SEBELUMNYA..
Seri 1 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI
Seri 1 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI
Di sebuah rumah sederhana di daerah pinggiran Kotamadya Bandung..
“Maaf ya, Farah, bukannya kami tidak mau menerima hasil karyamu. Karyamu selalu bagus, kok. Tapi mengertilah, kami sedang dalam kesulitan keuangan. Kami memutuskan untuk sementara memproduksi novel-novel remaja yang bertemakan kisah cinta yang lebih laris di pasaran. Mungkin suatu saat kami akan menerbitkan novelmu, harap bersabarlah. Ditunggu saja ya, pasti akan datang kesempatan.” demikian suara lelaki di ujung telepon yang terdengar agak kurang sabar itu.
“Iya kok, pak. Saya mengerti, terima kasih lho sebelumnya atas perhatian Bapak. Assalamualaikum,” terdengar suara perempuan merdu namun terasa memelas.
Pembicaraan telepon pun terputus. Farah Wulandari kini hanya bisa termenung memandangi taman belakang rumahnya yang sederhana. Sudah beberapa bulan ini novel-novel karyanya tidak ada yang diterima oleh penerbit. Macam-macam saja alasan yang dikemukakan penerbit, tapi ia sadar kalau ia harus tetap sabar dan tidak boleh bahkan tak ada gunanya untuk memaksakan kehendaknya.
Farah adalah sosok seorang akhwat pendiam dengan sebuah kacamata minus tergantung di atas hidungnya. Di usianya yang menginjak 24 tahun, Farah tampak lebih dewasa, baik dari segi fisik maupun mental. Ia tumbuh menjadi seorang wanita yang berdedikasi dan penuh semangat. Sebenarnya ia memiliki wajah yang begitu mempesona, mirip sekali dengan kakaknya yang sudah dinikahi Ustadz Mamat. Hidungnya begitu bangir mancung, pipinya ranum, bibirnya merah merona, kulitnya putih mulus dan terawat, rambutnya yang panjang hingga punggung selalu tertutup jilbab panjang dan jubah. Akibat wajahnya yang cantik serta sifatnya yang anggun, tenang dan tampak begitu alim, banyak ikhwan-ikhwan pengajian yang jatuh hati padanya. Namun semuanya ia tolak karena ia berniat ingin membahagiakan orang tuanya terlebih dahulu sebelum memasuki pernikahan.
“Siapa itu tadi yang bicara di telepon, Farah, apakah ada urusan penting?” suara lembut Siti Nurhana, ibundanya, membangunkan Farah dari lamunannya.
“Hmm, dari penerbit, ummi. Katanya novel Farah belum bisa masuk cetak,” jawab Farah disertai dengan helaan nafas lembut dan cukup panjang.
“Ya sudah sabar saja, nanti juga kalau sudah jalannya kamu pasti dapat. Ummi mau ke rumah sakit dulu ya, nemenin Abi. Kamu nggak apa-apa kan ditinggal sendiri?” demikian lanjut Siti Nurhana sambil berkemas-kemas untuk berangkat.
“Nggak apa-apa koq, ummi, salam dari Farah yah sama Abi, semoga lekas sembuh dan dapat pulang kembali ke rumah,” sahut Farah sambil masuk ke kamar.
Kini tinggallah Farah sendirian di rumah. Sudah sekitar lima bulan Pak Arief Ubaidillah terbaring di rumah sakit setelah terkena stroke. Selama itu pula ayah empat putri itu tidak sadarkan diri di bangsal rumah sakit dan tidak bisa memenuhi kebutuhan nafkah rumah tangga. Dan kini Farah sedang bingung harus kemana ia mencari uang untuk membayar hutang-hutang yang telah menumpuk akibat memenuhi biaya berobat ayahnya. Di rumah hanya ada Farah dan Asma, yang masih SMA, dan ibundanya. Farah pun sadar ia tak bisa meminta Nurul yang sedang kuliah di Jakarta untuk membantu, karena ia kuliah gratis dengan beasiswa yang diterimanya. Posisi Aida yang telah berkeluarga seharusnya bisa membantu, namun apa mau dikata, kondisi keuangan rumah tangga Ustadz Mamat pun tak begitu baik.
Farah sadar, hanya ia satu-satunya yang mampu mengatasi keadaan keuangan yang sama sekali tidak menggembirakan itu.
Ketika ayahnya mulai masuk rumah sakit 5 bulan yang lalu, untuk menalangi biaya rumah sakit, Farah sekeluarga terpaksa meminjam uang pada Mang Burhan, seorang rentenir kelas kakap di kampung tersebut. Walaupun bunga yang ia ajukan terlalu tinggi, namun hanya Mang Burhan-lah pada waktu itu yang siap dan mampu menyediakan uang dalam jumlah besar untuk biaya operasi ayah Farah.
Namun masalahnya batas waktu pengembalian uang tersebut hanya tinggal dua hari lagi. Oleh sebab itu Farah merasa begitu kecewa setelah tak ada satupun penerbit yang mau menerbitkan novel karyanya. Uang hasil jualan kue Farah dan ibunya pun hanya cukup memenuhi makan mereka sehari-hari, bagaimana dapat untuk membayar hutang. Berbagai macam pikiran memenuhi otak Farah sehingga membuat akhwat manis itu tampak muram. Karena tiada jalan lain ditemukan, ia pun bertekad untuk menemui Mang Burhan dan bernegosiasi dengannya. Ia akan bersedia bekerja melakukan apa saja demi menunjang keluarga yang dicintainya.
***
Sebagai rentenir kelas kakap di daerah kampung situ juga, pak Burhan sangat disegani karena tabiatnya yang keras dan penampilan yang terlihat cukup menyeramkan. Wajahnya hampir tidak pernah menunjukkan keramah-tamahan, jarang sekali tersenyum apalagi tertawa. Matanya selalu menatap setiap orang yang diajak bicara dengan sangat tajam seolah ingin menembus benak pikiran lawan bicaranya. Disamping itu lirikannya selalu menampilkan kesan kejam dan bahkan tersembunyi kesan sadis, terutama jika menghadapi langganan yang mempunyai hutang padanya namun belum mampu membayar kembali karena bunga yang diajukannya memang amat tinggi.
Pakaiannya terlihat cukup rapih menutupi tubuhnya yang tegap dan dibalik pakaian itu tersembunyi banyak bekas luka, karena Burhan di masa muda sangat galak sering berkelahi. Bahkan ada periode dimasa mudanya Burhan hilang lenyap dari desa kelahirannya, tak satupun yang tahu dimana dan apa yang dilakukannya. Hanya Burhan sendiri yang menyimpan rahasia itu : ia merantau sebagai anak kapal di negara jiran, dimana di samping bekerja di sebuah perkebunan, ia juga memasuki kelompok penyamun yang di malam hari merampok penduduk, terutama orang tua yang tinggal seorang diri dan janda kembang yang baru ditinggalkan suami. Bukan hanya harta yang dijadikan sasaran perampokannya, namun tak ada satupun janda kembang yang lolos dari perlecehan dan perkosaannya.
Setelah Burhan berhasil meloloskan diri dari kejaran polisi yang memburunya bertahun-tahun, akhirnya ia memutuskan untuk menghilang lagi tanpa meninggalkan jejak dan muncul kembali sebagai rentenir. Tempat bermukimnya sekarang berada di pulau Jawa, sedangkan Burhan sebenarnya berasal dari pedalaman Sulawesi. Tak heran jika semua orang di kampung dan sekelilingnya tak mengetahui asal usul latar belakang Burhan.
Setahun setelah bermukim di desa ini, Burhan menikah dengan seorang janda kembang. Namun ketika melahirkan anak mereka yang pertama, terjadi komplikasi yang tak terduga sehingga keduanya meninggal. Sejak saat itu Burhan belum lagi menikah, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa jika ada langganan yang belum atau tak mampu membayar hutang kepadanya, maka Burhan selalu bersedia memberikan ‘keringanan’ dan menunda pembayaran berdasarkan ‘syarat tertentu’. Burhan akan bermurah hati jika yang datang memohon penundaan bayaran hutang itu bukan si lelaki kepala keluarga, melainkan sang istri atau anak perempuan mereka.
Semakin cantik sang istri langganannya yang memohon, maka semakin senang hati rentenir cabul ini–apalagi yang datang menggantikan permohonan si kepala keluarga adalah anak perempuan yang baru meningkat dewasa berusia belasan belum memasuki dua puluhan. Selera Burhan terhadap wanita tidak pandang bulu : entah perempuan biasa dengan gaya hidup bebas maupun yang alim shalihah berjilbab atau bahkan memakai cadar, semua dimana ada kemungkinan dan kesempatan akan dijerat dan dijadikan mangsanya. Jika belum ada lagi mangsa yang dijeratnya maka Burhan memuaskan nafsu birahinya yang besar terhadap istri-istri tetangganya, terutama yang tak cukup dipuasi oleh suami sendiri, entah karena telah uzur atau ditinggal tugas terlalu lama.
Sebagai bahan ‘jajanan’ extra, maka Burhan juga sering melecehkan pembantu rumahnya yang memang janda kembang dan cukup manis bernama Marwati atau sering disebut Wati. Karena selalu diberikan bayaran ekstra jauh melebihi pendapatan seorang pembantu, maka Wati dengan senang hati menjadi kaki tangan Burhan untuk membantu menaklukkan calon mangsanya!
Telah hampir setengah jam lamanya Farah duduk di ruang tamu menantikan kedatangan sang tuan rumah, pak Burhan yang diharapkan Farah akan bersedia untuk mendengarkan kesulitan yang sedang dihadapi oleh keluarganya. Farah telah merancang kalimat-kalimat paling bagus dan paling sopan dalam negosiasi dengan rentenir kakap di desa itu.
Kalimat-kalimat yang dipertimbangkan oleh Farah akan menggugah hati pak Burhan, terutama jika mendengar bahwa ayahnya sakit dan masih membutuhkan biaya perawatan tak sedikit, sedangkan pemasukan berupa buku agama yang dikarangnya belum lagi diterima dan dipublikasikan oleh para penerbit. Demikian pula hasil jualan ibundanya hanya pas-pasan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, sementara tulisan ustadz Mamat masih belum tahu apakah akan berhasil dijual memasuki bulan puasa ini.
Sedemikian naif-nya jalan fikiran Farah yang masih membayangkan semua orang sejujur dan sepenuh hati untuk menolong sesamanya, padahal pak Burhan bersedia menerima kedatangannya di hari itu karena mempunyai maksud lain, ada udang di balik batu yang akan menjebaknya memasuki sebuah dunia lain : dunia gelap terselubung kabut tebal dan juga lumpur mengambang menanti mangsa yang jatuh tergelincir, yang akan sukar membebaskan diri lagi dari tarikannya yang semakin dalam.
Akhirnya pintu pemisah ruang tamu dengan ruang bagian dalam rumah pak Burhan kembali dibuka, namun yang muncul bukanlah pak Burhan sendiri melainkan wanita usia pertengahan tiga puluhan yang tadi membukakan pintu masuk ketika Farah baru saja datang, seorang wanita yang masih cukup cantik dalam usianya itu, terutama disebabkan dandanan yang cukup menor.
”Pak Burhan sedang kurang enak badan, jadi beliau mohon maaf tak dapat menerima adik,” demikian ujar si wanita yang tadi memperkenalkan dirinya dengan nama Wati dan mengaku bahwa ia di rumah itu hanyalah seorang pembantu.
“Maaf ya, Farah, bukannya kami tidak mau menerima hasil karyamu. Karyamu selalu bagus, kok. Tapi mengertilah, kami sedang dalam kesulitan keuangan. Kami memutuskan untuk sementara memproduksi novel-novel remaja yang bertemakan kisah cinta yang lebih laris di pasaran. Mungkin suatu saat kami akan menerbitkan novelmu, harap bersabarlah. Ditunggu saja ya, pasti akan datang kesempatan.” demikian suara lelaki di ujung telepon yang terdengar agak kurang sabar itu.
“Iya kok, pak. Saya mengerti, terima kasih lho sebelumnya atas perhatian Bapak. Assalamualaikum,” terdengar suara perempuan merdu namun terasa memelas.
Pembicaraan telepon pun terputus. Farah Wulandari kini hanya bisa termenung memandangi taman belakang rumahnya yang sederhana. Sudah beberapa bulan ini novel-novel karyanya tidak ada yang diterima oleh penerbit. Macam-macam saja alasan yang dikemukakan penerbit, tapi ia sadar kalau ia harus tetap sabar dan tidak boleh bahkan tak ada gunanya untuk memaksakan kehendaknya.
Farah adalah sosok seorang akhwat pendiam dengan sebuah kacamata minus tergantung di atas hidungnya. Di usianya yang menginjak 24 tahun, Farah tampak lebih dewasa, baik dari segi fisik maupun mental. Ia tumbuh menjadi seorang wanita yang berdedikasi dan penuh semangat. Sebenarnya ia memiliki wajah yang begitu mempesona, mirip sekali dengan kakaknya yang sudah dinikahi Ustadz Mamat. Hidungnya begitu bangir mancung, pipinya ranum, bibirnya merah merona, kulitnya putih mulus dan terawat, rambutnya yang panjang hingga punggung selalu tertutup jilbab panjang dan jubah. Akibat wajahnya yang cantik serta sifatnya yang anggun, tenang dan tampak begitu alim, banyak ikhwan-ikhwan pengajian yang jatuh hati padanya. Namun semuanya ia tolak karena ia berniat ingin membahagiakan orang tuanya terlebih dahulu sebelum memasuki pernikahan.
“Siapa itu tadi yang bicara di telepon, Farah, apakah ada urusan penting?” suara lembut Siti Nurhana, ibundanya, membangunkan Farah dari lamunannya.
“Hmm, dari penerbit, ummi. Katanya novel Farah belum bisa masuk cetak,” jawab Farah disertai dengan helaan nafas lembut dan cukup panjang.
“Ya sudah sabar saja, nanti juga kalau sudah jalannya kamu pasti dapat. Ummi mau ke rumah sakit dulu ya, nemenin Abi. Kamu nggak apa-apa kan ditinggal sendiri?” demikian lanjut Siti Nurhana sambil berkemas-kemas untuk berangkat.
“Nggak apa-apa koq, ummi, salam dari Farah yah sama Abi, semoga lekas sembuh dan dapat pulang kembali ke rumah,” sahut Farah sambil masuk ke kamar.
Kini tinggallah Farah sendirian di rumah. Sudah sekitar lima bulan Pak Arief Ubaidillah terbaring di rumah sakit setelah terkena stroke. Selama itu pula ayah empat putri itu tidak sadarkan diri di bangsal rumah sakit dan tidak bisa memenuhi kebutuhan nafkah rumah tangga. Dan kini Farah sedang bingung harus kemana ia mencari uang untuk membayar hutang-hutang yang telah menumpuk akibat memenuhi biaya berobat ayahnya. Di rumah hanya ada Farah dan Asma, yang masih SMA, dan ibundanya. Farah pun sadar ia tak bisa meminta Nurul yang sedang kuliah di Jakarta untuk membantu, karena ia kuliah gratis dengan beasiswa yang diterimanya. Posisi Aida yang telah berkeluarga seharusnya bisa membantu, namun apa mau dikata, kondisi keuangan rumah tangga Ustadz Mamat pun tak begitu baik.
Farah sadar, hanya ia satu-satunya yang mampu mengatasi keadaan keuangan yang sama sekali tidak menggembirakan itu.
Ketika ayahnya mulai masuk rumah sakit 5 bulan yang lalu, untuk menalangi biaya rumah sakit, Farah sekeluarga terpaksa meminjam uang pada Mang Burhan, seorang rentenir kelas kakap di kampung tersebut. Walaupun bunga yang ia ajukan terlalu tinggi, namun hanya Mang Burhan-lah pada waktu itu yang siap dan mampu menyediakan uang dalam jumlah besar untuk biaya operasi ayah Farah.
Namun masalahnya batas waktu pengembalian uang tersebut hanya tinggal dua hari lagi. Oleh sebab itu Farah merasa begitu kecewa setelah tak ada satupun penerbit yang mau menerbitkan novel karyanya. Uang hasil jualan kue Farah dan ibunya pun hanya cukup memenuhi makan mereka sehari-hari, bagaimana dapat untuk membayar hutang. Berbagai macam pikiran memenuhi otak Farah sehingga membuat akhwat manis itu tampak muram. Karena tiada jalan lain ditemukan, ia pun bertekad untuk menemui Mang Burhan dan bernegosiasi dengannya. Ia akan bersedia bekerja melakukan apa saja demi menunjang keluarga yang dicintainya.
***
Sebagai rentenir kelas kakap di daerah kampung situ juga, pak Burhan sangat disegani karena tabiatnya yang keras dan penampilan yang terlihat cukup menyeramkan. Wajahnya hampir tidak pernah menunjukkan keramah-tamahan, jarang sekali tersenyum apalagi tertawa. Matanya selalu menatap setiap orang yang diajak bicara dengan sangat tajam seolah ingin menembus benak pikiran lawan bicaranya. Disamping itu lirikannya selalu menampilkan kesan kejam dan bahkan tersembunyi kesan sadis, terutama jika menghadapi langganan yang mempunyai hutang padanya namun belum mampu membayar kembali karena bunga yang diajukannya memang amat tinggi.
Pakaiannya terlihat cukup rapih menutupi tubuhnya yang tegap dan dibalik pakaian itu tersembunyi banyak bekas luka, karena Burhan di masa muda sangat galak sering berkelahi. Bahkan ada periode dimasa mudanya Burhan hilang lenyap dari desa kelahirannya, tak satupun yang tahu dimana dan apa yang dilakukannya. Hanya Burhan sendiri yang menyimpan rahasia itu : ia merantau sebagai anak kapal di negara jiran, dimana di samping bekerja di sebuah perkebunan, ia juga memasuki kelompok penyamun yang di malam hari merampok penduduk, terutama orang tua yang tinggal seorang diri dan janda kembang yang baru ditinggalkan suami. Bukan hanya harta yang dijadikan sasaran perampokannya, namun tak ada satupun janda kembang yang lolos dari perlecehan dan perkosaannya.
Setelah Burhan berhasil meloloskan diri dari kejaran polisi yang memburunya bertahun-tahun, akhirnya ia memutuskan untuk menghilang lagi tanpa meninggalkan jejak dan muncul kembali sebagai rentenir. Tempat bermukimnya sekarang berada di pulau Jawa, sedangkan Burhan sebenarnya berasal dari pedalaman Sulawesi. Tak heran jika semua orang di kampung dan sekelilingnya tak mengetahui asal usul latar belakang Burhan.
Setahun setelah bermukim di desa ini, Burhan menikah dengan seorang janda kembang. Namun ketika melahirkan anak mereka yang pertama, terjadi komplikasi yang tak terduga sehingga keduanya meninggal. Sejak saat itu Burhan belum lagi menikah, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa jika ada langganan yang belum atau tak mampu membayar hutang kepadanya, maka Burhan selalu bersedia memberikan ‘keringanan’ dan menunda pembayaran berdasarkan ‘syarat tertentu’. Burhan akan bermurah hati jika yang datang memohon penundaan bayaran hutang itu bukan si lelaki kepala keluarga, melainkan sang istri atau anak perempuan mereka.
Semakin cantik sang istri langganannya yang memohon, maka semakin senang hati rentenir cabul ini–apalagi yang datang menggantikan permohonan si kepala keluarga adalah anak perempuan yang baru meningkat dewasa berusia belasan belum memasuki dua puluhan. Selera Burhan terhadap wanita tidak pandang bulu : entah perempuan biasa dengan gaya hidup bebas maupun yang alim shalihah berjilbab atau bahkan memakai cadar, semua dimana ada kemungkinan dan kesempatan akan dijerat dan dijadikan mangsanya. Jika belum ada lagi mangsa yang dijeratnya maka Burhan memuaskan nafsu birahinya yang besar terhadap istri-istri tetangganya, terutama yang tak cukup dipuasi oleh suami sendiri, entah karena telah uzur atau ditinggal tugas terlalu lama.
Sebagai bahan ‘jajanan’ extra, maka Burhan juga sering melecehkan pembantu rumahnya yang memang janda kembang dan cukup manis bernama Marwati atau sering disebut Wati. Karena selalu diberikan bayaran ekstra jauh melebihi pendapatan seorang pembantu, maka Wati dengan senang hati menjadi kaki tangan Burhan untuk membantu menaklukkan calon mangsanya!
Telah hampir setengah jam lamanya Farah duduk di ruang tamu menantikan kedatangan sang tuan rumah, pak Burhan yang diharapkan Farah akan bersedia untuk mendengarkan kesulitan yang sedang dihadapi oleh keluarganya. Farah telah merancang kalimat-kalimat paling bagus dan paling sopan dalam negosiasi dengan rentenir kakap di desa itu.
Kalimat-kalimat yang dipertimbangkan oleh Farah akan menggugah hati pak Burhan, terutama jika mendengar bahwa ayahnya sakit dan masih membutuhkan biaya perawatan tak sedikit, sedangkan pemasukan berupa buku agama yang dikarangnya belum lagi diterima dan dipublikasikan oleh para penerbit. Demikian pula hasil jualan ibundanya hanya pas-pasan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, sementara tulisan ustadz Mamat masih belum tahu apakah akan berhasil dijual memasuki bulan puasa ini.
Sedemikian naif-nya jalan fikiran Farah yang masih membayangkan semua orang sejujur dan sepenuh hati untuk menolong sesamanya, padahal pak Burhan bersedia menerima kedatangannya di hari itu karena mempunyai maksud lain, ada udang di balik batu yang akan menjebaknya memasuki sebuah dunia lain : dunia gelap terselubung kabut tebal dan juga lumpur mengambang menanti mangsa yang jatuh tergelincir, yang akan sukar membebaskan diri lagi dari tarikannya yang semakin dalam.
Akhirnya pintu pemisah ruang tamu dengan ruang bagian dalam rumah pak Burhan kembali dibuka, namun yang muncul bukanlah pak Burhan sendiri melainkan wanita usia pertengahan tiga puluhan yang tadi membukakan pintu masuk ketika Farah baru saja datang, seorang wanita yang masih cukup cantik dalam usianya itu, terutama disebabkan dandanan yang cukup menor.
”Pak Burhan sedang kurang enak badan, jadi beliau mohon maaf tak dapat menerima adik,” demikian ujar si wanita yang tadi memperkenalkan dirinya dengan nama Wati dan mengaku bahwa ia di rumah itu hanyalah seorang pembantu.
Farah menjadi semakin putus asa mendengar harapan kedatangannya akan sia-sia, oleh karena itu ia berusaha menekan perasaannya dan bertanya, “Sakit apa pak Burhan? Apakah mbak Wati dapat menolong memberitahukan bahwa kedatangan saya karena ada urusan penting yang tak dapat ditunda. Apakah ada kemungkinan lain untuk bertemu pak Burhan, misalnya jika beliau sedang tidur, saya bersedia menunggu,”
Di dalam kegelisahannya itu, Farah tak sempat memperhatikan sedikit perubahan di wajah licik Wati yang memang telah bersepakat dengan pak Burhan untuk menjebak mangsanya. Ujung bibir Wati menyembunyikan senyum ibarat seringai mulut buaya yang telah melihat mangsanya.
“Kalau begitu mari kita lihat bersama ke dalam, mungkin pak Burhan sudah bangun. Tadi beliau telah berpesan agar tak membangunkannya karena badannya terasa agak menggigil, tapi siapa tahu untuk mbak Farah beliau bersedia membuat perkecualian,”
Demikian pancingan Wati yang sebenarnya tak sukar untuk diduga apa maksudnya. Namun Farah yang sedang bingung memikirkan bagaimana nasib keluarganya tak berpikir panjang, hanya kepentingan keluarganya yang menjadi masalah dibenaknya saat itu.
“Kalau begitu baiklah, saya bersedia bersama ibu masuk ke dalam. Tolong ibu sampaikan bahwa saya selalu membawa balsem dan minyak kayu putih, mungkin beliau mau pakai dan siapa tahu akan sedikit meringankan sakitnya saat ini,” demikian Farah yang selalu bermanis budi.
Wati mengangguk dan lalu masuk ke dalam diikuti oleh Farah yang berusaha menabahkan hatinya.
Setelah melewati hijab pemisah ruang tamu dan ruang dalam rumah, Farah merasakan ada bisikan yang memperingatkannya agar sebaiknya balik lagi dan meninggalkan ruangan, bahkan lebih baik lagi meninggalkan tempat itu secepatnya. Namun bisikan peringatan itu sangat terlambat karena pada saat Farah ingin memutar balik diri ke ruang tamu, dirasakannya sepasang tangan yang sangat kuat dan berbulu lebat membekap mulutnya sehingga tak dapat menjerit, sedangkan satu tangan lagi menelikung kedua tangannya ke punggung dan dipelintir keras ke atas hingga terasa sangat sakit.
Akibatnya Farah menghentikan rontaannya dan kini merasakan tubuhnya disérét ke arah bagian dalam rumah itu menjauhi hijab pemisah yang tadi dilewatinya. Kekasaran lengan dan tangan yang menelikungnya menyebabkan Farah sadar bahwa yang membekapnya pasti seorang lelaki, apalagi ketika tercium bau rokok dari dengusan nafas di samping telinganya.
“Hmmpf.. l-lepaskaan! Emmpfh.. nggak m-mau! J-jangan!” Farah berusaha menjerit ketika merasakan tubuhnya kini diseret memasuki sebuah ruangan yang hanya diterangi lampu samar-samar, namun terlihat ada ranjang cukup besar dan di sudut ada lemari pakaian.
“Sssh.. jangan berontak. Percuma saja, anak manis. Bapak sudah lama dengar nama putri Ustadz Arief Ubaidillah yang pandai mengarang buku. Bapak hanya mau mesra-mesraan dengan gadis shalihah dan nanti kamu bisa ceritakan di buku kamu pengalaman dengan bapak dalam beberapa jam ini,”
Demikian suara pak Burhan yang berat dan serak disertai dengan dengusan nafasnya yang menggelitik telinga Farah. Dengan sengaja pak Burhan menghembuskan nafas panasnya ke telinga gadis itu sambil disusul dengan jilatan lidah hangatnya menyapu liang telinga Farah sehingga sang gadis jadi semakin meronta-ronta kegelian.
Tanpa berdaya untuk melawan, Farah terus didorong ke arah ranjang dan dihempaskan dalam posisi tengkurap, kemudian langsung dibalikkan sehingga telentang dengan kedua tungkainya masih tergantung di luar kasur. Farah berusaha segera bangun, namun pak Burhan yang agak gemuk dan berat sekali badannya langsung menindihnya sehingga gadis alim ini jadi tak mampu melawan.
Pak Burhan memang sangat senang menggagahi wanita alim shalihah, tapi berusaha selalu untuk membiarkan jilbab tetap selalu menutupi rambut korbannya. Mungkin itu obsesinya bahwa ia selalu bangga menaklukkan wanita alim yang di awal menolak keinginan hewaniahnya namun akhirnya akan dikalahkan keperkasaannya meskipun tetap memakai lambang ‘kesucian dan kemurnian’, yaitu jilbab yang menutupi kepala. Di dunia kriminalitas di pelbagai negara dengan mayoritas wanita berjilbab, fenomena ini bukan hal aneh, melainkan justru sering terjadi!
