Seri 1 - Tia Nyonya Muda S4NG3AN
== SORE HARI ==
“Hmmmm..” Tia menggumam karena nikmatnya pijatan Widy di pundaknya.
Sore itu Tia berada di salon Citra. Tadi Tia mampir untuk mengantarkan pepaya yang mau dia bagi untuk Citra, tapi setelah ngobrol-ngobrol berkepanjangan, akhirnya Tia malah mendapat sesi pijat refleksi gratis dari asisten Citra, Widy.
“Enak kan tangannya Widy? Aku aja suka kok. Saban hari pasti aku minta dia pijat aku dulu sebelum dia pulang,” ujar Citra yang berada di sebelah Tia, sambil mengecat kuku.
Widyane biasa dipanggil Widy adalah kapster di salon Citra, satu-satunya karyawati Citra. Keahlian utamanya adalah memijat. Widy lebih muda daripada Citra dan Tia, sekitar 20-an, bertubuh pendek tapi berisi dengan lekuk-lekuk menantang. Tia bisa melihat betapa celana pendek jeans dan T-shirt hijau ketat yang Widy pakai sore itu kerepotan melingkupi bokong dan payudaranya yang semok. Rias wajahnya tidak kalah meriah dibanding Citra, dengan lipstik merah cemerlang dan eyeshadow berwarna gelap di bawah rambut tebal yang agak megar dan sebagian di-highlight pirang.
“Eh, Mbak Tia kok sekarang cantikan ya? Biasanya juga cantik, tapi akhir-akhir ini jadi tambah kinclong lhoo..” komentar Widy dengan logat medok.
“Iya lah, kan gue yg permak,” ujar Citra bangga. “Tia ini baru dapat pencerahan, makanya perlu ganti imej. Gimana Ti? Mempan gak saranku?”
Tia tidak menjawab, namun bibirnya yang tersaput lipstik pink tersenyum. Tapi dia sendiri merasa makin lama makin bisa masuk ke dalam kepribadian yang disarankan Citra. Kepribadian pelacur. Kejadian pagi dan siang itu menunjukkan kepada Tia bahwa dia sebenarnya suka bisa menarik perhatian laki-laki. Memancing birahi mereka dan menguasai mereka.
Seperti lonte-lontenya Bram.
Seperti.. Citra?
Sambil menikmati pijatan jari Widy yang sekarang mencapai pelipisnya, Tia terpikir lagi mengenai perubahan penampilannya. Memang, waktu itu Citra menyarankan agar lebih berani dalam merias diri dan berpakaian supaya bisa menandingi perempuan-perempuan penjaja cinta yang sempat menarik perhatian Bram. Tapi Tia baru sadar, bukan cuma mereka yang penampilannya dia tiru.
Citra juga seperti itu.
Sejak dulu, Citra suka menggoda laki-laki. Siapapun. Teman sekolah, teman kuliah, karyawan orangtuanya—sembarang orang. Tia tahu itu. Entah sudah berapa laki-laki yang menikmati tubuh kakak iparnya. Sampai akhirnya satu di antara mereka menghamili Citra.
Lamunan Tia terhenti karena dia mendengar bunyi pintu dibuka. Masuklah seorang laki-laki setengah baya ke dalam salon. Laki-laki itu bertubuh besar dan berpakaian rapi ala pebisnis, dengan kemeja mahal, dasi, dan celana bahan yang necis. Rambutnya yang dibelah pinggir mengkilap karena minyak rambut, matanya kecil dan bibirnya lebar.
“Halo halo,” sapanya sok akrab.
“Eh Om Bernard. Ke mana aja, kok jarang ke sini?” jawab Citra, juga dengan akrab.
“Waduh, baru juga minggu lalu aku ke sini, manggilnya kok udah jadi formal lagi gitu?” kata Bernard.
“Iya deh.. Om Bernard,” balas Citra dengan centil.
“Tadi ada yang SMS aku katanya Widy udah masuk lagi, jadi kangen sama pijatannya.”
“Emang siapa yang ngabarin?.. Oh.” Pertanyaan Citra langsung terjawab ketika melihat Widy nyengir sambil mengacungkan HP-nya.
Citra mendekati Tia yang masih duduk di kursi salon. “Tia, sori, kamu pulang dulu yah? Aku ada customer nih.”
“Iya Kak,” jawab Tia, yang segera berdiri dan meninggalkan ruangan.
Ketika Tia berpapasan dengan Bernard, Tia mengangguk dan tersenyum, yang dibalas dengan tindakan yang sama oleh laki-laki necis itu. Bernard terus memandangi Tia sampai Tia keluar dari salon.
“Ayo Om,” Citra dan Widy menghampiri Bernard, membawanya ke satu ruangan lain dalam salon.
Ketika Tia keluar, dilihatnya mobil Mercedes-Benz hitam terparkir di depan salon.
Pasti mobil Pak Bernard yang tadi, pikir Tia.
Tia ingat sesuatu: sesudah pertama kali dia di-makeover Citra dan terburu-buru pulang karena masih tidak pe-de akan penampilan barunya, dia melihat mobil itu.
Jadi waktu itu, dia yang datang..
*****
Dua puluh menit kemudian, di rumahnya, Tia menyadari dompetnya ketinggalan di salon Citra. Dia langsung beranjak kembali ke salon Citra.
*****
“Gimana kabar bisnisnya, Om?”
Pak Bernardus alias Om Bernard sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur dalam ruang belakang salon Citra. Bagaimana tidak nyaman, kepalanya berbantalkan paha Widy, sedangkan Citra mengelus-elus tubuhnya yang sudah telanjang. Widy, yang tadi bertanya, sedang memijat dahi Bernard.
“Apa ndak ada pernyataan lain toh Wid, wis pusing aku sama bisnisku, ee di sini malah ditanyai bisnis lagi. Mumet aku Wid, pesaing tambah buanyak. Aku ke sini mau refreshing, jangan tanya yang serius gitu yo?”
“Maaf deh Om,” kata Widy. “Widy kasih nenen aja biar Om ga marah ya?”
Serta-merta Widy membuka kaosnya dari bawah sehingga Bernard yang di pangkuannya bisa melihat jelas BH hitam berenda yang menutupi sepasang gundukan yang sejahtera. Widy menarik BH-nya ke atas sehingga bagian bawah teteknya bergandulan tepat di depan muka Bernard. Pebisnis itu langsung menengok dan menowel-nowel tetek Widy dengan hidungnya.
“Widy.. asu tenan iki susumu.. ini nih yang orang sebut tobrut.. toket brutal.. hehehe..” ucap Bernard
Bernard yang kegirangan, langsung saja dengan nakalnya dia menjulur-julurkan lidah berusaha menjangkau ranumnya buah dada Widy. Widy terkikik kegelian ketika lidah Bernard mengenai sasaran.
Tangan Citra yang tadi memijati paha sekarang sudah pindah ke batang dan biji Bernard. Beberapa usapan kemudian, tegaklah kejantanan Bernard. Si pebisnis menghentikan sebentar wisata lidahnya di bawah tetek Widy untuk menengok ke arah Citra.
Sore itu Citra tampil glamor walaupun hanya untuk kerja di salonnya, dalam blus biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam. Seperti biasa, dia memakai make-up tebal, kulit wajahnya nyaris tanpa cela berkat foundation, bibirnya merah darah, garis matanya tajam oleh maskara.
“Eh, Cit, kapan kamu mau upgrade toket biar kayak Widy, biar gak jomplang, kan mukamu udah full modif gitu?” Bernard memberi saran tanpa diminta.
Jawaban Citra adalah senyum disertai tatapan tajam ke arah Bernard, dan Bernard pun merasakan cengkeraman keras dan tajam di pelirnya. Rupanya Citra main kuku..
“Becanda, becanda. Ampun Mbakyu, biji saya jangan dipites, kasihan Widy ntar..” Bernard langsung berhenti membanyol.
“Tapi kalo sampeyan mau operasi bikin gede, bilang aja, nanti Om bayarin.” lanjut Bernard
Memang bijinya tidak dipites Citra, tapi kena sentil-lah batang kontol Bernard yang terlanjur tegak itu!
*****
Tia mendapati pintu salon yang tidak dikunci. Dilihatnya dompetnya tergeletak di meja rias yang tadi dihadapinya ketika dipijat Widy. Tapi setelah masuk, dia tak mendapati Citra, Widy, dan Pak Bernardus.
Ke mana Citra, Widy, dan Om Bernard? pikir Tia
“Hmmmm..” Tia menggumam karena nikmatnya pijatan Widy di pundaknya.
Sore itu Tia berada di salon Citra. Tadi Tia mampir untuk mengantarkan pepaya yang mau dia bagi untuk Citra, tapi setelah ngobrol-ngobrol berkepanjangan, akhirnya Tia malah mendapat sesi pijat refleksi gratis dari asisten Citra, Widy.
“Enak kan tangannya Widy? Aku aja suka kok. Saban hari pasti aku minta dia pijat aku dulu sebelum dia pulang,” ujar Citra yang berada di sebelah Tia, sambil mengecat kuku.
Widyane biasa dipanggil Widy adalah kapster di salon Citra, satu-satunya karyawati Citra. Keahlian utamanya adalah memijat. Widy lebih muda daripada Citra dan Tia, sekitar 20-an, bertubuh pendek tapi berisi dengan lekuk-lekuk menantang. Tia bisa melihat betapa celana pendek jeans dan T-shirt hijau ketat yang Widy pakai sore itu kerepotan melingkupi bokong dan payudaranya yang semok. Rias wajahnya tidak kalah meriah dibanding Citra, dengan lipstik merah cemerlang dan eyeshadow berwarna gelap di bawah rambut tebal yang agak megar dan sebagian di-highlight pirang.
“Eh, Mbak Tia kok sekarang cantikan ya? Biasanya juga cantik, tapi akhir-akhir ini jadi tambah kinclong lhoo..” komentar Widy dengan logat medok.
“Iya lah, kan gue yg permak,” ujar Citra bangga. “Tia ini baru dapat pencerahan, makanya perlu ganti imej. Gimana Ti? Mempan gak saranku?”
Tia tidak menjawab, namun bibirnya yang tersaput lipstik pink tersenyum. Tapi dia sendiri merasa makin lama makin bisa masuk ke dalam kepribadian yang disarankan Citra. Kepribadian pelacur. Kejadian pagi dan siang itu menunjukkan kepada Tia bahwa dia sebenarnya suka bisa menarik perhatian laki-laki. Memancing birahi mereka dan menguasai mereka.
Seperti lonte-lontenya Bram.
Seperti.. Citra?
Sambil menikmati pijatan jari Widy yang sekarang mencapai pelipisnya, Tia terpikir lagi mengenai perubahan penampilannya. Memang, waktu itu Citra menyarankan agar lebih berani dalam merias diri dan berpakaian supaya bisa menandingi perempuan-perempuan penjaja cinta yang sempat menarik perhatian Bram. Tapi Tia baru sadar, bukan cuma mereka yang penampilannya dia tiru.
Citra juga seperti itu.
Sejak dulu, Citra suka menggoda laki-laki. Siapapun. Teman sekolah, teman kuliah, karyawan orangtuanya—sembarang orang. Tia tahu itu. Entah sudah berapa laki-laki yang menikmati tubuh kakak iparnya. Sampai akhirnya satu di antara mereka menghamili Citra.
Lamunan Tia terhenti karena dia mendengar bunyi pintu dibuka. Masuklah seorang laki-laki setengah baya ke dalam salon. Laki-laki itu bertubuh besar dan berpakaian rapi ala pebisnis, dengan kemeja mahal, dasi, dan celana bahan yang necis. Rambutnya yang dibelah pinggir mengkilap karena minyak rambut, matanya kecil dan bibirnya lebar.
“Halo halo,” sapanya sok akrab.
“Eh Om Bernard. Ke mana aja, kok jarang ke sini?” jawab Citra, juga dengan akrab.
“Waduh, baru juga minggu lalu aku ke sini, manggilnya kok udah jadi formal lagi gitu?” kata Bernard.
“Iya deh.. Om Bernard,” balas Citra dengan centil.
“Tadi ada yang SMS aku katanya Widy udah masuk lagi, jadi kangen sama pijatannya.”
“Emang siapa yang ngabarin?.. Oh.” Pertanyaan Citra langsung terjawab ketika melihat Widy nyengir sambil mengacungkan HP-nya.
Citra mendekati Tia yang masih duduk di kursi salon. “Tia, sori, kamu pulang dulu yah? Aku ada customer nih.”
“Iya Kak,” jawab Tia, yang segera berdiri dan meninggalkan ruangan.
Ketika Tia berpapasan dengan Bernard, Tia mengangguk dan tersenyum, yang dibalas dengan tindakan yang sama oleh laki-laki necis itu. Bernard terus memandangi Tia sampai Tia keluar dari salon.
“Ayo Om,” Citra dan Widy menghampiri Bernard, membawanya ke satu ruangan lain dalam salon.
Ketika Tia keluar, dilihatnya mobil Mercedes-Benz hitam terparkir di depan salon.
Pasti mobil Pak Bernard yang tadi, pikir Tia.
Tia ingat sesuatu: sesudah pertama kali dia di-makeover Citra dan terburu-buru pulang karena masih tidak pe-de akan penampilan barunya, dia melihat mobil itu.
Jadi waktu itu, dia yang datang..
*****
Dua puluh menit kemudian, di rumahnya, Tia menyadari dompetnya ketinggalan di salon Citra. Dia langsung beranjak kembali ke salon Citra.
*****
“Gimana kabar bisnisnya, Om?”
Pak Bernardus alias Om Bernard sudah berbaring nyaman di atas tempat tidur dalam ruang belakang salon Citra. Bagaimana tidak nyaman, kepalanya berbantalkan paha Widy, sedangkan Citra mengelus-elus tubuhnya yang sudah telanjang. Widy, yang tadi bertanya, sedang memijat dahi Bernard.
“Apa ndak ada pernyataan lain toh Wid, wis pusing aku sama bisnisku, ee di sini malah ditanyai bisnis lagi. Mumet aku Wid, pesaing tambah buanyak. Aku ke sini mau refreshing, jangan tanya yang serius gitu yo?”
“Maaf deh Om,” kata Widy. “Widy kasih nenen aja biar Om ga marah ya?”
Serta-merta Widy membuka kaosnya dari bawah sehingga Bernard yang di pangkuannya bisa melihat jelas BH hitam berenda yang menutupi sepasang gundukan yang sejahtera. Widy menarik BH-nya ke atas sehingga bagian bawah teteknya bergandulan tepat di depan muka Bernard. Pebisnis itu langsung menengok dan menowel-nowel tetek Widy dengan hidungnya.
“Widy.. asu tenan iki susumu.. ini nih yang orang sebut tobrut.. toket brutal.. hehehe..” ucap Bernard
Bernard yang kegirangan, langsung saja dengan nakalnya dia menjulur-julurkan lidah berusaha menjangkau ranumnya buah dada Widy. Widy terkikik kegelian ketika lidah Bernard mengenai sasaran.
Tangan Citra yang tadi memijati paha sekarang sudah pindah ke batang dan biji Bernard. Beberapa usapan kemudian, tegaklah kejantanan Bernard. Si pebisnis menghentikan sebentar wisata lidahnya di bawah tetek Widy untuk menengok ke arah Citra.
Sore itu Citra tampil glamor walaupun hanya untuk kerja di salonnya, dalam blus biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam. Seperti biasa, dia memakai make-up tebal, kulit wajahnya nyaris tanpa cela berkat foundation, bibirnya merah darah, garis matanya tajam oleh maskara.
“Eh, Cit, kapan kamu mau upgrade toket biar kayak Widy, biar gak jomplang, kan mukamu udah full modif gitu?” Bernard memberi saran tanpa diminta.
Jawaban Citra adalah senyum disertai tatapan tajam ke arah Bernard, dan Bernard pun merasakan cengkeraman keras dan tajam di pelirnya. Rupanya Citra main kuku..
“Becanda, becanda. Ampun Mbakyu, biji saya jangan dipites, kasihan Widy ntar..” Bernard langsung berhenti membanyol.
“Tapi kalo sampeyan mau operasi bikin gede, bilang aja, nanti Om bayarin.” lanjut Bernard
Memang bijinya tidak dipites Citra, tapi kena sentil-lah batang kontol Bernard yang terlanjur tegak itu!
*****
Tia mendapati pintu salon yang tidak dikunci. Dilihatnya dompetnya tergeletak di meja rias yang tadi dihadapinya ketika dipijat Widy. Tapi setelah masuk, dia tak mendapati Citra, Widy, dan Pak Bernardus.
Ke mana Citra, Widy, dan Om Bernard? pikir Tia
Tadinya Tia kira, paling-paling Om Bernard datang untuk cukur rambut atau semacamnya. Mercy hitamnya juga masih ada di depan. Tia melihat sekeliling, memperhatikan ruangan salon Citra. Memang salon tersebut tidak besar. Hanya tiga set kursi, plus satu tempat cuci rambut, dan satu tempat tidur di ruang belakang untuk luluran.
Tahun lalu, sesudah ditinggal suaminya yang kabur entah ke mana, Citra datang ke Bram dan Tia untuk meminta tolong. Walau Citra sudah diusir oleh keluarga, Bram tetap sayang dengan kakak kandungnya itu, dan Tia yang lama mengenal Citra juga peduli. Bram dan Tia membantu Citra dengan pinjaman modal dan sewa tempat untuk bisa berusaha sendiri, dan Citra memilih membuka salon di sebelah rumah Tia dan Bram.
Didengarnya suara-suara dari arah ruangan belakang yang dipisahkan tembok dari ruang utama salon dan berpintu tirai. Tia mendekat..
*****
Agaknya candaan Bernard tadi tidak sampai membuat Citra sakit hati, karena Citra kini sedang menjilati penis Bernard yang tadi disentilnya, ditemani Widy. Tambah ngaceng Bernard melihat dua muka wanita penuh nafsu menyervis kejantanannya. Tapi ada satu lagi yang mau dia tanyakan kepada Citra.
“Cit, yang tadi itu siapa? Bempernya gede tuh, tampangnya cakep lagi.”
“Adik iparku tuh.” jawab Citra.
“Oo, adik ipar. Wuih. Sayang baru kenal. Adikmu mujur juga ya?”
Citra terkikik. “Awas jangan diembat juga dia Om, udah ada yang punya!”
“Hehehe, gimana ya? Kayaknya asyik tuh diulek bokongnya..”
“Sentil lagi nih,” ancam Citra sambil menyiapkan jarinya di samping kepala kontol Bernard.
“Iya deh, iya, ampun Ndoro Putri Ayu, kulo jangan disenthil lagi, atit..”
*****
Tia mendekat ke tirai yang menjadi pintu ruang belakang salon Citra. Disibaknya sedikit tirai itu untuk mengintip. Dan dia sungguh tak siap mendapati pemandangan di baliknya. Laki-laki perlente tadi Bernard telanjang bulat di atas tempat tidur, Widy yang kaosnya sudah dilepas dan buah dadanya sedang dilahap mulut lebar Bernard, dan..
Citra, bersimpuh telanjang di depan Bernard, menyepong senjata Bernard.
Ternyata.. Kak Citra..?
Tia terus menonton tanpa terlihat orang-orang yang berada di ruang belakang. Widy cekikikan kegelian ketika susunya yang sensitif dipermainkan oleh Bernard dengan tangan, bibir, dan lidah. Bernard sesekali mengeluarkan komentar manja dan nakal, membuat Widy tersipu. Citra menggarap seluruh titik yang bisa dirangsang di bagian bawah tubuh Bernard mulai dari batang zakar, pelir, bahkan sampai ke lubang duburnya. Sekali-sekali Bernard berusaha menjamah tubuh Citra, tapi karena posisinya agak jauh, dia hanya dapat mengelus rambut Citra. Akhirnya Widy juga yang jadi sasaran gerayangan tangan Bernard.
Perlahan tangan Tia bergerak ke arah selangkangannya sendiri.
****
“Cit, Wid.. Om pengen nih..” pinta Bernard yang sudah tak tahan dengan rayuan fisik kedua penggoda yang mencumbunya.
“Siapa nih yang mau.. apa dua-duanya mau?” lanjut Bernard
“Hih, ge-er,” cela Citra, “Siapa juga yang mau sama Om..”
“Aduh Citra sayang, jangan nolak Om gitu dong, kan hancur hati Om?”
“Nggak ah, habis Om gak asyik hari ini,” Citra jual mahal. “Dari tadi ngeledekin aku terus.”
“Ayo dong Cit, kamu gak kasihan sama Om, dari tadi masuk juga Om udah nafsu banget dari ngelihatin mukamu aja, kalo gak dikasih Om bisa-bisa ntar merkosa anak orang..”
Walaupun alasan Bernard jelek sekali, Citra tidak mau mengulur terlalu lama.
“Oke deh Om.. tapi ada syarat. Tiduran telentang dulu ya Om. Wid, bangun dulu,” atur Citra.
Bernard tiduran telentang, tapi tongkat sakti-nya tidak ikut tiduran. Widy turun dari ranjang dan memberi jalan ke Citra. Citra naik dan kemudian mengambil posisi mengangkangi muka Bernard. Yang dikangkangi nyengir dan langsung tahu apa yang dimahu Citra.
“Om mesti jilatin memekku sampe aku puas ya, baru ntar ku kasih,” perintah Citra.
Tanpa disuruh pun Bernard sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mulut lebarnya segera bergerak, melahap kenikmatan di selangkangan Citra yang bebas jembut.
****
Tia terus menonton, dan dalam hatinya terbersit sedikit rasa kagum akan sikap Citra yang berani pegang kendali. Sambil terus mengintip, dia bermasturbasi.
Kalau tadi pagi alat bantunya adalah terong, maka kali ini yang dipakai adalah barang yang sedang ada di tangannya, dompet yang tadi ketinggalkan. Tia menggesek-gesekkan sudut dompetnya ke celana dalamnya selagi melihat Citra menggelinjang keenakan ketika memeknya dimakan Bernard. Dilihatnya lidah laki-laki itu menjilat, menjolok ke dalam, memain-mainkan klitoris, untuk urusan jilat-menjilat kemaluan wanita, rupanya orang ini sudah ahli. Terbukti dari reaksi yang ditunjukkan Citra. Kakak ipar Tia itu tak henti-hentinya merintih dan mendesah karena kenikmatan, kedua tangannya mencengkeram hampir menjambak kepala Bernard, wajahnya yang bermake-up tebal tampak sangat mesum dan bernafsu.
“Aah.. emm.. uh.. enak banget Om.. aduh gila.. Omm.. terusshh..” bibir merah Citra gelagapan meracau.
Tidak hanya Citra.
Di luar, Tia ikut terangsang. Khayalannya mulai liar. Dia tidak lagi melihat Citra dioral oleh Bernard. Malah dia membayangkan dirinyalah yang sedang dikangkangi Citra, didominasi oleh kakak iparnya yang binal itu, dan sebagai budak yang patuh dia harus menuruti, kalau tidak, Citra akan menghukumnya dengan berbagai siksaan. Makin gencarlah masturbasi Tia karena khayalan tadi, dia membayangkan ditundukkan oleh Citra, digerayangi, dikemplangi, mukanya diduduki dan dipaksa makan memek..
“Aughhh!!”
Terdengar jeritan erotis dari Citra yang takluk oleh jurus-jurus silat lidah Bernard membuat si pemilik salon yang seksi itu orgasme sampai kelojotan. Tidak tanggung-tanggung, yang dialami Citra bukan orgasme biasa, tapi dia sampai squirt memuncratkan cairan dari kemaluannya yang lantas membasahi muka Bernard.
*****
Citra ambruk ke belakang, terkapar di atas tubuh Bernard, gemetar dan terengah-engah.
“Haduh.. ampun Om.. gila enak banget tadih..” Citra harus mengakui keahlian Bernard.
Bernard senyum-senyum sambil mengingatkan, “Yo wis, gantian, Om udah bikin kamu merem melek tadi, sekarang giliran anunya Om masuk sono ya Cit?”
Kepala Citra bersandar di paha kanan Bernard, rambutnya yang tergerai menutupi penis Bernard yang sedari tadi tidak ada yang mengurusi. Citra mengelus-elus batang yang tegang itu, menciumnya, lalu bangun dari ranjang. Dia mengambil sesuatu dari laci meja yang ada di dalam ruangan itu, ternyata sebungkus kondom. Dibukanya bungkus kondom itu, lalu dengan profesionalnya dia pasangkan kondom itu ke burung Bernard. Dengan memakai mulutnya, tentu saja. Bernard tidak berubah posisi, tetap telentang. Citra kembali naik ke ranjang dan mengangkangi tubuh Bernard, kali ini di selangkangan, bermaksud bersetubuh dengan posisi perempuan di atas.
Sambil memasukkan penis Bernard ke vaginanya, Citra memanggil Widy, “Wid, ayo ikutan.”
“Om aku mau juga dong dijilmek kayak Mbak Citra tadi..” pinta Widy.
Bernard oke-oke saja, dan Widy pun ikut naik ke ranjang setelah melepas semua pakaiannya, mengangkangi muka Bernard tapi dengan arah berkebalikan dengan posisi Citra tadi sehingga dia berhadapan dengan Citra yang mulai bergerak naik-turun menunggangi kemaluan Bernard.
