Seri 2 - Petualangan si Anak Nakal

SEBELUMNYA..

Seri 1 - Petualangan si Anak Nakal


syakirah viral video syur ngewe sampe kejang cewek amoy


Nuraini pernah memergokiku bercinta dengan bunda. Saat itu aku tak mengira kalau Nuraini akan pulang lebih awal. Aku dan bunda sedang bercinta hebat di atas kasur.

Aku menyadarinya saat lupa menutup pintu kamar, bunda membelakangi pintu dan posisiku saat itu memangkunya. Terlihat jelas penisku masuk ke kemaluannya dan Nuraini terbelalak menyaksikan kami berdua. Ia mematung sejenak, namun karena aku juga menatap matanya, ia pun segera pergi. Segera setelah itu aku menggenjot bunda lebih cepat untuk orgasme.

Setelah selesai. Aku buru-buru mencabut penisku.

"Tumben cepet, ada apa?" tanyaku.

"Nuraini melihat kita bunda," jawabku.

"Apa?" bunda kaget sekali.

Ia segera berpakaian. Aku juga.

Dan saat itu tampak Nuraini diam saja melintasi kamar kami. Aku dan bunda saling berpandangan.

"Nur! Nur!" panggil bunda.

Tapi Nuraini tak menoleh.


===x0x===


Malamnya Nuraini tampak membisu di depan tv. Aku dan bunda pun ada di sana.

"Kenapa bunda dan kakak melakukan hal itu?" tanyanya.

"Maafkan bunda Nur, bunda melakukannya karena memang ini salah bunda. Karena bunda sudah lama ditinggal ayahmu. Dan karena bunda takut untuk dekat dengan lelaki lain," kata bunda.

"Tapi kenapa harus kak Doni?" tanyanya.

"Ya karena bunda takut dengan lelaki lain, itulah sebabnya," jawab bunda.

Nuraini menutup wajahnya.

"Terus terang Nur malu bunda, malu. Kenapa bunda malah melakukan hal yang memalukan itu bersama anak sendiri?" tanyanya.

"Nur, dengarlah.. kakak melakukan ini karena suka sama suka. Bukan karena paksaan dan juga karena kakak kasihan kepada bunda. Tahukah kamu bagaimana bunda sangat merindukan ayah? Kalau misalnya bunda dengan lelaki lain yang tidak jelas melakukannya apa kamu rela? Mau kamu bersama lelaki lain yang tidak jelas asal-usulnya, rela kamu punya ayah baru yang tidak bisa membahagiakan bunda?" tanyaku.

Nuraini diam. Ia menatapku. Ia berpikir sejenak.

"Tapi.. kenapa harus kakak?" tanyanya.

"Karena kakak orang yang mendekati ayah. Kakaklah orang yang dibutuhkan oleh bunda dan karena kakak selalu ada di samping bunda, makanya siapa lagi yang bisa dipercaya oleh bunda? Kakak selalu ada di sisi Bunda, kakak tahu ini salah, tapi apakah kamu tega dengan perasaan bunda?" tanyaku.

Nuraini terdiam. Ia melihat ke arah bundanya.

"Nur, maafkan bunda," bunda memeluk Nuraini.

"Nur, bisa memaafkan bunda. Asalkan Nur minta satu hal bunda," kata Nur.

"Apa itu sayangku?" tanya bunda.

"Ijinkan Nur bersama bunda menjadi suami kakak," kata Nur dengan lugu. Kami berdua terkejut.

"Nur, itu tidak mungkin," kata bunda. "Kamu adiknya."

"Kalau bunda boleh kenapa Nur tidak? Sebenarnya saya sudah lama mengagumi kakak sendiri, mungkin Nur terkena sister complex, tetapi terus terang Nur kecewa ketika melihat Kak Doni begituan ama bunda, cemburu Nur. Cemburu ama bunda," kata Nur sambil terisak.

Bunda terdiam. Ia pun bingung. Saat itulah Kak Vidia baru pulang dari kampus. Ketika melihat kami semua berkumpul ia pun bingung.

"Ada apa?" tanya Kak Vidia.

"Baiklah, memang semuanya harus tahu apa yang terjadi karena kita adalah keluarga," kataku. Kemudian aku menceritakan semuanya. Hubunganku dengan bunda, dan bagaimana aku suka kepada kakakku sendiri. Kemudian juga Nur yang juga suka. Ini benar-benar keluarga incest.

"Kita semua memang salah, ini sudah terlanjur," kata bunda. "Maafkan bunda yang tidak bisa mendidik kalian. Baiklah ini hanya jadi rahasia kita. Maukah kalian menjaganya? Vidia? Doni? Nur?"

Kak Vidia tampak matanya berkaca-kaca.

"Mulai sekarang, Doni adalah kepala rumah tangga. Terserah kepada dia ingin menggilir siapa. Bunda ijinkan dia menjadi suami kalian. Demi keutuhan keluarga ini. Bagaimana? Kalian setuju?" tanya bunda.

Kak Vidia langsung memeluk bundanya, "Bunda, Vidia sangat bahagia sekali."

Nur juga memeluk bundanya. Aku terdiam. Bingung dengan keadaan ini sekarang.

"Doni, sekarang kamu adalah suami kami. Perlakukanlah kami dengan baik. Di luar memang kita adalah keluarga, tapi di dalam kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jadilah kepala keluarga yang baik. Malam ini bunda akan menyiapkan Nur untukmu, karena Nur masih gadis. Vidia, tolong siapkan suamimu," kata bunda.

Kak Vidia mengangguk.

Aku kemudian digandeng kak Vidia ke kamarnya. Di dalam kamarnya kak Vidia mencubit pipiku.

"Kalau sainganku bukan bunda dan adikku sendiri, maka aku pasti akan marah habis-habisan kepadamu dek. Tega-teganya berselingkuh," kata Vidia.

"Maafkan aku," kataku.

Kak Vidia menggeleng. "Kau tidak salah. Ibu memang sedang rindu kepada ayah, pantas kalau beliau memilihmu. Karena kamu sangat mirip ayah. Entah kenapa, aku malah senang. Sini copot bajunya, aku mandiin"

Kak Vidia cekikian. Dia kemudian melepaskan bajuku satu per satu. Lalu ia pun begitu. Kami berdua masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya Kak Vidia.

Baru bulan kemarin kami membangun kamar mandi ini. Di dalam kamar mandi ini kami membersihkan diri, tapi juga sebenarnya adalah saling membelai. Aku menciumnya sambil memberikan sabun ke tubuhnya. Kak Vidia juga begitu, ia mengusap sabun ke seluruh tubuhku, bahkan menggosok-gosok dadaku, perut, ketiakku, penisku diurut-urut. Aku juga menyabuni buah dadanya, pantatnya. Ketika penisku yang tegang itu menyentuh kemaluannya ia mencubit perutku.

"Simpan tenagamu buat Nur, kita lakukan ini besok saja ya. Ini nih, udah besar nakal juga ternyata," ia meremas otongku.

Aku mengangguk.

Air pun mengguyur tubuh kami, terasa wangi tubuhku. Setelah itu aku balik ke kamarku, meninggalkan kak Vidia di kamarnya.Di sana aku memakai baju yang terbaik. Entahlah, aku koq malah seperti pengantin. Di dalam kamarku aku menunggu. Entah apa yang akan terjadi kemudian. Saat itulah pintu kamar di ketuk, Kak Vidia sudah ganti baju. Ia lalu duduk di sebelahku.

"Malam ini, engkau akan mengambil keperawanan Nur. Ada rasa tak rela sih, tapi karena Nur adalah adikku juga maka aku nasehatkan kepadamu, tolong jangan sakiti dia seperti engkau menyakitiku dulu," katanya.

"Apakah dulu aku menyakiti kakak?" tanyaku.

"Bukan, maksudku saat pertama kali masuk, aku sangat perih, perih sekali. Aku takut dia nanti kaget dengan ukuranmu itu. Hati-hatilah, nikmatilah malam pertama ini. Aku akan tunggu kamu besok, ok?" kak Vidia mengedipkan mata.

Kami lalu berciuman sebentar setelah itu ia meninggalkanku.

Tak berapa lama kemudian pintu diketuk lagi, Nur masuk diantar oleh bunda. Alamak cantik sekali. Aku tak pernah melihat Nur secantik ini. Ia didandani oleh bunda seperti bidadari. Ia masuk ke kamarku.

"Bunda tinggal ya," kata bunda. Lalu ia pergi.

Nur kemudian duduk di sampingku.

"Ini Nur? pangling kakak," kataku.

"Kak, Nur masih tak tahu bimbinglah ya," katanya.

Aku mengangkat wajahnya. Kukecup keningnya. Kedua kelopak matanya, hidungnya, pipinya, lalu bibirnya. Saat itu Nur masih kaku. Tapi aku tuntun. Kubuka sedikit mulutnya dan lidahku dan lidahnya sudah saling menghisap. Lipgloss yang ia pakai terasa manis.

Kemudian aku mengajaknya berdiri. Nur tak terlalu tinggi. Ia setelingaku. Kulepas bajunya satu per satu. Ia pun melepas bajuku. Kini kami berdua hanya memakai celana dalam. Kerudungnya aku lempar ke lantai. Kusuruh ia berlutut.

"Buka celana dalamku ya," kataku.

Nur melihat tonjolan besar di dalam sana. Ia penasaran dan ragu. Kemudian perlahan ia menurunkannya. Sebatang daging keras, berurat, panjang dan besar tiba-tiba keluar. Ia agak kaget. Entah karena ukurannya atau yang lain.

"Coba pegang, ciumi dan rasakan," kataku.

Nur pun melakukannya. Ia masih amatir. Terasa kaku bila memegang penisku. Ia ciumi kepala penisku. Rasanya tak muat kalau penis ini masuk ke mulutnya yang mungil. Kutuntun dia untuk mengurut penisku.

Kemudian aku ajari untuk menjilatinya, Nur tidak jijik, malah ia antusias, selalu bertanya, "Seperti ini? Apakah seperti ini?"

Ia kutuntun untuk menghisap telurku, menjilati pangkal penisku, kemudian memasukkan penisku ke mulutnya. Benar penisku tak cukup. Bahkan cuma kepalanya saja yang bisa masuk ke mulutnya yang mungil. Maka dari itu ia berikan rangsangan dengan memainkan lidah di ujung penisku, sambil mengocoknya.

Enak sekali. Aku nikmati sensasi mulutnya, lidahnya memberikan rangsangan yang luar biasa, mungkin karena ia masih lugu ia melakukan apapun yang aku inginkan. Setelah agak lama ia mengoral, aku menyuruhnya menyudahinya.

Nur aku suruh berdiri, kuciumi dia. Ia menyambut ciumanku, kemudian kuciumi dan kuhisap lehernya, kujilati telinganya. Ia menggelinjang. Saat aku hisap lehernya, kutinggalkan bekas di sana. Aku merasakan bulu kuduknya merinding.

Kemudian aku turun ke buah dadanya yang mirip bunda besarnya. Aku memang seakan tak percaya ia masih kecil tapi buah dadanya besar. Kubuka pengait branya. Saat itulah seolah-olah bra itu menahan luapan susu. Langsung buah dada itu seperti meloncat. Bra itu pun aku buang. Kemudian aku beri lagi cupangan-cupangan di buah dadanya yang putih, seputih susu. Lalu ia aku ajak untuk merebahkan diri ke ranjang.

Kuremas-remas buah dadanya, kanan dan kiri. Kupenceti putingnya.

"Ohh.. kaakk..," keluhnya.

Aku menghisapnya, menghisap puting yang berwarna pink kecoklatan itu. Kujilati, kuhisap lembut, kuat sambil kuremas. Nur meremas-remas rambutku, meremas-remas kepalaku. Kurasakan bulu kuduknya merinding lagi. Dan ketika aku jilati di bagian buah dada dan ketiaknya, ia merintih hebat. Sepertinya itu titik hotspotnya. Kumainkan lidahku di sana.

"Kakk.. jangan disitu, geli.. Nur.. Nur mau pipis..," katanya.

Aku tak peduli, ia mendorong tubuhku agar tidak melakukan hal itu di situ. Aku tetap pada pendirianku, kujilati tempat itu pantatnya pun terangkat dan ia meringkuk.

"Nur pipis kak, Nur pipis," katanya.

Aku menghentikan aktivitasku. Kuraba kemaluannya. Becek, banjir lendir. Ia sudah orgasme hanya dengan begitu saja? Aku lalu turun ke perutnya. Kuciumi perutnya, ketika kuciumi tempat di bawah perutnya antara vagina dan perut, ia merinding lagi. Kuteruskan sampai ke vaginanya, ia menghimpit kepalaku dengan kedua pahanya.

"Kak, Nur pipis lagi," katanya.

SERRR.. SERRR, aku melihat cairan bening kental menyemprot dari vaginanya. Ia sudah orgasme untuk kedua kali? Aku menggeleng-geleng. Kuciumi pahanya, kujilati, kuhisap keharuman tubuhnya. Dan sepertinya mau tak mau Nur harus siap sekarang.

"Kaak.. itunya Nur gatel banget," katanya.

"Nur, kakak mau masukin, udah siap?" tanyaku.

"Siap kak, masukin aja," katanya.

