Cerita Dewasa - AKIBAT PENGHIANATAN S-1

Disclaimer:

AKIBAT PENGHIANATAN adalah cerita yang tidak berdasarkan kejadian nyata. Kalau misalnya cerita ini mirip kejadian di dunia nyata maka itu hanya kebetulan. Cerita ini juga tidak bermaksud menyinggung kepercayaan agama atau aliran tertentu. Foto, hanya pemanis. Jadi mohon bijak dan dewasalah, karena ini CERITA khusus DEWASA.

CERITA BERBAU SEX DAN BIRAHI
Cerita pun dimulai



jilbab cewek amoy
JANNAH


PROLOG


Apa yang sangat menyakitkan di dalam hidup ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah dikhianati. Itulah yang dirasakan Arief Gagah Suroso. 

Dia gemetar mendapatkan surat dari pengadilan agama tentang gugatan cerai dari istrinya. Seminggu lagi jadwal sidang tersebut. Apa dia harus datang? 

Sebenarnya, semuanya sudah diketahui bahwa niatan istrinya menggugat cerai dirinya hanyalah kedok untuk menyembunyikan perselingkuhan wanita itu dengan ustadz gadungan yang setiap minggu didatanginya di kajian rutin.

Jannah Hanifah, nama yang akan terus diingat dalam seluruh hidup Arief. Masih teringat bagaimana dulu dia meminang istrinya dengan baik-baik pada kedua orang tuanya. Dengan berbekal tekad untuk menjalin keluarga sakinah mawadah warahmah hingga akhir hayat. Rasanya sungguh menyesakkan ini adalah kekecewaan yang mendalam. Setelah lima tahun berumah tangga, nyatanya hanya cukup lima tahun kebersamaan itu. Selebihnya adalah derita dan kesengsaraan atas nama cinta.

Rasanya Arief sudah tidak sanggup untuk menahan diri lagi. Dia tidak mau mendatangi panggilan dari Pengadilan Agama itu. Kalau istrinya ingin cerai ya biarkan saja. 

Namun, bagaimana dengan anak mereka? Bagaimana dengan Khalil? Dia masih kecil. Tidak mungkin Arief akan membiarkan bocah itu tinggal dengan istri tukang selingkuh itu. Tidak mungkin akan membiarkan anak mereka dididik oleh seorang pengkhianat. Khalil tidak boleh dibiarkan tinggal bersama Jannah. Dia harus dididik dengan baik agar tidak seperti ibunya.

Malam itu hujan. Suhu ruangan menjadi lebih dingin, seiring dengan masuknya angin dingin dari pintu jendela. Arief beranjak menutup daun jendela hingga yakin sudah dikunci. Di atas ranjang, tampak anak semata wayangnya sedang tidur pulas memeluk guling. 

Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Sudah pasti istrinya tidak akan pulang malam ini. Perempuan itu pasti sedang tidur bersama ustadz gadungan brengsek itu.

Untuk meyakinkan diri, Arief membuka layar ponselnya. Dia pun membuka aplikasi "TYP" yang terinstall di ponsel. Aplikasi itu bisa memberitahu letak posisi terakhir seseorang. Dia tidak terkejut dengan hasil yang akan dia peroleh saat melacak posisi terakhir istrinya ada di mana. Tadi dia mendapatkan chat kalau malam ini akan tinggal di rumah orang tuanya. Benarkah demikian?

Setelah aplikasi dibuka. Dia pun mendapati dimana posisi terakhir Jannah berada. Ada di Hotel Grand National. Arief hanya tersenyum sinis. Dia tangkap screenshot layarnya, setelah itu dia coba untuk memanggil istrinya. Agak lama untuk menunggu panggilan telponnya diangkat Jannah. Setelah beberapa detik berlalu akhirnya istrinya pun mengangkatnya.

"Ya, Assalaamu'alaikum," sapa istrinya, "ada apa mas?"

Terdengar suara berisik di seberang sana. Arief sudah membayangkan yang tidak-tidak. Suara napas istrinya juga terengah-engah.

"Aku sudah terima suratnya," jawab Arief.

Tiba-tiba suara telepon istrinya hening. Seolah-olah waktu itu kejadiannya benar-benar tiba-tiba dan mendadak berhenti. Suara napas istrinya juga berhenti. Entah apa yang terjadi di sana.

"Trus?" tanya Jannah.

"Umi sudah bulat ingin cerai?" tanya Arief

"Iya."

"Apa alasan umi?" tanya Arief lagi

"Bukankah sudah berkali-kali kita bahas ini... uhff...! Kita sudah beda prinsip, .... ehhhm... kita beda segalanya. Lagipula... sam..pai... sekarang mas juga belum bisa memberikan.... ahh.. apa yang akuuhh... inginkan..." kata Jannah

Lagi-lagi terdengar suara gaduh dan napas istrinya tersengal-sengal seperti menahan sesuatu. Arief makin marah, tapi dia mencoba untuk menahan diri. Dia bukan orang bodoh yang bisa ditipu begitu saja. Arief menghela napas perlahan-lahan untuk meredakan emosinya. 

Dia pun bertanya kepada istrinya, "Umi masih cinta mas tidak?"

"....."

Lama jawaban dari Jannah. 

"Ahhh..." terdengar desahan istrinya.

Arief masih menunggu. Dia sudah mengira apa yang terjadi di sana seperti apa, jadi tak perlu dia bertanya. 

"Umi masih cinta mas tidak?" diulangnya pertanyaan Arief.

"Maaf, mas, hahf... hahf... hah..." terdengar suara Jannah menarik napas dalam-dalam seperti baru saja lari marathon.

"Sedang angkat-angkat tadi. Kalau ingin Umi kembali ke mas, syaratnya gampang. Penuhi keinginan Umi." lanjutnya

"Begitukah?" tanya Arief.

"Iya, Mas tahu sendiri sekarang pendidikan mahal, Khalil butuh biaya sekolah, rumah, kehidupan setiap hari dan hutang mas itu sudah seabrek. Umi juga kan yang akhirnya cari duit sana sini? Umi juga yang kerja sudah tiga bulan Umi menutupi keuangan keluarga kita. Sedangkan, Mas? Mas tidak ada sumbangsih sama sekali! Mas mikir nggak? Umi juga perlu nafkah!" ternag Jannah panjang lebar

"Tapi mas juga ngasih ke kamu bukan? Seluruh gaji mas sudah kukasih. Mas bahkan nyaris tiap hari ke kantor nggak bawa uang dan nahan lapar sampai pulang ke rumah. Itu pun di rumah kalau masih untung ada makanan, biasanya juga sudah habis! Umi kemana selama ini?" bela Arief

"Mas yang kemana selama ini? Setiap hari kerja pagi sampai malam, trus capek tidur. Aku juga butuh perhatian mas!" kata Jannah

Arief terdiam sejenak. Dia menghela nafas kecewa. 

"Memangnya selama ini perhatianku kurang? Setiap kamu sakit, akulah yang merawat. Akulah yang menahan lapar sebelum aku melihat kalian makan aku tidak akan makan. Akulah yang rela mengubur cita-citaku hanya untuk kalian. Kau kira aku kemana?" cerca Arief

"Mas juga perlu ingat, mas pernah dekat dengan perempuan lain. Si Azizah itu atau siapa namanya. Mas kira aku tidak tahu? Mas masih suka ama dia kan? ngaku saja! Mas begitu baik ama dia, tapi sama aku? Mas lebih mengkhawatirkan si Azizah itu daripaada aku. Aku juga perlu dikhawatirkan mas." pembelaan Jannah pada Arief yang dekat dengan Azizah

Ada alasan lain kenapa Arief lebih perhatian ke Azizah. Memang salahnya tidak cerita ke istrinya, tapi itu bukan alasan yang sebenarnya. Arief sudah tidak lagi melihat celah istrinya untuk bisa mencabut gugatan cerai itu.

"Kau tak memikirkan bagaimana Khalil nanti hidup tanpa kebersamaan orang tua?" tanya Arief.

"Mas, orang tua Khalil masih hidup. Kita cuma pisah saja. Kita bisa saling mengasuhnya. Kita cerai dengan baik-baik. Hak asuh biar Khalil yang memilihnya nanti kalau sudah cukup umur, sementara Khalil bersamaku," jawab Jannah, 

"jangan khawatir, aku bisa mendidik Khalil." lanjutnya.

"Kau sudah bertekad bulat untuk hal ini?" tanya Arief sekali lagi, 

"ini pertanyaan terkahirku. Sebab, setelah ini kau tidak akan melihatku lagi sebagai Arief yang kau kenal." lanjut Arief

"Maksud mas?"

"Aku akan sangat berbeda," jawab Arief, 

"makanya, aku bertanya kepadamu, kau sudah bertekad bulat menggugat cerai aku?"

"Iya, aku sudah bertekad bulat. Tidak ada yang aku ragukan," jawab Jannah.

"Berapa lama kau sudah memikirkan ini?" tanya Arief.

"Cukup lama," jawab Jannah, 

"daripada kita saling menyakiti, ini jalan yang terbaik." lanjutnya

"Baiklah. Kau yang memilihnya. Salam kepada ustadz gadungan Tholib di situ, agar beliau bisa menjagamu dengan baik." kata Arief

"Hah? Maksud mas? mas...." suara Jannah terputus. 

Arief telah menutup teleponnya. Arief tersenyum sinis. Dikiranya selama ini Arief tidak tahu kalau Jannah berselingkuh.

Sementara itu di tempat lain..

Jannah gemetar menggenggam ponselnya. Tubuhnya ada di atas ranjang tanpa sehelai benang pun sementara itu di sebelahnya ada seseorang yang tadi disebut oleh suaminya, ustadz gadungan Thalib. Guru pengajian mereka selama ini, sekligus juga teman Jannah saat kuliah dulu. 

Mustahil perselingkuhan mereka diketahui Arief? Sejak kapan?

Jannah panik. 

Dia mencoba menghubungi Arief sekali lagi, tetapi tidak diangkat atau direject. Jannah khawatir. Dia buru-buru pergi ke kamar mandi yang ada di kamar hotel untuk membersihkan dirinya dari bau sperma yang melekat di tubuhnya. Melihat gelagat Jannah, Thalib pun menghampirinya di kamar mandi.

"Ada apa?" tanya Thalib.

"Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower.

"Ya bagus dong."

"Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" kata jannag dengan nada meninggi

"Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" kata Thalib dengan se-enak dengkulnya kalau nyocot

Jannah memijat kepalanya yang berasa nyut-nyutan. 

Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower.

"Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah.

"Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. 

Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher.

"Ohhh... jangan Mas Thalib... ahh...!" desah Jannah lirih.

Terlambat, satu kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz gadungan tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. 

Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz gadungan Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi.

Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Selingkuh adalah dosa besar dan pengkhianatan terbesar bagi Arief. Dan ini adalah cerita bagaimana Arief membalas mereka.

Prolog END

AC di pengadilan Agama terasa panas. Tidak ada pengaruhnya sama sekali meskipun suhu yang disetting sudah menyentuh angka 20 derajat celcius. Arief tidak menyangka kalau ini adalah saat-saat dimana rumah tangga yang mereka sudah bangun akan berakhir begitu saja.

Tidak masalah, pikirnya. Dia pasti bisa melewati ini. Semua demi Khalil, apalagi yang bisa dia perjuangkan selain anak semata wayangnya. Jantungnya berdebar-debar saat seorang hakim masuk di ruang mediasi, bersamaan dengan itu datanglah Jannah.

Arief menatap Jannah di kesempatan itu setelah kurang lebih selama seminggu mereka tak pernah bertatap muka. Ada perasaan mendongkol. Jannah pun demikian, perasaan yang sulit diungkapkan. Benarkah Arief sudah tidak mencintainya lagi? Benarkah Arief sudah tidak memperjuangkannya lagi?

Hakim yang menjadi mediasi bertanya banyak hal tentang alasan Jannah menggugat cerai. Jannah berceria panjang lebar tentang kelakuan Arief. Mulai dari nafkah, perhatian dan juga keharmonisan rumah tangga yang mulai jarang akhir-akhir ini. Arief sama sekali tidak menyanggah, karena memang itu yang terjadi.

"Apa itu tidak bisa dibicarakan baik-baik? Kalian masih ada anak, coba pikirkan masa depan anak kalian!" bujuk hakim agar Jannah bisa mencabut gugatan cerainya.

"Anak tetap urusan kami Pak Hakim. Kami akan merawat anak kami dengan baik, tetapi untuk bisa hidup bersama saya rasa sudah tidak bisa lagi," kata Jannah dengan tegas.

Arief tidak banyak bicara. Hatinya masih terguncang. Orang yang selama ini dia cintai kenapa harus seperti ini? Semua berakhir begitu saja. Berusaha untuk bisa tenang Arief mendesah, tangannya mulai berkeringat. Dia tidak siap untuk menghadapi semuanya.

"Pak Arief, bapak masih mencintai istri bapak?" tanya hakim, "kalau misalnya Ibu Jannah memberikan syarat agar rumah tangga kalian tetap utuh, kira-kira bapak Arief mau?"

"Pak Hakim, tidak perlu memperpanjang urusan. Dia sudah tidak mencintai saya lagi!" ucap Jannah.

"Sebentar, Ibu. Kita perlu mendengar penjelasan Pak Arief dulu," kata Hakim.

Arief mengeluarkan sapu tangannya, lalu membasuh keringat yang ada di dahinya. Dia memberi isyarat agar diberi waktu sejenak. Hakim yang penasaran pun memperbolehkannya. Butuh beberapa waktu sebelum Arief berbicara dengan lugas.

"Pak Hakim. Persoalan ini sebenarnya memang salah saya. Saya tidak bisa mendidik istri saya. Saya yang bersalah. Saya akui kalau nafkah yang saya berikan tidak cukup, karena memang saya belum mendapatkan pekerjaan yang tepat setelah mendapatkan PHK dari tempat kerja saya terakhir. Demikian juga mencari pekerjaan saat ini juga sulit, saya bekerja di berbagai tempat, hutang sana-hutang sini. Namun, menafkahi keluarga itu masih jadi tanggung jawab saya. Saya setiap bulan selalu memberikan nafkah, saya ada buktinya dan istri saya juga tahu. Kalau memang nafkah yang saya berikan tidak cukup maka iya, itu tidak cukup, tapi saya menolak untuk dituduh tidak pernah memberi nafkah. Itu dua hal yang berbeda," kata Arief.

Hakim mengangguk-angguk. "Iya, setuju. Itu benar. Nafkah tidak cukup bukan berarti tidak memberi nafkah." kata Hakim

Arief melanjutkan. "Pak Hakim, saya minta maaf sebelumnya. Karena sepertinya istri saya sudah benar-benar tidak ingin melanjutkan rumah tangga ini, saya akan hargai keputusannya. Asalkan dengan satu syarat."