Sambil tertawa-tawa kegelian merasakan hidung dan bibir Bernard bermain di daerah pribadinya, Widy mengedip genit ke arah bosnya, Citra. Citra tersenyum mesem melihat asistennya yang keganjenan itu, lalu memberi ciuman bibir yang hangat kepada Widy. Berbeda dengan mulut dan lidahnya, penis Bernard tidak istimewa, apalagi untuk Citra yang sudah pernah merasakan berbagai bentuk, warna, dan ukuran alat kelamin laki-laki. Makanya dia bersetubuh dengan Bernard hanya demi formalitas saja, dan mencari kenikmatan pribadi dari Widy.
Sambil menindih Bernard di bawah, kedua lonte salon itu saling cium dan pagut. Citra meremas-remas dada Widy yang tak bisa ditandingi payudaranya sendiri itu dengan gemas, seolah iri dengan kelebihan Widy itu. Dari bawah, tangan Bernard juga ikut main. Widy yang memang mudah kegelian lebih banyak cekikikan menanggapi serbuan cabul dari bawah dan depan.
*****
Semua itu terus diperhatikan dari celah tirai oleh Tia, yang sampai terduduk karena tak kuat menahan gelora nafsu. Tia sudah tidak memperhatikan betapa tak senonoh posisi tubuhnya sekarang, duduk mengangkang dengan daster tersingkap dan celana dalam basah akibat kemaluannya terus-menerus dirangsang sendiri.
Makin lama Tia mengintip, makin ingin Tia masuk dan ikut dalam permainan tiga orang di dalam. Dan di antara mereka bertiga, Tia ternyata jadi paling ingin menggumuli kakak iparnya, Citra. Melihat apa yang sedang Citra perbuat, Tia jadi ingin dibegitukan juga oleh kakak iparnya, merasakan bibir merah Citra melumat bibirnya, merasakan kuku-kuku Citra mencengkeram buah dadanya. Citra memang cukup terbuka dalam orientasi seksual, umumnya dia suka laki-laki, tapi Citra tidak segan mencoba pengalaman dengan perempuan juga. Sedangkan Tia selama ini merasa dirinya biasa-biasa saja, belum pernah mencoba mencari tahu apakah tidak hanya laki-laki saja yang bisa membangkitkan gairahnya.
Tahu dirinya tak seharusnya berada di sana, Tia berusaha keras meredam suara-suara penuh nafsu yang lolos dari mulutnya dengan cara menggigit ujung dasternya.
“..agh.. ahm.. mm.. mmm..”
Tentu saja tindakannya itu membuat posisinya tambah vulgar, karena celana dalamnya dan perutnya jadi terungkap. Tia tak peduli, yang menguasai dirinya hanya kenikmatan dan fantasi. Akhirnya sampai juga dia ke klimaks.
“Mmmm!”
****
Pada saat yang hampir bersamaan, Bernard juga mencapai orgasme, dia ejakulasi di dalam kondom yang membungkus penisnya ketika sedang berada di dalam Citra. Sebelumnya lidah sakti Bernard sudah membuat Widy klimaks sehingga si ahli pijat berdada subur itu terhempas ke depan, sepasang payudaranya menimpa perut Bernard.
Citra tersenyum puas. Sepanjang hidupnya dia mencari kenikmatan demi kenikmatan, dan menurutnya cara hidupnya sekarang sebagai seorang pelacur berkedok pemilik salon sudah nyaman. Bernard hanyalah satu dari banyak laki-laki hidung belang, tidak semuanya bisa memberikan kenikmatan fisik kepadanya karena banyak juga yang ukuran alat kelaminnya kecil, atau ejakulasi dini, atau memang tidak becus saja. Tapi yang jelas semuanya memberikan kenikmatan dalam bentuk lain, berupa penghasilan dan rasa kagum mereka terhadap dirinya.
Tahun lalu, sesudah ditinggal suaminya yang kabur entah ke mana, Citra datang ke Bram dan Tia untuk meminta tolong. Walau Citra sudah diusir oleh keluarga, Bram tetap sayang dengan kakak kandungnya itu, dan Tia yang lama mengenal Citra juga peduli. Bram dan Tia membantu Citra dengan pinjaman modal dan sewa tempat untuk bisa berusaha sendiri, dan Citra memilih membuka salon di sebelah rumah Tia dan Bram.
Didengarnya suara-suara dari arah ruangan belakang yang dipisahkan tembok dari ruang utama salon dan berpintu tirai. Tia mendekat..
*****
Agaknya candaan Bernard tadi tidak sampai membuat Citra sakit hati, karena Citra kini sedang menjilati penis Bernard yang tadi disentilnya, ditemani Widy. Tambah ngaceng Bernard melihat dua muka wanita penuh nafsu menyervis kejantanannya. Tapi ada satu lagi yang mau dia tanyakan kepada Citra.
“Cit, yang tadi itu siapa? Bempernya gede tuh, tampangnya cakep lagi.”
“Adik iparku tuh.” jawab Citra.
“Oo, adik ipar. Wuih. Sayang baru kenal. Adikmu mujur juga ya?”
Citra terkikik. “Awas jangan diembat juga dia Om, udah ada yang punya!”
“Hehehe, gimana ya? Kayaknya asyik tuh diulek bokongnya..”
“Sentil lagi nih,” ancam Citra sambil menyiapkan jarinya di samping kepala kontol Bernard.
“Iya deh, iya, ampun Ndoro Putri Ayu, kulo jangan disenthil lagi, atit..”
*****
Tia mendekat ke tirai yang menjadi pintu ruang belakang salon Citra. Disibaknya sedikit tirai itu untuk mengintip. Dan dia sungguh tak siap mendapati pemandangan di baliknya. Laki-laki perlente tadi Bernard telanjang bulat di atas tempat tidur, Widy yang kaosnya sudah dilepas dan buah dadanya sedang dilahap mulut lebar Bernard, dan..
Citra, bersimpuh telanjang di depan Bernard, menyepong senjata Bernard.
Ternyata.. Kak Citra..?
Tia terus menonton tanpa terlihat orang-orang yang berada di ruang belakang. Widy cekikikan kegelian ketika susunya yang sensitif dipermainkan oleh Bernard dengan tangan, bibir, dan lidah. Bernard sesekali mengeluarkan komentar manja dan nakal, membuat Widy tersipu. Citra menggarap seluruh titik yang bisa dirangsang di bagian bawah tubuh Bernard mulai dari batang zakar, pelir, bahkan sampai ke lubang duburnya. Sekali-sekali Bernard berusaha menjamah tubuh Citra, tapi karena posisinya agak jauh, dia hanya dapat mengelus rambut Citra. Akhirnya Widy juga yang jadi sasaran gerayangan tangan Bernard.
Perlahan tangan Tia bergerak ke arah selangkangannya sendiri.
****
“Cit, Wid.. Om pengen nih..” pinta Bernard yang sudah tak tahan dengan rayuan fisik kedua penggoda yang mencumbunya.
“Siapa nih yang mau.. apa dua-duanya mau?” lanjut Bernard
“Hih, ge-er,” cela Citra, “Siapa juga yang mau sama Om..”
“Aduh Citra sayang, jangan nolak Om gitu dong, kan hancur hati Om?”
“Nggak ah, habis Om gak asyik hari ini,” Citra jual mahal. “Dari tadi ngeledekin aku terus.”
“Ayo dong Cit, kamu gak kasihan sama Om, dari tadi masuk juga Om udah nafsu banget dari ngelihatin mukamu aja, kalo gak dikasih Om bisa-bisa ntar merkosa anak orang..”
Walaupun alasan Bernard jelek sekali, Citra tidak mau mengulur terlalu lama.
“Oke deh Om.. tapi ada syarat. Tiduran telentang dulu ya Om. Wid, bangun dulu,” atur Citra.
Bernard tiduran telentang, tapi tongkat sakti-nya tidak ikut tiduran. Widy turun dari ranjang dan memberi jalan ke Citra. Citra naik dan kemudian mengambil posisi mengangkangi muka Bernard. Yang dikangkangi nyengir dan langsung tahu apa yang dimahu Citra.
“Om mesti jilatin memekku sampe aku puas ya, baru ntar ku kasih,” perintah Citra.
Tanpa disuruh pun Bernard sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mulut lebarnya segera bergerak, melahap kenikmatan di selangkangan Citra yang bebas jembut.
****
Tia terus menonton, dan dalam hatinya terbersit sedikit rasa kagum akan sikap Citra yang berani pegang kendali. Sambil terus mengintip, dia bermasturbasi.
Kalau tadi pagi alat bantunya adalah terong, maka kali ini yang dipakai adalah barang yang sedang ada di tangannya, dompet yang tadi ketinggalkan. Tia menggesek-gesekkan sudut dompetnya ke celana dalamnya selagi melihat Citra menggelinjang keenakan ketika memeknya dimakan Bernard. Dilihatnya lidah laki-laki itu menjilat, menjolok ke dalam, memain-mainkan klitoris, untuk urusan jilat-menjilat kemaluan wanita, rupanya orang ini sudah ahli. Terbukti dari reaksi yang ditunjukkan Citra. Kakak ipar Tia itu tak henti-hentinya merintih dan mendesah karena kenikmatan, kedua tangannya mencengkeram hampir menjambak kepala Bernard, wajahnya yang bermake-up tebal tampak sangat mesum dan bernafsu.
“Aah.. emm.. uh.. enak banget Om.. aduh gila.. Omm.. terusshh..” bibir merah Citra gelagapan meracau.
Tidak hanya Citra.
Di luar, Tia ikut terangsang. Khayalannya mulai liar. Dia tidak lagi melihat Citra dioral oleh Bernard. Malah dia membayangkan dirinyalah yang sedang dikangkangi Citra, didominasi oleh kakak iparnya yang binal itu, dan sebagai budak yang patuh dia harus menuruti, kalau tidak, Citra akan menghukumnya dengan berbagai siksaan. Makin gencarlah masturbasi Tia karena khayalan tadi, dia membayangkan ditundukkan oleh Citra, digerayangi, dikemplangi, mukanya diduduki dan dipaksa makan memek..
“Aughhh!!”
Terdengar jeritan erotis dari Citra yang takluk oleh jurus-jurus silat lidah Bernard membuat si pemilik salon yang seksi itu orgasme sampai kelojotan. Tidak tanggung-tanggung, yang dialami Citra bukan orgasme biasa, tapi dia sampai squirt memuncratkan cairan dari kemaluannya yang lantas membasahi muka Bernard.
*****
Citra ambruk ke belakang, terkapar di atas tubuh Bernard, gemetar dan terengah-engah.
“Haduh.. ampun Om.. gila enak banget tadih..” Citra harus mengakui keahlian Bernard.
Bernard senyum-senyum sambil mengingatkan, “Yo wis, gantian, Om udah bikin kamu merem melek tadi, sekarang giliran anunya Om masuk sono ya Cit?”
Kepala Citra bersandar di paha kanan Bernard, rambutnya yang tergerai menutupi penis Bernard yang sedari tadi tidak ada yang mengurusi. Citra mengelus-elus batang yang tegang itu, menciumnya, lalu bangun dari ranjang. Dia mengambil sesuatu dari laci meja yang ada di dalam ruangan itu, ternyata sebungkus kondom. Dibukanya bungkus kondom itu, lalu dengan profesionalnya dia pasangkan kondom itu ke burung Bernard. Dengan memakai mulutnya, tentu saja. Bernard tidak berubah posisi, tetap telentang. Citra kembali naik ke ranjang dan mengangkangi tubuh Bernard, kali ini di selangkangan, bermaksud bersetubuh dengan posisi perempuan di atas.
Sambil memasukkan penis Bernard ke vaginanya, Citra memanggil Widy, “Wid, ayo ikutan.”
“Om aku mau juga dong dijilmek kayak Mbak Citra tadi..” pinta Widy.
Bernard oke-oke saja, dan Widy pun ikut naik ke ranjang setelah melepas semua pakaiannya, mengangkangi muka Bernard tapi dengan arah berkebalikan dengan posisi Citra tadi sehingga dia berhadapan dengan Citra yang mulai bergerak naik-turun menunggangi kemaluan Bernard.
Sambil tertawa-tawa kegelian merasakan hidung dan bibir Bernard bermain di daerah pribadinya, Widy mengedip genit ke arah bosnya, Citra. Citra tersenyum mesem melihat asistennya yang keganjenan itu, lalu memberi ciuman bibir yang hangat kepada Widy. Berbeda dengan mulut dan lidahnya, penis Bernard tidak istimewa, apalagi untuk Citra yang sudah pernah merasakan berbagai bentuk, warna, dan ukuran alat kelamin laki-laki. Makanya dia bersetubuh dengan Bernard hanya demi formalitas saja, dan mencari kenikmatan pribadi dari Widy.
Sambil menindih Bernard di bawah, kedua lonte salon itu saling cium dan pagut. Citra meremas-remas dada Widy yang tak bisa ditandingi payudaranya sendiri itu dengan gemas, seolah iri dengan kelebihan Widy itu. Dari bawah, tangan Bernard juga ikut main. Widy yang memang mudah kegelian lebih banyak cekikikan menanggapi serbuan cabul dari bawah dan depan.
*****
Semua itu terus diperhatikan dari celah tirai oleh Tia, yang sampai terduduk karena tak kuat menahan gelora nafsu. Tia sudah tidak memperhatikan betapa tak senonoh posisi tubuhnya sekarang, duduk mengangkang dengan daster tersingkap dan celana dalam basah akibat kemaluannya terus-menerus dirangsang sendiri.
Makin lama Tia mengintip, makin ingin Tia masuk dan ikut dalam permainan tiga orang di dalam. Dan di antara mereka bertiga, Tia ternyata jadi paling ingin menggumuli kakak iparnya, Citra. Melihat apa yang sedang Citra perbuat, Tia jadi ingin dibegitukan juga oleh kakak iparnya, merasakan bibir merah Citra melumat bibirnya, merasakan kuku-kuku Citra mencengkeram buah dadanya. Citra memang cukup terbuka dalam orientasi seksual, umumnya dia suka laki-laki, tapi Citra tidak segan mencoba pengalaman dengan perempuan juga. Sedangkan Tia selama ini merasa dirinya biasa-biasa saja, belum pernah mencoba mencari tahu apakah tidak hanya laki-laki saja yang bisa membangkitkan gairahnya.
Tahu dirinya tak seharusnya berada di sana, Tia berusaha keras meredam suara-suara penuh nafsu yang lolos dari mulutnya dengan cara menggigit ujung dasternya.
“..agh.. ahm.. mm.. mmm..”
Tentu saja tindakannya itu membuat posisinya tambah vulgar, karena celana dalamnya dan perutnya jadi terungkap. Tia tak peduli, yang menguasai dirinya hanya kenikmatan dan fantasi. Akhirnya sampai juga dia ke klimaks.
“Mmmm!”
****
Pada saat yang hampir bersamaan, Bernard juga mencapai orgasme, dia ejakulasi di dalam kondom yang membungkus penisnya ketika sedang berada di dalam Citra. Sebelumnya lidah sakti Bernard sudah membuat Widy klimaks sehingga si ahli pijat berdada subur itu terhempas ke depan, sepasang payudaranya menimpa perut Bernard.
Citra tersenyum puas. Sepanjang hidupnya dia mencari kenikmatan demi kenikmatan, dan menurutnya cara hidupnya sekarang sebagai seorang pelacur berkedok pemilik salon sudah nyaman. Bernard hanyalah satu dari banyak laki-laki hidung belang, tidak semuanya bisa memberikan kenikmatan fisik kepadanya karena banyak juga yang ukuran alat kelaminnya kecil, atau ejakulasi dini, atau memang tidak becus saja. Tapi yang jelas semuanya memberikan kenikmatan dalam bentuk lain, berupa penghasilan dan rasa kagum mereka terhadap dirinya.
Citra bukan orang yang bisa betah dengan satu pasangan saja untuk waktu lama, jadi dia tak mempermasalahkan suaminya yang kabur. Yang dia inginkan sekarang hanyalah menjalani kehidupan, sambil menyambar kenikmatan yang bisa didapat. Pengamatan Citra cukup jeli. Dia bukannya tidak tahu ada orang sedang mengintip kegiatannya dengan Widy dan Bernard. Dia melihat kelebatan tubuh orang yang bergegas berdiri lalu pergi menjauhi tirai. Dia tahu itu Tia, dan dia bisa mengira sedang apa Tia di sana.
Beberapa hari lalu, ketika Mang Enjup dan rombongan mampir untuk memakai jasanya, Citra sedikit-sedikit memancing informasi dari mereka, dan meski Mang Enjup tidak banyak mengungkapkannya, Citra bisa menduga apa yang baru saja terjadi. Sejak saat itu Citra dilanda perasaan aneh, seolah-olah dia jadi partner tak langsung Mang Enjup dalam mengubah penampilan dan kepribadian Tia. Tapi dia menganggap, pada akhirnya yang menentukan adalah Tia sendiri, apakah dia mau menerima perubahan itu atau tidak. Citra tak mau menghakimi. Dia sudah kenyang dihakimi.
*****
Tia pulang dengan perasaan campur-aduk. Setelah tadi mengintip dan terangsang sampai orgasme, Tia tidak berani lama-lama, dan langsung bergegas meninggalkan salon Citra sebelum kepergok. Walau kakinya masih lemas, dia merasa tak enak kalau sampai ketahuan ngintip. Kepalanya masih penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Bernard? Mengapa dia bisa sampai berhubungan seks dengan Citra dan Widy? Apa sebenarnya yang selama ini dilakukan Citra?
Bagi Tia, hari itu benar-benar penuh kejadian.
SMS masuk ke HP Tia. Dari Bram.
“Yang, aku sudah di jalan, ya.”
==X=X=X==
== Ternoda Prasangka ==
“Mas Bram sayang..”
“Ya?”
Adegan romantis di suatu pagi. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai di kamar tidur pasangan muda Bram dan Tia. Keduanya sudah terbangun namun enggan meninggalkan posisi saling mengeloni di balik selimut. Kepala Tia bersandar di dada telanjang Bram, menengadah memandangi suaminya tersayang. Bram berposisi agak tegak, sambil membelai rambut istrinya tercinta.
“Aku lagi bingung..” ungkap Tia. “Beberapa hari ini kok rasanya aku berubah ya, Mas..”
“Emm, ya emang sih,” kata Bram sambil tersenyum. “Kamu tambah cantik,” rayunya sambil mengecup kening Tia.
“Ah, Mas,” Tia tersipu, “Bukan itu maksudnya.. Menurut Mas aku berubah nggak?”
Bram terlihat berpikir keras. “Nggak tuh kayaknya.. selain ya.. selain yang tadi itu?”
Tia terdiam. Bram belum tahu beberapa hari yang lalu dia berpetualang seks dengan tukang sayur langganannya dan dua orang pengamen, kemudian bermasturbasi sambil mengintip threesome Citra-Widy-Bernard di salon Citra.
Setelah semua itu berlalu, baru Tia merasakan betapa tak pantasnya kelakuannya. Perempuan baik-baik tidak akan melakukan itu. Apa itu semua disebabkan keputusannya untuk berubah demi Bram? Apakah secara tidak sadar, kepribadiannya ikut berubah menjadi jalang?
“Udah waktunya siap-siap nih yang.. mandi dulu yuk?” kata Bram sambil menyibak selimut.
Mereka berdua kemudian memasuki kamar mandi dan mandi bersama. Tak lama kemudian acara mandi bersama berubah menjadi persetubuhan yang mesra antara keduanya.
“Ahh.. Mas Bramm... Ah.. jangan godain kayak gini mas.. assh..” Tia merintih nikmat ketika Bram mengarahkan shower sehingga menyemburkan air ke bibir kemaluan Tia, sambil menciumi payudara Tia yang montok.
“Kamu juga yang ngegodain aku duluan.. mmh mmh..” celetuk Bram sambil melalap payudara Tia dan mengelus punggung istrinya itu. “Mungkin itu yang.. hmmm.. berubah. Kamu jadi lebih jago menggoda.”
Begitukah? Sulit bagi Tia untuk memikirkan itu selagi muka Bram kini berpindah ke selangkangannya, menjilati dan melahap vaginanya. Tapi mungkin Bram ada benarnya.. bukankah kemarin itu dia berhasil menggoda si tukang sayur dan kedua pengamen? Untungnya Bram tidak berlama-lama menggarap kemaluannya, dan kini kembali berdiri menghadapinya, sambil memegang penis yang sudah siap tempur.
Ketika Bram menariknya mendekat, Tia bertanya, “Apa benar aku sekarang jadi lebih menggoda, Mas?”
“Ya,” kata Bram sambil nyengir dan memasukkan penisnya ke vagina Tia.
Entah kenapa, jawaban itu berefek ganda bagi Tia. Di satu sisi ada bagiannya yang terangsang karena pengakuan Bram. Di sisi lain timbul rasa gundah. Tia merasa perubahan yang dia rasakan itu tak wajar, dan yang lebih gawat, bisa merugikan dirinya maupun Bram.
Dirasakannya batang zakar Bram yang begitu dikenalnya bergerak keluar-masuk menggesek dinding dalam vaginanya, berulangkali, dan akhirnya menyemprotkan benih di dalam rahimnya. Namun Tia merinding juga mengingat beberapa hari lalu, dia sudah memegang, mengulum, dan merangsang alat kelamin beberapa orang laki-laki yang bukan suaminya. Untungnya aku tidak bersetubuh dengan mereka, pikir Tia.
Mulai hari ini aku harus bisa mengendalikan diriku. Sayang, Tia belum juga tahu mengenai malam jahanam yang menjadi akar keadaannya sekarang. Malam ketika Mang Enjup menodai dirinya dan menyisipkan bisikan-bisikan yang mengubah kepribadiannya. Sayang, Tia belum tahu itu.
*****
Hari itu Tia ikut Bram ke kantor. Karena keduanya sama-sama dipersiapkan sebagai penerus usaha bersama keluarga, maka tidak hanya Bram yang dilibatkan dalam pengelolaan. Tia juga memegang jabatan di perusahaan, hanya saja atas keinginan orangtuanya yang berpandangan relatif tradisional, Tia tidak diarahkan untuk memegang tanggungjawab langsung terhadap jalannya perusahaan seperti Bram. Sesuai keahliannya, Tia menjabat auditor internal untuk cabang-cabang perusahaan. Meski tidak harus selalu hadir di kantor, sekali-sekali dia harus datang untuk menyerahkan hasil kerjanya dan mengikuti rapat.
Kantor pusat perusahaan tempat mereka bekerja menempati satu gedung bertingkat tujuh. Tia tampil seperti wanita karier pada umumnya, dengan blus biru muda dengan hiasan renda di dada, blazer abu-abu sederhana, celana panjang putih, dan rambut dikuncir di belakang kepala. Wajahnya terlihat segar dan cantik dengan make-up natural. Tidak ada yang tahu bahwa tadi pagi, hampir saja Tia berangkat ke kantor dengan mengenakan bedak tebal, lipstik merah, dan eyeshadow biru—muka “ranjang”nya untuk Bram.
Sebenarnya Bram melihat, tapi entah sengaja atau tidak dia membiarkan saja, sampai Tia melihat mukanya sendiri dan sadar bahwa dia sudah berniat mau menahan diri. Jadilah keberangkatan mereka berdua tadi pagi tertunda sebentar karena Tia perlu menghapus make-upnya. Tia sendiri sempat kaget karena kebiasaannya berubah sendiri tanpa dia sadari. Sebelumnya, dia jarang memakai make-up, tapi sekarang bersolek malah sudah jadi kebiasaan. Dia tidak tahu apa penyebab perubahan itu. Dia sedang berusaha melawan kecenderungan baru itu. Tentu saja, Bram tidak berbuat apa-apa karena dalam hati dia senang dengan perubahan Tia itu.
Sepanjang hari itu Bram dan Tia lebih banyak bekerja terpisah. Bram di kantornya sebagai wakil Pak Jupri, atau yang kita kenal juga sebagai Mang Enjup, sementara Tia berkeliling ke berbagai bagian kantor, mengumpulkan bahan untuk pekerjaannya dan berbicara dengan beberapa manajer.
Namun ternyata pertemuan dengan banyak orang sekarang menjadi tantangan baru bagi Tia. Tia mulai menyadari bahwa ke manapun dia melangkah, ada saja yang memperhatikannya. Mungkin dari dulu selalu begitu, tapi baru sekarang dia menyadarinya. Mulai dari petugas cleaning service yang dia sapa selagi berpapasan, sampai manajer produksi yang normalnya galak tapi entah kenapa jadi lebih jinak ketika bertemu dia.
****
Menjelang siang..
Tia keluar dari ruangan manajer produksi di lantai 4 setelah menyampaikan hasil auditnya terhadap bagian produksi. Terlalu banyak inefisiensi dan kebocoran, serta ada beberapa pengeluaran tak jelas. Si manajer produksi harus mengawasi stafnya dengan lebih baik, karena dicurigai ada penyimpangan. Tia juga memastikan si manajer produksi tahu laporan audit juga akan dibaca direksi. Tapi yang jelas, ketika Tia meninggalkan ruangan, si manajer produksi tetap masih bisa tersenyum. HP Tia berbunyi.. Citra.
“Hei, Tia! Lagi di mana?”
“Di kantor, Kak.”
“Ooo di kantor. Yah, kirain kamu di rumah. Tadinya mau ngajakin kamu belanja ntar sore. Yaudah.. aku jalan sendiri aja deh.”
