Seri 3 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI

SEBELUMNYA..

Seri 1 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI


Seri 2 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI


cewek amoy
IKAH


Entah karena doa yang dipanjatkan oleh Aida, Farah, maupun Murtiasih, atau karena ulah dari sang iblis sendiri maka ketiga wanita korban perlecehan itu tak sampai hamil. Sementara itu para pejantan kisah bersambung ini: Pak Burhan (baca bagian kedua “Ketika Iblis Menguasai” mengenai ternodanya Farah), Pak Sobri dengan kaki tangannya Fadillah (baca bagian pertama “Ketika Iblis Menguasai” mengenai Aida dan Pak Sobri) serta Pak Jamal (baca bagian ketiga “Ketika Iblis Menguasai” mengenai terjerumusnya Ustadz Mamat) sempat bertemu dan berkenalan ketika silaturrahmi setelah Idul Fitri di rumah Pak Fikri.

Siapakah Pak Fikri?

Pak Fikri dulunya adalah bekas kepala polisi di sebuah desa yang terletak diantara kediaman Pak Burhan dan Pak Sobri. Di masa dia menjadi kepala polisi itulah sempat Fadillah hampir masuk penjara akibat perbuatan kriminal yang dilakukannya (mencuri bahan bangunan di rumah Pak Sobri yang sedang dibangun). Dengan bantuan ‘jasa’ Pak Sobri yang memberikan uang semir kepada Pak Fikri [selain Sobri sempat menggarap istri Fadillah bernama Subiati] maka Fadillah lolos penjara dan sejak itu menjadi kaki tangan Pak Sobri.

Selama tugasnya sebagai kepala polisi disitu, Pak Fikri sempat berkenalan dengan petugas pajak daerah situ, yang kebetulan adalah masih ada hubungan keluarga dengan Pak Burhan, si rentenir kakap. Dari situlah maka Pak Burhan akhirnya berkenalan dengan Pak Fikri. Tokoh lain di saat silaturrahmi itu adalah Pak Jamal yang telah kita kenal dalam kisah pelecehan Murtiasih, ia adalah bekas pegawai biasa di kantor Pak Fikri yang kemudian menjadi tokoh penjaga/pembersih madrasah tempat kerja Ustadz Mamat.

Ke-empat lelaki setengah baya itu bercakap-cakap mengenai pelbagai soal ringan, dan semakin malam berlarut maka mereka minum bandrék bajigur dicampur dengan air kelapa arén simpanan Pak Jamal. Air kelapa arén yang disimpan lama di tempat dingin itu tentu saja mengalami proses kimia dan sebagian berubah menjadi alkohol semacam minuman tuak. Dengan pengaruh minuman itu maka lidah keempat lelaki itu menjadi semakin ‘loncér’ dan percakapan mereka akhirnya sering menyeleweng dan menjurus secara tak langsung ke persoalan wanita, karena istri Pak Fikri telah meninggal setahun sebelumnya akibat penyakit ginjal menahun ditambah pula sakit kencing manis parah sejak remaja. Mereka rupanya menanyakan apakah Pak Fikri tidak berniat untuk menikah kembali, dan pembicaraan itu tanpa disadari beralih ke arah istri keluarga Ustadz Mamat.

Pak Sobri yang telah menjadi pejantan ahli penakluk Aida secara iseng menanyakan apakah Pak Fikri mengenal adik perempuan Aida yang bernama Farah. Pak Sobri hanya pernah melihat foto Farah di rumahnya Ustadz Mamat, namun dia belum pernah bertemu langsung dengan Farah. Tentu saja Pak Sobri tak tahu bahwa Farah telah menjadi korban Pak Burhan, dan tanpa curiga melanjutkan pujiannya terhadap kecantikan Farah.

Pak Fikri pernah selintas melihat Farah beberapa tahun lalu ketika mengajukan permohonan KTP baru, dan memang harus diakui bahwa gadis remaja berjilbab itu memang sangat cantik. Selama percakapan itu, Pak Burhan hanya tersenyum dan mendengarkan saja, namun ketika dirasakannya saat yang baik telah muncul barulah dengan sangat bangga ia menceritakan pengalamannya ketika berhasil menggauli Farah.

Rupanya Pak Sobri tak mau kalah mendengar hangatnya pelecehan Farah, maka ia pun akhirnya menceritakan bagaimana Aida terjebak siasatnya dan berhasil digarapnya tanpa setahu suaminya.

Ke-empat lelaki itu rupanya semakin lama semakin asyik dengan mengunggulkan diri sendiri dalam pergaulan bersama perempuan, mereka membual ‘kemampuan’ masing-masing dalam menaklukkan mangsanya.

Di luar kemauan mereka, iblis pun rupanya ikut mendengarkan serta mulai menyusun rencana berikutnya untuk menjebak menjerumuskan Ustadz Mamat, Aida istrinya, serta tiga adik perempuannya yang terkenal sangat alim shalihah.

Pak Jamal yang mengurus madrasah wanita mulai ‘menghasut’ dengan menceritakan betapa banyaknya gadis ABG desa yang ayu, manis dan lugu sehingga tak sukar untuk dijebak dan dijadikan mangsa untuk para lelaki setengah baya yang gemar daun muda.

Timbullah rencana Pak Sobri dan Pak Burhan untuk bersama mengumpulkan dana membangun madrasah khusus untuk wanita muda di desa tak jauh dari situ, dan Mamat akan dijadikan sebagai pemimpin ‘boneka’ disitu. Dengan ‘rahasia’ perbuatan cabulnya belum lama ini dengan muridnya Murtiasih, dimana rahasia itu berada di tangan Pak Jamal, Irah dan Ikah, maka Ustadz Mamat pasti tak mungkin menolak kedudukan yang ditawarkan.

Namun ke-empat lelaki yang mengatur siasat itu tentu saja mempunyai rencana maksiat lain terhadap Aida, Farah dan kedua adik perempuannya yang masih gadis murni, disertai Rofikah, Sumirah, mungkin pula beberapa ABG desa yang naif dan akan mudah dijebak!

Menjelang pagi mereka pulang dengan benak penuh rencana mesum!

Di desa Jamblang yang akan dijadikan ‘markas’ besar pelbagai perbuatan maksiat mereka di masa depan memang kebetulan ada sebuah gedung tua yang sudah lama tak dipakai. Puluhan tahun lalu gedung itu didirikan oleh Kompeni di zaman penjajahan Belanda sebagai pos penjagaan. Kemudian dipakai oleh penguasa Orde Lama dan Orde Baru untuk gudang, dan sejak hampir sepuluh tahun ini kosong terlantar. Dasar dan pondasinya tetap bagus sebagaimana umumnya bangunan zaman dulu, hanya dinding dan atapnya yang perlu direnovasi. Untuk itulah, ke-empat lelaki yang mempunyai rencana tak senonoh itu segera mengumpulkan anak buah dan pekerja harian di desa untuk melakukan perbaikan, sehingga hanya dalam waktu tiga bulan setengah semuanya telah diperbaharui dan siap untuk dipakai.

Ustadz Mamat pun kini telah diberikan ‘kedudukan’ baru yaitu sebagai pemimpin madrasah baru – dan dalam waktu tak terlalu lama pendaftaran para murid untuk tahun pelajaran baru telah dibuka, dan tentu saja Ustadz Mamat juga mempunyai peranan penting dalam penerimaan itu, sehingga sejak dari awal mula telah dapat dipilih murid baru mana yang lugu ayu dan bahenol..!!

Di bawah ini adalah kelanjutan kisah mereka yang semakin dalam terjerumus godaan iblis..

Peristiwa yang dialami Murtiasih menyebabkannya sangat schock, prestasinya menurun dan sangat sukar baginya untuk konsentrasi dalam belajar. Aib semacam itu tak mungkin diceritakannya kepada siapapun, sehingga tanpa disadari, Murtiasih semakin menyendiri, menjauhi kawan dan rekan yang sebelumnya banyak bergaul dengannya. Semua bertanya-tanya namun Murtiasih menghindar tak mau memberikan jawaban, dan semua itu amat diperhatikan oleh Rofikah dan Sumirah.

Mereka dengan sangat cerdik dan menggunakan pelbagai akal bulus tak henti-hentinya selalu berusaha untuk mendekati serta menghibur Murtiasih, selain itu mereka yang semakin ‘dekat’ dengan ustadz Mamat, menganjurkan agar Murtiasih tetap diberikan penilaian yang cukup bagus. Ustadz Mamat yang telah terjerumus dan terlanjur berada di bawah pengaruh ancaman kedua muridnya itu tak dapat mengelak dan terpaksa menurut kemauan Ikah dan Irah.

Tentu saja kedua kaki tangan iblis itu tidak begitu saja mendekati dan menghibur Murtiasih, mereka pun baik secara langsung maupun tak langsung mengancam untuk membuka semua rahasia adegan mesum antara Murtiasih dan Ustadz Mamat yang mereka saksikan bersama dengan saksi ketiga yaitu Pak Jamal.

Setelah menghadiri malam silaturrahmi lepas lebaran itu, Pak Jamal menjadi semakin sering berhubungan dengan Pak Fikri yang menduda, tak jemu dan bosan-bosannya menceritakan betapa hangat pengalamannya dengan Murtiasih. Tentu saja sebagai pria menduda telah cukup lama tidak menikmati tubuh wanita, menjadi terbangun pula rasa ingin tahu Pak Fikri!

Pak Jamal sebagai pejantan kampung yang sangat vital perannya, merencanakan untuk menjebak dan mempersembahkan Murtiasih kepada Pak Fikri. Sementara itu ia pun menghasut Ustadz Mamat untuk secara bergantian menjarah Rofikah dan Sumirah, walaupun usaha kedua siswi genit ini untuk menarik perhatian Ustadz Mamat selama ini belum berhasil. Jadi, justru Ustadz Mamat yang akan mengambil alih jalan cerita menggarap kedua siswi genit ini. Kini hanya tinggal dicari waktu dan tempat yang cocok sekaligus menguntungkan.