Jannah dan Hakim memperhatikan Arief. Ini diluar rencana Jannah sebenarnya. Dia menginginkan sidang ini berlangsung lama, sebab dia tahu untuk bisa bersama dengan Thalib, dia setidaknya butuh waktu hingga mereka bisa tinggal bersama. Terlebih, kawan-kawan Arief juga adalah kawan-kawannya. Akan sangat heboh kalau sampai keretakan rumah tangga mereka tercium oleh pihak luar.

"Khalil harus ikut bersama saya," kata Arief.

"Tidak bisa. Kenapa harus begitu? Khalil ikut ibunya!" protes Jannah.

"Sebentar, sebentar! Menurut peraturan anak sebelum usia 12 tahun harus ikut ibunya sebagai pemegang hak asuh. Bila anak sudah lebih dari 12 tahun, maka itu akan dikembalikan lagi kepada keputusan anak," kata Hakim.

"Iya, aturannya seperti itu, lagipula Khalil masih kecil!" kata Jannah. 

Dia yakin akan menang dalam keputusan hak asuh. Khalil pasti akan ikut bersamanya.

"Maaf, Pak Hakim. Saya ingin memberikan sesuatu," kata Arief meminta izin. 

Hakim pun mempersilakan. Arief membongkar ranselnya untuk mengambil laptop. Perasaan Jannah mulai tidak enak. Apa yang akan dikeluarkan oleh Arief? Bukti perselingkuhannya? Tidak mungkin. Arief tidak pernah sejauh itu. Selama ini Jannah sangat rapi menyembunyikan hubungannya dengan ustadz Thalib. Atau itulah yang dia pikirkan selama ini.

Sembari Arief menghidupkan laptopnya, dia mengambil beberapa lembar dokumen yang dibawanya ke dalam sebuah map. Setelah itu dia berikan map tersebut kepada hakim. Map plastik tersebut kemudian dibuka oleh hakim dan saat melihatnya hakim terkejut.

Di depan Laptopnya tersebut, Arief membuka folder. Ada beberapa file di sana. Kemudian, salah satunya di-PLAY oleh Arief. Saat media player menyala, terlihatlah sebuah video yang cukup aneh tapi cukup familiar bagi Jannah, sebab dia cukup mengenali tempat dimana video itu merekam. Itu adalah kamar tidurnya.

"Coba Pak Hakim menonton video ini untuk beberapa saat. Tidak lama, karena durasinya panjang saya potong. Kalau mau versi full saya bisa juga berikan," kata Arief.

Jannah mulai gelisah. Apakah Arief memasang kamera tersembunyi di kamarnya? Sejak kapan? Kenapa dia yang sering membersihkan kamar tidak pernah tahu kalau suaminya memasang kamera pengintai?

Tidak, itu salah. Dia beberapa waktu memang tidak membersihkan kamar. Itu terjadi saat dia dan ustadz Thalib janjian untuk ketemu di rumahnya. Oh tidak. Apakah itu video rekaman perselingkuhannya?

Tiba-tiba saja di layar video muncul dua insan yang berciuman panas. Hakim yang melihat pun melotot, terlebih saat tahu siapa yang ada di video tersebut. Tampak baju Jannah dilucuti, kecuali jilbabnya. Adegan berikutnya sang pria mengenyoti payudara sekalnya sambil meremas-remas dengan gemas. Video mesum itu pun dihentikan oleh Arief, karena tidak perlu sang Hakim menonton keseluruhan.

"Itu apa mas?" tanya Jannah, "mas mau fitnah aku?"

Arief mengangkat bahunya. "Dokumen yang saya berikan ke Pak Hakim adalah bukti chat istri saya dengan selingkuhannya. Artinya, sudah jelas. Istri saya berselingkuh."

"Jangan mengada-ada kamu mas, kamu mau menyerangku dengan fitnah ini?" Jannah berusaha membela diri, 

"kamu yang selingkuh dariku mas. Kamulah yang selingkuh dengan Azizah!" lanjut Jannah

"Kamu punya buktinya?" tanya Arief

Jannah terdiam. Dia tidak siap. Dia tidak pernah menyangka Arief bisa sejauh itu.

"Pak Hakim. Bukti-bukti perselingkuhan ini sudah jelas. Istri saya, Jannah telah berselingkuh dengan seorang pria. Kalau Pak Hakim ingin mengetes atau mendatangkan saksi ahli apakah video ini benar atau tidak silakan. Bapak sekalian datangkan juga si pria yang ada di video ini juga silakan. Tapi saya cukup sampai di sini, dia ingin cerai? Saya kabulkan!" ucap Arief tegas.

"Ibu Jannah, apa ibu punya hal-hal yang bisa membela ibu?" tanya hakim.

Jannah kebingungan. "Saya butuh waktu pak hakim."

Mediasi hari itu pun berakhir. Masih ada babak panjang kalau persidangan ini dilanjutkan. 

Jannah hari itu rasanya seperti dikuliti habis-habisan. Dia pun stress dan berusaha untuk menenangkan diri.

===X=X===

"Bagaimana sidangnya?" tanya Thalib saat mereka bertemu lagi di hotel.

"Kacau. Arief tahu semua," jawab Jannah.

"Maksudnya?"

"Dia tahu semua, chatting kita, bahkan dia punya rekaman video kita sedang bercinta!" kata Jannah.

"Apa aku bilang. Kalau dia memang mencintaimu, kenapa dia tidak memperjuangkanmu. Malah diam dan membiarkanmu direbut oleh orang lain? Jannah sudahlah, jangan kamu urusi dia lagi. Lupakan dia!" bujuk Thalib.

"Tapi aku masih belum bisa menerimanya. Dia jahat sekali, kalau memang dia sudah tahu kita selingkuh, kenapa dia diam saja? Kenapa?" kata Jannah sambil menangis.

Ustadz Thalib pun memeluknya berusaha untuk menenangkan Jannah. Jannah akhirnya menghapus air matanya. Satu hal yang pasti, dia tidak tahu lagi bagaimana menghadapi wajah suaminya nanti. Sebelum pengadilan agama mengetok palu, mereka masih suami istri secara hukum. 

Dia kembali teringat anaknya, ingin sekali dia memeluk anaknya di saat-saat seperti ini. Namun, semuanya sudah terlambat. Dia sudah terlalu jauh bertindak. Pasti Arief juga tidak akan membiarkan mendekati Khalil.

"Kau tak perlu khawatir. Apapun kebutuhanmu aku akan memenuhinya," kembali ustadz gadungan bangsat si Thalib itu mengeluarkan kata-kata rayuannya.

"Tapi Mas, aku masih jadi status suami orang, apa kata orang nanti?" tanya Jannah.

"Nggak masalah, aku akan menikahi kamu juga. Di dalam agama kan tidak dilarang memiliki istri lebih dari satu?" kata Thalib.

Lelaki itu memegang wajah Jannah. Dia berusaha untuk meyakinkan Jannah bahwa semuanya akan baik-baik saja. Memang dalam hal kekayaan Thalib cukup kaya. Bisnisnya besar dan punya banyak toko. Kharismanya tinggi, terlebih setelah dia menikahi seorang perempuan kaya, anak dari pemilik pesantren. Tidak ada yang tahu bagaimana caranya perselingkuhan dia aman sampai sekarang dan tidak diketahui oleh keluarganya.

Wajah Thalib mendekat ke Jannah. Mereka berciuman. Lidah lelaki itu mulai beradu dengan lidah mantan adik kelasnya. Mata Jannah memejam. Sungguh sebenarnya kalau dia bisa memutar waktu, dia ingin menikah dengan Thalib daripada Arief, tapi takdir berkata lain. Sejak kuliah dia sudah jatuh cinta kepada lelaki ini, sayangnya Arieflah yang lebih berani dan mendahului.

Tangan sang lelaki mulai bergerak aktif. Tentu saja, target utama adalah kedua payudara yang masih terbungkus kain. Tapi itu tidak akan lama, terlebih Jannah mulai membantu untuk melepas baju gamisnya. Sang ustadz juga rasanya tak sabar ingin kembali lagi beradu fisik, kulit dengan kulit.

Rasanya juga tak akan ada habisnya untuk merengguk birahi dengan Jannah, seorang perempuan seksi yang sudah jadi bahan imajinasinya semenjak masih kuliah dulu. Sekarang, cinta mereka dipersatukan lagi walaupun dengan cara yang kurang baik, tapi itu masa bodoh.

Satu per satu pakaian pun dilucuti. Ah, hanya tinggal kerudung berwarna krem saja di kepala Jannah. Dasar fetish lelaki laknat ini sudah ditebak, ingin menggalui Jannah dengan memakai kerudung. Perempuan itu pasrah saja saat disuruh untuk mengulum batang berurat miliknya. Mulut yang selama ini juga mungkin digunakan untuk mengulum batang suaminya, sekarang digunakan mengulum batang suami orang.

"Ouuhh... iya, sayang. Pandai nian kau ini," ucap Thalib sambi merem melek.

Kepala Jannah terangguk-angguk seirama dengan kocokan pada batang berurat tersebut. Lidah Jannah pun juga sangat aktif menggelitiki kepala jamurnya, membuat Thalib makin melayang dibuatnya. Tangan kanan Jannah memijat lembut dua testis yang menggantung, memberikan efek etkasi bagi Thalib. Jannah tak perlu diajari lagi untuk hal-hal seperti ini. Jam terbangnya sudah tinggi, dia tahu titik sensitif lelaki ada di sebelah mana. Inilah yang membuat Thalib tergila-gila kepadanya.

"Sudah sayang, gantian!" kata Thalib. 

Dia tahu kalau ini diteruskan, bisa-bisa dia sudah keluar lebih dulu. Jannah menghentikan aktifitas blowjobnya. Thalib pun mendorongnya, hingga perempuan itu terlentang di atas ranjang.

Tanpa aba-aba Thalib dengan rakus langsung melumat bibir surgawinya. Jannah mengerang, serangan Thalib mendadak dan bertubi-tubi seperti retetan tembakan gutling gun. Jannah gemetar hebat saat Thalib benar-benar merangsang seluruh syaraf yang ada di tubuhnya. 

Permainan lidah Thalib tak bisa diragukan lagi, luar biasa. Arief saja kalah. Meskipun Arief juga pernah memberikannya kenikmatan seperti itu, tetapi sungguh tidak ada apa-apanya. Dan benar saja, Jannah orgasme. Kedua pahanya menjepit kepala Thalib dengan tubuhnya melengkung. Kedua tangannya juga meremas sprei tempat tidur, di saat yang bersamaan cairan bening muncrat keluar dari liang senggamanya.

"Aoowwh.... ahh... udah maass.... nikmaat.... aahhh!" ucap Jannah.

Napasnya terengah-engah sambil memejamkan mata. Dia meletakkan lengannya ke dahi. Baru orgasme pertama saja rasanya seperti ini. Bagaimana berikutnya?

Thalib belum menuju ke menu utama. Dia masih mengambil ancang-ancang dengan melebarkan kaki Jannah. Diperhatikannya dulu bagaimana bibir surgawi perempuan yang dia cintai ini. Dulu, hampir saja dia menjebol keperawanan Jannah.

Penisnya tegak mengacung. Penis yang sudah mengobok-obok vagina Jannah ini akan sekali lagi bekerja. Penis yang dirindukan oleh Jannah. Kepalanya mulai menggeseki pintu masuk lorong kenikmatan perempuan tersebut. Dia ingin mempermainkan libido Jannah. Dia tahu Jannah sudah lama tidak berhubungan badan seperti ini. Maka dari itu agar Jannah tidak lari darinya, maka kebutuhan Jannah akan seks harus dipuaskan.

"Mas, please masukin!" pinta Jannah.

Thalib pun memasukinya. Dia menikmati setiap senti batangnya ke dalam liang surgawi Jannah. Liang surgawi yang sudah berbulan-bulan tidak dinikmati oleh suami sahnya. Thalib tidak kuasa, setiap batangnya masuk rasanya benar-benar nikmat. 

Tubuhnya pun kini menindih Jannah. Bibirnya sibuk menjilati ketiak Jannah yang wangi, lehernya yang jenjang dan tak ketinggalan dua payudara yang sangat menggiurkan. Biarpun sudah beranak, tapi payudara Jannah tidak ada yang menandingi bahkan istrinya sendiri.

Pinggul Thalib bergoyang naik turun mengebor kemaluan Jannah. Sementara itu kedua kaki Jannah mengunci rapat pinggul lelaki ini. Hingga akhirnya keduanya pun meraih puncak bersamaan. Siang itu sekali lagi kamar hotel telah menjadi saksi perselingkuhan mereka.

Lelehan kental sperma Thalib meleleh di liang senggama Jannah. Kedua insan ini pun akhirnya terkapar setelah pertempuran siang itu.




===X=X===



Sementara di tempat lain...



Arief pulang ke rumahnya dengan lesu. Seluruh bukti perselingkuhan istrinya sudah diberikan kepada hakim dan akan jadi pertimbangan nantinya. Dia hanya ingin menyelamatkan Khalil dari perempuan bejat itu. Bagaimana mungkin Khalil harus dididik oleh seorang pengkhianat?

Sebenarnya Arief sudah tahu gelagat istrinya sejak lama. Kenapa dia mendiamkan? Arief punya prinsip, seseorang yang sudah berkomitmen untuk hidup bersama berarti dia sudah tahu segala risiko. Persoalannya adalah istrinya yang tergoda dan lebih memilih untuk berselingkuh. Beda urusan jika ada lelaki lain yang menggoda istrinya, maka sudah barang tentu Arief akan melindungi istrinya.

Dengan istrinya membuka diri untuk lelaki lain, maka itu sudah jadi jawaban kalau perempuan itu telah berkhianat. Lalu, buat apa mencintai seorang pengkhianat? Kenapa harus memperjuangkan perempuan seperti itu? Itulah prinsip yang dipegang Arief.

Masih ingat bagaimana dulu ketika Jannah menerima pinangannya. Arief bertanya kepadanya, "Apakah kau yakin dengan keputusanmu? Aku bukan siapa-siapa, aku juga bukan orang yang mungkin sesuai dengan kriteramu. Aku takut kau akan kecewa."

Lalu apa jawaban Jannah, "Aku yakin, sebab kamu adalah orang yang berani sampai sejauh ini melamarku. Aku bisa melihat dari kesungguhanmu."

Dengan berbekal itulah Arief akhirnya menikahinya. Lalu kenapa sekarang Jannah mengkhianati kata-katanya sendiri? Hanya gara-gara CLBK?

"Abi, abi sudah pulang!!!" seru Khalil saat melihat ayahnya pulang. 

Dia langsung meminta di gendong. Arief pun menggendong anaknya.

Seorang pengasuh tampak tersenyum menyambut kehadiran Arief. Dia adalah tetangganya yang dia sewa untuk menjadi pengasuh Khalil. Namanya Bu Dian.

"Makasih lho, Bu sudah menjaga Khalil," ucap Arief.

"Wah, Pak kalau saya disuruh jaga anak seperti Khalil ada sepuluh pun mau. Anaknya nggak rewel," puji Bu Dian.

Arief tersenyum mendengarnya. Dia lalu menyerahkan amplop berisi uang kepada Bu Dian atas kerja kerasnya menjaga Khalil.