“Gapapa Kak, kalau nanti sore aku bisa nyusul kok. Barangkali Mas Bram juga mau diajak, kan lumayan biar ada mobil.”
“Oke dehhh.. ntar kabarin aku lagi yah. Bye.”
Tia tersenyum, lalu menuju ruangan tempat Bram bekerja.
Bram duduk di belakang satu meja, tampak serius menghadapi komputer, sementara di seberangnya ada Danang, keponakan Mang Enjup, yang duduk sangat santai dengan kaki naik ke meja sambil mengotak-atik HP. Ketika Tia lewat, mata Danang tak lepas-lepasnya mengamati, sementara liurnya hampir menetes. Danang masih ingat betapa panasnya Tia malam itu. Tapi dia sudah disuruh tutup mulut oleh Mang Enjup. Jadi ketika Tia menyapanya ramah, Danang hanya nyengir sambil dalam hatinya bertanya-tanya, kapan dia bakal dapat kesempatan menikmati istrinya Bram itu lagi.
Satu orang lagi di sana yang Tia kenal adalah Febby, sekretaris Mang Enjup. Perempuan cantik berkacamata dengan rambut megar sebahu dan hidung mancung yang seumuran dengan Tia itu duduk di meja di ujung ruangan, di sebelah pintu menuju ruang pribadi Mang Enjup. Febby sedang menerima telepon, sehingga dia cuma melambaikan tangan kepada Tia ketika Tia menyapanya.
“Makan siang dulu?” ajak Tia.
“Ayo,” jawab Bram sambil berdiri dari tempat duduknya. Keduanya kemudian keluar kantor untuk makan siang.
Sementara itu, Danang mencolokkan headphone ke kedua telinganya dan mulai menyetel video porno di HP-nya. Yang mana lagi kalau bukan yang dibintangi dirinya, Reja, dan Tia.
*****
Pekerjaan Bram dan Tia berlanjut tanpa banyak gangguan hari itu. Ya setidaknya tanpa gangguan bagi Bram. Sementara ketika mampir menemui manajer bidang IT dan pengelolaan,Tia mengalami sedikit gangguan. Di bagian IT, Tia bertemu Lesmana, adik kelasnya waktu mahasiswa yang baru mulai bekerja di sana. Tia menyapanya dan mengajak bicara Lesmana setelah menemui manajer di sana. Lesmana dulu menyukai Tia, karena itu sikapnya selalu manis kepada Tia, hanya saja dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Tia sudah dijodohkan dengan Bram. Sampai saat itu pun Lesmana masih bersikap manis kepada Tia.. dan hampir saja Tia menanggapinya dengan cara yang tak pantas.
Mereka ngobrol sebentar. Tia merapat ke meja Lesmana, dan sudah akan duduk di atas meja agar bisa mendekat ke adik kelasnya yang memang ganteng itu. Tapi Tia segera tersadar, dan buru-buru menyudahi pembicaraan lalu meninggalkan ruangan dengan muka merah karena malu.
Beberapa hari lalu, ketika Mang Enjup dan rombongan mampir untuk memakai jasanya, Citra sedikit-sedikit memancing informasi dari mereka, dan meski Mang Enjup tidak banyak mengungkapkannya, Citra bisa menduga apa yang baru saja terjadi. Sejak saat itu Citra dilanda perasaan aneh, seolah-olah dia jadi partner tak langsung Mang Enjup dalam mengubah penampilan dan kepribadian Tia. Tapi dia menganggap, pada akhirnya yang menentukan adalah Tia sendiri, apakah dia mau menerima perubahan itu atau tidak. Citra tak mau menghakimi. Dia sudah kenyang dihakimi.
*****
Tia pulang dengan perasaan campur-aduk. Setelah tadi mengintip dan terangsang sampai orgasme, Tia tidak berani lama-lama, dan langsung bergegas meninggalkan salon Citra sebelum kepergok. Walau kakinya masih lemas, dia merasa tak enak kalau sampai ketahuan ngintip. Kepalanya masih penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Bernard? Mengapa dia bisa sampai berhubungan seks dengan Citra dan Widy? Apa sebenarnya yang selama ini dilakukan Citra?
Bagi Tia, hari itu benar-benar penuh kejadian.
SMS masuk ke HP Tia. Dari Bram.
“Yang, aku sudah di jalan, ya.”
==X=X=X==
== Ternoda Prasangka ==
“Mas Bram sayang..”
“Ya?”
Adegan romantis di suatu pagi. Cahaya matahari menyusup dari sela tirai di kamar tidur pasangan muda Bram dan Tia. Keduanya sudah terbangun namun enggan meninggalkan posisi saling mengeloni di balik selimut. Kepala Tia bersandar di dada telanjang Bram, menengadah memandangi suaminya tersayang. Bram berposisi agak tegak, sambil membelai rambut istrinya tercinta.
“Aku lagi bingung..” ungkap Tia. “Beberapa hari ini kok rasanya aku berubah ya, Mas..”
“Emm, ya emang sih,” kata Bram sambil tersenyum. “Kamu tambah cantik,” rayunya sambil mengecup kening Tia.
“Ah, Mas,” Tia tersipu, “Bukan itu maksudnya.. Menurut Mas aku berubah nggak?”
Bram terlihat berpikir keras. “Nggak tuh kayaknya.. selain ya.. selain yang tadi itu?”
Tia terdiam. Bram belum tahu beberapa hari yang lalu dia berpetualang seks dengan tukang sayur langganannya dan dua orang pengamen, kemudian bermasturbasi sambil mengintip threesome Citra-Widy-Bernard di salon Citra.
Setelah semua itu berlalu, baru Tia merasakan betapa tak pantasnya kelakuannya. Perempuan baik-baik tidak akan melakukan itu. Apa itu semua disebabkan keputusannya untuk berubah demi Bram? Apakah secara tidak sadar, kepribadiannya ikut berubah menjadi jalang?
“Udah waktunya siap-siap nih yang.. mandi dulu yuk?” kata Bram sambil menyibak selimut.
Mereka berdua kemudian memasuki kamar mandi dan mandi bersama. Tak lama kemudian acara mandi bersama berubah menjadi persetubuhan yang mesra antara keduanya.
“Ahh.. Mas Bramm... Ah.. jangan godain kayak gini mas.. assh..” Tia merintih nikmat ketika Bram mengarahkan shower sehingga menyemburkan air ke bibir kemaluan Tia, sambil menciumi payudara Tia yang montok.
“Kamu juga yang ngegodain aku duluan.. mmh mmh..” celetuk Bram sambil melalap payudara Tia dan mengelus punggung istrinya itu. “Mungkin itu yang.. hmmm.. berubah. Kamu jadi lebih jago menggoda.”
Begitukah? Sulit bagi Tia untuk memikirkan itu selagi muka Bram kini berpindah ke selangkangannya, menjilati dan melahap vaginanya. Tapi mungkin Bram ada benarnya.. bukankah kemarin itu dia berhasil menggoda si tukang sayur dan kedua pengamen? Untungnya Bram tidak berlama-lama menggarap kemaluannya, dan kini kembali berdiri menghadapinya, sambil memegang penis yang sudah siap tempur.
Ketika Bram menariknya mendekat, Tia bertanya, “Apa benar aku sekarang jadi lebih menggoda, Mas?”
“Ya,” kata Bram sambil nyengir dan memasukkan penisnya ke vagina Tia.
Entah kenapa, jawaban itu berefek ganda bagi Tia. Di satu sisi ada bagiannya yang terangsang karena pengakuan Bram. Di sisi lain timbul rasa gundah. Tia merasa perubahan yang dia rasakan itu tak wajar, dan yang lebih gawat, bisa merugikan dirinya maupun Bram.
Dirasakannya batang zakar Bram yang begitu dikenalnya bergerak keluar-masuk menggesek dinding dalam vaginanya, berulangkali, dan akhirnya menyemprotkan benih di dalam rahimnya. Namun Tia merinding juga mengingat beberapa hari lalu, dia sudah memegang, mengulum, dan merangsang alat kelamin beberapa orang laki-laki yang bukan suaminya. Untungnya aku tidak bersetubuh dengan mereka, pikir Tia.
Mulai hari ini aku harus bisa mengendalikan diriku. Sayang, Tia belum juga tahu mengenai malam jahanam yang menjadi akar keadaannya sekarang. Malam ketika Mang Enjup menodai dirinya dan menyisipkan bisikan-bisikan yang mengubah kepribadiannya. Sayang, Tia belum tahu itu.
*****
Hari itu Tia ikut Bram ke kantor. Karena keduanya sama-sama dipersiapkan sebagai penerus usaha bersama keluarga, maka tidak hanya Bram yang dilibatkan dalam pengelolaan. Tia juga memegang jabatan di perusahaan, hanya saja atas keinginan orangtuanya yang berpandangan relatif tradisional, Tia tidak diarahkan untuk memegang tanggungjawab langsung terhadap jalannya perusahaan seperti Bram. Sesuai keahliannya, Tia menjabat auditor internal untuk cabang-cabang perusahaan. Meski tidak harus selalu hadir di kantor, sekali-sekali dia harus datang untuk menyerahkan hasil kerjanya dan mengikuti rapat.
Kantor pusat perusahaan tempat mereka bekerja menempati satu gedung bertingkat tujuh. Tia tampil seperti wanita karier pada umumnya, dengan blus biru muda dengan hiasan renda di dada, blazer abu-abu sederhana, celana panjang putih, dan rambut dikuncir di belakang kepala. Wajahnya terlihat segar dan cantik dengan make-up natural. Tidak ada yang tahu bahwa tadi pagi, hampir saja Tia berangkat ke kantor dengan mengenakan bedak tebal, lipstik merah, dan eyeshadow biru—muka “ranjang”nya untuk Bram.
Sebenarnya Bram melihat, tapi entah sengaja atau tidak dia membiarkan saja, sampai Tia melihat mukanya sendiri dan sadar bahwa dia sudah berniat mau menahan diri. Jadilah keberangkatan mereka berdua tadi pagi tertunda sebentar karena Tia perlu menghapus make-upnya. Tia sendiri sempat kaget karena kebiasaannya berubah sendiri tanpa dia sadari. Sebelumnya, dia jarang memakai make-up, tapi sekarang bersolek malah sudah jadi kebiasaan. Dia tidak tahu apa penyebab perubahan itu. Dia sedang berusaha melawan kecenderungan baru itu. Tentu saja, Bram tidak berbuat apa-apa karena dalam hati dia senang dengan perubahan Tia itu.
Sepanjang hari itu Bram dan Tia lebih banyak bekerja terpisah. Bram di kantornya sebagai wakil Pak Jupri, atau yang kita kenal juga sebagai Mang Enjup, sementara Tia berkeliling ke berbagai bagian kantor, mengumpulkan bahan untuk pekerjaannya dan berbicara dengan beberapa manajer.
Namun ternyata pertemuan dengan banyak orang sekarang menjadi tantangan baru bagi Tia. Tia mulai menyadari bahwa ke manapun dia melangkah, ada saja yang memperhatikannya. Mungkin dari dulu selalu begitu, tapi baru sekarang dia menyadarinya. Mulai dari petugas cleaning service yang dia sapa selagi berpapasan, sampai manajer produksi yang normalnya galak tapi entah kenapa jadi lebih jinak ketika bertemu dia.
****
Menjelang siang..
Tia keluar dari ruangan manajer produksi di lantai 4 setelah menyampaikan hasil auditnya terhadap bagian produksi. Terlalu banyak inefisiensi dan kebocoran, serta ada beberapa pengeluaran tak jelas. Si manajer produksi harus mengawasi stafnya dengan lebih baik, karena dicurigai ada penyimpangan. Tia juga memastikan si manajer produksi tahu laporan audit juga akan dibaca direksi. Tapi yang jelas, ketika Tia meninggalkan ruangan, si manajer produksi tetap masih bisa tersenyum. HP Tia berbunyi.. Citra.
“Hei, Tia! Lagi di mana?”
“Di kantor, Kak.”
“Ooo di kantor. Yah, kirain kamu di rumah. Tadinya mau ngajakin kamu belanja ntar sore. Yaudah.. aku jalan sendiri aja deh.”
“Gapapa Kak, kalau nanti sore aku bisa nyusul kok. Barangkali Mas Bram juga mau diajak, kan lumayan biar ada mobil.”
“Oke dehhh.. ntar kabarin aku lagi yah. Bye.”
Tia tersenyum, lalu menuju ruangan tempat Bram bekerja.
Bram duduk di belakang satu meja, tampak serius menghadapi komputer, sementara di seberangnya ada Danang, keponakan Mang Enjup, yang duduk sangat santai dengan kaki naik ke meja sambil mengotak-atik HP. Ketika Tia lewat, mata Danang tak lepas-lepasnya mengamati, sementara liurnya hampir menetes. Danang masih ingat betapa panasnya Tia malam itu. Tapi dia sudah disuruh tutup mulut oleh Mang Enjup. Jadi ketika Tia menyapanya ramah, Danang hanya nyengir sambil dalam hatinya bertanya-tanya, kapan dia bakal dapat kesempatan menikmati istrinya Bram itu lagi.
Satu orang lagi di sana yang Tia kenal adalah Febby, sekretaris Mang Enjup. Perempuan cantik berkacamata dengan rambut megar sebahu dan hidung mancung yang seumuran dengan Tia itu duduk di meja di ujung ruangan, di sebelah pintu menuju ruang pribadi Mang Enjup. Febby sedang menerima telepon, sehingga dia cuma melambaikan tangan kepada Tia ketika Tia menyapanya.
“Makan siang dulu?” ajak Tia.
“Ayo,” jawab Bram sambil berdiri dari tempat duduknya. Keduanya kemudian keluar kantor untuk makan siang.
Sementara itu, Danang mencolokkan headphone ke kedua telinganya dan mulai menyetel video porno di HP-nya. Yang mana lagi kalau bukan yang dibintangi dirinya, Reja, dan Tia.
*****
Pekerjaan Bram dan Tia berlanjut tanpa banyak gangguan hari itu. Ya setidaknya tanpa gangguan bagi Bram. Sementara ketika mampir menemui manajer bidang IT dan pengelolaan,Tia mengalami sedikit gangguan. Di bagian IT, Tia bertemu Lesmana, adik kelasnya waktu mahasiswa yang baru mulai bekerja di sana. Tia menyapanya dan mengajak bicara Lesmana setelah menemui manajer di sana. Lesmana dulu menyukai Tia, karena itu sikapnya selalu manis kepada Tia, hanya saja dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Tia sudah dijodohkan dengan Bram. Sampai saat itu pun Lesmana masih bersikap manis kepada Tia.. dan hampir saja Tia menanggapinya dengan cara yang tak pantas.
Mereka ngobrol sebentar. Tia merapat ke meja Lesmana, dan sudah akan duduk di atas meja agar bisa mendekat ke adik kelasnya yang memang ganteng itu. Tapi Tia segera tersadar, dan buru-buru menyudahi pembicaraan lalu meninggalkan ruangan dengan muka merah karena malu.
Selagi keluar dari ruangan IT, Tia merasakan dirinya ditatap tajam oleh seorang petugas cleaning service perempuan yang tadi mengepel di pojok. Tidak jelas apa alasannya, tapi yang jelas si petugas cleaning service menyaksikan dia mengobrol dengan Lesmana..
*****
Sore..
“Gimana, udah semua?” tanya Bram ketika melihat Tia datang lagi ke mejanya.
“Udah. Mau langsung pulang apa mampir dulu? Tadi siang Kak Citra telpon, ngajakin aku belanja.”
“Oh, boleh juga tuh..” ujar Bram.
Tapi kemudian dari seberang ruangan terdengar suara Danang. “Oi, Bram, dipanggil Bos di ruangannya tuh!”
“Oke..” Bram bangkit dari kursi, menuju pintu ke ruangan Mang Enjup.
Tia mengikuti. Meja di sebelah pintu kosong. Ke mana Febby? Di dalam?
Bram dan Tia memasuki ruang kerja Mang Enjup. Laki-laki tua yang sepanjang hidupnya bekerja pada orangtua Tia itu duduk santai di balik meja besar dan terlihat letih. Tapi begitu melihat Tia, Mang Enjup tersenyum lebar.
“Eee.. aya si Neng. Tumben ke kantor,” selorohnya.
“Biasa Mang, lagi laporan hasil audit,” jawab Tia pendek.
“Bram,” Mang Enjup mengalihkan pembicaraan. “Jangan pulang dulu ya. Habis ini temenin Mang. Sore ini juga kita bisa dapat waktunya Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD, jadi kita mau nego sama mereka.”
Tia menengok ke arah Bram dan melihat raut muka Bram berubah kecewa, tapi apa boleh buat, Bram belum bisa pulang.
“Ya,” jawab Bram pendek.
“Ya sudah, sana siap-siap. Tia mau ikut?” ajak Mang Enjup.
“Emm.. aku ada janji sama Kak Citra Mang. Mungkin lain kali,” kata Tia.
Bram dan Tia kemudian keluar dari ruangan Mang Enjup.
Sesudah mereka keluar, Mang Enjup menoleh ke bawah mejanya. Tanpa terlihat Bram dan Tia tadi, Febby sekretarisnya berjongkok di sana, menjilati kemaluannya. Seperti biasa, Mang Enjup tidak tahan lama.
“Heungh!” seciprat mani Mang Enjup mendarat di kacamata Febby. Sekretaris itu menjilati sisanya yang mendarat di atas bibir.
*****
“Jadi, gimana nih?” tanya Bram. “Kayaknya aku gak bisa nganterin kamu ketemu Kak Citra.”
“Gak apa-apa Mas, aku jalan sendiri aja. Kamu temanin lah Mang Enjup, lagipula kan mau ketemu orang-orang penting, bagus kan buat luasin pergaulan,” kata Tia.
“Iya deh. Kamu hati-hati ya,” kata Bram sambil mengecup kening Tia.
Tia kemudian pergi meninggalkan ruangan.
*****
Sore.
Satu pusat perbelanjaan besar di kota..
“Kak Citra!” sapa Tia.
“Heii!”
Masih mengenakan baju kerja, Tia menghampiri Citra yang berdiri di depan sebuah butik yang memajang gaun malam. Kalau Tia tampak seperti karyawati yang mampir ke mall untuk belanja sepulang kantor, Citra terlihat seperti.. biasanya Citra. Tia melihat di sekitar Citra ada beberapa orang laki-laki yang jelas-jelas sedang mengamati Citra. Citra selalu jadi pusat perhatian.
Sore itu dia mengenakan kaos tanktop hitam pendek dan legging abu-abu ketat tiga perempat. Dengan pakaian seperti itu, wajar saja banyak yang menengok untuk mengagumi lekuk-lekuk tubuhnya yang masih aduhai biarpun relatif rata. Namun memang yang paling menarik perhatian pada Citra adalah wajahnya. Dengan riasan mata berwarna gelap yang seksi, sapuan blush pink di pipi, dan lipgloss pucat mengkilat, pesona paras Citra makin memancar. Rambutnya digerai saja, setengah menutupi sepasang anting panjang modis yang menghias telinganya.
Keduanya berjalan-jalan sambil memperhatikan etalase, kadang-kadang masuk ke satu toko untuk melihat-lihat. Dan setelah setengah jam, tidak banyak laki-laki pengunjung mall itu yang tidak teralihkan perhatiannya ketika Citra lewat. Yang paling parah sejauh ini, seorang bapak yang mendorong kereta belanja dan meleng sampai menabrak orang karena tidak bisa lepas matanya dari Citra. Citra cuma terkikik ketika mendengar ribut-ribut antara orang yang ditabrak dan bapak itu.
“Kak..” bisik Tia.
“Hihihi, salah sendiri bapak itu meleng,” kata Citra.
Citra dan Tia masuk ke satu toko sepatu, dan Citra langsung mencoba-coba beberapa. Lagi-lagi ada yang memperhatikannya—seorang laki-laki muda yang sepertinya mengantar pacar atau istrinya berbelanja, di toko yang sama.
“Yang ini bagus nggak?” tanya seorang perempuan yang sedang mencoba sepasang sepatu berhak tinggi kepada laki-laki itu.
“Cakep..” kata laki-laki itu, bukan memandangi pasangannya tapi malah melirik Citra.
Citra balik melirik sambil tersenyum genit.
“Apanya yang cakep, heh? Kamu ngelihatin apa tadi?” perempuan tadi menyikut si laki-laki yang terpesona, lalu buru-buru menariknya keluar toko.
Setelah mencoba beberapa pasang, Citra dan Tia meninggalkan toko sepatu tanpa membeli. Tia baru sadar betapa Citra tampak begitu menarik. Dari dulu mereka sering jalan bareng, tapi baru kali ini Tia merasakan sesuatu yang lain.. iri. Melihat Citra mampu menarik perhatian banyak sekali laki-laki, Tia entah kenapa merasa iri. Sekaligus dia bingung karena merasa iri. Buat apa iri karena Citra lebih menarik?
Sebenarnya itu efek program bawah-sadar yang ditanamkan Mang Enjup dalam kepala Tia. Yang menyuruhnya menjadi wanita cantik penggoda. Citra dan Tia masuk ke satu toko serba-ada besar. Di sana keduanya melihat-lihat pakaian. Citra mulai memilihkan baju untuk Tia, sengaja atau tidak, Citra mulai menyarankan baju-baju yang lebih seksi untuk adik iparnya itu.
“Ini bagus buat kamu,” kata Citra sambil menyodorkan gaun pendek merah dengan belahan amat rendah.
Tia yang dulu akan menampik saran Citra itu langsung, tapi Tia yang sekarang menerimanya, melihat gaun merah itu, lalu memajangnya di depan tubuhnya untuk membayangkan cocok tidak gaun itu dipakainya.
“Coba yang ini juga deh,” Tia disodori kaos putih ketat polos. “Kalau aku yang pake, biasa aja,“ kata Citra sambil menengok ke bawah, ke dadanya yang tak seberapa membusung, “kalau kamu, bakal lebih bagus.”
Begitu terus. Selanjutnya Citra menyodorkan rok super mini, celana pendek, babydoll transparan, dan berbagai macam pakaian lain yang kalau dipakai dijamin membangkitkan gairah laki-laki. Pertahanan Tia luluh juga dan dia membeli tiga potong, gaun pendek merah, rok mini hitam, dan babydoll transparan.
Citra tersenyum-senyum ketika Tia menerima tas plastik berisi belanjaannya.
“Hitung-hitung bikin adikku senang, ya gak?” komentar Citra.
Tia tersipu malu mendengar komentar Citra.
Ya, ini semua buat Bram.. ya, kan?
Mereka berdua kemudian melewati satu counter kosmetik. SPG di counter itu, seorang perempuan muda seumuran mereka dengan riasan lengkap, langsung menawarkan produknya.
“Mbak.. sudah coba lipstik warna fuchsia ini?”
“Hmm.. boleh lihat?”
“Silakan, silakan.”
Tia dan Citra jadi bertanya mengenai beberapa produk di sana. Tia memuji make-up si SPG, si SPG balik memuji Tia.
“Ah, Mbak ini juga cantik kok. Tapi.. saya rasa blush-on yang dipakai nggak cocok sama warna kulit Mbak. Kalau mau, saya bisa dandanin Mbak, sekalian Mbak bisa coba beberapa produk kami. Mau kan Mbak?”
Tia menengok ke Citra, yang mengangguk. Tia pun duduk di kursi counter itu, menghadap cermin. Si SPG menghampirinya, bermodalkan sejumlah produk yang akan dia cobakan.
“Saya Cisola, Mbak. Boleh kenalan?”
“Saya Tia.”
Pertama-tama Cisola dengan cekatan membersihkan wajah Tia dari riasan tipis yang sudah dipakai seharian. Kebetulan rambut Tia hari itu dikuncir ke belakang menjauhi muka, sehingga memudahkan kerja Cisola. Cisola melanjutkan dengan membubuhkan foundation, lalu bedak. Tia memejamkan mata ketika Cisola mengoleskan eyeshadow keemasan di kedua kelopak matanya, dan menyapukan maskara ke bulu matanya. Dirasakannya tekanan pensil di alisnya dan sentuhan kuas lebar menyapu pipinya.
“Bibir Mbak bagus ya..” terlintas pujian dari Cisola.
Tia kaget juga dipuji seperti itu oleh sesama perempuan.. Bagian terakhir yang disentuh tangan ahli Cisola adalah bibir Tia. Tadi Tia sempat memperhatikan bahwa Cisola, yang aslinya berbibir tipis, memakai lip liner sedikit di luar garis alami bibirnya sehingga bibirnya tampak lebih penuh. Rupanya itu juga yang dia lakukan ke bibir Tia.
“Mbak Cisola, ini apa nggak terlalu..” Tia mau memprotes, tapi Cisola bekerja tanpa mengindahkannya dan Tia terpaksa tutup mulut.
Citra memandangi cara kerja Cisola sambil melipat tangan di depan dada dan mengangguk-angguk seperti guru melihat muridnya mengerjakan soal dengan benar.
“Maaf ya Mbak,” kata Cisola sebelum memegang dagu Tia agar bisa berkonsentrasi memberi warna ke dalam bibir Tia yang sudah dibingkai lipliner.
