Seri 1 - Tia Nyonya Muda S4NG3AN
Seri 2 - Tia Nyonya Muda S4NG3AN
Seri 2 - Tia Nyonya Muda S4NG3AN
Siang hari, sekitar pukul dua di suatu bangunan kecil di kompleks perumahan pinggir kota. Sehari-harinya tempat itu adalah salon, Salon Citra. Tapi pemiliknya tidak hanya menawarkan jasa perawatan kecantikan bagi wanita. Di balik tirai yang memisahkan ruang belakang dengan ruang utama salon, pemilik salon itu, Citra, sedang duduk selonjor di atas tempat tidur yang biasa dipakai untuk luluran atau facial.
Citra berpenampilan cantik seperti biasa, rambutnya yang hitam lurus sebahu tergerai. Pakaiannya juga seksi, seperti biasa. Ia mengenakan kaos tanktop putih yang ketat membungkus tubuhnya, juga rok mini kuning yang mencapai setengah pahanya saja tidak, dan di bawah roknya Citra mengenakan pantyhose nilon warna kulit. Kaki kanannya yang terbungkus nilon itu terjulur, mengelus-elus selangkangan celana seorang laki-laki bertubuh tegap yang duduk mengangkang menghadapinya di ujung lain tempat tidur.
“Jadi Mas Kris yang ngatur?” tanya Citra.
Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Mas Kris itu mengenakan kaos hijau dan celana dinas tentara, dia memang salah satu beking Citra yang masih aktif sebagai perwira menengah di kesatuan setempat. Sambil menggumam keenakan merasakan burungnya mengeras dielus-elus kaki Citra.
“Iya dong. Ngeberesin kroco sok jago seperti si Gde itu kecil. Apalagi zaman sekarang, bikin amuk massa itu gampang. Kamu udah lihat beritanya kan?” kata Kris.
“Ah, aku gak suka nonton berita Mas, bosen,” kata Citra.
“Mestinya kamu lihat, hahaha.. Soalnya ada muka jelek si Gde babak belur dihajar massa, ampe berdarah-darah gitu. Kamu minta yang kayak gitu kan, minta yang setimpal buat dia? Habis ini juga si Gde bakal dipecat gara-gara bikin malu pemerintah. Salah sendiri, udah tahu ngadapin kumpulan orang marah, malah ndableg. Biar mampus dia.”
Beberapa hari sebelumnya, terjadi insiden ketika satuan aparat yang dipimpin Gde melaksanakan penggusuran. Entah mengapa, warga setempat malah melawan aparat dengan membawa s3nj4t4 tajam dan batu. Akibatnya terjadi perkelahian berdarah yang menyebabkan 1 orang warga dan 1 orang aparat tewas, dan puluhan orang luka berat termasuk Gde yang kepalanya bocor kena timpuk dan sempat digebuki ramai-ramai. Masyarakat dan media ramai menyalahkan, ada yang menganggap warga mengamuk karena kekesalan yang sudah menumpuk terhadap aparat yang biasa semena-mena.
Yang luput dari perhatian semua orang adalah bahwa amuk warga itu dipicu oleh beberapa provokator yang dikirim oleh Kris. Walaupun sama-sama aparat, memang kadang ada ketegangan antar kesatuan di balik permukaan, terutama dalam masalah urusan beking membekingi. Citra yang boleh dianggap pengusaha kecil bisnis esek-esek tidak lepas dari beking, dan dia cukup cerdik untuk tidak hanya memegang satu orang. Ketika Gde berlaku kelewatan terhadap dirinya dan Tia beberapa waktu lalu, Citra memutuskan untuk membalas lewat jalan lain, menyingkirkan Gde dengan menggunakan Kris, bekingnya dari kesatuan lain. Rupanya Kris memilih membuat kerusuhan kecil untuk menyakiti sekaligus menyingkirkan Gde.
Sambil Kris bercerita bagaimana dia merekayasa massa untuk menghajar Gde dan satuannya, kaki Citra terus mengelus-elus gundukan keras di balik selangkangan celana si perwira. Sementara itu Citra mengangkat sedikit demi sedikit tanktop-nya. Perlahan-lahan tampaklah sepasang payudara Citra yang bersahaja, dengan puting yang sudah mengeras. Kris menjulurkan tangan kanannya, menyentuh payudara Citra. Tangan Kris yang besar itu meremas kedua payudara Citra sekaligus, di bagian dalam tempat keduanya bertemu. Kris membuka sendiri resleting celana dinasnya dan mengeluarkan penisnya dari balik celana dalam, sambil terus menggenggam kedua payudara Citra.
Citra mulai mengeluarkan suara merintih-rintih nikmat. Citra mengangkat sedikit lututnya supaya kakinya bisa lebih enak membelai-belai kemaluan Kris yang sudah terbebas. Mata Kris tak lepas-lepas dari kaki nakal Citra di selangkangannya.
“Ughh..” Kris menggerung ketika ereksinya diinjak lembut oleh Citra, penisnya ditekan ke perut oleh sekujur kaki Citra yang seperti memeluk batang itu.
Citra berposisi duduk mengangkang dan Kris bisa melihat bahwa di balik pantyhose Citra tak mengenakan celana dalam. Citra meningkatkan gesekan kakinya, dan melihat tubuh Kris yang besar itu belingsatan seperti kesetrum. Citra merasa menikmati posisi dominan itu, dia sebagai seorang perempuan bisa memain-mainkan tubuh seorang laki-laki yang kekar seperti Kris dengan kakinya, seolah seorang ratu dan budaknya.
“Ahh.. Citra..” Kris terlihat tegang, wajahnya meringis.
Citra merayu, “Udah mau keluar Mas..?”
“Erghh sialan.. Sini!” Tanpa diduga, Kris bergerak. Tangannya yang dari tadi bermain di dada Citra kini merenggut tanktop yang sudah menyangsang di atas payudara, menariknya dengan kasar sehingga Citra dipaksa merunduk ke depan.
Citra kaget, “MAS!!??”
Dan teriakan berikutnya, “AHH JANGAN DI MUKA MASSS!!”
Citra, yang suka bersolek, memang tak suka orang berejakulasi di mukanya. Dia memang sudah pernah melakukan segala macam hal, tapi ada beberapa yang dia kurang suka, salah satunya adalah apabila mukanya dinodai sperma. Seperti yang terjadi saat itu. Kris menarik Citra sampai dia tersungkur ke depan, tertelungkup di alas tempat tidur dengan muka menoleh, lalu Kris menekan kepala Citra sambil berejakulasi di pipi Citra yang berbedak dan berperona. Kris tertawa puas melihat Citra yang tak senang. Begitu dilepas, Citra langsung bangkit lagi, menyeka cairan berbau amis yang barusan mengotori pipinya, lalu menampar Kris.
“Sialan!” maki Citra, “Dari dulu kan gue udah bilang gak suka orang ngecrot di muka gue!” Wajah Citra berubah marah.
Kris tidak ikut marah, dia terus tertawa-tawa setelah si pemilik salon memakinya. Dengan kalem dia membalikkan kata-kata Citra.
“Suka-suka aku mau ngapain kamu. Aku udah repot-repot ngebalesin dendam kamu sama si Gde kucrut itu, dan kamu tetep aja banyak maunya?”
Kris mendekat dan mencengkeram rahang Citra.
“Hei, Citra,” katanya dengan dingin namun tegas. “Aku tahu. Pasti kamu juga ngelunjak begini sama Gde kan? Aku nggak heran. Kamu tuh udah tau cuma lonte, tapi sombongnya kelewatan. Masih ngerasa kayak dulu ya?”
“Uhh..” Citra meringis, gentar. “Terserah Mas mau bilang apa. Urusanku sama Gde..”
“..sekarang jadi urusanku juga kan?” Kris memotong. “Inget, kamu yang datang ke aku, ngerayu-rayu minta aku ngasih pelajaran ke si Gde. Aku udah kasih apa yang kamu mau. Jadi ya aku boleh ngapain aja kan?”
Citra tertunduk. Sebetulnya dia kesal, tapi Kris memang benar. Lagi-lagi posisi tawar Citra lemah.
“Ngerti?” tanya Kris lagi.
Citra mengangguk.
“Kalau ngerti.. sekarang kamu nungging.”
Citra patuh, dia pun berubah posisi jadi menungging di atas tempat tidur sementara Kris turun dan berdiri di sampingnya. Kris mendekati bagian bawah tubuh Citra, meremas pantat Citra yang kencang dan masih terbungkus pantyhose itu. Kris terkekeh.
“Hehehe.. Asyiik, pantat lonte.” Dia menampar pantat Citra dua kali.
Citra mendengking kaget.
Kris lalu memelorotkan pantyhose Citra sehingga pantat Citra tak lagi tertutupi, lalu kembali dia menampari pantat Citra. Setelah puas, tamparannya berubah menjadi elusan dan remasan. Kris lalu mengulum jarinya. Dengan membasahi jarinya seperti itu, sudah jelas apa yang mau dia lakukan. Citra diam saja ketika satu jari Kris memasuki vaginanya. Kemudian tidak cuma satu, tapi dua jari Kris bergerak keluar-masuk kewanitaan Citra. Kris tersenyum puas melihat wajah Citra yang menatap kepadanya seolah memohon. Permainan jarinya membuat si pemilik salon itu terangsang.
“Ah.. ahh..” Citra mulai mendesah-desah, wajahnya yang berias tebal berkerut menahan nafsu yang mulai meninggi.
“Ahhh..”
Kris menjolokkan satu lagi jarinya, sehingga kini jari tengah, manis, dan telunjuknya keluar-masuk di kemaluan Citra. Kris merasakan bagian itu makin lama makin basah, pertanda pemiliknya sudah terhanyut oleh birahi. Kris makin kencang menyodok-nyodok Citra dengan ketiga jari tangan kanannya. Citra berusaha meraih ke belakang dan menahan agar tangan Kris jangan terlalu kasar.
“Eit, mau apa?” Tangan kiri Kris yang belum melakukan apa-apa gesit menahan tangan Citra.
Citra tidak kuat melepaskan diri dari genggaman Kris. Kris meregangkan jari-jari tangan kanannya, berusaha membuat kemaluan Citra melebar. Citra mulai merasakan orgasme akan datang selagi cairan vaginanya membasahi jemari Kris. Kris tertawa dan memasukkan satu lagi, jari kelingkingnya, ke dalam sana. Lagi-lagi dia berusaha merentangkan celah sempit yang dimasukinya selagi dia mendengar nafas Citra memburu.
Citra berpenampilan cantik seperti biasa, rambutnya yang hitam lurus sebahu tergerai. Pakaiannya juga seksi, seperti biasa. Ia mengenakan kaos tanktop putih yang ketat membungkus tubuhnya, juga rok mini kuning yang mencapai setengah pahanya saja tidak, dan di bawah roknya Citra mengenakan pantyhose nilon warna kulit. Kaki kanannya yang terbungkus nilon itu terjulur, mengelus-elus selangkangan celana seorang laki-laki bertubuh tegap yang duduk mengangkang menghadapinya di ujung lain tempat tidur.
“Jadi Mas Kris yang ngatur?” tanya Citra.
Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Mas Kris itu mengenakan kaos hijau dan celana dinas tentara, dia memang salah satu beking Citra yang masih aktif sebagai perwira menengah di kesatuan setempat. Sambil menggumam keenakan merasakan burungnya mengeras dielus-elus kaki Citra.
“Iya dong. Ngeberesin kroco sok jago seperti si Gde itu kecil. Apalagi zaman sekarang, bikin amuk massa itu gampang. Kamu udah lihat beritanya kan?” kata Kris.
“Ah, aku gak suka nonton berita Mas, bosen,” kata Citra.
“Mestinya kamu lihat, hahaha.. Soalnya ada muka jelek si Gde babak belur dihajar massa, ampe berdarah-darah gitu. Kamu minta yang kayak gitu kan, minta yang setimpal buat dia? Habis ini juga si Gde bakal dipecat gara-gara bikin malu pemerintah. Salah sendiri, udah tahu ngadapin kumpulan orang marah, malah ndableg. Biar mampus dia.”
Beberapa hari sebelumnya, terjadi insiden ketika satuan aparat yang dipimpin Gde melaksanakan penggusuran. Entah mengapa, warga setempat malah melawan aparat dengan membawa s3nj4t4 tajam dan batu. Akibatnya terjadi perkelahian berdarah yang menyebabkan 1 orang warga dan 1 orang aparat tewas, dan puluhan orang luka berat termasuk Gde yang kepalanya bocor kena timpuk dan sempat digebuki ramai-ramai. Masyarakat dan media ramai menyalahkan, ada yang menganggap warga mengamuk karena kekesalan yang sudah menumpuk terhadap aparat yang biasa semena-mena.
Yang luput dari perhatian semua orang adalah bahwa amuk warga itu dipicu oleh beberapa provokator yang dikirim oleh Kris. Walaupun sama-sama aparat, memang kadang ada ketegangan antar kesatuan di balik permukaan, terutama dalam masalah urusan beking membekingi. Citra yang boleh dianggap pengusaha kecil bisnis esek-esek tidak lepas dari beking, dan dia cukup cerdik untuk tidak hanya memegang satu orang. Ketika Gde berlaku kelewatan terhadap dirinya dan Tia beberapa waktu lalu, Citra memutuskan untuk membalas lewat jalan lain, menyingkirkan Gde dengan menggunakan Kris, bekingnya dari kesatuan lain. Rupanya Kris memilih membuat kerusuhan kecil untuk menyakiti sekaligus menyingkirkan Gde.
Sambil Kris bercerita bagaimana dia merekayasa massa untuk menghajar Gde dan satuannya, kaki Citra terus mengelus-elus gundukan keras di balik selangkangan celana si perwira. Sementara itu Citra mengangkat sedikit demi sedikit tanktop-nya. Perlahan-lahan tampaklah sepasang payudara Citra yang bersahaja, dengan puting yang sudah mengeras. Kris menjulurkan tangan kanannya, menyentuh payudara Citra. Tangan Kris yang besar itu meremas kedua payudara Citra sekaligus, di bagian dalam tempat keduanya bertemu. Kris membuka sendiri resleting celana dinasnya dan mengeluarkan penisnya dari balik celana dalam, sambil terus menggenggam kedua payudara Citra.
Citra mulai mengeluarkan suara merintih-rintih nikmat. Citra mengangkat sedikit lututnya supaya kakinya bisa lebih enak membelai-belai kemaluan Kris yang sudah terbebas. Mata Kris tak lepas-lepas dari kaki nakal Citra di selangkangannya.
“Ughh..” Kris menggerung ketika ereksinya diinjak lembut oleh Citra, penisnya ditekan ke perut oleh sekujur kaki Citra yang seperti memeluk batang itu.
Citra berposisi duduk mengangkang dan Kris bisa melihat bahwa di balik pantyhose Citra tak mengenakan celana dalam. Citra meningkatkan gesekan kakinya, dan melihat tubuh Kris yang besar itu belingsatan seperti kesetrum. Citra merasa menikmati posisi dominan itu, dia sebagai seorang perempuan bisa memain-mainkan tubuh seorang laki-laki yang kekar seperti Kris dengan kakinya, seolah seorang ratu dan budaknya.
“Ahh.. Citra..” Kris terlihat tegang, wajahnya meringis.
Citra merayu, “Udah mau keluar Mas..?”
“Erghh sialan.. Sini!” Tanpa diduga, Kris bergerak. Tangannya yang dari tadi bermain di dada Citra kini merenggut tanktop yang sudah menyangsang di atas payudara, menariknya dengan kasar sehingga Citra dipaksa merunduk ke depan.
Citra kaget, “MAS!!??”
Dan teriakan berikutnya, “AHH JANGAN DI MUKA MASSS!!”
Citra, yang suka bersolek, memang tak suka orang berejakulasi di mukanya. Dia memang sudah pernah melakukan segala macam hal, tapi ada beberapa yang dia kurang suka, salah satunya adalah apabila mukanya dinodai sperma. Seperti yang terjadi saat itu. Kris menarik Citra sampai dia tersungkur ke depan, tertelungkup di alas tempat tidur dengan muka menoleh, lalu Kris menekan kepala Citra sambil berejakulasi di pipi Citra yang berbedak dan berperona. Kris tertawa puas melihat Citra yang tak senang. Begitu dilepas, Citra langsung bangkit lagi, menyeka cairan berbau amis yang barusan mengotori pipinya, lalu menampar Kris.
“Sialan!” maki Citra, “Dari dulu kan gue udah bilang gak suka orang ngecrot di muka gue!” Wajah Citra berubah marah.
Kris tidak ikut marah, dia terus tertawa-tawa setelah si pemilik salon memakinya. Dengan kalem dia membalikkan kata-kata Citra.
“Suka-suka aku mau ngapain kamu. Aku udah repot-repot ngebalesin dendam kamu sama si Gde kucrut itu, dan kamu tetep aja banyak maunya?”
Kris mendekat dan mencengkeram rahang Citra.
“Hei, Citra,” katanya dengan dingin namun tegas. “Aku tahu. Pasti kamu juga ngelunjak begini sama Gde kan? Aku nggak heran. Kamu tuh udah tau cuma lonte, tapi sombongnya kelewatan. Masih ngerasa kayak dulu ya?”
“Uhh..” Citra meringis, gentar. “Terserah Mas mau bilang apa. Urusanku sama Gde..”
“..sekarang jadi urusanku juga kan?” Kris memotong. “Inget, kamu yang datang ke aku, ngerayu-rayu minta aku ngasih pelajaran ke si Gde. Aku udah kasih apa yang kamu mau. Jadi ya aku boleh ngapain aja kan?”
Citra tertunduk. Sebetulnya dia kesal, tapi Kris memang benar. Lagi-lagi posisi tawar Citra lemah.
“Ngerti?” tanya Kris lagi.
Citra mengangguk.
“Kalau ngerti.. sekarang kamu nungging.”
Citra patuh, dia pun berubah posisi jadi menungging di atas tempat tidur sementara Kris turun dan berdiri di sampingnya. Kris mendekati bagian bawah tubuh Citra, meremas pantat Citra yang kencang dan masih terbungkus pantyhose itu. Kris terkekeh.
“Hehehe.. Asyiik, pantat lonte.” Dia menampar pantat Citra dua kali.
Citra mendengking kaget.
Kris lalu memelorotkan pantyhose Citra sehingga pantat Citra tak lagi tertutupi, lalu kembali dia menampari pantat Citra. Setelah puas, tamparannya berubah menjadi elusan dan remasan. Kris lalu mengulum jarinya. Dengan membasahi jarinya seperti itu, sudah jelas apa yang mau dia lakukan. Citra diam saja ketika satu jari Kris memasuki vaginanya. Kemudian tidak cuma satu, tapi dua jari Kris bergerak keluar-masuk kewanitaan Citra. Kris tersenyum puas melihat wajah Citra yang menatap kepadanya seolah memohon. Permainan jarinya membuat si pemilik salon itu terangsang.
“Ah.. ahh..” Citra mulai mendesah-desah, wajahnya yang berias tebal berkerut menahan nafsu yang mulai meninggi.
“Ahhh..”
Kris menjolokkan satu lagi jarinya, sehingga kini jari tengah, manis, dan telunjuknya keluar-masuk di kemaluan Citra. Kris merasakan bagian itu makin lama makin basah, pertanda pemiliknya sudah terhanyut oleh birahi. Kris makin kencang menyodok-nyodok Citra dengan ketiga jari tangan kanannya. Citra berusaha meraih ke belakang dan menahan agar tangan Kris jangan terlalu kasar.
“Eit, mau apa?” Tangan kiri Kris yang belum melakukan apa-apa gesit menahan tangan Citra.
Citra tidak kuat melepaskan diri dari genggaman Kris. Kris meregangkan jari-jari tangan kanannya, berusaha membuat kemaluan Citra melebar. Citra mulai merasakan orgasme akan datang selagi cairan vaginanya membasahi jemari Kris. Kris tertawa dan memasukkan satu lagi, jari kelingkingnya, ke dalam sana. Lagi-lagi dia berusaha merentangkan celah sempit yang dimasukinya selagi dia mendengar nafas Citra memburu.
“Hehehe.. Udah mulai longgar lu Cit. Empat jari gue bisa masuk. Lu kayaknya sebentar lagi kadaluarsa nih?” Kris berkomentar menghina.
“Bangke,” Citra balas memaki.
“Lonte,” hardik Kris, “Sekarang lu diem. Gue ga mau denger bacot lu, gue mau memek lu aja.”
Kris naik ke tempat tidur ke belakang Citra, dan kemudian menyorongkan penisnya yang sudah tegak lagi ke hadapan vagina Citra. Di ujung penisnya menitik cairan bening, pertanda Kris pun sudah tak tahan ingin melampiaskan nafsu.
“Ah.. Hanhhh!” Citra melontarkan desahan ketika kejantanan Kris menembus kemaluannya.
Penis Kris meluncur dengan mudah ke dalam celah yang sudah basah dan teregang itu, menembus sampai pintu rahim. Citra tak diam saja, dia mendesakkan pantatnya menikmati ereksi Kris.
“Haa.. haaahhh..” Bibir merah Citra menganga, mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
Tangannya mencengkeram seprai. Pinggul Kris maju-mundur mendongsok Citra. Kris makin bernafsu, dan dia berubah posisi. Tanpa mencabut penisnya, Kris turun dari tempat tidur sehingga dia berdiri di samping tempat tidur. Lalu kedua tangannya meraih kedua paha Citra, di bagian belakang lutut. Kris yang memang bertubuh kuat lalu mengangkut seluruh tubuh Citra, sehingga dia kini menggendong Citra di depan tubuhnya.
Keduanya melanjutkan persetubuhan dalam posisi yang tidak biasa itu. Citra sudah seperti boneka yang digendong Kris, pasrah dalam lengan-lengan perkasa Kris yang mengangkut kedua pahanya, punggungnya bersandar ke dada Kris. Tapi memang hubungan intim dalam posisi menggendong itu tidak gampang, karena penis Kris cuma bisa masuk sedikit, jaraknya terlalu jauh. Akhirnya Citra dia taruh lagi di atas tempat tidur.
“Hihihi.. Sok jago sih,” goda Citra selagi Kris mencabut kemaluannya dari lubang Citra. “Kurang panjang tuh adeknya..”
Citra saat itu berposisi menyamping dengan lutut tertekuk, pantatnya berada di pinggir ranjang. Dia melihat Kris masih ereksi dan siap memasukkan lagi.. ke lubang pantat.
“Emm..” Citra mengernyit ketika Kris akhirnya menekankan kepala burung yang masih membesar ke pintu belakang. Vagina Citra sudah basah karena baru di-invasi, tapi pantatnya tidak siap.
“Gue masuk ya.. Uh! Ahh.. Sempit!” kata Kris.
“Iiuhh!” Citra terengah ketika kepala burung Kris tiba-tiba memaksa menerobos lingkaran duburnya.
Secara refleks Citra berusaha menghindar, memang wajar kalau ada yang mencoba mendesakkan sesuatu ke dalam pantat. Tapi Citra tak bisa ke mana-mana selagi Kris mendorong pinggangnya ke depan sambil menggerung keras. Masuklah penisnya ke dalam lubang dubur yang tak sepenuhnya rela itu sedikit demi sedikit.
“Auh! Enak bangett! Pantat lu masih nggigit juga ya?” seru Kris sambil mengerang keenakan.
“Hssshh..” Citra mendesis, sakit campur enak, matanya berkaca-kaca ketika merasakan sepotong daging yang keras dan panas di saluran belakangnya.
Kris mulai bergerak maju-mundur menggempur pintu belakang Citra tanpa ampun, kantong bijinya menampar-nampar belahan pantat Citra. Untungnya bagi Citra, setelah dua-tiga menit rasa sakitnya berkurang menjadi sekadar rasa kurang nyaman. Pantatnya sudah bukan perawan sejak lama, jadi sudah tahu mesti bereaksi apa.
“Enak gak Cit? Lu masih suka pantat lu dientot kan?” tanya Kris sambil terengah.
“Iyah.. Terus! Teruus!” Citra mulai merasa enak. Bagian bawah perutnya mulai merasakan sensasi nikmat dan jantungnya berdebar.
Kris melambat, menarik keluar penisnya pelan-pelan lalu ketika nyaris keluar dia masuk lagi dengan cepat dan kasar.
Dan.. “Uh..hhh!”
Citra merasakan sesuatu yang panas menyembur di dalam pantatnya. Kris ejakulasi. Kedua tangan Kris mencengkeram belahan pantat Citra yang berada di atas, seolah mau menyempitkan saluran yang sedang dimasuki kejantanannya. Kris baru mencabut kemaluannya sesudah puas melampiaskan nafsu di dalam pantat Citra. Ia merasakan sebagian sperma Kris ikut meleleh keluar bersamaan dengan perginya penis Kris dari dalam pantatnya. Citra tetap berbaring menyamping, tidak langsung bangun. Dilihatnya Kris mengambili tisu untuk menyeka badannya sendiri. Beking Citra itu kemudian membereskan lagi pakaiannya.
“Sesuai perjanjian kita kemarin, ya. Besok-besok kalau aku datang, kayak gini lagi ya.”
Citra dengan cepat mengambil selimut dan melilitkannya di sekeliling badan, lalu berdiri mengantar Kris yang beranjak ke pintu ruangan. Citra tersenyum sinis sambil menaruh tangannya di pundak Kris.
“Oke boss,” katanya dengan genit.
Kris membuka pintu, lalu berbalik dan mengecup pipi Citra. Laki-laki tegap itu kemudian menuju pintu keluar salon, tanpa mengacuhkan seorang laki-laki muda yang berdiri di tengah ruangan utama salon. Citra melotot melihat laki-laki muda itu.
“Bram?”
Memang masih jam kantor, tapi entah kenapa, Bram ada di salonnya. Adik Citra itu memejamkan mata dan geleng-geleng kepala melihat kakaknya yang cuma terbungkus selimut dan tadi dicium seorang aparat berseragam.
“Ya ampun, Kak..” keluh Bram.
“Apa sih?” Citra menoleh ke kanan-kiri dengan cuek, melihat ada satu bungkus rokok di atas meja, mengambil sebatang dan menjepitnya di bibir, lalu sibuk mencari korek api.
“Ada korek nggak?” tanya Citra kepada Bram.
“Kakak nggak pernah berubah ya..” Bram tidak menanggapi pertanyaan kakaknya.
“Jangan sok kaget gitu lah,” kata Citra setelah menemukan korek gas di satu laci. Dia menyalakan rokoknya.
“Eh bukannya ini masih jam kerja?”
“Kak,” kata Bram dengan nada serius. “Aku mau tanya soal Tia.”
Citra membelalak tanpa berkata apa-apa. Wajahnya berubah serius juga.
“..Kakak pake baju dulu deh, sebelum jawab,” usul Bram. Risi juga dia melihat kakaknya cuma berbungkus sehelai kain.
*****
Sejam kemudian..
Bram sudah kembali ke kantor setelah tadi mampir sebentar ke salon kakaknya, tanpa mampir ke rumah. Kepalanya terasa agak berat setelah dia mendengar jawaban Citra.
"Tia, sedang apa kamu?" batin Bram
Tapi dia tahu sebagian penyebabnya adalah dirinya sendiri. Begitu masuk kantor, Febby, sekretaris Mang Enjup, memanggilnya.
“Mas Bram! Dicariin bos,” kata perempuan berkacamata itu.
Bram langsung menuju ruangan Pak Jupri alias Mang Enjup, atasannya.
“Nah ini baru dateng anaknya. Ke mana aja kamu? Kenalin, ini Pak Enrico,” kata Mang Enjup yang sedang menghadapi seorang tamu yang berpenampilan pengusaha.
“Bram,” Bram memperkenalkan diri.
“Enrico,” kata orang itu.
Pembicaraan dimulai. Enrico rupanya sedang menggagas kerjasama dengan Mang Enjup untuk membuka perwakilan perusahaan itu di daerahnya. Menurut Enrico, produk perusahaan mereka belum banyak tersedia di sana. Mang Enjup sudah mengontak bagian-bagian lain perusahaan untuk menceritakan rencana Enrico, dan perusahaan menyetujui. Maka sekarang persiapan pembukaan cabang bisa dimulai.
“Jadi, saya ngundang Pak Jupri untuk berkunjung ke kota saya, biar bisa lihat sendiri keadaan di sana. Sekalian nanti saya kenalkan dengan rekan-rekan kita dan juga pihak berwenang di sana—lumayan, buat memperlancar urusan kita,” kata Enrico.
“Pak Enrico, terima kasih undangannya,” jawab Mang Enjup. “Saya senang sekali kalau bisa ke sana. Katanya di sana pembangunan mulai rame, ya? Pasti beda dengan waktu dulu saya masih muda ke sana—dulu sepi! Ah, tapi sayang saya lagi jalani pengobatan, tidak boleh pergi jauh-jauh untuk sementara waktu.”
Bram yang dari tadi mendengarkan langsung menoleh ke Mang Enjup. Dia tahu Mang Enjup sebenarnya tidak sedang menjalani pengobatan (masalah kesehatan Mang Enjup cuma ejakulasi dini saja). Kata-kata barusan itu sekadar alasan untuk..
“..jadi nanti biar yang ke sana Bram, sebagai perwakilan saya. Dia sudah biasa ngurus semuanya. Gimana Bram, kamu bisa kan?”
Bram tersenyum. “Bisa,” jawabnya pendek. “Kapan Pak Enrico?”
“Dua hari lagi saya pulang ke sana. Barangkali kita bisa bareng. Kira-kira perlu berapa hari?” kata Enrico.
“Seminggu?” Mang Enjup langsung memotong sebelum Bram menjawab.
Enrico mengangguk setuju.
Seminggu sebenarnya terlalu lama—Bram membayangkan, sekadar survei lokasi dan berkenalan dengan orang-orang setempat paling-paling perlu tiga hari.
“Oke, kalau begitu nanti saya kontak lagi Pak Bram untuk persiapannya. Semuanya biar saya yang urus,” kata Enrico.
Kemudian Enrico pamit dan pergi.
*****
Malamnya, di rumah Bram dan Tia..
“Mas mau pergi seminggu?” tanya Tia. Bram berbaring di tempat tidur, sementara Tia duduk di depan meja rias. Keduanya hendak beristirahat setelah seharian beraktivitas.
“Iya..” Bram menyebutkan nama kota tujuannya, yang terletak di pulau lain. Dilihatnya wajah Tia seperti kurang senang.
“Ajak dong Mas..” pinta Tia manja.
“Yah, gimana ya.. kayaknya nanti bakal sibuk urusan kantor di sana. Ntar kamu malah nganggur di kamar hotel dong,” jawab Bram.
“Nanti kalau sempat cuti deh, kita ke sana. Katanya sekarang di sana rame, banyak tempat wisata, soalnya pembangunannya maju. Kepala daerahnya hebat.” lanjut Bram.
“Iih, curang,” Tia merajuk. “Katanya cewek dari sana cakep-cakep ya?”
“Terus?” Bram nyengir. Tapi dalam hatinya, dia mulai bisa membaca isi hati Tia, karena dia sudah mendengar penjelasan Citra. Makanya dia tidak heran melihat Tia bukannya membersihkan muka untuk persiapan tidur, malah memulaskan lipstik tipis saja di bibirnya.
“Pasti kamu mau ditraktir cewek di sana.. Iya kan?” kata Tia sambil beranjak dari meja rias, lalu menghampiri suaminya di tempat tidur.
Bram tersenyum melihat istrinya, perempuan cantik yang malam itu berdaster kuning, berias wajah tipis, dan berbau wangi. Jelas Tia tidak ingin langsung tidur.. Tia berbaring menyamping, menghadap Bram, memberikan ciuman mesra kepada suaminya.
“Yah.. kamu tahu kan, biasa orang bisnis, entertain-nya gimana,” Bram tidak berusaha mengelak. Toh Tia sudah tahu salah satu kelemahannya. Bram merasakan tangan Tia menyelip ke balik celananya. “Eh..”
Tangan Tia terasa licin. Licin dan mulai membelai-belai kemaluan Bram. Bram merangkul istrinya dan mencium kening Tia.
“Hayo.. mau ngapain tangannya di sana..” goda Bram.
“Bangke,” Citra balas memaki.
“Lonte,” hardik Kris, “Sekarang lu diem. Gue ga mau denger bacot lu, gue mau memek lu aja.”
Kris naik ke tempat tidur ke belakang Citra, dan kemudian menyorongkan penisnya yang sudah tegak lagi ke hadapan vagina Citra. Di ujung penisnya menitik cairan bening, pertanda Kris pun sudah tak tahan ingin melampiaskan nafsu.
“Ah.. Hanhhh!” Citra melontarkan desahan ketika kejantanan Kris menembus kemaluannya.
Penis Kris meluncur dengan mudah ke dalam celah yang sudah basah dan teregang itu, menembus sampai pintu rahim. Citra tak diam saja, dia mendesakkan pantatnya menikmati ereksi Kris.
“Haa.. haaahhh..” Bibir merah Citra menganga, mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
Tangannya mencengkeram seprai. Pinggul Kris maju-mundur mendongsok Citra. Kris makin bernafsu, dan dia berubah posisi. Tanpa mencabut penisnya, Kris turun dari tempat tidur sehingga dia berdiri di samping tempat tidur. Lalu kedua tangannya meraih kedua paha Citra, di bagian belakang lutut. Kris yang memang bertubuh kuat lalu mengangkut seluruh tubuh Citra, sehingga dia kini menggendong Citra di depan tubuhnya.
Keduanya melanjutkan persetubuhan dalam posisi yang tidak biasa itu. Citra sudah seperti boneka yang digendong Kris, pasrah dalam lengan-lengan perkasa Kris yang mengangkut kedua pahanya, punggungnya bersandar ke dada Kris. Tapi memang hubungan intim dalam posisi menggendong itu tidak gampang, karena penis Kris cuma bisa masuk sedikit, jaraknya terlalu jauh. Akhirnya Citra dia taruh lagi di atas tempat tidur.
“Hihihi.. Sok jago sih,” goda Citra selagi Kris mencabut kemaluannya dari lubang Citra. “Kurang panjang tuh adeknya..”
Citra saat itu berposisi menyamping dengan lutut tertekuk, pantatnya berada di pinggir ranjang. Dia melihat Kris masih ereksi dan siap memasukkan lagi.. ke lubang pantat.
“Emm..” Citra mengernyit ketika Kris akhirnya menekankan kepala burung yang masih membesar ke pintu belakang. Vagina Citra sudah basah karena baru di-invasi, tapi pantatnya tidak siap.
“Gue masuk ya.. Uh! Ahh.. Sempit!” kata Kris.
“Iiuhh!” Citra terengah ketika kepala burung Kris tiba-tiba memaksa menerobos lingkaran duburnya.
Secara refleks Citra berusaha menghindar, memang wajar kalau ada yang mencoba mendesakkan sesuatu ke dalam pantat. Tapi Citra tak bisa ke mana-mana selagi Kris mendorong pinggangnya ke depan sambil menggerung keras. Masuklah penisnya ke dalam lubang dubur yang tak sepenuhnya rela itu sedikit demi sedikit.
“Auh! Enak bangett! Pantat lu masih nggigit juga ya?” seru Kris sambil mengerang keenakan.
“Hssshh..” Citra mendesis, sakit campur enak, matanya berkaca-kaca ketika merasakan sepotong daging yang keras dan panas di saluran belakangnya.
Kris mulai bergerak maju-mundur menggempur pintu belakang Citra tanpa ampun, kantong bijinya menampar-nampar belahan pantat Citra. Untungnya bagi Citra, setelah dua-tiga menit rasa sakitnya berkurang menjadi sekadar rasa kurang nyaman. Pantatnya sudah bukan perawan sejak lama, jadi sudah tahu mesti bereaksi apa.
“Enak gak Cit? Lu masih suka pantat lu dientot kan?” tanya Kris sambil terengah.
“Iyah.. Terus! Teruus!” Citra mulai merasa enak. Bagian bawah perutnya mulai merasakan sensasi nikmat dan jantungnya berdebar.
Kris melambat, menarik keluar penisnya pelan-pelan lalu ketika nyaris keluar dia masuk lagi dengan cepat dan kasar.
Dan.. “Uh..hhh!”
Citra merasakan sesuatu yang panas menyembur di dalam pantatnya. Kris ejakulasi. Kedua tangan Kris mencengkeram belahan pantat Citra yang berada di atas, seolah mau menyempitkan saluran yang sedang dimasuki kejantanannya. Kris baru mencabut kemaluannya sesudah puas melampiaskan nafsu di dalam pantat Citra. Ia merasakan sebagian sperma Kris ikut meleleh keluar bersamaan dengan perginya penis Kris dari dalam pantatnya. Citra tetap berbaring menyamping, tidak langsung bangun. Dilihatnya Kris mengambili tisu untuk menyeka badannya sendiri. Beking Citra itu kemudian membereskan lagi pakaiannya.
“Sesuai perjanjian kita kemarin, ya. Besok-besok kalau aku datang, kayak gini lagi ya.”
Citra dengan cepat mengambil selimut dan melilitkannya di sekeliling badan, lalu berdiri mengantar Kris yang beranjak ke pintu ruangan. Citra tersenyum sinis sambil menaruh tangannya di pundak Kris.
“Oke boss,” katanya dengan genit.
Kris membuka pintu, lalu berbalik dan mengecup pipi Citra. Laki-laki tegap itu kemudian menuju pintu keluar salon, tanpa mengacuhkan seorang laki-laki muda yang berdiri di tengah ruangan utama salon. Citra melotot melihat laki-laki muda itu.
“Bram?”
Memang masih jam kantor, tapi entah kenapa, Bram ada di salonnya. Adik Citra itu memejamkan mata dan geleng-geleng kepala melihat kakaknya yang cuma terbungkus selimut dan tadi dicium seorang aparat berseragam.
“Ya ampun, Kak..” keluh Bram.
“Apa sih?” Citra menoleh ke kanan-kiri dengan cuek, melihat ada satu bungkus rokok di atas meja, mengambil sebatang dan menjepitnya di bibir, lalu sibuk mencari korek api.
“Ada korek nggak?” tanya Citra kepada Bram.
“Kakak nggak pernah berubah ya..” Bram tidak menanggapi pertanyaan kakaknya.
“Jangan sok kaget gitu lah,” kata Citra setelah menemukan korek gas di satu laci. Dia menyalakan rokoknya.
“Eh bukannya ini masih jam kerja?”
“Kak,” kata Bram dengan nada serius. “Aku mau tanya soal Tia.”
Citra membelalak tanpa berkata apa-apa. Wajahnya berubah serius juga.
“..Kakak pake baju dulu deh, sebelum jawab,” usul Bram. Risi juga dia melihat kakaknya cuma berbungkus sehelai kain.
*****
Sejam kemudian..
Bram sudah kembali ke kantor setelah tadi mampir sebentar ke salon kakaknya, tanpa mampir ke rumah. Kepalanya terasa agak berat setelah dia mendengar jawaban Citra.
"Tia, sedang apa kamu?" batin Bram
Tapi dia tahu sebagian penyebabnya adalah dirinya sendiri. Begitu masuk kantor, Febby, sekretaris Mang Enjup, memanggilnya.
“Mas Bram! Dicariin bos,” kata perempuan berkacamata itu.
Bram langsung menuju ruangan Pak Jupri alias Mang Enjup, atasannya.
“Nah ini baru dateng anaknya. Ke mana aja kamu? Kenalin, ini Pak Enrico,” kata Mang Enjup yang sedang menghadapi seorang tamu yang berpenampilan pengusaha.
“Bram,” Bram memperkenalkan diri.
“Enrico,” kata orang itu.
Pembicaraan dimulai. Enrico rupanya sedang menggagas kerjasama dengan Mang Enjup untuk membuka perwakilan perusahaan itu di daerahnya. Menurut Enrico, produk perusahaan mereka belum banyak tersedia di sana. Mang Enjup sudah mengontak bagian-bagian lain perusahaan untuk menceritakan rencana Enrico, dan perusahaan menyetujui. Maka sekarang persiapan pembukaan cabang bisa dimulai.
“Jadi, saya ngundang Pak Jupri untuk berkunjung ke kota saya, biar bisa lihat sendiri keadaan di sana. Sekalian nanti saya kenalkan dengan rekan-rekan kita dan juga pihak berwenang di sana—lumayan, buat memperlancar urusan kita,” kata Enrico.
“Pak Enrico, terima kasih undangannya,” jawab Mang Enjup. “Saya senang sekali kalau bisa ke sana. Katanya di sana pembangunan mulai rame, ya? Pasti beda dengan waktu dulu saya masih muda ke sana—dulu sepi! Ah, tapi sayang saya lagi jalani pengobatan, tidak boleh pergi jauh-jauh untuk sementara waktu.”
Bram yang dari tadi mendengarkan langsung menoleh ke Mang Enjup. Dia tahu Mang Enjup sebenarnya tidak sedang menjalani pengobatan (masalah kesehatan Mang Enjup cuma ejakulasi dini saja). Kata-kata barusan itu sekadar alasan untuk..
“..jadi nanti biar yang ke sana Bram, sebagai perwakilan saya. Dia sudah biasa ngurus semuanya. Gimana Bram, kamu bisa kan?”
Bram tersenyum. “Bisa,” jawabnya pendek. “Kapan Pak Enrico?”
“Dua hari lagi saya pulang ke sana. Barangkali kita bisa bareng. Kira-kira perlu berapa hari?” kata Enrico.
“Seminggu?” Mang Enjup langsung memotong sebelum Bram menjawab.
Enrico mengangguk setuju.
Seminggu sebenarnya terlalu lama—Bram membayangkan, sekadar survei lokasi dan berkenalan dengan orang-orang setempat paling-paling perlu tiga hari.
“Oke, kalau begitu nanti saya kontak lagi Pak Bram untuk persiapannya. Semuanya biar saya yang urus,” kata Enrico.
Kemudian Enrico pamit dan pergi.
*****
Malamnya, di rumah Bram dan Tia..
“Mas mau pergi seminggu?” tanya Tia. Bram berbaring di tempat tidur, sementara Tia duduk di depan meja rias. Keduanya hendak beristirahat setelah seharian beraktivitas.
“Iya..” Bram menyebutkan nama kota tujuannya, yang terletak di pulau lain. Dilihatnya wajah Tia seperti kurang senang.
“Ajak dong Mas..” pinta Tia manja.
“Yah, gimana ya.. kayaknya nanti bakal sibuk urusan kantor di sana. Ntar kamu malah nganggur di kamar hotel dong,” jawab Bram.
“Nanti kalau sempat cuti deh, kita ke sana. Katanya sekarang di sana rame, banyak tempat wisata, soalnya pembangunannya maju. Kepala daerahnya hebat.” lanjut Bram.
“Iih, curang,” Tia merajuk. “Katanya cewek dari sana cakep-cakep ya?”
“Terus?” Bram nyengir. Tapi dalam hatinya, dia mulai bisa membaca isi hati Tia, karena dia sudah mendengar penjelasan Citra. Makanya dia tidak heran melihat Tia bukannya membersihkan muka untuk persiapan tidur, malah memulaskan lipstik tipis saja di bibirnya.
“Pasti kamu mau ditraktir cewek di sana.. Iya kan?” kata Tia sambil beranjak dari meja rias, lalu menghampiri suaminya di tempat tidur.
Bram tersenyum melihat istrinya, perempuan cantik yang malam itu berdaster kuning, berias wajah tipis, dan berbau wangi. Jelas Tia tidak ingin langsung tidur.. Tia berbaring menyamping, menghadap Bram, memberikan ciuman mesra kepada suaminya.
“Yah.. kamu tahu kan, biasa orang bisnis, entertain-nya gimana,” Bram tidak berusaha mengelak. Toh Tia sudah tahu salah satu kelemahannya. Bram merasakan tangan Tia menyelip ke balik celananya. “Eh..”
Tangan Tia terasa licin. Licin dan mulai membelai-belai kemaluan Bram. Bram merangkul istrinya dan mencium kening Tia.
“Hayo.. mau ngapain tangannya di sana..” goda Bram.
Tia membalas dengan mengecup bibir Bram lalu menarik ujung kaos Bram, menyingkap tubuh atas Bram. Sementara itu Tia terus menciumi tubuh suaminya, dari bibir turun ke dagu, rahang, leher.
Bram menahan nafas. Ia sekarang paham sebagian besar ceritanya. Perubahan Tia sesudah memergoki kebiasaan buruknya itu sebagian disebabkan Citra juga. Citra bercerita bagaimana Tia minta saran agar Bram tidak perlu lagi melirik perempuan lain. Dan kakaknya itu, yah, sudah tahu apa yang Bram suka. Jadilah Citra membantu Tia membentuk-ulang dirinya agar lebih bisa memenuhi impian Bram. Misalnya seperti yang terjadi sekarang.
Sebelumnya, Tia sangat konservatif dan lebih banyak pasif di ranjang. Sekarang, Tia dengan genitnya merayu dan menggerayangi Bram. Aksinya sudah tidak kalah dengan perempuan-perempuan penghibur yang dulu (dan kadang sekarang) memberi Bram kenikmatan badan. Tia yang dulu tidak terpikir melakukan apa yang dilakukannya kini. Tangan Tia sudah menyentuh kemaluan Bram yang sedikit tegak, jari-jari Tia merangkum batang Bram. Tia mulai membelai-belai organ intim suaminya, dari bawah ke atas dan kembali lagi, dan membuatnya tegang sempurna. Bram tersentak sedikit ketika kocokan Tia makin cepat.
“Ah..” Bram melihat istrinya melirik nakal dan kembali mencium bibirnya. Ah, betapa manis bibirnya. Ah.. dia kok jadi jago ngocok juga?
“Pelan.. sayang..” bisik Bram.
Tia mengabulkan permintaan itu dan mengurangi intensitas kocokannya. Bram tadi sudah nyaris keluar, tapi dia tidak ingin buru-buru. Tangan Bram mencengkeram lengan atas Tia, wajahnya terlihat berusaha menahan kenikmatan, sementara rambut panjang Tia menyapu hidung Bram selagi Tia mengulum salah satu telinga Bram. Beberapa waktu lalu, Tia sempat memberikan servis ‘mandi kucing’, dan Tia baru menemukan bahwa Bram punya titik sensitif di sana. Bram mengerang keras selagi Tia kembali kencang mengocoknya. Percikan-percikan cairan hangat lengket melompat keluar dari ujung penisnya dan mendarat di mana-mana, di kaos dan dada Bram, di daster Tia, di seprei. Tia tak melepas dan terus mengocok sampai ejakulasi Bram selesai.
“Yah.. berantakan nih. Kamu sih nakal, gak bilang-bilang dulu,” goda Bram sambil menikmati perasaan keenakan.
“Habisnya Mas Bram mau pergi.. jadi ya mumpung sempat sama Mas Bram,” jawab Tia.
Tia sendiri merasakan putingnya mengeras dan selangkangannya membasah. Membuat suaminya bisa orgasme dengan tangan sudah cukup merangsang baginya, dan andai Bram mau melanjutkan, dia merasa dia bisa langsung ‘dapat’. Bram meraih wajah Tia. Ciuman yang menyusul sungguh panas. Lidah mereka berdua saling menjelajah, tetap seperti menemukan hal-hal baru walau keduanya sudah berkali-kali berciuman.
“Beresin dulu nggak?” goda Tia.
“Nggak usah, kan mau dilanjutin?” Bram menanggapi.
Detik berikutnya Tia didorong sehingga telentang, kedua pergelangan tangannya ditahan kedua tangan Bram, kedua lutut Bram mengepit kedua pahanya.
“Aku kan masih dua hari lagi perginya, sayang,” kata Bram pura-pura tak butuh.
“Biarin aja.. Mas..”
Bram melihat Tia menggigit bibir.
“Mas aku pengen..”
Bram tidak perlu diminta lagi. Sedetik kemudian tubuh keduanya sudah bersatu.
