dia juga punya alasan lain kenapa harus pergi dari suaminya.

Khalil yang masih kecil, sebenarnya tidak tahu apa yang dilakukan oleh ibunya. Namun, anak kecil itu hanya memahami satu hal. Itu teman ibunya, bukan teman ayahnya. Khalil punya kebiasaan yang unik. Setiap kali ibunya selesai ngentot, dia selalu menarik rambut ibunya, seolah-olah paham apa yang dilakukan ibunya salah.

Namun, hal itu hanya dijadikan bahan tertawaan oleh Thalib dan Jannah. Dan Khalil ikut tertawa. Tidak hanya itu.

Dilain kesempatan setelah dua orang yang berzina ini lemas setelah memacu birahi, Khalil menghampiri mereka dan melemparkan bola-bola mainan kepada keduanya. Seolah-olah ia paham kalau keduanya pantas untuk dirajam. Bocah itu melempar sambil tertawa. Jannah dan Thalib menanggapinya kalau Khalil sedang ingin diajak bermain.

Wajar saja kalau Jannah yang setiap saat dimanjakan oleh Thalib akhirnya kembali ke pangkuan Thalib.

Akhirnya Jannah menggugat Arief. Bahkan, Jannah pun memutuskan pisah rumah dan menempati rumah yang diberikan oleh Thalib. Tentunya dia ingin memenangkan hak asuh Khalil. Namun, ada suatu hal yang membuat dia membiarkan Khalil dibawa oleh Arief.

Membiarkan pengadilan mengetahui perselingkuhan dia dengan Thalib. Membiarkan Arief memberikan bukti-bukti tersebut dan Jannah mengakuinya. Hal itu karena suatu peristiwa yang membuatnya sadar akan hal bururuk tentang anaknya.

Sebulan hidup bersama Khalil pisah dari Arief sambil menunggu keputusan pengadilan, Jannah merasa biasa saja. Namun, selebihnya mulai ada yang aneh dengan Khalil. Tentunya Jannah masih ingat bagaimana Arief mengajari Khalil mencabut kepala burung-burung kecil yang dia beli.

Jannah mengira Arief mengajari Khalil hal-hal yang jelek, tetapi dia membaca sebuah jurnal psikologi tentang gen psikopat. Awalnya Jannah merasa tidak mungkin Khalil memiliki gen psikopat. Namun, kali ini tidak.

“Khalil?” panggil Jannah.

Anak itu tidak ada di kamarnya. Lalu kemana?

Sebagai seorang ibu tentu panik. Seluruh sudut rumah sudah dicari, tetapi anak itu tidak ada. Apakah pergi ke rumah temannya? Apakah diambil bapaknya? Rasanya tidak mungkin. Arief saja tidak tahu keberadaan dia sekarang ada dimana. Mustahil mantan suaminya tahu. Pasti di rumah teman. Jannah pun bergegas keluar rumah sambil memanggil-manggil nama anaknya.

Perumahan tempat Jannah tinggal itu tidak banyak tetangga. Rumahnya renggang-renggang, itu yang menyebabkan dia cukup nyaman, karena jauh dari gunjingan orang, terlebih Thalib sering singgah untuk memberi dia “jatah”. Jannah memperhatikan terdengar suara anak kecil tertawa. Sudah pasti itu suara Khalil. Rupanya anak itu tak jauh dari rumah, berada di pekarangan kosong yang ditumbuhi rumput yang cukup subur.

“Khalil?” panggil Jannah.

Dari kejauhan, tampak Khalil berjongkok membelakanginya. Jannah tentu saja penasaran sedang bermain apa anak itu. Namun, ada sesuatu yang aneh. Tangan Khalil sedang membawa sesuatu dan dipukul-pukulkannya ke tanah. Penasaran, Jannah pun mendekat. Saat itulah Jannah terkejut bukan main. Dia nyaris saja muntah saat itu juga.

Di hadapan bocah kecil itu ada beberapa ekor kucing yang sudah tidak berbentuk kepalanya dan badannya. Khalil memotong-motong dan mencacah badan kucing tersebut dengan pisau yang ada di tangan kanannya. Anehnya, anak itu senang dan sangat gembira, seperti mendapatkan mainan baru. Jannah segera menepis pisau itu lalu menggendong Khalil.

Khalil kebingungan dengan sikap ibunya. Baju Khalil bersimbah darah, bukan darahnya, melainkan darah bangkai kucing yang barusan dia bunuh dan mutilasi.

Berhari-hari Jannah ketakutan dan trauma. Dia ingin benar-benar pergi dari kehidupan Arief, tetapi anaknya juga sepertinya punya pengaruh buruk. Mimpi buruk ini tidak akan berakhir kalau dia tidak segera pergi dari Arief, ataupun anaknya. Dia sangat sedih, tetapi menyadari gen psikopat Arief menurun ke Khalil, membuatnya melepaskan Khalil.

===X FLASHBACK JANNAH DALAM MEMORI END X===

Sementara di tempat yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota...

Malam masih menyelimuti bumi. Sawah yang terlihat hijau asri saat matahari terbit kini menggelap dengan beberapa kunang-kunang berhamburan. Terlihat seorang perempuan berada di kamarnya memandang langit berbintang dari jendela kamar. Leli mengusap pipinya, sungguh dia telah terlena dengan sentuhan Arief. Membuatnya bingung.

Entah apa kemampuan Arief sampai setiap sentuhan yang dia berikan selalu membuat orang lain tak bisa melupakannya. Leli adalah salah satunya. Tak ada niat bagi Arief untuk merusak Leli, tetapi pengaruh dari tangan ajaibnya membuat Leli masih kepikiran sampai sekarang. Suaminya bahkan tidak pernah memberikan kehangatan seperti itu. Bagaimana dengan pernikahannya?

Leli kembali teringat dengan perjodohan itu. Dia anak sebatang kara yang diasuh di panti asuhan. Orang yang ada di rumah ini adalah orang tua angkatnya. Dari merekalah kemudian Leli kenal dengan Thalib lalu oleh kepala pondok dijodohkan. Sejak muda, dia selalu berusaha sendiri, mandiri dan tidak pernah meminta bantuan orang lain.

jilbab tobrut binal
LELI
Impian setiap wanita adalah mendapatkan suami yang baik. Thalib adalah seorang ustadz, dengan harapan bisa mengantarnya menuju ke rumah tangga sakinah mawahdah warohmah. Tidak muluk-muluk keinginan itu. Thalib benar-benar memberikan segala hal yang dia inginkan, kebutuhan materi dan batin sangat sempurna. Hanya saja, dia tidak menyangka suaminya bisa melakukan perselingkuhan itu.

Jujur Leli tidak punya tempat untuk pergi saat itu. Dia tak mau membebani orang tua angkatnya. Meskipun orang tua angkatnya itu tidak keberatan, tetapi tetap saja ada perasaan yang tidak enak. Ya, karena tidak ada pertalian darah di antara mereka. Itu yang membuat perasaan Leli sama sekali tidak nyaman.

Namun, hal itu ditepisnya. Dia ingin bisa membalas perbuatan Thalib yang sudah mengkhianati dan menghancurkan hidupnya. Kenyataan bahwa suaminya mata keranjang, telah membuat darah di dalam dirinya mendidih. Dia akan menanggung segala risiko yang terjadi. Rencana Arief sudah benar-benar matang dan dia yakin akan bisa memberikan Thalib pelajaran.

Leli memperhatikan ponselnya. Dia mainkan sesaat untuk melihat-lihat kontak. Ada satu kontak yang dia pandangi. Ragu untuk menelpon, ragu untuk menyapa dalam kata-kata chatting. Bingung, kenapa pria itu membuatnya dilema. Apa maksud dari sentuhannya? Suka? Atau bagaimana?

Lelah, Leli pun meletakkan ponselnya ke nakas. Dia membaringkan tubuhnya, hingga terlelap dalam buaian mimpi indah.

Mimpinya pun cukup aneh. Dia telanjang di hadapan Arief. Leli bingung, tetapi dia pasrah, terlebih ketika Arief mengenyot susunya dengan rakus, setelah itu keduanya saling mendesah saat kontol pria itu mengobok-obok vaginanya.

Mimpi itu pun diselesaikan dengan orgasme hebat yang membuatnya terbangun, karena terdengar suara adzan subuh. Leli meraba selakangannya, celana dalamnya cukup basah dengan lendir. Mau tak mau pagi itu dia awali dengan mandi junub.

Setelah mandi dan beribadah, kedua orang tua angkat Leli pergi ke pasar. Leli mempersiapkan kebutuhan anaknya, setelah itu membiarkan anaknya main atau lihat tv. Sebab, tidak ada kegiatan lain di desa yang sepi ini.

Leli juga masih sibuk membalasi chat, sebab dia juga kerja sebagai dropshiper bisnis online yang sudah ditekuninya selama ini. Itulah hal yang dilakukan Leli setiap hari. Dia sudah bertekad untuk tidak akan mengandalkan suaminya, hidup sendiri lebih baik baginya.

Kembali pikirannya dipenuhi oleh Arief, Arief, dan Arief. Kenapa pria itu kembali merasuki pikirannya? Padahal dia tahu memikirkan Arief saja sudah salah, apalagi sampai berharap.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Panggilan masuk dari Arief. Leli langsung cekatan mengangkatnya.

“Assalaamu’alaikum,” sapa Leli gercep.

“Wa’alaikumsalam. Ma’af, Mbak, kalau mengganggu,” kata Arief.

Siapa yang mengganggu. Justru sekarang hati Leli serasa berbunga-bunga. Dia juga bingung oleh sikapnya ini.

“Tidak kok. Malah senang sekali... .. eh, maksudku tidak menggangu.” ucap Leli keceplosan

“Saya hanya ingin menyampaikan kabar kalau Thalib sudah tidak punya kekuatan lagi. Tinggal menunggu waktu saja. Wina sudah saya taklukkan. Satu-satunya kekuatannya sekarang hanyalah dirinya sendiri. Mbak masih ingin ini berlanjut sesuai dengan kesepakatan kita bukan?”

Leli diam sejenak. Dia sebenarnya tak ingin membahas hal ini. Tapi apa boleh buat. Dia sudah komitmen.

“Iya, sesuai dengan kesepakatan. Aku ingin suamiku mendapatkan pelajaran.”

“Kalau begitu kita tinggal menunggu waktu saja hingga akta cerai mbak keluar. Sementara itu, apa mbak yakin Thalib tidak tahu tentang tempat tinggal mbak?”

“Jangan khawatir. Dia tidak akan berani datang kemari. Dia akan malu kalau kepala panti sampai mengetahui apa yang seebenarnya terjadi,” ujar Leli.

“Baiklah kalau begitu. Ini belum berakhir, Mbak. Sampai bom itu meledak dengan sendirinya,” kata Arief.

“Iya, terima kasih terus mengabariku tentang perkembangannya,” kata Leli.

“Iya, kalau ada perkembangan baru pasti aku kabari,” kata Arief.

“Boleh aku bertanya sesuatu?”

“Silakan.”

“Apa rencana Mas Arief setelah ini semua selesai?”

Arief berpikir sejenak. Dia juga tak tahu akan jawaban itu. “Entahlah, Mbak. Aku tidak punya rencana apapun selain meneruskan hidup dan merawat anakku.”

“Apa tidak ada rencana untuk mencarikan ibu baru buat anak Mas?” tanya Leli sambil tersenyum sendiri.

Arief terkekeh. “Ya, seharusnya saya punya rencana di situ. Memangnya kenapa Mbak?”

“Ah, enggak. Tanya aja,” ucap Leli sambil malu-malu kucing. Dia juga bingung akan perasaannya.

“Kenapa? Mbak mau menawarkan diri?”

“Iya. Eh... .bukan maksudku... .bukan begitu...,” ucap Leli gelagapan.

Arief tertawa.

Wajah Leli memerah. Dia juga kebingungan kenapa bisa seperti itu. Dia memejamkan mata karena malu, tetapi telepon masih dia tempelkan di telinganya.

“Nanti kita lihat saja ya Mbak. Kalau berjodoh ya kita akan dipertemukan nantinya,” ucap Arief.

“Mas, ada waktu luang?” tanya Leli tiba-tiba.

“Ada, kenapa?”

“Bisa ajak saya ke mall atau kemana gitu? Jujur aku stress akhir-akhir ini. Masalah suami, masalah Hafiz, bikin kepalaku pusing. Aku mungkin butuh refreshing.”

