Nasib Shiela si Janda Cindo di Jakarta

cewek amoy


(Jakarta, Juli 2024)

Aku menatap cermin di kamar kosong itu, tangan gemetar memegang sisir yang nyaris terjatuh. Rambut hitam panjangku masih basah setelah mandi, menempel di bahu yang mulai memerah karena terik matahari Jakarta. Bau keringat dan sabun mandi murahan bercampur di udara lembap.

"Shiela, kamu harus kuat," bisikku pada bayangannya sendiri.

Tiga bulan sejak pindah dari Surabaya, tapi kamar sewaan di apartemen Tebet ini masih terasa asing. Dindingnya berjamur, AC berderak seperti mesin pemotong rumput, dan suara klakson dari jalanan di bawah tak pernah berhenti.

Anakku, Kevin, sudah berangkat sekolah SMA di bilangan Kuningan. Aku ingat betul raut wajahnya pagi tadi saat memakai seragam putih-abu-abu itu—sedikit malu ketika matanya tak sengaja melirik garis leher bajuku yang agak rendah.

"Mama, jangan pakai baju gitu kalau ke luar," katanya sambil menunduk.

Aku tersenyum pahit.

Di usia 38, tubuhku masih seperti patung marmer yang dipahat terlalu sensual: pinggang ramping, payudara berisi yang nyaris tak muat dalam bra berenda, dan kulit pucat warisan darah Tionghoa yang selalu membuat tetangga sebelah memelototi.

Pekerjaanku sebagai konsultan marketing untuk perusahaan kosmetik mengharuskanku sering video call. Hari ini, klien dari Bandung membatalkan janji. Aku memutuskan keluar untuk belanja ke Pasar Mayestik. Saat menuruni tangga apartemen, bau rokok kretek menyergap.

"Bu Shiela, mau ke mana?"

Suara itu datang dari Pak Andi, tetangga sebelah yang mukanya selalu berminyak. Laki-laki 45 tahun itu bersandar di pagar, kaos oblongnya melorot memperlihatkan perut buncit. Aku tahu matanya mengintip cleavage-ku.

"Ke pasar, Pak. Ada perlu?" jawabku singkat, mempercepat langkah.
"Dih, jangan kaku gitu. Kan kita tetangga," dia tertawa sambil meludah ke pot tanaman. "Nanti malem aku anterin martabak, ya? Kubayarin!"

Aku tak menjawab. Di Jakarta, setiap senyum laki-laki punya harga. Sudah dua kali aku menemukan surat kaleng di bawah pintu—tulisan cakar ayam berisi rayuan mesum.

***

Pasar Mayestik ramai seperti biasa. Aku memilih kain sutra untuk klien, sementara tangan-tangan tak dikenal "tak sengaja" menyenggol bokongku.

Saat membungkuk memilih bahan, aku dengar bisikan kasar: "Gile, toketnya tuh.. Mulus bener"

Mata berkaca-kaca. Di Surabaya dulu, suamiku yang selalu menemani ke mana-mana. Tapi kanker pankreas merenggutnya dua tahun lalu. Kini, aku hanya bisa menggigit bibir sambil membayar kain itu.

***

Sore hari, Kevin pulang dengan sepatu kotor.

"Mama, Rio nginep di sini boleh? Dia teman sekelasku," pintanya sambil menunjuk remaja tinggi bermuka tajam di belakangnya.

Rio berkulit sawo matang, rambut dicat cokelat, jaket SMA-nya dibiarkan terbuka. Matanya mengerling ke arahku terlalu lama.

"Tapi.."
"Plis, Ma! Rumah Rio jauh di Ciledug. Lagian besok kita ada tugas kelompok," Kevin merengek.

Aku menghela napas.
Rio tersenyum manis, tapi ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat bulu kudukku merinding.

"Terima kasih, Tante," gumannya.

Kata "Tante" itu diucapkannya dengan nada mengejek, seakan menantang statusku sebagai janda.

Malam itu, aku memasak mie ayam dengan tangan gemetar. Rio duduk di kursi makan, kakinya "tak sengaja" menyenggol betisku saat aku mengantarkan mangkuk.

"Wah, Tante pinter masak ya. Kalo gini mah cocok jadi istri kedua," ledaknya.

Kevin cuma tertawa bodoh.

Mereka mengerjakan tugas hingga larut. Aku pura-pura tidur di kamarku, tapi suara tawa Rio dan Kevin dari ruang tamu masih terdengar.

Pukul 11 malam, Kevin masuk kamar sambil menguap.

"Mama, Rio tidur di sofa ya. Dia bilang nggak mau merepotkan."
Jantungku berdebar. "Tapi—"
"Udah, Ma. Dia baik kok," potong Kevin sebelum menutup pintu.

Aku tak bisa tidur. Suara derit lantai kayu membuatku terbangun. Perlahan, kubuka pintu kamar. Cahaya lampu jalan masuk dari jendela, menyinari siluet Rio yang berdiri di depan kulkas. Dia hanya memakai celana pendek, otot perutnya yang kekar terlihat jelas.

"Tante juga haus?" tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh.

Aku tercekat.

"N-nanti saja," jawabku sambil buru-buru menutup pintu.

Tapi sebelum sempat, Rio sudah melangkah mendekat. Bau parfum murahan dan rokok menyeruak.

"Jangan takut, Tante. Aku cuma ambil air," bisiknya.

Tangannya "tak sengaja" menyapu pinggangku saat melewati tubuhku yang kaku.