"Lho, apa ini pak?" tanya Bu Dian.

"Gaji ibu. Saya berikan di awal saja langsung," kata Arief.

"Apa saya kurang baik menjaganya?"

"Bukan, bukan. Saya sepertinya akan pindah, jadi mungkin ini minggu-minggu terakhir ibu menjaga Khalil. Saya berterima kasih sekali kepada ibu yang sudah menjaga Khalil."

"Lho, bapak mau pindah kemana?"

"Mungkin kembali ke tempat asal saya. Di sana Khalil akan tinggal bersama kakek dan pamannya."

"Oh, begitu." 

Bu Dian pun menerima amplop tersebut dan berterima kasih. Setelah itu perempuan paruh baya itu pun pamit untuk pulang ke rumah.

"Khalil mau ketemu ama kakek?" tanya Arief.

Khalil mengangguk. "Iya"

"Besok kita pergi ke rumah kakek."

Khalil mengangkat tangannya gembira. "Horeee!!"


===X=X===


Rumah bapaknya Arief, cukup sederhana. Rumah tersebut adalah tempat dimana arief tumbuh sampai dewasa. Tidak ada yang spesial dengan bangunannya, hanya rumah berukuran 6 x 10 meter dengan halaman yang luas.

Di halaman itu juga tidak ada yang spesial, hanya tanaman-tanaman terawat serta pohon mangga yang tinggi. Ayahnya Arief memang terkenal suka berkebun, sehingga dengan banyak tanaman di halaman sudah mencerminkan bagaimana wataknya.

"Kakeeek!" seru Khalil ketika melihat kakeknya sedang memotong dahan-dahan kering di salah satu tanamannya.

"Eh, Khalil. Ada apa ke sini? Tumben sekali," ucap sang kakek.

Pandangan lelaki tua itu beralih ke seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah anaknya. Itu bukan tatapan suka, melainkan tatapan menghakimi. Khalil langsung menggelayut manja di gendongan kakeknya.

"Mau lihat ikan? Kakek punya ikan buesar."

"Mau mau!" seru Khalil.

Arief hendak mencium tangan ayahnya, tetapi lelaki itu menghindar.

"Kalau bukan karena Khalil, kau sudah aku usir"

Arief menghela nafas pasrah. Ada perasaan menyesal kenapa dia tidak pernah menuruti nasihat orang tuanya. Namun, bagaimana dia harus menurut sedangkan siapapun yang tinggal di desa ini tahu siapa itu Rah Panji Suroso. Marga Suroso yang ada pada namanya itu bukanlah marga sembarangan di kampung kecil ini.

Mereka berjalan menuju ke samping rumah. Di sana ada kolam ikan yang berisi puluhan ikan koi. Khalil turun dari gendongan kakeknya dan langsung duduk di pinggir kolam. Dia seru sendiri dengan dunianya menjulurkan jarinya ke pinggir kolam.

Beberapa ikan sampai menghampirinya dan bocah itu histeris sendiri. Suroso memberikan sebungkus makanan ikan kepada anak tersebut, lalu bocah itu dengan gembira memberi makan ikan.

"Aku mohon maaf pak" kata Arief dengan perlahan-lahan Arief pun berlutut kepada ayahnya.

"Bangun! Kau sudah tak pantas lagi berlutut di hadapanku," kata Suroso sambil mengambil tempat duduk di pinggir kolam dengan kedua kakinya dimasukkan ke dalam air. Ikan-ikan kecil pun mulai menghampirinya.

"Seharusnya aku dengar nasihat bapak," ucap Arief.

"Apa? Kau dikhianati?" tembak Suroso

Arief hanya mengangguk.

Suroso tertawa. "Yo ngono kuwi. Bocah ora ngrungokne omongane wong tuwo. Masiho bapakmu iki preman, tapi bapakmu iku ngerti opo sing apik kanggo anake! (Makanya. Anak tidak mendengarkan omongan orang tua. Meskipun bapakmu ini preman tapi bapakmu ini tahu apa yang paling baik untuk anaknya)"

"Tapi aku tidak menyesal. Ini sudah keputusanku, bapak tahu sendiri alasannya. Aku melakukan semua ini juga, karena bapak," ucap Arief.

"Trus, sekarang kamu datang ke bapak buat apa? Kau bawa anakmu agar hati bapak luluh?"

Arief lalu melepaskan sepatunya, menaikkan celananya selutut, setelah itu duduk di samping ayahnya sambil kedua kakinya dimasukkan ke dalam air.

"Bapak tahu aku sangat benci bapak, karena bapak memaksakan kehendak, keras dan kadang tidak mengert apa yang anakmu rasakan. Setidaknya, aku mulai menyadari nasihat bapak agar tidak percaya kepada siapapun sampai aku benar-benar menguji orang itu adalah benar. Aku telah dimainkan oleh perasaanku sendiri."

"Arief, bapak itu sangat mencintai ibumu. Bapak sangat terpukul dan merasa kehilangan saat ibumu meninggal karena kanker. Bahkan sampai sekarang bapak merawat semua peninggalan ibumu, tanaman-tanaman itu, ikan-ikan ini. Kalau bukan karena cinta, bapak tidak akan melakukannya. Itulah kenapa sampai sekarang bapak tidak menikah lagi. Cinta bapak cuma satu untuk ibumu. Sejak kecil bapak sudah mengajarkanmu tentang dosa pengkhianatan, makanya bapak tidak suka berkhianat sampai akhir pun ibumu tidak pernah berkhianat. Bapak memilih ibumu, karena yakin dia tidak akan berkhianat. Dia seorang perempuan pilihan yang tidak ada duanya." kata suroso

Arief terhenyak. "B-bapak tahu?"

"Kamu kira bapak diam saja selama ini? Bapak tahu kamu akan bercerai dengan Jannah. Bapak sudah beritahu kamu sejak awal Jannah bukan perempuan baik-baik. Biarpun dia terlihat lugu dan polos, tapi itu hanya apa yang ingin dia tampakkan kepadamu," ujar Suroso. 

Dia mengambil sedikit makanan ikan lalu menyebarnya di atas kolam. Ikan-ikan pun mulai berebut.

"Kalau bapak tahu tentang Jannah, kenapa tidak cerita kepadaku?" tanya Arief.

Suroso menggeleng. "Kau benci bapak. Dan karena kebencian itu, bapak tidak ingin kamu membentakku. Kau mungkin tidak sadar, tapi ketahuilah hal yang paling menyakitkan bagi orang tua adalah mendengar anaknya membentak kepada orang tuanya. Satu-satunya wasiat dari ibumu kepada bapak adalah agar menyayangimu dan mendidikmu dengan baik. Walaupun bapakmu ini bukan orang baik-baik, tapi bapak bersyukur kamu sekarang sudah jadi orang baik. Itu poin yang utama. Bapak bersyukur kamu tidak minum, tidak ngobat, tidak jadi preman seperti bapak, terlebih lagi kamu ikut kegiatan kampus, jadi aktivis. Tapi itulah kesalahanmu, kau itu terlalu baik jadi orang."

Arief mengernyit. "Maksud bapak?"

"Jangan terlalu baik jadi orang. Kadang orang itu kesal, marah dan itu wajar sebagai manusia. Terkadang kita harus menolak para pengemis yang meminta-minta kepada kita. Terkadang juga kita harus membunuh semut yang menggigit. Terkadang pula kita tidak perlu menolong orang yang sedang kecelakaan di jalan. Bukan berarti kita tidak peka atau tidak peduli. Tetapi, ada hal yang lebih penting dari itu, yaitu seberapa pentingnya apa yang kita lakukan." terang suroso

"Tapi menjadi orang baik bukankah tidak apa-apa. Aku juga akan berusaha menolong banyak orang selama aku bisa," kata Arief.

"Itu tadi. Selama kamu bisa, kau hanya membuang-buang waktu dengan idealismemu itu. Dan aku yakin kamu ingin mengubur idealismemu dengan datang ke tempatku. Katakan kalau aku salah!"

Arief menggeleng. "Aku tetap pada idealismeku. Aku hanya ingin meminta bantuan bapak."

"Omong kosong. Dengan kau pergi ke rumah ini, sudah jelas kau ingin menggugurkan idealismemu itu. Aku tahu semuanya, aku ini bapakmu."

Arief kembali harus menghela nafas psrah. Dia kalah kalau soal berdebat dengan bapaknya. Akhirnya untuk beberapa saat dia pun terdiam. Menikmati pemandangan kolam dan Khalil yang sedang sibuk bercengkerama dengan ikan-ikan.

"Aku tak mau tahu apa masalahmu, tapi kalau butuh bantuan bapak dengan senang hati menolong. Tapi ada syaratnya," ucap Suroso tiba-tiba.

"Katakan syaratnya! Kalau itu bisa aku lakukan akan aku lakukan," ucap Arief.

"Kamu pasti sanggup."

"Apa itu?"

Suroso hanya tersenyum. Dia beranjak dari pinggir kolam lalu memanggil Khalil, 

"Khalil, makan yuk? Kakek tadi masak ikan. Khalil mau?"

Khalil merasa terpanggil. "Mau mau mau!" dengan tingkah lucunya Khalil langsung menghampiri kakeknya. 

Mereka bergandengan tangan memasuki rumah. Tak lama kemudian Arief pun menyusul.



===X=X===

JILBAB BINAL NAKED SEXY
LELI


Empat Bulan kemudian.....



"Apa ini, bi?" tanya Leli saat menerima selembar surat bermaterai dan sudah ditanda tangani oleh suaminya, Pak RT dan Pak RW.

"Baca saja," kata Thalib.

Leli pun membacanya dengan seksama. Perlahan-lahan hatinya bergemuruh saat mengetahui isi dari lembaran dokumen itu. 

"Abi mau nikah lagi?"

"Iya, kuharap kamu mau menandatanganinya," kata Thalib.

Mata Leli berkaca-kaca. 

"Bi, apa kekuaranganku selama ini? Kenapa ini tiba-tiba? Apa salahku sampai Abi ingin menikah lagi?"

Thalib berlutut di hadapan istrinya yang saat itu sedang duduk di atas ranjangnya. 

"Kau tidak ada yang kurang, sayang. Kau sempurna, sangat sempurna. Aku menikahimu, karena kau baik, anak orang baik-baik dan juga agamamu bagus. Karena itulah aku menikahimu."

"Bohong!, lalu ini apa?"

"Jannah adalah temanku dan dia baru saja bercerai dengan suaminya. Aku kasihan kepadanya dan aku ingin membantunya. Itu saja."

"Membantunya? Membantunya dengan menikahinya?"

"Itu lebih baik. Rumah ini akan lebih ramai, kau punya saudara baru, anak-anak juga akan dididik oleh wanita shalih lainnya. Dan ini aku lakukan juga agar aku bisa menahan pandanganku dan kemaluanku. Bukankah itu alasan pernikahan, sayangku?" gombal Thalib.

"Enggak, Bi. Ini nggak masuk akal. Abi bilang akan mencintaiku," ucap Leli sambil terisak.

"Sayang, aku mencintaimu. Tidak perlu kau ragukan itu. Dan karena aku ingin menjaga cintaku agar tetap suci dan menjauhi zina, maka aku menikah lagi. Menikah itu bukan perselingkuhan. Maka dari itulah aku tempuh jalan ini. Aku berjanji akan terus memenuhi kewajibanku kepadamu, kepada anak-anak kita. Kau tak perlu khawatir."

Leli melemparkan pandangannya. Dia bingung statusnya sebagai istri seorang ustadz. Memang menerima lamaran Thalib adalah keputusan dia dan juga keluarganya. Namun, saat tiba-tiba suaminya memutuskan menikah lagi ini adalah ujian terberatnya. 

Bagaimana suaminya bisa berpikiran seperti itu? Walaupun di dalam agama tidak dilarang, tetapi ini terlalu cepat baginya. Kebahagiaan dalam pernikahan saja belum lama dia rasakan sudah ada ujian seperti ini. Apa nanti yang bisa dia ceritakan kepada anak mereka ketika bertanya, Siapa perempuan yang bersama ayahnya itu?

"Umi masih tidak setuju Abi menikah lagi. Apalah aku, Bi. Aku hanya seorang perempuan yang sudah tidak memiliki orang tua lagi. Kalau pun aku pergi, aku harus pergi kemana? Umi hanya punya kepercayaan terhadap Abi. Kalau memang itu keputusan Abi, Umi akan izinkan. Abi tahu hukumnya, tahu ilmunya, Abi seorang ustadz. Sedangkan aku bukan. Aku hanya wanita biasa. Umi akan izinkan dengan satu syarat aku tak mau dia tinggal serumah dengan kita dan karena kita sudah punya anak, maka Abi harus memberikan perhatian lebih kepadaku daripada dia. Kalau Abi tidak menuruti syarat ini, Abi tidak akan melihat Umi lagi untuk selamanya."

Thalib terkejut mendengarnya. Syarat istrinya sebenarnya bisa saja dia penuhi, tetapi ancamannya sangat mengerikan. Dia bisa mempersiapkan rumah untuk Jannah, memberikan giliran lebih untuk Leli tidak masalah.

Hanya saja tidak ingin Leli pergi begitu saja. Terlebih lagi ancama Leli itu tidak main-main. Dia hidup sebetang kara sekarang dan hanya memiliki Thalib sebagai suaminya. Kalau misalnya suaminya berlaku tidak adil kepadanya, ia bisa saja pergi tanpa beban. Namun, satu yang pasti Thalib masih mencintainya.

"Umi, aku sangat mencintaimu. Kau tak perlu meragukannya," kata Thalib. "Semua syaratmu akan aku penuhi."

Leli mengambil pena lalu menandatangani surat pernyataan kesediaannya untuk dipoligami. Tak ada kata terucap. Meskipun setelah mendapatkan tanda tangan itu Thalib mencium ubun-ubunnya. Dia hanya bisa pasrah menyerahkan semua kepada Sang Pencipta. Entah takdir apa yang akan menantinya ke depan.

"Aku ingin bertemu dengan Jannah," ucap Leli sebelum Thalib keluar dari kamar.

"Besok aku akan membawamu kepadanya," kata Thalib sambil tersenyum, "Insyaa Allah ini adalah ladang pahala bagi Umi."

"Ini juga adalah ladang dosa bagimu, Bi. Jangan Abi lupakan itu!" kata Leli.

Thalib tak bersuara lagi. Dia pergi meninggalkan kamar istrinya. Leli pun meneteskan air mata, mencoba menata hatinya atas apa yang terjadi hari ini.

Dari luar terdengar suara mesin mobil dinyalakan, pertanda suaminya sedang bersiap berangkat untuk mengisi kajian di salah satu masjid.

Jadwal suaminya memang cukup padat kecuali hari Jumat. Hampir setiap hari suaminya mengisi kajian di mana-mana. Kharisma ustadz gadungan Thalib memang tak bisa digantikan oleh siapapun, mungkin itu juga yang membuat Leli bertekuk lutut di hadapan suaminya. Apapun yang diinginkan suaminya tak pernah tidak dipenuhi.