*****
Pagi, dua hari kemudian..
Bram mencium kening istrinya lalu masuk ke dalam mobil dan memundurkan mobil keluar garasi. Dalam beberapa menit, dia sudah di jalan menuju bandara, hendak berangkat ke kota tempat Enrico akan membuka cabang baru perusahaan. Diiringi lambaian tangan Tia, Bram meninggalkan rumah. Pinggang Bram terasa agak pegal dan matanya masih mengantuk. Kemarin malam dia tidak sempat cukup tidur karena Tia terus mengajaknya bercinta.
Dan pagi itu, dia jadi enggan meninggalkan istrinya yang cantik itu lama-lama. Tapi tugas kantor harus dijalankan. Setibanya di bandara, Enrico sudah ada di sana dan menyambut Bram. Keduanya segera bergerak ke dalam untuk boarding. Satu jam kemudian Bram sudah duduk di pesawat, memejamkan mata dan berusaha memimpikan Tia.
*****
Dua, tiga jam sesudah Bram pergi, Tia resah sendiri di rumah. Bukan pertama kali dia ditinggal Bram pergi bertugas ke luar kota, tapi entah kenapa, kali ini terasa ada yang tak tertahan. Apalagi karena sejak dua hari lalu, malam-malam di kamar mereka tak pernah sepi.. Entah kenapa, Tia merasa sangat bergairah dan terus berusaha mencari kenikmatan. Itu semua terjadi sesudah Tia berkonsultasi dengan Dr. Lorencia, yang tanpa sepengetahuannya telah memperkuat sugesti yang ditanamkan Mang Enjup.
Sebelum Bram berangkat, tadi Tia masih sempat memberi kenikmatan kepada suaminya dengan memberi blowjob di kamar mandi. Hampir saja Tia membuat Bram telat pergi karena dia mengajak suaminya bercinta sekalian. Tapi Bram masih bisa mengendalikan keadaan dan mengingatkan Tia. Tia menyentuh bibirnya sendiri dan mengulum jari telunjuknya, membayangkan kejantanan Bram yang tadi ada di dalam mulutnya, mengingat rasa benih suaminya yang tadi keluar di sana.
Sambil duduk sendirian di sofa ruang tengah, Tia membayangkan adegan tadi pagi. Tangannya yang satu lagi bergerak ke kemaluannya sendiri untuk masturbasi. Celana dalamnya sudah basah lagi, terbawa khayalannya dan hasrat yang belum kesampaian.
“Emmh.. Mas.. Mas Bram..” Tia menggumamkan nama suaminya ketika dia merangsang dirinya sendiri, matanya setengah terpejam dan kepalanya rebah ke sandaran sofa selagi jari-jarinya bergerak keluar masuk liang kewanitaannya.
Tapi Tia tak kunjung mendapat orgasme. Yang dia inginkan bukan jarinya sendiri, melainkan kejantanan, kejantanan Bram..atau siapapun.
“Ohh,” keluh Tia yang frustrasi, terhenyak di sofa dengan tak puas.
Dia menyerah dan berusaha melupakan hasrat yang mengganggu pikirannya dengan melakukan kegiatan lain. Tia mulai membereskan rumah, menonton TV, menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Setidaknya ada kesibukan, walau perasaannya masih terasa terganjal. Seminggu. Tanpa Bram. Kenapa sekarang terasa susah sekali dilalui? Jam-jam berlalu. Ada telepon dari Bram, mengabarkan dia sudah sampai di tujuan. Pembicaraan hanya singkat karena Bram keburu dijemput oleh rekan kerja di sana. Sesudahnya, Tia kembali bermasturbasi, tapi dia gagal lagi mencapai klimaks.
*****
Sore menjelang malam.
Tia makan malam sendirian. Sesudah makan, cuci piring, lalu beberes. Lalu.. apa? Tia menyalakan televisi. Hanya berita atau sinetron. Tidak ada yang menarik untuk ditonton. Apa telpon Citra saja supaya ada teman bicara? Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Ada tamu? Mengintip dari balik jendela depan, Tia melihat tiga orang keluar dari mobil itu. Salah seorangnya Mang Enjup. Ketiganya membuka pintu gerbang dan langsung menuju pintu rumah, lalu mengetok pintu. Tia yang sudah di dekat pintu langsung membukakan pintu.
“Punten,” Mang Enjup memberi salam.
“Eh, Mang Enjup. Ada apa, Mang, tumben mampir ke rumah? Ayo, ayo masuk.”
Mang Enjup didampingi dua anak buahnya—Danang yang urakan dan Reja yang tegap.
“Mangga calik,” Tia mempersilakan tamu-tamunya duduk. “Sebentar, saya bikin teh dulu.”
“Aduh, ngga usah repot-repot,” Mang Enjup berbasa-basi, tapi membiarkan saja Tia pergi ke belakang untuk membuatkan minum.
Danang dan Reja duduk di sofa, senyam-senyum karena masih ingat apa yang terjadi terakhir kali mereka datang ke rumah itu. Lima menit kemudian Tia keluar membawa baki dengan tiga cangkir teh hangat di atasnya. Dengan cekatan Tia menyuguhkan minum kepada ketiga tamunya. Ketika Tia duduk kembali, Mang Enjup langsung membuka pembicaraan. Mang Enjup sengaja menggeser posisi duduknya sehingga berada di sebelah tempat duduk Tia.
“Lagi sepi ya, si Aden baru pergi kan,” kata Mang Enjup, merujuk ke Bram. “Neng Tia enggak kesepian kan?”
“Ah, nggak Mang..” kata-kata Tia tidak sesuai dengan isi hatinya. “Udah biasa kan kalau Mas Bram pergi keluar kota.”
“Gini,” kata Mang Enjup. “Besok malam teh ada undangan dari Bapak Walikota. Pesta apa selametan atau semacamnya. Beliau ngundang orang-orang bisnis juga, termasuk dari perusahaan-perusahaan rekanan pemda. Perusahaan kita diundang juga.”
Sebagai putri seorang pengusaha, Tia paham bahwa acara Walikota itu bukan pesta biasa, melainkan ajang lobi bisnis.
“Tadinya Mang mau ajak si Aden ke sana,” kata Mang Enjup, “tapi rupanya ada tawaran dari luar kota yang harus diurus juga, jadi Mang dan dia bagi tugas, dia keluar kota, Mang urus Pak Walikota. Cuma tadi teh Mang kepikiran, gimana kalau ajak Neng Tia sekalian? Kan Neng Tia juga penerus perusahaan kita, jadi ada baiknya mulai jalin kontak bisnis. Banyak gunanya buat nanti. Ya biar kenal sama sesama pengusaha, pejabat, anggota DPRD, dan pastinya Pak Walikota. Mau ikut kan?”
Tia mengangguk setuju. Kata-kata Mang Enjup memang masuk akal. Dia dan Bram sama-sama disiapkan untuk mewarisi perusahaan orang tua mereka, jadi sudah kewajibannya untuk mempersiapkan diri agar bisa melakukan tugas itu sebaik-baiknya.
Mang Enjup tidak berlama-lama. Sesudah berbasa-basi sedikit, dia pamit pulang. Mang Enjup bilang akan menjemput Tia besok sore. Tia mengantar para tamunya keluar sampai ke pintu pagar, lalu masuk kembali.
Di dalam mobil, Danang mengeluh kepada Mang Enjup. “Mang, udah begitu aja? Si Tia nggak kita apa-apain?”
“Hush!” Mang Enjup menghardik. “Ngga sabaran amat sih? Tunggu ajah. Nanti juga kalian kebagian lagi. Sekarang kita pulang. Reja! Ayo jalan.”
Mobil melaju meninggalkan rumah Tia.
*****
Besok sorenya..
Setelah menerima telepon dari Mang Enjup yang mengatakan akan menjemput dua jam lagi, Tia langsung bersiap. Penjelasan Mang Enjup kemarin membuatnya merasa bertanggungjawab untuk memberi kesan baik. Siapa tahu dari orang-orang yang ditemuinya malam itu, akan ada yang jadi rekan bisnis masa depan. Mengenakan kebaya sutra tipis panjang bersulam warna emas di atas kemben berwarna sama, dipadu rok panjang batik yang tidak mengekang namun tetap bernuansa etnis, Tia tampak anggun menawan. Mang Enjup yang datang menjemputnya, lagi-lagi bersama Danang dan Reja, tidak bisa tidak menyatakan kekaguman.
“Uwaaah.. meni geulis pisan euy, si Neng,” Mang Enjup memuji.
Tia tersipu dipuji seperti itu.
Bram menahan nafas. Ia sekarang paham sebagian besar ceritanya. Perubahan Tia sesudah memergoki kebiasaan buruknya itu sebagian disebabkan Citra juga. Citra bercerita bagaimana Tia minta saran agar Bram tidak perlu lagi melirik perempuan lain. Dan kakaknya itu, yah, sudah tahu apa yang Bram suka. Jadilah Citra membantu Tia membentuk-ulang dirinya agar lebih bisa memenuhi impian Bram. Misalnya seperti yang terjadi sekarang.
Sebelumnya, Tia sangat konservatif dan lebih banyak pasif di ranjang. Sekarang, Tia dengan genitnya merayu dan menggerayangi Bram. Aksinya sudah tidak kalah dengan perempuan-perempuan penghibur yang dulu (dan kadang sekarang) memberi Bram kenikmatan badan. Tia yang dulu tidak terpikir melakukan apa yang dilakukannya kini. Tangan Tia sudah menyentuh kemaluan Bram yang sedikit tegak, jari-jari Tia merangkum batang Bram. Tia mulai membelai-belai organ intim suaminya, dari bawah ke atas dan kembali lagi, dan membuatnya tegang sempurna. Bram tersentak sedikit ketika kocokan Tia makin cepat.
“Ah..” Bram melihat istrinya melirik nakal dan kembali mencium bibirnya. Ah, betapa manis bibirnya. Ah.. dia kok jadi jago ngocok juga?
“Pelan.. sayang..” bisik Bram.
Tia mengabulkan permintaan itu dan mengurangi intensitas kocokannya. Bram tadi sudah nyaris keluar, tapi dia tidak ingin buru-buru. Tangan Bram mencengkeram lengan atas Tia, wajahnya terlihat berusaha menahan kenikmatan, sementara rambut panjang Tia menyapu hidung Bram selagi Tia mengulum salah satu telinga Bram. Beberapa waktu lalu, Tia sempat memberikan servis ‘mandi kucing’, dan Tia baru menemukan bahwa Bram punya titik sensitif di sana. Bram mengerang keras selagi Tia kembali kencang mengocoknya. Percikan-percikan cairan hangat lengket melompat keluar dari ujung penisnya dan mendarat di mana-mana, di kaos dan dada Bram, di daster Tia, di seprei. Tia tak melepas dan terus mengocok sampai ejakulasi Bram selesai.
“Yah.. berantakan nih. Kamu sih nakal, gak bilang-bilang dulu,” goda Bram sambil menikmati perasaan keenakan.
“Habisnya Mas Bram mau pergi.. jadi ya mumpung sempat sama Mas Bram,” jawab Tia.
Tia sendiri merasakan putingnya mengeras dan selangkangannya membasah. Membuat suaminya bisa orgasme dengan tangan sudah cukup merangsang baginya, dan andai Bram mau melanjutkan, dia merasa dia bisa langsung ‘dapat’. Bram meraih wajah Tia. Ciuman yang menyusul sungguh panas. Lidah mereka berdua saling menjelajah, tetap seperti menemukan hal-hal baru walau keduanya sudah berkali-kali berciuman.
“Beresin dulu nggak?” goda Tia.
“Nggak usah, kan mau dilanjutin?” Bram menanggapi.
Detik berikutnya Tia didorong sehingga telentang, kedua pergelangan tangannya ditahan kedua tangan Bram, kedua lutut Bram mengepit kedua pahanya.
“Aku kan masih dua hari lagi perginya, sayang,” kata Bram pura-pura tak butuh.
“Biarin aja.. Mas..”
Bram melihat Tia menggigit bibir.
“Mas aku pengen..”
Bram tidak perlu diminta lagi. Sedetik kemudian tubuh keduanya sudah bersatu.
*****
Pagi, dua hari kemudian..
Bram mencium kening istrinya lalu masuk ke dalam mobil dan memundurkan mobil keluar garasi. Dalam beberapa menit, dia sudah di jalan menuju bandara, hendak berangkat ke kota tempat Enrico akan membuka cabang baru perusahaan. Diiringi lambaian tangan Tia, Bram meninggalkan rumah. Pinggang Bram terasa agak pegal dan matanya masih mengantuk. Kemarin malam dia tidak sempat cukup tidur karena Tia terus mengajaknya bercinta.
Dan pagi itu, dia jadi enggan meninggalkan istrinya yang cantik itu lama-lama. Tapi tugas kantor harus dijalankan. Setibanya di bandara, Enrico sudah ada di sana dan menyambut Bram. Keduanya segera bergerak ke dalam untuk boarding. Satu jam kemudian Bram sudah duduk di pesawat, memejamkan mata dan berusaha memimpikan Tia.
*****
Dua, tiga jam sesudah Bram pergi, Tia resah sendiri di rumah. Bukan pertama kali dia ditinggal Bram pergi bertugas ke luar kota, tapi entah kenapa, kali ini terasa ada yang tak tertahan. Apalagi karena sejak dua hari lalu, malam-malam di kamar mereka tak pernah sepi.. Entah kenapa, Tia merasa sangat bergairah dan terus berusaha mencari kenikmatan. Itu semua terjadi sesudah Tia berkonsultasi dengan Dr. Lorencia, yang tanpa sepengetahuannya telah memperkuat sugesti yang ditanamkan Mang Enjup.
Sebelum Bram berangkat, tadi Tia masih sempat memberi kenikmatan kepada suaminya dengan memberi blowjob di kamar mandi. Hampir saja Tia membuat Bram telat pergi karena dia mengajak suaminya bercinta sekalian. Tapi Bram masih bisa mengendalikan keadaan dan mengingatkan Tia. Tia menyentuh bibirnya sendiri dan mengulum jari telunjuknya, membayangkan kejantanan Bram yang tadi ada di dalam mulutnya, mengingat rasa benih suaminya yang tadi keluar di sana.
Sambil duduk sendirian di sofa ruang tengah, Tia membayangkan adegan tadi pagi. Tangannya yang satu lagi bergerak ke kemaluannya sendiri untuk masturbasi. Celana dalamnya sudah basah lagi, terbawa khayalannya dan hasrat yang belum kesampaian.
“Emmh.. Mas.. Mas Bram..” Tia menggumamkan nama suaminya ketika dia merangsang dirinya sendiri, matanya setengah terpejam dan kepalanya rebah ke sandaran sofa selagi jari-jarinya bergerak keluar masuk liang kewanitaannya.
Tapi Tia tak kunjung mendapat orgasme. Yang dia inginkan bukan jarinya sendiri, melainkan kejantanan, kejantanan Bram..atau siapapun.
“Ohh,” keluh Tia yang frustrasi, terhenyak di sofa dengan tak puas.
Dia menyerah dan berusaha melupakan hasrat yang mengganggu pikirannya dengan melakukan kegiatan lain. Tia mulai membereskan rumah, menonton TV, menyiapkan makan siang untuk dirinya sendiri. Setidaknya ada kesibukan, walau perasaannya masih terasa terganjal. Seminggu. Tanpa Bram. Kenapa sekarang terasa susah sekali dilalui? Jam-jam berlalu. Ada telepon dari Bram, mengabarkan dia sudah sampai di tujuan. Pembicaraan hanya singkat karena Bram keburu dijemput oleh rekan kerja di sana. Sesudahnya, Tia kembali bermasturbasi, tapi dia gagal lagi mencapai klimaks.
*****
Sore menjelang malam.
Tia makan malam sendirian. Sesudah makan, cuci piring, lalu beberes. Lalu.. apa? Tia menyalakan televisi. Hanya berita atau sinetron. Tidak ada yang menarik untuk ditonton. Apa telpon Citra saja supaya ada teman bicara? Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Ada tamu? Mengintip dari balik jendela depan, Tia melihat tiga orang keluar dari mobil itu. Salah seorangnya Mang Enjup. Ketiganya membuka pintu gerbang dan langsung menuju pintu rumah, lalu mengetok pintu. Tia yang sudah di dekat pintu langsung membukakan pintu.
“Punten,” Mang Enjup memberi salam.
“Eh, Mang Enjup. Ada apa, Mang, tumben mampir ke rumah? Ayo, ayo masuk.”
Mang Enjup didampingi dua anak buahnya—Danang yang urakan dan Reja yang tegap.
“Mangga calik,” Tia mempersilakan tamu-tamunya duduk. “Sebentar, saya bikin teh dulu.”
“Aduh, ngga usah repot-repot,” Mang Enjup berbasa-basi, tapi membiarkan saja Tia pergi ke belakang untuk membuatkan minum.
Danang dan Reja duduk di sofa, senyam-senyum karena masih ingat apa yang terjadi terakhir kali mereka datang ke rumah itu. Lima menit kemudian Tia keluar membawa baki dengan tiga cangkir teh hangat di atasnya. Dengan cekatan Tia menyuguhkan minum kepada ketiga tamunya. Ketika Tia duduk kembali, Mang Enjup langsung membuka pembicaraan. Mang Enjup sengaja menggeser posisi duduknya sehingga berada di sebelah tempat duduk Tia.
“Lagi sepi ya, si Aden baru pergi kan,” kata Mang Enjup, merujuk ke Bram. “Neng Tia enggak kesepian kan?”
“Ah, nggak Mang..” kata-kata Tia tidak sesuai dengan isi hatinya. “Udah biasa kan kalau Mas Bram pergi keluar kota.”
“Gini,” kata Mang Enjup. “Besok malam teh ada undangan dari Bapak Walikota. Pesta apa selametan atau semacamnya. Beliau ngundang orang-orang bisnis juga, termasuk dari perusahaan-perusahaan rekanan pemda. Perusahaan kita diundang juga.”
Sebagai putri seorang pengusaha, Tia paham bahwa acara Walikota itu bukan pesta biasa, melainkan ajang lobi bisnis.
“Tadinya Mang mau ajak si Aden ke sana,” kata Mang Enjup, “tapi rupanya ada tawaran dari luar kota yang harus diurus juga, jadi Mang dan dia bagi tugas, dia keluar kota, Mang urus Pak Walikota. Cuma tadi teh Mang kepikiran, gimana kalau ajak Neng Tia sekalian? Kan Neng Tia juga penerus perusahaan kita, jadi ada baiknya mulai jalin kontak bisnis. Banyak gunanya buat nanti. Ya biar kenal sama sesama pengusaha, pejabat, anggota DPRD, dan pastinya Pak Walikota. Mau ikut kan?”
Tia mengangguk setuju. Kata-kata Mang Enjup memang masuk akal. Dia dan Bram sama-sama disiapkan untuk mewarisi perusahaan orang tua mereka, jadi sudah kewajibannya untuk mempersiapkan diri agar bisa melakukan tugas itu sebaik-baiknya.
Mang Enjup tidak berlama-lama. Sesudah berbasa-basi sedikit, dia pamit pulang. Mang Enjup bilang akan menjemput Tia besok sore. Tia mengantar para tamunya keluar sampai ke pintu pagar, lalu masuk kembali.
Di dalam mobil, Danang mengeluh kepada Mang Enjup. “Mang, udah begitu aja? Si Tia nggak kita apa-apain?”
“Hush!” Mang Enjup menghardik. “Ngga sabaran amat sih? Tunggu ajah. Nanti juga kalian kebagian lagi. Sekarang kita pulang. Reja! Ayo jalan.”
Mobil melaju meninggalkan rumah Tia.
*****
Besok sorenya..
Setelah menerima telepon dari Mang Enjup yang mengatakan akan menjemput dua jam lagi, Tia langsung bersiap. Penjelasan Mang Enjup kemarin membuatnya merasa bertanggungjawab untuk memberi kesan baik. Siapa tahu dari orang-orang yang ditemuinya malam itu, akan ada yang jadi rekan bisnis masa depan. Mengenakan kebaya sutra tipis panjang bersulam warna emas di atas kemben berwarna sama, dipadu rok panjang batik yang tidak mengekang namun tetap bernuansa etnis, Tia tampak anggun menawan. Mang Enjup yang datang menjemputnya, lagi-lagi bersama Danang dan Reja, tidak bisa tidak menyatakan kekaguman.
“Uwaaah.. meni geulis pisan euy, si Neng,” Mang Enjup memuji.
Tia tersipu dipuji seperti itu.
Mang Enjup langsung mengajak pergi. “Ayoh kita berangkat.”
Mang Enjup sendiri mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam, sementara Danang terlihat tidak cocok mengenakan kemeja putih lengan panjang, dasi, rompi, dan celana bahan. Reja hanya berkaos dan bercelana jeans—dia sadar bahwa sebagai sopir paling-paling dia cuma bakal menunggu di tempat parkir.
Malam itu rumah dinas Walikota menjadi ajang suatu pesta. Sebenarnya alasan pesta itu diselenggarakan tak begitu jelas, hanya saja melihat dari daftar tamu yang mencakup para pejabat, anggota DPRD, pengusaha, dan profesional, sebagian besar yang hadir sudah maklum bahwa pesta itu ada hubungannya dengan tender suatu proyek besar yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang.
Suasana pesta yang formal namun akrab pun menjadi ajang penguasa dan pengusaha saling mendekat, menjalin hubungan, dan di balik itu semua berusaha mendapatkan keuntungan dengan cara halal maupun lainnya. Di antara dekorasi indah, karangan bunga, makanan lezat, dan minuman mahal, man*sia-man*sia berkepentingan saling berbaur dan berbincang. Tiada yang gratis di dunia, bahkan di tengah pesta.
Ini bukan pertama kali Tia hadir dalam pesta kalangan atas, tapi baru kali ini dia hadir sebagai seorang “ahli waris bisnis”. Dia memandangi orang-orang yang ada dengan antu**as. Banyak sekali laki-laki beru**r 40-an ke atas dalam setelan yang terlihat mahal atau batik sutra. Ada juga beberapa laki-laki muda yang terlihat perlente. Tamu-tamu perempuan yang hadir semuanya tampil gemerlap, dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan. Kebanyakan tamu perempuan juga beru**r 40-an ke atas, mungkin mereka juga adalah pejabat atau pengusaha atau istri pejabat/pengusaha.
Kehadiran Tia sendiri justru menarik perhatian. Ketika Mang Enjup, Tia, dan Danang masuk ke ruangan, tetamu langsung menengok dan tidak bisa melepaskan pandangan dari perempuan anggun yang baru hadir. Tia yang anggun dalam kebaya emasnya langsung menjadi pusat perhatian, dan terdengar gumaman serta decak dari sebagian tamu. Dan entah berapa pembicaraan bisnis yang tersela, tergantikan kekaguman. Baik kekaguman yang menghormati, maupun yang membayangkan hal yang tidak-tidak.
Mang Enjup yang luas pergaulannya memperkenalkan Tia kesana-sini. Ini anggota DPRD, ibu ini guru besar kedokteran di universitas, suami-istri itu pengusaha ekspor-impor, bapak itu kepala dinas. Semua perkenalan berlangsung singkat, Tia sampai kerepotan mengingat nama mereka semua. Setiap kali, Mang Enjup selalu memperkenalkan Tia sambil menyebut orangtuanya, Bram, dan orangtua Bram. Banyak yang langsung paham apa arti semua itu, dan biasanya mereka akan mengangguk-angguk setuju. Tia adalah calon penerus bisnis orangtuanya, salah satu bisnis besar di kota itu dan daerah-daerah lain.
“Hei, Tia!” terdengar panggilan akrab.
Tia menoleh dan melihat Dr. Lorencia yang juga hadir di pesta itu. Dr. Loren memuji kebaya dan kecantikan Tia—sambil tangannya seperti mau menggerayangi Tia. Bagi yang tidak tahu orientasi si psikolog spesialis, kelihatannya seperti dua perempuan yang bersahabat akrab. Tapi sentuhan Dr. Loren jelas tidak cuma menyampaikan keakraban.
Mang Enjup tidak menunjukkan bahwa dia kenal Dr. Loren, tapi sempat memberi isyarat kepada perempuan berkacamata itu agar tidak menahan Tia, karena ada urusan lebih penting. Tia dan Mang Enjup meninggalkan Dr. Loren, dan Tia bilang nanti dia akan ngobrol lagi dengan Dr. Loren. Danang yang dari tadi mengintil Mang Enjup tanpa diperkenalkan ke siapa-siapa, tetap bersama Dr. Loren dan mengajak ngobrol. Mereka berdua sudah saling kenal rupanya.
Di tengah ruangan dalam rumah dinas Walikota, Mang Enjup mengantar Tia berkenalan dengan Pak Walikota. Tia sudah sering melihat wajah Pak Walikota di televisi dan koran, tapi dia merasa baru satu kali bertemu dengan pejabat itu.
Pak Walikota bertubuh tegap dan besar, dia mantan perwira yang kemudian masuk ke partai politik dan memenangkan pemilihan kepala daerah tahun lalu. u**rnya kira-kira 50-an, dengan rambut mulai beruban, tapi wajahnya masih terlihat ganteng. Dia menjabat tangan Tia dan tersenyum lebar. Jabat tangannya erat dan lama sekali, seolah dia tak mau melepas tangan Tia, tindakannya itu disaksikan oleh seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di sampingnya dan mengenakan kebaya mewah, dengan rambut disasak dan beruntai-untai kalung di lehernya. Perempuan itu istri Pak Walikota.
“Senang bisa kenalan dengan Bu Tia,” kata Pak Walikota.
“Sama-sama, Pak,” jawab Tia sopan.
“Bu Tia masih ingat tidak? Waktu Bu Tia menikah dengan Pak Bram, saya datang,” kata Pak Walikota.
Tia diam saja, dia sendiri tak yakin apa dia ingat pernah bertemu dengan Pak Walikota sebelumnya. Pak Walikota terus berusaha memperpanjang pembicaraan, dengan menyebut bahwa dia kenal orangtua Tia dan Bram. Tia hanya mengangguk-angguk.
“..saya sudah lama tidak ketemu bapak Bu Tia. Tolong kasih tahu ya kalau Bapak sedang ada di sini. Saya pingin ajak ngobrol dia,” pinta Pak Walikota.
“Iya, Pak,” ujar Tia singkat.
“Tapi saya sudah senang kok bisa ketemu lagi dengan putrinya. Tidak sangka, ternyata cantik sekali. Bapak dan Ibu pasti bangga,” Pak Walikota berusaha memuji.
Mang Enjup masuk ke dalam pembicaraan, membawa topik tender proyek yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Pak Walikota dan Mang Enjup membahas itu, sementara Tia dan istri Pak Walikota jadi penonton. Lalu beberapa orang lain datang mendekat.
“Hai.. Pak Jupri mau nyolong start rupanya,” kata seorang laki-laki bertubuh kecil, berkulit kuning, bermata sipit, yang datang dari belakang Mang Enjup. Dia merangkul Mang Enjup dengan gaya sok akrab, lalu menoleh ke Pak Walikota. Mang Enjup mengomentari orang baru itu.
“Hahaha.. Koh Simon bisa aja. Kan tadi situ yang udah duluan ngobrol. Siapa dong yang nyolong start?” Mang Enjup menyindir laki-laki kecil itu, yang bernama Simon Sunargo, seorang pengusaha yang juga ikut tender proyek.
Tapi selagi dua orang itu saling sindir, datang lagi seorang laki-laki berjas biru yang mengabaikan keduanya dan langsung menjabat tangan Pak Walikota.
“Selamat malam, Pak. Maaf saya baru datang. Biasa, gandengan saya kelamaan dandan,” kata laki-laki berjas biru itu, yang lebih muda daripada Mang Enjup dan George.
“Saya dari tadi udah tanya-tanya, Majed ke mana. Rupanya nungguin gandengan,” celetuk Pak Walikota menyambut laki-laki muda itu, yang bernama Majed.
Majed berpenampilan seperti orang asing, tubuhnya jangkung, hidungnya mancung, wajahnya brewokan tapi ganteng. Kontras dengan Mang Enjup yang sudah tua dan gemuk, atau Simon yang kurus kecil. Dan Majed juga salah seorang peserta tender.
“Gandengannya ganti lagi, Jed?” komentar Pak Walikota melihat sosok yang menggelayut di lengan Majed.
Sosok itu, seorang perempuan berkulit sawo matang, tapi tidak tampak seperti pribumi. Tubuhnya berbentuk seperti gitar Spanyol dengan dada besar, pinggang ramping, dan pinggul seksi. Perempuan itu berbicara sedikit ke Majed. Celetukannya, berbahasa Spanyol juga. Majed membisikkan sesuatu dan perempuan itu tertawa. Majed memperkenalkan gandengannya itu.
“Kenalkan, Pak, ini Gaby. Lengkapnya Gabriela Iffa Almaraz. Latino tapi masih ada keturunan Timur Tengah, kayak penyanyi itu, Shakira. Dia dikirim sama kantor pusat di Amerika buat training setahun di kantor cabang Indonesia, terus saya yang suruh handle.”
Majed memang mewakili perusahaan internasional yang juga bersaing dengan perusahaan orangtua Tia dan perusahaan Simon di tingkat lokal. Penjelasan Majed mengenai asal-usul Gaby terkesan dibuat-buat, tapi Pak Walikota tak memusingkan itu, dia sibuk memandangi rambut coklat panjang dan mata kelabu-biru Gaby. Simon yang diserobot kesempatannya oleh Majed tiba-tiba mengangkat telepon selulernya, memencet satu nomor, lalu menelepon.
Mang Enjup menguping pembicaraan singkat Simon. “Ada di mana.. Ayo sini cepet!” yang kemudian dilanjutkan beberapa patah kata bahasa Cina.
Tak lama kemudian muncullah seorang perempuan bertubuh langsing dan berwajah menarik, ras oriental. Dia mengenakan baju sutra longgar dan celana panjang, rambut hitamnya dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit besar berbentuk anggrek. Simon memperkenalkannya kepada Pak Walikota sebagai “asistennya yang baru”, Shenny. Dengan kehadiran Shenny, jadilah Pak Walikota dirubung tiga laki-laki, juga tiga perempuan cantik: Tia, Gaby, dan Shenny.
Entah kapan, istri Pak Walikota sudah tidak berada di samping suaminya, memilih untuk mengobrol dengan sesama istri pejabat daripada harus menemani suaminya. Tia menyimak obrolan Pak Walikota dengan Mang Enjup, Simon, dan Majed. Dia merasa perlu terlibat dengan urusan proyek itu. Ditangkapnya berbagai hal yang tersirat, bahwa ketiga orang itu sebelumnya bekerja sama melobi DPRD sehingga menggolkan proyek besar yang akan ditender, namun sekarang ketiga pihak akan melupakan kerjasama dan bersaing dalam tender. Ketiganya sama-sama licin dalam berkata-kata, hampir tak pernah keceplosan mengumbar maksud dan siasat di depan lawan-lawannya.
“Oke, keputusannya tiga hari lagi. Negosiasi final dengan Anda bertiga akan saya lakukan sehari sebelumnya. Nanti lokasi dan waktunya akan diberitahu asisten saya,” Pak Walikota menutup pembicaraan dengan mereka bertiga, lalu pamit untuk beralih mengobrol dengan tetamu lain.
Bu Walikota entah sudah ada di mana. Tiga laki-laki dan tiga perempuan itu pun bubar.
“Neng, tadi ikut denger obrolan kita kan?” tanya Mang Enjup.
“Iya, Mang,” jawab Tia. “Perusahaan kita bakal bersaing dengan perusahaannya Pak Simon dan Pak Majed itu di tender.”
“Nah, Neng Tia, Mang tuh sebenarnya pengen minta bantuan. Selama ini Mang dan Bram sudah usaha keras supaya kita bisa menang. Sekarang tinggal satu tahap lagi. Kalau pertandingan bola, kita udah masuk final. Tinggal gimana supaya kita menang juga di final. Makanya.. Bram kan lagi tidak di sini, padahal masih ada satu negosiasi lagi sebelum keputusan. Boleh tidak kalau Mang minta Neng Tia bantuin Mang di negosiasi terakhir itu?”
Mang Enjup mengatakan itu sambil menatap wajah Tia dan tangannya mengurut-urut lengan Tia, tanda dia menggunakan sedikit keahlian gendamnya.
Tia merasa sudah sewajarnya dia ikut terlibat, jadi dia pun mengangguk setuju.
“Boleh Mang.. Nanti Tia bantuin sebisanya, apa aja, supaya perusahaan kita yang dapat proyeknya,” ujar Tia.
“Hatur nuhun, geulis,” kata Mang Enjup. “Nah, ini sudah malam. Mang mau pulang. Tia mau pulang juga, atau masih mau di sini?” Mang Enjup melepas pegangannya dari Tia, menghentikan upaya mempengaruhi.
“Emm..” Tia memperhatikan sekelilingnya. Sebenarnya malam belum larut, baru sekitar pukul 9, dan dia juga kesepian di rumah. Tadi dia belum sempat ngobrol dengan Dr. Lorencia. “Tia belakangan aja deh Mang.”
“Ya udah. Mang pulang dulu sama Reja, nanti Reja Mang suruh balik lagi ke sini buat nganter pulang Neng Tia. Danang mah biarin aja di sini dulu.”
Mang Enjup kemudian meninggalkan rumah dinas walikota untuk pulang bersama Reja ke rumahnya sendiri yang tidak jauh dari sana.
Mang Enjup sendiri mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam, sementara Danang terlihat tidak cocok mengenakan kemeja putih lengan panjang, dasi, rompi, dan celana bahan. Reja hanya berkaos dan bercelana jeans—dia sadar bahwa sebagai sopir paling-paling dia cuma bakal menunggu di tempat parkir.
Malam itu rumah dinas Walikota menjadi ajang suatu pesta. Sebenarnya alasan pesta itu diselenggarakan tak begitu jelas, hanya saja melihat dari daftar tamu yang mencakup para pejabat, anggota DPRD, pengusaha, dan profesional, sebagian besar yang hadir sudah maklum bahwa pesta itu ada hubungannya dengan tender suatu proyek besar yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang.
Suasana pesta yang formal namun akrab pun menjadi ajang penguasa dan pengusaha saling mendekat, menjalin hubungan, dan di balik itu semua berusaha mendapatkan keuntungan dengan cara halal maupun lainnya. Di antara dekorasi indah, karangan bunga, makanan lezat, dan minuman mahal, man*sia-man*sia berkepentingan saling berbaur dan berbincang. Tiada yang gratis di dunia, bahkan di tengah pesta.
Ini bukan pertama kali Tia hadir dalam pesta kalangan atas, tapi baru kali ini dia hadir sebagai seorang “ahli waris bisnis”. Dia memandangi orang-orang yang ada dengan antu**as. Banyak sekali laki-laki beru**r 40-an ke atas dalam setelan yang terlihat mahal atau batik sutra. Ada juga beberapa laki-laki muda yang terlihat perlente. Tamu-tamu perempuan yang hadir semuanya tampil gemerlap, dengan gaun mahal dan perhiasan berkilauan. Kebanyakan tamu perempuan juga beru**r 40-an ke atas, mungkin mereka juga adalah pejabat atau pengusaha atau istri pejabat/pengusaha.
Kehadiran Tia sendiri justru menarik perhatian. Ketika Mang Enjup, Tia, dan Danang masuk ke ruangan, tetamu langsung menengok dan tidak bisa melepaskan pandangan dari perempuan anggun yang baru hadir. Tia yang anggun dalam kebaya emasnya langsung menjadi pusat perhatian, dan terdengar gumaman serta decak dari sebagian tamu. Dan entah berapa pembicaraan bisnis yang tersela, tergantikan kekaguman. Baik kekaguman yang menghormati, maupun yang membayangkan hal yang tidak-tidak.
Mang Enjup yang luas pergaulannya memperkenalkan Tia kesana-sini. Ini anggota DPRD, ibu ini guru besar kedokteran di universitas, suami-istri itu pengusaha ekspor-impor, bapak itu kepala dinas. Semua perkenalan berlangsung singkat, Tia sampai kerepotan mengingat nama mereka semua. Setiap kali, Mang Enjup selalu memperkenalkan Tia sambil menyebut orangtuanya, Bram, dan orangtua Bram. Banyak yang langsung paham apa arti semua itu, dan biasanya mereka akan mengangguk-angguk setuju. Tia adalah calon penerus bisnis orangtuanya, salah satu bisnis besar di kota itu dan daerah-daerah lain.
“Hei, Tia!” terdengar panggilan akrab.
Tia menoleh dan melihat Dr. Lorencia yang juga hadir di pesta itu. Dr. Loren memuji kebaya dan kecantikan Tia—sambil tangannya seperti mau menggerayangi Tia. Bagi yang tidak tahu orientasi si psikolog spesialis, kelihatannya seperti dua perempuan yang bersahabat akrab. Tapi sentuhan Dr. Loren jelas tidak cuma menyampaikan keakraban.
Mang Enjup tidak menunjukkan bahwa dia kenal Dr. Loren, tapi sempat memberi isyarat kepada perempuan berkacamata itu agar tidak menahan Tia, karena ada urusan lebih penting. Tia dan Mang Enjup meninggalkan Dr. Loren, dan Tia bilang nanti dia akan ngobrol lagi dengan Dr. Loren. Danang yang dari tadi mengintil Mang Enjup tanpa diperkenalkan ke siapa-siapa, tetap bersama Dr. Loren dan mengajak ngobrol. Mereka berdua sudah saling kenal rupanya.
Di tengah ruangan dalam rumah dinas Walikota, Mang Enjup mengantar Tia berkenalan dengan Pak Walikota. Tia sudah sering melihat wajah Pak Walikota di televisi dan koran, tapi dia merasa baru satu kali bertemu dengan pejabat itu.
Pak Walikota bertubuh tegap dan besar, dia mantan perwira yang kemudian masuk ke partai politik dan memenangkan pemilihan kepala daerah tahun lalu. u**rnya kira-kira 50-an, dengan rambut mulai beruban, tapi wajahnya masih terlihat ganteng. Dia menjabat tangan Tia dan tersenyum lebar. Jabat tangannya erat dan lama sekali, seolah dia tak mau melepas tangan Tia, tindakannya itu disaksikan oleh seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk yang berdiri di sampingnya dan mengenakan kebaya mewah, dengan rambut disasak dan beruntai-untai kalung di lehernya. Perempuan itu istri Pak Walikota.
“Senang bisa kenalan dengan Bu Tia,” kata Pak Walikota.
“Sama-sama, Pak,” jawab Tia sopan.
“Bu Tia masih ingat tidak? Waktu Bu Tia menikah dengan Pak Bram, saya datang,” kata Pak Walikota.
Tia diam saja, dia sendiri tak yakin apa dia ingat pernah bertemu dengan Pak Walikota sebelumnya. Pak Walikota terus berusaha memperpanjang pembicaraan, dengan menyebut bahwa dia kenal orangtua Tia dan Bram. Tia hanya mengangguk-angguk.
“..saya sudah lama tidak ketemu bapak Bu Tia. Tolong kasih tahu ya kalau Bapak sedang ada di sini. Saya pingin ajak ngobrol dia,” pinta Pak Walikota.
“Iya, Pak,” ujar Tia singkat.
“Tapi saya sudah senang kok bisa ketemu lagi dengan putrinya. Tidak sangka, ternyata cantik sekali. Bapak dan Ibu pasti bangga,” Pak Walikota berusaha memuji.
Mang Enjup masuk ke dalam pembicaraan, membawa topik tender proyek yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Pak Walikota dan Mang Enjup membahas itu, sementara Tia dan istri Pak Walikota jadi penonton. Lalu beberapa orang lain datang mendekat.
“Hai.. Pak Jupri mau nyolong start rupanya,” kata seorang laki-laki bertubuh kecil, berkulit kuning, bermata sipit, yang datang dari belakang Mang Enjup. Dia merangkul Mang Enjup dengan gaya sok akrab, lalu menoleh ke Pak Walikota. Mang Enjup mengomentari orang baru itu.
“Hahaha.. Koh Simon bisa aja. Kan tadi situ yang udah duluan ngobrol. Siapa dong yang nyolong start?” Mang Enjup menyindir laki-laki kecil itu, yang bernama Simon Sunargo, seorang pengusaha yang juga ikut tender proyek.
Tapi selagi dua orang itu saling sindir, datang lagi seorang laki-laki berjas biru yang mengabaikan keduanya dan langsung menjabat tangan Pak Walikota.
“Selamat malam, Pak. Maaf saya baru datang. Biasa, gandengan saya kelamaan dandan,” kata laki-laki berjas biru itu, yang lebih muda daripada Mang Enjup dan George.
“Saya dari tadi udah tanya-tanya, Majed ke mana. Rupanya nungguin gandengan,” celetuk Pak Walikota menyambut laki-laki muda itu, yang bernama Majed.
Majed berpenampilan seperti orang asing, tubuhnya jangkung, hidungnya mancung, wajahnya brewokan tapi ganteng. Kontras dengan Mang Enjup yang sudah tua dan gemuk, atau Simon yang kurus kecil. Dan Majed juga salah seorang peserta tender.
“Gandengannya ganti lagi, Jed?” komentar Pak Walikota melihat sosok yang menggelayut di lengan Majed.
Sosok itu, seorang perempuan berkulit sawo matang, tapi tidak tampak seperti pribumi. Tubuhnya berbentuk seperti gitar Spanyol dengan dada besar, pinggang ramping, dan pinggul seksi. Perempuan itu berbicara sedikit ke Majed. Celetukannya, berbahasa Spanyol juga. Majed membisikkan sesuatu dan perempuan itu tertawa. Majed memperkenalkan gandengannya itu.
“Kenalkan, Pak, ini Gaby. Lengkapnya Gabriela Iffa Almaraz. Latino tapi masih ada keturunan Timur Tengah, kayak penyanyi itu, Shakira. Dia dikirim sama kantor pusat di Amerika buat training setahun di kantor cabang Indonesia, terus saya yang suruh handle.”
Majed memang mewakili perusahaan internasional yang juga bersaing dengan perusahaan orangtua Tia dan perusahaan Simon di tingkat lokal. Penjelasan Majed mengenai asal-usul Gaby terkesan dibuat-buat, tapi Pak Walikota tak memusingkan itu, dia sibuk memandangi rambut coklat panjang dan mata kelabu-biru Gaby. Simon yang diserobot kesempatannya oleh Majed tiba-tiba mengangkat telepon selulernya, memencet satu nomor, lalu menelepon.
Mang Enjup menguping pembicaraan singkat Simon. “Ada di mana.. Ayo sini cepet!” yang kemudian dilanjutkan beberapa patah kata bahasa Cina.
Tak lama kemudian muncullah seorang perempuan bertubuh langsing dan berwajah menarik, ras oriental. Dia mengenakan baju sutra longgar dan celana panjang, rambut hitamnya dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit besar berbentuk anggrek. Simon memperkenalkannya kepada Pak Walikota sebagai “asistennya yang baru”, Shenny. Dengan kehadiran Shenny, jadilah Pak Walikota dirubung tiga laki-laki, juga tiga perempuan cantik: Tia, Gaby, dan Shenny.
Entah kapan, istri Pak Walikota sudah tidak berada di samping suaminya, memilih untuk mengobrol dengan sesama istri pejabat daripada harus menemani suaminya. Tia menyimak obrolan Pak Walikota dengan Mang Enjup, Simon, dan Majed. Dia merasa perlu terlibat dengan urusan proyek itu. Ditangkapnya berbagai hal yang tersirat, bahwa ketiga orang itu sebelumnya bekerja sama melobi DPRD sehingga menggolkan proyek besar yang akan ditender, namun sekarang ketiga pihak akan melupakan kerjasama dan bersaing dalam tender. Ketiganya sama-sama licin dalam berkata-kata, hampir tak pernah keceplosan mengumbar maksud dan siasat di depan lawan-lawannya.
“Oke, keputusannya tiga hari lagi. Negosiasi final dengan Anda bertiga akan saya lakukan sehari sebelumnya. Nanti lokasi dan waktunya akan diberitahu asisten saya,” Pak Walikota menutup pembicaraan dengan mereka bertiga, lalu pamit untuk beralih mengobrol dengan tetamu lain.
Bu Walikota entah sudah ada di mana. Tiga laki-laki dan tiga perempuan itu pun bubar.
“Neng, tadi ikut denger obrolan kita kan?” tanya Mang Enjup.
“Iya, Mang,” jawab Tia. “Perusahaan kita bakal bersaing dengan perusahaannya Pak Simon dan Pak Majed itu di tender.”
“Nah, Neng Tia, Mang tuh sebenarnya pengen minta bantuan. Selama ini Mang dan Bram sudah usaha keras supaya kita bisa menang. Sekarang tinggal satu tahap lagi. Kalau pertandingan bola, kita udah masuk final. Tinggal gimana supaya kita menang juga di final. Makanya.. Bram kan lagi tidak di sini, padahal masih ada satu negosiasi lagi sebelum keputusan. Boleh tidak kalau Mang minta Neng Tia bantuin Mang di negosiasi terakhir itu?”
Mang Enjup mengatakan itu sambil menatap wajah Tia dan tangannya mengurut-urut lengan Tia, tanda dia menggunakan sedikit keahlian gendamnya.
Tia merasa sudah sewajarnya dia ikut terlibat, jadi dia pun mengangguk setuju.
“Boleh Mang.. Nanti Tia bantuin sebisanya, apa aja, supaya perusahaan kita yang dapat proyeknya,” ujar Tia.
“Hatur nuhun, geulis,” kata Mang Enjup. “Nah, ini sudah malam. Mang mau pulang. Tia mau pulang juga, atau masih mau di sini?” Mang Enjup melepas pegangannya dari Tia, menghentikan upaya mempengaruhi.
“Emm..” Tia memperhatikan sekelilingnya. Sebenarnya malam belum larut, baru sekitar pukul 9, dan dia juga kesepian di rumah. Tadi dia belum sempat ngobrol dengan Dr. Lorencia. “Tia belakangan aja deh Mang.”
“Ya udah. Mang pulang dulu sama Reja, nanti Reja Mang suruh balik lagi ke sini buat nganter pulang Neng Tia. Danang mah biarin aja di sini dulu.”
Mang Enjup kemudian meninggalkan rumah dinas walikota untuk pulang bersama Reja ke rumahnya sendiri yang tidak jauh dari sana.
Tia kembali beredar dan melanjutkan obrolan dengan beberapa orang di sana. Ada seorang temannya waktu kuliah yang hadir juga di sana, mendampingi suaminya yang menjadi pejabat menengah setempat. Temannya itu menanyakan Bram. Tia bilang Bram sedang tugas kantor di luar kota. Mereka mengobrol, memuaskan rasa kangen sesudah beberapa lama tak bertemu.
Di tempat lain, Danang memanfaatkan kesempatan mencicipi berbagai suguhan, termasuk minuman keras, di pesta itu. Sekarang efek alkohol dan membuat dia merasa gerah. Ditambah lagi, sedari tadi dia menyaksikan bahwa sebenarnya banyak juga “pemandangan indah” di pesta itu.
Ada perempuan-perempuan muda dan cantik di antara para tetamu. Di antaranya Gaby Almaraz yang dibawa Majed, dan Shenny asisten Simon. Dan tentunya Tia. Tadi Danang sempat mengobrol dengan Dr. Lorencia. Mereka berdua sudah kenal sebelumnya, karena Danang sering ikut ke mana pun Mang Enjup pergi. Termasuk ketika beberapa waktu lalu Mang Enjup meminta Dr. Loren menggarap kesadaran Tia. Danang tahu mengenai ilmu gendam Mang Enjup, bahkan dia pernah minta diajari, tapi ternyata dia tidak berbakat. Makanya dia iri kepada Dr. Loren yang bisa menyerap ilmu pamannya. Keduanya tadi mengobrol banyak, dan akhirnya mereka jadi saling tahu pengalaman masing-masing dengan Tia.