Aku dengan perlahan memposisikan penisku untuk masuk. Lendir yang keluar dari kemaluannya mempermudah posisi penisku untuk bisa masuk, sesenti dua senti. Nur meremas sprei tempat tidurku. Tidak bisa masuk. Aku tekan tarik tekan tarik, hingga kepala penisku masuk semua. Dan ketika aku dorong lagi ada sesuatu yang mengganjal. Wajah Nur berubah. Ia memejamkan matanya kuat-kuat dan meringis. Aku menciumi bibirnya untuk memberikan efek agar ia tak merasa sakit. Penisku berkedut-kedut, ditambah rongga kemaluannya yang makin lama makin meremas-remasku. Satu tekanan dan..

SREEETTT.. Nur memelukku erat.

Ia mencakar punggungku dengan kukunya, aku menindihnya memeluknya sambil kucium dia. Kedua pahanya mengapit pinggulku. Penisku diremas-remas oleh rongga yang sempit. Memek Nur serasa vacum cleaner, menyedot-nyedot penisku, meremas-remas seperti penggiling, ngilu rasanya tapi enak. Aku mendiamkannya sejenak merasakan sensasi ini.

"Kak, Nur udah tidak perawan ya sekarang?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Ia memelukku, "Nur bahagia banget bisa mempersembahkan keperawanan Nur buat kakak."

Aku lalu mendorong naik turun. Nur meringis lagi. Awalnya ia kesakitan, setelah agak lama aku goyang secara teratur ia pun tak sakit lagi, malah ikut menggoyangkan pantatnya.

"Kak, seperti inikah rasanya bercinta. Nur merasa enak sekali, penis kakak serasa penuh," katanya.

"Nur, kakak merasa enak juga. Memek Nur meremas-remas penis kakak," kataku.

"Kakak suka?" tanyanya.

"Iya, kakak suka," jawabku.

"Aku cinta ama kakak," katanya.

"Aku juga," kataku.

Aku pun berpacu lagi, menuju puncak kenikmatan. Suara selakangan kami memenuhi kamarku. CLEKK CLEEKK CLEEEK..becek sekali vagina Nur, membuat pelumas untuk bisa penisku bergerak keluar masuk.

"Nur, kakak mau keluar," kataku. AKu sudah tak kuat lagi, rangsangan memeknya terlalu kuat, aku seperti diremas-remas, apalagi Nur juga pinggulnya ikut gerak. Sensasi ini tak bisa kutahan lagi untuk ditumpahkan.

"Nur ingin hamil kak, Nur ingin punya anak dari kakak," katanya.

"Nur.. ohhh,"

"Kaaakkk.. aahh.. aaahhh,"

CROT..!! CROT..!! CROT..!! Meledaklah spermaku di dalam rahimnya.

Nur memelukku erat, penisku banjir oleh lendir. Rahimnya kusemprot berkali-kali, entah belasan kali rasanya. Ngilu sekali, apalagi aku benamkan penisku sedalam-dalamnya hingga mentok. Aku yakin itu spermaku berhamburan mencari ovum. Di dalam sana penisku berkedut-kedut, menyeruak memompa cairan-cairan kenikmatan mencari tempatnya. Membasahi rongga yang dingin, menghangatkan rahim Nur. Nur mengapit pinggulku dengan kedua pahanya. Dada kami bersatu, tubuh kami bersatu, hingga kemudian ia pun lemas.

Aku tak mencabut penisku dulu. Membiarkan semprotannya berhenti, aku tekan biar semua spermaku habis dulu, setelah itu perlahan aku cabut. Nur meringis ketika penis itu aku cabut. Seketika itu sebagian sperma ikut keluar bersama darah perawan, bercampur menjadi satu.

Setelah itu kami tidur dalam satu selimut. Nur memelukku. Kami melewati malam yang indah itu dan tak terasa pagi pun menjelang.


===x0x===


Aku terbangun, tak mendapati Nur. Tapi di meja kamarku aku bisa mencium aroma kopi. Apakah itu yang membuat Nur?

Aku kemudian bangun dan melihat spreiku ada bercak darah. Aku pun berpakaian dan keluar kamar. Masih sepi, orang-orang belum melakukan aktivitas. Nur sepertinya mandi aku pun ke kamar mandi. Aku tak perlu mengetuk pintu, langsung masuk. Ternyata benar. Ia mandi.

"Kakak?" ia tersenyum.

Aku kemudian ikut mandi bersama. Kulepaskan bajuku. Kami kemudian berpelukan di bawah shower. Berciuman, saling membelai. Aku pun terangsang lagi. Ia kudorong ke dinding kamar mandi. Kaki kirinya aku angkat, dan penisku aku masukkan ke memeknya.

BLESS, lancar.

Aku pun menggoyangnya. Nuraini memejamkan matanya,aku menghisapi teteknya, pantatku menghujam ke memeknya dengan irama yang menggairahkan. Karena masih pagi mungkin, aku cepat sekali keluar. Apalagi memeknya masih seret dan menyedot-nyedot. Spermaku pun keluar. Ia memelukku.

"Kakak ih, belum apa-apa udah langsung nyerang. Nur pipis lagi nih," katanya.

"Kamu koq gampang banget pipis sih?" tanyaku.

"Ndak tau kak," katanya.

Penisku aku cabut.

"Sini aku bersihin," kata Nur.

Ia pun menyabuni tubuhku. Hari itu adalah hari teraneh dan terbahagia dalam hidupku.

Begitulah ceritaku terhadap keluarga-keluargaku. Menjadi suami dari ketiga anggota keluarga sendiri itu tak mudah. Tapi walaupun begitu, tak ada satu rasa cemburu. Bahkan ketika aku ngentot dengan Kak Vidia di ruang tamu misalnya, bunda tahu tapi membiarkan. Atau ketika aku bercinta dengan bunda di dapur misalnya, aku tak malu lagi atau sembunyi-sembunyi.

Ketika Nur melihatnya ia diam saja, memaklumi. Dan ketika Nur menjerit-jerit keenakan ketika kami bercinta di sofa, Kak Vidia malah bilang agar jangan kenceng-kenceng jeritnya.

Pengalaman yang aneh adalah ketika mereka bertiga mengoral penisku. Awalnya sih cuma bercanda saja.

"Ih kak Doni, kepengen bercinta di mana aja. Di dapur, di sofa, di ruang tamu, di kamar mandi. Dasar," kata Nur.

"Iya nih, mentang-mentang punya tiga istri," kata Kak Vidia.

Saat itu bunda sedang mengoralku. Aku duduk di sofa dan bunda berlutut di hadapanku.

"Kalau mau, ya silakan ikutan," kataku sambil tertawa.

Nur dan Vidia berpandangan, mereka berdua mengangguk. Lalu tiba-tiba mereka berada di dekat bunda berlutut juga di hadapanku. Mereka membagi penisku. Menjilati bergantian, mengoral bergantian. Kadang berebut telurku. Aku yang mendapatkan perlakuan ini tentu saja mana tahan. Dan ketika spermaku keluar, mereka saling berebut untuk menghisapnya dan menjilatinya sampai bersih. Ohhh.. nikmatnya.


===(o0o)===


Kembali ke masa sekarang. Ketika usaha kami sudah menjadi waralaba. Mbak Juni yang selama ini membantu kami pun jabatannya menjadi manajer yang mengelola waralaba. Seiring besarnya toko kami, maka kehidupan mbak Juni pun mulai berubah. Ia boleh dibilang sekarang jadi orang berduit dan sangat loyal kepada kami. Ia jugalah yang mengawal kesuksesan keluarga kami hingga sekarang waralaba kami sudah ada seratus toko tersebar di seluruh daerah.

Kabar gembira adalah ketika Nuraini hamil, kami sekeluarga sangat senang. Bahkan bunda sangat mewanti-wanti agar Nur jangan banyak pekerjaan yang melelahkan.

Nuraini tahun ini lulus SMA, setelah kami melakukan hubungan ini akhirnya ia hamil juga. Mungkin karena ia banyak kegiatan yang membuat Nuraini tidak hamil-hamil walaupun frekuensi hubungan intimku dengan Nur lebih banyak daripada bunda dan Kak Vidia. Sebab Kak Vidia masih sibuk dengan kuliahnya dan sekarang sedang mempersiapkan skripsi. Dan bunda juga sibuk dengan urusan tokonya, sehingga jatah mereka diberikan kepada Nuraini. Dan alhasil Nuraini sekarang hamil tiga bulan.

Aku makin sayang dengan keluargaku. Aku pun sekarang berusaha tidak mengganggu kehamilan Nur, bisa fatal kan kalau misalnya kehamilannya terganggu. Dan karena ketiganya tak bisa aku ganggu, akibatnya aku kentang banget selama dua bulan ini. Bingung melakukan pelampiasan. Kak Vidia menolakku dengan halus ketika aku sedang kepingin. Ia sedang konsen skripsi dan itu sangat melelahkan, bunda juga demikian, bertemu dengan banyak investor, distributor dan berbagai macam orang.

Aku juga mengurus toko sih. Menandatangani surat-surat, memeriksa stok, menghitung faktur dan macem-macem. Dan di kantor pusat yang ada di toko utama kami aku selalu bertemu dengan mbak Juni. Toko utama kami berdempetan dengan rumah. Sudah banyak renovasi di sana-sini. Kami juga sudah punya banyak pegawai. Toko buka tutup sudah ada yang mengurus. Sedangkan aku dan Mbak Juni mengurusi hal-hal yang lain. Setiap malam manajer toko selalu memberikan data penjualan hari itu, lalu paginya aku yang mengecek dan aku beri ACC.

Mbak Juni beda ruangan denganku. Tapi aku setiap hari selalu melihatnya. Masih ingat dong pertama kali ia kerja di toko kami. Ia biasanya pakai T-Shirt dan jeans. Sekarang setelah jabatannya sudah tinggi dan menjadi orang kepercayaan kami, ia pakai blazer dan rok. Seperti pekerja kantoran.

Aku ada di kantor sampai malam. Beberapa kali Nur menelponku.

"Kak, kapan pulang? Udah malem nih, Nur sendirian di rumah," kata Nur di telepon.

Padahal rumah sama kantor itu ya tinggal jalan saja sih. Karena letak rumah kami ada di belakang toko. Sedangkan kantornya ada di depan toko.

"Iya, sebentar lagi," kataku. "Masih banyak data yang harus diaudit, bunda soalnya masih keluar kota."

"Biar mbak Juni saja yang beresin," katanya.

"Ndak bisa dong, bagiannya beda, tidur saja dulu. Udah malem ini," kataku.

"Kepengen dipeluk," katanya.

"Iya nanti aku peluk dan cium deh," kataku.

"Janji ya?" katanya.

"Iya, janji," kataku.

"MMuuacchh suamiku, cepetan ya," katanya.

Aku balas, "Muuacchh."

Kemudian aku melanjutkan pekerjaanku, dan semuanya baru selesai pukul 23.00. Aku melihat mbak Juni masih mengetik. Aku pun kemudian bangkit dan menghampirinya di ruangannya yang hanya terpisah dengan kaca.

"Belum pulang mbak? Pulang aja udah malem lho. Nanti anaknya mencari-cari," kataku.

"Ndak apa-apa mas, udah dijaga ama neneknya koq. Tadi juga udah bilang mungkin baru balik jam dua belas malem. Tapi kayaknya sampe pagi. Mumpung besok libur sih," katanya.

"Ngurusin apa sih? Masih soal pajak?" tanyaku.

"Iya nih mas, petugas pajak soalnya agak ruwet. Terlebih sekarang ada masalah waralaba juga. Tambah ruwet lagi deh. Kukelarin agar besok senin tinggal lapor ke dinas pajak," katanya.

Aku berdiri di belakangnya dan melihat layar monitornya. Tampak ia menyusun file-file excel kemudian mencatat angka-angka. Aku memegang pundaknya dan menepuknya.

"Oke deh, aku tinggal dulu kalau begitu," kataku. "Sendirian saja berani kan?"

"Kayak anak kecil aja mas, berani dong," katanya.

Aku kemudian beranjak dari tempat itu dan meninggalkan mbak Juni sendirian. Aku keluar kantor dan pergi ke rumah. Aku kemudian masuk rumah, ke kamar mandi, membersihkan diri dan masuk ke kamar adikku. Ia tampak sudah tertidur. Wajahnya makin cantik saja kalau hamil. Aku cium perutnya, lalu keningnya, setelah itu aku masuk ke selimutnya. Kupeluk dia. Nur terbangun.

"Kakak? hmm," kami berciuman lalu tertidur. Aku memeluknya.

Jam 03:00 aku dikejutkan dengan suara ponsel. Aku kemudian mengangkatnya.

"Mas, aku kayaknya kehilangan kunci deh," kata suara di telepon. Karena masih mengantuk, aku bingung suara siapa ini. Kemudian aku baru ingat setelah melihat nomor teleponnya. Nomor kantor. mbak Juni?

"Kunci apa mbak?" tanyaku.

"Maaf ya kalau ganggu mas, kunci kantor. Tadi sepertinya sudah ada di tas, tapi koq ndak ada, maaf mas kalau malam-malam ganggu," katanya.

"Ya udah, aku ke sana deh, tunggu ya!" kataku.

"Iya mas, maaf ganggu waktu istirahat," katanya.

"Tidak apa-apa koq," kataku.

"Siapa kak?" tanya Nur.

"Mbak Juni, kuncinya hilang. Kakak ke kantor dulu ya," kataku.

"Belum pulang mbak Juninya?" tanya Nur.

"Belum, masih ngurusin pajak katanya tadi, ini mau pulang sepertinya," kataku. "Biasanya yang ngurusin pajak bunda, tapi karena bunda ndak ada pekerjaannya jadi dobel."