***

Pukul 3 pagi, aku masih terjaga. Hujan deras menggema di luar. Aku membuka WA dan melihat pesan dari Pak Andi:

"Bu, martabaknya ready nih. Aku naik ke atas ya?"

Tangan gemetar. Aku hapus pesan itu, lalu memandangi foto suamiku di lockscreen.

"Maafkan aku, Yan," bisikku, sementara air mata jatuh ke bantal yang sudah basah.

Di ruang tamu, Rio mendengkur pelan.

===X=X===

(Jakarta, Agustus 2024)

Lilin aroma terapi vanila nyaris tak mampu menutupi bau apek kamar. Aku menatap laptop di atas kasur—desain kemasan body lotion dengan siluet wanita seksi harus kurevisi untuk kesembilan kalinya.

Klienku mengirim pesan: "Perbesar lagi bagian payudaranya. Konsumen kita suka yang vulgar." Tanganku mengepal.

Di sudut layar, notifikasi kalender mengingatkan: Besok kontrol rutin ke dokter kandungan. Usiaku 38, tapi tubuh ini masih bereaksi seperti gadis 20-an setiap kali stres.

Kevin sedang mandi. Suara air dari kamar mandi menyamarkan desah napasku yang berat. Tanganku merayap di bawah kaos oblong usang, jari-jari menggenggam payudara kiri yang mulai sensitif. Bayangan Rio tiba-tiba muncul—senyum sinisnya saat minggu lalu "tak sengaja" menjatuhkan pulpen di kolong meja, matanya menyapu celana pendekku yang terlalu ketat.

"Tidak..," geramku sendiri, mencubit pentil hingga nyeri.

Tapi imajinasi liar terus menari: tangan Rio yang bertato huruf Cina meremas bokongku, nafasnya panas di telinga..

*KLIK.*

Suara kamera shutter.

Aku membeku. Dari balik tirai jendela, lampu merah kamera CCTV berkedip pelan di balik ventilasi AC—persis mengarah ke kasurku.

***

Esok pagi, saat Kevin berangkat sekolah, kusisir setiap sudut apartemen. Di balik lukisan bunga di dinding kamar—kamera mini sebesar kuku. Di dalam pot tanaman palem di ruang tamu—lensa mungil tersembunyi di antara daun. Bahkan di tepi cermin kamar mandi, ada titik hitam yang selama ini kupikir jamur.

*Bzzz..*

HP bergetar. Nomor tak dikenal: **VIDEO-ANDA.mp4**.

Rekaman 47 detik. Aku jelas terlihat sedang masturbasi di kasur tadi malam—tangan meremas payudara, kaki mengangkang, mulut menganga. Di sudut video, timestamp: *25/08/2024 21:18*.

Pesan susulan: "Tante Shiela kalau sange suka julurkan lidah ya? Aku edit slow motion biar ekspresinya keliatan jelas. Mau aku sebar ke grup WA kelas Kevin?"

Kakiku lemas. Aku terjatuh di lantai keramik dingin.

***

Minggu berikutnya, Rio datang tiap hari dengan alasan "pinjam buku pelajaran Kevin".

Aku tak berani menolak. Di suatu sore saat Kevin sedang ke masjid untuk kegiatan remaja, Rio menyeringai di depan pintu.

"Kopinya kurang manis, Tante," katanya sambil menjilat sendok.

Kutambahkan gula dengan tangan gemetar. Saat kuletakkan gelas, tangannya menepuk bokongku keras.

"Ah!"
"Jangan teriak," bisiknya sambil mengeluarkan ponsel.

Di layar, video aku sedang telanjang di kamar mandi—tanggal kemarin.

"Kalau Tante nggak mau ini jadi tontonan teman-teman Kevin, lebih baik.." Jarinya mengusap leherku.

***

Hari ini, Kevin harus menginap di rumah Rendy—teman sekelasnya—untuk persiapan lomba debat.

"Rendy yang ngajakin, Ma. Dia jago public speaking," katanya sambil menenteng ransel.
Aku mengangguk saja.

Pukul 21.00, bel pintu berbunyi.

Rio berdiri di depan pintu dengan jaket SMA compang-camping.

"Aku tahu Kevin nggak di rumah," bisiknya sambil mendorong tubuhku masuk.

Pintu terkunci otomatis.

"Kamu.. bagaimana bisa—"

Dia menyodorkan screenshot chat WA Kevin ke wajahku: "Besok aku nginep di rumah Rendy, Ma. Jangan lupa kunci pintu ya."*

"Gampang hack WA Tante," ledaknya sambil meremas payudaraku yang ada dibalik kaos.

"Sekarang, mau aku upload video Tante yang lagi main jari, atau.." katanya kemudian menunjuk kontolnya sudah menegang di balik celana jeans.

Dia mendorongku ke meja makan. Pinggangku terbentur tepi marmer. Rio meniup kupingku sambil melucuti bra berenda, seketika payudara 36D-ku terjatuh bebas.

"Gile.. lebih gede dari yang di video," gumannya sambil menjilat puting kanan. Tangan kirinya meremas kasar, membuatku menjerit.

"Jangan Rio! Kevin..," teriakku tanpa arti.
"Kevin lagi latihan debat tentang moralitas remaja," ejeknya sambil menekan ponsel ke pipiku.

Di layar, video aku sedang menggapai-gapai orgasme di kasur.

"Ayo Tante, senyum ke kamera. Sekarang kita rekaman part 2."

Bajunya terbuka. Kontol bengkoknya sudah menegang—bau pre-ejakulasinya menyengat.

Aku menutup mata. Di kepala, bayangan suamiku berteriak: Lawan Shiela!