Setelah upacara pembukaan madrasah baru, direncanakan untuk para pengunjung sedikit menyumbangkan dana. Dalam kesempatan itu tiga siswi diberikan tugas untuk menjaga kotak pengumpulan uang, dan setelah semua tamu pulang maka mereka akan ditugaskan menghitung uang dana yang masuk. Tak perlu diragukan lagi bahwa Rofikah, Sumirah dan tentu saja Murtiasih yang akan diberikan tugas itu!

Di saat akhir pengumpulan uang serta penghitungan dana masuk, dengan sembunyi-sembunyi Pak Jamal mencampurkan obat tidur dan perangsang ke dalam minuman segar mereka. Ketiga siswi calon korban itu diperhitungkan tanpa banyak perlawanan pasti akan dapat ‘digusur’ ke dalam mobil yang dikendarai oleh Pak Fikri untuk dibawa ke rumahnya yang letaknya cukup terpencil di atas bukit.

Pak Fikri akan mengatur agar rumahnya kosong, semua pembantunya di hari itu diberikan libur serta uang jajan sehingga tak ada seorang pun yang akan mengganggu rencana mesum mereka. Ustadz Mamat akan ikut di dalam mobil itu untuk mencegah agar ketiga siswi tersebut tak melarikan diri dengan misalnya melompat keluar dari mobil di tengah perjalanan. Pak Jamal akan ikut ‘mengawal’ dengan naik motor di belakang mobil sehingga seandainya ada yang lolos dari penjagaan Ustadz Mamat dan keluar dari mobil, maka segera akan dibekuk untuk dipaksakan masuk mobil kembali.

***

Tiga Bulan Kemudian..

Acara pembukaan madarasah dilaksanakan di hari Jum’at, tepat di tengah hari setelah sholat Jum’at. Banyak pemuka desa serta penduduk sekitarnya, terutama orang tua yang mempunyai minat memasukkan anak remaja mereka kesitu, datang serta memberikan sumbangan yang diharapkan.

Setelah upacara pengguntingan pita, peninjauan ruang-ruang kelas, administrasi, asrama dan sebagainya, menyusul acara makan kecil snack seadanya. Kemudian sebagaimana umumnya, disediakan waktu untuk para tokoh daerah memberikan sedikit ceramah serta penerangan rencana pendidikan yang akan diberikan. Sebagai acara penutup, sebagaimana di awal pembukaan diadakan doa bersama, sesudah itu mana para tamu berangsur-angsur pulang dan meninggalkan gedung baru tersebut.

Menjelang jam empat petang, tinggal Pak Fikri serta ketiga siswi yang masih berada di sana guna menghitung uang sumbangan yang masuk. Rofikah, Sumirah dan Murtiasih merasa pusing dan pandangan mata mereka semakin kabur, akhirnya tanpa disadari ketiganya meletakkan kepala mereka di atas meja tempat mereka menghitung uang itu..

***

Lima Puluh Menit Kemudian...

Rumah kediaman Pak Fikri mempunyai pelbagai ruangan cukup besar untuk ukuran desa : ruangan tempat menerima tamu, ruangan makan menyambung dengan dapur, tiga ruangan kamar tidur yang luas dan sebuah agak kecil hanya dipakai untuk menyimpan barang. Selain itu kamar mandi dan toilet bagi sang penghuni dan di belakang juga sama hanya untuk para pembantu.

Menurut rencana Pak Jamal, sebetulnya Murtiasih yang akan ‘dipersembahkan’ kepada Pak Fikri, namun agaknya Pak Fikri yang telah cukup lama tak menikmati tubuh wanita justru mendambakan peranan sebagai lelaki yang merenggut kegadisan dari salah satu siswi genit itu. Pilihannya jatuh kepada Rofikah yang telah sering diliriknya sejak upacara di gedung madrasah baru siang tadi.

Pak Jamal yang merupakan ‘otak’ dari peristiwa mesum petang ini menanyakan kepada Ustadz Mamat apakah ia keberatan untuk memulai sex-party itu dengan Murtiasih, murid kesayangannya.

Ternyata Ustadz Mamat tetap mendambakan Murtiasih meskipun telah direnggut kegadisannya dan digaulinya beberapa kali.

Oleh karena itu Pak Jamal akhirnya merasa senang juga karena sebagai pegawai rendahan akan dapat menggauli Sumirah yang diharapkannya masih utuh kegadisannya.

Ketiga lelaki itu telah membagi jatah masing-masing dan setelah sampai di dalam rumah, mereka menggendong ketiga calon mangsa yang masih setengah sadar itu ke kamar tidur yang diatur dan dibagi oleh Pak Fikri sebagai tuan rumah.

***

Adegan di Kamar Tidur 1: Hilangnya Kegadisan Rofikah

Sebagaimana pada umumnya kodrat alam yang berlaku : anjing yang selalu menyalak jarang akan menggigit, atau seseorang yang banyak bicara dan membualkan diri umumnya adalah pengecut.

Demikian pula dengan Rofikah yang sehari-hari di madrasah berkelakuan genit, banyak bicara serta sering melirik ke arah para lelaki muda atau lansia yang iseng bersiul-siul ke arahnya disaat berjalan. Jika ia melintas di tempat banyak lelaki nganggur duduk di tepi jalan atau warung kopi, maka sengaja cara jalannya dibuat makin melenggok sehingga semakin menarik perhatian para lelaki nganggur. Lenggang dan goyang pinggulnya jelas terlihat lebih berputar menggiurkan, walaupun tertutup dengan sarung panjang. Bulatan pantatnya yang montok menonjol bagaikan mengundang tangan lelaki menjamah, bahkan meremas dan mencubitnya, Rofikah senang dikagumi lelaki.

Namun kini ia telah berada berduaan saja dengan lelaki setengah baya yang dikenalnya sebagai bapak Fikri. Lelaki berusia pertengahan lima puluhan itu bahkan lebih tua sedikit dari ayahnya sendiri, namun terlihat masih cukup gagah. Badannya sangat tegap, berkulit hitam, wajah sedikit kaku dan bengis, mata menatap tajam, hidung lebar agak pesek, bibirnya tebal terhiasi dengan kumis di atasnya. Lelaki yang bernama Pak Fikri dan kini dikenal sebagai sponsor utama dan pembangun madrasah baru itu, telah duduk di sampingnya dan mulai berusaha merayunya.

Rofikah – atau biasa panggilan sehari-harinya Ikah – telah terbangun dari pengaruh obat tidur yang dicampur di dalam minuman és alpukat tadi siang. Kini Ikah berusaha menyadari apa dan dimana ia berada. Dalam posisi setengah duduk Ikah melihat bahwa ia tidak lagi berada di ruangan madrasah, melainkan di sebuah kamar tidur. Rasa takut mulai menyelinap ketika disadarinya bahwa ia tengah duduk di sebuah ranjang yang cukup besar, ditopang bantal kepala besar di punggungnya.

Jilbab yang biasa dipakainya telah turun ke bawah, tak lagi menutupi rambutnya yang kini tergerai bebas ke belakang kepala dan pundaknya. Baju kurung yang dikenakannya telah semrawut tak teratur; bagian dada depan agak terbuka sehingga kulit dadanya yang putih terlihat oleh siapapun di hadapannya. Selain itu sarung yang biasa menutup hingga mata kaki di bawah betis, kini tersingkap ke atas sehingga bukan hanya betis dan lututnya saja yang kelihatan, namun sebagian pahanya yang mulus juga terpampang jelas.

Secara refleks Ikah menarik sarungnya ke bawah paha, disambut dengan seringai lebar mesum oleh Pak Fikri. Ikah menggoyang-goyangkan kepalanya sambil mengucek-ucek matanya seolah tak percaya, namun semuanya bukanlah mimpi melainkan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun rasa letih dan ngantuk terpudar dan Ikah mulai menggigil karena ngeri dan takut berada berduaan di kamar tidur dengan lelaki asing, namun ada pula rasa aneh dan hangat mulai menjalari tubuhnya. Tentu saja Ikah tidak menyadari bahwa minuman segar es alpukat tadi selain diberi obat tidur, namun juga dicampuri dengan obat perangsang, yang kini justru mulai menunjukkan pengaruhnya di tubuh Ikah sebagai wanita muda.

“Saya ada dimana, Pak? Tolong, saya mau balik ke madrasah. Saya mau pulang!!” Ikah beringsut menjauh ketika Pak Fikri menggeserkan tubuhnya mendekat dan hampir menyentuhnya.

“Tak usah takut, Neng, bapak tadi senang ngeliat si Neng tidur nyenyak. Sekarang udah bangun dan segar kan? Bapak cuma mau menyenangkan, Neng. Ntar dianterin pulang, bapak janji nih,” Fikri semakin mendekatkan wajahnya ke muka Ikah sehingga tercium bau rokok kretek dari napas di mulutnya.

“Enggak mau ah, Pak. Saya mau pulang, tak baik kita berdua di kamar. Apa nanti kata orang? Apalagi nanti digunjingkan orang, bapak kan sudah ada keluarga,” Ikah berusaha menekan perasaan aneh yang seolah membuatnya gelisah dan juga ada gelora panas di pipi serta bagian-bagian vital di tubuhnya.

“Jangan takut, Neng, bapak cuma mau menyenangkan neng sebagai rasa terima kasih telah bantuin di madrasah tadi. Bapak tak akan menyakiti, cuma mau ngelonin neng sebentar supaya anget,” Fikri semakin melekatkan wajahnya sambil menyentuh lalu mengambil tangan Ikah di genggamannya.

“Udah dong, Pak, Ikah belon pernah begini. Jangan, Pak, engga baik. Lepasin dong, saya janji enggak bilang siapapun, asal bapak lepasin dan pulangin saya,” suara Ikah makin gemetar sambil berusaha menarik tangannya, namun Pak Fikri justru semakin menarik tubuh Ikah ke dalam pelukannya.

“Eenngmmpppffh,” hanya itu yang keluar dari mulut Ikah ketika Pak Fikri menyergap bibirnya sambil langsung melumat dan menciuminya dengan rakus sehingga ia jadi gelagapan. Selama ini kelakuan Ikah sering genit tidak sesuai dengan siswi madrasah, namun ia belum pernah intim dengan lelaki.