"Oh begitu, yaudah deh. Kalau ia mengantuk suruh tidur di kamar tamu aja kak, kasihan kalau jam segini pulang. Jalanan sepi," kata Nur.

"Itukan terserah orangnya," kataku. Aku kecup kening Nur lalu meninggalkannya sambil membawa kunci kantor.

Dingin banget malam ini. Aku berjalan sambil mendekap tubuhku sendiri, sampai kemudian aku melihat mbak Juni ada di depan kantor.

"Maaf ya mas, mengganggu," katanya.

"Nggak apa-apa," kataku.

Aku kemudian mengunci kantor.

"Nanti aku cari lagi deh kuncinya," kata mbak Juni.

"Nanti biar aku urus, mungkin lupa kamunya. Oh iya mbak, udah malem nih, nginep sini aja!" kataku.

"Ndak ah mas, ntar dicari orang rumah," katanya.

"Katanya sudah sama neneknya anaknya?"

"Iya, cuma kan ya ndak enak juga belum ijin."

"Mbak sudah ngantuk kan? Mendingan nginep di rumah aja, kalau keadaan ngantuk begini nyetir mobil bahaya," kataku.

"Aku ndak punya mobil mas," kata mbak Juni.

"Oh iya, lupa. Kamu pakai sepeda motor," kataku. "Ya udah, nginep ajalah. Nggak apa-apa koq. Aku ijinin. Emang ini resiko kalau pekerjaan dobel."

Mbak Juni agak ragu dan bingung.

"Atau telepon dulu deh rumahnya, biar ndak ada yang khawatir," kataku.

Akhirnya mbak Juni menelpon rumah. Ibunya akhirnya mengijinkan setelah bicara agak lama.

"Oke deh mas," katanya.

"Nah, begitu. Yuk," ajakku.

Kami kemudian masuk ke rumahku. Aku kemudian menunjukkan kamar tamu. Di dalam rumah hangat tidak seperti di luar.

"Ini kamar tamu, kalau ingin mandi dan bersih-bersih di dalam sudah ada kamar mandi, langsung aja pakai. Kalau butuh apa-apa, aku ada di kamar atas, tinggal ketuk pintu atau panggil saja," kataku.

"Makasih mas," katanya.

Aku sebenarnya sudah lama tak melakukan ini yaitu mengerjai orang lain. Pakai kamera pengintai. Untungnya aku membawa gantungan kunci itu.

Ketika aku menunjukkan kamar mandi aku menaruhnya di tempat yang sangat strategis. Mbak Juni tak menyadarinya bahwa aku sudah siap merekam. Entah kenapa aku jadi penasaran dengan mbak Juni.

Setelah itu aku tinggalkan dia dan masuk ke kamar adikku. Aku pun tertidur.


===x0x===


Pagi hari aku bangun lebih dulu, mandi, olahraga dan membantu Nur dan Kak Vidia memasak di dapur.

"Minggu ini liburan kemana?" tanyaku kepada keduanya.

"Mau di rumah aja ah kak," kata Nur.

"Tumben, biasanya kamu semangat kalau diajak keluar," kata kak Vidia.

"Entahlah, kali ini rasanya males buat ngapa-ngapain," kata Nur.

"Bawaan oroknya kali," kataku.

Kak Vidia mengelus-elus perut Nur, "Kakak jadi iri deh."

"Selesaikan dulu itu skripsi baru mikir ini," kata Nur sambil menunjukkan perutnya.

"Huu.. kamu aja belum lulus sudah isi," kata Kak Vidia. "Don, pokoknya kalau skripsi sudah selesai kakak bakal ambil jatahnya Nur."

"Iya iya, kakakku yang manis," aku mencubit pantatnya. Ia memukul tanganku.

Kami tertawa.

"Oh iya, mbak Juni mana?" tanya Nur.

"Belum bangun kayaknya," jawabku. "Aku cek dulu deh."

Aku akhirnya pergi ke kamarnya. Kuketuk pintunya, tak ada jawaban. Mungkin ia masih tidur.

Kupanggil-panggil, "Mbak?!" tak ada jawaban.

Aku pun iseng sambil tolah-toleh ke dapur kalau-kalau saudari-saudariku datang. Aku buka pintu kamar yang tidak terkunci itu.

Aku pun membuka sedikit pintunya. Saat itulah betapa terkejutnya aku. Pemandangan ini tak pernah aku sangka sebelumnya. Di hadapanku ada mbak Juni dengan vaginanya yang berbulu itu terekspos. Ia membuka pahanya dan ada tangan kirinya menyentuh vaginanya. Apa ia baru saja mastrubasi? Dan penisku pun langsung tegang. Siapa yang tak tegang menyaksikan pemandangan indah ini? Aku pun punya ide. Aku tutup kembali kamar itu lalu ke kamarku, kubongkar tempat simpanan kloroformku. Kuambil sapu tangan dan kutuangkan disitu sedikit, sesuai dosis yang kupakai ke bunda dulu.

Setelah itu aku simpan di saku celana. Aku pergi ke dapur untuk membuat alasan.

"Mbak Juni belum bangun-bangun, dikunci pula kamarnya, tapi kayaknya ia sedang tidur, maklum pagi-pagi sekali ia baru tidur," kataku. "Aku mau olahraga dulu."

"Oh, baiklah, habis olahraga sarapan ya kak," kata Nur.

"Iya dong," kataku. Aku mencium pipi Nur, lalu Kak Vidia. Setelah itu aku meninggalkan mereka. Aku kemudian buru-buru ke kamar tamu.

Setelah itu aku kunci kamar itu, kupersiapkan sapu tangan berkloroform. Daan..kubekap mbak Juni. Ia memberontak sedikit, tapi kemudian ia lemas. Yes..

Aku tak menduga kalau tubuh mbak Juni seindah ini. Ia cuma pakai bra saja tidurnya. Aku lalu melepaskan kaitan branya. Buseet, toketnya gedhe juga. Mirip ama toket bunda. Karena aku sudah bernafsu, segera aku hisapi toket itu. Saking bernafsunya aku tak peduli lagi siapa mbak Juni. Aku sudah tak tahan lagi, langsunglah aku masukkan penisku ke tempatnya. Pelan-pelan kudorong dan bless, licin sekali. Mungkin karena mastrubasinya tadi. Aku goyang pinggangku.

Aneh, ia sudah punya anak, tapi masih seret juga ini memeknya. Walaupun berbulu dan punyaku gundul, tapi rasanya ada sensasi tersendiri. kupeluk tubuh telanjang mbak Juni kuhisap bibirnya.

"Ohh.. mbak.. enak banget," bisikku.

Aku mungkin karena sudah lama tidak main, karena sangat bersemangat apalagi ini memek baru, rasanya baru. Tubuh mbak Juni aku gerayangi, kuciumi lehernya, pundaknya, sambil pantatku maju mundur menusuk-nusuk vaginanya sedalam-dalamnya. Kemudian aku cabut punyaku, kubalikkan tubuhnya. Kuangkat pantatnya sedikit kuposisikan penisku ke sarangnya, lalu..

blesss.. aku pompa lagi. Pantatnya membiusku, membuat suara yang aneh di dalam kamar ini.

"Mbak, pantat mbak enak lho, kalau aku sampe ngecret gimana?" kataku.

Sial aku ndak kuat lagi, sebelum keluar aku cabut dulu punyaku. Kuatur nafasku, penisku pun tak jadi merasa gatal ingin muncrat. Aku balikkan lagi tubuhnya. Kuangkat kakinya dan kutekuk, kemudian aku sedikit berlutut, kumasukkan lagi burungku. Ohh.. enak dan hangat vaginanya. Aku goyang hingga terasa lagi penisku mau meledak.

"Mbaak.. kukeluarin yah.. keluar.. ke..lu.. aaaarr!" aku tekan dalam-dalam penisku hingga mentok. Sperma hangat langsung meluncur deras dari testisku. Membasahi dinding rahimnya, luar biasa. Nikmat sekali, aku lalu ciumi bibir mbak juni. Setelah itu aku terkulai di sebelahnya.


===x0x===


Aku lalu terbangun, mbak Juni menggeliyat, dan ia terkejut ketika melihatku ada di sebelahnya tanpa busana. Kami berdua tanpa busana. Aku ternyata tertidur beberapa lama di kamarnya, hingga tak tahu pengaruh obat bius itu sudah habis dan mbak Juni terbangun.

"Mas Doni? Apa yang mas..?" Mbak Juni melihat ke vaginanya ada cairan puti spermaku meleleh di sana. Aku langsung menutup mulutnya.

"Ssshhh.. aku bisa jelaskan asal jangan teriak. OK?" kataku.

Matanya tampak berkaca-kaca. Ia mengangguk. Aku lalu melepaskan tanganku yang menutup mulutnya.

"Apa yang mas lakuin? Kenapa? kenapa?" tanyanya.

"Maafkan aku, aku khilaf. Sebab tadi ketika aku bangunin mbak Juni, ternyata mbak Juni habis mastrubasi. Melihat mbak seperti itu aku jadi tergoda dan melakukannya," kataku.

Kami pun diam. Mbak Juni menghapus air matanya lalu menghempaskan diri ke atas ranjang. Ia mendesah panjang.

"Mbak juga salah mas, harusnya mbak ndak begini. Ini semua karena mbak sudah lama sekali tidak melakukan ini, selama ini yang jadi pelampiasan ya cuma mastrubasi," katanya. "Maafin mbak ya."

Aku menggeleng. "Mbak masih cantik pasti banyak yang suka."

"Ah tidak juga, ketika ada pria yang mendekatiku aku selalu bilang aku sudah tidak perawan lagi, karena sudah punya anak. Dan kebanyakan dari mereka mundur teratur," katanya.

"Tidak mbak, punya mbak masih seret koq, masih enak," kataku.

"Jangan menghiburku yang tidak-tidak mas," katanya.

"Laah, kalau tidak mana mungkin aku tadi melakukan itu ke mbak?" tanyaku.

Mbak Juni menoleh ke arahku. Aku lalu sambut dengan ciuman di bibir. Mbak Juni terkejut. Kami berpanggutan, matanya terpejam, merasakan lidah lelaki lain yang bukan suaminya setelah lama ia tak pernah merasakannya. Lidahku menari-nari di mulutnya, menghisap, mencampurkan ludah, lalu saling menghisap lagi. Tangannya lalu menyentuh penisku. Ia tampak kaget, ciuman kami berhenti.

"Mas, ini punya mas? Besar banget?" pujinya. Ia lalu mengocok pelan.

"Emang punya suamimu seberapa?" tanyaku.

"Punya suamiku sih separuh ini," jawabnya jujur. Ia tiba-tiba berada di atas. Kemudian ia posisikan penisku berada di mulut vaginanya. Ia lalu menekannya sehingga penisku meluncur masuk ke dalam vaginanya. Meskipun begitu lancar masuk,terasa vaginanya dengan erat mencengkram penisku.

"Ohhh.. mbakk.." kataku.

"Masuk mas, oohh.. penuh rasanya. HHmmmmhh..," keluhnya. Ia pun menggoyangnya maju mundur sambil sesekali mengangkat pantatnya. "Mass.. enak mass.."

Posisi WOT ini sangat menggairahkan. Mbak Juni menggoyang-goyangkan kepalanya, aku memegangi toketnya yang menggantung indah itu. Pantatku pun ikut aku goyangkan agar menambahkan rasa nikmat. Mbak Juni ini mirip banget seperti bintang film porno yang aku lihat. Ia meliuk-liukkan kepalanya seolah-olah menikmati rasa gesekan kelamin kami. Tapi ia cukup tenang, tak berisik, selalu mendesis seperti ular ketika penisku menggesek rongga vaginanya. Sementara itu kemaluan kami telah benar-benar becek dengan pelumasnya.

"Mbakk.. punyaku diapain itu?" bisikku.

"Ini namanya empot-empot mas, enak ya?? ohhh.." katanya. "Punya mas penuh banget, mbak Juni jadi nagih nih.."

Mbak Juni terus melakukan empot-empot itu, aku terus bertahan. Cukup lama kami bercinta dengan posisi WOT. Mbak Juni mulai kehabisan nafas, ia makin mempercepat goyangannya.

"Mas, mas udah mau keluar belum?" bisiknya mesra.

"Belum mbak, mbak mau keluar?" tanyanya.

"He.. eh.. mas kuat banget, padahal suami mbak dulu pasti teler kalau kena jurus empot-empot ini," katanya. "Mass.. mas.. mbak mau keluar.. mbaakkk pipiiis..!!"

Mbak Juni ambruk menindih tubuhku, pantatnya menekan penisku. Ia memelukku dan meringkuk seperti bayi di atas tubuhku. Ia mencium bibirku. Kami berpanggutan. Kemudian ia berguling dan merebahkan diri.

"Tuntasin mas, mas kan belum keluar," katanya.

Aku tersenyum.

Aku berada di atas. Kuposisikan penisku ke mulut vaginanya. Kemudian kutekan. Ketika urat-urat penisku menggesek rongga vaginanya, mulut mbak Juni membentuk huruf O sambil menatap mataku. Kedua pahanya kini mengapit pinggangku.

"Enak mbak?" tanyaku.

"Enak mas, mas enak banget..," katanya.

