Pagi itu, aku ngantor seperti biasa, bukan kantor layaknya pegawai berseragam, yang aku maksud kantor di sini adalah warung kopi tempat nyangkruk biasanya. Aku menyebutnya kantor karena aku juga berseragam, seragam hijau khas ojek online. Di sana sudah ada rekanku, lelaki berusia 40an, aku biasa memanggilnya cak toyib, bukan karena dia tidak pulang-pulang setelah dua kali lebaran, tapi ya memang itu namanya.
"Ga narik cak?" sapaku ketika melihatnya tak memakai seragam.
"Nggak, Jo. Lagi gak mud" balasnya santai sembari menyeruput kopinya yang tinggal setengah.
Aku hanya mengangguk maklum, bagi orang seperti kita pekerjaan memang cukup fleksibel, bisa dijalankan sesuka hati.
Aku duduk di sebelahnya, memesan kopi juga, sebelum mengeluarkan sebungkus rokok.
"Rokok, cak?" tawarku menyodorkan sebungkus rokok yang masih utuh.
"Sek onok, Jo" balasnya dengan mengeluarkan sebungkus rokok miliknya dari sakunya.
Maka aku mulai menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam, ia pun demikian. Rokok yang menyala adalah awal obrolan ngalor-ngidul yang biasa kita lakukan. Hingga tak lama kemudian muncullah rekan kita satunya, lelaki berumur tiga puluh tahunan bernama Anton.
"Paijo, my man, gimana kabarnya? Masih jomblo?" sindirnya seperti biasa.
Diantara kita bertiga, memang hanya aku yang belum menikah, bahkan pacar pun belum punya. Tapi aku masih merasa santai karena usiaku paling muda, baru menginjak seperempat abad.
"Piye kabare bojomu, Ton?" cak Toyib yang balas bertanya, mengalihkan perhatian Anton padaku.
Karena aku sendiri sebenarnya cukup malas menanggapi pria yang satu ini.
"Sehat, cak. Susune tambah gede" guraunya dengan nada sombong.
Aku sampai sekarang belum paham pemikiran pria ini, sering sekali dia membanggakan istrinya yang ku akui memang cantik dan seksi itu. Tapi ya ngapain juga dipamer-pamerkan seperti itu, kayak pamer piala lomba aja.
Setelah basa-basi beberapa saat, Anton pun berpamitan karena hendak narik. Berbeda dengan kita, Anton menunggangi roda empat, meskipun jaket kita sama-sama hijau tapi beda tunggangan, ya maklum saja karena Anton sebenarnya memang berasal dari keluarga kaya. Karena malas bekerja, maka dengan senang hati dia mengambil pekerjaan yang baru muncul akhir-akhir ini, itu pun hanya sambilan saja karena pekerjaan utamanya mewarisi usaha kuliner dari orangtuanya.
Sepeninggal Anton, aku melanjutkan obrolan dengan cak Toyib. Melanjutkan topik sebelumnya sekaligus ngerasani (ngobrolin/ngomongin/gibahin) Anton. Sampai sebuah panggilan narik menghampiri hape ku, dengan berat hati aku harus meninggalkan kantor dan memenuhi panggilan pelanggan.
###
Sepanjang perjalanan pulang ke kos, aku teringat perkataan cak Toyib tadi. Semua orang itu punya kelebihannya masing-masing. Kalau Anton itu kelebihannya kaya, kalau aku menurut cak Toyib itu lebihnya di pinter. Tapi aku masih belum paham, aku ini pinter darimananya.? Kuliah aja molor terus, apalagi setelah kedua orangtuaku meninggal, aku jadi males ngapa-ngapain. Terus aku memilih merantau ke kota lain untuk mengadu nasib, menolak tawaran dari om ku untuk tinggal bersamanya, malah ngekos di tempat seadanya dan terkadang pusing mikirin duit yang tidak pernah cukup. Untungnya semenjak ada pekerjaan ojek online ini aku jadi punya duit cukup dan bisa konsisten bayar kos tepat waktu.
"Baru pulang, Jo?" sapa bapak kos ramah.
Padahal dulu sebelum aku konsisten bayar kos, ya nggak kayak gini perlakuan beliau.
"Iya, pak" balasku singkat sambil tersenyum basa-basi.
Motor aku parkir di depan kamar kos, kemudian aku merebahkan badan yang cukup pegal setelah narik seharian.
Belum ada lima menit, sebuah pesan dari cak Toyib datang, isinya mengajakku ke rumah Anton karena ada semacam syukuran darinya, entah syukuran apa. Meski agak malas, tapi aku tetap beranjak dari kasur untuk memenuhi panggilan itu, bukan karena Anton tapi aku nggak enak sama cak Toyib.
Rumah Anton ada di salah satu perumahan elit di kota itu. Begitu sampai, motorku kuparkir di halamannya yang luas, bersebelahan dengan motor cak Toyib yang sudah ada di sana. Aku segera melangkah masuk ke dalam rumah, yang ternyata hanya berisi dua orang, tiga jika ditambah dengan diriku.
"Lho, Anton mana cak?" tanyaku setengah berbisik, karena yang ada di sana hanya cak Toyib dan istri Anton yang bernama Susi.
Seperti biasa wanita cantik itu hanya memakai kaos lengan pendek dan celana pendek di atas lutut, memamerkan pahanya yang putih mulus.
"Iya, aku juga penasaran kok tiba-tiba kalian ke sini, kata cak Toyib disuruh suamiku" sahut Susi yang sama bingungnya denganku.
Kulihat cak Toyib malah santai-santai saja sembari memandangku penuh arti.
“Jadi gini, Sus. Si Paijo ini kan mesti berantem sama Anton” cak Toyib membuka percakapan.
“Lho, berantem kenapa cak?” sahut Susi,
sementara dahiku mengkerut karena aku tidak merasa demikian.
“Kata si Paijo ini susumu itu nggak asli, Sus” ceplos cak Toyib dengan santainya, aku terperanjat setengah mati karena takut terjadi keributan.
Maka dengan spontan aku menggoyangkan kedua tangan untuk memberikan tanda penyanggahan.
“Ini asli kok, Jo” balas Susi sembari memegang kedua payudaranya yang masih terbalut kaos.
“Nah, makanya biar dia percaya, suruh pegang sendiri aja, Sus” tambah cak Toyib, membuatku semakin kelabakan, sementara Susinya malah manggut-manggut saja.
“Iya deh, sini pegang sendiri Jo kalau nggak percaya” dengan cuek Susi membusungkan dadanya kepadaku, membuatku salah tingkah sendiri.
Akhirnya dengan perlahan aku memegang kedua gumpalan di dadanya yang montok itu, sementara cak Toyib hanya menahan tawa.
Meski sering melihat film bokep, tapi itu pertama kalinya aku memegang daerah pribadi seorang wanita. Ternyata rasanya sungguh kenyal dan susah digambarkan dengan kata-kata. Bahkan secara spontan, aku tidak hanya memegangnya, melainkan meremasnya juga.
"Ga narik cak?" sapaku ketika melihatnya tak memakai seragam.
"Nggak, Jo. Lagi gak mud" balasnya santai sembari menyeruput kopinya yang tinggal setengah.
Aku hanya mengangguk maklum, bagi orang seperti kita pekerjaan memang cukup fleksibel, bisa dijalankan sesuka hati.
Aku duduk di sebelahnya, memesan kopi juga, sebelum mengeluarkan sebungkus rokok.
"Rokok, cak?" tawarku menyodorkan sebungkus rokok yang masih utuh.
"Sek onok, Jo" balasnya dengan mengeluarkan sebungkus rokok miliknya dari sakunya.
Maka aku mulai menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam, ia pun demikian. Rokok yang menyala adalah awal obrolan ngalor-ngidul yang biasa kita lakukan. Hingga tak lama kemudian muncullah rekan kita satunya, lelaki berumur tiga puluh tahunan bernama Anton.
"Paijo, my man, gimana kabarnya? Masih jomblo?" sindirnya seperti biasa.
Diantara kita bertiga, memang hanya aku yang belum menikah, bahkan pacar pun belum punya. Tapi aku masih merasa santai karena usiaku paling muda, baru menginjak seperempat abad.
"Piye kabare bojomu, Ton?" cak Toyib yang balas bertanya, mengalihkan perhatian Anton padaku.
Karena aku sendiri sebenarnya cukup malas menanggapi pria yang satu ini.
"Sehat, cak. Susune tambah gede" guraunya dengan nada sombong.
Aku sampai sekarang belum paham pemikiran pria ini, sering sekali dia membanggakan istrinya yang ku akui memang cantik dan seksi itu. Tapi ya ngapain juga dipamer-pamerkan seperti itu, kayak pamer piala lomba aja.
Setelah basa-basi beberapa saat, Anton pun berpamitan karena hendak narik. Berbeda dengan kita, Anton menunggangi roda empat, meskipun jaket kita sama-sama hijau tapi beda tunggangan, ya maklum saja karena Anton sebenarnya memang berasal dari keluarga kaya. Karena malas bekerja, maka dengan senang hati dia mengambil pekerjaan yang baru muncul akhir-akhir ini, itu pun hanya sambilan saja karena pekerjaan utamanya mewarisi usaha kuliner dari orangtuanya.
Sepeninggal Anton, aku melanjutkan obrolan dengan cak Toyib. Melanjutkan topik sebelumnya sekaligus ngerasani (ngobrolin/ngomongin/gibahin) Anton. Sampai sebuah panggilan narik menghampiri hape ku, dengan berat hati aku harus meninggalkan kantor dan memenuhi panggilan pelanggan.
###
Sepanjang perjalanan pulang ke kos, aku teringat perkataan cak Toyib tadi. Semua orang itu punya kelebihannya masing-masing. Kalau Anton itu kelebihannya kaya, kalau aku menurut cak Toyib itu lebihnya di pinter. Tapi aku masih belum paham, aku ini pinter darimananya.? Kuliah aja molor terus, apalagi setelah kedua orangtuaku meninggal, aku jadi males ngapa-ngapain. Terus aku memilih merantau ke kota lain untuk mengadu nasib, menolak tawaran dari om ku untuk tinggal bersamanya, malah ngekos di tempat seadanya dan terkadang pusing mikirin duit yang tidak pernah cukup. Untungnya semenjak ada pekerjaan ojek online ini aku jadi punya duit cukup dan bisa konsisten bayar kos tepat waktu.
"Baru pulang, Jo?" sapa bapak kos ramah.
Padahal dulu sebelum aku konsisten bayar kos, ya nggak kayak gini perlakuan beliau.
"Iya, pak" balasku singkat sambil tersenyum basa-basi.
Motor aku parkir di depan kamar kos, kemudian aku merebahkan badan yang cukup pegal setelah narik seharian.
Belum ada lima menit, sebuah pesan dari cak Toyib datang, isinya mengajakku ke rumah Anton karena ada semacam syukuran darinya, entah syukuran apa. Meski agak malas, tapi aku tetap beranjak dari kasur untuk memenuhi panggilan itu, bukan karena Anton tapi aku nggak enak sama cak Toyib.
Rumah Anton ada di salah satu perumahan elit di kota itu. Begitu sampai, motorku kuparkir di halamannya yang luas, bersebelahan dengan motor cak Toyib yang sudah ada di sana. Aku segera melangkah masuk ke dalam rumah, yang ternyata hanya berisi dua orang, tiga jika ditambah dengan diriku.
"Lho, Anton mana cak?" tanyaku setengah berbisik, karena yang ada di sana hanya cak Toyib dan istri Anton yang bernama Susi.
Seperti biasa wanita cantik itu hanya memakai kaos lengan pendek dan celana pendek di atas lutut, memamerkan pahanya yang putih mulus.
"Iya, aku juga penasaran kok tiba-tiba kalian ke sini, kata cak Toyib disuruh suamiku" sahut Susi yang sama bingungnya denganku.
Kulihat cak Toyib malah santai-santai saja sembari memandangku penuh arti.
“Jadi gini, Sus. Si Paijo ini kan mesti berantem sama Anton” cak Toyib membuka percakapan.
“Lho, berantem kenapa cak?” sahut Susi,
sementara dahiku mengkerut karena aku tidak merasa demikian.
“Kata si Paijo ini susumu itu nggak asli, Sus” ceplos cak Toyib dengan santainya, aku terperanjat setengah mati karena takut terjadi keributan.
Maka dengan spontan aku menggoyangkan kedua tangan untuk memberikan tanda penyanggahan.
“Ini asli kok, Jo” balas Susi sembari memegang kedua payudaranya yang masih terbalut kaos.
“Nah, makanya biar dia percaya, suruh pegang sendiri aja, Sus” tambah cak Toyib, membuatku semakin kelabakan, sementara Susinya malah manggut-manggut saja.
“Iya deh, sini pegang sendiri Jo kalau nggak percaya” dengan cuek Susi membusungkan dadanya kepadaku, membuatku salah tingkah sendiri.
Akhirnya dengan perlahan aku memegang kedua gumpalan di dadanya yang montok itu, sementara cak Toyib hanya menahan tawa.
Meski sering melihat film bokep, tapi itu pertama kalinya aku memegang daerah pribadi seorang wanita. Ternyata rasanya sungguh kenyal dan susah digambarkan dengan kata-kata. Bahkan secara spontan, aku tidak hanya memegangnya, melainkan meremasnya juga.
“Gimana? Asli kan?” ujar Susi tiba-tiba, memecah konsentrasiku yang sedang asyik menikmati susunya.
“I,,iya, asli kok mbak” balasku agak terbata, dengan terpaksa aku mesti mengakhiri kenikmatan itu.
Cak Toyib tertawa terbahak, kemudian dia mengajakku berpamitan pulang. Dalam perjalanan pulang, dia kembali memberi petuah bahwa setiap orang memiliki kelebihan masing-masing, kali ini aku sedikit mengerti.
###
Beberapa hari berselang, sebuah ide melintas di kepalaku. Kali ini aku berangkat sendiri ke rumah Anton, tanpa ditemani cak Toyib. Karena hari masih siang, tentu saja Anton tidak ada di rumah dan sedang narik. Setelah mengetuk pintu tiga kali, Susi membukakan pintu dan menyambut kedatangan ku dengan ramah.
“Tumben sendirian ke sini, Jo?” ujarnya setelah mempersilakan ku duduk di kursi ruang tamu.
“Iya nih, mbak. Aku mau konfirmasi soalnya” balasku sok misterius.
“Konfirmasi apaan Jo?” tanya Susi penuh selidik.
“Jadi gini, mbak. Katanya mas Anton, setiap berhubungan intim dia selalu sukses membuat mbak KO, apa itu benar mbak?”
“Enak aja, justru dia yang selalu KO” potong Susi sebelum aku selesai bicara. “Aku pake tangan doang aja sudah bisa ngalahin dia” tambahnya lagi berapi-api.
Sementara itu adik kecilku sudah mulai menegang akibat melihat pahanya yang mulus dan belahan dadanya yang mengintip dari balik tanktop.
“Masa sih mbak?” tambahku dengan nada setengah tidak percaya.
“Ayo ikut aku kalau nggak percaya, biar aku buktiin” balasnya masih berapi-api.
Dia mengajakku masuk ke ruang tengah, setelah menutup pintu depan.
Wanita itu duduk di sofa panjang yang ada di ruang tengah, tangannya melambai memberikan isyarat agar aku duduk di sebelahnya. Meski sudah mempersiapkan kemungkinan ini, tetapi aku masih saja merasa gugup, apalagi kalau tiba-tiba Anton datang.
“Buka celanamu” perintahnya begitu aku duduk di sebelahnya.
Aku agak heran dengan pasangan ini, suami dan istri sama-sama aneh pemikirannya. Tapi aku tetap menuruti perintahnya itu, dengan sekali tarik maka terlepaslah celana dan boxerku, menyisakan adik kecilku yang mulai menegang.
Tanpa basa-basi Susi segera mengelus adik kecilku, sentuhan tangannya yang lembut membuat adikku semakin menegang. Apalagi posisi Susi yang agak menunduk membuatku bisa melihat belahan dadanya lebih jelas. Sungguh putih dan ranum sekali susunya, aku taksir ukurannya mungkin sampai 36C atau malah 36D.
"Ahhh.."
Secara spontan aku mendesah sendiri akibat permainan tangan Susi yang semakin liar. Kali ini adik kecilku dikocok sedemikian rupa, dengan irama yang naik turun, alhasil adik kecilku pun menegang sempurna dengan dikelilingi urat berwarna kehijauan.
“Gede juga punyamu, Jo” komentar Susi memecah desahanku.
Padahal ukuran aku hanya sekitar 15-16 cm.
“Masa sih mbak?” tanyaku tidak percaya.
“Iya Jo, lebih gede dikit dari punya suamiku” balasnya cuek. Aku lihat raut wajahnya sedikit berubah, mungkin dia mulai dirundung birahi.
“Mana nih mbak, kok belum KO juga” sahutku untuk memanasi keadaan, padahal waktu baru berjalan beberapa menit.
“Iya nih, kuat juga kamu” ujarnya agak bingung.
Aku merasa cukup puas dengan jamu yang telah kuminum sebelumnya.
“Pake mulut aja coba, mbak” tambahku agak ragu-ragu.
“Iya deh” balasnya singkat, membuatku girang dalam hati.
Sementara dia mulai berpindah posisi, tidak lagi duduk di sebelahku, kini dia berjongkok di hadapanku.