Kini – tanpa direncanakannya sendiri seperti yang pernah dilakukannya ketika menjebak Murtiasih – dirinya sendiri masuk ke dalam jebakan dan pelukan seorang lelaki seusia ayahnya. Seorang pria yang telah lama ‘puasa’ setelah meninggalnya sang istri kini terbangun nafsu birahinya! Betapa bahagianya Pak Fikri dapat mendekap tubuh gadis muda yang hangat dan sintal itu, tubuh yang meronta dan menggeliat tanpa hasil malah semakin memacu gairahnya. Membikin kemaluannya jadi semakin menegang ingin keluar!

Ikah menggeliat dan berusaha melepaskan diri ketika badannya yang telah setengah duduk dipaksa untuk kembali rebah terlentang. Rasa hangat dan gatal menyelubunginya ketika Pak Fikri menekan serta menindihnya di kasur, semua kancing dan peniti kebaya serta sarung yang dipakainya mulai berantakan ditarik secara kasar oleh lelaki yang bagaikan kesetanan itu.

“Cupp, cupp.. diem, diem.. sini sama bapak dikasih rasa anget, bapak sebentar lagi mau nyusu boleh ya? Percuma ngelawan, Neng. Nikmati aja, pasti kita sama-sama senang. Duuuh.. nih leher enak dicupangin,” ucap Pak Fikri bagaikan singa sedang mencengkeram mangsanya.

“Eeemmh, ssshh, aaah, lepasin dong! Jangaan Pak..”

Ikah berusaha mengembalikan akal sehatnya, namun tubuhnya sudah terlanjur dimasuki obat perangsang dan kini semakin jelas terbuka karena sebagian besar busananya direnggut dan ditarik terlepas oleh Pak Fikri. Semakin rakus si lelaki setengah baya itu menekan Ikah sambil mengeluarkan buah dada si gadis dari BH-nya. Bukit kembar Ikah kini terpampang penuh kebanggaan ketika Pak Fikri meremas serta memilin putingnya.

“Auuuuw, aduuuh! Jangan kasar gitu dong, Pak! Ngiluuu, sakiit, Pak! Pelan-pelan dong!!” Ikah tanpa sadar menengadahkan kepalanya di saat merasakan geli ngilu, apalagi saat putingnya yang memang sangat menantang itu masuk ke mulut Pak Fikri.

Benda mungil itu disedot-sedot lalu digigit bergantian. Ikah hanya dapat mendesah dan tanpa disadari kedua tangannya justru mengelus dan mengusap-usap kepala Pak Fikri.

Setelah puas meninggalkan cupangan merah di bukit kembar putih yang menghiasi dada Ikah, kini Pak Fikri semakin menurunkan kegiatan tangannya ke bawah. Ia menyelusup ke arah pusar, menggoda lekukan yang masih murni belum pernah dijamah, semakin mengembara ke bawah mendekati batas yang masih tertutup celana dalam tipis berwarna putih.

“Aaaiiih, udaaah Pak! Cukuuup, jangaan diterusiin! Enggaak mau yang itu, Pak! Jangaan, Ikah belum pernah gituan, Pak! Lepasin dong, tolong, Pak! Ikah enggak akan ngadu ke siapa pun, oooh!!” Ikah merasakan dirinya mulai hanyut terbawa arus birahi.

Namun sebagaimana umumnya, segenit apapun seorang gadis desa dan bahkan siswi madrasah, namun disadarinya kini ia akan kehilangan milik satu-satunya yang paling berharga, akal sehat Ikah kembali berontak menolak kenyataan ini.

“Udah terlanjur, Neng, ikutin aja. Kalo ngelawan malahan nanti tambah sakit. Nyerah aja ama bapak, ntar pasti pengen minta lagi. Ayo buka kakinya, dijilatin dulu mau ya?” kata Pak Fikri di tengah gejolak nafsunya.

Tanpa menunggu jawaban atau protes dari korbannya, Pak Fikri kembali mencakup mulut Ikah dengan ciuman ganas. Lidah kasar dan besar menerobos membelah bibir mangsanya yang agak merekah, menjarah masuk menyapu langit-langit mulut Ikah. Kemudian Pak Fikri menarik nafas sangat dalam dan panjang seolah-olah ia ingin menyedot habis semua daya perlawanan gadis yang telah dikuasainya ini.

Selain itu kedua tangan Pak Fikri tak henti-hentinya menarik dan melepaskan satu persatu lapisan pakaian pelindung di tubuh Ikah, dan dalam waktu hanya sepuluh menit kemudian, Ikah telah menggeletak dengan hanya celana dalam menutupi auratnya yang intim.

Pak Fikri merasakan bahwa perlawanan Ikah semakin berkurang. Dari belahan bibir gadis itu kini terdengar keluhan dan desahan putus asa, kedua tangannya kini tak lagi menegang berusaha mencakar Pak Fikri, hanya kedua betis jenjang dan paha mulus bergantian menekuk merentang gelisah. Terutama saat Pak Fikri menarik celana dalam Ikah ke bawah sehingga kini terlihat bukit Venus menantang dilindungi bulu-bulu halus.

Pak Fikri semakin bersemangat meremasi bergantian buah dada Ikah dengan tangan kirinya, sementara tubuhnya semakin merosot ke bawah. Mulutnya yang puas menyedot dan menggigit-gigit puting Ikah yang mencuat, semakin turun menjilati pusar, menyepongi perut bawah si gadis hingga akhirnya mencapai lembaran pertama rambut halus pelindung celah nirwana yang akan segera ditembusnya.

“Hmmmh, memeknya bagus amat Neng. Mana kecil lagi, masih sempit gini. Bapak jilatin supaya licin mau ya? Pasti neng suka, hmmmhh, cuppp, srrt, cuupp, aaah! Enak enggak Neng?” Pak Fikri mulai menciumi dan menjilati vagina Ikah, menyebabkannya semakin gelisah kelojotan.

“Aiiih, Pak!! Geliii, oooohh!! Paak, udaaah, ssshh! Geliii, Pak, Ikah enggak tahan! Sssh, ooooh, Pak, jangan diterusin! Aaaaiiihh, stop, udaaah, Ikah mau pipiiisss, lepasin! Aaauw,”

Ikah berusaha menggelinjangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan untuk menahan segala macam rasa geli namun nikmat, terutama saat Pak Fikri selain menjilati memeknya juga menarik mencubit memilin putingnya.

“Asoooy.. wuuuih, nih memek merah muda dalemnya. Tuh kelihatan lobang pipisnya, bapak pengen lihat gimana tombol listriknya. Pasti neng ketagihan kalo dijilat seperti kena setrum listrik, iyaaah mau coba ngumpet tapi bapak udah nemuin nih, cupp cupp, ssshhhh, srrrrhh, enak ya dijilat?” pejantan yang kemasukan setan ini rupanya telah menemukan kelentit yang dicarinya.

“Aaaah, ooohh, Ikah lagi diapain? Ooohh, auuww, enggak mau! Jangaaan, Paaak, Ikaaah bener-bener mau pipiss, aaauuuww, aaahh!” dengan suara melengking, akhirnya Ikah mengejang.

Tubuh Ikah melengkung bagaikan busur, tangannya menarik sprei yang dibawanya ke mulut dan digigit sekuatnya sehingga sebagian jeritan sebagai tanda orgasme pertama teredam.

Namun Pak Fikri terus melanjutkan rangsangannya, kelentit Ikah berada diantara jepitan bibirnya yang tebal, dikecup dan digigit dengan mesra namun penuh kegemasan, dan kumisnya yang baplang itu mulai basah kuyup dengan air mazi pelicin yang keluar dari dinding vagina Ikah. Tanpa rasa jijik air pelumas itu dijilat disedotnya, nafsunya sudah naik ke ubun-ubun, kemaluannya telah menegang mengacung mengangguk-angguk. Dan setelah beberapa menit dirasakannya Ikah telah berkurang ketegangan tubuhnya sebagai tanda orgasmenya mulai berakhir, maka tibalah waktunya untuk Pak Fikri mengambil hadiah utama yang diidam-idamkannya, yaitu merenggut kehormatan sang gadis.

Kedua paha dan betis Ikah dikuakkan dan diletakkannya di atas bahunya, bantal kepala agak keras diletakkannya di bawah pinggul Ikah. Dicium dan dijilatinya lagi celah kenikmatan yang telah licin itu, menyebabkan Ikah dalam keadaan setengah sadar melenguh. Pak Fikri telah mengarahkan lembing daging kebanggaannya yang penuh urat dan berwarna coklat hitam mengkilat itu ke arah belahan yang sedikit merekah – perlahan-lahan dimajukannya kepala penisnya, diretasnya kedua bibir kemaluan Ikah, dirasakannya betapa hangat kepala jamurnya terjepit disitu, lalu Pak Fikri menekan..

“Aduuuuh, aaauuuww, periiih, saakiiit, hentikaaan, jangaaan!! Tolooong Pak, sakiiiit, oouuuw!! Aaaampuuun, Paak, udaaah, sakiiit, aaauuuw!!”

Ikah mendadak melolong menjerit-jerit bagaikan hewan disembelih ketika memeknya yang masih sempit itu mulai dibelah oleh penis pria seusia ayahnya. Kedua tangannya membentuk kepalan yang dipukulkannya ke dada Pak Fikri, kemudian kukunya digunakannya untuk mencakar bahu serta lengan lelaki setengah baya yang sedang menindihnya, namun Pak Fikri tetap perlahan-lahan melanjutkan mendorong menekan penisnya.

“Tahan dikit Neng, rileks aja. Ssshh, rileks, Neng. Jangan dilawan, malahan makin sakit. Dikit lagi masuk semuanya, Neng, oooh.. sempitnya! Uuuh, emang bener si neng masih perawan,” desah Pak Fikri menekan kejantanannya semakin lama semakin dalam ke memek Ikah. Betapa sedapnya dan bangganya sebagai pria setengah uzur berhasil menaklukkan gadis muda belia nan montok ini.

Bahu dan kedua lengannya telah penuh dengan dengan cakaran Ikah yang berusaha mengeser-geserkan pinggulnya ke kiri-kanan seolah menghindarkan benda tumpul yang sedang menerobos memeknya, namun semua itu tak diperdulikannya karena Pak Fikri merasakan penisnya kini agak tertahan oleh sesuatu.