“Oke, kapan?”

“Kepinginnya besok.”

“Baiklah, mbak bawa anak juga?” tanya Arief

“Kalau Mas nggak keberatan.” balas Leli

“Tidak masalah.”

“Baiklah, besok ya.”

“Oke, besok aku jemput.”

Telepon itu pun diakhiri dengan perasaan berbunga Leli. Ini sungguh aneh. Dia sendiri bingung dengan kondisinya saat itu. Apakah karena nasib mereka sama? Ataukah karena komunikasi yang cukup sering sehingga membuat kedekatan itu tiba-tiba menimbulkan gejolak aneh? Leli bingung harus berbuat apa. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang akan terjadi esok?

===X=X===

Di kantor Arief..


Tidak ada yang lebih bahagia bagi Lista selain mendapatkan pekerjaan, apalagi di kantor orang yang sangat dia kagumi. Pagi itu Lista sudah berada di kantor Arief dengan pakaian rapi, kemeja hijau, jilbab warna senada dan rok warna hijau pula. Orang-orang kalau melihatnya jadi adem rasanya. Arief datang agak siang hari itu dan cukup takjub melihat Lista.

“Eh, Lista?” sapa Arief.

“Om,” jawab Lista.

“Oh, ya. Teman-teman kenalkan ya, ini pegawai baru kita Lista. Dia nanti yang akan menjadi admin,” ucap Arief.

Orang-orang di kantor pun mulai berkenalan dengan Lista. Arief lalu mengajari Lista tentang pekerjaan yang harus dia lakukan. Pembukuan-pembukuan dan catatan-catatan yang harus dia hafal. Lista cukup serius dalam memperhatikan apa yang diajarkan.

Hari pertama ini dia habiskan untuk mempelajari jobdesc yang dia berikan. Hari kedua dia juga masih berkutat untuk memperhatikan pembukuan, hari ketiga pekerjaannya mulai lancar dan dia mulai paham apa yang harus dia lakukan.

Gadis itu sama sekali tidak tahu-menahu persoalan yang sedang dihadapi Arief, atau apapun yang Arief lakukan. Di matanya, pria ini orang yang sempurna. Calon suami-able baginya. Sudah lama sebenarnya Lista menaruh hati kepada orang yang sudah menolongnya ini.

Sejak dari pertama Arief menolongnya, dia sudah menganggap sosok Arief adalah dewa bagi dirinya. Dan dia berjanji apapun yang diinginkan oleh Arief akan dia turuti, sayangnya Arief orangnya terlalu gentleman. Tidak pernah berpikiran atau berbuat macam-macam kepadanya. Hal itu makin membuatnya takjub dan menaruh hormat.

Sering di status WA dia memberikan puisi-puisi indahh seperti “Duhai matahariku, ingin rasanya aku bisa meraihmu, tapi aku takut tanganku melepuh karenamu. Apa pantas bumi menggapaimu?”

Tidak sedikit teman-temannya yang bertanya-tanya tentang statusnya itu. Memang status itu menggambarkan kalau Lista sedang kasmaran. Dan makin hari perasaan di dalam dadanya makin berkembang menjadi bangunan istana yang megah. Terkadang pula Arief mengantarnya pulang, terkadang juga mengajaknya makan siang. Meskipun, terkadang pula dia tahu kalau Arief pergi ke suatu tempat yang tidak dia ketahui.

“Lista, besok kayaknya aku tidak masuk,” ucap Arief, “minta tolong kalau ada yang mencari aku, katakan aku sedang ada urusan.”

“Oh, mau kemana, Pak?” tanya Lista.

“Ada urusan. Ada teman yang minta bantuan,” jawab Arief.

“B-baik pak,” kata Lista, “kalau bapak butuh bantuan aku bisa membantu.”

“Aku rasa tidak perlu, aku bisa mengatasinya sendiri,” kata Arief, “tapi, terima kasih lho. Kinerjamu bagus.”

Dipuji seperti itu, Lista pun melayang.

“Oh, ya. Kamu ada acara gak besok weekend?” tanya Arief.

Lista menggelengkan kepalanya. “Tidak ada, pak.”

“Mau jalan?” tanya Arief, “kayaknya ada film bagus deh di bioskop. Itu kalau kamu nggak keberatan dan free juga sih.”

“Eh?” Lista tentu saja mau. “M-mau mau... oke... bisa... saya free kok pak. Saya masih single.”

Arief tertawa, “Siapa pula yang nanyain kamu jomlo atau tidak.”

“Oh, eh. Hehehehe.” Lista tersipu-sipu.

“Ya sudah, sampai besok sabtu,” kata Arief.

Lista mengangguk. Entah apa yang terjadi besok sabtu. Di otaknya dia sudah membayangkan sesuatu yang tidak-tidak. Menonton bersama si pujaan hati.


===X=X===

Hari yang ditunggu oleh Leli pun tiba. Arief tiba dengan mobil SUV warna putih. Sebenarnya ini mobil perusahaan, tapi karena menganggur tak apalah dia pakai mobil tersebut. Leli sudah bersiap-siap dengan Hafiz menunggu kedatangan Arief. Begitu Arief datang, mereka pun segera naik ke mobil.

“Kita mau kemana?” tanya Leli.

“Mbak maunya kemana?” tanya balik Arief.

“Terserah deh, yang penting untuk refreshing,” jawab Leli.

“Aha.., mau outbond?” saran Arief

“Boleh.”

Akhirnya mereka pun pergi ke sebuah tempat wisata yang bisa ditempuh dengan dua setengah jam perjalanan. Tentunya, Leli sangat bahagia sekali diajak berpergian seperti ini. Di jalan pun mereka bicara banyak dan terkadang bercanda. Tidak ada kesedihan terpancar dari wajah Leli. Mereka juga mampir di salah satu toko swalayan untuk membeli snack dan minuman. Hari sudah menjelang siang saat mereka sampai di tempat wisata tersebut.

Tempat wisata itu merupakan tempat wisata yang lebih tepatnya adalah sebuah hutan cagar alam yang dilindungi. Di tempat itu mereka bisa melihat berbagai macam flora dan fauna. Hafiz juga senang bisa melihat hewan-hewan dan ikut memberi makan mereka. Tak lupa Arief mengajak Leli berfoto. Mereka seperti keluarga saja, tak ada yang curiga kalau mereka ini tidak punya ikatan apapun.

Setelah puas berkeliling, lalu perjalanan pun ditutup dengan memakan es krim. Mendung pun mulai bergulung-gulung menutupi langit, sehingga hujan pun turun dengan derasnya. Mau tak mau mereka harus berteduh di salah satu stand pujasera.

“Hujan badai,” ucap Arief sambil melihat langit dengan mendung yang cukup merata.

Hari itu masih jam 15.00 tapi mendung membuatnya seperti sudah hampir gelap.

Leli pun mulai khawatir. Tempat tinggalnya cukup jauh dari tempat wisata ini. Takutnya dia akan pulang kemalaman. Arief, melepaskan jaketnya lalu menutupkannya ke kepala Hafiz.

“Kita ke mobil saja yuk. Segera pulang!” kata Arief, “Hafiz hati-hati ya nanti jalannya.”

Tangan Arief langsung menggandeng Leli dan tangan satunya memayungi Hafiz dengan jaketnya. Leli mau-mau saja tangan lelaki yang bukan mahramnya itu menggandenganya untuk menuju ke parkiran, menembus derasnya hujan, lalu masuk ke dalam mobil.

Tentunya mereka basah kuyup, kecuali Hafiz. Arief dan Leli tertawa begitu mereka sampai di dalam mobil. Arief memperhatikan baju Leli yang basah, terlihat cetakan bra yang dikenakan Leli cukup jelas menonjol. Buah dada perempuan itu benar-benar ukuran ideal. Dada perempuan itu naik turun, matanya terpejam untuk mengatur napas. Arief, lalu melemparkan pandangannya ke arah lain, menghidupkan mesin dan bersiap untuk pulang.

Selama perjalanan tentu saja Leli menggigil, karena bajunya basah. Arief pun mematikan AC agar Leli tidak kedinginan. Karena kita berada di negara Indonesia, maka tidak ada pemanas di dalam mobil. Selama perjalanan ternyata hujan masih belum berhenti dan sialnya jalanan macet karena ada pohon tumbang dan jalanan longsor.

“Waduh, gimana dong?” tanya Leli dengan bibir menggigil.

“Kita cari penginapan?” tanya Arief.

“Ehm... gimana ya...” Leli tampak kebingungan.

Dia menoleh ke kursi belakang. Dia melihat anaknya sudah tertidur. Agak kasihan, mana dia tidak membawa baju ganti, basah-basahan pula karena hujan.

Pandangan Leli kembali mengarah ke Arief. Lucunya, ternyata Arief juga tadi menoleh ke Hafiz dan kini kedua wajah mereka saling berhadapan. Jarak keduanya cukup dekat. Dalam kondisi ini, sebenarnya Leli menginginkan sentuhan tangan Arief. Dia memang sudah dalam keadaan yang tidak bisa dihindari lagi.

Hari ini batinnya terpuaskan dengan perhatian dari pria ini. Jiwanya dilengkapi dengan sosok pria yang sangat dia harapkan bisa menggantikan Thalib. Dia tak begitu mengenal Arief, tetapi dia sangat yakin Arief adalah pria yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Dan pria yang bertanggung jawab sudah cukup untuk hatinya luluh.

Tak terasa tangan Arief sudah sampai di pipinya lagi. Kedua mata Leli terpejam. Tangannya menggapai tangan Arief agar jangan sampai pergi dari tempat itu. Leli terkejut ketika Arief cukup berani menempelkan bibirnya.

Kedua bibir bertemu dan mata Leli setengah terbuka. Arief mengecupnya. Satu kecupan. Dua kecupan. Tiga kecupan. Wajah pria itu miring, dan lidahnya mulai masuk ke dalam mulut istri ustadz tersebut. Keduanya pun saling memagut, melamut dan mengisap lidah satu sama lain. Napas Leli memburu, dia tahu ini salah, tapi dia sangat menginginkannya.

Sejurus kemudian Arief menghentikan ciuman itu. Menjauhkan wajahnya. Leli juga. Mereka kembali ke posisi masing-masing. Jantung mereka berdebar-debar. Yang dilakukan oleh Arief adalah segera memutar mobilnya mencari penginapan.

Tak susah mencari penginapan. Mereka langsung menemukannya dalam waktu sepuluh menit. Seolah-olah semesta waktu itu mendukung rencana mereka. Check-in juga sangat mudah dan kamar pun sudah didapatkan.

Leli masih menggendong Hafiz yang tertidur. Mereka sengaja memilih kamar double bed. Sehingga bisa menidurkan Hafiz di ranjang satunya. Tidak banyak bicara antara keduanya. Kebisuan yang dibalut dengan bahasa tubuh.

Hafiz diletakkan di atas ranjang dan diberi selimut. Arief dan Leli memperhatikan anak itu sambil tersenyum, seolah-olah anak kecil itu adalah buah hati mereka. Tanpa bicara, Leli memperhatikan Arief, lalu memulai menciumi pria itu.

“Mbak yakin?” tanya Arief.

“Entahlah, tapi aku sangat ingin sekali sekarang ini,” jawab Leli.

“Aku sudah mencintai orang lain, mbak juga masih belum resmi bercerai. Kita sama saja dengan berzina,” kata Arief, “mbak kan seorang wanita yang ta’at agama.”

“Aku tak tahu kenapa aku selalu memikirkanmu, Mas. Aku tak bisa membohongi diri kalau aku sekarang ini sedang butuh, mas juga memancingku. Biarlah apa yang terjadi saat ini terjadilah. Kalau sudah ada yang mengisi hatimu, aku rela jadi yang kedua. Saat ini, aku hanya inginkan kamu, Mas.”

“Aku tidak akan mundur,” ucap Arief.

Kedua tangan Arief langsung beraksi. Tangan kiri menarik pantat Leli hingga kedua badan mereka menempel. Tangan kiri meremas buah dada Leli yang masih terbungkus pakaian. Dan bibir mereka kembali bersatu.

“Ahhhh... .ehhmm...,” lenguh Leli keenakan saat buah dadanya diremas-remas.

Mungkin karena suaminya sudah beberapa bulan ini tidak pernah menyentuhnya, sehingga sentuhan Arief terasa seperti nostalgia.

“Kau mau ngentot denganku?” bisik Arief di telinga Leli.

