SEBELUMNYA..
Seri 1 - Petualangan si Anak Nakal
Seri 2 - Petualangan si Anak Nakal
Seri 1 - Petualangan si Anak Nakal
Seri 2 - Petualangan si Anak Nakal
Hubunganku dengan Nur masih baik-baik saja. Dia adikku sendiri, dan aku tak bisa meninggalkannya. Dian dan aku melakukannya sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan Nur. Nur sangat mencintaiku, aku tahu itu. Kami pun masih berhubungan seperti layaknya suami istri dan masih hot di atas ranjang. Kalau dengan Dian hanyalah atas dasar kebutuhan seks saja. Dian juga tahu kalau aku sangat mencintai istriku dan sangat menghormati istriku.
"Mas, aku hamil," kata Dian.
"Hah? Yang bener?" tanyaku. "Trus, suamimu bagaimana?"
"Dia seneng banget, tapi aku jamin kok ini anak mas," katanya.
"Kok kamu bisa yakin?" tanyaku.
"Jelas dong, yang sudah menjebol keperawananku cuma mas, dan mas sering nyemprot di rahimku. Jadi deh," katanya. "Tahu kalau aku hamil mas, dia seneng banget. Dia sombong banget, sampe bilang, 'Aku perkasa juga'. Padahal dalam hati aku ketawa."
Kami berdua tertawa.
"Trus gimana dong?" tanyaku.
"Jangan khawatir, ini rahasia kita. Aku akan pelihara anak kita. Ya walaupun nanti manggilnya bukan papa ke mas. Rahasia ini akan tetap kita jaga hingga entah kapan. Aku suka sama mas, aku cinta, tapi aku masih harus menghormati suamiku," jawab Dian.
"Nanti kalau anakku mirip denganku gimana?" tanyaku.
"Ndak bakal deh, semoga aja ndak. Kalau mirip ya biarin," jelasnya sambil ketawa. "Tapi biasanya anak mirip ibunya kok, kalau mirip ayahnya ya.. ndak tau juga."
"Kalau misalnya nanti suamimu tahu bagaimana?" tanyaku.
"Yah, itu sudah nasib berarti. Masnya sendiri gimana, mau nerima aku?" tanyanya.
Aku terdiam sebentar, "Harus ijin istri dulu, dan kamu mau menerima aku apapun kekuranganku."
Dian tersenyum. "Susah juga ya, pastinya mbak Nur ndak bakal mau. Soalnya ia sangat cinta banget sama mas. Kalau misalnya ndak bisa pun tak mengapa. Aku bahagia banget bisa punya anak dari mas. Aku jadi simpanan mas pun aku rela kok. Sementara ini dijalanin dulu aja. Yah, semoga aku bisa dapat anak juga dari suamiku. Masak mas terus yang ngasih benih."
Aku tersenyum dan kami pun berpelukan.
"Untuk terakhir kalinya, boleh dong mas bercinta denganku malam ini, please," rayunya.
"Aku tak bisa mbak, aku harus ke rumah istriku yang satunya," kataku.
"Oh iya, aku lupa kalau mas poligami," katanya. "Istrinya berjilbab semua ya, aku nggak. Pastinya susah kalau mereka semua menerima aku."
"Siapa tahu, semuanya tergantung dari mbak Dian kok," kataku.
"Mumpung Nur, masih ke pasar. Kita bercinta cepat yuk mas, terus terang aku sudah horni banget, gatel banget," katanya. Ternyata nafsu Dian ini besar banget.
Saat itu kami berada di dapur. Aku buru-buru membuka resleting celanaku, menurunkan celanaku dan Dian berpegangan di wastafel. Ia melihat ke jendela sambil mengamati kalau-kalau ada yang masuk ke rumah. Jendela dapur kami ditutup oleh korden tipis, kalau dari luar tak kelihatan tapi kalau dari dalam bisa melihat keluar. Aku langsung menurunkan hot pants Dian, lalu kumasukkan penisku yang sudah tegang juga. Disiram oleh pelumas Dian, penisku langsung on 100%. Aku pun menyodoknya.
"Ohh.. mass.. enak banget. Ini yang Dian suka, berjanjilah mas jangan lupakan aku!" katanya.
"Tidak bakal Dian, ohh.. enak banget memekmu," kataku.
"Kontol mas, enak banget, gurih.. aahh.. memekku penuh rasanya," rancaunya.
Aku menggoyangkan pantatku maju mundur. Dian merem melek, sambil sesekali melihat pagar rumah. Aku pun percepat goyanganku takut kalau Nur pulang. Dan Dian melihat Nur sampai di pagar.
"Mas, ada mbak Nur!" bisiknya.
Aku percepat goyanganku.
"Udah mas, udah..! Ntar ketahuan!" bisik Dian.
Tanggung penisku udah mau keluar, aku pun tuntaskan sekalian.
"Dikit lagi, aku keluar. Ohhh.. Diann.. hhhmmmhhh,"
Kuremas toketnya kuat-kuat saat spermaku menyembur keluar membasahi rahimnya. Pantatku menghujam beberapa kali.
Sementara itu, Nur tampak disapa oleh tetangga kami, ia kemudian meletakkan kresek belanjaannya di teras kemudian kembali ke luar rumah untuk berbicara ama salah seorang ibu-ibu komplek.
Dian lega banget, aku mencabut penisku. Lahar putih spermaku mengalir ke pahanya. Ia mencari-cari tissue dan membersihkannya kemudian kami berpakaian lagi. Sex tercepat yang pernah aku lakukan.
Ini adalah terakhir kalinya aku bersenggama dengan Dian, karena setelah itu ia lebih menjaga kehamilannya dan melayani suaminya. Hubungan kami setelah itu adalah seperti tetangga biasa. Bahkan setelah anaknya lahir yang memang sedikit mirip aku, tapi lebih banyak mirip ibunya, kami tak pernah melakukan hubungan itu lagi.
Suaminya makin sayang kepadanya dan sekarang berkat nasehatnya suaminya mau terapi biar penisnya lebih besar lagi. Dan sampai saat itu ia tak pernah curiga. Tak tahu nanti seperti apa.
Setelah hubungan panas kami di dapur itu. Aku pun kemudian pergi ke rumah Kak Vidia. Sekarang ini sudah hampir lahiran. Aku menjadi suami siaga. Kak Vidia makin merindukanku. Orang hamil besar biasanya lebih horni. Dan benar, setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Kak Vidia pasti bercinta denganku. Apalagi aku suka sekali sekarang susunya sudah keluar. Aku bisa menyusu kepadanya seperti bayi sekarang. Dan ia sangat terangsang karena perlakuanku kepada putingnya itu. Ia sampai bilang, "Kalau nanti dedeknya lahir, kayaknya papah bakal ada saingan nih. Ini aja nyusunya kayak orok."
Sama seperti Nur, kak Vidia punya tetangga juga. Sudah punya anak satu. Namanya Isti. Umurnya hampir sama seperti bunda. Anaknya udah kelas 4 SD. Suaminya sendiri bekerja di sebuah perusahaan besi baja di luar kota. Pergi hari Senin, pulang pasti hari sabtu. Dan mereka berkumpul hanya pada hari sabtu dan minggu. Ada juga tetanggaku yang sering mengunjungi kami selain Isti, namanya Erna. Pekerjannya adalah SPG di salah satu mall, walaupun berjilbab, tapi jilbab yang dipakai masih terbilang sexy. Tapi itu ceritanya nanti.
Aku saat itu masih di toko ketika Kak Vidia sudah kontraksi, untunglah tetangga kami bernama Bu Isti ini bisa membantu. Dipanggil taksi kemudian pergi ke rumah sakit. Mendengar kabar itu aku segera pergi ke rumah sakit bersama bunda. Tentu saja bunda sangat senang karena ia akan punya cucu. Ia pergi dengan perut buncit, cikal bakal anakku, dan juga cucunya tentunya.
Di rumah sakit aku pun langsung masuk kamar bersalin dan mendampingi kak Vidia. Kami bahagia sekali ketika sebuah kepala nongol, lalu disusul tubuhnya yang lain. Kami bersyukur lahir normal tanpa cacat. Anaknya laki-laki. Aku kemudian menamainya Zahir. Bunda bahagia sekali punya cucu baru. Nur juga bahagia, ia kuberitahu ketika Kak Vidia lahiran. Ia langsung pergi ke rumah sakit. Wajah anakku ini mirip denganku, bahkan Kak Vidia mengatakan, "Papah kecil."
"Setelah ini kita pake pembantu aja ya?" usulku ke Kak Vidia.
"Iya deh mas, kalau bunda membantu juga ndak bakal bisa kayaknya ya bund?" kak Vidia menoleh ke arah bunda. Tampak anakku sedang menggeliat-geliat mencari puting susu istriku. Lalu ia pun menyusu.
"Bunda masih kuat kok, masak sudah ngelahirin 3 orang anak cuma bantu gini saja ndak kuat. Bunda udah biasa," katanya sambil mengedip ke arahku.
"Ya sudah, kalau begitu kak Vidia tinggal di rumah bunda aja ya?" kataku.
"Trus, rumahnya bagaimana?" tanya Kak Vidia.
"Ya nggak apa-apa kan? Ditinggal sementara waktu, Kan ndak lama sampai nifasmu selesai baru balik lagi ke rumah. Sementara ini kan kamu masih lemes," kataku.
"Iya deh pah," kata kak Vidia. "Tetapi minta tolong dong, itu kayaknya ada atap yang bocor. Papah bisa benerin nggak?"
"Di sebelah mana?" tanyaku.
"Di kamarnya dedek, yang udah kita siapkan itu. Coba deh dibenerin dulu, ntar dedek kalau bocor kamarnya pas hujan kan kasihan," katanya.
"Iya, iya, nanti aku cek," kataku.
"Haii Zahir, lucunya. Tuh Laila, itu sepupu Laila, namanya Zahir," anakku tampak matanya yang bulat mengamati Zahir sambil mengoceh entah bahasa apa. Kami semua tersenyum melihat tingkah polah anak bayi ini. Bunda lalu mencium Laila karena gemes.
Dua hari kemudian aku ke rumah Kak Vidia untuk benerin atap yang bocor. Aku menyewa tukang untuk benerin. Saat itulah Bu Isti menyapaku.
"Gimana mas, lahirannya?" tanyanya.
"Cowok bu," jawabku.
"Waahh.. selamat ya, namanya siapa?" tanyanya.
"Zahir Putra Pratama," jawabku.
"Alh*md*li*lah kalau begitu," katanya. "Mau renovasi mas? Kok ada tukang segala?"
"Iya, atap bocor," tukasku.
"Mbak Vidianya ke mana? Ke rumah orang tua?" tanyanya.
"Iya, sementara tinggal di sana dulu," jawabku.
Aku pun kemudian ngobrol ngalor ngidul ama tetanggaku ini. Mulai dari pendidikan, keluarga hingga tempat tinggal. Bu Isti memang tak punya teman untuk diajak bicara di rumah, makanya itu ia sering cerita sana-sini dengan ibu-ibu tetangga yang lainnya.
Ternyata atap bocor karena ada genteng yang retak serta talangnya bocor. Kurogoh kocek untuk membeli apapun yang dibutuhkan oleh tukang. Udah siang hari dan aku belum makan siang.
Bu Isti menyapaku lagi, "Udah makan siang belum mas? Nih buat tukangnya." Ia membawa nampan berisi gorengan dan kopi.
"Waduh bu, merepotkan saja," kataku.
"Nggak apa-apa, lagian kasihan tuh mas-mas tukangnya masak ndak dikasih minum?" tanyanya.
"Itu udah ada di dalem," aku menunjuk satu dus minuman ringan dan beberapa potong kue.
"Ini tambahan, mas Doni kalau laper makan di rumahku gih," ajaknya.
"Gimana ya?" aku agak ndak enak.
"Nggak apa-apa," katanya.
Aku pun mengangguk. Aku menerima nampannya lalu kuletakkan di meja di dalam rumah.
"Mas, aku hamil," kata Dian.
"Hah? Yang bener?" tanyaku. "Trus, suamimu bagaimana?"
"Dia seneng banget, tapi aku jamin kok ini anak mas," katanya.
"Kok kamu bisa yakin?" tanyaku.
"Jelas dong, yang sudah menjebol keperawananku cuma mas, dan mas sering nyemprot di rahimku. Jadi deh," katanya. "Tahu kalau aku hamil mas, dia seneng banget. Dia sombong banget, sampe bilang, 'Aku perkasa juga'. Padahal dalam hati aku ketawa."
Kami berdua tertawa.
"Trus gimana dong?" tanyaku.
"Jangan khawatir, ini rahasia kita. Aku akan pelihara anak kita. Ya walaupun nanti manggilnya bukan papa ke mas. Rahasia ini akan tetap kita jaga hingga entah kapan. Aku suka sama mas, aku cinta, tapi aku masih harus menghormati suamiku," jawab Dian.
"Nanti kalau anakku mirip denganku gimana?" tanyaku.
"Ndak bakal deh, semoga aja ndak. Kalau mirip ya biarin," jelasnya sambil ketawa. "Tapi biasanya anak mirip ibunya kok, kalau mirip ayahnya ya.. ndak tau juga."
"Kalau misalnya nanti suamimu tahu bagaimana?" tanyaku.
"Yah, itu sudah nasib berarti. Masnya sendiri gimana, mau nerima aku?" tanyanya.
Aku terdiam sebentar, "Harus ijin istri dulu, dan kamu mau menerima aku apapun kekuranganku."
Dian tersenyum. "Susah juga ya, pastinya mbak Nur ndak bakal mau. Soalnya ia sangat cinta banget sama mas. Kalau misalnya ndak bisa pun tak mengapa. Aku bahagia banget bisa punya anak dari mas. Aku jadi simpanan mas pun aku rela kok. Sementara ini dijalanin dulu aja. Yah, semoga aku bisa dapat anak juga dari suamiku. Masak mas terus yang ngasih benih."
Aku tersenyum dan kami pun berpelukan.
"Untuk terakhir kalinya, boleh dong mas bercinta denganku malam ini, please," rayunya.
"Aku tak bisa mbak, aku harus ke rumah istriku yang satunya," kataku.
"Oh iya, aku lupa kalau mas poligami," katanya. "Istrinya berjilbab semua ya, aku nggak. Pastinya susah kalau mereka semua menerima aku."
"Siapa tahu, semuanya tergantung dari mbak Dian kok," kataku.
"Mumpung Nur, masih ke pasar. Kita bercinta cepat yuk mas, terus terang aku sudah horni banget, gatel banget," katanya. Ternyata nafsu Dian ini besar banget.
Saat itu kami berada di dapur. Aku buru-buru membuka resleting celanaku, menurunkan celanaku dan Dian berpegangan di wastafel. Ia melihat ke jendela sambil mengamati kalau-kalau ada yang masuk ke rumah. Jendela dapur kami ditutup oleh korden tipis, kalau dari luar tak kelihatan tapi kalau dari dalam bisa melihat keluar. Aku langsung menurunkan hot pants Dian, lalu kumasukkan penisku yang sudah tegang juga. Disiram oleh pelumas Dian, penisku langsung on 100%. Aku pun menyodoknya.
"Ohh.. mass.. enak banget. Ini yang Dian suka, berjanjilah mas jangan lupakan aku!" katanya.
"Tidak bakal Dian, ohh.. enak banget memekmu," kataku.
"Kontol mas, enak banget, gurih.. aahh.. memekku penuh rasanya," rancaunya.
Aku menggoyangkan pantatku maju mundur. Dian merem melek, sambil sesekali melihat pagar rumah. Aku pun percepat goyanganku takut kalau Nur pulang. Dan Dian melihat Nur sampai di pagar.
"Mas, ada mbak Nur!" bisiknya.
Aku percepat goyanganku.
"Udah mas, udah..! Ntar ketahuan!" bisik Dian.
Tanggung penisku udah mau keluar, aku pun tuntaskan sekalian.
"Dikit lagi, aku keluar. Ohhh.. Diann.. hhhmmmhhh,"
Kuremas toketnya kuat-kuat saat spermaku menyembur keluar membasahi rahimnya. Pantatku menghujam beberapa kali.
Sementara itu, Nur tampak disapa oleh tetangga kami, ia kemudian meletakkan kresek belanjaannya di teras kemudian kembali ke luar rumah untuk berbicara ama salah seorang ibu-ibu komplek.
Dian lega banget, aku mencabut penisku. Lahar putih spermaku mengalir ke pahanya. Ia mencari-cari tissue dan membersihkannya kemudian kami berpakaian lagi. Sex tercepat yang pernah aku lakukan.
Ini adalah terakhir kalinya aku bersenggama dengan Dian, karena setelah itu ia lebih menjaga kehamilannya dan melayani suaminya. Hubungan kami setelah itu adalah seperti tetangga biasa. Bahkan setelah anaknya lahir yang memang sedikit mirip aku, tapi lebih banyak mirip ibunya, kami tak pernah melakukan hubungan itu lagi.
Suaminya makin sayang kepadanya dan sekarang berkat nasehatnya suaminya mau terapi biar penisnya lebih besar lagi. Dan sampai saat itu ia tak pernah curiga. Tak tahu nanti seperti apa.
Setelah hubungan panas kami di dapur itu. Aku pun kemudian pergi ke rumah Kak Vidia. Sekarang ini sudah hampir lahiran. Aku menjadi suami siaga. Kak Vidia makin merindukanku. Orang hamil besar biasanya lebih horni. Dan benar, setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Kak Vidia pasti bercinta denganku. Apalagi aku suka sekali sekarang susunya sudah keluar. Aku bisa menyusu kepadanya seperti bayi sekarang. Dan ia sangat terangsang karena perlakuanku kepada putingnya itu. Ia sampai bilang, "Kalau nanti dedeknya lahir, kayaknya papah bakal ada saingan nih. Ini aja nyusunya kayak orok."
Sama seperti Nur, kak Vidia punya tetangga juga. Sudah punya anak satu. Namanya Isti. Umurnya hampir sama seperti bunda. Anaknya udah kelas 4 SD. Suaminya sendiri bekerja di sebuah perusahaan besi baja di luar kota. Pergi hari Senin, pulang pasti hari sabtu. Dan mereka berkumpul hanya pada hari sabtu dan minggu. Ada juga tetanggaku yang sering mengunjungi kami selain Isti, namanya Erna. Pekerjannya adalah SPG di salah satu mall, walaupun berjilbab, tapi jilbab yang dipakai masih terbilang sexy. Tapi itu ceritanya nanti.
Aku saat itu masih di toko ketika Kak Vidia sudah kontraksi, untunglah tetangga kami bernama Bu Isti ini bisa membantu. Dipanggil taksi kemudian pergi ke rumah sakit. Mendengar kabar itu aku segera pergi ke rumah sakit bersama bunda. Tentu saja bunda sangat senang karena ia akan punya cucu. Ia pergi dengan perut buncit, cikal bakal anakku, dan juga cucunya tentunya.
Di rumah sakit aku pun langsung masuk kamar bersalin dan mendampingi kak Vidia. Kami bahagia sekali ketika sebuah kepala nongol, lalu disusul tubuhnya yang lain. Kami bersyukur lahir normal tanpa cacat. Anaknya laki-laki. Aku kemudian menamainya Zahir. Bunda bahagia sekali punya cucu baru. Nur juga bahagia, ia kuberitahu ketika Kak Vidia lahiran. Ia langsung pergi ke rumah sakit. Wajah anakku ini mirip denganku, bahkan Kak Vidia mengatakan, "Papah kecil."
"Setelah ini kita pake pembantu aja ya?" usulku ke Kak Vidia.
"Iya deh mas, kalau bunda membantu juga ndak bakal bisa kayaknya ya bund?" kak Vidia menoleh ke arah bunda. Tampak anakku sedang menggeliat-geliat mencari puting susu istriku. Lalu ia pun menyusu.
"Bunda masih kuat kok, masak sudah ngelahirin 3 orang anak cuma bantu gini saja ndak kuat. Bunda udah biasa," katanya sambil mengedip ke arahku.
"Ya sudah, kalau begitu kak Vidia tinggal di rumah bunda aja ya?" kataku.
"Trus, rumahnya bagaimana?" tanya Kak Vidia.
"Ya nggak apa-apa kan? Ditinggal sementara waktu, Kan ndak lama sampai nifasmu selesai baru balik lagi ke rumah. Sementara ini kan kamu masih lemes," kataku.
"Iya deh pah," kata kak Vidia. "Tetapi minta tolong dong, itu kayaknya ada atap yang bocor. Papah bisa benerin nggak?"
"Di sebelah mana?" tanyaku.
"Di kamarnya dedek, yang udah kita siapkan itu. Coba deh dibenerin dulu, ntar dedek kalau bocor kamarnya pas hujan kan kasihan," katanya.
"Iya, iya, nanti aku cek," kataku.
"Haii Zahir, lucunya. Tuh Laila, itu sepupu Laila, namanya Zahir," anakku tampak matanya yang bulat mengamati Zahir sambil mengoceh entah bahasa apa. Kami semua tersenyum melihat tingkah polah anak bayi ini. Bunda lalu mencium Laila karena gemes.
Dua hari kemudian aku ke rumah Kak Vidia untuk benerin atap yang bocor. Aku menyewa tukang untuk benerin. Saat itulah Bu Isti menyapaku.
"Gimana mas, lahirannya?" tanyanya.
"Cowok bu," jawabku.
"Waahh.. selamat ya, namanya siapa?" tanyanya.
"Zahir Putra Pratama," jawabku.
"Alh*md*li*lah kalau begitu," katanya. "Mau renovasi mas? Kok ada tukang segala?"
"Iya, atap bocor," tukasku.
"Mbak Vidianya ke mana? Ke rumah orang tua?" tanyanya.
"Iya, sementara tinggal di sana dulu," jawabku.
Aku pun kemudian ngobrol ngalor ngidul ama tetanggaku ini. Mulai dari pendidikan, keluarga hingga tempat tinggal. Bu Isti memang tak punya teman untuk diajak bicara di rumah, makanya itu ia sering cerita sana-sini dengan ibu-ibu tetangga yang lainnya.
Ternyata atap bocor karena ada genteng yang retak serta talangnya bocor. Kurogoh kocek untuk membeli apapun yang dibutuhkan oleh tukang. Udah siang hari dan aku belum makan siang.
Bu Isti menyapaku lagi, "Udah makan siang belum mas? Nih buat tukangnya." Ia membawa nampan berisi gorengan dan kopi.
"Waduh bu, merepotkan saja," kataku.
"Nggak apa-apa, lagian kasihan tuh mas-mas tukangnya masak ndak dikasih minum?" tanyanya.
"Itu udah ada di dalem," aku menunjuk satu dus minuman ringan dan beberapa potong kue.
"Ini tambahan, mas Doni kalau laper makan di rumahku gih," ajaknya.
"Gimana ya?" aku agak ndak enak.
"Nggak apa-apa," katanya.
Aku pun mengangguk. Aku menerima nampannya lalu kuletakkan di meja di dalam rumah.
Sementara para tukang bekerja istirahat dulu sambil menikmati suguhan kami. Aku pergi ke tetangga sebelah. Bu Isti langsung mempersilakan masuk. Anaknya tampak sudah pulang dan sedang menonton tv. Anaknya seorang cewek namanya Luna. Melihatku masuk ia tampak senang sekali.
"Om? Boleh ya main ke rumah Om seperti kemaren?" tanyanya.
"Ya.. boleh-boleh aja," jawabku. Ia suka menonton home theater yang aku punya di rumah. Bahkan terkadang ia main ke rumahku cuma untuk menyetel film kesukaannya dengan DVD. Karena tv-ku besar, makanya ia sangat suka sekali kalau nonton tv di rumahku.
"Hush.. ndak boleh seperti itu," kata Bu Isti.
"Ibu, kan om bolehin," katanya.
"Iya kok boleh, ndak apa-apa, tapi harus juga belajar ya? Ndak nonton terus," kataku. "Agak nanti ya, soalnya rumah Om masih dibenerin."
Ia setuju.
Aku pun akhirnya makan siang di rumah Bu Isti. Orangnya ramah dan masakannya juga enak. Setelah kenyang aku pun akhirnya pulang. Pekerjaan tukang sudah selesai.
Malamnya Luna main ke rumah. Ia pun akhirnya menyetel kaset DVD yang ia bawa. Banyak banget. Bu Isti mengijinkan asal jangan lupa untuk pulang.
Aku masih di rumah itu sambil sesekali beres-beres dan bersih-bersih rumah sampai malam. Dan itu si Luna betah saja nonton. Sampe akhirnya ia tertidur di sofaku yang nyaman. Waduh aku bingung juga mau bangunin. Akhirnya kubiarkan saja.
Saat itu Bu Isti datang ke rumah untuk mengajak Luna pulang.
"Udah tidur bu," kataku.
"Waduh trus bagaimana mas?" tanyanya.