Tapi tangan ini malah meraih penis remaja itu, mengelus pelan seperti yang ada di video porno yang tak sengaja kusimpan di folder tersembunyi.

Kontol Rio yang melengkung dan berurat itu menggantung di depan wajahku, ujungnya meneteskan cairan pre-ejakulasi kental ke lantai. Bau anyirnya menusuk campuran keringat remaja nakal dan sabun mandi murahan. Aku menutup mata, tapi Rio mencengkeram rambutku hingga kulit kepala terasa nyaris terkoyak.

"Buka mulut, Tante. Bibir chindo-nya yang merah itu cuma bisa nyanyi lagu Mandarin, ya?" godanya sambil menggesek-gesek kepala kontol di bibirku yang bergetar.

Aku menggeleng, air mata jatuh ke pipi. Tapi Rio menampar lembut pipiku.

"Jangan cengeng. Nanti aku kirim video Tante nangis sambil nyepong ke grup alumni SMP Kevin."

Kontolnya menyodok masuk tiba-tiba. Lidahku terpaksa menjilat batang keras yang ada bekas jerawat itu. Rasanya asin, sedikit pahit. pre-ejakulasinyanya mengalir ke tenggorokan, membuatku tersedak.

"Jangan muntah, Tante. Kan sayang kalau makanan enak terbuang," ledeknya sambil mendorong kepalaku hingga hidungku menempel di rambut kemaluannya yang kusut.

Setiap kali aku mencoba menarik kepala, tangannya menekan tengkukku.

Suara jilatan basah memenuhi ruangan—*slurp*... *slurp*... *glek*.

Di luar, hujan deras menyamarkan eranganku yang tercekik.

Tiba-tiba Rio menarik kontolnya keluar, meninggalkan mulutku terbuka dengan liur menggantung.

"Cium aku," perintahnya sambil menarik rambutku ke atas.
Aku menggeleng liar.

Tapi bibirnya yang bau rokok sudah menyambar. Lidahnya yang kasar menyusup, mengaduk-aduk sisa pre-ejakulasinya di mulutku.

"Jijik...!" rengekku di antara ciuman paksa.

Dia tertawa, menggigit bibir bawahku hingga berdarah.

"Lidah Tante udah ahli nyepong, ya? Dulu sering latihan sama suami ya sebelum dia mati?"

Tangannya meremas toket kiri dengan brutal, kukunya meninggalkan bekas merah di kulit putihku.

Aku mencoba mendorongnya, tapi Rio menjatuhkanku ke kasur.

"Jangan banyak gerak. Aku mau nikmatin toket Tante yang susu banget ini," bisiknya sambil merobek kaus tidurku.

Bra berenda hitam terbelah dua, membiarkan payudara 36D-ku terpapar udara pengap.

Rio meniup perlahan di sekitar pentil kanan yang sudah berdiri kaku.

"Diam-diam Tante suka ya? Dijilat bo*ah 17th?"

Napasnya panas di kulit sensitifku. Aku menggigit bibir, berusaha menahan rangsangan. Tapi lidahnya yang licin tiba-tiba melingkar di puting, menyedot dengan kuat seperti bayi yang kehausan.

"Ah! Jangan... itu sensitif..." erangku dengan tanganku mencengkram sprei kotor.

Dia mengangkat kepala, mata penuh kemenangan.

"Tante udah basah, ya? Janda 38 tahun ketagihan dijilat pentil sama remaja nakal?"

Tangannya menyelip ke celana dalamku, jari telunjuk mengusap klitoris yang sudah membengkak.

"Memek Tante berdenyut-denyut nih. Aku bisa dengar suaranya... *blup... blup...*"

Aku menutup muka dengan bantal, tapi Rio merenggutnya.

"Lihat! Lihat di cermin! Payudara Tante goyang sendiri waktu dijilat!"

Cermin di lemari pakaian memperlihatkan bayangan tubuhku yang memerah—pentil kiri mengeras seperti kismis, tangan Rio meremas toket kanan hingga berubah bentuk.

Rio tiba-tiba berhenti.

"Aku mau sesuatu yang lebih spesial," bisiknya sambil menyeret tubuhku ke ujung kasur.

Kaki-kaki kursi plastik di sudut ruangan digeser, meninggalkan bekas di lantai.

Dia membuka kausnya, memperlihatkan perut sixpack yang kontras dengan kulit sawo matangnya.

"Jilat perut aku, Tante. Sambil pegang kontol ini." pintanya sambil menuntun kontolnya yang masih basah oleh liurku menempel di pipiku.
"Tidak... aku tidak mau..."

Tapi Rio sudah menekan ponselnya di pelipisku. Di layar, video aku sedang masturbasi dengan menggunakan timun dua hari lalu.

"Kalau Tante nggak nurut, besok video ini aku kasih judul *Janda Chindo ML sama Sayuran*."

Dengan gemetar, lidahku menyentuh perutnya yang berkeringat. Garam dan bau keringat remaja memenuhi indra. Tangan kananku terpaksa menggenggam kontolnya yang semakin keras, memompa pelan seperti robot.

"Enak ya, Tante? Rasakan nih bo*ah 17th jago bikin janda ketagihan."

Tiba-tiba Rio mendorong kepalaku ke selangkangannya.

"Sekarang jilat biji aku. Pelan-pelan, kayak Tante lagi makan bakso Tionghoa."

Kontolnya yang berdenyut-denyut menyentuh alisku. Aku menjerit kecil, tapi lidah terpaksa menjilat kantung kemaluannya yang bau anyir.