“Iya, Mas. Aku mau,” jawab Leli.

Tangan Arief mulai beraksi lagi, melepaskan satu persatu kancing baju perempuan itu, menanggalkan baju dan roknya. Sehingga kini hanya seorang perempuan memakai kerudung dengan BH dan celana dalam. Tubuh Leli sangat seksi, biarpun sudah memiliki anak. Ada memang lipatan lemak, tapi tidak menutupi kecantikannya.

Leli juga membantu Arief melepaskan bajunya, hingga pria itu sekarang hanya memakai boxer dengan bagian selangkangan yang sudah mengeras.

Mata Arief sangat terpuaskan dengan tubuh Leli yang seksi dia pun mulai mengusap-usap punggung perempuan itu, menggiring Leli ambruk ke tempat tidur yang kosong. Tanpa dirasakan oleh Leli, Arief ternyata sudah melepaskan BH putihnya. Buah dada sempurna, pikir Arief.

Tangan kanan Arief bergerak nakal mengusap bagian bawah payudara Leli, lalu mempermainkannya dengan pijatan-pijatan lemput, setelah itu jempolnya mengusap pentil coklatnya. Perempuan itu memejamkan matanya, meresapi kegelian dan ransangan yang diberikan oleh lawan mainnya. Arief mulai memainkan lidahnya di pentil satunya. Jilatan-jilatan nakal, diiringi dengan sedotan-sedotan kuat, membuat Leli serasa melayang melayani bayi raksasa yang kini menyusu kepadanya.

Tiba-tiba aktivitas Arief berhenti. Leli membuka matanya. Dilihatnya ternyata Arief mulai meloloskan celana dalamnya. Boxer yang dipakai Arief juga dilepas. Mata Leli tak bisa berpindah dari daging keras panjang tersebut. Bulunya sedikit, sedangkan punya Leli gundul dan bersih. Memang beberapa hari yang lalu dia baru saja mencukurnya.

Mata Arief langsung melihat belahan daging di selakangan ibu satu anak ini. Dia seperti melihat mangsa baru.

“Indah sekali,” puji Arief, “suamimu orang yang bodoh.”

Leli memejamkan matanya, seolah tahu apa yang akan dilakukan oleh Arief. Arief langsung mencaplok organ kewanitaannya, memainkan lidah dan bibirnya. Menyedoti cairan yang keluar akibat rangsangan-rangsangan Arief.

“Aahhhh... .ehhmm... Masss... .aduduuh... .aahhh... .geliii,” lenguh Leli.

Tentu saja hal itu tak dipedulikan oleh Arief. Dia mendapatkan mainan baru. Lidahnya benar-benar menyusuri bibir memek perempuan berkerudung ini. Leli merasa kotor saat itu, sebab ada seorang yang bukan mahramnya menikmati kesucian yang harusnya dia jaga, tetapi dia juga menginginkannya. Kedua pahanya mulai menjepit kepala Arief dan kedua tangannya meremas kepala Arief. Badan Leli melengkung hingga pertahanannya pun jebol.

“Aahhh... .. nyampeee... .ahhh... massss!”

Arief menghentikan aktivitasnya, membiarkan Leli mengejat-ngejat menikmati orgasmenya. Perlahan-lahan Arief baranjak ke kepala Leli. Menyodorkan kontol kerasnya ke mulut Leli. Perempuan itu sudah tak perlu diajari lagi caranya untuk blowjob.

Beberapa detik kemudian mulutnya sudah penuh dengan kontol perkasa itu. Lidah Leli kini gantian menggelitiki kepala kontol Arief, sedangkan jemari Arief meremas-remas buah dadanya.

“Ahh,... enak mbak. Mbak jago banget nyepong. Susu mbak juga sangat menggairahkan. Heran aku, kenapa suami mbak malah suka istri orang,” puji Arief.

Leli menatap mata Arief. Kedua mata mereka seperti memberikan isyarat kalau keduanya sama-sama menginginkan hal ini. Arief tak mau berlama-lama disepong. Dia segera turun ke bawah dan menindih perempuan ini.

“Sudah siap?” tanya Arief.

Leli mengangguk. Sorot matanya sudah berbeda. Sorot mata sange yang ingin dituntaskan birahinya. Arief menggesek-gesekkan kepala kontolnya di bibir memek Leli.

“Aku ingin keluar di dalam,” kata Arief, “tak apa-apa?”

Leli mengangguk. Dia sama sekali tak menolak semburan sperma Arief. Dia sangat menginginkannya, walaupun risikonya adalah hamil. Dia lebih ingin hamil dari lelaki ini daripada hamil dari suaminya.

“Aku ingin punya anak darimu,” kata Leli.

“Kenapa?” tanya Arief.

“Aku cinta kamu, Mas,” jawab Leli dengan hati yang jujur.

“Bagaimana kalau aku tidak mencintaimu dan ini hanya hubungan one night stand?”

“Tak apa. Aku akan menerimanya.”

Perlahan-lahan kontol Arief mulai menerobos masuk. Memek Leli licin sekali, tetapi masih berasa mencengkeram.

Keduanya melenguh, “Aahhhhh!”

Memek Leli meremas-remas batang kontol Arief. Hal yang tidak pernah dia sangka bisa dia lakukan. Arief merem melek menerima remasan-remasan itu, dia pun mulai menggerakkan pinggulnya. Dia ingin saat itu menjadi saat yang paling berharga bagi Leli. Leli sudah kepincut dengannya dan mau tak mau dia harus membuat saat ini menjadi saat-saat yang spesial.

Setiap kali sodokan membuat payudara Leli memantul-mantul, Arief semakin bergairah. Dia menciumi bibir Leli, membiarkan kerudungnya tetap menempel di kepala Leli, sungguh pemandangan yang erotis. Kedua kaki Leli pun kini telah mengunci pinggang Arief. Kontol Arief benar-benar dibenamkan sampai penuh, hingga kedua telurnya menyentuh pantat perempuan ini.

“Ahh... Dalem banget, Mas.”

“Nikmat?”

“Iya... aku ingin begini terus.”

“Nanti Hafiz bangun gimana?”

Leli menoleh ke arah Hafiz. “Hafiz, maafin umimu ya nak. Umi nggak tahan, umi sedang berzina.. ahhh... uuhh.... mass... dalem banget.”

“Memekmu enak, meremas-remas kontolku.”

“Mas suka?”

“Iya.”

“Aku ingin jadi istri mas.”

“Aku ingin kau mengandung anakku.”

“Aku terima.”

Akhirnya Arief memacu agak cepat. Tubuh mereka benar-benar melekat, keringat pun sudah mencampur menjadi satu. AC di kamar itu tak akan mampu lagi mengalahkan bagaimana perpaduan panas kedua tubuh itu. Arief pun berganti gaya. Dia mencabut perlahan kontolnya, memutar tubuh Leli hingga menungging, lalu menyodoknya dari belakang.

Tidak tanggung-tanggung memang Arief mengentot seorang wanita muslimah ini. Dia hentakkan dengan kuat dan mantab pinggulnya, sehingga bunyi-bunyi erotis terdengar di kamar. Leli ingin menjerit, tetapi dia bungkam mulutnya agar anaknya tidak terbangung. Buah dadanya bergoyang-goyang, Arief pun menangkapnya dan meremasnya. Pantat beradu perut, kecipak suara cairan yang terus keluar dari memek Leli membuat semangat Arief untuk memompa perempuan ini.

Karena yang diinginkan Arief adalah menggarap Leli dengan berbagai gaya, maka dia kembali memutar tubuh Leli untuk miring.

Setelah itu Arief tekuk kaki Leli menyamping, kemudian dia duduk, menempatkan kontolnya di memek Leli lalu bergoyang lagi. Perempuan itu pasrah dengan gaya apapun yang diinginkan oleh lelaki pujaannya ini. Dia sendiri heran, sirep apa yang digunakan oleh Arief sampai dia takluk, bahkan sudah cukup lama Arief mengocok memeknya dengan kontol perkasanya, beberapa kali juga Leli harus orgasme.

Kini Arief menindih Leli. Tentu saja ini saat penghabisan. Leli sudah lemas, bahkan ia pasrah saja, melebarkan pahanya agar Arief mudah menggarapnya. Tangannya hanya merangkul leher Arief dengan lemas, bibirnya dicium oleh Arief dan dadanya dimain-mainkan. Arief mulai menuju garis finish, goyangannya makin cepat dan makin membuat Leli menuju klimaks.

Tubuh Leli melengkung saat Arief mengejang, penisnya berkedut-kedut memancarkan air mani, kental, hangat dan banyak. Mata Leli memutih. Ini orgasme terhebat yang belum pernah dia rasakan. Bahkan suaminya tak pernah memberikan orgasme sehebat ini. Dia mendekap Arief erat-erat, Arief pun begitu. Dia habiskan spermanya di rahim Leli hingga keduanya lemas dan ambruk.

Arief mengatur napas. Kontolnya baru loyo separuh. Dia hendak mencabutnya, tetapi Leli mencegahnya dengan menekan pinggang Arief dengan kedua tangannya.

“Jangan dulu!” pinta Leli.

Akhirnya, Arief membiarkan kontolnya tetap menancap hingga mengecil, keluar sendiri dari liang surgawi tersebut. Arief kemudiang berguling ke samping. Terlentang menatap langit-langit kamar, sambil tangannya menggenggam tangan Leli.

“Makasih,” ucap Leli.

“Tidak. Aku yang makasih,” kata Arief.

“Mas tahu kan apa yang kita lakukan ini?”

“Iya, kita berzina.”

“Iya. Mas menyesal?”

“Tidak.”

“Aku juga tidak.”

Mereka sudah dewasa. Mereka tahu risiko yang akan mereka hadapi. Dan mereka juga tahu, kalau mereka tidak akan pernah bisa lolos yang namanya seks.

Setelah istirahat beberapa menit, mereka pun mengulanginya lagi. Rasanya tak pernah puas Arief menggenjot tubuh Leli, Leli juga tak pernah puas ingin dientot oleh Arief. Kali ini Leli melepaskan kerudung saat melakukanya. Persetubuhan itu baru berhenti saat Hafiz mulai bangun. Itu pun Arief sudah muncrat tiga kali ke rahim Leli, bahkan saat Leli berdiri lendirnya pun menetes ke paha perempuan itu.

Jam tiga pagi Arief terbangun karena ingin kencing. Dia mendapati Leli duduk di ranjang sambil mengusap-usap kepala anaknya. Dia masih belum memakai baju. Arief melihat baju-baju mereka sudah dijemur di hanger. Sepertinya Leli tadi yang mengurus itu semua saat dia tidur.

Setelah kencingnya tuntas, Arief berbalik ke tempat tidur. Kini dia mendapati Leli sudah berada di ranjangnya. Arief lalu masuk ke dalam selimut masih dalam keadaan telanjang. Mereka berciuman sejenak lalu saling berpelukan. Leli menempelkan kepalanya di dada Arief. Buah dadanya ditekan ke tubuh Arief. Sengaja hal itu dilakukan karena nyaman menurutnya.

“Kok nggak tidur? Apa nggak bisa tidur?” tanya Arief.

“Kepikiran ini,” jawab Leli sambil menggenggam kontol Arief yang masih loyo.

“Kenapa emangnya? Mau lagi?” tanya Arief.

“Ih, maunya.”

“Kalau mau ayo aja, hehe” kata Arief.

Bersamaan dengan itu kontolnya mulai sedikit demi sedikit bangun.

Leli tertawa. “Ganas banget sih. Kata mas tubuhku seksi ya?”

“Iya, seksi kok. Bahkan aku bisa nambah kan tadi?”

Leli mendongak untuk mencium Arief. Setelah mengecup bibir lelaki itu, Leli kembali ke posisi semula. Perlahan-lahan dia kocok batang kontol Arief.

“Memangnya, Mas suka ama seseorang?” tanya Leli.

“Iya,” jawab Arief.

“Siapa namanya?”

“Lista Herliana.”

“Cantik?”

“Iya.”

“Masih gadis?”

“Iya.”

Leli menghela nafas. “Ah, pantas. Aku sudah turun mesin.”

“Tapi kamu masih menarik, kok,” puji Arief.

“Iya, tapi aku tidak bisa menggantikan dia di hati Mas.”

“Cinta tak bisa dipaksakan, Mbak.”