Tanpa membuang waktu, Susi segera memainkan adik kecilku dengan tangan dan mulutnya. Berdasar tayangan porno yang sering aku simak, rupanya Susi cukup mahir melakukan oral. Berbagai gaya dan teknik oral yang ada di film biru bisa diperagakan dengan lihai oleh Susi, membuatku kesusahan menahan gejolak birahi yang semakin meninggi. Apalagi itu pengalaman pertamaku merasakan kenikmatan seperti itu.
Beberapa menit kemudian, desakan di dalam adik kecilku sudah tidak terbendung, bersamaan dengan desahan puas dari mulutku,
Crott!! Crott!! Crott!!
Adik kecilku menyemburkan cairan putih kental ke dalam mulut Susi. Cukup banyak nampaknya sampai wanita itu tersedak dan membuat cairan itu merembet keluar dari mulutnya.
“Maaf, mbak. Baru pertama soalnya jadi nggak bisa ngontrol” ujarku dengan nada bersalah.
Namun wanita itu hanya menggelengkan kepala dan memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Kemudian dia bergegas menuju wastafel untuk berkumur dan membuang cairanku.
“Gimana? Terbukti kan?” ujarnya setelah kembali dari wastafel, membuatku kepayahan menahan tawa akibat kepolosan wanita itu.
Aku mengangguk mengiyakan ucapannya, sebelum berpamitan pulang dengan perasaan cukup puas.
###
Esoknya aku menemui cak Toyib di ‘kantor’, dengan bersemangat aku menceritakan pengalaman kemarin kepadanya. Seperti dugaanku, cak Toyib tertawa terbahak-bahak sembari menepuk bahuku.
“Bener kan omonganku, awakmu iku pinter”.
Kita pun membuka rutinitas cangkruk (nongkrong) dengan ditemani hisapan rokok, tak lupa dengan secangkir kopi masing-masing, kopi hitam milik cak Toyib dan kopi susu milik ku.
“Sampean tau ngunu pisan ta, cak?” tanyaku membuka obrolan terkait ceritaku barusan.
Cak Toyib menyelesaikan tegukan kopinya dulu sebelum menjawab pertanyaan aku.
“Yo tau, Jo. Tapi biyen. Ambek wong liyo, duduk Susi” balasnya sebelum mulai menghisap rokoknya lagi.
“Lapo nggak ambek Susi, cak?” tanyaku makin penasaran, semua lelaki harusnya tertarik dengan wanita seperti Susi.
“Gak enak ambek Anton ta cak?” tambahku lagi sebelum dia menjawab.
“Aku iki wes tuwo, Jo. Wes ora tertarik ngunu iku, bahagiaku yo ngene iki, ngopi, rokokan ambek cangkruk” jelasnya dengan senyuman ramah andalannya.
Aku hanya manggut-manggut meski tidak terlalu paham.
Tak lama berselang, yang dirasani datang. Bukan Anton, melainkan Susi. Meski ini bukan pertama kalinya dia datang ke warung ini, tetapi tetap mengejutkan kita. Biasanya dia datang bersama Anton, namun kali ini dia hanya sendirian, membawa mobil yang biasanya dibawa Anton narik.
“Lho, Anton mana, Sus?” cak Toyib segera menyambut kedatangannya dengan pertanyaan.
“Ini aku baru mau nanya kalian” balasnya terlihat agak bingung.
“Loh, lah itu mobilnya kamu bawa. Orangnya mana?” tanya cak Toyib lagi membuat Susi semakin kebingungan.
“Tadi pagi dia dijemput temennya, katanya mau ke warung, tapi sampai sekarang belum balik” Susi akhirnya membeberkan duduk perkaranya.
Cak Toyib manggut-manggut mendengarkan, sementara aku lebih asyik memandang tubuh sintal Susi.
“Sudah coba dihubungi?” tanya cak Toyib lagi.
“Hapenya aja ketinggalan di mobil kok” balas Susi semakin putus asa.
“Yauda kamu tunggu di rumah aja sama Paijo, biar aku yang nyari Anton” ujar cak Toyib tiba-tiba, membuatku kaget setengah girang.
Meski demikian aku tetap mempertanyakan ucapannya itu.
“Lho, nggak golek ambek aku ae ta cak?” tanyaku
“Awakmu ngancani Susi ae, ben ono sing nenangno areke” balas cak Toyib sok bijak, meski sesaat kemudian dia mengedipkan sebelah matanya padaku.
“Yowes aku tak budal disek ya” tambah cak Toyib yang kemudian menyeruput sisa kopinya dan membuang puntung rokoknya.
“Aku ae sing mbayar, cak” ujarku berinisiatif
Cak Toyib mengangguk dan bergegas menunggangi motor jadulnya dan meninggalkan kita berdua.
“Mau nunggu di sini apa gimana mbak?” tanyaku kepada Susi sepeninggal cak Toyib.
“Pulang aja deh” balasnya, kemudian menuju ke mobilnya yang masih menyala.
Dengan cekatan aku membayar pesananku dan cak Toyib, sembari menitipkan motor ke pemilik warung langganan itu.
Sepanjang perjalanan kita berdua terdiam seribu bahasa, aku tidak tahu mesti ngomong apa, sementara Susi hanya diam sambil menyetir. Sampai tanpa terasa kita sudah sampai di halaman rumahnya. Jujur saja sebenarnya adik kecilku sudah menegang sejak tadi, apalagi saat berduaan di mobil dan tercium aroma parfumnya yang cukup menggoda. Namun aku tidak berani berbuat apa-apa karena takut malah mengacaukan suasana.
“I,,iya, asli kok mbak” balasku agak terbata, dengan terpaksa aku mesti mengakhiri kenikmatan itu.
Cak Toyib tertawa terbahak, kemudian dia mengajakku berpamitan pulang. Dalam perjalanan pulang, dia kembali memberi petuah bahwa setiap orang memiliki kelebihan masing-masing, kali ini aku sedikit mengerti.
###
Beberapa hari berselang, sebuah ide melintas di kepalaku. Kali ini aku berangkat sendiri ke rumah Anton, tanpa ditemani cak Toyib. Karena hari masih siang, tentu saja Anton tidak ada di rumah dan sedang narik. Setelah mengetuk pintu tiga kali, Susi membukakan pintu dan menyambut kedatangan ku dengan ramah.
“Tumben sendirian ke sini, Jo?” ujarnya setelah mempersilakan ku duduk di kursi ruang tamu.
“Iya nih, mbak. Aku mau konfirmasi soalnya” balasku sok misterius.
“Konfirmasi apaan Jo?” tanya Susi penuh selidik.
“Jadi gini, mbak. Katanya mas Anton, setiap berhubungan intim dia selalu sukses membuat mbak KO, apa itu benar mbak?”
“Enak aja, justru dia yang selalu KO” potong Susi sebelum aku selesai bicara. “Aku pake tangan doang aja sudah bisa ngalahin dia” tambahnya lagi berapi-api.
Sementara itu adik kecilku sudah mulai menegang akibat melihat pahanya yang mulus dan belahan dadanya yang mengintip dari balik tanktop.
“Masa sih mbak?” tambahku dengan nada setengah tidak percaya.
“Ayo ikut aku kalau nggak percaya, biar aku buktiin” balasnya masih berapi-api.
Dia mengajakku masuk ke ruang tengah, setelah menutup pintu depan.
Wanita itu duduk di sofa panjang yang ada di ruang tengah, tangannya melambai memberikan isyarat agar aku duduk di sebelahnya. Meski sudah mempersiapkan kemungkinan ini, tetapi aku masih saja merasa gugup, apalagi kalau tiba-tiba Anton datang.
“Buka celanamu” perintahnya begitu aku duduk di sebelahnya.
Aku agak heran dengan pasangan ini, suami dan istri sama-sama aneh pemikirannya. Tapi aku tetap menuruti perintahnya itu, dengan sekali tarik maka terlepaslah celana dan boxerku, menyisakan adik kecilku yang mulai menegang.
Tanpa basa-basi Susi segera mengelus adik kecilku, sentuhan tangannya yang lembut membuat adikku semakin menegang. Apalagi posisi Susi yang agak menunduk membuatku bisa melihat belahan dadanya lebih jelas. Sungguh putih dan ranum sekali susunya, aku taksir ukurannya mungkin sampai 36C atau malah 36D.
"Ahhh.."
Secara spontan aku mendesah sendiri akibat permainan tangan Susi yang semakin liar. Kali ini adik kecilku dikocok sedemikian rupa, dengan irama yang naik turun, alhasil adik kecilku pun menegang sempurna dengan dikelilingi urat berwarna kehijauan.
“Gede juga punyamu, Jo” komentar Susi memecah desahanku.
Padahal ukuran aku hanya sekitar 15-16 cm.
“Masa sih mbak?” tanyaku tidak percaya.
“Iya Jo, lebih gede dikit dari punya suamiku” balasnya cuek. Aku lihat raut wajahnya sedikit berubah, mungkin dia mulai dirundung birahi.
“Mana nih mbak, kok belum KO juga” sahutku untuk memanasi keadaan, padahal waktu baru berjalan beberapa menit.
“Iya nih, kuat juga kamu” ujarnya agak bingung.
Aku merasa cukup puas dengan jamu yang telah kuminum sebelumnya.
“Pake mulut aja coba, mbak” tambahku agak ragu-ragu.
“Iya deh” balasnya singkat, membuatku girang dalam hati.
Sementara dia mulai berpindah posisi, tidak lagi duduk di sebelahku, kini dia berjongkok di hadapanku.
Tanpa membuang waktu, Susi segera memainkan adik kecilku dengan tangan dan mulutnya. Berdasar tayangan porno yang sering aku simak, rupanya Susi cukup mahir melakukan oral. Berbagai gaya dan teknik oral yang ada di film biru bisa diperagakan dengan lihai oleh Susi, membuatku kesusahan menahan gejolak birahi yang semakin meninggi. Apalagi itu pengalaman pertamaku merasakan kenikmatan seperti itu.
Beberapa menit kemudian, desakan di dalam adik kecilku sudah tidak terbendung, bersamaan dengan desahan puas dari mulutku,
Crott!! Crott!! Crott!!
Adik kecilku menyemburkan cairan putih kental ke dalam mulut Susi. Cukup banyak nampaknya sampai wanita itu tersedak dan membuat cairan itu merembet keluar dari mulutnya.
“Maaf, mbak. Baru pertama soalnya jadi nggak bisa ngontrol” ujarku dengan nada bersalah.
Namun wanita itu hanya menggelengkan kepala dan memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Kemudian dia bergegas menuju wastafel untuk berkumur dan membuang cairanku.
“Gimana? Terbukti kan?” ujarnya setelah kembali dari wastafel, membuatku kepayahan menahan tawa akibat kepolosan wanita itu.
Aku mengangguk mengiyakan ucapannya, sebelum berpamitan pulang dengan perasaan cukup puas.
###
Esoknya aku menemui cak Toyib di ‘kantor’, dengan bersemangat aku menceritakan pengalaman kemarin kepadanya. Seperti dugaanku, cak Toyib tertawa terbahak-bahak sembari menepuk bahuku.
“Bener kan omonganku, awakmu iku pinter”.
Kita pun membuka rutinitas cangkruk (nongkrong) dengan ditemani hisapan rokok, tak lupa dengan secangkir kopi masing-masing, kopi hitam milik cak Toyib dan kopi susu milik ku.
“Sampean tau ngunu pisan ta, cak?” tanyaku membuka obrolan terkait ceritaku barusan.
Cak Toyib menyelesaikan tegukan kopinya dulu sebelum menjawab pertanyaan aku.
“Yo tau, Jo. Tapi biyen. Ambek wong liyo, duduk Susi” balasnya sebelum mulai menghisap rokoknya lagi.
“Lapo nggak ambek Susi, cak?” tanyaku makin penasaran, semua lelaki harusnya tertarik dengan wanita seperti Susi.
“Gak enak ambek Anton ta cak?” tambahku lagi sebelum dia menjawab.
“Aku iki wes tuwo, Jo. Wes ora tertarik ngunu iku, bahagiaku yo ngene iki, ngopi, rokokan ambek cangkruk” jelasnya dengan senyuman ramah andalannya.
Aku hanya manggut-manggut meski tidak terlalu paham.
Tak lama berselang, yang dirasani datang. Bukan Anton, melainkan Susi. Meski ini bukan pertama kalinya dia datang ke warung ini, tetapi tetap mengejutkan kita. Biasanya dia datang bersama Anton, namun kali ini dia hanya sendirian, membawa mobil yang biasanya dibawa Anton narik.
“Lho, Anton mana, Sus?” cak Toyib segera menyambut kedatangannya dengan pertanyaan.
“Ini aku baru mau nanya kalian” balasnya terlihat agak bingung.
“Loh, lah itu mobilnya kamu bawa. Orangnya mana?” tanya cak Toyib lagi membuat Susi semakin kebingungan.
“Tadi pagi dia dijemput temennya, katanya mau ke warung, tapi sampai sekarang belum balik” Susi akhirnya membeberkan duduk perkaranya.
Cak Toyib manggut-manggut mendengarkan, sementara aku lebih asyik memandang tubuh sintal Susi.
“Sudah coba dihubungi?” tanya cak Toyib lagi.
“Hapenya aja ketinggalan di mobil kok” balas Susi semakin putus asa.
“Yauda kamu tunggu di rumah aja sama Paijo, biar aku yang nyari Anton” ujar cak Toyib tiba-tiba, membuatku kaget setengah girang.
Meski demikian aku tetap mempertanyakan ucapannya itu.
“Lho, nggak golek ambek aku ae ta cak?” tanyaku
“Awakmu ngancani Susi ae, ben ono sing nenangno areke” balas cak Toyib sok bijak, meski sesaat kemudian dia mengedipkan sebelah matanya padaku.
“Yowes aku tak budal disek ya” tambah cak Toyib yang kemudian menyeruput sisa kopinya dan membuang puntung rokoknya.
“Aku ae sing mbayar, cak” ujarku berinisiatif
Cak Toyib mengangguk dan bergegas menunggangi motor jadulnya dan meninggalkan kita berdua.
“Mau nunggu di sini apa gimana mbak?” tanyaku kepada Susi sepeninggal cak Toyib.
“Pulang aja deh” balasnya, kemudian menuju ke mobilnya yang masih menyala.
Dengan cekatan aku membayar pesananku dan cak Toyib, sembari menitipkan motor ke pemilik warung langganan itu.
Sepanjang perjalanan kita berdua terdiam seribu bahasa, aku tidak tahu mesti ngomong apa, sementara Susi hanya diam sambil menyetir. Sampai tanpa terasa kita sudah sampai di halaman rumahnya. Jujur saja sebenarnya adik kecilku sudah menegang sejak tadi, apalagi saat berduaan di mobil dan tercium aroma parfumnya yang cukup menggoda. Namun aku tidak berani berbuat apa-apa karena takut malah mengacaukan suasana.
“Sabar ya, mbak. Semoga mas Anton baik-baik saja” ujarku menenangkan, saat itu kita sudah berada di kursi ruang tamu.
“Iya, Jo. Makasih ya” balasnya singkat, akhirnya dia mulai bersuara juga.
Namun setelah itu suasana kembali hening selama beberapa saat. Aku memberanikan diri untuk membuka topik obrolan baru.
“Mbak kok cantik banget ini tadi, mau ke mana?” pujiku melihat penampilan Susi yang cukup rapi, tidak memakai setelan kaos dan celana pendek doang seperti biasanya.
“Oh iya lupa ganti baju, tunggu bentar ya Jo” ujarnya sembari bergegas masuk ke dalam kamar.
Tidak lama kemudian dia kembali ke ruang tamu dengan memakai busana hariannya, tanktop dan celana pendek di atas lutut.
“Tadi mau ke kondangan sama mas Anton, Jo. Tapi ya gak jadi lah orangnya ga ada” balasnya setelah kembali duduk di ruang tamu.
“Oalah, pantesan kok rapi” balasku singkat.
Otakku berputar tetapi tidak menemukan topik selanjutnya. Alhasil aku hanya memandangnya penuh rasa kagum.
“Ada apa Jo kok ngeliatin terus dari tadi?”
“Nggak, cuma heran aja kok mbak bisa mulus gitu, keteknya mulus juga nggak ya?” sahutku meracau, tanpa sadar aku mengatakan apa yang ada di dalam kepalaku tadi.
“Mulus lah” balasnya cepat sembari mengangkat tangan kanannya.
Memamerkan area ketiaknya yang memang mulus dan tidak ditumbuhi bulu sedikitpun, bahkan tidak ada bekas cukuran di sana.
“Pegang sendiri kalau nggak percaya” tambahnya lagi penuh percaya diri.
Ternyata keceplosanku justru berbuah hasil, dengan senang hatiku pun mendekatinya dan meraba ketiaknya yang putih dan mulus itu.
“Coba liat satunya, mbak” ujarku mencoba peruntungan.
“Sama aja lah” balasnya jutek, tetapi dia tetap mengangkat kedua tangannya dan terbukti keduanya sama-sama bersih dan mulus.
Tanpa terasa adik kecilku telah menegang dan menyembul di celanaku, celakanya Susi menyadari hal itu dan tertawa puas.
“Masa liat ketek aja udah nafsu, Jo?” sindirnya sembari terbahak,
sementara aku hanya terdiam dan wajahku sedikit memerah menahan malu. Seolah sengaja menggodaku, Susi tetap mengangkat sebelah tangannya dan memamerkan ketiaknya itu. Maka aku juga tidak mau kalah, kuraba-raba sendiri adik kecilku yang masih terbungkus celana, membuatnya semakin menegang.
Suara sepeda motor jadul membuyarkan berbagai macam fantasiku. Cak Toyib datang bersama Anton, yang entah dia temukan di mana.