"Bagus... Tante emang bakat jadi pelacur." Tangannya meraih gunting kuku di meja samping kasur.
"Kalau Tante berani gigit, aku potong putingnya satu-satu."

Di tengah kejijikan, aku merasakan sesuatu yang aneh—aliran panas di selangkangan. Tubuh ini mulai merespons, meski otak menjerit untuk melawan. Rio melihatnya. Dia tersenyum sadis sambil merobek celana dalamku.

"Waktunya Tante merasakan lidahku," bisiknya, mendorong pahaku hingga terbuka lebar.

***

Rio menatap ke bawah, matanya menyala seperti predator yang menemukan mangsa.

"Tante Shiela chindo manis.. memek-nya masih kayak perawan," bisiknya sambil meniup perlahan di atas klitorisku yang berdenyut. Napasnya panas, kontras dengan udara AC yang bocor.

Aku mencengkeram sprei kotor, tubuhku menggelepar saat lidahnya yang kasar menyapu lipatan sensitif.

"T-Tidak.. jangan..!" rengekku lemah.
Tapi Rio menggeram puas. "Bohong. Memek Tante udah banjir.. Bau sange*nya aja kayak susu basi."

***

Lidahnya menusuk dalam-dalam, bergerak spiral seperti ular. Aku terlempar ke masa lalu—bayangan suamiku yang selalu terburu-bubu saat bercinta, tak pernah menyentuh di sini.

"Yan..," desahku tanpa sadar.

Rio menghentikan jilatannya.

"Siapa Yan?" hardiknya sambil mencubit paha dalamku hingga memerah.
"Malam ini, Tante cuma milik Rio."

Dia bangkit, kontol bengkoknya menempel di perutku yang berkeringat.

"Sekarang giliran Tante merasakan goyangan Jakarta," ledaknya sambil membanting tubuhku ke kasur.

Dia menghujamkan kontolnya sampai hampir membuatku pingsan karena kembali bisa merasakan kenikmatan.

"Ahh" desahku.

*Missionary*.

Posisi paling klasik, tapi Rio mengubahnya jadi siksaan manis. Kontolnya menyodok tanpa ampun, menghancurkan setiap lipatan memek yang sudah lama tak tersentuh. "Lihat! Toket Tante goyang sendiri!" teriaknya sambil mempercepat dorongan.

Payudara 36D-ku benar-benar bergoyang liar, membentuk gelombang susu pucat di udara pengap.

"Ah! Pela.. pelan..," erangku setengah sadar, lidah terjulur menahan rangsangan.

Rio menampar lembut toket kiriku. "Panggil nama aku! Bilang, 'Rio, aku mau cum!'"

Aku menggigit bibir hingga berdarah. Tapi tubuh ini khianat—memek berdenyut kencang, memancarkan suara *cecres* basah yang memalukan. Rio tertawa, menggigit puting kanan sambil mempermainkan klitorisku dengan jempol.

*Woman on top*.

"Giliran Tante," bisik Rio tiba-tiba, membalikkan posisi.

Kontolnya masih tertanam dalam, sekarang menghadap ke atas.

"Goyangin itu chindo ahhss!"

Aku mencoba melawan, tapi tangan Rio meremas pantatku hingga jari-jarinya tenggelam di daging putihku.

"Kalau nggak, gue screenshoot video kita terus ku kirim ke temen-temen Kevin," ancamnya sambil menggesek-gesek toketku ke wajahnya.

Dengan isak, kuangkat pinggulku. Memek yang sudah sensitif langsung menguncup kencang.

"Ah! Sial..!" Rio mendesis, matanya melotot liar.

Goyanganku jadi tidak terkontrol—naik turun seperti wanita kesurupan. Bayangan suamiku di foto pernikahan di meja samping kasur seolah menatap hina.

"Maaf.. maaf..," desahku di antara erangan, tapi orgasme sudah mendekat seperti kereta api malam.

"AKU KELUARRR!!" jeritku keras

Tubuhku kejang-kejang, memek mengerut kencang menyedot kontol Rio. Cairan panas menyembur dari dalam, mengalir di selangkangannya yang berbulu. Rio mendongak, lehernya menegang.

"Dasar janda.. memeknya ngehisap kontolku kayak vakum..,"

Tangannya kemudian mencengkeram pinggangku.

"Ronde two," bisiknya sambil menggigit leherku, kontol yang masih ereksi menegang lagi di bawah remang lampu neon.

Di luar, hujan masih menggila. Jakarta mengaum dalam gelap, menyimpan semua suara erangan, cipratan, dan tangis yang tersembunyi di balik dinding apartemen berlumut.

***

Lima minggu berlalu. Tubuhku sudah hafal ritme Rio: Senin dan Kamis saat Kevin ikut ekskul basket.

Sabtu sore ketika anakku "belanja buku" ke Gramedia.

Tapi hari ini berbeda,

"Ma, Rio bantuin aku ngerjain makalah sosiologi," kata Kevin dari ruang tamu, laptopnya terbuka di meja kayu lapuk.

Rio duduk di sebelahnya, kaos ketat memperlihatkan otot lengan yang kini sering mencekik leherku.

"Aku jago analisa data, Tante," bisiknya sambil mengerling ke arahku yang sedang cuci piring.

Saat aku selesai dan sedang mengelap tangan di celemek, Rio tiba-tiba berdiri.

"Tante, ada jus nggak? Aku haus," panggilnya keras.

Kevin asyik mengetik.

"Di.. di kulkas," jawabku gugup.

Rio membuka pintu kulkas, tubuhnya menghalangi pandangan Kevin.