“Iya, aku tahu. Tapi aku ingin Mas. Ayah dan ibuku sudah tiada. Walaupun sekarang aku tinggal dengan orang tua angkatku, tetapi tetap saja aku sebatang kara sekarang ini. Ditambah suamiku berkhianat. Kemana lagi aku harus pergi?” kata Leli.

Dia pun terisak. Kocokan pada batang kontol Arief berhenti.

“Tak apa-apa kalau Mbak ikut aku. Tapi aku minta maaf tidak bisa membagi cintaku kepada orang lain,” kata Arief.

“Aku benci pada perempuan itu,” kata Leli.

“Jangan begitu dong. Kalau Mbak benci dia, mbak juga sama seperti membenciku.”

Leli membenamkan wajahnya ke dada Arief. “Please, biarkan aku dalam pelukan mas. Meskipun Mas punya tambatan hati. Izinkan aku juga dalam pelukan mas.”

“Aku takutnya ini hanya akan jadi nafsu belaka.” balas Arief

“Tak apa. Mas boleh pakai tubuhku kapanpun, asal jangan pergi. Aku tahu Mas Arief orang baik. Mas sayang ama keluarga. Aku juga. Aku tak mau hidup bersama pengkhianat seperti suamiku. Aku maunya Mas,” kata Leli sambil menangis.

“Kau tahu aku tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin aku bisa ngentot wanita lain di depan orang yang aku cintai?”

“Tak apa-apa. Aku akan bilang padanya nanti. Aku akan membujuknya nanti,” kata Leli.

“Iya kalau dia mau. Kalau tidak?”

Leli terdiam.

“Hidup ini relatistis. Aku tahu perasaan Mbak sekarang sedang kalut, bingung dan bimbang. Mbak melakukan ini karena butuh, karena mbak jarang dibelai,” kata Arief mencoba menghiburnya.

“Kalau mbak ingin ngentot ama aku, aku bisa dan siap kalau sedang mampu, tapi aku tidak mau memberikan cinta kepada mbak.” lanjut Arief

Leli sesenggukan. Tangisnya masih terdengar. “Aku bodoh ya... hiks... mengharapkan sesuatu dari hal yang tidak mungkin aku gapai.”

“Aku tak bisa, Mbak. Cintaku hanya untuk satu orang,” kata Arief.

Tangan Leli kembali mengocok batang Arief. Batang itu pun bangun.

Sebagai lelaki normal hal itu wajar. Terlebih lagi di atas tubuh Arief ada seorang perempuan seksi yang akan memberikan tubuhnya begitu saja kalau dia mau. Perempuan itu menghentikan kocokannya, kemudian dia bangun. Menempatkan selakangannya bertemu dengan selakangan Arief.

“Kalau begitu, aku akan bercinta terus denganmu sampai mas luluh,” kata Leli.

Tangan Leli menggapai batang kontol Arief, lalu menempatkannya di liang surgawi miliknya. Setelah itu ditekannya batang itu hingga masuk semua. Sejurus kemudian pinggulnya sudah meliuk-liuk di atas selakangan Arief.

“Ahhh... !” Lenguh keduanya.

“Enak kan?” tanya Leli, “aku bisa bikin mas keenakan lagi. Aku bisa bikin kantong mas kering.”

Arief menikmati goyangan Leli. Badan Leli yang masih bagus itu benar-benar bikin ngaceng. Arief pun mulai meremasi buah dada perempuan itu dan memilin-milin pentilnya. Tak lupa pinggulnya dia hentakkan ke atas beberapa kali, sehingga membuat Leli tersentak.

“Ahh... kok aku yang keenakan?” gumam Leli, “Mass... aduh... jangan dihentak gitu... aahhh... duuhh... duduh... enaaak... eehmm... ahhh... !”

Leli pun tak kuasa, hingga dia ambruk, sementara itu pinggulnya terus bergerak naik turun. Batang kontol Arief yang sudah becek terkena lendir dari Leli makin mengeras. Arief mengalihkan tangannya untuk meremas-remas pantat Leli yang bahenol. Dia tekan kuat-kuat pantat itu bersamaan dengan orgasme yang datang kepada Leli.

“Ampppuuunn... nikmat sekali... Ah,... kenapa baru kali ini aku bercinta seperti ini. Kenapa suamiku tak bisa melakukannya?” tanya Leli.

Perempuan itu kelelahan. Dia berusaha mengatur napasnya, sampai Arief kembali bergoyang. Dia menggerakkan pinggulnya dengan cepat. Leli sudah lemas. Dia membiarkan perbuatan Arief itu, hingga Arief mengerang menyemprotkan lagi benih-benihnya ke rahim Leli.

“Aku cinta ama Mas,” kata Leli sambil menciumi Arief.

Arief tak menjawab.

Keduanya lelah, lalu tertidur hingga sinar matahari membangunkan mereka.

===X=X===

Sudah sebulan ini Thalib tidak melihat Leli di rumah. Ada penyesalan di dalam dirinya. Kenapa dia tidak bisa menahan diri dulu untuk tidak mencabuli Azizah yang menyebabkan Leli cemburu.

Memang beberapa hari yang lalu mereka saling berkomunikasi lewat telepon, baik itu untuk menanyakan kabar atau ingin bicara dengan Hafiz. Namun, rasanya beda. Dia seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dia juga kehilangan Hafiz yang tiap hari selalu memanggilnya “Abi”.

Sedangkan Azizah terlihat merasa nyaman di rumah Thalib dan Thalib pun tak akan tidak menghiraukannya begitu saja. Tidak mungkin perempuan yang sudah digauli dan dijanjikan akan dinikahi dia usir begitu saja. Itu akan menurunkan martabatnya sebagai seorang ustadz, walaupun dia bisa dan mampu melakukannya.

Beberapa hari ini kondisi Thalib sedang tidak fit. Entah kenapa dia lemes banget, batuk kering yang sering dan demam beberapa hari. Sudah dia minum obat untuk menghilangkan itu. Mungkin hanya flu biasa.

Dan hampir sebulan ini pula dia belum menemui Jannah. Dia sudah rindu sekali ingin bisa bertemu dengan perempuan yang dia cintai. Mau bagaimana lagi, selain jadwal ngisi kajiannya padat. Dia juga harus mengurus beberapa hal seperti yayasan dan tentu saja bisnis esek-esek berkedok syari’ah milik keluarga Wina.

Demi mengobati rindunya, Thalib pun melakukan video call dengan Jannah.

“Assalaamu’alaikum, sayangku?”

“Walaikumsalam. Sayang, kok lama sih nggak pulang ke rumah. Udah kangen, nih. Sendirian itu nggak enak tauk,” ucap Jannah dengan manja.

“Yah, mau gimana lagi. Ada urusan yang harus aku selesaikan dulu, Sayang. Uhuk... uhuk... !” Thalib sedikit terbatuk-batuk.

“Eh, Sayangku sakit? Udah minum obat?” tanya Jannah khawatir.

“Udah. Makanya aku belum bisa ke sana. Kondisi tubuh sedang tidak fit. Padahal udah kangen,” kata Thalib tak kalah manjanya.

“Kangen apa?”

“Tahu dong, aku kangen apa.”

Jannah lalu membuka resleting gamisnya sambil memperlihatkan buah dadanya. Ternyata dia sengaja tidak memakai bra. Dua susu ranum pun terlihat di video call itu membuat Thalib, tentu saja ngaceng.

“Kangen ini ya?” goda Jannah.

“Tahu aja,” jawab Thalib.

Lalu Jannah mengarahkan kameranya ke bawah. Kakinya diangkat, lalu roknya diangkat pula sehingga memperlihatkan celana dalam Jannah berwarna putih.

“Atau kangen yang ini.” tanya Jannah

“Ah, kangen semuanya. Kepingin banget aku makan itu memek,” kata Thalib.

“Ih, dimakan. Emangnya apaan?”

“Kan itu kue apemku.”

“Ini bukan kue apem. Ini kue dorayaki. Kan warnanya coklat.”

“Iya, iya. Duh, jadi kangen beneran nih. Uhuk... uhuk...”

“Udah, mas istirahat aja dulu. Aku juga kangen kontol,” kata Jannah.

“Ketagihan ama kontolku kah?” goda Thalib sambil mengarahkan kameranya ke selakangannya.

“He-ehm, pengen lihat,” kata Jannah.

Thalib lalu membuka sarung dan celana dalamnya. Dia pun memperlihatkan batang kejantanannya yang mulai tegak.

“Udah kangen diemut yah?” goda Jannah.

“Iya, kepengen diemut atas dan bawah,” jawab Thalib.

“Mas pulihin kesehatan dulu gih, nanti kalau sudah sehat puas-puasin deh,” kata Jannah.

“Iya, sayang. Tapi kepengen lihat kamu colmek,” pinta Thalib.

“Ya udah,” ucap Jannah.

Dia pun mulai mengarahkan kamera ponsel ke selakangan. Dia melepaskan celana dalamnya, setelah itu dia letakkan ponsel menghadap ke arahnya, sehingga Thalib bisa melihat selingkuhannya itu duduk di atas kursi dengan gamis atas terbuka dan bawah terangkat. Jannah mulai beraksi.

Tangan kanan Jannah meremasi susunya, menggelitik pentilnya sendiri, sedangkan tangan kirinya mulai mengusap-usap klitorisnya.

“Ohhh, mass. Kangen disedot susuku, kangen dijilat.”

Thalib pun tak kalah, dia juga mengocok penisnya.

“Iya, Sayang. Aku kangen juga.”

Keduanya saling memperlihatkan alat kelamin mereka saat video call.

Sementara itu Azizah menguping pembicaraan keduanya, setelah itu tersenyum penuh kemenangan. Pagi itu dia merasa misinya berhasil. Tinggal satu hal lagi, setelah Thalib mengetahui kalau dia tertular virus, dia akan pergi.

Azizah tak pernah menyangka secepat ini tertular efeknya. Mungkin karena hampir tiap hari dia digarap oleh Thalib, apalagi Thalib tidak makan atau minum vitamin. Sehingga antibodi ustadz cabul itu menurun.

Kondisi Thalib makin hari makin menurun. Batuknya makin sering dan tiap malam berkeringat. Demamnya juga sudah tiga hari tidak sembuh. Akhirnya, mau tak mau dia pergi ke dokter. Setelah beristirahat dan minum obat dari dokter, sakitnya masih belum kunjung sembuh, sedangkan acaranya untuk mengisi kajian juga masih padat.

Biarpun dia sakit, tetap saja dia sange. Malam hari masih ingin juga dipuaskan oleh Azizah. Azizah pun dengan sukarela melakukannya.

Dikarenakan sudah sebulan ini tidak mengkonsumsi ARV tubuh Azizah juga mulai lemah. Kondisinya mirip seperti kondisi yang dialami oleh Thalib. Thalib merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Dia merasa Azizah ketularan sakit yang dia derita, oleh karena itu dia berencana ingin pergi ke dokter untuk full check-up. Namun, pagi itu dia dikejutkan oleh sesuatu.

Sepucuk surat beramplop kuning dengan KOP Pengadilan Agama diantarkan oleh Tukang Pos. Bisa ditebak isinya adalah gugatan cerai oleh Leli. Thalib sudah berusaha sekuat tenaga untuk bisa membujuk Leli, tetapi rasanya sudah tidak bisa lagi.

Dia juga bingung harus bagaimana, terlebih kondisinya sedang lemah. Untuk sesaat dia tidak begitu menghiraukan surat itu. Toh kalau misalnya Leli ingin berpisah darinya, maka dirinya tidak perlu menghadiri undangan dari Pengadilan Agama tersebut. Jahat? Ini tidak jahat. Namun, Thalib tahu tabiat istrinya. Leli tidak akan memaafkan perilakunya, terlebih sudah beberapa kali dia mengkhianati sang Istri, tetapi sang Istri tetap sabar.

cerita ngewe crot
AZIZAH
Di rumah sakit, Thalib menunggu hasil test lab. Demikian juga Azizah yang menemaninya. Setelah lama menunggu, akhirnya dokter pun memanggil keduanya ke dalam ruangan. Dokter yang menangani mereka adalah dokter Imran.

“Silakan duduk, ustadz,” ucap dokter dengan sopan. Sebab, dokter ini juga sudah tahu kapasitas Thalib sebagai ustadz.

Thalib duduk dengan tenang. Dia berharap sakitnya hanya sakit biasa. Sudah sejak pagi mereka antri cek darah dan inilah hasil yang ditunggu. Namun, dari raut wajah dokter yang ada di hadapannya ini, sepertinya ini bukan hal yang baik.