===X=X=X===
Esoknya aku tidak menemukan cak Toyib di kantor. Biasanya kalau tidak muncul gini, dia lagi meringkuk di rumahnya, entah karena sakit atau malas keluar rumah. Dengan terpaksa aku ngopi sendirian, sembari menunggu panggilan untuk narik.
Di saat itulah muncul Anton, dengan gayanya seperti biasa. Membuatku teringat kejadian kemarin, entah bagaimana cak Toyib menemukan dia dan darimana dia pergi.
"Eh si jomblo lagi sendirian. Cak Toyib mana?" ujarnya sembari menengok sekeliling.
"Nggak ada, lagi sakit mungkin" balasku sekenanya, aku memang benar-benar tidak tahu dia ada di mana.
"Eh, bro. Ntar malem mau ikut nggak?" bisiknya pelan.
"Mau ke mana emang?" tanyaku basa-basi.
"Clubbing, bro. Tenang, aku yang bayarin semuanya" sahutnya sebelum bercerita panjang lebar mengenai kekuatannya dalam menenggak minuman beralkohol.
Entah apa aja yang sudah dia bicarakan, aku tidak terlalu tertarik mendengarnya.
"Oke, ntar kabari lagi aja" balasku untuk mengakhiri bualannya.
Untung saat itu ada panggilan narik, jadi aku ada alasan untuk menghindari lelaki itu.
Sebenarnya aku tidak terlalu percaya dengan ajakan Anton, karena biasanya dia hanya membual saja. Tetapi kali ini ternyata dia tidak main-main, malamnya dia menjemputku di kos dengan mobil andalannya. Membawaku ke salah satu diskotik di kota itu.
Karena aku kurang tertarik dengan dansa, aku hanya duduk di dekat bartender, meminum apapun yang dipesankan oleh Anton. Sementara dia terlihat asyik menari kesana kemari, sembari meminum berbagai macam isi gelas yang melewatinya. Aku tidak mengira ternyata Anton tidak membual kali ini, kuat juga dia minum begitu banyak minuman.
Sementara aku dari tadi belum menghabiskan segelas minuman entah apa itu.
Tapi dugaanku salah, beberapa jam kemudian, Anton terlihat teler, dengan terpaksa aku menyeretnya pulang, tentunya setelah mengambil dompetnya untuk membayar pesanan kita tadi. Karena aku tidak bisa menyetir mobil, maka mobil Anton aku tinggalkan di tempat parkir. Taksi online yang datang menjemput kita dan mengantarkan ke rumah Anton.
Susi tentu saja terkejut melihat kedatangan kita berdua, apalagi suaminya itu sudah sempoyongan dan bergelayutan di pundakku. Tanpa banyak omong, Susi mempersilakan masuk dan aku merebahkan Anton di dalam kamarnya. Setelah itu aku merebahkan diri sejenak di sofa ruang tengah, sementara Susi ke dapur untuk mengambilkan minuman.
"Minum dulu, Jo" Susi menyerahkan segelas air putih yang segera aku minum sampai habis.
Keringat bercucuran di badanku karena ternyata cukup berat juga membopong tubuh Anton tadi.
"Makasih, mbak" balasku setelah menghabiskan segelas air.
"Mau lagi?"
"Udah, cukup mbak" potongku ketika Susi hendak mengambil air lagi.
Akhirnya dia kembali duduk di sofa sebelahku. Suasana hening beberapa saat, hanya ada suara nafasku yang terengah-engah.
"Dari diskotik ya?" tanya Susi menyelidik.
"Iya, mbak. Baru pertama ini aku ke sana" balasku jujur, percuma juga berbohong dalam kondisi seperti ini.
"Loh, kok nggak mabuk juga?" tanyanya lagi sedikit mengejutkanku.
"Ya soalnya aku cuma minum segelas, mbak" lagi-lagi aku balas dengan jujur. Tak kusangka wanita itu malah tertawa.
"Cupu ah, masa ke diskotik cuma minum segelas" ujarnya masih tertawa.
Lah, kirain bakal dimarahin soalnya ngajak suaminya ke diskotik, malah diketawain. Aku jadi bingung mesti jawab gimana, akhirnya aku diemin saja. Eh dia malah terus-terusan menyindirku, puas sekali kelihatannya.
"Biarpun gini, kalo mbak main sama aku paling kalah" sahutku tiba-tiba, entah keberanian dari mana, mungkin dari segelas minuman di diskotik tadi.
Sepengetahuanku, wanita yang satu ini memang paling tidak bisa kalau ditantang, makanya aku berani berkata seperti itu, mumpung masih dalam pengaruh alkohol, jadi bisa alasan nggak sadar kalau misalnya jadi masalah.
"Halah, kamu liat ketekku aja udah nafsu gitu" balasnya tidak mau kalah.
"Mana.. coba lihat lagi" tantangku lagi.
Dan tentu saja Susi menyambutnya, dengan cuek dia mengangkat kedua tangannya hingga ketiaknya yang mulus kembali terhidang di hadapanku.
"Cuma begitu doang, udah nggak ngefek" sahutku sambil menahan adik kecilku agar tidak menyeruak keluar.
"Sini pegang kalo gitu" ujarnya balik menantang.
"Nggak ah, ntar mbak jadi nafsu" aku balik menantangnya lagi.
"Ga bakal, coba apain aja paling ga ngefek" balasnya penuh percaya diri.
Kesempatan yang sayang jika tidak diambil. Maka aku segera duduk di sebelahnya dan mulai meraba kedua ketiaknya.
Awalnya dia biasa saja ketika aku meraba ketiaknya, jika begini terus maka aku akan kalah. Aku berinisiatif menciumi ketiaknya dan sesekali menjilatinya, inisiatif yang cukup sukses, karena wajahnya terlihat mulai berubah, wajahnya terlihat menahan geli dan nafsu secara bersamaan. Aku pun meneruskan aksi itu sampai kedua ketiaknya itu basah kuyup dan dia mulai mendesah secara perlahan.
Melihat Susi sudah pasrah, aku memberanikan diri meremas susunya yang masih dibalut tanktop dan bra. Rupanya dia diam saja sambil matanya merem melek.
Dengan girang tanganku langsung menyusup ke dalam tanktopnya, merasakan kembali kekenyalan susunya yang montok. Tidak berhenti di sana, aku memutuskan untuk membuka tanktop dan bra Susi. Membuat susunya yang putih dan montok kini terpampang jelas di hadapanku, siapapun yang melihatnya pasti tergiur.
Tanpa tedeng aling-aling, aku segera menjamah susunya itu, meremas di sana-sini, sembari sesekali menjilati putingnya yang kecoklatan. Sedari tadi Susi tidak berkata apa-apa, hanya desahan yang keluar dari bibir merahnya. Namun tangannya aktif mencari adik kecilku, demi melakukan perlawanan, dia mengocok adikku yang telah menegang.
“Iya, Jo. Makasih ya” balasnya singkat, akhirnya dia mulai bersuara juga.
Namun setelah itu suasana kembali hening selama beberapa saat. Aku memberanikan diri untuk membuka topik obrolan baru.
“Mbak kok cantik banget ini tadi, mau ke mana?” pujiku melihat penampilan Susi yang cukup rapi, tidak memakai setelan kaos dan celana pendek doang seperti biasanya.
“Oh iya lupa ganti baju, tunggu bentar ya Jo” ujarnya sembari bergegas masuk ke dalam kamar.
Tidak lama kemudian dia kembali ke ruang tamu dengan memakai busana hariannya, tanktop dan celana pendek di atas lutut.
“Tadi mau ke kondangan sama mas Anton, Jo. Tapi ya gak jadi lah orangnya ga ada” balasnya setelah kembali duduk di ruang tamu.
“Oalah, pantesan kok rapi” balasku singkat.
Otakku berputar tetapi tidak menemukan topik selanjutnya. Alhasil aku hanya memandangnya penuh rasa kagum.
“Ada apa Jo kok ngeliatin terus dari tadi?”
“Nggak, cuma heran aja kok mbak bisa mulus gitu, keteknya mulus juga nggak ya?” sahutku meracau, tanpa sadar aku mengatakan apa yang ada di dalam kepalaku tadi.
“Mulus lah” balasnya cepat sembari mengangkat tangan kanannya.
Memamerkan area ketiaknya yang memang mulus dan tidak ditumbuhi bulu sedikitpun, bahkan tidak ada bekas cukuran di sana.
“Pegang sendiri kalau nggak percaya” tambahnya lagi penuh percaya diri.
Ternyata keceplosanku justru berbuah hasil, dengan senang hatiku pun mendekatinya dan meraba ketiaknya yang putih dan mulus itu.
“Coba liat satunya, mbak” ujarku mencoba peruntungan.
“Sama aja lah” balasnya jutek, tetapi dia tetap mengangkat kedua tangannya dan terbukti keduanya sama-sama bersih dan mulus.
Tanpa terasa adik kecilku telah menegang dan menyembul di celanaku, celakanya Susi menyadari hal itu dan tertawa puas.
“Masa liat ketek aja udah nafsu, Jo?” sindirnya sembari terbahak,
sementara aku hanya terdiam dan wajahku sedikit memerah menahan malu. Seolah sengaja menggodaku, Susi tetap mengangkat sebelah tangannya dan memamerkan ketiaknya itu. Maka aku juga tidak mau kalah, kuraba-raba sendiri adik kecilku yang masih terbungkus celana, membuatnya semakin menegang.
Suara sepeda motor jadul membuyarkan berbagai macam fantasiku. Cak Toyib datang bersama Anton, yang entah dia temukan di mana.
===X=X=X===
Esoknya aku tidak menemukan cak Toyib di kantor. Biasanya kalau tidak muncul gini, dia lagi meringkuk di rumahnya, entah karena sakit atau malas keluar rumah. Dengan terpaksa aku ngopi sendirian, sembari menunggu panggilan untuk narik.
Di saat itulah muncul Anton, dengan gayanya seperti biasa. Membuatku teringat kejadian kemarin, entah bagaimana cak Toyib menemukan dia dan darimana dia pergi.
"Eh si jomblo lagi sendirian. Cak Toyib mana?" ujarnya sembari menengok sekeliling.
"Nggak ada, lagi sakit mungkin" balasku sekenanya, aku memang benar-benar tidak tahu dia ada di mana.
"Eh, bro. Ntar malem mau ikut nggak?" bisiknya pelan.
"Mau ke mana emang?" tanyaku basa-basi.
"Clubbing, bro. Tenang, aku yang bayarin semuanya" sahutnya sebelum bercerita panjang lebar mengenai kekuatannya dalam menenggak minuman beralkohol.
Entah apa aja yang sudah dia bicarakan, aku tidak terlalu tertarik mendengarnya.
"Oke, ntar kabari lagi aja" balasku untuk mengakhiri bualannya.
Untung saat itu ada panggilan narik, jadi aku ada alasan untuk menghindari lelaki itu.
Sebenarnya aku tidak terlalu percaya dengan ajakan Anton, karena biasanya dia hanya membual saja. Tetapi kali ini ternyata dia tidak main-main, malamnya dia menjemputku di kos dengan mobil andalannya. Membawaku ke salah satu diskotik di kota itu.
Karena aku kurang tertarik dengan dansa, aku hanya duduk di dekat bartender, meminum apapun yang dipesankan oleh Anton. Sementara dia terlihat asyik menari kesana kemari, sembari meminum berbagai macam isi gelas yang melewatinya. Aku tidak mengira ternyata Anton tidak membual kali ini, kuat juga dia minum begitu banyak minuman.
Sementara aku dari tadi belum menghabiskan segelas minuman entah apa itu.
Tapi dugaanku salah, beberapa jam kemudian, Anton terlihat teler, dengan terpaksa aku menyeretnya pulang, tentunya setelah mengambil dompetnya untuk membayar pesanan kita tadi. Karena aku tidak bisa menyetir mobil, maka mobil Anton aku tinggalkan di tempat parkir. Taksi online yang datang menjemput kita dan mengantarkan ke rumah Anton.
Susi tentu saja terkejut melihat kedatangan kita berdua, apalagi suaminya itu sudah sempoyongan dan bergelayutan di pundakku. Tanpa banyak omong, Susi mempersilakan masuk dan aku merebahkan Anton di dalam kamarnya. Setelah itu aku merebahkan diri sejenak di sofa ruang tengah, sementara Susi ke dapur untuk mengambilkan minuman.
"Minum dulu, Jo" Susi menyerahkan segelas air putih yang segera aku minum sampai habis.
Keringat bercucuran di badanku karena ternyata cukup berat juga membopong tubuh Anton tadi.
"Makasih, mbak" balasku setelah menghabiskan segelas air.
"Mau lagi?"
"Udah, cukup mbak" potongku ketika Susi hendak mengambil air lagi.
Akhirnya dia kembali duduk di sofa sebelahku. Suasana hening beberapa saat, hanya ada suara nafasku yang terengah-engah.
"Dari diskotik ya?" tanya Susi menyelidik.
"Iya, mbak. Baru pertama ini aku ke sana" balasku jujur, percuma juga berbohong dalam kondisi seperti ini.
"Loh, kok nggak mabuk juga?" tanyanya lagi sedikit mengejutkanku.
"Ya soalnya aku cuma minum segelas, mbak" lagi-lagi aku balas dengan jujur. Tak kusangka wanita itu malah tertawa.
"Cupu ah, masa ke diskotik cuma minum segelas" ujarnya masih tertawa.
Lah, kirain bakal dimarahin soalnya ngajak suaminya ke diskotik, malah diketawain. Aku jadi bingung mesti jawab gimana, akhirnya aku diemin saja. Eh dia malah terus-terusan menyindirku, puas sekali kelihatannya.
"Biarpun gini, kalo mbak main sama aku paling kalah" sahutku tiba-tiba, entah keberanian dari mana, mungkin dari segelas minuman di diskotik tadi.
Sepengetahuanku, wanita yang satu ini memang paling tidak bisa kalau ditantang, makanya aku berani berkata seperti itu, mumpung masih dalam pengaruh alkohol, jadi bisa alasan nggak sadar kalau misalnya jadi masalah.
"Halah, kamu liat ketekku aja udah nafsu gitu" balasnya tidak mau kalah.
"Mana.. coba lihat lagi" tantangku lagi.
Dan tentu saja Susi menyambutnya, dengan cuek dia mengangkat kedua tangannya hingga ketiaknya yang mulus kembali terhidang di hadapanku.
"Cuma begitu doang, udah nggak ngefek" sahutku sambil menahan adik kecilku agar tidak menyeruak keluar.
"Sini pegang kalo gitu" ujarnya balik menantang.
"Nggak ah, ntar mbak jadi nafsu" aku balik menantangnya lagi.
"Ga bakal, coba apain aja paling ga ngefek" balasnya penuh percaya diri.
Kesempatan yang sayang jika tidak diambil. Maka aku segera duduk di sebelahnya dan mulai meraba kedua ketiaknya.
Awalnya dia biasa saja ketika aku meraba ketiaknya, jika begini terus maka aku akan kalah. Aku berinisiatif menciumi ketiaknya dan sesekali menjilatinya, inisiatif yang cukup sukses, karena wajahnya terlihat mulai berubah, wajahnya terlihat menahan geli dan nafsu secara bersamaan. Aku pun meneruskan aksi itu sampai kedua ketiaknya itu basah kuyup dan dia mulai mendesah secara perlahan.
Melihat Susi sudah pasrah, aku memberanikan diri meremas susunya yang masih dibalut tanktop dan bra. Rupanya dia diam saja sambil matanya merem melek.
Dengan girang tanganku langsung menyusup ke dalam tanktopnya, merasakan kembali kekenyalan susunya yang montok. Tidak berhenti di sana, aku memutuskan untuk membuka tanktop dan bra Susi. Membuat susunya yang putih dan montok kini terpampang jelas di hadapanku, siapapun yang melihatnya pasti tergiur.
Tanpa tedeng aling-aling, aku segera menjamah susunya itu, meremas di sana-sini, sembari sesekali menjilati putingnya yang kecoklatan. Sedari tadi Susi tidak berkata apa-apa, hanya desahan yang keluar dari bibir merahnya. Namun tangannya aktif mencari adik kecilku, demi melakukan perlawanan, dia mengocok adikku yang telah menegang.
Pergumulan itu berlangsung cukup lama, sampai celana pendek Susi basah akibat cairan pemanasannya. Dengan tanggap aku meloloskan celana itu sehingga Susi telanjang bulat tanpa sehelai kain pun menutup tubuhnya. Aku cukup tertegun melihat area kewanitaan Susi yang mulus tanpa bulu, bagaikan miss v milik artis bokep bule, bedanya kali ini aku melihatnya langsung tanpa melalui layar kaca.
Segera saja aku membalik tubuh Susi sehingga telentang, kurentangkan kedua pahanya untuk membukakan ruang bagi adik kecilku, dengan perlahan adik kecilku menyoblos masuk ke dalam liang Susi, terasa hangat dan mencengkram, sungguh sensasi kenikmatan yang tidak bisa digambarkan. Secara reflek aku menggoyangkan pinggul untuk mendorong adik kecilku keluar masuk liang kenikmatan itu.
Perlahan namun pasti aku mempercepat ritme gerakan, berbanding lurus dengan desahan Susi yang semakin tak karuan. Sofa dan karpet di ruang tengah sudah acak-acakan akibat ulah kita. Kali ini aku kembali merubah posisi Susi, aku ingin mencoba gaya doggystyle, apalagi bokong Susi terlihat padat dan sekal, enak sekali untuk diceples. Maka sembari menyodok liangnya yang masih hangat, aku menyempatkan untuk menampar pantatnya yang semok.