Perempuan cantik itu kemudian menatap cermin di lemari pakaiannya. Dia tidak memakai kerudung, karena memang berada di dalam rumah. Rambutnya tergerai panjang sebahu. Tubuhnya masih seksi, padat berisi. Siapapun pasti tergila-gila juga kepadanya. 

Apa yang kurang dari dirinya? Setiap gaya yang diinginkan suaimnya diranjang pun dia patuhi. Lalu apa yang kurang sehingga suaminya ingin menikah lagi?

Perlahan-lahan Leli melepaskan pakaiannya satu demi satu. Cahaya lampu kamarnya sepertinya tak sabar untuk bisa menyinari dan membelai lembut kulit cerahnya. Leli memiliki tubuh yang sangat sempurna, siapapun akan tergila-gila kepadanya. Hanya saja, sekarang ini ada sedikit lemak di sana-sini. Meskipun begitu dia benar-benar masih terbilang sebagai bidadari turun dari kayangan.

Lama Leli bercermin, memutar tubuhnya, memijat bokongnya, memang payudaranya sedikit turun karena dia benar-benar menghabiskan waktu dua tahun untuk menyapih anaknya. Tetap saja itu payudara yang cukup kecang dan mulus dengan urat-urat hijaunya terlihat. Siapa lelaki yang sanggup untuk menahan diri melihat dua bola daging itu? Perutnya tidak rata, sedikit berisi, tapi bukan berarti Leli gendut.

Leli mendesah. Mustahil suaminya tidak tertarik dengan tubuhnya yang setiap bulan selalu dirawat. Hanya satu yang ada di pikirannya, khusnuzhon. Berprasangka baik bahwa memang niat suaminya adalah untuk menolong orang. Toh, apa yang dilakukan orang yang khusnuzhon dalam permasalahan ini tidaklah salah. Kalau misalnya suaminya curang, maka dia akan kena batunya. Kalau benar, maka dia akan mendapatkan pahala.

Seluruh pertanyaan kenapa dan mengapa masih menggelayut di dalam benaknya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk bisa melupakan persoalan hari ini, walaupun itu rasanya tidak mungkin. Leli segera berpakaian lagi untuk melihat dimana putranya berada. Ternyata putranya sedang bermain sambil menonton televisi. Sementara itu pembantunya Bik Tini sedang sibuk di dapur.

Tiba-tiba bel berbunyi. Leli mengernyit. Segera dia memakai kerudung. Bik Tini saat itu tergopoh-gopoh akan membuka pintu, tapi dicegah oleh Leli karena dia sendiri yang akan membuka pintu.

"Biar saya saja, Bik," ucap Leli.

Pembantunya pun kembali lagi ke dapur. Leli yang sudah memakai kerudungnya itu pun kemudian membuka pintu. Tampak di luar pagar seorang pengirim paket sedang berdiri menunggu tuan rumah muncul.

"Paket. Dengan Bu Leli Indriana?" tanya kurir tersebut.

"Ya, saya," jawab Leli.

Kurir tersebut menyerahkan amplop coklat dengan isi yang lumayan berat.

"Dokumen? Atau apa?" Leli menerka-nerka.

Setelah menyerahkan paketnya si kurir pun pergi. Rasa penasaran membuat Leli segera pergi ke dalam rumah untuk membuka isi paketnya. Amplop coklat itu pun kemudian dibuka. Ada beberapa lembar surat, serta sebuah flashdisk.

Perempuan itu pun kemudian duduk di sofa sambil membaca isi surat tersebut.

===X -ISI SURAT- X===
"Assalaamu'alaikum. Ibu Leli, perkenalkan saya Arief.

Mungkin ibu sangat terkejut kenapa saya memberikan amplop ini dengan isi surat dan sebuah flashdisk USB. Saya adalah mantan suami Jannah. Wanita yang mungkin akan dinikahi oleh suami ibu."

Leli terkejut. Dia kemudian beranjak dari sofa untuk buru-buru masuk ke kamar. Dia tak ingin permasalahan ini sampai diketahui oleh Bi Tini. Setelah berada di kamar dan merasa aman, dia pun lanjut membaca isi surat tersebut.


"Saya hanya orang biasa dan tidak punya maksud apapun. Adapun alasan saya mengirimkan surat ini adalah ingin menyampaikan kelakuan istri saya dan suami ibu. Ibu boleh membuka isi flashdisk tersebut. Isi flash disk ini berisi adegan mesum mereka. Silakan kalau ingin percaya kepada saya atau tidak. Intinya saya sudah memberikan bukti-bukti perselingkuhan mereka.

Ustadz Thalib termasuk ustadz yang saya hormati dulu. Bahkan dia adalah senior saya di kampus. Sayangnya, saya tidak tahu kalau istri saya ternyata masih menyimpan perasaan cintanya kepada Thalib sampai sekarang. Dia mempermainkan rumah tangga kami, menyakitiku dan anakku. Mereka berani berjanji untuk memesan hotel tanpa sepengetahuanku dan berhubungan suami istri sedangkan aku masih berstatus sebagai suaminya.

Saya tidak bermaksud agar Ibu Leli percaya kepada saya. Bukti-bukti ini saya berikan agar Ibu Leli tahu kalau suami ibu tidak sebaik yang ibu kira. Dan hendaknya ibu tidak menceritakan bukti-bukti ini kepada suami ibu terlebih dahulu, sebab saya ingin berbicara dulu dengan ibu, kalau ibu berkenan. Hubungi saya di nomor yang tertera di surat ini.

Wassalamu'alaikum.

Arief"
===X -SUART END- X===


Jantung Leli berdebar-debar. Bukti perselingkuhan? Dia nyaris tak percaya. Sejurus kemudian dia mengambil dokumen lainnya. Ternyata bukti chat antara Jannah dan suaminya. Dari mulai Jannah pamer susu, suaminya pamer titit dan percakapan mesra lainnya. Wajah Leli memerah. Dia nyaris meledak.

Dia pun membuka laptop untuk melihat isi flashdisknya. Apakah harus dilihat? Bagaimana kalau itu benar suaminya? Kalau memang benar runtuhlah selama ini persangkaan baiknya. Dia tak peduli. Dia ingin lihat apakah benar suaminya sebejat itu.

Laptop sudah nyala dan akhirnya isi flashdisk tersebut dibuka. Ada beberapa file dan Leli menangis ketika melihat isi dari video yang dimainkannya. Di sana ada suaminya sedang menindih seorang perempuan. Hatinya hancur seketika. Dengan gemetar Leli mengambil ponselnya lalu menekan nomor Arief.

Tak butuh waktu lama hingga akhirnya Arief menjawab teleponnya, 

"Halo?"  suara Arief

"Ini... ini benar? Benarkah suamiku melakukan ini semua?" tanya Leli sambil menangis.

"Sebaiknya kita bertemu untuk membicarakan ini lebih lanjut. Itu kalau Bu Leli tidak keberatan. Saya akan kirimkan alamatnya," jawab Arief. 

Setelah itu Arief menutup telepon.

Leli masih kebingungan. Beberapa saat lalu dia menandatangi surat pernyataan izin poligami suaminya, sekarang ada bukti perselingkuhan dia dengan calon istri barunya. Apa yang harus dia lakukan? Rasanya saat itu Leli hampir pingsan. Namun, ketika dia teringat dengan putranya, akhirnya dia tetap berusaha tegar dan kuat.

Setelah lima belas menit beralu, Leli sudah berdandan, memakai jilbab lebar dan berencana untuk keluar. Bik Tini yang melihatnya pun terkejut.

"Umi mau kemana?" tanya Bik Tini.

"Titip Hafiz sebentar ya, Bik. Ada urusan mendadak," jawab Leli.

Leli tak lupa membawa amplop coklat tadi. Semuanya harus jelas apa yang terjadi. Dia ingin bertemu dengan Arief. Entah apakah Arief berbohong atau tidak. Tapi dia harus mendapatkan kejelasan dan kepastian. Kalau misalnya suaminya memang berbohong dan selingkuh, maka tak ada cara lain selain dia harus pergi meninggalkan suaminya. Dia akan menggugat suaminya karena telah membohonginya selama ini.



===X=X===



Tempat pertemuan yang diberitahu Arief merupakan sebuah kafe yang terletak di salah satu mal. Kafe tersebut lumayan terkenal dengan berbagai menu beverages maupun cakenya. Berbagai macam kopi tersedia di tempat ini, mulai dari kopi tubruk hingga kopi dalgona yang fenomenal. Dari ala Espresso ataupun Americano, hingga latte. Cocok bagi mereka para coffee snob.

Pikiran Leli sudah bermacam-macam selama perjalanan. Yang dia inginkan hanya satu yaitu kebenaran akan info yang diberitahu oleh Arief. Jannah memang telah disebut oleh suaminya beberapa kali dan dia tahu kalau Jannah adalah cinta pertama suaminya, tetapi apakah benar suaminya selingkuh itu yang dia tidak ketahui.

Menemukan Arief tidaklah sulit, pria itu sedang duduk di balkon kafe sambil menerawang jauh. Dia juga tidak peduli lagi dengan minumannya yang sudah dingin. Leli dengan mudah menemukan pria itu dari penampilan seperti yang diceritakan oleh Arief.

Perlahan-lahan Leli memperhatikan dengan seksama bagaimana penampilan Arief. Pria ini mengenakan jaket track berwarna hitam, memakai celana jeans dan sepatu kets. Perawakannya yang santai, tapi tatapan wajahnya jelas bukan orang yang sedang terlihat santai. Entah apa yang sudah dia alami selama ini. Namun, satu hal yang Leli tak bisa sangkal wajah Arief cukup tampan dengan jambang dan janggut tipisnya bisa membuat hati perempuan manapun terpana untuk pertama kali.

Leli beristighfar. Bayangannya sudah kemana-mana, segera dia tepis itu.

"Mas Arief?" sapa Leli, walaupun sebenarnya dia sudah yakin itu Arief.

"Iya, saya," jawab Arief.

Leli mengambil tempat duduk di hadapannya. 

"Sudah lama? Maaf kalau lama."

"Tidak, tidak apa-apa," jawab Arief.

"Saya Leli," kata Leli.

"Arief," kata Arief. 

Arief berusaha tersenyum.

"Jujur saya syok mendapatkan ini," kata Leli sambil memperlihatkan amplop coklat yang dibawanya.

"Mbak sudah lihat isinya?" tanya Arief.

Leli mengangguk. "Jujur saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Terlebih saya sudah menandatangani surat pernyataan kalau saya mengizinkan suami saya poligami. Dan itu istrinya Mas?"

"Saya sudah bercerai," kata Arief, "jadi itu mantan istri saya. "

"Kapan mas tahu kalau isri mas berselingkuh?" tanya Leli.

"Sudah lama," jawab Arief, "mbak tidak tahu sama sekali kalau suami mbak berselingkuh?"

Leli menggeleng. "Saya tidak percaya dengan ini semua. Rasanya mustahil sekali, dia seorang ustadz dan kirim gambar-gambar porno ke perempuan lain apalagi bukan istrinya. Sampai saling kirim gambar telanjang. Dan astaghfirullah, video itu..."

"Ini semua sebenarnya bukti yang saya berikan ke pengadilan dan saya sudah berjanji kepada pengadilan untuk tidak membeberkan bukti ini ke siapapun. Tapi saya langgar janji itu dan memberikannya kepada mbak Leli."

Leli mengernyit. "Lalu, apa faedahnya kau berikan ini kepada saya?"

"Sebelumnya saya ingin minta maaf. Saya sangat dendam kepada istri saya, karena dia mengkhianati saya. Saya berikan ini kepada Mbak Leli agar mbak Leli tahu, kalau saya orangnya sangat serius dalam mengerjakan sesuatu. Masalahnya adalah, apa yang akan saya sampaikan ini mungkin akan tidak nyaman untuk didengar, bahkan mungkin Mbak sendiri tidak akan sanggup untuk mendengarnya. Adapun saya memberitahu kepada Mbak adalah agar saya bisa melakukannya tanpa sedikit keraguan," ujar Arief.

"Maksudnya?"

"Dengan izin Mbak atau tidak, saya akan menghancurkan hidup suami Mbak. Dan tentu saja mantan istri saya, jadi saya ingin Mbak yang tidak terlibat dalam urusan ini, bisa menjauh atau setidaknya tidak turut campur dengan apa yang akan saya lakukan ke depan," kata Arief.

Leli terkejut. Dia tak menduga Arief akan seserius ini. Memang Arief sakit hati, tapi tentu saja tak akan menduga Arief akan bertindak sejauh ini. Kalau memang ingin mencelakai suaminya, pastilah Arief sudah punya rencana.

"Kamu mau mencelakai suami saya?" tanya Leli.

"Saya bukan tukang pukul dan juga bukan preman. Menyakiti orang lain secara fisik bukan style saya," jawab Arief.

"Lalu?"

Arief tersenyum sejenak. "Itu rahasia."

"Mas, jangan sampai mas melukai atau menyakiti suami saya. Seburuk-buruknya Mas Thalib, dia masih suami saya, masih bapak dari anak saya," kata Leli, 

"mas tahu bukan akibatnya kalau sampai bertindak jauh? Mas bisa dimasukkan ke penjara." lanjutnya

"Dengan bukti-bukti yang ada di tangan Mbak masih kurang? Mbak sudah memegang bukti-bukti otentik tentang perselingkuhan suami mbak dan masih tidak percaya?"

"Siapa tahu juga ini rekayasa kamu. Di dalam Islam menuduh orang berzina itu harus mendatangkan empat saksi, bukti-bukti ini tidak cukup!" ucapnya.

"Jadi mbaknya mau lihat langsung?" tanya Arief.

Leli terkejut. "Melihat langsung?"

"Saya sudah tahu kebiasaan suami mbak dan mantan istri saya. Seharusnya hari ini suami mbak sedang mengisi pengajian bukan?" tanya Arief sambil tersenyum.

"Iya," jawab Leli.

"Ikut saya!" kata Arief sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Kemana? Kau mau menjebakku?"

"Terserah mbak mau percaya atau tidak. Kalau mau, mbak bisa ikut saya dari belakang, pesen saja taksi online," kata Arief.

"Mas naik apa?" tanya Leli.

"Sepeda motor," jawab Arief.

Leli sedikit kebingungan, tentu saja buat dirinya yang selalu menjaga diri dari lelaki lain tidak mungkin harus berboncengan dengan Arief. Dia pun akhirnya memilih untuk naik taksi online saja. Mereka pun kemudian berangkat.

Tujuan mereka adalah menuju ke sebuah tempat yang agak jauh dari kota. Lebih tepatnya ke pinggiran kota, ke tempat yang jauh dari keramaian.

Selama perjalanan Leli terus berpikir tentang Arief. Memang bisa jadi apa yang dikatakan Arief tentang suaminya benar. Wajah lelaki itu sepertinya tidak menunjukkan kalau dia berbohong. Pasti amarahnya sedang memuncak sekarang, sehingga dia berani bilang akan membalas apa yang telah diperbuat oleh Thalib dan juga Jannah. 