Ia menyeringai penuh kepuasan karena dirasakannya bahwa kepala pentungan dagingnya mulai menyentuh lapisan selaput gadis mangsanya. Uuuuh, betapa hebatnya aku ini, sudah hampir mencapai kepala enam akan merenggut kehormatan anak gadis madrasah, demikian di benak Fikri.

Sangat berbeda apa yang dirasakan Ikah saat itu; selain perih karena celah surgawinya dipaksakan melebar untuk menerima penis lelaki pertama kalinya, kini dirasakannya di dalam selangkangannya ngilu dan bagaikan ada benda tajam akan menyayatnya. Ikah kembali merintih sambil meronta-ronta.

Lelaki setengah baya dan cukup lama menduda itu tentu saja kini ingin menikmati bukan saja saat penisnya menembus selaput tipis di kemaluan Ikah, namun juga ekspresi seorang gadis kehilangan milik satu-satunya – sebuah panorama yang akan melekat di benaknya yang lansia namun mesum itu.

Dicekalnya kuat-kuat kedua pergelangan tangan Ikah yang langsing di samping kepalanya sehingga tak dapat dipakai mencakar lagi, ditatapnya wajah korbannya yang menggeleng-geleng ke kiri-kanan seolah tetap menolak apa yang tak dapat dihindarkan lagi. Mulut Ikah yang merah muda basah itu setengah terbuka agak gemetar, lubang hidungnya kembang kempis, keluhan dan rintihan lemah Ikah kini silih berganti dengan dengusan dan suara geraman dari si lelaki pejantan yang amat buas.

“Hmmmgghh, sssshgg, bapak tekan lagi nih! Eeemmmffh, bapak mesti kerja keras nembus pertahanan si neng! Bageeuur eeeuuyy, alot juga si neng benteng pertahanannya, bapak maju lagi.. aaah, kerasa legaan dikit sekarang! Wah, mentok nih, hhsssh!” dengus Pak Fikri.

“Aaauuuww, aduuuh, aauuuww, emmppffh!!” jeritan memilukan Ikah teredam kembali oleh ciuman bertubi-tubi dari Pak Fikri yang sangat terangsang melihat betapa ayu memelasnya wajah siswi genit ini ketika kehilangan kegadisannya. Keduanya kini beberapa saat tidak bergerak : Rofikah bagaikan kelinci lemah telah berada dalam cengkraman singa ganas Pak Fikri.

Perlahan-lahan Pak Fikri melepaskan ciumannya, kedua nadi Ikah tetap dicekal ditekannya ke kasur, diberikannya waktu beberapa saat bagi Ikah untuk membiasakan memeknya dibelah oleh benda asing. Setelah itu mulailah Pak Fikri menggerakkan pinggulnya maju mundur. Terkadang amat halus lembut, terkadang agak terputar, lalu diganti dengan sodokan ke pelbagai arah : ke atas, ke samping, ke bawah, sejenak kemudian diganti lagi dengan sodokan dan hunjaman keras brutal menghantam mulut rahim Ikah.

“Wuuuih, enak tenan si neng. Barangnya licin tapi tetep rapet, barang bapak kerasa dipijit-pijit. Pinteer amat neng bahenol. Mulai kerasa enak ya, Neng? Ayo sekarang ngaku sama bapak,” Pak Fikri memuji.

Ikah tak sanggup menjawab, badannya bagai terbawa arus gelombang, selangkangannya dirasakan geli, ngilu, hangat, gatal, nyeri sakit, namun setiap kali dihantam juga ada kenikmatannya sendiri.

Perlawanannya telah sirna, Ikah mulai terbawa dan tenggelam hawa nafsunya sendiri, wajahnya kini menengadah ke atas, mulutnya terbuka mengeluarkan desahan halus wanita muda, rintihannya yang memilukan telah berangsur berubah menjadi dengusan nafas mencerminkan nafsu birahi.

Pak Fikri rupanya cukup kuat dan bertahan sehingga hampir setengah jam ia memompa Ikah, tapi akhirnya mulai dirasakannya gejolak air lahar mendesak keluar dari biji pelirnya. Semakin seru dan cepat dipompanya tubuh montok Ikah, dihantamnya dan dijarahnya dari segala macam arah.

“Aaah, uuuh, oooh, aaah, hhuuuhh, ssshh, bapak udah hampir nembak nih, Neng, banjir di dalem boleh enggak, Neng?” Pak Fikri mendengus-dengus di telinga Ikah sambil menciumi mengecup lehernya yang putih, yang kini telah penuh bercak dan cupangan merah.

“Jangaaaan, Pak, Ikah enggak mau. Jangan di dalam, Pak, ampuuuun! Ikah nanti hamil, kasihani dong! Aauuuww, aaah, aauuuuw! Tolooong, Pak, Ikah jangan dihamili,” suara Ikah panik terisak-isak karena diingatnya bahwa kemungkinan besar dirinya sedang masa subur.

“Abis gimana dong? Bapak udah mau banjir nih,” Pak Fikri terengah-engah sambil terus memompa.

“Udah dong, Pak. Lepasin Ikah. Jangan di dalem, Pak, oooh.. tolooong!!” Ikah semakin tersedu-sedu.

“Iyaa, bapak bisa tahan bentaran lagi ngejosnya. Kalo enggak boleh di dalem, bapak mau nyemprot di tempat lain. Bapak mau banjir di mulut neng aja ya, sekalian neng bapak ajarin nyepong. Mau ya?” rupanya Pak Fikri memperoleh bisikan iblis lagi.

“Enggak mau. Ikah ogah gituan. Jijik, Pak, oooh.. jangan paksa Ikah, kasihani dong!” suara Ikah putus asa diselang-seling isak tangisnya.

“Ya udah kalo Ikah enggak mau, bapak terusin aja banjir di dalem, itung-itung nyebar bibit di perut neng,” Pak Fikri tersenyum lebar merasakan bahwa bagaimanapun akhirnya Ikah akan terpaksa mengalah.

Ikah tidak dapat menjawab lagi, badannya terguncang-guncang disodok oleh Pak Fikri tercampur dengan tangis sesenggukannya. Air mata mengalir membasahi kedua pipinya, namun adegan mengenaskan ini sama sekali tak menimbulkan kasihan pada Pak Fikri, karena semua akal sehatnya telah hilang dikuasai bujukan iblis.

Dirasakannya bahwa pertahanan Ikah sudah hancur berantakan, badannya yang elok montok kini lemas lunglai, dan Pak Fikri yakin meskipun mulutnya menolak namun Ikah pasti akan patuh jika harus memilih antara hamil atau menelan sperma. Perlahan-lahan Pak Fikri mencabut penisnya yang tetap gagah mengacung, terlihat mengkilat licin dilapisi oleh cairan vagina, disamping itu disana-sini tampah bercak-bercak darah di kepala jamurnya sampai ke batang dan rambut kemaluannya.

Pak Fikri merangkak ke atas, setengah duduk setengah berlutut di atas dada Ikah dan kini menyodorkan kemaluannya ke arah mulut Ikah. Karena Ikah melengos memalingkan mukanya, maka Pak Fikri yang merasakan denyutan di biji pelirnya semakin meningkat, segera memegang wajah mangsanya serta memencet hidung Ikah yang bangir. Hal ini tak diduga oleh Ikah yang berusaha menggelengkan kepalanya namun tanpa hasil, dan karena kehabisan nafas maka secara tidak sadar mulutnya membuka sedikit untuk menghirup udara.

Namun celah mulut yang terbuka itu terlalu kecil untuk diterobos rudal Pak Fikri. Oleh karena itu pria setengah baya cabul itu secara sadis mencubit dan menarik puting buah dada Ikah. Tentu saja gadis malang yang telah sangat lelah itu menjerit kesakitan dan mulutnya tanpa disadari membuka sangat lebar, yang mana kesempatan itu tak dilewatkan oleh Pak Fikri dengan segera menerobos masuk secara brutal sehingga kepala jamurnya menyentuh langit-langit di kerongkongan Ikah. Mulutnya kini dipenuh dengan batang penis yang berlumuran air mazi sendiri.

Ikah merasa pengap dan dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, dicakarnya paha Pak Fikri yang berada di kiri-kanan ketiaknya. Namun gerakan itu hanya berhasil beberapa detik karena Pak Fikri lagi-lagi merejang kedua nadinya di atas kepalanya sementara kepala penisnya memenuhi mulut Ikah.

Sedemikian penuhnya mulut Ikah dijejali kemaluan Pak Fikri sehingga siswi madrasah itu kini hanya dapat bernafas mendengus-dengus melalui kedua lubang hidungnya yang mungil kembang-kempis.

“Hmmmh, nih mulut memang diciptakan buat nyepongin bapak. Ayoh buka yang lebar! Iya begitu, pinternya.. oooh ngimpi apa bapak disepongin Ikah? Iya jilat, Neng, uuuih lobang kencing bapak dikitikin ujung lidah, oooh bapak enggak tahan lagi mau meledak, aaah!!”

Pak Fikri menekan penisnya sejauh mungkin ke langit-langit mulut mangsanya ketika gelombang demi gelombang sperma meluap dari tabungan biji pelirnya, memasuki lorong di batang penisnya dan menyembur masuk ke kerongkongan Ikah. Mati-matian Ikah menahan nafas dan berusaha melepehkan keluar cairan kental berbau khas laki-laki itu, sepat asin dan dirasakan amat memualkan perutnya. Namun karena besarnya batang penis memenuhi rongga mulutnya dan semburan sperma Pak Fikri begitu banyaknya dan menyemprot seolah tiada hentinya, maka tak ada jalan keluar lain bagi Ikah selain dengan penuh rasa muak menelan air benih Pak Fikri.

Selama satu dua menit simpanan air mazi Pak Fikri yang tersimpan sekian lama itu teguk demi teguk memasuki kerongkongan Ikah sebelum akhirnya penis Pak Fikri mulai mengecil dan akhirnya ditarik keluar oleh sang empunya.