Hampir sejam pergumulan itu terjadi, entah gaya apa saja yang telah aku coba, entah berapa kali Susi mencapai klimaksnya, namun aku masih belum juga mencapai klimaks, padahal rasanya sejak tadi adik kecilku sudah ingin menuntaskan hajatnya.
Ide gila sejenak melintas di pikiranku, langsung aku seret tubuh Susi menuju ke kamar tidurnya, tempat Anton terbaring pulas.
Susi yang sudah lemas tentu saja hanya bisa pasrah saat tubuhnya kucondongkan ke dalam kamar, posisiku saat ini berada di depan pintu kamarnya yang terbuka, sementara Susi kuposisikan dalam doggystyle menghadap ke ranjangnya. Seketika gairahku meningkat pesat dan dengan penuh semangat aku menggenjot lagi vagina Susi yang sudah semakin becek, alhasil..
Cplok!! Cplok!! Cplok!!
bunyi kecipak basah memenuhi kamar itu, hingga beberapa saat kemudian adik kecilku mulai berkedut dan...
Crott!! Crott!! Crott!!
Tanpa ampun menumpahkan kepuasannya ke dalam liang Susi. Susi terkapar lemas di atas lantai, sementara aku bergegas merapikan pakaian dan pulang.
###
Besoknya cak Toyib kembali hadir di kantor. Rokok sudah menempel di bibirnya, kopi sudah tersisa separuh. Wajahnya sumringah melihat kedatanganku yang tak kalah sumringah. Segera aku memesan seperti biasanya, sembari ikut menyalakan rokok untuk memulai percakapan.
"Koyoke onok sing mari ngegolno iki" sindirnya halus, membuatku senyum-senyum sendiri.
"Lho, sampean ngerti teko endi cak?" tanyaku heran, padahal aku belum cerita apa-apa. Sepengetahuan ku, lelaki tua ini bukanlah cenayang.
"Ngerti lah, ketok soko raimu" balasnya dengan nada bercanda.
Meskipun kata-katanya agak kasar, tetapi aku tergelak dibuatnya. Kemudian meluncurlah cerita kejadian kemarin malam, lengkap dari A sampai Z.
"Lek wes ngrasakno, ojok dibaleni maneh loh, Jo" saran cak Toyib begitu aku selesai bercerita.
"Lho kenopo emang cak?" tanyaku lagi, karena sebenarnya aku sudah punya rencana lain untuk kembali merasakan kenikmatan itu.
"Wes talah, percoyo omonganku" balasnya misterius.
Setelah itu cangkir kopinya diangkatnya dan ditandaskan isinya.
"Aku narik disek, iki wes oleh panggilan" pamitnya kemudian, baru kali ini aku kalah cepat sama lelaki itu.
"Iyo cak, maringene aku nyusul" sahutku sembari melambaikan tangan.
Dari kejauhan motor jadul cak Toyib mulai membelah jalanan. Sementara aku masih melanjutkan ngopi.
Perkataan cak Toyib tadi terngiang di benakku. Kira-kira apa alasannya cak Toyib melarangku untuk kembali berhubungan dengan Susi. Apakah untuk menjaga hubungan dengan Anton, atau ada maksud lainnya.
Karena semakin penasaran, bukannya menuruti omongan cak Toyib, aku justru tertarik untuk melanggarnya. Setelah kopi di cangkirku habis, bergegas aku menuju ke rumah Anton, setelah sebelumnya aku pastikan jika Anton sedang tidak di rumah.
Sesampainya di sana, ternyata Susi sedang berada di depan rumah. Dia sedang membeli sesuatu di tukang sayur yang kebetulan lewat depan rumahnya. Dengan santai aku mendekati mereka berdua dan memarkir motorku.
Sebuah ide gila lagi-lagi melintas di pikiranku.
"Lho, nyari mas Anton ya Jo?" tegur Susi begitu melihat kedatanganku.
"Nggak kok, mbak. Ada urusan sama bapak ini" balasku sembari menunjuk ke bapak tukang sayur yang kutaksir berusia sekitar 50-an.
"Oh gitu, aku masuk dulu ya, kalo mau mampir panggil aja ntar" Susi dengan cuek meninggalkanku dan tukang sayur itu, tentunya setelah mengambil kresek belanjaannya.
"Ada apa ya mas?" tanya bapak itu setelah Susi masuk ke dalam rumah.
"Gini pak, kira-kira bapak tertarik nggak sama wanita ini tadi?" tanyaku setengah berbisik.
"Ya suka lah mas, siapa coba yang nolak wanita kayak gitu" balasnya seketika.
"Nah, bapak mau nggak kalau main sama dia, tapi bertiga sama aku?" tanyaku lagi, mengemukakan ide gila yang tadi melintas di pikiran.
Lelaki paruh baya itu diam sejenak, tampaknya masih mencoba mencerna perkataanku barusan.
"Mau sih mau, mas. Tapi aku nggak brani macem-macem" balasnya diplomatis, karena memang jika terjadi masalah bisa mempengaruhi mata pencahariannya.
"Tenang, pak. Biar aku yang atur. Bapak ikut saja"
Aku kembali menyusun rencana yang tadi terpikirkan. Sementara bapak itu hanya manggut-manggut saja, kemudian mengikutiku menuju ke rumah Susi.
Sesuai dengan arahanku tadi, bapak itu memasang wajah sedih begitu duduk di kursi ruang tamu. Susi menarik lenganku untuk sedikit menjauh dari sana, sebelum menanyakan kenapa bapak tukang sayur itu bersedih hati.
"Kangen istrinya, mbak" bisikku pelan kepada Susi, dibalas dengan wajahnya yang manggut-manggut.
"Terus ngapain kamu ajak ke sini?" Susi kembali bertanya.
"Kan mbak yang paling jago bikin puas, bantuin dia mbak kasian" balasku dengan nada yang sedikit memelas.
"Apa mbak cuma bisa muasin yang masih muda kayak aku aja?" tambahku untuk memberikan tantangan kepadanya.
"Nggak lah, sama siapa aja nggak takut" balasnya terpancing dengan tantanganku.
"Buktikan kalo gitu, mbak" bisikku lagi, dengan nada agak menyindir.
Wanita itu menjawab tantanganku dengan tindakan nyata. Entah apa yang dia katakan, yang jelas bapak itu mengikuti Susi masuk ke dalam kamar. Tentu saja aku bergegas mengikuti mereka, tanpa mempedulikan pintu depan yang masih terbuka.
"Buka bajunya ya pak" ujar Susi saat kita berada di dalam kamar.
Lelaki itu menurut saja seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Segera saja aku membalik tubuh Susi sehingga telentang, kurentangkan kedua pahanya untuk membukakan ruang bagi adik kecilku, dengan perlahan adik kecilku menyoblos masuk ke dalam liang Susi, terasa hangat dan mencengkram, sungguh sensasi kenikmatan yang tidak bisa digambarkan. Secara reflek aku menggoyangkan pinggul untuk mendorong adik kecilku keluar masuk liang kenikmatan itu.
Perlahan namun pasti aku mempercepat ritme gerakan, berbanding lurus dengan desahan Susi yang semakin tak karuan. Sofa dan karpet di ruang tengah sudah acak-acakan akibat ulah kita. Kali ini aku kembali merubah posisi Susi, aku ingin mencoba gaya doggystyle, apalagi bokong Susi terlihat padat dan sekal, enak sekali untuk diceples. Maka sembari menyodok liangnya yang masih hangat, aku menyempatkan untuk menampar pantatnya yang semok.
Hampir sejam pergumulan itu terjadi, entah gaya apa saja yang telah aku coba, entah berapa kali Susi mencapai klimaksnya, namun aku masih belum juga mencapai klimaks, padahal rasanya sejak tadi adik kecilku sudah ingin menuntaskan hajatnya.
Ide gila sejenak melintas di pikiranku, langsung aku seret tubuh Susi menuju ke kamar tidurnya, tempat Anton terbaring pulas.
Susi yang sudah lemas tentu saja hanya bisa pasrah saat tubuhnya kucondongkan ke dalam kamar, posisiku saat ini berada di depan pintu kamarnya yang terbuka, sementara Susi kuposisikan dalam doggystyle menghadap ke ranjangnya. Seketika gairahku meningkat pesat dan dengan penuh semangat aku menggenjot lagi vagina Susi yang sudah semakin becek, alhasil..
Cplok!! Cplok!! Cplok!!
bunyi kecipak basah memenuhi kamar itu, hingga beberapa saat kemudian adik kecilku mulai berkedut dan...
Crott!! Crott!! Crott!!
Tanpa ampun menumpahkan kepuasannya ke dalam liang Susi. Susi terkapar lemas di atas lantai, sementara aku bergegas merapikan pakaian dan pulang.
###
Besoknya cak Toyib kembali hadir di kantor. Rokok sudah menempel di bibirnya, kopi sudah tersisa separuh. Wajahnya sumringah melihat kedatanganku yang tak kalah sumringah. Segera aku memesan seperti biasanya, sembari ikut menyalakan rokok untuk memulai percakapan.
"Koyoke onok sing mari ngegolno iki" sindirnya halus, membuatku senyum-senyum sendiri.
"Lho, sampean ngerti teko endi cak?" tanyaku heran, padahal aku belum cerita apa-apa. Sepengetahuan ku, lelaki tua ini bukanlah cenayang.
"Ngerti lah, ketok soko raimu" balasnya dengan nada bercanda.
Meskipun kata-katanya agak kasar, tetapi aku tergelak dibuatnya. Kemudian meluncurlah cerita kejadian kemarin malam, lengkap dari A sampai Z.
"Lek wes ngrasakno, ojok dibaleni maneh loh, Jo" saran cak Toyib begitu aku selesai bercerita.
"Lho kenopo emang cak?" tanyaku lagi, karena sebenarnya aku sudah punya rencana lain untuk kembali merasakan kenikmatan itu.
"Wes talah, percoyo omonganku" balasnya misterius.
Setelah itu cangkir kopinya diangkatnya dan ditandaskan isinya.
"Aku narik disek, iki wes oleh panggilan" pamitnya kemudian, baru kali ini aku kalah cepat sama lelaki itu.
"Iyo cak, maringene aku nyusul" sahutku sembari melambaikan tangan.
Dari kejauhan motor jadul cak Toyib mulai membelah jalanan. Sementara aku masih melanjutkan ngopi.
Perkataan cak Toyib tadi terngiang di benakku. Kira-kira apa alasannya cak Toyib melarangku untuk kembali berhubungan dengan Susi. Apakah untuk menjaga hubungan dengan Anton, atau ada maksud lainnya.
Karena semakin penasaran, bukannya menuruti omongan cak Toyib, aku justru tertarik untuk melanggarnya. Setelah kopi di cangkirku habis, bergegas aku menuju ke rumah Anton, setelah sebelumnya aku pastikan jika Anton sedang tidak di rumah.
Sesampainya di sana, ternyata Susi sedang berada di depan rumah. Dia sedang membeli sesuatu di tukang sayur yang kebetulan lewat depan rumahnya. Dengan santai aku mendekati mereka berdua dan memarkir motorku.
Sebuah ide gila lagi-lagi melintas di pikiranku.
"Lho, nyari mas Anton ya Jo?" tegur Susi begitu melihat kedatanganku.
"Nggak kok, mbak. Ada urusan sama bapak ini" balasku sembari menunjuk ke bapak tukang sayur yang kutaksir berusia sekitar 50-an.
"Oh gitu, aku masuk dulu ya, kalo mau mampir panggil aja ntar" Susi dengan cuek meninggalkanku dan tukang sayur itu, tentunya setelah mengambil kresek belanjaannya.
"Ada apa ya mas?" tanya bapak itu setelah Susi masuk ke dalam rumah.
"Gini pak, kira-kira bapak tertarik nggak sama wanita ini tadi?" tanyaku setengah berbisik.
"Ya suka lah mas, siapa coba yang nolak wanita kayak gitu" balasnya seketika.
"Nah, bapak mau nggak kalau main sama dia, tapi bertiga sama aku?" tanyaku lagi, mengemukakan ide gila yang tadi melintas di pikiran.
Lelaki paruh baya itu diam sejenak, tampaknya masih mencoba mencerna perkataanku barusan.
"Mau sih mau, mas. Tapi aku nggak brani macem-macem" balasnya diplomatis, karena memang jika terjadi masalah bisa mempengaruhi mata pencahariannya.
"Tenang, pak. Biar aku yang atur. Bapak ikut saja"
Aku kembali menyusun rencana yang tadi terpikirkan. Sementara bapak itu hanya manggut-manggut saja, kemudian mengikutiku menuju ke rumah Susi.
Sesuai dengan arahanku tadi, bapak itu memasang wajah sedih begitu duduk di kursi ruang tamu. Susi menarik lenganku untuk sedikit menjauh dari sana, sebelum menanyakan kenapa bapak tukang sayur itu bersedih hati.
"Kangen istrinya, mbak" bisikku pelan kepada Susi, dibalas dengan wajahnya yang manggut-manggut.
"Terus ngapain kamu ajak ke sini?" Susi kembali bertanya.
"Kan mbak yang paling jago bikin puas, bantuin dia mbak kasian" balasku dengan nada yang sedikit memelas.
"Apa mbak cuma bisa muasin yang masih muda kayak aku aja?" tambahku untuk memberikan tantangan kepadanya.
"Nggak lah, sama siapa aja nggak takut" balasnya terpancing dengan tantanganku.
"Buktikan kalo gitu, mbak" bisikku lagi, dengan nada agak menyindir.
Wanita itu menjawab tantanganku dengan tindakan nyata. Entah apa yang dia katakan, yang jelas bapak itu mengikuti Susi masuk ke dalam kamar. Tentu saja aku bergegas mengikuti mereka, tanpa mempedulikan pintu depan yang masih terbuka.
"Buka bajunya ya pak" ujar Susi saat kita berada di dalam kamar.
Lelaki itu menurut saja seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Dalam hitungan detik lelaki itu sudah telanjang bulat, memamerkan batang kemaluannya yang sudah menegang. Meski badannya kurus kering, namun ukuran batangnya hampir sama dengan punyaku. Bedanya rambut lebat mengelilingi pusakanya itu, membuatnya terlihat lebih garang.
Keduanya duduk di tepi ranjang, sementara aku masih berdiri di dekat pintu, menjadi saksi perbuatan yang akan mereka lakukan. Tanpa canggung Susi mulai membelai batang lelaki itu, sementara yang bersangkutan terlihat gugup dan sesekali melirik ke arah gunung kembar Susi yang menyembul dari balik tanktopnya.
"Say,,saya boleh pegang non?" tanya lelaki itu ragu-ragu.
"Pegang aja pak, jangan sungkan-sungkan" sahutku cepat sebelum Susi sempat menjawab.
Maka dengan perlahan lelaki itu mulai mengarahkan tangannya ke gundukan montok di dada Susi. Keduanya terus menjamah satu sama lain selama beberapa saat, membuatku mulai terpancing juga.
Aku segera duduk di sebelah kanan Susi dan meraih tangan kanannya. Alhasil Susi berubah memakai tangan kirinya untuk mengocok batang lelaki itu. Kuangkat lengan Susi untuk mulai mencumbu ketiaknya, sementara lelaki itu mulai berani mengeluarkan susu Susi dari penutupnya.
Diserang dari dua arah, Susi mulai kelabakan dan melepaskan tangan kirinya dari batang lelaki itu. Bra dan tanktop yang dipakai Susi sudah tanggal, membuat susunya yang montok terlihat jelas.
Lelaki itu semakin berani, kali ini tidak hanya memakai tangannya untuk menjamah susu Susi, mulut dan lidahnya pun ikut bermain. Desahan Susi mulai terdengar perlahan, membuatku dan lelaki itu semakin bersemangat menggarapnya.
Wajah Susi terlihat sayu, pandangannya kepadaku seolah memberi kode, maka aku berpindah ke atas untuk mencium bibirnya yang ranum. Sedangkan kedua tanganku berganti menjamah ketiak dan salah satu susunya. Tanpa kusadari, lelaki itu mulai turun ke bawah dan melepaskan celana Susi, sekaligus celana dalamnya.
"Enghhh,, ahhh,, enghh" desah Susi semakin keras.
Awalnya aku tidak menyadari, begitu aku menoleh rupanya lelaki itu sedang menjilati area kewanitaan Susi. Wajahnya terlihat girang seperti anak kecil menemukan mainan baru. Dengan lahap dia melumat area kewanitaan Susi yang tembem dan mulus itu.
"Aaarrggghh..!!" desahan keras Susi yang tertahan menyiratkan bahwa dia mencapai orgasmenya yang pertama.
Lumayan juga permainan lidah lelaki itu. Namun dia belum puas, kali ini batangnya telah siap menusuk liang Susi.
"Sebentar pak, ngatur posisi" saranku sebelum lelaki itu mulai beraksi.
Aku duduk bersandar di ranjang, Susi memasang posisi doggystyle dengan wajahnya mengarah ke adik kecilku yang sudah menegang juga, sementara bokongnya mengarah ke lelaki itu seolah menggodanya.
Susi mulai melakukan blowjob kepadaku, sambil diiringi remasan tanganku ke susunya yang bergelayut manja. Sementara lelaki itu sudah menemukan liang Susi dan mulai menghujamkan batangnya secara perlahan.
"Ahh, enak banget ini mas" komentar lelaki itu begitu merasakan kehangatan liang Susi.