"Biarin aja tidur di sini, sudah aku selimuti kok," kataku.
"Maaf kalau merepotkan," katanya. "Ya sudah, aku tinggal dulu deh kalau begitu, kalau nanti ia bangun suruh pulang ya mas?"
Aku mengangguk.
Tapi tampaknya Luna tak bangun-bangun juga, mungkin karena capek atau sofaku terlalu nyaman. Dan sudah pukul 10 malam. Perumahan ini memang sepi kalau jam segini. Bu Isti pun datang lagi. Aku saat itu masih membuka pintu dan duduk di teras.
"Belum bangun juga mas?" tanya Bu Isti.
"Belum bu, kalau ndak keberatan Bu Isti tidur di sini saja," kataku menawarkan.
Ia agak ragu. "Tapi nanti dilihat tetangga ndak enak mas."
"Tetangga yang mana bu, wong perumahan sepi seperti ini kok," kataku. "Kalau mbak Erna sih sekarang malah belum pulang dari mall. Aku juga ndak enak kalau bangunin Luna."
"Ya udah deh, makasih tawarannya," katanya. Awalnya aku tak ada niat untuk punya pikiran ngentotin dia.
Akhirnya ia pun masuk rumahku. Karena sudah malam aku menutup pintu.
"Bu Isti tidur di kamarku saja, aku mau tidur di bawah, maaf kalau cuma punya satu tempat tidur. Soalnya yang satunya lagi tempat tidur bayi" kataku.
"Ndak mas, aku tidur di bawah aja dekat Luna," katanya.
"Jangan, ntar kalau Bu Isti sakit aku yang bingung," kataku.
Bu Isti kemudian terdiam sejenak. "Ya udah deh mas, gini aja kita tidur seranjang tapi jangan berdempetan ya?"
"Wah, nanti bisa berabe bu, takut aku," kataku.
"Aku juga bingung, soalnya kebiasaanku biasa ngelonin Luna dan takut tidur sendirian di rumah, gimana ya?.." Bu Isti tampak khawatir.
Aku pun berpikir keras.
"Ya udah deh, kita tidur seranjang. Tapi ndak berdempetan. Misalnya nanti kalau sampai kelewat batas, aku tak tanggung jawab lho ya?" kataku
"Emangnya kelewat batas seperti apa mas?" katanya sambil tersenyum.
"Ya, ibu tahu sendiri," jawabku.
Bu Isti tertawa kecil. "Iya, iya, ibu tahu kok. Mas Doni ini paling setia sama istrinya."
Akhirnya kami pun beneran tidur seranjang. Ada sesuatu yang unik. Sebelum tidur Bu Isti melepaskan bra-nya ia bilang biar ndak sakit kalau tidur. Dan kami pun tertidur saling membelakangi. Aku memang bisa tidur bahkan terlelap selama beberapa jam, hingga kemudian hawa dingin mulai masuk melalui angin-angin yang ada di kamar.
Secara tak sengaja aku dan Bu Isti berpelukan. Aku tak sadar dan dia tak sadar. Wajah kami bertemu kedua tangan kami saling merangkul. Bibir kami pun bertemu secara tak sengaja. Dan kami terbangun. Kami kaget dan saling membelakangi lagi.
"Maaf, mas," katanya.
"Maafkan aku Bu, ndak sengaja," kataku.
"Aku juga," katanya.
Setelah itu kami terdiam. Aku tahu kami sama-sama tidak bisa tidur setelah itu. Sementara itu hawa dingin makin menusuk. Sialnya juga aku cuma punya satu selimut dan itu sudah aku berikan ke Luna. Ia pasti hangat dengan selimutnya. Aku menggigil.
"Mas, maaf apakah mas ngidupin AC kamar? Tolong matiin dong!" katanya.
"Aku ndak punya AC bu, ini memang hawanya dingin," kataku.
Kami terdiam lagi.
"Mas ndak punya selimut lagi?" tanyanya.
"Tidak bu, udah dipakai oleh Luna," jawabku.
Kami terdiam lama sekali, aku makin menggigil.
"Maaf, ibu kedinginan. Mas Doni kedinginan juga kan? Kalau boleh kita berpelukan biar hangat, sekali lagi maaf," katanya.
Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi aku memeluknya dari belakang. CESSSS..rasanya. Jantungku berdebar-debar. Dan aku bisa rasakan jantung Bu Isti juga berdebar-debar.
"Aku punya sarung bu, buat ibu kalau mau," kataku.
Kemudian aku mengambil sarung dari lemari, Bu Isti bangun lalu menerimanya.
"Tapi buat mas apa?" tanyanya.
"Aku ndak apa-apa," jawabku.
"Kita satu sarung saja mas, dingin banget hari ini," katanya. "Maklum kita kan ada di kota M, makanya dingin apalagi ini pegunungan."
Aku pun tak bisa berpikir panjang lagi, kami pun satu sarung. Saling berpelukan. Tubuh Bu Isti masih bagus. Dadanya masih kencang, kulitnya juga masih halus. Walaupun mungkin perutnya sedikit buncit. Aku memeluknya dari belakang, Kami sudah pakai dua sarung. Sebagian menutupi kaki kami, sebagian lagi badan kami. Sudah mulai hangat. Namun ternyata penisku tak bisa diajak kompromi. Karena terus menekan pantat Bu Isti akhirnya tegang juga.
"Mas, ada yang keras," kata Bu Isti.
"Maaf bu, aku juga lelaki. Wajar kalau begini," kataku.
"Iya, aku tahu. Keras banget tapi," katanya. "Mas Doni sering main sama istrinya?"
"I..iya, kenapa bu?"
"Pantes saja, istrinya takluk begitu," jelasnya.
Entah siapa yang memulai, kini mulutku yang ada di tengkuknya sekarang menciuminya.
"Bu Isti, maaf, tapi aku ndak tahan lagi bu. Aku kepengen bisa menjinakkan senjataku ini. Udah kepingin," kataku.
"Aku ngerti kok mas, ibu juga kepengen," katanya. Ia lalu berbalik di dalam sarung yang sempit ini. Kami lalu berciuman. Tangannya yang dingin kemudian menuju ke penisku. Ia mengelus-elusnya dari luar kolor. "Besar ya mas?"
Kami berpanggutan, panase kali, aku tak sabar meremas-remas dadanya. Akhirnya Kami duduk, kemudian saling melepas baju kami semuanya. Kemudian saling berpelukan di dalam sarung lagi. Dada kami bersatu. Mulut kami berpanggutan dan kemaluan kami pun bertemu. Tak kusangka Bu Isti ini sudah becek di bawah sana.
"Aku sudah becek dari tadi mas, mikirin kita seperti ini," kata Bu Isti. "ohh.. masss.. puasin ibu.. ibu sudah lama ndak begituan sama suami."
Penisku langsung masuk begitu saja memeknya. Memeknya memang jarang dipakai, akibatnya agak seret waktu digesek. Hawa dingin yang menusuk ini, kini sudah mulai menghangat, karena pergumulan kami makin hot di atas ranjang. Kami saling menciumi, ia menghisap leherku, aku juga. Kuhisap puting susunya menonjol itu kuat-kuat. Dadanya masih kencang walaupun usianya sudah kepala 4. Aku menekan-nekan pantatku, hingga Bu Isti terdorong ke tembok. Posisi ini ternyata lebih cepat membuatku untuk ejakulasi. Demikian juga Bu Isti.
"Mas, Ibu mau keluar, soalnya geli banget," katanya.
Mungkin juga karena hawa dingin yang membuat tubuh kami menggigil, karena itu membuat getaran-getaran tertentu yang merangsang testisku untuk cepat berproduksi.
"Sama bu, enak banget," kataku.
Kami pun sama-sama keluar. Spermaku tumpah di rahimnya. Kami kemudian berguling-guling di atas ranjang, dan aku menindihnya. Bu Isti dan aku berpandangan sesaat. Kemudian kami berpanggutan lagi. Setelah itu kami saling berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin yang menusuk.
Boro-boro untuk tidur. Kami malah saling bicara.
Bu Isti terus terang kalau ketika pertama kali berkenalan sudah naksir aku, tapi cuma dipendam saja. Ndak nyangka kalau berakhir di atas ranjang. Dan ia pun cerita kalau karena frekuensi bertemu dengan suaminya jarang, makanya ia susah mendapatkan kepuasan. Walaupun sudah lama hidup berumah tangga. Sessat kemudian kami punya energi lagi dan melanjutkan gairah ini. Aku sodok sekarang ia dari belakang sambil tetap berbaring di dalam sarung. Setelah orgasme lagi, aku mengulanginya lagi dari atas. Rasanya aku seperti menghianati Kak Vidia, karena bersenggama dengan orang lain di atas kasur kami.
Kami pun akhirnya tertidur kelelahan dan penisku serasa ngilu karena bercinta sampai 5 ronde malam itu.
Paginya Bu Isti bangun duluan. Karena aku mendapati tidur sendirian dengan sarung. Aku bangun dan melihatnya berpakaian.
"Sudah pagi mas, makasih ya semalam," katanya. "Besok atau kapan-kapan diulang lagi. Ibu suka dengan ketahanan mas di atas ranjang."
Kemudian kami berpisah dengan panggutan yang hot. Setelah itu ia membangunkan anaknya untuk pulang, karena Luna masih sekolah hari ini.
Kak Vidia pun kembali ke rumah. Dan Zahir anakku yang masih kecil itu sangat menggemaskan. Sama seperti Laila yang juga montok. Kak Vidia lebih mencintaiku lagi. Kami lebih selalu bermanja-manja dengan kehadiran anak kami. Kami pun menyewa pembantu, namun Bu Isti menawarkan dirinya untuk menjadi babysitter. Karena kami sudah kenal baik, tentu saja aku mengenal Bu Isti, maka kami pun mempersilakannya.
"Om? Boleh ya main ke rumah Om seperti kemaren?" tanyanya.
"Ya.. boleh-boleh aja," jawabku. Ia suka menonton home theater yang aku punya di rumah. Bahkan terkadang ia main ke rumahku cuma untuk menyetel film kesukaannya dengan DVD. Karena tv-ku besar, makanya ia sangat suka sekali kalau nonton tv di rumahku.
"Hush.. ndak boleh seperti itu," kata Bu Isti.
"Ibu, kan om bolehin," katanya.
"Iya kok boleh, ndak apa-apa, tapi harus juga belajar ya? Ndak nonton terus," kataku. "Agak nanti ya, soalnya rumah Om masih dibenerin."
Ia setuju.
Aku pun akhirnya makan siang di rumah Bu Isti. Orangnya ramah dan masakannya juga enak. Setelah kenyang aku pun akhirnya pulang. Pekerjaan tukang sudah selesai.
Malamnya Luna main ke rumah. Ia pun akhirnya menyetel kaset DVD yang ia bawa. Banyak banget. Bu Isti mengijinkan asal jangan lupa untuk pulang.
Aku masih di rumah itu sambil sesekali beres-beres dan bersih-bersih rumah sampai malam. Dan itu si Luna betah saja nonton. Sampe akhirnya ia tertidur di sofaku yang nyaman. Waduh aku bingung juga mau bangunin. Akhirnya kubiarkan saja.
Saat itu Bu Isti datang ke rumah untuk mengajak Luna pulang.
"Udah tidur bu," kataku.
"Waduh trus bagaimana mas?" tanyanya.
"Biarin aja tidur di sini, sudah aku selimuti kok," kataku.
"Maaf kalau merepotkan," katanya. "Ya sudah, aku tinggal dulu deh kalau begitu, kalau nanti ia bangun suruh pulang ya mas?"
Aku mengangguk.
Tapi tampaknya Luna tak bangun-bangun juga, mungkin karena capek atau sofaku terlalu nyaman. Dan sudah pukul 10 malam. Perumahan ini memang sepi kalau jam segini. Bu Isti pun datang lagi. Aku saat itu masih membuka pintu dan duduk di teras.
"Belum bangun juga mas?" tanya Bu Isti.
"Belum bu, kalau ndak keberatan Bu Isti tidur di sini saja," kataku menawarkan.
Ia agak ragu. "Tapi nanti dilihat tetangga ndak enak mas."
"Tetangga yang mana bu, wong perumahan sepi seperti ini kok," kataku. "Kalau mbak Erna sih sekarang malah belum pulang dari mall. Aku juga ndak enak kalau bangunin Luna."
"Ya udah deh, makasih tawarannya," katanya. Awalnya aku tak ada niat untuk punya pikiran ngentotin dia.
Akhirnya ia pun masuk rumahku. Karena sudah malam aku menutup pintu.
"Bu Isti tidur di kamarku saja, aku mau tidur di bawah, maaf kalau cuma punya satu tempat tidur. Soalnya yang satunya lagi tempat tidur bayi" kataku.
"Ndak mas, aku tidur di bawah aja dekat Luna," katanya.
"Jangan, ntar kalau Bu Isti sakit aku yang bingung," kataku.
Bu Isti kemudian terdiam sejenak. "Ya udah deh mas, gini aja kita tidur seranjang tapi jangan berdempetan ya?"
"Wah, nanti bisa berabe bu, takut aku," kataku.
"Aku juga bingung, soalnya kebiasaanku biasa ngelonin Luna dan takut tidur sendirian di rumah, gimana ya?.." Bu Isti tampak khawatir.
Aku pun berpikir keras.
"Ya udah deh, kita tidur seranjang. Tapi ndak berdempetan. Misalnya nanti kalau sampai kelewat batas, aku tak tanggung jawab lho ya?" kataku
"Emangnya kelewat batas seperti apa mas?" katanya sambil tersenyum.
"Ya, ibu tahu sendiri," jawabku.
Bu Isti tertawa kecil. "Iya, iya, ibu tahu kok. Mas Doni ini paling setia sama istrinya."
Akhirnya kami pun beneran tidur seranjang. Ada sesuatu yang unik. Sebelum tidur Bu Isti melepaskan bra-nya ia bilang biar ndak sakit kalau tidur. Dan kami pun tertidur saling membelakangi. Aku memang bisa tidur bahkan terlelap selama beberapa jam, hingga kemudian hawa dingin mulai masuk melalui angin-angin yang ada di kamar.
Secara tak sengaja aku dan Bu Isti berpelukan. Aku tak sadar dan dia tak sadar. Wajah kami bertemu kedua tangan kami saling merangkul. Bibir kami pun bertemu secara tak sengaja. Dan kami terbangun. Kami kaget dan saling membelakangi lagi.
"Maaf, mas," katanya.
"Maafkan aku Bu, ndak sengaja," kataku.
"Aku juga," katanya.
Setelah itu kami terdiam. Aku tahu kami sama-sama tidak bisa tidur setelah itu. Sementara itu hawa dingin makin menusuk. Sialnya juga aku cuma punya satu selimut dan itu sudah aku berikan ke Luna. Ia pasti hangat dengan selimutnya. Aku menggigil.
"Mas, maaf apakah mas ngidupin AC kamar? Tolong matiin dong!" katanya.
"Aku ndak punya AC bu, ini memang hawanya dingin," kataku.
Kami terdiam lagi.
"Mas ndak punya selimut lagi?" tanyanya.
"Tidak bu, udah dipakai oleh Luna," jawabku.
Kami terdiam lama sekali, aku makin menggigil.
"Maaf, ibu kedinginan. Mas Doni kedinginan juga kan? Kalau boleh kita berpelukan biar hangat, sekali lagi maaf," katanya.
Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi aku memeluknya dari belakang. CESSSS..rasanya. Jantungku berdebar-debar. Dan aku bisa rasakan jantung Bu Isti juga berdebar-debar.
"Aku punya sarung bu, buat ibu kalau mau," kataku.
Kemudian aku mengambil sarung dari lemari, Bu Isti bangun lalu menerimanya.
"Tapi buat mas apa?" tanyanya.
"Aku ndak apa-apa," jawabku.
"Kita satu sarung saja mas, dingin banget hari ini," katanya. "Maklum kita kan ada di kota M, makanya dingin apalagi ini pegunungan."
Aku pun tak bisa berpikir panjang lagi, kami pun satu sarung. Saling berpelukan. Tubuh Bu Isti masih bagus. Dadanya masih kencang, kulitnya juga masih halus. Walaupun mungkin perutnya sedikit buncit. Aku memeluknya dari belakang, Kami sudah pakai dua sarung. Sebagian menutupi kaki kami, sebagian lagi badan kami. Sudah mulai hangat. Namun ternyata penisku tak bisa diajak kompromi. Karena terus menekan pantat Bu Isti akhirnya tegang juga.
"Mas, ada yang keras," kata Bu Isti.
"Maaf bu, aku juga lelaki. Wajar kalau begini," kataku.
"Iya, aku tahu. Keras banget tapi," katanya. "Mas Doni sering main sama istrinya?"
"I..iya, kenapa bu?"
"Pantes saja, istrinya takluk begitu," jelasnya.
Entah siapa yang memulai, kini mulutku yang ada di tengkuknya sekarang menciuminya.
"Bu Isti, maaf, tapi aku ndak tahan lagi bu. Aku kepengen bisa menjinakkan senjataku ini. Udah kepingin," kataku.
"Aku ngerti kok mas, ibu juga kepengen," katanya. Ia lalu berbalik di dalam sarung yang sempit ini. Kami lalu berciuman. Tangannya yang dingin kemudian menuju ke penisku. Ia mengelus-elusnya dari luar kolor. "Besar ya mas?"
Kami berpanggutan, panase kali, aku tak sabar meremas-remas dadanya. Akhirnya Kami duduk, kemudian saling melepas baju kami semuanya. Kemudian saling berpelukan di dalam sarung lagi. Dada kami bersatu. Mulut kami berpanggutan dan kemaluan kami pun bertemu. Tak kusangka Bu Isti ini sudah becek di bawah sana.
"Aku sudah becek dari tadi mas, mikirin kita seperti ini," kata Bu Isti. "ohh.. masss.. puasin ibu.. ibu sudah lama ndak begituan sama suami."
Penisku langsung masuk begitu saja memeknya. Memeknya memang jarang dipakai, akibatnya agak seret waktu digesek. Hawa dingin yang menusuk ini, kini sudah mulai menghangat, karena pergumulan kami makin hot di atas ranjang. Kami saling menciumi, ia menghisap leherku, aku juga. Kuhisap puting susunya menonjol itu kuat-kuat. Dadanya masih kencang walaupun usianya sudah kepala 4. Aku menekan-nekan pantatku, hingga Bu Isti terdorong ke tembok. Posisi ini ternyata lebih cepat membuatku untuk ejakulasi. Demikian juga Bu Isti.
"Mas, Ibu mau keluar, soalnya geli banget," katanya.
Mungkin juga karena hawa dingin yang membuat tubuh kami menggigil, karena itu membuat getaran-getaran tertentu yang merangsang testisku untuk cepat berproduksi.
"Sama bu, enak banget," kataku.
Kami pun sama-sama keluar. Spermaku tumpah di rahimnya. Kami kemudian berguling-guling di atas ranjang, dan aku menindihnya. Bu Isti dan aku berpandangan sesaat. Kemudian kami berpanggutan lagi. Setelah itu kami saling berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin yang menusuk.
Boro-boro untuk tidur. Kami malah saling bicara.
Bu Isti terus terang kalau ketika pertama kali berkenalan sudah naksir aku, tapi cuma dipendam saja. Ndak nyangka kalau berakhir di atas ranjang. Dan ia pun cerita kalau karena frekuensi bertemu dengan suaminya jarang, makanya ia susah mendapatkan kepuasan. Walaupun sudah lama hidup berumah tangga. Sessat kemudian kami punya energi lagi dan melanjutkan gairah ini. Aku sodok sekarang ia dari belakang sambil tetap berbaring di dalam sarung. Setelah orgasme lagi, aku mengulanginya lagi dari atas. Rasanya aku seperti menghianati Kak Vidia, karena bersenggama dengan orang lain di atas kasur kami.
Kami pun akhirnya tertidur kelelahan dan penisku serasa ngilu karena bercinta sampai 5 ronde malam itu.
Paginya Bu Isti bangun duluan. Karena aku mendapati tidur sendirian dengan sarung. Aku bangun dan melihatnya berpakaian.
"Sudah pagi mas, makasih ya semalam," katanya. "Besok atau kapan-kapan diulang lagi. Ibu suka dengan ketahanan mas di atas ranjang."
Kemudian kami berpisah dengan panggutan yang hot. Setelah itu ia membangunkan anaknya untuk pulang, karena Luna masih sekolah hari ini.
Kak Vidia pun kembali ke rumah. Dan Zahir anakku yang masih kecil itu sangat menggemaskan. Sama seperti Laila yang juga montok. Kak Vidia lebih mencintaiku lagi. Kami lebih selalu bermanja-manja dengan kehadiran anak kami. Kami pun menyewa pembantu, namun Bu Isti menawarkan dirinya untuk menjadi babysitter. Karena kami sudah kenal baik, tentu saja aku mengenal Bu Isti, maka kami pun mempersilakannya.
Setelah bayaran disepakati, apalagi Bu Isti di rumah juga tak bekerja hanya menjaga Luna.
Sehingga ketika pulang sekolah, Luna langsung bermain dan menjaga anakku. Jadi punya teman main. Sedangkan aku? Tentu saja harus menggilir istri-istriku yang lain. Jadi setiap hari tidak di rumah Kak Vidia.
Aku setelah malam dengan Bu ISti itu tidak lagi main dengannya lagi walaupun sekali. Aneh memang dan Bu Isti sendiri tak pernah mengajakku ataupun aku mengajaknya. Tapi setiap kali kami bertemu selalu pandangan kami penuh arti. Mungkin karena memang kita tidak punya kesempatan untuk melakukannya, sebab Kak Vidia selalu di rumah.
Suatu hari ketika anakku sudah usia 2 bulan dan sudah bisa tengkurap, saat itulah satu-satunya kesempatanku untuk bisa bertemu dengan Bu Isti dan satu-satunya kesempatan. Pak Joko sakit. Kerja shift malam membuatnya sakit paru-paru basah. Ia dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu sampai kondisinya membaik. Otomatis Bu Isti untuk sementara waktu tak bisa menjadi baby sitter anakku. Malah istriku yang jadi baby sitter untuk Luna, karena Bu Isti masih menunggui suaminya di rumah sakit.
Suatu pagi aku akan berangkat ke toko. Saat itulah istriku minta tolong, "Pah, tolongin Bu Isti ya, berangkat ke rumah sakit, sekalian anterin anaknya ke sekolah. Kasihan beliau udah banyak nolong kita."
"Oh, iya, ndak masalah," kataku.
Bu Isti pun diberitahu oleh istriku untuk barengan aja. Ia pun tidak menolak. Sekolah Luna sebenarnya tidak jauh dari komplek. Lima menit saja sudah sampai dengan mobilku. Kemudian Bu Isti pindah duduk di sebelahku. Saat itulah kami pun ngobrol.
"Gimana kabarnya bu?" tanyaku.
"Baik-baik saja mas," jawabnya. "Masnya tanya kabar yang mana?"
"Suaminya sekarang sakit, bagaimana pelampiasannya?" tanyaku. Ia pun mencubitku.
"Masnya ini lho, kok ya ngeres aja. Ntar kubilangin istrinya lho kalau genit-genit seperti ini," katanya.
Aku mengemudikan mobilku melewati tempat yang agak sepi. "Ya, Bu Isti sendiri bagaimana perasaannya setelah malam itu?"
Dia menarik nafas panjang. Aku menghentikan mobilku. Jauh dari keramaian. Kanan kiri kami adalah perkebunan dan sawah. Jalanan ini 500meter ke depan barulah ada pemukiman.
"Mas, sebenarnya aku agak besalah sama suamiku," katanya. "Tapi, mas juga tak bisa aku lupakan. Karena tiap hari ketemu. Memang, ada rasa kepengen kalau ketemu sama mas. Tapi, aku ndak enak sama istri mas."
"Trus, kita bagaimana Bu enaknya sekarang?" tanyaku.
Bu Isti mengusap pipiku. "Ibu masih mecintai suami ibu, tapi apau yang kita lakukan kemarin, anggap saja sebagai kecelakaan. Ibu menyukainya, aku yakin kamu juga demikian. Kita kubur saja ini sebagai kenangan. Aku tak enak kepada istrimu dan menghancurkan rumah tangga kalian. Bagaimana?"
Aku terdiam dan menatap kesungguhan di matanya. Senyumannya menyungging.
"Aku ingin mengajak Ibu ke sebuah tempat, kalau boleh?" kataku.
Bu Isti bertanya, "Tempat apa?"
"Ada aja, boleh ya?" tanyaku.
Bu Isti agak ragu kemudian ia membolehkan. Aku punya tempat istirahat yang baru saja aku beli setahun lalu. Tempat ini biasanya aku pakai kalau sedang liburan. Tempatnya ada 1 jam perjalanan. Bu Isti tampak penasaran. Aku merahasiakan tempat ini sampai kemudian kami sampai.