Danang masih penasaran dengan Tia. Kemarin dia kesal sekali waktu ikut datang ke rumah Tia tapi tidak terjadi apa-apa. Sekarang apalagi. Melihat Tia, ditambah efek alkohol, membuat Danang belingsatan menahan sange. Danang sebenarnya pengecut, dia tidak berani mengapa-apakan Tia kalau sendirian. Tapi begitu tadi bertemu Dr. Loren dan berbagi cerita, segera muncul rencana di kepalanya untuk bisa meniduri Tia malam itu. Dia tahu Dr. Loren juga berminat dengan Tia. Jadi, begitu melihat Tia ditinggal Mang Enjup, Danang langsung mendekati Dr. Loren lagi. Keduanya punya keinginan yang sama, jadi bisa bersepakat. Waktu Tia terlihat mendekati Dr. Loren, Danang menyingkir.
Tia dan Dr. Loren mengobrol lagi, agak berbisik-bisik. Dr. Loren menanyakan apakah Tia masih ada masalah dengan traumanya. Tia menjawab sudah tidak ada masalah. Obrolan mereka tidak berlangsung lama karena Dr. Loren bilang dia mau pulang, naik taksi. Tia menanyakan alamat rumah Dr. Loren, ternyata sama dengan tempat praktiknya. Karena arah pulang mereka sejalan, Tia menawari Dr. Loren pulang bareng. Dr. Loren menyanggupi. Tia melihat Danang tidak jauh dari sana lalu memanggil Danang, menanyakan apakah Reja sudah balik lagi dari mengantar Mang Enjup.
Danang menelepon sebentar lalu bilang Reja sudah ada di tempat parkir lagi. Sesudah berpamitan dengan Pak Walikota dan orang-orang lain, Tia menuju pintu keluar diikuti Dr. Loren dan Danang yang saling pandang sambil cengar-cengir. Tidak cuma Mang Enjup yang jago menjerat orang—mereka berdua juga bisa. Di depan pintu, Reja sudah menunggu dengan mobil Mang Enjup. Si sopir membukakan pintu belakang untuk Tia dan Dr. Loren, sedangkan Danang duduk di kursi depan. Mobil segera bergerak meninggalkan rumah dinas walikota.
Sambil jalan, Dr. Loren melanjutkan obrolan dengan Tia, sementara Danang dan Reja diam saja. Mobil menuju rumah Dr. Loren. Tapi Dr. Loren lantas bicara sambil tangannya menggenggam pergelangan tangan Tia.
“Tia, aku pengen mampir ke rumahmu, boleh nggak?” Sambil mengatakan itu Dr. Loren tiba-tiba menyentak halus tangan Tia—satu teknik untuk menjatuhkan sasaran ke dalam keadaan setengah terhipnotis.
“Iya.. Boleh..” kata Tia. “Kita ke rumahku dulu deh..”
Danang menengok ke belakang dan nyengir. Reja mengarahkan mobil ke jalan menuju rumah Tia.
*****
Singkat cerita, mereka semua tiba di rumah Tia dan turun. Tia masih dalam keadaan setengah terhipnotis dan sama sekali tidak curiga akan maksud Danang dan Dr. Loren.
Tadi di mobil, Dr. Loren sudah memberi sugesti, “Kamu mau turuti semua yang kami suruh, kan?”
Tia menyanggupi.
Dan sejak di mobil Dr. Loren sudah mulai menggerayangi Tia, mulai dari meremas-remas paha, meraba leher, sampai mengulum telinga Tia. Tia bereaksi dengan tertawa kegelian dan mendesah. Danang bolak-balik menengok untuk curi pandang, tapi Dr. Loren selalu memelototinya kalau dia ketahuan. Waktu mereka masuk rumah, Tia sudah terangsang berat gara-gara Dr. Loren. Keadaan itu, ditambah pengaruh hipnotis, membuat dia mau saja disuruh menunjukkan kamar tidurnya. Dr. Loren menggiring Tia ke kamar tidur, diikuti Danang dan Reja.
Dr. Loren menengok ke arah dua laki-laki itu dan berkata, “Aku duluan, dan jangan coba-coba ikutan. Sori, aku nggak suka cowok. Kalau ada yang berani ikutan, bakal kuhipnotis jadi banci. Silakan nonton tapi jangan ada yang macam-macam.”
Danang nyengir mendengar ancaman itu, tapi menganggapnya serius, karena sudah melihat bagaimana Dr. Loren bisa membuat Tia mengikuti semua kata-katanya. Tia duduk di pinggir tempat tidur, masih berkebaya lengkap. Loren menyuruhnya membuka baju. Dengan patuh, Tia membuka kebaya, rok panjang, dan kembennya, sampai hanya tersisa celana dalam G-string dan bra. Sementara itu Loren membuka-buka lemari pakaian Tia, mencari sesuatu.
“Tia,” kata Dr. Loren, “Merem.”
Tia menurut dan memejamkan mata.
Loren sudah mengambil beberapa syal dari dalam lemari, lalu mengikatkan satu syal sehingga menutupi kedua mata Tia. Loren lalu mendorong Tia sehingga Tia rebah di tempat tidur. Kemudian Loren mengikat kedua pergelangan tangan Tia dengan syal lain. Loren tersenyum dan menjilat bibir.
Loren kemudian membuka seluruh pakaiannya sampai telanjang, tanpa peduli Danang dan Reja berdiri menonton di belakangnya. Dia lalu berlutut di tempat tidur dan menyibak kedua paha Tia. Loren membungkuk ke depan, ujung-ujung jarinya menggerayangi leher Tia. Dia bisa merasakan nafas Tia mulai memburu. Jemari Loren terus menyusuri sekujur tubuh Tia, tanpa menyentuh payudara Tia. Lalu dengan cekatan Loren mencopot kancing bra Tia.
Payudara Tia tumpah keluar.
Loren menundukkan kepala, dan memasukkan satu puting Tia ke mulutnya. Tia mengerang keenakan. Loren pindah ke payudara satunya sambil mengelus-elus sekujur tubuh Tia. Puting Tia mulai mengeras. Loren lalu beralih ke bagian bawah tubuh Tia dan melepas celana dalam Tia.
Tia terus mendesah dan merintih, ingin lebih.
Setelah membuka celana dalam Tia, Loren memperhatikan vagina Tia yang sudah basah. Loren memasukkan satu jari, kemudian dua jari ke sana. Tia bereaksi dengan menggerakkan panggulnya menanggapi colokan jari Loren. Loren mencabut jemarinya dan mulai menciumi perut Tia, makin lama makin ke bawah. Dia mencapai kemaluan Tia dan mulai menjilati klitoris Tia. Tia mulai tegang. Lidah Loren menjalar menyapu bibir kewanitaan Tia, kemudian keluar-masuk rekahannya. Makin lama suara Tia makin kencang. Dua jari Loren kembali masuk ke kemaluan Tia yang becek. Tia tersentak dan menjerit kaget, diikuti tarikan nafas panjang yang gemetar. Bibirnya tersenyum lebar.
“Mau diteruskan?” tanya Loren.
“Iya..” jawab Tia.
Loren mencium Tia, menghisap lembut bibir bawah Tia.
“Baiklah, sayang,” kata Loren, sambil jari-jarinya beraksi di dalam vagina Tia.
Loren merasakan kedua paha Tia bergerak hendak merangkul tubuhnya, dan pinggul Tia bergerak menanggapi tusukan jarinya. Dengan lembut, ia terus merangsang klitoris dan vagina Tia. Nafas Tia makin memburu dan wajahnya memerah selagi dia mendekati orgasme. Akhirnya, Tia mencapai klimaks. Dia menahan nafas selagi sekujur tubuhnya bergetar, kemudian mengeluarkan lolongan panjang tanda kenikmatan.
“Oooo... Eufhhh!!”
Dr. Lorencia mulai tak tahan, memandangi tubuh indah Tia yang menggelinjang karena nikmat di depannya. Dia mulai bermasturbasi, menjolokkan jari ke dalam vaginanya sendiri, merangsang kewanitaannya sampai basah. Kemudian dia bergerak sampai akhirnya berposisi mengangkangi dada Tia. Dr. Loren membuka penutup mata dan ikatan di tangan Tia, membisikkan perintah, lalu bergeser lagi, menyodorkan klitorisnya ke mulut Tia. Tia langsung melakukan apa yang tadi diperintahkan. Dia majukan kepalanya, dan melahap kemaluan Loren di depannya, menyedot klitoris Loren.
“Mmm.. yes.. oh.. ayo terus mainin lidahnya..” ujar Loren saat dia mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur, mengentoti muka Tia.
Tia tidak peduli apa yang terjadi.. rasa, bau, dan gesekan vagina Loren saja yang penting baginya saat itu. Jari Tia pun ikut main di sana. Sugesti yang tadi Loren berikan membuatnya tidak canggung ketika bercinta dengan sesama wanita.
“Aku.. ah.. sebentar lagi.. oh.. ohh..”
Dan, segera setelah berkata seperti itu, tubuh si psikolog cantik mulai gemetar tak terkendali, makin cepat dan bergairah menggesek-gesekkan selangkangannya ke mulut Tia, seolah-olah mau memastikan rasa kewanitaannya akan menempel terus di mulut Tia sampai berjam-jam ke depan. Ketika akhirnya mencapai klimaks, Loren melolong dan mendesah, suaranya begitu bernafsu sampai-sampai Danang yang menonton merinding mendengarnya.
Tia pelan-pelan menjilati sisa-sisa orgasme Loren (yang masih mengangkangi mukanya, biarpun nyaris ambruk karena lemas) sampai bersih, membuat Loren terengah dan bergidik dengan tiap sapuan lidahnya. Loren akhirnya turun dari ranjang, lalu mencium bibir Tia dengan mesra. Dia tak menyangka percobaannya tadi dengan Tia berefek dahsyat kepada dirinya sendiri, dan dia puas dengan “mainan baru”-nya.
Sesudahnya, Dr. Loren menengok ke Danang dan Reja. “Nih, silakan. Aku udah puas, sekarang aku mau pulang ya.”
Danang dan Reja sudah tidak peduli lagi dengan Dr. Lorencia. Tia—anak bos mereka—sudah ada di depan mereka dalam keadaan telanjang, terhipnotis, dan terangsang. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini? Tangan Danang langsung menjamah vagina Tia. Dia usapkan jari tengah sepanjang rekahannya, lalu dia tekuk jari itu dan celupkan ke dalam.
“Wuihh,” Danang berbisik di telinga Tia, “Basah kuyup memeknya. Udah sange’ berat ya Tia?”
Tia tidak menjawab, tapi jari Danang makin mudah bergerak di dalam kemaluannya.
Di tempat lain, Danang memanfaatkan kesempatan mencicipi berbagai suguhan, termasuk minuman keras, di pesta itu. Sekarang efek alkohol dan membuat dia merasa gerah. Ditambah lagi, sedari tadi dia menyaksikan bahwa sebenarnya banyak juga “pemandangan indah” di pesta itu.
Ada perempuan-perempuan muda dan cantik di antara para tetamu. Di antaranya Gaby Almaraz yang dibawa Majed, dan Shenny asisten Simon. Dan tentunya Tia. Tadi Danang sempat mengobrol dengan Dr. Lorencia. Mereka berdua sudah kenal sebelumnya, karena Danang sering ikut ke mana pun Mang Enjup pergi. Termasuk ketika beberapa waktu lalu Mang Enjup meminta Dr. Loren menggarap kesadaran Tia. Danang tahu mengenai ilmu gendam Mang Enjup, bahkan dia pernah minta diajari, tapi ternyata dia tidak berbakat. Makanya dia iri kepada Dr. Loren yang bisa menyerap ilmu pamannya. Keduanya tadi mengobrol banyak, dan akhirnya mereka jadi saling tahu pengalaman masing-masing dengan Tia.
Danang masih penasaran dengan Tia. Kemarin dia kesal sekali waktu ikut datang ke rumah Tia tapi tidak terjadi apa-apa. Sekarang apalagi. Melihat Tia, ditambah efek alkohol, membuat Danang belingsatan menahan sange. Danang sebenarnya pengecut, dia tidak berani mengapa-apakan Tia kalau sendirian. Tapi begitu tadi bertemu Dr. Loren dan berbagi cerita, segera muncul rencana di kepalanya untuk bisa meniduri Tia malam itu. Dia tahu Dr. Loren juga berminat dengan Tia. Jadi, begitu melihat Tia ditinggal Mang Enjup, Danang langsung mendekati Dr. Loren lagi. Keduanya punya keinginan yang sama, jadi bisa bersepakat. Waktu Tia terlihat mendekati Dr. Loren, Danang menyingkir.
Tia dan Dr. Loren mengobrol lagi, agak berbisik-bisik. Dr. Loren menanyakan apakah Tia masih ada masalah dengan traumanya. Tia menjawab sudah tidak ada masalah. Obrolan mereka tidak berlangsung lama karena Dr. Loren bilang dia mau pulang, naik taksi. Tia menanyakan alamat rumah Dr. Loren, ternyata sama dengan tempat praktiknya. Karena arah pulang mereka sejalan, Tia menawari Dr. Loren pulang bareng. Dr. Loren menyanggupi. Tia melihat Danang tidak jauh dari sana lalu memanggil Danang, menanyakan apakah Reja sudah balik lagi dari mengantar Mang Enjup.
Danang menelepon sebentar lalu bilang Reja sudah ada di tempat parkir lagi. Sesudah berpamitan dengan Pak Walikota dan orang-orang lain, Tia menuju pintu keluar diikuti Dr. Loren dan Danang yang saling pandang sambil cengar-cengir. Tidak cuma Mang Enjup yang jago menjerat orang—mereka berdua juga bisa. Di depan pintu, Reja sudah menunggu dengan mobil Mang Enjup. Si sopir membukakan pintu belakang untuk Tia dan Dr. Loren, sedangkan Danang duduk di kursi depan. Mobil segera bergerak meninggalkan rumah dinas walikota.
Sambil jalan, Dr. Loren melanjutkan obrolan dengan Tia, sementara Danang dan Reja diam saja. Mobil menuju rumah Dr. Loren. Tapi Dr. Loren lantas bicara sambil tangannya menggenggam pergelangan tangan Tia.
“Tia, aku pengen mampir ke rumahmu, boleh nggak?” Sambil mengatakan itu Dr. Loren tiba-tiba menyentak halus tangan Tia—satu teknik untuk menjatuhkan sasaran ke dalam keadaan setengah terhipnotis.
“Iya.. Boleh..” kata Tia. “Kita ke rumahku dulu deh..”
Danang menengok ke belakang dan nyengir. Reja mengarahkan mobil ke jalan menuju rumah Tia.
*****
Singkat cerita, mereka semua tiba di rumah Tia dan turun. Tia masih dalam keadaan setengah terhipnotis dan sama sekali tidak curiga akan maksud Danang dan Dr. Loren.
Tadi di mobil, Dr. Loren sudah memberi sugesti, “Kamu mau turuti semua yang kami suruh, kan?”
Tia menyanggupi.
Dan sejak di mobil Dr. Loren sudah mulai menggerayangi Tia, mulai dari meremas-remas paha, meraba leher, sampai mengulum telinga Tia. Tia bereaksi dengan tertawa kegelian dan mendesah. Danang bolak-balik menengok untuk curi pandang, tapi Dr. Loren selalu memelototinya kalau dia ketahuan. Waktu mereka masuk rumah, Tia sudah terangsang berat gara-gara Dr. Loren. Keadaan itu, ditambah pengaruh hipnotis, membuat dia mau saja disuruh menunjukkan kamar tidurnya. Dr. Loren menggiring Tia ke kamar tidur, diikuti Danang dan Reja.
Dr. Loren menengok ke arah dua laki-laki itu dan berkata, “Aku duluan, dan jangan coba-coba ikutan. Sori, aku nggak suka cowok. Kalau ada yang berani ikutan, bakal kuhipnotis jadi banci. Silakan nonton tapi jangan ada yang macam-macam.”
Danang nyengir mendengar ancaman itu, tapi menganggapnya serius, karena sudah melihat bagaimana Dr. Loren bisa membuat Tia mengikuti semua kata-katanya. Tia duduk di pinggir tempat tidur, masih berkebaya lengkap. Loren menyuruhnya membuka baju. Dengan patuh, Tia membuka kebaya, rok panjang, dan kembennya, sampai hanya tersisa celana dalam G-string dan bra. Sementara itu Loren membuka-buka lemari pakaian Tia, mencari sesuatu.
“Tia,” kata Dr. Loren, “Merem.”
Tia menurut dan memejamkan mata.
Loren sudah mengambil beberapa syal dari dalam lemari, lalu mengikatkan satu syal sehingga menutupi kedua mata Tia. Loren lalu mendorong Tia sehingga Tia rebah di tempat tidur. Kemudian Loren mengikat kedua pergelangan tangan Tia dengan syal lain. Loren tersenyum dan menjilat bibir.
Loren kemudian membuka seluruh pakaiannya sampai telanjang, tanpa peduli Danang dan Reja berdiri menonton di belakangnya. Dia lalu berlutut di tempat tidur dan menyibak kedua paha Tia. Loren membungkuk ke depan, ujung-ujung jarinya menggerayangi leher Tia. Dia bisa merasakan nafas Tia mulai memburu. Jemari Loren terus menyusuri sekujur tubuh Tia, tanpa menyentuh payudara Tia. Lalu dengan cekatan Loren mencopot kancing bra Tia.
Payudara Tia tumpah keluar.
Loren menundukkan kepala, dan memasukkan satu puting Tia ke mulutnya. Tia mengerang keenakan. Loren pindah ke payudara satunya sambil mengelus-elus sekujur tubuh Tia. Puting Tia mulai mengeras. Loren lalu beralih ke bagian bawah tubuh Tia dan melepas celana dalam Tia.
Tia terus mendesah dan merintih, ingin lebih.
Setelah membuka celana dalam Tia, Loren memperhatikan vagina Tia yang sudah basah. Loren memasukkan satu jari, kemudian dua jari ke sana. Tia bereaksi dengan menggerakkan panggulnya menanggapi colokan jari Loren. Loren mencabut jemarinya dan mulai menciumi perut Tia, makin lama makin ke bawah. Dia mencapai kemaluan Tia dan mulai menjilati klitoris Tia. Tia mulai tegang. Lidah Loren menjalar menyapu bibir kewanitaan Tia, kemudian keluar-masuk rekahannya. Makin lama suara Tia makin kencang. Dua jari Loren kembali masuk ke kemaluan Tia yang becek. Tia tersentak dan menjerit kaget, diikuti tarikan nafas panjang yang gemetar. Bibirnya tersenyum lebar.
“Mau diteruskan?” tanya Loren.
“Iya..” jawab Tia.
Loren mencium Tia, menghisap lembut bibir bawah Tia.
“Baiklah, sayang,” kata Loren, sambil jari-jarinya beraksi di dalam vagina Tia.
Loren merasakan kedua paha Tia bergerak hendak merangkul tubuhnya, dan pinggul Tia bergerak menanggapi tusukan jarinya. Dengan lembut, ia terus merangsang klitoris dan vagina Tia. Nafas Tia makin memburu dan wajahnya memerah selagi dia mendekati orgasme. Akhirnya, Tia mencapai klimaks. Dia menahan nafas selagi sekujur tubuhnya bergetar, kemudian mengeluarkan lolongan panjang tanda kenikmatan.
“Oooo... Eufhhh!!”
Dr. Lorencia mulai tak tahan, memandangi tubuh indah Tia yang menggelinjang karena nikmat di depannya. Dia mulai bermasturbasi, menjolokkan jari ke dalam vaginanya sendiri, merangsang kewanitaannya sampai basah. Kemudian dia bergerak sampai akhirnya berposisi mengangkangi dada Tia. Dr. Loren membuka penutup mata dan ikatan di tangan Tia, membisikkan perintah, lalu bergeser lagi, menyodorkan klitorisnya ke mulut Tia. Tia langsung melakukan apa yang tadi diperintahkan. Dia majukan kepalanya, dan melahap kemaluan Loren di depannya, menyedot klitoris Loren.
“Mmm.. yes.. oh.. ayo terus mainin lidahnya..” ujar Loren saat dia mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur, mengentoti muka Tia.
Tia tidak peduli apa yang terjadi.. rasa, bau, dan gesekan vagina Loren saja yang penting baginya saat itu. Jari Tia pun ikut main di sana. Sugesti yang tadi Loren berikan membuatnya tidak canggung ketika bercinta dengan sesama wanita.
“Aku.. ah.. sebentar lagi.. oh.. ohh..”
Dan, segera setelah berkata seperti itu, tubuh si psikolog cantik mulai gemetar tak terkendali, makin cepat dan bergairah menggesek-gesekkan selangkangannya ke mulut Tia, seolah-olah mau memastikan rasa kewanitaannya akan menempel terus di mulut Tia sampai berjam-jam ke depan. Ketika akhirnya mencapai klimaks, Loren melolong dan mendesah, suaranya begitu bernafsu sampai-sampai Danang yang menonton merinding mendengarnya.
Tia pelan-pelan menjilati sisa-sisa orgasme Loren (yang masih mengangkangi mukanya, biarpun nyaris ambruk karena lemas) sampai bersih, membuat Loren terengah dan bergidik dengan tiap sapuan lidahnya. Loren akhirnya turun dari ranjang, lalu mencium bibir Tia dengan mesra. Dia tak menyangka percobaannya tadi dengan Tia berefek dahsyat kepada dirinya sendiri, dan dia puas dengan “mainan baru”-nya.
Sesudahnya, Dr. Loren menengok ke Danang dan Reja. “Nih, silakan. Aku udah puas, sekarang aku mau pulang ya.”
Danang dan Reja sudah tidak peduli lagi dengan Dr. Lorencia. Tia—anak bos mereka—sudah ada di depan mereka dalam keadaan telanjang, terhipnotis, dan terangsang. Kapan lagi dapat kesempatan seperti ini? Tangan Danang langsung menjamah vagina Tia. Dia usapkan jari tengah sepanjang rekahannya, lalu dia tekuk jari itu dan celupkan ke dalam.
“Wuihh,” Danang berbisik di telinga Tia, “Basah kuyup memeknya. Udah sange’ berat ya Tia?”
Tia tidak menjawab, tapi jari Danang makin mudah bergerak di dalam kemaluannya.
Danang menjilati kuping Tia dan membuat istri rekan kerjanya itu makin tegang. Bibir luar vagina Tia terentang ke luar tiap kali Danang menarik keluar jarinya, seolah-olah enggan melepaskan. Nafas Tia makin memburu, bibirnya mengeluarkan suara-suara merintih kecil. Danang terus menjolok-jolokkan jarinya di vagina Tia, sementara tangan satunya membuka celananya sendiri. Dengan tak sabar Danang memelorotkan celana dan celana dalamnya. Penisnya lepas dari kungkungan, berdiri mencuat di tengah rambut kemaluannya yang lebat.
“Kamu lihat kan ini, Tia? Doyan kontol kan sekarang? Sebentar lagi ini bakal masuk ke memek kamu, Tia. Punya Reja juga. Mulai sekarang kamu lonte kami, Tia. Memek kamu buat dimasukin titit semua orang. Nggak cuma Bram,” kata Danang, seolah meniru cara Dr. Loren mensugesti Tia.
“Nih, buktinya memek kamu becek. Lihat nih jari gue.” Danang mencabut jari-jarinya dari vagina Tia, mengendusnya, lalu mengoleskan cairan kewanitaan dari kemaluan Tia yang menempel di sana ke pipi kanan dan kiri Tia.
Danang mengambil bantal dan menaruhnya di bawah pantat Tia. Danang lalu menggenggam penisnya dengan satu tangan dan menusukkannya ke lubang Tia yang menghadap ke depan-atas. Tia tidak melawan sama sekali. Kedua pahanya tetap mengangkang menyambut Danang. Kepala penis Danang menghilang dari pandangan, memasuki liang kenikmatan Tia. Tia merintih lembut dan menggerakkan pinggulnya, sehingga setengah batang Danang masuk ke saluran cintanya. Danang membungkuk dengan bertumpu ke kedua tangan di kiri-kanan tubuh Tia, perlahan-lahan memasukkan seluruh kejantanannya ke vagina Tia.
“Wuehh.. Masih tetep enak memek luh Ti.. sempit!” komentar Danang.
Danang mulai bergerak keluar masuk beberapa kali. Penisnya basah terlumasi cairan kewanitaan Tia. Tia membalas tiap gerakan Danang. Dia menggerakkan pinggulnya, menyodorkan kehormatannya, membuka pahanya lebar-lebar agar Danang bisa mendorong sedalam mungkin.
“Sialan.. rasanya enak banget,” Danang terus mencerocos. “Baru kali ini gue ngerasain memek lonte sempit kayak gini! Gratisan lagi!” Dia bergerak cepat untuk sejenak.
“Lu suka kan Ti?” Danang bertanya dengan nada memaksa. “Ayo bilang!”
“Iyahh.. aku suka dientoth..” kata Tia yang tubuhnya terguncang-guncang menerima genjotan.
“Enak gak kontolnya?”
“Enaa..kh.. entot terus..”
Tia mengangkat kakinya memeluk tubuh Danang, lalu menggunakan kakinya untuk membantu mendorong tubuh Danang. Danang menengok ke Reja.
“Mau ikutan nggak, Ja?” tanya Danang.
Reja mengangguk. Sementara Reja membuka sepatu, baju, dan celana, Danang keluar dari vagina Tia dan mengubah posisi tubuh Tia. Tia ditarik dan ditelungkupkan sehingga bagian atas tubuhnya berbaring di atas tempat tidur, sementara pantatnya menungging ke arah Danang dan Reja. Kemaluannya terlihat dari belakang, merah dan basah. Danang kembali mencolokkan satu jari ke sana.
“Lu mau dientot lagi, Ti?” tanya Danang. “Sama Reja?”
“I.. iya..” Tia berkata sambil terengah. Jari Danang menggosok daerah sekitar klitorisnya.
“Minta dia ngentot kamu,” suruh Danang.
“A-aaahhh..” Tia merajuk manja.
“Ayo, kalau nggak minta, kami cabut nih,” dorong Danang.
“..entot aku.. Ja..”
“Yang keras! Yang jelas!”
“Entot aku.. Reja, Danang.. entotin aku.. yah?” pinta Tia.
“Bagus.. Gitu emang harusnya lonte,” kata Danang melecehkan. “Sok atuh Ja, silakan dientot, dia udah minta.”
Danang mencabut jarinya dari vagina Tia dan ganti menggerayangi pantat Tia.
Reja mendekat, menggenggam penisnya yang sudah tegak.
Danang berkomentar, “Sialan Ja, bikin iri aja barang lu.”
Tanpa banyak bicara si sopir itu menusuk kemaluan Tia. Tia masih basah dan siap disetubuhi lagi. Reja mulai mendorongkan kejantanannya ke dalam Tia dari belakang, dorongan tubuhnya cukup kencang sehingga membuat pantat dan payudara Tia berguncang. Danang sudah pindahkan tangannya ke muka Tia, dan Tia mengulum jari Danang yang beberapa saat lalu ada dalam vaginanya. Danang duduk di tempat tidur dan memindahkan tubuh atas Tia ke pangkuannya, tepat di depan penisnya yang masih tegak karena belum ejakulasi. Reja tetap di dalam Tia selagi tubuh Tia berubah posisi, menggenggam pinggul Tia.
“Ayo, Tia, isep kontol gue. Emut tuh kontol gue..”
Sementara Reja mengentot Tia dari belakang, Tia mengulurkan tangan dan menggenggam pangkal kemaluan Danang. Tia menjulurkan kepalanya ke depan dan memasukkan penis Danang ke mulutnya. Tia mulai menggerakkan kepalanya naik-turun batang Danang. Danang berbaring dan membiarkan Tia menggarap kemaluannya. Tia tampak menikmati sekali: dia menyedot kepalanya, sampai pipinya mengempot. Gerakannya kadang cepat, kadang pelan menggoda.
“Ahh.. Udah jago ya lu nyepong,” kata Danang. “Terus. Pake lidahnya lagi. Anjrit.. Bisa cepet keluar nih gua. Jangan berhenti. Gue mau keluar di dalem mulut lu.”
Danang menggertakkan giginya dan memejamkan mata.
“Nah.. oohhh.. udah mau..” Danang mencerocos, “Udah mau Keluarrr!..”
Tubuhnya mulai menyentak. Dia mendorong pinggulnya, memasukkan penisnya sejauh mungkin di dalam mulut Tia.
Tia mengeluarkan suara aneh, bunyi seperti meneguk minuman, dan kepalanya mundur, sehingga cipratan mani Danang mendarat di mukanya. Danang cepat-cepat mencengkeram belakang kepala Tia dan menariknya kembali ke batangnya. Tia tidak melawan dan mengulum kembali batang yang sedang menyemburkan isinya itu. Terdengar suara menelan, tapi sebagian semburan Danang tumpah keluar dan berleleran di bibirnya. Tia mengisap kepala penis Danang dan mengocok batangnya, mengosongkan isinya ke dalam mulut.
Tia merasakan Reja makin terangsang melihatnya mengisap ejakulasi Danang, lalu kembali memperhatikan tongkat tumpul keras yang begitu nikmat membelah kemaluannya. Dia mendesak balik dorongan Reja, menginginkan lebih.
“Lu isep crot nya si Reja juga, ya,” perintah Danang. Dia menarik Tia ke depan, sehingga terlepas dari penis Reja, lalu mendorong kepala Tia ke arah reja. “Sono isep!”
Reja ikut duduk di tempat tidur.
Tia merayap ke pangkuan Reja, payudaranya menekan paha Reja. Wajahnya masih belepotan cairan putih Danang. Tia memegang penis Reja dengan dua tangan—lebih panjang daripada penis Danang yang panjangnya hanya segenggaman Tia lebih sedikit—dan mengocok batang yang basah karena cairan vagina itu. Tia mengecup ujungnya, lalu mendorong mulutnya menyelubungi kepala penis itu. Dia melepas genggamannya dan terus memasukkan batang panjang itu sampai sedalam-dalamnya, sampai ujungnya menyentuh pangkal tenggorokan. Jari-jari Tia merangsang pangkal tebal batang Reja yang tak masuk ke mulutnya. Bibir Tia ketat menjepit penis Reja yang bergerak keluar-masuk mulut.
Di dalam mulut, lidah Tia lincah mengelus-elus dan bermain-main di bagian bawah batang Reja. Tia masih dalam keadaan akan mematuhi apapun yang diperintahkan kepadanya, jadi ketika Danang menyuruhnya menyepong Reja, dia pun berusaha sebaik mungkin. Dia hanya mengulum kepala burung Reja, mengisapnya, sambil tangannya mengocoki batang Reja. Kedua tangannya bermain, tidak hanya di batang tapi juga di kantong biji, memeras, menggelitik. Tia sudah siap dengan apa yang akan terjadi. Sperma Reja meletup keluar dari penisnya ke dalam mulut Tia. Tia menelan dan terus mengocok. Reja menembak beberapa kali lagi dalam mulut Tia, dan semuanya disedot habis oleh Tia.
Setelah Tia melepas penis Reja yang melemas, Danang menyuruhnya telentang dan merentangkan kedua lututnya. Danang kemudian mulai melahap vagina Tia, menjolokkan lidah ke dalam. Tia mengerang dan mencengkeram rambut Danang yang dicat merah, menekan kepala Danang ke selangkangannya. Danang menjilat sepanjang bagian luar vagina Tia, menelusuri bibir-bibir yang basah dengan liur campur cairan cinta. Dia menowel-nowel klitoris Tia dengan ujung lidahnya. Mulutnya menutup seluruh vagina Tia, tapi dari cara Tia menggeleng-gelengkan kepala, jelas di dalam sana lidahnya bermain-main menggoda. Tia merintih nikmat tanpa henti, tubuhnya gemetar akibat lidah nakal Danang. Lalu Danang berhenti.
“Ohh.. jangan..” keluh Tia, “terusin..”
“Terusin apa?” Danang bertanya, pura-pura bego.
“Tia udah.. dikit lagi..” pinta Tia. “Terusin.. jilatin memek Tia..”
“Apa? Nggak kedengeran,” goda Danang.
“..Jilatin.. memek Tia!” Tia berkata lebih keras.
“Nggak ah,” tolak Danang. Tia mengeluh, “Aa~aahh..”
“Gue gak mau jilat lu, tapi gue mau ngentot lu. Tapi lu mesti minta!” perintah Danang. “Ayo minta!”
“ento.. ia..”
“Apa?”
“Entotin Tia..”
“Apa? Gak kedengeran!”
“ENTOTIN MEMEK TIA DONG.. PLIS.. TIA PENGEN BANGET NIH..!” Akhirnya Tia sampai berteriak, merendahkan dirinya sendiri demi kepuasan.
“Boleh aja,” kata Danang. “Tapi ada syaratnya! Lu mesti biarin gue dan Reja ngentot lu di bagian apa aja. Ngerti??”
“IYA!!.. DUH.. CEPETAN!!” Suara Tia makin putus asa.
“Oke,” kata Danang sambil menengok ke Reja. “Ayo barengan, Ja.”
“Sini, Tia,” panggil Danang. Dia telentang di tempat tidur. “Naik ke atas gue, terus lu masukin titit gue ke memek lu.”
Tia bergerak menunggangi Danang. Danang menarik wajah Tia dan menciumnya, lidah mereka berdua saling jilat. Danang mengulurkan tangan dan meraih kontolnya, lalu memasukkannya ke celah di selangkangan Tia. Kepala burungnya masuk di antara bibir vagina, dan pelan-pelan sisanya menyusul. Danang menyodok sedikit-sedikit, sementara Tia mulai menggoyang pinggul, memutar penis Danang, sambil membiarkannya terus masuk. Akhirnya, batang Danang masuk semua. Lalu Tia mulai menggerakkan pinggulnya, bergerak naik turun dan memutar batang keras di dalam kemaluannya, menari di pangkuan Danang.
“Sekarang lu tusuk bokongnya, Ja,” kata Danang.
Pantat Tia tepat di depan Reja, dan tangan-tangan Danang mencengkeram sambil melebarkan kedua belahannya, memperlihatkan lubang kecil di tengah.
“Lu suka kan,” Danang berbisik kepada Tia. “Awalnya sakit, tapi lama-lama enak.”
“Agghh,” Tia mengeluh halus ketika jari Reja mencolok lubang pantatnya.
“Kamu lihat kan ini, Tia? Doyan kontol kan sekarang? Sebentar lagi ini bakal masuk ke memek kamu, Tia. Punya Reja juga. Mulai sekarang kamu lonte kami, Tia. Memek kamu buat dimasukin titit semua orang. Nggak cuma Bram,” kata Danang, seolah meniru cara Dr. Loren mensugesti Tia.
“Nih, buktinya memek kamu becek. Lihat nih jari gue.” Danang mencabut jari-jarinya dari vagina Tia, mengendusnya, lalu mengoleskan cairan kewanitaan dari kemaluan Tia yang menempel di sana ke pipi kanan dan kiri Tia.
Danang mengambil bantal dan menaruhnya di bawah pantat Tia. Danang lalu menggenggam penisnya dengan satu tangan dan menusukkannya ke lubang Tia yang menghadap ke depan-atas. Tia tidak melawan sama sekali. Kedua pahanya tetap mengangkang menyambut Danang. Kepala penis Danang menghilang dari pandangan, memasuki liang kenikmatan Tia. Tia merintih lembut dan menggerakkan pinggulnya, sehingga setengah batang Danang masuk ke saluran cintanya. Danang membungkuk dengan bertumpu ke kedua tangan di kiri-kanan tubuh Tia, perlahan-lahan memasukkan seluruh kejantanannya ke vagina Tia.
“Wuehh.. Masih tetep enak memek luh Ti.. sempit!” komentar Danang.
Danang mulai bergerak keluar masuk beberapa kali. Penisnya basah terlumasi cairan kewanitaan Tia. Tia membalas tiap gerakan Danang. Dia menggerakkan pinggulnya, menyodorkan kehormatannya, membuka pahanya lebar-lebar agar Danang bisa mendorong sedalam mungkin.
“Sialan.. rasanya enak banget,” Danang terus mencerocos. “Baru kali ini gue ngerasain memek lonte sempit kayak gini! Gratisan lagi!” Dia bergerak cepat untuk sejenak.
“Lu suka kan Ti?” Danang bertanya dengan nada memaksa. “Ayo bilang!”
“Iyahh.. aku suka dientoth..” kata Tia yang tubuhnya terguncang-guncang menerima genjotan.
“Enak gak kontolnya?”
“Enaa..kh.. entot terus..”
Tia mengangkat kakinya memeluk tubuh Danang, lalu menggunakan kakinya untuk membantu mendorong tubuh Danang. Danang menengok ke Reja.
“Mau ikutan nggak, Ja?” tanya Danang.
Reja mengangguk. Sementara Reja membuka sepatu, baju, dan celana, Danang keluar dari vagina Tia dan mengubah posisi tubuh Tia. Tia ditarik dan ditelungkupkan sehingga bagian atas tubuhnya berbaring di atas tempat tidur, sementara pantatnya menungging ke arah Danang dan Reja. Kemaluannya terlihat dari belakang, merah dan basah. Danang kembali mencolokkan satu jari ke sana.
“Lu mau dientot lagi, Ti?” tanya Danang. “Sama Reja?”
“I.. iya..” Tia berkata sambil terengah. Jari Danang menggosok daerah sekitar klitorisnya.
“Minta dia ngentot kamu,” suruh Danang.
“A-aaahhh..” Tia merajuk manja.
“Ayo, kalau nggak minta, kami cabut nih,” dorong Danang.
“..entot aku.. Ja..”
“Yang keras! Yang jelas!”
“Entot aku.. Reja, Danang.. entotin aku.. yah?” pinta Tia.
“Bagus.. Gitu emang harusnya lonte,” kata Danang melecehkan. “Sok atuh Ja, silakan dientot, dia udah minta.”
Danang mencabut jarinya dari vagina Tia dan ganti menggerayangi pantat Tia.
Reja mendekat, menggenggam penisnya yang sudah tegak.
Danang berkomentar, “Sialan Ja, bikin iri aja barang lu.”
Tanpa banyak bicara si sopir itu menusuk kemaluan Tia. Tia masih basah dan siap disetubuhi lagi. Reja mulai mendorongkan kejantanannya ke dalam Tia dari belakang, dorongan tubuhnya cukup kencang sehingga membuat pantat dan payudara Tia berguncang. Danang sudah pindahkan tangannya ke muka Tia, dan Tia mengulum jari Danang yang beberapa saat lalu ada dalam vaginanya. Danang duduk di tempat tidur dan memindahkan tubuh atas Tia ke pangkuannya, tepat di depan penisnya yang masih tegak karena belum ejakulasi. Reja tetap di dalam Tia selagi tubuh Tia berubah posisi, menggenggam pinggul Tia.
“Ayo, Tia, isep kontol gue. Emut tuh kontol gue..”
Sementara Reja mengentot Tia dari belakang, Tia mengulurkan tangan dan menggenggam pangkal kemaluan Danang. Tia menjulurkan kepalanya ke depan dan memasukkan penis Danang ke mulutnya. Tia mulai menggerakkan kepalanya naik-turun batang Danang. Danang berbaring dan membiarkan Tia menggarap kemaluannya. Tia tampak menikmati sekali: dia menyedot kepalanya, sampai pipinya mengempot. Gerakannya kadang cepat, kadang pelan menggoda.
“Ahh.. Udah jago ya lu nyepong,” kata Danang. “Terus. Pake lidahnya lagi. Anjrit.. Bisa cepet keluar nih gua. Jangan berhenti. Gue mau keluar di dalem mulut lu.”
Danang menggertakkan giginya dan memejamkan mata.
“Nah.. oohhh.. udah mau..” Danang mencerocos, “Udah mau Keluarrr!..”
Tubuhnya mulai menyentak. Dia mendorong pinggulnya, memasukkan penisnya sejauh mungkin di dalam mulut Tia.
Tia mengeluarkan suara aneh, bunyi seperti meneguk minuman, dan kepalanya mundur, sehingga cipratan mani Danang mendarat di mukanya. Danang cepat-cepat mencengkeram belakang kepala Tia dan menariknya kembali ke batangnya. Tia tidak melawan dan mengulum kembali batang yang sedang menyemburkan isinya itu. Terdengar suara menelan, tapi sebagian semburan Danang tumpah keluar dan berleleran di bibirnya. Tia mengisap kepala penis Danang dan mengocok batangnya, mengosongkan isinya ke dalam mulut.
Tia merasakan Reja makin terangsang melihatnya mengisap ejakulasi Danang, lalu kembali memperhatikan tongkat tumpul keras yang begitu nikmat membelah kemaluannya. Dia mendesak balik dorongan Reja, menginginkan lebih.
“Lu isep crot nya si Reja juga, ya,” perintah Danang. Dia menarik Tia ke depan, sehingga terlepas dari penis Reja, lalu mendorong kepala Tia ke arah reja. “Sono isep!”
Reja ikut duduk di tempat tidur.
Tia merayap ke pangkuan Reja, payudaranya menekan paha Reja. Wajahnya masih belepotan cairan putih Danang. Tia memegang penis Reja dengan dua tangan—lebih panjang daripada penis Danang yang panjangnya hanya segenggaman Tia lebih sedikit—dan mengocok batang yang basah karena cairan vagina itu. Tia mengecup ujungnya, lalu mendorong mulutnya menyelubungi kepala penis itu. Dia melepas genggamannya dan terus memasukkan batang panjang itu sampai sedalam-dalamnya, sampai ujungnya menyentuh pangkal tenggorokan. Jari-jari Tia merangsang pangkal tebal batang Reja yang tak masuk ke mulutnya. Bibir Tia ketat menjepit penis Reja yang bergerak keluar-masuk mulut.
Di dalam mulut, lidah Tia lincah mengelus-elus dan bermain-main di bagian bawah batang Reja. Tia masih dalam keadaan akan mematuhi apapun yang diperintahkan kepadanya, jadi ketika Danang menyuruhnya menyepong Reja, dia pun berusaha sebaik mungkin. Dia hanya mengulum kepala burung Reja, mengisapnya, sambil tangannya mengocoki batang Reja. Kedua tangannya bermain, tidak hanya di batang tapi juga di kantong biji, memeras, menggelitik. Tia sudah siap dengan apa yang akan terjadi. Sperma Reja meletup keluar dari penisnya ke dalam mulut Tia. Tia menelan dan terus mengocok. Reja menembak beberapa kali lagi dalam mulut Tia, dan semuanya disedot habis oleh Tia.
Setelah Tia melepas penis Reja yang melemas, Danang menyuruhnya telentang dan merentangkan kedua lututnya. Danang kemudian mulai melahap vagina Tia, menjolokkan lidah ke dalam. Tia mengerang dan mencengkeram rambut Danang yang dicat merah, menekan kepala Danang ke selangkangannya. Danang menjilat sepanjang bagian luar vagina Tia, menelusuri bibir-bibir yang basah dengan liur campur cairan cinta. Dia menowel-nowel klitoris Tia dengan ujung lidahnya. Mulutnya menutup seluruh vagina Tia, tapi dari cara Tia menggeleng-gelengkan kepala, jelas di dalam sana lidahnya bermain-main menggoda. Tia merintih nikmat tanpa henti, tubuhnya gemetar akibat lidah nakal Danang. Lalu Danang berhenti.
“Ohh.. jangan..” keluh Tia, “terusin..”
“Terusin apa?” Danang bertanya, pura-pura bego.
“Tia udah.. dikit lagi..” pinta Tia. “Terusin.. jilatin memek Tia..”
“Apa? Nggak kedengeran,” goda Danang.
“..Jilatin.. memek Tia!” Tia berkata lebih keras.
“Nggak ah,” tolak Danang. Tia mengeluh, “Aa~aahh..”
“Gue gak mau jilat lu, tapi gue mau ngentot lu. Tapi lu mesti minta!” perintah Danang. “Ayo minta!”
“ento.. ia..”
“Apa?”
“Entotin Tia..”
“Apa? Gak kedengeran!”
“ENTOTIN MEMEK TIA DONG.. PLIS.. TIA PENGEN BANGET NIH..!” Akhirnya Tia sampai berteriak, merendahkan dirinya sendiri demi kepuasan.
“Boleh aja,” kata Danang. “Tapi ada syaratnya! Lu mesti biarin gue dan Reja ngentot lu di bagian apa aja. Ngerti??”
“IYA!!.. DUH.. CEPETAN!!” Suara Tia makin putus asa.
“Oke,” kata Danang sambil menengok ke Reja. “Ayo barengan, Ja.”
“Sini, Tia,” panggil Danang. Dia telentang di tempat tidur. “Naik ke atas gue, terus lu masukin titit gue ke memek lu.”
Tia bergerak menunggangi Danang. Danang menarik wajah Tia dan menciumnya, lidah mereka berdua saling jilat. Danang mengulurkan tangan dan meraih kontolnya, lalu memasukkannya ke celah di selangkangan Tia. Kepala burungnya masuk di antara bibir vagina, dan pelan-pelan sisanya menyusul. Danang menyodok sedikit-sedikit, sementara Tia mulai menggoyang pinggul, memutar penis Danang, sambil membiarkannya terus masuk. Akhirnya, batang Danang masuk semua. Lalu Tia mulai menggerakkan pinggulnya, bergerak naik turun dan memutar batang keras di dalam kemaluannya, menari di pangkuan Danang.
“Sekarang lu tusuk bokongnya, Ja,” kata Danang.
Pantat Tia tepat di depan Reja, dan tangan-tangan Danang mencengkeram sambil melebarkan kedua belahannya, memperlihatkan lubang kecil di tengah.
“Lu suka kan,” Danang berbisik kepada Tia. “Awalnya sakit, tapi lama-lama enak.”
“Agghh,” Tia mengeluh halus ketika jari Reja mencolok lubang pantatnya.
Danang menyuruh Tia tidak melawan, dan meskipun masih sempit, jari Reja bisa masuk sedikit demi sedikit sampai seluruhnya masuk di sana. Reja kemudian memutar-mutar jarinya. Setelah menyiapkan lubang itu, Reja mencabut lagi jarinya dari dalam sana. Tia tidak bergerak selagi Danang terus menggenjot dari bawah dan merentangkan kedua bongkahan pantatnya yang bahenol. Reja maju dan meletakkan kepala burungnya di lubang belakang Tia, lalu mendorongnya.
“Ahh..hh!!” pekik Tia. “Gede.. banget!!” Tia mencoba menghindar, tapi tidak bisa, bagian depannya sudah terpantek penis Danang, dan dari belakang kontol Reja menusuk tajam.
*****
Di jalan..
Dr. Lorencia tersenyum-senyum sendiri dalam taksi yang sedang membawanya pulang ke rumah. Dia sudah sukses membuat Tia menjadi perempuan binal hamba nafsu malam itu, dan memang itulah yang diinginkan Mang Enjup. Tadi dia mendapat penjelasan lagi mengenai rencana Mang Enjup, secara tidak langsung, ketika dia mengawasi gerak-gerik laki-laki tua itu bersama Tia di pesta. Dasar bajingan cabul, pikir Dr. Loren.
Anak bos sendiri akan dikorbankan. Tapi Dr. Loren tidak ambil pusing. Dia menyentuh kemaluannya sendiri di balik pakaian, mengingat bagaimana tadi Tia memberikan kenikmatan kepadanya. Andai saja dia lebih dulu kenal perempuan muda yang polos itu, dia pasti tidak akan segan merebut Tia dari suaminya dan menjadikannya budak seksnya sendiri. Satu hal lagi yang dipikirkan Loren. Pengaruh hipnotisnya punya batas waktu. Dan sekarang waktunya hampir habis. Kalau Danang dan Reja sudah selesai sih tidak masalah, tapi apa jadinya kalau Tia sadar ketika sedang dicabuli dia laki-laki itu? Dr. Lorencia tersenyum nakal. Entah Tia akan memprotes dan melawan, atau terus berperan sebagai pelacur murahan. Tiba-tiba dia ingin balik lagi melihat apa yang terjadi. Tapi taksi sudah keburu mencapai rumahnya.