Farah mulai menangis terisak-isak menyesali kebodohannya bahwa ia akan mengalami aib yang sama sekali tak diharapkannya. Bukan seorang suami yang telah menikahinya setelah akad nikah ijab kabul dengan penuh kasih sayang dan pengertian akan merenggut mahkota kegadisan yang selalu dijaganya dengan penuh kesalehan. Harta tertinggi yang dimiliknya sebagai wanita muslim sebentar lagi direbut paksa oleh rentenier kelas kakap yang diharap untuk menolongnya.
Rasa ketidakberdayaan Farah semakin menjadi-jadi ketika dirasakannya ada sepasang tangan lain yang kini menarik dan merentangkan kedua pergelangan tangannya di atas kepala lalu diikat ke ujung pilar ranjang. Ternyata Wati kini telah ikut membantu majikannya untuk menaklukkan gadis malang itu–dan dengan keadaan Farah yang terentang terikat kedua tangannya di atas kepala, maka semakin mudah bagi pak Burhan untuk melanjutkan niat maksiatnya. Dengan sangat sigap karena ia memang sudah sering melakukan perbuatan tak senonoh ini, pak Burhan melepaskan jubah serta gaun panjang Farah tanpa memperdulikan makian dan rontaan korbannya.
Di balik gaun panjang itu, ternyata Farah masih memakai lapisan semacam daster tipis berwarna merah muda yang juga langsung di tarik ke bawah dan dilepaskan sekaligus dengan kaus kaki panjang berwarna kuning muda agak krem. Wati yang rupanya juga telah sering membantu membantai mangsa majikannya ikut melepaskan kaitan BH Farah sehingga tampaklah kedua gunung buah dada yang sedemikian montok dan putih dengan kulit halus licin sehingga seekor semut pun akan tergelincir jika berusaha mendaki gunung daging tersebut. Di tengah kedua buah dada sekal montok itu, mencuatlah puting yang berwarna merah muda kecoklatan, menjulang ke atas bagaikan menantang dan mengundang setiap tangan lelaki untuk menjamah dan mengelus-ngelusnya.
Semakin Farah meliuk-liukkan dan menggeliatkan tubuhnya, maka semakin terlihat goncangan-goncangan kedua gunung itu, menyebabkan pak Burhan menelan ludahnya beberapa kali dan matanya semakin beringas menatap. Dengan penuh rasa gemas dan sadis, pak Burhan meremas bergantian kedua buah dada putih mulus itu. Diciuminya dengan rakus, dicupanginya ketiak Farah serta bukit susu kebanggaannya itu, kemudian dicaploknya kedua puting yang begitu peka, lalu dipilin dan digigitinya serta dihisap-hisapnya bagaikan bayi kehausan yang ingin menyedot susu segar langsung dari sumbernya.
Setelah melepaskan BH Farah, maka Wati membantu pak Burhan untuk memegang kedua pergerangan kaki Farah yang masih berontak menendang kesana-sini. Dengan dipegangi kedua pergelangan kakinya oleh dua orang, maka dengan mudah pak Burhan kini menarik celana dalam Farah yang berwarna biru muda dan lalu membuangnya begitu saja ke lantai–sehingga gadis malang itu sempurna telanjang bulat, terkecuali jilbabnya.
Sementara Wati sekuat tenaga memegang kedua pergelangan kaki Farah, maka pak Burhan berdiri dan dengan cepat melepaskan semua pakaiannya sehingga terlihatlah tubuhnya yang agak gemuk, hitam legam dan masih cukup kekar berotot meskipun telah memasuki usia lima puluhan.
Farah memalingkan mukanya ke samping sambil menangis terisak-isak karena merasa sangat malu dengan keadaannya yang telanjang bulat di hadapan mata lelaki asing. Seumur hidupnya Farah tak pernah membayangkan akan ada lelaki yang bugil di hadapannya terkecuali suami sendiri yang akan menagih haknya di malam kemantin. Namun yang terjadi saat ini adalah lelaki asing yang bukan suami, bahkan berusia jauh lebih tua, sambil tersenyum cabul penuh nafsu iblis tanpa ada rasa segan sedikitpun memperlihatkan batang kemaluannya. Farah hanya tahu bentuk penis lelaki dari keponakannya yang memang masih kecil ketika dibantunya mandi, tak pernah ia melihat penis orang dewasa, apalagi yang telah mulai menegang mengacung ke atas.
“Ayo lihat nih senjata ampuh bapak, udah enggak sabar lagi pengen ngerasain masuk ke mĂ©mĂ©k bageur asli.. pasti mĂ©mĂ©k nduk belon pernah ngerasain alat paculan lelaki ya, mmh.. mĂ©mĂ©k gadis alim shalihah lagi, gimana rasanya ya?” pak Burhan kini berlutut disamping kepala gadis Farah yang melĂ©ngos itu.
Dicekalnya kepala dengan rambut ikal bergelombang namun masih terlindung jilbab itu, dan dengan sangat kasar dipencétnya hidung bangir Farah sehingga gadis itu langsung megap-megap mencari udara karena tak bisa bernafas. Setelah meronta-ronta dua menit tanpa berdaya memperoleh oksigen, maka Farah terpaksa bernafas melalui mulutnya, namun hanya dibukanya sedikit. Pak Burhan yang melihat hal itu, kembali muncul senyum iblisnya karena ia tahu bagaimana mengatasi pertahanan gadis yang masih malu dan murni ini. Satu tangannya yang berjari-jari kasar, dengan brutal meremas bukit kembar dada Farah sebelum kemudian ibu jari serta telunjuknya menjepit dan menarik puting susu kanan korbannya.
Perlakuan sadis semacam ini tak pernah diduga sama sekali oleh Farah sehingga iapun tanpa sadar menjerit kesakitan dan membuka mulutnya, “Auw!! S-sakit.. auuw.. ughh.. uhh.. emmpfh!!” jeritan Farah hanya bergema beberapa detik karena mulutnya yang terbuka itu langsung disumbat dijejali oleh kemaluan pak Burhan yang terasa beraroma memuakkan.
“Ayo, neng manis. Buka mulutnya dong yang lebar, cobain nih singkong bapak.. jangan kaget, neng, ntar makin lama makin gede.. iya gitu, siip banget gadis Parahiangan begeur teuing.. bapak ajarin jadi juara ngisep, bapak mau masukin lebih dalem lagi ya!” pak Burhan tanpa kasihan mendorong penisnya lebih dalam sambil menatap air mata yang mengalir di kedua pipi Farah yang halus itu.
“Aaah.. anget bener nih mulut! Emang pinter si neng, punya bakat alami bisa nyepong kontol.. iyah, teruus.. kulum, jilat, awas jangan digigit.. nih barang mahal, ntar lagi neng rasain dijebol ama lembing.. aaah!!”
Bagaikan kesurupan, pak Burhan merem melek merasakan kehalusan dan lembutnya bagian dalam mulut dan lidah Farah.
Dengan penuh nafsu pak Burhan kini memaju-mundurkan pinggulnya sehingga rudal dagingnya menggesek langit-langit mulut Farah. Beberapa kali pak Burhan memaksakan penisnya menusuk lebih dalam, namun karena memang terlalu besar dan panjang, maka hanya setengah saja yang dapat masuk dan telah menyentuh pintu gerbang awal tenggorokan Farah, menyebabkannya si gadis terbatuk-batuk dan ingin memuntahkan barang menjijikkan yang tengah merajahi mulutnya. Tapi tekanan tangan pak Burhan di kepalanya terlalu kuat sehingga kemaluan lelaki itu tetap saja bertahta dan berjaya di mulutnya, mengakibatkan rasa ingin muntah yang semakin menyiksa Farah.
Di dalam kegelisahannya itu, Farah tak sempat memperhatikan sedikit perubahan di wajah licik Wati yang memang telah bersepakat dengan pak Burhan untuk menjebak mangsanya. Ujung bibir Wati menyembunyikan senyum ibarat seringai mulut buaya yang telah melihat mangsanya.
“Kalau begitu mari kita lihat bersama ke dalam, mungkin pak Burhan sudah bangun. Tadi beliau telah berpesan agar tak membangunkannya karena badannya terasa agak menggigil, tapi siapa tahu untuk mbak Farah beliau bersedia membuat perkecualian,”
Demikian pancingan Wati yang sebenarnya tak sukar untuk diduga apa maksudnya. Namun Farah yang sedang bingung memikirkan bagaimana nasib keluarganya tak berpikir panjang, hanya kepentingan keluarganya yang menjadi masalah dibenaknya saat itu.
“Kalau begitu baiklah, saya bersedia bersama ibu masuk ke dalam. Tolong ibu sampaikan bahwa saya selalu membawa balsem dan minyak kayu putih, mungkin beliau mau pakai dan siapa tahu akan sedikit meringankan sakitnya saat ini,” demikian Farah yang selalu bermanis budi.
Wati mengangguk dan lalu masuk ke dalam diikuti oleh Farah yang berusaha menabahkan hatinya.
Setelah melewati hijab pemisah ruang tamu dan ruang dalam rumah, Farah merasakan ada bisikan yang memperingatkannya agar sebaiknya balik lagi dan meninggalkan ruangan, bahkan lebih baik lagi meninggalkan tempat itu secepatnya. Namun bisikan peringatan itu sangat terlambat karena pada saat Farah ingin memutar balik diri ke ruang tamu, dirasakannya sepasang tangan yang sangat kuat dan berbulu lebat membekap mulutnya sehingga tak dapat menjerit, sedangkan satu tangan lagi menelikung kedua tangannya ke punggung dan dipelintir keras ke atas hingga terasa sangat sakit.
Akibatnya Farah menghentikan rontaannya dan kini merasakan tubuhnya disérét ke arah bagian dalam rumah itu menjauhi hijab pemisah yang tadi dilewatinya. Kekasaran lengan dan tangan yang menelikungnya menyebabkan Farah sadar bahwa yang membekapnya pasti seorang lelaki, apalagi ketika tercium bau rokok dari dengusan nafas di samping telinganya.
“Hmmpf.. l-lepaskaan! Emmpfh.. nggak m-mau! J-jangan!” Farah berusaha menjerit ketika merasakan tubuhnya kini diseret memasuki sebuah ruangan yang hanya diterangi lampu samar-samar, namun terlihat ada ranjang cukup besar dan di sudut ada lemari pakaian.
“Sssh.. jangan berontak. Percuma saja, anak manis. Bapak sudah lama dengar nama putri Ustadz Arief Ubaidillah yang pandai mengarang buku. Bapak hanya mau mesra-mesraan dengan gadis shalihah dan nanti kamu bisa ceritakan di buku kamu pengalaman dengan bapak dalam beberapa jam ini,”
Demikian suara pak Burhan yang berat dan serak disertai dengan dengusan nafasnya yang menggelitik telinga Farah. Dengan sengaja pak Burhan menghembuskan nafas panasnya ke telinga gadis itu sambil disusul dengan jilatan lidah hangatnya menyapu liang telinga Farah sehingga sang gadis jadi semakin meronta-ronta kegelian.
Tanpa berdaya untuk melawan, Farah terus didorong ke arah ranjang dan dihempaskan dalam posisi tengkurap, kemudian langsung dibalikkan sehingga telentang dengan kedua tungkainya masih tergantung di luar kasur. Farah berusaha segera bangun, namun pak Burhan yang agak gemuk dan berat sekali badannya langsung menindihnya sehingga gadis alim ini jadi tak mampu melawan.
Pak Burhan memang sangat senang menggagahi wanita alim shalihah, tapi berusaha selalu untuk membiarkan jilbab tetap selalu menutupi rambut korbannya. Mungkin itu obsesinya bahwa ia selalu bangga menaklukkan wanita alim yang di awal menolak keinginan hewaniahnya namun akhirnya akan dikalahkan keperkasaannya meskipun tetap memakai lambang ‘kesucian dan kemurnian’, yaitu jilbab yang menutupi kepala. Di dunia kriminalitas di pelbagai negara dengan mayoritas wanita berjilbab, fenomena ini bukan hal aneh, melainkan justru sering terjadi!
Farah mulai menangis terisak-isak menyesali kebodohannya bahwa ia akan mengalami aib yang sama sekali tak diharapkannya. Bukan seorang suami yang telah menikahinya setelah akad nikah ijab kabul dengan penuh kasih sayang dan pengertian akan merenggut mahkota kegadisan yang selalu dijaganya dengan penuh kesalehan. Harta tertinggi yang dimiliknya sebagai wanita muslim sebentar lagi direbut paksa oleh rentenier kelas kakap yang diharap untuk menolongnya.
Rasa ketidakberdayaan Farah semakin menjadi-jadi ketika dirasakannya ada sepasang tangan lain yang kini menarik dan merentangkan kedua pergelangan tangannya di atas kepala lalu diikat ke ujung pilar ranjang. Ternyata Wati kini telah ikut membantu majikannya untuk menaklukkan gadis malang itu–dan dengan keadaan Farah yang terentang terikat kedua tangannya di atas kepala, maka semakin mudah bagi pak Burhan untuk melanjutkan niat maksiatnya. Dengan sangat sigap karena ia memang sudah sering melakukan perbuatan tak senonoh ini, pak Burhan melepaskan jubah serta gaun panjang Farah tanpa memperdulikan makian dan rontaan korbannya.
Di balik gaun panjang itu, ternyata Farah masih memakai lapisan semacam daster tipis berwarna merah muda yang juga langsung di tarik ke bawah dan dilepaskan sekaligus dengan kaus kaki panjang berwarna kuning muda agak krem. Wati yang rupanya juga telah sering membantu membantai mangsa majikannya ikut melepaskan kaitan BH Farah sehingga tampaklah kedua gunung buah dada yang sedemikian montok dan putih dengan kulit halus licin sehingga seekor semut pun akan tergelincir jika berusaha mendaki gunung daging tersebut. Di tengah kedua buah dada sekal montok itu, mencuatlah puting yang berwarna merah muda kecoklatan, menjulang ke atas bagaikan menantang dan mengundang setiap tangan lelaki untuk menjamah dan mengelus-ngelusnya.
Semakin Farah meliuk-liukkan dan menggeliatkan tubuhnya, maka semakin terlihat goncangan-goncangan kedua gunung itu, menyebabkan pak Burhan menelan ludahnya beberapa kali dan matanya semakin beringas menatap. Dengan penuh rasa gemas dan sadis, pak Burhan meremas bergantian kedua buah dada putih mulus itu. Diciuminya dengan rakus, dicupanginya ketiak Farah serta bukit susu kebanggaannya itu, kemudian dicaploknya kedua puting yang begitu peka, lalu dipilin dan digigitinya serta dihisap-hisapnya bagaikan bayi kehausan yang ingin menyedot susu segar langsung dari sumbernya.
Setelah melepaskan BH Farah, maka Wati membantu pak Burhan untuk memegang kedua pergerangan kaki Farah yang masih berontak menendang kesana-sini. Dengan dipegangi kedua pergelangan kakinya oleh dua orang, maka dengan mudah pak Burhan kini menarik celana dalam Farah yang berwarna biru muda dan lalu membuangnya begitu saja ke lantai–sehingga gadis malang itu sempurna telanjang bulat, terkecuali jilbabnya.
Sementara Wati sekuat tenaga memegang kedua pergelangan kaki Farah, maka pak Burhan berdiri dan dengan cepat melepaskan semua pakaiannya sehingga terlihatlah tubuhnya yang agak gemuk, hitam legam dan masih cukup kekar berotot meskipun telah memasuki usia lima puluhan.
Farah memalingkan mukanya ke samping sambil menangis terisak-isak karena merasa sangat malu dengan keadaannya yang telanjang bulat di hadapan mata lelaki asing. Seumur hidupnya Farah tak pernah membayangkan akan ada lelaki yang bugil di hadapannya terkecuali suami sendiri yang akan menagih haknya di malam kemantin. Namun yang terjadi saat ini adalah lelaki asing yang bukan suami, bahkan berusia jauh lebih tua, sambil tersenyum cabul penuh nafsu iblis tanpa ada rasa segan sedikitpun memperlihatkan batang kemaluannya. Farah hanya tahu bentuk penis lelaki dari keponakannya yang memang masih kecil ketika dibantunya mandi, tak pernah ia melihat penis orang dewasa, apalagi yang telah mulai menegang mengacung ke atas.
“Ayo lihat nih senjata ampuh bapak, udah enggak sabar lagi pengen ngerasain masuk ke mĂ©mĂ©k bageur asli.. pasti mĂ©mĂ©k nduk belon pernah ngerasain alat paculan lelaki ya, mmh.. mĂ©mĂ©k gadis alim shalihah lagi, gimana rasanya ya?” pak Burhan kini berlutut disamping kepala gadis Farah yang melĂ©ngos itu.
Dicekalnya kepala dengan rambut ikal bergelombang namun masih terlindung jilbab itu, dan dengan sangat kasar dipencétnya hidung bangir Farah sehingga gadis itu langsung megap-megap mencari udara karena tak bisa bernafas. Setelah meronta-ronta dua menit tanpa berdaya memperoleh oksigen, maka Farah terpaksa bernafas melalui mulutnya, namun hanya dibukanya sedikit. Pak Burhan yang melihat hal itu, kembali muncul senyum iblisnya karena ia tahu bagaimana mengatasi pertahanan gadis yang masih malu dan murni ini. Satu tangannya yang berjari-jari kasar, dengan brutal meremas bukit kembar dada Farah sebelum kemudian ibu jari serta telunjuknya menjepit dan menarik puting susu kanan korbannya.
Perlakuan sadis semacam ini tak pernah diduga sama sekali oleh Farah sehingga iapun tanpa sadar menjerit kesakitan dan membuka mulutnya, “Auw!! S-sakit.. auuw.. ughh.. uhh.. emmpfh!!” jeritan Farah hanya bergema beberapa detik karena mulutnya yang terbuka itu langsung disumbat dijejali oleh kemaluan pak Burhan yang terasa beraroma memuakkan.
“Ayo, neng manis. Buka mulutnya dong yang lebar, cobain nih singkong bapak.. jangan kaget, neng, ntar makin lama makin gede.. iya gitu, siip banget gadis Parahiangan begeur teuing.. bapak ajarin jadi juara ngisep, bapak mau masukin lebih dalem lagi ya!” pak Burhan tanpa kasihan mendorong penisnya lebih dalam sambil menatap air mata yang mengalir di kedua pipi Farah yang halus itu.
“Aaah.. anget bener nih mulut! Emang pinter si neng, punya bakat alami bisa nyepong kontol.. iyah, teruus.. kulum, jilat, awas jangan digigit.. nih barang mahal, ntar lagi neng rasain dijebol ama lembing.. aaah!!”
Bagaikan kesurupan, pak Burhan merem melek merasakan kehalusan dan lembutnya bagian dalam mulut dan lidah Farah.
Dengan penuh nafsu pak Burhan kini memaju-mundurkan pinggulnya sehingga rudal dagingnya menggesek langit-langit mulut Farah. Beberapa kali pak Burhan memaksakan penisnya menusuk lebih dalam, namun karena memang terlalu besar dan panjang, maka hanya setengah saja yang dapat masuk dan telah menyentuh pintu gerbang awal tenggorokan Farah, menyebabkannya si gadis terbatuk-batuk dan ingin memuntahkan barang menjijikkan yang tengah merajahi mulutnya. Tapi tekanan tangan pak Burhan di kepalanya terlalu kuat sehingga kemaluan lelaki itu tetap saja bertahta dan berjaya di mulutnya, mengakibatkan rasa ingin muntah yang semakin menyiksa Farah.
Sementara itu Wati telah berhasil merentangkan kedua paha Farah dan kedua pergelangannya yang langsing kini diikat pula di ujung-ujung ranjang, menyebabkan tubuh bugil Farah membentuk huruf X dan tak sanggup lagi untuk melawan atau memberontak sedikitpun. Setelah melaksanakan tugasnya itu, Wati tersenyum dengan penuh arti kepada pak Burhan dan meninggalkan kamar.
Melihat mangsanya kini terikat kaki tangannya ke ujung-ujung ranjang tak mampu melawan, maka pak Burhan merasa sangat puas dan segera melaksanakan langkah berikutnya. Sambil tak henti-hentinya meremas buah dada montok kesenangannya itu, pak Burhan berbisik ke telinga Farah, “Neng Farah pasti belum pernah senam olahraga di ranjang dengan lelaki kan? Nah, sekarang udah waktunya belajar dari bapak, hehehe.. Neng Farah kebetulan lagi subur nggak, mau nggak punya anak dari bapak? Pasti cakep lah kaya neng.. bapak gali liang kegadisannya ya, hehehe..”
Tentu saja mendengar komentar cabul itu menyebabkan Farah sangat ketakutan, bukan hanya takut karena ia tahu bahwa selain sudah nasibnya sebentar lagi akan diperkosa habis-habisan oleh pak Burhan, namun bagaimana kalau sampai terjadi apa yang dikatakan oleh lelaki itu bahwa ia akan hamil? Farah mengingat-ingat bahwa memang benar dirinya sedang berada di masa subur sehingga kemungkinan ia akan hamil besar sekali.
Sekuat tenaga Farah memberontak dan berhasil melepaskan wajahnya dari cengkeraman tangan pak Burhan dan ia langsung meratap tersedu-sedu, “Tolong, pak Burhan, kasihani saya.. saya masih gadis, jangan dihamili, pak.. tolong jangan berikan aib kepada saya, lepaskanlah saya.. saya tak akan lapor kepada siapapun dan kemanapun.. tolong, pak, jangan perkosa saya, jangan hamili saya..”
Senyuman iblis kembali muncul di wajah pak Burhan mendengar ratapan korbannya itu, karena tentu saja dia pun tak mau langsung mendapat beban bayi yang harus ditanggung-jawabkan. Pak Burhan ingin mengambil kegadisan Farah namun sebaiknya jangan dihamili dulu saat ini.
“Hehehe, neng takut hamil ya? Emmh.. kalau gitu bapak akan sumbangkan benih bapak yang mahal ini sementara di tempat yang kurang subur, tapi neng harus ikut kemauan bapak ya!”
Farah tak langsung mengerti apa maksud kata-kata dan kalimat terakhir itu, juga sampai saat pak Burhan berubah menelungkup di atas tubuhnya sedemikian rupa sehingga selangkangan pak Burhan dengan penisnya yang gagah tegak dikhitan kembali berada dihadapan wajahnya. Sebaliknya pun wajah pak Burhan kini tepat berada di atas bukit kemaluannya dan apapun usaha Farah mengatupkan selangkangannya, tetap tak berhasil karena pergelangan kakinya terikat erat ke ujung ranjang, hingga nafas hangat pak Burhan kini terasa menghembus di bukit kewanitaannya yang gundul klimis tercukur rapih. Farah meronta-ronta bagaikan orang sekarat ketika dirasakannya jari tangan pak Burhan mulai mengusap-usap bibir luar kelaminnya.
“Ayolah, neng manis.. hisap, sepong dan kulum lagi barang antik bapak nih biar lama, coba rangsang sampai keluar pejuhnya, coba minumlah habis semuanya.. kalau dah habis diminum kan nggak bisa nyiram dan nanam bibit lagi hari ini, hmm.. tapi bapak juga mau coba gimana rasanya air madu neng, pasti manis kan.. memeknya aja udah wangi begini, hehehe..” celoteh pak Burhan sambil melekatkan bibirnya yang tebal ke bibir kemaluan Farah.
Kini barulah Farah menyadari apa maunya pak Burhan : alat kejantanannya yang kaku tegak dihadapan wajahnya itu harus dikulum dan dihisapnya juga, dan jika sampai berhasil menyembur habis semua spermanya maka kemungkinan besar tak dapat membuahinya lagi.
Selain itu siapa tahu jika sudah ejakulasi dan dihisap habis di dalam mulutnya, maka pak Burhan akan tak dapat ereksi lagi dan hal itu mungkin akan menyelamatkan selaput kagadisannya. Farah harus pilih dari dua kemungkinan yang buruk, namun daripada diperawani dan sampai hamil, maka lebih baik jika mengulum penis yang menjijikkan dan sangat dibencinya itu.
Disertai dengan linangan air mata, Farah membuka bibir mungilnya dan mulai mengulum penis besar berurat-urat yang memancarkan aroma tak menyenangkan, lalu dijilat dan dihisap kepala jamurnya. Tanpa sadar apa yang dilakukan, Farah kini menjilati lubang kencing pak Burhan!
“Hmmh.. sshh.. ahhh.. iya, ohhh.. pinter! Teruus.. bapak juga mulai cicipi air madu di celah memek yang rapet sempit milik neng, oooh.. ntar dibelah ya, neng!” ujar pak Burhan sambil menjulurkan lidahnya menyelusup di celah vagina Farah yang mulai licin pula.
Sangat terkejut dan malu Farah merasakan hembusan nafas panas pak Burhan di permukaan kulit bukit kemaluannya, selanjutnya kumis baplang pak Burhan mulai menggelitik bibir luar memeknya sehingga ia kembali meronta-ronta karena kegelian. Rasa geli itu bahkan terkadang membuat Farah lupa akan ‘tugas’ yang harus dilakukannya. Apalagi ketika dirasakannya lidah nakal pak Burhan mulai menyelinap masuk di celah kegadisannya, dan menyapu-nyapu dinding kiri-kanan, mendorong serta membelah ke atas mencari tujuan utamanya, yaitu daging kecil yang tersembunyi diantara lipatan labia-nya.
Setelah ketemu yang dicarinya itu, maka pak Burhan dengan sengaja menjepit kelentit mungil itu diantara barisan gigi-giginya, kemudian digerakkannya rahangnya ke kiri dan ke kanan. Akibat gerakan rahang pak Burhan ini ternyata sangat luar biasa, Farah merasakan kelentitnya amat ngilu tapi juga geli dan sedikit sakit, sukarlah diuraikan dalam kalimat, sehingga ia hanya bisa menggeliat-geliat.
“Auuh.. iiih.. j-jangan, aiih.. emmpfh.. geli, pak, udah.. hentikan.. auw, emmpfh..” Farah menjerit-jerit dan bagaikan sedang histeris sebelum kemudian mulai mengulum kemaluan pak Burhan, seolah ingin ‘membalas’ perbuatan pemerkosanya.
Sementara itu tentu saja pak Burhan juga meningkatkan usahanya untuk membuat gadis muda yang masih murni dan alim ini menjadi mangsanya yang selalu haus akan seks. Selain kumisnya menggelitik kulit halus Farah, juga digesek-geseknya ke permukaan klitoris bagaikan sapu ijuk yang menusuk-nusuk. Selain itu jari-jari tangannya juga membuka paksa belahan bibir kemaluan Farah yang kemerah-kemerahan itu.