"Tempat apa ini mas?" tanyanya.
"Ini rumah istirahatku," kataku.
"Kayak villa," gumamnya. "Ndak ada yang jaga?"
Aku menggeleng. "Tidak ada. Sementara ini tidak ada. Masih kosong, tapi perabot-perabotannya sudah ada."
"Trus, tujuan kita ke sini buat apa?" tanyanya.
"Karena kita ingin menyudahi semua ini, aku ingin seharian ini kau menjadi wanitaku," kataku.
"Oh..mas, trus nanti Luna gimana pulang sekolahnya? Aku juga harus menemani suamiku," katanya.
"Luna kan pulangnya ke rumahku, biasanya juga kan pulang sendiri. Nanti sebelum sore kita sudah balik kuantar ke rumah sakit. Bagaimana?" tanyaku.
Bu Isti tersenyum. "Terserah deh mas."
Aku kemudian menggandeng tangannya. Kubuka rumah itu. Kuncinya selalu ada di mobilku. Begitu masuk, aku langsung memanggutnya, Bu Isti pun rasanya sudah tak tahan lagi. Ia langsung menyambutku. Kami pun melucuti pakaian kami. Aku langsung masuk ke kamar dan membopongnya ke tempat tidur. Setelah itu kami pun menghabiskan waktu sebaik-baiknya untuk bercinta. Aku tak menyia-nyiakan spermaku, kutumpahkan semuanya ke vaginanya. Berbagi gaya kami lakukan dan setelah itu rasanya tulang kami rontok semua setelah itu.
Tapi kami mengumpulkan tenaga karena harus kembali lagi. Terus terang setelah bercinta hari itu, kami ada perasaan sedih. Dan komitmen kami adalah tidak melakukan hal ini lagi setelah ini.
****
Sorenya aku sudah kembali dan mengantarkan Bu Isti ke rumah sakit. Aku pun memberi alasan bertemu teman, untuk urusan bisnis karena itu tak ke kantor. Bu Isti pun memberi alasan mampir ke rumah temannya dulu untuk bantu-bantu karena ada pengajian.
Hari itu aku tak ke mana-mana, langsung pulang ke rumah Nur karena jatah hari ini ke tempatnya Nur. Aku langsung tidur dan istirahat, karena capek sekali. Untunglah Nur memijitiku ketika aku tidur, sehingga capekku bisa terobati.
****
Hari minggu, aku ke mall. Karena saat itu sedang ada tamu artis, mall sangat ramai. Para muda-mudi sudah standby di depan panggung dan menunggu artis pujaannya. Kalau aku sih cuma belanja aja. Aku ke mall bersama bunda. Perutnya sudah besar, mungkin bulan depan udah lahiran. Kami belanja untuk kebutuhan bayi.
"Capek sekali bunda pah," kata bunda kepadaku.
Aku melihat ke sebuah stand pijat. "Mau pijit dulu bunda? Mumpung ada tuh."
"Ide bagus, istirahat dulu ya pah. Papah jalan-jalan dulu deh beli kebutuhan, nanti temui bunda lagi di sini," katanya.
Aku pun mengantarkan bunda ke tempat pijit itu. Tempat pijat itu memakai kursi pijat dan tampaknya sedang antri dari 5 kursi, masih dipakai. Bunda tak masalah, karena memang ia sudah capek berjalan. Aku pun pamit dulu untuk belanja.
Aku pun berjalan-jalan berbelanja sendiri. Saat itu aku melintasi sebuah stand kosmetik. Aku sepertinya kenal dengan seseorang.
"Lho, mbak Erna?" sapaku.
"Eh, pak Doni. Apa kabar pak?" sapanya balik.
Ia adalah tetanggaku di rumahnya Kak Vidia. Saat itulah aku cukup cuci mata dengannya. Ia pakai rok pendek, setengah paha, ia memakai blazer, dan stocking berwarna hitam. Rambutnya sebahu, bibirnya cukup sensual dan ia tersenyum manis kepadaku.
"Sama siapa pak? Kok sendirian?" tanyanya.
"Sama istri, masih di stand pijat. Ini sedang belanja buat si kecil," kataku.
"Oh, begitu. Ndak nyoba kosmetiknya pak? Buat nyonya?" tanyanya.
"Boleh deh, coba apa aja yang ada?" tanyaku.
Kemudian Erna menjelaskan segala hal tentang produknya. Bahkan aku pun disuruh untuk mencoba pelembabnya. Kami juga kadang sesekali bercanda.
"Gimana pak? Mau beli?" tanyanya.
"Wah, gimana ya?" aku bingung juga. Namun aku teringat tentang SPG-SPG yang gatel dan bisa diajak kencan. Apa mungkin Erna tetanggaku ini mau? Tapi kucoba aja deh, namanya juga iseng.
"Mumpung ada promo lho pak?" katanya.
"Aku bisa saja sih beli, tapi mungkin ada tambahannya," kataku sambil tersenyum.
"Tambahan apa?" tanyanya.
"Aku ingin membayar lebih, itu kalau kamu mau sih," jawabku.
Erna penasaran, "Bayar lebih gimana sih pak?"
"Mungkin dengan kita kencan gitu," kataku dengan suara hampir tak terdengar.
"Ih, bapak genit. Kubilang ke istrinya tahu rasa lho," katanya.
"Yah, ini beneran kok. Aku bisa beli beberapa produkmu. Kamu untung dan tentunya aku juga untung. Toh kita tak ada ruginya. Gimana?"
Erna menggigit bibirnya, "Gimana ya..?"
"Udah berapa lama kamu di sini? Daripada ndak laku lho. Kalau setuju besok kita ketemuan di sini jam seginian," kataku.
Erna tak menjawab. Aku pun lalu berjalan meninggalkannya. Jual mahal dikitlah.
"Pak, pak tunggu!" panggil Erna.
Aku pun berhenti, lalu menoleh kepadanya.
"I..iya deh, beneran lho ya borong semua," katanya.
Aku mengangguk. "Kamu tahu nomor teleponku kan?"
Ia menggeleng. Kemudian aku memberikan nomor ponselku. Dan aku melanjutkan berbelanja lagi. Aku meninggalkan Erna dengan wajah yang menerawang jauh. Entah apa yang ada di pikirannya. Setelah berbelanja aku kembali ke tempat bunda. Ia sudah selesai ternyata dan kami pun pulang.
Esok sorenya. Sesuai janjiku aku menunggu Erna di tempat parkir. Ia pun menelponku.
"Bapak di mana?" tanyanya di ponsel.
"Di tempat parkir. Turun aja aku ada di pintu deket tangga kok," kataku.
Tak berapa lama kemudian ia muncul. Kali ini bajunya agak lain. Masih pakai blazer dan rok mini tapi warnanya merah. Dan ia tak pakai stocking.
"Bagaimana suamimu?" tanyaku.
"Aku udah ijin kok, nginap di rumah temen," jawabnya.
"Kalau kamu tidak mau atau berubah pikiran, sekarang saja. Sebab aku tak mau ketika di tengah jalan nanti kamu berubah pikiran," kataku.
Ia menggeleng. "Aku siap kok pak."
"Ok, ayo!" aku pun mengajaknya ke mobilku. Di dalam mobil aku mencoba untuk meraba tangannya. Ia tak menolak. Bahkan tersenyum kepadaku.
"Kau sudah pernah seperti ini sebelumnya?" tanyaku.
"Sejujurnya, ini yang pertama pak," jawabnya.
"Yang bener? Trus kenapa kok mau?" tanyaku.
"Lagi kepepet pak," katanya.
"Panggil saja mas, aku masih belum 30 tahun kok," kataku.
"I..iya pak, eh mas..," katanya.
Aku memancingnya lagi, "Sekarang kita sudah masuk mobil. Kalau misalnya engkau berubah pikiran tidak mengapa."
Ia menggeleng. "Tidak apa-apa mas."
Sehingga ketika pulang sekolah, Luna langsung bermain dan menjaga anakku. Jadi punya teman main. Sedangkan aku? Tentu saja harus menggilir istri-istriku yang lain. Jadi setiap hari tidak di rumah Kak Vidia.
Aku setelah malam dengan Bu ISti itu tidak lagi main dengannya lagi walaupun sekali. Aneh memang dan Bu Isti sendiri tak pernah mengajakku ataupun aku mengajaknya. Tapi setiap kali kami bertemu selalu pandangan kami penuh arti. Mungkin karena memang kita tidak punya kesempatan untuk melakukannya, sebab Kak Vidia selalu di rumah.
Suatu hari ketika anakku sudah usia 2 bulan dan sudah bisa tengkurap, saat itulah satu-satunya kesempatanku untuk bisa bertemu dengan Bu Isti dan satu-satunya kesempatan. Pak Joko sakit. Kerja shift malam membuatnya sakit paru-paru basah. Ia dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu sampai kondisinya membaik. Otomatis Bu Isti untuk sementara waktu tak bisa menjadi baby sitter anakku. Malah istriku yang jadi baby sitter untuk Luna, karena Bu Isti masih menunggui suaminya di rumah sakit.
Suatu pagi aku akan berangkat ke toko. Saat itulah istriku minta tolong, "Pah, tolongin Bu Isti ya, berangkat ke rumah sakit, sekalian anterin anaknya ke sekolah. Kasihan beliau udah banyak nolong kita."
"Oh, iya, ndak masalah," kataku.
Bu Isti pun diberitahu oleh istriku untuk barengan aja. Ia pun tidak menolak. Sekolah Luna sebenarnya tidak jauh dari komplek. Lima menit saja sudah sampai dengan mobilku. Kemudian Bu Isti pindah duduk di sebelahku. Saat itulah kami pun ngobrol.
"Gimana kabarnya bu?" tanyaku.
"Baik-baik saja mas," jawabnya. "Masnya tanya kabar yang mana?"
"Suaminya sekarang sakit, bagaimana pelampiasannya?" tanyaku. Ia pun mencubitku.
"Masnya ini lho, kok ya ngeres aja. Ntar kubilangin istrinya lho kalau genit-genit seperti ini," katanya.
Aku mengemudikan mobilku melewati tempat yang agak sepi. "Ya, Bu Isti sendiri bagaimana perasaannya setelah malam itu?"
Dia menarik nafas panjang. Aku menghentikan mobilku. Jauh dari keramaian. Kanan kiri kami adalah perkebunan dan sawah. Jalanan ini 500meter ke depan barulah ada pemukiman.
"Mas, sebenarnya aku agak besalah sama suamiku," katanya. "Tapi, mas juga tak bisa aku lupakan. Karena tiap hari ketemu. Memang, ada rasa kepengen kalau ketemu sama mas. Tapi, aku ndak enak sama istri mas."
"Trus, kita bagaimana Bu enaknya sekarang?" tanyaku.
Bu Isti mengusap pipiku. "Ibu masih mecintai suami ibu, tapi apau yang kita lakukan kemarin, anggap saja sebagai kecelakaan. Ibu menyukainya, aku yakin kamu juga demikian. Kita kubur saja ini sebagai kenangan. Aku tak enak kepada istrimu dan menghancurkan rumah tangga kalian. Bagaimana?"
Aku terdiam dan menatap kesungguhan di matanya. Senyumannya menyungging.
"Aku ingin mengajak Ibu ke sebuah tempat, kalau boleh?" kataku.
Bu Isti bertanya, "Tempat apa?"
"Ada aja, boleh ya?" tanyaku.
Bu Isti agak ragu kemudian ia membolehkan. Aku punya tempat istirahat yang baru saja aku beli setahun lalu. Tempat ini biasanya aku pakai kalau sedang liburan. Tempatnya ada 1 jam perjalanan. Bu Isti tampak penasaran. Aku merahasiakan tempat ini sampai kemudian kami sampai.
"Tempat apa ini mas?" tanyanya.
"Ini rumah istirahatku," kataku.
"Kayak villa," gumamnya. "Ndak ada yang jaga?"
Aku menggeleng. "Tidak ada. Sementara ini tidak ada. Masih kosong, tapi perabot-perabotannya sudah ada."
"Trus, tujuan kita ke sini buat apa?" tanyanya.
"Karena kita ingin menyudahi semua ini, aku ingin seharian ini kau menjadi wanitaku," kataku.
"Oh..mas, trus nanti Luna gimana pulang sekolahnya? Aku juga harus menemani suamiku," katanya.
"Luna kan pulangnya ke rumahku, biasanya juga kan pulang sendiri. Nanti sebelum sore kita sudah balik kuantar ke rumah sakit. Bagaimana?" tanyaku.
Bu Isti tersenyum. "Terserah deh mas."
Aku kemudian menggandeng tangannya. Kubuka rumah itu. Kuncinya selalu ada di mobilku. Begitu masuk, aku langsung memanggutnya, Bu Isti pun rasanya sudah tak tahan lagi. Ia langsung menyambutku. Kami pun melucuti pakaian kami. Aku langsung masuk ke kamar dan membopongnya ke tempat tidur. Setelah itu kami pun menghabiskan waktu sebaik-baiknya untuk bercinta. Aku tak menyia-nyiakan spermaku, kutumpahkan semuanya ke vaginanya. Berbagi gaya kami lakukan dan setelah itu rasanya tulang kami rontok semua setelah itu.
Tapi kami mengumpulkan tenaga karena harus kembali lagi. Terus terang setelah bercinta hari itu, kami ada perasaan sedih. Dan komitmen kami adalah tidak melakukan hal ini lagi setelah ini.
****
Sorenya aku sudah kembali dan mengantarkan Bu Isti ke rumah sakit. Aku pun memberi alasan bertemu teman, untuk urusan bisnis karena itu tak ke kantor. Bu Isti pun memberi alasan mampir ke rumah temannya dulu untuk bantu-bantu karena ada pengajian.
Hari itu aku tak ke mana-mana, langsung pulang ke rumah Nur karena jatah hari ini ke tempatnya Nur. Aku langsung tidur dan istirahat, karena capek sekali. Untunglah Nur memijitiku ketika aku tidur, sehingga capekku bisa terobati.
****
Hari minggu, aku ke mall. Karena saat itu sedang ada tamu artis, mall sangat ramai. Para muda-mudi sudah standby di depan panggung dan menunggu artis pujaannya. Kalau aku sih cuma belanja aja. Aku ke mall bersama bunda. Perutnya sudah besar, mungkin bulan depan udah lahiran. Kami belanja untuk kebutuhan bayi.
"Capek sekali bunda pah," kata bunda kepadaku.
Aku melihat ke sebuah stand pijat. "Mau pijit dulu bunda? Mumpung ada tuh."
"Ide bagus, istirahat dulu ya pah. Papah jalan-jalan dulu deh beli kebutuhan, nanti temui bunda lagi di sini," katanya.
Aku pun mengantarkan bunda ke tempat pijit itu. Tempat pijat itu memakai kursi pijat dan tampaknya sedang antri dari 5 kursi, masih dipakai. Bunda tak masalah, karena memang ia sudah capek berjalan. Aku pun pamit dulu untuk belanja.
Aku pun berjalan-jalan berbelanja sendiri. Saat itu aku melintasi sebuah stand kosmetik. Aku sepertinya kenal dengan seseorang.
"Lho, mbak Erna?" sapaku.
"Eh, pak Doni. Apa kabar pak?" sapanya balik.
Ia adalah tetanggaku di rumahnya Kak Vidia. Saat itulah aku cukup cuci mata dengannya. Ia pakai rok pendek, setengah paha, ia memakai blazer, dan stocking berwarna hitam. Rambutnya sebahu, bibirnya cukup sensual dan ia tersenyum manis kepadaku.
"Sama siapa pak? Kok sendirian?" tanyanya.
"Sama istri, masih di stand pijat. Ini sedang belanja buat si kecil," kataku.
"Oh, begitu. Ndak nyoba kosmetiknya pak? Buat nyonya?" tanyanya.
"Boleh deh, coba apa aja yang ada?" tanyaku.
Kemudian Erna menjelaskan segala hal tentang produknya. Bahkan aku pun disuruh untuk mencoba pelembabnya. Kami juga kadang sesekali bercanda.
"Gimana pak? Mau beli?" tanyanya.
"Wah, gimana ya?" aku bingung juga. Namun aku teringat tentang SPG-SPG yang gatel dan bisa diajak kencan. Apa mungkin Erna tetanggaku ini mau? Tapi kucoba aja deh, namanya juga iseng.
"Mumpung ada promo lho pak?" katanya.
"Aku bisa saja sih beli, tapi mungkin ada tambahannya," kataku sambil tersenyum.
"Tambahan apa?" tanyanya.
"Aku ingin membayar lebih, itu kalau kamu mau sih," jawabku.
Erna penasaran, "Bayar lebih gimana sih pak?"
"Mungkin dengan kita kencan gitu," kataku dengan suara hampir tak terdengar.
"Ih, bapak genit. Kubilang ke istrinya tahu rasa lho," katanya.
"Yah, ini beneran kok. Aku bisa beli beberapa produkmu. Kamu untung dan tentunya aku juga untung. Toh kita tak ada ruginya. Gimana?"
Erna menggigit bibirnya, "Gimana ya..?"
"Udah berapa lama kamu di sini? Daripada ndak laku lho. Kalau setuju besok kita ketemuan di sini jam seginian," kataku.
Erna tak menjawab. Aku pun lalu berjalan meninggalkannya. Jual mahal dikitlah.
"Pak, pak tunggu!" panggil Erna.
Aku pun berhenti, lalu menoleh kepadanya.
"I..iya deh, beneran lho ya borong semua," katanya.
Aku mengangguk. "Kamu tahu nomor teleponku kan?"
Ia menggeleng. Kemudian aku memberikan nomor ponselku. Dan aku melanjutkan berbelanja lagi. Aku meninggalkan Erna dengan wajah yang menerawang jauh. Entah apa yang ada di pikirannya. Setelah berbelanja aku kembali ke tempat bunda. Ia sudah selesai ternyata dan kami pun pulang.
Esok sorenya. Sesuai janjiku aku menunggu Erna di tempat parkir. Ia pun menelponku.
"Bapak di mana?" tanyanya di ponsel.
"Di tempat parkir. Turun aja aku ada di pintu deket tangga kok," kataku.
Tak berapa lama kemudian ia muncul. Kali ini bajunya agak lain. Masih pakai blazer dan rok mini tapi warnanya merah. Dan ia tak pakai stocking.
"Bagaimana suamimu?" tanyaku.
"Aku udah ijin kok, nginap di rumah temen," jawabnya.
"Kalau kamu tidak mau atau berubah pikiran, sekarang saja. Sebab aku tak mau ketika di tengah jalan nanti kamu berubah pikiran," kataku.
Ia menggeleng. "Aku siap kok pak."
"Ok, ayo!" aku pun mengajaknya ke mobilku. Di dalam mobil aku mencoba untuk meraba tangannya. Ia tak menolak. Bahkan tersenyum kepadaku.
"Kau sudah pernah seperti ini sebelumnya?" tanyaku.
"Sejujurnya, ini yang pertama pak," jawabnya.
"Yang bener? Trus kenapa kok mau?" tanyaku.
"Lagi kepepet pak," katanya.
"Panggil saja mas, aku masih belum 30 tahun kok," kataku.
"I..iya pak, eh mas..," katanya.
Aku memancingnya lagi, "Sekarang kita sudah masuk mobil. Kalau misalnya engkau berubah pikiran tidak mengapa."
Ia menggeleng. "Tidak apa-apa mas."
Aku kemudian mendekat kepadanya, ku sentuh wajahnya, kemudian aku tarik kepalanya untuk mendekat kepadaku. Bibirku pun maju menyentuh bibirnya. Aku kemudian menghisap bibirnya, mulutnya sedikit terbuka dan menerima lidahku masuk ke mulutnya. kami pun saling menghisap. Untuk beberapa saat ciuman itu membuatku yakin ia sudah siap.
"Aku ingin mengajakmu ke sebuah villa, jangan ke hotel," kataku.
Ia mengangguk, "Terserah saja deh mas."
Mobilku pun melaju meninggalkan kota menuju ke villa. Selama perjalanan, aku mengusap-usap paha Erna. Ternyata ia tak memakai hotpants. Aku bisa langsung merasakan celana dalamnya ketika merogoh ke dalam rok mininya. Aku menyetir mobil dengan tenang, ketika aku tidak mengubah gigi kopling aku kembali mengusap-usap kemaluannya dari luar celana dalamnya. Erna hanya menggigit bibir saja kuperlakukan seperti itu. Terkadang ia bermain ponselnya mencoba menahan rangsangan yang aku lakukan. Tapi sepertinya percuma, karena ia sesekali memejamkan mata, dan menggigit bibirnya. Hingga kemudian ia bersandar di kursi menengadahkan kepalanya dan memegang tanganku erat-erat.
"Udah mas, udah..," aku mengerti ia orgasme. Celana dalamnya becek sekali.
"Dilepas saja dong, becek tuh," kataku.
"Mas sih, nakal banget!" katanya.
Aku tersenyum. Ia pun segera melepas celana dalamnya dan membuangnya ke belakang jok. Aku kemudian membuka resletingku. Penisku yang sudah tegang pun nongol.
"Nah, kalau ini enaknya diapain?" tanyaku.
"Ih, genit ya mas ini. Udah gedhe aja," katanya.
Ia kemudian memegang benda itu. Diremas-remasnya, lalu dikocok-kocoknya.
"Gedhe banget mas, ntar kalau masuk sakit pastinya," katanya.
"Kok bisa?" tanyaku. "Emang punya suamimu seberapa?"
"Hmm.. sepertiganya kayaknya," jawabnya. "Tapi itu aja udah enak kok mas."
Selama perjalanan itu penisku dikocok, diremas dan dibelai-belai. Dan sampai di tujuan, kayaknya Erna cukup capek karena belum keluar-keluar penisku.
"Mas kuat juga ya, padahal suamiku dikocok gini aja keluar lho," katanya.
Setelah tiba, aku langsung mengajaknya masuk. Kubetulkan celanaku dan kuambil kunci villa. Setelah masuk aku persilakan ia untuk masuk ke kamar. Kami tak perlu dikomando. Aku sudah melepaskan bajuku. Bahkan ia kubantu untuk melepaskan bajunya. Kami pun berciuman panas. Kupeluk Erna kubuka pakaian dalamnya, branya kemudian aku lempar sehingga pakaian kami berserakan di lantai.
"Mas, ohh..," desahnya.
Aku melihat dadanya cukup besar. Kulitnya putih mulus aku langsung menghisap putingnya. Kuhisapi lehernya, kujilati dan kuremas-rems dadanya. Aku kemudian berlutut, penisku menantang di hadapannya. Ia mengerti tugasnya, langsung ia duduk dan mengisap penisku. Penisku pun disentuh oleh bibirnya, lidahnya menjilati kepalanya dan ia memasukkan penisku ke mulutnya, ia hisap dan lumuri dengan ludahnya. Kemudian ia kocok dengan lembutnya. Testisku di remas-remasnya, terkadang sesekali bibirnya menciumnya bergantian. Lalu disedotnya sebentar, dan konsentrasi lagi mengulum batang penisku. Sensasi yang ditimbulkannya sangat mebuatku geli.
"Erna..nikmat banget," kataku.
Tanganku tak tingal diam. Aku memilin-milin putingnya sampai mengeras. Ia terangsang ternyata. Aku lalu mendorongnya, ia pun berbaring. Aku kemudian menciumi dadanya, perutnya lalu pergi ke bawah. Di sebuah tempat yang rambutnya tumbuh melindungi tempat pribadinya. Aku kemudian menjilati bibir vaginanya. Erna menggeliat sperti ulat. Ia memejamkan mata menerima rangsangan-rangsanganku di rongga vaginanya. Klitorisnya aku sapu, beserta rambut kemaluannya. Ia menggelinjang. Aku ulangi lagi dan aku kemudian menggigit-gigit gemas klitorisnya.
"Maasss.. aakhhh.. jangan gitu dong.. geli.. duuhh.. mass..!!"
Aku terus ulangi dan ulangi hingga ia tak kuat lagi. Ditekannya kepalaku dan pantatnya mengangkat, pahanya mengapitku dan ia berjinjit.
"Maasss.. aaaaahhkkk.. mas ganteng, aku jebol nih..!!" katanya. "Aku pipis mas..pipis.."
Aku kemudian duduk, melihat polah tingkahnya yang menggeliat-geliat seperti ulat kesetrum. Tubuhnya sangat mulus, walaupun sudah bersuami dan punya anak. Pantatnya masih kelihatan montok, mulus. Aku lalu membalikkannya untuk menungging.
"Aku masuk lho ya, kepingin merasakan benda ini ndak?" tanyaku.
"Iya mas, masukin. Pelan-pelan ya," katanya.