*****
Reja mendorong maju lagi, terus makin dalam ke lubang pantat Tia. Reja merasa saluran itu mulai menyerah terhadap desakan kepala burungnya.
“Auhh.. Sakit!” Tia memekik. “Jangan.. dimasukin.. lagih! Ngga kuatt..! Sakii..tt!”
Sentakan rasa sakit itu juga membuat Tia sadar dari keadaan terhipnotis. Danang melihat perubahan di sinar mata Tia, yang tadinya sayu dan kosong kini terlihat seperti mendapat api-nya lagi. Tia tersadar. Dan dia mendapati dirinya telanjang, terjepit di antara dua laki-laki dalam persetubuhan. Bukan dengan suaminya. Rasa nikmat campur sakit dari depan dan belakang. Refleksnya membuat dia meronta, tapi Danang dan Reja memeganginya kuat-kuat. Dia menjerit, tapi jeritan paniknya tercampur dengan jeritan nikmat ketika Danang mengemut putingnya dan Reja menciumi bahunya.
Pikiran Tia kacau karena tidak menyangka tiba-tiba berada dalam keadaan seperti itu. Dan di dalam kepalanya, seperti terus bergema suara yang menyuruh dia menyerah saja dan menikmati keadaan. Menyuruh dia mengerti bahwa dia sebenarnya wanita jalang yang haus kenikmatan. Jeritan dan gerakan Tia yang baru sadar disalahartikan oleh Danang dan Reja, mereka kira perempuan muda itu makin terangsang. Akibatnya makin hebat saja gempuran mereka terhadap Tia.
Reja sudah memasukkan setengah penisnya. Lingkaran otot dubur Tia mencengkeram erat di sekitar batang penis Reja yang mendesaknya. Reja memundurkan pinggul, menarik batangnya sampai batas kepala, dan mendorong maju lagi, lebih dalam daripada sebelumnya. Kali ini batangnya masuk dengan lebih mudah, biarpun saluran belakang Tia sangat sempit dan lebih melawan daripada vaginanya.
“Ah.. gede banget..” keluh Tia. Dia belum sepenuhnya menguasai diri, kepalanya masih terlanda birahi membara.
Reja mundur lagi sedikit lalu mendorong sisanya ke dalam dubur Tia. Tia meringis, kepalanya ambruk ke dada Danang.
“Yahh..!” Tia meringis. “Sakit.. ahh...! Jangan.. didorong.. lagi!”
Reja diam beberapa saat, menikmati jepitan tabung pengeluaran Tia terhadap batang yang sudah dia susupkan seluruhnya ke dalam. Kemudian dia menggenjot pelan-pelan. Tubuh Tia mulai merasa lebih nyaman, tapi perasaannya tetap ingin berontak. Danang juga mulai bergerak lagi, seirama dengan Reja, masuk, keluar, masuk, keluar kedua lubang Tia. Tia hanya bisa menggelinjang dan mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas.
“Gimana Tia. Enak kan sekarang?” tanya Danang.
“Iyahh.. mendingan.. ayoh.. lagi,” Tia menjawab sekaligus meminta.
Danang dan Reja menggenjot dengan penuh semangat. Tia membalasnya dengan mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
“Yahh.. ah.. iya.. ah.. oh.. enak banget.. Oh.. OH!.. Sodok terus.. Terus!”
Tia terjepit di antara dua laki-laki, menggelepar, menerima sodokan keras dan kencang dari dua arah. Dia makin bergairah dengan tiap gerakan. Dan dia sadar sepenuhnya apa yang dia alami. Dia sedang bersetubuh dengan dua laki-laki yang bukan suaminya. Tapi dia tak peduli. Yang menguasai kepalanya adalah keinginan untuk mencapai orgasme, untuk mencapai kenikmatan badan. Dan biarpun Bram baru pergi satu hari, tubuhnya sudah tak kuat menahan. Maka dia tidak pedulikan kalau yang menyetubuhinya bukan orang yang berhak. Sejak di pesta pun Tia sudah resah, karena dia menyadari bagaimana sebagian tamu memandangi dirinya penuh nafsu. Dia tahu di kepala mereka yang ada justru keinginan untuk menindihnya, merobek paksa bajunya, menggagahinya. Ditambah lagi, Mang Enjup berkali-kali mencolek tubuhnya, terutama di bagian pantat. Dan dia malah merasa senang dilecehkan seperti itu.
Tia membungkuk, merapatkan tubuh memeluk Danang. Reja mendorong dari belakang, penisnya masuk semua ke lubang pantat. Disertai teriakan, Tia mengalami klimaks. Tubuhnya tersentak-sentak di tengah kedua laki-laki yang menghimpitnya.
“Ohhh..” Tia meringis dengan wajah menempel ke dada Danang. “Auhh.. enak banget.. unghh..”
Tia terbenam dalam kenikmatan, mulutnya mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, dan saluran-salurannya menjepit kedua kejantanan di dalam tubuh. Reja juga merasa akan klimaks sebentar lagi, dia menghantam makin kencang keluar-masuk, mendorong sedalam-dalamnya kemudian menariknya keluar lagi. Sementara itu, ekspresi Danang berubah seperti menahan sakit dan tanpa banyak cingcong dia berejakulasi di dalam vagina Tia. Disusul Reja yang menghunjamkan penisnya dalam-dalam dan melepas pejunya ke dalam pantat Tia.
*****
Sesudahnya, Danang dan Reja pulang begitu saja, meninggalkan Tia yang menggeletak ternoda di atas tempat tidurnya sendiri. Danang dan Reja menyangka mereka meninggalkan Tia dalam kondisi masih terhipnotis, padahal sebenarnya tidak. Tia meringkuk di tempat tidurnya.. tersenyum merasakan cairan kelelakian Danang dan Reja di dalam rongga-rongga tubuhnya, mengingat orgasme dahsyat yang dia dapat, mengingat betapa bernafsunya kedua laki-laki tadi. Entah kenapa, dia tidak lagi merasa bersalah seperti sesudah disetubuhi aparat sesudah kena ciduk. Sesuatu di dalam kepalanya—sugesti yang ditanamkan Dr. Lorencia—membuat dia merasa apa yang dia lakukan wajar saja. Peduli amat dengan statusnya sebagai istri Bram. Yang dipentingkannya hanya kenikmatan badan setiap hari. Dari Bram suaminya, atau dari siapapun.
Tia terjerumus makin dalam..
=== X=X=X ===
Pukul tujuh, di suatu kamar hotel, di satu kota
Bram duduk-duduk sendirian di tempat tidur hotelnya yang lebar, melepas lelah sesudah dua hari nonstop mengurus persiapan pembukaan cabang bersama Enrico, si pengusaha daerah. Selama dua hari dia menyurvei lokasi, bertemu staf Enrico yang memberi presentasi rencana bisnis, peluang pasar, dan kemungkinan pesaing, dan tentunya bertemu para penguasa setempat—kepala daerah, kepala kantor-kantor dinas terkait, anggota legislatif, aparat, dan tokoh masyarakat, yang semuanya harus dilobi. Sebelumnya Bram dan Enrico sudah menyepakati: Bram mengurus pembicaraan formal sementara Enrico menyiapkan negosiasi nonformalnya. Itu artinya Enrico akan menanggung segala insentif lain yang diperlukan demi kelancaran pembukaan usaha. Baik itu berupa uang pelicin, fasilitas, maupun bentuk kenikmatan lain. Termasuk yang sekarang disajikan. Pintu kamar hotel diketuk. Bram bangkit dan membukakan pintu.
“Permisi. Selamat malam Pak. Tadi saya dipesan ke kamar ini buat massage~?”
Di balik pintu Bram mendapati seorang gadis, paling-paling u**rnya 20-an, berdiri dan tersenyum. Gadis itu membawa tas kecil. Nada bicaranya ramah dan cenderung genit, tapi terkesan tak dibuat-buat.
“Oh, iya. Silakan masuk,” kata Bram sambil memandangi gadis tukang pijat itu.
Gadis itu memakai kemeja lengan pendek putih bercorak dengan aksen renda di dada, dan rok hitam pendek. Rambut hitamnya yang diluruskan rebonding tergerai sampai ke punggung.
“Mau langsung, Pak?” tanya gadis itu. “Oh iya, maaf, dengan bapak siapa? Saya Difa.”
“Bram,” kata Bram sambil menjabat tangan gadis itu untuk berkenalan.
Difa bertubuh pendek—hanya setinggi bahu Bram. Bram terus mengamati gadis tukang pijat itu. Difa terlihat berusaha tampil ramah, bibir merahnya selalu tersenyum. Mata sipit dan pipi tembemnya terlihat menggemaskan.
Bram tahu, di kamar-kamar lain hotel yang sama sedang terjadi adegan serupa. Enrico mengundang beberapa orang yang perlu dilobi untuk menikmati “hiburan” yang disediakan, dan Bram juga kebagian. Tapi sebenarnya Bram sedang tidak berminat. Dia cukup lelah setelah mengikuti Enrico ke sana-ke mari, jadi dia bilang saja kepada Enrico, minta dipanggilkan tukang pijat hotel. Dan yang datang adalah gadis ini. Difa.
Difa membawa seprei yang dilipat, yang dia tebarkan di ranjang kamar hotel setelah minta izin Bram. Dia lalu menanyakan apakah Bram mau langsung dipijat. Bram mengangguk.
“Iya, sekarang aja deh,” kata Bram.
“Kalau begitu, maaf Pak, tolong dibuka bajunya,” kata Difa dengan nada malu-malu.
Di balik sikap yang kelewat sopan itu Bram menangkap rasa gentar—apa gadis ini kurang pengalaman? Ataukah hanya pura-pura saja untuk memberi kesan “polos”? Bram cukup banyak bergaul dengan dunia hiburan malam sehingga dia lumayan tahu bagaimana para perempuan penghibur bersikap.
Kemudian Bram memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan tulus tidaknya Difa, toh gadis itu datang untuk memijat.. kalau nanti berlanjut ke yang lain-lain, itu urusan nanti. Bram pun membuka baju dan celana, tinggal menyisakan celana dalam, dan berbaring telungkup di atas tempat tidur yang sudah dialasi seprei. Difa mulai dengan memijat telapak kaki Bram. Tak lama kemudian tangannya sudah pindah ke betis Bram, mengurut sekujurnya, sampai ke belakang lutut, terus ke paha.
“Tangan kamu enak juga,” Bram berkomentar, “Hangat.”
“Ahh..hh!!” pekik Tia. “Gede.. banget!!” Tia mencoba menghindar, tapi tidak bisa, bagian depannya sudah terpantek penis Danang, dan dari belakang kontol Reja menusuk tajam.
*****
Di jalan..
Dr. Lorencia tersenyum-senyum sendiri dalam taksi yang sedang membawanya pulang ke rumah. Dia sudah sukses membuat Tia menjadi perempuan binal hamba nafsu malam itu, dan memang itulah yang diinginkan Mang Enjup. Tadi dia mendapat penjelasan lagi mengenai rencana Mang Enjup, secara tidak langsung, ketika dia mengawasi gerak-gerik laki-laki tua itu bersama Tia di pesta. Dasar bajingan cabul, pikir Dr. Loren.
Anak bos sendiri akan dikorbankan. Tapi Dr. Loren tidak ambil pusing. Dia menyentuh kemaluannya sendiri di balik pakaian, mengingat bagaimana tadi Tia memberikan kenikmatan kepadanya. Andai saja dia lebih dulu kenal perempuan muda yang polos itu, dia pasti tidak akan segan merebut Tia dari suaminya dan menjadikannya budak seksnya sendiri. Satu hal lagi yang dipikirkan Loren. Pengaruh hipnotisnya punya batas waktu. Dan sekarang waktunya hampir habis. Kalau Danang dan Reja sudah selesai sih tidak masalah, tapi apa jadinya kalau Tia sadar ketika sedang dicabuli dia laki-laki itu? Dr. Lorencia tersenyum nakal. Entah Tia akan memprotes dan melawan, atau terus berperan sebagai pelacur murahan. Tiba-tiba dia ingin balik lagi melihat apa yang terjadi. Tapi taksi sudah keburu mencapai rumahnya.
*****
Reja mendorong maju lagi, terus makin dalam ke lubang pantat Tia. Reja merasa saluran itu mulai menyerah terhadap desakan kepala burungnya.
“Auhh.. Sakit!” Tia memekik. “Jangan.. dimasukin.. lagih! Ngga kuatt..! Sakii..tt!”
Sentakan rasa sakit itu juga membuat Tia sadar dari keadaan terhipnotis. Danang melihat perubahan di sinar mata Tia, yang tadinya sayu dan kosong kini terlihat seperti mendapat api-nya lagi. Tia tersadar. Dan dia mendapati dirinya telanjang, terjepit di antara dua laki-laki dalam persetubuhan. Bukan dengan suaminya. Rasa nikmat campur sakit dari depan dan belakang. Refleksnya membuat dia meronta, tapi Danang dan Reja memeganginya kuat-kuat. Dia menjerit, tapi jeritan paniknya tercampur dengan jeritan nikmat ketika Danang mengemut putingnya dan Reja menciumi bahunya.
Pikiran Tia kacau karena tidak menyangka tiba-tiba berada dalam keadaan seperti itu. Dan di dalam kepalanya, seperti terus bergema suara yang menyuruh dia menyerah saja dan menikmati keadaan. Menyuruh dia mengerti bahwa dia sebenarnya wanita jalang yang haus kenikmatan. Jeritan dan gerakan Tia yang baru sadar disalahartikan oleh Danang dan Reja, mereka kira perempuan muda itu makin terangsang. Akibatnya makin hebat saja gempuran mereka terhadap Tia.
Reja sudah memasukkan setengah penisnya. Lingkaran otot dubur Tia mencengkeram erat di sekitar batang penis Reja yang mendesaknya. Reja memundurkan pinggul, menarik batangnya sampai batas kepala, dan mendorong maju lagi, lebih dalam daripada sebelumnya. Kali ini batangnya masuk dengan lebih mudah, biarpun saluran belakang Tia sangat sempit dan lebih melawan daripada vaginanya.
“Ah.. gede banget..” keluh Tia. Dia belum sepenuhnya menguasai diri, kepalanya masih terlanda birahi membara.
Reja mundur lagi sedikit lalu mendorong sisanya ke dalam dubur Tia. Tia meringis, kepalanya ambruk ke dada Danang.
“Yahh..!” Tia meringis. “Sakit.. ahh...! Jangan.. didorong.. lagi!”
Reja diam beberapa saat, menikmati jepitan tabung pengeluaran Tia terhadap batang yang sudah dia susupkan seluruhnya ke dalam. Kemudian dia menggenjot pelan-pelan. Tubuh Tia mulai merasa lebih nyaman, tapi perasaannya tetap ingin berontak. Danang juga mulai bergerak lagi, seirama dengan Reja, masuk, keluar, masuk, keluar kedua lubang Tia. Tia hanya bisa menggelinjang dan mengeluarkan bunyi-bunyi tak jelas.
“Gimana Tia. Enak kan sekarang?” tanya Danang.
“Iyahh.. mendingan.. ayoh.. lagi,” Tia menjawab sekaligus meminta.
Danang dan Reja menggenjot dengan penuh semangat. Tia membalasnya dengan mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
“Yahh.. ah.. iya.. ah.. oh.. enak banget.. Oh.. OH!.. Sodok terus.. Terus!”
Tia terjepit di antara dua laki-laki, menggelepar, menerima sodokan keras dan kencang dari dua arah. Dia makin bergairah dengan tiap gerakan. Dan dia sadar sepenuhnya apa yang dia alami. Dia sedang bersetubuh dengan dua laki-laki yang bukan suaminya. Tapi dia tak peduli. Yang menguasai kepalanya adalah keinginan untuk mencapai orgasme, untuk mencapai kenikmatan badan. Dan biarpun Bram baru pergi satu hari, tubuhnya sudah tak kuat menahan. Maka dia tidak pedulikan kalau yang menyetubuhinya bukan orang yang berhak. Sejak di pesta pun Tia sudah resah, karena dia menyadari bagaimana sebagian tamu memandangi dirinya penuh nafsu. Dia tahu di kepala mereka yang ada justru keinginan untuk menindihnya, merobek paksa bajunya, menggagahinya. Ditambah lagi, Mang Enjup berkali-kali mencolek tubuhnya, terutama di bagian pantat. Dan dia malah merasa senang dilecehkan seperti itu.
Tia membungkuk, merapatkan tubuh memeluk Danang. Reja mendorong dari belakang, penisnya masuk semua ke lubang pantat. Disertai teriakan, Tia mengalami klimaks. Tubuhnya tersentak-sentak di tengah kedua laki-laki yang menghimpitnya.
“Ohhh..” Tia meringis dengan wajah menempel ke dada Danang. “Auhh.. enak banget.. unghh..”
Tia terbenam dalam kenikmatan, mulutnya mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, dan saluran-salurannya menjepit kedua kejantanan di dalam tubuh. Reja juga merasa akan klimaks sebentar lagi, dia menghantam makin kencang keluar-masuk, mendorong sedalam-dalamnya kemudian menariknya keluar lagi. Sementara itu, ekspresi Danang berubah seperti menahan sakit dan tanpa banyak cingcong dia berejakulasi di dalam vagina Tia. Disusul Reja yang menghunjamkan penisnya dalam-dalam dan melepas pejunya ke dalam pantat Tia.
*****
Sesudahnya, Danang dan Reja pulang begitu saja, meninggalkan Tia yang menggeletak ternoda di atas tempat tidurnya sendiri. Danang dan Reja menyangka mereka meninggalkan Tia dalam kondisi masih terhipnotis, padahal sebenarnya tidak. Tia meringkuk di tempat tidurnya.. tersenyum merasakan cairan kelelakian Danang dan Reja di dalam rongga-rongga tubuhnya, mengingat orgasme dahsyat yang dia dapat, mengingat betapa bernafsunya kedua laki-laki tadi. Entah kenapa, dia tidak lagi merasa bersalah seperti sesudah disetubuhi aparat sesudah kena ciduk. Sesuatu di dalam kepalanya—sugesti yang ditanamkan Dr. Lorencia—membuat dia merasa apa yang dia lakukan wajar saja. Peduli amat dengan statusnya sebagai istri Bram. Yang dipentingkannya hanya kenikmatan badan setiap hari. Dari Bram suaminya, atau dari siapapun.
Tia terjerumus makin dalam..
=== X=X=X ===
Pukul tujuh, di suatu kamar hotel, di satu kota
Bram duduk-duduk sendirian di tempat tidur hotelnya yang lebar, melepas lelah sesudah dua hari nonstop mengurus persiapan pembukaan cabang bersama Enrico, si pengusaha daerah. Selama dua hari dia menyurvei lokasi, bertemu staf Enrico yang memberi presentasi rencana bisnis, peluang pasar, dan kemungkinan pesaing, dan tentunya bertemu para penguasa setempat—kepala daerah, kepala kantor-kantor dinas terkait, anggota legislatif, aparat, dan tokoh masyarakat, yang semuanya harus dilobi. Sebelumnya Bram dan Enrico sudah menyepakati: Bram mengurus pembicaraan formal sementara Enrico menyiapkan negosiasi nonformalnya. Itu artinya Enrico akan menanggung segala insentif lain yang diperlukan demi kelancaran pembukaan usaha. Baik itu berupa uang pelicin, fasilitas, maupun bentuk kenikmatan lain. Termasuk yang sekarang disajikan. Pintu kamar hotel diketuk. Bram bangkit dan membukakan pintu.
“Permisi. Selamat malam Pak. Tadi saya dipesan ke kamar ini buat massage~?”
Di balik pintu Bram mendapati seorang gadis, paling-paling u**rnya 20-an, berdiri dan tersenyum. Gadis itu membawa tas kecil. Nada bicaranya ramah dan cenderung genit, tapi terkesan tak dibuat-buat.
“Oh, iya. Silakan masuk,” kata Bram sambil memandangi gadis tukang pijat itu.
Gadis itu memakai kemeja lengan pendek putih bercorak dengan aksen renda di dada, dan rok hitam pendek. Rambut hitamnya yang diluruskan rebonding tergerai sampai ke punggung.
“Mau langsung, Pak?” tanya gadis itu. “Oh iya, maaf, dengan bapak siapa? Saya Difa.”
“Bram,” kata Bram sambil menjabat tangan gadis itu untuk berkenalan.
Difa bertubuh pendek—hanya setinggi bahu Bram. Bram terus mengamati gadis tukang pijat itu. Difa terlihat berusaha tampil ramah, bibir merahnya selalu tersenyum. Mata sipit dan pipi tembemnya terlihat menggemaskan.
Bram tahu, di kamar-kamar lain hotel yang sama sedang terjadi adegan serupa. Enrico mengundang beberapa orang yang perlu dilobi untuk menikmati “hiburan” yang disediakan, dan Bram juga kebagian. Tapi sebenarnya Bram sedang tidak berminat. Dia cukup lelah setelah mengikuti Enrico ke sana-ke mari, jadi dia bilang saja kepada Enrico, minta dipanggilkan tukang pijat hotel. Dan yang datang adalah gadis ini. Difa.
Difa membawa seprei yang dilipat, yang dia tebarkan di ranjang kamar hotel setelah minta izin Bram. Dia lalu menanyakan apakah Bram mau langsung dipijat. Bram mengangguk.
“Iya, sekarang aja deh,” kata Bram.
“Kalau begitu, maaf Pak, tolong dibuka bajunya,” kata Difa dengan nada malu-malu.
Di balik sikap yang kelewat sopan itu Bram menangkap rasa gentar—apa gadis ini kurang pengalaman? Ataukah hanya pura-pura saja untuk memberi kesan “polos”? Bram cukup banyak bergaul dengan dunia hiburan malam sehingga dia lumayan tahu bagaimana para perempuan penghibur bersikap.
Kemudian Bram memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan tulus tidaknya Difa, toh gadis itu datang untuk memijat.. kalau nanti berlanjut ke yang lain-lain, itu urusan nanti. Bram pun membuka baju dan celana, tinggal menyisakan celana dalam, dan berbaring telungkup di atas tempat tidur yang sudah dialasi seprei. Difa mulai dengan memijat telapak kaki Bram. Tak lama kemudian tangannya sudah pindah ke betis Bram, mengurut sekujurnya, sampai ke belakang lutut, terus ke paha.
“Tangan kamu enak juga,” Bram berkomentar, “Hangat.”
“Iya, banyak yang bilang begitu Pak,” kata Difa. “Anu, pijatan saya sudah cukup kan Pak? Perlu lebih keras?”
“Nggak, segini sudah cukup.”
Difa meneruskan memijat, kali ini makin ke atas mendekati selangkangan Bram. Bram merasakan kejantanannya bereaksi ketika sentuhan halus Difa mengelus bagian dalam pangkal pahanya.
Difa berhenti dan bertanya. “Pak, mau pake krim?”
“Iya boleh,” kata Bram.
“Maaf kalau gitu celananya dibuka saja, biar nggak kotor,” saran Difa.
Bram sudah tahu itu kode apa. Tanpa menjawab, dia melepas celana dalamnya lalu kembali telungkup. Kejantanannya sudah setengah tegak. Difa melu**rkan krim pijat ke tangan, lalu mulai lagi dari bawah, dari betis Bram.
“Hihihi, Pak, bakal cepet habis nih krimnya,” celetuk Difa, “habisnya rambutnya banyak di sini..”
“O gitu?” jawab Bram.
Yang Difa maksud itu pasti betisnya. Difa melanjutkan pijatannya, sekarang kembali ke paha. Lagi-lagi Bram merasa terangsang dengan sentuhan Difa, apalagi setelah tangannya licin dengan krim, sensasinya makin lancar terasa.
“Maaf ya Pak saya pijat pantatnya,” kata Difa, yang kemudian mencengkeram dan meremas-remas dua belahan pantat Bram.
“Ehmm..” Bram enggumam.
“Kenapa Pak?” Difa berhenti karena gumaman Bram itu.
“Nggak apa-apa.. terusin aja. Enak kok,” kata Bram.
Difa tanpa sungkan kembali menggarap pantat Bram, terus ke selangkangan.
“Udah lama mijet?” tanya Bram.
“Lumayan Pak, udah setahun,” jawab Difa.
Bram berusaha mencairkan suasana dengan ngobrol dengan Difa. Gadis itu baru 22 th, warga setempat—dan jadi tulang punggung keluarganya karena dia anak tertua. Keluarganya sendiri tidak tahu pasti apa pekerjaannya, hanya tahu dia “kerja di hotel”. Sambil ngobrol, Difa terus memijat ke atas, meninggalkan pantat Bram ke punggung, lalu ke bahu.
Bram menengok ke belakang, berusaha melihat Difa. Dirasakannya rambut panjang Difa menyentuh punggungnya.
“Ada apa Pak?” Difa memperhatikan Bram yang menoleh.
“Nggak apa-apa,” tukas Bram, kemudian tiba-tiba kebiasaannya ketika berbicara dengan perempuan penghibur muncul. “Pengen ngelihatin yang mijet aja..”
“Ah Bapak bisa aja,” kata Difa tersipu, tersenyum malu. “Balik badan Pak.”
Bram berbalik badan. Kali ini dia tak lagi bisa menutupi kenyataan bahwa ada bagian tubuhnya yang bereaksi terhadap kehadiran dan sentuhan Difa. Tapi Difa tak mengacuhkan alat kelamin Bram yang kini tampak di hadapannya, dan kembali lagi memijat dan menekuk-nekuk kaki Bram. Bram terus berusaha mengajak bicara Difa. Difa ternyata masih lajang, pernah punya pacar beberapa tahun lalu yang lantas kabur untuk menikah dengan gadis lain.
“Sebenarnya sih saya pengen cepet nikah Pak, cuma gimana ya, kerja saya seperti ini, mana ada yang mau sama saya.. Bapak sudah nikah?” ujar Difa.
“Udah..” kata Bram.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Difa sudah tuntas menggarap sekujur tubuh Bram. Mata Bram tak lepas-lepas memandangi si pemijat. Wajah Difa mengingatkannya akan seorang artis, Anya. Hanya saja Difa pendek, tak seperti Anya yang jangkung.
“Sudah selesai Pak..” kata Difa lirih. “Anu.. ada lagi yang bisa saya bantu?”
Bram sudah hafal apa yang biasanya terjadi sesudah sesi pijat semacam itu. Terlebih lagi dia keburu terangsang oleh sentuhan-sentuhan Difa.
“Main aja yuk,” ajak Bram sambil tersenyum dan menggenggam tangan Difa.
Jawaban Difa ternyata tidak nyambung dengan harapannya.
“Jangan ya Pak, saya.. belum pernah..”
Bram cuma tersenyum, dan akal sehatnya sedang kalah dengan nafsunya yang mulai menggunung, jadi bukannya dia berhenti, dia malah terus berusaha. Dia mengelus sekujur lengan Difa.
“Ayo dong.. Nggak apa-apa kok..” rayu Bram.
Difa berusaha mengelak sambil menawarkan servis lain.
“Saya kocokin aja ya Pak?” Terlihat betul bahwa gadis pemijat itu tidak ingin menyinggung kliennya, walau Bram mulai kurang ajar tapi dia masih bersikap sopan.
“Hmm.. iya deh,” Bram memutuskan untuk mundur dulu, langkah strategis.
Dalam hatinya dia tak percaya dengan kata-kata Difa yang mengaku “belum pernah” tadi, dan dia pun sibuk memikirkan cara membongkar pertahanan gadis itu. Difa kembali melu**rkan krim ke tangannya dan berkata,
“Maaf ya Pak,” sebelum mulai menyentuh penis Bram.
Entah dia masih perawan atau sudah tidak, yang jelas tangannya sudah ahli. Satu tangannya menggenggam batang kemaluan Bram, tangan lainnya mengelus kantong pelir Bram dan sesekali ke bawahnya, menuju lubang dubur Bram. Bram menggumam keenakan. Difa terus mengocok batang Bram, naik dan turun, kadang cepat kadang lambat.
“Sakit nggak, Pak?” tanya Difa.
“Ehmm..” Bram menggumam lagi, “Enggak kok, enak..”
Difa terus membelai dan merangsang, tangan kanannya yang licin bergerak-gerak di sekujur kejantanan Bram, tangan kirinya memijat-mijat di bawah buah pelir. Bram bisa merasakan orgasme sedang menunggu terjadi di bawah perutnya.
“Ouhh,” keluh Bram, mulai tak kuat menahan. Tapi dia tidak mau buru-buru selesai. Tangannya bergerak merangkul Difa yang berposisi duduk memunggungi di sebelah tubuhnya.
“Enak banget Difa,” bisik Bram sambil menegakkan badan atas lalu menyenderkan kepala ke bahu Difa.
Orgasme yang tadi tinggal sebentar lagi itu sukses diredam. Difa diam.
“Kamu wangi..” kembali Bram berbisik sambil menghirup aroma tubuh Difa.
Gadis itu diam saja. Bram jadi tambah berani lalu mencium leher si gadis pemijat. Selanjutnya Bram mengulum telinga Difa.
“Ehmm..” desah Difa.
Bram nyengir, menyadari titik sensitif gadis itu persis sama dengannya, di telinga.
“Ahh.. Pak..”
Difa seperti memprotes tapi tak berdaya, kocokan tangannya melemah ketika Bram terus menggoda titik lemahnya. Dia pun tak hirau ketika tangan Bram mulai berusaha melepas kancing kemejanya satu demi satu. Dari bawah. Posisi badan atas Bram kini sudah tegak merangkul Difa dari belakang, dua, tiga, empat kancing kemeja Difa lepas.. dan yang terakhir pun akhirnya lepas. Bram menyelipkan tangan ke balik BH yang dipakai Difa dan terjamahlah payudara gadis itu yang terasa kencang.
“Paak..” Difa memprotes lagi, berhenti mengocok dan melepas kejantanan Bram, tapi Bram sudah keburu nafsu.
Bram merebahkan Difa di tempat tidur dan langsung memposisikan tubuh atasnya di atas Difa, sambil menyibak kemeja Difa yang sudah tak terkancing. Tangan Bram meremas payudara Difa. Difa mendesah, menatap muka Bram.
Bram membenamkan muka di dada Difa, menciumi belahan dada dan bagian atas payudara gadis itu. Dirasakannya Difa menggeliat dan nafasnya memburu. Tangan Bram bergerilya ke bawah, menyibak rok pendek Difa, mencari celana dalam. Ketemu. Jemari Bram mengelus-elus bagian celana dalam Difa yang menutupi vagina. Sambil ciuman demi ciuman terus mendarat di leher, pundak, dan telinga Difa. Terdengar gadis itu mendesah. Bram berhasil membuat Difa terangsang.
Bram berhenti sebentar, menjauh dari tubuh Difa. Dia memandangi ekspresi gadis itu, seolah pasrah. Andai wajah Difa tak berbedak terlalu tebal, mungkin Bram bisa melihat wajah itu merona merah karena malu. Bram lalu melepas kaitan di depan BH Difa, dan menyingkirkan penutup dada gadis itu. Sepasang payudara Difa yang kencang itu tak lagi terlindungi. Bram dengan cepat menggoda keduanya, menyentuh, mencium, mengulum.
Difa mendesah tertahan. Roknya sudah tersibak juga akibat aksi tangan Bram yang sambil terus mengelus-elus kemaluannya dari luar celana dalam. Bram kembali menindih tubuh Difa yang nyaris telanjang itu, lalu memelorotkan celana dalam Difa. Kejantanan Bram sudah tegang dan dia sudah tak tahan ingin menyetubuhi gadis itu.
Tapi ketika dia menyelipkan jarinya langsung ke belahan kewanitaan Difa—Sempit. Dan..Terasa sesuatu menghalanginya. Bram melihat setitik air mata mengalir dari sudut mata Difa. Gadis pemijat itu memang masih perawan. Ekspresinya mirip sekali dengan Tia waktu dulu—Bram berhenti. Dia kembali teringat Tia. Difa merasakan beban tubuh Bram bergeser dari atas tubuhnya.
“Maaf..” bisik Bram. “Kamu emang beneran belum pernah, ya..”
“Pak..” Difa membuka matanya yang masih berkaca-kaca, tak mengerti perubahan reaksi Bram.
“Ah, nggak, nggak apa-apa, Difa,” Bram berkata itu sambil berubah posisi jadi berbaring di samping Difa. “Aku.. kepikiran istriku.”
Difa terdiam sebentar lalu berbicara sambil memejamkan mata. “Nggak apa-apa Pak, saya.. sudah dibayar kok..”
“Apa kamu nggak bakal nyesal nantinya?” kata Bram sambil memandangi langit-langit, melihat bayangan wajah Tia di sana.
Difa diam saja.
“Jangan dikasih ke aku Difa,” kata Bram lagi. “Aku nggak tega.. Yah, mungkin aku yang dulu gak bakal keberatan, tapi sekarang.. aku udah nggak pengen begitu lagi.”
“Jadi.. gimana ini Pak?” Difa bingung.
“Sudah, nggak apa-apa. Yang terjadi atau nggak terjadi di dalam sini, orang lain nggak usah tahu. Kamu pakai lagi lah bajumu.”
Difa bangkit dan kembali memakai semua pakaiannya.
“Kamu tunggu di sini, aku mau mandi dulu sebentar terus kita bicara lagi,” kata Bram.
Bram langsung masuk ke kamar mandi, menyalakan shower dan membasuh seluruh tubuhnya. Semburan air shower meredakan lagi nafsunya dan mendinginkan kepalanya. Tak lama kemudian, Bram keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang menutupi seputar pinggang ke bawah. Difa masih duduk di tempat tidur, tanpa bicara.
“Bapak.. nggak suka sama saya?” kata Difa lirih ketika Bram duduk di sebelahnya.
Bram tersenyum sambil menaruh tangannya di atas tangan Difa.
“Bukan..” kata Bram, “tapi ada yang lebih berhak nyentuh kamu nanti. Siapapun dia, aku nggak mau ngambil haknya. Aku udah punya istri Difa.”
Difa menengok agak tak percaya.
“Tapi saya udah dibayar..” katanya lagi.
“Nggak usah ungkit-ungkit itu. Kamu kan datang ke sini mau mijat aku, dan tadi kamu udah mijat. Pijatanmu enak. Kuanggap kerjaan kamu sudah selesai.” Bram beranjak ke meja, mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang. “Ini, lumayan buat uang jajan kamu.”
“Aduh, Pak.. apa nggak terlalu banyak ini? Saya kan cuma mijet..” kata Difa sungkan.
“Terima saja,” kata Bram.
Difa pun mengantongi tips dari Bram itu.
“Ka-kalau gitu.. saya pamit pergi dulu Pak..” kata Difa.
“Eh tunggu dulu,” kata Bram. “Minta nomor telepon kamu.”
Difa menyebutkan nomor telepon, yang langsung dimasukkan Bram ke dalam HP-nya.
“Aku mau buka usaha di sini,” kata Bram. “Mungkin aku bakal perlu karyawati. Barangkali kamu mau ganti pekerjaan..”
“Nggak, segini sudah cukup.”
Difa meneruskan memijat, kali ini makin ke atas mendekati selangkangan Bram. Bram merasakan kejantanannya bereaksi ketika sentuhan halus Difa mengelus bagian dalam pangkal pahanya.
Difa berhenti dan bertanya. “Pak, mau pake krim?”
“Iya boleh,” kata Bram.
“Maaf kalau gitu celananya dibuka saja, biar nggak kotor,” saran Difa.
Bram sudah tahu itu kode apa. Tanpa menjawab, dia melepas celana dalamnya lalu kembali telungkup. Kejantanannya sudah setengah tegak. Difa melu**rkan krim pijat ke tangan, lalu mulai lagi dari bawah, dari betis Bram.
“Hihihi, Pak, bakal cepet habis nih krimnya,” celetuk Difa, “habisnya rambutnya banyak di sini..”
“O gitu?” jawab Bram.
Yang Difa maksud itu pasti betisnya. Difa melanjutkan pijatannya, sekarang kembali ke paha. Lagi-lagi Bram merasa terangsang dengan sentuhan Difa, apalagi setelah tangannya licin dengan krim, sensasinya makin lancar terasa.
“Maaf ya Pak saya pijat pantatnya,” kata Difa, yang kemudian mencengkeram dan meremas-remas dua belahan pantat Bram.
“Ehmm..” Bram enggumam.
“Kenapa Pak?” Difa berhenti karena gumaman Bram itu.
“Nggak apa-apa.. terusin aja. Enak kok,” kata Bram.
Difa tanpa sungkan kembali menggarap pantat Bram, terus ke selangkangan.
“Udah lama mijet?” tanya Bram.
“Lumayan Pak, udah setahun,” jawab Difa.
Bram berusaha mencairkan suasana dengan ngobrol dengan Difa. Gadis itu baru 22 th, warga setempat—dan jadi tulang punggung keluarganya karena dia anak tertua. Keluarganya sendiri tidak tahu pasti apa pekerjaannya, hanya tahu dia “kerja di hotel”. Sambil ngobrol, Difa terus memijat ke atas, meninggalkan pantat Bram ke punggung, lalu ke bahu.
Bram menengok ke belakang, berusaha melihat Difa. Dirasakannya rambut panjang Difa menyentuh punggungnya.
“Ada apa Pak?” Difa memperhatikan Bram yang menoleh.
“Nggak apa-apa,” tukas Bram, kemudian tiba-tiba kebiasaannya ketika berbicara dengan perempuan penghibur muncul. “Pengen ngelihatin yang mijet aja..”
“Ah Bapak bisa aja,” kata Difa tersipu, tersenyum malu. “Balik badan Pak.”
Bram berbalik badan. Kali ini dia tak lagi bisa menutupi kenyataan bahwa ada bagian tubuhnya yang bereaksi terhadap kehadiran dan sentuhan Difa. Tapi Difa tak mengacuhkan alat kelamin Bram yang kini tampak di hadapannya, dan kembali lagi memijat dan menekuk-nekuk kaki Bram. Bram terus berusaha mengajak bicara Difa. Difa ternyata masih lajang, pernah punya pacar beberapa tahun lalu yang lantas kabur untuk menikah dengan gadis lain.
“Sebenarnya sih saya pengen cepet nikah Pak, cuma gimana ya, kerja saya seperti ini, mana ada yang mau sama saya.. Bapak sudah nikah?” ujar Difa.
“Udah..” kata Bram.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Difa sudah tuntas menggarap sekujur tubuh Bram. Mata Bram tak lepas-lepas memandangi si pemijat. Wajah Difa mengingatkannya akan seorang artis, Anya. Hanya saja Difa pendek, tak seperti Anya yang jangkung.
“Sudah selesai Pak..” kata Difa lirih. “Anu.. ada lagi yang bisa saya bantu?”
Bram sudah hafal apa yang biasanya terjadi sesudah sesi pijat semacam itu. Terlebih lagi dia keburu terangsang oleh sentuhan-sentuhan Difa.
“Main aja yuk,” ajak Bram sambil tersenyum dan menggenggam tangan Difa.
Jawaban Difa ternyata tidak nyambung dengan harapannya.
“Jangan ya Pak, saya.. belum pernah..”
Bram cuma tersenyum, dan akal sehatnya sedang kalah dengan nafsunya yang mulai menggunung, jadi bukannya dia berhenti, dia malah terus berusaha. Dia mengelus sekujur lengan Difa.
“Ayo dong.. Nggak apa-apa kok..” rayu Bram.
Difa berusaha mengelak sambil menawarkan servis lain.
“Saya kocokin aja ya Pak?” Terlihat betul bahwa gadis pemijat itu tidak ingin menyinggung kliennya, walau Bram mulai kurang ajar tapi dia masih bersikap sopan.
“Hmm.. iya deh,” Bram memutuskan untuk mundur dulu, langkah strategis.
Dalam hatinya dia tak percaya dengan kata-kata Difa yang mengaku “belum pernah” tadi, dan dia pun sibuk memikirkan cara membongkar pertahanan gadis itu. Difa kembali melu**rkan krim ke tangannya dan berkata,
“Maaf ya Pak,” sebelum mulai menyentuh penis Bram.
Entah dia masih perawan atau sudah tidak, yang jelas tangannya sudah ahli. Satu tangannya menggenggam batang kemaluan Bram, tangan lainnya mengelus kantong pelir Bram dan sesekali ke bawahnya, menuju lubang dubur Bram. Bram menggumam keenakan. Difa terus mengocok batang Bram, naik dan turun, kadang cepat kadang lambat.
“Sakit nggak, Pak?” tanya Difa.
“Ehmm..” Bram menggumam lagi, “Enggak kok, enak..”
Difa terus membelai dan merangsang, tangan kanannya yang licin bergerak-gerak di sekujur kejantanan Bram, tangan kirinya memijat-mijat di bawah buah pelir. Bram bisa merasakan orgasme sedang menunggu terjadi di bawah perutnya.
“Ouhh,” keluh Bram, mulai tak kuat menahan. Tapi dia tidak mau buru-buru selesai. Tangannya bergerak merangkul Difa yang berposisi duduk memunggungi di sebelah tubuhnya.
“Enak banget Difa,” bisik Bram sambil menegakkan badan atas lalu menyenderkan kepala ke bahu Difa.
Orgasme yang tadi tinggal sebentar lagi itu sukses diredam. Difa diam.
“Kamu wangi..” kembali Bram berbisik sambil menghirup aroma tubuh Difa.
Gadis itu diam saja. Bram jadi tambah berani lalu mencium leher si gadis pemijat. Selanjutnya Bram mengulum telinga Difa.
“Ehmm..” desah Difa.
Bram nyengir, menyadari titik sensitif gadis itu persis sama dengannya, di telinga.
“Ahh.. Pak..”
Difa seperti memprotes tapi tak berdaya, kocokan tangannya melemah ketika Bram terus menggoda titik lemahnya. Dia pun tak hirau ketika tangan Bram mulai berusaha melepas kancing kemejanya satu demi satu. Dari bawah. Posisi badan atas Bram kini sudah tegak merangkul Difa dari belakang, dua, tiga, empat kancing kemeja Difa lepas.. dan yang terakhir pun akhirnya lepas. Bram menyelipkan tangan ke balik BH yang dipakai Difa dan terjamahlah payudara gadis itu yang terasa kencang.
“Paak..” Difa memprotes lagi, berhenti mengocok dan melepas kejantanan Bram, tapi Bram sudah keburu nafsu.
Bram merebahkan Difa di tempat tidur dan langsung memposisikan tubuh atasnya di atas Difa, sambil menyibak kemeja Difa yang sudah tak terkancing. Tangan Bram meremas payudara Difa. Difa mendesah, menatap muka Bram.
Bram membenamkan muka di dada Difa, menciumi belahan dada dan bagian atas payudara gadis itu. Dirasakannya Difa menggeliat dan nafasnya memburu. Tangan Bram bergerilya ke bawah, menyibak rok pendek Difa, mencari celana dalam. Ketemu. Jemari Bram mengelus-elus bagian celana dalam Difa yang menutupi vagina. Sambil ciuman demi ciuman terus mendarat di leher, pundak, dan telinga Difa. Terdengar gadis itu mendesah. Bram berhasil membuat Difa terangsang.
Bram berhenti sebentar, menjauh dari tubuh Difa. Dia memandangi ekspresi gadis itu, seolah pasrah. Andai wajah Difa tak berbedak terlalu tebal, mungkin Bram bisa melihat wajah itu merona merah karena malu. Bram lalu melepas kaitan di depan BH Difa, dan menyingkirkan penutup dada gadis itu. Sepasang payudara Difa yang kencang itu tak lagi terlindungi. Bram dengan cepat menggoda keduanya, menyentuh, mencium, mengulum.
Difa mendesah tertahan. Roknya sudah tersibak juga akibat aksi tangan Bram yang sambil terus mengelus-elus kemaluannya dari luar celana dalam. Bram kembali menindih tubuh Difa yang nyaris telanjang itu, lalu memelorotkan celana dalam Difa. Kejantanan Bram sudah tegang dan dia sudah tak tahan ingin menyetubuhi gadis itu.
Tapi ketika dia menyelipkan jarinya langsung ke belahan kewanitaan Difa—Sempit. Dan..Terasa sesuatu menghalanginya. Bram melihat setitik air mata mengalir dari sudut mata Difa. Gadis pemijat itu memang masih perawan. Ekspresinya mirip sekali dengan Tia waktu dulu—Bram berhenti. Dia kembali teringat Tia. Difa merasakan beban tubuh Bram bergeser dari atas tubuhnya.
“Maaf..” bisik Bram. “Kamu emang beneran belum pernah, ya..”
“Pak..” Difa membuka matanya yang masih berkaca-kaca, tak mengerti perubahan reaksi Bram.
“Ah, nggak, nggak apa-apa, Difa,” Bram berkata itu sambil berubah posisi jadi berbaring di samping Difa. “Aku.. kepikiran istriku.”
Difa terdiam sebentar lalu berbicara sambil memejamkan mata. “Nggak apa-apa Pak, saya.. sudah dibayar kok..”
“Apa kamu nggak bakal nyesal nantinya?” kata Bram sambil memandangi langit-langit, melihat bayangan wajah Tia di sana.
Difa diam saja.
“Jangan dikasih ke aku Difa,” kata Bram lagi. “Aku nggak tega.. Yah, mungkin aku yang dulu gak bakal keberatan, tapi sekarang.. aku udah nggak pengen begitu lagi.”
“Jadi.. gimana ini Pak?” Difa bingung.
“Sudah, nggak apa-apa. Yang terjadi atau nggak terjadi di dalam sini, orang lain nggak usah tahu. Kamu pakai lagi lah bajumu.”
Difa bangkit dan kembali memakai semua pakaiannya.
“Kamu tunggu di sini, aku mau mandi dulu sebentar terus kita bicara lagi,” kata Bram.
Bram langsung masuk ke kamar mandi, menyalakan shower dan membasuh seluruh tubuhnya. Semburan air shower meredakan lagi nafsunya dan mendinginkan kepalanya. Tak lama kemudian, Bram keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang menutupi seputar pinggang ke bawah. Difa masih duduk di tempat tidur, tanpa bicara.
“Bapak.. nggak suka sama saya?” kata Difa lirih ketika Bram duduk di sebelahnya.
Bram tersenyum sambil menaruh tangannya di atas tangan Difa.
“Bukan..” kata Bram, “tapi ada yang lebih berhak nyentuh kamu nanti. Siapapun dia, aku nggak mau ngambil haknya. Aku udah punya istri Difa.”
Difa menengok agak tak percaya.
“Tapi saya udah dibayar..” katanya lagi.
“Nggak usah ungkit-ungkit itu. Kamu kan datang ke sini mau mijat aku, dan tadi kamu udah mijat. Pijatanmu enak. Kuanggap kerjaan kamu sudah selesai.” Bram beranjak ke meja, mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang. “Ini, lumayan buat uang jajan kamu.”
“Aduh, Pak.. apa nggak terlalu banyak ini? Saya kan cuma mijet..” kata Difa sungkan.
“Terima saja,” kata Bram.
Difa pun mengantongi tips dari Bram itu.
“Ka-kalau gitu.. saya pamit pergi dulu Pak..” kata Difa.
“Eh tunggu dulu,” kata Bram. “Minta nomor telepon kamu.”
Difa menyebutkan nomor telepon, yang langsung dimasukkan Bram ke dalam HP-nya.
“Aku mau buka usaha di sini,” kata Bram. “Mungkin aku bakal perlu karyawati. Barangkali kamu mau ganti pekerjaan..”
“Makasih Pak.. makasih banyak,” kata Difa.