Aku goyang pinggulku. Kami sama-sama bergoyang, mbak Juni tetap memakai jurus empot-empotnya, aku pun makin cepat menggoyang, agar spermaku bisa membasahi rahimnya lagi. Aku terus berusaha. Mungkin karena tadi aku udah keluar sebelumnya sehingga untuk memproduksi sperma lagi testisku butuh waktu. Karena itulah mbak Juni benar-benar agak KO. Kepalanya menggeleng-geleng, ia pun mengulurkan kedua tangannya melingkar di leherku.

"Maass.. mbak mau keluar lagi.. ohh.. aahh.. mbak ndak pernah bercinta seperti ini. Sampai multiple orgasme," katanya.

"Mbak, aku keluarrr..," kataku.

Saat itulah mbak Juni agak aneh, ia menatapku. Matanya tampak menunjukkan keraguan, "Lho, aku lupa mas ini saat suburku.. nanti bisa hamil."

"Tadi aku sudah keluarin di dalem koq. Nanggung nih," kataku.

Mbak Juni lalu memejamkan matanya, tampaknya ia pasrah, "Terserah deh mas, hamil hamil deh."

Aku pun keluar. Spermaku masih banyak aja, sampai menyemprot berkali-kali di dalam rahimnya. Aku pun kemudian terkulai di atas tubuh mbak Juni wajahku kudekatkan ke puting susunya dan kuhisap lemas. Perlahan-lahan penisku keluar sendiri. Entah kenapa, tiba-tiba mbak Juni memelukku. Kami pun berpelukan untuk beberapa saat.

"Mas.. maafin mbak Juni ya," katanya. "Gara-gara mbak, ini semua terjadi."

"Trus bagaimana?" tanyaku.

"Kalau misalnya nanti hamil mbak akan terima koq, baik mas tak mau menikahiku ataupun tidak. Mbak juga sebenarnya punya perasaan ama mas," katanya. "Sejak dulu mbak sudah naksir sama mas. Dan entahlah, kenapa koq ya hari ini datang. Makanya ketika tahu mas melakukannya ama mbak, mbak sedikit kaget. Tapi kemudian sedikit senang, karena impian mbak selama ini jadi nyata. Bahkan mastrubasi tadi juga bayangin mas. Dan ternyata mas sendiri yang masukin. Tapi sungguh ndak menyangka kalau penis mas besar juga ya."

Aku tersenyum. Kami berciuman.

"Ijinkan mbak tetap mencintai mas ya, walaupun mungkin nanti mas punya pacar atau istri," katanya.

"Mas tetap akan mencintai mbak. Kalau perlu nikah sama mbak aja deh sekalian," kataku.

Mbak Juni menggeleng, "Jangan mas. Aku tak mau mas menikahiku karena kasihan. Lagipula ku yakin mas tidak mencintaiku. Mas melakukan ini karena nafsu, bukan karena cinta. Aku tak mau mas nanti malah menyakitiku ketika sudah jadi suami istri. Seperti apa yang dilakukan oleh suamiku dulu, karena itulah kami dulu bercerai."

"Trus hubungan kita jadi apa dong?" tanyaku.

"Kita jalani saja deh mas, kalau memang kita ada chemistry, maka kita lanjut, tidak ya berarti memang bukan jodoh," jawabnya.

"Baiklah, kalau itu yang terbaik. Ngomong-ngomong, sebaiknya aku segera keluar deh, daripada dicurigai nanti," kataku.

"Iya, ayuk ah."

Kami pun bangun. Aku segera berpakaian dan melihat keadaan, kuintip sebentar ruangan kalau-kalau ada Nur atau kak Vidia ternyata sepi. Aku pun segera keluar kamar tamu dan pergi ke ruang makan. Di sana ada Kak Vidia dan Nur sedang makan.

"Kakak koq lama sih? Kami sudah nunggu dari tadi lho. Ya udah ditinggal aja," kata Nur.

"Oh maaf Nur," kataku.

"Ya udah, maka sana gih!" kata Kak Vidia.


===x0x===


Hubunganku dengan mbak Juni makin canggung setelah itu. Ketika di kantor, kami saling melirik penuh arti. Dan setiap mata kami bertemu kami tersenyum. Minggu-minggu berikutnya semua berjalan seperti biasa. Namun sebenarnya ada rasa aneh yang kami rasakan setiap kali kami bersama. Ketika aku mendekat kepadanya memberikan laporan, dan ketika kami bercanda ada rasa-rasa yang bergetar, demikian juga yang dirasakan oleh mbak Juni.

Ia mengirimiku Chat WA, isinya seperti ini:

MAS DONI TERSAYANG,

Sungguh akhir-akhir ini perasaan mbak terasa kurang kalau tidak dekat dengan mas. Dan merasa setiap hari adalah hari-hari terindah dalam kehidupanku adalah ketika bertemu dengan mas. Maka dari itulah aku selalu kangen kalau pulang, walaupun anakku sudah bisa memberikan perasaan yang lega ketika melihatnya, tapi entah kenapa rasa ini masih ada.

Perasaan cintaku kepada mas makin besar dan aku harus mengakuinya. Aku tak bisa berpisah dari mas. Apakah aku harus mencintai mas, ataukah tidak aku tidak tau. Aku bingung sekarang. Aku takut kalau mas nanti malah kecewa ketika menjalin hubungan denganku.

Peristiwa kecelakaan itu, aku berusaha melupakannya, tapi aku tak bisa. Rasa rinduku makin besar. Rasa cintaku makin besar. Tolonglah aku mas. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencintai mas? Aku bingung.

TTD

JUNI

Itulah isi Chat WAnya. Aku pun bingung menjawabnya. Aku tak tahu kapan ia mengirim Chat WAnya kalau dilihat dari waktunya sih ketika bekerja. Jadi selama bekerja ia benar-benar memikirkanku selama ini. Aku kemudian berusaha menjawab Chat WAnya semampuku.

MBAK JUNI TERSAYANG,

Aku tak tahu harus bilang apa. Mungkin memang benar, peristiwa itu mengubah cara kita menyapa selama ini, mengubah juga apa yang kita rasakan selama ini. Kalau mbak memang ingin agar aku menjadi kekasih mbak, aku pun siap. Bukan karena nafsu, tapi benar-benar kekasih.

Kalau mbak memang ingin menjadikanku kekasih, aku akan menerima apapun yang ada pada mbak Juni. Aku akan menerimanya, dan apakah mbak Juni mau menerima apapun yang ada padaku?

TTD

DONI


===x0x===


Esoknya aku bekerja seperti biasa. Mbak Juni tampak serius kerjanya. Ketika mau istirahat, aku lalu menghampiri mejanya. Mbak Juni mendongak, aku lalu menariknya ia terkejut. Aku langsung mencium bibirnya yang lembut itu. Keterkejutan mbak Juni membuatnya gemetar. Tapi setelah itu ia mengerti. Ia pun menikmatinya. Beberapa saat kemudian aku melepaskannya.

"Mas.. i..ini," katanya terbata-bata.

"Tak perlu bicara, ini jawabannya. Aku suka kamu dan aku tak peduli kamu siapa, kamu seperti apa, aku akan menerimamu," kataku.

"Mass..," mbak Juni memelukku.

Kami berpelukan agak lama, sampai kemudian aku berbisik, "Jangan lama-lama, ntar dilihat orang."

Kami pun lalu salah tingkah dan tertawa.

Hubungaku dengan mbak Juni setelah itu seperti orang pacaran. Mesra banget kalau di kantor. Sementara ini hal ini tidak diketahui oleh semuanya.

Perut Nur makin besar, ini sudah menginjak bulan kelima dan bertepatan dengan kak Vidia selesai wisuda. Ia senang banget lulus dengan hasil memuaskan. Bunda bangga sekali dengan anak pertamanya ini. Di rumah Kak Vidia benar-benar manja banget denganku. Ia menagih janjiku untuk selalu bersamanya sampai ia benar-benar hamil. Yah, janji harus ditepati.

Aku benar-benar harus membagi waktu antara mbak Juni dan Kak Vidia. Kalau mbak Juni butuh sesuatu ya aku harus ke tempatnya. Dan kalau kak Vidia butuh aku ya aku harus ke tempatnya. Aku tak ingin mbak Juni curiga, dan aku tak mau yang lain juga cemburu.


===x0x===


Aku duduk di tepi ranjang. Menyaksikan Kak Vidia yang tertidur lelap. Kami baru saja main sampai beberapa ronde. Kak Vidia benar-benar cemburu dengan Nur. Ia benar-benar ingin punya anak. Mungkin besok aku akan istirahat sebentar. Saat ini aku terus berpikir tentang keadaanku. Aku sendiri bingung. Memang soal harta aku sama sekali tak kekurangan, apakah sekarang ini aku butuh seorang pendamping? Tapi kalau soal istri aku bisa memiliki siapa saja. Bahkan saudari-saudariku dan bunda saja bisa aku dapatkan.

Aku sekarang galau. Malam itu aku tak bisa tidur. Aku akhirnya bersandar di ranjang. Dan kak Vidia pun memelukku. Ia merasa nyaman. Sebenarnya juga punya rasa tak ingin kehilangan aku.

Hubunganku dengan mbak Juni mulai panas. Di kantor aku tak malu-malu lagi untuk mencium bibirnya. Misalnya hari ini. Mungkin karena bunda tidak ada maka aku cuma berdua saja dengan mbak Juni. Saat itulah, aku agak iseng.

"Mbak, boleh nih kita sedikit panas," usulku.

"Panas seperti apa? kompor?" tanyanya sambil ngikik.

Aku lalu tarik lengannya dan langsung mencium bibirnya. Mbak Juni gelagapan menerima seranganku. Aku meremas-remas toketnya. Ia mendorongku.

"Jangan dulu mas, ndak aman di sini. Ntar kalau Si Rendy masuk bahaya lho," katanya. Rendy adalah manajer toko.

"Biarin ajah," kataku.

"Ndak ah," katanya.

"Trus gimana nih?" tanyaku sambil menunjuk penisku yang sudah tegang.

"Sini deh!" ia pun menarikku.

Ia kemudian menarikku ke mejaku. Sesampainya di sana aku didorongnya hingga duduk ke kursi. Ia pun merangkak ke bawah meja. Di bawah meja ia tersenyum kepadaku. Kemudian dibukanya resleting celanaku. Kemudian ia mengusap-usap penisku yang sudah tegang.

"Ini ya yang ndak sabar?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Ia lalu menarik sedikit celanaku hingga rudal berurat itu pun keluar. Ia tersenyum dan menekan kepala penisku dengan jari telunjuknya, lalu menekan-nekan lubang kencingku.

"Apaan sih mbak? Geli!" kataku.

"Biarin, kamu nakal sih," ia malah bicara dengan penisku. Lalu ia mencium dengan hidungnya, menghirup aroma penisku. "Aku suka baunya."

"Oh.. mbak..," aku jadi horny.

"Mau dipuasin?" tanyanya.

"I..iya," aku mengangguk.

Lidahnya kini terjulur, lalu menyapu penisku dari buah dzakar sampai ke ujung. Aku menahan nafas. Perlakuannya ini membuatku makin terangsang. Penisku langsung lebih mengeras dari sebelumnya.

"Oww.. enak ya? sampai tegang gini," katanya sambil ketawa.

Lalu Ia menciumi kepala penisku, menjilatinya, kemudian ia masukkan ke mulutnya. Ia hisap sekuat tenaga, lalu ia kocok dengan mulutnya. Ohhh.. nikmat sekali. Aku terus menyaksikan perlakuannya kepada penisku, dan matanya terus melihatku. Aku suka sekali kebinalan mbak Juni.

Saat itulah aku dikejutkan dengan Rendy yang datang ke mejaku.

"Maaf mas, kemarin aku belum ngasih laporan komputernya ngadat," katanya tiba-tiba. Terus terang aku gelagapan. Untungnya ia tak bisa melihat Mbak Juni yang ada di kolong meja. Karena mejaku tertutup.

"Oh.. i..itu, terus kamu sudah ngirim?" tanyaku.

"Belum mas, mungkin harus dibenerin dulu itu komputernya," jawab Rendy.

Sialnya, mbak Juni menghisapi buah dzakarku sambil mengurut penisku hingga tegang sekali. Lalu ia menjilati ujung kepalanya dengan lidahnya. Lidahnya menari-nari memberikan stimulus yang membuatku lemas.

"Panggil teknisi saja deh.. pp..Pak Udin gitu, tahu nomor teleponnya kan?" tanyaku.

"Iya mas, tahu. Berarti bagaimana kondisi pembukuannya? Didobel saja atau bagaimana?" tanyanya.

"Nggak apa-apa..," keringat dingin mengucur dari dahiku. Mungkin di bawah meja mbak Juni sangat senang bahkan ketawa menyaksikan salah tingkahku. "Dobel saja ndak apa-apa. Atau minta saran Pak Udin, ia lebih faham soal softwarenya."

"Oh baik mas, mas ndak apa-apa? Koq kayaknya kurang enak badan?" tanyanya.

"NGgak apa-apa koq," jawabku sambil tersenyum. Padahal yang di bawah ada apa-apa.

"Baik mas, mari," kata Rendy. Ia meninggalkan mejaku dan keluar dari kantor.

Aku lalu melihat ke arah mbak Juni, "Gila mbak, kalau ketahuan gimana?"

"Biarin, biar orang-orang tahu kalau mas suka ama aku," katanya sambil ngikik. "Mungkin bisa masuk koran mas, bos berbuat mesum dengan anak buahnya. hihihi.."