"Jusnya mana, Tante?" desisnya sambil meremas bokongku.
"Jangan di sini," bisikku gemetar.

Tapi tangannya sudah membuka kancing celanaku.

"Tante lupa? Video kita di kamar mandi minggu lalu masih ada di cloud-ku," ancamnya pelan, kontolnya yang setengah tegang menyodok pantatku.

Dia mendorongku ke lantai di balik meja makan. Dari ruang tamu, suara keyboard Kevin masih *klak-klik*.

"Buka mulut" Rio berbisik.

Tangan kirinya menekan kepalaku ke selangkangannya. Aku terisak—precum-nya sudah membasahi celana dalam. Bau anyir itu memenuhi indra, tapi memek-ku langsung berdenyut nakal.

"Ma, ada snack buat kami?" tanya Kevin tiba-tiba.

Rio menghentikan gerakan. Bibirku nyaris menyentuh kontolnya yang kini keras sempurna.

"Jawab" desis Rio sambil menggesek-gesek kepala kontol di pipiku.
"Se.. sebentar, Sayang! Mama.. sedang cari kacang," erangku, suara tercekik hasrat dan panik.
Rio memijat tengkukku. "Pinter. Sekarang jilat sampai bersih."

Lidahku terpaksa menyusuri batang kontolnya yang berurat. Precum asin menetes ke lidah, memicu refleks mual yang cepat kutahan. Di atas kepala, Rio mendesah pelan.

"Enak ya? Kontol bo*ah SMA lebih gede dari almarhum suami Tante?"

Tanganku mencakar lantai. Tapi benar—Yan dulu hanya seukuran jari telunjuk, sedangkan Rio..

"Ma, kok lama banget?" Kevin berdiri.

Aku membeku. Rio malah mendorong kontolnya lebih dalam ke mulutku.

"Lanjutkan. Atau aku teriakin ke Kevin kalau Tante hobi ngentot," bisiknya sambil memegangi kepalaku.

Terdengar kaki Kevin berjalan mendekat. Rio menggerakkan pinggulnya pelan-pelan, kontolnya menyodok tenggorokanku. Air mata mengalir deras—tapi di bawah rasa jijik, ada getar enak yang membuat memek-ku basah sendiri.

"Tuh kacangnya di rak atas," kata Rio tiba-tiba ke arah Kevin, seolah tak terjadi apa-apa.

Badannya tetap menutupiiku yang sedang tersungkur di lantai.

"Ouh, makasih," sahut Kevin sebelum kembali ke kursi.

Rio menatapku dari atas, senyum puas.

"Telan," perintahnya sambil meremas toket-ku.

Aku tersedak saat mani panas tumpah ke kerongkongan. Rasanya pahit, lengket, tapi Rio memaksa tetap menekan kepalaku hingga tak setetes pun terbuang.

Setelah melepaskan kontolnya, Rio berbisik: "Tante udah *hafal* rasa sperma aku, ya?"

Aku terbatuk-batuk, tangan menutupi mulut yang masih berbau seks.

Di ruang tamu, Kevin bertanya: "Ma, mama kenapa batuk-batuk gitu?"
"Ti.. tadi keselek air," jawabku sambil merapikan baju.

Tapi Rio sudah membuka ritsleting celanaku, menarik celana dalamku sampai ke lutut.

"Jangan banyak gerak. Kevin masih di ruang tamu," bisiknya kemudian menggigit telingaku.

Kontolnya yang melengkung ke atas sudah menempel di celah bokongku.

"Tapi.. di sini—" kataku
"Diam," desisnya sambil menekuk tubuhku ke meja dapur.

Perutku terhimpit permukaan granit dingin, toketku terjepit hingga berbentuk gepeng. Dari sudut mata, kulihat Kevin sedang asyik mengetik—jarak kami hanya tiga meter dengan tirai tipis sebagai pembatas.

Kontol Rio menyodok memek-ku dari belakang tanpa foreplay.

"Dalam.. ya..," Rio menggeram puas, tangan mencengkeram pinggulku hingga memerah.

Aku menggigit lengan sendiri untuk menahan erangan, tapi desah pendek tetap lolos.

Kevin menoleh. "Ma, tadi ada suara aneh."

Rio malah mempercepat dorongan. "Jawab" bisiknya sambil menjilat leherku.

"A—ada tikus.. Mama ke.. ketakutan.." suaraku terpatah-patah.

Rio tertawa senyap, jari meremas toketku yang terjepit meja.

Ritme tubuhnya semakin brutal. Kontolnya yang melengkung itu menyentuh titik dalam yang tak pernah tersentuh Yan.

"Enak ya? Memek janda 38 tahun cocok sama kontol SMA," ledek Rio.

Bibirnya menyedot leherku, meninggalkan bekas merah.

Aku mencoba menahan nafas, tapi tubuh ini khianat—memek berdenyut kencang, liur menetes dari mulut yang tergigit.

Di ruang tamu, Kevin berdiri. "Aku mau ambil air."

"Jangan berhenti..," erangku tanpa sadar.

Rio tersenyum sadis, menarik rambutku ke belakang. "Tante minta lebih?"

Kaki Kevin mendekat. Rio mendorongku lebih dalam ke meja, toket-ku bergoyang liar setiap kali kontolnya menghantam serviks.

"Ciee.. janda kesepian sampai nggak bisa nahan nafsu" bisiknya sambil merekam wajahku yang berkaca-kaca dengan ponsel.

"Berisik nggak sih? Kok kayak ada suara desah-desah gitu?" kata Kevin dari balik tirai.

Aku membeku. Tapi Rio malah menghentak lebih kencang. "Pura-pura batuk," perintahnya.