Tanpa ada perlawanan sama sekali, Ikah membiarkan dirinya dalam keadaan telanjang bulat tetap dirangkul dan dipeluk oleh Pak Fikri. Diiringi senyum kepuasan, Pak Fikri membelai badan telanjang itu sambil berulang-ulang membisikkan keinginannya agar Ikah dengan sering selalu mau memenuhi keinginan nafsu sang duda, bahkan ditanyakannya apakah Ikah bersedia menjadi istrinya.

***

Adegan di Kamar Tidur 2 : Hilangnya Kehormatan Sumirah

Pak Jamal menelan ludahnya berulang-ulang, jakunnya turun naik menyaksikan pemandangan di depan matanya. Siswi madrasah ABG berusia belasan tahun – diperkirakannya sekitar tujuh belas tahun – yang dikenalnya sejak peristiwa pembantaian Murtiasih (baca kisah terdahulu Ustadz Mamat) itu bernama Sumirah atau dengan panggilan sehari-harinya ‘Irah’, kini hanya berdua dengannya di kamar!

Sumirah yang demikian ayu elok dan manis itu masih di bawah pengaruh obat penenang dan juga obat perangsang yang tak disadari diminumnya sekitar dua jam lalu. Sumirah tetap belum sadar ketika beberapa menit lalu pak Jamal menggendongnya keluar dari mobil, membawanya masuk ke dalam rumah milik pak Fikri, kemudian dibawa masuk ke sebuah kamar tidur yang ditunjuk oleh si pemilik rumah

Jilbab yang biasanya menutupi rambut serta lehernya telah tergeser ke bawah ketika tubuhnya dipanggul oleh pak Jamal. Sandalnya juga telah terlepas, demikian pula kaus kakinya. Bahkan sarung panjang yang menutup hingga mata kakinya pun tersingkap sehingga betis putih sangat menantang mata lelaki miliknya kini menjadi santapan mata pak Jamal.

Bagian atas tubuhnya pun tak lagi terlindung secara rapih oleh kebaya yang biasa sehari-hari tertutup rapat. Kancing dan peniti penjaga kebaya di bagian depan telah sebagian besar berantakan. Akibatnya belahan bukit kembar di dada Irah mengintip keluar, gundukan daging gempal terlindung BH putih dengan pinggiran renda muncul di hadapan mata Jamal yang ganas.

Pak Jamal menjulurkan lidah untuk membasahi bibirnya, lehernya dirasa sangat kering menghadapi gadis muda yang masih setengah tidur itu. Dari hidung Sumirah yang bangir terdengar nafas halus, matanya masih tertutup, tangannya tetap menggenggam saputangan yang memang sering dipakainya dengan dibasahi air mawar harum.

Pak Jamal meletakkan tubuh Sumirah di atas ranjang, tangan nakalnya membuka beberapa kancing peniti yang tersisa, yang masih menutup kebaya si siswi madrasah itu. Kemudian disingkapnya lebih lanjut sarung Sumirah ke atas sehingga kini bukan saja betisnya, namun paha begitu licin mulus bak batu pualam putih pun terpampang, pada saat mana Sumirah malahan menekuknya sehingga sarungnya semakin tersingkap dan selangkangannya menjadi terbuka, membuat pak Jamal hampir terbatuk-batuk karenanya.

Karena selangkangan Irah terbuka tanpa disadari oleh sang empunya, maka pak Jamal dapat melihat betapa halusnya kulit paha Irah yang putih kuning langsat karena selalu terlindung dan tak coklat terbakar sinar matahari. Pak Jamal menarik nafas dalam-dalam namun dengan dengus tertahan, karena ia ingin memakai kesempatan selama mangsanya belum pulih kesadarannya untuk menarik ke bawah dan mencopoti celana dalam Sumirah yang berwarna merah muda!

Celana dalam tipis dengan renda itu perlahan-lahan ditarik pak Jamal ke bawah. Semula agak sulit karena tertindih oleh pinggul Sumirah, namun dengan kesabaran yang cukup mengagumkan, pak Jamal sedikit demi sedikit dapat melorotinya. Akhirnya sebercak kain merah muda tipis penutup aurat Sumirah itu pun ditarik turun melewati paha, lolos melalui kedua lututnya, dan pada saat Sumirah tanpa sadar membalik tubuh maka lepaslah lewat kakinya!

Namun pak Jamal masih dapat menahan diri dan tak langsung menerkam mangsanya itu, perlahan-lahan ia berdiri di samping ranjang, satu persatu baju dan celananya sendiri ia lepaskan, sambil tetap mengawasi calon korbannya. Ketika ia hanya tinggal memakai celana dalam saja, pak Jamal kembali naik ke ranjang dan kini merebahkan dirinya di samping kanan Sumirah.

Pak Jamal yang terkenal sebagai pejantan kampung telah sering menggarap wanita di desanya – pada umumnya wanita muda yang telah bersuami tapi kurang memperoleh nafkah badaniah, demikian pula janda kembang entah karena diceraikan atau ditinggalkan suami yang meninggal pada usia muda.

Namun tak diingatnya lagi kapan ia pernah menggauli seorang gadis muda remaja, apalagi anak ABG siswi madrasah seperti Sumirah. Tak disangkanya ketika memasuki usia pertengahan lima puluhan masih memperoleh kesempatan menikmati tubuh Murtiasih beberapa bulan lalu, sebagai ’bonus’ dari Ustadz Mamat (baca kisah mengenai Ustadz Mamat sebelumnya).

Kini di hadapannya menggeletak seorang siswi madrasah lainnya yang hampir seusia dengan Murtiasih, siswi yang sehari-hari memang agak genit, apalagi jika sedang bergaul dan bercanda tertawa cekikikan bersama dengan Rofikah. Pak Jamal membayangkan betapa serunya adegan di kamar pak Fikri yang pasti sedang berusaha menguasai dan menggagahi Rofikah. Khayalannya itu semakin menggugah rencananya untuk mencicipi tubuh Irah yang pada saat itu dengan tak terduga rupanya mulai sadar dan perlahan-lahan membuka matanya!

“Iiih, pak Jamal, kenapa ada disini? Ayo keluaar! S-saya dimana, pak? Tolongin saya pulang ke rumah, Pak. J-jangan macam-macam, kita tak baik berduaan di kamar,” suara Irah terdengar panik.

“Tenang aja, non geulis.. ditanggung aman deh, non, asal jangan berisik. Ntar mamang pulangin non ke madrasah, atau mau ke rumah juga boleh. Tapi sebelonnya mamang mau ngelonin si non geulis,” demikian pak Jamal yang langsung menyergap dan menarik tubuh Irah yang berusaha bangun.

“Toloong! Saya mau diapain? Enggak mau begini, kurang ajar!! Ntar aku laporin polisi lho, ayo lepasin..” Irah bergumul dengan lelaki setengah baya yang kembali berhasil meletakkannya di ranjang.

“Eeh.. udah dibilang jangan berisik, malahan cerewet! Jangan rewel, non, percuma ngelawan! Kan si non juga pengen ngalamin seperti temen non Murtiasih itu, ayo sini deh mamang ajarin! Tadi mamang udah ngeliat barang non, tembeeem banget.. keliatannya siiip dihiasin rambut halus! Bener nggak, non? Hehehe,” pak Jamal menyeringai mesum selebar-lebarnya sambil menatap Sumirah.

Sumirah sangat terkesiap mendengar kalimat terakhir itu, dan baru disadarinya bahwa ada sesuatu yang sangat lain daripada biasa di selangkangannya. Baru disadarinya bahwa selangkangannya telah ‘kehilangan’ sesuatu : terasa jauh lebih dingin daripada biasanya – ooh, kemana celana dalamnya?

Penuh dengan rasa panik, Sumirah kembali berusaha bangun sambil sejauh mungkin merapatkan kedua pahanya. Namun kali ini pak Jamal telah bersedia : tubuh Sumirah langsung ditindihnya dan mulutnya segera membekap dan menciumi hingga membuat Sumirah gelagapan dan menggeliat-geliat pelan.

Keadaan Sumirah sudah sangat tak menguntungkan karena pak Jamal sendiri telah lepas semua pakaiannya terkecuali celana dalamnya yang agak dekil, sedangkan busana muslim yang biasanya menutup tubuh Sumirah dengan rapih kini telah berantakan, bahkan celana dalamnya telah tergeletak di lantai.

Pergulatan yang tak sebanding itu berjalan beberapa menit. Jilbab Sumirah telah lepas terhempas di lantai, kebaya serta sarungnya berantakan tak karuan. Sementara pak Jamal yang menyekal kedua tangan Sumirah di atas kepalanya, kini mulai menciumi dan menyupangi leher korbannya.

“Lepaaaaas! Lepasin saya! T-toloong.. saya enggaak relaaa! Ooooouuffhh..” kembali Sumirah merintih saat pak Jamal menciumi bibirnya dengan rakus, lalu turun lagi ke leher, bahu, dan menancap di ketiak.

“Duuuuh siaaaah.. sedeeep teuuiiing nih ketek! Licin amat, slurrrrp.. engggak puas-puas mamang mau ngejilatin teruuuus.. wangi amat nih ketek, emang gadis madrasah lain baunya kali,” pak Jamal tak habisnya mengendus, mencium, menjilati dan menyupangi ketiak Sumirah kanan dan kiri.

Semua rontaan Sumirah sia-sia saja, bahkan semakin memacu pak Jamal yang kini hanya menyekal kedua nadi Sumirah dengan satu tangan kirinya yang kuat, sementara tangan kanannya menjelajahi serta mulai menggerayangi ke dalam kebaya Sumirah, mencari bukit daging kembar yang gempal dan kenyal.

Sumirah tetap menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan penuh keputus-asaan. Secara tak sengaja matanya melihat beberapa codetan panjang bekas luka di dada pak Jamal yang sedikit dipenuhi bulu, hal sama terdapat pula di lengan atasnya yang masih cukup berotot keras. Terpana mata Sumirah menatap bekas-bekas luka itu dan terbersit rasa ketakutan di matanya, yang mana itu tidak lolos dari pengamatan pak Jamal yang langsung menggunakan kesempatan untuk mengancam!

