Cerita Dewasa - AKIBAT PENGHIANATAN S-2

AKIBAT PENGHIANATAN S-1


Kini kembali ke masa sekarang.. dan sebelum melakukan kontak dengan Leli (istri si Ustadz bangsat gadungan Thalib), Tepatnya Beberapa bulan yang lalu, Arief dan ayahnya bepergian...

Mobil pickup yang ditumpangi oleh Arief dan ayahnya berguncang-guncang saat melewati jalanan yang tidak mulus bergelombang. Entah sudah berapa kali protes dilayangkan ke pejabat dan dinas terkait, tapi tetap saja jalanan di pedesaan ini tidak pernah baik. Setiap tahun dibiarkan rusak dan hanya ditumpuk dengan koral serta bebatuan kali. Siapapun yang melintas di atasnya pasti berguncang hebat.

Walaupun sudah tua, ternyata Suroso masih bisa mengemudikan mobil pickupnya. Tampak Khalil sedang tertidur dipangkuan Arief. Mereka menuju ke sebuah tempat yang agaknya makin lama makin jauh dari peradaban. Mobil akhirnya berhenti ketika melewati tempat dengan pasir berwarna putih. Ternyata, mereka telah sampai di daerah pesisir. Suroso memberi isyarat agar segera turun. Arief pun turun sambil menggendong Khalil.

"Bapak belum cerita ke kamu. Mungkin kamu juga bingung, kenapa nama bapak ada titel bangsawan Rah di depannya. Tidak lain dan tidak bukan memang bapak keturunan salah satu bangsawan, tapi setelah terjadi sesuatu, bapak pergi. Meninggalkan jati diri bapak yang sebenarnya, terlebih lagi bapak memang orangnya ndugal, bobrok. Semua yang kamu tahu tentang bapak selama ini, bapak tak bisa menutupi," ujar Suroso,

"kamu akan menemui salah satu kerabat jauh. Cuma dia yang bisa membantumu untuk menghancurkan hidup seseorang." lanjutnya

"Siapa dia?" tanya Arief.

"Namanya Raden Panji," jawab Suroso, "sudah puluhan tahun bapak tidak pernah bertemu dengannya."

Tanpa banyak bicara, keduanya berjalan menyusuri jalanan yang telah diberi paving tersebut. Paving itu mengarahkan mereka ke sebuah perkampungan kecil dan terlihat ada satu-satunya rumah besar yang paling mencolok di sana.

Mereka pun akhirnya berdiri di depan gerbang rumah. Gerbang tersebut memiliki dua daun pintu yang terbuat dari kayu jati, dengan pegangan terbuat dari kuningan berbentuk singa. Suroso mengetuk pintu gerbang.

Suara ketukan itu tentu saja keras. Orang yang ada di dalam rumah juga pasti mendengarnya. Tak butuh waktu lama bagi kedua orang itu menunggu hingga pintu pun terbuka. Terlihat wajah seorang lelaki dengan jambang dan jenggot lebat serta memakai blankon muncul di pintu.

"Suroso!?" sapa orang itu dengan suara berat.

"Panji!" sapa Suroso balik.

Tiba-tiba sebuah tendangan diarahkan ke Suroso, tapi jangan salah, meskipun usia Suroso sudah tidak lagi muda, dia dengan mudah menangkis tendangan itu. Terdengar suara hantaman yang cukup keras sehingga membuat Khalil terbangun dari gendongan Arief.

"Kau mau kita berkelahi di hadapan anak kecil?" tanya Suroso.

Raden Panji menoleh ke arah Khalil yang terbangun sambil mengucek-ngucek mata. Mata Panji tampak berbinar-binar, seakan-akan melihat boneka yang lucu.

"Siapa ini?"

"Anak dan cucuku," jawab Suroso.

"Ayah, ini siapa?" tanya Khalil.

Wajah Raden Panji yang tadinya menyeramkan sekarang berubah.

"Ini Mbah Kakung, nak. Mbah Kakung."

Khalil kebingungan. "Aku punya dua kakek?"

"Iya, punya dua kakek. Hehehe.... ayo mau main ke dalam? Mbah punya banyak mainan!" ajak Raden Panji sambil mengulurkan tangannya.

Khalil tampak menolak. Tentu saja dengan orang asing yang baru saja dilihatnya dia akan merasa tidak nyaman.

"Khalil, gakpapa, dia kakekmu juga," ucap Suroso.

Khalil ragu-ragu, tapi kemudian membiarkan dirinya digendong oleh Raden Panji.

Seperti seorang kakek yang mendapatkan kunjungan dari cucunya, mereka pun masuk ke dalam rumah. 

Arief benar-benar takjub dengan halaman rumah Raden Panji. Sangat asri dengan berbagai tanaman, pepohonan yang terawat, kolam ikan serta ada kandang ayam. Di samping rumah juga terlihat ada kolam renang. Di bawah pohon mangga besar juga terdapat ayunan. Rumah sebesar ini tentunya menjadi idaman untuk ditempati di hari tua.

Seorang tukang kebun tampak sedang memotongi rumput dan membersihkan dedaunan yang berserakan. Arief memperhatikan beberapa sangkar burung yang dijemur dan dikerek ke tiang. Rupanya Raden Panji juga suka memelihara burung. Orang ini cukup misterius, selama ini dia tidak tahu kalau punya hubungan darah dengan orang seperti Raden Panji.

"Bapak tidak pernah cerita kepadaku kalau aku punya keluarga seperti dia," bisik Arief.

"Ceritanya panjang. Kau bisa tanyakan langsung kepadanya," ucap Suroso.

Khalil diajak main Raden Panji ke kandang ayam. Dalam sekejap anak itu sudah sibuk mengejar ayam. Terdengar suara jeritan dan kegembiraan dari seorang anak kecil. Wajah Raden Panji juga tampak senang melihat Khalil yang gembira.

"Apa mengajak anak dan cucumu itu sebagai tanda permintaan maaf? Kalau iya, kau berhasil," kata Raden Panji.

"Jujur aku tidak pernah punya niat untuk meminta maaf," ucap Suroso.

Raden Panji menoleh ke Suroso dengan tatapan tajam. Dia cukup murka.

"Lalu, apa maksudmu pergi ke rumahku? Kau sudah mengotori kehormatan keluarga, lalu kemari buat apa? Mau menginjak-injak kehormatan kita lagi?"

"Aku tidak punya maksud untuk itu. Kau lihat sendiri, kita sudah tua. Umur kita juga tidak akan panjang. Sudahilah semua ini, yang berlalu biarlah berlalu. Lagipula, aku pergi dari rumah adalah keinginanku yang ingin hidup bebas, bukan hidup dalam kekangan," ujar Suroso.

"Cuih, prinsipmu itu masih saja tidak aku terima. Kalau saja di dalam darahmu tidak mengalir darah ningrat, aku sudah tebas lehermu," kata Raden Panji, "lalu apa tujuanmu kemari?"

"Arief, bicaralah!" kata Suroso.

Arief menelan ludah. Dia menarik napas sejenak, berusaha menempatkan posisinya dengan benar. Jadi, orang yang ada di hadapannya ini boleh dibilang saudara ayahnya. Lalu, sekuat apa power orang ini sampai ayahnya meminta bantuan kepadanya?

"Aku ingin menghancurkan hidup seseorang," jawab Arief.

Raden Panji melotot. Setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang meledak membuat Khalil terkejut. Namun, karena ada ayam yang melintas di depannya, Khalil tidak menghiraukannya lagi.

"Menghancurkan hidup seseorang? Aku tidak salah dengar?" tanya Raden Panji dan lagi-lagi tertawa. "Kau bisa meminta bantuan ke bapakmu itu. Dia preman asli, bukan aku."

"Istriku berselingkuh dengan dia. Dia telah merebut istriku," kata Arief.

Lagi-lagi Raden Panji tertawa. "Istrimu selingkuh? Heh, bocah goblok! Dengar ya. Istri selingkuh itu, karena dua hal. Pertama, kamu miskin. Kedua, kamu kurang hebat di ranjang. Melihatmu dekil seperti ini pasti karena kamu miskin! HAHAHAHA"


"Itu tidak salah, juga tidak benar. Aku masih bisa menghidupi anak dan istriku, tapi dia mengkhianatiku dengan kembali ke cinta pertamanya," jawab Arief.

"Woo,.. ya berarti awakmu kuwi sing (kamu itu yang) kurang sip pas (saat) kenthu. Memangnya berapa kali kamu kentu karo (dengan) bojomu (istrimu) seminggu?" tanya Raden Panji.

"Tidak pasti, kadang tiga kali seminggu," jawab Arief.

"Goblok! Ya gara-gara itu istrimu kabur, kepincut ama orang lain. Orang lain bisa ngenthu bojomu tiap hari, kamu cuma tiga kali seminggu. Makanya kabur, HAHAHA!" ledek Raden Panji.

Arief menghela napas. Rasanya percuma meladeni omongannya. Tapi memang benar, kata-kata Raden Panji tidak salah. Mungkin juga dia kurang memberikan nafkah batin kepada istrinya. Maka dari itulah Jannah pergi.

Raden Panji menghentikan tawanya. Dia sekarang berkacak pinggang, seolah-olah seperti raja yang memiliki segalanya.

"Kau sudah ceraikan istrimu?" tanya Panji.

Arief menjawab, "Iya."

"Bagus. Kadang memang seorang suami punya problematika yang tidak bisa dia bicarakan kepada istrinya. Sedangkan seorang istri harus melayani suami dalam masa-masa sulit. Aku yakin, kamu tidak banyak menggauli istrimu, karena berbagai persoalan. Jangan takut, aku pernah ada di posisimu. Istriku pernah selingkuh dengan salah satu pelayanku, karena aku terlalu sibuk dan tidak peduli kepadanya. Aku memergoki mereka dan aku beri istriku pilihan untuk pergi dari hadapanku selamanya atau kembali kepadaku. Tentu saja istriku malu dan lebih memilih untuk pergi. Dia pergi, tapi kemudian dibunuh oleh pasangan selingkuhannya. Si pelayan itu menyalahkan semuanya kepada istriku, karena aku mengusir dia dan menghancurkan kehidupannya. Pelayan itu sudah mati, kubuang mayatnya di tengah laut," tutur Raden Panji panjang lebar bag Khotbah.

Arief menelan ludah. Ternyata benar, orang ini bukan orang sembarangan.

"Kalau kau ingin menghancurkan kehidupan seseorang, itu pasti bukan istrimu, tapi lelakinya bukan?" tebak Raden Panji.

"Benar," jawab Arief.

"Kau sudah benar menceraikan istrimu. Keluarga kita tidak boleh dikotori oleh para pengkhianat. Dan mungkin memang sudah menjadi sifat yang mengalir dalam darah keluarga ini, kita tidak akan membiarkan orang-orang yang mengusik keluarga ini hidup tenang. Pasti orang yang ingin kau hancurkan hidupnya ini orang yang berpengaruh," tebak Raden Panji lagi.

"Benar, dia seorang ustadz dan orang-orang di sekelilingnya cukup berpengaruh," kata Arief.

"Jadi begitu. Aku mengerti sekarang. Siapa saja mereka? Orang-orang yang ada di sekitar orang ini," tanya Raden Panji.

"Ada banyak, dari pejabat DPR sampai walikota," jawab Arief, "dia sendiri anak dari salah satu ulama di Jawa Timur."

Raden Panji mengangguk-angguk. Dia akhirnya mengerti kenapa Suroso datang ke tempatnya. "Pantas, pantas kau datang kemari Suroso. Ternyata lawanmu berat."

"Apa Pak De bisa membantuku?" tanya Arief.

Raden Panji mengelus-elus jenggotnya. Dia berpikir sejenak.

"Aku bisa membantumu, tapi syaratnya cuma satu. Beri aku satu wanita yang bisa menemaniku di sini."

Arief mengernyit, "Maksud Pak Dhe?"

"Aku juga seorang laki-laki, butuh pelampiasan. Semenjak istriku pergi aku tidak pernah lagi merasakan tubuh wanita. Berikan aku satu atau dua terserah, yang penting mereka bisa aku garap," kata Raden Panji sambil tertawa jahat.

"Maksud Pak Dhe, aku sewa pelacur?" tanya Arief.

"G-O-BLOK! Tentu saja bukan. Pelacur bakalan banyak penyakit yang dibawa. Aku bener-bener kepingin punya keturunan," jawab Raden Panji.

"Mau dijadikan istri?"

"Apa aku minta seorang istri? Tidak, aku cuma kepingin perempuan yang bisa aku kentu tiap hari," jawab Raden Panji. "Di tempat ini sepi, kalau malam dingin. Kau tahu kebutuhan utama laki-laki apa bukan?"

Arief mengangguk. "Inggih, Pak Dhe. Saya tahu."

"Ya sudah. Syaratnya cuma itu. Kau bisa berikan setelah selesai aku bantu. Kalau kau tidak persiapkan, kamu yang akan aku hancurkan,.. HAHAHA" kata Raden Panji.

Arief menelan ludah. Ini permintaan yang tidak biasa. Namun, Arief berjanji, "Pasti akan aku usahakan"

"Janjimu aku pegang anak muda!"

===X=X===

Setelah dapat bantuan dari Raden Panji, Arief pergi ke sebuah daerah pelosok...

==skip==

Burung-burung berkicauan membuat suasana asri di Desa Karang Wolu. Desa ini masih asri dengan pemandangan sawah yang menghijau. Dersik membuat dedaunan berdesakan, menimbulkan suara nyanyian alam yang indah. Langit biru dengan beberapa kelompok awan bergerak tertiup angin. Seorang pemuda tampak melintasi jalanan pedesaan dengan sepeda motornya, hingga dia berhenti di sebuah rumah yang mana halaman rumahnya tampak penuh dengan bijih jagung yang dijemur.

Pemuda ini tak lain adalah Arief. Dia memeriksa ponselnya untuk mencocokkan posisi letak GPS yang ada di peta. Ternyata tujuannya sudah benar. Dia kembali menarik gas sepeda motornya, lalu masuk ke halaman rumah yang memang tak berpagar.

Seorang perempuan tertutup hijab berwarna coklat melongok dari dalam rumah. Wajahnya tentu tidak asing bagi Arief, dia adalah Azizah.

"Pak Arief?" seru Azizah.

Arief hanya melambaikan tangannya. Dia segera melepas helmnya, lalu turun dari motor.

"Masuk, Pak!" seru Azizah.

Azizah tampak gembira dengan kedatangan Arief. Bagaimana tidak? Orang yang dulu menyelamatkan hidupnya sekarang telah berkunjung ke rumahnya. Ibarat rumahnya sekarang dikunjungi seorang malaikat. Arief lalu masuk ke dalam rumah dan disambut oleh beberapa orang anggota keluarga.

"Bapak, ibu, kenalkan ini Pak Arief. Orang yang menolong Azizah," ucap Azizah memperkenalkan Arief kepada anggota keluarganya.

Tiba-tiba kedua orang tua Azizah langsung menyerbu Arief dan memeluknya. Mereka berkali-kali mengucapkan syukur dan berterima kasih.

"Kalau bukan karena kamu entah jadi apa anak saya, Pak," kata ibunya Azizah.

Cukup mengharukan. Arief berusaha menenangkan kedua orang tua Azizah, mereka tampak benar-benar merasa berterima kasih kepada Arief.

Hari itu juga Arief disuguhi berbagai macam makanan yang terenak yang bisa mereka buat. Kedua orang tua Azizah orangnya sangat baik dan sudah paham apa yang terjadi dengan Azizah, sebagai pengidap HIV/AIDS akibat tertular dari Suyoto. Akibatnya Azizah harus mengkonsumsi dengan rutin obat ARV untuk menghambat virus itu berkembang biak. Azizah bisa hidup dengan normal dan seperti orang sehat pada umumnya. Rahasia tentang penyakit ini hanya kedua orang tuanya dan Arief saja yang mengetahui.