Kini terlihatlah bagian dalam kemaluan gadis itu yang masih tertutup selaput kegadisan tipis, dan juga lubang kencingnya yang kecil amat menggiurkan mata lelaki. Pak Burhan langsung menjadikannya sasaran, lidahnya mengusap dan mendorong-dorong selaput gadis pelindung kemurnian Farah hingga menyebabkan rasa ngilu nyeri agak sakit, sebelum ujung lidah itu menggelitik-gelitik lubang kencing yang membuat pinggul Farah makin bergeser-geser memberontak kegelian.
Tak hanya bergeser ke kiri dan ke kanan, namun Farah tanpa disadari mulai mengangkat pinggulnya sejauh mungkin namun tidak bisa karena kakinya terikat erat, itu seolah-olah menunjukkan kalau Farah sudah ketagihan!
Pak Burhan mengerti semua tanda ini : gadis alim shalihah ini mulai kehilangan rasa harga dirinya, ingin merasakan lebih banyak kenikmatan yang sedang menyiksanya. Selain itu Farah semakin mantap mengulum menyepong menjilat-jilat ujung saluran kencing pak Burhan yang tadi sangat membuatnya jijik, namun kini tak diperdulikan lagi aromanya yang khas kelaki-lakian.
Rentenir kelas kakap ini pun tak luput dari pengaruh mulut dan lidah serta gigi Farah, alat kemaluannya semakin tegang mengeras dan gejolak lahar di dalam biji pelirnya semakin mendekati titik mendidih untuk meluap. Pak Burhan menekan pinggulnya ke wajah Farah menyebabkan gadis malang ini semakin sukar untuk bernaas, masuk masuk masuk semakin dalam dan akhirnya dengan suara geraman bagai hewan terluka, pak Burhan menyemburkan spermanya.
“Ooooh.. aaaah.. iyaa, hisaap.. hisaap.. ayo terus, neng geulis manis, minum semua air mukjizat bapak.. itu bagus untuk obat awet muda, aaah!!” teriaknya.
Surrrr.. surrrr.. jrooot.. jrooot.. surrrr.. air mani pak Burhan dengan aroma khas lelaki menyembur memenuhi rongga mulut Farah, seolah-olah tak akan berhenti hingga menyebabkan Farah hampir tersedak dan terbatuk-batuk.
Namun mengingat dan mengharapkan habisnya lahar panas dari biji pelir pak Burhan akan membuatnya tak mampu lagi ereksi untuk mengoyak selaput tipis kegadisannya saat itu, apalagi sampai menghamilinya, maka Farah berusaha terus menjilat mengulum dan menghisap kepala penis pak Burhan, meskipun lambungnya telah berontak dan rasa mualnya semakin menjadi-jadi menyebabkannya hampir muntah.
Untunglah rasa mualnya terganti dan bahkan terkalahkan oleh rasa gatal, geli dan nikmat di selangkangannya, karena pak Burhan disaat itu menggigit klitorisnya dengan sadis dan sekaligus tanpa diduga menusuk anusnya dengan jari tengahnya yang lebar dan kuku kasar tak terawat agak tajam.
Hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh Farah dan merupakan pemantik melewati batas daya tahannya sebagai gadis masih murni alim dan patuh pada agama. Ledakan orgasme tak dapat ditahan menjalar di seluruh tubuhnya. Bagaikan terkena aliran listrik, tubuh Farah yang demikian langsing semampai kini mengejang-ngejang melawan ikatan tangan dan kakinya. Jari-jari tangannya menutup membuat kepalan tinju, membuka, menutup–demikian pula jari-jari kakinya.
Kepala Farah yang masih setengah tertutup jilbab ikut menengadah, menggeleng ke kiri dan ke kanan, lalu kembali menengadah. Sementara matanya seolah terbalik sehingga hanya terlihat bagian putihnya saja. Cuping hidungnya nan bangir mancung kembang kempis menyertai aliran deras air mata di pipinya sementara bibirnya terbuka lebar.
“Aaah.. aduh, aduduh.. perihh.. keluarin! Maluu.. haram, pak! Aihh.. oooh.. t-tolong, auw.. auw.. auw.. ampun!!” jeritan dan lolongan Farah menggema menimbulkan iba bagi yang mendengar, namun tidak menggerakkan rasa belas kasihan untuk pak Burhan yang sudah kemasukan setan.
Penuh kepuasan ia membaringkan dirinya di samping kanan tubuh Farah yang kejang-kejang terikat, mulutnya kembali menggigit puting buah dada kiri sementara tangan kirinya meremas dan mencubit buah dada kanan Farah. Tanpa memperdulikan Farah yang telah kehabisan tenaga serta lemas dilanda orgasme, tangan kanan pak Burhan tetap menjarah kemaluan mangsanya, dengan jari telunjuk dan ibu jari meraba, mengusap dan menjepit mencubit-cubit kelentit Farah yang masih agak menonjol diantara bibir kemaluannya. Dengan demikian pak Burhan seolah-olah ingin merangsang terus dan mempertahankan agar Farah tiada henti dilanda orgasme yang menyebabkan ia lupa segalanya.
Melihat mangsanya kini terikat kaki tangannya ke ujung-ujung ranjang tak mampu melawan, maka pak Burhan merasa sangat puas dan segera melaksanakan langkah berikutnya. Sambil tak henti-hentinya meremas buah dada montok kesenangannya itu, pak Burhan berbisik ke telinga Farah, “Neng Farah pasti belum pernah senam olahraga di ranjang dengan lelaki kan? Nah, sekarang udah waktunya belajar dari bapak, hehehe.. Neng Farah kebetulan lagi subur nggak, mau nggak punya anak dari bapak? Pasti cakep lah kaya neng.. bapak gali liang kegadisannya ya, hehehe..”
Tentu saja mendengar komentar cabul itu menyebabkan Farah sangat ketakutan, bukan hanya takut karena ia tahu bahwa selain sudah nasibnya sebentar lagi akan diperkosa habis-habisan oleh pak Burhan, namun bagaimana kalau sampai terjadi apa yang dikatakan oleh lelaki itu bahwa ia akan hamil? Farah mengingat-ingat bahwa memang benar dirinya sedang berada di masa subur sehingga kemungkinan ia akan hamil besar sekali.
Sekuat tenaga Farah memberontak dan berhasil melepaskan wajahnya dari cengkeraman tangan pak Burhan dan ia langsung meratap tersedu-sedu, “Tolong, pak Burhan, kasihani saya.. saya masih gadis, jangan dihamili, pak.. tolong jangan berikan aib kepada saya, lepaskanlah saya.. saya tak akan lapor kepada siapapun dan kemanapun.. tolong, pak, jangan perkosa saya, jangan hamili saya..”
Senyuman iblis kembali muncul di wajah pak Burhan mendengar ratapan korbannya itu, karena tentu saja dia pun tak mau langsung mendapat beban bayi yang harus ditanggung-jawabkan. Pak Burhan ingin mengambil kegadisan Farah namun sebaiknya jangan dihamili dulu saat ini.
“Hehehe, neng takut hamil ya? Emmh.. kalau gitu bapak akan sumbangkan benih bapak yang mahal ini sementara di tempat yang kurang subur, tapi neng harus ikut kemauan bapak ya!”
Farah tak langsung mengerti apa maksud kata-kata dan kalimat terakhir itu, juga sampai saat pak Burhan berubah menelungkup di atas tubuhnya sedemikian rupa sehingga selangkangan pak Burhan dengan penisnya yang gagah tegak dikhitan kembali berada dihadapan wajahnya. Sebaliknya pun wajah pak Burhan kini tepat berada di atas bukit kemaluannya dan apapun usaha Farah mengatupkan selangkangannya, tetap tak berhasil karena pergelangan kakinya terikat erat ke ujung ranjang, hingga nafas hangat pak Burhan kini terasa menghembus di bukit kewanitaannya yang gundul klimis tercukur rapih. Farah meronta-ronta bagaikan orang sekarat ketika dirasakannya jari tangan pak Burhan mulai mengusap-usap bibir luar kelaminnya.
“Ayolah, neng manis.. hisap, sepong dan kulum lagi barang antik bapak nih biar lama, coba rangsang sampai keluar pejuhnya, coba minumlah habis semuanya.. kalau dah habis diminum kan nggak bisa nyiram dan nanam bibit lagi hari ini, hmm.. tapi bapak juga mau coba gimana rasanya air madu neng, pasti manis kan.. memeknya aja udah wangi begini, hehehe..” celoteh pak Burhan sambil melekatkan bibirnya yang tebal ke bibir kemaluan Farah.
Kini barulah Farah menyadari apa maunya pak Burhan : alat kejantanannya yang kaku tegak dihadapan wajahnya itu harus dikulum dan dihisapnya juga, dan jika sampai berhasil menyembur habis semua spermanya maka kemungkinan besar tak dapat membuahinya lagi.
Selain itu siapa tahu jika sudah ejakulasi dan dihisap habis di dalam mulutnya, maka pak Burhan akan tak dapat ereksi lagi dan hal itu mungkin akan menyelamatkan selaput kagadisannya. Farah harus pilih dari dua kemungkinan yang buruk, namun daripada diperawani dan sampai hamil, maka lebih baik jika mengulum penis yang menjijikkan dan sangat dibencinya itu.
Disertai dengan linangan air mata, Farah membuka bibir mungilnya dan mulai mengulum penis besar berurat-urat yang memancarkan aroma tak menyenangkan, lalu dijilat dan dihisap kepala jamurnya. Tanpa sadar apa yang dilakukan, Farah kini menjilati lubang kencing pak Burhan!
“Hmmh.. sshh.. ahhh.. iya, ohhh.. pinter! Teruus.. bapak juga mulai cicipi air madu di celah memek yang rapet sempit milik neng, oooh.. ntar dibelah ya, neng!” ujar pak Burhan sambil menjulurkan lidahnya menyelusup di celah vagina Farah yang mulai licin pula.
Sangat terkejut dan malu Farah merasakan hembusan nafas panas pak Burhan di permukaan kulit bukit kemaluannya, selanjutnya kumis baplang pak Burhan mulai menggelitik bibir luar memeknya sehingga ia kembali meronta-ronta karena kegelian. Rasa geli itu bahkan terkadang membuat Farah lupa akan ‘tugas’ yang harus dilakukannya. Apalagi ketika dirasakannya lidah nakal pak Burhan mulai menyelinap masuk di celah kegadisannya, dan menyapu-nyapu dinding kiri-kanan, mendorong serta membelah ke atas mencari tujuan utamanya, yaitu daging kecil yang tersembunyi diantara lipatan labia-nya.
Setelah ketemu yang dicarinya itu, maka pak Burhan dengan sengaja menjepit kelentit mungil itu diantara barisan gigi-giginya, kemudian digerakkannya rahangnya ke kiri dan ke kanan. Akibat gerakan rahang pak Burhan ini ternyata sangat luar biasa, Farah merasakan kelentitnya amat ngilu tapi juga geli dan sedikit sakit, sukarlah diuraikan dalam kalimat, sehingga ia hanya bisa menggeliat-geliat.
“Auuh.. iiih.. j-jangan, aiih.. emmpfh.. geli, pak, udah.. hentikan.. auw, emmpfh..” Farah menjerit-jerit dan bagaikan sedang histeris sebelum kemudian mulai mengulum kemaluan pak Burhan, seolah ingin ‘membalas’ perbuatan pemerkosanya.
Sementara itu tentu saja pak Burhan juga meningkatkan usahanya untuk membuat gadis muda yang masih murni dan alim ini menjadi mangsanya yang selalu haus akan seks. Selain kumisnya menggelitik kulit halus Farah, juga digesek-geseknya ke permukaan klitoris bagaikan sapu ijuk yang menusuk-nusuk. Selain itu jari-jari tangannya juga membuka paksa belahan bibir kemaluan Farah yang kemerah-kemerahan itu.
Kini terlihatlah bagian dalam kemaluan gadis itu yang masih tertutup selaput kegadisan tipis, dan juga lubang kencingnya yang kecil amat menggiurkan mata lelaki. Pak Burhan langsung menjadikannya sasaran, lidahnya mengusap dan mendorong-dorong selaput gadis pelindung kemurnian Farah hingga menyebabkan rasa ngilu nyeri agak sakit, sebelum ujung lidah itu menggelitik-gelitik lubang kencing yang membuat pinggul Farah makin bergeser-geser memberontak kegelian.
Tak hanya bergeser ke kiri dan ke kanan, namun Farah tanpa disadari mulai mengangkat pinggulnya sejauh mungkin namun tidak bisa karena kakinya terikat erat, itu seolah-olah menunjukkan kalau Farah sudah ketagihan!
Pak Burhan mengerti semua tanda ini : gadis alim shalihah ini mulai kehilangan rasa harga dirinya, ingin merasakan lebih banyak kenikmatan yang sedang menyiksanya. Selain itu Farah semakin mantap mengulum menyepong menjilat-jilat ujung saluran kencing pak Burhan yang tadi sangat membuatnya jijik, namun kini tak diperdulikan lagi aromanya yang khas kelaki-lakian.
Rentenir kelas kakap ini pun tak luput dari pengaruh mulut dan lidah serta gigi Farah, alat kemaluannya semakin tegang mengeras dan gejolak lahar di dalam biji pelirnya semakin mendekati titik mendidih untuk meluap. Pak Burhan menekan pinggulnya ke wajah Farah menyebabkan gadis malang ini semakin sukar untuk bernaas, masuk masuk masuk semakin dalam dan akhirnya dengan suara geraman bagai hewan terluka, pak Burhan menyemburkan spermanya.
“Ooooh.. aaaah.. iyaa, hisaap.. hisaap.. ayo terus, neng geulis manis, minum semua air mukjizat bapak.. itu bagus untuk obat awet muda, aaah!!” teriaknya.
Surrrr.. surrrr.. jrooot.. jrooot.. surrrr.. air mani pak Burhan dengan aroma khas lelaki menyembur memenuhi rongga mulut Farah, seolah-olah tak akan berhenti hingga menyebabkan Farah hampir tersedak dan terbatuk-batuk.
Namun mengingat dan mengharapkan habisnya lahar panas dari biji pelir pak Burhan akan membuatnya tak mampu lagi ereksi untuk mengoyak selaput tipis kegadisannya saat itu, apalagi sampai menghamilinya, maka Farah berusaha terus menjilat mengulum dan menghisap kepala penis pak Burhan, meskipun lambungnya telah berontak dan rasa mualnya semakin menjadi-jadi menyebabkannya hampir muntah.
Untunglah rasa mualnya terganti dan bahkan terkalahkan oleh rasa gatal, geli dan nikmat di selangkangannya, karena pak Burhan disaat itu menggigit klitorisnya dengan sadis dan sekaligus tanpa diduga menusuk anusnya dengan jari tengahnya yang lebar dan kuku kasar tak terawat agak tajam.
Hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh Farah dan merupakan pemantik melewati batas daya tahannya sebagai gadis masih murni alim dan patuh pada agama. Ledakan orgasme tak dapat ditahan menjalar di seluruh tubuhnya. Bagaikan terkena aliran listrik, tubuh Farah yang demikian langsing semampai kini mengejang-ngejang melawan ikatan tangan dan kakinya. Jari-jari tangannya menutup membuat kepalan tinju, membuka, menutup–demikian pula jari-jari kakinya.
Kepala Farah yang masih setengah tertutup jilbab ikut menengadah, menggeleng ke kiri dan ke kanan, lalu kembali menengadah. Sementara matanya seolah terbalik sehingga hanya terlihat bagian putihnya saja. Cuping hidungnya nan bangir mancung kembang kempis menyertai aliran deras air mata di pipinya sementara bibirnya terbuka lebar.
“Aaah.. aduh, aduduh.. perihh.. keluarin! Maluu.. haram, pak! Aihh.. oooh.. t-tolong, auw.. auw.. auw.. ampun!!” jeritan dan lolongan Farah menggema menimbulkan iba bagi yang mendengar, namun tidak menggerakkan rasa belas kasihan untuk pak Burhan yang sudah kemasukan setan.
Penuh kepuasan ia membaringkan dirinya di samping kanan tubuh Farah yang kejang-kejang terikat, mulutnya kembali menggigit puting buah dada kiri sementara tangan kirinya meremas dan mencubit buah dada kanan Farah. Tanpa memperdulikan Farah yang telah kehabisan tenaga serta lemas dilanda orgasme, tangan kanan pak Burhan tetap menjarah kemaluan mangsanya, dengan jari telunjuk dan ibu jari meraba, mengusap dan menjepit mencubit-cubit kelentit Farah yang masih agak menonjol diantara bibir kemaluannya. Dengan demikian pak Burhan seolah-olah ingin merangsang terus dan mempertahankan agar Farah tiada henti dilanda orgasme yang menyebabkan ia lupa segalanya.
Tujuan maksiat ini memang berhasil, Farah jadi meraung-raung, menjerit, meronta, dan menggeliat-geliat bagaikan kesurupan. “Udah, pak.. oooh.. udah, Farah nyerah.. ampun.. Farah pipis lagi, auw.. auw.. auw.. ya Ilahi, tolong.. aah, aiihh, oohh..” teriakan Farah semakin melemah dan akhirnya hampir tak terdengar karena gadis alim ini mencapai batas kemampuannya dalam mengalami orgasme dan sudah setengah pingsan.
Pak Burhan tersenyum bagaikan iblis karena telah mencapai kemenangan pertama–mangsanya telah kehabisan tenaga dan tergeletak terikat kaki tangannya dalam keadaan bugil telanjang bulat. Kini telah tiba saatnya untuk merenggut satu-satunya milik Farah yang selama ini dipertahankan dengan sebaik-sebaiknya oleh gadis itu dengan maksud untuk dipersembahkan di malam syahdu kepada suaminya yang sah.
Namun kini yang akan merenggut kegadisannya bukanlah sang suami, melainkan seorang lelaki jauh lebih tua yang ganas dan haus seks, seorang lelaki yang lebih pantas menjadi ayahnya. Tanpa upacara agama yang diharapkannya untuk meresmikan akad nikah, tak ada ijab kabul yang diucapkan dihadapan penghulu agama. Pak Burhan mana peduli, yang penting nafsu birahinya akan terpuaskan dengan menembus selaput dara Farah. Apakah sang gadis rela menyerahkan kegadisannya itu bukan urusan lagi, semakin tampak keputusasaan dan rasa sakit tercermin di wajah begitu cantik itu maka akan semakin puaslah pak Burhan.
Penisnya yang besar hitam penuh dengan pembuluh darah telah menyemburkan mesiunya beberapa saat lalu ke dalam mulut Farah. Namun senjata kebanggaannya itu masih tegak kukuh berjaya bagaikan kayu pemukul kasti dan kembali siap maju untuk menghantam benteng pertahanan yang tersembunyi di tengah liang hangat yang mulai licin dengan air mazi lendir yang telah mengalir deras karena orgasme yang dipaksakan beberapa menit lalu..
Pak Burhan mengambil bantal guling yang agak keras diranjang itu lalu diletakkannya di bawah pantat Farah, menyebabkan bukit kemaluannya menonjol ke atas, terutama liang kewanitaan yang tampak berkilat basah kini muncul merekah. Dengan jari-jari tangan kirinya, pak Burhan kini menguakkan bibir kemaluan Farah, dan dengan tangan kanannya diarahkan kepala penisnya yang berbentuk topi baja seorang serdadu untuk meretas dan membelah memek idaman itu.
Keringat telah membasahi tubuh keduanya yang telah telanjang bulat, hanya perbedaannya adalah keringat Farah tetap tarasa harum di hidung pak Burhan, sebaliknya keringat pak Burhan yang menetes-netes dari dahinya ke perut Farah yang datar langsing itu terasa menyengat asam tak menyenangkan di penciuman gadis yang tengah dijarah. Tubuh Farah telah basah mengkilat dengan keringat yang keluar akibat semua daya upaya pergulatannya melawan orgasmenya, sedangkan keringat pak Burhan diakibatkan oleh usahanya merangsang dan menaklukkan gadis idamannya.
Kini arus keringat yang membasahi tubuh Farah juga diakibatkan oleh rasa takut yang menyelubungi nuraninya karena sadar akan kehilangan milik satu-satunya yang paling berharga. Sebaliknya pak Burhan makin mengucur keringatnya karena berusaha menerobos lubang kenikmatan Farah yang masih sangat sempit dan beberapa kali penisnya terpeleset ke kiri dan ke kanan.
Namun dia tak mudah menyerah, dengan ibu jari dan telunjuk tangan kirinya, pak Burhan membuka celahan bibir kemaluan Farah. Tampaklah isi di dalamnya yang terkuak berwarna merah muda ibarat pepaya mengkal yang dibelah, di atasnya menonjol kelentit yang seolah malu-malu mengintip di antara lipatan bibir kemaluan. Mata pak Burhan yang telah terlatih dalam menilai liang kelamin wanita semakin mengarah ke bagian dalam vagina korbannya. Kira-kira sedalam satu ruas jari tengah, terlihatlah selaput dara Farah yang berbentuk bulan sabit tipis merayang penuh pembuluh darah sehalus rambut. Pak Burhan sangat puas melihat memang benar Farah masih utuh kegadisannya.
Pak Burhan hanyut dalam fantasi pikirannya bagaimana ia akan merasakan nikmatnya jepitan selaput perawan gadis alim ini. Namun sebelumnya ia akan berusaha kembali menghanyutkan Farah ke dalam arus gelora nafsu birahi, yang mana akan dirangsangnya lubang kencing Farah yang sangat mungil hampir tak terlihat di atas selaput daranya itu. Tak beda dengan lubang air seninya sendiri yang tadi dijilat dan dan disapu-sapu oleh lidah Farah, maka kini tiba gilirannya untuk melakukan hal yang sama.
Pak Burhan menekan sedikit perut Farah di atas tulang kemaluannya dan ini menyebabkan si kandung kemih agak menyeruak keluar menampilkan lubang yang amat mungil itu dan langsung disambut oleh lidah pak Burhan yang menggelitik tiada hentinya.
Pinggul Farah yang begitu bahenol bergoyang ke kiri-kanan menahan rasa geli diperlakukan oleh lelaki yang sangat berpengalaman itu, ditahannya semua siksaan yang sangat memalukan itu dengan tabah, hanya air matanya semakin membasahi pipinya dan mulutnya semakin terbuka.
“Emmpfh.. aaihh.. oooh.. sssh.. aaaah.. j-jangan dijilat lagi.. udah, pak, gelii.. oooh.. hiyahh.. g-geli.. ampuun!!” Farah menolehkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, terkadang digigitnya bibirnya sendiri untuk menahan geli.
“Uuh, basah banget.. hangat, tapi sempit amat nih lobang.. tahan sedikit ya, neng.. memang sakit, tapi pasti nanti jadi enak bagaikan masuk taman firdaus.. hmmh.. aah..” geram pak Burhan penuh nafsu, sambil berusaha merayu dan menghibur bidadari mangsanya yang akan segera diperawaninya.
Kini diarahkannya kepala penisnya ke tengah lipatan bibir kemaluan Farah, dan setelah beberapa kali gagal meleset, kini terjepitlah tombak pemecah selaput dara itu di celah surgawi tujuannya, dan dengan penuh rasa kepuasan pak Burhan mulai mendorong maju, menekan dan membelah.
“A-aduuh.. auuww.. a-ampuun, pak, h-hentikan! S-sakiit.. udah.. j-jangan dimasukin, pak.. ampunn.. aauuw!!” jeritan Farah menggema menyayat keheningan kamar, menimbulkan rasa iba bagi yang mendengar.
Namun hal itu malah semakin memicu nafsu birahi pak Burhan. Tanpa rasa belas kasihan, sang rentenier kakap ini semakin memajukan pinggulnya, maju, menekan, mendorong, membelah sehingga akhirnya jebollah pertahanan selaput tipis di dalam liang vagina Farah, si gadis alim shalihah.
Rasa ngilu dan sakit sedemikian mendera bagian kemaluannya bahkan terasa menusuk sehingga ke ulu hatinya, menyebabkan Farah tak mampu lagi mengeluarkan suara. Yang terlihat hanyalah mulut mungil dengan bibir basah setengah terbuka yang kembali diserbu diciumi sangat rakus oleh bibir tebal pak Burhan. Lidahnya yang sangat memuakkan itu kembali memasuki rongga mulut Farah, menyebabkan si gadis yang sedang disiksa ini semakin sesak nafasnya. Apalagi air liur pak Burhan penuh bau rokok keretek bertetesan mencampuri ludah Farah sehingga ciuman-ciuman pak Burhan terdengar berkecipak di tengah-tengah dengusan nafasnya.
Laju, masuk, menusuk, mundur sejenak, kemudian masuk lebih dalam, bagaikan pisau menyayat sekaligus lebarnya kemaluan pak Burhan bagaikan pentungan satpam memenuhi dinding vagina Farah. Pentungan daging ini menerobos tak henti-hentinya dan setelah bermenit-menit yang dirasakan bagaikan berabad-abad oleh Farah, maka terhentilah hantaman itu karena telah terbentur dan terhalang oleh mulut rahim.
“Oooh.. nikmaaaaatnya neng houri! Gimana, mulai biasa kan dengan lumpang sakti bapak? Kasihan.. masih perih ya diperawani? Tapi sebentar lagi neng pasti merengek minta tambah.. ayo goyang dong pantatnya, kan mojang parahiangan paling jago ngebor dengan pantat bahenolnya.. goyang yang mantep, neng.. iya, gituu.. terus, neng, pinter!!” pak Burhan tak peduli bahwa Farah berusaha menggeser pinggulnya ke kanan dan ke kiri karena merasa ngilu kesakitan.
Pak Burhan kini mulai lagi dengan meremas-remas buah dada Farah dengan penuh kegemasan, puting yang selalu mencuat itu kembali dijadikannya sasaran pilinan, pjitan, cubitan dan gigitan sadis.
“Hhhm.. putihnya nih susu. Neng punya darah amoy kali ya, geli nggak neng dijarah teteknya? Belajar deh neng dari sekarang, siapa tahu neng ntar jadi bini bapak. Bangun pagi bapak paling seneng minum kopi susu asli, hhmm.. nih puting, kenyal digewel-gewel..“
Tak habis-habisnya pak Burhan memuji kedua bukit daging yang kini telah kemerahan penuh cupangan dan gigitan.
Dengan keahliannya pak Burhan terus menerus memancing keluar hormon kewanitaan Farah yang biar bagaimanapun adalah wanita normal, tubuhnya sedang diperkosa habis-habisan, semuanya dirasakan bagaikan siksaan di neraka. Namun para iblis di neraka tak henti-hentinya menyebarkan jaringan dan jeratan rasa lain di tubuh Farah. Sakit, ngilu, perih tak hentinya, namun dari sudut dan dasar paling dalam di benaknya muncullah rasa lain; rasa panas, geli dan nikmat. Semua bercampur baur, bergantian menerpa ujung-ujung ribuan syaraf tubuhnya. Semua panca indera Farah yang semula hanya mengenal satu : kemuakan dan kebencian terhadap si pemerkosa, perlahan-lahan di transformasi menjadi rasa keinginan untuk mempertahankan apa yang sedang dialami.
Telinga pak Burhan yang sudah sedemikian ahli menangkap perubahan dari jeritan dan rintihan sakit menjadi desah dan dengusan nafas memburu seorang wanita yang dipengaruhi rasa birahi!