Makin lama lelaki itu makin mempercepat tempo hujamannya ke liang Susi, bersamaan dengan itu Susi juga semakin liar memainkan adik kecilku.
"Tukar posisi, pak" saranku setelah beberapa menit.
Dengan sigap kita berdua sudah berganti tempat, kali ini aku kembali merasakan liang kehangatan Susi. Meski rasanya masih legit, namun entah mengapa aku tidak merasa senikmat saat pertama merasakannya kemarin malam.
"Tukar lagi mas?" tanya lelaki itu setelah melihat wajahku yang bimbang.
Aku hanya mengangguk dan segera bertukar tempat dengannya. Susi tidak lagi melakukan blowjob, dia hanya melakukan handjob karena mulutnya sibuk mendesah dan meracau tak karuan. Bagaimana tidak, lelaki itu memompa liang Susi dengan liar seolah kesetanan. Membuatku teringat saat pertama kali aku merasakan liang Susi kemarin.
"Apa-apaan ini?" teriak sebuah suara yang familiar.
Sebelum aku dan lelaki itu mencapai klimaks masing-masing. Anton sudah berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Aku dan lelaki itu hanya terdiam seribu bahasa, hanya satu kata yang bisa menjelaskan posisi kita, terciduk.
===X=X=X===
Untungnya saat itu Anton datang bersama cak Toyib. Dengan cepat lelaki paruh baya itu menetralisir keadaan, menenangkan Anton, sementara tiga orang terciduk termasuk aku segera merapikan diri. Aku dan bapak tukang sayur hanya bisa menunduk ketika Anton merapalkan segala sumpah serapahnya, bahkan Susi juga terkena dampratannya. Namun tidak lama, karena cak Toyib terus berusaha menenangkan dia, sampai akhirnya cak Toyib menyuruhku untuk pulang.
Perasaan menyesal dan bersalah terus menghantuiku semenjak kejadian itu, apalagi sejak saat itu aku tidak menemukan sosok cak Toyib di tempat biasanya, begitu juga dengan Anton. Tapi aku tetap menjalani hari seperti biasa, cangkruk di warung, narik ojek, pulang, begitu seterusnya.
Beberapa hari belakangan, aku selalu bertemu anak laki-laki. Usianya mungkin kisaran 17 tahun, dia selalu duduk sendirian di pojokan sembari bermain game, setelah es tehnya habis maka dia pulang.
Seminggu berselang, aku merasa penasaran dan menghampiri anak itu. Meski aku telah duduk di sebelahnya, dia tetap cuek dan asyik menatap layar hapenya. Setelah aku teliti lagi, rupanya dia sedang bermain game mobile yang sedang naik daun, sebut saja namanya mobel lejen atau biasa disingkat ML.
"Main ML ya?" sapaku berbasa-basi sambil memindahkan cangkir kopiku ke meja itu, bersebelahan dengan gelas teh miliknya yang tinggal separuh.
"Iya nih, mas" balasnya singkat, setelah sesaat menoleh untuk melihat wajahku. Pandangannya kembali tertuju ke layar hapenya.
Tidak ada cara lain untuk mengajaknya bicara selain ikut main game bersamanya, maka aku mengeluarkan hape ku dan memainkan game itu juga. Sekedar informasi, aku sudah lama mainan itu juga, bukannya sombong tetapi aku cukup jago bermain game itu, peringkat aku sudah cukup tinggi.
"Ayo mabar" ujarku setelah menunggu dia mengakhiri permainannya.
Kali ini dia menoleh cukup lama untuk melihat layar hape ku.
"Wuih, udah Legend nih" komentarnya begitu melihat profilku di game itu, sebagaimana telah aku katakan, rankingku memang cukup tinggi dalam game itu.
"Ya kebetulan aja, ID mu apa?" balasku agak merendah.
"Ray69 mas" balasnya cepat.
Dari situ aku bisa menebak bahwa anak ini bernama Ray, mungkin nama panjangnya Raymond. Setelah menambahkan dia sebagai teman, kita pun bermain bersama. Meski peringkatnya cukup jauh di bawahku, tetapi permainannya lumayan juga.
Sejak itu aku selalu menemaninya bermain ML sebelum narik, karena sampai sekarang cak Toyib belum keliatan juga batang hidungnya. Bahkan aku mulai melupakan masalah yang terjadi beberapa hari yang lalu.
Semenjak bermain denganku, peringkat Ray meningkat cukup drastis, tentunya hal yang sama juga terjadi padaku. Hal ini menyebabkan dia menjadi akrab denganku dan mulai terbuka dalam hal obrolan. Bahkan dia tidak malu menceritakan asal muasal mengapa ID-nya memakai angka 69.
"Emang pernah ngelakuin gituan Ray?" sindirku ketika dia menceritakan alasannya.
"Pernah dong mas" balasnya sombong.
"Sama siapa?" tanyaku lagi.
"Sama mama" balasannya kali ini membuatku terperanjat beberapa saat.
Keduanya duduk di tepi ranjang, sementara aku masih berdiri di dekat pintu, menjadi saksi perbuatan yang akan mereka lakukan. Tanpa canggung Susi mulai membelai batang lelaki itu, sementara yang bersangkutan terlihat gugup dan sesekali melirik ke arah gunung kembar Susi yang menyembul dari balik tanktopnya.
"Say,,saya boleh pegang non?" tanya lelaki itu ragu-ragu.
"Pegang aja pak, jangan sungkan-sungkan" sahutku cepat sebelum Susi sempat menjawab.
Maka dengan perlahan lelaki itu mulai mengarahkan tangannya ke gundukan montok di dada Susi. Keduanya terus menjamah satu sama lain selama beberapa saat, membuatku mulai terpancing juga.
Aku segera duduk di sebelah kanan Susi dan meraih tangan kanannya. Alhasil Susi berubah memakai tangan kirinya untuk mengocok batang lelaki itu. Kuangkat lengan Susi untuk mulai mencumbu ketiaknya, sementara lelaki itu mulai berani mengeluarkan susu Susi dari penutupnya.
Diserang dari dua arah, Susi mulai kelabakan dan melepaskan tangan kirinya dari batang lelaki itu. Bra dan tanktop yang dipakai Susi sudah tanggal, membuat susunya yang montok terlihat jelas.
Lelaki itu semakin berani, kali ini tidak hanya memakai tangannya untuk menjamah susu Susi, mulut dan lidahnya pun ikut bermain. Desahan Susi mulai terdengar perlahan, membuatku dan lelaki itu semakin bersemangat menggarapnya.
Wajah Susi terlihat sayu, pandangannya kepadaku seolah memberi kode, maka aku berpindah ke atas untuk mencium bibirnya yang ranum. Sedangkan kedua tanganku berganti menjamah ketiak dan salah satu susunya. Tanpa kusadari, lelaki itu mulai turun ke bawah dan melepaskan celana Susi, sekaligus celana dalamnya.
"Enghhh,, ahhh,, enghh" desah Susi semakin keras.
Awalnya aku tidak menyadari, begitu aku menoleh rupanya lelaki itu sedang menjilati area kewanitaan Susi. Wajahnya terlihat girang seperti anak kecil menemukan mainan baru. Dengan lahap dia melumat area kewanitaan Susi yang tembem dan mulus itu.
"Aaarrggghh..!!" desahan keras Susi yang tertahan menyiratkan bahwa dia mencapai orgasmenya yang pertama.
Lumayan juga permainan lidah lelaki itu. Namun dia belum puas, kali ini batangnya telah siap menusuk liang Susi.
"Sebentar pak, ngatur posisi" saranku sebelum lelaki itu mulai beraksi.
Aku duduk bersandar di ranjang, Susi memasang posisi doggystyle dengan wajahnya mengarah ke adik kecilku yang sudah menegang juga, sementara bokongnya mengarah ke lelaki itu seolah menggodanya.
Susi mulai melakukan blowjob kepadaku, sambil diiringi remasan tanganku ke susunya yang bergelayut manja. Sementara lelaki itu sudah menemukan liang Susi dan mulai menghujamkan batangnya secara perlahan.
"Ahh, enak banget ini mas" komentar lelaki itu begitu merasakan kehangatan liang Susi.
Makin lama lelaki itu makin mempercepat tempo hujamannya ke liang Susi, bersamaan dengan itu Susi juga semakin liar memainkan adik kecilku.
"Tukar posisi, pak" saranku setelah beberapa menit.
Dengan sigap kita berdua sudah berganti tempat, kali ini aku kembali merasakan liang kehangatan Susi. Meski rasanya masih legit, namun entah mengapa aku tidak merasa senikmat saat pertama merasakannya kemarin malam.
"Tukar lagi mas?" tanya lelaki itu setelah melihat wajahku yang bimbang.
Aku hanya mengangguk dan segera bertukar tempat dengannya. Susi tidak lagi melakukan blowjob, dia hanya melakukan handjob karena mulutnya sibuk mendesah dan meracau tak karuan. Bagaimana tidak, lelaki itu memompa liang Susi dengan liar seolah kesetanan. Membuatku teringat saat pertama kali aku merasakan liang Susi kemarin.
"Apa-apaan ini?" teriak sebuah suara yang familiar.
Sebelum aku dan lelaki itu mencapai klimaks masing-masing. Anton sudah berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam karena menahan amarah. Aku dan lelaki itu hanya terdiam seribu bahasa, hanya satu kata yang bisa menjelaskan posisi kita, terciduk.
===X=X=X===
Untungnya saat itu Anton datang bersama cak Toyib. Dengan cepat lelaki paruh baya itu menetralisir keadaan, menenangkan Anton, sementara tiga orang terciduk termasuk aku segera merapikan diri. Aku dan bapak tukang sayur hanya bisa menunduk ketika Anton merapalkan segala sumpah serapahnya, bahkan Susi juga terkena dampratannya. Namun tidak lama, karena cak Toyib terus berusaha menenangkan dia, sampai akhirnya cak Toyib menyuruhku untuk pulang.
Perasaan menyesal dan bersalah terus menghantuiku semenjak kejadian itu, apalagi sejak saat itu aku tidak menemukan sosok cak Toyib di tempat biasanya, begitu juga dengan Anton. Tapi aku tetap menjalani hari seperti biasa, cangkruk di warung, narik ojek, pulang, begitu seterusnya.
Beberapa hari belakangan, aku selalu bertemu anak laki-laki. Usianya mungkin kisaran 17 tahun, dia selalu duduk sendirian di pojokan sembari bermain game, setelah es tehnya habis maka dia pulang.
Seminggu berselang, aku merasa penasaran dan menghampiri anak itu. Meski aku telah duduk di sebelahnya, dia tetap cuek dan asyik menatap layar hapenya. Setelah aku teliti lagi, rupanya dia sedang bermain game mobile yang sedang naik daun, sebut saja namanya mobel lejen atau biasa disingkat ML.
"Main ML ya?" sapaku berbasa-basi sambil memindahkan cangkir kopiku ke meja itu, bersebelahan dengan gelas teh miliknya yang tinggal separuh.
"Iya nih, mas" balasnya singkat, setelah sesaat menoleh untuk melihat wajahku. Pandangannya kembali tertuju ke layar hapenya.
Tidak ada cara lain untuk mengajaknya bicara selain ikut main game bersamanya, maka aku mengeluarkan hape ku dan memainkan game itu juga. Sekedar informasi, aku sudah lama mainan itu juga, bukannya sombong tetapi aku cukup jago bermain game itu, peringkat aku sudah cukup tinggi.
"Ayo mabar" ujarku setelah menunggu dia mengakhiri permainannya.
Kali ini dia menoleh cukup lama untuk melihat layar hape ku.
"Wuih, udah Legend nih" komentarnya begitu melihat profilku di game itu, sebagaimana telah aku katakan, rankingku memang cukup tinggi dalam game itu.
"Ya kebetulan aja, ID mu apa?" balasku agak merendah.
"Ray69 mas" balasnya cepat.
Dari situ aku bisa menebak bahwa anak ini bernama Ray, mungkin nama panjangnya Raymond. Setelah menambahkan dia sebagai teman, kita pun bermain bersama. Meski peringkatnya cukup jauh di bawahku, tetapi permainannya lumayan juga.
Sejak itu aku selalu menemaninya bermain ML sebelum narik, karena sampai sekarang cak Toyib belum keliatan juga batang hidungnya. Bahkan aku mulai melupakan masalah yang terjadi beberapa hari yang lalu.
Semenjak bermain denganku, peringkat Ray meningkat cukup drastis, tentunya hal yang sama juga terjadi padaku. Hal ini menyebabkan dia menjadi akrab denganku dan mulai terbuka dalam hal obrolan. Bahkan dia tidak malu menceritakan asal muasal mengapa ID-nya memakai angka 69.
"Emang pernah ngelakuin gituan Ray?" sindirku ketika dia menceritakan alasannya.
"Pernah dong mas" balasnya sombong.
"Sama siapa?" tanyaku lagi.
"Sama mama" balasannya kali ini membuatku terperanjat beberapa saat.
"Ohya? Yang bener Ray?" lanjutku kurang percaya, mungkin dia hanya bercanda.
"Beneran, mas. Tapi jarang sih, biasanya pas papa keluar kota lama gitu" balasnya santai.
Aku tidak mendengar ada nada bercanda atau berbohong di dalamnya.
"Masa sih? Aku masih nggak percaya" tanyaku lagi.
"Kalo ga percaya ya ke rumah aja mas kapan-kapan" balasnya dengan santai lagi.
Kali ini aku hanya bisa mengiyakan tawarannya. Tapi rasa penasaran segera memenuhi pikiranku.
###
Esoknya, sesuai ajakan Ray, aku datang ke rumahnya di malam hari. Anak muda itu segera menyambut kedatanganku dan mengajakku masuk ke rumahnya. Rumahnya cukup luas, tidak jauh beda lah dengan rumah milik Anton. Setelah sampai di ruang tengah, Ray mengenalkan seorang wanita kepadaku. Wanita itu sepertinya sudah mencapai kepala empat, namun tubuhnya masih terlihat bagus dan terawat.
"Mas, ini mamaku, kenalin" ujar Ray kepadaku.
"Ah, nama saya Paijo, tante" sahutku sembari mengulurkan tangan.
"Oh kamu toh yang namanya Paijo, kalo aku Sarah" balasnya menyambut uluran tanganku.
"Ma, aku mau nunjukin yang biasanya ke mas Paijo" ujar Ray tiba-tiba.
Membuatku sedikit terkejut dengan keterusterangannya, dan tampaknya Sarah pun terkejut.
"Beneran mau sekarang, sayang?" Sarah terlihat agak keberatan.
"Iya, sekarang aja ma" lanjut Ray.
Dengan terpaksa Sarah pun menuruti permintaan anak satu-satunya itu. Sarah memberikan kode kepadaku agar mengikuti dia dan Ray masuk ke dalam kamar.
Perasaan tegang menghampiriku, tetapi dua manusia beda usia cukup jauh itu terlihat santai saja begitu sudah ada di dalam kamar.
Dengan cuek Ray melepaskan semua pakaiannya hingga telanjang bulat, sementara Sarah hanya memakai bra dan celana dalam saja. Ukuran dada Sarah cukup besar, meski tidak sebesar Susi, mungkin sekitar 34C. Namun untuk keseksian bentuk tubuh, Sarah tidak kalah dengan Susi, bedanya Sarah memiliki kulit antara kuning langsat dan sawo matang sehingga membuatnya terlihat eksotis.
Aku hanya berdiri di sudut ruangan, sementara Ray sudah berbaring di atas ranjang, Sarah duduk di dekatnya sambil membelai batang Ray yang masih loyo. Dengan lihai Ray meremas gundukan di dada mamanya, bahkan sepertinya dia sengaja membuat dada Sarah melonjak keluar dari bra-nya, sehingga terbukalah susunya yang montok itu, dilengkapi dengan putingnya yang berwarna coklat kehitaman. Putingnya terlihat jauh lebih besar dari milik Susi, entah kenapa aku sudah bernafsu hanya dari melihat putingnya itu.
Batang Ray mulai menegang, ukurannya biasa saja, mungkin sekitar 11-12 senti. Sarah mulai intens mengocok batang anaknya itu secara perlahan. Sementara Ray sudah keasyikan mengulum susu mamanya. Sarah mulai mendesah perlahan saat Ray mengenyot putingnya.
Sesuai dengan yang disombongkan kepadaku, Ray dan Sarah mengambil posisi 69, dimana Sarah mulai melakukan blowjob kepada anaknya, sementara Ray ternyata tidak melakukan apa-apa. Ray hanya mendesah keenakan menikmati perlakuan Sarah kepadanya. Sampai akhirnya beberapa menit kemudian...
Crott!! Crott!! Crott!!
Ray pun menumpahkan cairan kepuasannya.
Sarah bangkit dari ranjang dan merapikan pakaiannya kembali, sementara Ray telah tertidur pulas, wajahnya terlihat bahagia. Sarah memberikan kode lagi kepadaku agar keluar dari kamar itu.
"Ya beginilah Ray kalau di rumah, jangan bilang siapa-siapa ya" ujar Sarah saat kita sudah berada di ruang tengah.
"Iya tante, lagian saya tidak kenal dengan teman-temannya Ray" balasku cepat.
"Baguslah, tolong tetap berteman dengan Ray ya, jangan mengucilkan dia seperti teman-temannya yang lain" tambah Sarah.
Aku hanya manggut-manggut mengiyakan permintaannya.
"Tolong kamu segera pulang ya, sebentar lagi suamiku datang soalnya" lanjutnya.
"Iya tante, saya permisi dulu kalau gitu" aku pun bergegas memacu motorku meninggalkan rumah itu.