Bram mengantar gadis pemijat itu ke pintu kamar dan membukakan pintu. Dilihatnya gadis itu tersenyum lega. Setelah Difa pergi, Bram kembali memikirkan Tia. Bram merasa sudah berbuat yang benar dengan tidak mengambil kehormatan Difa tadi. Tidak, dia tidak perlu perempuan lain lagi. Dia hanya perlu Tia. Dan urusan di sini sebenarnya sudah selesai. Bram meraih telepon kamar hotel dan minta disambungkan dengan biro perjalanan. Dia ingin tahu apa kepulangannya bisa dipercepat.
*****
Pada hari yang sama ketika Bram bertemu Difa, Tia diminta Mang Enjup datang ke kantor untuk membicarakan rencana negosiasi proyek dengan Walikota. Tia pergi sendirian dan langsung menuju kantor Mang Enjup. Febby sekretaris Mang Enjup yang biasanya duduk di satu meja di luar kantor tidak ada.
“Non Tia sudah ditunggu,” terdengar kata-kata seorang laki-laki.
Di luar kantor Mang Enjup juga ada Danang yang seperti biasa, tidak jelas apa kerjaannya di sana. Dialah yang memberitahu bahwa Tia sudah ditunggu.
Melihat Tia datang, Danang nyengir dan tersenyum mesum ke arah Tia. Yang membuat Danang rada kaget, Tia membalas dengan senyum dan kerling genit. Danang memperhatikan penampilan Tia yang tampak menarik dalam kemeja lengan panjang abu-abu dan rok pendek hitam. Kemejanya ketat. Danang berani sumpah, dia yakin Tia tak sedang memakai bra karena dia melihat puting Tia mencuat di balik bahan kaos itu..
“Aku masuk ya..” kata Tia sambil menoleh ke Danang dan melangkah menuju pintu.
Danang lantas merasakan semua darah ke tubuhnya mengalir menuju bawah perut. Tak tahan dia dengan keseksian Tia yang menggodanya.
*****
“Punten..” Tia mengucap salam ketika masuk. Begitu dia masuk, dia melihat pemandangan tak biasa.
Ada dua perempuan yang sedang berada di kanan kiri Mang Enjup. Mang Enjup sendiri berada dalam keadaan berantakan, kemejanya terbuka sehingga dadanya yang sudah keriput terlihat, mulutnya terengah-engah, keringat menitik di wajahnya. Tia mengenali salah seorang dari dua perempuan itu sebagai Febby, sekretaris Mang Enjup, seorang perempuan berkacamata, berhidung mancung, berambut megar sebahu. Tapi Febby bukan sedang mengenakan pakaian kantor seperti biasa, melainkan tank top ketat berbelahan rendah dan rok mini. Make-upnya juga lebih tebal dari biasa.
“Selamat pagi, Mbak Tia,” sapa Febby.
Perempuan satunya lagi Tia tidak kenal. Dan dia jelas sedang tidak memakai pakaian orang kantoran. Nyaris tidak berpakaian, malah. Cuma celana dalam berenda dan bra pink. Perempuan itu nyengir konyol ketika melihat ada yang datang, dan dia terlihat membungkuk di samping Mang Enjup, tangannya seperti memegang sesuatu di pangkuan Mang Enjup. Rambutnya dicat merah, ukuran dadanya tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping. Riasan menor menutupi wajahnya yang terlihat lebih tua daripada Tia dan Febby: bibir merah, bulu mata palsu, alis ditato.
“Ka dieu, Neng,” panggil Mang Enjup dengan suara lirih, seperti orang kecapekan.
Sebenarnya adegan yang sedang berlangsung di sana sangat tidak wajar, karena sedang ada dua perempuan berpakaian seksi merubung Mang Enjup. Tia sendiri heran dan dia melangkah maju pelan-pelan, tapi begitu tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Mang Enjup yang tetap tajam, dia merasa tidak perlu ke mana-mana.
Ketika makin dekat, Tia jadi bisa melihat apa yang sedang dilakukan Febby dan si rambut merah. Celana Mang Enjup terbuka, kemaluannya tegak, dan kedua perempuan itu sedang membelai-belainya. Tapi si rambut merah sesekali menjepit bagian pangkal batang dan menekan daerah di bawah buah pelir Mang Enjup. Rupanya itu semacam cara untuk mencegah ejakulasi. Agaknya Mang Enjup sedang menjalani “terapi” untuk mengatasi masalah ejakulasi dini-nya. Tia terpaku, tak tahu mesti berbuat apa. Dia memang dipanggil oleh Mang Enjup, tapi apa maunya Mang Enjup? Febby berdiri dan membuka satu laptop yang ada di meja, lalu duduk di atas meja sambil menyilangkan kaki.
“Duduk, Mbak Tia,” kata Febby sambil menunjuk kursi di depan meja Mang Enjup.
Mang Enjup terengah-engah, sepertinya keenakan penisnya dikocok, kadang meringis karena ejakulasinya dibatalkan pencetan jari si rambut merah. Tia duduk dan pandangannya mengikuti tangan Febby yang menunjuk layar laptop. Di situ ditayangkan beberapa tabel dan presentasi terkait proyek yang sedang diperebutkan perusahaan mereka dengan perusahaan-perusahaan milik dua orang yang Tia temui di pesta Walikota. Febby menjelaskan situasi terbaru dan rincian tender proyek kepada Tia. Wajah Tia berkerut selagi mengikuti penjelasan Febby, tanpa menghiraukan Mang Enjup yang asyik sendiri. Febby selesai memberi penjelasan dan Tia merasa cukup mengerti tentang semua hitungan dan rencana yang dijabarkannya. Mang Enjup ikut bicara,
“Tapi, ada yang lebih penting lagi Tia.” Mang Enjup lalu menyentuh lengan si rambut merah.
“Jana..” kata Mang Enjup, menyebut nama si rambut merah.
“Kenalan dulu, Mbak Tia.. saya Jana,” katanya. Jana langsung mendekati Tia, lalu meminta Tia berdiri.
Jana mengamati sekujur tubuh Tia, berjalan mengelilingi Tia sambil pandangannya naik turun.
“Mantap..” kata Jana sambil tiba-tiba meremas pantat Tia.
“Aih!!?” Tia kaget.
“Bahenol juga ya.. pantesan cuma kamu yang dimau’in,” kata Jana. Tia tidak mengerti maksudnya.
“Biasanya saya yang ditugasin untuk bantu lobby pejabat,” kata Jana lagi, “atau anak buah saya. Tapi buat yang satu ini emang susah dari dulu. Dia pilih-pilih banget. Kalau sembarang orang, pasti ditolak. Tapi kalau Mbak Tia pasti bisa deh.”
“Ah.. Maksudnya?”
“Pak Walikota maunya si Neng,” kata Mang Enjup. “Biasanya Mang minta bantuan Jana atau teman-temannya, tapi ternyata ga ada yang cocok ama Pak Walikota. Emang dia seleranya lain, ga mau sama yang biasa, maunya sama yang luar biasa kayak Neng Tia.”
“Tapi.. kenapa harus saya? Kan mestinya sama aja..” tanya Tia.
Jana tertawa. Febby menahan ketawa. Mang Enjup bicara.
“Tia, dengerin Mang yah. Tia sudah lihat yang ditunjukin Febby tadi kan. Kamu tahu seberapa bernilai proyek itu buat perusahaan kita ini? Gede banget, dan semua berharap kita bakal dapat. Barangkali kamu belum tahu, untuk proyek-proyek sebesar itu biasanya kita sebagai pengusaha mesti ngejalin hubungan baik sama orang-orang yang pegang kuasa—pejabat dan semacamnya itu lah. Selama ini kerja Mang di perusahaan ini ya seperti itu. Nah, buat proyek ini, kita perlu persetujuan dari Pak Walikota. Makanya kita perlu Neng Tia. Soalnya, Pak Walikota sudah sering ngasih petunjuk, salah satu yang paling dia harapin itu adalah bisa ada hubungan baik dengan Neng Tia.”
Sesudah mendengar penjelasan Mang Enjup yang dibungkus-bungkus itu Tia masih tetap belum mengerti. Ganti Jana yang bicara.
“Biasanya, Mbak Tia, saya ngurus bagian entertain dalam lobi proyek,” kata Jana. “Yah kita udah tahu lah, pejabat pasti minta bagian. Bisa uang, fasilitas, hadiah. Udah biasa juga kalau kita nyediain hiburan juga. Pejabat itu kebanyakan laki-laki kan. Nah yang namanya laki-laki pastinya suka yang cantik-cantik, jadi saya yang biasa nyediain. Cuma.. Pak Walikota ini agak susah. Dari dulu emang gitu dia. Bukannya dia sok alim atau ga suka yang cantik-cantik sih. Tapi emang seleranya maunya yang susah. Saya udah coba nyodorin yang tua, yang muda, yang masih perawan, tapi semuanya ditolak sama dia. Pusing kan kita mikirnya.”
“Nah,” sambung Mang Enjup, “Sebelum pesta kemarin itu Mang kan sering ketemu Pak Walikota buat ngomongin ini proyek. Pak Walikota kalau ketemu Mang seriiing banget nanyain, mana Neng Tia, kok nggak dibawa. Mang tahu sih Pak Walikota udah perhatiin kamu dari dulu. Mang juga udah jelasin status kamu. Tapi kelihatannya sih Pak Walikota maunya cuma sama kamu.”
Tahu-tahu, Jana sudah merangkul dan menggerayangi Tia. “Mbak Tia cakep banget deh,” ujar Jana sambil satu tangannya meremas pantat Tia lagi.
“Pantes aja Pak Walikota cuma maunya sama Mbak Tia. Cakep, anggun lagi. Bener-bener high class. Saya aja jadi minder ngelihat Mbak.”
Andai pikiran Tia masih normal, mungkin dia akan berusaha mengelak begitu tahu arah kata-kata Mang Enjup. Tapi tidak.. Tia yang sekarang bukan lagi Tia yang polos, malu-malu, dan konservatif.
Sejak Citra mengubah penampilannya, Mang Enjup dan Dr Lorencia mengacak-acak pandangannya, dan berbagai pengalaman berpetualang dilaluinya, kepribadian Tia berubah. Dia tak lagi merasa perlu membatasi dirinya dengan hanya menyerahkan tubuhnya kepada suaminya yang sah. Dia sudah tahu bahwa kenikmatan badan bisa didapat dari mana saja, dan buat dia itu tak salah. Dia tetap seorang istri, tapi dia tak ubahnya seorang pelacur juga. Dia tak lagi sungkan berhubungan seks dengan semua orang. Jana yang berposisi di belakang Tia kini menyandarkan mukanya ke bahu Tia, menghirup wangi rambut Tia dan meremas payudara Tia. Tia mendesah sebagai reaksi gerakan Jana itu. Febby tetap duduk di atas meja, sementara Mang Enjup juga tetap duduk di kursinya tanpa merapikan pakaiannya.
“Makanya.. Tolong yah Neng..” pinta Mang Enjup.
Tia tak bisa konsentrasi karena digerayangi terus oleh Jana.
Mang Enjup menyambung, “Peran seperti ini cuma Neng yang bisa.”
Tia berpikir sebentar, wajahnya berkerut, tapi dengan cepat dia mencapai kesimpulan.
“Iya, Mang. Tia siap.”
Mang Enjup tersenyum lebar. Jana bertepuk tangan.
Tia tersenyum nakal. “Omong-omong, Mang lagi ngapain sih, kok telanjang?” tanyanya.
Mang Enjup tertawa mendengar Tia bicara seperti itu, tak sungkan dan tak malu-malu.
“Ini Mang lagi terapi, hehehe,” kata Mang Enjup. “Dibantuin Jana..”
“Terapi kejantanan, ..hihihi,” Jana menimpali. “Mbak Tia mau ikutan?”
“Boleh juga,” tanpa diduga Tia setuju, “Hitung-hitung latihan.. Ih si Mang udah tegang gitu..”
Tia mendekat ke arah Mang Enjup. Melihat itu, Febby dan Jana juga bergerak, sehingga Mang Enjup kini dikelilingi tiga perempuan cantik. Seperti raja dengan selir-selirnya saja.Tidak seperti sebelumnya, kali ini Tia dengan sadar siap menyerahkan diri dan menggoda Mang Enjup, laki-laki tua pembantu orangtuanya yang sudah dikenalnya dengan baik sejak kecil itu. Sebenarnya sejak ditinggal Bram, Tia agak frustrasi karena kebutuhan seksnya tidak ada yang melayani. Makanya ketika dia digarap Dr Loren dan Danang-Reja beberapa hari lalu, sebenarnya dia melayani dengan suka rela, asalkan bisa mengecap kenikmatan.
“Coba kita lihat hasil terapi tadi..” kata Jana, lalu tiba-tiba dia mendekati Tia dan kembali menggerayangi.
Bram mengantar gadis pemijat itu ke pintu kamar dan membukakan pintu. Dilihatnya gadis itu tersenyum lega. Setelah Difa pergi, Bram kembali memikirkan Tia. Bram merasa sudah berbuat yang benar dengan tidak mengambil kehormatan Difa tadi. Tidak, dia tidak perlu perempuan lain lagi. Dia hanya perlu Tia. Dan urusan di sini sebenarnya sudah selesai. Bram meraih telepon kamar hotel dan minta disambungkan dengan biro perjalanan. Dia ingin tahu apa kepulangannya bisa dipercepat.
*****
Pada hari yang sama ketika Bram bertemu Difa, Tia diminta Mang Enjup datang ke kantor untuk membicarakan rencana negosiasi proyek dengan Walikota. Tia pergi sendirian dan langsung menuju kantor Mang Enjup. Febby sekretaris Mang Enjup yang biasanya duduk di satu meja di luar kantor tidak ada.
“Non Tia sudah ditunggu,” terdengar kata-kata seorang laki-laki.
Di luar kantor Mang Enjup juga ada Danang yang seperti biasa, tidak jelas apa kerjaannya di sana. Dialah yang memberitahu bahwa Tia sudah ditunggu.
Melihat Tia datang, Danang nyengir dan tersenyum mesum ke arah Tia. Yang membuat Danang rada kaget, Tia membalas dengan senyum dan kerling genit. Danang memperhatikan penampilan Tia yang tampak menarik dalam kemeja lengan panjang abu-abu dan rok pendek hitam. Kemejanya ketat. Danang berani sumpah, dia yakin Tia tak sedang memakai bra karena dia melihat puting Tia mencuat di balik bahan kaos itu..
“Aku masuk ya..” kata Tia sambil menoleh ke Danang dan melangkah menuju pintu.
Danang lantas merasakan semua darah ke tubuhnya mengalir menuju bawah perut. Tak tahan dia dengan keseksian Tia yang menggodanya.
*****
“Punten..” Tia mengucap salam ketika masuk. Begitu dia masuk, dia melihat pemandangan tak biasa.
Ada dua perempuan yang sedang berada di kanan kiri Mang Enjup. Mang Enjup sendiri berada dalam keadaan berantakan, kemejanya terbuka sehingga dadanya yang sudah keriput terlihat, mulutnya terengah-engah, keringat menitik di wajahnya. Tia mengenali salah seorang dari dua perempuan itu sebagai Febby, sekretaris Mang Enjup, seorang perempuan berkacamata, berhidung mancung, berambut megar sebahu. Tapi Febby bukan sedang mengenakan pakaian kantor seperti biasa, melainkan tank top ketat berbelahan rendah dan rok mini. Make-upnya juga lebih tebal dari biasa.
“Selamat pagi, Mbak Tia,” sapa Febby.
Perempuan satunya lagi Tia tidak kenal. Dan dia jelas sedang tidak memakai pakaian orang kantoran. Nyaris tidak berpakaian, malah. Cuma celana dalam berenda dan bra pink. Perempuan itu nyengir konyol ketika melihat ada yang datang, dan dia terlihat membungkuk di samping Mang Enjup, tangannya seperti memegang sesuatu di pangkuan Mang Enjup. Rambutnya dicat merah, ukuran dadanya tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping. Riasan menor menutupi wajahnya yang terlihat lebih tua daripada Tia dan Febby: bibir merah, bulu mata palsu, alis ditato.
“Ka dieu, Neng,” panggil Mang Enjup dengan suara lirih, seperti orang kecapekan.
Sebenarnya adegan yang sedang berlangsung di sana sangat tidak wajar, karena sedang ada dua perempuan berpakaian seksi merubung Mang Enjup. Tia sendiri heran dan dia melangkah maju pelan-pelan, tapi begitu tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Mang Enjup yang tetap tajam, dia merasa tidak perlu ke mana-mana.
Ketika makin dekat, Tia jadi bisa melihat apa yang sedang dilakukan Febby dan si rambut merah. Celana Mang Enjup terbuka, kemaluannya tegak, dan kedua perempuan itu sedang membelai-belainya. Tapi si rambut merah sesekali menjepit bagian pangkal batang dan menekan daerah di bawah buah pelir Mang Enjup. Rupanya itu semacam cara untuk mencegah ejakulasi. Agaknya Mang Enjup sedang menjalani “terapi” untuk mengatasi masalah ejakulasi dini-nya. Tia terpaku, tak tahu mesti berbuat apa. Dia memang dipanggil oleh Mang Enjup, tapi apa maunya Mang Enjup? Febby berdiri dan membuka satu laptop yang ada di meja, lalu duduk di atas meja sambil menyilangkan kaki.
“Duduk, Mbak Tia,” kata Febby sambil menunjuk kursi di depan meja Mang Enjup.
Mang Enjup terengah-engah, sepertinya keenakan penisnya dikocok, kadang meringis karena ejakulasinya dibatalkan pencetan jari si rambut merah. Tia duduk dan pandangannya mengikuti tangan Febby yang menunjuk layar laptop. Di situ ditayangkan beberapa tabel dan presentasi terkait proyek yang sedang diperebutkan perusahaan mereka dengan perusahaan-perusahaan milik dua orang yang Tia temui di pesta Walikota. Febby menjelaskan situasi terbaru dan rincian tender proyek kepada Tia. Wajah Tia berkerut selagi mengikuti penjelasan Febby, tanpa menghiraukan Mang Enjup yang asyik sendiri. Febby selesai memberi penjelasan dan Tia merasa cukup mengerti tentang semua hitungan dan rencana yang dijabarkannya. Mang Enjup ikut bicara,
“Tapi, ada yang lebih penting lagi Tia.” Mang Enjup lalu menyentuh lengan si rambut merah.
“Jana..” kata Mang Enjup, menyebut nama si rambut merah.
“Kenalan dulu, Mbak Tia.. saya Jana,” katanya. Jana langsung mendekati Tia, lalu meminta Tia berdiri.
Jana mengamati sekujur tubuh Tia, berjalan mengelilingi Tia sambil pandangannya naik turun.
“Mantap..” kata Jana sambil tiba-tiba meremas pantat Tia.
“Aih!!?” Tia kaget.
“Bahenol juga ya.. pantesan cuma kamu yang dimau’in,” kata Jana. Tia tidak mengerti maksudnya.
“Biasanya saya yang ditugasin untuk bantu lobby pejabat,” kata Jana lagi, “atau anak buah saya. Tapi buat yang satu ini emang susah dari dulu. Dia pilih-pilih banget. Kalau sembarang orang, pasti ditolak. Tapi kalau Mbak Tia pasti bisa deh.”
“Ah.. Maksudnya?”
“Pak Walikota maunya si Neng,” kata Mang Enjup. “Biasanya Mang minta bantuan Jana atau teman-temannya, tapi ternyata ga ada yang cocok ama Pak Walikota. Emang dia seleranya lain, ga mau sama yang biasa, maunya sama yang luar biasa kayak Neng Tia.”
“Tapi.. kenapa harus saya? Kan mestinya sama aja..” tanya Tia.
Jana tertawa. Febby menahan ketawa. Mang Enjup bicara.
“Tia, dengerin Mang yah. Tia sudah lihat yang ditunjukin Febby tadi kan. Kamu tahu seberapa bernilai proyek itu buat perusahaan kita ini? Gede banget, dan semua berharap kita bakal dapat. Barangkali kamu belum tahu, untuk proyek-proyek sebesar itu biasanya kita sebagai pengusaha mesti ngejalin hubungan baik sama orang-orang yang pegang kuasa—pejabat dan semacamnya itu lah. Selama ini kerja Mang di perusahaan ini ya seperti itu. Nah, buat proyek ini, kita perlu persetujuan dari Pak Walikota. Makanya kita perlu Neng Tia. Soalnya, Pak Walikota sudah sering ngasih petunjuk, salah satu yang paling dia harapin itu adalah bisa ada hubungan baik dengan Neng Tia.”
Sesudah mendengar penjelasan Mang Enjup yang dibungkus-bungkus itu Tia masih tetap belum mengerti. Ganti Jana yang bicara.
“Biasanya, Mbak Tia, saya ngurus bagian entertain dalam lobi proyek,” kata Jana. “Yah kita udah tahu lah, pejabat pasti minta bagian. Bisa uang, fasilitas, hadiah. Udah biasa juga kalau kita nyediain hiburan juga. Pejabat itu kebanyakan laki-laki kan. Nah yang namanya laki-laki pastinya suka yang cantik-cantik, jadi saya yang biasa nyediain. Cuma.. Pak Walikota ini agak susah. Dari dulu emang gitu dia. Bukannya dia sok alim atau ga suka yang cantik-cantik sih. Tapi emang seleranya maunya yang susah. Saya udah coba nyodorin yang tua, yang muda, yang masih perawan, tapi semuanya ditolak sama dia. Pusing kan kita mikirnya.”
“Nah,” sambung Mang Enjup, “Sebelum pesta kemarin itu Mang kan sering ketemu Pak Walikota buat ngomongin ini proyek. Pak Walikota kalau ketemu Mang seriiing banget nanyain, mana Neng Tia, kok nggak dibawa. Mang tahu sih Pak Walikota udah perhatiin kamu dari dulu. Mang juga udah jelasin status kamu. Tapi kelihatannya sih Pak Walikota maunya cuma sama kamu.”
Tahu-tahu, Jana sudah merangkul dan menggerayangi Tia. “Mbak Tia cakep banget deh,” ujar Jana sambil satu tangannya meremas pantat Tia lagi.
“Pantes aja Pak Walikota cuma maunya sama Mbak Tia. Cakep, anggun lagi. Bener-bener high class. Saya aja jadi minder ngelihat Mbak.”
Andai pikiran Tia masih normal, mungkin dia akan berusaha mengelak begitu tahu arah kata-kata Mang Enjup. Tapi tidak.. Tia yang sekarang bukan lagi Tia yang polos, malu-malu, dan konservatif.
Sejak Citra mengubah penampilannya, Mang Enjup dan Dr Lorencia mengacak-acak pandangannya, dan berbagai pengalaman berpetualang dilaluinya, kepribadian Tia berubah. Dia tak lagi merasa perlu membatasi dirinya dengan hanya menyerahkan tubuhnya kepada suaminya yang sah. Dia sudah tahu bahwa kenikmatan badan bisa didapat dari mana saja, dan buat dia itu tak salah. Dia tetap seorang istri, tapi dia tak ubahnya seorang pelacur juga. Dia tak lagi sungkan berhubungan seks dengan semua orang. Jana yang berposisi di belakang Tia kini menyandarkan mukanya ke bahu Tia, menghirup wangi rambut Tia dan meremas payudara Tia. Tia mendesah sebagai reaksi gerakan Jana itu. Febby tetap duduk di atas meja, sementara Mang Enjup juga tetap duduk di kursinya tanpa merapikan pakaiannya.
“Makanya.. Tolong yah Neng..” pinta Mang Enjup.
Tia tak bisa konsentrasi karena digerayangi terus oleh Jana.
Mang Enjup menyambung, “Peran seperti ini cuma Neng yang bisa.”
Tia berpikir sebentar, wajahnya berkerut, tapi dengan cepat dia mencapai kesimpulan.
“Iya, Mang. Tia siap.”
Mang Enjup tersenyum lebar. Jana bertepuk tangan.
Tia tersenyum nakal. “Omong-omong, Mang lagi ngapain sih, kok telanjang?” tanyanya.
Mang Enjup tertawa mendengar Tia bicara seperti itu, tak sungkan dan tak malu-malu.
“Ini Mang lagi terapi, hehehe,” kata Mang Enjup. “Dibantuin Jana..”
“Terapi kejantanan, ..hihihi,” Jana menimpali. “Mbak Tia mau ikutan?”
“Boleh juga,” tanpa diduga Tia setuju, “Hitung-hitung latihan.. Ih si Mang udah tegang gitu..”
Tia mendekat ke arah Mang Enjup. Melihat itu, Febby dan Jana juga bergerak, sehingga Mang Enjup kini dikelilingi tiga perempuan cantik. Seperti raja dengan selir-selirnya saja.Tidak seperti sebelumnya, kali ini Tia dengan sadar siap menyerahkan diri dan menggoda Mang Enjup, laki-laki tua pembantu orangtuanya yang sudah dikenalnya dengan baik sejak kecil itu. Sebenarnya sejak ditinggal Bram, Tia agak frustrasi karena kebutuhan seksnya tidak ada yang melayani. Makanya ketika dia digarap Dr Loren dan Danang-Reja beberapa hari lalu, sebenarnya dia melayani dengan suka rela, asalkan bisa mengecap kenikmatan.
“Coba kita lihat hasil terapi tadi..” kata Jana, lalu tiba-tiba dia mendekati Tia dan kembali menggerayangi.
Febby terpikir untuk meramaikan suasana, jadi dia menuju laptopnya dan mulai memutar musik dance. Dia kemudian mendekati Tia dan Jana sambil bergoyang ikut irama. Jana juga ikut-ikutan, sambil menggerak-gerakkan tubuh Tia, mengajak Tia ikut dance. Tia terbawa juga, mulai meliuk-liukkan tubuhnya yang indah.
Mang Enjup jadi ngiler melihat tiga perempuan cantik bergoyang aduhai di depannya. Febby dan Jana bergerak luwes seperti sudah biasa ajojing. Jana apalagi, dia yang sejatinya bekerja jadi agen cewek panggilan dan penari tanggal baju setelah sebelumnya malang melintang di dua profesi itu, sudah kenyang pengalaman memikat hati dan tubuh laki-laki lewat goyang tubuhnya. Tia saja yang agak kaku.
“Mbak Tia cantik.. Kita buka yah?” Jana bergoyang sambul memeluk Tia dari belakang, dan mengatakan itu sambil meraba tubuh Tia.
Jana melepas satu-satu kancing kemeja Tia.
“Uhh..” Mang Enjup melenguh ketika melihat apa yang tampak di balik kemeja abu-abu Tia.
Tadi waktu di luar, Danang mengira Tia tidak memakai bra karena bisa melihat puting Tia mencuat di balik kemeja. Ternyata itu benar, dan sekarang Mang Enjup melihat sepasang buah dada sintal Tia.
“Wuaaah.. berani banget ya Mbak Tia..” puji Jana sambil membelai-belai payudara Tia. “Nggak nyangka dari tadi sudah nggak pake beha!”
Memang Tia dari tadi tak memakai bra. Dari rumah. Dan sepanjang perjalanan, dia terangsang karena menikmati pandangan orang-orang yang tergiur kecantikannya. Jana membantu Tia melepas kemejanya sehingga Tia pun akhirnya berdiri topless di depan Mang Enjup yang mulai kelabakan.
“Aduh.. duh meni geulis Neng Tia..” keluh Mang Enjup.
Tia melangkah maju mengikuti hentakan irama musik dari laptop Febby ke hadapan Mang Enjup. Mang Enjup tetap duduk, kemaluannya yang dari tadi ereksi mengacung ke depan. Tia menjulurkan tangan dan menadah bagian bawah batang kejantanan Mang Enjup yang tak seberapa besar. Satu tangannya lagi bertumpu di paha Mang Enjup selagi dia membungkukkan badan, membuat kedua susunya bergelantungan.
Tia menengadahkan muka, mulutnya terbuka, matanya liar dan lapar. Ketika bekerja di rumah orangtua Tia dulu, Mang Enjup mengingat Tia sebagai gadis kecil yang manis dan polos. Kesan manis dan polos itu kini sudah hilang, tertutup ekspresi seksi dan binal. Wajah gadis kecil yang diingat Mang Enjup itu kini berubah, dengan bibir merah penuh, pipi merona, mata tajam berhias warna. Tia mengerling, menjilat bibir, menggoda Mang Enjup. Jemarinya membelai halus penis Mang Enjup.
Mang Enjup sudah tak perlu lagi menggunakan ilmunya. Wajah Tia merambat dari dekat selangkangan Mang Enjup ke dada Mang Enjup, dan Tia mulai menjilat dan mengisap putting Mang Enjup. Mang Enjup kemudian melihat wajah mesum Tia sudah berada tepat di depan wajahnya, bibir Tia bertemu bibirnya, dan lidahnya disedot Tia yang dengan ganas menciumnya.
Mana tahan Mang Enjup! Benihnya yang sudah dari tadi berhasil ditahan meski menghadapi Febby dan Jana, langsung memaksa keluar. Rangsangan dari Tia, tangan dan wajah dan aksi, memicu ejakulasi.
“Auhhh..” keluh Mang Enjup lirih, hasil terapi ejakulasi dini-nya langsung buyar seketika di tangan Tia, membuat cairan kental tersembur mengotori lantai di depan kursi.
Tia segera melepas ciumannya dan tersenyum sinis.
“Mang.. Payah deh ah.. masak udah keluar..” kata Tia.
Mang Enjup yang masih terengah-engah sesudah keluar tanpa perlu memasukkan kemaluannya ke mana-mana itu masih mendapat hiburan berupa kesenangan kecil, dari kata-kata nakal Tia barusan.
Dia telah berhasil merusak Tia. Kini Tia pun menjadi satu lagi perempuan baik-baik yang dijadikannya binal. Laki-laki tua itu terengah-engah lelah. Tapi puas. Puas sekali.
“Belum juga masuk, mana enak.. Tia bikin bangun lagi, ya, Mang?” kata Tia dengan suara menggoda.
Bunyi musik dance dari laptop Febby masih membahana, sehingga bagian dalam kantor itu seperti diskotik saja rasanya. Tia kembali bergoyang seksi, kali ini dia menarik Febby yang dari tadi diam saja. Febby mengerti dan keduanya pun menari sensual di depan Mang Enjup. Benar-benar posisi Mang Enjup ibarat seorang raja zaman dulu, dirubung selir-selirnya, menikmati pertunjukan tari yang menawan hati di depan mata. Tapi kemaluannya kisut lemas sesudah dibuat muncrat Tia tadi. Tia memeluk Febby dalam posisi berhadapan, sambil menoleh ke arah Mang Enjup dan mengerling nakal.
“Mang, lihat nih,” kata Tia sambil menggerayangi Febby.
Sekretaris Mang Enjup itu mendesah-desah ketika Tia mencupang lehernya, menyibak rambut tebalnya.
“Ahh.. uh.. ah..” desah Tia seksi selagi tangannya mencengkeram rambut Febby dan memaksa si sekretaris menyedot dan mengenyot pentilnya.
Jana berkomentar, “Boleh juga nih! Ikutan dong! Ayo kita bikin Mang bangun lagi!” dan langsung membuka kaitan bra-nya sambil menari-nari. Dia ikut topless seperti Tia, sayang payudaranya sudah mulai turun dan berpentil gelap, tubuhnya memang mulai kalah dengan tubuh Tia dan Febby yang lebih muda.
Jana tidak mendekati Tia dan Febby yang bercumbu, malah dia mendekati Mang Enjup.
“Mang masih suka aku gini’in kan..” kata Jana.
Jana kemudian berlutut di depan selangkangan Mang Enjup, kemudian mulai memasukkan kemaluan yang masih lemas itu ke dalam mulutnya. Sebagaimana banyak perempuan di sekeliling hidup Mang Enjup, Jana juga dulu dirusak oleh Mang Enjup. Namanya sekarang, Jana, adalah perubahan nama aslinya yang berarti cahaya di suatu tempat indah bagi man*sia-man*sia budiman kelak, Jana aslinya seorang gadis taat dari keluarga miskin dengan kampung halaman di pulau seberang, yang suatu hari datang membawa CV dan surat lamaran ke kantor Mang Enjup demi mendapat penghidupan lebih baik. Sayang, bibir sensualnya yang polos menarik perhatian laki-laki mesum berilmu gendam itu, sehingga, seperti kupu-kupu tersangkut jaring laba-laba, Jana pun terjerat.
Menjelang akhir wawancara pertama, pakaiannya yang sopan telah bertebaran di lantai kantor, bagian-bagian tubuhnya yang biasa tak dia tunjukkan untuk sembarang orang sudah terungkap semua, dan bibir tebalnya yang polos namun sensual ternoda cairan kelelakian Mang Enjup. Jana diterima bekerja di kantor Mang Enjup, dengan jabatan resmi sebagai asisten namun pekerjaan sebenarnya adalah menjadi salah satu wanita penghibur pelancar negosiasi. Kehidupannya pun berubah, dia mulai memakai baju minim dan berdandan seksi sehingga memicu masalah dengan keluarganya yang konservatif. Namun jiwanya sudah dicengkeram Mang Enjup sehingga dia malah memilih melupakan keluarganya. Terjerumuslah Jana ke dunia hitam dan dia pun sepenuhnya berkecimpung di sana, sesudah cukup berpengalaman, dia mulai coba-coba mengajak gadis-gadis muda untuk mengikuti jejaknya melacur. Kini sudah sepuluh tahun sejak Jana pertama kali masuk ke kantor itu dengan harapan mendapat pekerjaan.
Jana terus mengisap, kepalanya maju-mundur sekujur kemaluan Mang Enjup yang masih tetap lemas, sambil matanya menatap penuh harap ke orang yang telah menggelapkan hidupnya. Jana tak pernah merasa benci kepada Mang Enjup, bertahun-tahun sudah berlalu dan cengkeraman mental Mang Enjup sudah sirna, tapi Jana sendiri sudah pasrah dengan jalan hidupnya.
Kepala Jana makin terbenam ke selangkangan Mang Enjup, bibir dan lidahnya kini menggarap buah pelir laki-laki tua itu. Dulu sekali, Mang Enjup yang melihat indahnya bibir Jana memutuskan untuk membuat gadis itu menjadi ahli memuaskan laki-laki dengan bibirnya. Jadi sepanjang Jana bekerja di bawah Mang Enjup, Mang Enjup sering menyuruh Jana menyervis dengan bibirnya, dan melatih Jana agar mau berbuat apa saja dengan bibir seksinya itu.
Maka sekarang Jana mempraktikkan hal-hal yang diajarkan Mang Enjup kepadanya. Dia menciumi dan menggigit-gigit lembut bagian pangkal paha Mang Enjup, mengulum dan menjilati biji, memuja seluruh selangkangan itu dengan bibirnya yang merah. Mang Enjup mengerang keenakan, tangannya memegang belakang kepala Jana, memberi tanda kepada Jana untuk melanjutkan. Jana melanjutkan pelan-pelan, tahu bahwa Mang Enjup yang sudah tidak muda lagi itu tak akan cepat pulih. Mukanya terbenam di antara dua sisi pangkal paha dan di bawah kemaluan Mang Enjup, lidahnya melejit menyusuri ke bawah, dari dasar kantong biji Mang Enjup terus ke bawah, menuju dubur laki-laki tua itu. Ujung lidah Jana bergerak ke kanan-kiri dan menyapu lubang dubur Mang Enjup, kemudian naik lagi sampai menjilati bagian belakang buah pelir Mang Enjup. Jana tak jijik sama sekali melakukan itu.
Selama beberapa menit Jana terus menggarap kemaluan, buah pelir, dan lubang dubur Mang Enjup. Tapi Jana sendiri terangsang berat dengan aksinya sendiri itu. Lagi-lagi itu ajaran Mang Enjup, karena mau mengeksploitasi bibir Jana, maka dulu Mang Enjup menanamkan sugesti bahwa Jana bisa terangsang apabila dia sedang meng-oral laki-laki. Mang Enjup sendiri merasa keenakan sampai-sampai dia tidak bisa berdiri, karena memang di antara kemaluan dan dubur ada titik sensitif yang berkali-kali dirangsang Jana, tapi kejantanannya belum juga bangun. Jana menoleh dan melihat Tia dan Febby sudah saling membugili. Dia memanggil kedua perempuan yang lebih muda itu supaya tidak asyik sendiri. Kemudian Jana menunjuk ke satu sofa di samping meja kerja Mang Enjup, yang bersandar ke tembok.
Febby dan Jana membantu Mang Enjup berdiri, dan laki-laki tua itu tertatih-tatih lemas dipapah dua perempuan cantik ke sofa. Begitu Mang Enjup duduk lagi, Jana kembali berlutut di depannya, sementara Febby duduk di sebelahnya, menjulurkan tangan dan mengelus-elus kemaluan Mang Enjup yang masih juga ngadat. Dengan Mang Enjup dikerubungi seperti itu, di mana posisi Tia? Tia melangkah naik ke sofa, berdiri mengangkangi pangkuan Mang Enjup.
“Mang,” kata Tia, “lihat nih.. memekku..”
Mang Enjup membelalak. Dalam posisi seperti itu, bagian bawah perut Tia tepat berada di depannya, dan tangan Tia meraih ke bawah merentang vaginanya sampai bagian dalamnya yang berwarna pink dan basah terlihat. Tia menjolokkan jarinya sendiri ke dalam, mengobel vaginanya sendiri.
“Ayo Mang.. bikin Tia enak Mang.. Jilatin memek Tia Mang..” pinta Tia.
Mang Enjup jadi ngiler melihat tiga perempuan cantik bergoyang aduhai di depannya. Febby dan Jana bergerak luwes seperti sudah biasa ajojing. Jana apalagi, dia yang sejatinya bekerja jadi agen cewek panggilan dan penari tanggal baju setelah sebelumnya malang melintang di dua profesi itu, sudah kenyang pengalaman memikat hati dan tubuh laki-laki lewat goyang tubuhnya. Tia saja yang agak kaku.
“Mbak Tia cantik.. Kita buka yah?” Jana bergoyang sambul memeluk Tia dari belakang, dan mengatakan itu sambil meraba tubuh Tia.
Jana melepas satu-satu kancing kemeja Tia.
“Uhh..” Mang Enjup melenguh ketika melihat apa yang tampak di balik kemeja abu-abu Tia.
Tadi waktu di luar, Danang mengira Tia tidak memakai bra karena bisa melihat puting Tia mencuat di balik kemeja. Ternyata itu benar, dan sekarang Mang Enjup melihat sepasang buah dada sintal Tia.
“Wuaaah.. berani banget ya Mbak Tia..” puji Jana sambil membelai-belai payudara Tia. “Nggak nyangka dari tadi sudah nggak pake beha!”
Memang Tia dari tadi tak memakai bra. Dari rumah. Dan sepanjang perjalanan, dia terangsang karena menikmati pandangan orang-orang yang tergiur kecantikannya. Jana membantu Tia melepas kemejanya sehingga Tia pun akhirnya berdiri topless di depan Mang Enjup yang mulai kelabakan.
“Aduh.. duh meni geulis Neng Tia..” keluh Mang Enjup.
Tia melangkah maju mengikuti hentakan irama musik dari laptop Febby ke hadapan Mang Enjup. Mang Enjup tetap duduk, kemaluannya yang dari tadi ereksi mengacung ke depan. Tia menjulurkan tangan dan menadah bagian bawah batang kejantanan Mang Enjup yang tak seberapa besar. Satu tangannya lagi bertumpu di paha Mang Enjup selagi dia membungkukkan badan, membuat kedua susunya bergelantungan.
Tia menengadahkan muka, mulutnya terbuka, matanya liar dan lapar. Ketika bekerja di rumah orangtua Tia dulu, Mang Enjup mengingat Tia sebagai gadis kecil yang manis dan polos. Kesan manis dan polos itu kini sudah hilang, tertutup ekspresi seksi dan binal. Wajah gadis kecil yang diingat Mang Enjup itu kini berubah, dengan bibir merah penuh, pipi merona, mata tajam berhias warna. Tia mengerling, menjilat bibir, menggoda Mang Enjup. Jemarinya membelai halus penis Mang Enjup.
Mang Enjup sudah tak perlu lagi menggunakan ilmunya. Wajah Tia merambat dari dekat selangkangan Mang Enjup ke dada Mang Enjup, dan Tia mulai menjilat dan mengisap putting Mang Enjup. Mang Enjup kemudian melihat wajah mesum Tia sudah berada tepat di depan wajahnya, bibir Tia bertemu bibirnya, dan lidahnya disedot Tia yang dengan ganas menciumnya.
Mana tahan Mang Enjup! Benihnya yang sudah dari tadi berhasil ditahan meski menghadapi Febby dan Jana, langsung memaksa keluar. Rangsangan dari Tia, tangan dan wajah dan aksi, memicu ejakulasi.
“Auhhh..” keluh Mang Enjup lirih, hasil terapi ejakulasi dini-nya langsung buyar seketika di tangan Tia, membuat cairan kental tersembur mengotori lantai di depan kursi.
Tia segera melepas ciumannya dan tersenyum sinis.
“Mang.. Payah deh ah.. masak udah keluar..” kata Tia.
Mang Enjup yang masih terengah-engah sesudah keluar tanpa perlu memasukkan kemaluannya ke mana-mana itu masih mendapat hiburan berupa kesenangan kecil, dari kata-kata nakal Tia barusan.
Dia telah berhasil merusak Tia. Kini Tia pun menjadi satu lagi perempuan baik-baik yang dijadikannya binal. Laki-laki tua itu terengah-engah lelah. Tapi puas. Puas sekali.
“Belum juga masuk, mana enak.. Tia bikin bangun lagi, ya, Mang?” kata Tia dengan suara menggoda.
Bunyi musik dance dari laptop Febby masih membahana, sehingga bagian dalam kantor itu seperti diskotik saja rasanya. Tia kembali bergoyang seksi, kali ini dia menarik Febby yang dari tadi diam saja. Febby mengerti dan keduanya pun menari sensual di depan Mang Enjup. Benar-benar posisi Mang Enjup ibarat seorang raja zaman dulu, dirubung selir-selirnya, menikmati pertunjukan tari yang menawan hati di depan mata. Tapi kemaluannya kisut lemas sesudah dibuat muncrat Tia tadi. Tia memeluk Febby dalam posisi berhadapan, sambil menoleh ke arah Mang Enjup dan mengerling nakal.
“Mang, lihat nih,” kata Tia sambil menggerayangi Febby.
Sekretaris Mang Enjup itu mendesah-desah ketika Tia mencupang lehernya, menyibak rambut tebalnya.
“Ahh.. uh.. ah..” desah Tia seksi selagi tangannya mencengkeram rambut Febby dan memaksa si sekretaris menyedot dan mengenyot pentilnya.
Jana berkomentar, “Boleh juga nih! Ikutan dong! Ayo kita bikin Mang bangun lagi!” dan langsung membuka kaitan bra-nya sambil menari-nari. Dia ikut topless seperti Tia, sayang payudaranya sudah mulai turun dan berpentil gelap, tubuhnya memang mulai kalah dengan tubuh Tia dan Febby yang lebih muda.
Jana tidak mendekati Tia dan Febby yang bercumbu, malah dia mendekati Mang Enjup.
“Mang masih suka aku gini’in kan..” kata Jana.
Jana kemudian berlutut di depan selangkangan Mang Enjup, kemudian mulai memasukkan kemaluan yang masih lemas itu ke dalam mulutnya. Sebagaimana banyak perempuan di sekeliling hidup Mang Enjup, Jana juga dulu dirusak oleh Mang Enjup. Namanya sekarang, Jana, adalah perubahan nama aslinya yang berarti cahaya di suatu tempat indah bagi man*sia-man*sia budiman kelak, Jana aslinya seorang gadis taat dari keluarga miskin dengan kampung halaman di pulau seberang, yang suatu hari datang membawa CV dan surat lamaran ke kantor Mang Enjup demi mendapat penghidupan lebih baik. Sayang, bibir sensualnya yang polos menarik perhatian laki-laki mesum berilmu gendam itu, sehingga, seperti kupu-kupu tersangkut jaring laba-laba, Jana pun terjerat.
Menjelang akhir wawancara pertama, pakaiannya yang sopan telah bertebaran di lantai kantor, bagian-bagian tubuhnya yang biasa tak dia tunjukkan untuk sembarang orang sudah terungkap semua, dan bibir tebalnya yang polos namun sensual ternoda cairan kelelakian Mang Enjup. Jana diterima bekerja di kantor Mang Enjup, dengan jabatan resmi sebagai asisten namun pekerjaan sebenarnya adalah menjadi salah satu wanita penghibur pelancar negosiasi. Kehidupannya pun berubah, dia mulai memakai baju minim dan berdandan seksi sehingga memicu masalah dengan keluarganya yang konservatif. Namun jiwanya sudah dicengkeram Mang Enjup sehingga dia malah memilih melupakan keluarganya. Terjerumuslah Jana ke dunia hitam dan dia pun sepenuhnya berkecimpung di sana, sesudah cukup berpengalaman, dia mulai coba-coba mengajak gadis-gadis muda untuk mengikuti jejaknya melacur. Kini sudah sepuluh tahun sejak Jana pertama kali masuk ke kantor itu dengan harapan mendapat pekerjaan.
Jana terus mengisap, kepalanya maju-mundur sekujur kemaluan Mang Enjup yang masih tetap lemas, sambil matanya menatap penuh harap ke orang yang telah menggelapkan hidupnya. Jana tak pernah merasa benci kepada Mang Enjup, bertahun-tahun sudah berlalu dan cengkeraman mental Mang Enjup sudah sirna, tapi Jana sendiri sudah pasrah dengan jalan hidupnya.
Kepala Jana makin terbenam ke selangkangan Mang Enjup, bibir dan lidahnya kini menggarap buah pelir laki-laki tua itu. Dulu sekali, Mang Enjup yang melihat indahnya bibir Jana memutuskan untuk membuat gadis itu menjadi ahli memuaskan laki-laki dengan bibirnya. Jadi sepanjang Jana bekerja di bawah Mang Enjup, Mang Enjup sering menyuruh Jana menyervis dengan bibirnya, dan melatih Jana agar mau berbuat apa saja dengan bibir seksinya itu.
Maka sekarang Jana mempraktikkan hal-hal yang diajarkan Mang Enjup kepadanya. Dia menciumi dan menggigit-gigit lembut bagian pangkal paha Mang Enjup, mengulum dan menjilati biji, memuja seluruh selangkangan itu dengan bibirnya yang merah. Mang Enjup mengerang keenakan, tangannya memegang belakang kepala Jana, memberi tanda kepada Jana untuk melanjutkan. Jana melanjutkan pelan-pelan, tahu bahwa Mang Enjup yang sudah tidak muda lagi itu tak akan cepat pulih. Mukanya terbenam di antara dua sisi pangkal paha dan di bawah kemaluan Mang Enjup, lidahnya melejit menyusuri ke bawah, dari dasar kantong biji Mang Enjup terus ke bawah, menuju dubur laki-laki tua itu. Ujung lidah Jana bergerak ke kanan-kiri dan menyapu lubang dubur Mang Enjup, kemudian naik lagi sampai menjilati bagian belakang buah pelir Mang Enjup. Jana tak jijik sama sekali melakukan itu.
Selama beberapa menit Jana terus menggarap kemaluan, buah pelir, dan lubang dubur Mang Enjup. Tapi Jana sendiri terangsang berat dengan aksinya sendiri itu. Lagi-lagi itu ajaran Mang Enjup, karena mau mengeksploitasi bibir Jana, maka dulu Mang Enjup menanamkan sugesti bahwa Jana bisa terangsang apabila dia sedang meng-oral laki-laki. Mang Enjup sendiri merasa keenakan sampai-sampai dia tidak bisa berdiri, karena memang di antara kemaluan dan dubur ada titik sensitif yang berkali-kali dirangsang Jana, tapi kejantanannya belum juga bangun. Jana menoleh dan melihat Tia dan Febby sudah saling membugili. Dia memanggil kedua perempuan yang lebih muda itu supaya tidak asyik sendiri. Kemudian Jana menunjuk ke satu sofa di samping meja kerja Mang Enjup, yang bersandar ke tembok.