Ia melanjutkan oralnya. Aku hanya geleng-geleng. Saking gemesnya aku pun meremas-remas dadanya. Tanganku masuk ke dalam kemejanya, lalu ke dalam branya mencari-cari putingnya, lalu aku gesek-gesek dan pelintir-pelintir. Mbak Juni makin semangat saja mengoralku. Penisku ia masukkan jauh ke mulutnya, aku keenakan, kemudian ia mainkan kepalanya dengan lidahnya. Itu membuatku makin ndak bisa menahan diri, rasanya ingin muncrat. Tapi dengan perilakuku merangsang puting susunya, ia pun terkadang berhenti mengoral.

"Mas, mas bikin mbak horny nih," katanya.

Aku lalu mendorongnya, kemudian berdiri. Aku lalu menariknya agar berdiri, kemudian aku angkat tubuhnya dan kududukkan di meja. Kemudian aku naikkan roknya, kuturnkan celana dalamnya. Celanaku ku turunkan, penisku lalu kuposisikan di depan mulut vaginanya yang merekah.

"Mas, nanti ada yang lihat," katanya.

"Aku tak peduli, biar aja," balasku. Aku membuka kemejanya, kunaikkan branya, hingga buah dadanya terekspos. Aku pun menyusu kepadanya sebentar, lalu pinggulku menekan selakangannya. SLEEBBB..

"Ohh.. masss.. masuk," katanya.

Aku goyang pinggulku menyodok kemaluannya. Mbak Juni memelukku dan kedua kakinya mengunci pinggangku.

"Mbak, enak banget," kataku.

"Ohh.. kontol mas gedhe banget, penuh.. hhmm..," rancaunya.

Kami lalu berciuman, berpanggutan, aku tetap menggoyang. Ada rasa takut ketahuan, tapi juga ada rasa ingin memuaskan diri. Benar-benar kami ingin merasakan luapan birahi kami yang sudah ditahan sejak kemarin. Aku juga tak tahu kalau vaginanya sudah becek, karena rangsanganku kepada putingnya.

"Mas.. mass.. agak cepet mas, aku mau sampe," katanya.

Aku turuti dia, kupercepat goyanganku. Kakinya makin erat mengunci pinggangku, dan ia pun kemudian menaikkan pantatnya sehingga serasa aku menggendongnya. Penisku ditekan kuat dan ia memelukku dengan erat, ia menghirup nafasku dalam ciuman panasnya. Ia sudah orgasme, selama sepuluh detik kami berpelukan ia kugendong dan penisku masih menancap di sana. Lalu ia turun. Penisku tercabut begitu saja. Tampak penisku penuh dengan lendir. Mbak Juni aku peluk lalu aku balikkan tubuhnya. Ia mengerti keinginanku. Mbak Juni menunggingkan pantatnya. Aku lalu memasukkan penisku ke vaginanya tanpa susah. Dan aku lalu mendorongnya.

"Ohh.. mbak, pantat mbak enak..," kataku.

"Ohh.. sodok aku mas, sodok.. terus!" katanya.

Aku sodok pantatnya meja kerjaku bergoyang-goyang karena mbak Juni bertumpu kepadanya. Dadanya bergoyang-goyang menggantung. Ekspresi wajahnya bisa aku lihat di kaca yang terpantul. Matanya terpejam nikmat, dan ia menggigit bibir bawahnya sambil mendesis. Aku lalu memegang toketnya dan kuremas-remas.

"Masss.. ohh.. enak.. terus mas.. terusss," katanya.

Aku dorong lagi lebih kuat, mbak Juni pun kemudian tengkurap di atas mejaku. Buah dadanya melekat di mejaku yang kebetulan di atasnya ada kaca. Aku terus menyodoknya kuat-kuat hingga sepertinya testisku mau berproduksi lagi.

"Mbak.. mbak.. aku keluar mbak," kataku.

"Ayo mas, keluar.. keluar bareng!! AAHHH Ahh.. penis mas keras banget.. aduhhh.. enakkkk!" katanya.

"Mbak ini mbak, terima pejuhku," kataku.

CREETTT CREETTT CREEETT!!

Spermaku memancar dengan beberapa kali tembakan. Dan aku menekan kuat hingga mungkin sampai ke rahimnya. Mbak Juni memejamkan mata dan tampak lemas. Kudiamkan sejenak hingga seluruh spermaku keluar dan habis. Baru setelah itu perlahan-lahan aku cabut.

Perlahan-lahan mbak Juni bangkit dari mejaku. Ia tersenyum dengan nafas terengah-engah. Kami tutup aktivitas kami dengan berciuman panas. Mbak Juni membetulkan bajunya dan mengambil tissue yang ada di mejaku untuk membersihkan spermaku yang meleleh ke pahanya.

"Udah ah, kerja lagi," ia mengedipkan matanya kepadaku.

"Kalau mau tidur dulu karena capek silakan lho," candaku.

"Ndak ah, kalau tidur nanti malah dikerjai lagi," katanya.

Aku menciumnya lagi, setelah itu kami beraktivitas seperti biasa.


****

Kak Vidia sore itu sedikit beda. Aku juga heran. Ia tak banyak bicara. Bahkan setiap kali aku tanya kenapa ia tak menjawab. Malam itu aku sendirian tidur di kamar, karena Kak Vidia mengunci dirinya di kamar. Aku tak mengerti, namun kemudian saat tengah malam aku dikejutkan dengan Kak Vidia yang tanpa busana masuk ke selimutku.

"Kak?" sapaku. "Ada apa sebenarnya?"

"Berjanjilah kepadaku satu hal dek!" katanya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Kakak sudah melihat semuanya, semua video yang ada di dalam komputermu sudah kakak lihat," jawab Kak Vidia. "Aku tak tahu kalau adekku ini sangat terobsesi kepada keluarganya sendiri sejak dulu."

"Trus, apa pendapat kakak?" tanyaku.

"Aku ingin kamu berjanji kepadaku satu hal," katanya. "Jangan pernah tinggalin kakak, bunda dan Nur. Kalau misalnya kamu nanti menikah, maka pasanganmu itu harus tahu keadaan kita seperti apa. Aku tak mau ia nanti tersakiti karena melihat keadaan kita yang sesungguhnya. Kak Vidia juga tahu kamu suka ama mbak Juni, bahkan kakak tahu kalau kamu sudah begituan juga dengan mbak Juni, tapi apa mbak Juni tahu keadaan kita? Memang mungkin ia bisa mencintaimu dek, tapi itu karena ia tidak tahu apa yang terjadi dengan kita sebenarnya. Aku takut, hal itu malah akan membuatnya kecewa dan membencimu, membenci kita. Ia memang sudah baik dengan kita selama ini, tapi pikirkanlah lagi hal ini."

Aku terdiam. Kak Vidia lalu memelukku. Benar apa yang dikatakan kak Vidia. Mungkin sudah saatnya aku hapus saja semua gambar dan video itu. Kak Vidia masih memelukku dan kepalanya disandarkan ke dadaku.

"Malam ini, adalah masa suburku dek," kata Kak Vidia. "Sudah tiga tahun kita beginian, tapi belum juga berhasil. Kali ini Kakak sangat berharap."

Tangan kak Vidia menelusup ke dalam celana kolorku. Ia lalu memainkan isinya. Diurut-urutnya penisku, penisku pun otomatis menegang. Aku mendongakkan wajahnya, lalu menatap wajahnya dalam-dalam. Kemudian aku cium bibirnya, kami berpanggutan, tangan kiriku memainkan putingnya yang berwarna pink itu. Walaupun kami sering bercinta tapi buah dadanya sama sekali tak kendor, malah makin menantang saja tiap hari.

"Hamili aku dek," bisik kak Vidia. "Berikanlah benih-benihmu ke rahimku. Aku rela."

Aku kemudian membaringkan tubuhnya telentang. Kemudian kuciumi lehernya, kuhisap, kujilat. Permainanku kali ini lebih panas dari malam-malam sebelumnya. Aku menciumi dadanya, kupijat, kuremas, dan bergantian aku cupangi kiri dan kanan, kemudian kuhisap puting pinknya bergantian. Aku juga gigit-gigit kecil dengan gemas. Hal itu memberikan rangsangan yang membuat Kak Vidia mengangkat punggungnya.

"Ohh.. dekkk.. enak dek," katanya.

Tangan kiriku beralih ke vaginanya, Kugesek-gesekkan jari telunjukku, kucari clitorisnya dan kugesek-gesek. Kak Vidia makin bergairah, ia memelukku, tangan kanannya masih meremas-remas penisku, aku kemudian menciumi ketiaknya, kujilati dan itu membuatnya menggelinjang lagi. Aku ciumi tubuhnya bagian samping, lalu aku hisap. Ia menggelinjang lagi. Kutelusuri seluruh tubuhnya dengan bibirku, kemudian ke pahanya, hingga bibirku dan bibir kemaluannya bertemu.

"Ohhh.. papah.. terusin yaa.. enaaakk..," kata kak Vidia.

Aku jilati bibir kemaluannya, kuciumi, lalu tepat di klitorisnya aku sapu lidahku di sana. Ia mengangkat pantatnya sambil memekik tertahan. Ia remas-remas rambutku, seiring aku menjilati rongga-rongga vaginanya. Saat lidahku menari-nari di dinding vaginanya, ia mengapit kepalaku, terkadang menjambak rambutku.

"Deek.. udah dong.. masukin aja dek, kakak udah ndak tahan," katanya.

Aku mematuhinya. Kini aku siapkan diriku di atasnya. Pakaianku kulepaskan semua, aku lalu mengangkat sedikit pahanya, lalu lututnya aku pegang dan kutekan hingga berada di samping kepalanya, pantatnya sedikit terangkat dan aku berlutut, penisku sudah siap di depan mulut kemaluannya. Satu hentakan dan penisku masuk.

"Ooohh.. iya dek.. papah.. hamilin mamah ya..," katanya.

Aku goyang pinggangku. Kak Vidia memejamkan matanya, merasakan kenikmatan ini. Ia mengusap-usap dadaku, untuk memberikan kepadaku kenikmatan juga. Aku resapi setiap rangsangan pada urat-urat penisku yang diremas-remas oleh vaginanya. Rongga kemaluan kakakku benar-benar membuatku seperti terbuai oleh obat bius. Aku kemudian melebaran pahanya dan ambruk di atasnya, kupeluk dirinya. Pinggangku tetang bergoyang kali ini lebih cepat. Kedua bibir kami pun bertemu, saling menghisap.

Cukup lama aku bertahan dengan posisi itu, hingga entah berapa menit kemudian kak Vidia orgasme, ia menjerit keras ketika orgasme. Mungkin kalau saja ada orang di luar kamar akan kedengaran.

Tapi aku belum orgasme, mungkin karena tadi siang bercinta dengan mbak Juni. Sehingga produksi spermaku sedikit terhambat. Aku lalu membalikkan tubuhnya. Kak Vidia mengerti, ia menungging. Aku pun menyodoknya dengan doggy style. Puas dengan doggy style, aku lanjutkan dengan WOT. Kak VIdia tahu kalau aku suka dengan buah dadanya. Maka dari itulah ia membiarkan tanganku meremas buah dadanya dan mempermainkan putingnya. Kak Vidia orgasme lagi. Karena pada dasarnya wanita lebih banyak menyerah kalau melakukan WOT.

Kalau ingin cepat punya anak ada dua macam gaya, yaitu doggy style bagi yang rahimnya sulit dibuahi, dan gaya misionari bagi yang mudah dibuahi. Itu hanya mitos sih. Aku tak peduli, aku kemudian pakai gaya misionari. Aku peluk kakakku dengan erat dan kugoyang pantatku. Karena sepertinya sudah mentok ingin keluar.

"Kak.. aku mau keluu..aaarrr.. oohh.." kataku.

"Iya pah, mamah udah mau keluar lagi," kata kak Vidia.

"Papah ngecreeett.. ohh.. bunting dah kamu, bunting kamu kak Vidia, oh.. kakakku yang punya puting pink, tubuh semok, tubuh mulus, rasain pejuh panasku!" kataku.

"OOhh.. papah, kak Vidia dientot adek sendiri.. enakkk.. kuterima pah.. penismu enakkk.. aawww!!" kak Vidia tampak matanya memutih, serasa ia merasakan sperma hangatku membasahi ruang rahimnya. Penisku serasa ngilu sekali. Baru kali ini aku bercinta seperti ini. Aku diamkan posisi ini beberapa saat. Kemudian penisku mengecil sendiri, seluruh energiku rasanya habis, tulang-tulangku rasanya mau copot.

Kak Vidia kemudian mengambil bantal dan mengganjal pinggangnya.

"Kenapa kak?" tanyaku.

"Ini katanya biar cepat hamil," jawabnya.

Kami kemudian tidur dalam satu selimut. Kupeluk dia hingga pagi menyapa.


===x0x===


Memang mungkin semestinya aku jujur kepada mbak Juni. Aku perlu waktu memikirkan itu. File-file video dan gambar hasil keisenganku sudah aku hapus semuanya semenjak hari itu. Mungkin sudah saatnya aku full mencintai semua keluargaku dan mulai mencari pendamping hidup. Tapi tidak mudah seorang wanita mau menerima keadaanku yang seperti ini.

Tiap kali bertemu dengan mbak Juni aku kini agak lain. Selalu terdiam. Atau kadang pikiranku menerawang. Mbak Juni pun mencium ketidak beresan ini. Ia selalu bertanya kepadaku ada apa, tapi aku menjawab aku belum bisa mengatakannya sekarang.