Aku lalu perlahan masuk. Batang penisku yang sudah tegang dengan urat-uratnya itu perlahan-lahan memasuki rongga asing, yang sama sekali asing baginya. Perlahan-lahan daging itu menggelitik sebuah lubang yang sudah diberi pelumas agar mudah untuk masuk. Aku pun masuk separuh, karena tampaknya masih seret. Dan aku tarik lagi, lalu kudorong lagi, terus aku ulang seperti itu. Pantatnya benar-benar menggairahkan. Aku meremas-remas pantatnya. Dan setiap aku hentakkan penisku ke dalam, pantatnya pun menekan ke perutku.
"Nikmat sekali mbak," kataku. "Pasti suamimu puas banget ya ngentotin kamu."
Aku lalu mempercepat goyanganku.
PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantatnya beradi dengan selakanganku. Penisku makin masuk saja dan Erna tampak keenakan. Ia terus mendesah, mendesis dan meraba-raba vaginanya yang dimasuki penisku.
Aku kemudian menghujamkan penisku lebih dalam hingga mentok ke rahimnya.
"Mas.. enak banget kontolnya mas..," katanya.
Aku kemudian membalikkan badannya. Kutuntun ia untuk duduk di pangkuanku. Kami saling beradapan. Kucium ia, lalu dadanya pun naik turun seiring tubuhnya yang naik turun. AKu menghisapi buah dadanya, kuberi sebuah cupangan. Lalu aku hisap putingnya.
"Mas.. aduh, kok dicupangi sih? ahh.. ohh.. enak mas, iya dipilin-pilin gitu.. eh-eh.. mas.. geli..," katanya.
Kujilati bagian di bawah ketiaknya. Ia menggelinjang dan memeluk tubuhku. Vaginanya terangkat sedikit, pantatnya bergetar. Ia makin erat memelukku.
"Mas..aku keluar lagi..", katanya.
Aku perlahan-lahan membaringkannya. Kemudian aku naik turunkan pantatku. Erna sangat menggairahkan. Penisku terus mengobok-obok vaginanya. Memeknya tidak melakukan empot-empot, tapi cukup seret. Mata kami beradu, mulut Erna menganga. Ia melingkarkan lengannya ke leherku. Pahanya mengapit pinggangku.
"Erna, aku keluar nih," kataku.
"Iya mas keluar aja, aku udah," katanya.
Penisku seakan-akan mengumpulkan semua kekuatannya di ujung dan kuhujamkan penisku sedalam-dalamnya ketika keluar.
CROOT CROOT CROOT, muncratlah penisku sebanyak-banyaknya ke rahimnya. Mata Erna memutar dan kami berciuman lama sekali. Kami kemudian kelelahan dan istirahat sebentar.
Malam itu kami bercinta terus sampai pagi. Erna cukup kaget dengan staminaku. Kami pun bermain hingga lima ronde dan baru selesai pukul 3 pagi. Saking lamanya kemaluan kami benar-benar ngilu rasanya.
***
Erna dan aku tidur saling berpelukan. Aku terbangun terlebih dulu. Aku bisa menilai Erna ini benar-benar sexy. Tubuhnya boleh dibilang sangat langsing, tapi tidak kurus.
"Erna.. udah pagi nih," kataku.
"Bentar mas, masih dingin," katanya sambil makin erat memelukku.
"Mandi bareng yuk?!" ajakku.
"Tapi masih dingin," katanya.
"Ada air hangatnya kok," kataku.
"Ayo deh," kata Erna. Ia segera bangun.
Kami menuju kamar mandi, masih telanjang. Aku kemudian menyalakan air di bank mandi dan keluar air panas. Di dalam kamar mandi ada cermin sehingga Erna bisa melihat dirinya di sana. Sembari menunggu air bak mandi penuh, penisku tegang lagi melihat tubuhnya, atau boleh dibilang kalau pagi memang seperti ini sih. Kami pun berpanggutan lagi di dalam kamar mandi. Saling membelai dan memberikan rangsangan. Aku mendorongnya hingga duduk di atas toilet, lalu kuhisap buah dadanya, puting susunya pun kulahap dan kumainkan dengan lidahku.
"Ohh.. mas.. pagi-pagi udah ngentot aja," katanya.
"Iya nih, habis kamu seksi sih," jawabku. "Sayang cuma ini kesempatan kita ya."
"Kalau mas mau, kapan pun bisa kok. Aku rela mas," katanya.
"Aku kan cuma membayarmu untuk beli kosmetikmu," kataku.
"Tak apa-apa mas, oh.. kalau mas kepingin tinggal telpon aku aja atau kita pakai kode khusus gitu, biar mbak Vidia ndak curiga," katanya.
Penisku ku pasang di bibir memeknya, kemudian aku tekan. Memek Erna sudah becek. Dengan leluasa aku keluar masukkan penisku.
"Aku ketagihan ngentot ama mas," katanya.
"Baiklah, ini jadi rahasia kita ya," kataku.
"Iya mas, ohh.. penis mas penuh banget. Aku pikir bisa-bisa robek memekku," katanya.
"Tapi nggak kan?" tukasku. "Lagian memekmu peret banget."
"Ohh.. mass," desahnya.
Aku cukup bermain satu ronde di kamar mandi. Dan aku percepat goyanganku. Aku pun keluar, tapi tak sebanyak tadi malam. Mungkin habis produksi testisku. Setelah itu kami mandi bareng, saling menggosok dan menyabuni. Kami juga sempat berbaring sebentar di bak mandi dan bermanja-manjaan.
Pukul 9.00 ia harus sudah balik ke mall. Aku mengantarnya. Dan kami berjanji kalau ada kesempatan akan mengulanginya lagi.
"Aku ingin mengajakmu ke sebuah villa, jangan ke hotel," kataku.
Ia mengangguk, "Terserah saja deh mas."
Mobilku pun melaju meninggalkan kota menuju ke villa. Selama perjalanan, aku mengusap-usap paha Erna. Ternyata ia tak memakai hotpants. Aku bisa langsung merasakan celana dalamnya ketika merogoh ke dalam rok mininya. Aku menyetir mobil dengan tenang, ketika aku tidak mengubah gigi kopling aku kembali mengusap-usap kemaluannya dari luar celana dalamnya. Erna hanya menggigit bibir saja kuperlakukan seperti itu. Terkadang ia bermain ponselnya mencoba menahan rangsangan yang aku lakukan. Tapi sepertinya percuma, karena ia sesekali memejamkan mata, dan menggigit bibirnya. Hingga kemudian ia bersandar di kursi menengadahkan kepalanya dan memegang tanganku erat-erat.
"Udah mas, udah..," aku mengerti ia orgasme. Celana dalamnya becek sekali.
"Dilepas saja dong, becek tuh," kataku.
"Mas sih, nakal banget!" katanya.
Aku tersenyum. Ia pun segera melepas celana dalamnya dan membuangnya ke belakang jok. Aku kemudian membuka resletingku. Penisku yang sudah tegang pun nongol.
"Nah, kalau ini enaknya diapain?" tanyaku.
"Ih, genit ya mas ini. Udah gedhe aja," katanya.
Ia kemudian memegang benda itu. Diremas-remasnya, lalu dikocok-kocoknya.
"Gedhe banget mas, ntar kalau masuk sakit pastinya," katanya.
"Kok bisa?" tanyaku. "Emang punya suamimu seberapa?"
"Hmm.. sepertiganya kayaknya," jawabnya. "Tapi itu aja udah enak kok mas."
Selama perjalanan itu penisku dikocok, diremas dan dibelai-belai. Dan sampai di tujuan, kayaknya Erna cukup capek karena belum keluar-keluar penisku.
"Mas kuat juga ya, padahal suamiku dikocok gini aja keluar lho," katanya.
Setelah tiba, aku langsung mengajaknya masuk. Kubetulkan celanaku dan kuambil kunci villa. Setelah masuk aku persilakan ia untuk masuk ke kamar. Kami tak perlu dikomando. Aku sudah melepaskan bajuku. Bahkan ia kubantu untuk melepaskan bajunya. Kami pun berciuman panas. Kupeluk Erna kubuka pakaian dalamnya, branya kemudian aku lempar sehingga pakaian kami berserakan di lantai.
"Mas, ohh..," desahnya.
Aku melihat dadanya cukup besar. Kulitnya putih mulus aku langsung menghisap putingnya. Kuhisapi lehernya, kujilati dan kuremas-rems dadanya. Aku kemudian berlutut, penisku menantang di hadapannya. Ia mengerti tugasnya, langsung ia duduk dan mengisap penisku. Penisku pun disentuh oleh bibirnya, lidahnya menjilati kepalanya dan ia memasukkan penisku ke mulutnya, ia hisap dan lumuri dengan ludahnya. Kemudian ia kocok dengan lembutnya. Testisku di remas-remasnya, terkadang sesekali bibirnya menciumnya bergantian. Lalu disedotnya sebentar, dan konsentrasi lagi mengulum batang penisku. Sensasi yang ditimbulkannya sangat mebuatku geli.
"Erna..nikmat banget," kataku.
Tanganku tak tingal diam. Aku memilin-milin putingnya sampai mengeras. Ia terangsang ternyata. Aku lalu mendorongnya, ia pun berbaring. Aku kemudian menciumi dadanya, perutnya lalu pergi ke bawah. Di sebuah tempat yang rambutnya tumbuh melindungi tempat pribadinya. Aku kemudian menjilati bibir vaginanya. Erna menggeliat sperti ulat. Ia memejamkan mata menerima rangsangan-rangsanganku di rongga vaginanya. Klitorisnya aku sapu, beserta rambut kemaluannya. Ia menggelinjang. Aku ulangi lagi dan aku kemudian menggigit-gigit gemas klitorisnya.
"Maasss.. aakhhh.. jangan gitu dong.. geli.. duuhh.. mass..!!"
Aku terus ulangi dan ulangi hingga ia tak kuat lagi. Ditekannya kepalaku dan pantatnya mengangkat, pahanya mengapitku dan ia berjinjit.
"Maasss.. aaaaahhkkk.. mas ganteng, aku jebol nih..!!" katanya. "Aku pipis mas..pipis.."
Aku kemudian duduk, melihat polah tingkahnya yang menggeliat-geliat seperti ulat kesetrum. Tubuhnya sangat mulus, walaupun sudah bersuami dan punya anak. Pantatnya masih kelihatan montok, mulus. Aku lalu membalikkannya untuk menungging.
"Aku masuk lho ya, kepingin merasakan benda ini ndak?" tanyaku.
"Iya mas, masukin. Pelan-pelan ya," katanya.
Aku lalu perlahan masuk. Batang penisku yang sudah tegang dengan urat-uratnya itu perlahan-lahan memasuki rongga asing, yang sama sekali asing baginya. Perlahan-lahan daging itu menggelitik sebuah lubang yang sudah diberi pelumas agar mudah untuk masuk. Aku pun masuk separuh, karena tampaknya masih seret. Dan aku tarik lagi, lalu kudorong lagi, terus aku ulang seperti itu. Pantatnya benar-benar menggairahkan. Aku meremas-remas pantatnya. Dan setiap aku hentakkan penisku ke dalam, pantatnya pun menekan ke perutku.
"Nikmat sekali mbak," kataku. "Pasti suamimu puas banget ya ngentotin kamu."
Aku lalu mempercepat goyanganku.
PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantatnya beradi dengan selakanganku. Penisku makin masuk saja dan Erna tampak keenakan. Ia terus mendesah, mendesis dan meraba-raba vaginanya yang dimasuki penisku.
Aku kemudian menghujamkan penisku lebih dalam hingga mentok ke rahimnya.
"Mas.. enak banget kontolnya mas..," katanya.
Aku kemudian membalikkan badannya. Kutuntun ia untuk duduk di pangkuanku. Kami saling beradapan. Kucium ia, lalu dadanya pun naik turun seiring tubuhnya yang naik turun. AKu menghisapi buah dadanya, kuberi sebuah cupangan. Lalu aku hisap putingnya.
"Mas.. aduh, kok dicupangi sih? ahh.. ohh.. enak mas, iya dipilin-pilin gitu.. eh-eh.. mas.. geli..," katanya.
Kujilati bagian di bawah ketiaknya. Ia menggelinjang dan memeluk tubuhku. Vaginanya terangkat sedikit, pantatnya bergetar. Ia makin erat memelukku.
"Mas..aku keluar lagi..", katanya.
Aku perlahan-lahan membaringkannya. Kemudian aku naik turunkan pantatku. Erna sangat menggairahkan. Penisku terus mengobok-obok vaginanya. Memeknya tidak melakukan empot-empot, tapi cukup seret. Mata kami beradu, mulut Erna menganga. Ia melingkarkan lengannya ke leherku. Pahanya mengapit pinggangku.
"Erna, aku keluar nih," kataku.
"Iya mas keluar aja, aku udah," katanya.
Penisku seakan-akan mengumpulkan semua kekuatannya di ujung dan kuhujamkan penisku sedalam-dalamnya ketika keluar.
CROOT CROOT CROOT, muncratlah penisku sebanyak-banyaknya ke rahimnya. Mata Erna memutar dan kami berciuman lama sekali. Kami kemudian kelelahan dan istirahat sebentar.
Malam itu kami bercinta terus sampai pagi. Erna cukup kaget dengan staminaku. Kami pun bermain hingga lima ronde dan baru selesai pukul 3 pagi. Saking lamanya kemaluan kami benar-benar ngilu rasanya.
***
Erna dan aku tidur saling berpelukan. Aku terbangun terlebih dulu. Aku bisa menilai Erna ini benar-benar sexy. Tubuhnya boleh dibilang sangat langsing, tapi tidak kurus.
"Erna.. udah pagi nih," kataku.
"Bentar mas, masih dingin," katanya sambil makin erat memelukku.
"Mandi bareng yuk?!" ajakku.
"Tapi masih dingin," katanya.
"Ada air hangatnya kok," kataku.
"Ayo deh," kata Erna. Ia segera bangun.
Kami menuju kamar mandi, masih telanjang. Aku kemudian menyalakan air di bank mandi dan keluar air panas. Di dalam kamar mandi ada cermin sehingga Erna bisa melihat dirinya di sana. Sembari menunggu air bak mandi penuh, penisku tegang lagi melihat tubuhnya, atau boleh dibilang kalau pagi memang seperti ini sih. Kami pun berpanggutan lagi di dalam kamar mandi. Saling membelai dan memberikan rangsangan. Aku mendorongnya hingga duduk di atas toilet, lalu kuhisap buah dadanya, puting susunya pun kulahap dan kumainkan dengan lidahku.
"Ohh.. mas.. pagi-pagi udah ngentot aja," katanya.
"Iya nih, habis kamu seksi sih," jawabku. "Sayang cuma ini kesempatan kita ya."
"Kalau mas mau, kapan pun bisa kok. Aku rela mas," katanya.
"Aku kan cuma membayarmu untuk beli kosmetikmu," kataku.
"Tak apa-apa mas, oh.. kalau mas kepingin tinggal telpon aku aja atau kita pakai kode khusus gitu, biar mbak Vidia ndak curiga," katanya.
Penisku ku pasang di bibir memeknya, kemudian aku tekan. Memek Erna sudah becek. Dengan leluasa aku keluar masukkan penisku.
"Aku ketagihan ngentot ama mas," katanya.
"Baiklah, ini jadi rahasia kita ya," kataku.
"Iya mas, ohh.. penis mas penuh banget. Aku pikir bisa-bisa robek memekku," katanya.
"Tapi nggak kan?" tukasku. "Lagian memekmu peret banget."
"Ohh.. mass," desahnya.
Aku cukup bermain satu ronde di kamar mandi. Dan aku percepat goyanganku. Aku pun keluar, tapi tak sebanyak tadi malam. Mungkin habis produksi testisku. Setelah itu kami mandi bareng, saling menggosok dan menyabuni. Kami juga sempat berbaring sebentar di bak mandi dan bermanja-manjaan.
Pukul 9.00 ia harus sudah balik ke mall. Aku mengantarnya. Dan kami berjanji kalau ada kesempatan akan mengulanginya lagi.
Perut Bunda makin membuncit. Hasil dari USG menyatakan bayinya sehat dan sepertinya akan lahir bayi laki-laki. Sekalipun hamil ternyata bunda makin lama makin menarik. Aku sebenarnya takut untuk bercinta dengan wanita hamil. Oleh karena itulah aku tak pernah terlalu bersemangat bercinta dengan kak Vidia ataupun Nur ketika hamil. Walaupun aku suka ketika mengisap tetek mereka yang ada isinya. Namun pengalaman bunda melebihi pengalaman Kak Vidia dan Nur dalam masalah bercinta ketika hamil. Bunda mengerti kebutuhanku, dan beliau tahu cara untuk memenuhi kebutuhanku. Akan aku ceritakan pengalamanku ketika bunda hamil anakku.
Usia kandungannya sudah hampir 7 bulan. Bunda juga ngidamnya ndak aneh-aneh seperti Kak Vidia ataupun Nur. Ngidam yang paling sulit aku lakuin adalah Nur. Ia kepengen banget untuk bisa makan bebek peking tapi dagingnya harus dimasak dengan bumbu ayam betutu. Ribet kan? Tapi Nur punya alasan kayak enak kalau bebek peking dibuat seperti itu. Ndak wajar, kubilang. Tapi begitulah, kata orang Jawa kalau ngidam nda keturutan anaknya bakalan ngiler. Akhirnya aku masak sendiri. Beli bebek peking trus setelah itu dimasak seperti ayam betutu. Dan bisa diprediksi dapur berantakan. Kak Vidia ketawa kerasa diceritain masalah itu. Bunda juga ikut-ikutan.
Kata beliau waktu hamil aku dulu ngidamnya ndak aneh-aneh, paling kepingin buah sawo padahal tidak lagi musimnya. Ayah sampai kebingungan nyari, bahkan harus ke daerah pelosok hanya dapat 1 kg sawo itu saja masih muda. Tapi bunda nikmat banget makannya.
Kak Vidia ngidamnya ndak terlalu, cuma agak aneh saja. Hampir seluruh novel-novel percintaan diborong olehnya selama ngidam. Kalau biasanya ngidam itu buah mangga atau apa, tapi Kak Vidia ini tidak. Malah ngidam buku. Ndak cuma novel percintaan saja sih. Kalau ada buku lain yang sepertinya menarik pasti juga dibeli. Katanya kalau nggak baca buku seharian rasanya ndak enak banget kepengen marahan melulu.
Nah, bunda ndak aneh-aneh ngidamnya. Paling disuruh nyariin nasi padang pas jam 2 malam. Itu pun karena pas siangnya kami menikmati nasi padang.
Entah kenapa siang itu rasanya panas sekali. Saking panasnya bunda pun menyalakan AC dengan suhu dingin. Bunda, duduk di sofa sambil mengelus-elus perutnya. Aku rasanya tergoda sekali ingin mengelus-elus perutnya. Bunda hari itu hanya pakai tank top dan celana legging. Sehingga perutnya kelihatan banget. Kayaknya dadanya makin besar. Terus terang, aku sedikit membayangkan kalau misalnya sekarang ini aku bercinta dengannya.
"Ndak ngantor pah?" tanyanya. Semenjak identitas kami sebagai suami istri, semuanya memanggilku dengan sebutan papah. Itu membuat hubungan kami tambah hot.
"Nggak mah, papah kepingin di rumah saja," kataku kemudian menghampiri bunda yang duduk sambil mengelus-elus perutnya. Aku duduk di sebelahnya. "Males keluar, panas banget."
"Iya, panas banget. Mamah sampe nyalain AC," kata bunda. Aku tahu kalau bunda itu jarang banget nyalain AC, tapi hari ini panasnya benar-benar di luar batas.
Bunda tidak pakai kerudung tentunya. Wajahnya masih cantik, bodynya masih bahenol. Tapi karena hamil ini lengannya sedikit gemuk. Pipinya sedikit chubby. Tapi tetap hal itu membuatnya menarik.
"Pijitin mamah dong pah, pinggul mamah pegel," katanya. Aku kemudian memasukkan tanganku ke belakang tubuhnya. Bunda menggeser tempat duduknya untuk memberikan ruang gerak.
"Aduh duh duh..," bunda mengaduh lalu tersenyum.
"Kenapa mah?" tanyaku
"Ini, oroknya gerak-gerak, lihat!" aku melihat perut mama tampak menonjol. Sepertinya adik bayi sedang menendang. Kudekatkan wajahku, lalu kuciumi perut bunda tepat di tonjolan kecil itu. Lalu tonjolan kecil itu menghilang.
"Sudah bisa gerak ya sekarang?" tanyaku.
"Sering, terutama pas ndak ada papahnya di rumah, hampir gerak tiap hari," jawab bunda. Tangan kiriku membelai-belai perutnya, tangan kananku tetap memijiti pinggulnya di atas tulang ekor.
"Mah, aku makin cinta ama mamah," kataku.
"Aku juga pah," kata bunda. Aku lalu mencium bibirnya. "Kamu kepingin?"
Aku mengangguk. Lalu menciumnya lagi. Kami saling memanggut hot. Tangan kiriku sekarang meremas-remas susunya. Aku bisa merasakan buah dada bunda mengeras. Tidak seperti dulu. Mungkin sudah ada isinya.
"Ohh..mah..," desahku.
Bunda lalu melepaskan tanktopnya. Bunda memang tak pakai bra, karena dari tadi aku meremasi buah dadanya, aku langsung bisa merasakan kerasnya puting susu yang kecoklatan itu. Begitu dadanya terekspos, perhatianku pun beralih ke dadanya. Sesuatu yang aku suka yaitu ASI. Mulutku sudah mencaplok puting susunya, kulumat, kujilati, kukulum dan kuhisap. Air susunya pun keluar. Rasanya agak manis.
"Ohh..pahh..papah netek," keluh bunda.
Juniorku makin tegang aja. Kini serasa sesak celana pendek yang aku pakai. Bunda membiarku menyusu kepadanya bergantian kiri dan kanan. Tangan kirinya mencari-cari pionku yang sudah mengeras. Ketika menemukannya, tangannya pun menelusup ke dalam celana pendekku. Kemudian kepalanya dipencet-pencet dan diputer-puter. Ouugghh..enaknya.
Yang aku sukai dari bunda dalam bercinta adalah ia sudah berpengalaman. Ia juga tahu titik-titik kelemahan lelaki. Jadi setiap bercinta dengan bunda, pasti aku mendapatkan dua hal yaitu kepuasan bunda dan kepuasanku. Dengan tangannya saja ia bisa memberikanku kepuasan seperti bersenggama. Sebab caranya memainkan penisku dengan tangannya berbeda dari sekedar coli. Juga ketika oral. Bunda sangat jago. Ketika bunda belum hamil dulu, benar-benar aku lemes dengan perlakuannya kepada penisku. Bahkan bunda tak ragu-ragu untuk menelan seluruh spermaku hingga kering. Dalam bercinta pun seperti itu, bunda selalu berusaha memuaskan dirinya, baru kemudian mengimbangiku. Aku dibimbingnya untuk memuaskan titik-titik sensitifnya sehingga percintaan kami sangat panas dan sangat bergairah. Selalu dan selalu ingin diulang.
Kupuaskan menghisap air susu bunda. Tanganku sudah tidak memijat lagi sekarang. Tangan kiriku masuk ke celananya dan mengelus-elus bibir kemaluannya. Bunda mendesis dan mengeluh. Kusibak bibir vaginanya yang sudah mulai basah. Perlahan-lahan jari tengahku mencari lubangnya. Dengan lancar jari tengahku masuk dan menggesek-gesek lubangnya. Bunda menyandarkan kepalanya ke sofa.
"Paahh.. ohh.. iya itu pah, digesek-gesek," kata bunda. Beberapa kali ia menggeliat ketika jari tengahku menyentuh klitorisnya. Sementara itu bibirku masih di putingnya menyedot seluruh ASI yang ada. Aku tak peduli kalau misalnya ASI-nya habis. Setelah yang kanan kulanjutkan yang kiri.
Tangan bunda berhenti mengocok penisku, kini ia menggenggam erat batangnya hingga aku ngilu. Tanganku makin cepat keluar masuk di kemaluannya.
"Pahh.. mamah mau nyampe, ooohh.. iya begitu paahh.. ooouuucchh!" pantat bunda terangkat aku mengeluarkan tanganku dan bunda memeluk kepalaku hingga wajahku terbenam di lautan toketnya. Tiga hentakan pinggul bunda naik ke atas. Perutnya yang buncit itu makin membubung. Lalu bunda lemas. Ia menutup keningnya dengan lengan kanannya, sehinga aku bisa melihat ketiaknya yang putih.
Aku lalu menuju ke ketiaknya dan kujilati. Bunda kegelian dan mendorongku, "Geli pah, jangan..!"
Aku tak peduli kujilati dan kuciumi keteknya sampai puas. Bunda makin berusaha mendorongku karena kegelian, hingga kemudian ia tertawa. Ia mencubit pinggangku.
"Aduh," aku mengaduh.
"Kamu ini dibilang geli kok, udah ah. Masukin dong, mamah udah kepengen nih," katanya.