Leli bimbang untuk harus mempercayai siapa. Taruhlah memang suaminya berzina, bukankah suaminya bisa bertaubat kalau Leli mengizinknnya poligami? Semudah itu bukan?

Namun, jujur hatinya tidak akan mampu menahan diri dari letupan amarah. Bukankah pernikahan itu menjadikan hati tentram. Kalau pernikahan membuat hati tidak tentram lalu apa gunanya semua ini? Apa gunanya kemesraan, cinta dan seluruh pelayanan yang telah diberikan Leli kepada Thalib?

Arief berhenti dan memarkirkan motornya di halaman mushala. Leli pun mengikutinya. Setelah membayar ongkos taksi yang ditumpanginya Leli menghampiri Arief.

"Dimana?" tanya Leli tanpa basa-basi.

"Mbak lihat kampung ini. Sepi kan? Tempat yang sangat cocok untuk berselingkuh," jawab Arief, "ikut saya!"

Arief berjalan lebih dulu, sementara Leli berjalan di belakangnya. Tempat yang mereka kunjungi seperti tidak asing bagi Leli. Perasaannya pun tidak enak.

"Aku rasa aku tahu tempat ini," ucap Leli.

Dan akhirnya Arief berhenti di sebuah rumah. Lingkungan sekitar tempat tersebut cukup sepi. Orang-orang tampaknya punya kesibukan masing-masing sehingga ketika dua orang asing berada di lingkungan itu pun tidak dihiraukan. Leli menutup mulutnya saat tahu rumah yang Arief tunjukkan. Itu rumahnya.

Di halaman rumah tersebut ada mobil yang sangat dikenali oleh Leli. Mobil MPV silver tersebut tentu saja milik suaminya. Seharusnya jam segini suaminya mengisi pengajian, tetapi nyatanya mobil tersebut ada di sini. Awalnya Leli ragu kalau itu mobil suaminya, ternyata dia makin yakin setelah melihat plat nomornya. Itu memang mobil suaminya.

Sekali lagi Arief memberi aba-aba untuk mengikutinya masuk. Tentu saja Leli tidak ragu untuk masuk ke halaman rumah itu. Ini adalah rumah orang tuanya. Rumah yang dia tempati saat kecil sebelum kedua orang tuanya pergi. Arief memberi isyarat agar tidak bersuara dengan menempelkan jari telunjuk di bibir. Mereka lalu pergi ke samping rumah.

Daun jendela kamar tampak terbuka, sehingga Arief menunduk dan merendahkan badan sambil berjongkok di bawah jendela kamar tersebut. Mata Leli tampak berkaca-kaca saat mendengar sesuatu.

"Ohh... Mas... ahhh... ehmmm... Mas Thalib... sodok mas.... sodok yang kenceng!" terdengar suara perempuan.

"Oh, Jannah. Sebentar lagi kamu aku nikahi... Ahh... memekmu jepit.... uffhhh... aku ingin mengahmilimu.... aahhh... memek enaak!" terdengar suara Thalib.

Leli penasaran lalu mencoba untuk mengintip dari jendela berteralis tersebut. Kamar itu adalah kamarnya. Kamar yang dipakai Leli sejak kecil, kini ternodai oleh perzinaan suaminya dengan wanita lain.

Nyaris saja Leli menjerit, tetapi telapak tangan Arief langsung menutup mulutnya agar tidak bersuara. Dengan kedua matanya, Leli melihat suaminya tanpa busana menindih tubuh perempuan lain. Dia sudah berada di puncak amarah, saking marahnya dia meronta agar Arief melepaskannya. Ingin saat itu juga Leli mendobrak pintu, masuk ke kamar dan memarahi suaminya. 

Namun, Arief menahannya. Segera Arief menyeret Leli agar suaranya tak heboh dan menyadarkan kedua orang yang sedang bersetubuh itu.

Arief terus menutup mulut Leli hingga menjauh, sampai kira-kira suara pembicaraannya tidak terdengar oleh Thalib dan Jannah.

"Lepaskan aku! Aku ingin melabrak mereka! Lepaskan!" kata Leli.

Arief terus menyeret Leli menjauh dari rumah tersebut. Mereka pun akhirnya kembali ke mushalla. Keduanya pun duduk di teras dengan Leli menangis tersedu-sedu.

"Kau sudah lihat bukan sekarang? Aku tidak berbohong," kata Arief.

Leli mendongak menatap Arief. Leli mengusap air matanya, saat itu perasaannya benar-benar hancur. Sebenarnya aktivitas persenggamaan itu telah dilihat berkali-kali oleh Arief. Dia sama sekali tidak terangsang, bahkan sangat membencinya. Hatinya sudah remuk redam, tetapi Arief tahu cara menahan emosinya. Dia akan meluapkannya suatu saat nanti pada saat yang tepat.

"Aku sudah berkali-kali melihat adegan itu, aktivitas mesum mereka ini bukan yang pertama. Di video yang aku berikan itu juga kamu pasti telah melihatnya," ucap Arief.

"Aku tak percaya. Mereka memakai rumah peninggalan orang tuaku sebagai tempat untuk berzina," kata Leli.

"Sesungguhnya, rumah itu sudah ditempati oleh Jannah semenjak dia pergi dariku. Thalib yang memberikan tempat tinggal tersebut. Aku tak tahu kalau itu adalah rumah peninggalan orang tuamu," ucap Arief.

Leli diam. Di dalam benaknya sekarang berkecamuk banyak pikiran. Orang waras pasti juga tidak akan tinggal diam melihat suaminya berzina di hadapannya. Leli pun tidak punya rasa terangsang sama sekali, bahkan jijik. Sebagaimana dia jijik melihat kotoran hewan tersaji di meja makan lengkap dengan nasi dan sayuran, ambillah kotoran hewan itu sebagai lauk yang siap untuk disantap. Tentunya tidak ada yang mau untuk menyentuhnya.

Tiba-tiba Leli pun muntah. Untungnya, dengan siap Leli muntah di tanah agar tidak mengotori teras mushalla. Bayangan persetubuhan suaminya dengan wanita lain kembali memenuhi otaknya. Agaknya hal itu tak bisa dia singkirkan, bahkan makin menjadi-jadi. Otak perempuan akan selalu teringat dengan hal-hal buruk, terlebih hal-hal yang tidak bisa dimaafkan.

"Antar aku pulang!" pinta Leli.

"Aku akan bantu panggilan taksi online," ucap Arief.

"Mas bonceng saja," ucap Leli.

"Tapi kita bukan mahram," kata Arief.

"Tolong...," pinta Leli dengan memelas.

Akhirnya mau tak mau dan karena terpaksa, Arief pun membonceng Leli. Selama perjalanan, Leli terasa lemas. Dia pun menyandarkan kepalanya di punggung lelaki yang mantan istrinya menjadi selingkuhan suaminya ini. Rasanya punggung Arief tegap, berbeda dengan suaminya. Selama perjalanan pulang juga Leli tidak berbicara sepatah kata pun.

Sesampainya di depan rumah, Leli turun dari motor. Pandangannya masih menerawang. Dia benar-benar syok.

"Makasih," ucap Leli lesu.

"Seperti yang aku katakan tadi. Pergilah, menjauh. Aku tak ingin kamu mendapatkan imbas dari usahaku untuk membalas perbuatan mereka. Saya tahu Mbak Leli orang yang baik, apalagi juga punya anak," kata Arief.

Leli masih menatap kosong. "Menurutmu, apakah aku jelek sampai suamiku berselingkuh?"

"Mbak masih cantik kok. Mbak pasti akan mudah dapat pengganti suami mbak. Orang seperti suami mbak jangan diberi hati. Dia akan menghancurkan hidup mbak sedikit demi sedikit."

Leli mengangguk. "Apa yang akan kau lakukan? Aku susah untuk bercerai dengan suamiku, sebab aku sudah punya anak dan aku hidup sendiri. Aku tidak punya teman, tidak punya keluarga yang bisa menampungku. Maka dari itu untuk bisa pergi dari sini, sangat berat."

"Haahhh..." Arief menghela nafas berat.

Dia tak menyangka keadaan Leli seperti itu. 

"Baiklah, masuklah ke dalam. Saya akan menghubungi Mbak lagi. Tapi ingat! jangan ceritakan tentang apa yang Mbak lihat hari ini ke siapapun. "

Leli menangguk lemah. "Aku pasrah, aku tak bisa melawan. Ini sudah takdir."

"Siapa bilang kau harus pasrah dan tidak bisa melawan?" tanya Arief, "saya ingin memberitahu kepada Mbak, bahwa hidup mbak belum berakhir. Mbak ingin membalas suami mbak? Maka kerjasamalah denganku. Aku sebenarnya tidak ingin melibatkan mbak Leli ke dalam hal ini, tetapi kalau Mbak mau bekerja sama denganku membalas apa yang telah mereka lakukan, maka aku akan sangat terbantu."

Leli mengangguk lagi. 

Setelah itu dia berbalik badan untuk kembali masuk ke rumah. Tak berapa lama kemudian Arief pun pergi. Mereka saling berpisah tanpa mengucapkan salam perpisahan sama sekali. Leli terguncang jiwanya, sedangkan Arief telah memikirkan rencan-rencana panjang.


===X=X===

jilbab AI generator gratis
LISTA


Paginya Arief dikejutkan dengan ponselnya yang berdering. Di layar tampak nama Lista Herliana. Arief langsung teringat siapa perempuan ini saat melihat wajah di kontaknya.

"Halo, Assalamu'alaikum," sapa Arief.

"Wa'alaikumsalam," balas Lista, "ini ama Om Arief?"

"Lista? Apa kabar?" sapa Arief.

"Baik, Om. Om masih ingat ama Lista?" tanya Lista takjub.

"Tentu saja masih ingat. Ada apa nih? Tiba-tiba telepon. Tumben," kata Arief.

"Anu, Om. Jadi gini, Lista kan sudah lulus. Lista kepingin Om dampingin Lista saat wisuda nanti," ucap Lista.

"Lha, kedua orang tuamu?" tanya Arief.

"Orang tua Lista kan jauh, Om. Butuh ongkos kalau ke sini. Om kan dulu membantu Lista dan juga satu-satunya orang yang Lista kenal di kota ini. Makanya, orang tua sudah mengizinkan kok. Biar om saja yang dampingi," jawab Lista.

Pikiran Arief sesaat mengenang tentang Lista. Seorang gadis cantik asal Jawa Barat yang harus merantau ke kota Malang untuk menempuh pendidikan. 

Saat itu Arief menjadi d0natur untuk membiayai beasiswa bagi beberapa pelajar yang terpilih. Setiap bulan Arief terus menyumbangkan program beasiswa tersebut kepada salah satu badan sosial. Awalnya Lista tidak tahu siapa orang baik yang telah menjadi donaturnya. Lista baru tahu siapa orangnya setelah menyelidiki sendiri asal dari beasiswanya dengan bertanya ke badan sosial tersebut. 

Saat itu Arief masih belum menikahi Jannah. Begitu tahu siapa Arief, Lista sebenarnya langsung tertarik kepada Arief. Walaupun masih muda, Arief sangat perhatian dan tidak pernah menahan diri untuk membantu dan menolong orang lain.

Hari itu Arief baru saja selesai bekerja di kantor tempat usahanya. Usaha yang sedang dia lakukan adalah mendirikan perusahaan software house yang dia kelola bersama beberapa orang teman-temannya. Untuk memulai startup memang tidak mudah. Semenjak lulus dari kuliah dia mencoba bekerja di beberapa tempat. 

Dengan berbekal pengalaman selama dua tahun bekerja di dua perusahaan besar, dia pun mulai bisnis sendiri dengan membuka kantor sendiri. Padahal gajinya di perusahaan tempat dia bernaung dulu cukup besar dan sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan dia juga bisa menabung selama dua tahun tersebut.

"Assalaamu'alaikum," sapa Lista kala itu. 

Lista saat itu datang dengan kerudung putih. Wajahnya sangat cantik dengan dagu belah. Tidak pendek, juga tidak tinggi. Yang paling diingat Arief adalah senyuman bocah itu. Boleh dibilang Lista adalah perempuan yang murah senyum kepada siapapun.

"Wa'alaikumussalam," jawab Arief, "eee....siapa ya?"

"Maaf, mengganggu, Om. Ini saya Lista, penerima beasiswa," ucap Lista.

"Hah?" tentu saja Arief kaget, "lho, kok? Sebentar, sebentar. Beasiswa? Darimana kamu tahu?"

"Ya tanyalah, Om," ujar Lista.

"Rief, duluan ya," ucap teman kerja Arief saat itu, "siapa tuh? Calon bini? Mbak Jannah itu ya?"

"Sembarangan," ucap Arief, "bukan, udah pulang sana!"

"Mbak, jangan dikejar. Minggu depan mau nikah itu orangnya," kata temannya sambil cekikikan.

"Ooo..." ucap Lista.

"Udah pulang woy!" ucap Arief sambil menendang sepeda motor temannya.

Teman kantornya pun terkekeh lalu pergi meninggalkan mereka.

Lista tersenyum manis. Padahal dari awal dia sudah ada perasaan kepada Arief, sayangnya perasaan itu harus kandas. Lelaki yang ada di hadapannya ini akan menikah.

"Gimana tadi? Sampai mana?" tanya Arief, "kamu sampai tahu tempatku kerja ya? Hebat."

"Enggak, Om. Jadi, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Aku sampai tanya ke badan sosial yang membantuku mendapatkan beasiswa. Ku kira Om itu orang mana ternyata malah satu kota ama kampusku," jawab Lista.

"Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Lagipula aku ikhlas kok. Aku berharap dengan aku membantu orang lain, maka hidupku juga akan dipermudah oleh Tuhan. Bukan begitu?"

Lista mengangguk.

"Kamu lapar? Mau aku ajak makan?" tanya Arief.

"Ah, sudah, Om. Tidak perlu repot."

"Ayolah, aku yang traktir!" ajak Arief.

Sejak saat itulah Arief dan Lista dekat. Mereka seperti teman pada umumnya, Lista sangat menghormati Arief sebagai orang yang telah membantunya selama ini. Bahkan orang tuanya pun menaruh hormat kepada Arief. Bagi Lista Arief ibarat MALAIKAT yang telah menolongnya.

Kembali ke masa sekarang dimana Lista meminta bantuan kepada Arief untuk menghadiri wisudanya. Arief pun akhirnya mengiyakan.

"Okelah, aku akan datang," ucap Arief, "kapan memangnya?"

"Besok Minggu, Om," jawab Lista.

"Lha, hari ini kan Sabtu, berarti besok dong?"

"Bukan, maksudku minggu depan."

"Owalah, gampang wis. Bisa."

"Yey, makasih ya, Om. Ngomong-ngomong salam ya buat Tante Jannah. Lama kali nggak lihat beliau ke pengajian," kata Lista.

Dan memang Lista juga mengenal Jannah, tanpa tahu kalau Arief sebenarnya telah berpisah.