“Bagaimana, dok?” tanya Thalib.

“Ustadz percaya kepada saya?” tanya dokter.

“Iya, selama ini saya selalu minta pendapat ke dokter. Makanya saya datang ke rumah sakit untuk menemui dokter,” jawab Thalib.

“Tapi mohon maaf, sebelumnya. Ibu ini siapa kalau boleh tahu?”

“Oh, dia calon istri saya,” jawab Thalib.

Azizah hanya mengangguk sambil menunduk. Dia tidak berani memperlihatkan wajahnya kepada dokter. Dokter pun mengangguk-angguk. Di tangan dokter Imran ada selembar kertas yang akan jadi hal yang berat bagi Thalib.

“Saya sebelumnya mohon maaf. Ustadz, kita fair saja ya. Ustadz pernah jajan di luar?” tanya dokter.

“Maksud dokter?”

“Iya, ustadz paham maksud saya,” jawab dokter dengan datar.

Thalib langsung mengerti arah pertanyaan dokter itu kemana.

“Serius, dok?” tanya Thalib dengan wajah terkejut.

“Makanya saya perlu tanya.”

Thalib tidak akan mengelak kalau dia pernah ngentot dengan lebih dari satu wanita. Terlebih lagi setiap kali dia menemui Wina. Terkadang dia harus mencoba gadis-gadis perawan atau janda-janda yang butuh duit sebelum dijual oleh mucikari. Namun, Thalib yakin sekali kalau para wanita itu sudah dicek kesehatannya. Dia tak pernah jajan. Lalu, siapa? Azizah? Thalib menoleh kepada Azizah.

“Saya tak pernah jajan,” ucap Thalib tegas.

Dokter Imran pun menatap Azizah.

“Ibu Azizah, apa ibu pernah berhubungan badan dengan lelaki lain atau memakai jarum suntik?”

“Jujur saya bukan orang yang memakai jarum suntik, tetapi kalau soal ranjang, selama ini saya hanya dengan ustadz saja melakukannya,” kata Azizah polos.

Dokter Irman menoleh ke arah Thalib. Pandangannya menyelidik. “Ustadz, ustadz harus jujur kepada saya. Ini juga untuk mengetahui sumber penyakit ini darimana.”

Thalib langsung merebut kertas yang ada di tangan dokter Imran. Dengan cepat Thalib membaca kertas itu dan di sana tertulis sesuatu yang membuatnya terkejut. Dia positif tertular HIV.

“Apa?” Thalib terkejut, “ini tidak mungkin. Bagaimana bisa?”

Azizah pura-pura terkejut saat juga membaca kertas satunya yang memberitahu hasil checkup. Dia pun histeris sambil memegangi kepalanya.

“Tidaak! Tidak! Tidak! Ustadz, katakan ini bohong! Selama ini aku hanya main dengan ustadz saja, tak kusangka!” jerit Azizah sambil menangis.

Tangan Thalib langsung menutupi dahinya. Dia tak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi. Satu-satunya yang bisa memberi penjelasan adalah Wina. Pasti ada laporan kesehatan dari wanita-wanita yang dia jual itu palsu. Siapa?

Azizah bagi Thalib terlihat terlalu meyakinkan kalau dia baru tahu. Jadinya dia tidak begitu curiga kepada Azizah. Wina memang bisa saja memalsukan laporan kesehatan dari para wanita itu, lalu apa yang sebenarnya terjadi?

“Ini tidak mungkin,” gumam Thalib. Dan dia menyadari hidupnya makin kacau.

==skip==


Setelah pulang dari rumah sakit. Thalib menyuruh Azizah untuk tidak keluar rumah dan merahasiakan hal itu dari siapapun. Langkah selanjutnya yang ditempuh Thalib adalah mengkonfrontasi Wina. Hari itu juga dia menemui Wina. Seperti biasa, dia masuk tanpa permisi dan langsung membanting pintu.

Perempuan cantik dan judes itu terlihat santai di sofa sambil menghisap rokoknya. Hari itu Wina hanya memakai tanktop dan hotpants. Melihat Thalib datang Wina tak menghiraukannya. Ustadz tersebut langsung melemparkan laporan kesehatannya ke Wina. Perempuan itu lalu membaca lembaran tersebut.

“Katakan yang jujur. Ada salah satu wanita itu yang tertular HIV!” desak Thalib.

Wina cukup tenang, dia meletakkan rokoknya di asbak sambil masih membaca lembaran laporan kesehatan milik Thalib.

“Win, bicara lah!” desak Thalib.

“Kau ini, datang-datang berisik, marah-marah nggak jelas. Apa urusannya denganku? Mau kau tertular HIV kek, atau tidak kek, bukan urusanku. Eh, jadi urusanku, dong. Aku nggak mau ngentot ama kamu lagi. Udah tertular gitu.”

“Heh, brengsek! Itu juga karena kamu. Pasti wanita-wanita itu ada yang tertular virus itu. Kau sengaja memalsukan data kesehatan mereka bukan?”

“Kau punya bukti kalau aku memalsukannya?”

“Itu, laporan kesehatan itu?” ucap Thalib sambil menunjuk.

“Hei, Pukon! Bisa saja ini dokter bohongin kamu. Selama ini memangnya aku pernah bohongin kamu? Duit juga aku kasih, kamu bisa seterkenal sekarang ini juga karena aku. Ustadz kondang, ustadz muda yang lemah lembut santun kepada siapapun. Siapa yang promosiin kamu? AKU! Wanita-wanita itu juga sudah dicek kesehatannya. KONTOL kau sendiri yang kegatelan mungkin, ngewe sembarangan!” cercah Wina

“Tidak mungkin. Azizah saja baru mengetahui keadaannya. Dia sampai menangis mengetahui kalau tertular dariku.”

“Hah? Hahaha...” Wina tertawa sampai memegang perutnya.

Thalib kebingungan dengan tawa itu. “Ini tidak lucu, Win!”

“Ya jelas lucu, kau bisa percaya dengan wanita yang baru kau kenal. Aku yang bertahun-tahun kau kenal, yang bahkan perawanku kau ambil tidak kau percaya? Benar-benar TOLOL! Makanya KONTOL itu dipelihara biar nggak ngacengan, ngewe di sembarang memek. Sudah istri orang kau embat, sekarang orang yang kena HIV juga kau embat. Dasar Ustadz KONTOL!” kata Wina.

“Asal kau tahu saja, aku kalau ngambil barang itu kualitasnya harus bagus dan bersih. Sekarang kalau tahu KONTOL kau sudah busuk, ya aku nggak akan mau lagi pake kau. Pergi sana! Aku sudah nggak butuh kau lagi. Makan tuh HIV! hahaha.. Ustadz GOBLOKK..!!” lanjut Wina dengan nada mengejek

Wina melempar kertas laporan kesehatan tersebut.

“Maksudmu?” tanya Thalib.

“Aku sudah nggak butuh kau lagi.”

“Tidak butuh aku lagi?”

“Tidak butuh ya tidak butuh! Aku anggap kau sudah tidak berguna lagi,” ucap Wina sambil tersenyum sinis.

“Apa?” tiba-tiba Thalib menerjang Wina lalu mencekiknya.

“Apa? Apa? Kau berani mencekikku? Kau mau papaku menghabisi kau dan keluargamu? Hah?” ancam Wina, Thalib lebih kencang mencekik Wina.

Wina berusaha melepaskan diri. “B-bajingan... anj... njiiing... uhuk... aahhkk!”

“Seenaknya kau melakukan ini. Brengsek! Lalu yang aku lakukan selama ini buatmu apa, hah?”

“Aku hanya... ing-...in kont...tol... uhhkk... aahkk!” mata Wina mulai berair seiring kencangnya Thalib mencekiknya.

“B-bunuh... aja... dasar kontol kecil! Kontol lemes! Jyancuk! Papaku akan benar-benar menghabisi keluargamu... tubuhmu... akan dimutilasi... bapakmu... akan dicacah... dikasih makan... ke babi...” kata-kata Wina terputus-putus

Sadar kalau usahanya mencekik Wina sia-sia, Thalib melepaskan perempuan itu. Wina terbatuk-batuk dan meludah. Perempuan itu tertawa melihat kebingungan Thalib.

“Sudah pergi sana! Hajar saja perempuan yang toketnya bagus itu. Kau sudah bebas, tidak perlu datang ke sini lagi!” kata Wina sambil tertawa.

Frustasi, Thalib segera menghubungi Azizah dengan ponselnya untuk meminta kejelasan. Bingung, Thalib pun segera keluar dari rumah Wina. Apa yang dikatakan Wina ada benarnya. Biarpun Wina bertingkah seperti itu, tidak mungkin dia berbohong.

Tapi panggilan telfonnya tidak diangkat oleh Azizah.

Beribu-ribu pertanyaan hinggap di kepala Thalib, semuanya berputar-putar kepada Azizah. Siapa Azizah? Padahal dia sudah mencari tahu latar belakang perempuan itu, tetapi sepertinya ada yang tidak benar. Thalib pun meninggalkan rumah Wina untuk mengkonfrontasi Azizah di rumah.

Namun, di rumah Kosong. Tidak ada Azizah, bahkan barang-barang Azizah pun tidak ada. Thalib makin frustasi. Perempuan itu tidak bisa dihubungi dan tidak tahu keberadaannya. Akhirnya Thalib menelpon seseorang.

“Halo?” terdengar suara di telepon.

“Aku ingin kau cari dimana Azizah,” jawab Thalib.

“Lho, ada apa Pak Ustadz? Bukannya dia di rumah?”

“Aku tidak tahu dia ada dimana. Aku hanya ingin dia kau temukan dan sekap. Jangan kau apa-apakan dia! Aku mau menginterogasinya!” perintah Thalib.

“Beres ustadz,” ucap orang itu mengakhiri pembicaraan.

Rumah dalam keadaan sepi. Tidak ada Leli, tidak ada anaknya. Thalib kini sendirian dengan kenyataan dirinya tertular HIV/AIDS. Dia pun langsung menyimpulkan ini pasti dari Azizah.

Setiap perempuan yang digarapnya dari Wina pasti sudah dicek kesehatannya. Thalib kebobolan. Azizah bisa lolos karena tidak dalam pengawasan Wina. Apakah ada orang di balik ini yang menyuruh Azizah?

Nama-nama orang yang pernah menjadi musuhnya pun berputar-putar di dalam otaknya. Dia cari satu per-satu nama hingga akhirnya terbesit satu nama. Arief, mantan suami Jannah. Tidak mungkin, pikir Thalib. Kemungkinannya kecil kalau Arief memang yang merencanakan ini semua. Terlebih lagi bagaimana Arief bisa kenal Azizah?

“Bisa jadi! Itu bisa saja terjadi!” kata Thalib dalam hati.

Itu bukan hal yang mustahil. Arief berusaha membalaskan dendamnya dengan cara ini. Pertanyaannya adalah bagaimana Arief bisa mengenal Azizah. Thalib mengambil kemungkinan terburuk ini, sebab dia sama sekali tidak pernah memantau gerak-gerik mantan suami Jannah itu.

Dengan cepat diraih ponselnya lalu menelpon Wina.

“Halo, Win!?” sapa Thalib.

“Ada apa? Sudah kamu tanyain apa perempuan itu?” tanya Wina di telepon.

“Ini kayaknya kerjaan mantan suaminya Jannah. Aku tidak tahu mengapa tapi feelingku kuat. Dia pasti ingin balas dendam kepadaku,” jawab Thalib.

“Oh, bagus. Sikat aja dia,” kata Wina, “itu bukan urusanku.”

“Tapi aku butuh bantuanmu.”

“Oke, oke. Tapi ini untuk yang terakhir, setelah ini kau sendirian. Hutangmu sudah lunas,” kata Wina.

“Serius?” tanya Thalib, “kenapa tiba-tiba?”

“Itu urusanku. Yang jelas aku sekarang punya mainan baru,” kata Wina.

“Maksud kamu?”

“Obviously! Kamu kena AIDS! Aku tidak mau kentu ama orang yang kena AIDS. Enak saja,” ujar Wina.

Thalib tak bisa membantahnya. Benar apa kata Wina. Thalib tahu suatu hari hal ini akan terjadi. Di satu pihak dia bersyukur bisa lepas dari bayang-bayang pelacur itu, di satu pihak dia merasa direndahkan. Tidak apa-apa.