“Hehehe.. bagus ya, non, banyak codetan bekas bacokan golok dan pisau di badan mamang.. biasa deh, kalo ada yang enggak nurut dan ngelawan, mamang jadi berkelahi. Tapi semua udah diberesin langsung, enggak ada lagi yang ngerepotin mamang karena semuanya udah masuk ke dalam tanah,” pak Jamal mendadak mengubah nada suaranya menjadi dingin dan memberikan gerakan jari menyilang di depan leher yang berarti bahwa semua musuhnya telah digorok dan ia bunuh!

Sumirah tak tahu apakah benar apa yang dikatakan oleh pak Jamal, namun tanpa sengaja ia rasakan tubuhnya gemetar menggigil dan bulu badannya berdiri gara-gara ngeri atas ucapan tersebut. Sebagai lelaki berpengalaman, pak Jamal mengerti bahwa ucapannya memberikan pengaruh besar pada siswi madrasah muda dan lugu yang semakin lama semakin berada dalam kekuasaannya itu.

“Hehehe.. jangan takut, non, mamang udah umpetin pisau mamang di bawah ranjang. Pokoknya si non enggak bakalan mamang sakitin asal nurut, engga ngelawan dan jangan bikin berisik, ngarti?” pak Jamal melanjutkan jamahan dan remasannya di gunung kembar gempal di dada Sumirah, lalu putingnya dipijit serta dicubit-cubitnya, menyebabkan Sumirah jadi meringis dan menggeliat kesakitan. Meskipun sehari-hari agak genit, namun pak Jamal menduga bahwa belum pernah ada lelaki melakukan hal seperti itu pada Sumirah.

“Hehehe.. enak enggak, non? Geli ya sampe ngegelinjang begitu? Ini belon apa-apa, non, mamang tambahin lagi nih.. mau netek di susunya si non, uummh.. legitnya! Cuuppp.. nyyuuuum.. duuuh siaaah, mamang isep dan sedot supaya makin lancip ya, non? Tuh udah mulai ngacung dan merah muda kaya jambu,” pak Jamal kini bergantian menggigit dan menyedot-nyedot puting Sumirah sehingga anak ABG ini makin gelisah kelojotan, namun dari puting yang digigit-gigit itu muncul aliran rasa hangat dan geli menyebar ke seluruh tubuhnya.

“Aaah.. aoouuh.. udaah dong, maaang! Gelii.. ngiluuu.. aauhh!! Irah enggak mau, udahan dong mainnya! Lepasin, oooh.. Iraah enggak tahan!!” Sumirah makin menggelinjang.

Dirasakan kedua buah dadanya semakin membengkak dan selain itu muncul kehangatan di tengah selangkangannya sebagai akibat dari obat perangsang yang secara tak sadar diminumnya tadi. Sumirah merasakan bahwa selangkangannya yang telah tak tertutup celana dalam itu semakin lembab dan juga ada rasa geli serta keinginan untuk meraba dengan jari tangannya sendiri. Namun hal itu tak mungkin dilakukannya karena bertentangan dengan rasa kehormatan dan malu. Sehingga tak sadar Sumirah hanya mencoba membuka menutup kedua pahanya, selain itu kedua kakinya yang jenjang melurus, kemudian menekuk, lalu melurus lagi secara bergantian. Kedua pipinya terlihat semakin muncul merah merona, hembusan nafasnya semakin cepat tak teratur disertai keluhan halus.

“Hehehe, bageuur eeuuy.. si non makin cakep aja, udah waktunya nih mamang akan memanjakan si non. Abis netek begini biasanya mamang pengen minum air madu. Non mau sekalian diajarin nyepong apa engga? Apa ntar aja kalo mamang banjiran di mulut? Iya deh mamang ngajarinnya pelan-pelan supaya non jadi pinter dan belajarnya gampangan,” pak Jamal melepaskan cekalan dan remasannya, kemudian menyerosot turun sambil melepaskan pakaian Sumirah sehingga akhirnya terlihatlah semua tubuh indah dan montok siswi madrasah yang kini hanya menolehkan kepalanya ke samping.

Sumirah tak berdaya melawan rangsangan tubuhnya sendiri, namun rasa malu jengah dan penyesalan menyebabkan air matanya mulai berlinang dan tubuhnya terguncang pelan oleh isak tangis.

Namun semuanya tak akan lagi menghentikan keinginan pak Jamal untuk menggauli gadis muda ABG ini. Pak Jamal sebagai pejantan kampung memang selama ini cukup sering bersenggama dan merogol pelbagai wanita di desanya, namun belum pernah dengan seorang gadis siswi madrasah.

Kesempatan ini tentu saja tak akan diabaikannya. Ketika Murtiasih berhasil masuk jebakannya dan dibantu Rofikah serta Sumirah akhirnya digarap oleh Ustadz Mamat, maka pak Jamal memang sudah bertekad untuk suatu waktu menikmati tubuh ketiga siswi itu. Baginya tak menjadi soal siapa yang akan pertama kali digaulinya, dan rejekinya memang malam ini memperoleh Sumirah.

Kini pak Jamal telah berhasil menempatkan dirinya diantara kedua paha Sumirah yang terkuak, tak ada gunanya sang korban berusaha membalik diri ke kanan atau ke kiri, tindihan pak Jamal terlalu berat. Kedua tangan pak Jamal masih berada di atas dan tak hentinya meremas-remas buah dada Sumirah, sementara mulutnya disertai lidah basah menjulur keluar menyapu pinggang dan perut gadis muda itu.

Pusar Sumirah yang cekung ke dalam kini telah basah oleh ludah pak Jamal, kecupan hangat terus menerus menjalari seluruh pori kulit putih mulus : dari perut dan pusar semakin turun mengarah ke selangkangan. Disitu kecupan-kecupan pak Jamal semakin ganas dan brutal disertai dengan gigitan kecil di lipatan paha, kemudian bagian dalam paha, dan setelah menimbulkan beberapa cupangan merah akhirnya menuju bukit Venus dengan celah sempit yang tepinya dihiasi bulu-bulu halus terawat rapi.

Kedua tangan pak Jamal melepaskan cengkramannya pada buah dada Sumirah, kini telah turun mengusap paha mulus si gadis yang telah lemas terbakar nafsu birahinya sendiri. Sambil menekan kedua paha Sumirah dengan sikunya agar tetap membuka selebar mungkin, maka jari-jari tangan kiri pak Jamal kini berada di kiri-kanan bibir kemaluan Sumirah dan menguakkannya dengan perlahan-lahan.

Mata pak Jamal melotot bagaikan akan keluar dari cekungannya ketika melihat betapa indah dan menggiurkannya dinding vagina Sumirah yang berwarna coklat muda agak kemerahan. Pembuluh darah yang demikian halus tampak menghiasi dinding yang terlihat mulai mengkilat akibat dibasahi oleh cairan alamiah itu. Ketika bibir kemaluan Sumirah semakin ia kuakkan, maka terpampanglah lubang kencing yang demikian kecil, dan di bawahnya.. di bawahnya, ooooh itukah yang disebut selaput dara?

Bagaikan seorang petualang menemukan harta, pak Jamal semakin mendekatkan wajahnya ke lubang surgawi mangsanya. Aah, betul rupanya omongan orang-orang bahwa selaput kegadisan agak berbentuk bulan sabit dan terletak di bawah lubang kantung kemih. Tak sanggup lagi menahan nafsunya, pak Jamal langsung menempelkan hidung dan bibirnya ke vagina Sumirah.

“Sshh.. cuup, cuupp, slrruupp.. aaah, wuuih manisnya nih madu si non, rejeki nomplok bisa ngirup madu cewek.. slrrrrrruuup.. duuuh segernya! Mamang ganti bayar madunya ama liur mamang ya supaya semakin licin? Cakepnya si non pas lagi dijilatin kayak gini,” pak Jamal mengulurkan lidahnya yang besar dan kasap untuk menyapu dinding celah kelamin Sumirah.

“Aaiih.. emmhh.. oooh, pak, Irah diapain lagi? Geli, pak, nngghh.. oooh.. gelii, sssh.. ooohh.. iih, Irah enggak tahan,” Sumirah menceracau dengan tanpa sadar kedua tangannya kini meremas-remas buah dadanya sendiri dan menarik-narik putingnya yang mungil indah.

“Enaak teuing ya, non? Betul engga tuh mamang bilang, jadi ketagihan kan? Sekarang mamang ajarin supaya non melayang ke surga ke tujuh ya, nih gini caranya,” bagaikan mencari butir perhiasan nan mahal, pak Jamal membuka lipatan atas bibir vagina Sumirah. Bagaikan penis mini seorang bayi laki-laki yang baru lahir, muncullah tonjolan daging diantara lipatan bibir memek Sumirah, seolah malu dan segan menampilkan dirinya. Namun kelentit yang dicari-cari itu langsung dikecup, diciumi, dan dijilati oleh pak Jamal. Sumirah yang telah terbuai dengan nafsu birahi kini menghentakkan kakinya bagaikan terkena aliran listrik tegangan tinggi, apalagi ketika kelentitnya tersapu kumis kasar pak Jamal.

“Aaiih.. iihh.. eemph.. aah, geli amat, pak! Udaah..” Sumirah menggeliat-geliat dan berusaha berontak melepaskan dirinya, namun kedua pahanya tetap berada dalam tekanan lengan dan siku pak Jamal sehingga tetap terpaksa mengangkang lebar.

“Toloong, pak.. aauuw! U-udah, hentikan! Gelii.. aauww! Oooh.. iiih.. Irah pengen pipis, oooh.. lepasin dong, pak! U-udaah,” bagaikan orang sedang kalap terkena serangan ayan, Sumirah menghentak-hentak dan menendang, sementara semua jari tangannya justru malah menjambak rambut pak Jamal dan menekan kepalanya seolah-olah ingin dirangsang terus.

Sinyal sangat khas yang begitu nyata ini tentu saja begitu dikenal oleh pak Jamal yang kini justru semakin meningkatkan kegiatannya. Klitoris yang telah menonjol diantara lipatan bibir kemaluan Sumirah kini dijepit oleh pak Jamal diantara bibirnya, disapu dan diusap dengan lidahnya, kemudian digesek serta digéwel dengan menggunakan barisan giginya yang digerakkan ke kiri dan ke kanan.