"I-iya," kata Arief. "Oh ya ngomong-ngomong kok kamu baru lulus sekarang?"

"Enggak, Om. Lulus sudah lama, aku tinggal ujian untuk mendapatkan sertifikat untuk praktek trus jadi asisten selama beberapa waktu, jadi kelihatan kalau lulusnya lama. Sebenarnya ya enggak. Tinggal wisuda saja," jelas Lista.

"Jadi, sekarang sudah siap jadi ibu bidan, dong," puji Arief.

"Insyaa Allah, Om," kata Lista.

"Luar biasa," kata Arief.

"Ya sudah om. Sampai ketemu besok minggu, eh. Minggu depan, hehehe. Assalaamu'alaikum," ucap Lista mengakhiri pembicaraan.

"Wa'alaikumussalam," ucap Arief juga menutup teleponnya.

Arief menghela napas. Dia tak menyangka kalau orang yang dia bantu selama ini sudah lulus kuliah dan tinggal wisuda. Telepon Arief kembali berdering, kini dari Leli.

"Halo, Assalaamu'alaikum," sapa Arief.

"Wa'alaikumussalam," jawab Leli.

"Iya, Mbak? Ada apa?"

"Mas mau balas dendam kan? Ikutkan aku."

===X=X===
Tidak mudah bagi Leli mengatur perasaannya yang kacau. Malam itu seusai suaminya pulang setelah beraktivitas, Leli lebih banyak menyendiri. Saat tidur pun dia memunggungi suaminya, seolah-olah Thalib adalah makhluk yang paling menjijikkan. Sudah pasti suaminya lelah, seharian dia pasti berhubungan badan dengan Jannah, bahkan mungkin setelah itu dilanjut aktivitas di tokonya. Siapa yang tidak akan capek?

Malam itu berbeda dengan malam-malam yang dia kenal. Suaminya tidak lagi mengerjakan salat di malam hari. Dan itu dia ketahui sudah sebulanan atau mungkin lebih. Seumur-umur menjadi istrinya, Leli tidak pernah melihat ponsel suaminya. Sebab, dia tahu itu adalah privasi dari seorang suami.

Dia sangat percaya dengan suaminya, tapi setelah melihat kejadian tadi siang, pikiran itu runtuh semua. Tak ada lagi yang namanya prasangka baik. Prasangka buruk sudah melekat kepada suaminya mulai hari itu.

Pagi harinya Leli mengerjakan salat subuh dan suaminya melakukan aktivitas seperti biasa, pergi ke masjid menjadi imam. Leli lebih memilih beribadah di rumah. Setelah itu, dia mempersiapkan segalanya, kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga, seperti memasak, mencuci baju, mempersiapkan keperluan suami dan anaknya.

Dia dengan berat hati terpaksa tersenyum, sekalipun itu berat baginya. Tentunya terbersit pertanyaan, kenapa dia sangat kuat menghadapi hal ini? Itu tidak lain, karena anaknya.

Sudah bulat tekadnya untuk tidak lagi butuh kepada suaminya. Dia bisa mandiri, sebab dia punya tabungan dari toko online miliknya. Dia juga punya tabungan dari warisan orang tuanya. Kalau toh dia nanti berpisah dari suaminya, Leli masih bisa survive sampai mendapatkan pekerjaan agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ide balas dendam memang sudah dia pikirkan masak-masak. Dia tidak akan menggugat suaminya terlebih dulu. Amarah di dadanya lebih besar dan bisa meledak kapan saja. Dia memikirkan cara yang tepat untuk membalas perlakuan suaminya. Ada banyak hal yang ada di pikirannya, tetapi dia ingin tahu dulu apa yang ingin dilakukan oleh Arief.

Pagi itu pun dia menelpon Arief memberitahukan kalau dia ingin diikutkan dalam rencana ini.

Jujur, Leli sangat takjub kepada Arief. Tidak pernah dia temui pria seperti Arief yang sangat menjaga kehormatan dirinya. Sejak pertama kali bertemu, Arief sangat menghormatinya. Bahkan, tidak memanfaatkan kesempatan meskipun mereka bisa saja melakukannya. Dari sini dia mengetahui kalau Arief sangat menghargai perempuan. Namun, siapa jatidiri Arief Leli sangat ingin mengetahuinya.

"Saya ingin tahu, Pak Arief kerja dimana?" tanya Leli di telepon.

"Oh, saya punya kantor sendiri. Usaha saya dibidang jual beli online," jawab Arief.

"Hmm, begitu ya. Bisa dong kerja sama dengan saya. Saya juga buka toko online," kata Leli.

"Boleh, saya sangat terbuka mau kerja sama dengan siapa saja asalkan cuan," kata Arief.

"Terus terang, Pak Arief. Saya masih terguncang dengan kejadian kemarin. Pak Arief juga pasti syok saat pertama kali tahu istri bapak selingkuh. Saya ingin minta maaf atas kelakuan suami saya."

"Kenapa minta maaf? Itu bukan salahmu. Suamimu yang salah, kenapa kamu minta maaf?"

"Saya tidak bisa jadi istri yang baik."

"Tidak ada orang yang sempurna. Dan sekali lagi itu bukan salahmu."

"Rasanya hari ini saya ingin sekali marah kepada suami saya, tetapi saya tahan. Hari ini dia tidak menjamah saya. Tidur seranjang dengan dia pun rasanya jijik. Saya tadi melakukan aktivitas di rumah seperti biasa, meskipun dengan hati mendongkol. Satu-satunya yang membuat saya bertahan sekarang adalah anak kami."

"Mbak sudah siap untuk membalas perbuatan suami, Mbak?" tanya Arief.

"Saya lahir batin sudah siap," jawab Leli, "apa rencananya, Pak?"

"Rencana utama saya adalah membangkrutkan usaha Thalib. Saya akan buat seluruh koneksinya tidak mempercayai dia lagi," jawab Arief.

"B-bagaimana caranya?"

"Saya punya rencana sendiri. Yang jelas, kehidupan keluarga Mbak akan berubah setelah ini. Kalau mbak punya tabungan, jangan beritahukan kepada suami Mbak. Saya tidak ingin suami mbak mengetahuinya sehingga dia bisa bertahan. Saya ingin Thalib benar-benar nol bahkan kalau perlu minus."

"Tenang saja. Saya punya tabungan yang mana suami saya tidak tahu," jawab Leli.

"Buku tabungannya di rumah?" tanya Arief.

"Iya," jawab Leli.

"Ambil semua uangnya, tutup rekening, lalu titipkan uang itu ke teman yang mana Thalib tidak kenal. Saya takut suami mbak sudah tahu. Bukannya apa, tapi untuk jaga-jaga saja."

Leli berpikir keras. Apa yang diucapkan oleh Arief ada benarnya. Bisa jadi suaminya tahu kalau dia punya simpanan. Dia berpikir siapa orang yang bisa dia titipi uang. Setelah mendapatkan nama di pikirannya, dia pun melanjutkan pembicaraan.

"Baik, itu bisa diatur. Aku punya kenalan yang tidak dikenal oleh suamiku," jawab Leli.

"Yakin?"

"Seratus persen yakin," jawab Leli dengan yakin.

"Baiklah. Kalau begitu mbak sudah aman. Kita lanjutkan ke rencana berikutnya. Saya sudah mengikuti suami mbak selama empat bulan ini. Dan Mbak mungkin akan terkejut ketika tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Leli diam berfikir. Kalau misalnya sesuatu yang ingin dikabarkan Arief ini buruk, maka dia tidak heran. Sebab, suaminya sudah berbuat buruk, lalu apalagi?

"Katakan saja. Kalau misalnya itu perbuatan buruk, saya sudah tidak heran lagi," ucap Leli.

"Iya. Selain dengan Jannah, Thalib juga punya selingkuhan lain, bahkan nikah siri dengan perempuan ini," jawab Arief.

Leli menutup mulutnya. Matanya berkaca-kaca. "Siapa perempuan itu?" tanya Leli.

"Seorang perempuan bernama Wina. Mereka berkenalan setahun yang lalu dan menikah siri," ujar Arief, "Wina masih muda, usianya baru saja menginjak dua puluh tahun."

"Astaghfirullah, bagaimana dia bisa menutup rahasia itu rapat-rapat?"

"Panjang ceritanya. Saya juga menyelidiki hal ini, tapi nanti saja saya ceritakan. Mbak cukup tahu saja. Dan perlu mbak ketahui Wina sudah tahu Thalib punya istri, dia juga tahu siapa mbak. Bahkan, mungkin kalian pernah ketemu tapi tidak saling sapa."

Leli mengernyit. "Benarkah?"

"Kemungkinan besar begitu. Mbak mau aku kirim foto Wina?" tanya Arief.

"Iya, kirim saja!" jawab Leli.

Arief pun mengirimi foto perempuan yang dimaksud ke dalam aplikasi chat. Wina yang dimaksud oleh Arief adalah seorang perempuan berparas cantik. Terlihat sekali masih muda usianya. Di foto tersebut perempuan itu tersenyum. Leli merasa kasihan kepada Wina. Bagaimana mungkin perempuan sepolos itu dibodohi oleh suaminya.

"Dia cantik," puji Leli.

"Yah, cantik tapi bodoh," kata Arief, "dia juga akan jadi targetku untuk membalas perbuatan Thalib."

"A-apa? Kenapa? Apa salah dia?" tanya Leli yang terkejut.

"Dia sekalipun cantik, tapi punya maksud untuk menguasai suami Mbak. Dia boleh dibilang licik. Wina ini juga tahu kalau Thalib selingkuh dan akan menikahi Jannah. Apa mbak tidak tahu kalau dia juga akan mencatat pernikahan resmi dengan berbekal surat izin poligami yang mbak tanda tangani?"

"M-maksudnya?"

"Dia akan menikahi secara resmi dua wanita sekaligus, Jannah dan Wina. Sayangnya Jannah tidak tahu akan hal ini. Ketika Wina sudah resmi menjadi istri Thalib, maka Thalib akan memberikan satu tokonya kepada Wina, tanpa mbak ketahui. Tak butuh waktu lama untuk kalian tahu Thalib sudah memperistri Wina. Kerjaan Wina? Dia tak punya pekerjaan. Selama ini dia hanya mengandalkan jatah bulanan dari Thalib. Seminggu 3 kali dia mengunjungi Wina. Pekerjaan perempuan itu cuma ngangkang saja di rumah kontrakannya."

"Dari mana suamiku kenal ama Wina?"

"Wina ini gadis yang dijodohkan oleh salah satu ustadz di sebuah pondok pesantren. Salah satu ustadz tersebut yang menawarkan Wina kepada Thalib. Setelah menikah mereka tinggal di sebuah kontrakan. Mereka tidak akan ditanyai macam-macam oleh penduduk setempat, sebab rumah itu berada di kawasan pemukiman yang eksklusif. Jadi tetangga kiri kanan serasa cuek."

Leli menghela napas berat. Dia makin membenci suaminya.

"Rencana berikutnya, saya akan menyewa perempuan untuk menggoda Thalib. Meskipun ustadz, tapi dia penjahat kelamin. Matanya akan jelalatan melihat seorang perempuan cantik."

"Menyewa perempuan, maksudnya?"

"Saya akan mengatur siasat agar perempuan ini menggoda Thalib. Setelah itu kita jebak."

"Bagaimana bisa? Memangnya ada wanita yang mau?"

"Mbak tidak perlu khawatir. Saya punya kenalan yang bisa melakukannya. Apalagi dia butuh uang."

"Kalau boleh tahu, siapa nama perempuan itu?"

"Namanya Azizah."



===X - FLASHBACK BERTEMU AZIZAH - X===

JILBAB TOBRUT SANGEAN
AZIZAH


Setahun yang lalu....

"Ayo, isep! Yang dalam!" paksa seorang laki-laki. 

Di selakangannya tampak seorang perempuan sedang mengulum batang kejantanannya. Kepalanya dipegang sambil disodok dengan kecepatan tinggi. Tentunya kepala kontol si laki-laki menghantam tenggorokannya membuat perempuan ini tak kuasa untuk muntah.

"Ahh... nikmat sekali," ucap si laki-laki setelah dia menghentikan sodokannya. 

Dia cabut kontol beruratnya, hingga terlihat lendir bercampur ludah membentuk tali panjang dari bibir si wanita.

Perempuan ini bernama Azizah dan lelaki yang menyodoknya adalah suaminya, Susanto Tanjung. Susanto sering memperlakukan istrinya dengan kasar seperti sekarang ini. Baginya blowjob dengan cara mengebor mulut istrinya adalah sesuatu yang membuat dia bisa merasakan kepuasan yang luar biasa.

Hal berikutnya adalah tubuh telanjang Azizah dia tarik lalu dibaringkan ke kasur dengan kaki Azizah masih menjuntai ke lantai. Susanto melanjutkan aksinya memeriksa memek istrinya. Terlihat memek itu masih kering. Susanto pun berlutut lalu mendekatkan wajahnya di depan pantat istrinya. Hal berikutnya adalah dia langsung melancarkan jilatan ke garis pintu kemaluan istrinya sampai ke duburnya. Azizah memekik tertahan.

Kedua tangan Azizah meremas sprei saat kenikmatan itu diberikan oleh suaminya. Dia memang tak tahan kalau suaminya melakukan aksi oral tersebut. Azizah hanya menggeliat saja sambil merintih-rintih. Beberapa kali suaminya menampar-nampar pantatnya sampai merah. Azizah pun menjerit.

"Kamu terangsang kan? Enak?" tanya Susanto.

"He-eh, Mas," jawabnya.

"Mau dikentu?"

"Iya," jawab Azizah lirih.

"Bilang yang keras! Mau dikentu?"

"Iya mas. Kentu aku, kentuk tempikku pake kontolmu!" ucap Azizah.

"Dasar pelacur! Nih, kalau itu memang maumu," kata Susanto.

Dia pun beranjak. Dia naikkan pantat istrinya, setelah itu dia tempatkan batang penisnya ke liang senggama istrinya. Sejurus kemudian dia sodok kuat-kuat. Azizah menahan rasa perih saat batang berurat itu menggesek memeknya. Meskipun dengan pelumas yang sudah banyak keluar, ternyata masih terasa perih.

Dengan brutal Susanto menyodok-nyodok pantat Azizah. Azizah hanya bisa merintih sambil tubuhnya terguncang-guncang akibat sodokan tersebut. Buah dadanya pun tak luput dari remasan-remasan gemas Susanto. Sodokan demi sodokan terus dilakukan. Kamar itu cuma terdengar suara perut dan pantat Azizah yang saling bertubrukan.

"Ah, nikmat mas. Teruss...!" ucap Azizah.

"Dasar lonte. Enak to?"

"Iya..."

Suaminya benar-benar tak henti-henti menyodoknya hingga beberapa menit. Kemudian, dengan tanpa mencabut kontolnya, Susanto memutar tubuh Azizah hingga tidur miring. Dia menaikkan kaki Azizah agar naik ke kasur, setelah itu kaki kirinya dia naikkan sehingga dia sekarang memeluk kaki kiri Azizah. 