"Ehem—ehem! Maaf.. Mama.. masuk angin.." jawabku sambil menggigit bibir.

Rio memutar-mutar kontolnya di dalam, membuatku nyaris menjerit.

"Tante keenakan ya? Bibirnya sampe ngiler.." Rio berbisik, lidahnya menyapu liur di sudut mulutku. Tangannya meremas toket kiri dengan brutal, kuku melukai kulit pucat.

Aku mengangguk tak terkendali. Rasanya seperti dihancurkan dan dibangun kembali—kontol SMA itu menghantam setiap sudut gelap yang tak pernah kusentuh sendiri.

"Stop.. nanti.. nanti Kevin—"
"Justru ini yang bikin enak, kan?" Rio mendesis, memperlambat gerakan untuk menyiksa. "Memek Tante.. hafal banget sama ukuran kontolku."

Kevin membuka kulkas persis di belakang kami. Rio menekan tubuhku lebih rata ke meja—posisi doggy style yang membuat kontolnya masuk lebih dalam. Aku menatap wajah polos anakku yang sedang menuang air mineral, sementara di bawah pinggang, Rio menggoyang-goyangkan tubuhku seperti boneka.

"Rio, lo mau air?" tanya Kevin.
"Nggak.. aku lagi fokus bantuin Tante," jawab Rio sambil meremas toket-ku hingga berbunyi *plak*.

Saat Kevin kembali ke kursi, Rio menggeram: "Aku mau keluar..."

Kontolnya berdenyut-denyut, mani panas membanjiri rahimku yang kosong. Aku menggigit tangan Rio untuk menahan erangan orgasme—rasanya seperti dicambuk dan dipeluk sekaligus.

"Jangan.." rengekku lemah.

Tapi Rio menampar bokongku. "Enak ya?"

Kevin tiba-tiba muncul di ambang pintu dapur. "Ma, kok mukanya merah banget?"

Aku berdiri terhuyung, cepat-cepat menarik celana. Rio sudah bersandar di kulkas, wajah polos.

"Tante lagi demam kayaknya," katanya sambil mengusap bekas gigitan di tanganku.
"Minum obat, Ma," kata Kevin sebelum kembali.

Napasku terengah-engah. Cairan Rio mengalir di paha dalam.

Jakarta menderu di luar jendela, menyaksikan setiap tetes mani yang merembes di celana.

***

Tali jemuran melilit pergelangan tanganku, mengikatku ke besi jeruji tempat tidur. Rio berdiri di depan cermin kamar mandi, kontolnya sudah tegak seperti pedang hari ini, dia bolos sekolah.

"Budak baik harus taat," bisiknya sambil menjilat liur di leherku.
Aku mengangguk otomatis, memek-ku sudah basah dari sentuhan pertama.

Dia mulai dengan cekikan. Tangan kotor itu mencekik leherku sementara kontolnya menghajar memek yang sudah hafal lekukannya.

"Bilang.. siapa yang punya memek ini?" tanyanya.
"Ri.. Rio.." erangku, mata berkunang-kunang.
"Siapa?!"

Plak! dia menampar toket kanan.

"Tuan Rio!" jeritku, tubuh bergoyang mengikuti irama siksaan.

***

Jari-jarinya jambak rambutku, memaksa kepala menghadap cermin.

"Lihat! Janda 38 tahun jadi budak nafsu bo*ah SMA!" Kontolnya masuk lebih dalam, membelah rahim yang sudah kosong bertahun-tahun.

Aku menjerit, tapi Rio menutup mulutku dengan tangan. "Jangan berisik. Nanti tetangga denger erangan mesum Tante."

Di cermin, bayangan tubuhku yang terikat bergoyang liar—toket bergelombang, liur menetes dari mulut, mata berkaca-kaca.

***

"Enak ya jadi pelacur pribadiku?" Rio menarik tali jemuran hingga pergelangan tanganku memerah. "Buka mulut."

Aku patuh. Kontolnya yang masih basah dari memek-ku menyodok masuk ke mulutku.

"Jilat sampai bersih," perintahnya sambil memutar-mutar kepala kontol di lidahku.

Rasa asin pre-ejakulasinya bercampur cairanku sendiri. Aku tersedak, tapi Rio menertawakan kelemahanku.

"Tante udah *hafal* rasa ini, kan?"

***

Siang itu, Jakarta terik di luar jendela. Tapi kamar ini dingin oleh keringat dan desahan. Rio mengubahku jadi boneka seks —terikat, telanjang, dan enak-.

"Besok.. aku bawa teman," bisiknya tiba-tiba, kontolnya menggenjot lebih kencang. "Tante mau jadi budak kami berdua?"
Aku mengangguk.

Penolakan terakhir runtuh bersama air mata yang mengalir ke bantal.

***

Di kejauhan, bel sekolah berbunyi—Kevin pulang tiga jam lagi.

Tapi Rio belum selesai. Kontolnya terus menghujam, mengukir status baruku di daging yang sudah lelah.

***

Lampu neon kamar berkedip-kedip, memantulkan bayangan grotesk di dinding berjamur. Aku tak tahu berapa jam sudah tubuh ini jadi mainan, kaki gemetar menopang posisi doggy style, lubang anal terbuka lebar ditembus kontol Rio yang kejam. Leherku tercekik tali jemuran biru, ujungnya dililitkan ke tangan kanan Rio yang sesekali menariknya seperti mengendalikan hewan.