Daripada tidak memenuhi keinginannya, lalu keluarganya celaka. Memang untuk bisa lepas dari jerat perempuan itu hanya ada dua caranya. Wina mati atau dia yang mati. Namun, Tuhan berkata lain dengan memberinya penyakit yang membuat Wina jijik.

Tubuh Thalib mencari kursi setelah itu dia duduk. Ruang tamunya yang luas pun menjadi sempit. Perasaannya sedang kacau, pikirannya seperti dihantam palu besar, sehingga dia tak bisa lagi berpikir jernih. Namun, yang pasti bibirnya komat-kamit mengucapkan kata-kata “alhamdulillah” berulang kali.

Ada alasan kenapa Thalib selama ini takluk kepada Wina. Dia tak mau menyakiti orang tuanya. Orang tuanya seorang kyai yang disegani, kalau sampai tersiar kabar yang aneh-aneh tentang dirinya. Semuanya akan menyakiti orang tuanya.

Memang benar dia adalah hasil dari dosa orang tuanya, tetapi bukan berarti ayahnya tidak menyayanginya. Thalib tahu setiap bulan Pak Lutfi menjenguknya di panti asuhan adalah karena menyayanginya.

Awalnya dia tidak tahu alasan tersebut sampai akhirnya Pak Lutfi menceritakan semua. Sekarang, dia ingin membalas jasa orang tuanya. Dia juga ingin mendapatkan cintanya kembali dan tentu saja kalau ini semua perbuatan Arief, dia akan menenggelamkan Arief ke dalam bumi.

===X=X===

cerita sex viral AI
LISTA
Sebulan yang lalu..

Sebulan yang lalu, sebelum Thalib mengetahui tentang tertularnya dia. Ada cerita romantis yang terjadi antara Arief dan Lista. Sebagaimana yang diketahui keduanya sama-sama menyukai walaupun Lista bingung untuk mengutarakannya. Berada di dekat Arief saja sudah merasa nyaman. Namun, kejutan dia terima pada siang hari saat makan siang.

“Pak Arief, saya jadi nggak enak lho,” ucap Lista saat menerima sebuah kado dari Arief.

Arief mengajaknya makan di sebuah rumah makan kecil yang tak jauh dari kantor. Kado itu kecil, Lista menebak isinya ponsel, ya karena ukurannya sebesar itu.

“Apa ini isinya?” tanya Lista, “tapi perasaan ulang tahun saya masih lama, deh.”

“Sudah, buka saja!” ucap Arief.

Lista yang menghentikan makannya pun segera membuka bingkisan tersebut. Dan setelah kertas kado dibuka memang benar. Ada kardus ponsel, tetapi ada yang aneh dengan kardus tersebut. Tidak terlalu berat untuk ukuran ponsel.

“Ponsel?” tanya Lista.

Arief tidak menjawab dan masih melihat ekspresi yang terpancar dari wajah Lista. Perlahan-lahan Lista membuka kardusnya. Dia pun terkejut, sebab apa yang ada di dalam kardus tersebut di luar dugaan. Lista melihat sebuah cincin emas dengan batu berlian yang cukup indah. Wajahnya terperangah, bibirnya ternganga seakan-akan tak percaya. Untuk sejenak dia blank. Bingung. Heran.

“P-pak, ini kan... ”

“Lista, kau mau jadi istriku?” tanya Arief.

Lelaki itu kemudian berdiri dari tempat duduknya, pindah berdiri di samping Lista.

Dalam bayangan Lista saat itu ada tank masuk ke dalam restoran menghancurkan tembok restoran sehingga membuat para pengunjungnya kocar-kacor, lalu moncong meriamnya menghadap ke arah mereka. Dan dalam hitungan detik keluar pokemon-pokemon lucu dari meriam itu. Jantung Lista nyaris copot.

Dia tak percaya. Mimpi apa dia semalam sampai tiba-tiba orang yang selama ini dia idam-idamkan melamarnya?

Ini bukan soal mau atau tidak. Ini soal bagaimana menjawabnya, sebab bibir Lista seperti tertahan untuk berkata-kata. Syarafnya seperti terhenti begitu saja.

“Aku anggap itu iya,” ucap Arief.

“Pak Arief, serius?” akhirnya Lista bisa berbicara.

“Kamu nggak mau?” tanya Arief.

“Mau! Mau mau!” ucap Lista dengan segera dia berdiri memeluk atasannya.

Begitulah. Hari itu adalah hari bahaagia bagi Lista. Dilamar orang yang dia cintai. Perasaan yang selama ini dipendam pun akhirnya terbayarkan. Selepas itu tentu saja Arief dan Lista izin untuk pergi menemui orang tua Lista.

Arief yang sudah kenal dengan kedua orang tua Lista tentunya tidak butuh waktu lama untuk dilancarkannya urusan lamaran. Kedua orang tua Lista setuju.

Mereka pun sudah tahu latar belakang Arief sebagai seorang duda beranak satu. Punya usaha sendiri, terlihat baik dan tampan. Padahal, dulu Lista menganggap Arief dan Jannah adalah pasangan serasi. Kedua orang ini lebih seperti couple goals. Sayanya semuanya berubah begitu cepat.

Secepat lamarannya dan secepat itu pula acara pernikahan dan ijab qabul digelar. Hanya butuh waktu dua minggu untuk mereka melangsungkan pernikahan. Pernikahan itu dihadiri keluarga dari Lista, dari pihak Arief tidak ada. Memang terkesan aneh, tetapi Arief menjelaskan kalau bapaknya tidak bisa hadir.

Berita tentang pernikahan Arief tidak banyak yang tahu kecuali orang-orang yang ada di kantornya. Jannah maupun Thalib sama sekali tidak diberitahu. Dua orang yang tahu lainnya adalah Azizah dan Leli.

Mereka harus diberitahu, pikir Arief. Azizah diberitahu saat sedang berada di atas tubuh Thalib meliuk-liukkan pantatnya memberikan rangsangan kepada ustadz tersebut. Dia melakukan itu sambil melihat pesan masuk. Azizah tersenyum saja. Leli berbeda, perasaannya sangat sedih dan menangis.


===SKIP===

Capek. Itulah yang dirasakan oleh Arief. Setelah acara pesta kecil-kecilan pernikahannya dengan Lista. Arief juga menghabiskan waktu untuk membantu keluarga Lista membereskan peralatan pesta, catering dan terakhir menemani keluarga Lista ngobrol sampai larut. Setelah itu Arief pun masuk ke dalam kamar.

Sebenarnya mau-mau saja Arief malam itu “menyentuh” Lista yang sudah sah menjadi istrinya. Namun, yang terjadi adalah Arief melewati malam itu dengan tidur. Energinya sudah dihabiskan mengurus pernikahan. Lista juga tak keberatan, karena dia tahu Arief yang lebih banyak gerak dan mengurus semuanya.

Tengah malam, Lista terbangun. Sudah dua malam ini mereka tidur bersama. Kali ini Lista terkejut, karena tak mendapati suaminya di sisinya. Dia mengamati ruangan kamar dan mendapati Arief sedang berada di jendela termenung menatap langit malam. Perlahan-lahan, Lista beranjak dari tidurnya, lalu menghampiri sang Suami.

“Ada apa, Mas?” tanya Lista.

Arief menoleh kepadanya. Sejurus kemudian tangan Lista masuk ke pinggang dan memeluk Arief dari belakang. Rasanya nyaman kalau memeluk seseorang yang dicintainya. Kedua tangan Arief memeluk tangan Lista.

“Nggak apa-apa. Cuma ingin melihat langit aja,” kata Arief, “aku biasanya kalau terbangun di malam hari menghabiskan waktuku melihat langit, kadang sampai pagi.”

“Hmm?”

“Melihat langit bergerak di malam hari, terutama bintang-bintang membuatku terkagum-kagum akan ciptaan Sang Kuasa.”

Lista melepaskan pelukannya, kemudian berdiri di sebelah suaminya. Memang, malam itu langit dipenuhi bintang, tanpa rembulan. Di tempat ini, bintang terlihat jelas, karena tidak banyak cahaya. Rumah Lista ada di pinggiran kota, jauh dari gemerlapnya lampu-lampu jalanan, sehingga pemandangan malam seperti ini sangat wajar terjadi.

“Iya, bintangnya banyak,” kata Lista.

“Kalau di kota, nggak akan bisa melihat bintang-bintang seperti ini,” kata Arief.

“Iya ya, mas.”

“Tapi aku nggak khawatir kalau misalnya bintang-bintang itu hilang, karena satu bintang ada di sampingku.”

Senyuman manis tersungging di bibir Lista. Walaupun gombalan receh, tetapi Lista menyukainya. Arief lalu memeluk Lista. Lista membalas pelukannya.

“Aku rasanya bahagia sekali, seolah-olah mimpi menjadi kenyataan,” ucap Lista.

“Mimpimu?”

Lista mengangguk. “Dari dulu aku sudah naksir ama Mas. Bermimpi bisa dipeluk mas seperti ini. Bermimpi bisa berdua di kamar seperti ini.”

Arief kemudian merenggangkan pelukannya, dia menaikkan dagu Lista sambil bertanya, “Kalau ini?”

Sebuah kecupan mendarat di bibir Lista. Jantung Lista berdebar-debar. Ini adalah ciuman pertamanya. Dia bingung harus bagaimana. Bibir lelaki yang ada di hadapannya ini lembut, mengecupnya dengan penuh perasaan.

Seusai kecupan itu Lista mengangguk memberikan jawaban kepada Arief. Dua malam Lista tidak disentuh, bukan berarti Arief tidak mau, tetapi memang keadaan yang super sibuk. Apakah malam ini Arief akan melakukannya?

Lista malam itu memakai baju tidur tipis tanpa daleman. Walaupun kamar cahaya lampunya remang-remang, tak bisa menyembunyikan lekuk tubuh gadis ini. Arief mengusap leher istrinya, kemudian memberikan kecupan lagi di bibir.

Akhirnya, insting Lista pun membalasnya dengan pagutan-pagutan. Kedua tangan gadis ini mengusap dada suaminya, lalu turun ke perut menaikkan kaos yang dipakai. Arief tak tinggal diam, dia bantu Lista melepaskannya, setelah itu baju tidur Lista pun diturunkan, sehingga perempuan yang ada di hadapannya ini sudah tak pakai apa-apa lagi.

Tubuh gadis ini sangatlah ideal. Buah dada yang ranum belum pernah terjamah oleh tangan laki-laki manapun. Tubuhnya seksi, kulitnya cerah, wajahnya cantik dan pinggulnya menggiurkan. Lista tersenyum kepadanya.

“Kamu tahu, sudah sejak kemarin aku menunggu ini,” ucap Arief.

Tahu apa yang diinginkan suaminya, Lista berjalan berlenggak-lenggok menuju tempat tidur. Dia pun berbaring di sana sambil memejamkan mata. Arief melepaskan satu-satunya pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu menghampiri istrinya.

Tempat tidur itu sedikit berdecit saat tubuhnya naik dan berada di atas tubuh istrinya. Lista tak perlu bertanya benda keras apa yang sekarang ini sedang menyentuh pahanya. Jelas sekali benda itu keras dan hangat. Dia memejamkan mata bukan karena tak mau melihat Arief, tetapi malu.

“Aku malu, Mas,” ucap Lista, “jangan pandangi aku terus.”

Seolah-olah Lista mengerti kalau sedari tadi Arief terus memandangi tubuh bidadari ini. Jari telunjuk Arief mulai menyisiri lengannya. Bulu-bulu halus di lengan Lista berdiri seiring rute yang dilewati oleh jari telunjuk itu. Perlahan, jari telunjuk itu naik ke bahu, ke pundak, ke tulang belikatnya, turun ke gunung kembar sebelah kanan, berputar-putar di puncaknya yang berwarna coklat kemerahan.

“Aahhh... ” desah Lista.

Jari telunjuk itu pun menyentuh pentilnya, menggelitiknya, lalu tiba-tiba secara mengejutkan berubah menjadi basah.

“Ahhkk!!”

Lista terkejut hingga membuka matanya. Di sana dia menyaksikan pentilnya menghilang di dalam mulut suaminya.

“Maass... geli... ” lenguhnya.

Tangan kiri Arief tak tinggal diam, diremas-remasnya bukit kembar yang satunya. Mulut Arief berpindah dari dada yang kanan ke dada yang kiri. Dia sangat menikmati momen itu. Tubuh mulus ini sekarang jadi miliknya.