“Mulai enak ya, neng? Ngaku lah, nggak ada salahnya jujur ama bapak. Ntar lagi neng akan masuk firdaus, bapak cepetin nih genjotannya. Bilang ya kalo udah mau nambah, hehehe..” ujar pak Burhan yang melihat tanda-tanda gadis yang telah diperawaninya itu mulai hancur pertahanannya yang terakhir. Oleh karena itu pak Burhan makin meningkatkan tempo genjotan dan tusukannya.
“Hmmpfh.. sssh.. aaah.. pak, ooohh.. u-udah, pak.. saya nggak kuat lagi, oooh..”
Farah mulai hanyut terbawa arus godaan dan bujukan rasa hangat gatal di seluruh tubuhnya, terutama di bagian kemaluannya yang semakin lama semakin terasa panas akibat tergesek-gesek dengan batu lumpang daging.
Pak Burhan tersenyum bagaikan iblis karena telah mencapai kemenangan pertama–mangsanya telah kehabisan tenaga dan tergeletak terikat kaki tangannya dalam keadaan bugil telanjang bulat. Kini telah tiba saatnya untuk merenggut satu-satunya milik Farah yang selama ini dipertahankan dengan sebaik-sebaiknya oleh gadis itu dengan maksud untuk dipersembahkan di malam syahdu kepada suaminya yang sah.
Namun kini yang akan merenggut kegadisannya bukanlah sang suami, melainkan seorang lelaki jauh lebih tua yang ganas dan haus seks, seorang lelaki yang lebih pantas menjadi ayahnya. Tanpa upacara agama yang diharapkannya untuk meresmikan akad nikah, tak ada ijab kabul yang diucapkan dihadapan penghulu agama. Pak Burhan mana peduli, yang penting nafsu birahinya akan terpuaskan dengan menembus selaput dara Farah. Apakah sang gadis rela menyerahkan kegadisannya itu bukan urusan lagi, semakin tampak keputusasaan dan rasa sakit tercermin di wajah begitu cantik itu maka akan semakin puaslah pak Burhan.
Penisnya yang besar hitam penuh dengan pembuluh darah telah menyemburkan mesiunya beberapa saat lalu ke dalam mulut Farah. Namun senjata kebanggaannya itu masih tegak kukuh berjaya bagaikan kayu pemukul kasti dan kembali siap maju untuk menghantam benteng pertahanan yang tersembunyi di tengah liang hangat yang mulai licin dengan air mazi lendir yang telah mengalir deras karena orgasme yang dipaksakan beberapa menit lalu..
Pak Burhan mengambil bantal guling yang agak keras diranjang itu lalu diletakkannya di bawah pantat Farah, menyebabkan bukit kemaluannya menonjol ke atas, terutama liang kewanitaan yang tampak berkilat basah kini muncul merekah. Dengan jari-jari tangan kirinya, pak Burhan kini menguakkan bibir kemaluan Farah, dan dengan tangan kanannya diarahkan kepala penisnya yang berbentuk topi baja seorang serdadu untuk meretas dan membelah memek idaman itu.
Keringat telah membasahi tubuh keduanya yang telah telanjang bulat, hanya perbedaannya adalah keringat Farah tetap tarasa harum di hidung pak Burhan, sebaliknya keringat pak Burhan yang menetes-netes dari dahinya ke perut Farah yang datar langsing itu terasa menyengat asam tak menyenangkan di penciuman gadis yang tengah dijarah. Tubuh Farah telah basah mengkilat dengan keringat yang keluar akibat semua daya upaya pergulatannya melawan orgasmenya, sedangkan keringat pak Burhan diakibatkan oleh usahanya merangsang dan menaklukkan gadis idamannya.
Kini arus keringat yang membasahi tubuh Farah juga diakibatkan oleh rasa takut yang menyelubungi nuraninya karena sadar akan kehilangan milik satu-satunya yang paling berharga. Sebaliknya pak Burhan makin mengucur keringatnya karena berusaha menerobos lubang kenikmatan Farah yang masih sangat sempit dan beberapa kali penisnya terpeleset ke kiri dan ke kanan.
Namun dia tak mudah menyerah, dengan ibu jari dan telunjuk tangan kirinya, pak Burhan membuka celahan bibir kemaluan Farah. Tampaklah isi di dalamnya yang terkuak berwarna merah muda ibarat pepaya mengkal yang dibelah, di atasnya menonjol kelentit yang seolah malu-malu mengintip di antara lipatan bibir kemaluan. Mata pak Burhan yang telah terlatih dalam menilai liang kelamin wanita semakin mengarah ke bagian dalam vagina korbannya. Kira-kira sedalam satu ruas jari tengah, terlihatlah selaput dara Farah yang berbentuk bulan sabit tipis merayang penuh pembuluh darah sehalus rambut. Pak Burhan sangat puas melihat memang benar Farah masih utuh kegadisannya.
Pak Burhan hanyut dalam fantasi pikirannya bagaimana ia akan merasakan nikmatnya jepitan selaput perawan gadis alim ini. Namun sebelumnya ia akan berusaha kembali menghanyutkan Farah ke dalam arus gelora nafsu birahi, yang mana akan dirangsangnya lubang kencing Farah yang sangat mungil hampir tak terlihat di atas selaput daranya itu. Tak beda dengan lubang air seninya sendiri yang tadi dijilat dan dan disapu-sapu oleh lidah Farah, maka kini tiba gilirannya untuk melakukan hal yang sama.
Pak Burhan menekan sedikit perut Farah di atas tulang kemaluannya dan ini menyebabkan si kandung kemih agak menyeruak keluar menampilkan lubang yang amat mungil itu dan langsung disambut oleh lidah pak Burhan yang menggelitik tiada hentinya.
Pinggul Farah yang begitu bahenol bergoyang ke kiri-kanan menahan rasa geli diperlakukan oleh lelaki yang sangat berpengalaman itu, ditahannya semua siksaan yang sangat memalukan itu dengan tabah, hanya air matanya semakin membasahi pipinya dan mulutnya semakin terbuka.
“Emmpfh.. aaihh.. oooh.. sssh.. aaaah.. j-jangan dijilat lagi.. udah, pak, gelii.. oooh.. hiyahh.. g-geli.. ampuun!!” Farah menolehkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, terkadang digigitnya bibirnya sendiri untuk menahan geli.
“Uuh, basah banget.. hangat, tapi sempit amat nih lobang.. tahan sedikit ya, neng.. memang sakit, tapi pasti nanti jadi enak bagaikan masuk taman firdaus.. hmmh.. aah..” geram pak Burhan penuh nafsu, sambil berusaha merayu dan menghibur bidadari mangsanya yang akan segera diperawaninya.
Kini diarahkannya kepala penisnya ke tengah lipatan bibir kemaluan Farah, dan setelah beberapa kali gagal meleset, kini terjepitlah tombak pemecah selaput dara itu di celah surgawi tujuannya, dan dengan penuh rasa kepuasan pak Burhan mulai mendorong maju, menekan dan membelah.
“A-aduuh.. auuww.. a-ampuun, pak, h-hentikan! S-sakiit.. udah.. j-jangan dimasukin, pak.. ampunn.. aauuw!!” jeritan Farah menggema menyayat keheningan kamar, menimbulkan rasa iba bagi yang mendengar.
Namun hal itu malah semakin memicu nafsu birahi pak Burhan. Tanpa rasa belas kasihan, sang rentenier kakap ini semakin memajukan pinggulnya, maju, menekan, mendorong, membelah sehingga akhirnya jebollah pertahanan selaput tipis di dalam liang vagina Farah, si gadis alim shalihah.
Rasa ngilu dan sakit sedemikian mendera bagian kemaluannya bahkan terasa menusuk sehingga ke ulu hatinya, menyebabkan Farah tak mampu lagi mengeluarkan suara. Yang terlihat hanyalah mulut mungil dengan bibir basah setengah terbuka yang kembali diserbu diciumi sangat rakus oleh bibir tebal pak Burhan. Lidahnya yang sangat memuakkan itu kembali memasuki rongga mulut Farah, menyebabkan si gadis yang sedang disiksa ini semakin sesak nafasnya. Apalagi air liur pak Burhan penuh bau rokok keretek bertetesan mencampuri ludah Farah sehingga ciuman-ciuman pak Burhan terdengar berkecipak di tengah-tengah dengusan nafasnya.
Laju, masuk, menusuk, mundur sejenak, kemudian masuk lebih dalam, bagaikan pisau menyayat sekaligus lebarnya kemaluan pak Burhan bagaikan pentungan satpam memenuhi dinding vagina Farah. Pentungan daging ini menerobos tak henti-hentinya dan setelah bermenit-menit yang dirasakan bagaikan berabad-abad oleh Farah, maka terhentilah hantaman itu karena telah terbentur dan terhalang oleh mulut rahim.
“Oooh.. nikmaaaaatnya neng houri! Gimana, mulai biasa kan dengan lumpang sakti bapak? Kasihan.. masih perih ya diperawani? Tapi sebentar lagi neng pasti merengek minta tambah.. ayo goyang dong pantatnya, kan mojang parahiangan paling jago ngebor dengan pantat bahenolnya.. goyang yang mantep, neng.. iya, gituu.. terus, neng, pinter!!” pak Burhan tak peduli bahwa Farah berusaha menggeser pinggulnya ke kanan dan ke kiri karena merasa ngilu kesakitan.
Pak Burhan kini mulai lagi dengan meremas-remas buah dada Farah dengan penuh kegemasan, puting yang selalu mencuat itu kembali dijadikannya sasaran pilinan, pjitan, cubitan dan gigitan sadis.
“Hhhm.. putihnya nih susu. Neng punya darah amoy kali ya, geli nggak neng dijarah teteknya? Belajar deh neng dari sekarang, siapa tahu neng ntar jadi bini bapak. Bangun pagi bapak paling seneng minum kopi susu asli, hhmm.. nih puting, kenyal digewel-gewel..“
Tak habis-habisnya pak Burhan memuji kedua bukit daging yang kini telah kemerahan penuh cupangan dan gigitan.
Dengan keahliannya pak Burhan terus menerus memancing keluar hormon kewanitaan Farah yang biar bagaimanapun adalah wanita normal, tubuhnya sedang diperkosa habis-habisan, semuanya dirasakan bagaikan siksaan di neraka. Namun para iblis di neraka tak henti-hentinya menyebarkan jaringan dan jeratan rasa lain di tubuh Farah. Sakit, ngilu, perih tak hentinya, namun dari sudut dan dasar paling dalam di benaknya muncullah rasa lain; rasa panas, geli dan nikmat. Semua bercampur baur, bergantian menerpa ujung-ujung ribuan syaraf tubuhnya. Semua panca indera Farah yang semula hanya mengenal satu : kemuakan dan kebencian terhadap si pemerkosa, perlahan-lahan di transformasi menjadi rasa keinginan untuk mempertahankan apa yang sedang dialami.
Telinga pak Burhan yang sudah sedemikian ahli menangkap perubahan dari jeritan dan rintihan sakit menjadi desah dan dengusan nafas memburu seorang wanita yang dipengaruhi rasa birahi!
“Mulai enak ya, neng? Ngaku lah, nggak ada salahnya jujur ama bapak. Ntar lagi neng akan masuk firdaus, bapak cepetin nih genjotannya. Bilang ya kalo udah mau nambah, hehehe..” ujar pak Burhan yang melihat tanda-tanda gadis yang telah diperawaninya itu mulai hancur pertahanannya yang terakhir. Oleh karena itu pak Burhan makin meningkatkan tempo genjotan dan tusukannya.
“Hmmpfh.. sssh.. aaah.. pak, ooohh.. u-udah, pak.. saya nggak kuat lagi, oooh..”
Farah mulai hanyut terbawa arus godaan dan bujukan rasa hangat gatal di seluruh tubuhnya, terutama di bagian kemaluannya yang semakin lama semakin terasa panas akibat tergesek-gesek dengan batu lumpang daging.
“Tahan dikit ya neng, bapak mau nyumbang pejuh nih.. siapa tahu ada buahnya, aaah.. oooh.. sempit amat.. duh, angetnya nih memek mojang parahiangan tulen.. iya gitu, goyang terus, terus.. pijit-pijit batang pusaka bapak, oooh.. bapak keluar nih..”
Pak Burhan untuk kedua kalinya menyemburkan lahar panasnya dan kali ini menyiram mulut rahim korbannya, kemaluannya berdenyut-denyut kencang membuat Farah jadi menjerit histeris ketakutan.
“Aaih, sssh.. keluarin, pak, jangan buang di dalam.. ntar hamil, aauoh.. shhh.. ngilu, pak, udah dong.. aauw, a-ampun!!”
Kali ini Farah bagaikan disergap oleh gelombang tsunami menderu-deru di otaknya, hanya jutaan bintang berkunang-kunang. Kepalanya terasa terputar-putar dan akhirnya semua mulai kabur, berwarna abu-abu dihadapan matanya dan hitam gelap pada saat Farah tak tahu apa-apa lagi karena jatuh pingsan..
Harapan Farah hanya sia-sia saja, pak Burhan ternyata sama sekali tidak berkurang daya kemampuannya setelah ejakulasi pertama di mulutnya tadi. Rentenir cabul ini tetap sanggup mempertahankan ereksi-nya, sehingga dapat menembus selaput kegadisan Farah. Bahkan setelah sempat menyemburkan spermanya ke dalam rahim Farah maka ia cukup beristirahat sebentar. Pada waktu mana Wati memberikan teh jahe dicampur ramuan-ramuan desa yang rupanya dalam waktu singkat dapat memulihkan daya kemampuannya memasuki ronde berikutnya.
Kali ini dengan penuh kemesraan pak Burhan memeluk tubuh Farah yang masih telanjang bulat dan setengah pingsan itu dalam posisi menyamping. Dalam posisi mana pak Burhan memeluk Farah dari arah belakang, nafasnya yang hangat menggelitik kuduk dan telinga Farah. Tangan pak Burhan yang besar dan kasar mengusap pundak, kedua buah dada nan montok dan dipilin-pilinnya puting yang kembali mengeras dan mencuat indah disertai lenguhan Farah secara tak sadar.
Tangan itu kemudian turun mencari celah kemaluan Farah yang masih basah licin karena campuran lendir vagina, sperma dan juga darah keperawanannya. Tak dapat menahan nafsunya, maka pak Burhan beberapa menit kemudian membalikkan tubuh Farah menjadi terlentang dan diperkosanya kembali. ‘Luka’ dinding memek Farah akibat proses penembusan selaput daranya kembali tergesek-gesek dan dirasakan sangat nyeri ngilu. Namun Farah sudah terlalu lemah untuk protes apalagi melawan, ia hanya bisa menangis terisak tersedu-sedu dan pasrah ditaklukkan si rentenir tua.
Pak Burhan menyetubuhinya tanpa rasa kasihan, sambil membisikkan sesuatu ke telinga Farah, menyebabkannya menggeleng kepalanya dan tangisannya semakin menimbulkan iba.
Namun sejak itu pak Burhan tak pernah lagi mempersoalkan hutang keluarga Ustadz Arief Ubaidillah, dan buku-buku karangan Farah dapat dirilis oleh percetakan lainnya..
Beberapa bulan kemudian dirayakan sebuah pesta pernikahan besar di sebuah balai desa di luar kota Bandung. Siapakah pasangan mempelai itu–banyak pengunjung berbisik-bisik mengatakan bahwa pasangan pengantin yang duduk di pelaminan itu amat tidak serasi, baik usia maupun penampilannya.
===X0X===
Seminggu sebelum memasuki hari raya Ai’dul Adha maka Ustadz Mamat memperoleh tugas lebih banyak daripada biasanya. Selain itu beberapa siswi dari madrasah tempatnya mengajar memiliki suara sangat merdu menarik dan karena itu mereka mempunyai minat untuk mengikuti perlombaan kajian Musabaqqoh Tilawatil Qur’an. Dan untuk pemenang perlombaan di desa ini akan dicalonkan maju ke kontes di daerah propinsi dan selanjutnya untuk memasuki taraf nasional.
Berhubung dengan keadaan ini maka Ustadz Mamat diberikan tugas untuk melatih para calon, dimulai dengan hari Rabu sampai dengan hari Jum’at malam, dengan perkataan lain bahwa Ustadz Mamat akan meninggalkan istrinya, Aida, selama paling sedikit selama tiga hari tiga malam.
Dalam minggu pertama semuanya berjalan lancar dan Ustadz Mamat dapat memberikan kuliah secara sepantasnya di pesantren desa Jamblangan, para pelajar semuanya wanita dalam tingkat kelas tiga mutawassitah (kurang lebih seperti SLTP). Para siswi yang di pedesaan lebih sering disebut santriwati itu berjumlah dua puluh tiga dan usia mereka rata-rata sekitar 15-16 tahun, dalam istilah orang kota lebih sering disingkat ABG alias Anak Baru Gede. Pada umumnya para siswi itu cukup alim saleh dan berkelakuan sopan santun, apalagi di hadapan guru mereka : Ustadz Mamat.
Namun dimanapun selalu iblis mencari mangsa, dan untuk menaklukkan mangsa sangat berharga, yaitu seorang Ustadz, maka iblis memakai anak buah atau kaki tangan, dalam hal ini dalam bentuk dua orang santriwati genit bertubuh amat denok bahenol. Kedua gadis santriwati itu baru masuk usia lima belas tahun, bernama Rofikah dan Sumirah, bertetangga dekat di desa itu. Kedua orang tua mereka cukup berada sebagai pengusaha perkebunan perkebunan karet, sedangkan satunya adalah pemilik perkebunan teh. Dalam kisah yang akan terjadi terlibat pula gadis ketiga bernama Murtiasih alias Asih yang sekali tak perayu, namun kelak juga akan menjadi korban Ustadz Mamat!
Rofikah yang sehari-hari dipanggil Ikah dan Sumirah yang biasa dipanggil Irah merupakan teman akrab, hampir selalu mereka berdua, berjalan bersama dan di sekolah pesantren itupun mereka selalu duduk berdua. Keduanya mempunyai sifat genit perayu dan dengan body yang sangat yahud menantang mereka sangat senang jika diperhatikan oleh para lelaki.
Mereka tak perduli apakah yang mengawasi dan menggoda ketika mereka berjalan adalah anak lelaki muda seusia mereka atau lelaki tua yang bahkan sudah jauh lebih tua dari ayah mereka. Pokoknya mereka berpendapat bahwa tubuh mereka yang memang terlihat sangat montok dengan toket menonjol itu adalah juga pemberian sang pencipta. Jadi mereka dengan sengaja bangga memperlihatkannya penuh kebanggaan dan bahkan merasa mempunyai ‘kekuasaan’ jika para lelaki bersiul-siul melihat goyang pantat mereka!
Karena wajah keduanya banyak kemiripannya maka orang di desa itu sering berbisik-bisik bergosip apakah kedua gadis itu sebetulnya keluar dari ‘satu cetakan’. Alasan daripada gosip itu adalah karena ibu dari Rofikah dan Sumirah adalah kakak beradik, sedangkan ayah dari Rofikah maupun Sumirah tergolong ‘lelaki hidung belang’ yang senang jajan di luar.
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa kedua pria itu sangat sering keluar masuk ke rumah kakak/adik ipar mereka sampai jauh malam, dan itu sering pula terjadi jika sang tuan rumah sedang kebetulan keluar.
Pola kehidupan mereka tentu saja memberikan pengaruh kepada anak perempuan mereka yang mulai memasuki usia remaja. Rofikah dan Sumirah termasuk anak yang dimanja, mereka memakai busana berbahan mahal, dan meskipun mereka sebagaimana umumnya gadis di daerah desa selalu berpakaian muslimah dengan jilbab, namun cara melirik, tingkah laku dan penampilan genit mereka berlawanan dengan kebiasaan akhwat yang seharusnya alim shalihah. Ketika mereka masuk pesantren itupun tidaklah atas keinginan untuk memperdalam ilmu agama dan memperdalam keimanan, tapi lebih sekedar ikut-ikutan basa-basi.
Setelah memperoleh pelajaran dua kali dari Ustadz Mamat sebagai guru dan mengalunkan suara dalam latihan untuk musabaqoh , mulailah timbul rencana nakal mereka. Dari mulut ke mulut mereka mengetahui dalam waktu singkat bahwa Ustadz Mamat sering bermalam di pesantren itu karena ia tinggal cukup jauh, dan untuk itu Ustadz Mamat harus meninggalkan keluarganya.
Di dalam ruangan kelas, Sumirah dan Rofikah selalu duduk di bangku terdepan berhadapan dengan tempat duduk atau panel kayu dimana Ustadz Mamat selalu berdiri. Mereka sengaja melirik genit ke arah Ustadz Mamat, jilbab yang dipakai agak dilonggarkan sehingga rambut mereka yang ikal keluar, dan dengan suara lantang dibuat-buat, mereka sering mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tak perlu.
Selanjutnya mereka menggesek-gesekkan kaki dan betis secara bergantian dengan perlahan namun ritmis, sehingga kaus kaki yang dipakai menjadi turun melorot akibat gesekan itu. Dengan demikian terlihatlah kaki mereka yang berhias jari-jari mungil dengan kuku terawat dan jari-jari itu pun sengaja mereka gerakkan membuka menutup.
Tak sampai disitu saja, Rofikah dan Sumirah dengan sengaja juga membuka belahan bibir mereka yang terlihat basah mengkilat, mengeluarkan lidah mereka untuk membasahi bibir mereka, dan entah pensil atau ballpoint yang mereka pegang untuk menulis sering dimasuk-keluarkan di mulut mereka, terlihat bagaikan dikulum, dijilat dan dihisap-hisap.
Semuanya itu mula-mula belum disadari oleh Ustadz Mamat, namun sebagai lelaki akhirnya matanya ‘terpancing’ oleh gerakan nakal kedua muridnya itu. Apalagi jika kedua santriwati itu diakhir pelajaran seolah-olah tanpa sengaja menguap dan mengulĂ©t meluruskan tubuh dengan menaikkan kedua lengan mereka tinggi-tinggi ke udara, maka terlihatlah busungan kedua gunung montok di dada mereka.
Hanya dalam waktu tiga hari maka Ustadz Mamat mulailah sukar untuk berkonsentrasi sepenuhnya memberikan pelajaran. Sering kalimat yang telah direncanakannya untuk diucapkan ‘menghilang’ begitu saja karena godaan iblis dalam bentuk rayuan kegenitan kedua murid penggoda itu. Namun Ustadz Mamat tetap berusaha melawan godaan yang akan menghancurkan seluruh kehidupannya, ia dengan khusyuk berdoa dan sholat di luar waktu yang pada umumnya. Diharapkannya apa yang terpantau di matanya selama memberikan pelajaran dapat terusir dari benaknya.
Selama mengajar di kelas maka Ustadz Mamat dapat sementara mengalihkan perhatiannya kepada bahan kuliahnya, namun jika ia berada di kamarnya menjelang malam hari sebelum tidur, muncullah lamunan serta rasa kesepian karena ia tak berada di kamar tidurnya sendiri dan tak ada kehangatan tubuh istrinya.
Memasuki minggu ketiga, apa mau dikata Ustadz Mamar jatuh sakit setelah tiba di tempat mengajarnya itu. Tubuhnya panas dingin, sehingga tak mampu mengajar dan hanya dapat tidur hampir seharian di asrama penginapannya di pesantren. Di tengah malam jum’at hitam pekat dengan hujan lebat, ketika dalam keadaan demam menggigil itu maka Ustadz Mamat dengan tubuh berkeringat dingin mengalami halusinasi, ia memasuki situasi alam mimpi bagaikan sedang dihipnotis sehingga kesurupan.
Pak Burhan untuk kedua kalinya menyemburkan lahar panasnya dan kali ini menyiram mulut rahim korbannya, kemaluannya berdenyut-denyut kencang membuat Farah jadi menjerit histeris ketakutan.
“Aaih, sssh.. keluarin, pak, jangan buang di dalam.. ntar hamil, aauoh.. shhh.. ngilu, pak, udah dong.. aauw, a-ampun!!”
Kali ini Farah bagaikan disergap oleh gelombang tsunami menderu-deru di otaknya, hanya jutaan bintang berkunang-kunang. Kepalanya terasa terputar-putar dan akhirnya semua mulai kabur, berwarna abu-abu dihadapan matanya dan hitam gelap pada saat Farah tak tahu apa-apa lagi karena jatuh pingsan..
Harapan Farah hanya sia-sia saja, pak Burhan ternyata sama sekali tidak berkurang daya kemampuannya setelah ejakulasi pertama di mulutnya tadi. Rentenir cabul ini tetap sanggup mempertahankan ereksi-nya, sehingga dapat menembus selaput kegadisan Farah. Bahkan setelah sempat menyemburkan spermanya ke dalam rahim Farah maka ia cukup beristirahat sebentar. Pada waktu mana Wati memberikan teh jahe dicampur ramuan-ramuan desa yang rupanya dalam waktu singkat dapat memulihkan daya kemampuannya memasuki ronde berikutnya.
Kali ini dengan penuh kemesraan pak Burhan memeluk tubuh Farah yang masih telanjang bulat dan setengah pingsan itu dalam posisi menyamping. Dalam posisi mana pak Burhan memeluk Farah dari arah belakang, nafasnya yang hangat menggelitik kuduk dan telinga Farah. Tangan pak Burhan yang besar dan kasar mengusap pundak, kedua buah dada nan montok dan dipilin-pilinnya puting yang kembali mengeras dan mencuat indah disertai lenguhan Farah secara tak sadar.
Tangan itu kemudian turun mencari celah kemaluan Farah yang masih basah licin karena campuran lendir vagina, sperma dan juga darah keperawanannya. Tak dapat menahan nafsunya, maka pak Burhan beberapa menit kemudian membalikkan tubuh Farah menjadi terlentang dan diperkosanya kembali. ‘Luka’ dinding memek Farah akibat proses penembusan selaput daranya kembali tergesek-gesek dan dirasakan sangat nyeri ngilu. Namun Farah sudah terlalu lemah untuk protes apalagi melawan, ia hanya bisa menangis terisak tersedu-sedu dan pasrah ditaklukkan si rentenir tua.
Pak Burhan menyetubuhinya tanpa rasa kasihan, sambil membisikkan sesuatu ke telinga Farah, menyebabkannya menggeleng kepalanya dan tangisannya semakin menimbulkan iba.
Namun sejak itu pak Burhan tak pernah lagi mempersoalkan hutang keluarga Ustadz Arief Ubaidillah, dan buku-buku karangan Farah dapat dirilis oleh percetakan lainnya..
Beberapa bulan kemudian dirayakan sebuah pesta pernikahan besar di sebuah balai desa di luar kota Bandung. Siapakah pasangan mempelai itu–banyak pengunjung berbisik-bisik mengatakan bahwa pasangan pengantin yang duduk di pelaminan itu amat tidak serasi, baik usia maupun penampilannya.