Di jalan, perasaan berdebar masih menyelimutiku akibat kejadian yang baru saja aku saksikan secara langsung ini tadi.
###
Sejak malam itu, aku jadi sering mampir ke rumah Ray, tentunya atas ajakan dari Ray sendiri. Dan aku menjadi semakin sering melihat aksi mama dan anak itu. Awalnya aku mengira akan ada perubahan aksi atau peningkatan kegiatan, namun ternyata dari hari ke hari ya gitu-gitu aja yang dilakukan oleh keduanya. Sampai aku mulai merasa bosan dibuatnya.
"Kamu ga bosen liat ginian terus?" tanya Sarah di suatu malam, tentunya setelah Ray tertidur pulas.
"Ya mulai bosen sih tan" jawabku jujur.
"Mau nyobain juga?" tanya Sarah langsung, membuat hatiku mencelos seketika.
"Ya mau lah tan" balasku cepat, membuatnya terkekeh.
"Yauda sini, mumpung hari ini suamiku nggak pulang" Sarah melambaikan tangannya memintaku mendekat.
Tanpa ragu aku duduk di sebelahnya, setelah melepaskan celana panjang beserta celana dalamku. Tangan Sarah mulai membelai adik kecilku, membuatnya semakin menegang.
"Wah, lumayan juga ukurannya" ujar Sarah seperti berkata kepada dirinya sendiri.
Tak lama berselang, dia mulai menjilati ujung tongkatku dengan tatapan mata yang nakal, feelingku mengatakan bahwa wanita ini lebih jago daripada Susi. Dan ternyata benar, permainan lidah dan tangannya lebih mahir dari Susi, membuatku mulai tidak kuasa menahan birahi yang menggelora.
"Gantian dong, tante" sahutku memotong aksinya.
Dia pun paham dan menghentikan aksinya. Setelah itu dia melepaskan semua pakaiannya, bahkan bra dan celana dalamnya juga, sehingga kini dia telah telanjang bulat di depanku.
Tanpa membuang waktu aku segera mencomot kedua susunya, bergantian antara tangan dan mulut. Putingnya yang besar itu dari dulu membuatku penasaran, kali ini dengan puas aku menjilati dan mengenyot putingnya itu, membuatnya mulai meracau sambil menggesekkan tangannya sendiri di belahan bawahnya.
Makin lama desahan Sarah makin keras saja, sebanding dengan bagian bawahnya yang semakin basah. Aku pun berpindah ke bawah, gantian memainkan liangnya dengan jari-jariku.
Clekp!! Clekp!! Clekp!!
Suara kecipak tercipta akibat kocokan jariku di liangnya yang telah becek. Sarah semakin kelojotan, kali ini dia meremas sendiri kedua gundukan di dadanya.
"Beneran, mas. Tapi jarang sih, biasanya pas papa keluar kota lama gitu" balasnya santai.
Aku tidak mendengar ada nada bercanda atau berbohong di dalamnya.
"Masa sih? Aku masih nggak percaya" tanyaku lagi.
"Kalo ga percaya ya ke rumah aja mas kapan-kapan" balasnya dengan santai lagi.
Kali ini aku hanya bisa mengiyakan tawarannya. Tapi rasa penasaran segera memenuhi pikiranku.
###
Esoknya, sesuai ajakan Ray, aku datang ke rumahnya di malam hari. Anak muda itu segera menyambut kedatanganku dan mengajakku masuk ke rumahnya. Rumahnya cukup luas, tidak jauh beda lah dengan rumah milik Anton. Setelah sampai di ruang tengah, Ray mengenalkan seorang wanita kepadaku. Wanita itu sepertinya sudah mencapai kepala empat, namun tubuhnya masih terlihat bagus dan terawat.
"Mas, ini mamaku, kenalin" ujar Ray kepadaku.
"Ah, nama saya Paijo, tante" sahutku sembari mengulurkan tangan.
"Oh kamu toh yang namanya Paijo, kalo aku Sarah" balasnya menyambut uluran tanganku.
"Ma, aku mau nunjukin yang biasanya ke mas Paijo" ujar Ray tiba-tiba.
Membuatku sedikit terkejut dengan keterusterangannya, dan tampaknya Sarah pun terkejut.
"Beneran mau sekarang, sayang?" Sarah terlihat agak keberatan.
"Iya, sekarang aja ma" lanjut Ray.
Dengan terpaksa Sarah pun menuruti permintaan anak satu-satunya itu. Sarah memberikan kode kepadaku agar mengikuti dia dan Ray masuk ke dalam kamar.
Perasaan tegang menghampiriku, tetapi dua manusia beda usia cukup jauh itu terlihat santai saja begitu sudah ada di dalam kamar.
Dengan cuek Ray melepaskan semua pakaiannya hingga telanjang bulat, sementara Sarah hanya memakai bra dan celana dalam saja. Ukuran dada Sarah cukup besar, meski tidak sebesar Susi, mungkin sekitar 34C. Namun untuk keseksian bentuk tubuh, Sarah tidak kalah dengan Susi, bedanya Sarah memiliki kulit antara kuning langsat dan sawo matang sehingga membuatnya terlihat eksotis.
Aku hanya berdiri di sudut ruangan, sementara Ray sudah berbaring di atas ranjang, Sarah duduk di dekatnya sambil membelai batang Ray yang masih loyo. Dengan lihai Ray meremas gundukan di dada mamanya, bahkan sepertinya dia sengaja membuat dada Sarah melonjak keluar dari bra-nya, sehingga terbukalah susunya yang montok itu, dilengkapi dengan putingnya yang berwarna coklat kehitaman. Putingnya terlihat jauh lebih besar dari milik Susi, entah kenapa aku sudah bernafsu hanya dari melihat putingnya itu.
Batang Ray mulai menegang, ukurannya biasa saja, mungkin sekitar 11-12 senti. Sarah mulai intens mengocok batang anaknya itu secara perlahan. Sementara Ray sudah keasyikan mengulum susu mamanya. Sarah mulai mendesah perlahan saat Ray mengenyot putingnya.
Sesuai dengan yang disombongkan kepadaku, Ray dan Sarah mengambil posisi 69, dimana Sarah mulai melakukan blowjob kepada anaknya, sementara Ray ternyata tidak melakukan apa-apa. Ray hanya mendesah keenakan menikmati perlakuan Sarah kepadanya. Sampai akhirnya beberapa menit kemudian...
Crott!! Crott!! Crott!!
Ray pun menumpahkan cairan kepuasannya.
Sarah bangkit dari ranjang dan merapikan pakaiannya kembali, sementara Ray telah tertidur pulas, wajahnya terlihat bahagia. Sarah memberikan kode lagi kepadaku agar keluar dari kamar itu.
"Ya beginilah Ray kalau di rumah, jangan bilang siapa-siapa ya" ujar Sarah saat kita sudah berada di ruang tengah.
"Iya tante, lagian saya tidak kenal dengan teman-temannya Ray" balasku cepat.
"Baguslah, tolong tetap berteman dengan Ray ya, jangan mengucilkan dia seperti teman-temannya yang lain" tambah Sarah.
Aku hanya manggut-manggut mengiyakan permintaannya.
"Tolong kamu segera pulang ya, sebentar lagi suamiku datang soalnya" lanjutnya.
"Iya tante, saya permisi dulu kalau gitu" aku pun bergegas memacu motorku meninggalkan rumah itu.
Di jalan, perasaan berdebar masih menyelimutiku akibat kejadian yang baru saja aku saksikan secara langsung ini tadi.
###
Sejak malam itu, aku jadi sering mampir ke rumah Ray, tentunya atas ajakan dari Ray sendiri. Dan aku menjadi semakin sering melihat aksi mama dan anak itu. Awalnya aku mengira akan ada perubahan aksi atau peningkatan kegiatan, namun ternyata dari hari ke hari ya gitu-gitu aja yang dilakukan oleh keduanya. Sampai aku mulai merasa bosan dibuatnya.
"Kamu ga bosen liat ginian terus?" tanya Sarah di suatu malam, tentunya setelah Ray tertidur pulas.
"Ya mulai bosen sih tan" jawabku jujur.
"Mau nyobain juga?" tanya Sarah langsung, membuat hatiku mencelos seketika.
"Ya mau lah tan" balasku cepat, membuatnya terkekeh.
"Yauda sini, mumpung hari ini suamiku nggak pulang" Sarah melambaikan tangannya memintaku mendekat.
Tanpa ragu aku duduk di sebelahnya, setelah melepaskan celana panjang beserta celana dalamku. Tangan Sarah mulai membelai adik kecilku, membuatnya semakin menegang.
"Wah, lumayan juga ukurannya" ujar Sarah seperti berkata kepada dirinya sendiri.
Tak lama berselang, dia mulai menjilati ujung tongkatku dengan tatapan mata yang nakal, feelingku mengatakan bahwa wanita ini lebih jago daripada Susi. Dan ternyata benar, permainan lidah dan tangannya lebih mahir dari Susi, membuatku mulai tidak kuasa menahan birahi yang menggelora.
"Gantian dong, tante" sahutku memotong aksinya.
Dia pun paham dan menghentikan aksinya. Setelah itu dia melepaskan semua pakaiannya, bahkan bra dan celana dalamnya juga, sehingga kini dia telah telanjang bulat di depanku.
Tanpa membuang waktu aku segera mencomot kedua susunya, bergantian antara tangan dan mulut. Putingnya yang besar itu dari dulu membuatku penasaran, kali ini dengan puas aku menjilati dan mengenyot putingnya itu, membuatnya mulai meracau sambil menggesekkan tangannya sendiri di belahan bawahnya.
Makin lama desahan Sarah makin keras saja, sebanding dengan bagian bawahnya yang semakin basah. Aku pun berpindah ke bawah, gantian memainkan liangnya dengan jari-jariku.
Clekp!! Clekp!! Clekp!!
Suara kecipak tercipta akibat kocokan jariku di liangnya yang telah becek. Sarah semakin kelojotan, kali ini dia meremas sendiri kedua gundukan di dadanya.
Tanpa mengurangi kocokan jari, aku kombinasi dengan jilatan dan hisapan ke kedua putingnya secara bergantian. Sarah semakin meracau tak karuan, entah apa yang dikatakannya. Sampai di suatu momen, Sarah mulai menjambak rambutku karena semakin tidak tahan dengan rangsangan yang diterimanya.
"Buruan masukin, aku sudah nggak tahan" jerit Sarah di telingaku.
Namun aku masih belum ingin menuruti permintaannya itu. Aku malah menambah intensitas kocokan jariku, sementara lidahku menjelajah kesana kemari, tidak hanya berhenti di gunung kembarnya. Lidahku menyusuri mulai dari leher sampai ke pusar, kemudian kembali ke atas lagi, begitu terus pokoknya sampai Sarah tiba-tiba mengangkat pinggulnya seperti tersentak, cairan merembes keluar dari liangnya dan membasahi jariku.
"Ayo pindah aja tante" ujarku dengan tongkat yang masih tegak mengacung.
"Pindah kemana? Di kamar kan ada Ray tidur, nanti dia bangun bisa repot" tolak Sarah sebelum mengetahui jawabanku.
"Siapa bilang di kamar?" balasku sok misterius.
"Terus di mana? Kamar mandi? Ruang tamu?" balas Sarah memberikan beberapa opsi lain.
"Ayo ikut aja lah" sahutku sembari membopong tubuhnya.
Sarah hanya pasrah dan menuruti ajakanku. Setelah melewati ruang tamu barulah dia paham apa yang kumaksud.
"Eh, jangan di halaman lah, kalau dilihat orang gimana?" kali ini Sarah agak berontak.
Namun sayangnya tenaganya sudah agak terkuras sehingga tidak bisa melawanku.
"Malam-malam gini ga mungkin ada yang lewat" balasku mencoba meyakinkan dia.
"Kata siapa ga ada yang lewat" lagi-lagi dia membantah.
"Ssttt, makanya jangan berisik biar ga kedengeran orang" potongku sambil mengatupkan jari di depan mulut.
Dia pun terdiam dan menurut saja saat kuposisikan doggystyle menghadap ke jalanan.
Aku mulai menghujamkan adik kecilku ke dalam liangnya yang becek, meski bentuknya hampir sama, ternyata rasanya berbeda dengan punya Susi. Kalau punya Susi lebih rapat dan mencengkram, kalau punya Sarah terasa lebih hangat dan licin, mungkin karena bercampur dengan cairan klimaksnya tadi.
"Ahhh.. enak mas.. ahhh.." desah Sarah ketika tongkatku mulai intens keluar masuk ke dalam liangnya.
"Sssttt" potongku lagi, kali ini tanganku kupakai untuk membungkam mulutnya agar tidak meracau lagi.
Membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara seperti orang sedang diculik.
Makin lama pergerakan adik kecilku semakin cepat menusuk ke dalam liang Sarah. Sesekali aku menampar bokong Sarah yang sekal itu, membuatnya malah keenakan alih-alih kesakitan. Lagi-lagi Sarah meremasi kedua susunya sendiri. Bahkan kali ini dia memilin putingnya sendiri, membuat putingnya yang besar itu menjadi tegang.
"Lama amat sih ga keluar-keluar" Sarah mulai merajuk karena sepertinya dia mulai kelelahan, apalagi tadi dia sempat bermain dengan anaknya sebentar.
"Ganti posisi deh tan" balasku.
Aku sendiri juga mulai merasa agak lelah, namun adik kecilku masih berdiri tegak, tampaknya dia mempunyai stok energi tersendiri, berbeda dengan energi yang aku miliki.
Aku merebahkan badan di halaman depan, sementara Sarah berjongkok di atas tubuhku dan mengambil posisi woman on top alias wot. Dengan lihai dia mengarahkan tongkatku masuk kembali ke dalam liangnya.
Satu hal lagi yang membedakan Sarah dan Susi adalah rambut kemaluannya. Jika Susi tidak memiliki rambut sedikitpun, lain halnya dengan Sarah yang justru rambut bawahnya cukup lebat sehingga agak menyulitkan pencarian letak liangnya. Namun sebagai pemilik tentunya Sarah telah paham, terbukti dia dengan mudah kembali memasukkan tongkatku ke dalam liangnya.
Sarah mulai bergoyang naik turun mengocok adik kecilku. Pinggulnya bergoyang seolah sedang berjoget. Dalam posisi ini aku bisa melihat kedua gundukan di dadanya yang berguncang kesana kemari mengikuti goyangan pinggulnya. Sesekali dia membenarkan rambutnya yang tersibak, sehingga memamerkan ketiaknya yang tidak kalah mulus dengan milik Susi. Sesekali lainnya dia meremasi sendiri gunung kembarnya, sembari lidahnya menjulur kemana-mana, entah apa maksudnya.
Posisi wot ini rupanya membuatku lebih santai dan seolah tidak berbuat apa-apa. Namun tidak enaknya adalah aku tidak bisa mengatur ritme pergerakan adik kecilku. Sehingga aku tidak mampu menahan agar adik kecilku tidak kalah dengan desakan yang ingin keluar. Tetapi aku tidak mau menyerah begitu saja dan tetap mencoba bertahan.
"Aku mau keluar lagi nih" desis Sarah sembari mempercepat goyangan pinggulnya.
Plok..!! Plok..!! Plok..!!
Suara tumbukan antara dua kulit terdengar cukup jelas di malam yang hening itu. Apalagi Sarah kini tidak lagi terbungkam dengan tanganku. Mulutnya bebas mendesah dan meracau sesuka hati. Sementara aku sedang berada dalam kesulitan untuk menahan agar adik kecilku tidak buru-buru melepaskan cairannya.
Teng teng teng. Dari kejauhan terdengar suara tiang listrik yang dipukul. Pertanda bahwa penjaga keamanan hendak berkeliling perumahan. Sayangnya bunyi itu justru membuatku dan Sarah panik karena mengira ada yang lewat sana. Dengan terburu-buru kita berdua berlari masuk ke dalam rumah untuk memakai pakaian kembali.
===X=X=X===
Seperti biasa, pagi itu aku nyangkruk di warung bareng Ray, main ML. Belum habis kopi yang aku pesan, tiba-tiba muncul sosok yang cukup familiar bagiku. Bukan cak Toyib, padahal beliau yang aku nantikan beberapa hari ini, melainkan Anton, sosok yang justru aku hindari selama ini.
Namun sikapnya berbeda dari terakhir bertemu, tak kuduga dia berwajah ramah seperti biasanya, meski sedikit dihiasi seringai congkak, ya persis seperti biasanya. Dia melangkah santai mendekat ke mejaku.
"Maafkan aku, bro. Aku khilaf" ujarku begitu dia sampai di mejaku.
"Iya, cak Toyib sudah menjelaskan. Sudah aku maafkan kok" balasnya santai, kemudian duduk dan memesan minuman.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi situasi yang agak aneh diantara kita, alhasil suasana menjadi hening beberapa saat, hanya suara game dari Ray yang terdengar. Namun, begitu melihat Ray, seketika sebuah ide liar melintas di pikiranku.
"Buruan masukin, aku sudah nggak tahan" jerit Sarah di telingaku.
Namun aku masih belum ingin menuruti permintaannya itu. Aku malah menambah intensitas kocokan jariku, sementara lidahku menjelajah kesana kemari, tidak hanya berhenti di gunung kembarnya. Lidahku menyusuri mulai dari leher sampai ke pusar, kemudian kembali ke atas lagi, begitu terus pokoknya sampai Sarah tiba-tiba mengangkat pinggulnya seperti tersentak, cairan merembes keluar dari liangnya dan membasahi jariku.