Tia melihat kuas kecil bersaput lipstik berwarna fuchsia bermain-main di permukaan bibirnya. Entah kenapa, dia merasa bergairah membayangkan hasilnya. Cisola rupanya benar-benar gemas dengan bibir Tia, sampai-sampai beberapa kali mengulaskan warna fuchsia di tempat yang sama.
Hasil akhirnya: Tia dengan wajah glamor seolah akan ke pesta, dengan kulit mulus tanpa cela, mata tajam karena eyeliner dan maskara dibingkai eyeshadow keemasan, dan bibir merah terang keunguan yang lebih ranum daripada biasanya—karena “dipertebal” oleh Cisola.
Cisola memandangi “hasil karya”-nya dengan puas. Citra ikut mengomentari,
“Mbak Cisola hebat juga ya? Aku aja yg punya salon belum tentu bisa makeover dia sebagus ini. Kapan-kapan aku minta diajarin yah.”
Setelah membeli beberapa produk, Citra dan Tia meninggalkan counter kosmetik itu. Citra sempat bertukar nomor HP dengan Cisola. Tia berjalan dengan penampilan baru yang lebih wah. Hanya memang rias wajahnya agak kontras dengan pakaiannya yang masih pakaian kerja.
Puas berbelanja, kedua perempuan itu kemudian melepas lelah di salah satu kafe. Hari sudah beranjak senja. Sambil menyeruput kopi, keduanya berbincang tentang kejadian-kejadian hari itu. Citra memesan cappuccino hangat sementara Tia sedang menyeruput es kopi karamel dalam gelas tinggi.
“Emangnya Bram lagi ngapain sekarang, Ti?” tanya Citra.
“Mas Bram.. tadi waktu mau pulang dia dipanggil Mang Enjup. Katanya dia suruh ikut, mau ketemu Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD,” jawab Tia.
*****
Sore..
“Gimana, udah semua?” tanya Bram ketika melihat Tia datang lagi ke mejanya.
“Udah. Mau langsung pulang apa mampir dulu? Tadi siang Kak Citra telpon, ngajakin aku belanja.”
“Oh, boleh juga tuh..” ujar Bram.
Tapi kemudian dari seberang ruangan terdengar suara Danang. “Oi, Bram, dipanggil Bos di ruangannya tuh!”
“Oke..” Bram bangkit dari kursi, menuju pintu ke ruangan Mang Enjup.
Tia mengikuti. Meja di sebelah pintu kosong. Ke mana Febby? Di dalam?
Bram dan Tia memasuki ruang kerja Mang Enjup. Laki-laki tua yang sepanjang hidupnya bekerja pada orangtua Tia itu duduk santai di balik meja besar dan terlihat letih. Tapi begitu melihat Tia, Mang Enjup tersenyum lebar.
“Eee.. aya si Neng. Tumben ke kantor,” selorohnya.
“Biasa Mang, lagi laporan hasil audit,” jawab Tia pendek.
“Bram,” Mang Enjup mengalihkan pembicaraan. “Jangan pulang dulu ya. Habis ini temenin Mang. Sore ini juga kita bisa dapat waktunya Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD, jadi kita mau nego sama mereka.”
Tia menengok ke arah Bram dan melihat raut muka Bram berubah kecewa, tapi apa boleh buat, Bram belum bisa pulang.
“Ya,” jawab Bram pendek.
“Ya sudah, sana siap-siap. Tia mau ikut?” ajak Mang Enjup.
“Emm.. aku ada janji sama Kak Citra Mang. Mungkin lain kali,” kata Tia.
Bram dan Tia kemudian keluar dari ruangan Mang Enjup.
Sesudah mereka keluar, Mang Enjup menoleh ke bawah mejanya. Tanpa terlihat Bram dan Tia tadi, Febby sekretarisnya berjongkok di sana, menjilati kemaluannya. Seperti biasa, Mang Enjup tidak tahan lama.
“Heungh!” seciprat mani Mang Enjup mendarat di kacamata Febby. Sekretaris itu menjilati sisanya yang mendarat di atas bibir.
*****
“Jadi, gimana nih?” tanya Bram. “Kayaknya aku gak bisa nganterin kamu ketemu Kak Citra.”
“Gak apa-apa Mas, aku jalan sendiri aja. Kamu temanin lah Mang Enjup, lagipula kan mau ketemu orang-orang penting, bagus kan buat luasin pergaulan,” kata Tia.
“Iya deh. Kamu hati-hati ya,” kata Bram sambil mengecup kening Tia.
Tia kemudian pergi meninggalkan ruangan.
*****
Sore.
Satu pusat perbelanjaan besar di kota..
“Kak Citra!” sapa Tia.
“Heii!”
Masih mengenakan baju kerja, Tia menghampiri Citra yang berdiri di depan sebuah butik yang memajang gaun malam. Kalau Tia tampak seperti karyawati yang mampir ke mall untuk belanja sepulang kantor, Citra terlihat seperti.. biasanya Citra. Tia melihat di sekitar Citra ada beberapa orang laki-laki yang jelas-jelas sedang mengamati Citra. Citra selalu jadi pusat perhatian.
Sore itu dia mengenakan kaos tanktop hitam pendek dan legging abu-abu ketat tiga perempat. Dengan pakaian seperti itu, wajar saja banyak yang menengok untuk mengagumi lekuk-lekuk tubuhnya yang masih aduhai biarpun relatif rata. Namun memang yang paling menarik perhatian pada Citra adalah wajahnya. Dengan riasan mata berwarna gelap yang seksi, sapuan blush pink di pipi, dan lipgloss pucat mengkilat, pesona paras Citra makin memancar. Rambutnya digerai saja, setengah menutupi sepasang anting panjang modis yang menghias telinganya.
Keduanya berjalan-jalan sambil memperhatikan etalase, kadang-kadang masuk ke satu toko untuk melihat-lihat. Dan setelah setengah jam, tidak banyak laki-laki pengunjung mall itu yang tidak teralihkan perhatiannya ketika Citra lewat. Yang paling parah sejauh ini, seorang bapak yang mendorong kereta belanja dan meleng sampai menabrak orang karena tidak bisa lepas matanya dari Citra. Citra cuma terkikik ketika mendengar ribut-ribut antara orang yang ditabrak dan bapak itu.
“Kak..” bisik Tia.
“Hihihi, salah sendiri bapak itu meleng,” kata Citra.
Citra dan Tia masuk ke satu toko sepatu, dan Citra langsung mencoba-coba beberapa. Lagi-lagi ada yang memperhatikannya—seorang laki-laki muda yang sepertinya mengantar pacar atau istrinya berbelanja, di toko yang sama.
“Yang ini bagus nggak?” tanya seorang perempuan yang sedang mencoba sepasang sepatu berhak tinggi kepada laki-laki itu.
“Cakep..” kata laki-laki itu, bukan memandangi pasangannya tapi malah melirik Citra.
Citra balik melirik sambil tersenyum genit.
“Apanya yang cakep, heh? Kamu ngelihatin apa tadi?” perempuan tadi menyikut si laki-laki yang terpesona, lalu buru-buru menariknya keluar toko.
Setelah mencoba beberapa pasang, Citra dan Tia meninggalkan toko sepatu tanpa membeli. Tia baru sadar betapa Citra tampak begitu menarik. Dari dulu mereka sering jalan bareng, tapi baru kali ini Tia merasakan sesuatu yang lain.. iri. Melihat Citra mampu menarik perhatian banyak sekali laki-laki, Tia entah kenapa merasa iri. Sekaligus dia bingung karena merasa iri. Buat apa iri karena Citra lebih menarik?
Sebenarnya itu efek program bawah-sadar yang ditanamkan Mang Enjup dalam kepala Tia. Yang menyuruhnya menjadi wanita cantik penggoda. Citra dan Tia masuk ke satu toko serba-ada besar. Di sana keduanya melihat-lihat pakaian. Citra mulai memilihkan baju untuk Tia, sengaja atau tidak, Citra mulai menyarankan baju-baju yang lebih seksi untuk adik iparnya itu.
“Ini bagus buat kamu,” kata Citra sambil menyodorkan gaun pendek merah dengan belahan amat rendah.
Tia yang dulu akan menampik saran Citra itu langsung, tapi Tia yang sekarang menerimanya, melihat gaun merah itu, lalu memajangnya di depan tubuhnya untuk membayangkan cocok tidak gaun itu dipakainya.
“Coba yang ini juga deh,” Tia disodori kaos putih ketat polos. “Kalau aku yang pake, biasa aja,“ kata Citra sambil menengok ke bawah, ke dadanya yang tak seberapa membusung, “kalau kamu, bakal lebih bagus.”
Begitu terus. Selanjutnya Citra menyodorkan rok super mini, celana pendek, babydoll transparan, dan berbagai macam pakaian lain yang kalau dipakai dijamin membangkitkan gairah laki-laki. Pertahanan Tia luluh juga dan dia membeli tiga potong, gaun pendek merah, rok mini hitam, dan babydoll transparan.
Citra tersenyum-senyum ketika Tia menerima tas plastik berisi belanjaannya.
“Hitung-hitung bikin adikku senang, ya gak?” komentar Citra.
Tia tersipu malu mendengar komentar Citra.
Ya, ini semua buat Bram.. ya, kan?
Mereka berdua kemudian melewati satu counter kosmetik. SPG di counter itu, seorang perempuan muda seumuran mereka dengan riasan lengkap, langsung menawarkan produknya.
“Mbak.. sudah coba lipstik warna fuchsia ini?”
“Hmm.. boleh lihat?”
“Silakan, silakan.”
Tia dan Citra jadi bertanya mengenai beberapa produk di sana. Tia memuji make-up si SPG, si SPG balik memuji Tia.
“Ah, Mbak ini juga cantik kok. Tapi.. saya rasa blush-on yang dipakai nggak cocok sama warna kulit Mbak. Kalau mau, saya bisa dandanin Mbak, sekalian Mbak bisa coba beberapa produk kami. Mau kan Mbak?”
Tia menengok ke Citra, yang mengangguk. Tia pun duduk di kursi counter itu, menghadap cermin. Si SPG menghampirinya, bermodalkan sejumlah produk yang akan dia cobakan.
“Saya Cisola, Mbak. Boleh kenalan?”
“Saya Tia.”
Pertama-tama Cisola dengan cekatan membersihkan wajah Tia dari riasan tipis yang sudah dipakai seharian. Kebetulan rambut Tia hari itu dikuncir ke belakang menjauhi muka, sehingga memudahkan kerja Cisola. Cisola melanjutkan dengan membubuhkan foundation, lalu bedak. Tia memejamkan mata ketika Cisola mengoleskan eyeshadow keemasan di kedua kelopak matanya, dan menyapukan maskara ke bulu matanya. Dirasakannya tekanan pensil di alisnya dan sentuhan kuas lebar menyapu pipinya.
“Bibir Mbak bagus ya..” terlintas pujian dari Cisola.
Tia kaget juga dipuji seperti itu oleh sesama perempuan.. Bagian terakhir yang disentuh tangan ahli Cisola adalah bibir Tia. Tadi Tia sempat memperhatikan bahwa Cisola, yang aslinya berbibir tipis, memakai lip liner sedikit di luar garis alami bibirnya sehingga bibirnya tampak lebih penuh. Rupanya itu juga yang dia lakukan ke bibir Tia.
“Mbak Cisola, ini apa nggak terlalu..” Tia mau memprotes, tapi Cisola bekerja tanpa mengindahkannya dan Tia terpaksa tutup mulut.
Citra memandangi cara kerja Cisola sambil melipat tangan di depan dada dan mengangguk-angguk seperti guru melihat muridnya mengerjakan soal dengan benar.
“Maaf ya Mbak,” kata Cisola sebelum memegang dagu Tia agar bisa berkonsentrasi memberi warna ke dalam bibir Tia yang sudah dibingkai lipliner.
Tia melihat kuas kecil bersaput lipstik berwarna fuchsia bermain-main di permukaan bibirnya. Entah kenapa, dia merasa bergairah membayangkan hasilnya. Cisola rupanya benar-benar gemas dengan bibir Tia, sampai-sampai beberapa kali mengulaskan warna fuchsia di tempat yang sama.
Hasil akhirnya: Tia dengan wajah glamor seolah akan ke pesta, dengan kulit mulus tanpa cela, mata tajam karena eyeliner dan maskara dibingkai eyeshadow keemasan, dan bibir merah terang keunguan yang lebih ranum daripada biasanya—karena “dipertebal” oleh Cisola.
Cisola memandangi “hasil karya”-nya dengan puas. Citra ikut mengomentari,
“Mbak Cisola hebat juga ya? Aku aja yg punya salon belum tentu bisa makeover dia sebagus ini. Kapan-kapan aku minta diajarin yah.”
Setelah membeli beberapa produk, Citra dan Tia meninggalkan counter kosmetik itu. Citra sempat bertukar nomor HP dengan Cisola. Tia berjalan dengan penampilan baru yang lebih wah. Hanya memang rias wajahnya agak kontras dengan pakaiannya yang masih pakaian kerja.
Puas berbelanja, kedua perempuan itu kemudian melepas lelah di salah satu kafe. Hari sudah beranjak senja. Sambil menyeruput kopi, keduanya berbincang tentang kejadian-kejadian hari itu. Citra memesan cappuccino hangat sementara Tia sedang menyeruput es kopi karamel dalam gelas tinggi.
“Emangnya Bram lagi ngapain sekarang, Ti?” tanya Citra.
“Mas Bram.. tadi waktu mau pulang dia dipanggil Mang Enjup. Katanya dia suruh ikut, mau ketemu Pak Walikota dan beberapa anggota DPRD,” jawab Tia.
“Whuih. Orang penting semua tuh. Yah, lumayan juga kan. Pastinya buat ngelobi proyek gede,” lanjut Citra.
“Yah, tapi biasanya terus Mas Bram dibawa Mang Enjup ngelobi orang sampai malam, di restoran atau pub atau klub malam,” kata Tia. “Moga-moga dia nggak diajak minum-minum lagi.”
Tiba-tiba telepon Tia berbunyi. Pesan. Ketika Tia menggerakkan tangan untuk meraih teleponnya, tanpa sengaja dia menyenggol gelas kopinya sampai terguling. Isinya tumpah mengguyur pangkuannya.
“Ehhh!?” Tia menjerit kaget.
Cairan dingin berwarna coklat muda mengguyur celana putihnya. Citra langsung bangkit dan mengambil tisu untuk menyeka. Seorang pelayan kafe yang tidak jauh dari sana juga ikut membantu membereskan. Tia melihat ke pangkuannya yang bekas tersiram es kopi. Citra kemudian membayarkan pesanan mereka dan segera mengajak Tia ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Citra menyarankan Tia untuk ganti pakaian.
“Daripada kamu jalan-jalan dengan celana celemotan begitu, gak enak dilihat, udah ganti aja sama rok yang tadi kamu beli,” kata Citra.
Tia kemudian masuk ke salah satu bilik dalam kamar mandi, dan beberapa menit kemudian keluar dengan mengenakan rok mini hitam yang tadi dibelinya. Celana panjang putihnya yang ternoda dilipat dan dimasukkan ke dalam tas belanja.
“Hmm.. buka aja blazernya Tia, gak cocok sama roknya,” Citra menambah saran.
Blazer kantoran Tia pun ikut menemani celana putihnya di dalam tas belanja. Sekarang Tia jadi mengenakan kombinasi blus berenda biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam.
Citra tersenyum melihat adik iparnya yang jadi terlihat lebih menarik itu. Bagaimanapun, Tia yang tadi ditemuinya masih berpenampilan kantoran, tapi yang sekarang, dengan blus tanpa lengan, rok mini, dan juga riasan lengkap hasil karya Cisola si SPG kosmetik, terlihat lebih menggoda. Dan efeknya memang terlihat.
Ketika mereka berdua meneruskan berjalan-jalan lagi sesudahnya, orang-orang tidak lagi hanya memperhatikan Citra, tapi juga Tia. Diam-diam Tia merasa puas karena bisa menarik perhatian juga.. tekadnya tadi pagi untuk bisa mengalahkan kecenderungan barunya untuk lebih genit sudah buyar. Ketika hari sudah cukup malam, Citra dan Tia memutuskan untuk pulang. Mereka menyetop taksi di depan mall.
*****
Di lain tempat, ruangan karaoke..
Hingar-bingar musik dan nyanyian sumbang memenuhi ruangan kecil yang penuh asap rokok dan tawa. Di depan layar TV, seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh pendek buntak seperti kodok bernyanyi mengikuti syair lagu yang ditayangkan di TV, mulutnya yang lebar seperti mau menelan mikrofon. Dia menyanyi sambil merangkul seorang perempuan berkacamata dan berhidung mancung yang juga menggenggam mikrofon.
Di sofa dalam ruang karaoke itu, duduklah Mang Enjup, Bram, dan dua orang anggota DPRD kota yang sedang tertawa-tawa dan mengomentari bapak Wakil Ketua Fraksi yang sedang bernyanyi ditemani Febby, sekretaris Mang Enjup. Selain mereka, ada juga dua perempuan pemandu karaoke (LC kelas VIP alias Lonte / Perek / Penikmat Memek Di tusuk Kontol), kedua cewek itu duduk di sebelah masing-masing anggota DPRD. Mang Enjup melihat Bram habis mengirim pesan pada Tia.
“Sudah pengen pulang, Bram?” goda Mang Enjup. “Mang juga, kalo punya istri geulis seperti istrimu Tia, pasti pengennya cepat pulang terus.”
“Ya.. kita selesaiin aja dulu urusan kita, Mang,” kata Bram.
Tiga orang anggota DPRD sudah mereka pegang. Sayang tadi Pak Walikota tidak mau diajak ke karaoke. Bram tidak tahu, Pesannya jadi satu bagian dalam rangkaian peristiwa yang akan menimpa Tia.
*****
“Aduh Bu.. maafin banget nih, tadi pas keluar pool taksi saya gak kenapa-kenapa,” supir taksi yang membawa Citra dan Tia berulangkali minta maaf. Taksinya mogok, mesinnya berasap.
Citra dan Tia keluar dari taksi.
“Ya udah, Ibu berdua gak usah bayar deh, saya yang salah,” kata si supir taksi.
“Kita cari taksi lagi,” kata Citra.
Tia mengangguk.
Jalan ke rumah masih jauh.. tapi, taksi mereka mogok di daerah yang sepi. Citra melihat sekelilingnya gelap dan tidak ramai. Selain susah mencari taksi di sana, lingkungannya mungkin rawan, berbahaya untuk dua perempuan ini.
“Tia, ayo kita jalan ke tempat yang lebih rame,” usul Citra.
“Ayo Kak,” jawab Tia.
Tia juga sadar dengan lingkungan di sana.
Keduanya pun berjalan kaki ke ujung jalan yang terlihat lebih terang dan ramai, meninggalkan si supir taksi yang sibuk membetulkan mesin taksinya.
Tak seberapa lama, mereka berdua telah sampai ke tepi jalan yang agak terang. Memang lebih terang, tapi sama sepinya, di jalan itu ada beberapa toko yang buka siang hari, sebagian besar telah tutup. Hanya ada satu-dua yang masih buka.
Setelah sekitar lima menit menunggu, tidak juga ada taksi yang lewat.. dari ujung jalan terdengar langkah-langkah orang sedang berlari. Citra dan Tia menengok ke arah datangnya suara, dan melihat seorang perempuan jangkung.. bukan, laki-laki? Rupanya yang berlari ke arah mereka adalah seorang banci. Citra dan Tia tidak tahu apa yang terjadi.
Si banci melewati mereka sambil berteriak, “Awas! Ada razia!!”
“Razia..?” keduanya bertanya-tanya.
Belum sempat keduanya mencerna keadaan, mendadak muncul satu mobil truk kecil penuh aparat berseragam mengejar banci yang sudah berlari menjauh.
“Hei, ada dua di sini!” teriak salah seorang aparat.
Mobil itu langsung berhenti dan lima orang aparat meloncat turun. Mereka langsung mendekati Citra dan Tia.
Di kota tempat Citra dan Tia tinggal, Walikota dan DPRD menyusun dan menerapkan peraturan susila yang melarang pelacuran di jalan. Peraturan itu memuat pasal-pasal yang membolehkan aparat menangkap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur. Sebenarnya peraturan itu telah lama dipersoalkan karena berpotensi menjerat perempuan-perempuan yang sebenarnya tidak bersalah. Siapa nyana, malam itu peraturan tersebut memakan korban lagi.
“Eh, apa-apaan nih?” Citra memprotes ketika tiba-tiba dia dan Tia diringkus oleh para aparat. “Lepasin! Mau apa sih kalian?”
“Jangan ngelawan! Ayo ikut!” Salah seorang di antara mereka menghardik Citra.
Kedua perempuan itu meronta untuk melepaskan diri, tapi gagal. Mereka digelandang ke atas truk aparat dan disuruh duduk di sana, diapit aparat. Sebagian aparat yang tadi turun rupanya sedang mengejar si banci. Beberapa menit kemudian mereka datang membawa si banci yang ditelikung.
Citra dan Tia terjaring razia pelacur jalanan!
*****
Citra dan Tia duduk di sebelah banci yang tadi ikut terciduk, di bak truk aparat yang berbangku dan berkap, dikelilingi beberapa aparat yang memandangi mereka sambil tersenyum-senyum cabul.
“Mince,” si banci menyodorkan salam, mengajak berkenalan. “Mau rokok nggak?”
“Citra,” Citra menjabat tangan Mince. “Kita ini..”
“Kena razia,” kata Mince sambil menyalakan rokok.
Citra menerima rokok dan korek api dari si banci, lalu ikut merokok untuk menenangkan diri. Tangan Tia yg menggenggam lengannya terasa sedingin es. Adik iparnya itu syok setelah tiba-tiba diciduk aparat. Citra juga kaget, tapi dia berusaha tenang dan tidak ikut panik.
“Gimana ini.. gimana ini Kak.. kita mau diapain Kak..” Tia komat-kamit ketakutan, suaranya bergetar.
“Tenang aja Ti, ini cuma salah paham,” kata Citra. “Coba kamu kontak Bram.”
Dengan tangan gemetar Tia mengeluarkan HP dan mencoba mengontak Bram. Sayang, pada waktu yang sama telinga Bram sedang penuh dengan hingar-bingarnya suara karaoke. Sampai batere HP Tia habis, dia tak juga menjawab panggilan minta tolong dari istrinya itu.
“Mas Bram ga bisa dikontak Kak..” keluh Tia, matanya berkaca-kaca.
“Tenang aja kalo gitu,” kata Citra. Dia sepertinya masih punya kartu truf..
*****
Truk aparat yang menciduk Citra, Tia, dan Mince berhenti di suatu tempat. Para aparat yang duduk di belakang, yang sedari tadi tidak banyak mengajak bicara mereka, menyuruh mereka turun.
Ketika Tia turun, ada yang iseng mencolek pantatnya.
“Auw!” jerit Tia kaget.
Aparat yang mencolek Tia tertawa bersama teman-temannya. “Wuih, asyik juga suara dia! Bahenol lagi!” selorohnya.
Merah padam muka Tia setelah dipermalukan seperti itu. Tapi dia tak berani menghardik pelaku pelecehan terhadapnya. Tia, Citra, dan Mince segera digelandang ke satu bangunan, yang ternyata adalah kantor satuan aparat yang menangkap mereka.
Citra terlihat tersenyum sinis, dia sudah punya rencana. Mereka bertiga masuk ke kantor itu dan disuruh duduk di satu bangku panjang. Seorang aparat meminta KTP mereka.
“KTP mana? Ayo keluarin, mau didata,” hardiknya kasar. Aparat yang meminta bertampang kasar, dan di dada seragamnya terpampang nama “JULFAN”.
“Julfan,” Citra membaca nama itu dengan cuek. “Jul. Sebelum kamu minta KTP, bisa saya ketemu sama komandan kamu yang namanya Pak Gde?”
Julfan agak kaget dengan reaksi Citra yang cuek. Dia seperti menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan, lalu dia masuk ke satu ruangan di belakangnya.
Sejenak kemudian dia kembali, dan berkata ke Citra, “Ikut saya.”
Tia melihat Citra bangkit sambil tersenyum sinis, dan berjalan penuh percaya diri mengikuti Julfan ke ruangan itu.
“Kamu tenang aja, biar Kak Citra yang beresin,” ujar Citra sebelum masuk.
Tapi Tia tetap khawatir, apalagi setelah dia melihat pintu menuju ruangan itu tertutup.
Citra mengikuti Julfan memasuki ruangan lain di kantor aparat tersebut. Di dalamnya ada satu meja, dua bangku panjang, dan kira-kira delapan orang aparat yang duduk-duduk di bangku panjang itu. Mereka inilah yang barusan melakukan razia. Di ujung ruangan Citra melihat seorang laki-laki besar berkulit gelap dan berseragam, berdiri membelakanginya. Laki-laki itu mendengar Citra datang dan berbalik. Begitu melihat Citra, dia tertawa.
“Hahaha. Kenapa juga lu sampai kena razia? Udah pindah sekarang jualannya ke jalan?”
Citra meludah ke samping, membuat para aparat yang berada di sana geram sekaligus kaget karena keberanian perempuan yang baru diciduk itu, dan segera berbicara kepada si laki-laki berkulit hitam.
“Anak buah lu ini pada gak becus semua. Gue sama adik gue lagi nunggu taksi di pinggir jalan malah diciduk. Gue mau elu lepasin kita berdua sekarang juga Gde.”