Kembali istrinya dia sodok dengan kecepatan tinggi. Azizah sudah tak kuasa lagi, dia pun orgasme. Entah kenapa perlakuan kasar suaminya bisa membuat dia terangsang bahkan orgasme.

"Masss. .... aku metu!" lenguhnya.

"Metu? Wis metu? Dasar lonte, gitu aja keluar!" ucap Susanto.

Susanto kemudian melempar kaki kiri Azizah, setelah itu menindihnya. Dia hisap puting Azizah kuat-kuat. Puting itu masih sekel, sebab Azizah belum punya anak. Buah dadanya sangat sempurna, bikin kontol Susanto makin keras saja.

Terus terang Susanto sangat menyukai bentuk tubuh istrinya. Kurus, tetapi buah dadanya besar, padahal tidak ada implan. Seolah-olah lemak yang selama ini dikonsumsi Azizah masukkan ke payudara semua.

"Susumu uwenak, Dik. Aku jadi kepengen terus tiap kali lihat susumu ini. Garahi ngaceng!" kata Susanto. Dia berkata jujur. 

"Anjir.. lah kok aku kepengen metu. Asu tenan, enak! Aaaahhh....." lanjutnya

Entah kenapa, setiap kali Susanto beralih ke posisi misionari dia selalu ingin cepat keluar, terlebih lagi setiap kali melihat susu istrinya. Benar-benar susu itu menggairahkan. Bentuknya sempurna, bulat, dengan tahi lalat di dekat ketiak.

Setiap kali Susanto menyodok pantatnya, selalu susu itu berguncang. Pemandangan itu tak mungkin tidak membuat libidonya naik. Sekarang saja spermanya mulai berkumpul. Sudah diujung, tak lama lagi pasti akan muncrat.

Mengetahui hal ini Azizah mengunci pinggang Susanto dengan kakinya. Susanto memeluk istrinya dengan kuat sambil memberikan pagutan mesra. Pinggulnya sudah bergerak tak tentu, hingga akhirnya tertembaklah cairan pejuh Susanto ke dalam rahim Azizah. Azizah menjerit, dia juga orgasme lagi.

"Auhh... lonteku... enak banget... ahhh...." ucap Susanto sambil beberapa kali mengedut-ngedutkan pantatnya.

Agak lama mereka berpelukan, hingga kaki Azizah pun melemah melepaskan kunciannya. Susanto pun bergeser ke sebelah istrinya. Napas keduanya terengah-engah. Mereka berpacu dalam kenikmatan sampai entah sudah berapa menit mereka melakukan itu. Susanto puas dan dia pun tertidur tengkurap. Azizah lalu bangkit mengambil selimut, lalu menutupi tubuh suaminya.

Tak lama kemudian Azizah pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia cuci kemaluannya. Tak menyangka saja cairan sperma suaminya cukup banyak keluar mengalir ke pahanya. Setelah bersih, Azizah masuk lagi ke kamarnya, lalu memakai celana dalam dan kaos, setelah itu tidur.

* * *

Paginya Azizah mempersiapkan sarapan untuk suaminya sebelum dia pergi kerja. Sang suami bangun dan melihat Azizah sedang berada di dapur dengan baju tidurnya tadi malam. Batang kontolnya lansung saja ngaceng melihat buah dada Azizah yang terpampang jelas nyeplak dengan puting mengacung di pagi yang dingin ini.

Susanto tidak tinggal diam dia pun segera menghampiri Azizah lalu memeluk dan meremas payudara Azizah dari belakang dengan gemas.

"Mas, aku masak dulu," ucap Azizah.

"Pagi-pagi kok sudah bikin kontolku tegang seh, Dek?"

"Kalau aku nggak masak nanti mas nggak makan lho," kata Azizah.

"Satu ronde aja ya, kamu masak sambil aku sodok," kata Susanto.

"Masih kering mas," ucap Azizah.

"Sini tak jilat!"

Dengan cepat Susanto menurunkan celana dalam istrinya, setelah itu dia lahap memek istrinya. Azizah pun lemas. Dia berpegangan kepada meja dapur. Dia benar-benar tak kuasa saat klitorisnya diemut oleh bibir Susanto.

Siapa juga yang tahan. Setelah mengetahui istrinya mulai basah dan becek, Susanto pun berdiri, melepaskan kolornya hingga batang perkasanya mengacung menunjuk ke istrinya. Azizah menelan ludah. Rasanya tak habis-habis Susanto menggarapnya.

Susanto mengarahkan istrinya agar naik ke meja dapur. Azizah pasrah ikut saja. Setelah itu Susanto menyodokkan kontolnya. Mereka pun bercinta lagi di dapur. Susanto melepaskan kaos istrinya hingga mereka pun bugil. Lagi-lagi payudara itu berguncang-guncang. Pemandangan pagi yang indah. Susanto benar-benar terangsang hebat melihat susu itu. Benar-benar susu kualitas tinggi, tak salah dia menikahi Azizah.

"Oh, masku... enak mass... aahhh kontolnya mas keras banget," puji Azizah.

"Gara-gara susumu aku kepengen kentu tiap hari," kata Susanto.

"Puas-puasin mas. Hari ini kan mas berangkat," kata Azizah.

"Iya, oh.... Azizah, perekku, lonteku...."

Azizah pun melingkarkan kedua tangannya ke leher suaminya. Mereka berpagutan sambil pantat Susanto maju mundur mengobok-obok memek Aizah.

Susanto melirik jam dinding, dia harus cepat sebab tak mau terlambat. Makanya dia percepat sodokannya hingga dia pun orgasme. Azizah masih belum, tapi dia tak protes. Sebab, memang waktu mereka di pagi hari tidak banyak.

"Kau belum keluar, dek?"

"Nggak apa-apa mas. Daripada mas nanti terlambat," ucap Azizah sambil tersenyum.

"Ya udah. Simpan saja. Nanti kalau mas pulang aku garap lagi kamu," kata Susanto.

Azizah tersenyum. Keduanya berciuman mesra, setelah itu Azizah melanjutkan masak, sedangkan Susanto pergi ke kamar mandi.

Pekerjaan Susanto adalah sopir truk yang sering pergi keluar kota. Biasanya kalau keluar kota, Susanto butuh satu minggu. Tiga hari perjalanan berangkat, tiga hari perjalanan pulang. Namun, itu tidak pasti, terkadang juga sampai dua minggu, tergantung tempat yang dia tuju.

Tak berapa lama kemudian Susanto sudah siap berangkat. Setelah makan pagi bersama istri tercintanya, dia pun pergi ke kantornya.

Azizah pun membersihkan diri. Setelah dia merapikan tempat tidur, lanjut bersih-bersih rumah. Dia memang tidak bekerja. Semua penghasilan berasal dari suaminya. Rumah kontrakannya pun cukup nyaman, meskipun tidak terlalu besar.

Tetangganya juga ramah dan baik-baik. Susanto memang sudah dikenal oleh warga sekitar sebagai sosok lelaki yang ramah kepada siapapun. Terlebih lagi mereka adalah pengantin baru.

Namun, Azizah tidak sadar. Tidak setiap tetangga itu baik. Ada yang iri dan memandang rumput tetangga lebih hijau. Seperti Pak Suyoto, tetangga depan rumahnya. Lelaki ini sebenarnya juga melihat kemolekan tubuh Azizah sejak lama.

Dia juga terkadang mengintip bagaimana persenggamaan Azizah dan Susanto, yang tentu saja membuat dia mengocok batang penisnya sendiri. Seperti tadi malam. Dia mengintip Azizah dan Susanto bersenggama dari balik jendela sambil tangannya mengocok penisnya.

Sudah lama Pak Suyoto menaruh rasa kepada Azizah. Dan memang buah dada Azizah itu luar biasa. Tidak besar, tapi juga tidak kecil. Bulat sempurna.

Setan memang tidak berwujud, mengalir seiring aliran darah manusia. Suyoto mengintip bagaimana aktivitas Azizah dan Suaminya tadi di dapur. Benar-benar sangat merangsang. Di rumah, Suyoto sendiri. Istrinya yang merupakan seorang guru sudah pergi mengajar. Anak-anaknya juga sudah sekolah, sedangkan dirinya hari ini sengaja tidak pergi ke toko.

Nafsu Suyoto sudah diubun-ubun. Dia sangat bernafsu dan ingin mencicipi tubuh Azizah dan kesempatan itu datang hari ini, saat Susanto pergi selama seminggu keluar kota.

Dia sudah siapkan rencana yang sempurna. Rencana busuk yang akan menghancurkan hidup Azizah dan sebenarnya dia juga. Meskipun begitu Suyoto tak peduli. Sudah beberapa kali untuk mewujudkan fantasinya,

Suyoto sering menyewa perempuan di luar sana. Dia sudah bosan dengan istrinya yang setiap kali diajak seperti gedebok pisang, tidak gerak, tidak liar seperti Azizah. Beberapa perempuan tersebut dia cari yang mirip seperti Azizah, lalu dia berfantasi.

Sekarang, dia tak perlu berfantasi. Dia cukup masuk ke dalam rumah Azizah, lalu menggarapnya. Dan Suyoto pun beranjak mengendap-endap ke rumah Azizah. Dia harus pastikan tidak akan ada tetangga yang akan melihatnya.

Azizah saat itu kelelahan setelah kerja membereskan rumah. Lalu dia merebahkan diri di sofa, lalu terlelap. Dia tidak tahu sekarang seorang laki-laki telah masuk rumahnya, mengunci pintu, menutup gorden. Lelaki itu sudah gelap mata yang ada di otaknya hanyalah cara bagaimana bisa bercinta bersama Azizah.

Azizah tertidur pulas. Ternyata rasa letih telah membuat dia capek dan terlelap. Posisi tidurnya sekarang terlentang dengan lengan kanannya diletakkan di dahinya. Sementara itu dasternya sedikit tersingkap di pahanya hingga menampakkan bagian tubuhnya yang mulus serta celana dalamnya yang berwarna putih.

Suyoto telah memastikan pintu rumah telah dikunci, sehingga dia sekarang berani untuk menjelajahi rumah Azizah tanpa rasa takut. Dia sangat yakin hari ini akan jadi hari bersejarah, karena dia akan menikmati tubuh Azizah. Dia pergi ke dapur sejenak, setelah itu mengambil pisau. Tentu saja pisau itu digunakan untuk mengancam Azizah. Buat apalagi?

Suyoto juga mengambil gunting, setelah itu tali rafia. Perlahan-lahan dia menggunting daster Azizah dari belahan dada hingga ke bawah, bahkan bra perempuan itu pun ikut digunting. Kini terpampanglah tubuh mulus Azizah. Buah dada itu seperti melompat keluar saat pelindungnya keluar. Suyoto sudah ereksi maksimal, benda itu mengangguk-angguk ingin dipuaskan. Dia pun mengikat pergelangan tangan Azizah. Kini otomatis Aizah tak bisa menggerakkan kedua tangannya dengan bebas. Saatnya beraksi.

Dengan mulutnya yang bau rokok, Suyoto mengenyot puting susu Azizah. Benar-benar buah dada yang sempurna dan luar biasa. Suyoto sudah tak takut lagi kalau-kalau Azizah teriak atau melawan. Dia benar-benar mengisap dan menggelitiki pentil perempuan itu. Dia melakukan itu secara bergantian kiri dan kanan. Tak lupa tentunya Suyoto melepaskan pakiannya hingga sekarang dia telanjang.

Kedua buah dada Azizah sudah jadi sasaran jilatan dan hisapannya. Azizah masih belum bangun, mungkin karena saking capeknya. Terlebih tadi malam dan tadi pagi harus melayani suaminya. Kini Suyoto merasa seperti dalam kemenangan. Dia ciumi tubuh mulus Azizah ke bawah, ke perut, pusarnya lalu berakhir dengan dia kangkangkan paha perempuan itu lebar-lebar. Saat bibirnya mulai mengelamuti klitoris Azizah barulah Azizah bereaksi. Ada sesuatu yang aneh dan dia merasa tak bisa bergerak. Dan saat matanya terbuka, dia melihat kepala tetangganya sedang berada di area kewanitaannya.

"Apa? Oh... Pak Suyoto!?" pekik Azizah, "apa yang bapak lakukan? OHhh..."

Azizah hendak memberontak tetapi sebilah pisau ditempelkan ke leher Azizah.

"Bergerak, kamu mati!"

Perempuan itu pun ketakutan. Ketakutannya yang paling besar adalah dia akan diperkosa hari itu, terlebih lagi dia melihat daster, bra dan celana dalamnya ternyata sudah dirusak oleh Suyoto dengan gunting. Apalagi dia tersadar tangannya telah terikat. Azizah menelan ludah.

"Pak, jangan pak. Kumohon, saya perempuan baik-baik. Bagaimana nanti kalau perbuatan bapak diketahui Bu Atikah?" kata Azizah mengiba.

Atikah yang dimaksud adalah istri Suyoto.

"Aku tak peduli, hari ini aku ingin menikmati tubuhmu, sayang," kata Suyoto.

Air mata Azizah mulai keluar saat lidah Suyoto mulai mengobok-obok vaginanya. Sebagai seorang wanita baik-baik dan dirangsang seperti itu tentunya dia tidak akan mau dan meronta. Di sinilah pergulatan Azizah, dia takut dibunuh, tapi juga ingin melawan. Pisau itu jelas menempel di lehernya. Dia takut luar biasa, tetapi juga terangsang.

Manusia memilih dua kesadaran. Kesadaran biologis, artinya tubuhnya berfungsi dengan baik saat diberikan rangsangan-rangsangan. Itu manusiawi. Sekalipun seorang wanita tidak cinta dan tidak suka kepada lelaki yang memperkosanya, tetapi jika dirangsang pun dia akan tetap merespon. Sama seperti lelaki yang meskipun tidak suka kepada perempuan yang dia setubuhi, tetapi tetap saja organ reproduksinya bereaksi. Itu lumrah dan manusiawi. Namun, bukan kepada kesadaran mentalnya. Mentalnya akan menolak, meskipun tubuhnya tidak.

"Pak, jangaan!" desak Azizah, "ingat anak istri pak."

"Aku hari ini tak peduli mau masuk penjara atau tidak, asalkan bisa menikmati tubuhmu," ucap Suyoto. Kini jemari tangannya sedang menggelitiki lubang kemaluan Azizah, kemudian bibirnya kembali lagi mengelamuti puting susu Azizah. Benar-benar tak akan ada habisnya.

Azizah berusaha menjauhkan kepala Suyoto, tetapi pisau yang menempel di lehernya seakan-akan membuatnya tak berdaya. Akhirnya Azizah hanya bisa menggeliat seperti ulat ketika kemaluannya diobok-obok oleh jemari Suyoto. Dan akhirnya aktivitas itu mengakibatkan Azizah mengalami orgasme, squirt hingga beberapa kali.