Di dinding rumah tampak foto mendiang suami Azizah. Dia tampak sangat mencintai suaminya, sayang kejadianya terlalu cepat. Padahal keduanya juga masih pengantin baru.

Arief hanya bisa berterima kasih setelah menghabiskan hidangan yang telah disuguhkan. Dia pun terlibat perbincangan dengan Azizah.

"Tumben sekali Pak Arief datang," kata Azizah.

"Yah, mau gimana lagi. Memang ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan," kata Arief.

"Hmm, apa itu?"

"Sebaiknya kita cari tempat yang bisa bicara empat mata," kata Arief.

Azizah pun mengangguk mengerti.

"Kita ke sawah saja kalau gitu." usul arief

"Ide bagus," kata Azizah, "Bu, Pak, badhe dateng sawah rumiyin kalih Pak Arief."

Setelah minta izin kepada kedua orang tuanya, Azizah dan Arief pun keluar rumah. Mereka berjalan menyusuri jalanan setapak pedesaan. Keduanya terkadang berpapasan dengan orang-orang, terlihat dari kejauhan beberapa anak kecil sedang bermain layang-layang dan kejar-kejaran. Ada pula mereka bermain di kali.

Azizah menuntun Arief untuk melewati pematang sawah. Arief berjalan di atas pematang sawah sambil berhati-hati melihat pijakannya. Walaupun sebenarnya dia tak keberatan untuk kotor-kotoran kena lumpur.

Azizah pun akhirnya duduk di sebuah gubuk di tengah sawah. Gubuknya sepi tidak ada orang dan jauh dari keramaian. Dari gubuk ini Arief bisa melihat jalan setapak yang tadi dia lewati. Orang-orang juga bisa melihat mereka, tapi tak akan bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Padi dan tanaman-tanaman lainnya akan menyerap suara mereka, sudah seperti alat kedap suara alami.

"Memangnya Pak Arief ingin bicara apa?" tanya Azizah.

"Aku ingin kamu membantuku," jawab Arief.

"Oh, tentu saja Pak dengan senang hati," kata Azizah, "memangnya ada yang bisa saya bantu?"

"Jadi, aku sudah bercerai dengan istriku," kata Arief.

"Hah? Kok bisa? Apakah itu gara-gara aku, Pak?"

Arief menggeleng. "Bukan, bukan karena kamu, tapi memang istriku selingkuh."

Azizah menghela napas. Dia sepertinya mengerti kesedihan Arief, "Saya turut prihatin ya, Pak. Bapak orangnya baik, tapi malah dapat musibah."

"Tak usah dipikirkan. Aku hanya ingin bertanya kepadamu, apa kamu bisa membantuku? Tapi, begini. Hal ini agak sulit, bagimu juga bagiku. Jujur ini permintaan tersulitku," kata Arief.

"Tidak apa-apa, Pak. Bapak telah membantu saya selama ini, apapun akan saya lakukan. Bapak mau apa? Ingin saya melayani bapak?"

"Bukan, aku tak mau itu," celetuk Arief.

Ada raut wajah kecewa di muka Azizah. Itu tak bisa ditutupi.

Sebenarnya, sudah lama juga dia memendam rasa kepada Arief ini. Semenjak kepergian suaminya, otomatis lelaki yang ada di hadapannya inilah yang selalu merawatnya dan menjenguknya. Dia bahkan berbuat banyak kebaikan sampai memberinya ongkos pulang ke kampug.

Mungkin juga sebagai seorang wanita pengidap HIV dia sudah tidak ada harapan lagi untuk bisa merasakan cinta dari seseorang laki-laki. Azizah masih ingat bagaimana perlakuan suaminya yang selalu bergairah melihat tubuhnya. Dia juga ingin Arief bisa merasakan apa yang dirasakan oleh suaminya. Namun, dalam hati juga Azizah tahu Arief pasti tidak akan mau menyentuh dirinya yang mana pengidap HIV.

"Aku ingin menghancurkan hidup seseorang," kata Arief.

"Siapa? Mbak Jannah?" tanya Azizah.

"Keduanya," jawab Arief.

"Lalu ada hubungan apa dengan saya, Pak?"

"Aku ingin kamu menggoda laki-laki yang telah merebut istriku," jawab Arief.

Azizah berpikir sejenak. "B-bagaimana caranya? T-tapi ... bapak yakin saya bisa?"

"Aku tanya dulu ke dirimu, keberatan atau tidak?"

"Jujur, aneh. Tapi saya akan mengusahakannya."

"Tapi ini bukan menggoda biasa. Aku ingin kamu benar-benar sampai tidur dengan dia, tanpa pengaman dan bisa menularkan HIV kepadanya," ucap Arief.

Bagai disambar petir Azizah mendengar penjelasan Arief. Azizah menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dibicarakan oleh Arief. Laki-laki di hadapannya ini sedang dalam keadaan emosi yang memuncak. Dia bisa merasakan dari ucapannya. Seorang lelaki baik-baik bisa punya amarah dan dendam seperti ini.

"Kalau kau keberatan tak apa-apa. Aku akan cari orang lain. Aku mengutarakan ini, karena aku yakin kamu bisa menolongku," kata Arief.

Keduanya pun terdiam untuk beberapa menit. Hanya angin kencang saja yang menemani keduanya ditambah dengan suara burung emprit yang terbang kesana-kemari mencuri bijih padi dari pohonnya. 

Azizah menghela napas lagi.

"Saya sanggup," ucap Azizah tiba-tiba.

Arief takut salah dengar. "Kau apa?"

"Aku sanggup. Bapak sudah berkorban untuk saya, menolong saya dan keluarga saya. Saya akan lakukan apapun untuk bapak," kata Azizah.

Arief mengusap kepalanya sambil menggeleng-geleng. "Kamu tidak perlu memaksa. Kalau kau tak sanggup aku bisa mengerti."

"Beneran, aku sanggup. Aku akan menolong bapak menghancurkan lelaki itu. Siapa dia? Katakan saja. Aku akan goda dia, sampai dia bertekuk lutut di hadapanku," tantang Azizah.

Arief tersenyum. Dia menghargai semangat Azizah sekaligus kasihan. Sebenarnya dia tidak tega, tapi dia harus melakukan segala cara untuk bisa membalaskan dendamnya.

"Tapi kalau boleh, saya ingin satu hal saja dari bapak," ucap Azizah.

"Apa, katakan?"

Azizah tersenyum. 

"Sebenarnya, jujur saya kagum kepada Pak Arief. Bapak telah menolong saya dan keluarga saya. Tidak tahu seberapa banyak nanti rasa terima kasih yang bisa saya haturkan. Bahkan, mungkin kalau Pak Arief ingin menukar nyawa, saya pun sanggup. Dalam lubuk hati saya yang paling dalam, saya menyukai Pak Arief."

Arief terkejut.

"Mungkin memang kata orang Jawa, witing trisno jalaran saka kulino. Itu yang terjadi kepada saya, Pak. Saya tak mampu untuk bisa menahan lagi perasaan ini. Bapak kan sudah bercerai, kenapa bapak tidak lupakan saja istri bapak? Move-on, lalu mencari pengganti. Lupakan balas dendam bapak. Saya bisa menjadi pengganti Mbak Jannah. Ah..., tapi saya tahu, cinta tak bisa dipaksa. Bapak masih mencintai Mbak Jannah kan dalam hati?"

Arief tidak bisa membantahnya. Perasaan cinta itu masih ada walau sedikit. Kalau misalnya sudah tidak cinta lagi, tak mungkin dia repot-repot ingin balas dendam.

"Perasaan balas dendam ini ada, karena bapak masih mencintainya. Bapak hanya ingin dia minta maaf bukan? Katakan kalau aku salah. Sebenarnya itu yang bapak inginkan selama ini, permintaan maaf darinya," kata Azizah.

Lagi-lagi Arief tidak membantah. Dia mengangguk, 

"Mungkin kau benar. Aku tak bisa melupakannya, masih ada sedikit rasa cinta di dalam dadaku. Maka dari itulah aku seperti dikhianati. Bagaimana tidak? Dia cinta pertamaku dan juga ibu dari anakku. Bagaimana aku bisa melupakannya begitu saja?"

Azizah mengangguk. "Berarti benar. Saya bersedia membantu bapak. Asalkan bapak mau membantu saya, satu hal saja."

"Katakan, apa yang bisa aku lakukan?" tanya Arief.

"Saya ingin tidur dengan bapak," jawab Azizah.

"Hah?"

==skip==

Ahirnya suasana pun kembali hening. tapi tidak dengan pergerakan..

Keadaan di tengah sawah itu cukup sepi. Tidak ada kebisingan, tidak ada keramaian, damai dengan ditemani oleh semilir angin. Lantunan orkestra gesekan dedaunan padi adalah musik alami, menjadi sebuah iringan nada dimana ada dua insan yang sedang berciuman, memagut bibir, menyesapkan birahi.

Perempuan bernama Azizah pasrah, bahkan menyerahkan dirinya secara utuh kepada seorang Arief. Dasar, Arief bukan lelaki bodoh yang akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Bahkan, meskipun tahu Azizah seorang ODHA, tetapi dia tahu batasan yang harus dilakukan. Azizah ini seksi, itu yang bisa menjadi penilaiannya. Wajahnya cantik, tak perlu seorang juri Miss Universe untuk bisa mengatakannya, dan benar apa kata Suyoto, buah dada Azizah memang tak ada yang bisa mengalahkan. Bulat, mulus dengan urat-urat kehijauan. Kedua benda itu sekarang sedang diremas-remas oleh Arief.

Kedua selakangan mereka saling berhimpit meskipun masih dalam keadaan tertutup. Kedua mata Azizah sudah tak bisa lagi fokus kepada yang lain selain Arief. Matanya menatap sayu saat lidah Arief bergerilya menjamah dua bongkah payudara yang dia banggakan itu. Entah sejak kapan pakaian atasnya sudah terangkat, bahkan cup BH-nya sudah terlepas. Arief menyihirnya, mengacaukan fokusnya, apalagi putingnya yang mengacung itu tersapu oleh guratan kasar lidah lelaki itu.

"Aaahhhkk!!" rintih Azizah.

Dia takjub. Dengan sapuan lidah Arief, dia gemetar. Tak pernah seumur hidupnya mengalami pengalaman seeksotis ini. Lagi! itu perintahnya di dalam hati. Arief mengabulkan. Dua kali sapuan, Azizah merintih lagi. Kali ini Arief menggila, dia bergantian melahap puting susu perempuan ini, kiri dan kanan. Azizah meronta di atas pangkuan Arief, meremas kepala lelaki ini.

"Enak, Paak...." tak perlu berbohong, Azizah telah mendeklarasikan betapa nikmat sapuan lidah pemuda ini.

"Pantas sekali banyak yang tertarik kepadamu. Susumu indah, Zah," puji Arief.

"Oh, Pak Arief. Tubuhku milikmu, Pak. Aku rela melakukan apapun untukmu," kata Azizah.

Arief menatap mata Azizah. Ketulusan Azizah tak perlu diragukan. Sudah banyak hal yang dilakukan Arief untuk perempuan ini. Sudah selayaknya Azizah membalasnya. Sayang, kalau bukan penyakit menular ini, pasti dia akan dengan senang hati melayani Arief.

"Tubuhmu indah, Zah. Aku ingin sekali bercinta denganmu, tapi kau tahu sendiri keadaannya," kata Arief.

Azizah mengangguk. "Bapak mau terapi obat ARV dengan Azizah?"

"Aku ingin sekali, tapi aku masih lebih ingin kau lakukan dulu kepada si ustadz itu."

Ada raut wajah kecewa di wajah Azizah. Arief mengelus pipi janda muda itu.

"Kau bisa bersabar sampai saat itu tiba?"

Azizah menggeleng. Dia tak akan kuat untuk bisa bersabar.

"Aku sepertinya sudah jatuh cinta sama Pak Arief. Kalau aku bersabar, aku takut mengecewakan bapak. Aku rela memberikan apapun untuk bapak. Entah kenapa aku bersedih tak bisa memberikannya."

Arief tersenyum.

Kedua tangannya masih meremas-remas buah dada Azizah dan memainkan putingnya. Lagi-lagi Azizah gemetar dipermainkan seperti itu. Apakah istrinya pernah diperlakukan seperti ini? Ini bukan permainan seorang lelaki biasa. Arief sangat lembut memainkan buah dadanya, kedua tangan Azizah pun ikut memegang kedua tangan Arief, seirama memainkan payudaranya.

"Aku ingin kau tinggal di dekatku. Ikut aku ke kota," ajak Arief.

Azizah mengangguk.

Dia lalu turun dari pangkuan Arief. Setelah itu dengan cekatan dia melepaskan resleting celana lelaki itu, menariknya sedikit untuk memberikan kebebasan kepada tongkat perkasanya. Azizah sudah berlutut di hadapannya membiarkan celananya terkena tanah, hanya sekedar untuk melihat bagaimana kejantanan berurat. Benda pusaka itu muncul saat celana dalam warna putih Arief diloloskan. Kepala jamurnya keras, batangnya berurat, tegak mengacung menunjuk ke wajahnya.

Mata Azizah melotot menyaksikan betapa jantannya Arief. Dia memberikan salam perkenalan dengan kecupan kepada benda yang suatu saat ingin dia rasakan membasahi rahimnya itu. Biarlah dia berkorban hingga saat itu tiba, yang jelas batang ini harus dipuaskan. Azizah mencium ujung kepala jamur, memainkan lidahnya, mengecup batangnya beberapa kali, menghirup aroma khasnya. Ini bau Arief. Bau yang sedap. Dia terhipnotis olehnya.

"Bapak janji ya? Suatu saat basahi rahimku," pinta Azizah.

"Aku janji," jawab Arief.

"Oh... bapak."

Azizah lalu mendekat lagi kepada Arief, kini dia tempatkan batang keras itu ke tengah payudaranya. Dengan bantuan tangannya, dia tekan batang tersebut, merangsangnya, mengocoknya lembut. Arief tak kuasa. Dia lemas diperlakuan seperti itu. Oh, toket itu sungguh sempurna. Azizah meludahi batangnya, dingin, tetapi hangat saat kedua bukit kembar itu kembali mengocoknya.

Barangkali Arief tak pernah menyangka akan mendapatkan tits job seenak ini. Kedua pasang mata mereka saling berpandangan, wajah Azizah yang cantik tersenyum, dia benar-benar ingin memuaskan Arief.

"Enak, Pak?" tanya Azizah.

"Enak," jawab Arief jujur.

"Bapak mau aku hisap?" tanya Azizah.

"Kau tak keberatan aku muntahkan di mulutmu?"

Azizah mengangguk, "Lakukan pak. Perkosa mulutku ini."

Arief lalu berdiri, dia memegang batangnya lalu diarahkan ke mulut Azizah. Azizah memegangi pinggang Arief, sementara kedua tangan Arief berada di kepalanya. Arief tak ingin menyia-nyiakannya. Dia menggerakkan maju mundur pinggulnya, sementara di bawah suara mulut Azizah sangat berisik.

Perempuan ini benar-benar berusaha agar batang perkasa itu bisa masuk penuh, tetapi selalu gagal. Hanya separuh saja bisa memasuki mulutnya. Arief makin cepat menggerakkan pinggulnya, Azizah mengimbanginya dengan gerakan lidah memutar, merangsang syaraf-syaraf kenikmatan ke seluruh tubuhnya.