"Ayo pindah aja tante" ujarku dengan tongkat yang masih tegak mengacung.
"Pindah kemana? Di kamar kan ada Ray tidur, nanti dia bangun bisa repot" tolak Sarah sebelum mengetahui jawabanku.
"Siapa bilang di kamar?" balasku sok misterius.
"Terus di mana? Kamar mandi? Ruang tamu?" balas Sarah memberikan beberapa opsi lain.
"Ayo ikut aja lah" sahutku sembari membopong tubuhnya.
Sarah hanya pasrah dan menuruti ajakanku. Setelah melewati ruang tamu barulah dia paham apa yang kumaksud.
"Eh, jangan di halaman lah, kalau dilihat orang gimana?" kali ini Sarah agak berontak.
Namun sayangnya tenaganya sudah agak terkuras sehingga tidak bisa melawanku.
"Malam-malam gini ga mungkin ada yang lewat" balasku mencoba meyakinkan dia.
"Kata siapa ga ada yang lewat" lagi-lagi dia membantah.
"Ssttt, makanya jangan berisik biar ga kedengeran orang" potongku sambil mengatupkan jari di depan mulut.
Dia pun terdiam dan menurut saja saat kuposisikan doggystyle menghadap ke jalanan.
Aku mulai menghujamkan adik kecilku ke dalam liangnya yang becek, meski bentuknya hampir sama, ternyata rasanya berbeda dengan punya Susi. Kalau punya Susi lebih rapat dan mencengkram, kalau punya Sarah terasa lebih hangat dan licin, mungkin karena bercampur dengan cairan klimaksnya tadi.
"Ahhh.. enak mas.. ahhh.." desah Sarah ketika tongkatku mulai intens keluar masuk ke dalam liangnya.
"Sssttt" potongku lagi, kali ini tanganku kupakai untuk membungkam mulutnya agar tidak meracau lagi.
Membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara seperti orang sedang diculik.
Makin lama pergerakan adik kecilku semakin cepat menusuk ke dalam liang Sarah. Sesekali aku menampar bokong Sarah yang sekal itu, membuatnya malah keenakan alih-alih kesakitan. Lagi-lagi Sarah meremasi kedua susunya sendiri. Bahkan kali ini dia memilin putingnya sendiri, membuat putingnya yang besar itu menjadi tegang.
"Lama amat sih ga keluar-keluar" Sarah mulai merajuk karena sepertinya dia mulai kelelahan, apalagi tadi dia sempat bermain dengan anaknya sebentar.
"Ganti posisi deh tan" balasku.
Aku sendiri juga mulai merasa agak lelah, namun adik kecilku masih berdiri tegak, tampaknya dia mempunyai stok energi tersendiri, berbeda dengan energi yang aku miliki.
Aku merebahkan badan di halaman depan, sementara Sarah berjongkok di atas tubuhku dan mengambil posisi woman on top alias wot. Dengan lihai dia mengarahkan tongkatku masuk kembali ke dalam liangnya.
Satu hal lagi yang membedakan Sarah dan Susi adalah rambut kemaluannya. Jika Susi tidak memiliki rambut sedikitpun, lain halnya dengan Sarah yang justru rambut bawahnya cukup lebat sehingga agak menyulitkan pencarian letak liangnya. Namun sebagai pemilik tentunya Sarah telah paham, terbukti dia dengan mudah kembali memasukkan tongkatku ke dalam liangnya.
Sarah mulai bergoyang naik turun mengocok adik kecilku. Pinggulnya bergoyang seolah sedang berjoget. Dalam posisi ini aku bisa melihat kedua gundukan di dadanya yang berguncang kesana kemari mengikuti goyangan pinggulnya. Sesekali dia membenarkan rambutnya yang tersibak, sehingga memamerkan ketiaknya yang tidak kalah mulus dengan milik Susi. Sesekali lainnya dia meremasi sendiri gunung kembarnya, sembari lidahnya menjulur kemana-mana, entah apa maksudnya.
Posisi wot ini rupanya membuatku lebih santai dan seolah tidak berbuat apa-apa. Namun tidak enaknya adalah aku tidak bisa mengatur ritme pergerakan adik kecilku. Sehingga aku tidak mampu menahan agar adik kecilku tidak kalah dengan desakan yang ingin keluar. Tetapi aku tidak mau menyerah begitu saja dan tetap mencoba bertahan.
"Aku mau keluar lagi nih" desis Sarah sembari mempercepat goyangan pinggulnya.
Plok..!! Plok..!! Plok..!!
Suara tumbukan antara dua kulit terdengar cukup jelas di malam yang hening itu. Apalagi Sarah kini tidak lagi terbungkam dengan tanganku. Mulutnya bebas mendesah dan meracau sesuka hati. Sementara aku sedang berada dalam kesulitan untuk menahan agar adik kecilku tidak buru-buru melepaskan cairannya.
Teng teng teng. Dari kejauhan terdengar suara tiang listrik yang dipukul. Pertanda bahwa penjaga keamanan hendak berkeliling perumahan. Sayangnya bunyi itu justru membuatku dan Sarah panik karena mengira ada yang lewat sana. Dengan terburu-buru kita berdua berlari masuk ke dalam rumah untuk memakai pakaian kembali.
===X=X=X===
Seperti biasa, pagi itu aku nyangkruk di warung bareng Ray, main ML. Belum habis kopi yang aku pesan, tiba-tiba muncul sosok yang cukup familiar bagiku. Bukan cak Toyib, padahal beliau yang aku nantikan beberapa hari ini, melainkan Anton, sosok yang justru aku hindari selama ini.
Namun sikapnya berbeda dari terakhir bertemu, tak kuduga dia berwajah ramah seperti biasanya, meski sedikit dihiasi seringai congkak, ya persis seperti biasanya. Dia melangkah santai mendekat ke mejaku.
"Maafkan aku, bro. Aku khilaf" ujarku begitu dia sampai di mejaku.
"Iya, cak Toyib sudah menjelaskan. Sudah aku maafkan kok" balasnya santai, kemudian duduk dan memesan minuman.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi situasi yang agak aneh diantara kita, alhasil suasana menjadi hening beberapa saat, hanya suara game dari Ray yang terdengar. Namun, begitu melihat Ray, seketika sebuah ide liar melintas di pikiranku.
"Bro, sebagai permintaan maaf, aku ada sesuatu"
"Apaan tuh?" potongnya cepat, sepertinya dia agak tertarik, ya daripada suasana hening seperti sebelumnya, topik apapun pastilah menarik.
"Nggak bisa njelasin sekarang, ntar ikut aku aja" tambahku kemudian.
Dia hanyak manggut-manggut menyetujui tawaranku itu.
Aku melanjutkan satu permainan lagi dengan Ray, yang diakhiri dengan kemenangan, tentunya membuatnya girang karena peringkatnya kembali naik. Dalam kondisi girang, siapapun pasti bisa dengan mudah dibujuk dalam hal apapun. Apalagi bocah tujuh belas tahun seperti Ray.
"Ray, ayo main ke rumahmu lagi" ajakku dengan nada penuh harap.
"Wah, kalo sekarang ga bisa mas, aku ada janji ma temen soalnya" balasnya santai tapi cukup membuatku kecewa.
"Yah" sahutku singkat untuk menyiratkan kekecewaan.
"Tapi kalo mau main duluan aja ke sana, ntar abis ketemu temen aku nyusul" tambahnya masih dengan nada santai, seolah bukan hal yang berarti.
"Beneran nih?" tanyaku untuk memastikan.
"Beneran lah, tapi nunggu aku agak lama gpp kan?" ujarnya balik bertanya.
"Ya gpp sih, ntar kalo ternyata kelamaan ya aku balik aja dulu" balasku cepat, meski sedikit berubah tetapi rencana masih bisa berjalan.
"Kalo gitu aku duluan ya" tambahku lagi sembari menenggak habis kopiku yang tinggal seperempat.
Anton segera menghabiskan minumannya juga untuk mengikutiku.
"Mau kemana kita?" tanya Anton setelah mengunci mobilnya.
"Udah, ikut aja" jawabku dari atas motor, Anton segera membonceng di belakangku dan motorku langsung melaju membelah jalanan kota itu.
Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan diantara kita, untungnya rumah Ray tidak terlalu jauh dari sana. Kira-kira sepuluh menit kemudian kita sudah sampai di halaman rumah Ray. Rupanya Sarah sedang menyiram tanaman di halaman, mengenakan tanktop pink dan celana pendek sepaha.
"Siapa itu bro? Hot juga" bisik Anton begitu melihatnya.
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan kepada Sarah. Motorku tepat berhenti di depan rumahnya. Membuat Sarah menghentikan siram-siramnya dan membukakan pagar.
"Tumben pagi-pagi kesini? Ngajak temen lagi" sindir Sarah begitu motorku memasuki pelataran.
"Tadinya ngajak si Ray, tapi dia ada janji sama temennya" balasku beralasan.
"Kenalin ini Anton, teman cangkruk" tambahku untuk mengenalkan Anton.
"Oh Anton, namaku Sarah" Sarah mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
Anton segera menyambut uluran tangan Sarah dan menyebutkan namanya.
"Ayo masuk dulu aja" ajak Sarah.
"Gimana? Mantep kan?" bisikku begitu duduk di ruang tamu, sementara Sarah masuk ke dalam untuk mengambilkan minum.
"Mantep bro, montoknya pas nih" balas Anton cepat, sedari tadi dia memang terus menatap tubuh Sarah dari atas sampai bawah.
"Mau sama dia?" tanyaku menggoda.
"Ya mau lah, tapi gimana caranya?" balasnya dengan cepat lagi.
"Tenang, aku paham kelemahannya, ikutin skenarioku aja"
"Apa emang kelemahannya?" potongnya tidak sabar.
"Udah diem aja" balasku sembari memberikan isyarat untuk diam, karena Sarah telah kembali ke ruang tamu dengan membawa dua gelas minuman.
"Jadi ada perlu apa nih?" Sarah telah duduk di salah satu kursi yang ada di sana, Anton segera memelototi paha Sarah yang mulus.
"Jadi gini, Ray kan abis ngerusakin barang berharganya si Anton ini, makanya dia datang ke sini untuk minta pertanggungjawaban" jawabku dengan nada serius.
Anton dengan cepat mencerna ucapanku dan memasang wajah serius juga.
"Waduh, apanya yang rusak? Mahal nggak?" Sarah agak panik kali ini.
"Guci antik saya mbak. Harganya milyaran lah" sahut Anton, pinter juga dia berimprovisasi.
"Waduh, saya nggak bisa bayar kalo segitu, mas" wajah Sarah semakin cemas.
"Ya terpaksa saya harus membawa Ray ke kantor polisi" tambah Anton lagi.
Aku hanya diam sambil menahan tawa.
"Jangan, mas. Kalau begitu saya cicil saja deh ya, tapi tolong jangan sampe anak saya dipenjara" Sarah mulai mengiba.
"Sebentar ya bro" aku mengambil alih percakapan.
Dengan sigap aku menarik tangan Sarah untuk sedikit menjauh dari Anton.
"Aku ada solusi tante" bisikku pelan di telinga Sarah.
"Gimana?" balas Sarah dengan bisikan pula.
Aku memberikan balasan berupa kode isyarat tangan yang berarti berhubungan intim, pasti semua tau lah dengan kode tersebut.
"Emang bisa?" Sarah mulai terpancing dengan saranku.
"Ya coba dulu aja" balasku menutup obrolan, kami pun kembali ke tempat duduk masing-masing.
"Jadi gimana?" Anton yang bertanya.
"Kalo misalnya bayarnya nggak pake duit gimana?" aku yang menjawab.
"Trus bayar pake apa?" tanya Anton lagi, pura-pura tidak tahu.
"Pake seks misalnya" balasku sengaja agak menggantungkan kalimat, agar Anton bisa memotongnya.
"Hmm, boleh juga sih, tapi apakah mbak bersedia?" Anton balik bertanya ke Sarah.
"Demi anak saya, apa aja saya lakuin, mas" jawab Sarah cepat dan mantap.
"Oke, deal kalo gitu, langsung mulai hari ini aja" Anton rupanya sudah tidak sabar, kulihat sekilas celananya sudah mulai menggembung.
"Ayo pindah ke kamar aja" saranku kemudian, padahal bukan aku yang punya rumah.
Namun kita semua sepakat dan bergegas menuju kamar.
Hanya dalam hitungan detik, mereka sudah sama-sama telanjang bulat. Sarah bersandar di dipan ranjang, sementara Anton berjongkok mengoral liang Sarah. Rupanya Anton termasuk tipe yang liar dan suka melakukan oral, hal yang belum pernah aku coba sebelumnya.
Akibat oral yang diberikan Anton, Sarah menjadi semakin liar, dengan sengaja Sarah meremas sendiri kedua gundukan di dadanya, sembari sesekali dia pilin putingnya yang kehitaman itu. Tanpa sadar, adik kecilku sudah mulai menegang akibat pemandangan erotis tersebut. Kali ini Anton sepertinya menyadari bahwa aku masih ada di sana.
"Ayo ikut juga, bro" ajak Anton setelah memberikan kode kepada Sarah, tentu saja Sarah menyetujuinya.
Anton berpindah posisi dengan Sarah, kini Anton yang bersandar di sudut ranjang, sementara Sarah merangkak dan berjongkok di atas ranjang untuk balas memberikan oral kepada Anton. Aku tentu saja berada di belakang Sarah, bokongnya yang bergoyang kesana kemari membuat adik kecilku sudah tidak sabar, maka dalam posisi doggystyle itu aku menghujamkan adik kecilku ke dalam liang Sarah.
Ternyata benar dugaanku, yang dimaksud cak Toyib jangan dicoba lagi itu bukan masalah ketauan atau terciduk, tetapi lebih dari itu. Karena ternyata rasanya tidak senikmat saat pertama kali merasakan, ada sensasi yang berbeda dibandingkan saat pertama kali mencobanya. Inilah mengapa cak Toyib menyarankan cukup sekali percobaan saja, aku baru paham kali ini.
"Apaan tuh?" potongnya cepat, sepertinya dia agak tertarik, ya daripada suasana hening seperti sebelumnya, topik apapun pastilah menarik.
"Nggak bisa njelasin sekarang, ntar ikut aku aja" tambahku kemudian.
Dia hanyak manggut-manggut menyetujui tawaranku itu.
Aku melanjutkan satu permainan lagi dengan Ray, yang diakhiri dengan kemenangan, tentunya membuatnya girang karena peringkatnya kembali naik. Dalam kondisi girang, siapapun pasti bisa dengan mudah dibujuk dalam hal apapun. Apalagi bocah tujuh belas tahun seperti Ray.
"Ray, ayo main ke rumahmu lagi" ajakku dengan nada penuh harap.
"Wah, kalo sekarang ga bisa mas, aku ada janji ma temen soalnya" balasnya santai tapi cukup membuatku kecewa.
"Yah" sahutku singkat untuk menyiratkan kekecewaan.
"Tapi kalo mau main duluan aja ke sana, ntar abis ketemu temen aku nyusul" tambahnya masih dengan nada santai, seolah bukan hal yang berarti.
"Beneran nih?" tanyaku untuk memastikan.
"Beneran lah, tapi nunggu aku agak lama gpp kan?" ujarnya balik bertanya.
"Ya gpp sih, ntar kalo ternyata kelamaan ya aku balik aja dulu" balasku cepat, meski sedikit berubah tetapi rencana masih bisa berjalan.
"Kalo gitu aku duluan ya" tambahku lagi sembari menenggak habis kopiku yang tinggal seperempat.
Anton segera menghabiskan minumannya juga untuk mengikutiku.
"Mau kemana kita?" tanya Anton setelah mengunci mobilnya.
"Udah, ikut aja" jawabku dari atas motor, Anton segera membonceng di belakangku dan motorku langsung melaju membelah jalanan kota itu.
Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan diantara kita, untungnya rumah Ray tidak terlalu jauh dari sana. Kira-kira sepuluh menit kemudian kita sudah sampai di halaman rumah Ray. Rupanya Sarah sedang menyiram tanaman di halaman, mengenakan tanktop pink dan celana pendek sepaha.
"Siapa itu bro? Hot juga" bisik Anton begitu melihatnya.
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan kepada Sarah. Motorku tepat berhenti di depan rumahnya. Membuat Sarah menghentikan siram-siramnya dan membukakan pagar.
"Tumben pagi-pagi kesini? Ngajak temen lagi" sindir Sarah begitu motorku memasuki pelataran.
"Tadinya ngajak si Ray, tapi dia ada janji sama temennya" balasku beralasan.
"Kenalin ini Anton, teman cangkruk" tambahku untuk mengenalkan Anton.
"Oh Anton, namaku Sarah" Sarah mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
Anton segera menyambut uluran tangan Sarah dan menyebutkan namanya.
"Ayo masuk dulu aja" ajak Sarah.
"Gimana? Mantep kan?" bisikku begitu duduk di ruang tamu, sementara Sarah masuk ke dalam untuk mengambilkan minum.
"Mantep bro, montoknya pas nih" balas Anton cepat, sedari tadi dia memang terus menatap tubuh Sarah dari atas sampai bawah.
"Mau sama dia?" tanyaku menggoda.
"Ya mau lah, tapi gimana caranya?" balasnya dengan cepat lagi.
"Tenang, aku paham kelemahannya, ikutin skenarioku aja"
"Apa emang kelemahannya?" potongnya tidak sabar.
"Udah diem aja" balasku sembari memberikan isyarat untuk diam, karena Sarah telah kembali ke ruang tamu dengan membawa dua gelas minuman.