===X0X===
Seminggu sebelum memasuki hari raya Ai’dul Adha maka Ustadz Mamat memperoleh tugas lebih banyak daripada biasanya. Selain itu beberapa siswi dari madrasah tempatnya mengajar memiliki suara sangat merdu menarik dan karena itu mereka mempunyai minat untuk mengikuti perlombaan kajian Musabaqqoh Tilawatil Qur’an. Dan untuk pemenang perlombaan di desa ini akan dicalonkan maju ke kontes di daerah propinsi dan selanjutnya untuk memasuki taraf nasional.
Berhubung dengan keadaan ini maka Ustadz Mamat diberikan tugas untuk melatih para calon, dimulai dengan hari Rabu sampai dengan hari Jum’at malam, dengan perkataan lain bahwa Ustadz Mamat akan meninggalkan istrinya, Aida, selama paling sedikit selama tiga hari tiga malam.
Dalam minggu pertama semuanya berjalan lancar dan Ustadz Mamat dapat memberikan kuliah secara sepantasnya di pesantren desa Jamblangan, para pelajar semuanya wanita dalam tingkat kelas tiga mutawassitah (kurang lebih seperti SLTP). Para siswi yang di pedesaan lebih sering disebut santriwati itu berjumlah dua puluh tiga dan usia mereka rata-rata sekitar 15-16 tahun, dalam istilah orang kota lebih sering disingkat ABG alias Anak Baru Gede. Pada umumnya para siswi itu cukup alim saleh dan berkelakuan sopan santun, apalagi di hadapan guru mereka : Ustadz Mamat.
Namun dimanapun selalu iblis mencari mangsa, dan untuk menaklukkan mangsa sangat berharga, yaitu seorang Ustadz, maka iblis memakai anak buah atau kaki tangan, dalam hal ini dalam bentuk dua orang santriwati genit bertubuh amat denok bahenol. Kedua gadis santriwati itu baru masuk usia lima belas tahun, bernama Rofikah dan Sumirah, bertetangga dekat di desa itu. Kedua orang tua mereka cukup berada sebagai pengusaha perkebunan perkebunan karet, sedangkan satunya adalah pemilik perkebunan teh. Dalam kisah yang akan terjadi terlibat pula gadis ketiga bernama Murtiasih alias Asih yang sekali tak perayu, namun kelak juga akan menjadi korban Ustadz Mamat!
Rofikah yang sehari-hari dipanggil Ikah dan Sumirah yang biasa dipanggil Irah merupakan teman akrab, hampir selalu mereka berdua, berjalan bersama dan di sekolah pesantren itupun mereka selalu duduk berdua. Keduanya mempunyai sifat genit perayu dan dengan body yang sangat yahud menantang mereka sangat senang jika diperhatikan oleh para lelaki.
Mereka tak perduli apakah yang mengawasi dan menggoda ketika mereka berjalan adalah anak lelaki muda seusia mereka atau lelaki tua yang bahkan sudah jauh lebih tua dari ayah mereka. Pokoknya mereka berpendapat bahwa tubuh mereka yang memang terlihat sangat montok dengan toket menonjol itu adalah juga pemberian sang pencipta. Jadi mereka dengan sengaja bangga memperlihatkannya penuh kebanggaan dan bahkan merasa mempunyai ‘kekuasaan’ jika para lelaki bersiul-siul melihat goyang pantat mereka!
Karena wajah keduanya banyak kemiripannya maka orang di desa itu sering berbisik-bisik bergosip apakah kedua gadis itu sebetulnya keluar dari ‘satu cetakan’. Alasan daripada gosip itu adalah karena ibu dari Rofikah dan Sumirah adalah kakak beradik, sedangkan ayah dari Rofikah maupun Sumirah tergolong ‘lelaki hidung belang’ yang senang jajan di luar.
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa kedua pria itu sangat sering keluar masuk ke rumah kakak/adik ipar mereka sampai jauh malam, dan itu sering pula terjadi jika sang tuan rumah sedang kebetulan keluar.
Pola kehidupan mereka tentu saja memberikan pengaruh kepada anak perempuan mereka yang mulai memasuki usia remaja. Rofikah dan Sumirah termasuk anak yang dimanja, mereka memakai busana berbahan mahal, dan meskipun mereka sebagaimana umumnya gadis di daerah desa selalu berpakaian muslimah dengan jilbab, namun cara melirik, tingkah laku dan penampilan genit mereka berlawanan dengan kebiasaan akhwat yang seharusnya alim shalihah. Ketika mereka masuk pesantren itupun tidaklah atas keinginan untuk memperdalam ilmu agama dan memperdalam keimanan, tapi lebih sekedar ikut-ikutan basa-basi.
Setelah memperoleh pelajaran dua kali dari Ustadz Mamat sebagai guru dan mengalunkan suara dalam latihan untuk musabaqoh , mulailah timbul rencana nakal mereka. Dari mulut ke mulut mereka mengetahui dalam waktu singkat bahwa Ustadz Mamat sering bermalam di pesantren itu karena ia tinggal cukup jauh, dan untuk itu Ustadz Mamat harus meninggalkan keluarganya.
Di dalam ruangan kelas, Sumirah dan Rofikah selalu duduk di bangku terdepan berhadapan dengan tempat duduk atau panel kayu dimana Ustadz Mamat selalu berdiri. Mereka sengaja melirik genit ke arah Ustadz Mamat, jilbab yang dipakai agak dilonggarkan sehingga rambut mereka yang ikal keluar, dan dengan suara lantang dibuat-buat, mereka sering mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tak perlu.
Selanjutnya mereka menggesek-gesekkan kaki dan betis secara bergantian dengan perlahan namun ritmis, sehingga kaus kaki yang dipakai menjadi turun melorot akibat gesekan itu. Dengan demikian terlihatlah kaki mereka yang berhias jari-jari mungil dengan kuku terawat dan jari-jari itu pun sengaja mereka gerakkan membuka menutup.
Tak sampai disitu saja, Rofikah dan Sumirah dengan sengaja juga membuka belahan bibir mereka yang terlihat basah mengkilat, mengeluarkan lidah mereka untuk membasahi bibir mereka, dan entah pensil atau ballpoint yang mereka pegang untuk menulis sering dimasuk-keluarkan di mulut mereka, terlihat bagaikan dikulum, dijilat dan dihisap-hisap.
Semuanya itu mula-mula belum disadari oleh Ustadz Mamat, namun sebagai lelaki akhirnya matanya ‘terpancing’ oleh gerakan nakal kedua muridnya itu. Apalagi jika kedua santriwati itu diakhir pelajaran seolah-olah tanpa sengaja menguap dan mengulĂ©t meluruskan tubuh dengan menaikkan kedua lengan mereka tinggi-tinggi ke udara, maka terlihatlah busungan kedua gunung montok di dada mereka.
Hanya dalam waktu tiga hari maka Ustadz Mamat mulailah sukar untuk berkonsentrasi sepenuhnya memberikan pelajaran. Sering kalimat yang telah direncanakannya untuk diucapkan ‘menghilang’ begitu saja karena godaan iblis dalam bentuk rayuan kegenitan kedua murid penggoda itu. Namun Ustadz Mamat tetap berusaha melawan godaan yang akan menghancurkan seluruh kehidupannya, ia dengan khusyuk berdoa dan sholat di luar waktu yang pada umumnya. Diharapkannya apa yang terpantau di matanya selama memberikan pelajaran dapat terusir dari benaknya.
Selama mengajar di kelas maka Ustadz Mamat dapat sementara mengalihkan perhatiannya kepada bahan kuliahnya, namun jika ia berada di kamarnya menjelang malam hari sebelum tidur, muncullah lamunan serta rasa kesepian karena ia tak berada di kamar tidurnya sendiri dan tak ada kehangatan tubuh istrinya.
Memasuki minggu ketiga, apa mau dikata Ustadz Mamar jatuh sakit setelah tiba di tempat mengajarnya itu. Tubuhnya panas dingin, sehingga tak mampu mengajar dan hanya dapat tidur hampir seharian di asrama penginapannya di pesantren. Di tengah malam jum’at hitam pekat dengan hujan lebat, ketika dalam keadaan demam menggigil itu maka Ustadz Mamat dengan tubuh berkeringat dingin mengalami halusinasi, ia memasuki situasi alam mimpi bagaikan sedang dihipnotis sehingga kesurupan.
Ustadz Mamat merasakan udara sekitarnya amat dingin hingga menggigil dan gigi-giginya beradu satu sama lain, badannya terasa sangat penat berat dan ia tak mampu menggerakkan kaki tangannya. Samar-samar dilihatnya sesosok tubuh berjilbab mendekati ranjangnya, sosok wanita berjilbab langsing ini meletakkan kain basah dingin di jidatnya sehingga terasa amat nyaman. Sesudah itu wanita berjilbab ini berusaha melepaskan kaos oblong yang dipakainya, dan bukan hanya itu, kain sarung belikat yang dipakai dirasakannya dilepas dari ikatan pinggang, lalu diturunkan ke bawah.
Ustadz Mamat berusaha protes namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya, selain itu kaki tangannya seberat lempengen timah sehingga tak mampu digerakkannya untuk melawan.
“Pssst, pakaian Ustadz yang sudah basah kuyup dengan keringat, jika tak ditukar maka bapak akan semakin sakit. Tenang saja, pak Ustadz, saya hanya ingin menolong.” Samar-samar Ustadz Mamat mendengar suara wanita yang halus dan merdu berbisik di telinganya.
“Siapakah yang sedang menolong dan merawatku saat ini – apakah malaikat, tapi ini.. ini.. aku kenal dia : istriku sendiri, Aida!” batin Ustadz Mamat.
Ustadz Mamat merasakan bahwa tubuh bagian atasnya kini telah dilepaskan dari kaos oblongnya, dan sesudah itu tubuh bagian bawahnya sebagian besar telah dilolosi dari kain pelikat penutupnya. Ustadz Mamat menggeleng-gelengkan kepala merasakan tak berdaya, sementara tubuhnya dirasakan semakin basah mandi keringat panas dingin. Namun yang sangat diluar dugaannya adalah sesuatu yang halus hangat dengan agak nakal kini menyelinap ke selangkangannya, dan sebelum ia dapat menolak atau mencegah, dirasakannya bahwa penisnya telah keluar dari balik celana dalamnya!
Banyak ahli psikologis mengatakan bahwa mimpi adalah bunga orang tidur dan disaat mimpi sering sekali keluar adegan yang sebenarnya sangat didambakan dalam situasi sehari-hari, namun tak pernah dapat tercapai atau terlaksana. Bayangan wanita berjilbab itu – terutama suara merdunya semakin lama semakin dikenalinya karena telah begitu sering didengarnya setiap hari, namun, namun.. tak mungkin, itu tak mungkin, istriku Aida yang demikian alim shalihah pasti tak akan melakukan hal tak senonoh ini! Ustadz Mamat tak mau mempercayai telinga dan matanya yang masih kabur. Ini hanya mimpi, ini hanya fatamorgana. Aku sedang sakit demam panas, sehingga mengigau tak karuan, aku.. aku.. sebagai lelaki memang terkadang ingin hal ini, tapi.. tapi..
‘Penolakan’ Ustadz Mamat yang sedang tak berdaya itu hanya dapat bertahan sementara saja karena dirasakannya bahwa kemaluannya kini dicengkeram dan dicekal di dalam genggaman jari-jari halus. Jari-jari itu kini dengan sengaja naik turun di batang kejantanannya, menyentuh mengusap dan mengelus lembut kepala jamurnya yang telanjang karena disunat. Bagian pinggiran topi baja yang sangat peka itu kini dijadikan sasaran: disentuh dan digesek-gesek tanpa henti, bahkan kini kuku jari tangan yang halus itu menyentuh lubang kencing di tengah kepala penisnya, menyebabkan semakin sering membuka, menutup, membuka bagaikan mulut ikan sedang megap-megap kekurangan oksigen.
Ustadz Mamat berusaha melawan mati-matian perlakuan yang belum pernah dialaminya, keringat semakin mengucur membasahi seluruh tubuhnya sehingga terlihat semakin mengkilat. Semuanya hanya sia-sia saja karena lembing kejantanannya yang selama minggu-minggu terakhir memang kurang teratur memperoleh ‘perhatian’ kini mulai memberikan reaksi, mulai bangun dengan gagah menegang dan berdenyut mengangguk-angguk seolah meminta lebih banyak perhatian!
“Jangan umma, jangan diterusin.. bapak sudah sembuh, tinggalkan bapak sendiri!” protes Ustadz Mamat.
“Ini obat yang manjur pak Ustadz, bukan obat biasa.. jangan dilawan pak Ustadz, percuma saja. Bapak akan keluar keringat sebanyak mungkin, itu keringat jahat – biarkan keluar.. saya cuma mau nolong, dilanjutkan ya pengobatannya pak Ustadz?”
Tanpa menunggu jawaban Ustadz Mamat yang sedang berkutat melawan proses alamiah kelelakiannya, bayangan wanita berjilbab yang semakin mirip dengan istrinya itu kini menundukkan kepalanya, dan meskipun tertutup jilbab namun terlihatlah apa yang sedang terjadi!
“Aaaahh.. oooohh.. ummu, jangaaan.. abba mau diapakan?! Oooohh.. siiaah.. aaaiii..”
Ustadz Mamat mengeluh mendesah tak karuan ketika dirasakannya ‘si otong’ kini memasuki ruangan hangat berdinding halus, kepala penisnya mulai disapu dan diusap dibelai oleh.. oleh.. ini tak mungkin terjadi, tapi.. tapi.. Ya All*h, istriku sedang mengulum kejantananku!! Bukankah istriku Aida selalu menolak untuk mengoralku karena jijik, tapi kenapa kini dia mau?
Dan benar sekali apa yang diucapkan wanita berjilbab itu: seluruh badan Ustadz Mamat semakin basah kuyup mandi keringat ketika ‘dimanjakan’ oleh bayangan istrinya sendiri, Aida. Oooh.. hal ini tak pernah kubayangkan, tapi.. tapi.. oooh.. dia belajar dari mana? Betapa pandainya Aida mencakup, mengulum, menghisap, menyedot serta membelai pusat kejantananku! Aaaah.. bahkan liang kencingku kini disodok-sodok oleh ujung lidahnya. Ooooh.. nikmaaatnya! Bagaimana aku akan tahan terhadap godaan ini?
“Aaaaah..!!” Dan disertai dengan dengusan bagai banteng terluka, maka Ustadz Mamat menyemburkan air mazinya.
Karena sedang demam maka lahar kelelakiannya pun dirasakan sangat panas menyemprot di saluran dalam penisnya. Namun berbeda jika ia sedang bermasturbasi ketika masih bujangan, maka kali ini tak ada setetespun yang berceceran membasahi selangkangannya, jadi berarti.. ini artinya.. istrinya telah menelan semuanya dengan lahap.. apakah benar begitu?
Ustadz Mamat ingin melihat dan bahkan menekan kepala istrinya yang tertutup jilbab itu ke arah selangkangannya agar semua spermanya dapat ditelan oleh Aida, namun.. namun.. dimanakah wanita dalam bayangan mimpinya yang telah memberikannya kenikmatan tak terhingga itu?
Perlahan-lahan Ustadz Mamat sanggup menegakkan tubuh bagian atasnya, dan dengan kecewa tak dapat ditemukannya istrinya, Aida – apakah semua itu hanyalah imajinasi, hanya khayalan? Namun mengapa tubuhnya yang penuh keringat itu kini terasa lebih mantap, lebih nyaman, dan gigilannya menghilang! Benarkah apa yang dikatakan bayangan wanita berjilbab itu bahwa semua ‘keringat jahat’ yang menyebabkan demamnya kini telah keluar disedot dan dihirup oleh si wanita berjilbab tadi – dimanakah dia..?
Ustadz Mamat merasa sangat lelah sehingga tak terasa ia kembali tertidur pulas.
Esok harinya Ustadz Mamat berusaha memberikan pelajaran lagi, tubuhnya masih dirasakannya belum mantap seluruhnya, juga kepalanya masih agak pusing dan berat, namun demamnya telah menghilang, itu yang terpenting. Hari itu Ustadz Mamat memberikan bahan pelajaran yang ringan saja, juga dengan hikmat didengarkannya suara murid-muridnya yang berlatih musabaqoh tillawatil itu.
Diusahakannya agar semua perhatiannya tertuju kepada bahan pelajaran, namun kedua penggoda yang duduk di barisan depan kembali melakukan segala macam upaya untuk menarik perhatiannya. Ustadz Mamat selalu mencoba menghindarkan pandangan matanya ke arah Rofikah dan Sumirah yang genit itu. Kedua pelajar itupun tak banyak diberikan kesempatan untuk bertanya, sehingga kedua murid ini semakin penasaran, dan iblis yang mendalangi Sumirah dan Rofikah juga tak mau begitu saja menyerah mentah-mentah.
Iblis yang telah berhasil menggoda Ustadz Mamat di dalam mimpi erotis disaat demam itu kini memakai kelemahan Mamat sebagai laki-laki normal yang telah mengalami kenikmatan di-oral, pasti pengalaman ini sangat menyenangkan dan ingin dialami kembali! Jika kedua murid yang genit itu tak langsung berhasil menggodanya, maka sang iblis mengganti siasat : mungkin Ustadz Mamat justru akan tergoda oleh gadis yang alim shalihah seperti istrinya sendiri.
“Istrimu sudah dijadikan budak seks-nya pak Sobri, bahkan adikmu Farah juga telah digarap oleh pak Burhan, kini giliranmu untuk terjerumus jurang nista, ini akan kuatur,” demikian rencana iblis!
Sering duduk di barisan depan namun agak menyamping adalah seorang santriwati termuda serta tercantik bernama Murtiasih atau lebih sering dipanggil dengan nama panggilan sehari-hari Asih.
Berbeda dengan Sumirah dan Rofikah, maka Murtiasih berpakaian sehari-hari sangat sederhana dengan bahan biasa saja. Ia tidak memakai make-up untuk pipinya, maskara untuk alis matanya, lipstik untuk bibirnya, atau perhiasan mahal menyolok, kuku jarinya pun terawat rapih alamiah tanpa diberikan warna tambahan apapun. Semuanya itu justru lebih memberikan daya tarik, ibarat bunga desa yang murni tanpa cacat cela. Badannya yang kecil ramping mulai menunjukkan tanda-tanda kewanitaan yang baru bersemi bagaikan putik bunga masih kuncup namun ujung atasnya mulai merekah dan menimbulkan hasrat untuk lebah menghisap madunya.
Iblis mengetahui hal ini dan ‘lebah’ yang akan dipakai oleh sang iblis adalah dalam bentuk lelaki yang sedang kesepian. Ustadz Mamat diawal mula tidak memperhatikan adanya santriwati cantik manis ini, karena Asih tak banyak bicara, duduk tenang di kelas menyimak pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Di waktu istirahat pun Asih umumnya memakai kesempatan untuk membaca serta mengulang bahan pelajaran yang baru diterimanya, dan usai sekolah maka Murtiasih langsung pulang tanpa mĂ©jĂ©ng ke tempat lain.
Perhatian Ustadz Mamat terhadap gadis ABG Asih sebagai akibat godaan iblis baru muncul setelah pengalaman khayalan mimpi saat menderita demam panas. Di hari-hari berikutnya barulah Ustadz Mamat ‘menyadari’ bahwa dalam kelas yang diajarnya ada seorang gadis muda belia, ayu cantik manis alamiah tanpa memakai tambahan apapun, selalu berkelakuan sopan santun, dan lemah lembut.
Berbeda dengan Irah dan Ikah yang berusaha menampilkan tonjolan tubuh mereka yang sexy, maka Asih selalu menghindarkan perhatian mata lelaki dengan bertingkah lalu sewajar mungkin. Namun biar bagaimana pun secara alamiah Asih tidak mungkin mencegah pertumbuhan badannya yang semakin padat dan sintal : di atas pinggangnya nan langsing semakin membusung gundukan daging di dadanya, sedangkan di bawah pinggangnya terlihat pinggul serta pantat bulat bahenol yang bergoyang ke kiri dan ke kanan serta berputar sangat lembut jika ia sedang berjalan.
Ustadz Mamat berusaha protes namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya, selain itu kaki tangannya seberat lempengen timah sehingga tak mampu digerakkannya untuk melawan.
“Pssst, pakaian Ustadz yang sudah basah kuyup dengan keringat, jika tak ditukar maka bapak akan semakin sakit. Tenang saja, pak Ustadz, saya hanya ingin menolong.” Samar-samar Ustadz Mamat mendengar suara wanita yang halus dan merdu berbisik di telinganya.
“Siapakah yang sedang menolong dan merawatku saat ini – apakah malaikat, tapi ini.. ini.. aku kenal dia : istriku sendiri, Aida!” batin Ustadz Mamat.
Ustadz Mamat merasakan bahwa tubuh bagian atasnya kini telah dilepaskan dari kaos oblongnya, dan sesudah itu tubuh bagian bawahnya sebagian besar telah dilolosi dari kain pelikat penutupnya. Ustadz Mamat menggeleng-gelengkan kepala merasakan tak berdaya, sementara tubuhnya dirasakan semakin basah mandi keringat panas dingin. Namun yang sangat diluar dugaannya adalah sesuatu yang halus hangat dengan agak nakal kini menyelinap ke selangkangannya, dan sebelum ia dapat menolak atau mencegah, dirasakannya bahwa penisnya telah keluar dari balik celana dalamnya!
Banyak ahli psikologis mengatakan bahwa mimpi adalah bunga orang tidur dan disaat mimpi sering sekali keluar adegan yang sebenarnya sangat didambakan dalam situasi sehari-hari, namun tak pernah dapat tercapai atau terlaksana. Bayangan wanita berjilbab itu – terutama suara merdunya semakin lama semakin dikenalinya karena telah begitu sering didengarnya setiap hari, namun, namun.. tak mungkin, itu tak mungkin, istriku Aida yang demikian alim shalihah pasti tak akan melakukan hal tak senonoh ini! Ustadz Mamat tak mau mempercayai telinga dan matanya yang masih kabur. Ini hanya mimpi, ini hanya fatamorgana. Aku sedang sakit demam panas, sehingga mengigau tak karuan, aku.. aku.. sebagai lelaki memang terkadang ingin hal ini, tapi.. tapi..
‘Penolakan’ Ustadz Mamat yang sedang tak berdaya itu hanya dapat bertahan sementara saja karena dirasakannya bahwa kemaluannya kini dicengkeram dan dicekal di dalam genggaman jari-jari halus. Jari-jari itu kini dengan sengaja naik turun di batang kejantanannya, menyentuh mengusap dan mengelus lembut kepala jamurnya yang telanjang karena disunat. Bagian pinggiran topi baja yang sangat peka itu kini dijadikan sasaran: disentuh dan digesek-gesek tanpa henti, bahkan kini kuku jari tangan yang halus itu menyentuh lubang kencing di tengah kepala penisnya, menyebabkan semakin sering membuka, menutup, membuka bagaikan mulut ikan sedang megap-megap kekurangan oksigen.
Ustadz Mamat berusaha melawan mati-matian perlakuan yang belum pernah dialaminya, keringat semakin mengucur membasahi seluruh tubuhnya sehingga terlihat semakin mengkilat. Semuanya hanya sia-sia saja karena lembing kejantanannya yang selama minggu-minggu terakhir memang kurang teratur memperoleh ‘perhatian’ kini mulai memberikan reaksi, mulai bangun dengan gagah menegang dan berdenyut mengangguk-angguk seolah meminta lebih banyak perhatian!
“Jangan umma, jangan diterusin.. bapak sudah sembuh, tinggalkan bapak sendiri!” protes Ustadz Mamat.
“Ini obat yang manjur pak Ustadz, bukan obat biasa.. jangan dilawan pak Ustadz, percuma saja. Bapak akan keluar keringat sebanyak mungkin, itu keringat jahat – biarkan keluar.. saya cuma mau nolong, dilanjutkan ya pengobatannya pak Ustadz?”
Tanpa menunggu jawaban Ustadz Mamat yang sedang berkutat melawan proses alamiah kelelakiannya, bayangan wanita berjilbab yang semakin mirip dengan istrinya itu kini menundukkan kepalanya, dan meskipun tertutup jilbab namun terlihatlah apa yang sedang terjadi!
“Aaaahh.. oooohh.. ummu, jangaaan.. abba mau diapakan?! Oooohh.. siiaah.. aaaiii..”
Ustadz Mamat mengeluh mendesah tak karuan ketika dirasakannya ‘si otong’ kini memasuki ruangan hangat berdinding halus, kepala penisnya mulai disapu dan diusap dibelai oleh.. oleh.. ini tak mungkin terjadi, tapi.. tapi.. Ya All*h, istriku sedang mengulum kejantananku!! Bukankah istriku Aida selalu menolak untuk mengoralku karena jijik, tapi kenapa kini dia mau?
Dan benar sekali apa yang diucapkan wanita berjilbab itu: seluruh badan Ustadz Mamat semakin basah kuyup mandi keringat ketika ‘dimanjakan’ oleh bayangan istrinya sendiri, Aida. Oooh.. hal ini tak pernah kubayangkan, tapi.. tapi.. oooh.. dia belajar dari mana? Betapa pandainya Aida mencakup, mengulum, menghisap, menyedot serta membelai pusat kejantananku! Aaaah.. bahkan liang kencingku kini disodok-sodok oleh ujung lidahnya. Ooooh.. nikmaaatnya! Bagaimana aku akan tahan terhadap godaan ini?
“Aaaaah..!!” Dan disertai dengan dengusan bagai banteng terluka, maka Ustadz Mamat menyemburkan air mazinya.
Karena sedang demam maka lahar kelelakiannya pun dirasakan sangat panas menyemprot di saluran dalam penisnya. Namun berbeda jika ia sedang bermasturbasi ketika masih bujangan, maka kali ini tak ada setetespun yang berceceran membasahi selangkangannya, jadi berarti.. ini artinya.. istrinya telah menelan semuanya dengan lahap.. apakah benar begitu?
Ustadz Mamat ingin melihat dan bahkan menekan kepala istrinya yang tertutup jilbab itu ke arah selangkangannya agar semua spermanya dapat ditelan oleh Aida, namun.. namun.. dimanakah wanita dalam bayangan mimpinya yang telah memberikannya kenikmatan tak terhingga itu?
Perlahan-lahan Ustadz Mamat sanggup menegakkan tubuh bagian atasnya, dan dengan kecewa tak dapat ditemukannya istrinya, Aida – apakah semua itu hanyalah imajinasi, hanya khayalan? Namun mengapa tubuhnya yang penuh keringat itu kini terasa lebih mantap, lebih nyaman, dan gigilannya menghilang! Benarkah apa yang dikatakan bayangan wanita berjilbab itu bahwa semua ‘keringat jahat’ yang menyebabkan demamnya kini telah keluar disedot dan dihirup oleh si wanita berjilbab tadi – dimanakah dia..?
Ustadz Mamat merasa sangat lelah sehingga tak terasa ia kembali tertidur pulas.