Febby dan Jana membantu Mang Enjup berdiri, dan laki-laki tua itu tertatih-tatih lemas dipapah dua perempuan cantik ke sofa. Begitu Mang Enjup duduk lagi, Jana kembali berlutut di depannya, sementara Febby duduk di sebelahnya, menjulurkan tangan dan mengelus-elus kemaluan Mang Enjup yang masih juga ngadat. Dengan Mang Enjup dikerubungi seperti itu, di mana posisi Tia? Tia melangkah naik ke sofa, berdiri mengangkangi pangkuan Mang Enjup.
“Mang,” kata Tia, “lihat nih.. memekku..”
Mang Enjup membelalak. Dalam posisi seperti itu, bagian bawah perut Tia tepat berada di depannya, dan tangan Tia meraih ke bawah merentang vaginanya sampai bagian dalamnya yang berwarna pink dan basah terlihat. Tia menjolokkan jarinya sendiri ke dalam, mengobel vaginanya sendiri.
“Ayo Mang.. bikin Tia enak Mang.. Jilatin memek Tia Mang..” pinta Tia.
Melihat Mang Enjup kewalahan karena bagian bawah tubuhnya diurusi Jana dan Febby, Tia berinisiatif sendiri, menyodorkan kewanitaannya langsung ke muka Mang Enjup sementara tubuhnya merapat ke tembok di belakang sofa.
“Haohhh! Ayo jilatin Mang! Terus Mang!” jerit Tia selagi lidah Mang Enjup memasuki vaginanya.
Tia mulai memain-mainkan payudaranya sendiri. Sekali-sekali dia berseru,
“Terus jilatin,” dan “Entot Tia Mang” sementara nafasnya memburu.
Setelah dirangsang terus, kewanitaan Tia mulai mengeluarkan cairan sehingga bibir Mang Enjup pun basah belepotan, tapi Tia tak peduli, dia terus memaksakan memeknya mendesak muka orang yang dulu dihormatinya itu. Lama sekali ketiga perempuan itu berusaha membangkitkan kejantanan laki-laki yang telah merusak mereka. Mungkin sampai setengah jam. Jana merangsang di dekat an*s, Febby mengocok serta menjilati batang penis, sementara Tia menyodorkan vaginanya untuk dilalap Mang Enjup.
“Sudah naik lagi nih!” teriak Febby girang sesudah dia melihat kemaluan Mang Enjup akhirnya keras lagi.
Di antara ketiga perempuan yang ada di sana, Febby-lah yang saat ini paling sering menjadi pasangan seks Mang Enjup, karena kedekatannya sebagai sekretaris. Aslinya Febby mulai bekerja di perusahaan itu di bagian lain, tapi suatu hari dia dipindah menjadi sekretaris Mang Enjup.
Mang Enjup langsung mengacak-acak hidup Febby begitu gadis berkacamata berhidung mancung itu jadi bawahannya, sedikit demi sedikit: pertama, Febby dibuat tak lagi tertarik dengan pacarnya, sehingga pemuda malang itu akhirnya diputus oleh Febby. Kemudian Febby yang aslinya berpenampilan tomboy dipengaruhi sehingga berubah.
Dulu Febby berambut pendek dan biasa mengenakan celana panjang ke kantor, sekarang Febby memelihara rambutnya jadi panjang dan megar, dan dia selalu memakai rok mini dan sepatu hak tinggi. Dan Mang Enjup juga membuat Febby jadi mudah cepat orgasme, karena Mang Enjup ingin sekretarisnya itu bisa puas biarpun disetubuhi hanya beberapa menit. Kalau Febby susah puas, bisa-bisa dia tidak setia dan mencari-cari kenikmatan dari orang lain. Sementara itu kemampuan kerja dan sikap dingin Febby tetap seperti semula.
Nah, seperti sudah dijelaskan, oleh Mang Enjup, Jana dibuat mudah terangsang apabila sedang melayani laki-laki dengan bibirnya, sementara Febby dijadikan cepat mendapat orgasme. Keduanya sedari tadi tidak diam saja. Febby sempat mengalami orgasme kecil ketika tadi digerayangi Tia, sementara Jana memainkan lidahnya di selangkangan Mang Enjup sambil bermasturbasi dan menuju klimaks. Sementara Tia tidak juga puas biarpun sudah memaksa Mang Enjup menjilati kemaluannya.
“Tia, Tia, kamu entot Mang, sekarang!” pinta Mang Enjup.
Tia mengerti, dia langsung menurunkan tubuhnya menyambut tegak kembalinya kejantanan Mang Enjup. Penis Mang Enjup yang sedang tegak itu diarahkan oleh Febby ke arah belahan vagina Tia. Tia yang mengangkangi selangkangan Mang Enjup pelan-pelan menurunkan tubuh sehingga masuklah penis tua itu ke dalam belahan kewanitaannya yang basah. Tapi memang punya Mang Enjup tidak sebesar penis banyak orang yang pernah dicobanya. Jadi “kurang berasa” untuk Tia. Ekspresi wajahnya tak berubah ketika dimasuki batang Mang Enjup.
Jana ikut nimbrung, dia mengalihkan perhatian ke pantat Tia. Ketika lidah Jana mulai menyapu belahan pantat Tia, Tia merinding. Tia mulai menaikturunkan tubuhnya, menjepit kejantanan Mang Enjup dengan vaginanya, sambil menciumi wajah Mang Enjup. Suara desahannya tak sebegitu intens, jelas karena dia masih belum puas dengan ukuran barang yang mempenetrasinya. Tapi ereksi yang diusahakan dengan susah payah sampai setengah jam itu tidak bertahan lama. Mang Enjup mengeluarkan suara mengeluh panjang dan berejakulasi di dalam vagina Tia, setelah hanya empat-lima kali digenjot Tia. Semprotan maninya cepat berhenti, dan kemaluannya cepat sekali melemas dan kisut. u**r tak bisa dibohongi, sang perusak wanita itu tak lagi jantan, tiga perempuan seksi merubungnya pun disia-siakan begitu saja.
“Heh?.. Yaaah.. Kok cepet lagi keluarnya? Aaahhh..” Tia merajuk.
“Aduh.. maafin Mang,” kata Mang Enjup yang lemas.
Tubuhnya yang tua itu terasa capek sekali, dua kali orgasme dalam waktu singkat sangat menguras tenaga. Mata Mang Enjup jadi sayu, dan dia jadi merasa mengantuk. Dan kepalanya terasa berkunang-kunang. Tanpa dapat menahan, Mang Enjup tertidur..
“Haahhh.. malah tidur.. Iiihh.. “ keluh Tia.
Febby merangkulnya dan membantunya turun dari pangkuan Mang Enjup.
“Sudah.. Mbak Tia, biarin aja Bapak istirahat, jarang banget dia bisa ngecrot sehari dua kali dalam waktu berdekatan gitu. Sekarang Mbak Tia pulang aja ya? Penjelasannya kan udah, Mbak Tia juga udah tahu apa yang harus dilakukan,” bujuk Febby.
Febby dan Jana mengajak Tia ke kamar mandi kecil di dalam kantor itu, lalu mereka bertiga membersihkan diri dengan shower, Tia mencuci vaginanya. Cairan yang dikeluarkan Mang Enjup di dalam dirinya hanya sedikit. Sesudahnya mereka mengeringkan diri dan berpakaian lagi. Ketika akan meninggalkan ruangan, Tia menengok ke Mang Enjup yang tertidur.
Kedua “selir”nya—Febby dan Jana—memakaikan kembali baju dan celana Mang Enjup. Tia tersenyum melihat Mang Enjup yang menganga mulutnya dan ngorok ketika ketiduran di sofa, juga ketika melihat betapa perhatiannya Febby dan Jana kepada Mang Enjup. Entah apa yang dipikirkan keduanya terhadap laki-laki tua yang telah mengubah hidup mereka itu. Benci? Dendam? Acuh? Atau malah sayang?
Tia melangkah keluar dengan tak puas. Sekali lagi dia melewati Danang yang duduk menumpangkan kaki di meja, dan kembali dia melirik genit ke arah Danang. Sayangnya Danang terlalu pengecut untuk menanggapi ajakan Tia itu. Padahal dia bisa saja jadi pelampiasan Tia yang tidak sempat dibikin puas oleh Mang Enjup. Tapi karena Danang tidak berani berinisiatif, maka dia cuma bisa gigit jari.
Tia pulang sambil mengingat-ingat penjelasan mengenai perannya dalam negosiasi tender mendatang. Dia perlu menggunakan tubuhnya untuk meyakinkan Pak Walikota. Pesan itu, tanpa diucapkan jelas oleh Mang Enjup maupun Febby dan Jana, sudah tertanam di kepala Tia. Dan ketika Tia berbaring malam itu, tubuhnya yang belum terpuaskan membuat dia sulit tidur. Besok dia akan menghadap Pak Walikota, dan dia berharap Pak Walikota tidak punya masalah ejakulasi dini seperti Mang Enjup..
=== X=X=X ===
Pagi, di Salon Citra.
Ketika Tia dan Citra bersekolah di SMA yang sama dulu, berbeda dua angkatan, keduanya dikenal sebagai kembang di sekolah itu. Kedua gadis yang orangtuanya saling kenal itu sama-sama jelita, namun tipe kecantikan mereka berbeda. Citra selalu bergaya, glamor, dan menggoda, Tia polos, malu-malu, dan bersahaja. Tak heran sejak dulu mereka berdua tidak pernah kehabisan perhatian dari laki-laki, mulai dari sesama siswa sampai orang-orang lebih tua. Tia tidak pernah menanggapi karena dulu dia menganggap belum waktunya dia pacaran. Sedangkan Citra beredar dari satu laki-laki ke laki-laki lain, menikmati kekaguman dan cinta mereka. Kedua gadis cantik itu akhirnya menjadi saudara ipar, dipertalikan lewat pernikahan Tia dengan Bram adik Citra, namun keduanya juga jadi bersahabat, berbagi suka dan duka, saling membela dan menjaga.
Pagi-pagi Citra sudah ditelepon Tia yang minta dirias dan didandani untuk suatu acara. Tia awalnya tidak cerita acara apa, tapi di tengah pembicaraan ketika dirias Citra berhasil mengorek sedikit-sedikit apa yang mau dilakukan adik iparnya.
“Omong-omong, ada acara apa, kok tengah minggu begini?” Citra mengulik.
“Aku diminta bantu negosiasi tender proyek sama Mang Enjup,” kata Tia.
“Tapi kenapa persiapannya kayak mau ke resepsi? Sampai pake kebaya segala..”
“Diminta Mang Enjup,” kata Tia sambil tersipu malu, “Mau ketemu orang penting..”
Citra tidak bertanya lagi, tapi dia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Dia tahu apa yang Mang Enjup pernah lakukan kepada Tia, dan dia tahu reputasi Mang Enjup, tapi dia tak menyangka Tia akan terjerumus sedemikian jauh. Citra tidak masalah kalau Tia mengubah diri demi Bram, tapi sepertinya perubahan Tia tidak cuma itu.. Tapi untuk saat itu Citra memilih diam dulu. Dia meneruskan pekerjaannya.
Tak lama kemudian Citra berkacak pinggang sambil memperhatikan hasil karya-nya, Tia yang sudah dirias lengkap dan tampak mempesona dalam kebaya modern. Tubuh Tia yang pada dasarnya indah terlihat makin gemulai dalam balutan kebaya dan bawahan kain batik yang pas badan itu. Tapi Citra sudah bisa menebak, dalam beberapa jam dandanan anggun itu akan rusak diacak-acak. Entah oleh siapa. Barangkali oleh “orang penting” itu. Mungkin Mang Enjup juga bakal ikutan. Kain batik yang membungkus pahanya bakal disingkap agar paha mulus Tia dapat dijamah. Kebaya berdada rendah yang membusungkan dada Tia itu tak bakal melindungi payudara Tia dari ciuman dan gigitan, begitu pula leher mulus Tia yang terlihat seksi tanpa tertutup rambutnya yang disanggul modern. Make-up yang dibubuhkan Citra dengan hati-hati itu bakal jadi awut-awutan karena keringat dan sperma, lipstik merah yang memperindah bibir Tia bakal terhapus ketika berkali-kali bergesekan dengan batang kejantanan.
Citra menceletuk, “Udah siap nih, pengantinnya siap naik ke pelaminan.”
Tia tertawa kecil.
Citra merasa sedikit miris.
“Di mana acaranya?” tanya Citra lagi.
Tia menyebut nama satu hotel yang terletak dekat pusat kota. Citra tersenyum kecut. Dia hafal benar nama hotel itu. Hotel berbintang yang dulu sering sekali Citra datangi dengan berbagai laki-laki.
“Nanti mau dijemput sama Mang Enjup dari rumah, makanya siap-siapnya dari sekarang,” kata Tia.
“Bram belum pulang ya?”
Tia menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kakak iparnya.
“Kapan dia pulang?” Citra terus bertanya.
“Iih, Kak Citra kok tanya-tanya melulu,” seru Tia, “Biarin aja dia mau pulang kapan..”
Citra diam saja sesudah itu, agak prihatin dan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Tia. Bukan seperti ini yang dia harapkan ketika beberapa waktu lalu dia memberi saran kepada Tia agar lebih mengikuti kemauan suaminya. Sebandel-bandelnya Citra, dia masih sayang pada adik iparnya, dan tidak mau Tia terjerumus seperti dirinya.
“Haohhh! Ayo jilatin Mang! Terus Mang!” jerit Tia selagi lidah Mang Enjup memasuki vaginanya.
Tia mulai memain-mainkan payudaranya sendiri. Sekali-sekali dia berseru,
“Terus jilatin,” dan “Entot Tia Mang” sementara nafasnya memburu.
Setelah dirangsang terus, kewanitaan Tia mulai mengeluarkan cairan sehingga bibir Mang Enjup pun basah belepotan, tapi Tia tak peduli, dia terus memaksakan memeknya mendesak muka orang yang dulu dihormatinya itu. Lama sekali ketiga perempuan itu berusaha membangkitkan kejantanan laki-laki yang telah merusak mereka. Mungkin sampai setengah jam. Jana merangsang di dekat an*s, Febby mengocok serta menjilati batang penis, sementara Tia menyodorkan vaginanya untuk dilalap Mang Enjup.
“Sudah naik lagi nih!” teriak Febby girang sesudah dia melihat kemaluan Mang Enjup akhirnya keras lagi.
Di antara ketiga perempuan yang ada di sana, Febby-lah yang saat ini paling sering menjadi pasangan seks Mang Enjup, karena kedekatannya sebagai sekretaris. Aslinya Febby mulai bekerja di perusahaan itu di bagian lain, tapi suatu hari dia dipindah menjadi sekretaris Mang Enjup.
Mang Enjup langsung mengacak-acak hidup Febby begitu gadis berkacamata berhidung mancung itu jadi bawahannya, sedikit demi sedikit: pertama, Febby dibuat tak lagi tertarik dengan pacarnya, sehingga pemuda malang itu akhirnya diputus oleh Febby. Kemudian Febby yang aslinya berpenampilan tomboy dipengaruhi sehingga berubah.
Dulu Febby berambut pendek dan biasa mengenakan celana panjang ke kantor, sekarang Febby memelihara rambutnya jadi panjang dan megar, dan dia selalu memakai rok mini dan sepatu hak tinggi. Dan Mang Enjup juga membuat Febby jadi mudah cepat orgasme, karena Mang Enjup ingin sekretarisnya itu bisa puas biarpun disetubuhi hanya beberapa menit. Kalau Febby susah puas, bisa-bisa dia tidak setia dan mencari-cari kenikmatan dari orang lain. Sementara itu kemampuan kerja dan sikap dingin Febby tetap seperti semula.
Nah, seperti sudah dijelaskan, oleh Mang Enjup, Jana dibuat mudah terangsang apabila sedang melayani laki-laki dengan bibirnya, sementara Febby dijadikan cepat mendapat orgasme. Keduanya sedari tadi tidak diam saja. Febby sempat mengalami orgasme kecil ketika tadi digerayangi Tia, sementara Jana memainkan lidahnya di selangkangan Mang Enjup sambil bermasturbasi dan menuju klimaks. Sementara Tia tidak juga puas biarpun sudah memaksa Mang Enjup menjilati kemaluannya.
“Tia, Tia, kamu entot Mang, sekarang!” pinta Mang Enjup.
Tia mengerti, dia langsung menurunkan tubuhnya menyambut tegak kembalinya kejantanan Mang Enjup. Penis Mang Enjup yang sedang tegak itu diarahkan oleh Febby ke arah belahan vagina Tia. Tia yang mengangkangi selangkangan Mang Enjup pelan-pelan menurunkan tubuh sehingga masuklah penis tua itu ke dalam belahan kewanitaannya yang basah. Tapi memang punya Mang Enjup tidak sebesar penis banyak orang yang pernah dicobanya. Jadi “kurang berasa” untuk Tia. Ekspresi wajahnya tak berubah ketika dimasuki batang Mang Enjup.
Jana ikut nimbrung, dia mengalihkan perhatian ke pantat Tia. Ketika lidah Jana mulai menyapu belahan pantat Tia, Tia merinding. Tia mulai menaikturunkan tubuhnya, menjepit kejantanan Mang Enjup dengan vaginanya, sambil menciumi wajah Mang Enjup. Suara desahannya tak sebegitu intens, jelas karena dia masih belum puas dengan ukuran barang yang mempenetrasinya. Tapi ereksi yang diusahakan dengan susah payah sampai setengah jam itu tidak bertahan lama. Mang Enjup mengeluarkan suara mengeluh panjang dan berejakulasi di dalam vagina Tia, setelah hanya empat-lima kali digenjot Tia. Semprotan maninya cepat berhenti, dan kemaluannya cepat sekali melemas dan kisut. u**r tak bisa dibohongi, sang perusak wanita itu tak lagi jantan, tiga perempuan seksi merubungnya pun disia-siakan begitu saja.
“Heh?.. Yaaah.. Kok cepet lagi keluarnya? Aaahhh..” Tia merajuk.
“Aduh.. maafin Mang,” kata Mang Enjup yang lemas.
Tubuhnya yang tua itu terasa capek sekali, dua kali orgasme dalam waktu singkat sangat menguras tenaga. Mata Mang Enjup jadi sayu, dan dia jadi merasa mengantuk. Dan kepalanya terasa berkunang-kunang. Tanpa dapat menahan, Mang Enjup tertidur..
“Haahhh.. malah tidur.. Iiihh.. “ keluh Tia.
Febby merangkulnya dan membantunya turun dari pangkuan Mang Enjup.
“Sudah.. Mbak Tia, biarin aja Bapak istirahat, jarang banget dia bisa ngecrot sehari dua kali dalam waktu berdekatan gitu. Sekarang Mbak Tia pulang aja ya? Penjelasannya kan udah, Mbak Tia juga udah tahu apa yang harus dilakukan,” bujuk Febby.
Febby dan Jana mengajak Tia ke kamar mandi kecil di dalam kantor itu, lalu mereka bertiga membersihkan diri dengan shower, Tia mencuci vaginanya. Cairan yang dikeluarkan Mang Enjup di dalam dirinya hanya sedikit. Sesudahnya mereka mengeringkan diri dan berpakaian lagi. Ketika akan meninggalkan ruangan, Tia menengok ke Mang Enjup yang tertidur.
Kedua “selir”nya—Febby dan Jana—memakaikan kembali baju dan celana Mang Enjup. Tia tersenyum melihat Mang Enjup yang menganga mulutnya dan ngorok ketika ketiduran di sofa, juga ketika melihat betapa perhatiannya Febby dan Jana kepada Mang Enjup. Entah apa yang dipikirkan keduanya terhadap laki-laki tua yang telah mengubah hidup mereka itu. Benci? Dendam? Acuh? Atau malah sayang?
Tia melangkah keluar dengan tak puas. Sekali lagi dia melewati Danang yang duduk menumpangkan kaki di meja, dan kembali dia melirik genit ke arah Danang. Sayangnya Danang terlalu pengecut untuk menanggapi ajakan Tia itu. Padahal dia bisa saja jadi pelampiasan Tia yang tidak sempat dibikin puas oleh Mang Enjup. Tapi karena Danang tidak berani berinisiatif, maka dia cuma bisa gigit jari.
Tia pulang sambil mengingat-ingat penjelasan mengenai perannya dalam negosiasi tender mendatang. Dia perlu menggunakan tubuhnya untuk meyakinkan Pak Walikota. Pesan itu, tanpa diucapkan jelas oleh Mang Enjup maupun Febby dan Jana, sudah tertanam di kepala Tia. Dan ketika Tia berbaring malam itu, tubuhnya yang belum terpuaskan membuat dia sulit tidur. Besok dia akan menghadap Pak Walikota, dan dia berharap Pak Walikota tidak punya masalah ejakulasi dini seperti Mang Enjup..
=== X=X=X ===
Pagi, di Salon Citra.
Ketika Tia dan Citra bersekolah di SMA yang sama dulu, berbeda dua angkatan, keduanya dikenal sebagai kembang di sekolah itu. Kedua gadis yang orangtuanya saling kenal itu sama-sama jelita, namun tipe kecantikan mereka berbeda. Citra selalu bergaya, glamor, dan menggoda, Tia polos, malu-malu, dan bersahaja. Tak heran sejak dulu mereka berdua tidak pernah kehabisan perhatian dari laki-laki, mulai dari sesama siswa sampai orang-orang lebih tua. Tia tidak pernah menanggapi karena dulu dia menganggap belum waktunya dia pacaran. Sedangkan Citra beredar dari satu laki-laki ke laki-laki lain, menikmati kekaguman dan cinta mereka. Kedua gadis cantik itu akhirnya menjadi saudara ipar, dipertalikan lewat pernikahan Tia dengan Bram adik Citra, namun keduanya juga jadi bersahabat, berbagi suka dan duka, saling membela dan menjaga.
Pagi-pagi Citra sudah ditelepon Tia yang minta dirias dan didandani untuk suatu acara. Tia awalnya tidak cerita acara apa, tapi di tengah pembicaraan ketika dirias Citra berhasil mengorek sedikit-sedikit apa yang mau dilakukan adik iparnya.
“Omong-omong, ada acara apa, kok tengah minggu begini?” Citra mengulik.
“Aku diminta bantu negosiasi tender proyek sama Mang Enjup,” kata Tia.
“Tapi kenapa persiapannya kayak mau ke resepsi? Sampai pake kebaya segala..”
“Diminta Mang Enjup,” kata Tia sambil tersipu malu, “Mau ketemu orang penting..”
Citra tidak bertanya lagi, tapi dia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Dia tahu apa yang Mang Enjup pernah lakukan kepada Tia, dan dia tahu reputasi Mang Enjup, tapi dia tak menyangka Tia akan terjerumus sedemikian jauh. Citra tidak masalah kalau Tia mengubah diri demi Bram, tapi sepertinya perubahan Tia tidak cuma itu.. Tapi untuk saat itu Citra memilih diam dulu. Dia meneruskan pekerjaannya.
Tak lama kemudian Citra berkacak pinggang sambil memperhatikan hasil karya-nya, Tia yang sudah dirias lengkap dan tampak mempesona dalam kebaya modern. Tubuh Tia yang pada dasarnya indah terlihat makin gemulai dalam balutan kebaya dan bawahan kain batik yang pas badan itu. Tapi Citra sudah bisa menebak, dalam beberapa jam dandanan anggun itu akan rusak diacak-acak. Entah oleh siapa. Barangkali oleh “orang penting” itu. Mungkin Mang Enjup juga bakal ikutan. Kain batik yang membungkus pahanya bakal disingkap agar paha mulus Tia dapat dijamah. Kebaya berdada rendah yang membusungkan dada Tia itu tak bakal melindungi payudara Tia dari ciuman dan gigitan, begitu pula leher mulus Tia yang terlihat seksi tanpa tertutup rambutnya yang disanggul modern. Make-up yang dibubuhkan Citra dengan hati-hati itu bakal jadi awut-awutan karena keringat dan sperma, lipstik merah yang memperindah bibir Tia bakal terhapus ketika berkali-kali bergesekan dengan batang kejantanan.
Citra menceletuk, “Udah siap nih, pengantinnya siap naik ke pelaminan.”
Tia tertawa kecil.
Citra merasa sedikit miris.
“Di mana acaranya?” tanya Citra lagi.
Tia menyebut nama satu hotel yang terletak dekat pusat kota. Citra tersenyum kecut. Dia hafal benar nama hotel itu. Hotel berbintang yang dulu sering sekali Citra datangi dengan berbagai laki-laki.
“Nanti mau dijemput sama Mang Enjup dari rumah, makanya siap-siapnya dari sekarang,” kata Tia.
“Bram belum pulang ya?”
Tia menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kakak iparnya.
“Kapan dia pulang?” Citra terus bertanya.
“Iih, Kak Citra kok tanya-tanya melulu,” seru Tia, “Biarin aja dia mau pulang kapan..”
Citra diam saja sesudah itu, agak prihatin dan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Tia. Bukan seperti ini yang dia harapkan ketika beberapa waktu lalu dia memberi saran kepada Tia agar lebih mengikuti kemauan suaminya. Sebandel-bandelnya Citra, dia masih sayang pada adik iparnya, dan tidak mau Tia terjerumus seperti dirinya.
Ketika Tia kembali ke rumahnya sendiri untuk menunggu dijemput, Citra langsung menelepon Bram, ingin tahu sedang di mana adiknya itu. Teleponnya tidak dijawab. Tentu saja, karena Bram mematikan telepon genggamnya di atas pesawat yang sedang membawanya pulang lebih cepat daripada dijadwalkan.
*****
Tidak lama kemudian, Tia yang menunggu di rumahnya mendengar suara mobil berhenti di luar. Mang Enjup datang menjemputnya. Seperti biasa Mang Enjup ditemani dua anak buahnya yaitu Danang dan Reja. Reja menyetir sementara Danang memang kerjaannya mengintil pamannya ke mana-mana.
“Haduuh.. Rupanya habis ada bidadari turun ke dunia? Mang sampe ga percaya. Geulis kieu,” puji Mang Enjup.
Dia memandangi sekujur tubuh putri pemilik perusahaan tempat kerjanya itu penuh nafsu. Kalau saja hari itu bukan hari pelaksanaan rencananya, Mang Enjup ingin sekali merasai lagi tubuh indah Tia. Dia teringat-ingat terus betapa tubuh tuanya bertekuk lutut dua kali akibat kemolekan Tia kemarin, ketika Tia mendatanginya di kantor. Danang dan Reja juga terbit gairahnya melihat Tia, mereka belum lupa pengalaman mereka beberapa kali mencicipi tubuh Tia.
“Ayoh kita langsung berangkat. Neng Tia sudah makan?” tanya Mang Enjup.
Tia mengangguk. “Kan tadi Mang bilang suruh siap lahir batin,” kata Tia, merujuk percakapan mereka tadi pagi. Saat itu sudah lepas tengah hari.
Mobil sedan Mang Enjup segera meluncur meninggalkan rumah Tia, menuju pusat kota.
Semua itu tak lepas dari pengamatan Citra yang sengaja duduk-duduk di luar, mengawasi rumah Tia. Dengan gemas Citra kembali berusaha menelepon Bram. Belum juga berhasil.
*****
Sepanjang perjalanan Mang Enjup berbicara sesuatu ke Tia. Tia tak memperhatikan. Dia sedang menikmati bagaimana ketiga laki-laki di dalam mobil itu mengagumi dirinya. Tia duduk di belakang bersama Mang Enjup sementara Reja di depan mengemudi sedangkan Danang di kursi penumpang depan. Danang berkali-kali menengok ke belakang tanpa alasan jelas, hanya untuk melihat wajahnya. Sementara Reja terus memperhatikan jalan, tapi Tia beberapa kali melihat lewat kaca spion dalam, mata Reja tajam mengamatinya. Dan Mang Enjup sendiri mengajak berbicara Tia sambil tangannya menggenggam tangan Tia. Genggaman itu kadang dilepas menjadi belaian ke paha Tia yang masih terbungkus kain.
Kak Citra, beginikah rasanya jadi dirimu?
Sejak berubah penampilan, cara berpikir Tia ikut berubah. Kini dia menikmati perhatian dan kekaguman laki-laki. Dia mulai memandang dirinya sebagai objek nafsu lawan jenisnya, keberadaannya hanya demi memuaskan syahwat laki-laki. Seakan kodratnya adalah untuk menyediakan kecantikan dan keseksian tubuh. Dan bukan hanya untuk suaminya. Tapi untuk semua laki-laki. Dia tak menolak siapapun.
Seperti seorang pelacur, Tia kini bersedia dijamah siapapun tanpa memandang status dan tampang. Sejak perubahannya, sudah banyak laki-laki yang menikmati tubuhnya. Laki-laki tua seperti Mang Enjup. Laki-laki kalangan bawah seperti Pak Kumis, si tukang sayur. Begundal seperti Danang dan para aparat yang menciduknya.
Tia sudah bisa mengira bahwa tubuhnya akan diumpankan kepada Pak Walikota. Kata-kata terselubung yang disampaikan Febby dan Jana kemarin membenarkan itu. Dan Tia sama sekali tak keberatan. Dia sudah pernah meladeni man*sia-man*sia yang lebih tak pantas bagi dirinya, jadi Pak Walikota malah bukan tantangan baginya. Bagaimanapun, Pak Walikota tak bisa dibilang buruk rupa. Memang u**rnya sudah matang, tapi masih lebih muda daripada Mang Enjup. Dibanding Mang Enjup yang buncit, Pak Walikota lebih tegap dan atletis, karena pensiunan perwira. Ditambah lagi, Pak Walikota jelas lebih berkuasa daripada Mang Enjup, apalagi suami Tia sendiri, Bram.
Masih Tia ingat bagaimana Pak Walikota menatapnya di pesta.Tatapan seorang laki-laki yang lapar yang menginginkannya, yang seolah hendak menelanjanginya saat itu juga. Memang, ketika itu bukan hanya dia yang dipandangi seperti itu, dua perempuan lain yang ada di sana juga dipandangi seperti itu. Tak apa.
Tia menduga dia mungkin akan bertemu dengan kedua perempuan itu lagi. Biar saja. Dia sudah merasa cukup percaya diri untuk bersaing. Oh, dia sudah tak sabar untuk bertemu Pak Walikota! Mereka menuju satu kawasan yang dikenal sebagai pusat hiburan malam kota. Di tengah siang, suasananya tak begitu ramai, tak seperti kawasan bisnis dan perdagangan di sekelilingnya. Diskotik, panti pijat, karaoke, dan hotel di kiri-kanan jalan terlihat belum hidup. Tapi tempat parkir yang penuh mobil menunjukkan bahwa tetap ada orang-orang yang sedang melepas lelah dan suntuknya di sana, mencuri waktu untuk mereguk kenikmatan di tengah sibuknya jam kerja.
Mobil Mang Enjup berbelok ke arah satu gedung yang sepertinya bertingkat empat atau lima, tapi bagian mukanya tertutup dinding kamuflase utuh yang menghalangi pandangan. Tia mengira inilah hotel tempat dia akan bertemu dengan Pak Walikota. Tia baru tahu mengenai hotel itu, tapi bagi Mang Enjup, nama hotel itu sudah sangat akrab. Hotel itu terkenal sebagai salah satu pusat hiburan malam terbesar di kota. Prostitusi, judi, narkotika—semua terjadi di balik dinding yang menutupi muka hotel itu. Pihak berwenang bukannya tak tahu. Mereka sangat tahu. Dan mereka ikut menikmati bisnis gelap itu, baik uangnya maupun kegiatan usahanya.
Mobil berhenti di depan lobi dan Mang Enjup turun bersama Tia dan Danang. Reja kemudian membawa mobil ke tempat parkir. Tia dan yang lain melangkah masuk ke lobi hotel itu yang terlihat agak sepi. Di depan meja resepsionis berdirilah seorang laki-laki berambut cepak dan bertubuh besar, mengenakan kacamata hitam dan pakaian serba hitam.
“Pak Jupri. Selamat datang, silakan ikut saya,” kata laki-laki cepak itu.
Mang Enjup tersenyum dan mengikuti laki-laki itu yang langsung berjalan dengan langkah-langkah besar ke arah satu pintu di seberang lobi. Tia dan Danang mengikuti.
Di balik pintu yang mereka lewati ada koridor sepi dengan beberapa pintu lain di kanan-kiri. Mereka menuju pintu paling ujung dan di balik pintu itu ada satu lounge yang terbuka ke arah kolam kecil dan taman, dengan bar menempel di satu dindingnya dan sofa-sofa putih tersebar. Karena masih siang, lounge itu sepi, hanya ada bartender yang bekerja dan beberapa orang yang duduk di sofa. Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki biasanya berpenampilan rapi seperti orang kantoran atau pengusaha. Yang perempuan umumnya muda-muda, cantik, berpakaian dan berdandan seksi. Inilah salah satu lokasi paling sering dikunjungi di hotel itu, yaitu tempat pra hidung belang mencari dan tempat para wanita penghibur dan mucikari mangkal. Terlihat seorang laki-laki botak berkumis memanggil seorang perempuan paro baya, mucikari, yang datang diikuti tiga anak buahnya. Laki-laki botak itu memandangi ketiga perempuan yang disodorkan, bingung mau memilih yang mana.
“Tiga-tiganya saja Om, kalau bingung,” goda si mucikari.
Di pojok lain seorang laki-laki berdiri meninggalkan sofa sambil merangkul pelacur yang sudah dipilihnya, menuju pintu lift di sebelah bar, yang akan membawa mereka ke lantai-lantai berisi kamar.
“Pak Jupri, ini yang mau mewakili di atas?” kata si cepak sambil menengok ke Tia.
“Iya,” kata Mang Enjup. “Namanya Tia.”
“Non Tia bisa ikut dengan saya ke atas,” kata si cepak lagi. “Pak Jupri boleh tunggu di sini, atau tidak usah tunggu juga tidak apa-apa, barangkali terlalu lama.”
“Kita tunggu di sini aja sebentar,” kata Mang Enjup sambil menoleh ke Tia. “Neng, ikut sama bapak ini ya ke atas. Mohon bantuannya, ya Neng. Inget pentingnya tender ini buat perusahaan, buat kita semua.”
Mang Enjup menggenggam tangan Tia erat-erat, sambil memandangi dengan mata penuh harap.
“Iya, Mang,” kata Tia sambil tersenyum.
Mereka berpisah di situ. Mang Enjup dan Danang mencari tempat duduk di sofa, Tia dan si cepak menuju pintu lift. Setelah duduk, mata Danang langsung jelalatan. Beberapa pelacur yang berseliweran tersenyum menggoda ke arahnya.
Sementara Mang Enjup mengawasi sekelilingnya. Dia mencari-cari kedua saingannya. Benar saja, Simon Sunargo ada di kursi depan bar, duduk menghadap bartender, tubuh kecilnya kelihatan tambah kecil karena posisinya yang seperti meringkuk menggenggam gelas berisi minuman keras. Dia sendirian dan tak mengacuhkan perempuan-perempuan cantik yang ada di sana. Beda dengan saingannya yang satu lagi, Majed. Majed yang ganteng dan bertampang seperti bule itu pindah duduk ke sofa tempat laki-laki botak berkumis tadi yang ternyata temannya, dan perempuan-perempuan yang merubungnya mengintil seolah harem-nya. Pertarungan sudah dimulai, pikir Mang Enjup.
*****
Pintu lift membuka di lantai lima, lantai tertinggi hotel. Tia dan si cepak keluar ke koridor sepi dengan sedikit pintu—tanda bahwa di lantai ini kamar-kamarnya besar sehingga jarak antar pintu lebih jauh. Memang lantai lima adalah lantai khusus kamar suite, kamar-kamar termahal di hotel itu.
Salah satu pintu kamar terbuka dan keluarlah dua laki-laki bertubuh tegap seperti aparat. Salah seorangnya terlihat teler dan mesti dipapah temannya. Tia dan si cepak menepi ketika kedua laki-laki tegap itu berpapasan dengan mereka, menuju lift. Mungkin di dalam kamar itu sedang ada sesuatu yang dinikmati, sesuatu yang membikin teler. Tapi keempat orang yang bertemu tanpa sengaja di lorong lantai lima hotel itu tak saling bertanya. Tahu sama tahu. Mereka tidak peduli apa yang dilakukan orang lain di kamar-kamar tertutup di sana, asalkan tidak mengusik apa yang mereka sendiri lakukan. Dalam kerahasiaan dan ketertutupan, di balik dinding yang menghalangi pandangan dari luar, segalanya bisa terjadi. Tia merasakan jantungnya berdebar-debar ketika dia dibawa menuju satu pintu yang terletak paling ujung. Di depan pintu itu, si cepak mengetok pintu beberapa kali lalu mengangkat walkie-talkie yang dari tadi ada di pinggangnya.
“Pak, dari Pak Jupri, sudah datang,” katanya ke walkie-talkie itu.
“Suruh masuk,” kata suara yang membalas.
*****
Tidak lama kemudian, Tia yang menunggu di rumahnya mendengar suara mobil berhenti di luar. Mang Enjup datang menjemputnya. Seperti biasa Mang Enjup ditemani dua anak buahnya yaitu Danang dan Reja. Reja menyetir sementara Danang memang kerjaannya mengintil pamannya ke mana-mana.
“Haduuh.. Rupanya habis ada bidadari turun ke dunia? Mang sampe ga percaya. Geulis kieu,” puji Mang Enjup.
Dia memandangi sekujur tubuh putri pemilik perusahaan tempat kerjanya itu penuh nafsu. Kalau saja hari itu bukan hari pelaksanaan rencananya, Mang Enjup ingin sekali merasai lagi tubuh indah Tia. Dia teringat-ingat terus betapa tubuh tuanya bertekuk lutut dua kali akibat kemolekan Tia kemarin, ketika Tia mendatanginya di kantor. Danang dan Reja juga terbit gairahnya melihat Tia, mereka belum lupa pengalaman mereka beberapa kali mencicipi tubuh Tia.
“Ayoh kita langsung berangkat. Neng Tia sudah makan?” tanya Mang Enjup.
Tia mengangguk. “Kan tadi Mang bilang suruh siap lahir batin,” kata Tia, merujuk percakapan mereka tadi pagi. Saat itu sudah lepas tengah hari.
Mobil sedan Mang Enjup segera meluncur meninggalkan rumah Tia, menuju pusat kota.
Semua itu tak lepas dari pengamatan Citra yang sengaja duduk-duduk di luar, mengawasi rumah Tia. Dengan gemas Citra kembali berusaha menelepon Bram. Belum juga berhasil.
*****
Sepanjang perjalanan Mang Enjup berbicara sesuatu ke Tia. Tia tak memperhatikan. Dia sedang menikmati bagaimana ketiga laki-laki di dalam mobil itu mengagumi dirinya. Tia duduk di belakang bersama Mang Enjup sementara Reja di depan mengemudi sedangkan Danang di kursi penumpang depan. Danang berkali-kali menengok ke belakang tanpa alasan jelas, hanya untuk melihat wajahnya. Sementara Reja terus memperhatikan jalan, tapi Tia beberapa kali melihat lewat kaca spion dalam, mata Reja tajam mengamatinya. Dan Mang Enjup sendiri mengajak berbicara Tia sambil tangannya menggenggam tangan Tia. Genggaman itu kadang dilepas menjadi belaian ke paha Tia yang masih terbungkus kain.
Kak Citra, beginikah rasanya jadi dirimu?
Sejak berubah penampilan, cara berpikir Tia ikut berubah. Kini dia menikmati perhatian dan kekaguman laki-laki. Dia mulai memandang dirinya sebagai objek nafsu lawan jenisnya, keberadaannya hanya demi memuaskan syahwat laki-laki. Seakan kodratnya adalah untuk menyediakan kecantikan dan keseksian tubuh. Dan bukan hanya untuk suaminya. Tapi untuk semua laki-laki. Dia tak menolak siapapun.
Seperti seorang pelacur, Tia kini bersedia dijamah siapapun tanpa memandang status dan tampang. Sejak perubahannya, sudah banyak laki-laki yang menikmati tubuhnya. Laki-laki tua seperti Mang Enjup. Laki-laki kalangan bawah seperti Pak Kumis, si tukang sayur. Begundal seperti Danang dan para aparat yang menciduknya.
Tia sudah bisa mengira bahwa tubuhnya akan diumpankan kepada Pak Walikota. Kata-kata terselubung yang disampaikan Febby dan Jana kemarin membenarkan itu. Dan Tia sama sekali tak keberatan. Dia sudah pernah meladeni man*sia-man*sia yang lebih tak pantas bagi dirinya, jadi Pak Walikota malah bukan tantangan baginya. Bagaimanapun, Pak Walikota tak bisa dibilang buruk rupa. Memang u**rnya sudah matang, tapi masih lebih muda daripada Mang Enjup. Dibanding Mang Enjup yang buncit, Pak Walikota lebih tegap dan atletis, karena pensiunan perwira. Ditambah lagi, Pak Walikota jelas lebih berkuasa daripada Mang Enjup, apalagi suami Tia sendiri, Bram.
Masih Tia ingat bagaimana Pak Walikota menatapnya di pesta.Tatapan seorang laki-laki yang lapar yang menginginkannya, yang seolah hendak menelanjanginya saat itu juga. Memang, ketika itu bukan hanya dia yang dipandangi seperti itu, dua perempuan lain yang ada di sana juga dipandangi seperti itu. Tak apa.
Tia menduga dia mungkin akan bertemu dengan kedua perempuan itu lagi. Biar saja. Dia sudah merasa cukup percaya diri untuk bersaing. Oh, dia sudah tak sabar untuk bertemu Pak Walikota! Mereka menuju satu kawasan yang dikenal sebagai pusat hiburan malam kota. Di tengah siang, suasananya tak begitu ramai, tak seperti kawasan bisnis dan perdagangan di sekelilingnya. Diskotik, panti pijat, karaoke, dan hotel di kiri-kanan jalan terlihat belum hidup. Tapi tempat parkir yang penuh mobil menunjukkan bahwa tetap ada orang-orang yang sedang melepas lelah dan suntuknya di sana, mencuri waktu untuk mereguk kenikmatan di tengah sibuknya jam kerja.
Mobil Mang Enjup berbelok ke arah satu gedung yang sepertinya bertingkat empat atau lima, tapi bagian mukanya tertutup dinding kamuflase utuh yang menghalangi pandangan. Tia mengira inilah hotel tempat dia akan bertemu dengan Pak Walikota. Tia baru tahu mengenai hotel itu, tapi bagi Mang Enjup, nama hotel itu sudah sangat akrab. Hotel itu terkenal sebagai salah satu pusat hiburan malam terbesar di kota. Prostitusi, judi, narkotika—semua terjadi di balik dinding yang menutupi muka hotel itu. Pihak berwenang bukannya tak tahu. Mereka sangat tahu. Dan mereka ikut menikmati bisnis gelap itu, baik uangnya maupun kegiatan usahanya.
Mobil berhenti di depan lobi dan Mang Enjup turun bersama Tia dan Danang. Reja kemudian membawa mobil ke tempat parkir. Tia dan yang lain melangkah masuk ke lobi hotel itu yang terlihat agak sepi. Di depan meja resepsionis berdirilah seorang laki-laki berambut cepak dan bertubuh besar, mengenakan kacamata hitam dan pakaian serba hitam.
“Pak Jupri. Selamat datang, silakan ikut saya,” kata laki-laki cepak itu.
Mang Enjup tersenyum dan mengikuti laki-laki itu yang langsung berjalan dengan langkah-langkah besar ke arah satu pintu di seberang lobi. Tia dan Danang mengikuti.
Di balik pintu yang mereka lewati ada koridor sepi dengan beberapa pintu lain di kanan-kiri. Mereka menuju pintu paling ujung dan di balik pintu itu ada satu lounge yang terbuka ke arah kolam kecil dan taman, dengan bar menempel di satu dindingnya dan sofa-sofa putih tersebar. Karena masih siang, lounge itu sepi, hanya ada bartender yang bekerja dan beberapa orang yang duduk di sofa. Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki biasanya berpenampilan rapi seperti orang kantoran atau pengusaha. Yang perempuan umumnya muda-muda, cantik, berpakaian dan berdandan seksi. Inilah salah satu lokasi paling sering dikunjungi di hotel itu, yaitu tempat pra hidung belang mencari dan tempat para wanita penghibur dan mucikari mangkal. Terlihat seorang laki-laki botak berkumis memanggil seorang perempuan paro baya, mucikari, yang datang diikuti tiga anak buahnya. Laki-laki botak itu memandangi ketiga perempuan yang disodorkan, bingung mau memilih yang mana.
“Tiga-tiganya saja Om, kalau bingung,” goda si mucikari.
Di pojok lain seorang laki-laki berdiri meninggalkan sofa sambil merangkul pelacur yang sudah dipilihnya, menuju pintu lift di sebelah bar, yang akan membawa mereka ke lantai-lantai berisi kamar.
“Pak Jupri, ini yang mau mewakili di atas?” kata si cepak sambil menengok ke Tia.
“Iya,” kata Mang Enjup. “Namanya Tia.”
“Non Tia bisa ikut dengan saya ke atas,” kata si cepak lagi. “Pak Jupri boleh tunggu di sini, atau tidak usah tunggu juga tidak apa-apa, barangkali terlalu lama.”
“Kita tunggu di sini aja sebentar,” kata Mang Enjup sambil menoleh ke Tia. “Neng, ikut sama bapak ini ya ke atas. Mohon bantuannya, ya Neng. Inget pentingnya tender ini buat perusahaan, buat kita semua.”
Mang Enjup menggenggam tangan Tia erat-erat, sambil memandangi dengan mata penuh harap.
“Iya, Mang,” kata Tia sambil tersenyum.
Mereka berpisah di situ. Mang Enjup dan Danang mencari tempat duduk di sofa, Tia dan si cepak menuju pintu lift. Setelah duduk, mata Danang langsung jelalatan. Beberapa pelacur yang berseliweran tersenyum menggoda ke arahnya.
Sementara Mang Enjup mengawasi sekelilingnya. Dia mencari-cari kedua saingannya. Benar saja, Simon Sunargo ada di kursi depan bar, duduk menghadap bartender, tubuh kecilnya kelihatan tambah kecil karena posisinya yang seperti meringkuk menggenggam gelas berisi minuman keras. Dia sendirian dan tak mengacuhkan perempuan-perempuan cantik yang ada di sana. Beda dengan saingannya yang satu lagi, Majed. Majed yang ganteng dan bertampang seperti bule itu pindah duduk ke sofa tempat laki-laki botak berkumis tadi yang ternyata temannya, dan perempuan-perempuan yang merubungnya mengintil seolah harem-nya. Pertarungan sudah dimulai, pikir Mang Enjup.
*****
Pintu lift membuka di lantai lima, lantai tertinggi hotel. Tia dan si cepak keluar ke koridor sepi dengan sedikit pintu—tanda bahwa di lantai ini kamar-kamarnya besar sehingga jarak antar pintu lebih jauh. Memang lantai lima adalah lantai khusus kamar suite, kamar-kamar termahal di hotel itu.
Salah satu pintu kamar terbuka dan keluarlah dua laki-laki bertubuh tegap seperti aparat. Salah seorangnya terlihat teler dan mesti dipapah temannya. Tia dan si cepak menepi ketika kedua laki-laki tegap itu berpapasan dengan mereka, menuju lift. Mungkin di dalam kamar itu sedang ada sesuatu yang dinikmati, sesuatu yang membikin teler. Tapi keempat orang yang bertemu tanpa sengaja di lorong lantai lima hotel itu tak saling bertanya. Tahu sama tahu. Mereka tidak peduli apa yang dilakukan orang lain di kamar-kamar tertutup di sana, asalkan tidak mengusik apa yang mereka sendiri lakukan. Dalam kerahasiaan dan ketertutupan, di balik dinding yang menghalangi pandangan dari luar, segalanya bisa terjadi. Tia merasakan jantungnya berdebar-debar ketika dia dibawa menuju satu pintu yang terletak paling ujung. Di depan pintu itu, si cepak mengetok pintu beberapa kali lalu mengangkat walkie-talkie yang dari tadi ada di pinggangnya.