Satu tangan Azizah mulai beraksi, dia meremas-remas kedua bola Arief. Arief bingung bagaimana tangan itu bisa membuat bulu kuduknya meremang. Mulut Azizah saja sebenarnya sudah cukup nikmat, suaminya sudah mengajari cara blowjob yang baik, ditambah aksi remasan ke biji, membuat Arief tak kuasa lagi ingin keluar.

"Aku mau crot di mulutmu," ucap Arief.

Azizah memejamkan mata. Ia ingin menikmati sensasi semprotan sperma lelaki yang dia kagumi ini. 

Tak butuh waktu lama, Arief menegang dan menekan pinggulnya kuat-kuat. Dari lubang pusakanya, memancarlah cairan kental. Arief tak tahu lagi berapa liter yang sudah dia keluarkan di dalam mulut Azizah. Dia diamkan beberapa saat sampai batangnya tidak berkedut-kedut lagi, setelah itu ia tarik perlahan keluar dari mulut Azizah.

Perempuan itu tersenyum menyaksikan bagaimana wajah Arief yang puas. Padahal sudah keluar, tetapi batang itu tetap keras dan perkasa. Azizah langsung menelan sperma lelaki ini. Dia tak peduli dengan rasanya, pahit, ataupun asin. Yang jelas dia sangat senang bisa melakukannya. Arief masih takjub melihat Azizah, janda ini benar-benar telaten sekali menjilati lubang kencingnya agar tak ketinggalan setetes pun.

"Terima kasih, Zah," kata Arief.

"Kapan pun, Bapak ingin saya bersedia melakukannya lagi," kata Azizah.

"Lain kali, kita bercinta, kalau aku bawa pengaman," kata Arief.

Azizah berdiri lalu memeluk Arief.

"Oh, bapak. Aku sayang banget ama bapak. Aku akan berikan tubuhku buat bapak."

Kedua insan ini berpelukan dengan separuh telanjang di gubuk tengah sawah. Tak ada saksi mata yang melihat mereka selain burung-burung pencuri padi dan serangga-serangga yang lewat. Cukup dengan Azizah hari ini, pikir Arief. Tujuannya telah tercapai. Dia ingin membawa perempua ini untuk melaksanakan aksinya.


===X=X===

Dendam kepada ustadz gadungan bangsat Thalib ini tidak lain didasari dengan betapa kedok seorang ustadz yang sangat mulia saat Arief pertama kali mengenalnya. Arief, bukanlah pemuda biasa. Dia lebih buruk dari apa yang ada di pikiran orang-orang. Bapaknya lebih buruk. Itulah kenapa beberapa bulan yang lalu saat bapaknya menyuruhnya kepada suatu hal, dia tidak gagal dan Arief tidak pernah gagal dalam melakukan pekerjaannya.

Ah, malah rumah tangganya gagal. Itu pengecualian.

Tapi sebelum itu, Arief harus menjalankan syarat dari ayahnya terlebih dahulu..

Sebelum berangkat menjalakan tugas atas syarat dari ayahnya, Arief harus mempersiapkan banyak hal. Semuanya ada di dalam koper besar berwarna hitam yang ada di bagasi pickupnya. Suroso menatapnya tanpa ekspresi saat hendak berangkat. Dia tahu putranya sudah lama tidak pernah melakukan hal ini, apa mungkin masih bisa?

"Sudah lama kau tidak melakukannya. Berapa tahun?" tanya Suroso.

"Semenjak aku mengenal Jannah," jawab Arief.

Suroso mengangguk-angguk sambil memejamkan matanya.

"Haruskah dengan syarat ini bapak mau menolongku?" tanya Arief sekali lagi.

"Kau bisa saja tidak melakukannya, tetapi mereka orang yang boleh dibilang pernah berbuat buruk kepada ibumu," jawab Suroso.

"Lalu kenapa bukan bapak sendiri yang melakukannya?"

"Bapak sudah tidak seperti dulu. Kedua tangan bapak akan gemetar hebat kalau membawa benda-benda berat. Maka dari itu kamu yang harus melakukannya. Sebenarnya, juga kalau bukan karena kecelakaan kerja itu, bapak tidak akan memintamu. Ah, sayang kau bilang sudah tidak ingin lagi melakukannya, kau ingin bertaubat. Kau jauhi bapak," kata Suroso.

"Ini yang terakhir," kata Arief.

"Jujur bapak sudah cukup senang dengan perubahanmu. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari Jannah."

Arief tak menanggapi.

Dia keluar dari rumah, masuk ke dalam mobil pickup, setelah itu pergi. Suroso hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Sebenarnya ada rasa penyesalan menyuruh putranya berbuat seperti itu lagi. Agaknya masa-masa emasnya menjadi tukang pukul sudah redup terkikis oleh waktu. Padahal Suroso sangat pandai dan pintar dalam menghabisi orang lain. Dan tentu saja, partner yang paling pas adalah anaknya.

Selama bertahun-tahun polisi dihebohkan dengan orang-orang yang menghilang atau pun kasus-kasus pembunuhan berantai. Salah satu yang menarik adalah kasus pembunuhan berantai yang memutilasi para korbannya. Sampai sekarang polisi tidak pernah mengetahui siapa pelakunya, bahkan satu petunjuk pun tidak.

Setiap korban yang ditemukan dimutilasi dari kepala, tangan, kaki, lalu dikumpulkan jadi satu dalam sebuah karung. Lalu, si pembunuh pasti mengambil salah satu bagian tubuh yang telah dipotong kemungkinan untuk dikoleksi.

Sejak umur 12 tahun Arief membantu bapaknya. Bapaknya si tukang jagal, anaknya bagian memotong. Bapaknya yang mengatur skenario, anaknya yang membersihkan. Mereka terkadang bergantian, kalau sasarannya orang yang mudah dibunuh, maka Arief yang akan memenggal leher orang itu dalam sekali tebas.

Tak peduli laki-laki ataupun perempuan, mereka tak kenal ampun. Semua itu dilakukan hanya demi uang. Satu hal yang selalu mereka jaga, yaitu tidak akan membunuh anak-anak ataupun perempuan hamil. Itu kode etiknya.

Tadi siang Suroso bercerita kepada Arief, dulu saat ibunya sedang melakukan kegiatan di kampus, orang-orang yang menjadi targetnya ini melecehkan ibunya. Sebenarnya korbannya juga bukan ibunya saja, tetapi juga teman-teman ibunya juga ikut jadi korban.

Mereka menaruh obat tidur ke dalam minuman ibunya, setelah itu saat ibunya tidak sadar, mereka melecehkannya. Untunglah saat itu ibunya tidak meminum banyak, sehingga efek obat biusnya tidak terlalu tinggi. Alhasil saat beberapa orang mengocok penis mereka di wajah ibunya, keburu ibunya terbangun dan berteriak.

Sontak hal itu membuat orang-orang yang berada di sekitar tempat itu terkejut dan berusaha menolong ibunya. Ibunya selamat berikut juga teman-temannya yang jadi korban. Tetapi para bajingan itu berhasil lolos.

Sebenarnya ibunya Arief tidak tahu siapa pelakunya, karena saat itu gelap. Hanya saja, setelah bertahun-tahun mencari tahu siapa pelakunya, mereka pun memberitahukan kebejatan mereka secara tak sengaja pada acara reuni.

Ibunya Arief secara tak sengaja mendengar percakapan beberapa orang di kamar mandi. Orang-orang itu berceloteh tentang peristiwa yang dialaminya bertahun-tahun yang lalu. Karena penasaran ibunya pun menunggu siapa saja orang yang akan keluar dari toilet.

Wajah-wajah mereka pun akhirnya diingat dan ibunya menyimpan cerita itu bertahun-tahun. Sampai suatu ketika saat ibunya berjuang melawan maut karena kanker, dia pun bercerita tentang kejadian itu. Pesan ibunya Arief (istri suroso) kepada Suroso adalah jangan mendendam. Biarkan tuhan yang membalas.

Kali ini memang benar Suroso tidaklah mendendam, dia tidak akan membalas, tetapi tuhan yang membalas lewat tangan anaknya.

===X=X===

Gemercik air hujan terdengar riuh mengiringi perjalanan Arief. Beberapa kubangan di jalan pun mencoba disibak oleh roda kendaraan yang melintas. Arief keluar dari mobil sambil memakai mantel hujan berwarna gelap. Pickupnya diparkir di pinggir jalan tak jauh dari sebuah rumah mewah. Yang jelas, orang yang tinggal di rumah itu adalah orang kaya.

Arief membuka kopernya di bagasi mobil, setelah itu dia mengeluarkan sebuah senapan air gun. Air gunnya menggunakan angin kompresor yang bisa memuntahkan peluru tanpa menggunakan mesiu. Tujuannya jelas untuk merusak kamera CCTV yang ada di sekitar lokasi. Dia melihat beberapa CCTV yang mengawasi rumah tersebut sejak pertama kali tiba. Dengan cekatan Arief menembak tiga kamera tersebut hingga tak berfungsi. Satu lagi keunggulan senjata air gun ini, tidak berisik.

Setelah dirasa selesai, dia mengambil sebilah kapak dari kopernya. Setelah itu berjalan menuju ke pagar rumah. Pagar rumahnya, tentu saja dikunci dari dalam. Namun, Arief tidak kehilangan akal. Cukup mudah untuk memanjat pagar tersebut. Rumah besar, tanpa CCTV dan tanpa penjaga atau pun anjing. Arief dengan mudah masuk ke dalam rumah.

Pekerjaan ini sebenarnya perlu kehati-hatian. Maka dari itulah Arief memakai masker dan menutupi kepalanya dengan hoodie dari mantel hujan yang dia kenakan. Begitu masuk ke dalam rumah ada seorang perempuan, seorang pembantu terkejut melihat Arief.

"Siapaaaahh....kkhh," belum sempat selesai bicara sebilah pisau sudah menggorok leher perempuan itu. 

Adegan berikutnya sudah bisa dipastikan, perempuan tersebut kejang-kejang di atas lantai dengan darah bercucuran keluar dari lehernya.

Arief melihat seorang perempuan lagi sedang menonton televisi. Arief langsung mengayunkan kapaknya ke tempurung kepalanya, perempuan itu meninggal di tempat saat itu juga tanpa tahu kenapa dia harus dibunuh.

Kembali lagi Arief berjalan menyisiri ruangan, membuka satu per satu pintu. Saat menemukan pintu yang di dalamnya ada anak kecil yang sedang tertidur, dia kunci pintu itu agar anak tersebut tidak keluar.

Arief pun beranjak ke lantai dua. Dia melakukannya tanpa rasa takut ataupun panik. Saat masuk ke sebuah kamar dia melihat seorang wanita sedang berbaring di ranjang sambil bermain ponsel. Masih dengan kapaknya, Arief langsung melempar benda itu hingga menghantam kepala wanita tersebut.

Telinganya lalu mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi. Arief melihat layar ponselnya, untuk memastikan seorang lelaki yang menjadi targetnya. Kalau targetnya sudah keciduk, dia akan langsung pergi.

Arief bergegas mendekati kamar mandi, setelah itu dia buka pintu kamar mandi. Tampak seorang lelaki sedang sibuk mencuci rambutnya dengan air hangat yang ada di shower. Dia tak menyadari Arief sedang berdiri di belakangnya.

"Setyo Wahono," panggil Arief.

Lelaki itu terkejut lalu berbalik. "Si-siapa kau?"

"Kau benar telah melecehkan Laras?" tanya Arief.

"Laras? Siapa?"

"Kau tak ingat perbuatanmu waktu masih mahasiswa dulu? Sudah berapa korbanmu sampai kau lupa siapa mereka?"

Setyo menelan ludah. Dalam keadaan telanjang, terpojok dan diintimidasi, siapapun tidak akan ada yang suka dengan apa yang dialaminya sekarang. Terlebih lagi, dia merasa nyawanya akan melayang.

"A-aku tidak tahu," kata Setyo.

"Tahu atau tidak itu tidak jadi soal. Aku tetap akan menghabisimu sekarang," kata Arief.

"T-tolong, ampuun. ampuun!!" ucap Setyo sambil berlutut.

"Itu bukan ideku. Aku hanya ikut-ikut mengerjai. Si Poltak itu, itu ide Si Poltak. Dia terlalu banyak nonton bokep sampai berfantasi yang aneh-aneh. Tapi sungguh, aku tidak pernah memperkosa seorang pun, Poltak dan kawan-kawan yang melakukannya, bukan aku!" lanjut Setyo memohon ampunan

"Jangan khawatir, bagian mereka sudah ada!" ucap Arief.

Dia menjambak rambut Setyo, setelah itu menusuk-nusukkan pisau yang sudah di genggamannya ke leher, wajah, dada, punggung dan perut Setyo. Tubuh Setyo ambruk ke lantai dan menggelepar-gelepar hingga tak sadarkan diri. Tugas Arief satu sudah selesai. Masih ada empat orang lagi yang harus dia habisi.

Kali ini Arief tidak memutilasi korbannya seperti yang sudah-sudah. Tujuannya jelas, menghabisi orang, setelah itu pergi. Sebelum dia pergi dari rumah, dia mengambil pesawat telepon yang ada di kamar Setyo tepat di samping perempuan yang sudah tewas dengan kapak menancap di kepalanya. Dia pencet nomor polisi.

"Ya, Halo? Dengan 110 ada yang bisa dibantu?" sapa seorang di telepon.

"Keluarga di rumah ini saya habisi, kirimkan bantuan," jawab Arief.

Setelah itu dia langsung menutup teleponnya. Arief mengambil kapaknya dari kepala wanita yang ada di atas tempat tidur, setelah itu dia pergi meninggalkan rumah itu tanpa beban sama sekali.

Hujan menghapus jejak darah yang ada pada sepatunya. Kapak tersebut kembali tersimpan di dalam koper, berikut juga pisau-pisau yang dia gunakan tadi.

Di dalam mobil Arief meneteskan air mata. Dia sudah tak ingin lagi melakukan ini. Sebenarnya, semenjak dia mengenal Jannah, dia sudah berjanji akan menjadi orang baik. Tidak lagi melakukan kejatahan seperti yang dilakukan oleh bapaknya. Terlebih lagi ustadz gadungan Thalib terus memberinya semangat untuk berbuat baik.

Tapi, cukup disayangkan, dia hanya dimanfaatkan. Siapa yang tidak marah dengan itu semua?

Hati Arief menjerit. Dia dalam kondisi rapuh. Tak ada pilihan bagi orang seperti dia. Siapa yang mampu mengobatinya?

Ada alasan kenapa dia tidak ingin membunuh Thalib saja kalau dia bisa melakukan semua ini. Sebab, dia tidak ingin lagi melakukan hal ini. Dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri akan membalas Thalib dengan cara yang lebih kejam dari sekedar dibunuh. Empat target ini adalah yang terakhir. Setelah itu dia tak perlu lagi risau.

===X=X===

ABG SANGEAN COLMEK
WINA


Scane berpindah..

Thalib memarkirkan mobilnya di halaman rumah kontrakan. Bukan rumah yang ditinggali Jannah ataupun Leli, melainkan sebuah rumah yang dikontrak oleh Thalib untuk istri simpanannya, namanya Wina. Thalib bergegas untuk masuk ke dalam rumah.

"Assalaamu'alaikum," sapa Thalib.

Thalib agak terkejut ketika di dalam rumah sudah ada seorang perempuan yang sangat cantik, rambutnya tergerai menutupi sepasang payudaranya. Dia adalah Wina, seorang perempuan yang menjadi simpanan Thalib sejak lama.

Thalib tak bisa lepas dari perempuan ini. Bukan dia ingin lari, tetapi memang dia tak bisa lepas dari si acntik ini. Wina memegang penuh kendali atas diri Thalib sampai dia bertekuk lutut kepadanya tanpa bisa Thalib berkutik.

"Dari istri barumu, Mas?" ucap Wina tanpa membalas salam.