Laki-laki yang dipanggil Gde itu tertawa lagi, sedangkan anak buahnya bingung.
“Sini,” Gde menarik Citra ke ujung ruangan, agak jauh dari anak buahnya yang bergerombol dekat pintu.
“Yah, tapi biasanya terus Mas Bram dibawa Mang Enjup ngelobi orang sampai malam, di restoran atau pub atau klub malam,” kata Tia. “Moga-moga dia nggak diajak minum-minum lagi.”
Tiba-tiba telepon Tia berbunyi. Pesan. Ketika Tia menggerakkan tangan untuk meraih teleponnya, tanpa sengaja dia menyenggol gelas kopinya sampai terguling. Isinya tumpah mengguyur pangkuannya.
“Ehhh!?” Tia menjerit kaget.
Cairan dingin berwarna coklat muda mengguyur celana putihnya. Citra langsung bangkit dan mengambil tisu untuk menyeka. Seorang pelayan kafe yang tidak jauh dari sana juga ikut membantu membereskan. Tia melihat ke pangkuannya yang bekas tersiram es kopi. Citra kemudian membayarkan pesanan mereka dan segera mengajak Tia ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Citra menyarankan Tia untuk ganti pakaian.
“Daripada kamu jalan-jalan dengan celana celemotan begitu, gak enak dilihat, udah ganti aja sama rok yang tadi kamu beli,” kata Citra.
Tia kemudian masuk ke salah satu bilik dalam kamar mandi, dan beberapa menit kemudian keluar dengan mengenakan rok mini hitam yang tadi dibelinya. Celana panjang putihnya yang ternoda dilipat dan dimasukkan ke dalam tas belanja.
“Hmm.. buka aja blazernya Tia, gak cocok sama roknya,” Citra menambah saran.
Blazer kantoran Tia pun ikut menemani celana putihnya di dalam tas belanja. Sekarang Tia jadi mengenakan kombinasi blus berenda biru muda tanpa lengan dan rok mini hitam.
Citra tersenyum melihat adik iparnya yang jadi terlihat lebih menarik itu. Bagaimanapun, Tia yang tadi ditemuinya masih berpenampilan kantoran, tapi yang sekarang, dengan blus tanpa lengan, rok mini, dan juga riasan lengkap hasil karya Cisola si SPG kosmetik, terlihat lebih menggoda. Dan efeknya memang terlihat.
Ketika mereka berdua meneruskan berjalan-jalan lagi sesudahnya, orang-orang tidak lagi hanya memperhatikan Citra, tapi juga Tia. Diam-diam Tia merasa puas karena bisa menarik perhatian juga.. tekadnya tadi pagi untuk bisa mengalahkan kecenderungan barunya untuk lebih genit sudah buyar. Ketika hari sudah cukup malam, Citra dan Tia memutuskan untuk pulang. Mereka menyetop taksi di depan mall.
*****
Di lain tempat, ruangan karaoke..
Hingar-bingar musik dan nyanyian sumbang memenuhi ruangan kecil yang penuh asap rokok dan tawa. Di depan layar TV, seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh pendek buntak seperti kodok bernyanyi mengikuti syair lagu yang ditayangkan di TV, mulutnya yang lebar seperti mau menelan mikrofon. Dia menyanyi sambil merangkul seorang perempuan berkacamata dan berhidung mancung yang juga menggenggam mikrofon.
Di sofa dalam ruang karaoke itu, duduklah Mang Enjup, Bram, dan dua orang anggota DPRD kota yang sedang tertawa-tawa dan mengomentari bapak Wakil Ketua Fraksi yang sedang bernyanyi ditemani Febby, sekretaris Mang Enjup. Selain mereka, ada juga dua perempuan pemandu karaoke (LC kelas VIP alias Lonte / Perek / Penikmat Memek Di tusuk Kontol), kedua cewek itu duduk di sebelah masing-masing anggota DPRD. Mang Enjup melihat Bram habis mengirim pesan pada Tia.
“Sudah pengen pulang, Bram?” goda Mang Enjup. “Mang juga, kalo punya istri geulis seperti istrimu Tia, pasti pengennya cepat pulang terus.”
“Ya.. kita selesaiin aja dulu urusan kita, Mang,” kata Bram.
Tiga orang anggota DPRD sudah mereka pegang. Sayang tadi Pak Walikota tidak mau diajak ke karaoke. Bram tidak tahu, Pesannya jadi satu bagian dalam rangkaian peristiwa yang akan menimpa Tia.
*****
“Aduh Bu.. maafin banget nih, tadi pas keluar pool taksi saya gak kenapa-kenapa,” supir taksi yang membawa Citra dan Tia berulangkali minta maaf. Taksinya mogok, mesinnya berasap.
Citra dan Tia keluar dari taksi.
“Ya udah, Ibu berdua gak usah bayar deh, saya yang salah,” kata si supir taksi.
“Kita cari taksi lagi,” kata Citra.
Tia mengangguk.
Jalan ke rumah masih jauh.. tapi, taksi mereka mogok di daerah yang sepi. Citra melihat sekelilingnya gelap dan tidak ramai. Selain susah mencari taksi di sana, lingkungannya mungkin rawan, berbahaya untuk dua perempuan ini.
“Tia, ayo kita jalan ke tempat yang lebih rame,” usul Citra.
“Ayo Kak,” jawab Tia.
Tia juga sadar dengan lingkungan di sana.
Keduanya pun berjalan kaki ke ujung jalan yang terlihat lebih terang dan ramai, meninggalkan si supir taksi yang sibuk membetulkan mesin taksinya.
Tak seberapa lama, mereka berdua telah sampai ke tepi jalan yang agak terang. Memang lebih terang, tapi sama sepinya, di jalan itu ada beberapa toko yang buka siang hari, sebagian besar telah tutup. Hanya ada satu-dua yang masih buka.
Setelah sekitar lima menit menunggu, tidak juga ada taksi yang lewat.. dari ujung jalan terdengar langkah-langkah orang sedang berlari. Citra dan Tia menengok ke arah datangnya suara, dan melihat seorang perempuan jangkung.. bukan, laki-laki? Rupanya yang berlari ke arah mereka adalah seorang banci. Citra dan Tia tidak tahu apa yang terjadi.
Si banci melewati mereka sambil berteriak, “Awas! Ada razia!!”
“Razia..?” keduanya bertanya-tanya.
Belum sempat keduanya mencerna keadaan, mendadak muncul satu mobil truk kecil penuh aparat berseragam mengejar banci yang sudah berlari menjauh.
“Hei, ada dua di sini!” teriak salah seorang aparat.
Mobil itu langsung berhenti dan lima orang aparat meloncat turun. Mereka langsung mendekati Citra dan Tia.
Di kota tempat Citra dan Tia tinggal, Walikota dan DPRD menyusun dan menerapkan peraturan susila yang melarang pelacuran di jalan. Peraturan itu memuat pasal-pasal yang membolehkan aparat menangkap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur. Sebenarnya peraturan itu telah lama dipersoalkan karena berpotensi menjerat perempuan-perempuan yang sebenarnya tidak bersalah. Siapa nyana, malam itu peraturan tersebut memakan korban lagi.
“Eh, apa-apaan nih?” Citra memprotes ketika tiba-tiba dia dan Tia diringkus oleh para aparat. “Lepasin! Mau apa sih kalian?”
“Jangan ngelawan! Ayo ikut!” Salah seorang di antara mereka menghardik Citra.
Kedua perempuan itu meronta untuk melepaskan diri, tapi gagal. Mereka digelandang ke atas truk aparat dan disuruh duduk di sana, diapit aparat. Sebagian aparat yang tadi turun rupanya sedang mengejar si banci. Beberapa menit kemudian mereka datang membawa si banci yang ditelikung.
Citra dan Tia terjaring razia pelacur jalanan!
*****
Citra dan Tia duduk di sebelah banci yang tadi ikut terciduk, di bak truk aparat yang berbangku dan berkap, dikelilingi beberapa aparat yang memandangi mereka sambil tersenyum-senyum cabul.
“Mince,” si banci menyodorkan salam, mengajak berkenalan. “Mau rokok nggak?”
“Citra,” Citra menjabat tangan Mince. “Kita ini..”
“Kena razia,” kata Mince sambil menyalakan rokok.
Citra menerima rokok dan korek api dari si banci, lalu ikut merokok untuk menenangkan diri. Tangan Tia yg menggenggam lengannya terasa sedingin es. Adik iparnya itu syok setelah tiba-tiba diciduk aparat. Citra juga kaget, tapi dia berusaha tenang dan tidak ikut panik.
“Gimana ini.. gimana ini Kak.. kita mau diapain Kak..” Tia komat-kamit ketakutan, suaranya bergetar.
“Tenang aja Ti, ini cuma salah paham,” kata Citra. “Coba kamu kontak Bram.”
Dengan tangan gemetar Tia mengeluarkan HP dan mencoba mengontak Bram. Sayang, pada waktu yang sama telinga Bram sedang penuh dengan hingar-bingarnya suara karaoke. Sampai batere HP Tia habis, dia tak juga menjawab panggilan minta tolong dari istrinya itu.
“Mas Bram ga bisa dikontak Kak..” keluh Tia, matanya berkaca-kaca.
“Tenang aja kalo gitu,” kata Citra. Dia sepertinya masih punya kartu truf..
*****
Truk aparat yang menciduk Citra, Tia, dan Mince berhenti di suatu tempat. Para aparat yang duduk di belakang, yang sedari tadi tidak banyak mengajak bicara mereka, menyuruh mereka turun.
Ketika Tia turun, ada yang iseng mencolek pantatnya.
“Auw!” jerit Tia kaget.
Aparat yang mencolek Tia tertawa bersama teman-temannya. “Wuih, asyik juga suara dia! Bahenol lagi!” selorohnya.
Merah padam muka Tia setelah dipermalukan seperti itu. Tapi dia tak berani menghardik pelaku pelecehan terhadapnya. Tia, Citra, dan Mince segera digelandang ke satu bangunan, yang ternyata adalah kantor satuan aparat yang menangkap mereka.
Citra terlihat tersenyum sinis, dia sudah punya rencana. Mereka bertiga masuk ke kantor itu dan disuruh duduk di satu bangku panjang. Seorang aparat meminta KTP mereka.
“KTP mana? Ayo keluarin, mau didata,” hardiknya kasar. Aparat yang meminta bertampang kasar, dan di dada seragamnya terpampang nama “JULFAN”.
“Julfan,” Citra membaca nama itu dengan cuek. “Jul. Sebelum kamu minta KTP, bisa saya ketemu sama komandan kamu yang namanya Pak Gde?”
Julfan agak kaget dengan reaksi Citra yang cuek. Dia seperti menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan, lalu dia masuk ke satu ruangan di belakangnya.
Sejenak kemudian dia kembali, dan berkata ke Citra, “Ikut saya.”
Tia melihat Citra bangkit sambil tersenyum sinis, dan berjalan penuh percaya diri mengikuti Julfan ke ruangan itu.
“Kamu tenang aja, biar Kak Citra yang beresin,” ujar Citra sebelum masuk.
Tapi Tia tetap khawatir, apalagi setelah dia melihat pintu menuju ruangan itu tertutup.
Citra mengikuti Julfan memasuki ruangan lain di kantor aparat tersebut. Di dalamnya ada satu meja, dua bangku panjang, dan kira-kira delapan orang aparat yang duduk-duduk di bangku panjang itu. Mereka inilah yang barusan melakukan razia. Di ujung ruangan Citra melihat seorang laki-laki besar berkulit gelap dan berseragam, berdiri membelakanginya. Laki-laki itu mendengar Citra datang dan berbalik. Begitu melihat Citra, dia tertawa.
“Hahaha. Kenapa juga lu sampai kena razia? Udah pindah sekarang jualannya ke jalan?”
Citra meludah ke samping, membuat para aparat yang berada di sana geram sekaligus kaget karena keberanian perempuan yang baru diciduk itu, dan segera berbicara kepada si laki-laki berkulit hitam.
“Anak buah lu ini pada gak becus semua. Gue sama adik gue lagi nunggu taksi di pinggir jalan malah diciduk. Gue mau elu lepasin kita berdua sekarang juga Gde.”
Laki-laki yang dipanggil Gde itu tertawa lagi, sedangkan anak buahnya bingung.
“Sini,” Gde menarik Citra ke ujung ruangan, agak jauh dari anak buahnya yang bergerombol dekat pintu.
Dia memberi tanda agar anak buahnya tidak mendekat. Setelah keduanya bisa berbicara tanpa didengar yang lain, Gde baru menanggapi Citra.
“Anak buah gue cuma ngejalanin tugas. Tadi mereka udah lapor tentang gimana kalian ditangkap. Mereka pikir kalian PSK yang lagi nunggu pelanggan di pinggir jalan,” kata Gde pelan. “Kalau ngelihat pakaian elu sih gue gak heran.”
“Resek lu,” hardik Citra. “Udah jangan banyak omong. Sekarang lu lepasin aja gue dan adik gue.”
Gde tertawa lagi. “Citra, Citra. Lu dan gue sama-sama ngerti kan, di dunia ini gak ada yang gratis? Kenapa gue mesti bebasin lu? Lu tau kerjaan gue negakin peraturan pemerintah daerah kan. Lu berdua ngelanggar peraturan, terus ketangkep. Sorry Cit. Teman sih teman, tapi gue dan anak buah gue mesti ngejalanin tugas kan.”
Citra muak mendengar kata-kata Gde yang pura-pura profesional itu. Dia langsung memperjelas urusan. “Cih. Gak usah sok suci, sok taat hukum lu. Sebut aja berapa yang lu minta.”
“Gue gak minta ‘berapa’, gue minta ‘apa’,” kata Gde, si komandan aparat itu.
“Mau lu apa sih? Yang jelas!” seru Citra jengkel.
“Lu mau gue kasih tambah jatah gratisan lagi? Oke, gak masalah, lu bebasin gue dan adik gue sekarang, besok atau lusa lu boleh seharian ke salon gue, gue kasih full service, gratis. Lu ada permintaan macem-macem juga gue kasih deh! Yang penting lu lepasin gue sekarang.” lanjut Citra
Gde nyengir, lalu membalas tawaran Citra dengan tawaran baru. “Gimana kalo gue minta sekarang, di sini? Dan gimana kalau permintaan macem-macemnya itu gue minta main ama adik lu? Tadi gue udah lihat dia, kayaknya lebih bohay dari elu tuh. Gue pengen nyicipin dia. Dia sama kayak elu kan?”
“Gila lu ya?” kata Citra sengit, “Masak di sini? Dan lu jangan sekali-sekali sentuh adik gue. Dia perempuan baik-baik.”
Gde cuma nyengir. “Kalau gak mau, ya udah. Biar kasusnya diproses, gue sih gak rugi.”
Citra berbalik dan menjauh. Dia bermaksud keluar.
“Oke, oke, gue gak akan sentuh adik lu,” kata Gde. “Tapi kalau lu mau nyervis gue di sini, lu boleh bebas dan gue lupain kejadian malam ini.”
Citra menoleh dengan wajah benci. Gde duduk sambil senyum, tidak memandang ke arahnya, menunggu jawaban.
“Gimana?”
Citra berpikir. Dia sadar posisi tawarnya lebih lemah. Akhirnya dia menjawab. “Oke. Suruh anak buah lu keluar.”
Gde tertawa. “Buat apa?”
“Dasar aparat gila!” maki Citra. “Ya udah! Gue gak butuh lu. Gue bisa keluar sendiri. Lu gak mau, gue bisa cari bantuan atasan lu. Biar lu yang tau rasa.”
Citra melangkah ke arah pintu dengan marah. Tapi dia dihadang anak buah Gde.
“Minggir!” Citra berusaha menyibak hadangan mereka, tapi seorang aparat malah menangkap tangannya. “Lepasin!” seru Citra marah.
Tahu-tahu saja Gde sudah ada di belakang Citra, meringkus Citra.
“Lu nggak ngerti keadaannya ya?” kata Gde sambil ikut menelikung Citra.
“Dasar lonte, lu kira lu bisa seenaknya ngatur gue? Apa lu nggak tau gue bisa apa? Silakan aja lu keluar. Habis itu lu tinggal pilih, mau gue suruh wartawan datang ke sini biar nama lu dan adik lu ada di koran, sebagai PSK yang kejaring razia, atau besok gue gerebek salon mesum lu. Mau gitu? Hm?” lanjut Gde
“Engh..” Citra takluk.
Rencananya tawar-menawar dengan Gde, komandan aparat yang juga pelanggan jasa plus-plus di salonnya, buyar. Nyalinya mendadak ciut.
“Gue masih baik, Cit. Asal lu mau nurutin semua kata-kata gue malam ini, gue janji bakal lepasin lu dan anggap malam ini gak terjadi apa-apa. Setuju?”
Dengan berat hati, Citra mengangguk. Gde tertawa terbahak-bahak.
“Sekali aja lu nggak nurut, kesepakatan kita batal. Ngerti?”
“Terserah apa mau lu..” bisik Citra dengan nada lemah tapi benci.
“Bagus. Pertama, lu gak boleh nolak apapun yang gue lakuin,” kata Gde yang tak sabar hendak menikmati hasil kesepakatannya. Dia menengok ke jam dinding. “Kesepakatan kita sampai jam 12, ya.”
Saat itu jam 9 malam. Citra hanya bisa pasrah. Dia merasakan tangan Gde mulai menggerayangi tubuhnya, mengelus payudaranya dan mencubit-cubit putingnya yang masih terbungkus tanktop hitam.
Tak lama kemudian.. “Unghh..” desahan pertama Citra pun terdengar.
Di sekeliling Citra, Julfan dan delapan orang aparat menonton. Tadinya mereka hendak menghadang Citra yang mau memaksa keluar, tapi mereka tetap di sana karena paham apa maksud komandan mereka.
Citra yang sudah berpengalaman boleh dibilang tidak malu-malu apabila ada banyak orang asing yang menontonnya dalam keadaan intim, karena berbagai pengalamannya ketika lebih muda, tapi dia tetap tak senang para aparat itu malah menontonnya. Namun dia tak punya pilihan. Perlahan sentuhan Gde jadi makin berani, dan tangan Gde merogoh ke dalam celana legging Citra dan mengelus-elus kewanitaan Citra.
Citra mendesah lagi, berkali-kali, menyadari tatapan lapar dari para aparat yang mengelilinginya—beberapa di antara mereka tampak mulai menggerakkan tangan ke arah selangkangan masing-masing, merasakan sesuatu membuat celana mereka menyempit.
“Buka baju,” perintah Gde.
Citra menurut. Tanpa malu-malu dia membuka tanktop hitam-nya, lalu memelorotkan serta melepas leggingnya. Citra tak peduli dengan menetesnya liur para aparat ketika dia memperlihatkan tubuh telanjangnya yang mulus di depan mereka.
Gde nyengir melihat puting Citra yang mengeras di atas sepasang payudara yang bersahaja, pertanda perempuan yang jadi budaknya sampai jam 12 itu terangsang. Dia sendiri sudah akrab dengan tubuh Citra, mengingat si pemilik salon plus-plus itu kadang membayar jaminan supaya salonnya tidak digerebek dengan layanan tubuhnya. Gde mengambil kursinya, lalu duduk di situ dan membuka resleting celana.
“Duduk di pangkuan gue sini,” suruhnya.
Si komandan aparat itu bertubuh besar, tapi tidak gendut sekali dan tidak juga kencang berotot, Citra merasa seperti berada di atas kursi sofa yang empuk ketika dia duduk di pangkuan Gde, membelakangi Gde. Kedua tangan Gde langsung menyambut Citra, tangan kiri menggerayangi dada, tangan kanan bermain di kemaluan Citra.
“Ayo goyang,” bisik Gde ke telinga Citra, dan Citra pun menggerakkan pantatnya, merangsang batang zakar Gde yang terjepit di bawahnya dan mulai membesar.
Dengan gerakan kedua pahanya, Gde membuat Citra mengangkang. Lalu Gde menggenggam penisnya, menaruhnya di bukaan vagina Citra, dan menyodok ke atas. Citra menjerit kecil. Entah itu karena sakit, nikmat, atau malu. Citra segera mengikuti irama gerakan Gde, naik-turun. Gde menciumi pundak Citra selagi si pemilik salon melonjak-lonjak disetubuhi di pangkuannya.
“Uh! UH! Ahnn!” Erangan-erangan tertahan mulai muncul dari mulut Citra, dan para aparat yang menonton bisa tahu bahwa apa yang dilakukan Citra sepertinya sukarela.
“Balik badan,” perintah Gde.
Citra berhenti bergerak, berdiri sejenak, berbalik badan, lalu kembali duduk mengangkang di pangkuan Gde dan memasukkan kemaluan Gde ke kemaluannya. Citra kembali bergerak naik-turun, berusaha membuat Gde orgasme secepat mungkin agar dia bisa segera lepas. Dia beberapa kali bergerak ke atas sampai kepala burung Gde nyaris keluar dari vaginanya, kemudian pelan-pelan turun hingga kontol Gde tertelan sampai pangkal. Kemudian dia akan naik-turun dengan cepat sampai beberapa kali.
Kini tidak hanya Citra yang mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, Gde pun ikut-ikut menggerung dan mengeluh keenakan. Gde kembali mencubit-cubit puting Citra yang peka. Suara kulit bertemu kulit makin kencang, begitu pula suara desahan dan gerungan.
“Uh! UHH! Ah!” Citra menggila di pangkuan Gde, naik-turun dengan begitu cepat, rambutnya yang panjang mengibas kesana-kemari selagi tubuhnya terguncang persenggamaan. Gde menggeram selagi dia akhirnya memuncratkan mani di dalam rahim Citra.
“HUUHHH!!”
Citra ambruk, terkulai ke dada Gde, kewanitaannya menampung semburan hangat dari Gde. Gde tertawa lagi, lalu mendorong pinggul Citra sehingga penisnya keluar dari jepitan vagina Citra.
“Sekarang lu bersihin kontol gue,” kata Gde kepada Citra yang sudah merosot hingga terduduk di lantai depan kursi.
Dari belahan vagina Citra tampak sedikit cairan putih kental mengalir. Citra melaksanakan perintah Gde dengan patuh, dan memasukkan kepala penis Gde yang masih lemas ke dalam mulut. Citra menjilat dan menyedot, dan batang itu pun mulai mengeras lagi. Tak lupa Citra menjilati buah pelir dan rambut kemaluan Gde. Saat itu Gde sudah melepaskan celananya.
“Turun lagi,” perintah Gde.
Turun lagi? Itu berarti.. Citra menahan jijik selagi dia menuruti perintah itu, dan menjilati bagian luar lubang pantat Gde. Untung Gde tidak lama-lama menyuruhnya melakukan itu.
“Oke. Hey, Jul,” Gde memerintah anak buahnya, “ambil matras di sana, gelar di tengah.”
Julfan mengambil matras busa yang disimpan dalam satu lemari di ruangan itu, lalu menaruhnya di tengah ruangan. Citra menunggu perintah selanjutnya, yang ternyata adalah..
“Tiduran di sana.”
Citra berbaring telentang di atas kasur itu. Tiba-tiba kesembilan anak buah Gde merubungnya.
“Hey, apa-apaan nih?” tanyanya ketika mereka mendekat.
“Sekarang kamu layani mereka semua, ya!” kata Gde sambil tertawa, “Sampai semuanya puas!”
Citra protes tapi tak didengar. Para aparat itu langsung menerkamnya. Julfan yang mendapat giliran pertama tahu-tahu saja sudah buka celana dan memamerkan penisnya yang lumayan besar di depan muka Citra.
“Giliran gue!” katanya.
Teman-temannya menahan Citra sambil menggerayangi sekujur tubuh Citra. Tanpa basa-basi Julfan langsung mempenetrasi memek Citra yang terlihat legit baginya. Vagina Citra yang basah karena mani Gde menerima kontolnya dengan mudah.
Citra menjerit, tapi jeritannya terputus ketika seorang aparat yang lain memaksa mencium bibirnya.
Empat orang sekaligus menikmati tubuh indah Citra, satu orang menciumi bibir dan wajahnya, dua orang memain-mainkan payudaranya, dan Julfan mendapat giliran menyetubuhinya. Citra cuma bisa meronta-ronta di bawah keroyokan, berusaha bertahan sambil meyakinkan diri, ini tidak apa-apa, ini demi Tia juga.
“Anak buah gue cuma ngejalanin tugas. Tadi mereka udah lapor tentang gimana kalian ditangkap. Mereka pikir kalian PSK yang lagi nunggu pelanggan di pinggir jalan,” kata Gde pelan. “Kalau ngelihat pakaian elu sih gue gak heran.”
“Resek lu,” hardik Citra. “Udah jangan banyak omong. Sekarang lu lepasin aja gue dan adik gue.”
Gde tertawa lagi. “Citra, Citra. Lu dan gue sama-sama ngerti kan, di dunia ini gak ada yang gratis? Kenapa gue mesti bebasin lu? Lu tau kerjaan gue negakin peraturan pemerintah daerah kan. Lu berdua ngelanggar peraturan, terus ketangkep. Sorry Cit. Teman sih teman, tapi gue dan anak buah gue mesti ngejalanin tugas kan.”