“Pak, dari Pak Jupri, sudah datang,” katanya ke walkie-talkie itu.
“Suruh masuk,” kata suara yang membalas.
Mereka berdua masuk setelah kunci pintu dibuka. Pintu itu adalah pintu kamar suite terbesar di hotel. Yang menyambut Tia di dalam adalah pemandangan interior mewah area depan kamar itu, ruangan kecil bernuansa warna hijau zaitun dengan kertas dinding mewah dan lukisan besar. Di ruangan itu ada satu sofa lebar.
“Silakan duduk di sofa sama yang lain,” kata si cepak kepada Tia, kemudian dia keluar lagi dari kamar itu.
“Yang lain” yang dimaksud adalah dua perempuan lain yang sudah duduk di sofa.
Dua perempuan yang sudah Tia lihat waktu pesta. Dua saingannya. Duduk di sebelah kiri sofa, Gabriella Iffa Almaraz. Perempuan Amerika Latin yang dibawa Majed itu tampak menawan dalam gaun merah dan sepatu hak tinggi yang juga merah, membuat Tia teringat telenovela yang dulu ditayangkan di TV dan sangat terkenal, di mana pada pembukaan tokoh utamanya menari sambil menyanyikan lagu tema dengan mengenakan pakaian seperti itu.
Gaby berkulit sawo matang, dengan mata kelabu-biru bening, rambut coklat bergelombang, dan hidung mancung. Kecantikannya memang menonjol, namun di negara asalnya yang terkenal sebagai gudang perempuan tercantik sedunia, Gaby sebenarnya tidak istimewa, apalagi dia sebenarnya berasal dari latar belakang miskin dan tak punya ketrampilan. Keadaan itulah yang membuat Gaby terjerat iming-iming pekerjaan yang ditawarkan mafia setempat, dan pada akhirnya dia terdampar di negara asing yang jauh dari kampungnya. Masih untung, di negara asing yang jauh itu justru wajah uniknya membuat dia berharga lebih tinggi sebagai penghibur, makanya hanya orang-orang yang mampu bayar mahal macam Majed-lah yang bisa menanggap jasanya.
Sementara di sebelah kanan sofa bersandarlah Wang Shen Yi alias Shenny, yang mewakili Simon Sunargo. Salah satu bisnis Simon adalah agen model, namun Simon juga mengaryakan sebagian modelnya sebagai pelacur kelas tinggi. Tarif mereka yang bisa mencapai jutaan untuk semalam membuat gadis-gadis itu beredar di kalangan eksklusif saja. Shenny adalah salah satunya, gadis keturunan oriental yang terbujuk rayuan agen “pencari bakat” bawahan Simon yang menawarkan pekerjaan model dengan menyatakan tampang khas Asia Timur yang dimiliki Shenny sedang diminati. Diminati, oleh banyak laki-laki, keturunan maupun pribumi, yang memang menggemari kulit kuning langsat dan mata sipit, dan mampu mengeluarkan uang banyak.
Uang dan kehidupan glamor membuat Shenny sulit lepas dari pekerjaannya, memuaskan mata dan tubuh laki-laki. Tubuh langsing Shenny siang itu berbalutkan cheongsam sutra coklat, sementara tata rambutnya persis seperti ketika Tia pertama kali melihatnya, dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit rambut berbentuk anggrek.
Dengan hadirnya Tia, maka lengkaplah perwakilan dari tiga peserta tender yang akan bersaing memperebutkan proyek besar. Tia jelas berbeda dengan Gaby dan Shenny. Kedua perempuan itu boleh dikata memang berprofesi prosititusi kelas tinggi. Sementara Tia bukan. Tia seorang auditor internal paro-waktu di perusahaan perkongsian orangtuanya dan orangtua Bram, juga istri Bram, dan calon pewaris perusahaan. Sebenarnya bukan tugas Tia untuk mengorbankan tubuhnya demi perusahaan. Namun siasat Mang Enjup yang sudah mengetahui kesukaan Pak Walikota terhadap Tia-lah yang membuat Tia berada di sana. Dan semua itu berawal dari foto-foto pelacur yang Tia temukan di HP Bram!
*****
Ketika Tia datang, Gaby dan Shenny sedang ngobrol dengan bahasa Inggris. Keduanya berhenti bicara sewaktu Tia mendekat. Shenny menatap Tia dengan tatapan angkuh, sementara Gaby tersenyum lebar, berdiri, dan menjulurkan tangan.
“Hi there. I think I already saw you at the party? (Hai, bukankah saya pernah lihat kamu di pesta itu?)” sapa Gaby dengan bahasa Inggris berlogat Latin.
Tia menyambut uluran tangan itu dan berjabat tangan dengan Gaby. “How do you do? I’m Tia. (Apa kabar? Saya Tia.)”
“Nice to meet you Tia. You’re here for the business also? (Senang bertemu kamu, Tia. Kamu ada di sini untuk urusan itu juga?)” sambut Gaby ramah. Gadis Latino itu sepertinya mudah akrab dengan orang.
Kemudian Tia menyodorkan tangan ke arah Shenny, berusaha berkenalan. Beda dengan Gaby, Shenny tampak meremehkan Tia dari tadi, tapi mukanya terlihat seperti kecele’ ketika mendengar Tia juga bisa ngobrol lancar dalam bahasa asing dengan Gaby. Tia duduk di antara Gaby dan Shenny di tengah sofa, kebaya warna emasnya membuat dia tak terbanting oleh keelokan kedua saingannya.
“Udah biasa urusan begini?” tanya Shenny datar ke Tia.
Tia bingung menjawabnya. ‘Biasa urusan begini’ maksudnya.. biasa menggunakan keindahan tubuhnya untuk melobi?
Jadi Tia menjawab dengan tersenyum saja.
Shenny tersenyum sinis. “Masih baru ya.. Asal jangan minta diajarin aja entar.”
“Nice room they have here. (Kamarnya bagus juga)” celetuk Gaby, yang tidak mau ketinggalan obrolan.
“I’ve seen better.. (Saya sudah pernah lihat yang lebih bagus..)” balas Shenny, seolah mau menyombongkan pengalamannya. “But this one seems really big. Too big. (Tapi kamar ini kelihatannya besar sekali.)”
Terlalu besar kalau hanya untuk empat orang..
Ruang depan itu membuka ke arah bagian dalam kamar suite yang tak terhalang dinding. Dari dalam muncullah seorang laki-laki bertubuh tegap, beru**a setengah baya, mengenakan kimono. Rambutnya hitam bercampur uban, wajahnya keras namun tampan. Dialah Pak Walikota.
“Selamat datang, ladies,” katanya ramah. “Moga-moga tidak bosan karena kelamaan nunggu. Ayo masuk.”
Ketiga perempuan cantik itu berdiri dan mengikuti Pak Walikota masuk ke ruangan utama kamar suite. Kamar itu besar sekali, mungkin lebih mirip suatu unit apartemen penthouse daripada kamar hotel. Ada ruang tengah yang berisi sofa, kursi, dan televisi, dan terlihat beberapa pintu yang mungkin menuju kamar mandi atau kamar tidur tersendiri. Seluruh lantainya tertutup karpet empuk. Di ruang utama, Tia, Gaby, dan Shenny disuruh duduk lagi di sofa yang ada di sana, sementara Pak Walikota duduk di kursi di seberangnya. Posisi duduk ketiga perempuan seperti di depan tadi: Gaby di kiri, Shenny di kanan, Tia di tengah.
“Saya rasa kalian bertiga sudah tahu kan kenapa kita semua ada di sini. Saya mau tahu yang mana di antara perusahaan yang kalian wakili yang paling pantas untuk jadi mitra kerja pemerintah daerah untuk proyek penting yang akan kita garap. Jadi, silakan.”
Pak Walikota mendatangi sofa tempat ketiga perempuan cantik itu duduk. Pertama dia mendekati Gaby. Tanpa disuruh, Gaby berdiri.
“What’s your name? (Namamu siapa?)” tanya Pak Walikota sambil mengelus lengan perempuan Latino itu.
“Gabriella, Pak. Di panggil Gaby,” kata Gaby dengan logat asing tapi lancar. Dia sudah cukup mahir setelah beberapa tahun bekerja.
Walikota tersenyum. “Good, good. Jadi kita nggak usah ngomong bahasa Inggris kan nih.”
Gaby duduk kembali.
Kemudian Pak Walikota ke orang di sebelah Gaby, Tia. Tia juga berdiri meniru Gaby. Pak Walikota justru meraih tangan kanannya.
“Kita ketemu lagi Bu Tia.. Boleh saya panggil Tia saja kan?” kata Pak Walikota, lalu dia mencium tangan kanan Tia yang di jari manisnya tersemat cincin pernikahan itu.
“Tapi nggak nyangka juga ada kesempatan seperti ini.. semoga bisa lancar dan sesuai harapan,” kata Pak Walikota.
Tia tak paham apa yang dimaksud.
Tanpa menjelaskan kata-katanya, Pak Walikota berlanjut menuju perempuan terakhir di sofa itu, Shenny. Shenny juga berdiri dan tersenyum semanis mungkin. Di antara tiga perempuan itu, Shenny yang paling muda. Tapi pengalamannya sebagai penghibur tak kalah dengan Gaby, apalagi dari Tia. Jadi dia tahu benar cara bersikap di hadapan laki-laki.
“Saya Shenny, Pak Walikota,” katanya sambil mengerling genit.
Dilihatnya Pak Walikota balas tersenyum, lalu menjulurkan tangan dan membelai pipinya.
“Shenny ya. Cantik juga kamu,” kata Pak Walikota.
“Makasih Pak,” ujar Shenny, membalas basa-basi.
“Oke,” kata Pak Walikota sesudah menyapa ketiganya. “Saya kira kalian sudah diberitahu, atau tahu sendiri, kita semua mau apa di sini. Iya kan?”
Gaby dan Shenny mengangguk dan tersenyum.
“Nah, mesti saya beritahu.. yang mau kita lakukan ini mungkin nggak seperti yang kalian kira.” Walikota memandangi ketiganya, lalu bertepuk tangan. Isyarat untuk sesuatu.
“Kalian udah siap fisik dan mental kan?” tanya Walikota.
Dari bagian dalam kamar itu terdengar langkah-langkah dan suara-suara. Laki-laki. Dan muncullah mereka, lima belas orang, di belakang Walikota.
Tia, Gaby, dan Shenny memperhatikan orang-orang yang datang itu. Dan ketiganya cukup terkejut. Mungkin yang sedang mereka saksikan itu sekumpulan man*sia paling jelek, menjijikkan, dan mengerikan yang pernah mereka lihat.
Entah dari mana asalnya mereka. Preman? Gelandangan? Klub orang jelek? Ada satu orang yang di mukanya ada bekas luka besar melintang dari mata ke hidung. Ada lagi yang mukanya bopeng seperti bekas jerawat parah atau cacar. Ada seorang tua dengan pakaian lusuh, seperti peminta-minta. Ada anak muda kurus dengan mata kosong dan tangan penuh bekas luka suntik. Satu orang di antara mereka nyengir, mukanya hitam, tiga gigi depannya ompong. Di belakang ada seseorang yang kegemukan. Ada yang pendek sekali, nyaris cebol, dengan mata liar. Sekumpulan man*sia-man*sia bernasib kurang mujur bertampang hancur.
Untuk apa mereka ada di sana? Tia dan kedua yang lain bertanya-tanya. Mereka memandangi Pak Walikota. Lalu terdengar salah seorang dari kelompok itu menceletuk.
“Gile, cakep-cakep banget. Beneran buat kita nih Pak?”
Walikota tersenyum dan berkata kepada ketiga perempuan itu.
“Oke. Begini caranya. Kalian mungkin datang ke sini sudah tahu mau berbuat apa. Mungkin kalian dikasih tahu harus melayani saya sebaik-baiknya. Kalian pasti tahu, kalian ada di sini untuk bersaing. Kepentingan orang yang kalian wakili tergantung pelayanan kalian. Nah, kebetulan saya punya satu keinginan, dan saya pikir itu bisa dijadikan bagian persaingan ini.”
Tertegun ketiga perempuan itu mendengar kata-kata Pak Walikota. Apalagi ketika mendengar lanjutannya..
“Saya mau lihat kalian layani orang-orang ini. Saya akan tentukan pemenangnya berdasarkan siapa yang paling saya sukai aksinya.”
Tia kaget. Shenny mengeluarkan suara menahan nafas. Gaby tidak bereaksi. Pak Walikota berbalik menghadapi kumpulan orang jelek di belakangnya, lalu berkata,
“Silakan, teman-teman.”
“Silakan duduk di sofa sama yang lain,” kata si cepak kepada Tia, kemudian dia keluar lagi dari kamar itu.
“Yang lain” yang dimaksud adalah dua perempuan lain yang sudah duduk di sofa.
Dua perempuan yang sudah Tia lihat waktu pesta. Dua saingannya. Duduk di sebelah kiri sofa, Gabriella Iffa Almaraz. Perempuan Amerika Latin yang dibawa Majed itu tampak menawan dalam gaun merah dan sepatu hak tinggi yang juga merah, membuat Tia teringat telenovela yang dulu ditayangkan di TV dan sangat terkenal, di mana pada pembukaan tokoh utamanya menari sambil menyanyikan lagu tema dengan mengenakan pakaian seperti itu.
Gaby berkulit sawo matang, dengan mata kelabu-biru bening, rambut coklat bergelombang, dan hidung mancung. Kecantikannya memang menonjol, namun di negara asalnya yang terkenal sebagai gudang perempuan tercantik sedunia, Gaby sebenarnya tidak istimewa, apalagi dia sebenarnya berasal dari latar belakang miskin dan tak punya ketrampilan. Keadaan itulah yang membuat Gaby terjerat iming-iming pekerjaan yang ditawarkan mafia setempat, dan pada akhirnya dia terdampar di negara asing yang jauh dari kampungnya. Masih untung, di negara asing yang jauh itu justru wajah uniknya membuat dia berharga lebih tinggi sebagai penghibur, makanya hanya orang-orang yang mampu bayar mahal macam Majed-lah yang bisa menanggap jasanya.
Sementara di sebelah kanan sofa bersandarlah Wang Shen Yi alias Shenny, yang mewakili Simon Sunargo. Salah satu bisnis Simon adalah agen model, namun Simon juga mengaryakan sebagian modelnya sebagai pelacur kelas tinggi. Tarif mereka yang bisa mencapai jutaan untuk semalam membuat gadis-gadis itu beredar di kalangan eksklusif saja. Shenny adalah salah satunya, gadis keturunan oriental yang terbujuk rayuan agen “pencari bakat” bawahan Simon yang menawarkan pekerjaan model dengan menyatakan tampang khas Asia Timur yang dimiliki Shenny sedang diminati. Diminati, oleh banyak laki-laki, keturunan maupun pribumi, yang memang menggemari kulit kuning langsat dan mata sipit, dan mampu mengeluarkan uang banyak.
Uang dan kehidupan glamor membuat Shenny sulit lepas dari pekerjaannya, memuaskan mata dan tubuh laki-laki. Tubuh langsing Shenny siang itu berbalutkan cheongsam sutra coklat, sementara tata rambutnya persis seperti ketika Tia pertama kali melihatnya, dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit rambut berbentuk anggrek.
Dengan hadirnya Tia, maka lengkaplah perwakilan dari tiga peserta tender yang akan bersaing memperebutkan proyek besar. Tia jelas berbeda dengan Gaby dan Shenny. Kedua perempuan itu boleh dikata memang berprofesi prosititusi kelas tinggi. Sementara Tia bukan. Tia seorang auditor internal paro-waktu di perusahaan perkongsian orangtuanya dan orangtua Bram, juga istri Bram, dan calon pewaris perusahaan. Sebenarnya bukan tugas Tia untuk mengorbankan tubuhnya demi perusahaan. Namun siasat Mang Enjup yang sudah mengetahui kesukaan Pak Walikota terhadap Tia-lah yang membuat Tia berada di sana. Dan semua itu berawal dari foto-foto pelacur yang Tia temukan di HP Bram!
*****
Ketika Tia datang, Gaby dan Shenny sedang ngobrol dengan bahasa Inggris. Keduanya berhenti bicara sewaktu Tia mendekat. Shenny menatap Tia dengan tatapan angkuh, sementara Gaby tersenyum lebar, berdiri, dan menjulurkan tangan.
“Hi there. I think I already saw you at the party? (Hai, bukankah saya pernah lihat kamu di pesta itu?)” sapa Gaby dengan bahasa Inggris berlogat Latin.
Tia menyambut uluran tangan itu dan berjabat tangan dengan Gaby. “How do you do? I’m Tia. (Apa kabar? Saya Tia.)”
“Nice to meet you Tia. You’re here for the business also? (Senang bertemu kamu, Tia. Kamu ada di sini untuk urusan itu juga?)” sambut Gaby ramah. Gadis Latino itu sepertinya mudah akrab dengan orang.
Kemudian Tia menyodorkan tangan ke arah Shenny, berusaha berkenalan. Beda dengan Gaby, Shenny tampak meremehkan Tia dari tadi, tapi mukanya terlihat seperti kecele’ ketika mendengar Tia juga bisa ngobrol lancar dalam bahasa asing dengan Gaby. Tia duduk di antara Gaby dan Shenny di tengah sofa, kebaya warna emasnya membuat dia tak terbanting oleh keelokan kedua saingannya.
“Udah biasa urusan begini?” tanya Shenny datar ke Tia.
Tia bingung menjawabnya. ‘Biasa urusan begini’ maksudnya.. biasa menggunakan keindahan tubuhnya untuk melobi?
Jadi Tia menjawab dengan tersenyum saja.
Shenny tersenyum sinis. “Masih baru ya.. Asal jangan minta diajarin aja entar.”
“Nice room they have here. (Kamarnya bagus juga)” celetuk Gaby, yang tidak mau ketinggalan obrolan.
“I’ve seen better.. (Saya sudah pernah lihat yang lebih bagus..)” balas Shenny, seolah mau menyombongkan pengalamannya. “But this one seems really big. Too big. (Tapi kamar ini kelihatannya besar sekali.)”
Terlalu besar kalau hanya untuk empat orang..
Ruang depan itu membuka ke arah bagian dalam kamar suite yang tak terhalang dinding. Dari dalam muncullah seorang laki-laki bertubuh tegap, beru**a setengah baya, mengenakan kimono. Rambutnya hitam bercampur uban, wajahnya keras namun tampan. Dialah Pak Walikota.
“Selamat datang, ladies,” katanya ramah. “Moga-moga tidak bosan karena kelamaan nunggu. Ayo masuk.”
Ketiga perempuan cantik itu berdiri dan mengikuti Pak Walikota masuk ke ruangan utama kamar suite. Kamar itu besar sekali, mungkin lebih mirip suatu unit apartemen penthouse daripada kamar hotel. Ada ruang tengah yang berisi sofa, kursi, dan televisi, dan terlihat beberapa pintu yang mungkin menuju kamar mandi atau kamar tidur tersendiri. Seluruh lantainya tertutup karpet empuk. Di ruang utama, Tia, Gaby, dan Shenny disuruh duduk lagi di sofa yang ada di sana, sementara Pak Walikota duduk di kursi di seberangnya. Posisi duduk ketiga perempuan seperti di depan tadi: Gaby di kiri, Shenny di kanan, Tia di tengah.
“Saya rasa kalian bertiga sudah tahu kan kenapa kita semua ada di sini. Saya mau tahu yang mana di antara perusahaan yang kalian wakili yang paling pantas untuk jadi mitra kerja pemerintah daerah untuk proyek penting yang akan kita garap. Jadi, silakan.”
Pak Walikota mendatangi sofa tempat ketiga perempuan cantik itu duduk. Pertama dia mendekati Gaby. Tanpa disuruh, Gaby berdiri.
“What’s your name? (Namamu siapa?)” tanya Pak Walikota sambil mengelus lengan perempuan Latino itu.
“Gabriella, Pak. Di panggil Gaby,” kata Gaby dengan logat asing tapi lancar. Dia sudah cukup mahir setelah beberapa tahun bekerja.
Walikota tersenyum. “Good, good. Jadi kita nggak usah ngomong bahasa Inggris kan nih.”
Gaby duduk kembali.
Kemudian Pak Walikota ke orang di sebelah Gaby, Tia. Tia juga berdiri meniru Gaby. Pak Walikota justru meraih tangan kanannya.
“Kita ketemu lagi Bu Tia.. Boleh saya panggil Tia saja kan?” kata Pak Walikota, lalu dia mencium tangan kanan Tia yang di jari manisnya tersemat cincin pernikahan itu.
“Tapi nggak nyangka juga ada kesempatan seperti ini.. semoga bisa lancar dan sesuai harapan,” kata Pak Walikota.
Tia tak paham apa yang dimaksud.
Tanpa menjelaskan kata-katanya, Pak Walikota berlanjut menuju perempuan terakhir di sofa itu, Shenny. Shenny juga berdiri dan tersenyum semanis mungkin. Di antara tiga perempuan itu, Shenny yang paling muda. Tapi pengalamannya sebagai penghibur tak kalah dengan Gaby, apalagi dari Tia. Jadi dia tahu benar cara bersikap di hadapan laki-laki.
“Saya Shenny, Pak Walikota,” katanya sambil mengerling genit.
Dilihatnya Pak Walikota balas tersenyum, lalu menjulurkan tangan dan membelai pipinya.
“Shenny ya. Cantik juga kamu,” kata Pak Walikota.
“Makasih Pak,” ujar Shenny, membalas basa-basi.
“Oke,” kata Pak Walikota sesudah menyapa ketiganya. “Saya kira kalian sudah diberitahu, atau tahu sendiri, kita semua mau apa di sini. Iya kan?”
Gaby dan Shenny mengangguk dan tersenyum.
“Nah, mesti saya beritahu.. yang mau kita lakukan ini mungkin nggak seperti yang kalian kira.” Walikota memandangi ketiganya, lalu bertepuk tangan. Isyarat untuk sesuatu.
“Kalian udah siap fisik dan mental kan?” tanya Walikota.
Dari bagian dalam kamar itu terdengar langkah-langkah dan suara-suara. Laki-laki. Dan muncullah mereka, lima belas orang, di belakang Walikota.
Tia, Gaby, dan Shenny memperhatikan orang-orang yang datang itu. Dan ketiganya cukup terkejut. Mungkin yang sedang mereka saksikan itu sekumpulan man*sia paling jelek, menjijikkan, dan mengerikan yang pernah mereka lihat.
Entah dari mana asalnya mereka. Preman? Gelandangan? Klub orang jelek? Ada satu orang yang di mukanya ada bekas luka besar melintang dari mata ke hidung. Ada lagi yang mukanya bopeng seperti bekas jerawat parah atau cacar. Ada seorang tua dengan pakaian lusuh, seperti peminta-minta. Ada anak muda kurus dengan mata kosong dan tangan penuh bekas luka suntik. Satu orang di antara mereka nyengir, mukanya hitam, tiga gigi depannya ompong. Di belakang ada seseorang yang kegemukan. Ada yang pendek sekali, nyaris cebol, dengan mata liar. Sekumpulan man*sia-man*sia bernasib kurang mujur bertampang hancur.
Untuk apa mereka ada di sana? Tia dan kedua yang lain bertanya-tanya. Mereka memandangi Pak Walikota. Lalu terdengar salah seorang dari kelompok itu menceletuk.
“Gile, cakep-cakep banget. Beneran buat kita nih Pak?”
Walikota tersenyum dan berkata kepada ketiga perempuan itu.
“Oke. Begini caranya. Kalian mungkin datang ke sini sudah tahu mau berbuat apa. Mungkin kalian dikasih tahu harus melayani saya sebaik-baiknya. Kalian pasti tahu, kalian ada di sini untuk bersaing. Kepentingan orang yang kalian wakili tergantung pelayanan kalian. Nah, kebetulan saya punya satu keinginan, dan saya pikir itu bisa dijadikan bagian persaingan ini.”
Tertegun ketiga perempuan itu mendengar kata-kata Pak Walikota. Apalagi ketika mendengar lanjutannya..
“Saya mau lihat kalian layani orang-orang ini. Saya akan tentukan pemenangnya berdasarkan siapa yang paling saya sukai aksinya.”
Tia kaget. Shenny mengeluarkan suara menahan nafas. Gaby tidak bereaksi. Pak Walikota berbalik menghadapi kumpulan orang jelek di belakangnya, lalu berkata,
“Silakan, teman-teman.”
Orang kegemukan yang berdiri paling belakang maju melewati teman-temannya, menuju ke depan. Pak Walikota bergeser, berjalan menuju satu kursi dan duduk di sana. Di ruangan tengah kamar suite hotel itu, terhampar karpet empuk. Sofa-sofa berjajar merapat ke dinding di sekelilingnya, seperti kursi penonton mengelilingi suatu arena. Pak Walikota duduk di kursi yang nyaman, sepertinya dia malah bersiap menjadi penonton kegiatan yang akan terjadi.
Tidak butuh waktu lama untuk memulai. Orang-orang itu pasti horny sekali, melihat keseksian tiga perempuan di depan mereka, apalagi mereka kalau dilihat dari tampangnya bisa dikata orang-orang yang jarang bisa menikmati wanita cantik. Si gemuk yang maju ke depan itu mendekati Gaby. Berat badannya jelas lebih daripada 100 kilogram. Dia berdiri tepat di depan Gaby. Kumis dan jenggotnya seperti tidak dicukur selama seminggu, dan bau badannya juga seperti orang yang tidak mandi seminggu juga. Tapi Gaby masih bisa tersenyum manis menghadapi dia.
“Kamu suka aku ngga,” tanya Gaby kaku sambil mengelus pipi berjenggot si gemuk.
Mana bisa dia tidak suka? Gabriella, dengan rambut panjang coklat yang ikal terurai di bahu, mengenakan gaun merah pendek yang hanya menutup sampai jauh di atas setengah pahanya. Sepasang kakinya yang panjang, kecoklatan, dan indah sungguh menggoda, dalam stoking dan sepatu hak tinggi. Dan belahan dada yang tampil di leher bajunya menantang setiap laki-laki.
Segala bagian penampilannya seolah mengumumkan, “Aku seksi, setubuhi aku.”
“Kamu cakep banget,” kata si gemuk, “apa bener kamu mau gituan sama semua orang di sini?”
Gaby meraih selangkangan si gemuk, meraba-raba kemaluan di balik celana training super lebar yang si gemuk pakai, dan bilang,
“Ya. Dan kamu boleh apa saja sama saya. Semua saya mau!” Jari-jari Gaby mengelus pangkal paha si gemuk sementara dia menatap wajah si gemuk.
“Apa pernah di blowjob?” tanya Gaby.
“Enggak,” jawabnya penuh semangat, sambil melihat Gaby meloloskan tali bajunya dan memelorotkan bagian atas bajunya sehingga payudaranya yang besar dan cantik terlihat.
Gaby meremas payudaranya sendiri, memamerkan ukuran keduanya kepada si gemuk, lalu melepas gaun merahnya Dia jadi nyaris telanjang, hanya mengenakan celana dalam, stoking, dan sepatu hak tinggi. Lalu dia tanya si gemuk,
“Mau ga aku isep?”
Si gemuk hanya mengangguk sambil bergumam, “Gile, cakep banget..”
Orang-orang lain di ruangan itu juga ikut berbisik-bisik dan menceletuk, dan semua mata mereka tertuju ke tubuh indah Gaby. Gaby berlutut di depan si gemuk. Dia menarik turun celana training lebar yang dipakai si gemuk. Dia memandang ke atas, matanya sungguh seksi menggoda laki-laki kelebihan berat badan itu.
Sementara itu si gemuk sedang membuka kaosnya. Gaby melihat perut si gemuk yang berlemak dan berambut menggelambir tepat di depan mukanya. Dia kemudian memelorotkan celana dalam. Bau tak enak dari tubuh si gemuk tercium makin tajam. Makin ketahuanlah bahwa mandi bukan aktivitas yang sering dilakukan si gemuk. Perempuan lain pasti akan berhenti dan pergi karena jijik disuruh melayani man*sia gemuk bau seperti dia. Tapi Gaby bertahan, karena dia memang profesional. Dia tahu dia harus membantu orang yang memakai jasanya, Majed, memenangkan tender, dan dia sudah dibayar untuk menghadapi semua risiko. Lagipula, di negara asalnya, di mana Gaby mulai menjual diri di jalan, banyak juga man*sia-man*sia buruk rupa yang pernah dia layani. Yang satu ini memang tak ketulungan jeleknya, tapi belum termasuk yang paling buruk dalam pengalaman Gaby.
Gaby memang naik kelas setelah merantau ke negara ini dan lebih sering mendapat klien yang rapi, tapi dia tidak melupakan apa yang dia pelajari dulu “Sebagai pelacur, harus mau melayani laki-laki apa saja, tidak ada kata tidak suka.”
Gaby mulai memain-mainkan batang kejantanan si gemuk yang kelihatan menegang. Perut si gemuk membuat ukuran penisnya tak kelihatan jelas. Sepertinya tidak besar. Dan baunya jelas menjijikkan. Tapi Gaby tak gentar, dan pelacur Latino itu pun membenamkan mukanya ke selangkangan si gemuk, memasukkan penis kotor itu ke dalam mulut.
“Mmm. Mmm! I love it,” desah Gaby palsu.
Beberapa orang lain dari kawanan buruk rupa mendekat. Mungkin mereka semua tak percaya perempuan cantik impor ini menikmati kontol dekil si gemuk. Selagi mereka menonton, Gaby mengangkat batang si gemuk untuk meraih buah pelir. Kantong biji si gemuk yang cukup besar menggelantung dan menyebar bau tak sedap. Gaby berbalik badan, lalu berposisi duduk di bawah selangkangan si gemuk dan mengemut kedua bijinya sekaligus. Terlihat lidahnya beraksi mengusap-usap barang jorok itu.
Kemudian setelah beberapa saat, dia lepas keduanya dari mulutnya. Servis Gaby benar-benar tanpa rasa jijik. Kuluman biji tadi dilanjutkan jilatan-jilatan di belakang pangkal kantong pelir, menuju pantat. Dia goda si gemuk dengan menjilat sepanjang bagian luar belahan pantatnya. Sesudahnya Gaby bertanya,
“You like?”
Gaby langsung meraih batang si gemuk dan mulai memasturbasikannya.
Si gemuk tak tahan dan dia berteriak, “Anjrit.. ngentot.. Ga tahan!”
Beberapa detik kemudian si gemuk memuncratkan isi bijinya ke lantai, dibantu cekikan dan kocokan Gaby terhadap burungnya. Gaby agak lega, dia berhasil membuat si gemuk cepat keluar, jadi dia tidak perlu lama-lama menggarap kemaluan si gemuk yang menjijikkan itu, apalagi kalau si gemuk menyetubuhinya dengan posisi perut yang besar itu menindih tubuh Gaby.. Tapi dia tahu tugasnya belum selesai.
“Siapa lagi?” ajaknya.
*****
Nah, sebenarnya pada waktu yang hampir bersamaan, orang-orang lain dalam kawanan buruk rupa tidak hanya menonton apalagi membiarkan dua perempuan lain yang ada di sana, Tia dan Shenny, tak terjamah. Mereka jelas tak mau melewatkan kesempatan, kapan lagi mereka akan bisa menikmati perempuan-perempuan cantik yang normalnya cuma mereka bisa dapat dalam mimpi? Mereka berasal dari mana-mana, ada yang diambil dari panti sosial, ada yang dipinjam dari tahanan polisi, ada beberapa preman dan anggota geng, dan ada pula anak buah Pak Walikota sendiri yang berkedudukan rendah.
Sejak pertama kali kawanan orang jelek itu muncul, Shenny sudah deg-degan. Berbeda dengan Gaby yang mulai dari bawah, Shenny selalu menjadi pelacur kelas tinggi. Toh awalnya juga dia mulai sebagai model di agen Simon Sunargo, dan yang membuat dia mau membuka baju dan menjual kehormatannya adalah iming-iming uang banyak dan kehidupan glamor. Tarif kencan dengan Shenny cukup tinggi, mungkin senilai gaji sebulan seorang eksekutif tingkat menengah. Wajar saja mengingat wajahnya memang cantik, predikatnya sebagai model, dan garis keturunannya yang membuat dia lebih dicari oleh klien kalangan berpunya. Daripada seks-nya, dia lebih menikmati uang yang dia dapat dan dia juga biasa pilih-pilih klien.
Waktu Simon memberitahunya untuk meladeni Pak Walikota, Shenny menyangka dia sekadar akan melayani satu orang, yang kaya, berkuasa, dan tidak jelek-jelek amat. Apapun hasilnya, dia akan dibayar, tapi kalau tender berhasil dimenangkan, Simon berjanji akan menambah bayarannya. Jelas dia tidak menduga Pak Walikota rupanya berencana membuat acara seperti ini, pesta seks dengan tiga perempuan cantik dan belasan laki-laki jelek.
Shenny tak dapat memendam ekspresi berang campur gamang ketika tadi barisan man*sia tak sedap dilihat itu datang. Dia terbiasa dengan para klien muda maupun tua yang memperlakukannya ibarat diva dan membayarnya berjuta-juta. Sementara orang-orang itu? Ih! Shenny selalu menganggap dirinya anggota kelas atas dan memandang rendah mereka. Tapi kali ini dia kena batunya. Dia memandangi orang-orang itu dengan benci.
Ketika Pak Walikota berkata “Silakan, teman-teman” tadi, Shenny terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
Begitu si gemuk maju dan berinisiatif mendekati Gaby, Shenny sadar bahwa dia pun harus melakukan hal yang sama supaya bisa bersaing, tapi.. apa dia rela membiarkan dirinya merendahkan diri seperti Gaby yang mau-maunya melayani si gemuk yang jorok itu?
Persetan dengan tendernya Koh Simon!
Apalagi, di antara kerumunan, beberapa orang, di antaranya si muka bopeng, kelihatan mendekati dirinya.
“Wah, yang ini amoy, mirip anaknya bos gue, boleh dong!” seru si muka bopeng.
“Tapi tampangnya senga’ gitu yah,” celetuk temannya yang di mukanya ada codet atau bekas luka, memanjang dari dahi melintas mata sampai ke pangkal hidung. “Amoy songong nih. Kayak yang nolak gue waktu itu.”
Mereka melihat ekspresi Shenny yang tak menutupi ketidaksukaannya, dan malah nafsu mereka makin terpancing. Si bopeng memang selama ini menahan mupeng terhadap anak bosnya yang mirip Shenny, sementara si codet pernah ditolak cintanya oleh seorang gadis keturunan dan dia masih dendam. Jadilah kedua pemuda dengan muka tak sempurna itu maju ke arah Shenny dengan mata lapar, penuh dendam dan birahi, siap melampiaskan hasrat terpendam mereka.
Ketika tangan si bopeng terjulur, Shenny tak tahan lagi. Dia berbalik dan berjalan pergi, menuju pintu kamar hotel. Dia mau pergi saja. Dia tak peduli dengan tugasnya, dia ogah melayani orang-orang rendahan, titik! Dia sudah membayangkan akan marah kepada Simon Sunargo yang mengumpankannya kepada mereka. Si bopeng dan si codet tidak membiarkan incaran mereka pergi, jadi mereka mengikuti Shenny yang mempercepat langkah, dan akhirnya berlari, menuju pintu keluar. Tapi di depan pintu ada pengawal Pak Walikota yang menghalangi.
“Minggir Pak. Saya mau keluar!” teriak Shenny.
Tapi si pengawal melihat Pak Walikota menggelengkan kepala, jadi dia tidak bergeser.
“MINGGIR!” Kembali Shenny berteriak, wajahnya amat kesal.
Sesaat kemudian teriakannya berubah. “JANGAN! LEPASIN!”
Si bopeng dan si codet sudah sampai di sana, diikuti beberapa orang lain, dan mereka pun segera memegangi Shenny. Shenny shock merasakan tangan kasar mereka mencengkeram lengannya, pinggangnya, dan juga ada yang mencengkeram pantatnya. Makanya dia berteriak dan meronta, tapi apa daya, usahanya melepaskan diri malah membuat si codet dan si bopeng dan teman-temannya makin bernafsu.
“Lepas..in!! Ihh!! Pergi!! Jangan!!” Shenny berteriak-teriak selagi si bopeng, si codet, dan teman-temannya merubung.
Tidak butuh waktu lama untuk memulai. Orang-orang itu pasti horny sekali, melihat keseksian tiga perempuan di depan mereka, apalagi mereka kalau dilihat dari tampangnya bisa dikata orang-orang yang jarang bisa menikmati wanita cantik. Si gemuk yang maju ke depan itu mendekati Gaby. Berat badannya jelas lebih daripada 100 kilogram. Dia berdiri tepat di depan Gaby. Kumis dan jenggotnya seperti tidak dicukur selama seminggu, dan bau badannya juga seperti orang yang tidak mandi seminggu juga. Tapi Gaby masih bisa tersenyum manis menghadapi dia.
“Kamu suka aku ngga,” tanya Gaby kaku sambil mengelus pipi berjenggot si gemuk.
Mana bisa dia tidak suka? Gabriella, dengan rambut panjang coklat yang ikal terurai di bahu, mengenakan gaun merah pendek yang hanya menutup sampai jauh di atas setengah pahanya. Sepasang kakinya yang panjang, kecoklatan, dan indah sungguh menggoda, dalam stoking dan sepatu hak tinggi. Dan belahan dada yang tampil di leher bajunya menantang setiap laki-laki.
Segala bagian penampilannya seolah mengumumkan, “Aku seksi, setubuhi aku.”
“Kamu cakep banget,” kata si gemuk, “apa bener kamu mau gituan sama semua orang di sini?”
Gaby meraih selangkangan si gemuk, meraba-raba kemaluan di balik celana training super lebar yang si gemuk pakai, dan bilang,
“Ya. Dan kamu boleh apa saja sama saya. Semua saya mau!” Jari-jari Gaby mengelus pangkal paha si gemuk sementara dia menatap wajah si gemuk.
“Apa pernah di blowjob?” tanya Gaby.
“Enggak,” jawabnya penuh semangat, sambil melihat Gaby meloloskan tali bajunya dan memelorotkan bagian atas bajunya sehingga payudaranya yang besar dan cantik terlihat.
Gaby meremas payudaranya sendiri, memamerkan ukuran keduanya kepada si gemuk, lalu melepas gaun merahnya Dia jadi nyaris telanjang, hanya mengenakan celana dalam, stoking, dan sepatu hak tinggi. Lalu dia tanya si gemuk,
“Mau ga aku isep?”
Si gemuk hanya mengangguk sambil bergumam, “Gile, cakep banget..”
Orang-orang lain di ruangan itu juga ikut berbisik-bisik dan menceletuk, dan semua mata mereka tertuju ke tubuh indah Gaby. Gaby berlutut di depan si gemuk. Dia menarik turun celana training lebar yang dipakai si gemuk. Dia memandang ke atas, matanya sungguh seksi menggoda laki-laki kelebihan berat badan itu.
Sementara itu si gemuk sedang membuka kaosnya. Gaby melihat perut si gemuk yang berlemak dan berambut menggelambir tepat di depan mukanya. Dia kemudian memelorotkan celana dalam. Bau tak enak dari tubuh si gemuk tercium makin tajam. Makin ketahuanlah bahwa mandi bukan aktivitas yang sering dilakukan si gemuk. Perempuan lain pasti akan berhenti dan pergi karena jijik disuruh melayani man*sia gemuk bau seperti dia. Tapi Gaby bertahan, karena dia memang profesional. Dia tahu dia harus membantu orang yang memakai jasanya, Majed, memenangkan tender, dan dia sudah dibayar untuk menghadapi semua risiko. Lagipula, di negara asalnya, di mana Gaby mulai menjual diri di jalan, banyak juga man*sia-man*sia buruk rupa yang pernah dia layani. Yang satu ini memang tak ketulungan jeleknya, tapi belum termasuk yang paling buruk dalam pengalaman Gaby.
Gaby memang naik kelas setelah merantau ke negara ini dan lebih sering mendapat klien yang rapi, tapi dia tidak melupakan apa yang dia pelajari dulu “Sebagai pelacur, harus mau melayani laki-laki apa saja, tidak ada kata tidak suka.”
Gaby mulai memain-mainkan batang kejantanan si gemuk yang kelihatan menegang. Perut si gemuk membuat ukuran penisnya tak kelihatan jelas. Sepertinya tidak besar. Dan baunya jelas menjijikkan. Tapi Gaby tak gentar, dan pelacur Latino itu pun membenamkan mukanya ke selangkangan si gemuk, memasukkan penis kotor itu ke dalam mulut.
“Mmm. Mmm! I love it,” desah Gaby palsu.
Beberapa orang lain dari kawanan buruk rupa mendekat. Mungkin mereka semua tak percaya perempuan cantik impor ini menikmati kontol dekil si gemuk. Selagi mereka menonton, Gaby mengangkat batang si gemuk untuk meraih buah pelir. Kantong biji si gemuk yang cukup besar menggelantung dan menyebar bau tak sedap. Gaby berbalik badan, lalu berposisi duduk di bawah selangkangan si gemuk dan mengemut kedua bijinya sekaligus. Terlihat lidahnya beraksi mengusap-usap barang jorok itu.
Kemudian setelah beberapa saat, dia lepas keduanya dari mulutnya. Servis Gaby benar-benar tanpa rasa jijik. Kuluman biji tadi dilanjutkan jilatan-jilatan di belakang pangkal kantong pelir, menuju pantat. Dia goda si gemuk dengan menjilat sepanjang bagian luar belahan pantatnya. Sesudahnya Gaby bertanya,
“You like?”
Gaby langsung meraih batang si gemuk dan mulai memasturbasikannya.
Si gemuk tak tahan dan dia berteriak, “Anjrit.. ngentot.. Ga tahan!”
Beberapa detik kemudian si gemuk memuncratkan isi bijinya ke lantai, dibantu cekikan dan kocokan Gaby terhadap burungnya. Gaby agak lega, dia berhasil membuat si gemuk cepat keluar, jadi dia tidak perlu lama-lama menggarap kemaluan si gemuk yang menjijikkan itu, apalagi kalau si gemuk menyetubuhinya dengan posisi perut yang besar itu menindih tubuh Gaby.. Tapi dia tahu tugasnya belum selesai.
“Siapa lagi?” ajaknya.
*****
Nah, sebenarnya pada waktu yang hampir bersamaan, orang-orang lain dalam kawanan buruk rupa tidak hanya menonton apalagi membiarkan dua perempuan lain yang ada di sana, Tia dan Shenny, tak terjamah. Mereka jelas tak mau melewatkan kesempatan, kapan lagi mereka akan bisa menikmati perempuan-perempuan cantik yang normalnya cuma mereka bisa dapat dalam mimpi? Mereka berasal dari mana-mana, ada yang diambil dari panti sosial, ada yang dipinjam dari tahanan polisi, ada beberapa preman dan anggota geng, dan ada pula anak buah Pak Walikota sendiri yang berkedudukan rendah.
Sejak pertama kali kawanan orang jelek itu muncul, Shenny sudah deg-degan. Berbeda dengan Gaby yang mulai dari bawah, Shenny selalu menjadi pelacur kelas tinggi. Toh awalnya juga dia mulai sebagai model di agen Simon Sunargo, dan yang membuat dia mau membuka baju dan menjual kehormatannya adalah iming-iming uang banyak dan kehidupan glamor. Tarif kencan dengan Shenny cukup tinggi, mungkin senilai gaji sebulan seorang eksekutif tingkat menengah. Wajar saja mengingat wajahnya memang cantik, predikatnya sebagai model, dan garis keturunannya yang membuat dia lebih dicari oleh klien kalangan berpunya. Daripada seks-nya, dia lebih menikmati uang yang dia dapat dan dia juga biasa pilih-pilih klien.
Waktu Simon memberitahunya untuk meladeni Pak Walikota, Shenny menyangka dia sekadar akan melayani satu orang, yang kaya, berkuasa, dan tidak jelek-jelek amat. Apapun hasilnya, dia akan dibayar, tapi kalau tender berhasil dimenangkan, Simon berjanji akan menambah bayarannya. Jelas dia tidak menduga Pak Walikota rupanya berencana membuat acara seperti ini, pesta seks dengan tiga perempuan cantik dan belasan laki-laki jelek.
Shenny tak dapat memendam ekspresi berang campur gamang ketika tadi barisan man*sia tak sedap dilihat itu datang. Dia terbiasa dengan para klien muda maupun tua yang memperlakukannya ibarat diva dan membayarnya berjuta-juta. Sementara orang-orang itu? Ih! Shenny selalu menganggap dirinya anggota kelas atas dan memandang rendah mereka. Tapi kali ini dia kena batunya. Dia memandangi orang-orang itu dengan benci.
Ketika Pak Walikota berkata “Silakan, teman-teman” tadi, Shenny terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
Begitu si gemuk maju dan berinisiatif mendekati Gaby, Shenny sadar bahwa dia pun harus melakukan hal yang sama supaya bisa bersaing, tapi.. apa dia rela membiarkan dirinya merendahkan diri seperti Gaby yang mau-maunya melayani si gemuk yang jorok itu?
Persetan dengan tendernya Koh Simon!
Apalagi, di antara kerumunan, beberapa orang, di antaranya si muka bopeng, kelihatan mendekati dirinya.
“Wah, yang ini amoy, mirip anaknya bos gue, boleh dong!” seru si muka bopeng.
“Tapi tampangnya senga’ gitu yah,” celetuk temannya yang di mukanya ada codet atau bekas luka, memanjang dari dahi melintas mata sampai ke pangkal hidung. “Amoy songong nih. Kayak yang nolak gue waktu itu.”
Mereka melihat ekspresi Shenny yang tak menutupi ketidaksukaannya, dan malah nafsu mereka makin terpancing. Si bopeng memang selama ini menahan mupeng terhadap anak bosnya yang mirip Shenny, sementara si codet pernah ditolak cintanya oleh seorang gadis keturunan dan dia masih dendam. Jadilah kedua pemuda dengan muka tak sempurna itu maju ke arah Shenny dengan mata lapar, penuh dendam dan birahi, siap melampiaskan hasrat terpendam mereka.
Ketika tangan si bopeng terjulur, Shenny tak tahan lagi. Dia berbalik dan berjalan pergi, menuju pintu kamar hotel. Dia mau pergi saja. Dia tak peduli dengan tugasnya, dia ogah melayani orang-orang rendahan, titik! Dia sudah membayangkan akan marah kepada Simon Sunargo yang mengumpankannya kepada mereka. Si bopeng dan si codet tidak membiarkan incaran mereka pergi, jadi mereka mengikuti Shenny yang mempercepat langkah, dan akhirnya berlari, menuju pintu keluar. Tapi di depan pintu ada pengawal Pak Walikota yang menghalangi.
“Minggir Pak. Saya mau keluar!” teriak Shenny.
Tapi si pengawal melihat Pak Walikota menggelengkan kepala, jadi dia tidak bergeser.
“MINGGIR!” Kembali Shenny berteriak, wajahnya amat kesal.
Sesaat kemudian teriakannya berubah. “JANGAN! LEPASIN!”
Si bopeng dan si codet sudah sampai di sana, diikuti beberapa orang lain, dan mereka pun segera memegangi Shenny. Shenny shock merasakan tangan kasar mereka mencengkeram lengannya, pinggangnya, dan juga ada yang mencengkeram pantatnya. Makanya dia berteriak dan meronta, tapi apa daya, usahanya melepaskan diri malah membuat si codet dan si bopeng dan teman-temannya makin bernafsu.