"Aduh! kaget!" ucap Thalib, "balas salamnya dong sayang."

"Peduli amat," ujar Wina.

Dia menyilangkan kakinya, sesaat Wina memperlihatkan selakangannya tidak tertutupi sehelai benang pun. Wina memang sedikit gila. Dia sering tidak memakai baju sama sekali di dalam rumah dan sangat jarang juga keluar rumah.

"Kok nggak pakai baju?" tanya Thalib dan seperti terhipnotis ustadz ini langsung menghampiri Wina.

Jari telunjuk Wina menahan bibir Thalib yang hendak menyosor bibirnya.

"Aku tak ingin kamu menyentuhku jika tubuhmu masih ada bau badan wanita lain. Bersihkan itu dan layani aku!"

Seperti dicokok hidungnya, Thalib patuh.

Lelaki ini bergegas ke kamar mandi. Ada perasaan takut untuk melawan Wina, bukan takut tanpa beralasan ataupun diguna-guna. Semua ini berawal dari sebuah perjanjian yang mengikat Thalib dengan Wina. Perjanjian itu pula yang memenjara Thalib hingga saat ini, bahkan dengan perjanjian itu pula dia memiliki segalanya. Sebut saja seperti rumah, harta, uang, koneksi, apapun semuanya karena Wina.

Setelah membersihkan dirinya, Thalib dikejutkan oleh tubuh bugil Wina yang sudah berada di depan pintu kamar mandi. Perempuan berambut panjang ini ternyata memang hendak menyusulnya ke kamar mandi. Wajahnya sangat cantik, tidak ada polesan berlebihan di wajahnya atau terlalu menor. Cantik natural dengan mata lentik yang jarang dimiliki perempuan di masa sekarang.

Ada satu hal yang harus dilakukan Thalib saat Wina dalam kondisi seperti ini, yaitu Wina harus dipuaskan. Perlahan-lahan Wina mendorong tubuh Thalib untuk masuk lagi ke kamar mandi.

"Nah, kalau wangi seperti ini aku jadi terangsang," ucapnya.

Tangan nakal Wina sudah menjamah batang kemaluan sang ustadz yang sudah tercukur tanpa bulu tersebut. Perlahan-lahan dia remas-remas sambil dikocok perlahan. Thalib menelan ludah. Dia hari ini belum bercinta dengan Leli maupun dengan Jannah, jadi masih ada tenaga untuk bisa melayani Wina. Memang tak perlu ditunggu lama agar batang kontolnya itu mengeras dan terbangun. Bibir Wina sudah dilumat oleh Thalib.

Kedua tangan Thalib memegang pergelangan tangan Wina lalu mendorong perempuan ini ke bawah shower. Kembali Shower yang baru saja mati menyala lagi. Kedua tangan Wina diangkat ke atas sehingga ketiak putih mulusnya terlihat.

"Mas ingin diriku?" tanya Wina.

"Iya," jawab Thalib.

"Ingin berzina denganku?"

"Iya," jawab Thalib sekali lagi.

"Berapa kali kamu menzinai si Jannah?"

"Tak terhitung lagi"

Wina terkekeh. "Dasar ustadz cabul, kalau kau tidak memuaskanku sebagaimana kau puaskan perempuan-perempuanmu. Kau tak akan bisa melihat orang-orang yang kau cintai lagi."

Insting persenggamaan adalah jalan yang harus ditempuh oleh Thalib, meskipun dia tidak suka jika dikendalikan. Tapi kontolnya memang berereksi, tapi bukan dari kemauannya, melainkan bahasa tubuh yang terpaksa. Bibir perempuan itu dilumatnya lagi. Lidah mereka saling bertemu dan bertukar air ludah. Kedua tangan Thalib sudah berubah posisi meremas sepasang payudara yang lembut dan kenyal.

Perumpamaan tubuh Wina adalah tubuh seorang model. Langsing, padat dengan body yang aduhai. Tak bisa dibandingkan dengan Jannah dan Leli. Siapapun lelaki di dunia ini pasti ingin sekali menikmati tubuhnya. Thalib sangat beruntung bisa merobek selaput dara perempuan ini. Dan itu juga yang menjadi awal siksaan bagi dirinya.

Tak akan pernah Thalib lupa akan masa tersebut. 

===X FLASHBACK THALIB JEBOL PERAWAN WINA X===

Kala itu Thalib kepergok berada di kamar dalam keadaan telanjang bersama Wina. Nahasnya Thalib tidak tahu siapa keluarga Wina sebenarnya. Perempuan tersebut mabuk kepayang kepada kebaikan dan jurus garangan yang dia berikan nyaris tiap hari, selain juga kepada Jannah. Memang Thalib dan Jannah dekat semenjak mereka kuliah, sayangnya Thalib tiba-tiba menghilang begitu saja dari kehidupan Jannah. Semua tak lain karena dia bermain api.

Masih teringat di dalam ruang-ruang memori otaknya, bagaimana pertama kali peristiwa itu terjadi. Wina yang telah jatuh dalam jebakan rayuan Thalib mengajaknya ke rumah, dengan iming-iming "rumahku sepi".

Thalib yang sudah terbawa suasana, bukan, tapi memang itu yang dia inginkan, memek perempuan!!. Thalib lalu mulai mencumbui Wina, meskipun tahu hal itu terlarang, terlebih dia mahasiswa jurusan fakultas Ushuluhuddin. Dia tahu ini dilarang, tetapi nafsu telah membutakan matanya. Malam itu mereka bercinta untuk pertama kali, menggagahi Wina, merobek selaput daranya, hingga terlelap dalam kenikmatan.

Sayang, pagi belum datang, ayam belum berkokok Thalib dibangunkan oleh bogeman mentah seorang lelaki yang akan menjadi mimpi buruknya. Orang tua Wina bukanlah orang sembarangan. Bambang Husaini, tokoh masyarakat yang dikenal karena kedekatannya dengan para pejabat. Sekaligus juga dikenal sebagai mafia di dalam pemerintahan. Nyaris proyek-proyek besar dia kuasai dan mengeruk uangnya hingga bermilyar-milyar dari sana.

"Papa, jangan begitu! Kenapa papa pukul dia?" bentak Wina.

"Apa yang dilakukan bajingan ini? Kalian ngentot?!" tanya Bambang.

"Tapi kami melakukannya atas dasar suka sama suka papa" bela Wina

Dengan kasar Bambang menjambak rambut Thalib hingga dia pun terseret sampai turun dari ranjang. 

"Aku tidak sudi putriku menikah dengan orang seperti kamu. Biar kuremukkan bijinya!" ucap Bambang.

Nyaris saja rambut Thalib tercabut akibat jambakan itu.

"Papa, hentikan!" sergah Wina. "Kalau papa menyakitinya, maka aku tak segan-segan juga akan menyakiti diriku!" Entah bagaimana perempuan itu sudah membawa pulpen dan nyaris ditusukkan ke lehernya.

"Putriku! Apa yang kau lakukan? Kau mau membela orang ini?" Bambang melepaskan Thalib begitu saja.

"Aku tidak mau mainanku sampai terluka, itu saja. Lagipula, aku hanya butuh seks. Siapa yang bilang aku akan menikah dengannya?"

Bambang menghela napas. Kegilaan putrinya memang sudah di luar nalar. Lelaki paruh baya itu tak bisa menyalahkan Wina, sebab semua juga menurun dari dia. Keegoisan, kebrutalan dan sepak terjang Wina sesungguhnya benar-benar menurun.

Wina turun dari ranjang lalu menghampiri Thalib. Thalib masih bingung dengan apa yang terjadi. Sebagai seorang pemuda yang tidak pernah bertemu dengan keadaan seperti ini, benar-benar jantungnya berdebar setengah mati. Dia benar-benar nyaris mati di tangan lelaki bernama Bambang ini, yang tak lain adalah orang tua Wina.

Hari itulah Thalib baru mengenal siapa Bambang sebenarnya dan kenapa selama ini Wina menyembunyikan tentang orang tuanya, atau berlaku sangat berbeda saat bersama dia di kampus.

Wajah Wina cemberut sambil menduduki selakangan Thalib. Kedua kelamin mereka bersentuhan lagi. Wina menyatukan ujung jemari telunjuknya.

"Perawanku sudah kau ambil, bukankah kata orang ini adalah mahkota utama dari seorang wanita?" tanya Wina.

Thalib menelan ludah. Dia tak mampu berkata apa-apa.

"Papa, dia tak mau bicara," ucap Wina.

BUG!!

Bambang menempeleng kepala Thalib.

Thalib langsung berkata, "I-iya... iya..."

"Jadi kau harus bertanggung jawab. Aku tak mau jadi istrimu, aku hanya ingin kau jadi partner seksku. Kau mau apa bisa aku kasih. Tapi kalau sampai kau tidak bisa memenuhi kebutuhan seksku, kau akan aku berikan ke papa," ucap Wina.

"A-apa maksudmu? Siapa kalian ini?" tanya Thalib.

BAGGG!!

Suara pukulan kembali terdengan, kali ini sepatu Bambang bersarang di kepala Thalib, sehingga pelipisnya berdarah.

Dia bisa mati kalau masih terus berada di tempat ini.

"Kau dengar tidak apa yang dikatakan putriku?" tanya Bambang, "diberikan kepadaku, artinya kau mampus. Kau tinggal pilih, masuk ke tong lalu aku semen dirimu hidup-hidup, lalu aku buang ke tengah laut. Atau aku jadikan kau jadi adonan cor-coran di salah satu mal di kota ini. Kau tinggal pilih. Aku bisa melakukan semua itu."

Thalib menelan ludah. Seumur hidup Thalib tidak pernah setakut itu, bahkan hingga sekarang pun dia tetap takut. Apalagi setelah mendapatkan ancaman seperti itu Thalib dipaksa untuk bercinta dengan Wina dengan ditonton oleh Bambang.

Kalau sampai Thalib tidak ereksi, maka dia akan dipukuli. Tentunya ancaman itu tak bisa dianggap remeh. Orang-orang seperti Bambang adalah orang-orang yang sangat berbahaya.

Mimpi buruk itu benar-benar terus menghantui dia. Meskipun sekarang imbasnya, Thalib mendapatkan banyak hal, banyak koneksi, serta keberhasilan dalam setiap bisnis yang dia kelola. Semua tidak lain karena keluarganya Wina.

Biar pun Wina selalu bercinta dengannya, tetapi sampai sekarang Wina tetap tidak mau diperistri. Alasannya memang sederhana. Dia hanya ingin seks. Menurutnya dengan menjadi istri, hanya akan membuatnya tidak bebas.

===X FLASHBACK THA;IB DAN WINA END X===

kembali ke kamar mandi..

Thalib sekarang sudah menghimpit tubuh Wina ke tembok. Kedua kelamin mereka sudah bergesekan. Suara yang terdengar di kamar mandi pun adalah suara kecipakan alat kelamin.

"Siapa lagi yang kau ajak ngentot?" tanya Thalib.

Wina terkekeh. "Anak... tetangga. M-masih SMA," ujar Wina.

"Dasar, binal! Rasakan nih!" ucap Thalib sambil mempercepat goyangannya.

Mereka tidak pernah marah satu sama lain. Semenjak Wina melindungi Thalib dari kejadian malam itu, secara tidak langsung Thalib sudah masuk ke dalam perangkap harimau. Seumur hidup ia akan melayani nafsu binal Wina dan tentu saja harus mengikuti apa yang diinginkan oleh Bambang.

Dengan berkedok sebagai pemuka agama, Thalib bisa dekat dengan banyak orang, bahkan memperlancar bisnis mafia Bambang. Thalib juga menggunakan acara pengajiannya sebagai kedok untuk pertemuan orang-orang dalam lingkaran bisnis Bambang, yang tentu saja bisnis yang dia jalani bukan bisnis sembarangan.

Thalib melanjutkan persenggamaannya dari kamar mandi ke tempat tidur. Hingga akhirnya keduanya pun terlelap setelah mendapati orgasme secara bersamaan. Wina tidur dalam pelukan Thalib, hingga ponselnya berbunyi. Dengan tangan yang lemah Wina berusaha menggapai ponsel tersebut di nakas.

"Halo?" sapa Wina.

"Ada barang baru," jawab suara itu.

Wina yang tak sempat melihat siapa yang menelponnya menjauhkan teleponnya sejenak. Di layar ponselnya tampak ada sebuah nama "KECOAK". Tampak di layar ponsel jam menunjukkan 01.00 WIB. Dengan kesal Wina berkata,

"Hei, Coro! Ganggu orang saja. Jam berapa ini?"

"Maaf, Nyai! Tapi ini barang baru, bagus banget!" ujar Kecoak.

"Memangnya nggak bisa nunggu besok?"

"Tapi ini sudah besok."

"Lihat jam berapa ini! Masih malem. Demit juga masih keluar, bego banget, sih?"

"Tapi kali ini dapet yang cadaran. Mulus, masih perawan!"

Wina mengernyit. "Perawan?"

"Iya, lagi butuh duit dia," jawab Kecoak.

"Yowis. Nanti, ketemuan pas pengajian," jawab Wina, "awas kalau sampai dia kamu sentuh, tak sunat dobel manukmu!"

"Injih Nyai. Tenang. Dijamin masih mulus, hehehe."

"Siapa namanya?"

"Siti Qomariyah."

"Ok.." kata Wina dan lansung menutup teleponnya.

Kembali dia masuk ke dalam pelukan Thalib. Tangan kanannya menggenggam batang Thalib yang masih tertidur, setelah itu dia lanjutkan tidurnya. Thalib pun memeluknya lagi dengan erat.

Bisnis yang sedang dilakukan oleh Wina bukanlah bisnis menjual perempuan, tapi jualan memek Ahwat. Dan orang yang menjadi targetnya adalah mereka yang memiliki fantasi perempuan-perempuan berhijab. Dan tentu saja untuk mentupi kedok transaksinya, dia memanfaatkan pengajian yang dilakukan oleh Thalib.

Perempuan-perempuan yang menjadi korban biasanya diajak berbicara dan berkenalan di pengajian. Setelah itu Wina mengajaknya dan mengantarkannya ke klien-klien yang ingin memakainya. Tentunya dengan bayaran yang sudah diberikan.

Profesi sebagai germo atau mucikari kelas kakap ini sudah dijalani oleh Wina sejak lama. Bisnis inilah yang membuat dia dan Thalib punya koneksi ke pejabat-pejabat tinggi. Sebab, para pejabat hidung belang itu juga ingin mencicipi citarasa memek dan service dari para wanita yang tertutupi baju syar'i tersebut cukup banyak.

=== skip ===

Scane berpindah kepada Arief yang sudah pulang setelah menghabisi salah satu dari 4 target ats tugas Ayahnya..

Di rumah.. Terlihat Arief sedang melamun memikirkan masalalunya..

"Hei, kenapa diam saja?" panggil Suroso.

Arief terpaku melihat bapaknya yang baru saja menghabisi nyawa seseorang. Usianya baru 13 tahun saat itu. Ini hari pertamanya melihat adegan pembunuhan. Satu keluarga dihabisi oleh Suroso seorang diri tanpa ampun. Di tangan Arief ada sebilah kapak yang digenggamnya. Kedua tangannya gemetar melihat bagaimana Suroso dengan mudahnya menghabisi orang-orang itu.

"Bapakmu melakukan ini untuk hidup. Ini sudah jadi pekerjaan dan bapak tahu kamu juga merasakannya bukan?" tanya Suroso.

Bocah tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Tatapan Suroso kepadanya adalah tatapan tenang, tetapi mengerikan. Seperti ditarik oleh sesuatu yang kuat, Arief seperti kehilangan napas. Dia terbangun dari mimpi buruknya.