Bunda melepaskan sisa pakaiannya yang masi menempel. Tubuh wanita hamil itu agak eksotis. Kulit perutnya halus, aku beberapa kali mengelusnya dulu dan kuciumi. Bunda berbaring dibuka lebar kakinya. Aku bisa melihat liang senggamanya sudah basah. Bunda menggeliat-geliat minta dimasukkan. Aku posisi agak berlutut. Aku maju, kepala otongku udah ada di bibir memeknya yang lembut. Bunda tak sabar, ia yang pertama majukan pantatnya. Langsung saja otongku masuk begitu saja.
"Ohh.. pahhh.. enak paaaahhh," seru mamah.
Aku juga merasakan hal yang sama. Penisku mengobok-obok memeknya sekarang. Tangannya menggapai tanganku dan kami berpegangan. Wajah bunda mendongak, beliau sepertinya ingin menggapai lagi kenikmatan untuk kedua kalinya setelah orgasme tadi. Itulah sebabnya kini pinggulnya ikut bergoyang, kiri kanan. Dan kemudian ketika beliau menggoyang ke kiri, kepala bunda menggeleng-geleng. Rambutnya awut-awutan. Dan seperti biasa, memeknya dibuat seperti meremas-remas otongku. Walaupun hamil, memek bunda tetap bisa memberikan pijatan-pijatan hangat yang meremas batangku.
"Ohh.. maaahh.. hhmmmhh..memek mamah tetep enak, papah suka.."
"Pahh.. nungging yuk!?" mamah mengusap-usap dadaku. Aku menghentikan aktivitasku, kuusap-usap perut mamah yang buncit. Saat itu aku meraskan sesuatu yang menendang.
"Mah, dedeknya gerak," kataku.
Mamah tersenyum. Ia pun merasakannya. Sepertinya anakku ini juga merasakan dia digoyang-goyang. Mama pun bangkit, kemudian di sofa mama menungging. Pantatnya makin semok, aku remas-remas bongkahan pantat itu dan kuhisapi dengan gemas. Aku menggerakkan wajahku sampai mendekat ke duburnya. Lalu aku jilati bagian antara dubur dan memeknya.
"Ouchh.. pah.. geli..," katanya.
Bunda memajumundurkan pantatnya, tampaknya ia suka. Setiap kali lidahku menjilatinya, ia memajukan pantatnya.
"Udah pah, jangan mamah geli!" bunda membenamkan wajahnya ke sofa. Walaupun ia bilang begitu tapi sepertinya merasakan nikmat.
Usia kandungannya sudah hampir 7 bulan. Bunda juga ngidamnya ndak aneh-aneh seperti Kak Vidia ataupun Nur. Ngidam yang paling sulit aku lakuin adalah Nur. Ia kepengen banget untuk bisa makan bebek peking tapi dagingnya harus dimasak dengan bumbu ayam betutu. Ribet kan? Tapi Nur punya alasan kayak enak kalau bebek peking dibuat seperti itu. Ndak wajar, kubilang. Tapi begitulah, kata orang Jawa kalau ngidam nda keturutan anaknya bakalan ngiler. Akhirnya aku masak sendiri. Beli bebek peking trus setelah itu dimasak seperti ayam betutu. Dan bisa diprediksi dapur berantakan. Kak Vidia ketawa kerasa diceritain masalah itu. Bunda juga ikut-ikutan.
Kata beliau waktu hamil aku dulu ngidamnya ndak aneh-aneh, paling kepingin buah sawo padahal tidak lagi musimnya. Ayah sampai kebingungan nyari, bahkan harus ke daerah pelosok hanya dapat 1 kg sawo itu saja masih muda. Tapi bunda nikmat banget makannya.
Kak Vidia ngidamnya ndak terlalu, cuma agak aneh saja. Hampir seluruh novel-novel percintaan diborong olehnya selama ngidam. Kalau biasanya ngidam itu buah mangga atau apa, tapi Kak Vidia ini tidak. Malah ngidam buku. Ndak cuma novel percintaan saja sih. Kalau ada buku lain yang sepertinya menarik pasti juga dibeli. Katanya kalau nggak baca buku seharian rasanya ndak enak banget kepengen marahan melulu.
Nah, bunda ndak aneh-aneh ngidamnya. Paling disuruh nyariin nasi padang pas jam 2 malam. Itu pun karena pas siangnya kami menikmati nasi padang.
Entah kenapa siang itu rasanya panas sekali. Saking panasnya bunda pun menyalakan AC dengan suhu dingin. Bunda, duduk di sofa sambil mengelus-elus perutnya. Aku rasanya tergoda sekali ingin mengelus-elus perutnya. Bunda hari itu hanya pakai tank top dan celana legging. Sehingga perutnya kelihatan banget. Kayaknya dadanya makin besar. Terus terang, aku sedikit membayangkan kalau misalnya sekarang ini aku bercinta dengannya.
"Ndak ngantor pah?" tanyanya. Semenjak identitas kami sebagai suami istri, semuanya memanggilku dengan sebutan papah. Itu membuat hubungan kami tambah hot.
"Nggak mah, papah kepingin di rumah saja," kataku kemudian menghampiri bunda yang duduk sambil mengelus-elus perutnya. Aku duduk di sebelahnya. "Males keluar, panas banget."
"Iya, panas banget. Mamah sampe nyalain AC," kata bunda. Aku tahu kalau bunda itu jarang banget nyalain AC, tapi hari ini panasnya benar-benar di luar batas.
Bunda tidak pakai kerudung tentunya. Wajahnya masih cantik, bodynya masih bahenol. Tapi karena hamil ini lengannya sedikit gemuk. Pipinya sedikit chubby. Tapi tetap hal itu membuatnya menarik.
"Pijitin mamah dong pah, pinggul mamah pegel," katanya. Aku kemudian memasukkan tanganku ke belakang tubuhnya. Bunda menggeser tempat duduknya untuk memberikan ruang gerak.
"Aduh duh duh..," bunda mengaduh lalu tersenyum.
"Kenapa mah?" tanyaku
"Ini, oroknya gerak-gerak, lihat!" aku melihat perut mama tampak menonjol. Sepertinya adik bayi sedang menendang. Kudekatkan wajahku, lalu kuciumi perut bunda tepat di tonjolan kecil itu. Lalu tonjolan kecil itu menghilang.
"Sudah bisa gerak ya sekarang?" tanyaku.
"Sering, terutama pas ndak ada papahnya di rumah, hampir gerak tiap hari," jawab bunda. Tangan kiriku membelai-belai perutnya, tangan kananku tetap memijiti pinggulnya di atas tulang ekor.
"Mah, aku makin cinta ama mamah," kataku.
"Aku juga pah," kata bunda. Aku lalu mencium bibirnya. "Kamu kepingin?"
Aku mengangguk. Lalu menciumnya lagi. Kami saling memanggut hot. Tangan kiriku sekarang meremas-remas susunya. Aku bisa merasakan buah dada bunda mengeras. Tidak seperti dulu. Mungkin sudah ada isinya.
"Ohh..mah..," desahku.
Bunda lalu melepaskan tanktopnya. Bunda memang tak pakai bra, karena dari tadi aku meremasi buah dadanya, aku langsung bisa merasakan kerasnya puting susu yang kecoklatan itu. Begitu dadanya terekspos, perhatianku pun beralih ke dadanya. Sesuatu yang aku suka yaitu ASI. Mulutku sudah mencaplok puting susunya, kulumat, kujilati, kukulum dan kuhisap. Air susunya pun keluar. Rasanya agak manis.
"Ohh..pahh..papah netek," keluh bunda.
Juniorku makin tegang aja. Kini serasa sesak celana pendek yang aku pakai. Bunda membiarku menyusu kepadanya bergantian kiri dan kanan. Tangan kirinya mencari-cari pionku yang sudah mengeras. Ketika menemukannya, tangannya pun menelusup ke dalam celana pendekku. Kemudian kepalanya dipencet-pencet dan diputer-puter. Ouugghh..enaknya.
Yang aku sukai dari bunda dalam bercinta adalah ia sudah berpengalaman. Ia juga tahu titik-titik kelemahan lelaki. Jadi setiap bercinta dengan bunda, pasti aku mendapatkan dua hal yaitu kepuasan bunda dan kepuasanku. Dengan tangannya saja ia bisa memberikanku kepuasan seperti bersenggama. Sebab caranya memainkan penisku dengan tangannya berbeda dari sekedar coli. Juga ketika oral. Bunda sangat jago. Ketika bunda belum hamil dulu, benar-benar aku lemes dengan perlakuannya kepada penisku. Bahkan bunda tak ragu-ragu untuk menelan seluruh spermaku hingga kering. Dalam bercinta pun seperti itu, bunda selalu berusaha memuaskan dirinya, baru kemudian mengimbangiku. Aku dibimbingnya untuk memuaskan titik-titik sensitifnya sehingga percintaan kami sangat panas dan sangat bergairah. Selalu dan selalu ingin diulang.
Kupuaskan menghisap air susu bunda. Tanganku sudah tidak memijat lagi sekarang. Tangan kiriku masuk ke celananya dan mengelus-elus bibir kemaluannya. Bunda mendesis dan mengeluh. Kusibak bibir vaginanya yang sudah mulai basah. Perlahan-lahan jari tengahku mencari lubangnya. Dengan lancar jari tengahku masuk dan menggesek-gesek lubangnya. Bunda menyandarkan kepalanya ke sofa.
"Paahh.. ohh.. iya itu pah, digesek-gesek," kata bunda. Beberapa kali ia menggeliat ketika jari tengahku menyentuh klitorisnya. Sementara itu bibirku masih di putingnya menyedot seluruh ASI yang ada. Aku tak peduli kalau misalnya ASI-nya habis. Setelah yang kanan kulanjutkan yang kiri.
Tangan bunda berhenti mengocok penisku, kini ia menggenggam erat batangnya hingga aku ngilu. Tanganku makin cepat keluar masuk di kemaluannya.
"Pahh.. mamah mau nyampe, ooohh.. iya begitu paahh.. ooouuucchh!" pantat bunda terangkat aku mengeluarkan tanganku dan bunda memeluk kepalaku hingga wajahku terbenam di lautan toketnya. Tiga hentakan pinggul bunda naik ke atas. Perutnya yang buncit itu makin membubung. Lalu bunda lemas. Ia menutup keningnya dengan lengan kanannya, sehinga aku bisa melihat ketiaknya yang putih.
Aku lalu menuju ke ketiaknya dan kujilati. Bunda kegelian dan mendorongku, "Geli pah, jangan..!"
Aku tak peduli kujilati dan kuciumi keteknya sampai puas. Bunda makin berusaha mendorongku karena kegelian, hingga kemudian ia tertawa. Ia mencubit pinggangku.
"Aduh," aku mengaduh.
"Kamu ini dibilang geli kok, udah ah. Masukin dong, mamah udah kepengen nih," katanya.
Bunda melepaskan sisa pakaiannya yang masi menempel. Tubuh wanita hamil itu agak eksotis. Kulit perutnya halus, aku beberapa kali mengelusnya dulu dan kuciumi. Bunda berbaring dibuka lebar kakinya. Aku bisa melihat liang senggamanya sudah basah. Bunda menggeliat-geliat minta dimasukkan. Aku posisi agak berlutut. Aku maju, kepala otongku udah ada di bibir memeknya yang lembut. Bunda tak sabar, ia yang pertama majukan pantatnya. Langsung saja otongku masuk begitu saja.
"Ohh.. pahhh.. enak paaaahhh," seru mamah.
Aku juga merasakan hal yang sama. Penisku mengobok-obok memeknya sekarang. Tangannya menggapai tanganku dan kami berpegangan. Wajah bunda mendongak, beliau sepertinya ingin menggapai lagi kenikmatan untuk kedua kalinya setelah orgasme tadi. Itulah sebabnya kini pinggulnya ikut bergoyang, kiri kanan. Dan kemudian ketika beliau menggoyang ke kiri, kepala bunda menggeleng-geleng. Rambutnya awut-awutan. Dan seperti biasa, memeknya dibuat seperti meremas-remas otongku. Walaupun hamil, memek bunda tetap bisa memberikan pijatan-pijatan hangat yang meremas batangku.
"Ohh.. maaahh.. hhmmmhh..memek mamah tetep enak, papah suka.."
"Pahh.. nungging yuk!?" mamah mengusap-usap dadaku. Aku menghentikan aktivitasku, kuusap-usap perut mamah yang buncit. Saat itu aku meraskan sesuatu yang menendang.
"Mah, dedeknya gerak," kataku.
Mamah tersenyum. Ia pun merasakannya. Sepertinya anakku ini juga merasakan dia digoyang-goyang. Mama pun bangkit, kemudian di sofa mama menungging. Pantatnya makin semok, aku remas-remas bongkahan pantat itu dan kuhisapi dengan gemas. Aku menggerakkan wajahku sampai mendekat ke duburnya. Lalu aku jilati bagian antara dubur dan memeknya.
"Ouchh.. pah.. geli..," katanya.
Bunda memajumundurkan pantatnya, tampaknya ia suka. Setiap kali lidahku menjilatinya, ia memajukan pantatnya.
"Udah pah, jangan mamah geli!" bunda membenamkan wajahnya ke sofa. Walaupun ia bilang begitu tapi sepertinya merasakan nikmat.
Kenikmatan-kenikmatan bisa jadi sekarang sedang mengguyur mamah. Jilatanku makin cepat dan menggelitik. Lidahku menelusup ke vaginanya. Dan dengan sapuan buas lidahku menyapu klitoris, belahan memeknya sampai duburnya. Mama menggoyang-goyangkan pantatnya lalu memajukan pantatnya.
"Pahh.. mamah.. mamah pipis paahh..!"
Aku kaget ketika bunda mengeluarkan cairan menyemprotku. Semprotannya tak cuma sekali dua kali, tapi berkali-kali sampai ia lemas. Ternyata itu titik sensitif bunda. Sofa kami jadi basah dengan squirtnya bunda.
Aku kemudian memposisikan senjataku ke depan mulut memeknya. Aku meraih buah dadanya dan kuremasi gemas. Bersamaan dengan itu pantatku maju. Rudal coklat dengan kepala pelurunya berwarna kemerahan mulai menerobos liang kewanitaan bunda. Kulitnya sudah berkilat-kilat memantulkan cahaya karena terkena lendir senggama. Kemudian gesekan-gesekan lembut mulai dilakukan. Penetrasi untuk kedua kalinya ini sensasinya bikin kepala penisku gatal. Mungkin karena banyak squirt bunda yang keluar. Atau mungkin karena memang aku sudah benar-benar horni. Setiap aku menghujamkan penisku, aku selalu menghantamkan perutku ke pantat bunda. Dan bunda setiap terkena hentakan menjerit.
"Aww.. oohh.. ppaahhh.. te..rruuuss.. yang cepet paahhh," kata bunda.
Aku kemudian mulai mempercepat temponya. Maju mundur dengan cepat. Terus aku pompa makin cepat, kepala bunda pun menggeleng-geleng.
"Paah..mamah keluar lagi pah..he-eh..pah..cepet gitu, cepet..teruss..fuck me pah..fuck meee..!" rancau bunda.
Aku makin percepat, suara benturan pantat dengan perutku memenuhi ruangan. Memberikan kesan erotis. Tak pernah kubayangkan sebelumnya aku bakal bisa ngentotin bundaku. Bunda yang selalu mendidikku sejak kecil. Ketika kecil aku yang dimandikan olehnya sekarang kita biasa mandi bersama. Aku yang dulu menyusu sekarang aku menyusu lagi. Dulu aku yang keluar dari lubang kecil ini sekarang aku masuk lagi. Dulu dari rahim ini aku keluar sekarang aku sudah menabur benihku di sana. Aku dulu tak pernah membayangkan bakal menjadi suami dari bundaku. Bunda yang selalu meyayangiku. Kini kasih sayang itu lebih besar lagi, tak hanya sekedar seorang anak, tapi lebih kepada suami, sebuah cinta yang tak akan dimengerti oleh orang lain. Kami merengkuh birahi bersama dan kedudukanku sekarang mengisi hatinya menggantikan ayah.
Aku hampir orgasme bahkan mungkin beberapa saat lagi benih-benih cintaku yang kental akan menyemprot di dalam rahimnya. Aku ingin mengingat setiap memory bersama bunda. Entah kenapa tapi sebelum orgasme aku ingin mengingat semuanya, mengingat semuanya hingga aku yakin setiap waktu, setiap kesempatan, setiap kenangan. Memory itu makin jelas. Bunda, aku butuh bunda, aku butuh bunda untuk birahiku.
"Pah..punya papah makin keras, enak pah..mamah dientot papah..ohhh..suamiku..mamah keluar paahh..oohhh..punya papah sesek di dalam..," bunda mengimbangi goyanganku.
Ujung penisku mulai gatel. Testisku sudah sesak, sepertinya sudah benar-benar tak kuat lagi ingin mengeluarkan sperma. Benar kata bunda, punyaku udah benar-benar tegang. Kubayangkan seluruh memory ketika aku orgasme ke dalam rahimnya, ketika aku merasakan nikmatnya menyemprotkan spermaku ketika melakukan titfuck kepadanya, atau ketika ia mau menerima semburan spermaku di mulutnya, semua memory itu terkumpul untuk sebuah momen ini. Momenku menyemburkan seluruh isi testisku.
"Bundaaa.. bundaku.. kuentoooott.. terimalah buah cinta anakmu ini!!!" teriakku.
"Ohh.. sayang.. ohhhh!"
CROOTT CROOTT CROOOOTT
Banyak sekali semburan spermaku. Aku tak bisa menghitungnya tapi setiap punyaku berkedut maka setiap itu pula spermaku keluar. Bunda yang tersirami sperma hangat itu mendongakkan kepalanya sambil menjerit, memanggil namaku. Tubuhnya menegang, pantatnya bergetar hebat. Punyaku seperti diremas-remas. Aku tak bisa membohongi diri kalau aku sebenarnya sangat mencintai bunda. Melebihi Kak Vidia maupun Nur. Mungkin karena bunda adalah wanita pertama yang melepas keperjakaanku. Wanita pertama yang menerima spermaku di rahimnya, wanita pertama yang mau mengoralku dan keluar di dalam mulutnya. Mengingat itu semua membuatku terus meledak dalam kedahsyatan orgasme yang tak pernah kurasakan selama ini.
Bunda bertahan dalam posisi menungging. Punyaku masih di dalam, dan itu dalam keadaan tegang, walaupun sudah menyusut sedikit. Perlahan-lahan aku mencabutnya. Aku lalu duduk di sofa. Kuamati batangku yang terbungkus cairan putih, campuran antara spermaku dan cairan kewanitaan bunda. Bunda masih menungging nafasnya tampak tersengal-sengal. Butuh waktu sejenak untuk bunda bisa tenang rupanya. Kulihat dari belahan memeknya tampak spermaku meleleh. Rupanya aku keluar banyak sekali. Aku bisa melihat lubangnya penuh dengan cairan kental berwarna putih. Bunda lalu perlahan-lahan mulai duduk. Tubuhnya disandarkan ke sofa. Aku duduk di sampingnya. Kemudian bunda bersandar ke bahuku. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku.
"Pah.. tadi.. papah hebat sekali.. bunda sampai ngerasa papah keluarnya banyak banget," kata bunda.
"Iya mah.. papah mengingat-ingat semua peristiwa persenggamaan kita, itu membuat papah bergairah dan bisa orgasme sedahsyat ini," kataku.
PReeettt!! terdengar suara dari memek bunda.
"Apa itu mah?" tanyaku.
"Hihihi, sperma papah keluar, ditolak ama rahim, kan udah ada isinya," jawab mamah sambil tertawa kecil.
Bunda kemudian bangkit dan melihat sofa. Dari tempatnya duduk, kulihat ada cairan kental berwarna putih di situ.
"Ini bersihinnya gimana ya? Kalau ada tamu masak harus bilang kalau kita maen di sini," kata bunda.
Aku tertawa. "Beli sofa baru?"
"Pemborosan ah, coba deh papah yang tanggung jawab bersihin. Kan itu punya papah, horni kok di ruang tamu," bunda menjulurkan lidahnya.
Melihat beliau berdiri telanjang. Dadanya besar, perut besar, pantat montok membuat aku tegang lagi. Gila nih otong. Ndak puas-puas. Otongku langsung mengembang lagi.
"Wah, udah kepingin lagi?" tanya bunda.
"Iya nih mah, lihat mamah tanpa baju sehelai pun, membuat papah horni," jawabku.
"Tapi mamah capek pah," kata bunda, lalu berlutut di hadapanku. Buah dadanya bertumpu di atas pahaku. "Pake oral aja yah?"
Aku mengangguk. Aku menggeser tubuhku untuk maju. Agar perut bundaku tidak menyentuh pinggiran sofa. Lutut mamah ditekuk, jadi ia duduk di atas kakinya. Saat itu terdengar suara lagi. PREEETTT..
"Benih papah keluar lagi nih. Sebanyak apa sih tadi keluarnya? Masak sampe seliter?" canda bunda.
"Ndak tau mah, pokoknya setiap kedutan tadi keluar terus," jawabku.
"Apakah bunda ini sebegitu membuat anak bunda yang sudah jadi suami bunda ini horni?" tanya bunda. Bunda mulai beraksi. Aku duduk dipinggir sofa. Pahaku terbuka lebar, jemari bunda mulai mengusap-usap pahaku lalu selakanganku. Bunda mulai merangsang titik-titik sensitifku. Diciumnya seluruh bagian pahaku.
"Mamah, mamah memang sangat hebat kalau merangsangku," kataku.
Bunda konsentrasi menciumi dan menghisapi pahaku. Kemudian mulai mendekat ke batangku yang sedang di pegangnya. Batangku dikocok lembut, bagian kepalanya dielus-elus oleh telunjuknya. Wajahnya pun kemudian ke bagian buah zakarku. Menciumi apa saja yang ada di sana. Senjataku makin mengeras dan on lagi. Bunda mengejar-ngejar buah zakarku. Aku merintih-rintih keenakan dengan perlakuannya. Kedua tanganku mengusapi tangannya yang melakukan kocokan lembut.
Mulutnya lalu bergerak ke batangku sekarang. Dijilatinya batangku yang masih ada campuran spermaku dan cairan kewanitaannya. Lidah Bunda menari-nari di batangku, hingga sampai ke ujung lubang kencing, lalu mulutnya dibuka dan bibirnya maju untuk menghisap penisku. OOOuuwww.. Terlihat ujung bibirnya menutupi lubang kencingku dan lidahnya menari-nari di lubang penisku. Sensasinya ndak bisa dikatakan.
"Mah.. mamah.. mamah apain itu? Enak banget?" tanyaku.
"Vidia ama Nur ndak pernah giniin kamu?" tanyanya.
"Tidak pernah mah, aku selalu bebaskan cara mereka memuaskanku," jawabku.
"Besok aku ajarin mereka biar tahu cara memuaskan suaminya ini," kata bunda.
Kembali lagi mempermainkan lubang kencingku. Lalu sesaat kemudian mulutnya tiba melahap kepalanya lalu kembali lagi mempermainkan lubang kencingku. Alamaakk.. enak banget aku diperlakukan seperti itu. Lalu pinggiran kepalaku yang cukup sensitif dijilatinya memutar. Dan tangannya mengocok batangku dengan cepat sembari mengerjai kepalanya.
"Mahh.. nikmat banget mah..," kataku.
Bunda mengulumnya sekarang, tapi lidahnya tetap mengerjai pinggiran kepalanya, melumeri kepala penisku dengan lidahnya lalu menghisap kuat-kuat. Kemudian diulangnya lagi. Sedangkan tangannya terus mengocok dengan cepat.
"Maahh.. udah mah.., boleh dong papah ngerasain titfuck?" kataku memohon.
Bunda menghentikan aktivitasnya. Ia tersenyum mengetahui imajinasiku. Diangkat buah dadanya. Rudalku yang sudah sangat tegang itu lalu kumajukan agar bisa diapit oleh bukit kembarnya yang benar-benar montok. Bunda menggerakkan dadanya naik turun. Ohhh..nikmat sekali. Wajah bunda menunduk dan setiap kepala penisku mendekat ia menjilatnya. Pantatku pun tak mau diam, ikut naik turun. Aku lalu ikut memegang toketnya yang biadab itu. Dadanya kumainkan naik turun mengapit batangku. Otot-otot penisku makin mengeras, agaknya ingin keluar lagi.
"Kayaknya mau keluar ya pah?" tanya bunda.
"Kok tahu mah?" tanyaku.
"Akukan ibumu, jadi tahu semua tentang anaknya, apalagi kita telah jadi suami istri dan selalu tahu bagaimana tegangnya kepunyaan suaminya ketika ingin menembak," jawabnya.
"Maahh.. papah mau keluar mah..," kataku.
"Semprotin aja pah," kata bunda.
"Ohh.. maahh.. keluar di wajah mamah ya?" kataku.