"Siapa.. yang.. punya.. lubang.. tai.. ini?!" Rio mendesis, setiap kata diikuti tamparan keras ke pantatku yang sudah merah.
"Pu..punya.. Tuan.. Rio..!" jeritku, *liur* menetes deras membasahi karpet kotor.

Mata julingku memandangi cermin di depan—wajahku yang *ahegao* dengan lidah terjulur sepanjang telapak tangan, tulisan "BUDAK SEX CHINDO" dan "TOKET 36D UNTUK SEMUA" terpampang di punggung dan paha dengan spidol hitam.

Dia mempercepat hantaman, kontolnya menyapu dinding usus yang sudah bengkak.

"Anjing! Kontol gue enak nggak?!" tamparannya semakin keras, suara *plak-plak* kulit berbenturan memenuhi ruangan.
"Enaaaak! Tuan Rio.. kontolnya.. ngenyot.. usus..!" raungku histeris, tangan terkunci di belakang punggung.

Tiba-tiba—

*Kreek..*

Pintu kamar berderit pelan.

"Ma..?" suara Kevin dari balik pintu.

Rio tersenyum sadis. "Sekarang.." bisiknya sambil menarik tali leherku hingga napas tercekat, "..teriak lebih keras*."

Kontolnya menghajar analku seperti bor listrik.

"AAAAAH! TUAN RIO! LUBANG PANTATKU!!!" teriakku tak terkendali, mata melotot ke arah pintu yang perlahan terbuka.

Kevin berdiri membeku. Tas sekolah jatuh dari pundaknya.

Di cermin, kulihat pantulan wajahnya pucat, mulut menganga, pupil melebar menatap ibunya yang telanjang dengan Tali kekang di leher, tubuh penuh tulisan cabul, dan Rio yang tertawa puas sambil terus *menggenjot*.

"Ma.. Mama..!!"

Jakarta berhenti berputar.

Kevin melompat seperti harimau, tinjunya mengarah ke kepala Rio. Tapi Rio tanpa melepas genjotan di pantatku menangkis dengan satu tangan.

"Sialan, lu lemah kayak bapak lu yang mati kena kanker!" ledaknya sambil mendorong Kevin hingga terpelanting ke lemari.
"Ma! Dia perkosa Mama?!" teriak Kevin, suaranya pecah antara amarah dan keputusasaan.

Aku menggeleng, liur menetes ke karpet.

"Enak.. Kevin.. Mama.. suka kontol Rio.." erangku, kepala terguncang-guncang mengikuti ritme genjotan brutal.

Rio menarik tali di leherku hingga napasku berbunyi kreek.

"Liat tuh, kontol lo aja tegang," Rio mengejek, menunjuk celana Kevin yang memang menonjol.

"Gue ajarin mama lo jadi budak enak. Sekarang dia cuma bisa ngejek kontol kecil almarhum suaminya!"

Kevin mencoba menyerang lagi, tapi Rio menendangnya dengan kaki hingga dia terjatuh di samping tempat tidur.

"Gue masih belum kelar!" Geram Rio sambil mempercepat genjotan, memekku berbunyi *blup-blup* basah.

"Tuan.. Rio.. aku mau crot!" raungku, tangan meraih bayangan Kevin yang terduduk lemas. Tubuh ini bergoyang liar, pantat merah menahan tamparan.

Rio menggeram, kontolnya berdenyut-denyut di dalam rahimku.

"Ini buat janda enak!" Dia menghajar memekku hingga aku menjerit histeris.

Crot! Crot! mani panas membanjiri rahim yang sudah jadi miliknya.

Rio kemudian melepaskan ikatan tali.

"Sekarang.." bisiknya ke telingaku sambil menunjuk Kevin yang menangis di sudut, "..gue mau lo entot anak lo sendiri."

Aku merangkak ke arah Kevin seperti anjing birahi, mani Rio menetes dari memekku ke lantai.

"Kevin.. Mama butuh kontol.." kataku.

Tanganku kemudian membuka kancing celananya.

Anakku menjerit: "Mama, jangan—!"

Tapi Rio sudah merekam dengan ponsel. "Gue mau videoin janda chindo perkosa anak sendiri!"

Kulit Kevin dingin di bawah jari-jariku. Aku menatapnya, nak yang kususui dulu dengan toket ini, yang kupeluk saat pertama kali belajar jalan. Kini gemetar seperti daun di bawah tubuhku yang penuh tulisan cabul.

Rio berdiri di belakang, kamera ponselnya merekam setiap detil.

Kontol Kevin yang setengah tegak kujilat pelan, liurku membasahi celana dalamnya yang basah oleh ketakutan.

"Sialan.. enak juga ya punya mama pelacur," ledek Rio sambil mendorong kepalaku ke selangkangan Kevin. "Liat tuh, kontol lo makin keras!"

Benar saja. pikirannya terisak tangis, tapi kontol Kevin semkin menegang, tubuh polosnya terjebak antara jijik dan naluri nafsu.

Aku naik ke atasnya tanpa ciuman, tanpa belaian. Memekku yang masih basah oleh mani Rio langsung menelan kontol anakku sendiri. Kevin menjerit, tapi eranganku lebih keras.

"Aaaah! Enak.. Kevin.. kontolmu.. mirip.. bapakmu..!"

Rio tertawa sambil merekam wajah Kevin yang hancur. "Gue kasih mama lo jadi budak seks, sekarang dia malah enak sama kontol lo!"

Kevin mencoba mendorongku, tapi Rio menahan bahunya.

"Liatin! Ini memek yang melahirkan lo!" teriak Rio sambil merentangkan memekku dengan dua jari, memperlihatkan bagaimana kontol Kevin masuk-keluar dari rahim yang dulu jadi rumah pertamanya.