Di dalam kegelapan malam, bapak satu anak ini menyalakan lampu kamar yang ada di nakas. Perlahan-lahan dia beranjak dari tempat tidurnya menuju dapur. Di dapur dia membuka kulkas untuk meneguk air yang ada di dalam sebuah botol.

Arief kemudian duduk di kursi yang ada di dapur. Pandangannya menerawang lagi. Dia tak pernah menyangka saja semua akan berakhir seperti ini. Ada satu hal yang membuatnya sangat percaya kepada Jannah dan ingin berubah. Yaitu, ketika dia melihat ketulusan di mata perempuan itu.

Itulah sebabnya dulu dia berani menyatakan cinta dan melamarnya. Jannah yang membuatnya berani berubah, berani melawan orang tuanya sendiri untuk menyudahi perannya sebagai seorang pembantu pembunuh bayaran.

Boleh dibilang Arief sudah cukup sukses dengan hidup bersama Jannah. Membangun usahanya dari nol, bekerja keras, tetapi apa yang terjadi setelah itu di luar dugaan. Selama ini Jannah masih menyimpan perasaan kepada Thalib. Semua yang ada di bayangan Arief tentang Jannah telah musnah. Sampai sekarang Arief tidak pernah mengerti kenapa perempuan ini lebih memilih untuk mengakhiri rumah tangganya. Kenapa?

"Akhi, sudah salat?" tanya Jannah waktu itu. Mereka masih menjadi teman sekampus, dimana setiap kegiatan keagamaan Arief berusaha untuk bisa ikut.

"S-sudah," jawab Arief.

"Ada kuliah apa hari ini?" tanya Jannah.

"Tidak ada," jawab Arief.

"Oh, berarti ada ekstra?"

"Tidak juga?"

"Trus?"

"C-cuma main saja," jawab Arief sambil nyengir.

"Aneh. Kalau tak ada apa-apa kenapa ke kampus?" tanya Jannah sambil tersenyum.

Arief menepuk-nepuk kepalanya lagi. Berusaha menghilangkan bayangan tentang Jannah. Bisa dimengerti kenapa dia tak bisa melupakan Jannah. Perempuan itulah yang mengajarkannya pertama kali tentang agama. Dia juga yang memberikannya anak.

Memorinya pun kembali flashback saat malam pertamanya dengan Jannah. Betapa Arief sangat bahagia kala itu. Untuk pertama kalinya dia bisa memiliki orang yang dia cintai. Ciuman pertamanya dan juga bagaimana dia kehilangan perjakanya kala itu. Jannah bahagia menghabiskan malam-malam indah bersamanya. Berlanjut ke dalam cumbuan-cumbuan birahi, ledakan-ledakan nafsu, hingga akhirnya berbagai macam gaya dan cara demi kepuasan berdua.

"Pak Arief?" panggil sebuah suara.

Arief terkejut hingga dia harus beranjak dari tempat duduknya. Di hadapannya ternyata ada Azizah. Dia lupa kalau Azizah ikut bersamanya hari ini dan menginap sementara di rumahnya. Untungnya tidak ada orang yang curiga dengan kehadiran Azizah, terlebih Arief memang terkenal orang yang baik di kampung ini.

"Ah, kau ternyata. Kukira siapa. Maaf, aku tebiasa sendiri, jadi..."

"Bapak kenapa? Mikirin apa?" tanya Azizah sambil mendekat, "katakan ada apa. Aku akan jadi pendengar yang baik."

Sibuk memikirkan masa lalunya bersama Jannah, membuat Arief ereksi. Ditambah lagi perempuan yang ada di hadapannya sekarang hanya mengenakan kaos oblong kedodoran dengan celana pendek. Dari pundak yang terlihat mulus, sudah barang tentu Azizah tidak memakai BH.

Arief langsung menarik leher perempuan itu lalu menciumnya. Azizah gelagapan mendapatkan serangan tiba-tiba itu, apalagi dari orang yang dia kagumi dan dia cintai. Ya, cintanya sekarang telah beralih ke Arief semenjak kepergian suaminya. Lelaki inilah yang menolongnya, kalau memang Arief menginginkannya malam ini, dia akan berikan.

"Ohh... Paak...." desah Azizah ketika bibir kasar lelaki itu mengecup leher dan telinganya.

Azizah didorong hingga menempelkan tubuhnya ke tembok. Arief meremas-remas kedua bongkah payudara yang masih tertutup kaos. Dan cukup mudah sekali bagi Arief untuk menelanjanginya. Dalam satu tarikan ke atas, payudara indah itu sudah terpampang lagi. Dengan gemas kedua tangan Arief telah mengetahui tugasnya untuk meremas dan memilin-milin puting susu Azizah.

"Paaakk.... Ouuhh.... hhmhhh...."

Keduanya berciuman lagi. Dan Azizah tahu apa yang menjadi tugasnya, menidurkan si junior yang sekarang sedang tegang di bawah sana. Tangannya sudah meloloskan boxer yang dipakai Arief, hingga batang keras itu mencuat mengacung ke arahnya.

"Bapak mau pake kondom?" tanya Azizah, "atau cukup Azizah sepong?"

Arief menjawab, "apapun asalkan bisa menidurkanku."

Azizah menarik tangan Arief untuk menuju ke kamarnya. Dengan satu hentakan dia mendorong Arief hingga terlentang di atas kasur. Perempuan itu melepaskan satu-satunya pakaian yang menutupinya, hingga kini kedua insan lain jenis ini sudah sama-sama telanjang.

Azizah sangat pengertian akan keadaan dirinya sebagai ODHA, dia mengambil sebungkus kondom yang ada di dalam tasnya, yang memang sudah dia siapkan untuk momen ini, setelah itu dia pasang kan ke batang perkasa Arief.

Bibir Azizah kini beraksi, mengecupi setiap jengkal selakangan Arief. Kedua biji pelernya juga tak dia lewatkan, lidahnya bergoyang seperti ular, menggelitik setiap mili titik-titik sensitif. Arief menggelinjang dan melenguh. Bibir Azizah kembali bergerak ke atas, ke dada bidang Arief, lalu lanjut ke bibir. Arief lalu menggulingkan tubuh Azizah ke bawah sehingga ditindihnya.

"Entotin saya, Pak!" pinta Azizah, "bapak ingin gaya apapun akan Azizah kabulkan."

Arief seperti sudah tak ingat apa-apa lagi. Dia benar-benar mabuk kepayang dengan servis yang diberikan Azizah. Seandainya Azizah tak tanggap, tentu tanpa mengenakan kondom pun Arief sudah menusukkan ujung kontolnya ke dalam memek Azizah.

Keduanya telah bersatu. Azizah bahagia sekali, sampai-sampai kedua tangannya melingkar ke leher Arief. Hentakan demi hentakan yang dilakukan Arief sangat bertenaga, hingga mulut rahimnya bisa tersentuh. Ini luar biasa, baru kali ini dia merasakan hentakan sekuat ini. Bukan suaminya, bukan juga si pemerkosa itu.

"Jannah! Jannah!" kata Arief mengigau.

Telinga Azizah tidaklah salah dengar. Apa yang keluar dari mulut Arief adalah mantan istrinya. Tak apa-apa, pikir Azizah. Biarkan Arief berimajinasi, biarkan dia menggunakan tubuhnya. Tak apa-apa.

Mereka berguling-guling lagi kini Azizah berada di atas. Dia membiarkan kedua tangan Arief meremas-remas teteknya yang indah, sambil pinggulnya melakukan gaya memutar. Azizah sudah nyaris sampai puncak, terlebih akibat remasan-remasan yang dilakukan kedua tangan Arief di payudaranya.

"Paaak, aku nggak kuat lagi, aku keluar!" ucap Azizah,

Tubuh Azizah pun mengejang sambil kepalanya mendongak ke atas. Setelah itu, perempuan itu ambruk sambil menciumi Arief.

Gerakan selanjutnya, Arief membuat Azizah telungkup, kemudian dia tarik sedikit pinggul perempuan itu, lalu dia memposisikan batangnya masuk ke dalam memek Azizah. Mereka menjerit bersamaan. Sejurus kemudian Arief sudah menindih Azizah sambil menciumi punggungnya.

"Aaahhhkk... Aku sampaiii!!!" pekik Arief.

Crooott!! Croott!! Crott!!

Dia mengejang beberapa kali, diikuti dengan semburan sperma yang tertahan di dalam kondom. Meskipun begitu Azizah bisa merasakan bagaimana kedutan-kedutan dari batang perkasa tersebut. Dia juga orgasme lagi.

Arief pun ambruk ke samping Azizah. Keduanya kemudian terlelap hingga pagi. Azizah bahagia, seutas senyuman tersungging di bibirnya yang manis. Dia pun berdoa semoga dia bisa memiliki Arief seutuhnya.

===X=X===

Pagi sudah datang dan Arief terkejut karena dia tidur telanjang. Dia pun mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Tampak batang penisnya loyo dengan bercak putih. Dia bercinta dengan Azizah, tetapi pakai pengaman. Dia sedikit lega mengingat hal tersebut. Tetapi mana kondomnya? Apakah Azizah yang mencopotnya?

Arief buru-buru bangkit mengambil pakaiannya lalu segera pergi ke kamarnya. Ternyata Azizah sudah ada di dapur mempersiapkan sarapan telor ceplok.

"Sudah bangun, Pak?" sapa Azizah.

"Eh, iya," jawab Arief.

"Makasih, pak."

"Makasih buat?"

"Tadi malam."

"Oh, itu... yaahh... sama-sama," ucap Arief.

Dia buru-buru pergi ke kamarnya lalu menutup pintu.

Azizah tersenyum. Kalau dia teringat apa yang terjadi tadi malam membuatnya bergairah. Arief bukan pria biasa. Dia hebat di ranjang dan batangnya keras sampai mentok di rahim. Sekali lagi Azizah bertanya, apakah dia bisa memiliki Arief? Hanya waktu yang akan menjawab.

Hari itu mereka ada acara untuk bisa pergi ke pengajian yang dipimpin oleh Thalib. Tujuan dari Azizah sangat sederhana, agar bisa berkenalan dengan Thalib baik secara langsung atau dengan perantara.

Azizah sudah berdandan dengan baju syar'i dan lebar, sedangkan Arief telah mandi dan memakai kemeja abu-abu dengan celana hitam. Dia akan melepaskan Azizah hari ini agar bisa bertemu dengan si BANGSAT gadungan Thalib.

Sebelumnya dia sudah memberitahu siapa orang yang harus didekati, yaitu Wina dan Leli. Jannah tidak mungkin ikut kajiannya, sebab sudah pasti ada Leli di tempat itu. Tentunya mereka tidak ingin ada perang besar.

Pengajian rutin itu diselenggarakan hari minggu di sebuah masjid. Jama'ahnya cukup banyak, bahkan di antara mereka ada perempuan-perempuan bercadar. Arief sengaja menurunkan Azizah sedikit lebih jauh dari tempat pengajian.

"Kamu bisa?" tanya Arief.

"Bapak tak perlu khawatir. Aku tinggal dekat dengan dua orang ini saja kan?" tanya Azizah.

"Iya, Leli sudah bersedia bekerja sama denganku. Dia pasti akan mengerti jika kamu menyebut namaku," jawab Arief.

Azizah mengangguk.

Setelah itu Arief pergi dengan mobilnya, lalu Azizah pergi sendirian ke pengajian. Tidak susah untuk menemukan orang yang bernama Wina, juga Leli. Mereka ternyata duduk cukup jauh. Dan sebenarnya Leli baru mengerti tentang Wina setelah diberitahu Arief, kini dia pun mengerti siapa Wina.

Mereka mengikuti pengajian dengan khidmat. Tidak ada hal-hal yang berarti, tetapi sedari tadi Wina ngobrol dekat dengan seorang perempuan bercadar. Entah apa yang mereka bicarakan. Azizah awalnya bingung harus mendekat ke siapa, akhirnya dia mendekati Leli.

"Assalaamu'alaikum, Mbak?" sapa Azizah.

"Wa'alaikum salam. Ya, ada apa mbak?" sapa Leli balik.

"Saya temannya Arief," ucap Azizah.

Leli yang menyadari langsung mengernyit. Dia tentu saja takjub dengan kecantikan yang dimiliki oleh Azizah. Parasnya cantik, kulitnya juga cerah. Seperti yang dikatakan oleh Arief kalau Azizah adalah ODHA, Leli pun turut bersimpati.

"Mbak yakin dengan hal ini?" tanya Leli.

"Saya berhutang banyak kepada Pak Arief. Jadi ini untuk membalas kebaikan beliau," jawab Azizah.

Leli menghela nafas. Atara kasihan, tetapi juga ada rencana yang harus dia kerjakan.

"Arief cerita banyak kepadaku tentang dirimu. Aku tak mengira kamu cantik sekali." puji Leli

"Mbak terlalu memuji. Masih lebih cantik mbak," kata Azizah.

"Kamu lihat dia, Zah? Aku panggil kamu Azizah gak papa kan?" Leli mengalihkan topik

Azizah mengangguk.

"Lihatlah dia. Di rumah dia seperti seorang suami dan bapak yang baik, tetapi ketika di luar sudah berapa wanita dia tiduri. Aku tak habis pikir dia menghianatiku. Kalau saja dia berkata jujur dan memperlakukanku dengan baik, tentu keadaannya tidak seperti ini," ujar Leli.

"Bagaimana pun juga, manusia tempatnya salah. Apa mbak tak rela aku melakukan ini ke suami mbak?" tanya Azizah, "kalau mbak nggak rela, aku akan pergi dan bilang ke Pak Arief."

Leli menahan lengan Azizah. "Jangan. Aku ingin kau memberinya pelajaran. Aku yang menginginkan semua ini."

Satu jam kemudian pengajian berakhir dan ustadz gadungan Thalib itu beres-beres mejanya. Setelah jama'ah bubar, dia menghampiri tempat jama'ah wanita dan memanggil Leli.

Terlihat Azizah memperhatikan Wina. Perempuan simpanan Thalib itu keluar bersama seorang perempuan yang sedari tadi diajaknya bicara. Menurutnya itu sangat aneh.

"Ayo, kita pulang!" ucap Thalib.

"Oh, iya Bi. Kenalin ini temanku, namanya Azizah," ucap Leli sambil memperkenalkan Azizah.

Azizah tampak menunduk. Thalib memperhatikan dengan seksama wajah Azizah, setelah itu tatapan matanya turun ke payudara Azizah yang terlihat besar. Dia menelan ludah. 

"Kenapa bisa ada perempuan secantik ini?" batin Thalib, otak mesumnya bekerja keras

"Kalau boleh, dia ingin main ke rumah kita, Bi," kata Leli.

"Oh, b-boleh, boleh saja," kata Thalib, "ayuk!"

"Azizah, ayuk!" ajak Leli.

Mereka kemudian berjalan menuju ke tempat parkir. Beberapa kali Thalib mencuri-curi pandang ke Azizah. Azizah juga beberapa kali mencuri-curi pandang ke Thalib. Setelah itu mereka masuk ke mobil. Leli duduk di depan, sedangkan Azizah duduk di belakang.

"Mbak Azizah ini sudah punya suami?" tanya Thalib.

"Suami saya meninggal, ustadz," jawab Azizah.

"Oh, Innalillahi wa innailaihi roji'un. Turut berbela sungkawa, trus sekarang sendirian? Ada anak?" tanya Thalib cari celah.

"Nggak ada, ustadz."

"Azizah ini, aku yang ajak ke pengajian Abi. Siapa tahu bisa dapat jodoh dari ikut pengajian," ucap Leli.

"Hmm, begitu."

"Kenapa? Abi demen?" pancing Leli.

Ustadz Thalib tertawa. "Janganlah, nggak enak sama Mbak Azizah."

"Saya kalau dapat seperti ustadz juga nggak keberatan kok," celetuk Azizah.