Bunda mengangguk, kemudian wajahnya mendekat.
"Pahh.. mamah.. mamah pipis paahh..!"
Aku kaget ketika bunda mengeluarkan cairan menyemprotku. Semprotannya tak cuma sekali dua kali, tapi berkali-kali sampai ia lemas. Ternyata itu titik sensitif bunda. Sofa kami jadi basah dengan squirtnya bunda.
Aku kemudian memposisikan senjataku ke depan mulut memeknya. Aku meraih buah dadanya dan kuremasi gemas. Bersamaan dengan itu pantatku maju. Rudal coklat dengan kepala pelurunya berwarna kemerahan mulai menerobos liang kewanitaan bunda. Kulitnya sudah berkilat-kilat memantulkan cahaya karena terkena lendir senggama. Kemudian gesekan-gesekan lembut mulai dilakukan. Penetrasi untuk kedua kalinya ini sensasinya bikin kepala penisku gatal. Mungkin karena banyak squirt bunda yang keluar. Atau mungkin karena memang aku sudah benar-benar horni. Setiap aku menghujamkan penisku, aku selalu menghantamkan perutku ke pantat bunda. Dan bunda setiap terkena hentakan menjerit.
"Aww.. oohh.. ppaahhh.. te..rruuuss.. yang cepet paahhh," kata bunda.
Aku kemudian mulai mempercepat temponya. Maju mundur dengan cepat. Terus aku pompa makin cepat, kepala bunda pun menggeleng-geleng.
"Paah..mamah keluar lagi pah..he-eh..pah..cepet gitu, cepet..teruss..fuck me pah..fuck meee..!" rancau bunda.
Aku makin percepat, suara benturan pantat dengan perutku memenuhi ruangan. Memberikan kesan erotis. Tak pernah kubayangkan sebelumnya aku bakal bisa ngentotin bundaku. Bunda yang selalu mendidikku sejak kecil. Ketika kecil aku yang dimandikan olehnya sekarang kita biasa mandi bersama. Aku yang dulu menyusu sekarang aku menyusu lagi. Dulu aku yang keluar dari lubang kecil ini sekarang aku masuk lagi. Dulu dari rahim ini aku keluar sekarang aku sudah menabur benihku di sana. Aku dulu tak pernah membayangkan bakal menjadi suami dari bundaku. Bunda yang selalu meyayangiku. Kini kasih sayang itu lebih besar lagi, tak hanya sekedar seorang anak, tapi lebih kepada suami, sebuah cinta yang tak akan dimengerti oleh orang lain. Kami merengkuh birahi bersama dan kedudukanku sekarang mengisi hatinya menggantikan ayah.
Aku hampir orgasme bahkan mungkin beberapa saat lagi benih-benih cintaku yang kental akan menyemprot di dalam rahimnya. Aku ingin mengingat setiap memory bersama bunda. Entah kenapa tapi sebelum orgasme aku ingin mengingat semuanya, mengingat semuanya hingga aku yakin setiap waktu, setiap kesempatan, setiap kenangan. Memory itu makin jelas. Bunda, aku butuh bunda, aku butuh bunda untuk birahiku.
"Pah..punya papah makin keras, enak pah..mamah dientot papah..ohhh..suamiku..mamah keluar paahh..oohhh..punya papah sesek di dalam..," bunda mengimbangi goyanganku.
Ujung penisku mulai gatel. Testisku sudah sesak, sepertinya sudah benar-benar tak kuat lagi ingin mengeluarkan sperma. Benar kata bunda, punyaku udah benar-benar tegang. Kubayangkan seluruh memory ketika aku orgasme ke dalam rahimnya, ketika aku merasakan nikmatnya menyemprotkan spermaku ketika melakukan titfuck kepadanya, atau ketika ia mau menerima semburan spermaku di mulutnya, semua memory itu terkumpul untuk sebuah momen ini. Momenku menyemburkan seluruh isi testisku.
"Bundaaa.. bundaku.. kuentoooott.. terimalah buah cinta anakmu ini!!!" teriakku.
"Ohh.. sayang.. ohhhh!"
CROOTT CROOTT CROOOOTT
Banyak sekali semburan spermaku. Aku tak bisa menghitungnya tapi setiap punyaku berkedut maka setiap itu pula spermaku keluar. Bunda yang tersirami sperma hangat itu mendongakkan kepalanya sambil menjerit, memanggil namaku. Tubuhnya menegang, pantatnya bergetar hebat. Punyaku seperti diremas-remas. Aku tak bisa membohongi diri kalau aku sebenarnya sangat mencintai bunda. Melebihi Kak Vidia maupun Nur. Mungkin karena bunda adalah wanita pertama yang melepas keperjakaanku. Wanita pertama yang menerima spermaku di rahimnya, wanita pertama yang mau mengoralku dan keluar di dalam mulutnya. Mengingat itu semua membuatku terus meledak dalam kedahsyatan orgasme yang tak pernah kurasakan selama ini.
Bunda bertahan dalam posisi menungging. Punyaku masih di dalam, dan itu dalam keadaan tegang, walaupun sudah menyusut sedikit. Perlahan-lahan aku mencabutnya. Aku lalu duduk di sofa. Kuamati batangku yang terbungkus cairan putih, campuran antara spermaku dan cairan kewanitaan bunda. Bunda masih menungging nafasnya tampak tersengal-sengal. Butuh waktu sejenak untuk bunda bisa tenang rupanya. Kulihat dari belahan memeknya tampak spermaku meleleh. Rupanya aku keluar banyak sekali. Aku bisa melihat lubangnya penuh dengan cairan kental berwarna putih. Bunda lalu perlahan-lahan mulai duduk. Tubuhnya disandarkan ke sofa. Aku duduk di sampingnya. Kemudian bunda bersandar ke bahuku. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku.
"Pah.. tadi.. papah hebat sekali.. bunda sampai ngerasa papah keluarnya banyak banget," kata bunda.
"Iya mah.. papah mengingat-ingat semua peristiwa persenggamaan kita, itu membuat papah bergairah dan bisa orgasme sedahsyat ini," kataku.
PReeettt!! terdengar suara dari memek bunda.
"Apa itu mah?" tanyaku.
"Hihihi, sperma papah keluar, ditolak ama rahim, kan udah ada isinya," jawab mamah sambil tertawa kecil.
Bunda kemudian bangkit dan melihat sofa. Dari tempatnya duduk, kulihat ada cairan kental berwarna putih di situ.
"Ini bersihinnya gimana ya? Kalau ada tamu masak harus bilang kalau kita maen di sini," kata bunda.
Aku tertawa. "Beli sofa baru?"
"Pemborosan ah, coba deh papah yang tanggung jawab bersihin. Kan itu punya papah, horni kok di ruang tamu," bunda menjulurkan lidahnya.
Melihat beliau berdiri telanjang. Dadanya besar, perut besar, pantat montok membuat aku tegang lagi. Gila nih otong. Ndak puas-puas. Otongku langsung mengembang lagi.
"Wah, udah kepingin lagi?" tanya bunda.
"Iya nih mah, lihat mamah tanpa baju sehelai pun, membuat papah horni," jawabku.
"Tapi mamah capek pah," kata bunda, lalu berlutut di hadapanku. Buah dadanya bertumpu di atas pahaku. "Pake oral aja yah?"
Aku mengangguk. Aku menggeser tubuhku untuk maju. Agar perut bundaku tidak menyentuh pinggiran sofa. Lutut mamah ditekuk, jadi ia duduk di atas kakinya. Saat itu terdengar suara lagi. PREEETTT..
"Benih papah keluar lagi nih. Sebanyak apa sih tadi keluarnya? Masak sampe seliter?" canda bunda.
"Ndak tau mah, pokoknya setiap kedutan tadi keluar terus," jawabku.
"Apakah bunda ini sebegitu membuat anak bunda yang sudah jadi suami bunda ini horni?" tanya bunda. Bunda mulai beraksi. Aku duduk dipinggir sofa. Pahaku terbuka lebar, jemari bunda mulai mengusap-usap pahaku lalu selakanganku. Bunda mulai merangsang titik-titik sensitifku. Diciumnya seluruh bagian pahaku.
"Mamah, mamah memang sangat hebat kalau merangsangku," kataku.
Bunda konsentrasi menciumi dan menghisapi pahaku. Kemudian mulai mendekat ke batangku yang sedang di pegangnya. Batangku dikocok lembut, bagian kepalanya dielus-elus oleh telunjuknya. Wajahnya pun kemudian ke bagian buah zakarku. Menciumi apa saja yang ada di sana. Senjataku makin mengeras dan on lagi. Bunda mengejar-ngejar buah zakarku. Aku merintih-rintih keenakan dengan perlakuannya. Kedua tanganku mengusapi tangannya yang melakukan kocokan lembut.
Mulutnya lalu bergerak ke batangku sekarang. Dijilatinya batangku yang masih ada campuran spermaku dan cairan kewanitaannya. Lidah Bunda menari-nari di batangku, hingga sampai ke ujung lubang kencing, lalu mulutnya dibuka dan bibirnya maju untuk menghisap penisku. OOOuuwww.. Terlihat ujung bibirnya menutupi lubang kencingku dan lidahnya menari-nari di lubang penisku. Sensasinya ndak bisa dikatakan.
"Mah.. mamah.. mamah apain itu? Enak banget?" tanyaku.
"Vidia ama Nur ndak pernah giniin kamu?" tanyanya.
"Tidak pernah mah, aku selalu bebaskan cara mereka memuaskanku," jawabku.
"Besok aku ajarin mereka biar tahu cara memuaskan suaminya ini," kata bunda.
Kembali lagi mempermainkan lubang kencingku. Lalu sesaat kemudian mulutnya tiba melahap kepalanya lalu kembali lagi mempermainkan lubang kencingku. Alamaakk.. enak banget aku diperlakukan seperti itu. Lalu pinggiran kepalaku yang cukup sensitif dijilatinya memutar. Dan tangannya mengocok batangku dengan cepat sembari mengerjai kepalanya.
"Mahh.. nikmat banget mah..," kataku.
Bunda mengulumnya sekarang, tapi lidahnya tetap mengerjai pinggiran kepalanya, melumeri kepala penisku dengan lidahnya lalu menghisap kuat-kuat. Kemudian diulangnya lagi. Sedangkan tangannya terus mengocok dengan cepat.
"Maahh.. udah mah.., boleh dong papah ngerasain titfuck?" kataku memohon.
Bunda menghentikan aktivitasnya. Ia tersenyum mengetahui imajinasiku. Diangkat buah dadanya. Rudalku yang sudah sangat tegang itu lalu kumajukan agar bisa diapit oleh bukit kembarnya yang benar-benar montok. Bunda menggerakkan dadanya naik turun. Ohhh..nikmat sekali. Wajah bunda menunduk dan setiap kepala penisku mendekat ia menjilatnya. Pantatku pun tak mau diam, ikut naik turun. Aku lalu ikut memegang toketnya yang biadab itu. Dadanya kumainkan naik turun mengapit batangku. Otot-otot penisku makin mengeras, agaknya ingin keluar lagi.
"Kayaknya mau keluar ya pah?" tanya bunda.
"Kok tahu mah?" tanyaku.
"Akukan ibumu, jadi tahu semua tentang anaknya, apalagi kita telah jadi suami istri dan selalu tahu bagaimana tegangnya kepunyaan suaminya ketika ingin menembak," jawabnya.
"Maahh.. papah mau keluar mah..," kataku.
"Semprotin aja pah," kata bunda.
"Ohh.. maahh.. keluar di wajah mamah ya?" kataku.
Bunda mengangguk, kemudian wajahnya mendekat.
Penisku aku kocok dan menyemprotlah spermaku ke wajahnya. Lima tembakan ke wajah bunda. Setelah 5 kali tembakan, bunda memasukkan penisku ke mulutnya dan mengocoknya lembut. Sisa spermaku keluar di mulutnya. Bunda menelan sisa-sisa yang keluar di penisku. Kulihat keningnya, matanya, hidung dan pipinya terkena spermaku. Aku lemas di atas sofa. Bunda kemudian menjilati spermaku yang ada di wajahnya. Ia masukkan semua itu ke mulutnya dengan bantuan tangannya. Terlihat sangat rakus. Aku suka pemandangan itu dan menyaksikannya hingga wajahnya bersih lagi. Bunda lalu berdiri.
"Udah ah, ngeres mulu pikiran papah. Ingat lho mamah lagi hamil, cepet capek," katanya sambil meremas batangku.
"Aduh!" kataku. Batangku ngilu rasanya. "Habis mamah seksi sih."
"Simpan tenaga buat malam nanti ya pah, malam nanti dilanjut kalau masih kepengen," katanya. "Sekarang bersihin tuh, sofa ama lantainya!"
Aku tertawa kecil, "Iya iya mah."
Malam harinya aku mengulanginya lagi dengan bunda di ranjang. Bunda memperingatkanku agar jangan sering-sering ML, karena capek juga. Aku mengerti kondisi beliau. Maka dari itu kalau ML aku selalu berakhir dipuaskan dengan jurus oralnya atau titfuck. Satu yang aku sukai dengan bunda adalah beliau cukup sabar dengan perlakuanku selama bercinta. Menerima seluruh keinginanku, dan tahu bagaimana cara memuaskanku. Maka dari itulah, ketika setelah oral aku minta oral lagi beliau tak menolak. Bahkan ketika beliau capek beliau berbaring miring dan aku menggarapnya dari belakang. Beliau tetap bersabar sambil terus menerima sodokanku. Akhirnya setelah puas 4 ronde. Aku tertidur di dalam selimut sambil memeluk bunda dari belakang.
Dalam rumah tangga kami selalu harmonis. Walaupun aku harus membagi waktuku dengan kedua saudariku yang lain. Itu karena aku selalu memberikan sentuhan. Baik itu sentuhan sekedar mengelus tangannya, atau menciumnya. Atau sentuhan-sentuhan yang lain. Apabila sentuhan itu makin hot, maka yang terjadi adalah dituntaskan di ranjang. Mereka sangat mencintaiku, maka dari itulah kalau misalnya tahu ada wanita lain yang aku sukai, mereka pasti akan bertanya siapa wanita itu? Apakah mau menerima keadaanku ataukah tidak? Dan aku jujur ketika menyukai mbak Juni yang sekarang entah ada dimana itu. Sedangkan yang main-main aku tak pernah menceritakannya kepada semua istriku. Bukan berarti aku tidak jujur, tapi agar keluargaku tetap utuh. Aku anggap itu semua cuma variasi saja dalam berhubungan. Toh, kebanyakan mereka yang telah berhubungan dengaku adalah menginginkan aku. Bukan sebaliknya.
===x0x===
Setelah pengalamanku dengan tetanggaku Erna. Aku pun jadi iseng. Penyakit lamaku agaknya kumat. Aku sendiri lebih ngelirik ke para ABG. Aku pun browsing di internet, mencari anak-anak ABG. Tapi semuanya tak menarik buatku. Aku mencari yang imut dan berjilbab. Agaknya kenanganku dengan NUr ketika memperawaninya tak bisa aku lupakan.
Saat itulah aku sedang jalan-jalan sendirian di sebuah taman. Terus terang, pekerjaan, kemudian mengurusi bunda dan lain-lainnya membuatku stress dan capek. Aku lalu kemudian duduk di sebuah bangku sambil menyaksikan bintang-bintang di langit. Malam-malam begini di taman pasti lagi banyak para ABG pacaran. Dan memang benar. Mereka lalu lalang. Cukup ramai. Saat itulah ada seorang cewek yang tiba-tiba duduk di bangku. Aku cukup kaget, karena sepertinya aku pernah melihat cewek ini tapi entah di mana.
Cewek ini sedang menangis. Ia mengusap air matanya dengan tissue. Aku melihatnya berjilbab tapi bukan jilbab lebar seperti bunda, Kak Vidia, maupun adikku Nur.
"Kenapa non?" tanyaku.
Ia tak menjawab.
"Diputus pacar?" tanyaku lagi.
Ia mengangguk. Owalah.
"Om, bisa bantu saya om?" tanyanya kepadaku.
"Bantu apaan?" tanyaku.
"Pura-pura jadi pacarku," jawabnya. "Aku mau beri pelajaran ama dia. Plis ya om. Nanti aku bayar deh, berapapun om minta. Sebentar aja kok."
"Aku ndak mau ah, itu kan urusan pribadi kok aku ikut-ikutan? Ntar kalau biniku tahu berabe," kataku.
"Ayolah om, plisss..ndak bakal ketahuan kok. Aku ingin buktiin kalau aku juga bisa punya pacar baru dan dia bukan satu-satunya lelaki di dunia ini," katanya.
Ia mengiba dan aku paling benci untuk menolaknya. "Oke deh, sebentar lho ya? Tapi aku tak mau membayarmu. Ini kulakukan untuk menolongmu, tulus."
Ia pun tersenyum. Ia mengusap air matanya.
"Masih kelihatan baru nangis ndak om?" tanyanya.
"Coba cuci muka di situ, di pancuran taman," kataku.
Ia pun segera pergi untuk cuci muka. Lalu setelah itu ia bersihkan pakai tissue. Ia cukup cakep. Aku jadi teringat ketika Nur masih muda dulu, ketika masih perawan. Ia pun menghampiriku lagi.
"Namaku Naura om, om siapa namanya?" tanyanya.
"Doni, panggil Mas aja deh," jawabku. "Usiaku baru 28 tahun."
Ia tersenyum, "Tapi kelihatan tua, apa karena kumis tipisnya ya?"
Aku tertawa. "Atau mungkin karena aku bawa mobil, punya istri dan punya perusahaan besar. Biasa aku dipanggil pak. Tapi para tetanggaku banyak juga kok yang manggil mas, karena memang aku masih muda."
"Ndak nyangka om..eh..mas masih muda, yuk om. Nemuin cowokku yang bangsat itu," katanya. Aku pun digandengnya. Kami akhirnya berjalan menyusuri taman yang cukup luas sih menurutku. Hingga sampai di sebuah sudut pohon yang ada batunya. Tampak di sana ada dua sejoli yang sedang duduk berduaan. Dan pemandangannya tak kalah menariknya. Tangan si cowok sudah masuk ke bajunya si cewek. Melihat aku dan Naura datang, ia buru-buru mengeluarkan tangannya dari sana.
"Heh, Andi! Nih lihat aku juga punya cowok, emangnya cuma kamu saja yang bisa dapatin cewek semaumu. Aku juga bisa!" katanya.
Cowok itu pun berdiri, "Oh, selamat deh kalau begitu. Ya udah habis ini kita ndak usah ketemuan lagi. Aku udah muak ama kamu."
"Dasar cowok playboy. Bajingan, kurang ajar. Hei kamu, ntar kamu nyesel hubungan sama dia. Dia tiap kota ceweknya beda!" Naura membentak-bentak.
"Urusan gue dong," kata si cewek.
"Pergi yuk, percuma ngeladenin cewek murahan kayak dia!" kata si cowok.
Terus terang, aku paling tidak suka kalau ada yang menghina seorang cewek baik-baik disebut murahan. Aku langsung menarik kerah baju si Andi ini. Aku lalu memukul perutnya. Ia mengaduh sambil memegangi perutnya. Ceweknya tampak panik melihat aksiku.
"Kurang ajar, loe bilang apa? Cewek murahan? Lo bilang Naura cewek murahan? Kurang ajar banget lo ya? Habis manis sepah dibuang? Lo sendiri apa? Sekali lagi lo bilang aneh-aneh ama Naura, gua habisi lu!" aku melotot ke arah matanya. Tampak Si Andi ketakutan. Naura juga terkejut ia tak menyangka aku berbuat sejauh itu. Aku lalu mendorong Andi hingga ia terjatuh.
Cewek Andi segera menolong. "Pergi yuk, pergi. Udah jangan ditanggepin."
Andi lalu berdiri dan meninggalkan kami.
"Awas kalau lo sampai deketin Naura lagi, gua hajar lo!" kataku.
Naura cuma bengong. Ia seakan-akan tak percaya terhadap sikapku. Aku lalu berbalik menghadapnya. Naura diam.
"Kenapa?" tanyaku.
"Eh..ee..enggak om..eh, mas. Cuma kayaknya terlalu jauh deh kalau sampai begitu," kata Naura.
"Cowok kayak gitu harus dikasih pelajaran. Bagiku wanita baik-baik seperti kamu dikatakan murahan ya ndak bener juga kan?" kataku.
"Makasih mas," katanya.
"Ya udah, aku mau pergi kalau begitu. Udah ya membantunya," kataku.
"Tunggu!" katanya. "Bagaimana aku ngucapin terima kasih?"
"Ah, ndak usah, aku tulus kok membantu orang," kataku. "Aku masih sayang istriku, ndak mau kena apa-apa nantinya."
Aku pun meninggalkan Naura setelah itu. Tapi ternyata di luar dugaan ia mengikutiku. Aku pun bingung sekarang.
"Lho, kenapa? Ndak pulang?" tanyaku.
"Sebenarnya aku lari dari rumah mas, cuma untuk ketemu ama dia," jawabnya.
"Trus?"
Naura pun bercerita kalau ia lari dari rumah karena hubungannya ama Andi tidak disetujui. Naura telah berkorban segalanya. Ponselnya dijual untuk biaya kuliah Andi. Bahkan mereka pun tinggal di kontrakan yang sama. Naura lari dari rumah dan tinggal di kontrakan Andi. Maka dari itulah ketika tahu Andi punya cewek lain ia sangat terpukul.
"Tinggal satu kontrakan? Apa kalian sudah melakukan itu?" tanyaku.
Naura mengangguk pelan. "Sekarang Naura bingung mau pulang mas. Papa dan mama pasti malu."
"Kamu tinggal di mana?" tanyaku.
Naura memberitahukan alamatnya. Dan ternyata rumahnya satu komplek denganku. Ia tetangganya Nur. Itulah sebabnya aku sepertinya pernah tahu dia. Ia anak Pak Rusdi, seorang General Manajer perusahaan telekomunikasi swasta. Ia memang terkenal punya anak cewek yang cakep. Ternyata ini anaknya.
"Ya amplop, kamu anaknya Pak Rusdi?" kataku.
"I..iya mas, mas kenal?" tanyanya.
"Ya kenallah, dia tetanggaku," jawabku.
"Oh my god, berarti mas ini tetanggaku dong. Kok ndak pernah tahu?" tanyanya sambil ketawa.
"Makanya aku pernah ngelihat kamu di mana gitu, eh ternyata," kataku.
"Dunia memang sempit ternyata," katanya.
"Ya udah, trus sekarang gimana?" tanyaku. "Pak Rusdi itu orangnya baik lho. Sayang kalau kebaikannya kamu abaikan. Pulang saja dan minta maaf. Kamu pasti dimaafkan."
Ia pun diam. Dan tiba-tiba merangkulku. Naura menangis lagi.
"Tapi aku masih takut untuk pulang mas, bawa aku kemana gitu deh, asal jangan pulang," katanya.
"Lha, terus istriku gimana?" tanyaku. "Mau aku bawa ke mana kamu?"
"Aku juga bingung mas," jawabnya.
"Kalau tinggal di rumahku, nanti pasti akan ada pertanyaan dari istriku. Ini siapa, dari mana, kok bisa ketemu, hubungannya apa? Nah, berabe kan?" kataku.
"Aku tak punya teman lagi mas, plis.. aku sudah korbankan segalanya buat si Andi itu. Ternyata ini yang aku dapatkan. Ia cuma pingin hartaku aja," katanya.
Aku pun terdiam. Gila ini bocah, toketnya padet banget nempel dipunggung. Bikin aku greng aja.
"Udah ah, ngeres mulu pikiran papah. Ingat lho mamah lagi hamil, cepet capek," katanya sambil meremas batangku.
"Aduh!" kataku. Batangku ngilu rasanya. "Habis mamah seksi sih."
"Simpan tenaga buat malam nanti ya pah, malam nanti dilanjut kalau masih kepengen," katanya. "Sekarang bersihin tuh, sofa ama lantainya!"
Aku tertawa kecil, "Iya iya mah."
Malam harinya aku mengulanginya lagi dengan bunda di ranjang. Bunda memperingatkanku agar jangan sering-sering ML, karena capek juga. Aku mengerti kondisi beliau. Maka dari itu kalau ML aku selalu berakhir dipuaskan dengan jurus oralnya atau titfuck. Satu yang aku sukai dengan bunda adalah beliau cukup sabar dengan perlakuanku selama bercinta. Menerima seluruh keinginanku, dan tahu bagaimana cara memuaskanku. Maka dari itulah, ketika setelah oral aku minta oral lagi beliau tak menolak. Bahkan ketika beliau capek beliau berbaring miring dan aku menggarapnya dari belakang. Beliau tetap bersabar sambil terus menerima sodokanku. Akhirnya setelah puas 4 ronde. Aku tertidur di dalam selimut sambil memeluk bunda dari belakang.