Aku menggeliat nikmat, tangan meremas toketku sendiri.

"Mama.. sayang.. ini.. salah.." erangku parau, tapi pinggul terus bergoyang.

Rio tiba-tiba menarik rambutku ke belakang. "Crotm di dalam!" perintahnya.

Aku mengangguk liar. Tubuh Kevin menegang, kontolnya berdenyut,

Crot! Crot! mani remaja murni membanjiri rahimku yang sudah tercemar. Di saat bersamaan, orgasmeku menyambar seperti petir, membuatku menjerit hingga suara serak.

Rio mematikan rekaman. "Sekarang.." bisiknya ke telingaku sambil menunjuk Kevin yang pucat dan terdiam, "..lo udah jadi persis kayak mama lo."

Aku merangkak turun, menjilat sisa mani yang menetes dari kontol Kevin. Anakku tak lagi menangis, matanya kosong menatap langit-langit kamar, tubuhnya menggigil seperti anak kecil yang kehilangan nyawa tanpa benar-benar mati.

Rio membuka jendela, asap rokoknya bercampur udara malam Jakarta yang pengap.

"Besok kita edit video ini.." katanya sambil menendang tubuh Kevin yang terkapar. "Buat bahan pembelajaran teman-teman."

Aku ingin berteriak, tapi yang keluar hanya desahan patuh. Kevin tiba-tiba bangkit, wajahnya berubah jadi topeng kosong. Tanpa sepatah kata, dia berjalan keluar kamar, tubuhnya limbung, sepatu tertinggal, tas sekolah terinjak-injak di lantai.

"Kevin!" panggilku, tapi Rio menamparku.

"Dia udah bukan anak lo lagi," bisiknya. "Sekarang lo cuma punya gue."

Pintu apartemen terbanting. Langkah Kevin menjauh di lorong terdengar seperti derap mayat hidup. Aku merangkak ke balkon, melihat tubuhnya yang kecil terserap gelapnya kota. Rio menarikku dari belakang, kontolnya sudah menegang lagi.

"Main lagi," perintahnya

Di kejauhan, sirene ambulans meraung. Tapi Jakarta tak peduli. Seperti biasa.

***

EPILOG: JAKARTA MENELAN SEGALANYA

Tiga tahun kemudian.

Kamar kos di Tebet itu masih berbau apek, jamur merayap di sudut-sudut yang sama. Aku duduk di lantai, kaki terentang memamerkan tulisan "*BUDAG SEKSUAL 40TH*" di paha yang mulai keriput.

Rio kini mahasiswa semester tiga sedang mengemas koper.

"Gue pindah kos dekat kampus," katanya sambil melemparkan flashdrive berisi semua video kami. "Ini hadiah perpisahan. Tante bisa jual online."

Di dinding, foto keluarga kami yang berdebu akhirnya jatuh. Kaca pecah menyembulkan potret Kevin tersenyum di kelas 1 SMA senyum yang sudah tak pernah kulihat lagi sejak malam itu.

***

Kadang aku melihatnya di stasiun MRT Bundaran HI, rambut panjang kusut, seragam kampus kotor, mata kosong menatap perempuan-perempuan yang lewat. Tapi saat kupanggil namanya, dia lari sambil tutup telinga seperti dikejar hantu.

***

Malam ini, Rio datang terakhir kali.

"Ini buat jasa lo selama ini," bisiknya sambil memasukkan selembar foto ke dalam braku.

Foto itu menunjukkan Kevin di klub malam, telanjang dada, tatapan hampa, dikelilingi lelaki paruh baya yang tangan-tangannya mencengkeram pahanya.

Aku meremas payudara sendiri hingga biru, mencoba merasakan sesuatu. Tapi yang tersisa hanya gema erangan Rio di telinga: "Tante cuma bisa jadi ini—"

***

Jakarta masih ramai di luar jendela. Lampu neon iklan rokok menyala-nyala, menerangi spanduk baru di jalan: "*KOTA INI TIDAK PERNAH BERUBAH*".

Aku berbaring di lantai, jari-jari menyentuh flashdrive berisi 128GB kenangan najis. Dari ponsel butut, notifikasi aplikasi *dating* berbunyi—permintaan dari akun anonim: "*Janda 40TH siap live gangbang?*"

Kuusap layar yang retak. Di balik retakan itu, bayangan diriku yang dulu Shiela dengan mata berbinar saat pertama kali datang ke Jakarta, tersenyum getir sebelum akhirnya ikut larut dalam riuh rendah kota yang tak pernah bertanya.

TAMAT

Klik Nomor untuk lanjutannya
novel cerita dewasa sex seks ngocok semprot.com, crot peju didalam liang kewanitaan memek vagina nonok miss v, berita gadis sekolah prawan diperkosa sampai hamil pingsan tragis, janda sange sama ngentot tetangga ketahuan anak, selebgram dan tiktokers live colmek ML ngewe ngentot link viral syur, ketagihan kontol om ayah kakak ipar tiri, biduan dangdut tobrut dikeroyok kontol, fuck my pussy. good dick. Big cock. Yes cum inside. lick my nipples. my tits are tingling. drink my breast. milk nipples. play with my big tits. fuck my vagina until I get pregnant. play "Adult sex games" with me. satisfy your cock in my wet vagina. Asian girl hottes gorgeus. lonte, lc ngentot live, pramugari ngentot, wikwik, selebgram open BO,cerbung,cam show, naked nude, tiktokers viral bugil sange, link bokep viral terbaru
x
x