"Jadi ada perlu apa nih?" Sarah telah duduk di salah satu kursi yang ada di sana, Anton segera memelototi paha Sarah yang mulus.
"Jadi gini, Ray kan abis ngerusakin barang berharganya si Anton ini, makanya dia datang ke sini untuk minta pertanggungjawaban" jawabku dengan nada serius.
Anton dengan cepat mencerna ucapanku dan memasang wajah serius juga.
"Waduh, apanya yang rusak? Mahal nggak?" Sarah agak panik kali ini.
"Guci antik saya mbak. Harganya milyaran lah" sahut Anton, pinter juga dia berimprovisasi.
"Waduh, saya nggak bisa bayar kalo segitu, mas" wajah Sarah semakin cemas.
"Ya terpaksa saya harus membawa Ray ke kantor polisi" tambah Anton lagi.
Aku hanya diam sambil menahan tawa.
"Jangan, mas. Kalau begitu saya cicil saja deh ya, tapi tolong jangan sampe anak saya dipenjara" Sarah mulai mengiba.
"Sebentar ya bro" aku mengambil alih percakapan.
Dengan sigap aku menarik tangan Sarah untuk sedikit menjauh dari Anton.
"Aku ada solusi tante" bisikku pelan di telinga Sarah.
"Gimana?" balas Sarah dengan bisikan pula.
Aku memberikan balasan berupa kode isyarat tangan yang berarti berhubungan intim, pasti semua tau lah dengan kode tersebut.
"Emang bisa?" Sarah mulai terpancing dengan saranku.
"Ya coba dulu aja" balasku menutup obrolan, kami pun kembali ke tempat duduk masing-masing.
"Jadi gimana?" Anton yang bertanya.
"Kalo misalnya bayarnya nggak pake duit gimana?" aku yang menjawab.
"Trus bayar pake apa?" tanya Anton lagi, pura-pura tidak tahu.
"Pake seks misalnya" balasku sengaja agak menggantungkan kalimat, agar Anton bisa memotongnya.
"Hmm, boleh juga sih, tapi apakah mbak bersedia?" Anton balik bertanya ke Sarah.
"Demi anak saya, apa aja saya lakuin, mas" jawab Sarah cepat dan mantap.
"Oke, deal kalo gitu, langsung mulai hari ini aja" Anton rupanya sudah tidak sabar, kulihat sekilas celananya sudah mulai menggembung.
"Ayo pindah ke kamar aja" saranku kemudian, padahal bukan aku yang punya rumah.
Namun kita semua sepakat dan bergegas menuju kamar.
Hanya dalam hitungan detik, mereka sudah sama-sama telanjang bulat. Sarah bersandar di dipan ranjang, sementara Anton berjongkok mengoral liang Sarah. Rupanya Anton termasuk tipe yang liar dan suka melakukan oral, hal yang belum pernah aku coba sebelumnya.
Akibat oral yang diberikan Anton, Sarah menjadi semakin liar, dengan sengaja Sarah meremas sendiri kedua gundukan di dadanya, sembari sesekali dia pilin putingnya yang kehitaman itu. Tanpa sadar, adik kecilku sudah mulai menegang akibat pemandangan erotis tersebut. Kali ini Anton sepertinya menyadari bahwa aku masih ada di sana.
"Ayo ikut juga, bro" ajak Anton setelah memberikan kode kepada Sarah, tentu saja Sarah menyetujuinya.
Anton berpindah posisi dengan Sarah, kini Anton yang bersandar di sudut ranjang, sementara Sarah merangkak dan berjongkok di atas ranjang untuk balas memberikan oral kepada Anton. Aku tentu saja berada di belakang Sarah, bokongnya yang bergoyang kesana kemari membuat adik kecilku sudah tidak sabar, maka dalam posisi doggystyle itu aku menghujamkan adik kecilku ke dalam liang Sarah.
Ternyata benar dugaanku, yang dimaksud cak Toyib jangan dicoba lagi itu bukan masalah ketauan atau terciduk, tetapi lebih dari itu. Karena ternyata rasanya tidak senikmat saat pertama kali merasakan, ada sensasi yang berbeda dibandingkan saat pertama kali mencobanya. Inilah mengapa cak Toyib menyarankan cukup sekali percobaan saja, aku baru paham kali ini.
Meski demikian, aku tetap memompa liang Sarah dengan sepenuh hati. Walau rasanya tidak senikmat yang pertama, tetapi ya masih tetep enak rasanya, jadi bukan hal yang aneh jika adik kecilku sudah mulai terpancing, namun kali ini aku sengaja tidak menahannya agar Anton menganggapku lemah. Segera saja aku muncratkan cairan itu di dalam liang Sarah.
Crot!! Crot!! Crot!!
"Payah lu, Jo. Masa baru gitu aja udah tumbang, pantesan istriku kurang puas katanya" komentar Anton.
Sesuai dugaanku, aku hanya tersenyum lalu menepi, sebuah misi telah terlaksana dengan baik.
"Tenang, ini masih bisa bangun lagi" balasku santai.
Namun Anton tidak menghiraukan balasanku. Dia lebih memilih mencumbu tubuh Sarah dari atas sampai ke bawah. Sementara aku memilih untuk keluar dari kamar, bukan karena malas melihat mereka, tapi aku mendengar suara ketukan pintu di depan. Begitu membukakan pintu, rupanya Ray dan temannya yang ada di sana.
"Ayo main lagi, mas" ujar Ray begitu melihatku.
Temannya ini nampak sama bersemangatnya dengan dia. Keduanya bahkan sudah menyiapkan handphone masing-masing di tangannya.
"Ayo dah" jawabku singkat.
Setelah itu kita bertiga larut dalam permainan yang menguras waktu dan emosi itu. Beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu kamar yang dibuka. Sarah muncul dalam kondisi masih telanjang bulat.
"Lho, Ray udah datang kok nggak bilang ke mama" komentarnya begitu melihat kita bertiga duduk-duduk di ruang tengah.
"Iya ini tadi langsung main sama mas Paijo soalnya" balasnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphone.
Sementara temannya langsung terpaku begitu melihat Sarah yang tanpa busana, mungkin baru pertama ini pemuda itu melihat begituan secara langsung, sama sepertiku waktu awal-awal dulu.
"Ayo makan dulu kalo gitu" perintah Sarah, yang ternyata langsung dilakukan oleh Ray.
Setelah satu pertandingan usai, dia bergegas menyusul ibunya ke dapur untuk makan siang.
"Kaget ya?" tanyaku kepada teman Ray setelah Ray ke dapur.
"I..iya bang, baru ini liat gituan langsung" balasnya agak terbata.
"Biasanya liat di film bokep yak hahaha" tawaku karena dia bernasib hampir sama sepertiku.
Dia hanya mengangguk dan kembali melongok ke arah dapur, mengamati tubuh mulus Sarah yang masih terlihat seksi meski dari kejauhan.
"Aku udah nggak kuat ini rasanya bang" ujar pemuda di depanku itu, entah siapa namanya aku juga belum tahu.
"Tenang, ntar kalo aku main game sama Ray, langsung datengi aja itu ibunya" sahutku memberi saran.
"Aman bang?" tanyanya dengan nada tertarik.
"Aman, tenang aja" balasku dengan kode tangan yang menyiratkan oke.
Beberapa saat kemudian Ray kembali ke depan, dia kembali mengajak aku untuk bermain game, yang tentunya aku setujui.
"Aku ke belakang dulu ya, Ray" pemuda itu berpamitan setelah kode dariku
kulihat Sarah masih berada di dapur, mencuci piring bekas makan, dia hanya memakai celemek saja.
"Oke" balas Ray acuh, permainan kami telah dimulai soalnya.
Setelah tiga permainan yang berakhir dengan kemenangan, Ray mulai merasa bosan, sementara Anton dan teman Ray masih belum kembali, terakhir aku lihat Sarah dan teman Ray masuk ke dalam kamar, dimana Anton juga masih ada di sana.
"Kamu udah pernah seks belum sama mama?" tanyaku tiba-tiba, memecah keheningan.
"Maksudnya seks gimana mas?" Ray balik bertanya.
"Ya bukan cuma oral kayak biasanya, tapi seks kayak di film-film bokep" balasku menjelaskan.
"Lah aku aja belum pernah liat bokep" balas Ray polos, seperti biasa tidak ada kebohongan dalam ucapannya.
"Ayo kita coba kalo gitu, daripada main game terus, udah bosen ini" sahutku yang disambut anggukan kepala Ray.
Kami berdua segera masuk ke dalam kamar.
Rupanya di sana Anton dan teman Ray sudah tergeletak tak berdaya di atas ranjang, sementara Sarah masih terlihat bugar. Bahkan wajahnya terlihat masih bernafsu, mungkin birahinya masih belum tuntas.
"Ayo sama aku, ma" ujar Ray penuh percaya diri.
"Sini sayang" balas Sarah.
Sarah merengkuh anak kesayangannya itu, keduanya terlibat pergumulan selama beberapa menit, sebelum keduanya sama-sama telanjang.
Dengan lihai Sarah mulai memainkan batang Ray yang mulai menegang, sementara Ray asyik mendesah keenakan. Aku hanya tersenyum melihat pemandangan indah itu, lalu beranjak pergi dari sana.
###
Esoknya, aku kembali bertemu Anton di warung biasanya, kali ini bersama lelaki yang aku tunggu-tunggu, cak Toyib. Seperti biasa, sebatang kretek sudah menyala di tangannya.
"Piye kabare cak?" sapaku ramah, kemudian duduk di kursi yang kosong.
"Sehat, Jo" balasnya singkat dengan senyumnya yang khas.
"Teko ndi ae cak kok gak tau ketok?" tanyaku lagi.
"Biasa, onok urusan negara Jo" jawabnya dengan nada bercanda.
"Koyok presiden ae cak-cak" sahutku agak kecewa dengan jawabannya yang nyeleneh.
"Jangan salah, Jo, dia ini emang presiden kok" potong Anton.
"Lho, wes podo akrab toh" sahut cak Toyib sebelum aku sempat menanyakan maksud Anton.
"Sudah dong cak, berkat janda hot" potong Anton.
"Jadi kapan mau ke sana lagi bro?" kali ini Anton bertanya kepadaku.
"Sendiri aja langsung ke sana, aku sudah nggak tertarik" balasku sembari tersenyum ke arah cak Toyib.
"Wah, bocah iki wes mulai paham toh" cak Toyib manggut-manggut mendengar ucapanku, diseruputnya kopi di cangkir yang tinggal separuh.
"Lumayan cak, wes mari sinau soale" balasku dengan nada bangga.
"Yauda kalo gitu, aku duluan ya" Anton terlihat menggebu-gebu meninggalkanku dan cak Toyib, sementara kami hanya terkekeh melihatnya.
Dua cangkir kopi kembali dihidangkan oleh pemilik warung, satu pack rokok juga masih terisi penuh, persediaan masih banyak, tidak ada jadwal narik hari ini, karena hari ini aku ingin mendengar kabar tentang hilangnya cak Toyib beberapa hari belakangan.
BERSAMBUNG..?? / TAMAT..??
Crot!! Crot!! Crot!!
"Payah lu, Jo. Masa baru gitu aja udah tumbang, pantesan istriku kurang puas katanya" komentar Anton.
Sesuai dugaanku, aku hanya tersenyum lalu menepi, sebuah misi telah terlaksana dengan baik.
"Tenang, ini masih bisa bangun lagi" balasku santai.
Namun Anton tidak menghiraukan balasanku. Dia lebih memilih mencumbu tubuh Sarah dari atas sampai ke bawah. Sementara aku memilih untuk keluar dari kamar, bukan karena malas melihat mereka, tapi aku mendengar suara ketukan pintu di depan. Begitu membukakan pintu, rupanya Ray dan temannya yang ada di sana.
"Ayo main lagi, mas" ujar Ray begitu melihatku.
Temannya ini nampak sama bersemangatnya dengan dia. Keduanya bahkan sudah menyiapkan handphone masing-masing di tangannya.
"Ayo dah" jawabku singkat.
Setelah itu kita bertiga larut dalam permainan yang menguras waktu dan emosi itu. Beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu kamar yang dibuka. Sarah muncul dalam kondisi masih telanjang bulat.
"Lho, Ray udah datang kok nggak bilang ke mama" komentarnya begitu melihat kita bertiga duduk-duduk di ruang tengah.
"Iya ini tadi langsung main sama mas Paijo soalnya" balasnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphone.
Sementara temannya langsung terpaku begitu melihat Sarah yang tanpa busana, mungkin baru pertama ini pemuda itu melihat begituan secara langsung, sama sepertiku waktu awal-awal dulu.
"Ayo makan dulu kalo gitu" perintah Sarah, yang ternyata langsung dilakukan oleh Ray.
Setelah satu pertandingan usai, dia bergegas menyusul ibunya ke dapur untuk makan siang.
"Kaget ya?" tanyaku kepada teman Ray setelah Ray ke dapur.
"I..iya bang, baru ini liat gituan langsung" balasnya agak terbata.
"Biasanya liat di film bokep yak hahaha" tawaku karena dia bernasib hampir sama sepertiku.
Dia hanya mengangguk dan kembali melongok ke arah dapur, mengamati tubuh mulus Sarah yang masih terlihat seksi meski dari kejauhan.
"Aku udah nggak kuat ini rasanya bang" ujar pemuda di depanku itu, entah siapa namanya aku juga belum tahu.
"Tenang, ntar kalo aku main game sama Ray, langsung datengi aja itu ibunya" sahutku memberi saran.
"Aman bang?" tanyanya dengan nada tertarik.
"Aman, tenang aja" balasku dengan kode tangan yang menyiratkan oke.
Beberapa saat kemudian Ray kembali ke depan, dia kembali mengajak aku untuk bermain game, yang tentunya aku setujui.
"Aku ke belakang dulu ya, Ray" pemuda itu berpamitan setelah kode dariku
kulihat Sarah masih berada di dapur, mencuci piring bekas makan, dia hanya memakai celemek saja.
"Oke" balas Ray acuh, permainan kami telah dimulai soalnya.
Setelah tiga permainan yang berakhir dengan kemenangan, Ray mulai merasa bosan, sementara Anton dan teman Ray masih belum kembali, terakhir aku lihat Sarah dan teman Ray masuk ke dalam kamar, dimana Anton juga masih ada di sana.
"Kamu udah pernah seks belum sama mama?" tanyaku tiba-tiba, memecah keheningan.
"Maksudnya seks gimana mas?" Ray balik bertanya.
"Ya bukan cuma oral kayak biasanya, tapi seks kayak di film-film bokep" balasku menjelaskan.
"Lah aku aja belum pernah liat bokep" balas Ray polos, seperti biasa tidak ada kebohongan dalam ucapannya.
"Ayo kita coba kalo gitu, daripada main game terus, udah bosen ini" sahutku yang disambut anggukan kepala Ray.
Kami berdua segera masuk ke dalam kamar.
Rupanya di sana Anton dan teman Ray sudah tergeletak tak berdaya di atas ranjang, sementara Sarah masih terlihat bugar. Bahkan wajahnya terlihat masih bernafsu, mungkin birahinya masih belum tuntas.
"Ayo sama aku, ma" ujar Ray penuh percaya diri.
"Sini sayang" balas Sarah.
Sarah merengkuh anak kesayangannya itu, keduanya terlibat pergumulan selama beberapa menit, sebelum keduanya sama-sama telanjang.
Dengan lihai Sarah mulai memainkan batang Ray yang mulai menegang, sementara Ray asyik mendesah keenakan. Aku hanya tersenyum melihat pemandangan indah itu, lalu beranjak pergi dari sana.
###
Esoknya, aku kembali bertemu Anton di warung biasanya, kali ini bersama lelaki yang aku tunggu-tunggu, cak Toyib. Seperti biasa, sebatang kretek sudah menyala di tangannya.
"Piye kabare cak?" sapaku ramah, kemudian duduk di kursi yang kosong.
"Sehat, Jo" balasnya singkat dengan senyumnya yang khas.
"Teko ndi ae cak kok gak tau ketok?" tanyaku lagi.
"Biasa, onok urusan negara Jo" jawabnya dengan nada bercanda.
"Koyok presiden ae cak-cak" sahutku agak kecewa dengan jawabannya yang nyeleneh.
"Jangan salah, Jo, dia ini emang presiden kok" potong Anton.
"Lho, wes podo akrab toh" sahut cak Toyib sebelum aku sempat menanyakan maksud Anton.
"Sudah dong cak, berkat janda hot" potong Anton.
"Jadi kapan mau ke sana lagi bro?" kali ini Anton bertanya kepadaku.
"Sendiri aja langsung ke sana, aku sudah nggak tertarik" balasku sembari tersenyum ke arah cak Toyib.
"Wah, bocah iki wes mulai paham toh" cak Toyib manggut-manggut mendengar ucapanku, diseruputnya kopi di cangkir yang tinggal separuh.
"Lumayan cak, wes mari sinau soale" balasku dengan nada bangga.
"Yauda kalo gitu, aku duluan ya" Anton terlihat menggebu-gebu meninggalkanku dan cak Toyib, sementara kami hanya terkekeh melihatnya.
Dua cangkir kopi kembali dihidangkan oleh pemilik warung, satu pack rokok juga masih terisi penuh, persediaan masih banyak, tidak ada jadwal narik hari ini, karena hari ini aku ingin mendengar kabar tentang hilangnya cak Toyib beberapa hari belakangan.
BERSAMBUNG..?? / TAMAT..??
Klik Nomor untuk lanjutannya