Dalam rumah tangga kami selalu harmonis. Walaupun aku harus membagi waktuku dengan kedua saudariku yang lain. Itu karena aku selalu memberikan sentuhan. Baik itu sentuhan sekedar mengelus tangannya, atau menciumnya. Atau sentuhan-sentuhan yang lain. Apabila sentuhan itu makin hot, maka yang terjadi adalah dituntaskan di ranjang. Mereka sangat mencintaiku, maka dari itulah kalau misalnya tahu ada wanita lain yang aku sukai, mereka pasti akan bertanya siapa wanita itu? Apakah mau menerima keadaanku ataukah tidak? Dan aku jujur ketika menyukai mbak Juni yang sekarang entah ada dimana itu. Sedangkan yang main-main aku tak pernah menceritakannya kepada semua istriku. Bukan berarti aku tidak jujur, tapi agar keluargaku tetap utuh. Aku anggap itu semua cuma variasi saja dalam berhubungan. Toh, kebanyakan mereka yang telah berhubungan dengaku adalah menginginkan aku. Bukan sebaliknya.
===x0x===
Setelah pengalamanku dengan tetanggaku Erna. Aku pun jadi iseng. Penyakit lamaku agaknya kumat. Aku sendiri lebih ngelirik ke para ABG. Aku pun browsing di internet, mencari anak-anak ABG. Tapi semuanya tak menarik buatku. Aku mencari yang imut dan berjilbab. Agaknya kenanganku dengan NUr ketika memperawaninya tak bisa aku lupakan.
Saat itulah aku sedang jalan-jalan sendirian di sebuah taman. Terus terang, pekerjaan, kemudian mengurusi bunda dan lain-lainnya membuatku stress dan capek. Aku lalu kemudian duduk di sebuah bangku sambil menyaksikan bintang-bintang di langit. Malam-malam begini di taman pasti lagi banyak para ABG pacaran. Dan memang benar. Mereka lalu lalang. Cukup ramai. Saat itulah ada seorang cewek yang tiba-tiba duduk di bangku. Aku cukup kaget, karena sepertinya aku pernah melihat cewek ini tapi entah di mana.
Cewek ini sedang menangis. Ia mengusap air matanya dengan tissue. Aku melihatnya berjilbab tapi bukan jilbab lebar seperti bunda, Kak Vidia, maupun adikku Nur.
"Kenapa non?" tanyaku.
Ia tak menjawab.
"Diputus pacar?" tanyaku lagi.
Ia mengangguk. Owalah.
"Om, bisa bantu saya om?" tanyanya kepadaku.
"Bantu apaan?" tanyaku.
"Pura-pura jadi pacarku," jawabnya. "Aku mau beri pelajaran ama dia. Plis ya om. Nanti aku bayar deh, berapapun om minta. Sebentar aja kok."
"Aku ndak mau ah, itu kan urusan pribadi kok aku ikut-ikutan? Ntar kalau biniku tahu berabe," kataku.
"Ayolah om, plisss..ndak bakal ketahuan kok. Aku ingin buktiin kalau aku juga bisa punya pacar baru dan dia bukan satu-satunya lelaki di dunia ini," katanya.
Ia mengiba dan aku paling benci untuk menolaknya. "Oke deh, sebentar lho ya? Tapi aku tak mau membayarmu. Ini kulakukan untuk menolongmu, tulus."
Ia pun tersenyum. Ia mengusap air matanya.
"Masih kelihatan baru nangis ndak om?" tanyanya.
"Coba cuci muka di situ, di pancuran taman," kataku.
Ia pun segera pergi untuk cuci muka. Lalu setelah itu ia bersihkan pakai tissue. Ia cukup cakep. Aku jadi teringat ketika Nur masih muda dulu, ketika masih perawan. Ia pun menghampiriku lagi.
"Namaku Naura om, om siapa namanya?" tanyanya.
"Doni, panggil Mas aja deh," jawabku. "Usiaku baru 28 tahun."
Ia tersenyum, "Tapi kelihatan tua, apa karena kumis tipisnya ya?"
Aku tertawa. "Atau mungkin karena aku bawa mobil, punya istri dan punya perusahaan besar. Biasa aku dipanggil pak. Tapi para tetanggaku banyak juga kok yang manggil mas, karena memang aku masih muda."
"Ndak nyangka om..eh..mas masih muda, yuk om. Nemuin cowokku yang bangsat itu," katanya. Aku pun digandengnya. Kami akhirnya berjalan menyusuri taman yang cukup luas sih menurutku. Hingga sampai di sebuah sudut pohon yang ada batunya. Tampak di sana ada dua sejoli yang sedang duduk berduaan. Dan pemandangannya tak kalah menariknya. Tangan si cowok sudah masuk ke bajunya si cewek. Melihat aku dan Naura datang, ia buru-buru mengeluarkan tangannya dari sana.
"Heh, Andi! Nih lihat aku juga punya cowok, emangnya cuma kamu saja yang bisa dapatin cewek semaumu. Aku juga bisa!" katanya.
Cowok itu pun berdiri, "Oh, selamat deh kalau begitu. Ya udah habis ini kita ndak usah ketemuan lagi. Aku udah muak ama kamu."
"Dasar cowok playboy. Bajingan, kurang ajar. Hei kamu, ntar kamu nyesel hubungan sama dia. Dia tiap kota ceweknya beda!" Naura membentak-bentak.
"Urusan gue dong," kata si cewek.
"Pergi yuk, percuma ngeladenin cewek murahan kayak dia!" kata si cowok.
Terus terang, aku paling tidak suka kalau ada yang menghina seorang cewek baik-baik disebut murahan. Aku langsung menarik kerah baju si Andi ini. Aku lalu memukul perutnya. Ia mengaduh sambil memegangi perutnya. Ceweknya tampak panik melihat aksiku.
"Kurang ajar, loe bilang apa? Cewek murahan? Lo bilang Naura cewek murahan? Kurang ajar banget lo ya? Habis manis sepah dibuang? Lo sendiri apa? Sekali lagi lo bilang aneh-aneh ama Naura, gua habisi lu!" aku melotot ke arah matanya. Tampak Si Andi ketakutan. Naura juga terkejut ia tak menyangka aku berbuat sejauh itu. Aku lalu mendorong Andi hingga ia terjatuh.
Cewek Andi segera menolong. "Pergi yuk, pergi. Udah jangan ditanggepin."
Andi lalu berdiri dan meninggalkan kami.
"Awas kalau lo sampai deketin Naura lagi, gua hajar lo!" kataku.
Naura cuma bengong. Ia seakan-akan tak percaya terhadap sikapku. Aku lalu berbalik menghadapnya. Naura diam.
"Kenapa?" tanyaku.
"Eh..ee..enggak om..eh, mas. Cuma kayaknya terlalu jauh deh kalau sampai begitu," kata Naura.
"Cowok kayak gitu harus dikasih pelajaran. Bagiku wanita baik-baik seperti kamu dikatakan murahan ya ndak bener juga kan?" kataku.
"Makasih mas," katanya.
"Ya udah, aku mau pergi kalau begitu. Udah ya membantunya," kataku.
"Tunggu!" katanya. "Bagaimana aku ngucapin terima kasih?"
"Ah, ndak usah, aku tulus kok membantu orang," kataku. "Aku masih sayang istriku, ndak mau kena apa-apa nantinya."
Aku pun meninggalkan Naura setelah itu. Tapi ternyata di luar dugaan ia mengikutiku. Aku pun bingung sekarang.
"Lho, kenapa? Ndak pulang?" tanyaku.
"Sebenarnya aku lari dari rumah mas, cuma untuk ketemu ama dia," jawabnya.
"Trus?"
Naura pun bercerita kalau ia lari dari rumah karena hubungannya ama Andi tidak disetujui. Naura telah berkorban segalanya. Ponselnya dijual untuk biaya kuliah Andi. Bahkan mereka pun tinggal di kontrakan yang sama. Naura lari dari rumah dan tinggal di kontrakan Andi. Maka dari itulah ketika tahu Andi punya cewek lain ia sangat terpukul.
"Tinggal satu kontrakan? Apa kalian sudah melakukan itu?" tanyaku.
Naura mengangguk pelan. "Sekarang Naura bingung mau pulang mas. Papa dan mama pasti malu."
"Kamu tinggal di mana?" tanyaku.
Naura memberitahukan alamatnya. Dan ternyata rumahnya satu komplek denganku. Ia tetangganya Nur. Itulah sebabnya aku sepertinya pernah tahu dia. Ia anak Pak Rusdi, seorang General Manajer perusahaan telekomunikasi swasta. Ia memang terkenal punya anak cewek yang cakep. Ternyata ini anaknya.
"Ya amplop, kamu anaknya Pak Rusdi?" kataku.
"I..iya mas, mas kenal?" tanyanya.
"Ya kenallah, dia tetanggaku," jawabku.
"Oh my god, berarti mas ini tetanggaku dong. Kok ndak pernah tahu?" tanyanya sambil ketawa.
"Makanya aku pernah ngelihat kamu di mana gitu, eh ternyata," kataku.
"Dunia memang sempit ternyata," katanya.
"Ya udah, trus sekarang gimana?" tanyaku. "Pak Rusdi itu orangnya baik lho. Sayang kalau kebaikannya kamu abaikan. Pulang saja dan minta maaf. Kamu pasti dimaafkan."
Ia pun diam. Dan tiba-tiba merangkulku. Naura menangis lagi.
"Tapi aku masih takut untuk pulang mas, bawa aku kemana gitu deh, asal jangan pulang," katanya.
"Lha, terus istriku gimana?" tanyaku. "Mau aku bawa ke mana kamu?"
"Aku juga bingung mas," jawabnya.
"Kalau tinggal di rumahku, nanti pasti akan ada pertanyaan dari istriku. Ini siapa, dari mana, kok bisa ketemu, hubungannya apa? Nah, berabe kan?" kataku.
"Aku tak punya teman lagi mas, plis.. aku sudah korbankan segalanya buat si Andi itu. Ternyata ini yang aku dapatkan. Ia cuma pingin hartaku aja," katanya.
Aku pun terdiam. Gila ini bocah, toketnya padet banget nempel dipunggung. Bikin aku greng aja.
Pikiran ngeresku pun mulai muncul lagi. Tidak, tidak, aku tak mau terburu-buru. Kalau memang jadi ya jadi tapi jangan terlalu cepat dong.
"Oke deh, aku akan bantu. Aku punya villa kosong. Engkau boleh tinggal di sana. Cuma ada syaratnya, engkau tak boleh lama-lama tinggal di sana. Nanti anggota keluargaku curiga. Para pekerjanya masih libur. Jadi bener-bener kosong. Cuma ada satpam aja sih yang berjaga di gerbang masuk. Tidak mengurusi villa. Jadi kalau misalnya ada yang tinggal di villa mereka nggak bakal mengganggu kecuali darurat. Kau bisa tinggal di sana, tapi paling lama cuma seminggu. Dan setelah seminggu aku ingin kau harus pulang dan minta maaf ke orang tuamu. Bagaimana?"
Naura melepaskan pelukannya. Ia jadi sumringah. "Beneran mas?"
"Iya bener, kamu bisa tinggal di sana," kataku.
Akhirnya aku mengantarkan Naura untuk pergi ke Villa. Aku menyapa penjaga gerbang dan mengatakan bahwa temanku mau nginap di Villa ini untuk seminggu. Setelah itu aku masuk ke Villa.
"Kamu ndak ada baju?" tanyaku.
"Kutinggalkan semua di rumahnya Andi," jawab Naura.
"Wah, susah nih. Di lemari ada baju-baju istriku. Coba kamu lihat. Kalau misalnya pas ya selamat deh," kataku.
"Sekali lagi makasih mas. Mas sudah tulus banget bantu aku," katanya.
"Iya, iya. Aku tinggal dulu ya. Jaga baik-baik villa ini," kataku.
"Mas..," panggilnya setelah aku berbalik. Aku menoleh lagi ke arahnya.
"Ada apa lagi?" tanyaku.
"Anu..kalau mas ndak keberatan, jangan bilang ke orang tuaku ya," katanya mengiba.
"Iya, aku tak akan bilang," kataku.
"Makasih mas," katanya.
AKu pun meninggalkannya.
***
Sudah 3 hari aku meninggalkan Naura di villa itu. Aku disibukkan oleh pekerjaanku. Dua hari lembur terus. Membuatku capek. Bunda pun mengusulkan agar aku istirahat saja. Ke mana gitu. Kak Vidia juga mengusulkanku demikian. Nur juga yang paling khawatir. Ia sempat menangis melihat kondisiku yang sedikit stress. Maklum Nur tidak pernah pacaran. Akulah satu-satunya lelaki yang sangat spesial baginya, maka dari itulah ia sangat mengkhawatirkanku. Kak Vidia sebenarnya juga demikian, tapi ia lebih marah-marah ke aku dan sewot. Aku tahu ia peduli, bahkan ia sempat mentoyorku karena kecapekan.
Mereka bertiga berkumpul di rumah bunda. Karena bunda mendekati masa-masa lahiran. Maka dari itu mereka ingin menjaga bunda di saat-saat aku sedang tidak bisa di sana. Sebenarnya sama aja sih ketika Kak Vidia atau Nur lahiran, semuanya berkumpul. Hanya saja ini spesial karena mereka tahu aku sangat sayang kepada bunda. Dan mereka semua tahu bunda itu wanita yang sangat spesial bagiku. Maka dari itulah mereka ingin memberikan perhatian yang lebih.
"Istirahat dululah mas, masak sampai lembur tiga hari gitu?" Nur menasehatiku. Matanya tampak sembab.
"Nur sampai nangis semaleman, mikirin papah," kata Kak Vidia.
"Yah, mau bagaimana lagi. Ngurusin pajak ini ribetnya bukan main. Kayaknya kita butuh akuntan deh. Sayang mbak Juni ndak ada, padahal selama ini dia yang ngurusin," kataku.
Kak Vidia lalu duduk di sebelahku. "Sudah, ndak usah mikirin mbak Juni lagi. Ntar malah tambah sakit. Kalau ia cinta sama papah, ia pasti akan datang. Kami semua tahu kok perasaan papah ke mbak Juni. Kalau misalnya ia jadi istri keempat kami rela, asalkan papah senang. Tapi mbak Juninya sendiri yang tak mau menerima kita."
"Iya, pah, kami bertiga ikhlas kok. Apapun keputusan papah," kata bunda sambil tersenyum.
"Sementara biar Antok saja deh yang mengurusi. Aku ingin istirahat dulu selama seminggu di villa," kataku. "Toh pembukuannya sudah selesai."
"Nah, begitu," kata Nur. "Aku senang kalau papah begini."
Aku mencium kening Nur. Ia suka dan menciumku balik. "Tapi telpon ya kalau bunda udah pembukaan, aku ndak mau melewati masa-masa anakku lahir."
"Tenang aja pah, pasti kami telepon kok," kata Nur.
AKhirnya aku pun pergi ke Villa. Untuk sesaat, aku lupa kalau di dalam Villa ada Naura. Karena aku masih ingat pekerjaanku dan juga menunggu kelahiran anakku. Pak Satpam penjaga menyapaku. Mobilku pun masuk ke halaman villa yang mana cukup luas. Butuh beberapa menit untuk sampai tepat di depan villa. Aku lalu keluar dari mobil dan mengambil tas di bagasi yang berisi baju-bajuku.
Aku lalu masuk begitu saja ke villa yang tidak dikunci. Aku tidak begitu perhatian dengan detail villa ini sebenarnya, walaupun kata pengurusnya beberapa kali mengganti perabotnya karena dimakan rayap. Foto-foto keluarga terpampang di ruang tengah begitu aku masuk. Mejanya berdebu, berarti tidak ada orang yang membersihkannya ya iyalah, para pengurusnya masih libur kok. Aku kemudian naik ke lantai atas, ke kamarku. Sungguh aku lupa kalau aku mempersilakan Naura tinggal di villa ini. Karena urusan pekerjaan buyar semua hal-hal sedetail ini. Aku pun merasa aneh ketika melihat pintu kamar terbuka.
Saat itulah aku kaget bukan main. Tas yang aku bawa pun terjatuh. Aku terbengong menyaksikan pemandangan ini. Naura tergeletak di atas ranjang. Sprei ranjang itu acak-acakan. Aku mencium bau yang aneh, seperti bau kemaluan wanita. Tangan kanannya berada di buah dadanya sepertinya ia baru saja meremas buah dada itu, tangan kirinya dijepit oleh kedua pahanya. Dan ia tak berbusana sehelai pun. Sebagai lelaki normal aku pun terangsang. Penisku langsung bereaksi.
Gila anak ini, mastrubasi di atas kamarku. Dan aku sangat terkejut tak jauh dari tempat ia berbaring ada fotoku. Ia tak menyadari aku ada di kamar. Langsung deh seluruh pikiranku tentang pekerjaan hilang semuanya, yang ada adalah, "ngentotin dia"
Aku langsung membuka bajuku satu persatu. Hingga telanjang. Aku lalu naik ke ranjang. AKu mendengar dengkuran halusnya. Dadanya benar-benar masih kencang. Montok. Putingnya kecil pink kecoklatan. Aku lalu berada di atasnya. Ku buka kakinya, ia tak terbangun. Aku lalu tarik tangannya yang basah dengan lendir itu. Kubuka pahanya lebar lebar. Kemudian ku tindih dia. Kulit kami bertemu. Mendapatkan sensasi sentuhan itu Naura membuka sedikit matanya.
"Ohh.. mas Doni.. entotin Naura mas," katanya. Ia mungkin masih mengira bermimpi.
Aku kemudian menciumi bibirnya. Saat itulah ia kaget. Matanya terbuka semuanya.
"Mm..mmass??? Apa yang mas lakukan?" tanyanya.
"Udah, ndak usah dipikirkan. Dinikmati saja," kataku.
Naura sebentar bingung. Tapi tak lama kemudian ia mengerti, bahwa sekarang orang yang diimpikannya sudah ada di atas tubuhnya. Bibirnya kemudian menyambutku dengan kecupan lembut. Kurasakan bibir itu masih lembut, aku bisa rasakan lipgloss yang ia pakai. Lidah kami bertemu dan berpanggut. Kami saling menghisap ludah dan bermain lidah. Lalu aku menciumi lehernya, kuberi cupangan-cupangan di sana. Kemudian turun ke belahan dadanya yang menggoda. Ku hisap, kuciumi dan kujilati buah dadanya. Kuremas dan kuhisapi pentilnya yang mungil itu.
"Ohh.. mass.. aku tadi mastrubasi sambil bayangin beginian ama mas, sekarang jadi nyata.. ohh.. terus mas.." katanya.
Aku jilati dadanya, kulingkari putingnya dengan lidahku, lalu kucolok-colok dengan ujung lidahku. Lalu kuhisap kuat. Hal itu membuatnya menggelinjang. Aku melakukan itu bergantian. Tangannya memelukku, menikmati kegelian rangsangan ini. Aku lalu turun, ke perutnya dan kemudian aku melihat memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia terkejut ketika lidahku menari-nari di sana. Membasahi rongga kenikmatan dan menyedot-nyedot klitorisnya.
Pantat Naura terangkat, beberapa kali ketika klitorisnya kumainkan kedua pahanya mengapitku. Kuciumi pahanya yang mulus itu. Kuberikan rangsangan ke selakangannya, membuat setiap rangsangan itu adalah sebuah pelukan dan erangan yang kluar dari mulutnya. Bibir bawahnya digigit dengan giginya yang putih. Matanya memutih menikmati setiap sensasi rangsangan yang aku berikan. Ia sudah becek sekali di bawah sana. Aku lalu kembali ke atas. Perutnya aku ciumi, kujilati, lalu ke dadanya lagi, kemudian ke lehernya. Kemudian kami berciuman penuh nafsu, aku lalu menciumi pipinya dan telinganya ku gigiti. Naura mendesah. Ia pun aktif, kini ia yang menciumiku, menggigiti telingaku, kemudian menghisap leherku, menciumi dadaku. Ia mendorongku untuk berbaring ke sampingnya.
Naura tak tinggal diam, ia terus menciumi seluruh tubuhku, menjilatinya. Kemudian ia memegang penisku. Diurut dan dipijatnya penis tersebut.
Ia lalu berbisik ke telingaku, "Penis mas gedhe banget, punya Andi ndak ada apa-apanya."
Aku tersenyum. "Diisep dong!"
Ia tersenyum, kemudian menciumi kepala penisku. Dijilatinya kepalanya, lalu ia membuka mulutnya dan memasukkan penisku ke mulutnya. Ia hisap-hisap dan kocok.Enak sekali. Kepalanya naik turun dan tangannya mengocok penisku. Walaupun tak seenak apa yang dilakukan bunda, tapi it's OK-lah, mungkin ia belajar dari bokep amatir.
"Kamu sering nonton bokep ya?" tanyaku.
Ia mengangguk. Naura lalu menciumi testisku, kemudian menjilatinya, ia juga menjilat bagian bawah testisku. Membuat penisku makin tegang aja. Darah berdesir ke kepalaku.
"Udah Naura, masukin aja, aku ingin merasakan memekmu," kataku. Ia lalu duduk di atasku. Ia angkat pantatnya dan menyesuaikan kepala penisku di lubang memeknya. Ia gesek-gesek, lalu ditekannya ke bawah.
"OOOuuwww.. maaasss.. hhhmmmhh..," desahnya. Penisku meluncur ke dalam memeknya. Memeknya meremas-remas penisku. Sepertinya kaget dengan ukurannya. "Itunya mas penuh, sampai mentok ke rahimku."
Kedua telapak tangan kami saling berpegangan. Ia berjongkok dan bergerak naik turun. Buah dadanya naik turun seperti pohon pepaya. Penisku mendapatkan sensasi yang sangat nikmat. Naura kebingungan dengan posisinya karena penisku terlalu panjang dan besar. Karena itu gerakan apapun yang ia lakukan baik diputar, digesek, dikocok, naik turun atau sekedar diam, selalu memberikan efek nikmat yang luar biasa. Gesekan demi gesekan kulit kemaluan kami menimbulkan suara kecipak yang menggairahkan.
"Mas, Naura ndak kuat. Mau pipis lagi," katanya.
"Barengan dong, sebentar," kataku. Aku lalu duduk. Kuhisap lagi teteknya sebentar, kemudian aku membaringkannya. "Nah begini dong. Aku ingin ngentotin kamu pake gaya ini."
Aku kemudian memeluknya.
"Oke deh, aku akan bantu. Aku punya villa kosong. Engkau boleh tinggal di sana. Cuma ada syaratnya, engkau tak boleh lama-lama tinggal di sana. Nanti anggota keluargaku curiga. Para pekerjanya masih libur. Jadi bener-bener kosong. Cuma ada satpam aja sih yang berjaga di gerbang masuk. Tidak mengurusi villa. Jadi kalau misalnya ada yang tinggal di villa mereka nggak bakal mengganggu kecuali darurat. Kau bisa tinggal di sana, tapi paling lama cuma seminggu. Dan setelah seminggu aku ingin kau harus pulang dan minta maaf ke orang tuamu. Bagaimana?"
Naura melepaskan pelukannya. Ia jadi sumringah. "Beneran mas?"
"Iya bener, kamu bisa tinggal di sana," kataku.
Akhirnya aku mengantarkan Naura untuk pergi ke Villa. Aku menyapa penjaga gerbang dan mengatakan bahwa temanku mau nginap di Villa ini untuk seminggu. Setelah itu aku masuk ke Villa.
"Kamu ndak ada baju?" tanyaku.
"Kutinggalkan semua di rumahnya Andi," jawab Naura.
"Wah, susah nih. Di lemari ada baju-baju istriku. Coba kamu lihat. Kalau misalnya pas ya selamat deh," kataku.
"Sekali lagi makasih mas. Mas sudah tulus banget bantu aku," katanya.
"Iya, iya. Aku tinggal dulu ya. Jaga baik-baik villa ini," kataku.
"Mas..," panggilnya setelah aku berbalik. Aku menoleh lagi ke arahnya.
"Ada apa lagi?" tanyaku.
"Anu..kalau mas ndak keberatan, jangan bilang ke orang tuaku ya," katanya mengiba.
"Iya, aku tak akan bilang," kataku.
"Makasih mas," katanya.
AKu pun meninggalkannya.
***
Sudah 3 hari aku meninggalkan Naura di villa itu. Aku disibukkan oleh pekerjaanku. Dua hari lembur terus. Membuatku capek. Bunda pun mengusulkan agar aku istirahat saja. Ke mana gitu. Kak Vidia juga mengusulkanku demikian. Nur juga yang paling khawatir. Ia sempat menangis melihat kondisiku yang sedikit stress. Maklum Nur tidak pernah pacaran. Akulah satu-satunya lelaki yang sangat spesial baginya, maka dari itulah ia sangat mengkhawatirkanku. Kak Vidia sebenarnya juga demikian, tapi ia lebih marah-marah ke aku dan sewot. Aku tahu ia peduli, bahkan ia sempat mentoyorku karena kecapekan.