Esok harinya Ustadz Mamat berusaha memberikan pelajaran lagi, tubuhnya masih dirasakannya belum mantap seluruhnya, juga kepalanya masih agak pusing dan berat, namun demamnya telah menghilang, itu yang terpenting. Hari itu Ustadz Mamat memberikan bahan pelajaran yang ringan saja, juga dengan hikmat didengarkannya suara murid-muridnya yang berlatih musabaqoh tillawatil itu.
Diusahakannya agar semua perhatiannya tertuju kepada bahan pelajaran, namun kedua penggoda yang duduk di barisan depan kembali melakukan segala macam upaya untuk menarik perhatiannya. Ustadz Mamat selalu mencoba menghindarkan pandangan matanya ke arah Rofikah dan Sumirah yang genit itu. Kedua pelajar itupun tak banyak diberikan kesempatan untuk bertanya, sehingga kedua murid ini semakin penasaran, dan iblis yang mendalangi Sumirah dan Rofikah juga tak mau begitu saja menyerah mentah-mentah.
Iblis yang telah berhasil menggoda Ustadz Mamat di dalam mimpi erotis disaat demam itu kini memakai kelemahan Mamat sebagai laki-laki normal yang telah mengalami kenikmatan di-oral, pasti pengalaman ini sangat menyenangkan dan ingin dialami kembali! Jika kedua murid yang genit itu tak langsung berhasil menggodanya, maka sang iblis mengganti siasat : mungkin Ustadz Mamat justru akan tergoda oleh gadis yang alim shalihah seperti istrinya sendiri.
“Istrimu sudah dijadikan budak seks-nya pak Sobri, bahkan adikmu Farah juga telah digarap oleh pak Burhan, kini giliranmu untuk terjerumus jurang nista, ini akan kuatur,” demikian rencana iblis!
Sering duduk di barisan depan namun agak menyamping adalah seorang santriwati termuda serta tercantik bernama Murtiasih atau lebih sering dipanggil dengan nama panggilan sehari-hari Asih.
Berbeda dengan Sumirah dan Rofikah, maka Murtiasih berpakaian sehari-hari sangat sederhana dengan bahan biasa saja. Ia tidak memakai make-up untuk pipinya, maskara untuk alis matanya, lipstik untuk bibirnya, atau perhiasan mahal menyolok, kuku jarinya pun terawat rapih alamiah tanpa diberikan warna tambahan apapun. Semuanya itu justru lebih memberikan daya tarik, ibarat bunga desa yang murni tanpa cacat cela. Badannya yang kecil ramping mulai menunjukkan tanda-tanda kewanitaan yang baru bersemi bagaikan putik bunga masih kuncup namun ujung atasnya mulai merekah dan menimbulkan hasrat untuk lebah menghisap madunya.
Iblis mengetahui hal ini dan ‘lebah’ yang akan dipakai oleh sang iblis adalah dalam bentuk lelaki yang sedang kesepian. Ustadz Mamat diawal mula tidak memperhatikan adanya santriwati cantik manis ini, karena Asih tak banyak bicara, duduk tenang di kelas menyimak pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Di waktu istirahat pun Asih umumnya memakai kesempatan untuk membaca serta mengulang bahan pelajaran yang baru diterimanya, dan usai sekolah maka Murtiasih langsung pulang tanpa mĂ©jĂ©ng ke tempat lain.
Perhatian Ustadz Mamat terhadap gadis ABG Asih sebagai akibat godaan iblis baru muncul setelah pengalaman khayalan mimpi saat menderita demam panas. Di hari-hari berikutnya barulah Ustadz Mamat ‘menyadari’ bahwa dalam kelas yang diajarnya ada seorang gadis muda belia, ayu cantik manis alamiah tanpa memakai tambahan apapun, selalu berkelakuan sopan santun, dan lemah lembut.
Berbeda dengan Irah dan Ikah yang berusaha menampilkan tonjolan tubuh mereka yang sexy, maka Asih selalu menghindarkan perhatian mata lelaki dengan bertingkah lalu sewajar mungkin. Namun biar bagaimana pun secara alamiah Asih tidak mungkin mencegah pertumbuhan badannya yang semakin padat dan sintal : di atas pinggangnya nan langsing semakin membusung gundukan daging di dadanya, sedangkan di bawah pinggangnya terlihat pinggul serta pantat bulat bahenol yang bergoyang ke kiri dan ke kanan serta berputar sangat lembut jika ia sedang berjalan.
Asih tak menyadari sama sekali bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian dari tiga orang! Tidak hanya Ustadz Mamat yang semakin lama semakin tertarik kepadanya, tetapi ada dua orang sekelas dan sesama jenis yang merasakan ‘kalah persaingan’ yaitu Ikah dan Irah! Keduanya tak mengerti mengapa perhatian Ustadz Mamat kini lebih menjurus kepada Asih yang mereka anggap ‘mentah’ dan tak mempunyai keistimewaan sama sekali. Mengapa usaha mereka menonjolkan keindahan tubuh mereka yang sexy tak berhasil mengundang mata Ustadz Mamat, sedangkan Asih dengan kecantikan alam sekedarnya dan tubuh ABG yang baru ‘melentis’ mempunyai daya tarik lebih?!
Rasa kejengkelan dan kekecewaan yang semakin terpendam perlahan-lahan berubah menjadi dendam dan memang hal ini merupakan bagian dari kehebatan dan kelicikan iblis dalam mengadu domba anak manusia sehingga menjadi ‘buta’. Semakin manusia kehilangan akal sehatnya dan saling membenci sehingga akhirnya gontok-gontokan dan bahkan saling membunuh seperti yang terjadi di pelbagai tempat di dunia pada saat ini, maka semakin senanglah iblis yang menyeringai dan tertawa terbahak-bahak.
Ikah dan Irah mengasah otak mereka yang telah dipengaruhi iblis : jika mereka berdua tak berhasil langsung menjebak Ustadz Mamat, maka biarlah Asih dijadikan ‘korban’ terlebih dahulu.
‘Kegagalan’ mereka mendekati Ustadz Mamat adalah karena adanya Asih, oleh karena itu saingan muda belia itu biarlah digarap oleh Ustadz Mamat. Namun peristiwa perlecehan sang Ustadz terhadap Asih itu akan direkam dan dijadikan senjata ampuh untuk ‘menguasai’ Ustadz Mamat – dengan demikian maka secara tak langsung akhirnya Ustadz Mamat akan dapat takluk dan tunduk kepada Ikah dan Irah untuk memenuhi keinginan seks mereka, sedangkan Asih pun telah ternoda..
Untuk melaksanakan rencana itu, mereka akan membayar tukang sapu pembersih pesantren di situ : mang Jamal namanya – duda berusia lima puluh dua tapi masih tegar gagah perkasa dan gemar pada daun muda.
Karena Asih sifatnya sangat alim dan sukar diajak untuk pergi mejeng seperti gadis remaja lain seusianya, maka harus dicari akal untuk menjebaknya – dan mereka mencari ‘kelemahan’ alias ‘ke-naif-an’ Asih, terutama sifatnya yang selalu bersedia menolong orang yang sedang kesusahan.
Setiap hari Jum’at para santriwati di pesantren itu hanya mendapatkan pelajaran beberapa jam dan sebelum jam sebelas mereka sudah dibubarkan untuk memberikan kesempatan sholat jum’at. Kesempatan ini dipakai oleh Ikah dan Irah serta mang Jamal yang sudah dibayar oleh keduanya dan menjadi kaki tangan mereka. Mang Jamal diberikan petunjuk bagaimana merekam adegan terlarang Ustadz Mamat dengan Asih menggunakan handphone mereka, dan bahkan dijanjikan bahwa setelah Murtiasih dikorbankan kepada Ustadz Mamat, maka setelah itu juga boleh ‘dicicipi’ oleh Mang Jamal!
Tentu saja mang Jamal sangat senang memperoleh tawaran luar biasa itu, ibarat dapat lotere dobel: bukan saja memperoleh duit, namun juga bisa mengintip dan merekam adegan terlarang, bahkan sesudah itu dapat menikmati tubuh muda Murtiasih. Mang Jamal dengan ukuran rudal luar biasa dan berpengalaman begitu banyak dengan wanita di desa selama ini yakin bahwa apa yang akan dialami Murtiasih ketika kehilangan kesuciannya pertama kali dengan Ustadz Mamat tak akan dapat dibandingkan dengan apa yang akan dirasakannya di dalam cengkraman ‘aku Mang Jamal, si pejantan tangguh!’
Sehari sebelumnya yaitu hari Kamis, Ikah dan Irah telah memberikan perintah kepada mang Jamal agar membawakan minum air seperti biasanya kepada Ustadz Mamat ketika mengajar di kelas. Namun di hari Jum’at ini minuman air ditambah dengan obat tidur yang diambil oleh Ikah dari kamar tidur ayahnya yang memang mempunyai gangguan sukar tidur, sehingga mendapatkan obat penenang dari dokter. Selain itu dicampuri pula ramuan obat kuras perut desa untuk membuat Ustadz Mamat pusing dan perutnya sangat mulas, sehingga tak lama kemudian ia memohon maaf permisi dengan tergesa-gesa dan mengundurkan diri langsung kembali ke kamarnya sendiri di asrama pesantren itu.
Di asrama pesantren hanya terdapat tiga kamar tidur, sebuah kamar mandi dan WC yang letaknya di belakang. Juga ada sebuah WC kecil untuk pengunjung yang terletak di depan di daerah kamar penerima tamu. Kamar tamu itu hanya sederhana dengan sebuah meja kecil, dua kursi dan sebuah bangku panjang.
Mamat sebenarnya ingin melanjutkan memberikan kuliahnya, oleh karena itu ia merebahkan diri dibangku panjang kamar tamu yang kebetulan letaknya paling dekat dengan WC kecil, namun keinginannya kalah dengan rasa lemas dan ngantuk hingga ia tertidur pulas di bangku panjang itu.
Pimpinan pesantren terpaksa memberikan izin jam bebas untuk para siswi dengan anjuran mengulang apa yang telah diberikan, sambil menunggu waktu sholat tengah hari sebelum para siswi diperbolehkan pulang.
Namun karena waktu menunggu sangat lama maka para siswi umumnya meminta izin pulang untuk melakukan sholat di desa kediaman masing-masing, dan karena pemimpin pesantren kebetulan mempunyai urusan penting dan juga ingin pulang lebih dahulu maka akhirnya permintaan para siswi dikabulkan. Terkecuali Asih yang memang selalu baru dijemput oleh adik laki-lakinya dengan motor, setelah sang adik ini sendiri sholat di masjid jami’ dekat tempat kerjanya sendiri sebagai montir motor.
Ikah dan Irah tahu bahwa Asih akan tetap berdiam di kelas sambil menunggu waktu untuk sholat dan dijemput adik laki-lakinya itu, dengan pelbagai alasan kedua kaki tangan iblis itupun tetap berada di kelas dengan alasan juga akan dijemput. Tanpa curiga apapun Asih juga menerima tawaran minum air yang dibawa oleh Ikah, sangat segar kata Ikah, memakai sari kelapa muda dengan campuran aroma jeruk. Air minum itu memang sangat menarik aromanya seperti yang dikatakan Ikah, namun dicampur pula dengan obat tidur yang dipakai oleh ayah Ikah dari dokter .
Setelah lewat sekitar sepuluh menit dan yakin bahwa tak lama lagi obat tidur itu akan mulai bekerja, maka kedua siswi yang penuh akal licik itu mengajak Asih berjalan-jalan sebentar di kompleks pesantren untuk menghirup udara segar sambil melemaskan kaki, tawaran yang mana diterima Asih karena mulai merasa ngantuk sehingga telah beberapa kali menguap panjang.
Tanpa curiga Asih yang sangat polos dan sangat lugu itu ikut berjalan di luar, melihat-lihat tanaman bunga yang baru saja ditanam pak Jamal. Tanpa terasa dan tanpa disadari Asih, mereka semakin mendekati bangunan dimana disitu terdapat kamar para dosen, termasuk kamar yang dipakai oleh Ustadz Mamat – bangunan yang juga dikelilingi oleh semak pohon tinggi, dimana pak Jamal telah menunggu mangsanya..!
Ketika Asih telah cukup dekat dengan semak belukar tempat persembunyiannya, maka meloncatlah pak Jamal ke belakang Murtiasih dan hanya dengan satu pukulan keras di belakang leher, santriwati cantik itu pun langsung jatuh pingsan. Sebelum tubuh Asih jatuh ke tanah, maka Ikah dan Irah langsung menopang dari kiri kanan, sedangkan pak Jamal menyanggah dari belakang sambil memeluk pinggang langsing Asih.
Kesempatan itu dipakai oleh si lelaki hidung belang untuk merasakan betapa lembutnya tubuh santriwati Asih, terutama ketika kedua tangan jail pak Jamal sempat menjangkau ke depan dan menyentuh buah dada Asih. Dengan sangat perlahan-lahan ketiga orang itu membopong Asih dan membawanya ke bangunan di belakang pesantren, dimana terdapat beberapa kamar tidur yang diantaranya dipakai oleh Ustadz Mamat. Sebagai orang yang bekerja membersihkan kompleks pesantren situ maka pak Jamal tahu persis dimana kamar Ustadz Mamat berada, dan kesitulah mereka bertiga membopong tubuh Asih.
Setelah mengintip ke dalam dan melihat bahwa Ustadz Mamat masih tidur nyenyak, mereka dengan sangat hati-hati membopong Murtiasih melewati kamar tamu di asrama pesantren itu, sambil melihat betapa nyenyaknya Ustadz Mamat tidur sehingga mendengkur keras, mereka menuju ke belakang dan meletakkan Murtiasih di ranjang kamar tidur yang biasa dipakai oleh Ustadz Mamat.
Ketiga manusia penuh akal bulus dan telah dipengaruhi iblis itu kemudian keluar lagi, pak Jamal membawa bantal guling dari kamar tidur disitu, lalu berjingkat di depan jendela depan yang selalu terbuka dan letaknya tak jauh dari bangku panjang dimana Ustadz Mamat masih terlelap, lalu dilemparkannya bantal itu ke arah Ustadz Mamat sehingga akhirnya si guru agama ini pun terbangun.
Meskipun masih merasakan agak ngantuk dan kurang mantap, Ustadz Mamat memaksakan dirinya untuk ke belakang dimana ada wastafel dan disitu dibasuh serta dicuci mukanya sehingga terasa matanya agak segar. Dilihatnya jam tangannya yang telah menunjukkan jam setengah sebelas siang, lalu diingatnya kembali apa yang telah dialaminya tadi pagi ketika merasa pusing, sakit perut, mulas dan ngantuk tak tertahankan, sehingga ia mengundurkan diri kembali ke kamarnya ini.
Ustadz Mamat menyadari bahwa pasti murid-murid nya sudah pulang dan bubaran, dan tugasnya telah selesai minggu itu, tak ada yang dapat dilakukannya lagi selain pulang naik bus ke desanya. Dengan langkah lunglai ia memasuki kamar tidurnya dengan niat membereskan pakaian, dan bagai terkena sihir, Ustadz Mamat berdiri di ambang pintu kamar tidurnya, matanya membelalak melihat sosok tubuh anak gadis ramping, meskipun masih sangat muda namun telah terlihat lekuk likunya yang sangat jelas. Selain itu kain sarung penutup bawahnya agak tersingkap sehingga kaki betis nan mungil dengan jari-jari mungil agak kemerahan tampak jelas, dan wajahnya.. itu Murtiasih !!!
Kaki Ustadz Mamat terasa gemetar, tak tahu apa yang harus dikerjakannya. Kenapa muridku berada di dalam kamarku – apa yang terjadi, apa yang harus kulakukan sekarang ? Aku telah mengundurkan diri dari memberikan pelajaran tadi karena alasan tak enak perut. Jika aku lapor bicara dengan siapapun maka pasti aku dituduh dengan sengaja kembali ke kamarku karena ingin melakukan hal tak senonoh dengan muridku sendiri. Apakah aku tunggu saja atau aku bangunkan Murtiasih lalu aku lepaskan ia pulang ke rumahnya? Aku sendiri sudah ingin pulang ke rumah, jadi ya sebaiknya akan aku usahakan membangunkan muridku ini.
Rasa kejengkelan dan kekecewaan yang semakin terpendam perlahan-lahan berubah menjadi dendam dan memang hal ini merupakan bagian dari kehebatan dan kelicikan iblis dalam mengadu domba anak manusia sehingga menjadi ‘buta’. Semakin manusia kehilangan akal sehatnya dan saling membenci sehingga akhirnya gontok-gontokan dan bahkan saling membunuh seperti yang terjadi di pelbagai tempat di dunia pada saat ini, maka semakin senanglah iblis yang menyeringai dan tertawa terbahak-bahak.
Ikah dan Irah mengasah otak mereka yang telah dipengaruhi iblis : jika mereka berdua tak berhasil langsung menjebak Ustadz Mamat, maka biarlah Asih dijadikan ‘korban’ terlebih dahulu.
‘Kegagalan’ mereka mendekati Ustadz Mamat adalah karena adanya Asih, oleh karena itu saingan muda belia itu biarlah digarap oleh Ustadz Mamat. Namun peristiwa perlecehan sang Ustadz terhadap Asih itu akan direkam dan dijadikan senjata ampuh untuk ‘menguasai’ Ustadz Mamat – dengan demikian maka secara tak langsung akhirnya Ustadz Mamat akan dapat takluk dan tunduk kepada Ikah dan Irah untuk memenuhi keinginan seks mereka, sedangkan Asih pun telah ternoda..
Untuk melaksanakan rencana itu, mereka akan membayar tukang sapu pembersih pesantren di situ : mang Jamal namanya – duda berusia lima puluh dua tapi masih tegar gagah perkasa dan gemar pada daun muda.
Karena Asih sifatnya sangat alim dan sukar diajak untuk pergi mejeng seperti gadis remaja lain seusianya, maka harus dicari akal untuk menjebaknya – dan mereka mencari ‘kelemahan’ alias ‘ke-naif-an’ Asih, terutama sifatnya yang selalu bersedia menolong orang yang sedang kesusahan.
Setiap hari Jum’at para santriwati di pesantren itu hanya mendapatkan pelajaran beberapa jam dan sebelum jam sebelas mereka sudah dibubarkan untuk memberikan kesempatan sholat jum’at. Kesempatan ini dipakai oleh Ikah dan Irah serta mang Jamal yang sudah dibayar oleh keduanya dan menjadi kaki tangan mereka. Mang Jamal diberikan petunjuk bagaimana merekam adegan terlarang Ustadz Mamat dengan Asih menggunakan handphone mereka, dan bahkan dijanjikan bahwa setelah Murtiasih dikorbankan kepada Ustadz Mamat, maka setelah itu juga boleh ‘dicicipi’ oleh Mang Jamal!
Tentu saja mang Jamal sangat senang memperoleh tawaran luar biasa itu, ibarat dapat lotere dobel: bukan saja memperoleh duit, namun juga bisa mengintip dan merekam adegan terlarang, bahkan sesudah itu dapat menikmati tubuh muda Murtiasih. Mang Jamal dengan ukuran rudal luar biasa dan berpengalaman begitu banyak dengan wanita di desa selama ini yakin bahwa apa yang akan dialami Murtiasih ketika kehilangan kesuciannya pertama kali dengan Ustadz Mamat tak akan dapat dibandingkan dengan apa yang akan dirasakannya di dalam cengkraman ‘aku Mang Jamal, si pejantan tangguh!’
Sehari sebelumnya yaitu hari Kamis, Ikah dan Irah telah memberikan perintah kepada mang Jamal agar membawakan minum air seperti biasanya kepada Ustadz Mamat ketika mengajar di kelas. Namun di hari Jum’at ini minuman air ditambah dengan obat tidur yang diambil oleh Ikah dari kamar tidur ayahnya yang memang mempunyai gangguan sukar tidur, sehingga mendapatkan obat penenang dari dokter. Selain itu dicampuri pula ramuan obat kuras perut desa untuk membuat Ustadz Mamat pusing dan perutnya sangat mulas, sehingga tak lama kemudian ia memohon maaf permisi dengan tergesa-gesa dan mengundurkan diri langsung kembali ke kamarnya sendiri di asrama pesantren itu.
Di asrama pesantren hanya terdapat tiga kamar tidur, sebuah kamar mandi dan WC yang letaknya di belakang. Juga ada sebuah WC kecil untuk pengunjung yang terletak di depan di daerah kamar penerima tamu. Kamar tamu itu hanya sederhana dengan sebuah meja kecil, dua kursi dan sebuah bangku panjang.
Mamat sebenarnya ingin melanjutkan memberikan kuliahnya, oleh karena itu ia merebahkan diri dibangku panjang kamar tamu yang kebetulan letaknya paling dekat dengan WC kecil, namun keinginannya kalah dengan rasa lemas dan ngantuk hingga ia tertidur pulas di bangku panjang itu.
Pimpinan pesantren terpaksa memberikan izin jam bebas untuk para siswi dengan anjuran mengulang apa yang telah diberikan, sambil menunggu waktu sholat tengah hari sebelum para siswi diperbolehkan pulang.
Namun karena waktu menunggu sangat lama maka para siswi umumnya meminta izin pulang untuk melakukan sholat di desa kediaman masing-masing, dan karena pemimpin pesantren kebetulan mempunyai urusan penting dan juga ingin pulang lebih dahulu maka akhirnya permintaan para siswi dikabulkan. Terkecuali Asih yang memang selalu baru dijemput oleh adik laki-lakinya dengan motor, setelah sang adik ini sendiri sholat di masjid jami’ dekat tempat kerjanya sendiri sebagai montir motor.
Ikah dan Irah tahu bahwa Asih akan tetap berdiam di kelas sambil menunggu waktu untuk sholat dan dijemput adik laki-lakinya itu, dengan pelbagai alasan kedua kaki tangan iblis itupun tetap berada di kelas dengan alasan juga akan dijemput. Tanpa curiga apapun Asih juga menerima tawaran minum air yang dibawa oleh Ikah, sangat segar kata Ikah, memakai sari kelapa muda dengan campuran aroma jeruk. Air minum itu memang sangat menarik aromanya seperti yang dikatakan Ikah, namun dicampur pula dengan obat tidur yang dipakai oleh ayah Ikah dari dokter .
Setelah lewat sekitar sepuluh menit dan yakin bahwa tak lama lagi obat tidur itu akan mulai bekerja, maka kedua siswi yang penuh akal licik itu mengajak Asih berjalan-jalan sebentar di kompleks pesantren untuk menghirup udara segar sambil melemaskan kaki, tawaran yang mana diterima Asih karena mulai merasa ngantuk sehingga telah beberapa kali menguap panjang.
Tanpa curiga Asih yang sangat polos dan sangat lugu itu ikut berjalan di luar, melihat-lihat tanaman bunga yang baru saja ditanam pak Jamal. Tanpa terasa dan tanpa disadari Asih, mereka semakin mendekati bangunan dimana disitu terdapat kamar para dosen, termasuk kamar yang dipakai oleh Ustadz Mamat – bangunan yang juga dikelilingi oleh semak pohon tinggi, dimana pak Jamal telah menunggu mangsanya..!
Ketika Asih telah cukup dekat dengan semak belukar tempat persembunyiannya, maka meloncatlah pak Jamal ke belakang Murtiasih dan hanya dengan satu pukulan keras di belakang leher, santriwati cantik itu pun langsung jatuh pingsan. Sebelum tubuh Asih jatuh ke tanah, maka Ikah dan Irah langsung menopang dari kiri kanan, sedangkan pak Jamal menyanggah dari belakang sambil memeluk pinggang langsing Asih.
Kesempatan itu dipakai oleh si lelaki hidung belang untuk merasakan betapa lembutnya tubuh santriwati Asih, terutama ketika kedua tangan jail pak Jamal sempat menjangkau ke depan dan menyentuh buah dada Asih. Dengan sangat perlahan-lahan ketiga orang itu membopong Asih dan membawanya ke bangunan di belakang pesantren, dimana terdapat beberapa kamar tidur yang diantaranya dipakai oleh Ustadz Mamat. Sebagai orang yang bekerja membersihkan kompleks pesantren situ maka pak Jamal tahu persis dimana kamar Ustadz Mamat berada, dan kesitulah mereka bertiga membopong tubuh Asih.
Setelah mengintip ke dalam dan melihat bahwa Ustadz Mamat masih tidur nyenyak, mereka dengan sangat hati-hati membopong Murtiasih melewati kamar tamu di asrama pesantren itu, sambil melihat betapa nyenyaknya Ustadz Mamat tidur sehingga mendengkur keras, mereka menuju ke belakang dan meletakkan Murtiasih di ranjang kamar tidur yang biasa dipakai oleh Ustadz Mamat.
Ketiga manusia penuh akal bulus dan telah dipengaruhi iblis itu kemudian keluar lagi, pak Jamal membawa bantal guling dari kamar tidur disitu, lalu berjingkat di depan jendela depan yang selalu terbuka dan letaknya tak jauh dari bangku panjang dimana Ustadz Mamat masih terlelap, lalu dilemparkannya bantal itu ke arah Ustadz Mamat sehingga akhirnya si guru agama ini pun terbangun.
Meskipun masih merasakan agak ngantuk dan kurang mantap, Ustadz Mamat memaksakan dirinya untuk ke belakang dimana ada wastafel dan disitu dibasuh serta dicuci mukanya sehingga terasa matanya agak segar. Dilihatnya jam tangannya yang telah menunjukkan jam setengah sebelas siang, lalu diingatnya kembali apa yang telah dialaminya tadi pagi ketika merasa pusing, sakit perut, mulas dan ngantuk tak tertahankan, sehingga ia mengundurkan diri kembali ke kamarnya ini.
Ustadz Mamat menyadari bahwa pasti murid-murid nya sudah pulang dan bubaran, dan tugasnya telah selesai minggu itu, tak ada yang dapat dilakukannya lagi selain pulang naik bus ke desanya. Dengan langkah lunglai ia memasuki kamar tidurnya dengan niat membereskan pakaian, dan bagai terkena sihir, Ustadz Mamat berdiri di ambang pintu kamar tidurnya, matanya membelalak melihat sosok tubuh anak gadis ramping, meskipun masih sangat muda namun telah terlihat lekuk likunya yang sangat jelas. Selain itu kain sarung penutup bawahnya agak tersingkap sehingga kaki betis nan mungil dengan jari-jari mungil agak kemerahan tampak jelas, dan wajahnya.. itu Murtiasih !!!
Kaki Ustadz Mamat terasa gemetar, tak tahu apa yang harus dikerjakannya. Kenapa muridku berada di dalam kamarku – apa yang terjadi, apa yang harus kulakukan sekarang ? Aku telah mengundurkan diri dari memberikan pelajaran tadi karena alasan tak enak perut. Jika aku lapor bicara dengan siapapun maka pasti aku dituduh dengan sengaja kembali ke kamarku karena ingin melakukan hal tak senonoh dengan muridku sendiri. Apakah aku tunggu saja atau aku bangunkan Murtiasih lalu aku lepaskan ia pulang ke rumahnya? Aku sendiri sudah ingin pulang ke rumah, jadi ya sebaiknya akan aku usahakan membangunkan muridku ini.