Ku ubah konsentrasiku kepada pekerjaan. Tapi tak bisa. Tiap hari aku bertemu mbak Juni dan setiap ada kesempatan kami pasti bercinta. Baik ketika keluar kota, di kantor atau bahkan kami menyewa kamar hotel untuk bermalam.

Kak Vidia pun hamil, ia mual-mual pada hari itu. Dan ia memberikan hasil testpack-nya kepadaku. Betapa senangnya aku. Kak Vidia lebih senang lagi. Sebentar lagi aku bakal jadi ayah dari dua orang anak. Tinggal bunda yang belum. Padahal beliaulah orang yang pertama kali aku setubuhi. Tapi karena ia sering keluar kota dan beberapa waktu ini sibuk untuk mengurus bisnis waralabanya, akhirnya hubunganku dengan bunda libur sejenak.

Ketika aku ke kantor bertemu mbak Juni ia pun mengabariku sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. "Aku hamil mas."

Aku sangat senang sekali bahkan hampir tak percaya. "Tok cer ya?"

"Habis kita sering begituan, ndak kenal tempat. Aku yakin ini jadinya waktu di hotel kemarin itu," katanya. "Kalau hitunganku tak salah lho ya."

Mungkin sekarang saat yang tepat aku mengatakannya.

"Trus, bagaimana hubungan kita selanjutnya? Mau serius?" tanyaku.

"Hmmm.. gimana ya, masa' atasan mengawini bawahan?" ia bertanya kepadaku dengan nada serius campur bercanda.

"Terserah kamunya, tapi kalau pun engkau tak mau aku tetap akan bertanggung jawab atas anak itu," kataku.

"Tentu aku mau serius," katanya.

"Baiklah, cuma aku ingin cerita sedikit tentang diriku. Kalau kamu bisa menerimaku, maka kita lanjut. Kalau tidak maka itu semua kembali kepada dirimu," kataku.

Mbak Juni serius mendengarkan ceritaku. Tentu saja ia sangat kaget mendengar penjelasanku tentang masalah mother complex dan sister complex. Ia bahkan hampir saja tak percaya terhadap apa yang terjadi. Saat itulah ia pun menangis. Ia tak percaya aku adalah orang seperti itu.

"Inilah aku mbak, aku jujur kepadamu sekarang. Aku tak ingin menyimpannya lagi. Kalau mbak menerimaku, maka kita lanjut dengan segala kekuranganku. Kalau mbak tidak bisa menerimaku, maka aku bisa mengerti," kataku.

"Aku tak percaya aku bertemu dengan lelaki sepertimu, lalu kenapa kamu melakukannya sama mbak? Aku tak bisa menerimanya, tapi.. aku bingung, anak ini bagaimana?" katanya.

"Aku tetap akan bertanggung jawab, mbak tidak perlu khawatir," kataku.

"Bukan masalah itu, aku takut ketika ia bertanya kepadaku tentang seperti apa ayahnya, apa yang bisa aku jawab?" tanyanya.

"Kita akan lewati bersama mbak, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri apapun yang akan terjadi aku tetap akan menerima mbak, baik mbak menolakku atau apapun aku akan selalu ada buat mbak," kataku.

Mbak Juni menarik nafas panjang. "Aku perlu berfikir, sebab ini tak mudah bagiku. Maaf mas, mungkin aku harus menyendiri dulu untuk sementara waktu."

Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari mbak Juni. Sebab setelah itu ia tak masuk kantor lagi. Dan setelah beberapa minggu ia pun mengajukan surat pengunduran diri. Sungguh aku terpukul sekali. Apalagi mbak Juni adalah orang kepercayaan bunda sejak dulu. Ponselnya tidak aktif lagi, bahkan kontak BBMnya pun tidak aktif. Ia bagai menghilang begitu saja.

Peristiwa itu pun aku ceritakan ke seluruh keluargaku. Bunda lalu menghiburku. Kak Vidia juga, dan Nur. Mereka membesarkan hatiku bahwa sulit untuk mencari wanita yang bisa menerima apa yang kita punyai sekarang.


===x0x===


Aku mulai membangun rumah sendiri, terlebih ketika Nur melahirkan anak pertama kami yang imut dan lucu. Berjenis kelamin perempuan. Anaknya sangat montok. Kami semua bahagia dan usia kehamilan Kak Vidia pun udah masuk ke empat bulan, mulai kelihatan perutnya membuncit.

Aku bangun rumah sendiri untuk Kak Vidia, juga Nur. Walaupun tak begitu mewah seperti rumah kami sekarang, tapi cukup untuk membangun rumah tangga di sini. Posisinya juga tidak terlalu jauh, masih satu kota walaupun beda perumahan. Identitasku sekarang kuubah, agar hubungan incest kami tak ketahuan. Kami membayar beberapa orang pengurus catatan sipil untuk bisa memalsukan identitasku. Dan sekarang aku pun punya tiga istri. Yang mana aku harus adil dalam membagi jatah.

Aku benar-benar ingin membahagiakan mereka semua. Terutama bunda. Jatah bunda sekarang lebih banyak. Ini adalah inisiatif dari Nuraini dan kak Vidia. Mereka sepakat untuk melakukannya. Mereka malah yang menyemangati bunda agar bisa menyusul mereka.

"Rumah jadi sepi ya Don, semenjak kedua saudarimu ke rumah mereka masing-masing," kata bunda.

"Ini kan juga untuk membahagiakan bunda juga, kalau semuanya di sini bingung ngurus cucu-cucunya bunda," kataku.

Bunda memakai kerudung lebarnya dan ia sedang duduk di sofa ruang tamu sambil melihat halaman dari jendela. Walaupun sekarang usianya sudah kepala 4, tapi tubuhnya masih sintal. Masih bagus, beliau sering melakukan perawatan tubuh, aku bisa melihatnya sendiri.

Ini adalah hari pertamaku membagi jatah ke bunda. Karena aku dapat jatah 4 hari di rumah bunda.

"Masih belum ada kabar mengenai mbak Juni, Don?" tanya bunda.

"Belum ada, Doni sudah cari kemana-mana tapi tidak ketemu. Rumahnya yang dulu pun sudah sepi tak ada barang-barang apapun. Dia seperti hilang ditelan bumi," jawabku. "Aku menyesal sekali sepertinya."

"Kalau dihitung berarti usia kehamilannya hampir sama seperti Vidia," kata bunda. "Lebih muda dikit."

"Iya," kataku singkat.

"Tapi jangan khawatir. Kalau ia mencintaimu, ia pasti akan mencarimu, atau bahkan ia tak akan bisa melupakanmu. Ia cuma belum siap menerima keadaan ini. Kau sendiri tahu kan? Ia masih mencintaimu bunda yakin karena bunda ini juga wanita," kata bunda menghiburku. "Bunda yakin ketika nanti anaknya lahir engkau pasti akan diberi tahu, bahkan mungkin bunda yakin ia pasti akan menerimamu apa adanya."

"Bagaimana bunda bisa yakin?" tanyaku.

"Sebab, Juni itu sudah suka kepadamu sejak lama. Bunda tahu itu, saat melihatmu ia sering melamun dan senyum-senyum sendiri. Bahkan ketika kalian berhubungan wajahnya lebih sumringah daripada sebelumnya. Ia memang janda muda, tapi ia masih memiliki cinta. Dan ia baru saja menemukan cinta sejatinya," kata bunda. "Sebagaimana bunda juga masih mencintai ayahmu sampai sekarang walaupun sudah ditinggalkan. Dan sekarang bunda melihat sosok ayahmu pada dirimu. Bunda makin cinta kepadamu."

Aku menghampiri bunda dan duduk di sebelahnya. Tanpa dikomando aku mencium bibirnya.

"Bunda tahu, apapun yang bunda lakukan, tubuh bunda tetap menarik bagi Doni," kataku.

"Kamu sudah kepingin?" tanyanya.

"Kalau melihat bunda rasanya kepingin terus," jawabku.

Kami berpanggutan lagi dengan hot. Lidah kami menari-nari saling menghisap. Aku membuka kancing gamisnya, kulepas gamis itu, branya juga kulepas. Bunda menarik T-Shirt-ku dan menurunkan celana trainingku.

"Isep dong bunda," kataku.

Aku berdiri di hadapannya. Bunda duduk di sofa ia majukan wajahnya dan melahap penisku. Ia mengulumnya dengan ganas. Ia jilati ujungnya, lalu ia kulum lagi, tangan kirinya aktif meremas-remas testisku. Tangan kanannya mengusap-usap perutku, lalu terkadang memijat-mijat batang penisku, mengurutnya dan mengocoknya lembut.

"Ohhh.. bunda.. hhmmhhh..,"

Bunda masih memakai kerudungnya. Beliau agak aneh dengan fantasiku yang bercinta dengannya tapi memakai kerudung. Tapi ia sama sekali tak masalah dengan itu. Berkali-kali spermaku harus aku keluarkan di wajahnya di saat oral mengenai kerudung hitamnya. Ia menganggap fantasi sex tiap lelaki berbeda. Ia pernah bercerita kalau fantasi sex ayah dulu adalah ngentotin bunda di kebun atau di alam terbuka. Bahkan katanya hamilnya anak pertama dulu, karena mereka berhubungan intim di pegunungan. Pantas saja Kak Vidia suka banget hiking.

Sedangkan aku? Bunda menceritakan sesuatu yang tidak pernah diceritakan kepada Kak Vidia maupun Nuraini. Yaitu ayah pernah menyukai keponakannya sendiri. Dan ia jujur kepada bunda. Karena itulah bunda bersedih. Setiap bercinta selalu yang ada pada bayangan ayah adalah keponakannya itu yang bernama Laura. Aku pernah bertemu sepupuku itu tapi sudah lama, sekarang ia punya anak bernama Anisa. Dan boleh dibilang ayah pernah sekali bercinta dengan keponakannya itu, tapi tidak sampai hamil.

Bunda terpukul dengan itu, namun ketika melihat bunda hamil diriku, akhirnya ayah pun mengakui dirinya salah dan akhirnya mulai menyayangiku seperti anaknya. Mungkin karena itulah sifatku seperti ini. Dan secara tak disangka aku sangat mirip ayahku.

Hari ini aku tak mau menyia-nyiakan spermaku, aku ingin semua spermaku tumpah di rahimnya. Kita punya banyak waktu hari ini. Aku ingin mengentot bunda sampe ngilu penisku. Maka dari itulah, sebentar saja bundaku mengoralku. Aku sekarang sudah menciumi seluruh tubuhnya. Kujilati dadanya, kuhisap kuat-kuat putingnya hingga mengeras. Bunda mengeluh. Ku hisap pula klitorisnya kumainkan dan kugigit gemas. Bunda makin tergelepar-gelepar seperti ular. Berkali-kali ia berusaha mendorongku karena rangsanganku telalu membuatnya geli. Dan bunda pun orgasme hingga menjambak rambutku kuat-kuat. Nyaris itu rambutku dicabut dari tempatnya.

"Don..kamu bener-bener lain hari ini, rasanya nafsuin banget," katanya.

Aku tersenyum. Aku kemudian melumat bibirnya. Punyaku pun langsung kumasukkan sambil kutekan. Bunda kaget dan tersentak. Pinggulnya terangkat. Saat itulah aku menggoyan tubuhnya, ku benamkan sedalam-dalamnya otongku hingga mentok. Bunda mengeluh lagi. Kami berpelukan erat, kerudungnya masih menempel dan aku menghisap lidahnya. Ia mencakari punggungku ketika kenikmatan demi kenikmatan menjalar di selakangan kami.

"Don.. enak.. bunda keenakan.. ssshhh.. aahhh.." katanya.

Aku konsentrasi di bawah sana. Aku terus mengobok-obok vaginanya hingga dia kayaknya hampir orgasme lagi, dahinya mengerut, alisnya menyatu dan ia menatap mataku. Mulutnya membentuk huruf O.

"Bunda.. ohhh mau keluar..," katanya.

"Bunda keluar? keluar aja bunda," kataku. "Papah masih belum."

Bunda pun mengapit pinggangku erat-erat. Pantatnya bergetar, kuku-kukunya menggaruk punggungku, ia memelukku erat seakan tak ingin melepaskanku. Kutunggu hingga bunda merasakan rilex sejenak dan pegangannya melemah.

Kubalikkan tubuhnya, kini ia menungging di sofa. Aku kemudian menghujamkan penisku ke vaginanya dari belakang. Bunda bertumpu pada pinggiran sofa. Ia masih mengeluh ah dan uh..saat kusodok ia mengimbangiku dengan memaju mundurkan pantatnya. Rongga kemaluannya menggesek setiap syaraf kemaluanku, membuatku terbuai oleh ekstasi persetubuhan yang panas. Pantatnya yang montok memberikan sensasi tersendiri kepada area pribadiku. Testisku berkali-kali menghantam bibir vaginanya karena aku menyodoknya sampai dalam. Yang aku suka dari ketiga keluargaku adalah vagina mereka benar-benar bisa meremas penisku. Bunda juga demikian. Aku meremas-remas toketnya ketika menusuknya. Sesekali ku remas juga bongkahan pantatnya yang bahenol itu. Puas dengan doggy style, aku lalu berbaring.