Napas perempuan itu terengah-engah. Suyoto tampak puas. Kini Suyoto berdiri sambil menjambak rambut Azizah. Perempuan itu duduk di kursi sofanya sambil mulutnya ditempeli oleh kepala kontol Suyoto. Azizah tahu apa yang diinginkan oleh Suyoto.

"Ayo, lakukan seperti apa yang kau lakukan kepada suamimu, sayang," ucap Suyoto.

Azizah menutup rapat mulutnya, tiba-tiba pisau yang ada di tangan Suyoto sedikit menggores lehernya. Azizah langsung bisa merasakan perih.

"Kalau kau tak lakukan, berikutnya lehermu yang putus!" ancam lelaki itu.

Mau tak mau, Azizah pun membuka mulutnya. Benda tumpul itu pun mulai memasuki mulutnya yang terbuka. Suyoto mulai merasakan kenakan saat penisnya keluar masuk di mulut Azizah. Lalu dengan sigap tiba-tiba pinggangnya bergerak dengan cepat. Suyoto mencontoh apa yang dilakukan oleh Susanto. Azizah gelapan hingga mulutnya terasa sesak dengan batang berotot tetangganya itu.

Suyoto merasa ini pemandangan erotis. Bagaimana tidak dengan kedua tangan terikat, Azizah mengoralnya, buah dada perempuan itu berguncang-guncang setiap kali melakukan gerakan. Nikmat sekali rasanya.

Hingga akhirnya Suyoto merasakan ujung batang penisnya geli sekali. Tahu Suyoto akan keluar, Azizah berharap Suyoto segera menyudahi aksinya, lalu dia menggerak-gerakkan lidahnya sehingga mengelamuti penis Suyoto.

Suyoto tahu ia akan keluar segera menekan kuat-kuat penisnya ke mulut Azizah. Pancutan-pancutan sperme keluar dari ujung lubang penisnya. Suyoto merem melek merasakan nikmat yang tak terkira. Dia pun mencabut penisnya. Lelehan sperma pun keluar dari mulut Azizah. Perempuan itu pun memuntahkannya.

"Haahh... haahh... haahhh... nikmat sekali. Kau jago nyepong juga rupanya," kata Suyoto.

Suyoto kemudian mengambil gunting lalu memotong kain sisa yang menempel di tubuh Azizah. Azizah pun mengetahui tindakannya salah dengan merangsang Suyoto tadi. Lelaki ini sudah benar-benar ingin menyetubuhinya. Lelaki itu kemudian menyeret Azizah ke kamar. Setelah itu kamar pun dikunci. Azizah tak bisa kemana-mana lagi.

Tanpa ragu lagi sekarang tetangganya itu mulai memeluk Azizah dan melumat bibirnya. Azizah hanya bisa pasrah, dia masih takut ancaman Suyoto, terlebih pisau itu tak lepas dari tangan lelaki tersebut. Suyoto meremas-remas buah dadanya. Buah dada yang sangat menggiurkan. Kembali lagi lelaki ini mengenyoti buah dada itu, menghirup aroma harumnya, lalu memberinya cupangan. Buah tanda cinta.

"Aku sayang kamu Azizah. Sungguh," bisik Suyoto.

Paha Azizah dilebarkan. Azizah mencoba meronta, tetapi telat, penis Suyoto sudah masuk ke dalam. Menggeseki kulit memeknya, hingga mentok ke dalam rahim. Mata Azizah memutih, dia tak kuat lagi merasakan penolakan mentalnya. Akhirnya dia pun pingsan.

Otaknya melawan, tetapi tubuhnya tidak. Penolakan ini pun akhirnya mematikan syaraf-syaraf kenikmatan yang dia rasakan. Puncaknya dia tak sadarkan diri.

Entah sudah berapa kali Suyoto menggarapnya. Yang jelas, saat dia tersadar memeknya becek sekali dengan sperma berceceran di mana-mana. Di wajahnya, di dadanya dan memeknya terasa penuh. Suyoto telah meninggalkannya sendirian di kamar.

Azizah berusaha untuk keluar kamar, tetapi dikunci. Dia menggedor-gedor pintu kamar dengan kedua tangannya masih terikat. Tidak ada respon. Azizah berusaha berteriak, tapi tak ada jawaban. Karena letak kamarnya di dalam, jadi jendela kamarnya tak bisa mengeluarkan suara sama sekali. Azizah pun menangis.

Semalaman Azizah menangis lalu tertidur. Meskipun dia berteriak minta tolong, tak ada orang yang mendengarnya. Paginya, seperti ada orang yang membuka pintu rumah. Siapa? Suaminya? Jawaban itu diketahui ketika pintu kamarnya dibuka oleh Suyoto. Azizah pun mundur ketakutan.

"Ayo, sini! Aku mandiin kamu," ucap Suyoto.

Azizah menggeleng. "Sudah, lepaskan saya! Kumohon!" pinta Azizah mengiba.

Suyoto menampar Azizah. "Mandi!"

Dengan gemetar, Azizah mengikuti tetangganya mandi. Mereka pun telanjang dan Suyoto melepaskan ikatan Azizah. Di kamar mandi Suyoto bersenang-senang lagi. Dia memandikan Azizah, menggerayangi tubuh perempuan itu, menyusu lagi, memaksa Azizah mengulum penisnya, hingga menggenjot Azizah di kamar mandi. Azizah pasrah tak bisa melawan saat penis keras itu mengobok-obok vaginanya. Alhasil hari itu kembali lagi jadi mimpi buruknya.


===X=X===

Sementara itu di luar rumah..

Arief tampak sedang melihat kiri kanan sambil memeriksa layar ponselnya. Akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah yang tampak agak masuk ke dalam. Rumah tersebut terlihat tidak ada orang di dalamnya. Tetapi, dia langsung menepis anggapan itu, sebab di luar rumah ada sepasang sandal laki-laki ada di teras. Penasaran, Arief pun masuk ke halaman rumah tersebut.

Gang tempat rumah ini berada tidak banyak orang yang lalu lalang, terlebih lagi rumahnya ada di pojokan. Rumah di depannya pun terlihat lengang.

"Jangan, pak! Kumohon, sudah cukup!! Dosa pak! Bapak....akhh!!!" sayup-sayup terdengar suara perempuan di dalam rumah tersebut.

Arief mengernyit. Dia yakin tidak salah rumah. Alamat yang diberikan sudah benar. Dia mencoba menguping di pintu.

"Tubuh kamu memang enak, bahenol, seksi. Sudah lama aku ingin ngentotin kamu. Aku udah tak peduli lagi nanti digeruduk warga atau tidak. Yang penting hari ini kamu aku entotin lagi. Uuhhhh... kontolku enak banget di dalem memekmu, anget!" terdengar suara lelaki di dalam.

Arief berpikir sejenak. Setelah itu dia beranjak pergi. Dia berkeliling kampung tersebut, hingga akhirnya mendapati sebuah rumah bertuliskan "KETUA RT".

"Assalaamu'alaikum," sapa Arief.

Saat itu seorang bapak-bapak sedang memotong kayu dengan gerjaji. Melihat Arief datang, dia pun menyudahi pekerjaannya.

"Wa'alaikum salam. Siapa ya?"

"Maaf, ini Pak RT?" tanya Arief.

"Iya, bapak ini siapa?"

"Saya Arief. Sebenarnya saya ingin menyampaikan sesuatu kepada keluarganya Bapak Susanto, tapi ada yang aneh saat saya ke rumahnya beliau," jawab Arief.

"Hah? Aneh kenapa, Pak?"

"Apa Pak Susanto ada sanak famili lain selain istrinya?"

"Setahu saya tidak," jawab Pak RT.

"Pak, kalau begitu ini urgent. Bapak panggil beberapa warga. Sepertinya istrinya Bapak Susanto dalam bahaya. Saya mendengar dia seperti diancam dari dalam rumah," kata Arief.

"Yang benar, Mas?" tanya Pak RT, "suaminya barangkali."

"Bukan pak. Justru saya kemari ingin menyapaikan kabar kematian suaminya karena kecelakaan," ucap Arief.

"Innalillahi wa innailaihi roji'un. Wah, wah, yang bener mas?"

"Iya, Pak Susanto meninggal karena kecelakaan, truknya terguling. Trus di rumah itu siapa? kalau bapak tidak percaya, ayo kita ramai-ramai ke sana," jawab Arief.

Pak RT dengan sigap lalu memanggil beberapa warga. Mereka pun diberi penjelasan singkat oleh Arief, akhirnya beberapa warga berduyun-duyun menuju ke rumahnya Susanto. Di antara mereka ada yang membawa pentungan.

Saat tiba di depan rumah Susanto, Arief memberi isyarat agar jangan bersuara. Arief dan Pak RT pun mendekat dan menempelkan telinga mereka ke daun pintu. Dan apa yang didengar oleh Arief tadi sekarang didengar oleh Pak RT.

"Jangan pak... lepaskan ...!!" rintih Azizah. "Toloong! Toloongg!"

"Teriak saja! Tidak akan ada yang mendengar. Apa kamu tak tahu kalau rumahmu ini ada di paling pojok kampung? Suaramu tak akan keluar dari rumah ini. Aahhh... memek enak. Duh... kontolku gatel, kepingin pejuhin rahimmu lagi," ucap Suyoto dari dalam rumah.

Pak RT mengangguk dan memberi isyarat warga untuk mendobrak. Akhirnya beberapa orang beserta Pak RT melakukan ancang-ancang untuk mendobrak pintu. Pintu pun didobrak pada hitungan ketiga. 

Saat itu terlihat Suyoto sedang menindih Azizah di lantai. Wajahnya terperangah menoleh ke pintu, sedangkan bersamaan dengan itu penisnya mengeluarkan pejuhnya, yang mengakibatkan pantatnya berkedut-kedut.

"BAJINGAN!" umpat Pak RT.

Salah satu warga pun segera memberi bogem mentah kepada Suyoto. Suyoto pun menjadi bulan-bulanan warga, dengan telanjang dia diseret keluar dari rumah Azizah.

Azizah menangis sejadi-jadinya. Ikatannya dilepaskan oleh Arief, lalu Arief memberikan jaketnya agar tubuh telanjang Azizah tertutupi.

"Pak, sebaiknya panggil polisi," kata Arief.

Kejadian itu tak akan pernah dilupakan oleh Azizah. Kebaikan Arief hari itu seperti didatangkan oleh Tuhan kepadanya. Kalau saja Arief tidak mengajak warga untuk menolongnya, mungkin tidak akan ada orang yang akan menolong.

Azizah benar-benar hancur saat itu. Suaminya meninggal dalam kecelakaan dan dia ternoda. Selama tiga bulan Azizah mendapatkan terapi untuk menyembuhkan mentalnya.

Cobaan ternyata tidak sampai di situ. Azizah pun melakukan tes darah apakah dia tertular penyakit mematikan atau tidak, setelah mendapatkan keterangan dari polisi kalau ternyata Suyoto pernah bergonta-ganti pasangan dan menyewa pelacur.

Awalnya Azizah tak merasa ada yang aneh hingga dokter memberitahu kalau dia tertular virus HIV. Suyoto ternyata selama ini mengidap penyakit HIV tanpa dia ketahui, yang ternyata didapatnya setelah tidur dengan salah satu wanita panggilan yang disewanya.

Istrinya yang mengetahui hal itu pun histeris, terlebih mereka juga berhubungan intim. Akhirnya Suyoto dijatuhi hukuman pasal berlapis penganiayaan, tindakan asusila dan pengancaman pembunuhan. Dia akan masuk penjara dalam waktu yang sangat lama, terlebih juga karena mengidap penyakit AIDS, hidupnya akan benar-benar hancur.

Arief merasa bertanggung jawab atas kesembuhan Azizah. Susanto adalah pegawainya yang memang bertugas mengantarkan barang. Maka dari itulah dia juga merasa bertanggung jawab atas kesehatan Azizah baik secara fisik dan mental.

Seminggu sekali Arief menjenguk Azizah sambil menanyakan kabar dan mengajaknya berbicara. Selama tinggal di penampungan Azizah tidak didiskriminasi, dia memiliki semangat hidup. Terkutuklah mereka yang mendiskriminasi korban pemerkosaan.

Sampai saat dimana Setengah tahun setelah kejadian itu Azizah ditemui oleh Arief.

"Yakin sudah siap hidup di dunia luar?" tanya Arief.

Azizah mengangguk. "Mau apalagi, Mas? Mas sudah baik kepadaku selama ini. Sekarang ini satu-satunya orang yang aku percayai cuma mas Arief."

Arief tersenyum. "Aku melakukan ini, karena ini sudah kewajibanku. Lagipula Pak Susanto orang yang kerjanya baik selama ini. Kamu juga sudah aku anggap seperti adik sendiri, jadi tak usah dirisaukan untuk balas budi."

"Kalau Mas butuh apapun, mas bisa hubungi aku. Aku akan coba bantu mas sebisa mungkin," kata Azizah.

"Sudahlah, jangan begitu. Aku menolongmu bukan untuk mendapatkan balasan darimu," kata Arief, "ya sudah, sekarang aku antar. Yuk, ini saja barang bawaanmu?"

Azizah menangguk.

Arief pun mengambil kopor Azizah lalu membawanya untuk dimasukkan ke dalam mobil. Arief menyewakan perempuan itu travel yang akan berangkat menuju kampung halaman Azizah, tempat dia dilahirkan dulu.

Azizah juga tak menyangka akan seperti ini hidupnya. Tapi dia bersyukur bertemu orang seperti Arief. Kalau saja tanpa dia entah mungkin saat ini Azizah sudah mengakhiri hidupnya.

Setelah dia naik ke dalam mobil, mobil travel tersebut berangkat. Ponsel Arief langsung berbunyi.

Dari Jannah. 

"Assalamu'alaikum?" salam Arief

"Mas, Mas dimana?" tanya Jannah langsung tanpa membalas salam.

"Lagi di basecamp," jawab Arief.

"Apa? Nemui Azizah lagi? Udahlah, Mas nikahi saja dia daripada aku makin cemburu," kata Jannah.

"Mas cuma ngirim dia ke kampung halamannya kok," kata Arief.

"Umi nggak percaya," kata Jannah.

"Ya sudah kalau nggak percaya, tanya saja langsung ke Azizah," ucap Arief.

Jannah mendengus kesal. "Udahlah, dasar laki-laki. Pokoknya Mas pulang bawa Martabak. Awas kalau enggak. Nggak bakal Umi kasih jatah."

Ponsel pun ditutup. Arief pun sedikit kesal. Dia pun melangkah pergi meninggalkan basecamp Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tempat Azizah selama ini ditampung dan dipulihkan.

Arief cukup mendongkol sebenarnya dengan sikap Jannah. Dipikirnya selama ini dia tidak tahu kalau Jannah telah berselingkuh dengan Thalib, tetapi Arief masih menahan diri. Dia masih mengumpulkan bukti waktu itu sampai dirasa buktinya cukup.
===X - FLASHBACK DENGAN AZIZAH END - X===




Lanjut sesen 2 diawah...

AKIBAT PENGHIANATAN S-2
yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya
x
x