Ia ingin melampiaskan semua perasaan cintanya kepada Lista. Bibir Arief tak puas mengisap buah dada istrinya, maka berpetualanglah bibir itu mengecupi setiap jengkal tubuh Lista. Dari buah dada, naik ke ketiak gadis itu. Lista makin geli terlebih saat kumis tipis Arief bersentuhan dengan bagian tubuhnya itu.

Arief terus mengecupi tubuh sampingnya, lalu turun ke pinggul, ke paha, dilebarkan paha Lista setelah itu diciumi selakangan gadis itu. Wangi sekali, bau sabun untuk kewanitaan. Lista sepertinya sudah mempersiapkan semuanya untuk malam ini. Membuat Arief mempertemukan bibirnya dengan bibir kemaluan Lista.

“Aaahh... maas... ,” lenguh Lista sekali lagi.

Dia malu sekali saat kepala Arief sudah ada di bawah. Tak pernah terbayangkan sebelumnya pria ini sekarang mulai menggelitik organ yang paling dia lindungi. Cita-cita Lista agar tidak ada yang menyentuh organ intimnya selain suaminya sekarang terkabul. Kemarin dia cukur habis bulunya, kemudian dia pakai sabun kewanitaan agar keset dan wangi. Dan sekarang bibir vaginanya dijilati oleh sang suami.

Tubuh Lista menggeliat antara geli dan nikmat. Bersamaan dengan itu cairan-cairan cinta mulai keluar dan Arief tak membiarkannya begitu saja. Dia jilat, dia mainkan vagina perawan itu, membuat Lista makin lepas kendali. Kepalanya menoleh kiri dan kanan dan kedua tangannya mulai meremas-remas rambut suaminya.

“Mass... Geli mass... ahh... ehhmm... .”

Lidah Arief mulai bergerak naik menyusuri garis vertikal dan berhenti di ujungnya. Di sebuah tonjolan kecil yang dia temukan lalu dia sedot sedikit kencang, membuat kedua paha Lista menjepit kepalanya. Lidah Arief lalu turun menerobos ke dalam, digerak-gerakkannya lidah itu untuk mengorek lagi cairan-cairan yang terus banjir keluar.

“Mass... udah mas... aku mau pipis... Eehm.. jangan mas.. mas nanti aku pipisin. Aduhhh... aaahhh!!” Lista memekik di keheningan malam.

Seketika itu Arief menghentikan aksinya. Pantat Lista bergetar sambil mendorong ke depan. Orgasme pertama seumur hidup Lista.

Napas perempuan itu terengah-engah. Baru kali ini dia merasakan kenikmatan seperti ini. Kedua pahanya pun melemas, sehingga Arief bisa bangkit lagi. Pria beranak satu ini tak ingin berlama-lama. Sebenarnya ia mau saja menyuruh Lista untuk mengoral penisnya terlebih dulu, tetapi dia urungkan niat itu.

Dia hanya ingin malam ini spesial bagi Lista, maka dari itulah dia merasa foreplanya sudah cukup untuk gadis ini. Penis gagahnya pun mulai ditempatkan di mulut vagina istrinya.

Butuh waktu beberapa saat untuk Lista bisa kembali ke kesadarannya. Dia menarik napas dalam-dalam saat menyadari sebuah benda tumpul menggesek-gesek liang senggamanya. Belum sampai masuk, tetapi nikmat sekali. Benda itu panjang, keras dan menekan selakangannya. Arief menekuk kaki Lista lalu menempatkan posisinya terbuka. Dia bisa melihat jelas penisnya sudah siap untuk menggagahi istrinya.

“Kamu siap?” tanya Arief.

Lista membuka matanya. Dia mendunduk sejenak untuk melihat apa yang terjadi di bawah sana. Besar. Itu kata-kata yang terbesit di benaknya. Mampukah benda itu masuk ke dalam vaginanya? Lista berdebar-debar. Namun, sebagai istri yang baik dia memang sudah mempersiapkan hari ini.

“Lakukan saja, Mas,” jawabnya.

Pinggul Arief mulai maju, menekan, mendorong. Kepala penisnya sedikit demi sedikit masuk. Lista merasa ada yang mengganjal di bawah sana. Dia mencengkeram sprei tempat tidur.

“Rileks, jangan tegang,” bisik Arief.

Arief tahu kalau Lista tegang maka persetubuhan ini tidak akan nikmat. Dia pun menurunkan tubuhnya untuk menciumi bibir istrinya. Keduanya berpagutan, saling melumat meskipun Lista kaku sekali dalam berciuman, setidaknya dia belajar.

Dia mengikuti lidah Arief, lidah mereka bertemu, saling bersilaturahim, saling menyedot. Dada Arief menggencet dadanya, memberikan rasa nyaman, lalu tanpa diduga Arief tiba-tiba mendorong pinggulnya.

Lista untuk sesaat tak sadar. Baru ia sadari saat sesuatu yang perih dan ngilu terasa di selakangannya. Arief sudah merobek selaput dara istrinya. Waktu tidak bisa dibalikkan dan Lista merasa lega sekaligus berdebar-debar. Ini untuk pertama kalinya seorang pria memasuki liang senggamanya. Rasanya penuh, perih, tetapi nyaman.

Keduanya terus berciuman dengan selakangan saling menempel satu sama lain. Cairan pelumas terus-menerus membanjiri liang senggamanya sehingga Arief merasa sudah saatnya untuk menggerakkan pinggulnya. Akhirnya sedikit demi sedikit Arief menggoyangkan pinggulnya.

Suara kecipak cairan cinta itu memberikan suasana yang erotis. Yang terdengar di kamar itu sekarang suara deru napas dan rintihan. Lambat laun rasa perih berganti menjadi rasa nikmat. Kedua kulit kelamin bertemu, jaringan-jaringan syaraf mulai bekerja memberikan respon ke otak mereka.

Inilah kenikmatan itu. Batang penis Arief makin keras, akibat dijepit otot-otot vagina istrinya yang masih perawan. Nikmat sekali sampai-sampai Arief tak ingin ini cepat berlalu begitu saja.

Keduanya sekarang saling berpandangan. Lista mengerutkan dahinya, matanya sayu dan mulut ternganga. Arief tersenyum menatap wajah istrinya yang cantik. Kedua kaki Lista pun secara otomatis menjepit pinggang dan kedua lengannya kini memeluk leher suaminya.

Malam itu ingin dinikmati keduanya, tak keburu waktu, hanya ingin bercinta. Melepaskan segala perasaan, menumpahkan segala rasa.

“I love you, Lista,” bisik Arief.

“I love you too, Mas,” balas Lista.

“Aku ingin punya anak dari kamu,” kata Arief.

“Aku rela jadi ibu dari anak-anakmu,” kata Lista.

Keduanya pun akhirnya larut dalam suasana percintaan yang panas. Arief cukup lama menggenjot tubuh istrinya hingga akhirnya dia pun sudah tak tahan lagi untuk melepaskan benih-benih cintanya. Lista sendiri tak tahu berapa kali dia orgasme saat ditindih suaminya.

Setiap kali dia orgasme Arief cukup pengertian menghentikan goyangannya. Membiarkan kenikmatan itu memproduksi hormon endorphin ke dalam otak istrinya, setelah Lista mengambil napas digoyang lagi pinggulnya. Tembakan-tembakan sperma itu pun akhirnya masuk ke dalam rahim Lista. Tubuhnya melengkung saat cairan itu menembak dinding rahimnya. Tak bisa dia lukiskan bagaimana nikmatnya.

Pasangan suami istri itu ngos-ngosan. Mereka mengatur napas sejenak, tetapi Arief tidak melepaskan penisnya. Terlebih lagi penisnya belum tidur, masih setengah berdiri meskipun sudah keluar tetesan sperma terakhirnya. Arief menyusu kepada Lista lagi. Perempuan itu sudah pasrah. Dia membiarkan suaminya menikmati buah dadanya, hanya jemarinya saja yang menggosok-gosok lengan Arief yang kekar.

Beberapa menit kemudian penis suaminya mengeras lagi. Dia pun bergoyang lagi. Lista menyambutnya pasrah. Agaknya Arief tak ingin melepaskan kemaluannya dari tubuh istrinya. Mereka terus bercinta lagi hingga Arief keluar lagi untuk kedua kalinya.

Setelah keluar kedua kalinya, Arief kembali menikmati buah dada istrinya lagi, menciumi bibir istrinya. Mengambil napas sejenak untuk meredakan gelombang orgasme. Setelah itu dia genjot lagi, lagi dan lagi. Barulah setelah orgasme ketiga kali Arief menyudahi pekerjaannya.

Pria ini terkulai di samping Lista dengan separuh tubuhnya masih menindih tubuh istrinya. Lista tersenyum puas. Batang suaminya sudah mengecil dan terlepas dengan sendirinya. Dia puas, dia bangga karena Arief telah memberikan seluruh spermanya malam itu. Dari vaginanya yang becek, cairan-cairan sperma mulai mengalir keluar karena tak mampu menampung. Keduanya pun terlelap hingga pagi datang.

Arief terbangun saat adzan subuh berkumandang. Tak ada Lista di sampingnya, ternyata Lista sudah pergi ke kamar mandi. Di atas kasur dia melihat noda darah hasil pertempuran tadi malam. Arief tersenyum melihatnya. Dengan masih tanpa mengenakan busana, Arief mengikuti Lista yang ada di kamar mandi. Kamar mandi itu ada di dalam kamar, sehingga mereka cukup aman.

Melihat pintu kamar mandi terbuka, Lista tak perlu menebak lagi siapa yang masuk. Mereka saling melempar senyum. Lista tampak sedang membasahi rambutnya untuk keramas. Arief merapatkan tubuhnya ke tubuh telanjang istrinya.

“Mas, mandi dulu. Sudah subuh,” ucap Lista.

“Sekali aja yuk?” ajak Arief.

Mau ditolak tapi juga sayang. Akhirnya Lista pasrah saat Arief menciumnya.

“Bekas tadi malam masih perih dan mengganjal,” ucap Lista.

“Kalau begitu biarkan terbiasa,” kata Arief.

Pasrah. Itulah yang hanya bisa dilakukan oleh Lista. Pasrah saat Arief menciumi bibirnya, meremas buah dadanya, menciumi seluruh lekuk tubuhnya. Lista berinisiatif sendiri memegang batang perkasa milik suaminya.

Lista mengambil sabun cair lalu mencuci batang penis suaminya. Mengocoknya, walaupun masih kaku. Arief mengajari caranya, titik-titik dimana pria bisa dipuaskan dengan kocokan lembutnya. Setelah itu Lista mengguyur batang penis suaminya untuk dibersihkan dari busa yang menempel. Kali ini tanpa diajari Lista sudah berlutut di bawah, lalu menciumi kepala penis itu.

“Dek, tahu ini namanya apa?” tanya Arief.

“Burung, titit, penis, kontol,” kata Lista.

“Sebut ini kontol,” kata Arief.

“Kontol,” kata Lista.

Dia sekarang sudah tak ingin jadi perempuan yang lugu lagi. Toh dia sudah jadi istri orang, sudah selayaknya dia berikan servis yang maksimal. Mau kata-kata jorok pun akan dia ikuti.

“Adek suka kontol?” tanya Arief.

“Kontolnya mas adek suka,” jawab Lista.

“Emut dong,” kata Arief.

“Ajarin ya, Mas,” pinta Lista.

Arief mengangguk.

Dibimbingnya Lista untuk mengulum batang kontolnya. Arief mengacari Lista dengan jempolnya. Dia mengajari Lista cara untuk menjilati kontolnya, cara untuk menggelitiki dengan lidah mungilnya. Bibir Lista terlalu kecil untuk kontol itu bisa masuk semua. Separuh saja sudah syukur.

Hal yang bikin Arief melayang adalah saat mulut mungil itu terisi kontolnya, lalu lidah Lista meliuk-liuk, memberikan rangsangan. Lalu tangan lembut Lista mengocok batangnya, tak bisa dibayangkan lagi rasanya.

“Aku mau keluar, telan ya,” kata Arief.

Lista mengangguk.

Ini untuk pertama kali dalam hidupnya dia akan menelan sperma. Dia pernah baca-baca tentang cara berhubungan intim, termasuk felatio yang dia lakukan kepada suaminya ini. Mulutnya terasa penuh dan bisa dirasakan olehnya bagaimana batang kontol suaminya makin keras, berkedut-kedut, lalu muncratlah cairan sperma.