Mata Thalib mencuri-curi pandanga ke Azizah lewat spion. Dia tahu di sebelahnya ada istrinya jadi harus jaim. Azizah pun menatap spion, hingga kedua mata mereka bertemu. Azizah sekali lagi pura-pura jual mahal. Azizah menggigit bibir bawahnya, sambil melempar pandangan ke jalan.

Pose menggigit bibir ini membuat pkiran Thalib traveling kemana-mana.

"Bi, awas! Lampu merah!" seru Leli.

Buru-buru Thalib menekan pedal rem. Nyaris saja.

"Abi bengong ya? Bahaya lho!" gerutu Leli.

Azizah sedikit tersenyum melihat Thalib sampai terbengong-bengong melihatnya. Artinya rencana mereka berhasil untuk bisa menggoda ustadz gadungan ini.

===X=X===


Dada Leli bergemuruh malam itu. Bagaimana tidak? Dia ada di kamarnya, sedangkan suaminya sedang satu kamar dengan Azizah. Tak harus dia melihatnya secara langsung untuk tahu apa yang sedang dilakukan oleh kedua orang itu di dalam kamar.

Malam itu Leli pura-pura tidur, tetapi dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Thalib diam-diam masuk ke kamar Azizah. Setelah itu mencoba untuk merayu Azizah hingga kemudian kedua insan lawan jenis ini terlibat persetubuhan. Jebakan yang direncanakan oleh Arief berhasil dilaksanakan.

“Sudah dilaksanakan” tulis Leli di pesan singkat ke Arief.

Tak ada respond dari Arief, tapi ada pemberitahuan kalau Arief sudah membacanya. Leli sebenarnya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Namun, setelah semua bukti yang dia lihat, akhirnya mau tak mau ia harus mengakui kalau suaminya benar-benar bajingan ASU TENAN COK.

Haruskah dia ikut andil dalam rencana balas dendam ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terlintas di benaknya. Setiap yang namanya balas dendam pasti salah. Lalu, apa alasannya sampai ia harus melakukan ini? Sakit hati? Jelas.

Tetapi, ada alasan yang lebih tinggi dari sekedar sakit hati. Dia adalah seorang petarung dan ingin membuktikan kepada suaminya dia bisa hidup tanpa suaminya. Dia ingin agar Thalib mendapatkan rasa sakit yang telah dia rasakan selama ini.

Di kamarnya, Azizah memejamkan mata mendapatkan genjotan bertubi-tubi dari Thalib. Apakah dia merasa jijik kepada Thalib? Jawabnya tidak. Dia justru melakukannya dengan pasrah, sukarela, semua hanya untuk Arief. Orang yang dia sukai, orang yang dia cintai.

Wanita makhluk yang sangat unik. Mampu menyembunyikan perasaannya, bahkan berpura-pura merasa nikmat saat bercinta, padahal sebenarnya tidak. Azizah menahan diri, bahkan di saat matanya terpejam, yang dia bayangkan adalah Arief. Persetubuhan terakhir mereka yang panas. Dia rindu batangnya Arief, ingin sekali lagi batang keras itu menusuknya tanpa henti sampai ia terkapar.

Tak terasa kuku-kuku Azizah mencengkeram punggung Thalib. Sang ustadz pun merasa tersanjung saat melihat mata Azizah terpejam, bibir bawahnya digigit dan jemarinya mencengkeram punggungnya. Artinya Azizah seolah-olah menikmati persetubuhan ini, meskipun tanpa suara berisik.

Kedutan demi kedutan dirasakan oleh Thalib, terlebih Azizah menggerakkan otot-otot vaginanya untuk mencengkeram batang kejantanan ustadz gadungan tersebut. Alhasil Thalib makin kelimpungan. Dia keenakan mendapatkan perilaku itu. Gerakannya makin tak beraturan, kecepatannya makin tinggi, hingga akhirnya dia mengerang disusul dengan Azizah dengan mulut menganga.

Persetubuhan itu diakhiri dengan Thalib menindih tubuh Azizah. Perlahan-lahan penisnya mengkerut lalu keluar begitu saja meninggalkan bekas cairan putih kental meluber dari kemaluan Azizah. Napas kedua insan ini saling memburu. Peluh mereka bercucuran.

Thalib cukup tahu diri. Dia tidak mungkin terus-terusan menindih Azizah. Segera ia merayap lalu berbaring di samping Azizah.

“Mas, jangan tinggalin aku ya?” ucap Azizah.

“Tentu saja sayang, tidak akan,” jawab Thalib.

Dia merangkul Azizah sambil mencium kening perempuan itu. Thalib pun tertidur di kamar itu sambil memeluk Azizah.

Janda kembang itu pun menghela nafas.

Dia bernapas lega, rencananya berhasil. Dia bercinta tanpa kondom dengan Thalib. Tapi ini baru sekali. Dia belum yakin juga virus yang dia bawa ini sudah tertular kepada Thalib begitu saja. Dia ingin bercinta lagi dengan lelaki ini nanti. Kalau bisa setiap hari agar dia benar-benar yakin.


===X=X===

Paginya di rumah Thalib, tampak Leli sedang mengepak barang-barangnya, yang berisi pakaian. Subuh itu dia tidak melihat suaminya di sebelahnya. Tak perlu ditanya lagi dimana suaminya, pasti ada di kamar sebelah. Ini lah yang akan Leli jadikan alasan untuk bisa keluar dari rumah ini. Dia sudah merencanakan untuk pergi ke mana dan dengan alasan apa.

Saat Thalib keluar dari kamar Azizah, dia dikejutkan oleh Leli yang sedang menyeret koper yang berisi baju.

“Umi? Umi mau kemana?”

“Abi lupa ya?” tanya Leli.

Thalib menunduk.

“Kalau memang Abi ingin menikah lagi, maka Umi tidak ingin tinggal satu atap dengan perempuan itu. Memang Umi setuju kalau Abi poligami, tapi bukan berarti Abi mendahului. Memangnya Umi nggak tahu apa yang abi lakukan tadi malam di kamar Azizah?”

“Maafkan, Abi. Tapi Abi akan bertanggung jawab.”

“Bagaimana dengan Jannah?”

“Iya, dia juga akan menjadi tanggung jawab Abi.”

Leli menggeleng-gelengkan kepala. “Umi akan pergi ke rumah orang tua. Mengajak anak-anak. Abi berkunjung saja kalau ingin.”

“Serius. Biar Abi antarkan,” ucap Thalib.

“Nggak usah. Urus saja Azizah, urus juga Jannah,” kata Leli.

“Anak-anak dimana?”

“Sudah di mobil. Umi nggak ingin ditemui untuk beberapa waktu. Jadi, jangan pernah berkunjung ke rumah. Umi nggak mau nanti Abi cekcok ama keluarga Umi.”

Thalib mengangguk. Dia paham apa yang ada di kepala istrinya. Dia memang bodoh, tak kuasa melihat godaan kemolekan tubuh Azizah. Dia hanya bisa melepas pergi istri dan anaknya pagi itu. Untuk sementara waktu dia mengizinkan istrinya untuk menenangkan diri. Sebab, dia tahu tidak mudah seorang istri untuk berpoligami.

Azizah mengintip dari balik pintu. Hari ini dia menyaksikan awal kehancuran bagi seorang Thalib.


===X=X===

Sementara di tempat lain...

Terdengar suara seorang perempuan sedang bernyanyi. Dia adalah Jannah, seorang perempuan yang sudah melewati masa iddah setelah bercerai dengan suaminya. Sambil menyapu rumah, dia bersenandung. Hari-harinya adalah hari-hari bahagia, meskipun dalam dirinya dia merindukan Khalil, tetapi tidak serindu itu.

Setelah ruangan demi ruangan rumah bersih. Dia pun duduk di sofa menonton tv. Mengganti-ganti channel TV, hingga dia menghentikan pencetan remote saat ada berita yang muncul di televisi.

“Pemirsa, pembunuhan misterius terjadi di sebuah perumahan elit. Seluruh anggota keluarga dibantai secara sadis oleh seorang misterius. Sampai sekarang pihak yang berwenang masih menyelidiki kasus ini,” kata pewarta berita.

Lalu tampillah seorang dari pihak kepolisian memberikan komentarnya, “Kami masih menyelidiki apakah ini pembunuhan dari orang yang punya dendam atau ini pembunuhan yang berkaitan dengan kasus yang lain.”

“Menurut bapak apakah si pelaku kenal dengan korban?” tanya reporter.

“Kalau dari pintu yang tidak didobrak, tidak ada paksaan bahkan salah satu korban terbunuh saat menonton televisi, sepertinya korban kenal dengan pelaku,” ucap polisi tersebut.

Tangan Jannah gemetar. Dia menjatuhkan remote tv. Dia pun memeluk tubuhnya sendiri. Bulu kuduknya meremang.

“Tidak mungkin, kenapa? Kenapa dia melakukannya lagi?” gumam Jannah, “kenapa? Kenapa? Apakah karena aku? Tidak. Bukan. Yang aku lakukan sudah benar. Aku sudah melakukan hal yang benar dan yang terbaik...”

Mata Jannah berkaca-kaca hingga air matanya keluar. Tidak lama kemudian, dia mengambil ponselnya lalu menelpon Thalib.

Thalib langsung mengangkatnya, “Iya, ada apa, sayang?”

“Bisa nggak temanin aku sekarang?” tanya Jannah.

“Nggak bisa sayang, hari ini aku harus ngisi di beberapa tempat,” jawab Thalib, “lagipula aku sedang mengurus surat-surat untuk kita agar segera menikah.”

Jannah menghela napas. "Jadi, hari ini aku sendiri?" Pikirnya.

“Tenang, besok aku akan seharian di sana. Istriku sudah memberikan lampu hijau,” ucap Thalib.

“Serius?” tanya Jannah dengan mata melotot.

“Iya.”

“Alhamdulillah….”

“Seneng ya?”

“Iyalah.”

“Aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu, tapi besok aja ya.”

“Duh... Ayang.. kangen..,” ucap Jannah manja.

“Sabar. Besok ya?”

“Pengen disodok...”

“Aku juga pengen nyodok...” balas Thalib

Jannah iseng mengambil gambar payudaranya. Dia berfoto seksi dengan memakai kerudung, tetapi payudaranya terekspos. Tak lupa ia julurkan lidahnya. Thalib yang menerima foto itu jadi adem panas.

“Duh, jadi nggak sabar kepingin kesana.”

“Ya ke sini dong.”

“Sayang, nggak bisa hari ini. Sabar ya?”

“Iya deh,” ucap Jannah sambil menggerutu.

“Ya udah, sampai besok cayangku.”

“Iya.”

Jannah menutup teleponnya. Dia melihat seekor burung hinggap di tiang jemuran yang terlihat dari jendela. Melihat burung kecil yang sedang bertengger itu Jannah teringat tentang sesuatu. Setelah dia pergi meninggalkan Arief lalu membawa Khalil, sebenarnya dia ingin melakukan satu hal. Yaitu, menjauhkan Khalil dari bapaknya.

Naluri keibuannya benar-benar tergerak bukan hanya, karena dia merasa salah mencintai seseorang, tetapi dia juga takut. Ketakutan itu begitu nyata ketika dia menyadari satu hal, apa yang sebenarnya terjadi kepada Arief. Bayangannya melesat ke tahun-tahun pertama dia mengenal Arief.

Arief yang baik. Arief yang penyayang. Sangat perhatian, sangat murah senyum. Namun, di satu pihak dia mendapati mayat-mayat burung-burung kecil berserakan di halaman rumahnya. Kepala makhluk malang itu semuanya diputar sampai lepas.

Dia masih ingat bagaimana Arief mengajarkan kepada Khalil bagaimana burung-burung itu mati dengan cara kepalanya diputar hingga terlepas. Khalil pun menirunya, keduanya tertawa seakan-akan hal itu adalah hal yang lucu. Rasanya terlambat untuk bisa menyelamatkan Khalil dari Arief. Hingga kemudian Jannah menyerah dan melepaskan Khalil. Bukan karena dia ibu yang jahat, tetapi dia takut. Khalil tertular gen psikopat dari ayahnya.


===X FLASHBACK MEMORI JANNAH X===

Beberapa tahun yang lalu….

Kuliah. Inikah yang diinginkan oleh Arief? Semenjak kematian ibunya, dia sudah tidak punya lagi tujuan selain mengikuti kata bapaknya. Di dalam dirinya ada rasa ingin memberontak. Ingin hidup bebas, tetapi tetap saja perasaan itu tertahan oleh keinginan Suroso.

“Apa kau yakin ingin hidup bebas? Apa arti kehidupan sebenarnya bagimu? Orang seperti dirimu tahu apa itu arti kehidupan?” pertanyaan bapaknya benar-benar membuatnya berpikir.

Dia yang selama ini mudah sekali mencabut nyawa orang lain pun mulai berpikir tentang kehidupan. Kuliah adalah salah satu jalannya. Sayangnya di perkuliahan pun dia bingung.

Bagaimana caranya untuk bisa belajar tentang kehidupan? Materi kuliah yang diajarkan pun tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya selama ini. Teman? Arief tidak punya teman, setidaknya untuk saat ini.

Terkadang teman-temannya mengajaknya untuk bisa nongkrong. Namun, Arief tidak suka. Bukan berarti dia tidak suka diajak nongkrong, tetapi pembicaraan yang ada di tongkrongan itu dia tidak suka. Tongkrongan cowok apa yang paling banyak dibicarakan kalau bukan soal cewek, bola dan hobi.

Seperti sekarang ini. Teman-temannya mengajaknya untuk nongkrong di salah satu tempat yang biasa anak-anak mahasiswa nongkrong di tempat itu sambil cuci mata. Dan seperti biasa Arief hanya tersenyum, tertawa, dan menanggapi tanpa ada perasaan sama sekali. Dia mampu melakukan itu, membiaskan pancaran wajah kebahagiaan, padahal di dalam dirinya dia ingin sekali mengalirkan darah teman-temannya ini.

Di meja ada banyak perlatan yang bisa digunakan. Seperti asbak, gelas, meja, kursi dan botol air mineral. Arief bisa memikirkan puluhan cara untuk menghabisi orang-orang yang cukup menyebalkan baginya ini. Namun, dia tak melakukannya. Memikirkannya saja sudah jadi fantasi dia setiap saat, hal itu cukup menghibur.

"Eh, menurut kalian arti kehidupan itu apa?" celetuk Arief tiba-tiba.

Semua teman-temannya terdiam. Ini pertanyaan serius atau cuma bercanda?

"Tiba-tiba banget tanya gituan," jawab salah satu temannya.

Arief tersenyum saja mendengar reaksi mereka.

"Yang jelas, pertanyaan itu nggak bisa aku jawab. Tapi kalau ingin pertanyaan itu terjawab, kenapa tidak kau tanya saja kepada ustadz-ustadz di luar sana? Aku yakin mereka akan dapatkan jawaban yang tepat," kata temannya Arief yang lain.

Arief berpikir sejenak. Masuk akal apa yang mereka katakan. Barangkali dengan mendekatkan diri kepada tuhan dia akan mendapatkan jawabannya. Tidak butuh waktu lama, yang dilakukan Arief saat itu adalah pergi masjid di kampusnya sambil menunggu waktu untuk salat.

Pemuda itu duduk saja di teras masjid. Tidak banyak yang dia lakukan selain mengamati orang yang sedang lalu lalang. Beberapa anak ekstra kerohanian sedang melakukan rapat. Dari bilik wanita juga tampak sedang melakukan rapat. Apakah akan ada kegiatan? Arief tidak tahu.

Adzan berkumandang. Saat itu waktu ashar. Arief mengikuti cara orang-orang beribadah. Dia sudah lupa caranya, sehingga perlu melihat lagi untuk tahu apa yang dia kerjakan. Saat salat pun dia mengikuti orang-orang.