“Lepas..in!! Ihh!! Pergi!! Jangan!!” Shenny berteriak-teriak selagi si bopeng, si codet, dan teman-temannya merubung.
Si bopeng sudah merangkul dan mengusap-usap lengan Shenny.
Si codet berbisik, “Non, kenapa teriak-teriak? Ga suka ya sama kita-kita? Kita ga level ya Non? Gitu?”
Nafasnya yang bau membuat Shenny bergidik. Pengawal Pak Walikota diam saja seperti patung. Tak sedikit pun dia terpikir untuk menolong Shenny, karena memang bukan urusannya. Malah diam-diam dia menikmati pemandangan itu. Orang-orang kasar bin seram yang didatangkan Pak Walikota itu merubung seorang perempuan berkulit kuning yang amat cantik. Rambut hitam Shenny yang dikepang dielus-elus tangan-tangan mereka. Sekujur tubuhnya yang berbusana cheongsam coklat juga digerayangi. Bahkan mulai ada yang kurang ajar merogoh ke balik baju dan menyentuh tubuhnya langsung. Mata sipitnya berkaca-kaca, karena ketakutan dengan orang-orang yang merubungnya.
Si bopeng kemudian menyentuh dagu Shenny dan memaksanya menengok sehingga wajah mereka berhadapan.
“Mmmhh!!” Melihat sorot mata Shenny yang jijik, si bopeng gemas.
Bopeng melumatlah bibir tipis Shenny dengan paksa, sementara gadis oriental itu tak rela. Shenny ingin kabur, tapi dia tak kuat menghalau semua orang yang merubungnya. Shenny makin kaget ketika tangan kasar si codet, yang menyelinap dari bawah cheongsam, menyentuh bagian depan celana dalamnya. Akibatnya si bopeng berhasil membuka paksa mulut Shenny dan menjulurkan lidahnya yang menjijikkan ke dalam sana. Shenny terus berusaha, dia mau menahan tangan si codet, tapi malah tangannya dipegangi oleh orang-orang lain sehingga si codet bebas mengelus-elus kewanitaannya yang masih tertutup celana dalam.
Satu lagi orang yang memeganginya berjongkok memeluk pahanya. Kalau Gaby tadi mengenakan stoking, paha Shenny tak terbungkus apa-apa, sehingga paha mulus itu pun langsung merasakan hangat dan basah lidah orang itu yang mulai menjilatinya. Kelompok pengeroyok Shenny, lima orang yang terdiri atas si bopeng, si codet, dan tiga rekan keduanya, begitu antusias dan terbakar birahi oleh sasaran mereka yang mulai tak berdaya itu. Mereka menginginkan dia, yang normalnya tak bakal mereka bisa jangkau, dan mereka tak peduli Shenny bersedia atau tidak. Mereka tarik Shenny kembali ke ruang tengah, ke tengah “arena” di depan Pak Walikota yang terus duduk menyaksikan. Pada saat yang sama Gaby sedang menyepong dua orang sekaligus.
“Buka dong bajunya Non,” kata si bopeng dengan nada memaksa.
Teman-temannya tertawa, sepakat. Shenny tak berdaya menolak, dengan enggan dia menggerakkan tangan ke barisan kancing cheongsam yang melintang dari leher ke samping dada, dan dia membukanya satu demi satu dalam keadaan dipegangi dan diraba-raba para pengeroyoknya. Rambutnya yang dikepang sudah mulai terlepas dari tataan, sementara jepit rambutnya yang berbentuk anggrek terjatuh ketika dia diseret dari depan pintu.
BRETTT! bunyi kain dirobek
“AIIIHHH!!” Shenny menjerit panik.
Sange berat yang dialami dua pria itu, si bopeng dan si codet memutuskan untuk mempercepat proses penelanjangan Shenny dan cheongsam sutra itu pun mereka tarik sehingga robek sepanjang jahitan sisinya. Tubuh mulus Shenny pun tersaji di atas lembar kain sutra yang tadinya cheongsam, masih terlindung di balik bra dan celana dalam hitam berenda, tapi kedua potong pakaian dalam itu pun segera disingkirkan oleh orang-orang yang merubungnya.
Setelah Shenny telanjang, dan tubuh mudanya yang indah terbuka bagi tatapan cabul para pengeroyoknya, mereka pun menerkamnya. Tangan-tangan kapalan mereka dengan kasar menjelajahi tubuh Shenny. Meremas dan membelai payudara Shenny yang kecil, kencang, dan mencuat ke atas, membelai pahanya yang tak kalah mulus dengan sutra. Mendengus penuh nafsu, tak sabar menunggu. Mereka persiapkan incaran mereka itu untuk dinikmati. Meski masih meronta-ronta, Shenny tak berdaya ketika orang-orang itu membaringkannya di atas karpet dan menahannya.
“Aunghhh! Lepppassinnn!!” Shenny meringis dan menjerit tak rela saat orang-orang itu merentangkan kedua pahanya.
Ini sudah sangat di luar rencana! Gundukan kemaluannya yang berambut ikal halus pun terpapar jelas. Shenny menahan nafas selagi merasa bibir luar vaginanya merekah, menunjukkan celah dalamya yang sempit dan menjanjikan sensasi kenikmatan kepada para pengeroyoknya. Kemaluan yang karcis masuknya berharga jutaan. Tak terpikir sama sekali oleh Shenny bahwa dia akan dipaksa mengobral memeknya untuk orang-orang kelas rendah.
Gaby lebih beruntung karena masih pegang kendali. Sementara Shenny sudah seperti akan diperkosa saja oleh orang-orang yang merubungnya. Lalu Shenny melihat si bopeng berlutut di depan selangkangannya yang sudah dibentangkan, dengan celana sudah dilepas. Dia menatap ngeri melihat organ laki-laki si bopeng. Anunya cukup panjang dan gemuk, dibanding kebanyakan klien yang pernah dilayani Shenny. Batangnya berurat dan kepalanya besar. Lubang kencingnya sudah mengeluarkan sedikit lendir.
Si bopeng tak buang-buang waktu dan beringsut maju, di dalam kepalanya, dia membayangkan akan menyetubuhi anak bosnya. Dia mendorong kepala burungnya ke bukaan kewanitaan Shenny yang mencuat ke atas, memaksa masuk. Bibir vagina Shenny yang rapat pelan-pelan merekah dan tiba-tiba kepala burung yang besar itu bisa masuk ke dalam.
“AAAHHH!”
“Aughhh..”
Si bopeng dan Shenny mengerang bersamaan, yang satu merasakan sempitnya kemaluan Shenny yang berharga tinggi, yang satu lagi diterobos kemaluan orang kere tapi gede.
“Gimana bro rasanya?” tanya si codet melihat wajah si bopeng yang mupeng keenakan.
Si bopeng tidak menjawab, dia masukkan kontolnya makin dalam, menerobos vagina Shenny yang sempit. Shenny menjerit dan memberontak, mencoba lepas dari tangan-tangan bejat yang mencengkeramnya. Tapi dia tidak berdaya melawan kekuatan mereka.
“Ssh.. uh.. ugh..” Si bopeng mendesis keenakan.
Dinding dalam kewanitaan Shenny sungguh rapat dan lembut, membelai kejantanannya. Si bopeng menggenjot kencang, menusuk dalam-dalam sampai mentok. Kenikmatan menjalar di bagian bawah tubuhnya. Dia merasakan tubuh amoy ramping itu tersentak-sentak di bawah dirinya, mendengar bibir tipis Shenny terengah dan mengeluarkan bunyi-bunyian tak jelas. Kawan-kawannya terus mencengkeram bagian-bagian tubuh Shenny, membelai betis dan paha, merasakan otot-otot gadis itu berkedut dan bergerak selagi Shenny masih berusaha membebaskan diri, supaya bisa lolos dari penetrasi tak dikehendaki.
Penis besar si bopeng sudah merojok masuk dalam-dalam. Rasa ngeri dan muak melanda sekujur tubuh Shenny saat si bopeng menggerakkan pinggul, menggesek-gesekkan kepala burungnya menyodok rahim, menusuk-nusuk dengan sentakan pantatnya. Gadis manis itu tak diberi pilihan, dia hanya bisa menerima pelecehan menjijikkan terhadap tubuhnya yang dia jadikan barang mahal.
Si bopeng terus mengentot Shenny. Keluar, masuk, naik, turun, menyodok sampai sedalam-dalamnya vagina si pelacur kelas tinggi. Dia terlalu semangat gara-gara berkesempatan mewujudkan mimpinya menyetubuhi perempuan berfisik mirip anak bosnya, akibatnya dia tak tahan lama. Mana bisa dia tahan lama dalam sesak dan halusnya kemaluan yang tadinya khusus bagi orang-orang yang kuat membayar itu? Kejantanan si bopeng muntah dengan dahsyatnya, berkedut-kedut di dalam, menyemburkan mani panas kental.
Shenny sendiri tak menyangka akan secepat itu si bopeng keluar, apalagi si bopeng tak memakai kondom, sehingga dia pun menjerit ngeri dan jijik saat merasakan semburan benih dari seorang laki-laki kurang berkualitas membanjiri dan mencemari rahimnya. Semburannya tak berhenti-berhenti, memang si bopeng jarang sekali berkesempatan bersetubuh sehingga maninya lebih sering menumpuk di dalam. kontolnya menyentak dan menyentak, tiap sentakan melepas semburan peju. Shenny menendang-nendang dan menggeliat, menjerit karena dipermalukan seperti itu.
“Ahh.. Nggaakk!! Jangan!!.. Ah! AH!”
Akhirnya selesai juga ejakulasi si bopeng, dan dia menarik organ laki-lakinya yang berlu**r peju dari dalam tubuh Shenny yang dinodainya. Shenny gemetar sekujur tubuhnya, reaksi atas pengalaman hubungan seks tanpa rela. Tidak terbayang oleh dia bahwa dalam kariernya menjual kemolekan tubuh, dia akan melayani orang bertampang jelek dan berkantong bokek. Bukan orang-orang yang berpunya dan memuja kecantikannya. Melainkan pemaksaan oleh sekelompok man*sia yang di pandangannya hanya sederajat di atas binatang, yang dia anggap tidak berhak menikmati dirinya. Shenny menengok dan melihat Pak Walikota tersenyum sinis. Tapi dia tak diberi kesempatan beristirahat, orang berikutnya sudah bersiap-siap menggilirnya.
*****
Sesudah Gaby mulai melayani si gemuk dan Shenny ditangkap si bopeng dan si codet, kawanan orang jelek terbagi tiga. Sebagian mendekat ke Gaby, sebagian lagi ikut merubung Shenny. Sisanya memilih Tia. Tia memandangi mereka. Jelas tidak lebih ganteng daripada yang lain. Dia tersenyum manis kepada mereka semua.
“Selamat siang, bapak-bapak,” sapanya sopan. “Saya butuh kerja sama kalian..” katanya sambil berjalan ke tengah-tengah mereka, menguasai keadaan. Walau dia masih berpakaian lengkap, aura keseksian yang dipancarkannya tak kalah dengan Gaby dan Shenny.
“Ayo.. jangan malu-malu,” rayunya.
Dia berkata itu sambil menggerakkan tangannya, meraba tubuh para laki-laki yang mengelilinginya. Dia memandangi mereka semua dengan mata seolah meminta.
“Tolongin yah..” bujuknya, “Saya butuh kontol kalian..”
Meski kalah pengalaman dari Gaby dan Shenny, Tia jelas mendalami perannya, berkat semua perubahan yang dilakukan Citra dan Mang Enjup. Mereka yang merubungnya seolah tak percaya, perempuan muda di hadapan mereka itu berkata sendiri menginginkan kejantanan mereka. Padahal penampilannya begitu anggun. Rambutnya digelung sehingga memperlihatkan lehernya yang mulus. Dadanya sedikit membusung di balik atasan kebaya. Pinggulnya yang aduhai terbungkus ketat kain batik. Make-upnya makin menonjolkan kecantikan wajahnya, dengan eyeshadow gelap, alis terlukis, dan blush on. Orang-orang yang merubungnya sudah sangat terangsang, tapi pembawaan Tia yang elegan membuat mereka segan. Biarpun mereka bisa, mereka tak bersikap seolah bisa menyuruh Tia berbuat apa saja, seperti pada Gaby, ataupun memaksa, seperti pada Shenny.
Si codet berbisik, “Non, kenapa teriak-teriak? Ga suka ya sama kita-kita? Kita ga level ya Non? Gitu?”
Nafasnya yang bau membuat Shenny bergidik. Pengawal Pak Walikota diam saja seperti patung. Tak sedikit pun dia terpikir untuk menolong Shenny, karena memang bukan urusannya. Malah diam-diam dia menikmati pemandangan itu. Orang-orang kasar bin seram yang didatangkan Pak Walikota itu merubung seorang perempuan berkulit kuning yang amat cantik. Rambut hitam Shenny yang dikepang dielus-elus tangan-tangan mereka. Sekujur tubuhnya yang berbusana cheongsam coklat juga digerayangi. Bahkan mulai ada yang kurang ajar merogoh ke balik baju dan menyentuh tubuhnya langsung. Mata sipitnya berkaca-kaca, karena ketakutan dengan orang-orang yang merubungnya.
Si bopeng kemudian menyentuh dagu Shenny dan memaksanya menengok sehingga wajah mereka berhadapan.
“Mmmhh!!” Melihat sorot mata Shenny yang jijik, si bopeng gemas.
Bopeng melumatlah bibir tipis Shenny dengan paksa, sementara gadis oriental itu tak rela. Shenny ingin kabur, tapi dia tak kuat menghalau semua orang yang merubungnya. Shenny makin kaget ketika tangan kasar si codet, yang menyelinap dari bawah cheongsam, menyentuh bagian depan celana dalamnya. Akibatnya si bopeng berhasil membuka paksa mulut Shenny dan menjulurkan lidahnya yang menjijikkan ke dalam sana. Shenny terus berusaha, dia mau menahan tangan si codet, tapi malah tangannya dipegangi oleh orang-orang lain sehingga si codet bebas mengelus-elus kewanitaannya yang masih tertutup celana dalam.
Satu lagi orang yang memeganginya berjongkok memeluk pahanya. Kalau Gaby tadi mengenakan stoking, paha Shenny tak terbungkus apa-apa, sehingga paha mulus itu pun langsung merasakan hangat dan basah lidah orang itu yang mulai menjilatinya. Kelompok pengeroyok Shenny, lima orang yang terdiri atas si bopeng, si codet, dan tiga rekan keduanya, begitu antusias dan terbakar birahi oleh sasaran mereka yang mulai tak berdaya itu. Mereka menginginkan dia, yang normalnya tak bakal mereka bisa jangkau, dan mereka tak peduli Shenny bersedia atau tidak. Mereka tarik Shenny kembali ke ruang tengah, ke tengah “arena” di depan Pak Walikota yang terus duduk menyaksikan. Pada saat yang sama Gaby sedang menyepong dua orang sekaligus.
“Buka dong bajunya Non,” kata si bopeng dengan nada memaksa.
Teman-temannya tertawa, sepakat. Shenny tak berdaya menolak, dengan enggan dia menggerakkan tangan ke barisan kancing cheongsam yang melintang dari leher ke samping dada, dan dia membukanya satu demi satu dalam keadaan dipegangi dan diraba-raba para pengeroyoknya. Rambutnya yang dikepang sudah mulai terlepas dari tataan, sementara jepit rambutnya yang berbentuk anggrek terjatuh ketika dia diseret dari depan pintu.
BRETTT! bunyi kain dirobek
“AIIIHHH!!” Shenny menjerit panik.
Sange berat yang dialami dua pria itu, si bopeng dan si codet memutuskan untuk mempercepat proses penelanjangan Shenny dan cheongsam sutra itu pun mereka tarik sehingga robek sepanjang jahitan sisinya. Tubuh mulus Shenny pun tersaji di atas lembar kain sutra yang tadinya cheongsam, masih terlindung di balik bra dan celana dalam hitam berenda, tapi kedua potong pakaian dalam itu pun segera disingkirkan oleh orang-orang yang merubungnya.
Setelah Shenny telanjang, dan tubuh mudanya yang indah terbuka bagi tatapan cabul para pengeroyoknya, mereka pun menerkamnya. Tangan-tangan kapalan mereka dengan kasar menjelajahi tubuh Shenny. Meremas dan membelai payudara Shenny yang kecil, kencang, dan mencuat ke atas, membelai pahanya yang tak kalah mulus dengan sutra. Mendengus penuh nafsu, tak sabar menunggu. Mereka persiapkan incaran mereka itu untuk dinikmati. Meski masih meronta-ronta, Shenny tak berdaya ketika orang-orang itu membaringkannya di atas karpet dan menahannya.
“Aunghhh! Lepppassinnn!!” Shenny meringis dan menjerit tak rela saat orang-orang itu merentangkan kedua pahanya.
Ini sudah sangat di luar rencana! Gundukan kemaluannya yang berambut ikal halus pun terpapar jelas. Shenny menahan nafas selagi merasa bibir luar vaginanya merekah, menunjukkan celah dalamya yang sempit dan menjanjikan sensasi kenikmatan kepada para pengeroyoknya. Kemaluan yang karcis masuknya berharga jutaan. Tak terpikir sama sekali oleh Shenny bahwa dia akan dipaksa mengobral memeknya untuk orang-orang kelas rendah.
Gaby lebih beruntung karena masih pegang kendali. Sementara Shenny sudah seperti akan diperkosa saja oleh orang-orang yang merubungnya. Lalu Shenny melihat si bopeng berlutut di depan selangkangannya yang sudah dibentangkan, dengan celana sudah dilepas. Dia menatap ngeri melihat organ laki-laki si bopeng. Anunya cukup panjang dan gemuk, dibanding kebanyakan klien yang pernah dilayani Shenny. Batangnya berurat dan kepalanya besar. Lubang kencingnya sudah mengeluarkan sedikit lendir.
Si bopeng tak buang-buang waktu dan beringsut maju, di dalam kepalanya, dia membayangkan akan menyetubuhi anak bosnya. Dia mendorong kepala burungnya ke bukaan kewanitaan Shenny yang mencuat ke atas, memaksa masuk. Bibir vagina Shenny yang rapat pelan-pelan merekah dan tiba-tiba kepala burung yang besar itu bisa masuk ke dalam.
“AAAHHH!”
“Aughhh..”
Si bopeng dan Shenny mengerang bersamaan, yang satu merasakan sempitnya kemaluan Shenny yang berharga tinggi, yang satu lagi diterobos kemaluan orang kere tapi gede.
“Gimana bro rasanya?” tanya si codet melihat wajah si bopeng yang mupeng keenakan.
Si bopeng tidak menjawab, dia masukkan kontolnya makin dalam, menerobos vagina Shenny yang sempit. Shenny menjerit dan memberontak, mencoba lepas dari tangan-tangan bejat yang mencengkeramnya. Tapi dia tidak berdaya melawan kekuatan mereka.
“Ssh.. uh.. ugh..” Si bopeng mendesis keenakan.
Dinding dalam kewanitaan Shenny sungguh rapat dan lembut, membelai kejantanannya. Si bopeng menggenjot kencang, menusuk dalam-dalam sampai mentok. Kenikmatan menjalar di bagian bawah tubuhnya. Dia merasakan tubuh amoy ramping itu tersentak-sentak di bawah dirinya, mendengar bibir tipis Shenny terengah dan mengeluarkan bunyi-bunyian tak jelas. Kawan-kawannya terus mencengkeram bagian-bagian tubuh Shenny, membelai betis dan paha, merasakan otot-otot gadis itu berkedut dan bergerak selagi Shenny masih berusaha membebaskan diri, supaya bisa lolos dari penetrasi tak dikehendaki.
Penis besar si bopeng sudah merojok masuk dalam-dalam. Rasa ngeri dan muak melanda sekujur tubuh Shenny saat si bopeng menggerakkan pinggul, menggesek-gesekkan kepala burungnya menyodok rahim, menusuk-nusuk dengan sentakan pantatnya. Gadis manis itu tak diberi pilihan, dia hanya bisa menerima pelecehan menjijikkan terhadap tubuhnya yang dia jadikan barang mahal.
Si bopeng terus mengentot Shenny. Keluar, masuk, naik, turun, menyodok sampai sedalam-dalamnya vagina si pelacur kelas tinggi. Dia terlalu semangat gara-gara berkesempatan mewujudkan mimpinya menyetubuhi perempuan berfisik mirip anak bosnya, akibatnya dia tak tahan lama. Mana bisa dia tahan lama dalam sesak dan halusnya kemaluan yang tadinya khusus bagi orang-orang yang kuat membayar itu? Kejantanan si bopeng muntah dengan dahsyatnya, berkedut-kedut di dalam, menyemburkan mani panas kental.
Shenny sendiri tak menyangka akan secepat itu si bopeng keluar, apalagi si bopeng tak memakai kondom, sehingga dia pun menjerit ngeri dan jijik saat merasakan semburan benih dari seorang laki-laki kurang berkualitas membanjiri dan mencemari rahimnya. Semburannya tak berhenti-berhenti, memang si bopeng jarang sekali berkesempatan bersetubuh sehingga maninya lebih sering menumpuk di dalam. kontolnya menyentak dan menyentak, tiap sentakan melepas semburan peju. Shenny menendang-nendang dan menggeliat, menjerit karena dipermalukan seperti itu.
“Ahh.. Nggaakk!! Jangan!!.. Ah! AH!”
Akhirnya selesai juga ejakulasi si bopeng, dan dia menarik organ laki-lakinya yang berlu**r peju dari dalam tubuh Shenny yang dinodainya. Shenny gemetar sekujur tubuhnya, reaksi atas pengalaman hubungan seks tanpa rela. Tidak terbayang oleh dia bahwa dalam kariernya menjual kemolekan tubuh, dia akan melayani orang bertampang jelek dan berkantong bokek. Bukan orang-orang yang berpunya dan memuja kecantikannya. Melainkan pemaksaan oleh sekelompok man*sia yang di pandangannya hanya sederajat di atas binatang, yang dia anggap tidak berhak menikmati dirinya. Shenny menengok dan melihat Pak Walikota tersenyum sinis. Tapi dia tak diberi kesempatan beristirahat, orang berikutnya sudah bersiap-siap menggilirnya.
*****
Sesudah Gaby mulai melayani si gemuk dan Shenny ditangkap si bopeng dan si codet, kawanan orang jelek terbagi tiga. Sebagian mendekat ke Gaby, sebagian lagi ikut merubung Shenny. Sisanya memilih Tia. Tia memandangi mereka. Jelas tidak lebih ganteng daripada yang lain. Dia tersenyum manis kepada mereka semua.
“Selamat siang, bapak-bapak,” sapanya sopan. “Saya butuh kerja sama kalian..” katanya sambil berjalan ke tengah-tengah mereka, menguasai keadaan. Walau dia masih berpakaian lengkap, aura keseksian yang dipancarkannya tak kalah dengan Gaby dan Shenny.
“Ayo.. jangan malu-malu,” rayunya.
Dia berkata itu sambil menggerakkan tangannya, meraba tubuh para laki-laki yang mengelilinginya. Dia memandangi mereka semua dengan mata seolah meminta.
“Tolongin yah..” bujuknya, “Saya butuh kontol kalian..”
Meski kalah pengalaman dari Gaby dan Shenny, Tia jelas mendalami perannya, berkat semua perubahan yang dilakukan Citra dan Mang Enjup. Mereka yang merubungnya seolah tak percaya, perempuan muda di hadapan mereka itu berkata sendiri menginginkan kejantanan mereka. Padahal penampilannya begitu anggun. Rambutnya digelung sehingga memperlihatkan lehernya yang mulus. Dadanya sedikit membusung di balik atasan kebaya. Pinggulnya yang aduhai terbungkus ketat kain batik. Make-upnya makin menonjolkan kecantikan wajahnya, dengan eyeshadow gelap, alis terlukis, dan blush on. Orang-orang yang merubungnya sudah sangat terangsang, tapi pembawaan Tia yang elegan membuat mereka segan. Biarpun mereka bisa, mereka tak bersikap seolah bisa menyuruh Tia berbuat apa saja, seperti pada Gaby, ataupun memaksa, seperti pada Shenny.
Tia melihat keraguan mereka, mata mereka seolah bertanya Boleh nggak sih? tapi tonjolan-tonjolan di selangkangan mereka mulai muncul tanda nafsu tak terbendung. Tia tak langsung mengumbar diri seperti Gaby maupun menunjukkan ketidaksukaan seperti Shenny. Dia tertawa kecil melihat orang-orang itu betul-betul kebingungan. Mereka segan padanya, biarpun mereka mengagumi. Mereka seolah rakyat jelata yang menyaksikan bidadari kahyangan, tertegun dan tak tahu boleh berbuat apa. Sambil tersenyum, Tia melepas satu per satu kancing kebayanya.
Setelah terbuka semua, Tia pun menggerakkan lengan dan pundaknya, membiarkan kebayanya meluncur ke lantai. Tanpa menunggu reaksi lain-lain, Tia kemudian melepas kain bawahannya, dan sedetik kemudian kain batik sudah merosot melingkungi kedua kakinya yang masih bersepatu hak tinggi. Tubuh bahenol Tia pun tampak, hanya tertutup bra dan celana dalam. Orang-orang di sekeliling Tia kagum akan berubahnya pemandangan indah di depan mereka. Tia yang anggun berkebaya berubah menjadi Tia yang seksi berlingerie, dengan beha demi-cup putih yang hanya menutup separo dari masing-masing payudaranya, juga celana dalam tipis transparan yang juga putih, dengan desain yang memikat birahi.
Tia berputar, melihat reaksi orang-orang yang mengelilinginya. Sekalian dia memilih, siapa yang akan dia layani. Di antara mereka, Tia memilih yang bertubuh paling jangkung. Seorang pemuda kurus berkacamata bertampang culun dan wajahnya ada kemiripan dengan Pak Walikota.
Tia tersenyum ke arah si culun, meraih tangannya, dan berjalan menarik si culun ke arah sofa. Tia berdiri di depan di sofa dan si culun ada di depannya. Si culun ini kurang pengalaman asmara langsung dengan wanita, tapi kalau teorinya saja dia sudah fasih karena sering nonton video dewasa. Tia berinisiatif dulu dengan merangkul pinggang si culun. Ditatapnya wajah pemuda jangkung itu lalu ditariknya.. dan kemudian bibirnya mendarat di bibir si culun.
Si culun membalas dengan kaku, mungkin dia jarang atau belum pernah ciuman. Tapi dia segera hanyut saling memagut dengan Tia. Tia yang mulai ahli melakukan french kiss mengajari si culun. Lidah Tia menerobos menelusuri rongga mulut si culun.
“Mmmnh..” Tia mendesah ketika si culun membalas ciumannya.
Si culun mulai berani menyentuh Tia, dan Tia membimbing tangannya menelusuri leher dan dada. Tanpa sungkan, Tia membiarkan jemari si culun mempelajari bentuk tubuh wanita. Si culun menggenggam gumpalan payudara Tia yang sebagian masih tertutup bra. Payudara Tia lebih kecil daripada milik Gaby yang montok, dan lebih besar daripada milik Shenny. Si culun lalu menyelipkan tangannya ke balik bra dan mengeluarkan payudara kiri Tia dari bra. Tia terpejam merasakan betapa kaku gerak-gerik tangan si culun.
“Mmm..” gumam Tia ketika merasakan remasan jemari si culun menikmati kenyalnya payudara. “Aah.. enak.. terusin ya?”
Tubuh Tia tak berbohong, tiap sentuhan si culun memang memicu sensasi keasyikan. Berbeda dengan kedua perempuan lainnya yang profesional, sejatinya Tia bukanlah seorang wanita penghibur yang membiarkan tubuhnya dijamah sembarang lelaki. Tapi apa yang dirasakannya sekarang murni dari kepribadiannya sendiri yang telah berubah. Kini dia hanya memikirkan kenikmatan badan, dari segala laki-laki. Tia tak lagi hanya menjaga diri untuk suaminya. Dan dia sungguh terangsang melihat tatap mata orang-orang itu, yang seolah memujanya.bTia kembali mengecup si culun, tersenyum, lalu menghentikan tangan si culun. Pemuda itu menatap seolah tak rela.
“Kamu suka?” tanya Tia manja.
Godaan ditambah dengan dibukanya kaitan bra. Kedua buah dada Tia yang molek mencelat keluar, mengundang jamahan. Tia lalu menunduk, melepas celana dalamnya,dan tanggallah penutup kemaluannya itu. Tia bergerak mundur dan duduk dengan paha sedikit terentang di sofa. Jarinya bergerak memanggil si culun untuk mendekat. Si culun langsung maju dan mengikuti isyarat Tia, dia berlutut di antara kedua paha Tia. Dia mau mencoba mempraktekkan apa yang selama ini hanya dilihatnya sambil ngiler dalam film porno. Dia genggam kedua pergelangan kaki Tia dan dia angkat keduanya sehingga Tia jadi mengangkang di sofa. Lalu dia mulai menciumi paha mulus nan kenyal Tia, dari dekat lutut menuju pangkal. Dibelainya lembut paha dan pantat Tia.
“Mbak cakep banget,” bisiknya.
“Kenapa malu-malu? Jilatin itu.. dong?” Tia memberi saran sambil menunjuk vaginanya.
Si culun segera merespon. Tia langsung bisa merasakan lidah si culun menjilati celah vaginanya. Lembut sekali cara si culun melakukannya. Namun Tia menginginkan lebih. Jilatan si culun naik, turun, mencecap khasnya rasa cairan kewanitaan. Tia cepat menyadari bahwa mungkin si culun tak berpengalaman dan perlu diajari agar bisa lebih berani dan memperlakukannya seperti yang dia mau. Aku mau dia memperlakukanku seperti pelacur betulan.
“Kalau mau.. mainin pantatku juga, ya? Boleh kok.” Tia mencoba mengarahkan perhatian si culun ke pantatnya.
Si culun tadi meremas dan menciumi pantat Tia, jadi Tia pikir si culun mungkin suka.
“Colok pake jari kamu..” usul Tia.
Si culun mundur dari vagina Tia dan mulai mengelus-elus pantat Tia dengan kedua tangan. Lalu dia dengan hati-hati melebarkan keduanya, sehingga lubang dubur Tia terlihat.
“Emm.. Beneran boleh.. dicolok, Mbak?” tanya si culun.
“Iya, silakan..” jawab Tia, lalu menyuruh, “Colokin.”
Si culun menempatkan jari tengah kirinya yang sudah dibasahi liur di lubang dubur Tia, lalu mendorongnya ke dalam. Tia sudah rileks dan bersiap ditembus sehingga jari si culun bisa masuk.
“Eunghh,” keluh Tia dengan nada seksi karena merasakan sensasi ganjil jari dalam dubur. “Umh enak.”
Lalu dia geser dan geliat-geliatkan pinggulnya sehingga jari si culun masuk makin dalam. Saat itulah si culun menyadari Tia suka dibegitukan.
“Enak kah Mbak?” si culun bertanya.
“Oh.. iyah,” seru Tia.
Dia kemudian mendorong jarinya lebih dalam lalu menariknya sedikit. Ketika dia mengulangi itu terus, makin lama makin kencang, Tia mengerang makin keras. Jari si culun sedang menyetubuhi dubur Tia.
“Terusss.. ah terus,” seru Tia. “Tamparin pantatku juga..”
Si culun ragu-ragu, lalu menepak lembut pantat kiri Tia.
“Yang kencang!” kata Tia. “Ayo tampar!!”
Akhirnya, PLAKK!! Si culun memberanikan diri dan mengemplang pantat Tia cukup keras.
“Segitu?” tanya si culun.
“Ya.. ayo lagi!” perintah Tia.
Dia berulangkali menampar pantat Tia dengan satu tangan, sementara jari tangan satunya tetap dalam lubang dubur Tia. Tia terangsang ketika merasakan sensasi perih nikmat seperti itu. Tia memperhatikan gembungan di selangkangan si culun. Si culun jelas terangsang juga.
“Ayo,” ajak Tia. “Entot aku yah?”
Si culun cepat-cepat menarik jarinya keluar. Tia turun dari sofa ke karpet, dan merentangkan pahanya untuk si culun.
“Ohh.. aku pengen nih.. masukin ya? Ayo dongg..”
“Ah.. Mbak, saya, saya..” kata si culun ragu, “Belum pernah..”
Tia meraih ke atas dan menarik wajah si culun untuk dicium. “Kalau gitu biar aku ajarin..”
Dibimbingnya si culun untuk berposisi di atas tubuhnya, sambil digenggamnya kemaluan si culun yang masih perjaka itu. Si culun gemetar ketika merasakan Tia menggesek-gesekkan kepala kemaluannya ke belahan vagina.
“Sini.. udah ada di sana, kamu dorong pelan-pelan ya?” kata Tia sambil menatap si culun dengan mata berbinar.
“Yahh.. uahh gede-nya..” lanjut Tia, menyenangkan ego laki-laki si culun, selagi si culun mulai merasakan surga dunia di selangkangan wanita untuk pertama kali.
“Ayo.. semuanya dimasukin.. oohhh!” Masuk semua-lah penis si culun ke vagina Tia.
Kenikmatan tiada tara dirasakannya. Erangan Tia menambah panas suasana.
“Ayohh.. Kamu gerak..”
Pinggul si culun maju-mundur, kemaluannya menusuk-nusuk vagina Tia. Tia merangkul leher si culun, lalu menaikkan kepalanya menjilati puting si culun. Payudara Tia bergoyang-goyang akibat gempuran si culun. Suara-suara penuh birahi mulai terlontar. Sepatu hak tinggi yang masih terpasang di kedua kaki Tia terayun-ayun. Si culun terengah-engah. Si culun terus menyetubuhi Tia selama beberapa menit, meremas payudara Tia keras-keras dan menarik puting. Pemuda jangkung culun itu tak percaya dia sedang meniduri perempuan pertamanya, seseorang yang begitu cantik tapi mau menerima dirinya. Segala kegagalan dan penolakan yang selama ini dirasakannya pun terlupa.
“Ah.. Mbak.. Mbak cantik banget.. Ugh.. Seksi..” komentarnya.
“Entot aku.. ahh.. ah..” desah Tia.
Tia senang si culun tak malu-malu lagi. Si culun berada di atas tubuh Tia, kemaluannya menyeruduk vagina Tia. Pada saat yang sama dia memegang wajah Tia dengan kedua tangan dan menciumi Tia, lidahnya kembali menjelajah bagian dalam mulut Tia. Bisa terdengar dia mendengus dengan setiap dorongan ke dalam lubang kenikmatan Tia. Tia mulai berseru,
“YAHH! Entot.. akuhh! Terus! Kontol kamu enak banget! Uh!”
Lalu Tia meminta si culun mencabut batangnya. Begitu keluar, Tia langsung menyambar kemaluan si culun yang tegang dan mengocoknya. Tia menatap si culun.
“Pernah dibegini’in ama cewek?” Saking senangnya, si culun tak bisa menjawab, hanya mengerang keenakan.
“Apa kamu pernah ngentot?” tanya Tia yang menyadari betapa girang si culun.
Si culun menggelengkan kepalanya. “Nggak.. Ini pertama kali.”
Tia terus mengocok kemaluan si culun, makin lama makin cepat. Batangnya terasa membesar.
“Keluarin yah..” pinta Tia. “Aku pengen peju kamu..”
Gerak tangan Tia makin giat
“Ayo, tunjukin kejantanan kamu.. Aku pengen disembur peju kamu!”
Mungkin si culun tidak pernah ejakulasi selama berbulan-bulan. Setelah dikocokkan, hasrat badaninya meledak menyirami Tia. Burungnya memuncratkan enam atau tujuh gumpalan kental sperma, mendarat mulai dari atas pusar Tia, belahan dada, pangkal leher, sampai yang terakhir mengenai dagu dan bibir Tia. Percikan yang jatuh di bibir langsung dijilat Tia dan sambil menatap si culun, Tia menunjukkan bahwa dia mencecap dan menelan mani si culun.
“Mmm.. aku suka peju..” komentar Tia.
Pada saat ejakulasinya selesai, sebagian besar sperma si culun bertebaran di atas tubuh Tia, mengalir turun dari dada dan perutnya.
BERSAMBUNG
Seri 4 - Tia S4NG3AN
Setelah terbuka semua, Tia pun menggerakkan lengan dan pundaknya, membiarkan kebayanya meluncur ke lantai. Tanpa menunggu reaksi lain-lain, Tia kemudian melepas kain bawahannya, dan sedetik kemudian kain batik sudah merosot melingkungi kedua kakinya yang masih bersepatu hak tinggi. Tubuh bahenol Tia pun tampak, hanya tertutup bra dan celana dalam. Orang-orang di sekeliling Tia kagum akan berubahnya pemandangan indah di depan mereka. Tia yang anggun berkebaya berubah menjadi Tia yang seksi berlingerie, dengan beha demi-cup putih yang hanya menutup separo dari masing-masing payudaranya, juga celana dalam tipis transparan yang juga putih, dengan desain yang memikat birahi.
Tia berputar, melihat reaksi orang-orang yang mengelilinginya. Sekalian dia memilih, siapa yang akan dia layani. Di antara mereka, Tia memilih yang bertubuh paling jangkung. Seorang pemuda kurus berkacamata bertampang culun dan wajahnya ada kemiripan dengan Pak Walikota.
Tia tersenyum ke arah si culun, meraih tangannya, dan berjalan menarik si culun ke arah sofa. Tia berdiri di depan di sofa dan si culun ada di depannya. Si culun ini kurang pengalaman asmara langsung dengan wanita, tapi kalau teorinya saja dia sudah fasih karena sering nonton video dewasa. Tia berinisiatif dulu dengan merangkul pinggang si culun. Ditatapnya wajah pemuda jangkung itu lalu ditariknya.. dan kemudian bibirnya mendarat di bibir si culun.
Si culun membalas dengan kaku, mungkin dia jarang atau belum pernah ciuman. Tapi dia segera hanyut saling memagut dengan Tia. Tia yang mulai ahli melakukan french kiss mengajari si culun. Lidah Tia menerobos menelusuri rongga mulut si culun.
“Mmmnh..” Tia mendesah ketika si culun membalas ciumannya.
Si culun mulai berani menyentuh Tia, dan Tia membimbing tangannya menelusuri leher dan dada. Tanpa sungkan, Tia membiarkan jemari si culun mempelajari bentuk tubuh wanita. Si culun menggenggam gumpalan payudara Tia yang sebagian masih tertutup bra. Payudara Tia lebih kecil daripada milik Gaby yang montok, dan lebih besar daripada milik Shenny. Si culun lalu menyelipkan tangannya ke balik bra dan mengeluarkan payudara kiri Tia dari bra. Tia terpejam merasakan betapa kaku gerak-gerik tangan si culun.
“Mmm..” gumam Tia ketika merasakan remasan jemari si culun menikmati kenyalnya payudara. “Aah.. enak.. terusin ya?”
Tubuh Tia tak berbohong, tiap sentuhan si culun memang memicu sensasi keasyikan. Berbeda dengan kedua perempuan lainnya yang profesional, sejatinya Tia bukanlah seorang wanita penghibur yang membiarkan tubuhnya dijamah sembarang lelaki. Tapi apa yang dirasakannya sekarang murni dari kepribadiannya sendiri yang telah berubah. Kini dia hanya memikirkan kenikmatan badan, dari segala laki-laki. Tia tak lagi hanya menjaga diri untuk suaminya. Dan dia sungguh terangsang melihat tatap mata orang-orang itu, yang seolah memujanya.bTia kembali mengecup si culun, tersenyum, lalu menghentikan tangan si culun. Pemuda itu menatap seolah tak rela.
“Kamu suka?” tanya Tia manja.
Godaan ditambah dengan dibukanya kaitan bra. Kedua buah dada Tia yang molek mencelat keluar, mengundang jamahan. Tia lalu menunduk, melepas celana dalamnya,dan tanggallah penutup kemaluannya itu. Tia bergerak mundur dan duduk dengan paha sedikit terentang di sofa. Jarinya bergerak memanggil si culun untuk mendekat. Si culun langsung maju dan mengikuti isyarat Tia, dia berlutut di antara kedua paha Tia. Dia mau mencoba mempraktekkan apa yang selama ini hanya dilihatnya sambil ngiler dalam film porno. Dia genggam kedua pergelangan kaki Tia dan dia angkat keduanya sehingga Tia jadi mengangkang di sofa. Lalu dia mulai menciumi paha mulus nan kenyal Tia, dari dekat lutut menuju pangkal. Dibelainya lembut paha dan pantat Tia.
“Mbak cakep banget,” bisiknya.
“Kenapa malu-malu? Jilatin itu.. dong?” Tia memberi saran sambil menunjuk vaginanya.
Si culun segera merespon. Tia langsung bisa merasakan lidah si culun menjilati celah vaginanya. Lembut sekali cara si culun melakukannya. Namun Tia menginginkan lebih. Jilatan si culun naik, turun, mencecap khasnya rasa cairan kewanitaan. Tia cepat menyadari bahwa mungkin si culun tak berpengalaman dan perlu diajari agar bisa lebih berani dan memperlakukannya seperti yang dia mau. Aku mau dia memperlakukanku seperti pelacur betulan.
“Kalau mau.. mainin pantatku juga, ya? Boleh kok.” Tia mencoba mengarahkan perhatian si culun ke pantatnya.
Si culun tadi meremas dan menciumi pantat Tia, jadi Tia pikir si culun mungkin suka.
“Colok pake jari kamu..” usul Tia.
Si culun mundur dari vagina Tia dan mulai mengelus-elus pantat Tia dengan kedua tangan. Lalu dia dengan hati-hati melebarkan keduanya, sehingga lubang dubur Tia terlihat.
“Emm.. Beneran boleh.. dicolok, Mbak?” tanya si culun.
“Iya, silakan..” jawab Tia, lalu menyuruh, “Colokin.”
Si culun menempatkan jari tengah kirinya yang sudah dibasahi liur di lubang dubur Tia, lalu mendorongnya ke dalam. Tia sudah rileks dan bersiap ditembus sehingga jari si culun bisa masuk.
“Eunghh,” keluh Tia dengan nada seksi karena merasakan sensasi ganjil jari dalam dubur. “Umh enak.”
Lalu dia geser dan geliat-geliatkan pinggulnya sehingga jari si culun masuk makin dalam. Saat itulah si culun menyadari Tia suka dibegitukan.
“Enak kah Mbak?” si culun bertanya.
“Oh.. iyah,” seru Tia.
Dia kemudian mendorong jarinya lebih dalam lalu menariknya sedikit. Ketika dia mengulangi itu terus, makin lama makin kencang, Tia mengerang makin keras. Jari si culun sedang menyetubuhi dubur Tia.
“Terusss.. ah terus,” seru Tia. “Tamparin pantatku juga..”
Si culun ragu-ragu, lalu menepak lembut pantat kiri Tia.
“Yang kencang!” kata Tia. “Ayo tampar!!”
Akhirnya, PLAKK!! Si culun memberanikan diri dan mengemplang pantat Tia cukup keras.
“Segitu?” tanya si culun.
“Ya.. ayo lagi!” perintah Tia.
Dia berulangkali menampar pantat Tia dengan satu tangan, sementara jari tangan satunya tetap dalam lubang dubur Tia. Tia terangsang ketika merasakan sensasi perih nikmat seperti itu. Tia memperhatikan gembungan di selangkangan si culun. Si culun jelas terangsang juga.
“Ayo,” ajak Tia. “Entot aku yah?”
Si culun cepat-cepat menarik jarinya keluar. Tia turun dari sofa ke karpet, dan merentangkan pahanya untuk si culun.
“Ohh.. aku pengen nih.. masukin ya? Ayo dongg..”
“Ah.. Mbak, saya, saya..” kata si culun ragu, “Belum pernah..”
Tia meraih ke atas dan menarik wajah si culun untuk dicium. “Kalau gitu biar aku ajarin..”
Dibimbingnya si culun untuk berposisi di atas tubuhnya, sambil digenggamnya kemaluan si culun yang masih perjaka itu. Si culun gemetar ketika merasakan Tia menggesek-gesekkan kepala kemaluannya ke belahan vagina.
“Sini.. udah ada di sana, kamu dorong pelan-pelan ya?” kata Tia sambil menatap si culun dengan mata berbinar.
“Yahh.. uahh gede-nya..” lanjut Tia, menyenangkan ego laki-laki si culun, selagi si culun mulai merasakan surga dunia di selangkangan wanita untuk pertama kali.
“Ayo.. semuanya dimasukin.. oohhh!” Masuk semua-lah penis si culun ke vagina Tia.
Kenikmatan tiada tara dirasakannya. Erangan Tia menambah panas suasana.
“Ayohh.. Kamu gerak..”
Pinggul si culun maju-mundur, kemaluannya menusuk-nusuk vagina Tia. Tia merangkul leher si culun, lalu menaikkan kepalanya menjilati puting si culun. Payudara Tia bergoyang-goyang akibat gempuran si culun. Suara-suara penuh birahi mulai terlontar. Sepatu hak tinggi yang masih terpasang di kedua kaki Tia terayun-ayun. Si culun terengah-engah. Si culun terus menyetubuhi Tia selama beberapa menit, meremas payudara Tia keras-keras dan menarik puting. Pemuda jangkung culun itu tak percaya dia sedang meniduri perempuan pertamanya, seseorang yang begitu cantik tapi mau menerima dirinya. Segala kegagalan dan penolakan yang selama ini dirasakannya pun terlupa.
“Ah.. Mbak.. Mbak cantik banget.. Ugh.. Seksi..” komentarnya.
“Entot aku.. ahh.. ah..” desah Tia.
Tia senang si culun tak malu-malu lagi. Si culun berada di atas tubuh Tia, kemaluannya menyeruduk vagina Tia. Pada saat yang sama dia memegang wajah Tia dengan kedua tangan dan menciumi Tia, lidahnya kembali menjelajah bagian dalam mulut Tia. Bisa terdengar dia mendengus dengan setiap dorongan ke dalam lubang kenikmatan Tia. Tia mulai berseru,
“YAHH! Entot.. akuhh! Terus! Kontol kamu enak banget! Uh!”
Lalu Tia meminta si culun mencabut batangnya. Begitu keluar, Tia langsung menyambar kemaluan si culun yang tegang dan mengocoknya. Tia menatap si culun.
“Pernah dibegini’in ama cewek?” Saking senangnya, si culun tak bisa menjawab, hanya mengerang keenakan.
“Apa kamu pernah ngentot?” tanya Tia yang menyadari betapa girang si culun.
Si culun menggelengkan kepalanya. “Nggak.. Ini pertama kali.”
Tia terus mengocok kemaluan si culun, makin lama makin cepat. Batangnya terasa membesar.
“Keluarin yah..” pinta Tia. “Aku pengen peju kamu..”
Gerak tangan Tia makin giat
“Ayo, tunjukin kejantanan kamu.. Aku pengen disembur peju kamu!”
Mungkin si culun tidak pernah ejakulasi selama berbulan-bulan. Setelah dikocokkan, hasrat badaninya meledak menyirami Tia. Burungnya memuncratkan enam atau tujuh gumpalan kental sperma, mendarat mulai dari atas pusar Tia, belahan dada, pangkal leher, sampai yang terakhir mengenai dagu dan bibir Tia. Percikan yang jatuh di bibir langsung dijilat Tia dan sambil menatap si culun, Tia menunjukkan bahwa dia mencecap dan menelan mani si culun.
“Mmm.. aku suka peju..” komentar Tia.
Pada saat ejakulasinya selesai, sebagian besar sperma si culun bertebaran di atas tubuh Tia, mengalir turun dari dada dan perutnya.
BERSAMBUNG
Seri 4 - Tia S4NG3AN
Klik Nomor untuk lanjutannya