Setelah mengambil keputusan maka Ustadz Mamat dari ambang pintu mulai memanggil nama muridnya agar terbangun. “Murtiasih, Asih, Asih, bangunlah nak.. udah siang nih, bangunlah dan pulang balik ke rumah.. udah usai semua, bangunlah, Asih.. bangun!!” Ustadz Mamat berusaha membangunkan dengan suara lembut agar tak mengejutkan muridnya.
Namun Murtiasih masih tidur pulas sehingga akhirnya Ustadz Mamat melangkah lebih maju dan mendekati tepi kasur, disaat mana Murtiasih menarik kakinya sehingga kain sarungnya tersingkap. Sangat tergugah semangat Ustadz Mamat ketika melihat pemandangan yang sama sekali diluar dugaannya akan muncul, sementara iblis mulai membisikkan dan menghasut di benak Ustadz Mamat.
“..lihatlah kaki mungil itu, lihatlah pergelangan kakinya yang sedemikian langsing, lihatlah betis bagai tanaman padi Cianjur, lihatlah betapa putih mulus kulitnya, dekatilah, sentuhlah, usaplah..”
Beberapa menit Ustadz Mamat berusaha menggunakan akal sehat dan nuraninya sebagai guru agama, namun godaan iblis ternyata semakin kuat. Mata Ustadz Mamat semakin terpukau melihat kaki dan betis mulus Murtiasih, darahnya semakin berdesir, tanpa disadari si otong di selangkangannya mulai terbangun.
“..ayohlah, tunggu apa lagi? Tak ada manusia yang melihat, kamu sangat menderita berhari hari tak berada di ranjang dengan istrimu, tak menjamah istrimu, tak menggarap istrimu, siapa tahu dia bahkan mempunyai lelaki lain yang menggaulinya, apa salahnya kalau kamu bergaul dengan wanita lain – apalagi ini muridmu sendiri yang kamu tahu amat alim shalihah, pasti belum pernah disentuh lelaki, ajari dia nikmatnya bercinta, kamu laki–laki pertama yang..”
Perlahan-lahan Ustadz Mamat melepaskan semua baju yang dipakainya , kini ia hanya memakai celana dalam saja. Setelah itu ia duduk di tepi kasur yang cukup lebar untuk dua orang itu dimana Murtiasih terbaring, lalu dengan perlahan Ustadz Mamat merebahkan dirinya di samping sang murid. Disentuhnya pipi Asih yang sedemikian licin, didengarnya hembusan nafas sangat lembut dan halus dari hidung gadis itu, diusapnya pipi Murtiasih lalu jarinya turun mendekati sudut bibir merah muda yang terlihat agak basah mengkilat sedikit terbuka. Ustadz Mamat tak sanggup lagi menahan gejolak birahinya dan pada saat bersamaan, Murtiasih membuka matanya dan langsung menjerit dan sekaligus berusaha bangkit serta bangun dari posisi rebahnya.
“Eeehmmfppffh.. aummpph.. eemmsshhpph.. ennngghh..” teriakan Murtiasih langsung teredam oleh mulut Ustadz Mamat yang dengan bibir tebalnya menciumi secara rakus. Berbeda dengan disaat ia bercinta dengan Aida istrinya, maka kali ini benak Ustadz Mamat sudah dikuasai oleh iblis sehingga semua tindakannya menjadi kasar.
Seolah diberikan bantuan energi gaib maka tenaga Ustadz Mamat pun menjadi berlipat ganda, tubuhnya yang hanya memakai celana dalam kini menindih badan mungil muridnya. Kedua tangan Murtiasih yang berusaha mendorong dada Mamat dicekal pergelangannya dan ditekan ke kasur di atas kepala hanya dengan satu tangan kiri, sedangkan tangan kanan Ustadz Mamat berusaha membuka beberapa kancing penutup kebaya si gadis baru remaja itu.
Tak lama gamis berwarna putih milik Murtiasih telah terbuka dan muncullah dua gundukan bukit mungil tertutup BH krem. Murtiasih yang telah ditindih tak berdaya itu menggeliatkan tubuhnya mati-matian ke kiri dan ke kanan bagai cacing kepanasan, tapi hal ini justru semakin memacu nafsu birahi guru agama yang sedang kesurupan itu. Akibat gelengan kepalanya ke kiri dan ke kanan dalam usahanya menghindarkan ciuman buas, lepaslah jilbab penutup kepalanya, sehingga rambut hitam pekat ikal bergerai ke samping dan ke bahu Asih, menambah cantiknya wajah gadis muda itu.
“Tolooong.. lepaskaan! Ustadz mau apa? Jangaaan.. pak Ustadz! Ingaaat.. sadaar.. insyaflah.. pak Ustadz! Ini perbuatan jahanaam.. sialaaan.. paaak Ustadz.. jangaaan!!” demikian teriakan Murtiasih ketika ciuman Ustadz Mamat kini beralih ke arah telinganya, menghembus dan menjilat-jilat disitu, menyebabkan rasa geli dan nikmat.
Namun Ustadz Mamat sudah sepenuhnya dikuasai oleh setan, dengan ganas ciuman dan kecupannya menjalar ke leher jenjang yang putih, disedot dan digigit-gigitnya kecil kulit halus Murtiasih, sehingga langsung muncul bekas cupangan berwarna merah yang tentu saja menimbulkan rasa bangga di benak sang Ustadz. Hanya dalam waktu sangat singkat pergulatan antar dua insan dengan tenaga tak sebanding itu telah menunjukkan siapa pemenang dan siapa yang akan menjadi korban.
“Hmmmhh.. wanginya kamu, Asih. Badanmu harum, bapak tak tahan.. jangan melawan ya, bapak ingin menyayangi kamu.. tak akan menyakiti kalau kamu tak melawan, relaks dan nyerah saja!!” ujar Ustadz Mamat berusaha menenangkan gadis manis di bawah tindihannya yang kini mulai menangis terisak-isak.
Sambil tetap menindih tubuh mangsanya, Ustadz Mamat kini telah berhasil menyingkap BH Murtiasih ke atas, dan terlihatlah bukit kembar yang sedemikian indahnya, tidak besar namun sangat sekal, padat ranum berputing coklat muda kemerahan mengacung indah mengundang setiap lelaki untuk menyentuh. Demikian pula Ustadz Mamat yang langsung meremas buah dada kanan Murtiasih dengan tangan kanannya, sedangkan mulutnya segera mengatup buah dada kiri dengan penuh kegemasan, sementara kedua pergelangan tangan Murtiasih tetap dicengkeram dan direjang di atas kepalanya.
“Bukan main legitnya nih tetek, bapak jadi gemes geregetan.. bapak remes-remes ya, siapa tahu bisa keluar susu asli, hhhmmm.. ini pentil kayak kerucut, pasti enak dihisap dan dikenyotin.. nduk geulis pasti geli ketagihan, duuuuh.. enggak tahan lagi bapak pingin gigit biar nduk ngerasain ngilu,” celoteh Ustadz Mamat yang benar-benar telah kehilangan kesadaran dan martabatnya.
“Auuuh.. auuuuw.. engggaaak mau.. tolooong.. oooh.. ngiluuu, paaak Ustaaadz.. jangaaan.. aiiih.. auuww.. sakiiit.. udaaah.. Asih enggak mau.. lepasin Asih.. kasihani Asih, pak Ustadz.. tolooong..”
“Hehehe.. tahan dikiiit, nduk.. pasti nanti geli keenakan.. ntar malahan minta lagi, ketagihan kamu..” lanjut Ustadz Mamat sambil tak henti-hentinya gencar meremas, memilin, menghisap, dan menggigit-gigit puting yang semakin mengeras dan peka itu.
Murtiasih semakin tak berdaya dan lemas menghadapi serangan bertubi-tubi dari guru bejatnya, namun di ujung-ujung pembuluh syaraf di tubuhnya yang remaja kini mengalir dan bergejolak rasa hangat dan nyaman sebagai jawaban dari rangsangan yang diterimanya. Rasa nikmat mulai menguasai pori-pori kulitnya, menyebar dari kepala ke seluruh tubuhya – terutama di bagian yang diraba, disentuh, d usap, dan diciumi serta digigiti oleh Ustadz Mamat, menjadi semakin peka, penasaran ingin menagih lebih banyak lagi.
Baju kurung panjang yang dipakai Murtiasih telah semakin tersingkap akibat pergulatannya dengan Ustadz Mamat, apalagi ketika tangan kanan guru bejatnya itu mulai menurun dari buah dadanya ke arah perut, meraba dan menggelitik pusarnya yang cekung.
Tak lama kemudian tangan itu semakin mengembara ke bawah pusar, menyelinap semakin turun, dan terus turun ke dalam ke arah bawah mencari ‘harta karun’ yang amat mahal. yang tak mungkin bisa dibeli dengan apapun, dan hal ini membuat Murtiasih sementara sadar dan kembali meronta-ronta, namun Ustadz Mamat semakin gigih menindihnya, sehingga Asih semakin pengap dan merasakan sukar bernafas ditindih tubuh lelaki untuk yang pertama kali dalam seumur hidupnya.
“Udah.. jangaaan.. tolooong, paak Ustadz.. Asih masih perawan.. ooooh.. kasihani Asih, paak.. huu.. ngggaaak maauu.. lepasin Asih, paak Ustadz.. saya enggak akan bilang siapapun.. Asih mau pulang, pak..” pinta Asih dengan suara memelas disela-sela isak dan tangis sesenggukannya.
“Sssh.. anak maniss, ssh.. Asih sayang, kamu makin cantik.. nikmati sajalah.. rasakan nikmatnya.. Asih mulai basah juga kan, hehehe..” Ustadz Mamat semakin beringas dan jarinya telah menyentuh bagian tengah celana dalam muridnya yang ternyata memang terasa basah melembab.
“Hhhmm.. ayoooh ngaku, nduk bahenol.. udah pengen pipis ya? Ayolah.. tak usah ditahan.. nanti bapak jilati..” Ustadz Mamat semakin naik nafsu birahinya ketika meraba bukit kemaluan Asih yang membasah.
Tubuh kedua insan berlainan jenis itu telah mandi keringat akibat pergumulan mereka, seorang Ustadz yang telah dipengaruhi iblis berusaha merenggut kegadisan muridnya, sedangkan sang murid berusaha mempertahankan mati-matian milik satu-satunya yang seharusnya akan dipersembahkan kepada sang suami setelah upacara resmi akad nikah dan pengucapan ijab kabul nanti.
Meskipun Mamat telah menikah dengan Aida, seorang wanita alim cantik jelita [kini telah menjadi korban nafsu birahi pak Sobri, baca kisah sebelumnya], namun iblis telah mempengaruhinya serta membujuknya untuk menikmati kembali bagaimana rasanya merenggut keperawanan seorang gadis ABG.
“..sangat berbeda menikmati sebuah lubang yang telah sering kamu pakai dibandingkan celah hangat sempit yang tak pernah dilewati kemaluan lain, banggalah jika kejantananmu memperoleh kesempatan pertama menembus selaput tipis ABG itu. Bayangkanlah wajahnya meringis menahan sakit disertai rintihan memilukan memohon ampun, alangkah bedanya memasuki lubang istrimu yang sudah sering digauli...” Demikianlah bisikan iblis telah merasuki dan memenuhi benak Ustadz Mamat!
Ustadz Mamat kini telah melepaskan celana dalamnya sendiri dan tercengang bahwa kemaluannya sedemikian tegang keras mengacung bagaikan meriam sundut zaman baheula. Tak pernah selama ini dirasakan alat kejantanannya itu sedemikian gagah perkasa dan mendadak muncul lagi impian yang dialami ketika sakit demam. Diingatnya bahwa rudalnya dimanjakan, disepong, dikulum dan dijilat, serta dihisap oleh wanita gaib mirip dengan Aida, istrinya sendiri. Namun Ustadz Mamat tahu bahwa istrinya yang sedemikian alim mukminin tak akan mau melakukan hal yang selalu dikatakannya haram serta sangat menjijikkan itu. Kini timbullah keinginannya untuk merasakan hal itu dilakukan oleh seorang gadis murni tulen yang belum pernah disentuh oleh lelaki.
Aah.. betapa bahagianya aku, pikirnya.. Namun gadis demikian alim ini pasti takkan mau menyerah begitu saja – terkecuali mungkin jika dimulai dengan rangsangan sama, yaitu jika akulah yang memulai merangsangnya habis-habisan secara oral.
Namun Murtiasih masih tidur pulas sehingga akhirnya Ustadz Mamat melangkah lebih maju dan mendekati tepi kasur, disaat mana Murtiasih menarik kakinya sehingga kain sarungnya tersingkap. Sangat tergugah semangat Ustadz Mamat ketika melihat pemandangan yang sama sekali diluar dugaannya akan muncul, sementara iblis mulai membisikkan dan menghasut di benak Ustadz Mamat.
“..lihatlah kaki mungil itu, lihatlah pergelangan kakinya yang sedemikian langsing, lihatlah betis bagai tanaman padi Cianjur, lihatlah betapa putih mulus kulitnya, dekatilah, sentuhlah, usaplah..”
Beberapa menit Ustadz Mamat berusaha menggunakan akal sehat dan nuraninya sebagai guru agama, namun godaan iblis ternyata semakin kuat. Mata Ustadz Mamat semakin terpukau melihat kaki dan betis mulus Murtiasih, darahnya semakin berdesir, tanpa disadari si otong di selangkangannya mulai terbangun.
“..ayohlah, tunggu apa lagi? Tak ada manusia yang melihat, kamu sangat menderita berhari hari tak berada di ranjang dengan istrimu, tak menjamah istrimu, tak menggarap istrimu, siapa tahu dia bahkan mempunyai lelaki lain yang menggaulinya, apa salahnya kalau kamu bergaul dengan wanita lain – apalagi ini muridmu sendiri yang kamu tahu amat alim shalihah, pasti belum pernah disentuh lelaki, ajari dia nikmatnya bercinta, kamu laki–laki pertama yang..”
Perlahan-lahan Ustadz Mamat melepaskan semua baju yang dipakainya , kini ia hanya memakai celana dalam saja. Setelah itu ia duduk di tepi kasur yang cukup lebar untuk dua orang itu dimana Murtiasih terbaring, lalu dengan perlahan Ustadz Mamat merebahkan dirinya di samping sang murid. Disentuhnya pipi Asih yang sedemikian licin, didengarnya hembusan nafas sangat lembut dan halus dari hidung gadis itu, diusapnya pipi Murtiasih lalu jarinya turun mendekati sudut bibir merah muda yang terlihat agak basah mengkilat sedikit terbuka. Ustadz Mamat tak sanggup lagi menahan gejolak birahinya dan pada saat bersamaan, Murtiasih membuka matanya dan langsung menjerit dan sekaligus berusaha bangkit serta bangun dari posisi rebahnya.
“Eeehmmfppffh.. aummpph.. eemmsshhpph.. ennngghh..” teriakan Murtiasih langsung teredam oleh mulut Ustadz Mamat yang dengan bibir tebalnya menciumi secara rakus. Berbeda dengan disaat ia bercinta dengan Aida istrinya, maka kali ini benak Ustadz Mamat sudah dikuasai oleh iblis sehingga semua tindakannya menjadi kasar.
Seolah diberikan bantuan energi gaib maka tenaga Ustadz Mamat pun menjadi berlipat ganda, tubuhnya yang hanya memakai celana dalam kini menindih badan mungil muridnya. Kedua tangan Murtiasih yang berusaha mendorong dada Mamat dicekal pergelangannya dan ditekan ke kasur di atas kepala hanya dengan satu tangan kiri, sedangkan tangan kanan Ustadz Mamat berusaha membuka beberapa kancing penutup kebaya si gadis baru remaja itu.
Tak lama gamis berwarna putih milik Murtiasih telah terbuka dan muncullah dua gundukan bukit mungil tertutup BH krem. Murtiasih yang telah ditindih tak berdaya itu menggeliatkan tubuhnya mati-matian ke kiri dan ke kanan bagai cacing kepanasan, tapi hal ini justru semakin memacu nafsu birahi guru agama yang sedang kesurupan itu. Akibat gelengan kepalanya ke kiri dan ke kanan dalam usahanya menghindarkan ciuman buas, lepaslah jilbab penutup kepalanya, sehingga rambut hitam pekat ikal bergerai ke samping dan ke bahu Asih, menambah cantiknya wajah gadis muda itu.
“Tolooong.. lepaskaan! Ustadz mau apa? Jangaaan.. pak Ustadz! Ingaaat.. sadaar.. insyaflah.. pak Ustadz! Ini perbuatan jahanaam.. sialaaan.. paaak Ustadz.. jangaaan!!” demikian teriakan Murtiasih ketika ciuman Ustadz Mamat kini beralih ke arah telinganya, menghembus dan menjilat-jilat disitu, menyebabkan rasa geli dan nikmat.
Namun Ustadz Mamat sudah sepenuhnya dikuasai oleh setan, dengan ganas ciuman dan kecupannya menjalar ke leher jenjang yang putih, disedot dan digigit-gigitnya kecil kulit halus Murtiasih, sehingga langsung muncul bekas cupangan berwarna merah yang tentu saja menimbulkan rasa bangga di benak sang Ustadz. Hanya dalam waktu sangat singkat pergulatan antar dua insan dengan tenaga tak sebanding itu telah menunjukkan siapa pemenang dan siapa yang akan menjadi korban.
“Hmmmhh.. wanginya kamu, Asih. Badanmu harum, bapak tak tahan.. jangan melawan ya, bapak ingin menyayangi kamu.. tak akan menyakiti kalau kamu tak melawan, relaks dan nyerah saja!!” ujar Ustadz Mamat berusaha menenangkan gadis manis di bawah tindihannya yang kini mulai menangis terisak-isak.
Sambil tetap menindih tubuh mangsanya, Ustadz Mamat kini telah berhasil menyingkap BH Murtiasih ke atas, dan terlihatlah bukit kembar yang sedemikian indahnya, tidak besar namun sangat sekal, padat ranum berputing coklat muda kemerahan mengacung indah mengundang setiap lelaki untuk menyentuh. Demikian pula Ustadz Mamat yang langsung meremas buah dada kanan Murtiasih dengan tangan kanannya, sedangkan mulutnya segera mengatup buah dada kiri dengan penuh kegemasan, sementara kedua pergelangan tangan Murtiasih tetap dicengkeram dan direjang di atas kepalanya.
“Bukan main legitnya nih tetek, bapak jadi gemes geregetan.. bapak remes-remes ya, siapa tahu bisa keluar susu asli, hhhmmm.. ini pentil kayak kerucut, pasti enak dihisap dan dikenyotin.. nduk geulis pasti geli ketagihan, duuuuh.. enggak tahan lagi bapak pingin gigit biar nduk ngerasain ngilu,” celoteh Ustadz Mamat yang benar-benar telah kehilangan kesadaran dan martabatnya.
“Auuuh.. auuuuw.. engggaaak mau.. tolooong.. oooh.. ngiluuu, paaak Ustaaadz.. jangaaan.. aiiih.. auuww.. sakiiit.. udaaah.. Asih enggak mau.. lepasin Asih.. kasihani Asih, pak Ustadz.. tolooong..”
“Hehehe.. tahan dikiiit, nduk.. pasti nanti geli keenakan.. ntar malahan minta lagi, ketagihan kamu..” lanjut Ustadz Mamat sambil tak henti-hentinya gencar meremas, memilin, menghisap, dan menggigit-gigit puting yang semakin mengeras dan peka itu.
Murtiasih semakin tak berdaya dan lemas menghadapi serangan bertubi-tubi dari guru bejatnya, namun di ujung-ujung pembuluh syaraf di tubuhnya yang remaja kini mengalir dan bergejolak rasa hangat dan nyaman sebagai jawaban dari rangsangan yang diterimanya. Rasa nikmat mulai menguasai pori-pori kulitnya, menyebar dari kepala ke seluruh tubuhya – terutama di bagian yang diraba, disentuh, d usap, dan diciumi serta digigiti oleh Ustadz Mamat, menjadi semakin peka, penasaran ingin menagih lebih banyak lagi.
Baju kurung panjang yang dipakai Murtiasih telah semakin tersingkap akibat pergulatannya dengan Ustadz Mamat, apalagi ketika tangan kanan guru bejatnya itu mulai menurun dari buah dadanya ke arah perut, meraba dan menggelitik pusarnya yang cekung.
Tak lama kemudian tangan itu semakin mengembara ke bawah pusar, menyelinap semakin turun, dan terus turun ke dalam ke arah bawah mencari ‘harta karun’ yang amat mahal. yang tak mungkin bisa dibeli dengan apapun, dan hal ini membuat Murtiasih sementara sadar dan kembali meronta-ronta, namun Ustadz Mamat semakin gigih menindihnya, sehingga Asih semakin pengap dan merasakan sukar bernafas ditindih tubuh lelaki untuk yang pertama kali dalam seumur hidupnya.
“Udah.. jangaaan.. tolooong, paak Ustadz.. Asih masih perawan.. ooooh.. kasihani Asih, paak.. huu.. ngggaaak maauu.. lepasin Asih, paak Ustadz.. saya enggak akan bilang siapapun.. Asih mau pulang, pak..” pinta Asih dengan suara memelas disela-sela isak dan tangis sesenggukannya.
“Sssh.. anak maniss, ssh.. Asih sayang, kamu makin cantik.. nikmati sajalah.. rasakan nikmatnya.. Asih mulai basah juga kan, hehehe..” Ustadz Mamat semakin beringas dan jarinya telah menyentuh bagian tengah celana dalam muridnya yang ternyata memang terasa basah melembab.
“Hhhmm.. ayoooh ngaku, nduk bahenol.. udah pengen pipis ya? Ayolah.. tak usah ditahan.. nanti bapak jilati..” Ustadz Mamat semakin naik nafsu birahinya ketika meraba bukit kemaluan Asih yang membasah.
Tubuh kedua insan berlainan jenis itu telah mandi keringat akibat pergumulan mereka, seorang Ustadz yang telah dipengaruhi iblis berusaha merenggut kegadisan muridnya, sedangkan sang murid berusaha mempertahankan mati-matian milik satu-satunya yang seharusnya akan dipersembahkan kepada sang suami setelah upacara resmi akad nikah dan pengucapan ijab kabul nanti.
Meskipun Mamat telah menikah dengan Aida, seorang wanita alim cantik jelita [kini telah menjadi korban nafsu birahi pak Sobri, baca kisah sebelumnya], namun iblis telah mempengaruhinya serta membujuknya untuk menikmati kembali bagaimana rasanya merenggut keperawanan seorang gadis ABG.
“..sangat berbeda menikmati sebuah lubang yang telah sering kamu pakai dibandingkan celah hangat sempit yang tak pernah dilewati kemaluan lain, banggalah jika kejantananmu memperoleh kesempatan pertama menembus selaput tipis ABG itu. Bayangkanlah wajahnya meringis menahan sakit disertai rintihan memilukan memohon ampun, alangkah bedanya memasuki lubang istrimu yang sudah sering digauli...” Demikianlah bisikan iblis telah merasuki dan memenuhi benak Ustadz Mamat!
Ustadz Mamat kini telah melepaskan celana dalamnya sendiri dan tercengang bahwa kemaluannya sedemikian tegang keras mengacung bagaikan meriam sundut zaman baheula. Tak pernah selama ini dirasakan alat kejantanannya itu sedemikian gagah perkasa dan mendadak muncul lagi impian yang dialami ketika sakit demam. Diingatnya bahwa rudalnya dimanjakan, disepong, dikulum dan dijilat, serta dihisap oleh wanita gaib mirip dengan Aida, istrinya sendiri. Namun Ustadz Mamat tahu bahwa istrinya yang sedemikian alim mukminin tak akan mau melakukan hal yang selalu dikatakannya haram serta sangat menjijikkan itu. Kini timbullah keinginannya untuk merasakan hal itu dilakukan oleh seorang gadis murni tulen yang belum pernah disentuh oleh lelaki.
Aah.. betapa bahagianya aku, pikirnya.. Namun gadis demikian alim ini pasti takkan mau menyerah begitu saja – terkecuali mungkin jika dimulai dengan rangsangan sama, yaitu jika akulah yang memulai merangsangnya habis-habisan secara oral.
Dengan tekad baru yang dibantu bisikan iblis, maka Ustadz Mamat mengerahkan seluruh tenaganya untuk segera melepaskan pakaian muridnya. Bagaikan singa yang mencabik-cabik kelinci lemah, kedua tangan dan kaki Ustadz Mamat bergerak sedemikian sigap dan cekatan melepaskan melucut ke bawah dan ke atas semua busana penutup tubuh dan aurat Murtiasih. Bagaimanapun gadis malang itu berusaha untuk melawan, sang iblis seolah melemahkan daya tahannya, sedangkan tenaga Ustadz Mamat seolah berlipat ganda. Hanya dalam waktu beberapa menit saja, sempurnalah kedua tubuh insan itu telanjang bulat, tubuh Murtiasih kuning langsat ditindih oleh badan Ustadz Mamat yang hitam legam.
Ustadz Mamat kini merosot turun ke bawah untuk menciumi perut halus nan datar milik Murtiasih, dijilat-jilatnya pusar gadis itu hingga ia menggelinjang ke kiri dan ke kanan merasakan kegelian, apalagi ketika bibir rakus Ustadz Mamat mencucup serta menyupangi bagian bawah pusarnya, juga mendengus ke arah lipatan paha kiri kanan. Murtiasih kini merasakan sangat malu namun sekaligus nafsunya makin tergelitik disaat bukit venusnya disentuh.
“Uummmh.. wanginya nih paha, bageur euy.. putih licin mulus.. enak ya neng, diusap? Dijilat juga enak ya, neng.. bapak ciumin sambil digigit mau ya, neng? Uuummmhh..” puji Ustadz Mamat tak ada habisnya.
Murtiasih berusaha mengelak dan menendang dengan kakinya sambil mencoba membalikkan serta menggulingkan diri, tapi Ustadz Mamat telah menduga gerakan perlawanan ini. Kedua paha Murtiasih yang putih mulus itu langsung dihempaskan ke atas bahunya, sehingga terjuntailah betis langsing bak padi cianjur yang membunting memukul lemah ke punggung sang Ustadz. Dalam posisi tak berdaya itu, Murtiasih kembali merasakan kedua buah dadanya menjadi sasaran remasan kasar tangan Ustadz Mamat, terutama putingnya dipilin dan dicubit tak henti-henti, menyebabkan rasa ngilu dan nyeri tak terkira.
Namun yang sama sekali tak diduga adalah mulut Ustadz Mamat disertai nafas hangatnya melekat dan mengendus bukit kemaluannya, tak hanya sampai disitu saja, tak lama kemudian mulut itu mulai bermukim di gerbang kegadisannya, lalu terasa juluran lidah basah bagaikan ular mencari jalan di antara bulu halus kemaluannya, menyelinap ke dalam dan menjilati dinding celah surgawinya.
“Huhuhu.. jangaan, paaak.. Asih tak mau diginiin.. huhuhu.. insyaaflah, pak.. belum terlambaat.. oohh... aaahh.. ssshh.. nngggaak maaauu.. udaaah.. lepaaasin.. Asih mau pulaaang.. aaah.. oooh..”