Mereka bertiga berkumpul di rumah bunda. Karena bunda mendekati masa-masa lahiran. Maka dari itu mereka ingin menjaga bunda di saat-saat aku sedang tidak bisa di sana. Sebenarnya sama aja sih ketika Kak Vidia atau Nur lahiran, semuanya berkumpul. Hanya saja ini spesial karena mereka tahu aku sangat sayang kepada bunda. Dan mereka semua tahu bunda itu wanita yang sangat spesial bagiku. Maka dari itulah mereka ingin memberikan perhatian yang lebih.
"Istirahat dululah mas, masak sampai lembur tiga hari gitu?" Nur menasehatiku. Matanya tampak sembab.
"Nur sampai nangis semaleman, mikirin papah," kata Kak Vidia.
"Yah, mau bagaimana lagi. Ngurusin pajak ini ribetnya bukan main. Kayaknya kita butuh akuntan deh. Sayang mbak Juni ndak ada, padahal selama ini dia yang ngurusin," kataku.
Kak Vidia lalu duduk di sebelahku. "Sudah, ndak usah mikirin mbak Juni lagi. Ntar malah tambah sakit. Kalau ia cinta sama papah, ia pasti akan datang. Kami semua tahu kok perasaan papah ke mbak Juni. Kalau misalnya ia jadi istri keempat kami rela, asalkan papah senang. Tapi mbak Juninya sendiri yang tak mau menerima kita."
"Iya, pah, kami bertiga ikhlas kok. Apapun keputusan papah," kata bunda sambil tersenyum.
"Sementara biar Antok saja deh yang mengurusi. Aku ingin istirahat dulu selama seminggu di villa," kataku. "Toh pembukuannya sudah selesai."
"Nah, begitu," kata Nur. "Aku senang kalau papah begini."
Aku mencium kening Nur. Ia suka dan menciumku balik. "Tapi telpon ya kalau bunda udah pembukaan, aku ndak mau melewati masa-masa anakku lahir."
"Tenang aja pah, pasti kami telepon kok," kata Nur.
AKhirnya aku pun pergi ke Villa. Untuk sesaat, aku lupa kalau di dalam Villa ada Naura. Karena aku masih ingat pekerjaanku dan juga menunggu kelahiran anakku. Pak Satpam penjaga menyapaku. Mobilku pun masuk ke halaman villa yang mana cukup luas. Butuh beberapa menit untuk sampai tepat di depan villa. Aku lalu keluar dari mobil dan mengambil tas di bagasi yang berisi baju-bajuku.
Aku lalu masuk begitu saja ke villa yang tidak dikunci. Aku tidak begitu perhatian dengan detail villa ini sebenarnya, walaupun kata pengurusnya beberapa kali mengganti perabotnya karena dimakan rayap. Foto-foto keluarga terpampang di ruang tengah begitu aku masuk. Mejanya berdebu, berarti tidak ada orang yang membersihkannya ya iyalah, para pengurusnya masih libur kok. Aku kemudian naik ke lantai atas, ke kamarku. Sungguh aku lupa kalau aku mempersilakan Naura tinggal di villa ini. Karena urusan pekerjaan buyar semua hal-hal sedetail ini. Aku pun merasa aneh ketika melihat pintu kamar terbuka.
Saat itulah aku kaget bukan main. Tas yang aku bawa pun terjatuh. Aku terbengong menyaksikan pemandangan ini. Naura tergeletak di atas ranjang. Sprei ranjang itu acak-acakan. Aku mencium bau yang aneh, seperti bau kemaluan wanita. Tangan kanannya berada di buah dadanya sepertinya ia baru saja meremas buah dada itu, tangan kirinya dijepit oleh kedua pahanya. Dan ia tak berbusana sehelai pun. Sebagai lelaki normal aku pun terangsang. Penisku langsung bereaksi.
Gila anak ini, mastrubasi di atas kamarku. Dan aku sangat terkejut tak jauh dari tempat ia berbaring ada fotoku. Ia tak menyadari aku ada di kamar. Langsung deh seluruh pikiranku tentang pekerjaan hilang semuanya, yang ada adalah, "ngentotin dia"
Aku langsung membuka bajuku satu persatu. Hingga telanjang. Aku lalu naik ke ranjang. AKu mendengar dengkuran halusnya. Dadanya benar-benar masih kencang. Montok. Putingnya kecil pink kecoklatan. Aku lalu berada di atasnya. Ku buka kakinya, ia tak terbangun. Aku lalu tarik tangannya yang basah dengan lendir itu. Kubuka pahanya lebar lebar. Kemudian ku tindih dia. Kulit kami bertemu. Mendapatkan sensasi sentuhan itu Naura membuka sedikit matanya.
"Ohh.. mas Doni.. entotin Naura mas," katanya. Ia mungkin masih mengira bermimpi.
Aku kemudian menciumi bibirnya. Saat itulah ia kaget. Matanya terbuka semuanya.
"Mm..mmass??? Apa yang mas lakukan?" tanyanya.
"Udah, ndak usah dipikirkan. Dinikmati saja," kataku.
Naura sebentar bingung. Tapi tak lama kemudian ia mengerti, bahwa sekarang orang yang diimpikannya sudah ada di atas tubuhnya. Bibirnya kemudian menyambutku dengan kecupan lembut. Kurasakan bibir itu masih lembut, aku bisa rasakan lipgloss yang ia pakai. Lidah kami bertemu dan berpanggut. Kami saling menghisap ludah dan bermain lidah. Lalu aku menciumi lehernya, kuberi cupangan-cupangan di sana. Kemudian turun ke belahan dadanya yang menggoda. Ku hisap, kuciumi dan kujilati buah dadanya. Kuremas dan kuhisapi pentilnya yang mungil itu.
"Ohh.. mass.. aku tadi mastrubasi sambil bayangin beginian ama mas, sekarang jadi nyata.. ohh.. terus mas.." katanya.
Aku jilati dadanya, kulingkari putingnya dengan lidahku, lalu kucolok-colok dengan ujung lidahku. Lalu kuhisap kuat. Hal itu membuatnya menggelinjang. Aku melakukan itu bergantian. Tangannya memelukku, menikmati kegelian rangsangan ini. Aku lalu turun, ke perutnya dan kemudian aku melihat memeknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia terkejut ketika lidahku menari-nari di sana. Membasahi rongga kenikmatan dan menyedot-nyedot klitorisnya.
Pantat Naura terangkat, beberapa kali ketika klitorisnya kumainkan kedua pahanya mengapitku. Kuciumi pahanya yang mulus itu. Kuberikan rangsangan ke selakangannya, membuat setiap rangsangan itu adalah sebuah pelukan dan erangan yang kluar dari mulutnya. Bibir bawahnya digigit dengan giginya yang putih. Matanya memutih menikmati setiap sensasi rangsangan yang aku berikan. Ia sudah becek sekali di bawah sana. Aku lalu kembali ke atas. Perutnya aku ciumi, kujilati, lalu ke dadanya lagi, kemudian ke lehernya. Kemudian kami berciuman penuh nafsu, aku lalu menciumi pipinya dan telinganya ku gigiti. Naura mendesah. Ia pun aktif, kini ia yang menciumiku, menggigiti telingaku, kemudian menghisap leherku, menciumi dadaku. Ia mendorongku untuk berbaring ke sampingnya.
Naura tak tinggal diam, ia terus menciumi seluruh tubuhku, menjilatinya. Kemudian ia memegang penisku. Diurut dan dipijatnya penis tersebut.
Ia lalu berbisik ke telingaku, "Penis mas gedhe banget, punya Andi ndak ada apa-apanya."
Aku tersenyum. "Diisep dong!"
Ia tersenyum, kemudian menciumi kepala penisku. Dijilatinya kepalanya, lalu ia membuka mulutnya dan memasukkan penisku ke mulutnya. Ia hisap-hisap dan kocok.Enak sekali. Kepalanya naik turun dan tangannya mengocok penisku. Walaupun tak seenak apa yang dilakukan bunda, tapi it's OK-lah, mungkin ia belajar dari bokep amatir.
"Kamu sering nonton bokep ya?" tanyaku.
Ia mengangguk. Naura lalu menciumi testisku, kemudian menjilatinya, ia juga menjilat bagian bawah testisku. Membuat penisku makin tegang aja. Darah berdesir ke kepalaku.
"Udah Naura, masukin aja, aku ingin merasakan memekmu," kataku. Ia lalu duduk di atasku. Ia angkat pantatnya dan menyesuaikan kepala penisku di lubang memeknya. Ia gesek-gesek, lalu ditekannya ke bawah.
"OOOuuwww.. maaasss.. hhhmmmhh..," desahnya. Penisku meluncur ke dalam memeknya. Memeknya meremas-remas penisku. Sepertinya kaget dengan ukurannya. "Itunya mas penuh, sampai mentok ke rahimku."
Kedua telapak tangan kami saling berpegangan. Ia berjongkok dan bergerak naik turun. Buah dadanya naik turun seperti pohon pepaya. Penisku mendapatkan sensasi yang sangat nikmat. Naura kebingungan dengan posisinya karena penisku terlalu panjang dan besar. Karena itu gerakan apapun yang ia lakukan baik diputar, digesek, dikocok, naik turun atau sekedar diam, selalu memberikan efek nikmat yang luar biasa. Gesekan demi gesekan kulit kemaluan kami menimbulkan suara kecipak yang menggairahkan.
"Mas, Naura ndak kuat. Mau pipis lagi," katanya.
"Barengan dong, sebentar," kataku. Aku lalu duduk. Kuhisap lagi teteknya sebentar, kemudian aku membaringkannya. "Nah begini dong. Aku ingin ngentotin kamu pake gaya ini."
Aku kemudian memeluknya.
Dan sekali lagi pantatku naik turun memompanya.
"Ndak mas, Naura ndak kuat, mau pipis," katanya.
"Sebentar lagi sayang, aku percepat ya," kataku. "Biar bisa keluar bareng."
Naura memejamkan mata. Kedua tangannya melingkar di leherku, dan ia menggigit bibirnya. Sepertinya ia sudah tak tahan lagi. Vaginanya benar-benar banjir. Suara gesekan kemaluan kamilah yang menghiasi ruangan ini. Benar-benar nikmat memeknya. Walau sudah ndak perawan lagi sih. Agak sayang sebenarnya. Aku percepat goyanganku. Penisku pun mau menembak. Tiga hari ndak main, spermaku sangat matang. Kalau Naura sedang subur, bisa hamil dia sekarng ini.
"Naura.. keluar aku.. keluarr," kataku.
"Aku juga mas.. aaahhkkk..," katanya.
Kujambak rambutnya yang panjang berombak itu. Matanya memutih, mulutnya menganga. Aku dipeluknya erat, kedua pahanya mengapitku dan pantatnya naik ke atas menekan penisku. Dan semburan air maniku yang tak terhitung membasahi rahimnya. Ia meraba pantatku dan menekannya seolah-olah tak ingin penisku lepas begitu saja dari sana. Sekali, dua kali, tiga kali, entah berapa kali spermaku menyembur. Setelah gelombang orgasme dahsyat itu reda. Naura lemas. Aku kemudian mencabut penisku pelan-pelan. Dan ketika sudah berpisah kedua kemaluan kami, tampak wajah Naura memberikan rasa puas.
AKu lalu tidur miring di sampingnya. Tangan kiriku memegang toketnya. Tampak dadanya naik turun karena nafasnya berat. Ia terengah-engah. Tangan kanannya menutupi keningnya.
"Mas.. ini tadi ML terhebat yang pernah aku rasakan," katanya.
"Oh ya?" tanyaku.
"Iya, Andi ndak pernah seperti ini kalau bercinta. Ia tak pernah bisa membuatku orgasme sampe berkali-kali kayak tadi," katanya. "Lagian punya mas juga gedhe."
Aku masih meremas-remas toketnya. "Dada kamu indah banget. Dan memek kamu masih enak kok." Di depan wajahku tampak ketiak putih Naura. Aku jadi bernafsu ingin menciumnya. kuciumlah ketiak putih tanpa bulu itu.
"Ahh.. mas.. ih geli," katanya sembari menghindar.
Tapi tangan kiriku menahan tubuhnya untuk tidak lari. Akibatnya Naura menerima saja. Aku tersenyum.
"Geli mas," katanya sambil cemberut.
"Kamu ini cantik ya, aku baru tahu kamu ketika tak pake jilbab cantik seperti ini. Bodoh itu si Andi ninggalin kamu," kataku.
"Mas, kalau aku nanti hamil gimana?" tanyanya. "Aku lupa ndak minum pil hari ini. Lagian biasanya aku ngelakuin Andi pake kondom. Ini pertama kalinya aku ngelakin ama orang lain ndak pake kondom lagi."
"Perasaanmu gimana?" tanyaku.
"Seneng sih, dari kemarin entah kenapa di pikiranku hanya ada mas. Bahkan sampe mastrubasi mikirin mas," katanya.
"Kalau kamu senang, berarti ndak masalah kan?" tanyaku. "Kalau pun nanti kamu hamil pun ndak masalah. Aku akan melamarmu ke ayahmu. Hanya saja satu syarat. Engkau mau menerima seluruh keadaanku."
"Menerima keadaan mas? Siapa yang ndak bakal nerima? Mas udah kaya, mungkin uang ndak masalah lagi. Aku pasti mau dong," katanya.
"Bukan itu sih masalahnya," kataku.
"Trus apa?" tanyanya.
"Aku belum bisa cerita. Biarin aku menikmati ini dulu," kataku.
Aku menciumi bibirnya. Gairah kami pun kembali naik dan mengulangi lagi pergumulan ini. Kali ini kami melakukannya dari samping. Naura membelakangiku dan aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya pun membuatku nikmat saat menyodok. Seharian itu aku habiskan hanya untuk ngentot dan ngentot.
Setelah makan malam, kami ngentot lagi. Esoknya juga. Bahkan selama 4 hari penuh kami seperti pasangan penganten baru. Mandi bareng, kami ngentot. Di dapur setelah makan dan cuci piring kami ngentot. Bahkan kami jarang pake pakaian. Toh setelah dipakai kami pasti buka baju lagi. Penetrasi demi penetrasi aku lakukan tiap hari. Istrihat kami hanya tidur dan makan.
Ada kejadian yang aku tak akan lupa, yaitu saat menelpon keluargaku di rumah terutama Nur. Ia yang paling khawatir terhadapku, aku bilang aku baik-baik saja dan istirahat di rumah. Saat itu aku menyodok pantat Naura di ruang tamu sambil ia tertatih-tatih berjalan. Rasanya penisku tak ingin lepas dari memeknya. Mendapat perlakuan itu Naura sangat bergairah, ia ngikik tapi tertahan dan menutup mulutnya sampai aku selesai menelpon. Baru ia tertawa lepas. Aku lalu melanjutkannya menyodok pantatnya sedang ia berpegangan di sofa. Saat mau keluar aku suruh dia untuk berlutut. Aku ingin keluar di mulutnya. Naura pun membuka mulutnya dan kuarahkan penisku di mulutnya. Keluarlah spermaku dan ia tampung di sana. Lalu ia menelannya.
Sampai pada hari kelima ia sudah siap untuk pulang. Kemudian saat itulah aku bercerita tentang keadaanku. Betapa kagetnya Naura. Ia seakan-akan tak percaya terhadap apa yang aku ceritakan. Aku sudah menduga, tak banyak orang yang akan mau menerima keadaanku yang sesungguhnya. Aku pun udah siap Naura akan menolakku.
"Mas, aku tak menyangka kalau seperti itu," kata Naura.
"Memang benar, ini berat bagiku juga bagi semua orang. Dan aku sudah siap kok kalau kamu tidak mau menerimaku," kataku.
Naura terdiam sebentar. "Maaf mas, aku hanya ingin berterima kasih saja kepada mas atas peristiwa kemarin. Kalau sampai sejauh itu, aku bingung jawabnya. Dan juga harus menerima mas yang seperti ini. Tapi aku yakin mas kemarin nolong aku tulus, maaf ya mas."
"Tidak mengapa," kataku.
Kami pun balik lagi. Rasanya hubunganku dengan Naura ini juga singkat. Ndak bakal bertahan lama. Aku mengantarnya sampai muka gang. Takut kalau ditanyai macem-macem.
"Kejadian ini, jangan diceritakan ke siapa-siapa ya mas?" bujuknya. "Aku tak mau nanti jadi sesuatu di komplek ini."
"Iyalah, bodoh apa aku bilang-bilang. Ini rahasia kita," kataku.
Demikianlah hubunganku yang singkat dengan Naura. Sekalipun setelah itu kami bertemu lagi, ada pandangan-pandangan aneh antara kami. Dan terus terang terkadang ia berkata kepadaku ia rindu dengan peristiwa di Villa itu. Ingin sekali rasanya mengulang saat itu. Naura pun kemudian berkata bahwa kalau aku kepingin bercinta dengan dia, kapan pun dia siap, tetapi kalau untuk serius dia tidak mau. Anggap saja kita melakukannya suka sama suka dan karena kebutuhan.
"Ndak mas, Naura ndak kuat, mau pipis," katanya.
"Sebentar lagi sayang, aku percepat ya," kataku. "Biar bisa keluar bareng."
Naura memejamkan mata. Kedua tangannya melingkar di leherku, dan ia menggigit bibirnya. Sepertinya ia sudah tak tahan lagi. Vaginanya benar-benar banjir. Suara gesekan kemaluan kamilah yang menghiasi ruangan ini. Benar-benar nikmat memeknya. Walau sudah ndak perawan lagi sih. Agak sayang sebenarnya. Aku percepat goyanganku. Penisku pun mau menembak. Tiga hari ndak main, spermaku sangat matang. Kalau Naura sedang subur, bisa hamil dia sekarng ini.
"Naura.. keluar aku.. keluarr," kataku.
"Aku juga mas.. aaahhkkk..," katanya.
Kujambak rambutnya yang panjang berombak itu. Matanya memutih, mulutnya menganga. Aku dipeluknya erat, kedua pahanya mengapitku dan pantatnya naik ke atas menekan penisku. Dan semburan air maniku yang tak terhitung membasahi rahimnya. Ia meraba pantatku dan menekannya seolah-olah tak ingin penisku lepas begitu saja dari sana. Sekali, dua kali, tiga kali, entah berapa kali spermaku menyembur. Setelah gelombang orgasme dahsyat itu reda. Naura lemas. Aku kemudian mencabut penisku pelan-pelan. Dan ketika sudah berpisah kedua kemaluan kami, tampak wajah Naura memberikan rasa puas.
AKu lalu tidur miring di sampingnya. Tangan kiriku memegang toketnya. Tampak dadanya naik turun karena nafasnya berat. Ia terengah-engah. Tangan kanannya menutupi keningnya.
"Mas.. ini tadi ML terhebat yang pernah aku rasakan," katanya.
"Oh ya?" tanyaku.
"Iya, Andi ndak pernah seperti ini kalau bercinta. Ia tak pernah bisa membuatku orgasme sampe berkali-kali kayak tadi," katanya. "Lagian punya mas juga gedhe."
Aku masih meremas-remas toketnya. "Dada kamu indah banget. Dan memek kamu masih enak kok." Di depan wajahku tampak ketiak putih Naura. Aku jadi bernafsu ingin menciumnya. kuciumlah ketiak putih tanpa bulu itu.
"Ahh.. mas.. ih geli," katanya sembari menghindar.
Tapi tangan kiriku menahan tubuhnya untuk tidak lari. Akibatnya Naura menerima saja. Aku tersenyum.
"Geli mas," katanya sambil cemberut.
"Kamu ini cantik ya, aku baru tahu kamu ketika tak pake jilbab cantik seperti ini. Bodoh itu si Andi ninggalin kamu," kataku.
"Mas, kalau aku nanti hamil gimana?" tanyanya. "Aku lupa ndak minum pil hari ini. Lagian biasanya aku ngelakuin Andi pake kondom. Ini pertama kalinya aku ngelakin ama orang lain ndak pake kondom lagi."
"Perasaanmu gimana?" tanyaku.
"Seneng sih, dari kemarin entah kenapa di pikiranku hanya ada mas. Bahkan sampe mastrubasi mikirin mas," katanya.
"Kalau kamu senang, berarti ndak masalah kan?" tanyaku. "Kalau pun nanti kamu hamil pun ndak masalah. Aku akan melamarmu ke ayahmu. Hanya saja satu syarat. Engkau mau menerima seluruh keadaanku."
"Menerima keadaan mas? Siapa yang ndak bakal nerima? Mas udah kaya, mungkin uang ndak masalah lagi. Aku pasti mau dong," katanya.
"Bukan itu sih masalahnya," kataku.
"Trus apa?" tanyanya.
"Aku belum bisa cerita. Biarin aku menikmati ini dulu," kataku.
Aku menciumi bibirnya. Gairah kami pun kembali naik dan mengulangi lagi pergumulan ini. Kali ini kami melakukannya dari samping. Naura membelakangiku dan aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya pun membuatku nikmat saat menyodok. Seharian itu aku habiskan hanya untuk ngentot dan ngentot.
Setelah makan malam, kami ngentot lagi. Esoknya juga. Bahkan selama 4 hari penuh kami seperti pasangan penganten baru. Mandi bareng, kami ngentot. Di dapur setelah makan dan cuci piring kami ngentot. Bahkan kami jarang pake pakaian. Toh setelah dipakai kami pasti buka baju lagi. Penetrasi demi penetrasi aku lakukan tiap hari. Istrihat kami hanya tidur dan makan.
Ada kejadian yang aku tak akan lupa, yaitu saat menelpon keluargaku di rumah terutama Nur. Ia yang paling khawatir terhadapku, aku bilang aku baik-baik saja dan istirahat di rumah. Saat itu aku menyodok pantat Naura di ruang tamu sambil ia tertatih-tatih berjalan. Rasanya penisku tak ingin lepas dari memeknya. Mendapat perlakuan itu Naura sangat bergairah, ia ngikik tapi tertahan dan menutup mulutnya sampai aku selesai menelpon. Baru ia tertawa lepas. Aku lalu melanjutkannya menyodok pantatnya sedang ia berpegangan di sofa. Saat mau keluar aku suruh dia untuk berlutut. Aku ingin keluar di mulutnya. Naura pun membuka mulutnya dan kuarahkan penisku di mulutnya. Keluarlah spermaku dan ia tampung di sana. Lalu ia menelannya.
Sampai pada hari kelima ia sudah siap untuk pulang. Kemudian saat itulah aku bercerita tentang keadaanku. Betapa kagetnya Naura. Ia seakan-akan tak percaya terhadap apa yang aku ceritakan. Aku sudah menduga, tak banyak orang yang akan mau menerima keadaanku yang sesungguhnya. Aku pun udah siap Naura akan menolakku.
"Mas, aku tak menyangka kalau seperti itu," kata Naura.
"Memang benar, ini berat bagiku juga bagi semua orang. Dan aku sudah siap kok kalau kamu tidak mau menerimaku," kataku.
Naura terdiam sebentar. "Maaf mas, aku hanya ingin berterima kasih saja kepada mas atas peristiwa kemarin. Kalau sampai sejauh itu, aku bingung jawabnya. Dan juga harus menerima mas yang seperti ini. Tapi aku yakin mas kemarin nolong aku tulus, maaf ya mas."
"Tidak mengapa," kataku.
Kami pun balik lagi. Rasanya hubunganku dengan Naura ini juga singkat. Ndak bakal bertahan lama. Aku mengantarnya sampai muka gang. Takut kalau ditanyai macem-macem.
"Kejadian ini, jangan diceritakan ke siapa-siapa ya mas?" bujuknya. "Aku tak mau nanti jadi sesuatu di komplek ini."
"Iyalah, bodoh apa aku bilang-bilang. Ini rahasia kita," kataku.
Demikianlah hubunganku yang singkat dengan Naura. Sekalipun setelah itu kami bertemu lagi, ada pandangan-pandangan aneh antara kami. Dan terus terang terkadang ia berkata kepadaku ia rindu dengan peristiwa di Villa itu. Ingin sekali rasanya mengulang saat itu. Naura pun kemudian berkata bahwa kalau aku kepingin bercinta dengan dia, kapan pun dia siap, tetapi kalau untuk serius dia tidak mau. Anggap saja kita melakukannya suka sama suka dan karena kebutuhan.
cerita sex yes, fuck my pussy. good dick. Big cock. Yes cum inside. lick my nipples. my tits are tingling. drink my breast. milk nipples. play with my big tits. fuck my vagina until I get pregnant. play "Adult sex games" with me. satisfy your cock in my wet vagina. Asian girl hottes gorgeus. lonte, lc ngentot live, pramugari ngentot, wikwik, selebgram open BO,cerbung,cam show, naked nude,