Rasanya tak bisa dibayangkan. Eneg, asin, sedikit amis, berbau khas. Namun, Lista menerimanya. Dia tampung tembakan demi tembakan sperma itu dia hisap, sampai tak ada lagi yang keluar. Setelah itu dia telan semua. Lista agak terbatuk-batuk, belum biasa dia menelan sperma. Ini untuk pertama kali dalam hidupnya.

Setelah itu mereka melanjutkan mandi sampai bersih dan beribadah. Namanya juga pengantin baru, artinya banyak sekali hal-hal yang boleh dibilang romantisme, kemesraan, kebahagiaan. Itu bisa terpancar dari sikap keduanya.

Seminggu kemudian mereka pergi ke rumah Arief. Lista sangat ingin bertemu dengan Khalil. Tentunya dia sudah siap untuk menjadi ibu bagi bocah tersebut. Arief pun membawa Lista untuk menemui bapaknya. Di sana Khalil yang sangat merindukan ayahnya pun benar-benar menumpahkan rasa rindunya. Sebelum sampai mereka sempat membeli mainan untuk Khalil jadi anak itu sekarang sangat senang mendapatkan mainan baru seperti senapan mainan.

Di hari itu Lista sungkem kepada Suroso. Suroso menyambut menantunya dengan hati yang senang, sebab pengganti Jannah kali ini lebih cantik dan sepertinya sangat penurut kepada Arief. Setelah basa-basi Lista langsung bermain bersama Khalil di kebun. Khalil tampaknya senang ketika punya teman bermain, mereka melihat kolam ikan, berjalan-jalan melihat tanaman dan memberi makan kambing.

Arief dan Suroso duduk di teras sambil mengamati Lista dan Khalil dari jauh.

“Tinggal orang terakhir,” ucap Suroso.

“Iya. Siapa? Bapak sudah tahu?” tanya Arief.

“Kamu mungkin kenal, tetapi belum tahu wajahnya. Namanya Bambang Husaini,” jawab Suroso.

Arief terkejut. "Bukankah itu ayahnya Wina?"

“Aku tahu kamu kaget. Sebenarnya, ini tiket sekali jalan. Kau tidak bisa mundur lagi. Rekan-rekannya sudah kau habisi, sekarang dia sedang mencari tahu siapa musuhnya. Kalau dilihat dari banyaknya kejahatan yang dia lakukan, sudah pasti dia bingung. Kau tak perlu khawatirkan keadaan Khalil. Dia aman di sini dan tidak akan bisa menyentuhku. Persoalannya adalah dirimu. Cepat atau lambat Bambang akan tahu kau sudah memperangkap anaknya. Thalib juga akan tahu sepak terjangmu.”

“Bapak tak perlu khawatir. Aku sudah siap.”

“Bapak tidak mengkhawatirkanmu. Kau sudah tahu risiko yang akan kau hadapi. Persoalannya adalah istrimu, apa dia akan siap menerima keadaanmu?”

“Dia tak perlu tahu.”

Suroso terkekeh. “Aku kasihan kepadanya.”

“Dia dan anakku akan selamat, terlebih lagi aku yakin saat ini dia mengandung anakku.”

“Kau yakin?”

“Seharusnya hari ini dia menstruasi, tapi aku tidak melihat ada tanda-tandanya. Kalau besok-besok masih terlambat pula maka sudah pasti rahimnya sudah ada calon anakku.”

Suroso tertawa. “Selamat kalau begitu. Kau tak perlu khawatir, bapak akan menjaga mereka semampu bapak. Kalau bukan bapak, siapa lagi?”


===X=X===


Masa sekarang...

Pagi hari sebelum berangkat bekerja, Arief sarapan dulu bersama istrinya. Sebenarnya kemarin dia sempat debat bersama istrinya, kenapa Khalil tidak ikut bersama kok malah masih bersama kakeknya. Arief mengatakan belum saatnya, karena dia belum siap.

“Belum siap kenapa, Mas?” tanya Lista.

“Yah, Khalil masih belum bisa menerima keadaan. Dulu kan aku sama ibunya ada satu rumahh, sekarang saat aku sendirian dia sering bertanya-tanya. Ditambah sekarang ada dirimu,” jawab Arief, “sabar ya sayang.”

Lista tak bertanya lagi. Dia agaknya sedikit memahami kondisinya. Padahal dia ingin bisa dekat dengan bocah itu. Arief pun selesai menghabiskan makannya, sampai telepon masuk. Dia minta izin untuk mengangkat.

“Ya, assalaamu’alaikum?” sapa Arief di telepon.

Sebagai istri yang baik, Lista membereskan meja makan. Mencuci piring dan bersih-bersih dapur. Saat suaminya pergi, maka rumah ini akan terasa sepi. Namun, dia bahagia. Rasa-rasanya tidak akan buruk. Terlebih lagi dia merasa haidhnya telat. Apa dia hamil? Tapi kok tidak seperti orang kebanyakan yang mual gitu, ini biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Makanya Lista ragu. Sudah seminggu telat.

Di rumah, Lista memakai daster pendek sepaha dengan atasan yang cukup longgar. Hari itu dia tidak memakai BH, dengan alasan bikin gerah kalau harus bekerja di rumah memakai BH. Mana ukurannya sekarang mulai membengkak. Mungkin karena Arief yang gemas sekali meremas-remas payudaranya setiap berhubungan. Bahkan di saat santai nonton tv pun tangan suaminya selalu meremas dan meremas. Rasa-rasanya tak ada puas-puasnya.

“Sayang,” bisik Arief mengejutkannya.

“Ih, mas bikin kaget aja,” gerutu Lista.

“Kok melamun?”

Lista menggelinjang saat dasternya dinaikkan dan tangan Arief sudah meremas buah dadanya. “Mas, nanti telat lho.”

“Sekali aja ya?”

“Mass... nanti telat. Udah berangkat sana.”

Tangan Arief terus meremas dan memilin putting kecil istrinya. Makin lama makin mengeras dan Lista pun mendesah saat Arief memberikan kecupan di lehernya. Istrinya pun pasrah dengan kelakuan suaminya. Pantat Lista sudah merasakan batang keras menonjol di belakang sana.

Mereka pun saling berciuman, hingga akhirnya mau tak mau Lista pun pasrah saat dasternya diangkat dan dibuang Arief sekenanya.

Dengan cekatan Lista membantu Arief untuk melepas bajunya. Padahal dia sudah rapi ingin berangkat ke kantor. Dalam hitungan menit mereka hanya memakai celana dalam saja. Arief pun mulai mencaplok susu segar yang menggoda itu.

“Rasanya kamu perlu beli bra baru ya, Sayang?” tanya Arief.

“Gara-gara Mas sih. Tiap hari diremas,” jawab Lista manja.

“Suka disedot atau diremas?” goda Arief

“Dua-duanya.”

Arief kembali mempermainkan susu itu dengan mulutnya. Lista hanya mendesah kegelian. Arief sangat piawai. Tentu saja, duda beranak satu ini sudah ahli dalam mempermainkan wanita. Tangan Lista pun aktif bergerak merangsang kontol suaminya, hingga membantu melepaskan celana dalam suaminya sampai ke bawah.

Batang perkasa itu sekarang sudah ada di genggaman. Tangan Lista tak mampu menggenggam semua kalau sudah berdiri seperti itu. Keras, perkasa, kuat, dan berurat. Arief juga pun melorotkan celana dalam istrinya, mereka sudah sama-sama telanjang.

“Nggak pernah puas ya, Mas?” tanya Lista.

“Tidak akan.”

“Cepetan, yuk. Ntar mas telat,” kata Lista sambil mengocok batang kontol suaminya.

Arief menggesek-gesekkan jarinya ke belahan memek istrinya. Ah, ternyata Lista sudah terangsang. Memeknya sudah basah. Arief pun membalikkan badan istrinya menungging sambil berpegangan kepada tempat cuci piring. Kontolnya pun bergerak masuk menerobos memek istrinya.

“Mas, ahhhh... !” desah Lista.

“Memekmu enak. Aku selalu ketagihan,” kata Arief.

“Kontol mas juga. Aku jadi ketagihan kontolnya mas.”

“Tiap hari kentu ama kamu enak, Sayang. Bikin aku betah di rumah,” kata Arief.

Lista diam. Sebenarnya, dia sudah izin tidak masuk kantor untuk beberapa hari, tetapi izinnya nambah. Tidak masalah karena Arief yang punya kantor. Bosnya sendiri. Alhasil Lista lebih banyak di rumah melayani suaminya. Apalagi kalau sudah di rumah sendirian rasanya tak ada habisnya Arief menggarap istrinya. Seperti dulu setelah datang dari rumahnya, Lista tak henti-hentinya digarap pagi, siang, ataupun malam.

Kehidupan mereka sangat bahagia. Seks sudah menjadi hal yang membuat Lista ketagihan dan ingin terus-menerus melakukannya bersama suaminya. Segala fantasi Arief dia penuhi. Dia ingin memberikan servis sepenuhnya kepada suaminya, maka dari itu ketika Arief menginginkan dia memakai baju SMA, dia pun menuruti. Bercinta sambil pakai kerudung, dia turuti. Tengah malam bercinta di teras, dia juga turuti. Berbagai fantasi itu membuat Lista merasa tak ingin pisah lama-lama dengan suaminya. Dia sudah mendapatkan segalanya, kekayaan, suami yang baik dan tentu juga seks yang hebat. Tinggal satu yang belum, seorang anak.

“Kita pindah ke depan yuk?” ajak Arief.

Lista mengangguk saja, tetapi Arief tidak melepaskan penisnya. Dia terus mendorong-dorong pantatnya menusuk-nusuk liang senggama istrinya sambil berjalan. Memang aneh keinginan Arief, tetapi Lista menurut saja. Mereka agak kesulitan berjalan dengan cara seperti itu. Kedua tangan Lista dipegang Arief, sambil Lista berjalan dengan pantatnya menempel di selakangan suaminya. Setelah itu Arif mendorongnya ke sofa lalu menindih istrinya dari belakang. Kembali lagi pantat Lista ditumbuk.

Posisi ini memberika Lista kenikmatan yang lain. Posisi ini membuat Lista punya energi daripada saat dia harus main di atas. Arief merasa nikmat karena posisinya sekarang Lista tengkurap dengan pantat sedikit terangkat untuk memudahkan kontolnya menggesek memek istrinya. Meskipun begitu kontol itu bisa masuk dalam sekali dan sensasinya adalah jepitan memeknya makin kuat. Arief menciumi punggung istrinya yang mulus tanpa cacat. Ah, dia makin terangsang karena itu.

“Mass... Aku mau keluar!” lenguh Lista.

“Bareng sayangku,” kata Arief.

Genjotan Arief makin kuat. Seiring dengan itu Lista pun makin merintih dan menjerit. Lalu puncaknya keduanya pun keluar bersamaan. Arief menghabiskan semua pejunya, baru setelah itu mencabut kontolnya. Arief lalu duduk di pinggir sofa. Tangan Arief mengelus-elus punggung Lista yang mulus.

“Udah, sana berangkat. Mandi dulu tapi,” kata Lista yang kemudian membalikkan badan.

Arief melihat ceceran spermanya mengalir keluar dari memek istrinya. Sungguh tubuh yang sangat indah. Tak akan puas Arief untuk menikmatinya.

Tak perlu berlama-lama, Arief segera mandi lagi untuk kedua kali, setelah itu mencium istrinya sebelum berangkat. Hari itu dia berangkat dengan naik sepeda motor, karena menurutnya hal itu lebih cepat daripada naik mobil seperti biasanya.

Perjalanannya tak ada hambatan, hingga tiba-tiba dari arah yang tidak terduga sebuah mobil menghantam motornya dari samping. Arief langsung terpental hingga berputar beberapa kali di udara sebelum ambruk ke aspal. Untungnya dia memakai helm, sehingga benturan aspal di kepalanya tak membuat cedera.

Dari dalam mobil muncul beberapa orang yang segera membawa Arief masuk ke dalam, lalu pergi begitu saja. Orang-orang di jalan yang menyaksikan hal itu pun syok. Bahkan, mereka tak sempat mengetahui plat nomornya karena ditutup.

Saat di dalam mobil tersebut Arief masih setengah sadar, sampai kemudian seseorang menyuntikkan obat bius ke lehernya. Dia pun tak sadarkan diri.


Lanjut sesen 4 diawah...
AKIBAT PENGHIANATAN S-4

yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya
x
x