“Hmmmmh.. wangi amat memek gadis alim belon pernah dicowel lelaki ini.. licinnya nih bibir bawah, merah muda lagi.. tuh kelihatan lobang pipisnya, hhmmh.. ada bulan sabit tipis, pasti selaput gadis.. emang betul kamu belon pernah dijamah lelaki ya.. oooh.. bapak jadi yang pertama nih,” tiada henti Ustadz Mamat menjilat, mengecup liang kenikmatan Asih sambil geram mengaguminya .
Perhatian Ustadz Mamat beralih ke lipatan atas bibir kemaluan Murtiasih, dimana tonjolan daging bagaikan penis kecil mengintip keluar. Tanpa ragu lagi jilatan serta ciuman si Ustadz yang dikuasai iblis kini menuju ke situ. Murtiasih menggeliat menggelinjang dan meronta sekuat tenaga karena ia merasakan untuk pertama kalinya ibarat disengat aliran listrik, pahanya membuka mengatup liar, menekan menjepit kepala pemerkosanya yang semakin menggiatkan rangsangannya tanpa kasihan.
“Oooohh.. aaahh.. paaakk, udaaah.. ssshh.. hmmssh.. oooh.. lepasin, paaak.. Asih mesti ke belakang.. aahh.. tolooong, pak.. Asih mauuu pipiiiss.. aaauuw.. aaahh..” dengan teriakan melengking disertai lengkungan tubuh mengejang ke atas, Asih mengalami orgasmenya yang pertama, sementara Ustadz Mamat merasakan betapa bibirnya basah kuyup oleh air mazi yang berlimpah ruah.
Ustadz Mamat sangat puas melihat hasil usahanya merangsang gadis manis ABG yang masih polos dan lugu itu. Kini Murtiasih telah mengalami pertama kalinya kenikmatan badaniah, telah tiba saatnya untuk pengalaman itu diperluas dengan menjadikannya seorang wanita dari seorang gadis.
Mamat meletakkan bantal di bawah pinggul Murtiasih sehingga semakin terangkat meninggi, lalu diletakkannya kembali kedua paha putih mulus yang masih bergetar halus disertai kejangan lemah ke atas pundaknya. Dimajukannya letak tubuhnya sendiri sehingga sendi paha Murtiasih menekuk ke arah buah dadanya sejauh dan semaksimal mungkin, dalam posisi mana terlihat belahan vagina Murtiasih yang telah basah oleh cairan lendir kewanitaannya, dan sedikit terbuka bibir memeknya.
Penis Ustadz Mamat yang lumayan besar telah menegang mengangguk-angguk dan menempatkan dirinya diantara belahan bibir memek yang agak kemerahan terhias rambut sangat halus di tepinya itu.
Murtiasih yang masih dalam keadaan lemah setelah mencapai orgasme, mendadak tergugah menyadari betapa posisinya yang sangat memalukan, terbuka lebar selangkangan dan celah kewanitaannya. Secara naluri disadarinya bahwa yang kini tengah menyentuh-nyentuh memeknya adalah kemaluan Ustadz Mamat yang mencari jalan masuk, dan dengan sangat panik Murtiasih berusaha mendorong bahu serta dada sang Ustadz yang berada di atasnya, bahkan Murtiasih berusaha mencakar muka gurunya itu.
Namun Ustadz Mamat dengan sigap mencekal kembali kedua pergelangan tangannya dan menekannya ke kasur di samping kepalanya yang kini sudah tak terlindung jilbabnya. Dengan demikian habislah daya Murtiasih mengelakkan nasibnya : kehilangan kegadisannya dicengkeraman sang Ustadz cabul.
“Aaaahh.. aduuuhh.. aauuuww.. tolooong, paaak.. aaauuuw.. saakiiit.. aduuuhh.. aauuummpfffh.. eemmppffhh..” jerit memilukan Murtiasih langsung teredam oleh ciuman buas Ustadz Mamat ketika kejantanannya mulai meretas menembus liang sempit gadis ABG korbannya.
“Tenang.. rileks, neng, sakitnya cuma sebentar.. santai aja.. bapak mau masuk lebih dalam lagi, tahan sedikit.. sebentar lagi neng pasti ketagihan.. duh, sempitnya si neng behenol.. hhhmmmh..” Ustadz Mamat berusaha menghibur sambil memajukan pinggulnya makin maju menekan semakin dalam.
“Aaauuuw.. sakit.. udaaah, pak, Asih tak kuat.. sakiiit sekali.. aaaauw.. kasihani Asih, pak.. ampuuun, huhuhu.. bapak jahat.. lepasin.. oooh, keluarin.. sakit.. ampuuun.. udaaah..” tangis Murtiasih dan rintihannya menimbulkan iba, namun semua terlambat karena Ustadz Mamat merasa kepalang basah.
Bleeez.. bleeez..
Mili demi mili penis Ustadz Mamat membelah memasuki lorong kenikmatan yang akhirnya jebol pertahanannya ketika selaput tipis berbentuk bulan sabit itu terkoyak, menyebabkan rasa sakit di tengah selangkangan Murtiasih bagaikan disayat sebuah pisau tajam. Di hadapan mata Murtiasih muncul ribuan bintang bagaikan kunang-kunang di tengah malam ketika rasa perih sakit menimpanya, tangisannya tetap teredam, hanya butir air mata mengalir di kedua pipi mulusnya.
Tanpa memperhatikan keadaan korbannya yang masih merasa tersiksa, mulailah Ustadz Mamat bergerak maju-mundur, terkadang diarahkannya arah lembing dagingnya ke atas, juga ke kanan, lalu ke kiri, ke kanan lagi, lalu dengan keras dihunjamkannya sedalam mungkin sehingga beradu dengan mulut rahim Murtiasih yang penuh ujung syaraf sangat peka.
Sekitar sepuluh menit Ustadz Mamat melakukan jelajahannya dengan kecepatan yang sama, dan ketika dirasakannya bahwa biji pelirnya telah mulai bergolak bagaikan berisi cairan mendidih, maka dipercepatnya gerakan tarik-dorong maju-mundur pinggulnya sehingga..
“Aaaahh.. oooh.. iiyaahh, jepit terus penis bapak.. ooh.. anaak pinteer, sempitnya si neng bahenol.. iyaaah, pijit-pijit terus.. remas terus, ooh.. bapak tak tahan lagi nihh, ooohhh..” demikian bunyi geraman Ustadz Mamat bagaikan hewan buas menikmati mangsanya. Dia menekan sekuat tenaga kepala penisnya diambang rahim Murtiasih ketika lahar panas spermanya membanjiri seluruh liang kewanitaan sang murid yang baru saja direnggut keperawanannya itu.
Murtiasih telah tak berdaya apa-apa lagi, semua tenaganya telah terkuras karena melawan sia-sia, peluh membasahi tubuhnya yang mungil bahenol, matanya berkaca-kaca, hidung bangir mancung dengan lubang mungil kembang-kempis seiring isak tangisnya, bibir merahnya merekah setengah terbuka, dari mana hanya terdengar dengusan dan desahan lembut.
Ya, gadis alim shalihah ini telah sepenuhnya ditakluki oleh guru bejatnya, akibat bisikan dan pengaruh iblis yang bersuka ria menyaksikan semua usahanya kini telah berhasil – juga dengan para pengintip di balik jendela!
Seperempat jam kemudian kedua insan yang berpelukan telanjang bulat di kasur itu dikejutkan oleh masuknya tiga orang ke kamar tidur Ustadz Mamat. Mereka adalah Sumirah, Rofikah dan pak Jamal disertai seringai lebar cengengesan, semuanya dengan penuh kepuasan menunjukkan hasil rekaman di dalam ponsel. Pelbagai adegan terlarang terlihat jelas, dimulai dengan Ustadz Mamat yang mendekati ranjang dimana Murtiasih tengah tidur dengan liku-liku tubuhnya yang mungil tapi menantang.
Kemudian jelas bagaimana Ustadz Mamat melepaskan bajunya sehingga hanya memakai celana dalamnya, dilanjutkan semua adegan pergulatan Ustadz Mamat dan korbannya, mulai dari Murtiasih berpakaian lengkap dengan jilbab, sampai semuanya dilepaskan secara paksa sehingga bugil. Sangat jelas pula adegan Ustadz Mamat meng-oral Murtiasih, dimana akhirnya perlawanan gadis malang itu runtuh dan mengalami orgasmenya yang pertama. Yang menjadi puncak klimaks pengambilan foto dan adegan bergerak itu adalah tentunya pada saat Murtiasih direnggut keperawanannya, bahkan terlihat jelas secara close-up bagaimana wajah yang meringis kesakitan disertai linangan air matanya.
Kini lengkaplah kehancuran posisi Ustadz Mamat dan Murtiasih: keduanya tak mampu melawan dan dibawah ancaman ketiga kaki tangan iblis itu, maka dimasa depan mereka menjadi permainan bagaikan budak belian untuk memenuhi kemauan dan keinginan nafsu birahi mereka. Sumirah dan Rofikah menjadikan Ustadz Mamat budak seks lelaki mereka, sedangkan pak Jamal memperoleh kesempatan menikmati tubuh Murtiasih, juga mereka terkadang melakukan secara bersama-sama.
Ustadz Mamat kini merosot turun ke bawah untuk menciumi perut halus nan datar milik Murtiasih, dijilat-jilatnya pusar gadis itu hingga ia menggelinjang ke kiri dan ke kanan merasakan kegelian, apalagi ketika bibir rakus Ustadz Mamat mencucup serta menyupangi bagian bawah pusarnya, juga mendengus ke arah lipatan paha kiri kanan. Murtiasih kini merasakan sangat malu namun sekaligus nafsunya makin tergelitik disaat bukit venusnya disentuh.
“Uummmh.. wanginya nih paha, bageur euy.. putih licin mulus.. enak ya neng, diusap? Dijilat juga enak ya, neng.. bapak ciumin sambil digigit mau ya, neng? Uuummmhh..” puji Ustadz Mamat tak ada habisnya.
Murtiasih berusaha mengelak dan menendang dengan kakinya sambil mencoba membalikkan serta menggulingkan diri, tapi Ustadz Mamat telah menduga gerakan perlawanan ini. Kedua paha Murtiasih yang putih mulus itu langsung dihempaskan ke atas bahunya, sehingga terjuntailah betis langsing bak padi cianjur yang membunting memukul lemah ke punggung sang Ustadz. Dalam posisi tak berdaya itu, Murtiasih kembali merasakan kedua buah dadanya menjadi sasaran remasan kasar tangan Ustadz Mamat, terutama putingnya dipilin dan dicubit tak henti-henti, menyebabkan rasa ngilu dan nyeri tak terkira.
Namun yang sama sekali tak diduga adalah mulut Ustadz Mamat disertai nafas hangatnya melekat dan mengendus bukit kemaluannya, tak hanya sampai disitu saja, tak lama kemudian mulut itu mulai bermukim di gerbang kegadisannya, lalu terasa juluran lidah basah bagaikan ular mencari jalan di antara bulu halus kemaluannya, menyelinap ke dalam dan menjilati dinding celah surgawinya.
“Huhuhu.. jangaan, paaak.. Asih tak mau diginiin.. huhuhu.. insyaaflah, pak.. belum terlambaat.. oohh... aaahh.. ssshh.. nngggaak maaauu.. udaaah.. lepaaasin.. Asih mau pulaaang.. aaah.. oooh..”
“Hmmmmh.. wangi amat memek gadis alim belon pernah dicowel lelaki ini.. licinnya nih bibir bawah, merah muda lagi.. tuh kelihatan lobang pipisnya, hhmmh.. ada bulan sabit tipis, pasti selaput gadis.. emang betul kamu belon pernah dijamah lelaki ya.. oooh.. bapak jadi yang pertama nih,” tiada henti Ustadz Mamat menjilat, mengecup liang kenikmatan Asih sambil geram mengaguminya .
Perhatian Ustadz Mamat beralih ke lipatan atas bibir kemaluan Murtiasih, dimana tonjolan daging bagaikan penis kecil mengintip keluar. Tanpa ragu lagi jilatan serta ciuman si Ustadz yang dikuasai iblis kini menuju ke situ. Murtiasih menggeliat menggelinjang dan meronta sekuat tenaga karena ia merasakan untuk pertama kalinya ibarat disengat aliran listrik, pahanya membuka mengatup liar, menekan menjepit kepala pemerkosanya yang semakin menggiatkan rangsangannya tanpa kasihan.
“Oooohh.. aaahh.. paaakk, udaaah.. ssshh.. hmmssh.. oooh.. lepasin, paaak.. Asih mesti ke belakang.. aahh.. tolooong, pak.. Asih mauuu pipiiiss.. aaauuw.. aaahh..” dengan teriakan melengking disertai lengkungan tubuh mengejang ke atas, Asih mengalami orgasmenya yang pertama, sementara Ustadz Mamat merasakan betapa bibirnya basah kuyup oleh air mazi yang berlimpah ruah.
Ustadz Mamat sangat puas melihat hasil usahanya merangsang gadis manis ABG yang masih polos dan lugu itu. Kini Murtiasih telah mengalami pertama kalinya kenikmatan badaniah, telah tiba saatnya untuk pengalaman itu diperluas dengan menjadikannya seorang wanita dari seorang gadis.
Mamat meletakkan bantal di bawah pinggul Murtiasih sehingga semakin terangkat meninggi, lalu diletakkannya kembali kedua paha putih mulus yang masih bergetar halus disertai kejangan lemah ke atas pundaknya. Dimajukannya letak tubuhnya sendiri sehingga sendi paha Murtiasih menekuk ke arah buah dadanya sejauh dan semaksimal mungkin, dalam posisi mana terlihat belahan vagina Murtiasih yang telah basah oleh cairan lendir kewanitaannya, dan sedikit terbuka bibir memeknya.
Penis Ustadz Mamat yang lumayan besar telah menegang mengangguk-angguk dan menempatkan dirinya diantara belahan bibir memek yang agak kemerahan terhias rambut sangat halus di tepinya itu.
Murtiasih yang masih dalam keadaan lemah setelah mencapai orgasme, mendadak tergugah menyadari betapa posisinya yang sangat memalukan, terbuka lebar selangkangan dan celah kewanitaannya. Secara naluri disadarinya bahwa yang kini tengah menyentuh-nyentuh memeknya adalah kemaluan Ustadz Mamat yang mencari jalan masuk, dan dengan sangat panik Murtiasih berusaha mendorong bahu serta dada sang Ustadz yang berada di atasnya, bahkan Murtiasih berusaha mencakar muka gurunya itu.
Namun Ustadz Mamat dengan sigap mencekal kembali kedua pergelangan tangannya dan menekannya ke kasur di samping kepalanya yang kini sudah tak terlindung jilbabnya. Dengan demikian habislah daya Murtiasih mengelakkan nasibnya : kehilangan kegadisannya dicengkeraman sang Ustadz cabul.
“Aaaahh.. aduuuhh.. aauuuww.. tolooong, paaak.. aaauuuw.. saakiiit.. aduuuhh.. aauuummpfffh.. eemmppffhh..” jerit memilukan Murtiasih langsung teredam oleh ciuman buas Ustadz Mamat ketika kejantanannya mulai meretas menembus liang sempit gadis ABG korbannya.
“Tenang.. rileks, neng, sakitnya cuma sebentar.. santai aja.. bapak mau masuk lebih dalam lagi, tahan sedikit.. sebentar lagi neng pasti ketagihan.. duh, sempitnya si neng behenol.. hhhmmmh..” Ustadz Mamat berusaha menghibur sambil memajukan pinggulnya makin maju menekan semakin dalam.
“Aaauuuw.. sakit.. udaaah, pak, Asih tak kuat.. sakiiit sekali.. aaaauw.. kasihani Asih, pak.. ampuuun, huhuhu.. bapak jahat.. lepasin.. oooh, keluarin.. sakit.. ampuuun.. udaaah..” tangis Murtiasih dan rintihannya menimbulkan iba, namun semua terlambat karena Ustadz Mamat merasa kepalang basah.
Bleeez.. bleeez..
Mili demi mili penis Ustadz Mamat membelah memasuki lorong kenikmatan yang akhirnya jebol pertahanannya ketika selaput tipis berbentuk bulan sabit itu terkoyak, menyebabkan rasa sakit di tengah selangkangan Murtiasih bagaikan disayat sebuah pisau tajam. Di hadapan mata Murtiasih muncul ribuan bintang bagaikan kunang-kunang di tengah malam ketika rasa perih sakit menimpanya, tangisannya tetap teredam, hanya butir air mata mengalir di kedua pipi mulusnya.
Tanpa memperhatikan keadaan korbannya yang masih merasa tersiksa, mulailah Ustadz Mamat bergerak maju-mundur, terkadang diarahkannya arah lembing dagingnya ke atas, juga ke kanan, lalu ke kiri, ke kanan lagi, lalu dengan keras dihunjamkannya sedalam mungkin sehingga beradu dengan mulut rahim Murtiasih yang penuh ujung syaraf sangat peka.
Sekitar sepuluh menit Ustadz Mamat melakukan jelajahannya dengan kecepatan yang sama, dan ketika dirasakannya bahwa biji pelirnya telah mulai bergolak bagaikan berisi cairan mendidih, maka dipercepatnya gerakan tarik-dorong maju-mundur pinggulnya sehingga..
“Aaaahh.. oooh.. iiyaahh, jepit terus penis bapak.. ooh.. anaak pinteer, sempitnya si neng bahenol.. iyaaah, pijit-pijit terus.. remas terus, ooh.. bapak tak tahan lagi nihh, ooohhh..” demikian bunyi geraman Ustadz Mamat bagaikan hewan buas menikmati mangsanya. Dia menekan sekuat tenaga kepala penisnya diambang rahim Murtiasih ketika lahar panas spermanya membanjiri seluruh liang kewanitaan sang murid yang baru saja direnggut keperawanannya itu.
Murtiasih telah tak berdaya apa-apa lagi, semua tenaganya telah terkuras karena melawan sia-sia, peluh membasahi tubuhnya yang mungil bahenol, matanya berkaca-kaca, hidung bangir mancung dengan lubang mungil kembang-kempis seiring isak tangisnya, bibir merahnya merekah setengah terbuka, dari mana hanya terdengar dengusan dan desahan lembut.
Ya, gadis alim shalihah ini telah sepenuhnya ditakluki oleh guru bejatnya, akibat bisikan dan pengaruh iblis yang bersuka ria menyaksikan semua usahanya kini telah berhasil – juga dengan para pengintip di balik jendela!
Seperempat jam kemudian kedua insan yang berpelukan telanjang bulat di kasur itu dikejutkan oleh masuknya tiga orang ke kamar tidur Ustadz Mamat. Mereka adalah Sumirah, Rofikah dan pak Jamal disertai seringai lebar cengengesan, semuanya dengan penuh kepuasan menunjukkan hasil rekaman di dalam ponsel. Pelbagai adegan terlarang terlihat jelas, dimulai dengan Ustadz Mamat yang mendekati ranjang dimana Murtiasih tengah tidur dengan liku-liku tubuhnya yang mungil tapi menantang.
Kemudian jelas bagaimana Ustadz Mamat melepaskan bajunya sehingga hanya memakai celana dalamnya, dilanjutkan semua adegan pergulatan Ustadz Mamat dan korbannya, mulai dari Murtiasih berpakaian lengkap dengan jilbab, sampai semuanya dilepaskan secara paksa sehingga bugil. Sangat jelas pula adegan Ustadz Mamat meng-oral Murtiasih, dimana akhirnya perlawanan gadis malang itu runtuh dan mengalami orgasmenya yang pertama. Yang menjadi puncak klimaks pengambilan foto dan adegan bergerak itu adalah tentunya pada saat Murtiasih direnggut keperawanannya, bahkan terlihat jelas secara close-up bagaimana wajah yang meringis kesakitan disertai linangan air matanya.
Kini lengkaplah kehancuran posisi Ustadz Mamat dan Murtiasih: keduanya tak mampu melawan dan dibawah ancaman ketiga kaki tangan iblis itu, maka dimasa depan mereka menjadi permainan bagaikan budak belian untuk memenuhi kemauan dan keinginan nafsu birahi mereka. Sumirah dan Rofikah menjadikan Ustadz Mamat budak seks lelaki mereka, sedangkan pak Jamal memperoleh kesempatan menikmati tubuh Murtiasih, juga mereka terkadang melakukan secara bersama-sama.
Pak Jamal yang memang terkenal sebagai bandot desa sangat menyukai kaum muda itu langsung meminta ‘upahnya’. Pak Jamal tak perduli keadaan Murtiasih yang masih babak belur kehabisan tenaga melayani nafsu hewaniah Ustadz Mamat.
Ketika Murtiasih berusaha melarikan diri berputar-putar di ruangan tamu dan ke arah belakang, maka Sumirah dan Rofikah langsung membantu menerkam rekan sekelasnya itu. Mereka membantu memegangi kedua tangan Murtiasih di atas kepalanya dan tersenyum penuh kepuasan melihat betapa sia-sia Murtiasih menggeliat meliuk-liukkan badannya yang telanjang bulat, ketika akhirnya pak Jamal dengan batang penis kebanggaannya menindih mangsanya itu. Murtiasih terbelalak tak percaya apa yang dilihatnya : kemaluan pak Jamal sangat besar, hitam, penuh dengan urat-urat berdenyut, panjang dan lingkarannya melebihi lengan bayi!
Tak mampu lagi menahan emosi, rasa ngeri, takut, dan habisnya tenaga, akhirnya Murtiasih hanya melihat semua dihadapan matanya menjadi abu-abu, berputar, sebelum semuanya menggelap.. Namun itu tak menghalangi keinginan pak Jamal untuk menikmati tubuh ABG sintal bahenol penuh keringat, dan dengan buasnya mulailah ia memaksa memasuki secara susah payah celah sempit idamannya. Kesulitan coba diatasinya dengan berkali-kali meludahi memek Murtiasih. Akhirnya dengan susah payah pada usahanya yang kelima kali, barulah penis yang besar itu meretas jalan masuk ke lubang surgawi Murtiasih. Rasa perih saat dinding vaginanya dipaksa melebar semaksimal mungkin menyebabkan Murtiasih sadar, merintih dan menjerit kesakitan.
Ratapannya tanpa henti tidak menimbulkan rasa kasihan pak Jamal yang menggenjotnya bagaikan sedang mengerjai perempuan desa lainnya. Permohonan ampun Murtiasih hanya menyebabkan gelak tawa yang menyebalkan – akhirnya suara Murtiasih terhenti disaat pak Jamal orgasme dan menyemburkan seluruh isi biji pelirnya. Murtiasih hanya berdoa memohon agar ia tidak hamil..
Ketika kakak lelakinya menjemput dan menanyakan mengapa mata Murtiasih merah membengkak, maka ia hanya menjawab sepintas lalu dengan suara lirih bahwa ia mengalami sakit kepala. Sang kakak hanya menggelengkan kepalanya tanpa curiga sama sekali bahwa adiknya telah menjadi korban permainan terlarang, dan mereka bergoncengan pulang ke rumah.
Apakah Ustadz Mamat kini telah insyaf dan tobat dengan kelakuannya – atau tetap dipengaruhi oleh iblis, sehingga ketiga iparnya yang tak kalah cantik dengan istrinya: Farah yang telah digarap oleh pak Burhan si rentenir kakap, Nurul Tri Lestari dan Asma Maharani yang masih bujangan dan tak menduga sama sekali bahwa Ustadz Mamat telah berubah menjadi monster seks , juga akan menjadi korbannya dalam waktu tak lama lagi..?
BERSMABUNG..
Seri 3 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI
Ketika Murtiasih berusaha melarikan diri berputar-putar di ruangan tamu dan ke arah belakang, maka Sumirah dan Rofikah langsung membantu menerkam rekan sekelasnya itu. Mereka membantu memegangi kedua tangan Murtiasih di atas kepalanya dan tersenyum penuh kepuasan melihat betapa sia-sia Murtiasih menggeliat meliuk-liukkan badannya yang telanjang bulat, ketika akhirnya pak Jamal dengan batang penis kebanggaannya menindih mangsanya itu. Murtiasih terbelalak tak percaya apa yang dilihatnya : kemaluan pak Jamal sangat besar, hitam, penuh dengan urat-urat berdenyut, panjang dan lingkarannya melebihi lengan bayi!
Tak mampu lagi menahan emosi, rasa ngeri, takut, dan habisnya tenaga, akhirnya Murtiasih hanya melihat semua dihadapan matanya menjadi abu-abu, berputar, sebelum semuanya menggelap.. Namun itu tak menghalangi keinginan pak Jamal untuk menikmati tubuh ABG sintal bahenol penuh keringat, dan dengan buasnya mulailah ia memaksa memasuki secara susah payah celah sempit idamannya. Kesulitan coba diatasinya dengan berkali-kali meludahi memek Murtiasih. Akhirnya dengan susah payah pada usahanya yang kelima kali, barulah penis yang besar itu meretas jalan masuk ke lubang surgawi Murtiasih. Rasa perih saat dinding vaginanya dipaksa melebar semaksimal mungkin menyebabkan Murtiasih sadar, merintih dan menjerit kesakitan.
Ratapannya tanpa henti tidak menimbulkan rasa kasihan pak Jamal yang menggenjotnya bagaikan sedang mengerjai perempuan desa lainnya. Permohonan ampun Murtiasih hanya menyebabkan gelak tawa yang menyebalkan – akhirnya suara Murtiasih terhenti disaat pak Jamal orgasme dan menyemburkan seluruh isi biji pelirnya. Murtiasih hanya berdoa memohon agar ia tidak hamil..
Ketika kakak lelakinya menjemput dan menanyakan mengapa mata Murtiasih merah membengkak, maka ia hanya menjawab sepintas lalu dengan suara lirih bahwa ia mengalami sakit kepala. Sang kakak hanya menggelengkan kepalanya tanpa curiga sama sekali bahwa adiknya telah menjadi korban permainan terlarang, dan mereka bergoncengan pulang ke rumah.
Apakah Ustadz Mamat kini telah insyaf dan tobat dengan kelakuannya – atau tetap dipengaruhi oleh iblis, sehingga ketiga iparnya yang tak kalah cantik dengan istrinya: Farah yang telah digarap oleh pak Burhan si rentenir kakap, Nurul Tri Lestari dan Asma Maharani yang masih bujangan dan tak menduga sama sekali bahwa Ustadz Mamat telah berubah menjadi monster seks , juga akan menjadi korbannya dalam waktu tak lama lagi..?
BERSMABUNG..
Seri 3 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI
cerita sex yes, fuck my pussy. good dick. Big cock. Yes cum inside my pussy. lick my nipples. my tits are tingling. drink milk in my breast. enjoying my milk nipples. play with my big tits. fuck my vagina until I get pregnant. play "Adult sex games" with me. satisfy your cock in my wet vagina. Asian girl hottes gorgeus. lonte, lc ngentot live, pramugari ngentot, wikwik, selebgram open BO