Kami berhadapan. Pahanya kuangkat, penisku masuk lagi. Vagina bunda udah sangat becek. Dada kami berhimpitan, terasa debaran jantung kami. Bunda sudah lelah, ia hanya bisa menerima panggutanku saja dan mendesis pelan. Aku pelan-pelan menggesek kemaluanku keluar masuk. Sambil aku mantapkan tusukanku, rasanya kepala penisku geli sekali.

"Don, bunda rasanya ngilu banget, belum keluar juga?" tanya bunda.

"Ini mau keluar bunda. Peluklah Doni. Peluk yang erat bunda," kataku.

"Ohh.. papah, keluarkan pejuh papa yang banyak yah buahin bunda," katanya.

Pantatku kugoyangkan agak cepat, kepala penisku sudah gatal ingin menyemburkan sperma. Makin cepat-makin cepat, bunda pun memelukku erat sekali, dan kami pun orgasme bersamaan lagi. Bunda melingkarkan kakinya ke pinggulku, aku menghujam penisku dalam-dalam sampai mentok, dan semburan demi semburan cairan kental membasahi rahimnya.

"Ohh.. bunda udah lama tidak merasakan ini. Enak.. enak banget..," katanya.

Orgasme itu serasa sangat lama, penisku benar-benar ngilu. Kubiarkan penisku di dalam kemaluannya, hingga mengecil sendiri. Kami pun tertidur di sofa. Kelelahan. Senggama yang hebat. Hari itu kami tak pernah habiskan waktu yang sia-sia. Bercinta, bercinta dan bercinta. Berbagai gaya kami coba. Kami istirahat hanya untuk makan, tidur dan mandi. Kemudian bercinta lagi. Empat hari yang tidak sia-sia. Hampir tiap hari kami tidak pakai baju. Dan hampir tiap waktu kami hanya bicara dengan sentuhan, rayuan dan cumbuan.


===x0x===


Keesokan harinya aku ke tempat Nur. Ia sangat kangen denganku. Ia juga senang dengan buah hati kami dan setiap hari bermain dengannya. Aku menyewa seorang pembantu yang membantunya di rumah. Kebetulan ia juga adalah tetanggaku sendiri namanya Dian.

Dian ini orangnya imut. Rambutnya seleher. Bibirnya tipis. Suaminya bekerja sebagai buruh pabrik dan ia ini pengantin baru. Entah bagaimana cepat sekali ia akrab dengan Nur. Bahkan sering aku dengar mereka ketawa ketiwi sendiri kalau sedang ngerumpi. Pekerjaan Dian juga telaten. Semua pekerjaannya rapi dan bersih. Semuanya OK, tapi ada satu yang tidak. Apa itu? Pakaiannya itu lho. Kalau bekerja di rumah, ia selalu pakai baju lengan pendek dengan ketiaknya yang bisa dilihat. Bagian atasnya sangat longgar sehingga kalau ia membungkuk aku bisa melihat toketnya yang menggantung dan kulitnya yang putih. Ditambah ia pakai hotpants. Dan ia tidak risih.

Bisa jadi pakaiannya itu agar ia mudah untuk bekerja. Mungkin Dian tidak tahu kalau aku selalu melihatnya ketika bekerja, dan pelampiasanku, tentu saja ke Nur. Nur hanya mengira aku memang lagi kepengen karena lama tidak menyentuhnya tapi sebenarnya bukan itu sih.

Satu atau dua kali kuanggap wajar, tapi karena sudah berkali-kali akhirnya aku kepingin juga ngentotin dia. Tapi bagaimana caranya? Aku sudah membuang kloroformku dulu. Dan tak mungkin pakai cara itu. Dan sebenarnya peristiwa ini kebetulan saja sih. Kebetulan inilah yang membuat Dian akhirnya takluk juga.

Suami Dian yang buruh pabrik itu sering pergi jam 5 sore pulang jam 5 pagi. Jadi malam hari ia sering tidak di rumah. Pagi hari sampai sore selalu di rumah, sedangkan pagi sampai sore Dian bekerja di rumah kami. Karena frekuensi jarang ketemu inilah yang membuat kebutuhan Dian akan urusan ranjang kurang. Mereka jarang main, kecuali di hari minggu. Ini kuketahui nanti.

Di RT kami kebetulan pak RT-nya mengadakan inisiatif untuk mengadakan ronda. Ronda ini selalu digilir oleh bapak-bapak kampung. Namun sekali pun tidak ada jadwal boleh koq siapa saja ikutan. Pos rondanya agak jauh sih dari rumah kami, ada di ujung jalan.

"Mah, papah mau ikutan ronda," kataku.

"Lho, emang jadwalnya?" tanyanya.

"Hehehe, nggak sih kebetulan kepengen nonton bola bareng di pos ronda. Jadi ya sekalian saja ikutan ama bapak-bapak di sini biar akrab," alasanku.

Aku lalu melihat anakku yang sedang lucu-lucunya tampak bicara sendiri. Aku lalu mengajaknya bicara sampai ketawa. Nur tampak senang sekali melihat polah tingkahku yang bercanda dengan anakku.

"Udah ah pah, ntar malah ndak tidur-tidur dibecandain melulu," kata Nur.

"Papah gemes banget ama pipinya ini lho," aku lalu mencium anakku. "Apa sih sayang? Ikut papah yuk, nonton bola di pos kamling. Hehehe, ketawa lagi."

Nur lalu memelukku dan mencium pipiku. "Udah, berangkat sana!" Ia mengusap-usap pipiku.

"Agak nanti aja, masih jam 9 koq," kataku.

"Kalau ndak berangkat sekarang ntar malah ndak tidur-tidur Si Laila," kata Nur sedikit ngambek. "Dari tadi siang dibecandain melulu soalnya."

Aku lalu bangkit dan mencium kening Nur. "Ya udah, berangkat dulu." Aku mengusap kepalanya.

"Pah, mamah cinta kamu," kata Nur.

"Papah juga koq," kami berpisah dengan berciuman bibir untuk sepuluh detik. Aku selalu melakukannya kalau ingin pergi keluar rumah. Hal itu menambah kemesraan kami. Dan pernah sih hal ini ketahuan ama Dian. Dan ia buru-buru menyingkir.

Aku pun pergi keluar rumah. Di pos kamling aku bertemu dengan beberapa orang bapak-bapak yang juga tidak ada jadwal ronda tapi ikutan ronda. Di perumahan ini memang belum ada satpamnya, makanya kami mengambil inisiatif seperti ini. Pertandingan bolanya sih jam 2 malam. Dan kami sudah mengobrol ngalor ngidul sampai jam 12. Entah kenapa waktu itu udara dingin banget, sehingga aku lupa bawa sarung. Mau pulang dulu ambil sarung.

"Awas pak Doni, nanti kalau udah pulang takutnya ndak bisa balik lagi. Hawanya dingin banget," kata salah satu bapak-bapak.

"Kayaknya sih begitu," candaku. Kemudian disambung ketawa bapak-bapak yang lain.

"Maklum pak, penganten baru ya seperti itu," sahut yang lain.

Aku pun segera menuju rumahku. Perumahan ini benar-benar sepi kalau malam. Ndak ada satu pun penjual makanan yang lewat. Aku kemudian sudah sampai di rumah. Namun tampak tetanggaku Dian sedang ada di luar rumah membawa senter dan menerangi sekering listriknya di luar rumah. Lampu rumahnya mati.

"Kenapa mbak?" tanyaku.

"Ini mas, listriknya mati, bingung nyalainnya gimana," jawabnya. Ini mungkin kesempatannya. Pikirku.

Agak tak jelas sih ia pakai baju apa, karena gelap.

"Boleh saya bantu?" tanyaku.

Ia diam sejenak. Mungkin berpikir panjang, karena aku bukan suaminya. Tapi kemudian ia mempersilakan. Aku lalu meminta gunting dan obeng. Kulihat kabel sekringnya putus. Kusuruh untuk mencabut seluruh peralatan listrik kemudian aku mengambil kabel dan membetulkan listriknya. Setelah sekeringnya aku betulkan di bawah sorot lampu senternya dan terus terang bau parfumnya sangat menggoda, akhirnya listriknya bisa nyala lagi. Aku memperbaiki sekering di dalam rumahnya, dan tentu saja karena hawanya dingin pintu tertutup.

"Makasih ya mas, malah merepotkan," katanya.

"Oh tidak masalah," jawabku. Dan saat itulah aku terkejut karena tiba-tiba tvnya nyala dan kulihat tampak ada adegan bokep. Rupanya ia lupa mencabut saklar tv dan DVD-nya. Walaupun tidak bersuara otomatis kami berdua tahulah film apa itu yang sedang diputar. Wajah Dian memerah, ditambah lagi di meja aku menemukan sesuatu yang mirip penis. Dildo!?

Dian yang memakai sarung itu buru-buru mematikan dan mengambil dildonya lalu masuk ke kamar. Aku tersenyum aja. Barangkali ia sedang mastrubasi sambil nonton film itu kemudian lampunya mati.

Tak berapa lama kemudian ia keluar kamarnya. Wajahnya memerah, ia sepertinya malu sekali. "Yang tadi maaf ya mas."

"Tidak mengapa aku tahu koq kebutuhan wanita itu seperti apa," kataku.

"Maklum, Mas Joko sering keluar malam, jadinya ya ini satu-satunya pelampiasan kalau sedang sendiri," katanya sambil sedikit tertawa kecil.

"Tadi sudah tuntas belum?" candaku.

Dian bingung menjawab, lalu ia menggeleng.

"Trus kalau belum apa yang dilakukan habis ini? Melanjutkan?" tanyaku.

Ia mengangguk, sebentar kemudian menggeleng, sebentar mengangguk lagi. Ini kesempatan bagiku, setan sudah menguasai otakku. Aku lalu mendekat dan memeluknya, ia kaget dan menatap wajahku.

"Mas, jangan mas. Bagaimana dengan mbak Nur?" tanyanya.

"Kamu mau dituntaskan tidak?" tanyaku. "Ndak enak kalau main sendiri."

"Tapi mas, a..aa..ku..," ia kaget ketika aku mencium keningnya. Kemudian pipi, hidung dan bibirnya. Kami berciuman hot. Awalnya ia diam, lama kelamaan ia memanggut juga. Ia menghisap mulutku dan ia sangat panas mainnya. Ia sangat ahli dalam frenchkiss. Aku pun meraba dadanya yang ternyata tak memakai bra, aku bisa merasakan putingnya mengeras.

Sarungnya aku lepaskan hingga jatuh ke lantai. Ia pun menarik kaosku ke atas dan menciumi dadaku yang bidang. Ia mengusap-usap dadaku dan menciumi dadaku hingga ke perut, lalu ia buka celanaku. Burungku langsung melompat keluar saat ia menurunkan celana dan CD-ku. Ia berhenti sejenak.

"Pantas mbak Nur suka sama mas, ininya gedhe banget, aku sudah horni banget mas, maaf ya mbak Nur," kata Dian. Ia pun melahap penisku, dikulum dan disedot. Dimainkan kepala penisku. Mendapat perlakuan ini aku pun memegangi kepalanya dan memaju mundurkan penisku. Dian sangat ahli sekali.

Tidak butuh waktu lama untukku bisa menarik bajunya ke atas, ia sekarang sudah tak memakai baju lagi. kepalanya maju mundur sambil melirik ke arahku yang mengamatinya. Ia bahkan terkadang melakukan deep throat. Yang membuatku makin melayang. Setelah aku beri kode ia untuk berbaring di sofa ia pun menghentikan oralnya. Ia menarikku kemudian terjadilah pergumulan di sofa. Aku memastikan kalau dadanya ukurannya hampir sama seperti Nur, tapi lebih kecil sedikit dengan puting yang sudah mengeras seperti kacang berwarna coklat.

"Ohh.. mas.. puasin aku mas," katanya.

Tanpa dikomando aku sudah menyusu kepadanya. Menghisap dan memainkan puting susunya sambil meremasnya bergantian. Dian menggelinjang dan memeluk leherku. Tanganku yang lain sudah mengobok-obok vaginanya. Kuusap-usap bibir memeknya, lalu jari tanganku leluasa masuk ke dalam lubangnya yang udah basah, sisa-sia mastrubasinya tadi.

"Ohhh.. mass.. baru kali ini ada jemari lelaki lain masuk di sana," katanya.

Aku gesek-gesek sambil kumainkan buah dadanya yang berwarna putih itu. Kemudian aku naik ke lehernya, lalu menyusuri pipi dan kugigiti telinganya. Hal itu membuatnya makin terangsang ia pun mengigiti telingaku. Aku lalu ke bawah, dan kuciumi perutnya, selakangannya, pahanya, kemudian kulahap juga itu bibir memeknya yang berwarna pink kecoklatan.

"Ahhkk.. enak mas, enak.. ahhkk terus..!!" katanya. Kuhisap dan kuemuti bibir memeknya, lalu lidahku menyapu sampai ke ujungnya dan kutemukan daging menonjol. Klitorisnya itu bisa kurasakan dengan lidahku, ujung lidahku merasakan asinnya lendir kewanitaannya yang terus memancar setiap kali aku mengusap-usap klitorisnya. Pantat Dian terangkat dan ia terus-menerus mendesis.

"Udah mas, udah.. Dian mau keluar.. mau keluar.. jangan digituin.. geli.. geli mas.. udahh.. aduuuuhh.. pipis deh.. mas nakaaal.. memek dian basah deh.. aaaahkk!" Dian menggelinjang hebat dan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Aku biarkan ia sejenak.