Hingga akhirnya ingatannya pun kembali. Dia tahu caranya beribadah. Ah, ibadahnya mudah. Apa yang membuat orang-orang tidak mau melakukannya? Tidak sampai sepuluh menit, gerakannya pun bisa dilakukan oleh orang sehat ataupun orang sakit. Di dalam benaknya, Arief mengatakan ibadah salat ini tidak berat.

Dan kebetulan, setelah salat. Ternyata ada pengajian saat itu. Ada seorang ustadz yang terlihat sudah paruh baya berjenggot lebat sedang duduk bersila. Tidak di mimbar? Gumam Arief dengan pikirannya.

Pakaian ustadz tersebut sederhana. Baju koko warna hijau muda dengan celana kain. Dia tampak sibuk melihat buku dan catatan yang dibawanya. Arief yang masih duduk di masjid mencoba untuk mengikuti pengajian tersebut.

Ternyata itu adalah pengajian rutin yang sering diadakan di kampus. Sang ustadz memulai pengajian tersebut, dengan ucapan salam, kemudian dilanjut dengan memuji tuhan, bersyukur serta membawakan satu dua ayat, lalu hadist.

Setelah itu baru masuk ke materi-materi. Unik. Tidak banyak ustadz seperti ini yang langsung berbicara dengan dalil. Ustadz ini tidak pernah mengajak jama’ah untuk bercanda, juga tidak pernah mengatakan menurut pikirannya sendiri. Namun, bukan itu yang dicari Arief. Dia ingin pertanyaan-pertanyaannya dijawab, maka masuklah ke dalam sesi tanya jawab.

"Baiklah, kita masuk ke sesi tanya jawab. Ada yang ingin bertanya?" tanya ustadz tersebut.

Arief mengangkat tangannya.

"Yak, silakan!" kata ustadz.

"Mohon maaf sebelumnya, ustadz. Saya ingin bertanya hal yang mungkin jauh dari apa yang ustadz jelaskan tadi," kata Arief.

"Iya, tidak apa-apa. Silakan!" ujar ustadz.

"Apa sebenarnya makna kehidupan itu?"

Ustadz terdiam. Seluruh jama’ah juga terdiam. Beberapa jama’ah perempuan yang ada di bilik khusus perempuan penasaran dengan orang yang bertanya. Saat itulah Jannah mengintip. Dia untuk pertama kalinya melihat Arief saat itu.

"Pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Tetapi, kalau misalnya jawaban saya salah, maka itu semua karena kebodohan saya sendiri. Saya yakin anak muda ini sedang dalam pencarian jati dirinya. Betul?" tanya ustadz.

Arief mengangguk. "Iya, ustadz."

"Disebutkan di dalam Al Quran yang artinya Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku. Di dalam kehidupan ini hanya ada dua macam entitas, yaitu Pencipta dan Ciptaannya. Tuhan dan makhluk-Nya. Manusia makhluk, batu makhluk, matahari makhluk, bulan makhluk, hewan juga makhluk, jin juga makhluk. Hanya satu yang disebut tuhan. Setiap makhluk hidup diberi jatah masing-masing untuk hidup. Mereka diberi waktu, diberi rezeki dan diberikan pengetahuan, serta kekuatan. Setiap makhluk memiliki waktu yang berbeda, rezeki yang berbeda, pengetahuan yang berbeda serta kekuatan yang berbeda.

"Di antara mereka ada yang diberi kelebihan rezeki, ada yang diberi kesempitan rezeki. Ada yang diberi waktu yang banyak, ada yang diberi waktu yang sedikit. Dan setiap makhluk memiliki peranan masing-masing di dunia ini. Ada yang jadi dokter, ada yang jadi mahasiswa, ada yang jadi polisi, ada yang jadi tukang bangunan, dan lain-lain. Disamping peranan-peranan itu, manusia juga punya andil dalam menggerakkan keadaan, sebab itulah mereka diberikan permasalahan. Setiap manusia diberikan permasalahan agar kehidupan ini berjalan. Tanpa permasalahan maka kehidupan tidak akan berjalan. Dan dari permasalahan-permasalahan tersebut ada yang diakhiri dengan cara yang baik dan ada yang diakhiri ddengan cara yang buruk."

"Setiap makhluk disebutkan menjadi abdi atau hamba bukan karena tanpa alasan. Yang pertama, yaitu mereka telah diberikan segala sesuatu yang diminta dan tidak diminta. Contohnya udara. Berapa banyak oksigen yang dihirup oleh manusia sejak dia lahir sampai sekarang? Tentu saja banyak. Bisakah dinilai dengan uang? Tidak. Lalu, tentunya ketika sang Pencipta mencabut nikmat tersebut, apa yang terjadi? Manusia tentu tidak bisa hidup. Oleh sebab itulah manusia butuh yang namanya bersyukur. Kenapa manusia butuh bersyukur? Agar dia bisa menghargai kehidupan."

"Coba bayangkan seandainya dalam beberapa detik saja misalnya oksigen tiba-tiba lenyap. Ini oksigen ya, senyawa yang ada di alam semesta ini. Apa yang akan terjadi? Api akan padam. Api butuh oksigen, tumbuhan akan berhenti berfotosintesis, hal ini akan membuat tumbuhan-tumbuhan akan mati, manusia? Manusia tanpa oksigen akan mengakibatkan dia mati. Air akan menguap menjadi hidrogen. Tanah yang dipijak manusia akan luruh, karena tanah juga butuh oksigen. Lapisan ozon akang menghilang dan bumi akan dibakar oleh radiasi nuklir dari matahari. Kehidupan di planet ini akan lenyap."

"Padahal dengan adanya oksigen seorang ibu bisa melahirkan anaknya. Seorang akan bisa bekerja untuk mencukupi kehidupan anak dan istrinya. Seorang yang sakit paru-parunya akan sembuh. Tanaman-tanaman akan tumbuh dengan subur, dan manusia serta seluruh makhluk di bumi akan dilindungi dari sinar matahari. Demikian, mungkin jawaban yang bisa saya sampaikan," kata ustadz menerangkan panjang lebar.

"Jadi maksud ustadz apakah menghargai kehidupan itu artinya membiarkan semua makhluk untuk hidup?" tanya Arief.

"Lebih tepatnya memberi kesempatan diri sendiri untuk bisa bermanfaat untuk mereka yang hidup," jawab ustadz, "sebab ada kalanya keadilan harus ditegakkan kepada mereka yang memang bersalah, tapi dengan cara yang baik. Yaitu dengan mematuhi hukum yang berlaku."

Arief menipiskan bibirnya. Dia berusaha memahami apa yang disampaikan oleh ustadz tersebut.

"Nama ustadz siapa kalau boleh tahu?" tanya Arief sekali lagi.

"Nama saya Hamzah, masnya namanya siapa?" tanya ustadz balik.

"Nama saya Arief," jawab Arief, "kalau boleh saya ingin tanya-tanya lebih lanjut lagi."

"Oh, silakan. Dengan senang hati," jawab ustadz Hamzah.

Jannah tersenyum melihat Arief dari kejauhan. Tidak biasa seorang mahasiswa bertanya hal seperti itu. Di dalam pikiran Jannah, pemuda ini orang yang baik.

"Eh, anak mana sih dia?" tanya Jannah penasaran.

"Nggak tahu, nggak pernah nongol juga dimari," jawab temannya Jannah.

Rasa penasaran Jannah makin menjadi saat hari-hari berikutnya Arief mulai aktif pergi ke masjid. Makin banyak melakukan ibadah dan ikut pengajian. Meskipun begitu tidak terbesit di hatinya untuk menyukai pemuda ini, sebab dia saat itu sudah memiliki hubungan dengan Thalib.

Thalib, pemuda ini lebih senior dari dia maupun Arief. Bahkan sudah mendekati wisuda. Mereka sudah menjalin hubungan meskipun tidak diketahui oleh orang-orang sejak Jannah di semester ketiga. Jannah memang terpesona dengan Thalib. Orangnya cerdas dan penuh pesona. Mungkin itu pula yang menjadikan Jannah tertarik kepada Thalib selama ini.

Di area kampus ada tempat yang cukup aman untuk mojok. Letaknya agak ke dalam, jauh dari lalu lalang mahasiswa. Tempat tersebut ada di balkon lantai dua, di gedung fakultas bahasa. Fakultas bahasa mahasiswanya tak begitu banyak. Sehingga jadwal perkuliahan mereka pun sepi. Entah kenapa fakultas bahasa tidak terlalu favorit di kampus ini.

Jannah dan Thalib tampak sedang duduk-duduk di sana dengan posisi Jannah duduk di pangkuan Thalib. Thalib menciumi leher Jannah sambil kedua tangannya sibuk masuk ke dalam baju Jannah dan meremas kedua toketnya. Hal yang terlihat tidak lazim, tapi mereka sudah lakukan.

"Mas, kalau lulus nanti mau nikahin aku?" tanya Jannah.

"Iya, kan mas sudah janji," ucap Thalib.

"Beneran lho ya, nggak bohong," kata Jannah.

"Iya," ucap Thalib, 

"aku janji akan menikahimu. Dan tolong, jaga ini buat aku ya." lanjut Thalib sambil mengusap selakangan Jannah.

"Iya, aku janji," kata Jannah.

Keduanya lalu berciuman. Jannah sudah bertekad untuk tidak melepas segelnya kecuali kepada Thalib. Mereka berdua juga sudah berjanji untuk segera menikah setelah Thalib lulus nanti. Dan kegiatan mereka kalau lagi senggang adalah petting. Mereka selalu mencari cara untuk ketemuan dan melakukan petting. Tidak sampai penetrasi.

Jannah menggelinjang setiap kali jemari Thalib menggelitik klitorisnya. Setiap hari pasti celana dalamnya basah oleh lendir hasil kelakuan Thalib. Jannah pun merintih-rintih saat Thalib sudah nggak sabar lagi untuk segera melihat isi dalemannya. Mahasiswa semester akhir itu pun kini berlutut di lantai dengan kepalanya mengobok-obok selakangan gadis itu.

Sudah barang tentu jannah tak kuasa menahan gejolak orgasmenya yang nyaris sampai. Thalib juga mengetahui hal tersebut. Dia makin bersemangat menghisap klitoris Jannah hingga Jannah menutup mulutnya agar suaranya tertahan. Kedua pahanya pun terangkat dan dari vaginanya keluar semburan-semburan kecil yang mengakibatkan gamis yang dipakainya basah.

"Mas, basah ini gamisnya adek," ucap Jannah sambil mengatur napasnya.

"Nggak apa-apa, nggak bakal kelihatan juga kok," ucap Thalib.

Kini dia berdiri sambil membuka resleting celananya, lalu mengeluarkan isinya.

Jannah yang sudah mengerti keinginan Thalib kemudian menggenggam batang tersebut. Dia ciumi dengan gemas kepala kontol itu. Setelah itu dia masukkan ke dalam mulutnya. Jannah rela melakuan blowjob kepada Thalib karena rasa cintanya. Kedua insan yang saling mencintai ini memang sudah tak kuasa menahan birahi, meskipun begitu mereka punya komitmen untuk melakukan hubungan sex pertama kali nanti setelah menikah.

Jadi Thalib cukup puas dengan disepong oleh Jannah. Terlebih selama ini spermanya tak pernah dibuang oleh Jannah, selalu ditelan. Thalib meringis keenakan saat lidah Jannah menggelitik kepala kontolnya.

Jannah sangat pintar melakukan service blowjob terhadap benda berotot tersebut, hingga memang tak perlu waktu lama, karena mereka juga harus cepat-cepat pergi, Thalib mendorong-dorong pinggulnya dan mengocok kontol di dalam mulut Jannah.

Semburan demi semburan air mani menembak kerongkongan Jannah. Mulutnya penuh dengan cairan sperma Thalib. Perlahan-lahan Jannah menelannya dan tidak jijik. Ia seperti ketagihan dengan sperma pacarnya ini. Setelah maninya habis, Jannah masih sempat-sempatnya menyedot-nyedot kecil lubang kencing Thalib yang membuat pemuda ini ngilu-ngilu sedap.

Jannah lalu membetulkan jilbab dan pakaiannya. Dia mengantongi celana dalamnya yang sudah terlepas setelah mengelap memeknya yang basah. Alhasil dia tak memakai celana dalam saat itu. Thalib benar-benar puas, terlebih lagi mengetahui sekarang Jannah tidak memakai celana dalam di balik gamis lebarnya.

"Ya sudah, Mas duluan ya. Biar nggak ada yang curiga," ucap Thalib.

"Iya. Adek nanti nyusul," ucap Jannah.

Thalib membetulkan pakaiannya lalu pergi, sedangkan Jannah menunggu beberapa menit, setelah itu menyusul Thalib. Saat menuruni tangga tiba-tiba dia berpapasan dengan Arief. Kaget sekali Jannah waktu itu.

"Eh, maaf," ucap Arief, "kaget saya tiba-tiba ada orang."

"Masnya sedang mencari sesuatu?" tanya Jannah.

"Kebetulan tadi sedang ada acara di aula, trus nyari toilet katanya dekat sini. Tapi bingung bangunannya gede," jawab Arief.

"Oh, kalau toilet ada di belakang gedung mas. Tinggal lurus aja dari lorong ini ke sana," ucap Jannah sambil menunjuk.

"Oh. Makasih," kata Arief, dia segera bergegas pergi.

Jantung Jannah nyaris copot. Apa pemuda itu tahu kalau tadi Thalib barusan turun tangga. Semoga saja tidak ada pikiran aneh-aneh di otak Arief. Inilah awal perjumpaan Arief dan Jannah yang akan mengantarkan mereka ke perjumpaan-perjumpaan berikutnya.

===X FASHBACK MEMORI JANNAH END X===

Skip


Di dalam rumar telihat seorang pemuda tampak sedang melakukan handstand. Kakinya lurus ke atas, kepalanya menghadap ke bawah, peluhnya bercucuran. Pemuda ini adalah Arief. Beberapa latihan ringan baru saja dia lakukan. Dari push up, sit up, scottjump dan beberapa latihan lain.

Dia selalu melakukan latihan ini untuk memperkuat otot lengan dan kakinya. Setelah beberapa menit melakukan handstand, Arief pun menurunkan kakinya. Dia bergegas ke kursi, mengambil handuk, lalu menyeka keringat yang membasahi kulitnya.

Ponselnya berdering, Arief melihat di layar ponselnya sebuah nama Lista Herliana. Dia langsung mengangkat telepon itu.

"Halo, Assalaamualaikum?" sapa Arief.

"Wa alaikumsalam. Om, Arief?" sapa Lista balik.

"Iya, apa kabar kamu?" tanya Arief berbasa-basi.

"Kabar Lista baik, Om," jawab Lista.

"Ada apa?"

"Anu, Om. Makasih ya kapan hari om mendampingiku wisuda. Aku seneng banget. Foto om aku simpan dan aku pigura. Hehehe."

Arief terkekeh. "Waduh, buat nakutin tikus?"

"Ih, ya enggaklah, Om. Lista nggak sejahat itu, masa’ buat nakutin tikus."

"Ya siapa tau kan. hahaha"

"Om itu spesial bagi Lista. Nggak mungkinlah."

"Ada apa gerangan nih?" kata Arief mengalihkan topik

"Ehm..., gini om. Kan Lista sudah lulus. Ibu bapak kepingin Lista cari kerja aja di sini. Om punya kenalan nggak, yang bisa ngasih kesempatan Lista buat kerja. Hehehe, siapa tahu aja sih. Kan zaman sekarang enak kalau pakai koneksi alias orang dalam. Hehehe," kata Lista sambil cengengesan.