Citra muak mendengar kata-kata Gde yang pura-pura profesional itu. Dia langsung memperjelas urusan. “Cih. Gak usah sok suci, sok taat hukum lu. Sebut aja berapa yang lu minta.”
“Gue gak minta ‘berapa’, gue minta ‘apa’,” kata Gde, si komandan aparat itu.
“Mau lu apa sih? Yang jelas!” seru Citra jengkel.
“Lu mau gue kasih tambah jatah gratisan lagi? Oke, gak masalah, lu bebasin gue dan adik gue sekarang, besok atau lusa lu boleh seharian ke salon gue, gue kasih full service, gratis. Lu ada permintaan macem-macem juga gue kasih deh! Yang penting lu lepasin gue sekarang.” lanjut Citra
Gde nyengir, lalu membalas tawaran Citra dengan tawaran baru. “Gimana kalo gue minta sekarang, di sini? Dan gimana kalau permintaan macem-macemnya itu gue minta main ama adik lu? Tadi gue udah lihat dia, kayaknya lebih bohay dari elu tuh. Gue pengen nyicipin dia. Dia sama kayak elu kan?”
“Gila lu ya?” kata Citra sengit, “Masak di sini? Dan lu jangan sekali-sekali sentuh adik gue. Dia perempuan baik-baik.”
Gde cuma nyengir. “Kalau gak mau, ya udah. Biar kasusnya diproses, gue sih gak rugi.”
Citra berbalik dan menjauh. Dia bermaksud keluar.
“Oke, oke, gue gak akan sentuh adik lu,” kata Gde. “Tapi kalau lu mau nyervis gue di sini, lu boleh bebas dan gue lupain kejadian malam ini.”
Citra menoleh dengan wajah benci. Gde duduk sambil senyum, tidak memandang ke arahnya, menunggu jawaban.
“Gimana?”
Citra berpikir. Dia sadar posisi tawarnya lebih lemah. Akhirnya dia menjawab. “Oke. Suruh anak buah lu keluar.”
Gde tertawa. “Buat apa?”
“Dasar aparat gila!” maki Citra. “Ya udah! Gue gak butuh lu. Gue bisa keluar sendiri. Lu gak mau, gue bisa cari bantuan atasan lu. Biar lu yang tau rasa.”
Citra melangkah ke arah pintu dengan marah. Tapi dia dihadang anak buah Gde.
“Minggir!” Citra berusaha menyibak hadangan mereka, tapi seorang aparat malah menangkap tangannya. “Lepasin!” seru Citra marah.
Tahu-tahu saja Gde sudah ada di belakang Citra, meringkus Citra.
“Lu nggak ngerti keadaannya ya?” kata Gde sambil ikut menelikung Citra.
“Dasar lonte, lu kira lu bisa seenaknya ngatur gue? Apa lu nggak tau gue bisa apa? Silakan aja lu keluar. Habis itu lu tinggal pilih, mau gue suruh wartawan datang ke sini biar nama lu dan adik lu ada di koran, sebagai PSK yang kejaring razia, atau besok gue gerebek salon mesum lu. Mau gitu? Hm?” lanjut Gde
“Engh..” Citra takluk.
Rencananya tawar-menawar dengan Gde, komandan aparat yang juga pelanggan jasa plus-plus di salonnya, buyar. Nyalinya mendadak ciut.
“Gue masih baik, Cit. Asal lu mau nurutin semua kata-kata gue malam ini, gue janji bakal lepasin lu dan anggap malam ini gak terjadi apa-apa. Setuju?”
Dengan berat hati, Citra mengangguk. Gde tertawa terbahak-bahak.
“Sekali aja lu nggak nurut, kesepakatan kita batal. Ngerti?”
“Terserah apa mau lu..” bisik Citra dengan nada lemah tapi benci.
“Bagus. Pertama, lu gak boleh nolak apapun yang gue lakuin,” kata Gde yang tak sabar hendak menikmati hasil kesepakatannya. Dia menengok ke jam dinding. “Kesepakatan kita sampai jam 12, ya.”
Saat itu jam 9 malam. Citra hanya bisa pasrah. Dia merasakan tangan Gde mulai menggerayangi tubuhnya, mengelus payudaranya dan mencubit-cubit putingnya yang masih terbungkus tanktop hitam.
Tak lama kemudian.. “Unghh..” desahan pertama Citra pun terdengar.
Di sekeliling Citra, Julfan dan delapan orang aparat menonton. Tadinya mereka hendak menghadang Citra yang mau memaksa keluar, tapi mereka tetap di sana karena paham apa maksud komandan mereka.
Citra yang sudah berpengalaman boleh dibilang tidak malu-malu apabila ada banyak orang asing yang menontonnya dalam keadaan intim, karena berbagai pengalamannya ketika lebih muda, tapi dia tetap tak senang para aparat itu malah menontonnya. Namun dia tak punya pilihan. Perlahan sentuhan Gde jadi makin berani, dan tangan Gde merogoh ke dalam celana legging Citra dan mengelus-elus kewanitaan Citra.
Citra mendesah lagi, berkali-kali, menyadari tatapan lapar dari para aparat yang mengelilinginya—beberapa di antara mereka tampak mulai menggerakkan tangan ke arah selangkangan masing-masing, merasakan sesuatu membuat celana mereka menyempit.
“Buka baju,” perintah Gde.
Citra menurut. Tanpa malu-malu dia membuka tanktop hitam-nya, lalu memelorotkan serta melepas leggingnya. Citra tak peduli dengan menetesnya liur para aparat ketika dia memperlihatkan tubuh telanjangnya yang mulus di depan mereka.
Gde nyengir melihat puting Citra yang mengeras di atas sepasang payudara yang bersahaja, pertanda perempuan yang jadi budaknya sampai jam 12 itu terangsang. Dia sendiri sudah akrab dengan tubuh Citra, mengingat si pemilik salon plus-plus itu kadang membayar jaminan supaya salonnya tidak digerebek dengan layanan tubuhnya. Gde mengambil kursinya, lalu duduk di situ dan membuka resleting celana.
“Duduk di pangkuan gue sini,” suruhnya.
Si komandan aparat itu bertubuh besar, tapi tidak gendut sekali dan tidak juga kencang berotot, Citra merasa seperti berada di atas kursi sofa yang empuk ketika dia duduk di pangkuan Gde, membelakangi Gde. Kedua tangan Gde langsung menyambut Citra, tangan kiri menggerayangi dada, tangan kanan bermain di kemaluan Citra.
“Ayo goyang,” bisik Gde ke telinga Citra, dan Citra pun menggerakkan pantatnya, merangsang batang zakar Gde yang terjepit di bawahnya dan mulai membesar.
Dengan gerakan kedua pahanya, Gde membuat Citra mengangkang. Lalu Gde menggenggam penisnya, menaruhnya di bukaan vagina Citra, dan menyodok ke atas. Citra menjerit kecil. Entah itu karena sakit, nikmat, atau malu. Citra segera mengikuti irama gerakan Gde, naik-turun. Gde menciumi pundak Citra selagi si pemilik salon melonjak-lonjak disetubuhi di pangkuannya.
“Uh! UH! Ahnn!” Erangan-erangan tertahan mulai muncul dari mulut Citra, dan para aparat yang menonton bisa tahu bahwa apa yang dilakukan Citra sepertinya sukarela.
“Balik badan,” perintah Gde.
Citra berhenti bergerak, berdiri sejenak, berbalik badan, lalu kembali duduk mengangkang di pangkuan Gde dan memasukkan kemaluan Gde ke kemaluannya. Citra kembali bergerak naik-turun, berusaha membuat Gde orgasme secepat mungkin agar dia bisa segera lepas. Dia beberapa kali bergerak ke atas sampai kepala burung Gde nyaris keluar dari vaginanya, kemudian pelan-pelan turun hingga kontol Gde tertelan sampai pangkal. Kemudian dia akan naik-turun dengan cepat sampai beberapa kali.
Kini tidak hanya Citra yang mengeluarkan suara-suara penuh nafsu, Gde pun ikut-ikut menggerung dan mengeluh keenakan. Gde kembali mencubit-cubit puting Citra yang peka. Suara kulit bertemu kulit makin kencang, begitu pula suara desahan dan gerungan.
“Uh! UHH! Ah!” Citra menggila di pangkuan Gde, naik-turun dengan begitu cepat, rambutnya yang panjang mengibas kesana-kemari selagi tubuhnya terguncang persenggamaan. Gde menggeram selagi dia akhirnya memuncratkan mani di dalam rahim Citra.
“HUUHHH!!”
Citra ambruk, terkulai ke dada Gde, kewanitaannya menampung semburan hangat dari Gde. Gde tertawa lagi, lalu mendorong pinggul Citra sehingga penisnya keluar dari jepitan vagina Citra.
“Sekarang lu bersihin kontol gue,” kata Gde kepada Citra yang sudah merosot hingga terduduk di lantai depan kursi.
Dari belahan vagina Citra tampak sedikit cairan putih kental mengalir. Citra melaksanakan perintah Gde dengan patuh, dan memasukkan kepala penis Gde yang masih lemas ke dalam mulut. Citra menjilat dan menyedot, dan batang itu pun mulai mengeras lagi. Tak lupa Citra menjilati buah pelir dan rambut kemaluan Gde. Saat itu Gde sudah melepaskan celananya.
“Turun lagi,” perintah Gde.
Turun lagi? Itu berarti.. Citra menahan jijik selagi dia menuruti perintah itu, dan menjilati bagian luar lubang pantat Gde. Untung Gde tidak lama-lama menyuruhnya melakukan itu.
“Oke. Hey, Jul,” Gde memerintah anak buahnya, “ambil matras di sana, gelar di tengah.”
Julfan mengambil matras busa yang disimpan dalam satu lemari di ruangan itu, lalu menaruhnya di tengah ruangan. Citra menunggu perintah selanjutnya, yang ternyata adalah..
“Tiduran di sana.”
Citra berbaring telentang di atas kasur itu. Tiba-tiba kesembilan anak buah Gde merubungnya.
“Hey, apa-apaan nih?” tanyanya ketika mereka mendekat.
“Sekarang kamu layani mereka semua, ya!” kata Gde sambil tertawa, “Sampai semuanya puas!”
Citra protes tapi tak didengar. Para aparat itu langsung menerkamnya. Julfan yang mendapat giliran pertama tahu-tahu saja sudah buka celana dan memamerkan penisnya yang lumayan besar di depan muka Citra.
“Giliran gue!” katanya.
Teman-temannya menahan Citra sambil menggerayangi sekujur tubuh Citra. Tanpa basa-basi Julfan langsung mempenetrasi memek Citra yang terlihat legit baginya. Vagina Citra yang basah karena mani Gde menerima kontolnya dengan mudah.
Citra menjerit, tapi jeritannya terputus ketika seorang aparat yang lain memaksa mencium bibirnya.
Empat orang sekaligus menikmati tubuh indah Citra, satu orang menciumi bibir dan wajahnya, dua orang memain-mainkan payudaranya, dan Julfan mendapat giliran menyetubuhinya. Citra cuma bisa meronta-ronta di bawah keroyokan, berusaha bertahan sambil meyakinkan diri, ini tidak apa-apa, ini demi Tia juga.
Selama beberapa menit digumuli, Citra hanya bisa merintih dan mengeluh. Tak lama kemudian, Julfan melenguh panjang dan memuncratkan benihnya di dalam tubuh Citra. Dia langsung ditarik oleh kawannya agar segera keluar dari vagina Citra, dan tanpa memberi kesempatan beristirahat kepada Citra, yang lain langsung menggantikan. Malam yang mengenaskan baru saja mulai bagi Citra, yang tak bisa berbuat apa-apa selagi dia digilir oleh para aparat bejat, kontolnya pengen dijepit memek.
*****
Hampir satu jam Tia menunggu kakaknya, tapi Citra tak keluar-keluar juga dari ruangan yang dimasukinya. Dia mulai gelisah. Di ruangan tempat dia menunggu, hanya ada seorang aparat muda yang disuruh menjaga, dan Mince si banci. Mince ketiduran karena bosan. Si aparat muda hanya duduk di dekat pintu, tanpa mengajaknya bicara.
“Bang..” akhirnya Tia memberanikan diri mengajak bicara si aparat yang menjaga pintu. “Boleh nggak saya masuk ke sana, menemui kakak saya?”
*****
Yang dialami Citra makin lama makin menjadi-jadi. Entah siapa yang memulai, yang jelas setelah beberapa lama para aparat itu memutuskan untuk menggarap pantatnya juga. Dia hanya bisa menerima dan menahan ketika Gde dan anak buahnya menggarap semua lubang yang bisa disetubuhi di tubuhnya, vagina, dubur, dan mulut.
Berulang kali Citra di garap dengan berbagai variasi. Posisi doggy, dengan satu orang di belakang menyetubuhi vaginanya sambil mengemplangi pantatnya, sementara satu orang di depannya mencengkeram kepalanya, memaksa dia menyepong. Dikeroyok tiga orang sekaligus, satu di vagina, satu menusuk pantat, satu memerkosa muka.
Makin lama Citra merasa makin tak tahan. Apalagi lawan-lawan mainnya seolah tak kenal berhenti. Berulangkali dia menahan sakit selagi penis demi penis memaksa masuk ke duburnya. Citra sudah setengah sadar ketika lubang pantatnya digenjot orang keempat, dia sudah tak bisa merasakan kenikmatan dari persetubuhan paksa itu.
Pintu terbuka, dan yang Tia lihat adalah Citra, telanjang, menungging, dengan tatapan kosong dan pasrah, tengah disodomi seorang aparat sementara yang lainnya mengerumuninya dengan tampang bernafsu. Dalam keadaan itulah Tia melihat Citra.
“Ah! Kak..” Tia langsung menutup mulut dan terpaku.
“Kamu adiknya, ya?” kata Gde, yang berdiri di sebelah pintu dan langsung menghadapi Tia. “Mau gantiin kakakmu nggak?” lanjut Gde.
“Apa.. ada apa ini.. kenapa.. Kenapa Kak Citra..??”
Tia bingung dengan apa yang terjadi, dan rintihan lemah kakak iparnya yang kesakitan membuat dia tak bisa berpikir. Dia berusaha mendekati Citra, tapi Gde menghalanginya.
“Tolong Pak.. sudah Pak, kakak saya jangan dibegitukan Pak.. tolong..” Tia hanya bisa meminta. Tangisnya pecah.
Gde mencoba memanfaatkan keadaan. “Kamu tahulah kenapa kalian dirazia. Kalian lagi pada jual diri di jalan kan? Huh, dasar lonte. Kakakmu tadi minta dibebasin. Dia sendiri yang nawarin diri ke kita.”
“Tolong Pak.. bebasin kami, kami ini korban salah paham, kami bukan.. pelacur.. Kami perempuan baik-baik, mohon lepasin kami Pak..” kata Tia di sela-sela isak tangisnya. “Tolong Pak.. kasihani kakak saya..”
“Ya, ya, ya, semua yang ketangkep juga bilang gitu,” kata Gde. “Emangnya saya percaya? Bohong! Tuh lihat, ngapain kakakmu nawarin diri buat dientot gratis kalau dia bukan perek? Paling-paling kamu sama aja.”
“Bukan Pak.. tolong percaya saya.. saya dan kakak saya bukan perempuan tuna susila.. mohon lepasin kami Pak..”
“HUNGH!” Percakapan antara Gde dan Tia yang panik terpotong seruan orang yang sedang menggagahi pantat Citra, dia baru saja mencurahkan benihnya ke dalam rektum Citra, menambah penuh isinya yang sudah menampung kontribusi tiga orang.
Ketika orang itu mencabut batangnya dari anus Citra, Citra langsung ambruk, sebagian isi pantatnya meleleh keluar, dan di mata Tia, cairan yang keluar itu putih bercampur merah. Tia melihat mata kakaknya, setengah terbuka dan terlihat tanpa jiwa.
“KAKAAK!” jerit Tia.
Dia kembali berusaha menghampiri Citra, tapi kali ini Gde menahannya. Tia tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman Gde dan seorang anak buahnya. Padahal orang berikutnya sudah mulai menaruh ereksinya di lubang anus Citra yang sudah menganga..
“JANGAAAN!” jerit Tia. “Jangan.. jangan lagi.. kasihan kakak.. tolong.. jangan sentuh kakak saya lagi.. sama saya saja.. biar saya saja..”
Gde memegangi Tia yang meronta-ronta sambil menangis. Dia nyengir mendengar pernyataan Tia itu. Itulah yang dia tunggu-tunggu, ketika perempuan ini sudah cukup panik sehingga dia bersedia melakukan apa saja.
“Stop!” kata Gde. “Mundur kamu.”
Orang yang baru saja mau menyodomi Citra, ternyata Julfan lagi, dia menengok ke komandannya, lalu mengurungkan niatnya memuaskan anunya di lubang terlarang Citra. Gde lalu melepas Tia, Tia langsung menghambur ke dekat kakaknya yang tergolek di atas matras dalam keadaan berantakan.
“KAK CITRAAA..” Tia langsung merangkul kakaknya yang telanjang, sambil menangis.
“Ti..” Citra hanya sempat mengatakan sepotong suku kata, lalu pingsan.
Gde dan anak buahnya mendekat merubung Tia. Ia berjongkok dan memegang bahu Tia.
Tia kaget akibat sentuhan itu, dan segera menoleh ke arah Gde.
“Saya percaya kamu. Kamu boleh bebas. Tapi,” kata Gde dengan pura-pura lembut, “kakakmu tetap saya tahan untuk diproses.”
“Jangan Pak. Tolong bebasin kakak saya juga..” kata Tia sambil terisak, memeluk Citra yang pingsan.
Segala perasaan yang berkecamuk dalam benak Tia membuatnya tak berpikir jernih. Gde tahu cara memanfaatkan itu.
“Nggak. Kakakmu tetap saya tahan. Kamu sih boleh bebas. Saya anggap kamu nggak salah.”
“Tolong pak.. tolong bebasin kakak saya juga Pak.. kasihan kakak saya.. Bapak boleh minta apa saja asal kakak saya bisa bebas..”
Gde tersenyum lebar. Permintaan Tia segera disambarnya.
“Beneran?”
“Iya Pak.. Saya rela kasih apa aja, asal Bapak bebasin kakak saya..”
“Kalau gitu..” kata Gde sambil merangkul Tia, “Gantiin kakak kamu ngelayani kami.”
“Ah..” Tia tercekat, tak mengharapkan kata-kata barusan.
Gde melihat keraguan itu, dan tidak melepas tekanannya terhadap mental Tia.
“Nggak mau juga nggak apa-apa sih. Tapi kakakmu tetap ditahan.”
Tia terpejam. Sebutir air mata menetes di pipinya yang merona. Dia tahu dia sudah menjerumuskan dirinya sendiri. Dia sekarang harus melayani kumpulan bejat ini demi membebaskan Citra. Dia bisa saja menolak, tapi akibatnya Citra akan kena masalah.
“Gimana, mau nggak?” tanya Gde dengan nada acuh, merasa dia tetap di atas angin, apapun jawaban Tia.
“...” Tia tak mengatakan apa-apa, hanya anggukan yang menyatakan persetujuan, anggukan yang dilakukannya dengan berat hati.
“Bagus,” ujar Gde. “Mulai pake mulut kamu aja. Nih, ada yang mau dilayani dia?”
Tiga orang anak buah Gde berdiri mengelilingi Tia yang terduduk di dekat Citra. Penis mereka jelas berdiri tegak lagi melihat perempuan cantik lain yang sudah bersedia di garap oleh mereka lagi. Mereka merasa tak salah menduga ketika tadi menangkap Tia juga. Di mata mereka, perempuan bermake-up tebal, dengan bibir merah ranum, mengenakan blus tanpa lengan dan rok mini, dan berada di pinggir jalan, apa lagi namanya kalau bukan perempuan gampangan? Ditambah lagi mereka punya wewenang menegakkan suatu peraturan yang memandang buruk terhadap perempuan.
“Hoy, jangan bengong aja, isep kontol gue nih,” suruh salah satunya.
Tia dengan ragu-ragu mendekatkan wajahnya ke penis orang itu, namun akhirnya dia memasrahkan diri dan menggenggamnya. Dia mulai menjilati ujungnya, dan terus menjilati sekujur batang itu. Satu lagi penis tegak milik seorang aparat teracung, dan pemiliknya menyodok-nyodokkan ujungnya yang agak basah ke pipi mulus Tia. Tia menangkap maksudnya dan mengalihkan perhatian, pertama mengulum ujung penis kedua lalu mulai menyepongnya, sementara tangan kanan Tia tetap di penis pertama, memberi kenikmatan lewat sentuhan dan elusan.
Orang ketiga di sekeliling Tia langsung meraih tangan kiri Tia dan menyuruh Tia mengocok penisnya. Jadilah kini Tia melayani tiga orang sekaligus dengan mulut dan kedua tangannya. Secara bergantian Tia memberi perhatian kepada tiga kejantanan yang mengelilinginya. Tanpa dia sadari, dia sebenarnya sudah ahli melakukan fellatio, karena sudah banyak latihan sejak dia pertama kali memutuskan untuk berubah penampilan demi Bram dulu. Tak heran ketiga orang itu bisa sampai merem melek disepongnya.
Bahkan kata-kata mereka yang melecehkannya seperti “Dasar pecun, udah jago ya lu nyedot peju” dan “Kontol gue tadi abis masuk pantat kakak lu, enak ngga rasanya?” tidak membuatnya jijik, dan malah membuatnya terangsang. Gara-gara tempelan pemrograman mental dari Mang Enjup, Tia jadi suka dilecehkan dengan kata-kata mesum seperti itu.
CROTT!
“Aih!” Tia kaget ketika satu penis yang sedang dikocoknya agak dekat ke muka tiba-tiba ejakulasi, melontarkan mani kental yang mendarat di pelipis dan dekat matanya. Ejakulasinya berlanjut mendarat di bagian dada blus tanpa lengan Tia.
“Gue juga nih..!” Seorang lagi, yang sedang dikenyotnya, tidak tahan, dan segera menarik penisnya dari dalam mulut Tia untuk muncrat tepat di depan muka Tia.
Tia memejamkan mata agar tidak kena—satu cipratan ejakulasi mendarat dekat pangkal hidungnya, dan sisanya berleleran ke bawah.
Sesudahnya, orang ketiga juga mau menyemprotkan cairan kelelakiannya. Dia sengaja menggenggam wajah Tia dan mengarahkan semburannya untuk menodai wajah yang tadi siang dijadikan kanvas tempat berkarya si SPG kosmetik, Cisola. Warna merah dan emas rias wajah Tia tercoreng warna putih cairan kental buangan si aparat.
Gde yang sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menikmati tubuh Tia sejak tadi. Dia memang terbiasa menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat. Kalau bukan menarik upeti tidak resmi dari para pengusaha bisnis lendir seperti Citra, dia memanfaatkan orang-orang yang ditangkapnya atas dasar peraturan pemerintah yang rawan penyelewengan itu. Disuruhnya ketiga anak buahnya menyingkir dari Tia yang terduduk. Dia mengambil saputangan dari kantong, berjongkok, lalu menyeka ceceran mani dari ketiga anak buanya yang ada di muka Tia dengan hati-hati agar tidak terlalu banyak merusak rias wajah Tia.
Tia hanya diam saja menerima perlakuan itu, wajah Gde yang besar dan hitam nyengir mesum di depan wajahnya.
“Cantik juga ya kamu,” puji Gde. “Buka baju.”
Tia ragu apakah harus menuruti permintaan itu atau tidak.
*****
Hampir satu jam Tia menunggu kakaknya, tapi Citra tak keluar-keluar juga dari ruangan yang dimasukinya. Dia mulai gelisah. Di ruangan tempat dia menunggu, hanya ada seorang aparat muda yang disuruh menjaga, dan Mince si banci. Mince ketiduran karena bosan. Si aparat muda hanya duduk di dekat pintu, tanpa mengajaknya bicara.
“Bang..” akhirnya Tia memberanikan diri mengajak bicara si aparat yang menjaga pintu. “Boleh nggak saya masuk ke sana, menemui kakak saya?”
*****
Yang dialami Citra makin lama makin menjadi-jadi. Entah siapa yang memulai, yang jelas setelah beberapa lama para aparat itu memutuskan untuk menggarap pantatnya juga. Dia hanya bisa menerima dan menahan ketika Gde dan anak buahnya menggarap semua lubang yang bisa disetubuhi di tubuhnya, vagina, dubur, dan mulut.
Berulang kali Citra di garap dengan berbagai variasi. Posisi doggy, dengan satu orang di belakang menyetubuhi vaginanya sambil mengemplangi pantatnya, sementara satu orang di depannya mencengkeram kepalanya, memaksa dia menyepong. Dikeroyok tiga orang sekaligus, satu di vagina, satu menusuk pantat, satu memerkosa muka.
Makin lama Citra merasa makin tak tahan. Apalagi lawan-lawan mainnya seolah tak kenal berhenti. Berulangkali dia menahan sakit selagi penis demi penis memaksa masuk ke duburnya. Citra sudah setengah sadar ketika lubang pantatnya digenjot orang keempat, dia sudah tak bisa merasakan kenikmatan dari persetubuhan paksa itu.
Pintu terbuka, dan yang Tia lihat adalah Citra, telanjang, menungging, dengan tatapan kosong dan pasrah, tengah disodomi seorang aparat sementara yang lainnya mengerumuninya dengan tampang bernafsu. Dalam keadaan itulah Tia melihat Citra.