Dian meringkuk seperti bayi. Sesekali pantatnya maju mundur sendiri. Ia seperti ulat kesetrum. Matanya memejam erat, bibir bawahnya digigit dan tangannya memeluk lututnya. Aku siapkan senjataku sekarang.

Ia tak kuijinkan berlama-lama menikmati orgasmenya. Aku lalu mengatur posisi. Lututnya aku angkat sampai ke pundaknya, buah dadanya aku atur hingga ia seperti menjepit dadanya sendiri. Dengan begitu memeknya terlihat jelas. Aku bertumpu pada lututku, kemudian penisku cukup aku tekan sedikit dan masuk begitu saja. Tapi..ada sesuatu yang aneh. Di dalam sana penisku seperti merobek sesuatu. BRETT..!!

Mata Dian terbelalak. Ia menatapku agak berkaca-kaca, mulutnya ternganga. Ia melingkarkan tangannya ke leherku.

"Mass.. perih..," katanya.

"Lho, kamu masih gadis?" tanyaku.

"Tidaklah mas, sudah dipake koq," jawabku.

"Lha trus ini?" tanyaku.

"Aku tidak tahu, mas Joko penisnya kecil, ndak sampe penuh masuknya. Aku juga kaget lihat penis mas segitu, ndak tau tapi aku kerasa perih," jawabnya.

Mungkinkah penis suaminya ndak sampai merobek selaput daranya? Kalau iya, ini rejeki yang langka. Aku lalu menggoyangnya pelan-pelan. Tarik, tekan, tarik, tekan. Biar ia tak terlalu sakit dulu.

"Yang cepat aja mas, ndak apa-apa!" kata Dian.

Aku pun mengikutinya. Kupompa agak cepat.

Dian pun bereaksi. Ia mengeluh, menggelinjang. Matanya terpejam, bibirnya menggairahkan sekali, berkali-kali aku menghisapnya. Wajahnya meringis seperti kesakitan padahal ia terasa nikmat. Memeknya benar-benar meremas-remasku dan menyedot-nyedot seperti vakum. Sepertinya Dian ini benar-benar masih gadis, aku tak peduli. Hal ini membuatku makin kepingin cepat keluar saja.

"Dian.. keluar nih," kataku.

"He-eh mas, keluarin aja.. barengan yuk," katanya.

"Ohh.. Dian.. kamu sexy sekali, mas kepengen ngentotin kamu terus.. keluar.. kkelluuuaaarr!!" aku menjerit.

Dian pun menjerit, "Maass.. aaahhkk!"

Spermaku pun tumpah di rahimnya. Ia memelukku erat untuk beberapa saat hingga kemudian ia lemas. Aku lalu menarik penisku. Saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh. Cairan sperma yang meleleh dari lubang memeknya bercampur bercak darah. Ia beneran masih gadis ternyata. Lha trus? Sebesar apa sih penis suaminya sampai ndak bisa menjebol milik istrinya sendiri??

Untuk beberapa saat kami terdiam. Dian sedang menikmati multiple orgasmenya. Tampak wajah kepuasan terpancar dari wajahnya.

"Mas, makasih ya, udah nemenin aku malam ini," katanya. Ia pun kemudian bangkit dan melihat bercak darah bercampur sperma di sofanya. Diambilnya tissue lalu dibersihkannya noda itu.

"Koq bisa kamu masih perawan?" tanyaku.

Ia kemudian memelukku sambil bercerita. Ceritanya sih ia dan suaminya sudah pacaran lama. Dan setelah menikah ia baru tahu kalau penis suaminya kecil. Meskipun kecil, mereka pun bisa koq terpuasi di ranjang. Malam pengantin mereka lewati seperti layaknya suami istri. Memang awalnya sakit banget ketika penis suaminya masuk. Tapi tidak seperti teman-teman wanitanya yang bercerita kalau malam pengantin itu sakit ketika selaput daranya robek. Namun robeknya seperti apa Dian tidak tahu. Yang jelas awal dimasuki memang perih, setelah itu ia terbiasa. Namun entah kenapa ketika baru saja melakukan denganku rasanya perih banget sampai merasa ada yang robek. Aku menduga suaminya memang tidak pernah merobek selaput daranya. Ketika ia memberitahu ukuran penis suaminya aku pun terkejut. Sangat kecil, seperti penisnya anak kecil.

Dian memang heran karena ketika ia lihat bokep sendiri bule-bule punya penis besar. Awalnya ia tak protes, karena mungkin rata-rata orang Indonesia sama bule berbeda. Tapi ia baru sadar ketika melihat penisku ternyata punya suaminya jauh lebih kecil. Ia pun bercerita karena suaminya jarang dirumah ia seperti jablay.

"Oh begitu ceritanya, kenapa ndak dibawa ke dokter aja tuh, biar penis suamimu gedhe?" tanyaku.

"Orangnya kolot mas, ia biasa-biasa saja punya penis sebesar itu. Seperti ndak ada beban," katanya. Dian kemudian memain-mainkan penisku. "Aku jadi ketagihan ama punyamu mas, gimana nih?"

Ia mengusap-usap kepala penisku dengan telunjuknya. Penisku otomatis berdiri lagi.

"Kalau mau, tiap ada kesempatan boleh koq," jawabku.

"Maaf ya mbak Nur, tapi penis suamimu emang menggoda, mmuuuacchh..," ia mencium penisku.

Aku remas dadanya lagi. Kami berpanggutan. Libido kami naik lagi. Kali ini Dian jongkok di atas tubuhku. Ia duduk di atas penisku. Sengaja tak dimasukkan, hanya digesek-gesek. Sepertinya ia sedang mengujiku.

"Enak mas, kalau diginikan?" tanyanya.

Aku yang bersandar disofa ini segera menyusu kepadanya. Kuremas-remas pantatnya dan tanganku satunya mengarahkan penisku ke lubang memeknya. Dan SLEB..

"Aww.. aww.. mass.. ohh..," keluhnya.

Pantat Dian naik turun memompa penisku. Aku tahu pada posisi ini wanita lebih cepat keluarnya. Aku tetap sabar untuk bisa memberikan kepuasan kepadanya. Buah dadanya naik turun, kadang-kadang menampar-nampar bibirku. Aku jadi gemas sehingga memencet dan menghisap puting susunya dengan mulutku. Ia kelonjotan dan makin beringas. Tak hanya naik turun, ia juga memutar-mutar pantatnya.

"Mas, koq cepet keluar ya? Aduh.. udah mau keluar lagi.. aahhkk," Dian menghentikan aktivitasnya. Ia benamkan penisku dalam-dalam ke rahimnya. Ia memelukku erat seperti orgasmenya tadi. Perlahan-lahan aku mencabut senjataku. Kubimbing Dian untuk menungging di sofa. Ia mengerti apa yang aku inginkan. Aku berdiri dan pantatnya diangkat. Kubuka kakiku untuk menyesuaikan tingginya. Lalu kuarahkan pionku menuju sarangnya. Dengan satu sentakan ia mengeluh dan menengadahkan kepalanya.

Pantatnya kusodok berkali-kali. Sensasinya nikmat sekali. Sesekali aku meremas toketnya yang bergerak naik turun seiring goyanganku itu. Rambut Dian sudah awut-awutan. Tangannya bertumpu kepada sofa, sesekali sofa di ruang tamu itu terdorong karena hentakanku.

"Mas, mentok mas, penis mas kerasa penuh," katanya.

"Memekmu juga, rasanya enak," kataku.

"Aduhhh.. enak mas, mas.. ahhh.. ohh."

Aku percepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantat Dian beradu dengan selakanganku. Kepalanya menggeleng-geleng, ia tampak merasakan nikmat yang luar biasa.

"Mas.. Dian mau keluar lagi," katanya. "Aduuh.. enak masss.. udah mas.. Dian ndak kuat.. Dian.. keluar lagi."

Aku pun begitu, kurasa penisku udah siap menyemburkan laharnya lagi. Dan benarlah. Kupercepat goyanganku, "Aku juga nih.. mau keluar lagi."

Aku lalu menarik kedua lengannya ke belakang dan pantatnya aku goyang. Makin lama makin cepat dan keluarlah laharku. Dian pun menangkat wajahnya ke atas. Ia mendongak dan matanya memutih. Penisku seperti disiram cairan hangat. Ia sudah orgasme. Kami berbarengan, ia kemudian ambruk, penisku langsung keluar begitu saja ketika ia ambruk ke atas sofa. Tampak leleran lendir panjang terbentuk ketika kedua kelamin kami berpisah. Beberapa cairan spermaku sisa-sisanya masih menetes dan jatuh di atas pantatnya. Aku juga lemes banget.

"Mas hebat, pantas mbak Nur sayang banget ama mas," katanya.

Aku melihat jam dinding, sudah jam 2 pagi. Berarti kami cukup lama bercinta.

"Boleh nih, pinjam kamar mandinya dulu," kataku.

Ia mengiyakan. Aku lalu membersihkan diriku. Biar ndak disangka macam-macam kalau balik ke pos ronda. Setelah itu aku keluar kamar mandi tampak Dian sudah berpakaian dan membersikan sisa-sisa sperma yang tumpah ke sofa. Ia juga menyemprotkan wewangian biar ndak ketahuan suaminya kalau ada sperma tumpah di situ.

"Udah ya, mau balik," kataku. "Ntar bapak-bapak curiga malahan."

"Iya, mas. Makasih ya," katanya. "Kalau boleh, mas main lagi ya? Tapi jangan sampai mas Joko tahu."

"Iya deh, bisa diatur," kataku. Aku pun mencium bibirnya sebelum keluar rumahnya.

Setelah itu aku pulang sebentar mengambil jaket dan sarung. Nur tampak tertidur sambil menjaga anakku. Aku mencium keningnya sebentar.

"Koq udah pulang mas?" tanya Nur tak curiga.

"Ngambil jaket dan sarung. Dingin banget soalnya," kataku.

"Ohh.. ya udah," katanya.

Sekembalinya ke pos ronda, bapak-bapak meledekku lagi. "Nah iya kan, lama banget baliknya."

Kami pun akhirnya nonton bareng sampe subuh. Lalu kembali ke rumah masing-masing. Pagi itu aku tidur sampe siang. Untungnya istriku pengertian banget karena mengira aku memang beneran nonton bareng ama bapak-bapak. Di kamar aku terkapar karena kelelahan habis main sama Dian. Aku tahu paginya Dian sudah ke rumahku untuk membantu-bantu istriku. Hanya saja, siangnya ada sesuatu yang aneh.

Penisku geli banget. Seperti ada sesuatu yang menggelitikinya. Aku kira itu Nur. Mataku masih terpejam. Mungkin Nur sudah kangen karena beberapa waktu ini kita memang tidak main. Semenjak setelah nifasnya selesai lebih tepatnya. Aku biarkan saja. Penisku dikocok-kocok, lalu setelah itu diemut. Diputar-putarnya kepala penisku dengan lidah. Setelah itu testisku disedot-sedot. Kemudian dijilatlah dari pangkal hingga ujung. Kemudian batangnya disedot dan diciumi. Setelah itu dimasukkan ke mulutnya hingga mentok. Aku bisa merasakan itu dari nafas hidungnya yang hampir menyentuh perutku. Aku jadi bingung, Nur ndak mungkin melakukan ini, sebab mulutnya terlalu kecil dan ia tak pernah melakukan deep throat kecuali..

Mataku lalu terbuka, aku melihat Dian tampak mengoral penisku.

"Dian?" aku terkejut.

"Udah bangun mas? Enak nda?" tanyanya.

"I..iya, Nur dimana?" tanyaku.

"Dia sedang ke puskesmas, imunisasi katanya. Takut bangunin mas jadi dia pergi sendiri," katanya.

"Lha trus kamu? Nanti ketahuan lho," kataku.

"Nggaklah, mas. Aku tahu koq sudah kuatur. Aku kangen ini soalnya," katanya sambil mengocok penisku.

"Tapi..,"

"Udah, deh. Pake toket aja ya?" katanya.

Ia lalu membuka bajunya, kemudian branya, tampaknya buah dadanya menggantung bebas. Ia lalu berbaring di atas kakiku dan memposisikan penisku dijepit oleh bukit kembarnya. Ouuhh.. nikmat. Penisku dipijat-pijat, ia sesekali menghisap dan menciumnya. Penisku makin tegang dan mau muncrat.

"Dian, udah aku mau keluar.. ooouhh..!!" aku menjerit tertahan. Dian malahan mempercepat kocokan toketnya. Maka menyemburlah air maniku. Tumpah semuanya di dada dan sebagian ke lehernya. Ia tertawa menyaksikan ini.

Setelah penisku lemas ia meratakan spermaku di dadanya. Kemudian ia menghisap penisku dan menjilati sisa-sisa spermanya. Penisku ngilu banget.

"Udah ya, hihihi," ia cekikikan lalu meninggalkanku yang ngerasain penis ngilu.


BERSAMBUNG..

LANJUTANYYA..
Seri 3 - Petualangan si Anak Nakal

Klik Nomor untuk lanjutannya
cerita sex yes, fuck my pussy. good dick. Big cock. Yes cum inside. lick my nipples. my tits are tingling. drink my breast. enjoying my milk nipples. play with my big tits. fuck my vagina until I get pregnant. play "Adult sex games" with me. satisfy your cock in my wet vagina. Asian girl hottes gorgeus. lonte, lc ngentot live, pramugari ngentot, wikwik, selebgram open BO,cerbung,
x
x