Rangsangan semacam ini tak akan dapat ditahan oleh wanita manapun, meskipun ustazah alim shalihah berpengalaman bagaimanapun pasti akan langsung blingsatan dan takluk! Apalagi yang sedang menghadapi serangan ini adalah gadis muda siswi madrasah yang masih asing lelaki.

Tanpa disadarinya tubuh Sumirah semakin terangkat dari kasur, semakin melengkung, dari lubang hidung yang mungil terdengar nafas memburu bagaikan seekor kuda sedang berpacu. Mata Sumirah membeliak terbalik ke atas, tangannya melepas sementara rambut pak Jamal lalu menarik sprei ke mulutnya untuk digigit sekuat tenaga. Kemudian kedua tangannya itu kembali menekan kepala pak Jamal sekuatnya seolah ingin agar rangsangan di klitorisnya semakin ditingkatkan, kedua paha betisnya menendang dan membuka menutup tak beraturan. Pada saat itu pak Jamal secara sadis meremas dan mencubit puting Sumirah dengan jari-jari tangan kirinya, lalu sekaligus telunjuk tangan kanannya menjelajah di bawah vagina dan dengan tiba-tiba menusuk masuk ke anus Sumirah yang amat sempit.

“Ummmppffh.. eemmppffh.. aiiihh.. auww.. Irah pipis!! Ohh, pak.. auoohh,”

Tubuh Sumirah melengkung bagaikan busur yang siap melepaskan anak panah, mengejang dan gemetar selama beberapa menit disaat mengalami orgasme pertama kalinya. Setelah sesaat, barulah akhirnya perlahan-lahan melemas dan menghempas kembali.

Namun pak Jamal masih belum puas. Setelah tubuh Sumirah terhempas kembali dikasur, maka dengan sadis pak Jamal memulai kembali rangsangannya. Kedua puting susu Sumirah yang semakin membengkak dan mengacung ke atas itu dijadikannya sasaran kembali. Ia mempulir-pulir, mencubit-cubit, menggigit-gigit dan mengenyot-ngenyot penuh nafsu, bagaikan seorang bayi raksasa telah kehausan sehari semalam tak diberikan susu ibu. Terutama gigitan sadis yang membuat ngilu itu memaksakan Sumirah kembali dari dunia ekstase setelah orgasme pertama.

Sumirah menggeliat dan merintih-rintih ketika putingnya terasa perih dan lecet karena gewelan dan gigitan buas pak Jamal. Setelah puas dengan meremas dan membuat kulit buah dada sang mangsa penuh cupangan serta bercak merah, maka pak Jamal turun kembali dan mulai menjilati lagi kemaluan Sumirah. Tanpa ampun celah sempit di bukit Venus berbulu halus itu ia kuakkan kembali, dijilatinya dinding yang merah muda itu, dicarinya kelentit yang sedemikian peka, diulangi lagi ritualnya dengan maksud membangunkan birahi sang siswi yang malang itu.

Tak sangguplah Sumirah menghadapi serangan bertubi-tubi lelaki setengah baya yang begitu berpengalaman : tubuhnya yang telah letih, lemas dan mandi keringat itu mulai melengkung dan membusur ke atas. Sepuluh menit kemudian terdengar kembali jeritan histeris Sumirah, kali ini pak Jamal tanpa kasihan memaksanya untuk orgasme tiga kali berturut-turut!

Sumirah merasakan seolah-olah dilandai badai tsunami : jutaan bintang menguasai pandangan matanya, jutaan bintang meledak di dalam kepalanya, tubuhnya bagaikan dihempaskan ombak samudra hindia ketika sang penghuni Nyai Roro Kidul sedang mengamuk. Setelah ketiga kalinya kejang dan kesadarannya sama sekali hampir punah, barulah pak Jamal menghentikan kegiatannya, karena ia telah siap bersenggama!

Pak Jamal menyeringai dan tersenyum penuh kepuasan melihat korbannya telah runtuh semua pertahanannya dan takluk terhadap tindakan apapun yang akan dilakukan pak Jamal berikutnya. Kini telah tiba saatnya pak Jamal mengambil piala utama di petang hari itu, piala kemenangannya terhadap gadis alim shalihah. Piala itu hanya berupa kegiatan beberapa menit menembus selaput pertahanan dan pemisahan status seorang gadis dan wanita dewasa. Pak Jamal kembali menarik dirinya ke atas tubuh Sumirah yang mengkilat mandi keringat akibat orgasmenya. Nafas Sumirah masih memburu, terlihat dari naik turun buah dadanya dengan puting mencuat tajam. Selangkangannya tetap terkuak dan rambut halus di sekitar memek Sumirah tampak basah dengan air mazi serta air ludah pak Jamal yang menjilatinya beberapa menit lalu.

Pak Jamal menarik nafas panjang, menahannya selama mungkin. Jari-jari tangan kirinya menguakkan kembali bibir kemaluan Sumirah. Dengan tangan kanannya diarahkannya penisnya yang menegang maksimal sejak melihat orgasme calon mangsanya. Setelah kepala batang rudalnya diletakkan diantara belahan vagina Sumirah dan dirasakannya cukup mantap, dijepit bibir kemaluan berwarna kemerahan itu. Pak Jamal kemudian mengangkat dan meletakkan betis mangsanya di bahunya, lalu perlahan-lahan ia menekan ke bawah. Sekali dua kali tusukannya meleset, namun akhirnya kepala penis berwarna merah tua dengan bentuk topi baja itu meretas masuk di belahan hangat, senti demi senti lembing daging itu menghilang ke dalam lembah hangat licin dan menemukan pertahanan.

“Aduuh.. aauww! Nyerii, pak.. sakiiit!! J-jangan, pak.. lepasin! S-sakiit, pak.. ooh.. udah!! Auw, ampuun..” Sumirah merasakan bagian dalam memeknya bagai disayat pisau, pinggulnya mengesot ke kiri dan ke kanan menahan rasa sakit.

Sangat berbeda dengan Sumirah yang kesakitan, maka pak Jamal justru merasakan kebanggaan tak terkira ketika alat kejantanannya masuk perlahan-lahan ke dalam liang nirwana gadis muda itu. Setengah jalan dirasakannya ada yang menahan tembusan penisnya dan pak Jamal tersenyum lebar karena yakin bahwa penahan itu adalah selaput kegadisan Sumirah. Ekspresi wajah mangsanya yang ayu cantik namun telah sepenuhnya dikuasai itu justru makin memacu nafsu birahinya.

Dengan penuh rasa kepuasan pak Jamal menekan lebih kuat ke depan, sementara kedua tangan Sumirah memukul lemah dadanya yang kekar penuh codetan. Dengan senyum mesum disertai nafsu iblis pak Jamal merejang kedua pergelangan tangan Sumirah, ditekannya ke kasur sehingga tak mungkin si gadis ini mencakar atau meronta lagi. Disertai dengusan bagai banteng ketaton, pak Jamal menghunjam ke depan dan dirasakannya bahwa pertahanan di dalam vagina Sumirah akhirnya berhasil ditembus.

“Uuh, sempitnya nih memek.. non geulis kenapa meringis nangis? Ntar pasti keenakan, mmh.. aah, kerasa jebol di dalem enggah, non? Kasian si non ngerasa ngilu, mamang licinin lagi ya supaya enggak terlalu perih? Duuh, begeuuuur teuiiing, mamang jadi makin napsu aja, hehehe.”

Pak jamal kembali menciumi mulut Sumirah yang setengah terbuka. Lidah Sumirah disedot serta dijepit diantara bibir tebalnya, kini ludah pak Jamal makin bercampur dengan ludah Sumirah.

“Eemmuuppffh.. uuddhh.. aauummppffh.. aauuww, sakiiit! A-ampuun, pak!!” Sumirah menangis terisak-isak, tusukan dan hunjaman pak Jamal dirasakannya semakin menyiksa masuk ke dalam sehingga terasa ngilu menjalar sampai ke ulu hatinya.

Memang telah beberapa kali ia mendengar dari tetangga serta kenalan wanita yang telah menikah bahwa proses metamorfose dari gadis menjadi wanita dewasa di malam pengantin sering disertai dengan rasa sakit. Namun apa yang dirasakannya saat ini sama sekali di luar dugaannya, jauh lebih sakit daripada perasaanya semula.

Sumirah tetap berusaha menggeser pinggulnya ke pelbagai arah ketika alat kejantanan pak Jamal menumbuk mulut rahimnya yang penuh ribuan ujung syaraf peka. Namun semua tak mengurangi atau meringankan rasa perih dan ngilu karena dinding memeknya yang masih luka memar itu tetap digesek-gesek bagaikan diampelas oleh kulit kasar penis pak Jamal. Bahkan usaha goyang dan geseran pinggul Sumirah itu menyebabkan salah dugaan pak Jamal bahwa gadis korbannya justru mulai merasakan kenikmatan, sehingga semakin seru dan mantaplah pak Jamal menggerakkan penisnya.

“Wah, mulai ngerasa enak ya, non? Mamang bilang juga apa, sedap kan di entot? Pinter banget si non, mulai goyang pantat kaya penyanyi dangdut ngebor di panggung. Mamang mulai enggak tahan nih, yahud amat si non makin geuliiiis.. cakepnya dipompa, aah.. uuh!!” pak Jamal mengarahkan dan menumbuk senjata dagingnya ke semua sudut celah surgawi mangsanya.

Masuk keluar, masuk keluar, dorong tarik, tarik dorong, sebentar halus dan perlahan, mendadak berubah menjadi sangat kasar dan brutal. Siswi madrasah yang baru kehilangan kegadisannya itu hanya dapat mengikuti saja semua kemauan pemerkosanya. Percuma saja melawan karena justru akan lebih memacu nafsu hewaniah kuli pembersih di madrasah itu. Sumirah mulai membiasakan hidungnya dengan bau keringat pak Jamal yang kini bersimbah bercampur dengan keringatnya.

Tak ada lagi yang sanggup dipertahankannya, Sumirah hanya mengharapkan agar semuanya cepat berlalu dan ia akan segera pulang untuk melupakan pengalaman pahitnya yang ibarat mimpi buruk. Tapi pak Jamal ternyata mempunyai stamina yang sangat mengagumkan untuk seorang pria seusianya.