“Ah! Kak..” Tia langsung menutup mulut dan terpaku.
“Kamu adiknya, ya?” kata Gde, yang berdiri di sebelah pintu dan langsung menghadapi Tia. “Mau gantiin kakakmu nggak?” lanjut Gde.
“Apa.. ada apa ini.. kenapa.. Kenapa Kak Citra..??”
Tia bingung dengan apa yang terjadi, dan rintihan lemah kakak iparnya yang kesakitan membuat dia tak bisa berpikir. Dia berusaha mendekati Citra, tapi Gde menghalanginya.
“Tolong Pak.. sudah Pak, kakak saya jangan dibegitukan Pak.. tolong..” Tia hanya bisa meminta. Tangisnya pecah.
Gde mencoba memanfaatkan keadaan. “Kamu tahulah kenapa kalian dirazia. Kalian lagi pada jual diri di jalan kan? Huh, dasar lonte. Kakakmu tadi minta dibebasin. Dia sendiri yang nawarin diri ke kita.”
“Tolong Pak.. bebasin kami, kami ini korban salah paham, kami bukan.. pelacur.. Kami perempuan baik-baik, mohon lepasin kami Pak..” kata Tia di sela-sela isak tangisnya. “Tolong Pak.. kasihani kakak saya..”
“Ya, ya, ya, semua yang ketangkep juga bilang gitu,” kata Gde. “Emangnya saya percaya? Bohong! Tuh lihat, ngapain kakakmu nawarin diri buat dientot gratis kalau dia bukan perek? Paling-paling kamu sama aja.”
“Bukan Pak.. tolong percaya saya.. saya dan kakak saya bukan perempuan tuna susila.. mohon lepasin kami Pak..”
“HUNGH!” Percakapan antara Gde dan Tia yang panik terpotong seruan orang yang sedang menggagahi pantat Citra, dia baru saja mencurahkan benihnya ke dalam rektum Citra, menambah penuh isinya yang sudah menampung kontribusi tiga orang.
Ketika orang itu mencabut batangnya dari anus Citra, Citra langsung ambruk, sebagian isi pantatnya meleleh keluar, dan di mata Tia, cairan yang keluar itu putih bercampur merah. Tia melihat mata kakaknya, setengah terbuka dan terlihat tanpa jiwa.
“KAKAAK!” jerit Tia.
Dia kembali berusaha menghampiri Citra, tapi kali ini Gde menahannya. Tia tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman Gde dan seorang anak buahnya. Padahal orang berikutnya sudah mulai menaruh ereksinya di lubang anus Citra yang sudah menganga..
“JANGAAAN!” jerit Tia. “Jangan.. jangan lagi.. kasihan kakak.. tolong.. jangan sentuh kakak saya lagi.. sama saya saja.. biar saya saja..”
Gde memegangi Tia yang meronta-ronta sambil menangis. Dia nyengir mendengar pernyataan Tia itu. Itulah yang dia tunggu-tunggu, ketika perempuan ini sudah cukup panik sehingga dia bersedia melakukan apa saja.
“Stop!” kata Gde. “Mundur kamu.”
Orang yang baru saja mau menyodomi Citra, ternyata Julfan lagi, dia menengok ke komandannya, lalu mengurungkan niatnya memuaskan anunya di lubang terlarang Citra. Gde lalu melepas Tia, Tia langsung menghambur ke dekat kakaknya yang tergolek di atas matras dalam keadaan berantakan.
“KAK CITRAAA..” Tia langsung merangkul kakaknya yang telanjang, sambil menangis.
“Ti..” Citra hanya sempat mengatakan sepotong suku kata, lalu pingsan.
Gde dan anak buahnya mendekat merubung Tia. Ia berjongkok dan memegang bahu Tia.
Tia kaget akibat sentuhan itu, dan segera menoleh ke arah Gde.
“Saya percaya kamu. Kamu boleh bebas. Tapi,” kata Gde dengan pura-pura lembut, “kakakmu tetap saya tahan untuk diproses.”
“Jangan Pak. Tolong bebasin kakak saya juga..” kata Tia sambil terisak, memeluk Citra yang pingsan.
Segala perasaan yang berkecamuk dalam benak Tia membuatnya tak berpikir jernih. Gde tahu cara memanfaatkan itu.
“Nggak. Kakakmu tetap saya tahan. Kamu sih boleh bebas. Saya anggap kamu nggak salah.”
“Tolong pak.. tolong bebasin kakak saya juga Pak.. kasihan kakak saya.. Bapak boleh minta apa saja asal kakak saya bisa bebas..”
Gde tersenyum lebar. Permintaan Tia segera disambarnya.
“Beneran?”
“Iya Pak.. Saya rela kasih apa aja, asal Bapak bebasin kakak saya..”
“Kalau gitu..” kata Gde sambil merangkul Tia, “Gantiin kakak kamu ngelayani kami.”
“Ah..” Tia tercekat, tak mengharapkan kata-kata barusan.
Gde melihat keraguan itu, dan tidak melepas tekanannya terhadap mental Tia.
“Nggak mau juga nggak apa-apa sih. Tapi kakakmu tetap ditahan.”
Tia terpejam. Sebutir air mata menetes di pipinya yang merona. Dia tahu dia sudah menjerumuskan dirinya sendiri. Dia sekarang harus melayani kumpulan bejat ini demi membebaskan Citra. Dia bisa saja menolak, tapi akibatnya Citra akan kena masalah.
“Gimana, mau nggak?” tanya Gde dengan nada acuh, merasa dia tetap di atas angin, apapun jawaban Tia.
“...” Tia tak mengatakan apa-apa, hanya anggukan yang menyatakan persetujuan, anggukan yang dilakukannya dengan berat hati.
“Bagus,” ujar Gde. “Mulai pake mulut kamu aja. Nih, ada yang mau dilayani dia?”
Tiga orang anak buah Gde berdiri mengelilingi Tia yang terduduk di dekat Citra. Penis mereka jelas berdiri tegak lagi melihat perempuan cantik lain yang sudah bersedia di garap oleh mereka lagi. Mereka merasa tak salah menduga ketika tadi menangkap Tia juga. Di mata mereka, perempuan bermake-up tebal, dengan bibir merah ranum, mengenakan blus tanpa lengan dan rok mini, dan berada di pinggir jalan, apa lagi namanya kalau bukan perempuan gampangan? Ditambah lagi mereka punya wewenang menegakkan suatu peraturan yang memandang buruk terhadap perempuan.
“Hoy, jangan bengong aja, isep kontol gue nih,” suruh salah satunya.
Tia dengan ragu-ragu mendekatkan wajahnya ke penis orang itu, namun akhirnya dia memasrahkan diri dan menggenggamnya. Dia mulai menjilati ujungnya, dan terus menjilati sekujur batang itu. Satu lagi penis tegak milik seorang aparat teracung, dan pemiliknya menyodok-nyodokkan ujungnya yang agak basah ke pipi mulus Tia. Tia menangkap maksudnya dan mengalihkan perhatian, pertama mengulum ujung penis kedua lalu mulai menyepongnya, sementara tangan kanan Tia tetap di penis pertama, memberi kenikmatan lewat sentuhan dan elusan.
Orang ketiga di sekeliling Tia langsung meraih tangan kiri Tia dan menyuruh Tia mengocok penisnya. Jadilah kini Tia melayani tiga orang sekaligus dengan mulut dan kedua tangannya. Secara bergantian Tia memberi perhatian kepada tiga kejantanan yang mengelilinginya. Tanpa dia sadari, dia sebenarnya sudah ahli melakukan fellatio, karena sudah banyak latihan sejak dia pertama kali memutuskan untuk berubah penampilan demi Bram dulu. Tak heran ketiga orang itu bisa sampai merem melek disepongnya.
Bahkan kata-kata mereka yang melecehkannya seperti “Dasar pecun, udah jago ya lu nyedot peju” dan “Kontol gue tadi abis masuk pantat kakak lu, enak ngga rasanya?” tidak membuatnya jijik, dan malah membuatnya terangsang. Gara-gara tempelan pemrograman mental dari Mang Enjup, Tia jadi suka dilecehkan dengan kata-kata mesum seperti itu.
CROTT!
“Aih!” Tia kaget ketika satu penis yang sedang dikocoknya agak dekat ke muka tiba-tiba ejakulasi, melontarkan mani kental yang mendarat di pelipis dan dekat matanya. Ejakulasinya berlanjut mendarat di bagian dada blus tanpa lengan Tia.
“Gue juga nih..!” Seorang lagi, yang sedang dikenyotnya, tidak tahan, dan segera menarik penisnya dari dalam mulut Tia untuk muncrat tepat di depan muka Tia.
Tia memejamkan mata agar tidak kena—satu cipratan ejakulasi mendarat dekat pangkal hidungnya, dan sisanya berleleran ke bawah.
Sesudahnya, orang ketiga juga mau menyemprotkan cairan kelelakiannya. Dia sengaja menggenggam wajah Tia dan mengarahkan semburannya untuk menodai wajah yang tadi siang dijadikan kanvas tempat berkarya si SPG kosmetik, Cisola. Warna merah dan emas rias wajah Tia tercoreng warna putih cairan kental buangan si aparat.
Gde yang sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menikmati tubuh Tia sejak tadi. Dia memang terbiasa menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat. Kalau bukan menarik upeti tidak resmi dari para pengusaha bisnis lendir seperti Citra, dia memanfaatkan orang-orang yang ditangkapnya atas dasar peraturan pemerintah yang rawan penyelewengan itu. Disuruhnya ketiga anak buahnya menyingkir dari Tia yang terduduk. Dia mengambil saputangan dari kantong, berjongkok, lalu menyeka ceceran mani dari ketiga anak buanya yang ada di muka Tia dengan hati-hati agar tidak terlalu banyak merusak rias wajah Tia.
Tia hanya diam saja menerima perlakuan itu, wajah Gde yang besar dan hitam nyengir mesum di depan wajahnya.
“Cantik juga ya kamu,” puji Gde. “Buka baju.”
Tia ragu apakah harus menuruti permintaan itu atau tidak.
Melihat keraguan Tia, Gde mendorongnya lagi.
“Buka baju, atau aku yang buka bajumu.” Tangan Gde meraih ke arah deretan kancing blus Tia.
Gerak refleks membuat Tia bergeser mundur, menjauh dari Gde, tapi ternyata di belakangnya ada seorang aparat. Tia menggigil ketika Gde melepas kancing blusnya satu per satu.
Semua kancing blus Tia pun akhirnya terbuka, memperlihatkan kutangnya, yang tak lama kemudian juga dilepas oleh Gde. Setelah Tia bugil setengah badan, Gde menyuruh Tia melepas roknya. Kali ini dengan takut-takut Tia membuka sendiri resleting rok mini hitamnya dan memelorotkannya. Tia melakukan itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menutupi kedua payudaranya yang sudah tak terlindung.
“Wuih, gedean toket kamu daripada Citra,” komentar Gde. “Citra gak pernah cerita kalo adiknya montok seksi gini. Eh.. nanggung nih. Itu celana dibuka juga dong. Ngapain masih dipake?”
Tinggal satu potong pakaian yang masih melekat di tubuh Tia—celana dalamnya. Gde tidak menunggu Tia, dia sendiri dengan kasar memelorotkan celana dalam Tia. Selanjutnya anak buahnya yang berada di belakang Tia menarik tubuh Tia dan memindahkannya sehingga Tia kini berada di matras yang tadi menjadi tempat Citra digarap berulangkali.
Tia telentang, telanjang, tanpa daya.. Dia memalingkan muka melihat tubuh besar hitam Gde yang telanjang di hadapannya. Gde tadi cuma sekali menyetubuhi Citra, dan sekarang penisnya yang berukuran lumayan sudah tegak lagi. Si komandan aparat itu nyengir, lalu menurunkan tubuhnya menindih Tia. Kalau dilihat dari atas, tubuh Tia nyaris sepenuhnya tertutupi tubuh gempal Gde.
Tia tak bisa menghindar ketika Gde memaksa mencium bibirnya. Rupanya itu alasan tadi Gde membersihkan muka Tia, dia ingin merasakan bibir indah Tia. Lidah Gde yang lebar dan basah dengan tak sopannya menerobos masuk rongga mulut Tia, mengajak bergulat lidah Tia. Sepasang bibir tebal Gde melahap bibir Tia, dan juga beraksi di garis rahang dan leher Tia selagi Tia menahan jijik.
Sementara itu kedua paha Gde bergerak membuka kedua paha Tia. Batang kejantanan Gde yang sudah ereksi itu mulai menempel dan menggesek bagian luar alat vital Tia. Sekali lagi sesuatu di dalam pikiran Tia menolak keadaannya sekarang, dan Tia berusaha meronta untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat, tubuh Gde terlalu berat untuk digeser. Tia hanya bisa menjerit pasrah ketika akhirnya kewanitaannya tertusuk penis Gde.
Gde melihat wajah Tia yang tak rela, dan tak mempedulikannya sama sekali. Satu dorongan berhasil mendesakkan seluruh penisnya sampai ke pangkal. Dia kembali menciumi wajah Tia selagi tubuhnya bersatu dengan tubuh Tia, sementara Tia memalingkan wajah karena jijik. Liang kenikmatan Tia yang sempit dan sudah basah setelah terangsang akibat aksi oralnya terhadap tiga aparat tadi rupanya memberi sensasi baru bagi Gde. Nafas Gde menjadi memburu dan dia mulai mempercepat dorongannya menggenjot Tia.
Tia tak kuasa menahan erangan bercampur ratapan, selagi penis Gde mengaduk-aduk vaginanya. Namun suara Tia malah makin lama makin terdengar nyaring dan bernafsu.
“Oh! Ah! OHHH!!” Bisa dilihat bahwa tubuh Tia sendiri bingung, antara menyerah kepada nafsu atau mempertahankan harga diri dengan terus bersikap tak rela.
Tapi mana mungkin Tia mampu berpura-pura tak rela, ketika sebagian pikirannya yang telah teracuni terus-menerus mengingatkannya untuk menerima saja bahwa dia sebenarnya pelacur yang mau tidur dengan laki-laki mana saja?
“Huhh.. ehh.. Enak gak? Mau terus gak?” kata Gde di sela-sela gerakannya.
“Auhh..huhh.. ahh..” Tia berusaha menahan jangan sampai dia mengatakan sesuatu yang akan menjerumuskannya lebih jauh..
“Mau lagi gak? AYO BILANG!”
“AHH.. IYA PAKHH!! LAGI PAK.. TERUSIN PAK..” Jebol juga pertahanan Tia.
Tangisnya pecah lagi karena malu, malu telah gagal menahan gempuran nafsu yang berusaha meruntuhkan harga dirinya. Apa bedanya dia sekarang dengan pelacur betulan yang menjajakan diri di pinggir jalan?
Malah mungkin aku lebih parah! Pelacur masih dibayar, sedangkan aku menyerahkan diri untuk disetubuhi dengan sukarela!
Ciuman penuh nafsu Gde, lidah Gde yang menjilati wajah Tia, kejantanan Gde yang terbenam sampai pangkal dalam kemaluan Tia.. dan laki-laki bertubuh gempal itu bukan pasangan sah Tia. Apakah dia memperkosa Tia? Tidak. Tia sendiri yang tadi bersedia menggantikan Citra. Nafsu binatang sudah menguasai Gde yang makin buas menghantam selangkangan Tia, tanpa peduli Tia terdesak hebat di bawah tindihan tubuh besar dan berkeringat itu. Tia hanya dapat meringis kesakitan selagi serangan Gde datang tanpa henti.
Di sebelah mereka, terlupakan untuk sejenak, Citra yang tadi pingsan sudah memperoleh sedikit kesadarannya. Dia merasa sekujur tubuhnya sakit, terutama selangkangan dan duburnya, dan dia tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Tapi pandangannya tepat tertuju kepada dua sosok manusia yang tindih-menindih di sebelahnya, tubuh hitam besar Gde yang berulangkali menghantam tubuh Tia yang telanjang di bawahnya. Citra hanya bisa menyaksikan wajah Tia yang nelangsa tanpa daya. Tapi.. dan Citra kenal benar ekspresi itu, dia tidak mungkin tidak hafal, Citra melihat bahwa nafsu birahi Tia seolah tak padam. Citra menyaksikan sedikit ekspresi kenikmatan menyelip di wajah adik iparnya tiap kali kejantanan Gde yang besar itu bolak-balik lenyap dan muncul di selangkangan Citra. Dan tentunya, Citra tak bisa tidak mendengar kata-kata yang diteriakkan Tia.
“YAH! AHH! LAGIHH!! PAK!! ENTOT SAYA PAK! TERUS PAKHH.. OH!”
Gde menegakkan tubuh dan memegang kedua pergelangan kaki Tia, merentang kaki Tia selebar mungkin, dan menggoyang pinggulnya untuk mengaduk-aduk kemaluan Tia dengan penisnya. Pinggul Tia ikut bergerak tanpa dapat ditahan, seolah membalas segala gerakan Gde dalam pertandingan saling memberi kenikmatan itu.
Citra ingin menutup telinga ketika lenguhan dan jeritan kedua insan itu makin kencang.
“AAKK.. NGHHAA!!” Tia menjerit nikmat ketika dia mencapai orgasme, matanya terpejam dan air matanya bercucuran, perasaannya campur aduk antara terseret kenikmatan dan tertohok penyesalan.
Gerungan keras dari Gde menandakan bahwa dia juga mencapai puncak, menimpali bunyi tubuh beradu dengan tubuh yang sudah sedemikian kencangnya. Gde ambruk menimpa Tia, pinggangnya kejang beberapa kali. Citra memejamkan mata biarpun apa yang dikhawatirkannya memang tak terlihat karena tertutup tubuh Gde. Ya, saat itu juga Gde menyemburkan bahan pembuat calon-calon bayinya di dalam rahim Tia.
“Huehh.. enak kan itu? Gue paling suka ngecrot dalam memek..” kata Gde lemah.
Tubuh besarnya menindih Tia yang terkapar.
“Memek lu top.. gak kayak memek jablay lain yang kendor..”
Tia sendiri gemetaran setelah menerima orgasme hebat. Gde langsung bangkit dari atas Tia sehingga Tia bisa bernafas lega lagi.
Vagina Tia yang tadinya rapat tampak merekah dan belepotan sperma Gde. Tapi Gde baru orang pertama. Selanjutnya Julfan dan seorang aparat yang tadi belum sempat mendapat kenikmatan mendekati Tia. Julfan, sedari tadi sudah telanjang, mengangkang di atas muka Tia, lalu berjongkok. Dia memaksa Tia membuka mulut lalu memasukkan penisnya ke mulut Tia. Tia yang sudah ternoda itu tak melawan, malah menuruti keinginan Julfan dengan merapatkan bibir merahnya di seputar batang Julfan.
Tak lama kemudian Julfan mengoceh keenakan ketika sedotan Tia mulai memberikan efek yang diharapkan. Kawannya, yang berada dekat selangkangan Tia, memilih bermain-main dengan klitoris Tia, dan tanpa disangka, Tia malah menggerak-gerakkan pinggulnya menanggapi rangsangan itu.
Setelah beberapa kali bibir Tia naik-turun mengelus kemaluan Julfan, Julfan mendesakkan pinggulnya ke bawah sehingga Tia terpaksa menelan seluruh penisnya. Tia panik karena merasa akan tercekik, tapi Julfan menahan posisi. Sedetik kemudian Tia merasaka cairan kental asin memenuhi rongga mulutnya.
Setelah membuang isi buah pelirnya di dalam mulut Tia, barulah Julfan membebaskan mulut Tia. Tia sendiri terbatuk-batuk sehingga sebagian hasil ejakulasi Julfan termuntahkan keluar. Sementara itu kawannya tidak lama-lama memainkan kewanitaan Tia dengan tangan. Dia segera mengambil kesempatan untuk mempenetrasi vagina Tia. Tia mengernyit sedikit, vaginanya terasa agak nyeri.
“Eh, cepetan, masih banyak yang ngantri nih,” seru seorang aparat lagi.
Sungguh mereka ini tak ada puasnya.
“Daripada tunggu-tungguan, embat pantatnya aja tuh,” usul Gde.
Tia mau menjerit protes, tapi saat itu seorang lagi sudah meniru tindakan Julfan tadi, mengangkangi mukanya dan membuat mulut Tia sibuk dengan penisnya.
Satu orang lagi memutuskan untuk menuruti usul si komandan dan segera memposisikan diri di belakang kawannya yang menggenjot vagina Tia. Dia mengatur posisi supaya bisa mendapat jalan menuju pintu belakang Tia, lalu menyodok lubang dubur Tia dengan jari tengahnya yang dibasahi liur untuk mempermudah penetrasi. Sejenak mulut Tia bebas, namun yang saat itu juga keluar adalah jeritan,
“Auuw..Auhh! Pe..lan-pelann!!” protes Tia kesakitan.
Baru kepala penis yang masuk ke lubang pengeluaran Tia, tapi orang yang memasukkannya kurang sabar sehingga Tia cuma merasakan sakit. Tapi pelan-pelan masuk juga seluruh batang itu ke saluran belakang Tia.
Kini ganti Citra yang menjadi penonton selagi dia melihat Tia, adik iparnya, seorang perempuan baik-baik dan istri setia, menjadi bulan-bulanan tiga orang aparat yang mencabuli mulut, vagina, dan anus. Tia yang mengerang dan mendesah penuh nafsu seperti seorang pelacur.
Citra tahu dia sendiri sudah gagal melindungi Tia.. tadi dia sudah menawarkan diri untuk melayani mereka semua supaya mereka tak menyentuh adik iparnya, tapi ternyata mereka begitu cepat menguras staminanya dan kini mereka sudah menjamah adiknya. Dia merasa bersalah. Tapi rupanya dia tak diberi kesempatan untuk berlama-lama merenung, karena orang-orang di ruangan itu menyadari dia sudah sadar lagi.
“Udah bangun, Cit?” kata Gde yang berjongkok di sebelahnya. “Payah lu, masak empat ronde udah pingsan. Kalau udah bisa lagi, lanjutin yuk.”
“Eh..” protes Citra tak terdengar selagi Gde menjauh untuk memberi kesempatan kepada dua lagi anak buahnya menggumuli Citra.
“Buka baju, atau aku yang buka bajumu.” Tangan Gde meraih ke arah deretan kancing blus Tia.
Gerak refleks membuat Tia bergeser mundur, menjauh dari Gde, tapi ternyata di belakangnya ada seorang aparat. Tia menggigil ketika Gde melepas kancing blusnya satu per satu.
Semua kancing blus Tia pun akhirnya terbuka, memperlihatkan kutangnya, yang tak lama kemudian juga dilepas oleh Gde. Setelah Tia bugil setengah badan, Gde menyuruh Tia melepas roknya. Kali ini dengan takut-takut Tia membuka sendiri resleting rok mini hitamnya dan memelorotkannya. Tia melakukan itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menutupi kedua payudaranya yang sudah tak terlindung.
“Wuih, gedean toket kamu daripada Citra,” komentar Gde. “Citra gak pernah cerita kalo adiknya montok seksi gini. Eh.. nanggung nih. Itu celana dibuka juga dong. Ngapain masih dipake?”
Tinggal satu potong pakaian yang masih melekat di tubuh Tia—celana dalamnya. Gde tidak menunggu Tia, dia sendiri dengan kasar memelorotkan celana dalam Tia. Selanjutnya anak buahnya yang berada di belakang Tia menarik tubuh Tia dan memindahkannya sehingga Tia kini berada di matras yang tadi menjadi tempat Citra digarap berulangkali.
Tia telentang, telanjang, tanpa daya.. Dia memalingkan muka melihat tubuh besar hitam Gde yang telanjang di hadapannya. Gde tadi cuma sekali menyetubuhi Citra, dan sekarang penisnya yang berukuran lumayan sudah tegak lagi. Si komandan aparat itu nyengir, lalu menurunkan tubuhnya menindih Tia. Kalau dilihat dari atas, tubuh Tia nyaris sepenuhnya tertutupi tubuh gempal Gde.
Tia tak bisa menghindar ketika Gde memaksa mencium bibirnya. Rupanya itu alasan tadi Gde membersihkan muka Tia, dia ingin merasakan bibir indah Tia. Lidah Gde yang lebar dan basah dengan tak sopannya menerobos masuk rongga mulut Tia, mengajak bergulat lidah Tia. Sepasang bibir tebal Gde melahap bibir Tia, dan juga beraksi di garis rahang dan leher Tia selagi Tia menahan jijik.
Sementara itu kedua paha Gde bergerak membuka kedua paha Tia. Batang kejantanan Gde yang sudah ereksi itu mulai menempel dan menggesek bagian luar alat vital Tia. Sekali lagi sesuatu di dalam pikiran Tia menolak keadaannya sekarang, dan Tia berusaha meronta untuk melepaskan diri, tapi sudah terlambat, tubuh Gde terlalu berat untuk digeser. Tia hanya bisa menjerit pasrah ketika akhirnya kewanitaannya tertusuk penis Gde.