Arief berpikir sejenak. "Kalau Lista mau, boleh kerja di kantorku."

"Hah? Serius? Emang ada lowongan, Om?"

"Ada kalau diada-adain," jawab Arief.

"Ih, Om. Nggak lucu becandanya. Lista memang beneran ingin kerja," jawab Lista.

"Ada sih. Aku memang sedang butuh bantuan buat ngurusi administrasi. Kau tahu sendiri mendirikan start up itu tidak mudah. Sebenarnya selama ini semua administrasi aku sendiri yang urus. Kalau kamu membantuku, maka pekerjaanku akan lebih ringan," kata Arief.

"Om beneran?"

"Iyalah. Besok datang aja ke kantor. Aku tunggu ya," ucap Arief.

"Makasih loh, Om. I love you full, Om," ucap Lista dengan gembira dan lansung itu menyudahi telepon.

Arief nyengir saja. Lista anak yang baik, juga cantik. Secara seksual Arief tertarik kepadanya. Siapapun juga pasti tertarik kepada Lista dan tidak mungkin tidak.

Hari sudah beranjak siang dan Arief tak ingin berlama-lama di rumah. Ada orang yang harus dia temui hari ini.


Arief pun pergi menggunakan mobilnya..

==skip==

Mobilnya masuk ke kampung yang cukup sepi, jauh dari perkotaan. Jalanan yang tidak beraspal dan ditambah dengan rumah-rumah yang tidak terlalu renggang. Di tengah jalan masih terlihat para petani menggelar gabah di atas terpal untuk dijemur. Terlihat juga ayam-ayam berkeliaran bebas mencari makan. Arief mengamati jalanan di kampung yang sepi ini, tempat tinggal Leli, lebih tepatnya rumah orang tuanya.

Mobil masuk ke sebuah halaman yang cukup luas, setelah itu berhenti. Arief pun keluar dari mobilnya. Dia mengamati sekeliling tempat itu. Hawanya cukup sejuk, mirip seperti kampung halamannya Azizah. Dari pintu rumah muncul seseorang yang sudah dikenalnya.

"Assalaamualaikum," sapa Arief.

"Wa’alaikumsalam," balas Leli, "silakan masuk!"

Arief berjalan menuju ke dalam rumah. Tidak ada siapa-siapa selain Leli dan anaknya.

"Bapak sama ibu sedang ada di pasar. Kalau jam segini belum pulang," kata Leli seolah-olah tahu apa yang ada di pikiran Arief.

"Terima kasih, mbak sudah mengikuti saran saya," kata Arief.

"Silakan duduk!" ucap Leli mempersilakan Arief untuk duduk.

"Mau minum apa?" tanya Leli.

Arief menggeleng, "Tak usah repot-repot."

"gak repot Cuma air saja yang ada, hehehe," kata Leli sambil meninggalkan Arief sendirian sejenak ke dapur.

Di dapur dia langsung menyeduh teh celup hangat. Setelah itu kembali lagi ke ruang tamu membawa segelas teh tanpa gula.

"Azizah sudah melakukan aksinya," kata Leli, "aku tak habis pikir bagaimana bisa suamiku berhubungan dengan wanita yang belum sah menjadi istrinya dan dirumah ada aku pula. Pas aku pamit, dia bengong saja di depan pintu kamar Azizah, tidak merasa bersalah atau apa."

"Sebagaimana dia juga tidak merasa bersalah menggauli istriku saat istriku sedang aku telepon," kata Arief.

"Benarkah?" Leli terkejut.

"Iya, dan itu sebelum kami bercerai. Aku bukan orang bodoh yang bisa ditipu," kata Arief.

"Lalu, rencana Mas Arief setelah ini apa?"

"Sesuai yang dulu kita bicarakan. Mbak di sini saja sementara waktu. Biarkan aku yang bekerja untuk menghancurkan hidupnya," kata Arief.

Leli menghela napas. "Jujur, saya sebenarnya nggak tega. Tapi saya sakit hati. Dan sepertinya mas juga. Hanya saja, cara mas balas dendam tidak biasa. Padahal, masnya terlihat seperti orang baik-baik."

Arief tersenyum. Dia tahu persis apa yang ada pada dirinya, tidak seperti yang disangka oleh Leli.

"Mbak terlalu memuji, saya bukan orang baik-baik."

"Jujur, kalau saya jadi mas. Pasti mas juga marah dengan kelakuan istri. Saya bisa mengerti itu. Itu manusiawi," ucap Leli.

Manusiawi? Apakah Arief manusiawi? Sampai sekarang dia terus bertanya-tanya tentang makna manusiawi? Sebab yang dia lihat dari kebanyakan manusia adalah berbuat jahat, hipokrit dan berkhianat. Kalau balas dendam adalah salah satu bentuk manusiawi, maka apakah dia sudah jadi manusia yang sesungguhnya?

Arief menyeruput minuman yang disajikan. Memang cukup segar minuman itu. "Mbak sudah bertemu dengan Jannah?"

Leli mengangguk. "Setelah suamiku memintaku menyetujui poligami itu, aku menemuinya."

"Apa yang kalian bicarakan?"

Beberapa waktu lalu Leli menjumpai Jannah. Bukan sesuatu yang mudah baginya. Masih teringat waktu itu setelah ashar. Keduanya bertemu di sebuah masjid di dalam bilik perempuan. Tak susah untuk mengenali Jannah. Sebab, Leli sangat ingat betul bagaimana wajah Jannah.

"Jannah," sapa Leli datar.

"Assalaamu’alaikum, mbak," sapa Jannah.

"Wa’alaikumsalam," jawab Leli.

Jannah lalu duduk di depan Leli. Suasana masjid saat itu sedang sepi. Sebab, masih waktu Dhuha dan tidak banyak orang yang masuk ke masjid pada saat jam segitu. Leli memakai baju warna hijau pudar dengan kerudung warna putih lebar menutupi kepala sampai pinggangnya.

Matanya menatap Jannah dengan tatapan menusuk, sebagaimana orang lain akan marah jika mendapati kalau orang yang ada di hadapannya adalah perusak rumah tangganya.

Leli menampakkan mimik wajah yang tenang. Namun, dadanya bergemuruh hebat.

"Kamu katanya sudah janda.. cerai?"

Jannah mengangguk, "Iya, mbak."

"Siapa suamimu sebelumnya?"

Jannah menarik napas dalam-dalam, "Namanya Arief. Dia sekarang sedang membuka usaha sendiri."

"Kamu meninggalkannya dan lebih memilih suamiku? Kamu tahu suamiku masih punya aku?"

Jannah terdiam. Dia juga bingung ingin menjelaskannya.

"Kamu sudah berapa lama berhubungan dengan suamiku?" tanya Leli.

"Sudah lama. Kami dulu berpacaran," jawab Jannah, "tapi dia tidak menepati janjinya, pergi tanpa sebab, tanpa kabar. Apa yang ingin Mas Thalib lakukan adalah untuk menepati janjinya, itu saja, kak. Aku tahu, kakak tidak akan sudi mengizinkan, atau akan marah kepadaku, tapi aku lebih baik hidup bersama Mas Thalib daripada bersama mantan suamiku."

"Kenapa? Apa suamimu tidak mencintaimu lagi?"

Jannah menggeleng. "Sebaliknya, dia sangat mencintaiku."

"Kau tahu ada orang yang sangat mencintaimu lebih memilih mengkhianatinya? Kau sudah gila!" ucap Leli yang mau tidak mau tidak bisa membendung amarahnya.

"Aku akan lakukan apapun untuk lepas dari suamiku." bela Jannah

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan suamimu?" tanya Leli.

"Mbak nggak akan percaya dengan apa yang akan aku ceritakan, tetapi aku lebih baik menyimpannya. Semua juga demi kebaikan mbak sendiri."

Leli tersenyum sinis.

"Alesan.!! Bilang saja kalau kau emang pelacur!! Cok!! Asu!!" umpat Leli yang tiba-tiba meluap tinggi emosinya

"Aku akan terima semua tuduhan mbak. Saat ini yang ingin aku selamatkan hanyalah diriku sendiri. Meskipun itu mendapatkan hinaan dari mbak," ucap Jannah. Matanya tampak berair. "Mbak nggak bakal paham memiliki seorang suami seorang psikopat, mbak juga nggak bakalan paham telah melahirkan seorang anak yang sifatnya sama seperti bapaknya. Ya, darah psikopat itu menurun ke anakku."

Leli menceritakan kepada Arief apa saja yang dibicarakan oleh Jannah. Tapi perempuan itu tak menceritakan ketakutan yang diutarakan oleh Jannah. Leli memperhatikan Arief dengan seksama. Benarkah lelaki ini seorang psikopat?

Untuk beberapa saat Leli memperhatikan mimik wajah Arief. Seorang psikopat biasanya tak bisa tersenyum atau wajahnya datar, tapi tidak dengan Arief. Dia bisa tersenyum. Bahkan, sesekali tertawa ketika membahas hal yang lucu.

Apa yang diceritakan oleh Jannah nyaris tidak bisa dipercaya. Namun, apa yang Arief utarakan di rencananya sangatlah masuk akal jika ada ciri-ciri psikopat dalam diri Arief.

"Apa rencana Mas Arief setelah ini?" tanya Leli setelah menceritakan pertemuannya dengan Jannah.

"Masih seperti semula, melakukan rencana yang sudah disusun," jawab Arief, "kenapa?"

"Aku ingin tanya kepada Mas Arief," kata Leli.

"Iya, tanya aja."

"Kalau misalnya nanti semua rencana Mas berhasil, apa yang akan Mas lakukan selanjutnya?"

Arief menyandarkan punggungnya di kursi. Dia seperti berpikir keras. Setelah beberapa detik dia menegakkan punggungnya lagi.

"Aku akan menjalani kehidupan seperti biasa. Berusaha menjalani kehidupan, sebagaimana salah satu guruku mengajariku."

Leli mengernyit. "Menghargai kehidupan?"

Pemuda itu mengangguk. "Aku selama ini tidak tahu bagaimana cara menghargai kehidupan. Guruku mengajariku cara menghargai kehidupan, lalu aku berkenalan dengan Jannah. Sejak membina rumah tangga aku jadi paham cara menghargai kehidupan. Sayangnya... aku heran, apakah dengan menjadi pengkhianat tetap disebut orang itu menghargai kehidupan atau tidak?"

Leli menelan ludah.

Menyadari Leli kebingungan Arief pun tersenyum. "Mbak nggak usah mikir yang aneh-aneh. Yang aku tahu, Jannah mengkhianatiku dan meninggalkan anaknya. Anak yang seharusnya mendapatkan perhatian seorang ibu, malah ditinggalkan. Membiarkanku hidup menjadi orang tua sendirian di saat kewajibannya sebagai seorang ibu dia tinggalkan dan lebih memilih lelaki lain selain suaminya."

"Khalil masih kecil, tapi dia harus kehilangan seorang ibu yang seharusnya anak itu mendapatkan kasih sayangnya," lanjut Arief.

Di dalam benak Leli bertanya-tanya, Orang seperti ini disebut psikopat? Dia sangat sayang kepada anaknya. Bahkan, sampai perhatian seperti itu. Rasanya Leli tidak percaya kalau Arief seorang psikopat.

"Aku nggak punya banyak teman, Mbak. Tidak setiap orang suka dengan orang seperti aku, introvert, punya pemikiran unik bahkan untuk bisa dekat dengan seseorang aku harus menyamakan frekuensiku dengannya. Kesalahanku adalah aku terlalu bucin kepada Jannah. Sehingga, aku bukan lagi diriku kala itu. Aku tidak percaya diri kepada diriku sendiri, menyalahkan diriku sendiri atas segala kekurangan yang ada pada diriku. Aku tetap berperasangka baik hingga hal itu menghancurkanku sedikit demi sedikit. Puncaknya adalah sampai aku mengetahui aku dikhianati. Sakit sekali rasanya," kata Arief panjang lebar.

Leli menghela napas. Ada perasaan simpati pada diri Leli. Arief hanya menunduk saat menceritakannya. Berusaha menyembunyikan kesedihan. Sangat tidak masuk akal kalau lelaki ini punya sifat psikopat. Dia punya emosi, seorang psikopat sama sekali tak punya emosi. Leli pun tersenyum, dia percaya dengan perasaannya.

"Aku bisa jadi temanmu, Mas," ucap Leli.

"Terima kasih, mbak. Yakin mbak temenan ama aku? Aku orangnya jarang bicara," kata Arief.

"Yah, setidaknya kalau mas ingin berbagi bisa ke aku, aku pun mungkin akan lebih percaya kepada mas," kata Leli.

Arief menatap arlojinya. "Saya kayaknya harus pergi, Mbak. Harus ngurus berkas di kantor."

"Oh, begitu. Baiklah," kata Leli.

Arief kemudian beranjak dari tempat duduk, mereka bersamaan berdiri dan tiba-tiba kedua dahi mereka berbenturan. Dikarenakan tempat duduk mereka berhadapan dan meja tamunya kecil sehingga saat keduanya berdiri bersama dahi keduanya maju ke depan lalu berbenturan.

"Aduh!" jerit Leli sambil memegangi jidat.

Arief juga mengaduh sambil memegangi jidatnya. Kedunya lalu tertawa.

"Baiklah, semoga nggak benjol," ucap Arief.

Arief keluar dari rumah, untuk sesaat dia menghadap ke Leli, lalu dia mengusap pipi Leli, entah kenapa Leli tak melarangnya. Dia seperti tersihir oleh Arief, padahal dia bukan mahramnya, tak seharusnya dia membiarkan pria yang bukan suaminya menyentuhnya, tetapi itu terjadi. Tangan Arief ditempelkan di pipi Leli, untuk beberapa detik Leli memejamkan matanya.

"Mbak akan baik-baik saja, mbak akan bahagia, setelah ini, seterusnya," ucap Arief, "terima kasih mbak sudah bertahan sampai saat ini."

Kata-kata yang menyentuh.

Leli hanya mengangguk. Sebenarnya bisa saja saat itu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka sedang sendirian ditemani anaknya Leli, Arief bisa saja mencium Leli, toh dia sudah tak ingin bersama suaminya lagi.

Arief bisa saja menggunakan kesempatan itu, tapi tidak dia lakukan. Arief pun pergi meninggalkan Leli, menarik tangannya yang hangat dari wajah Leli, meninggalkan kesan yang tidak akan pernah dilupakan oleh ibu satu anak ini.

Perempuan itu hanya melihat Arief pergi menjauh dan hilang dari pandangan. Jantung Leli berdegup kencang. Ini baru pertama kali dia mengalaminya.

"Kenapa aku tadi membiarkan dia menyentuhku?" gumam Leli, "tidak, ini tidak mungkin. Apa yang aku lakukan?"

Hari-hari berikutnya yang ada di pikiran Leli adalah Arief, Arief dan Arief. Kejadian yang dia alami selama ini membuatnya sadar, kalau lelaki itu memang benar-benar ingin menolongnya. Leli sudah tidak peduli lagi dengan suaminya, bahkan mengajukan khulu’ kepada sang suami lewat pengadilan agama. Alasannya, tentu saja orang ketiga.

Tentu saja Thalib yang menerima surat dari Pengadilan Agama merasa terkejut. Bukankah dulu Leli menerima dipoligami, tentu saja surat gugatan cerai dari Pengadilan Agama yang dia terima sangatlah tidak wajar. Namun, ketika dia menyadari peristiwa di hari Leli pergi dari rumah, Thalib mulai mengerti. Leli mengetahui apa yang dia lakukan dengan Azizah. Tak seharusnya seorang ustadz berzina dengan perempuan yang belum menjadi istrinya.


Lanjut sesen 3 diawah...

AKIBAT PENGHIANATAN S-3

yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya
x
x