Setelah dirasa bahwa perlawanan Sumirah sama sekali tak ada, maka justru ia membalik badan dan meminta agar gadis itu menungganginya dalam posisi “woman on top”. Karena Sumirah telah lemas dan terlalu letih, maka justru pak Jamal yang mencengkeram pinggang langsing korbannya. Kemudian dia naik-turunkan tubuh Sumirah bagaikan boneka, sehingga memeknya ditikam dan ditusuk tusuk dari arah bawah oleh tombak daging yang mengacung ke atas dengan begitu gagahnya.

Setelah puas menjarah Sumirah dalam posisi ini, pak Jamal kini menyuruhnya merangkak bagaikan seekor anjing, kemudian didekati mangsanya dari belakang dan kembali dibelah vaginanya. Tanpa rasa kasihan sedikit pun, pak Jamal kini menggarap dan mengerjai Sumirah dari arah belakang, dan karena sudah amat lemas maka Sumirah tak sanggup lagi menunjang tubuhnya sendiri dengan lengan yang diluruskan.

Akhirnya Sumirah hanya sanggup menumpang tubuh atasnya dengan lengan atas dan bertopang di siku yang menekuk. Kepalanya yang sudah tak tertutup jilbab dengan rambut acak-acakan menyentuh kasur, setiap genjotan dan jedugan pak Jamal dari belakang hanya dijawab dengan lenguhan dan desahan putus asa, terputus-putus diantara isak tangis memilukan.

Pak Jamal merasakan bahwa gejolak lahar panasnya telah sangat meninggi di dalam biji pelirnya, secara iseng dan sadis ia menyentuh dan mencolek lubang kecil dilindungi otot lingkar mengkerut-kerut. Dengan penuh kepuasan dilihatnya otot pelindung yang masih mengerut itu berkontraksi menarik si lubang kecil hingga semakin menciut bersembunyi di tengah bongkahan pantat yang sangat menantang.

Namun kali ini pak Jamal masih mempunyai rencana lain, lubang pantat Sumirah akan disimpan untuk dikerjainnya dalam kesempatan di masa mendatang. Kali ini ia berniat mengajari Sumirah untuk menghirup air maninya, dibayangkannya betapa wajah ayu Sumirah dengan mulut mungil terpaksa membuka selebarnya untuk mengulum rudalnya. Betapa nikmatnya merasakan hangat dan lembut lidah Sumirah menyapu lubang kencingnya yang menyemburkan air pejuh kental. Pasti Sumirah akan menolak melakukan hal tak senonoh itu, namun pak Jamal tahu caranya menakluki dan mematahkan pertahanan si anak ABG muda.

“Uuuh, mamang udah hampir nyampe nih.. buang pejuhnya di dalem supaya jadi anak mau ya? Kebetulan lagi subur enggak, non? Udah lama juga mamang enggak naburin ladang becek, mau ya?” sengaja pak Jamal menjedug-jedug rahim Sumirah sambil menanyakan hal tak senonoh itu.

“Jangan, pak, Irah enggak mau hamil.. tolong, kasihani Irah dong, pak! Buang diluar aja,” isak tangis Sumirah semakin menimbulkan iba, namun tak dipedulikan oleh pemerkosanya.

“Kalo enggak dibikin anak kan sayang, tapi bisa juga dimasukin lobang yang laen. Ditimbun disini boleh enggak, non?” kembali pak Jamal menjedug menghunjam sambil mengusap anus Sumirah.

“Kelihatannya kecil dan sempit, pasti enak dijebol nih lobang,” lanjut pak Jamal sambil meludahi anus Sumirah kemudian dengan perlahan ditusuk-tusuk dengan jari telunjuknya.

“Auw, jangan, pak! Jangaaan.. enggak mau disitu.. haram, pak! Oooh.. jangan, ampun, pasti sakit sekali.. ampun, pak! Ampuuuun..” Sumirah berusaha meronta dan menggelinjang lemah.

“Wah, cerewet amat si non! Dibuang sini salah, dibuang kesitu juga salah.. gini aja lah supaya jangan mubazir, mamang ajarin non minum air pejuh simpanan supaya jadi awet muda,” pak Jamal tak menunggu jawaban Sumirah namun langsung membalikkan dan menelentangkan tubuh sintal telanjang bulat itu.

Kembali direjangnya kedua pergelangan tangan Sumirah di samping kepalanya, dan kemudian disodorkannya penis hitam legam penuh urat melingkar-lingkar itu di depan bibir Sumirah.

Sumirah melengoskan kepalanya ke samping ketika penis mengkilat mengangguk-angguk yang terlumasi bekas darah dan air mazinya sendiri itu menyentuh bibirnya. Pak Jamal hanya tersenyum sadis, segera dicengkeramnya kedua nadi Sumirah dengan satu tangan dan diletakkan di atas kepalanya. Tangan satunya kini digunakan untuk memegang dagu Sumirah , jari-jarinya yang kuat menekan pipi si gadis malang sedemikian kuat hingga menyebabkan siswi madrasah ini kesakitan dan tanpa sadar menjerit.

Kesempatan itu langsung dipergunakan oleh pak Jamal dengan meneroboskan kemaluannya ke celah diantara bibir yang membuka, lalu tanpa rasa iba didorongnya masuk sedalam mungkin.

Sumirah tersedak terbatuk-batuk ketika langit-langit mulutnya disentuh oleh benda asing, hidungnya mengernyit karena mencium aroma campuran yang baru pertama kali ini dikenalnya. Aroma keringat lelaki, aroma khas penis sang pemerkosa, aroma lendirnya sendiri, dan juga sebersit aroma darah perawan yang beberapa saat lalu mengalir akibat perenggutan paksa selaput kegadisannya.

Rasa mual ingin muntah menyebabkan lambung Sumirah memberontak, namun apalah dayanya saat ini : pak Jamal telah memaju-mundurkan pinggulnya. Lingkaran kemaluan sang pejantan dirasakan oleh Sumirah semakin lama semakin membesar, menyebabkan sendi rahangnya sangat pegal linu karena dipaksa membuka maksimal. Pak Jamal semakin mempercepat irama penggejotannya di dalam mulut yang sedang dijarahnya habis-habisan, semakin lama semakin ganas, semakin dalam dan..

“Aaah.. oooh.. iya! Isep, non! Iseep semua, ooh.. duuh, enggak tahan lagi nih mamang mau ngecrot! Kemut, non, iyah.. minum semuanya, ooh..” geraman dan dengusan pak Jamal menyertai semprotan serta luapan spermanya yang masuk memenuhi rongga mulut Sumirah.

Tak ada ruangan sedikitpun yang dapat dipakai Sumirah untuk membuang air pejuh menjijikkan itu. Supaya tidak terselak dan kehabisan nafas maka tak ada jalan lain bagi Sumirah daripada menelan teguk demi teguk air mani yang dirasakan seolah tak ada habisnya.

Lebih dari tiga menit barulah semburan lahar panas di mulut Sumirah mereda, penis pak Jamal pun mengurang diameternya dan akhirnya dapat didorong keluar lidah Sumirah. Beberapa tetes air pejuh putih mengalir keluar dari sudut bibir Sumirah dan beberapa kali ia menarik nafas sedalam-dalamnya untuk menahan rasa ingin muntah karena aroma sepat agak asin di kerongkongannya.

“Gimana, non, puas enggak? Ngaku deh enaknya dientot sama lelaki, mamang masih pengen maen-maen lagi, lain kali diterusin pasti lebih puas,” demikian rayuan gombal pak Jamal berusaha untuk menghibur Sumirah yang masih terlentang telanjang bulat dengan isakan tangisnya.

Perlahan-lahan pak Jamal menuntunnya ke kamar mandi untuk membersihkan diri, terutama bagian selangkangannya yang masih terasa sangat perih dan memar. Setelah itu pak Jamal membantu Sumirah memakai sarung panjang dan kebayanya, tak lupa jilbabnya menutup kembali rambutnya. Mereka kemudian duduk berdampingan di ranjang, kemudian pindah ke ruang tamu tanpa banyak mengucapkan kata. Mereka menunggu pasangan lain yang juga sibuk dengan acara hangat di kamar tidur masing-masing.

Beberapa jam kemudian Sumirah telah pulang ke rumahnya. Berbeda dengan pak Jamal yang langsung menggeros kepuasan karena dapat menikmati tubuh gadis remaja, maka Sumirah merasakan tubuhnya pegal linu akibat pergulatannya tadi. Beberapa kali diraba selangkangannya yang masih memar, namun ketika jari-jarinya menyentuh bibir kemaluannya, terutama kelentitnya yang tersembunyi itu, maka terbayangkan kembali adegan memalukan namun mengesankan sukar terlupakan ketika perawanannya direnggut paksa oleh kuli pengurus sekolah madrasah itu.

Karena sukar sekali tidur maka Sumirah mengusap dan meraba kelentitnya dengan perlahan, makin lama semakin cepat. Akhirnya dijepitnya bantal guling dengan kedua pahanya, bantal kepalanya digigit sekuat tenaga untuk meredam jeritan orgasmenya. Berkat kejantanan pak Jamal maka Sumirah sebagai siswi madrasah akhirnya menemukan kenikmatan badaniah yang selama ini tersembunyi, namun itu semua adalah lumrah dan normal bagi semua wanita muda. Tak perduli warna kulitnya, keturunannya, apapun kepercayaannya, kebangsaannya – tak perlu dijadikan rasa malu sama sekali. Barangsiapa berusaha menyangkal hal itu adalah hanyalah kaum munafik saja di dunia ini.



BERSAMBUNG...


Seri 3 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI

Klik Nomor untuk lanjutannya
cerita sex yes, fuck my pussy. good dick. Big cock. Yes cum inside my pussy. lick my nipples. my tits are tingling. drink milk in my breast. enjoying my milk nipples. play with my big tits. fuck my vagina until I get pregnant. play "Adult sex games" with me. satisfy your cock in my wet vagina. Asian girl hottes gorgeus. lonte, lc ngentot live, pramugari ngentot, wikwik, selebgram open BO
x
x