Gde melihat wajah Tia yang tak rela, dan tak mempedulikannya sama sekali. Satu dorongan berhasil mendesakkan seluruh penisnya sampai ke pangkal. Dia kembali menciumi wajah Tia selagi tubuhnya bersatu dengan tubuh Tia, sementara Tia memalingkan wajah karena jijik. Liang kenikmatan Tia yang sempit dan sudah basah setelah terangsang akibat aksi oralnya terhadap tiga aparat tadi rupanya memberi sensasi baru bagi Gde. Nafas Gde menjadi memburu dan dia mulai mempercepat dorongannya menggenjot Tia.
Tia tak kuasa menahan erangan bercampur ratapan, selagi penis Gde mengaduk-aduk vaginanya. Namun suara Tia malah makin lama makin terdengar nyaring dan bernafsu.
“Oh! Ah! OHHH!!” Bisa dilihat bahwa tubuh Tia sendiri bingung, antara menyerah kepada nafsu atau mempertahankan harga diri dengan terus bersikap tak rela.
Tapi mana mungkin Tia mampu berpura-pura tak rela, ketika sebagian pikirannya yang telah teracuni terus-menerus mengingatkannya untuk menerima saja bahwa dia sebenarnya pelacur yang mau tidur dengan laki-laki mana saja?
“Huhh.. ehh.. Enak gak? Mau terus gak?” kata Gde di sela-sela gerakannya.
“Auhh..huhh.. ahh..” Tia berusaha menahan jangan sampai dia mengatakan sesuatu yang akan menjerumuskannya lebih jauh..
“Mau lagi gak? AYO BILANG!”
“AHH.. IYA PAKHH!! LAGI PAK.. TERUSIN PAK..” Jebol juga pertahanan Tia.
Tangisnya pecah lagi karena malu, malu telah gagal menahan gempuran nafsu yang berusaha meruntuhkan harga dirinya. Apa bedanya dia sekarang dengan pelacur betulan yang menjajakan diri di pinggir jalan?
Malah mungkin aku lebih parah! Pelacur masih dibayar, sedangkan aku menyerahkan diri untuk disetubuhi dengan sukarela!
Ciuman penuh nafsu Gde, lidah Gde yang menjilati wajah Tia, kejantanan Gde yang terbenam sampai pangkal dalam kemaluan Tia.. dan laki-laki bertubuh gempal itu bukan pasangan sah Tia. Apakah dia memperkosa Tia? Tidak. Tia sendiri yang tadi bersedia menggantikan Citra. Nafsu binatang sudah menguasai Gde yang makin buas menghantam selangkangan Tia, tanpa peduli Tia terdesak hebat di bawah tindihan tubuh besar dan berkeringat itu. Tia hanya dapat meringis kesakitan selagi serangan Gde datang tanpa henti.
Di sebelah mereka, terlupakan untuk sejenak, Citra yang tadi pingsan sudah memperoleh sedikit kesadarannya. Dia merasa sekujur tubuhnya sakit, terutama selangkangan dan duburnya, dan dia tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Tapi pandangannya tepat tertuju kepada dua sosok manusia yang tindih-menindih di sebelahnya, tubuh hitam besar Gde yang berulangkali menghantam tubuh Tia yang telanjang di bawahnya. Citra hanya bisa menyaksikan wajah Tia yang nelangsa tanpa daya. Tapi.. dan Citra kenal benar ekspresi itu, dia tidak mungkin tidak hafal, Citra melihat bahwa nafsu birahi Tia seolah tak padam. Citra menyaksikan sedikit ekspresi kenikmatan menyelip di wajah adik iparnya tiap kali kejantanan Gde yang besar itu bolak-balik lenyap dan muncul di selangkangan Citra. Dan tentunya, Citra tak bisa tidak mendengar kata-kata yang diteriakkan Tia.
“YAH! AHH! LAGIHH!! PAK!! ENTOT SAYA PAK! TERUS PAKHH.. OH!”
Gde menegakkan tubuh dan memegang kedua pergelangan kaki Tia, merentang kaki Tia selebar mungkin, dan menggoyang pinggulnya untuk mengaduk-aduk kemaluan Tia dengan penisnya. Pinggul Tia ikut bergerak tanpa dapat ditahan, seolah membalas segala gerakan Gde dalam pertandingan saling memberi kenikmatan itu.
Citra ingin menutup telinga ketika lenguhan dan jeritan kedua insan itu makin kencang.
“AAKK.. NGHHAA!!” Tia menjerit nikmat ketika dia mencapai orgasme, matanya terpejam dan air matanya bercucuran, perasaannya campur aduk antara terseret kenikmatan dan tertohok penyesalan.
Gerungan keras dari Gde menandakan bahwa dia juga mencapai puncak, menimpali bunyi tubuh beradu dengan tubuh yang sudah sedemikian kencangnya. Gde ambruk menimpa Tia, pinggangnya kejang beberapa kali. Citra memejamkan mata biarpun apa yang dikhawatirkannya memang tak terlihat karena tertutup tubuh Gde. Ya, saat itu juga Gde menyemburkan bahan pembuat calon-calon bayinya di dalam rahim Tia.
“Huehh.. enak kan itu? Gue paling suka ngecrot dalam memek..” kata Gde lemah.
Tubuh besarnya menindih Tia yang terkapar.
“Memek lu top.. gak kayak memek jablay lain yang kendor..”
Tia sendiri gemetaran setelah menerima orgasme hebat. Gde langsung bangkit dari atas Tia sehingga Tia bisa bernafas lega lagi.
Vagina Tia yang tadinya rapat tampak merekah dan belepotan sperma Gde. Tapi Gde baru orang pertama. Selanjutnya Julfan dan seorang aparat yang tadi belum sempat mendapat kenikmatan mendekati Tia. Julfan, sedari tadi sudah telanjang, mengangkang di atas muka Tia, lalu berjongkok. Dia memaksa Tia membuka mulut lalu memasukkan penisnya ke mulut Tia. Tia yang sudah ternoda itu tak melawan, malah menuruti keinginan Julfan dengan merapatkan bibir merahnya di seputar batang Julfan.
Tak lama kemudian Julfan mengoceh keenakan ketika sedotan Tia mulai memberikan efek yang diharapkan. Kawannya, yang berada dekat selangkangan Tia, memilih bermain-main dengan klitoris Tia, dan tanpa disangka, Tia malah menggerak-gerakkan pinggulnya menanggapi rangsangan itu.
Setelah beberapa kali bibir Tia naik-turun mengelus kemaluan Julfan, Julfan mendesakkan pinggulnya ke bawah sehingga Tia terpaksa menelan seluruh penisnya. Tia panik karena merasa akan tercekik, tapi Julfan menahan posisi. Sedetik kemudian Tia merasaka cairan kental asin memenuhi rongga mulutnya.
Setelah membuang isi buah pelirnya di dalam mulut Tia, barulah Julfan membebaskan mulut Tia. Tia sendiri terbatuk-batuk sehingga sebagian hasil ejakulasi Julfan termuntahkan keluar. Sementara itu kawannya tidak lama-lama memainkan kewanitaan Tia dengan tangan. Dia segera mengambil kesempatan untuk mempenetrasi vagina Tia. Tia mengernyit sedikit, vaginanya terasa agak nyeri.
“Eh, cepetan, masih banyak yang ngantri nih,” seru seorang aparat lagi.
Sungguh mereka ini tak ada puasnya.
“Daripada tunggu-tungguan, embat pantatnya aja tuh,” usul Gde.
Tia mau menjerit protes, tapi saat itu seorang lagi sudah meniru tindakan Julfan tadi, mengangkangi mukanya dan membuat mulut Tia sibuk dengan penisnya.
Satu orang lagi memutuskan untuk menuruti usul si komandan dan segera memposisikan diri di belakang kawannya yang menggenjot vagina Tia. Dia mengatur posisi supaya bisa mendapat jalan menuju pintu belakang Tia, lalu menyodok lubang dubur Tia dengan jari tengahnya yang dibasahi liur untuk mempermudah penetrasi. Sejenak mulut Tia bebas, namun yang saat itu juga keluar adalah jeritan,
“Auuw..Auhh! Pe..lan-pelann!!” protes Tia kesakitan.
Baru kepala penis yang masuk ke lubang pengeluaran Tia, tapi orang yang memasukkannya kurang sabar sehingga Tia cuma merasakan sakit. Tapi pelan-pelan masuk juga seluruh batang itu ke saluran belakang Tia.
Kini ganti Citra yang menjadi penonton selagi dia melihat Tia, adik iparnya, seorang perempuan baik-baik dan istri setia, menjadi bulan-bulanan tiga orang aparat yang mencabuli mulut, vagina, dan anus. Tia yang mengerang dan mendesah penuh nafsu seperti seorang pelacur.
Citra tahu dia sendiri sudah gagal melindungi Tia.. tadi dia sudah menawarkan diri untuk melayani mereka semua supaya mereka tak menyentuh adik iparnya, tapi ternyata mereka begitu cepat menguras staminanya dan kini mereka sudah menjamah adiknya. Dia merasa bersalah. Tapi rupanya dia tak diberi kesempatan untuk berlama-lama merenung, karena orang-orang di ruangan itu menyadari dia sudah sadar lagi.
“Udah bangun, Cit?” kata Gde yang berjongkok di sebelahnya. “Payah lu, masak empat ronde udah pingsan. Kalau udah bisa lagi, lanjutin yuk.”
“Eh..” protes Citra tak terdengar selagi Gde menjauh untuk memberi kesempatan kepada dua lagi anak buahnya menggumuli Citra.
Tanpa belas kasihan mereka menggerayangi dan menjamah tubuh Citra, sekali lagi menjadikan Citra mainan seks mereka. Tia menerima gempuran dari tiga sisi, tanpa dapat menghindar. Dan sialnya, satu kali lagi orgasme melandanya. Jerit kenikmatan yang menyertainya tak terdengar teredam satu batang di mulutnya.
“Gue.. keluarr!” Orang yang sedang meny0d0mi Tia menambah jumlah cairan asing di dalam tubuh Tia, mengisi saluran pembuangan Tia dengan benihnya.
Kawannya yang sedang menyetubuhi liang sanggama Tia mendapat giliran klimaks berikutnya, ikut menambah isi rahim Tia. Keduanya langsung menyingkir dari tubuh Tia. Tinggal satu orang yang sedang menikmati mulut Tia, dia segera pindah ke vagina Tia, dan menyetubuhi Tia dengan posisi gunting. Karena sudah cukup lama menyodoki mulut Tia, dia tidak begitu lama menggenjot Tia, dan bertambahlah isi rahim Tia dengan benih satu lagi laki-laki yang tak dia kenal.
Kini Tia tertelungkup dengan kedua paha mengangkang, cairan berleleran dari kedua lubangnya. Gde memutuskan untuk menyicip lubang yang tadi belum sempat dicobanya. Si komandan aparat meninggalkan Citra yang sedang disusupi organ tubuh laki-laki dari depan dan belakang, lalu kembali menindih Tia dan menusukkan penisnya ke lubang pantat Tia. Penis Gde lebih besar daripada yang barusan memasuki an*s Tia, Tia membelalak dan ternganga ketika saluran pembuangannya mendapat desakan benda besar tumpul yang masuk dari arah yang tidak seharusnya.
Sementara itu, seorang lagi aparat yang tadi dioral Tia rupanya keburu ingin muncrat lagi setelah menonton pesta gila yang begitu panas antara sembilan laki-laki melawan dua perempuan, dan mengocok kemaluannya sendiri untuk mengeluarkan lendir nafsunya, kali ini menodai rambut Tia.
“Uahh! Gila sempit banget pantat lu! Ungh! Enak banget tau! Enak banget ngentot pantat lu!” ceracau Gde selagi menggenjot lubang dubur Tia.
Sampai habis suara Tia karena berkali-kali menjerit selagi an*snya diterobos gempuran demi gempuran dahsyat dari si komandan aparat. Namun sekali lagi, entah kenapa, ia kembali dilanda gelombang kenikmatan. Emosi Tia yang campur aduk tak mampu menjelaskan mengapa dia tetap saja merasakan kenikmatan badani menjalar ke sekujur tubuhnya, padahal dia seharusnya tak menyukai apa yang sedang diperbuat terhadapnya.
Sekali lagi Gde meninggalkan bukti pelanggarannya di dalam tubuh Tia. Namun malam itu sungguh terasa sangat panjang. Tia dan Citra terus terpaksa meladeni lelaki demi lelaki..
*****
Mince, si banci, yang tadi ketiduran di sebelah Tia, sudah bangun lagi dan menyadari dua perempuan yang tadi sama-sama diciduk tidak ada di tempat. Dia sendirian di ruangan depan kantor aparat itu. Bukan sendirian, berdua dengan seorang aparat muda yang dapat tugas berjaga di depan. Mince mendekati si penjaga.
“Eh bo’,” seru Mince. “Cewek yang berdua tadi itu ke mana?”
“Di dalam,” kata si penjaga muda itu, agak ngeri melihat Mince yang lebih jangkung daripada dirinya.
“Ya ampun, bo’, di dalam?” ujar Mince dengan sikap pura-pura terperanjat. “Aduh kasian banget deh mereka, pasti dipaksa suruh kasih gratisan. Yei gak kebagian, bo’? Kasiaan deh lu.”
Si penjaga diam saja. Dia tambah ngeri ketika Mince malah mendekatinya lalu bersikap sok akrab dengan merangkulnya.
“Eike kasian ama yei, bo’. Ama Mince aja yuk? Jilatan Mince asoy loh..” kata Mince sambil menjilat kuping si aparat, sementara tangannya gentayangan ke tempat-tempat yang tidak seharusnya.
Si aparat muda itu langsung ngibrit menyelamatkan diri, dia sudah tak peduli lagi dengan tugasnya.. daripada keperjakaannya direnggut banci..
*****
Jam 11 malam.
Gde dan anak buahnya sudah berpakaian lagi. Mereka capek sekali, tapi senang. Di tengah ruangan, dua perempuan tergeletak lemah. Citra terlentang, pingsan kelelahan. Tia meringkuk, masih sadar, tapi sudah tak berdaya. Lubang dubur Tia masih sedikit menganga, seolah tak mau kembali tertutup seperti semula. Sedikit cairan putih masih mengalir dari sana. Rias wajahnya sudah acak-acakan, ternoda mani yang mulai mengering.
“Eh, bantuin mereka pake baju lagi sana,” perintah Gde.
Untungnya tidak ada pakaian keduanya yang rusak atau robek. Selanjutnya Gde menyuruh anak buahnya memapah kedua perempuan itu keluar. Gde memeriksa barang-barang Citra dan Tia, lalu mencari alamat Tia. Dia sudah tahu di mana salon Citra, dan dia baru mengetahui bahwa rumah Tia tepat di sebelah salon Citra.
Gde dan anak buahnya keluar dari bangunan kantor menuju garasi di samping. Si komandan mendekati satu mobil berwarna abu-abu mobil pribadinya, membuka kunci, dan membuka pintu. Dia menyuruh anak buahnya memasukkan Citra dan Tia di kursi belakang. Kemudian dia menyuruh yang lain kembali ke kantor kecuali Julfan. Gde menyalakan mobilnya. Julfan duduk di sebelah. Di kursi belakang ada dua orang perempuan, satu tergolek tak sadar, satu lagi duduk tegak dengan mata terbuka tapi dalam keadaan syok.
Sepanjang perjalanan dari kantor aparat, Tia hanya bisa terpaku. Dia merasa tersakiti dan ternodai. Dia pun merasa bersalah kepada dirinya sendiri, kepada Bram, kepada Citra. Andai saja tadi dia tidak menuruti keinginannya sendiri untuk berpenampilan lebih seksi.. Andai tadi dia bisa lebih tenang menghadapi para aparat yang salah paham menganggap dia pelacur jalanan.. Andai dia tidak sampai berkata rela menyerahkan kehormatannya kepada man*sia-man*sia bejat tadi demi menyelamatkan Citra..
Tapi, bukankah dirimu memang seperti itu Tia? Sudah, akui saja Tia. Kamu memang pelacur. Kamu sengaja berdandan seksi demi menggoda laki-laki. Kamu bersedia tidur dengan siapa saja.
“Bukan.. bukan.. aku bukan seperti itu.. aku Tia, istri Mas Bram.. bukan perempuan seperti itu..” bisik Tia, tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
Hahaha. Kenapa nyangkal Tia sayang? Kamu senang kan waktu mata semua laki-laki tertuju kepadamu? Kamu menikmati dihimpit tubuh si komandan itu kan? Kamu orgasme waktu disetubuhi tiga orang sekaligus kan tadi?
“Bukan.. tidak..”
Kamu wanita murahan Tia! Kamu pelacur! Akui saja dan terima!
Tia ingin menangis, tapi air matanya tak mau keluar. Siapa sebenarnya yang berbicara dalam kepalanya? Apakah itu dirinya sendiri? Siapa sebenarnya dirinya? Apakah dia memang seperti itu?
“Udah sampe, nih,” kata-kata Gde menghentikan lamunannya.
Mobil Gde sudah berhenti di depan rumah Tia. Julfan dan Gde membantu Tia memapah Citra ke dalam rumah. Bram belum pulang. Sebelum pergi, Gde mengatakan sesuatu kepada Tia.
“Kalau saya jadi kamu, saya gak akan bilang siapa-siapa soal kejadian malam ini. Kalau ada ribut-ribut, kamu sendiri yang rugi.. saya nggak tau apa jadinya ya kalau nama kamu malah jadi masuk koran di halaman kriminalitas. Apalagi kalau bisnis kakak iparmu kebawa-bawa.”
Si komandan aparat itu lantas pergi sambil tersenyum lebar, bersama Julfan.
*****
Citra tertidur seperti orang mati di sofa ruang tamu rumah Tia. Tia duduk lemas, terus merenung. Tia sudah berusaha menenangkan diri dengan mencuci muka, mandi, membersihkan diri, dan mengenakan pakaian tidur yang nyaman, tapi hatinya tetap gundah. Jam 1 malam, terdengar suara pintu garasi dibuka, lalu mobil masuk garasi. Tia tak beranjak dari kursinya. Beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka, dan masuklah Bram.
“Yang, aku pulang, maaf kemalaman..”
“MAS BRAM..!!”
Tia langsung menubruk Bram, memeluknya, dan menangis sejadi-jadinya di dada Bram. Segala perasaannya baru bisa tumpah di sana.. tapi dia tak mampu menjelaskan apa yang terjadi.
“Eh, ada apa nih.. Sayang, ada apa.. kenapa kamu nangis?”
Tia memandangi wajah suaminya dengan mata basah. Dia hendak membuka mulut untuk bercerita, tapi semua peristiwa yang baru dia alami berkelebat di dalam benaknya, membuat dia ngeri dan malu sehingga dia pun tak mampu mengungkapkannya kepada Bram. Saat itu Bram tak menyadarinya.. tapi kehidupan Tia sesudahnya tak akan sama lagi.
==X=X=X==
== Pengakuan Tia ==
Menjelang malam di rumah Tia.
Tia duduk sendirian di sofa, merangkul kedua lututnya sendiri sambil menundukkan kepala. Sudah hampir seminggu berlalu sejak insiden salah tangkap terhadap dirinya dan Citra yang menyebabkan mereka berdua terpaksa melayani sekelompok aparat.
Tapi apa benar terpaksa? Itulah yang membuat Tia sudah tersiksa secara batin selama seminggu.
Tia tak tega menceritakan kepada Bram apa yang terjadi di kantor aparat bersama Gde dan anak buahnya. Bukan cuma karena Gde mengancam akan membeberkan kejadian salah tangkap itu kalau Tia cerita ke siapa-siapa. Tapi lebih karena rasa bersalah Tia sendiri. Ia ingat bahwa malam itu, dia dengan sengaja dan sadar menyanggupi permintaan Gde untuk melayaninya layaknya suami-istri.
Memang, saat itu dia tak pikir panjang karena ingin menyelamatkan Citra, tapi setelah semuanya selesai, barulah Tia menyadari bahwa yang diperbuatnya tetap tak pantas. Dia adalah istri Bram.. hanya Bram yang berhak menikmati tubuhnya. Dia menyadari bahwa ada yang berubah dalam dirinya, dan beberapa minggu lalu dia khilaf ketika dalam suatu hari dia bermain api dengan si tukang sayur, Pak Kumis, dan dua pengamen, Janu dan Fi.
Tia sudah bertekad akan menjaga kehormatannya sebagai istri, namun ternyata dia tak mampu menahan godaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, mulai dari dorongan untuk menggoda para karyawan di kantor, berpenampilan seksi ketika di mall, bahkan ketika seharusnya dia bisa menjaga kehormatan waktu dipaksa Gde. Ya, Tia sedang merasa lemah dan bersalah kepada Bram. Tia juga takut rumahtangganya dengan Bram akan tergoncang kalau Bram tahu apa yang terjadi.
Seminggu itu Tia tak banyak bicara, dan sering menangis. Bram bingung dibuatnya. Awal-awalnya, Bram berkali-kali berusaha menghibur Tia dengan berbagai cara, dari membelikan baju baru sampai mengajak makan di luar, tapi Tia tetap murung. Tia juga sudah seminggu tidak menanggapi ajakan Bram untuk berhubungan seks. Ada sedikit trauma yang hinggap dalam benak Tia, tiap kali Bram mendekatinya dan berusaha berintim-intim, misalnya dengan merangkul dan mencium, Tia selalu teringat kembali akan kasar dan brutalnya Gde serta anak buahnya. Jadilah dia selalu menolak dengan halus.
“Gue.. keluarr!” Orang yang sedang meny0d0mi Tia menambah jumlah cairan asing di dalam tubuh Tia, mengisi saluran pembuangan Tia dengan benihnya.
Kawannya yang sedang menyetubuhi liang sanggama Tia mendapat giliran klimaks berikutnya, ikut menambah isi rahim Tia. Keduanya langsung menyingkir dari tubuh Tia. Tinggal satu orang yang sedang menikmati mulut Tia, dia segera pindah ke vagina Tia, dan menyetubuhi Tia dengan posisi gunting. Karena sudah cukup lama menyodoki mulut Tia, dia tidak begitu lama menggenjot Tia, dan bertambahlah isi rahim Tia dengan benih satu lagi laki-laki yang tak dia kenal.
Kini Tia tertelungkup dengan kedua paha mengangkang, cairan berleleran dari kedua lubangnya. Gde memutuskan untuk menyicip lubang yang tadi belum sempat dicobanya. Si komandan aparat meninggalkan Citra yang sedang disusupi organ tubuh laki-laki dari depan dan belakang, lalu kembali menindih Tia dan menusukkan penisnya ke lubang pantat Tia. Penis Gde lebih besar daripada yang barusan memasuki an*s Tia, Tia membelalak dan ternganga ketika saluran pembuangannya mendapat desakan benda besar tumpul yang masuk dari arah yang tidak seharusnya.
Sementara itu, seorang lagi aparat yang tadi dioral Tia rupanya keburu ingin muncrat lagi setelah menonton pesta gila yang begitu panas antara sembilan laki-laki melawan dua perempuan, dan mengocok kemaluannya sendiri untuk mengeluarkan lendir nafsunya, kali ini menodai rambut Tia.
“Uahh! Gila sempit banget pantat lu! Ungh! Enak banget tau! Enak banget ngentot pantat lu!” ceracau Gde selagi menggenjot lubang dubur Tia.
Sampai habis suara Tia karena berkali-kali menjerit selagi an*snya diterobos gempuran demi gempuran dahsyat dari si komandan aparat. Namun sekali lagi, entah kenapa, ia kembali dilanda gelombang kenikmatan. Emosi Tia yang campur aduk tak mampu menjelaskan mengapa dia tetap saja merasakan kenikmatan badani menjalar ke sekujur tubuhnya, padahal dia seharusnya tak menyukai apa yang sedang diperbuat terhadapnya.
Sekali lagi Gde meninggalkan bukti pelanggarannya di dalam tubuh Tia. Namun malam itu sungguh terasa sangat panjang. Tia dan Citra terus terpaksa meladeni lelaki demi lelaki..
*****
Mince, si banci, yang tadi ketiduran di sebelah Tia, sudah bangun lagi dan menyadari dua perempuan yang tadi sama-sama diciduk tidak ada di tempat. Dia sendirian di ruangan depan kantor aparat itu. Bukan sendirian, berdua dengan seorang aparat muda yang dapat tugas berjaga di depan. Mince mendekati si penjaga.
“Eh bo’,” seru Mince. “Cewek yang berdua tadi itu ke mana?”
“Di dalam,” kata si penjaga muda itu, agak ngeri melihat Mince yang lebih jangkung daripada dirinya.
“Ya ampun, bo’, di dalam?” ujar Mince dengan sikap pura-pura terperanjat. “Aduh kasian banget deh mereka, pasti dipaksa suruh kasih gratisan. Yei gak kebagian, bo’? Kasiaan deh lu.”
Si penjaga diam saja. Dia tambah ngeri ketika Mince malah mendekatinya lalu bersikap sok akrab dengan merangkulnya.
“Eike kasian ama yei, bo’. Ama Mince aja yuk? Jilatan Mince asoy loh..” kata Mince sambil menjilat kuping si aparat, sementara tangannya gentayangan ke tempat-tempat yang tidak seharusnya.
Si aparat muda itu langsung ngibrit menyelamatkan diri, dia sudah tak peduli lagi dengan tugasnya.. daripada keperjakaannya direnggut banci..
*****
Jam 11 malam.
Gde dan anak buahnya sudah berpakaian lagi. Mereka capek sekali, tapi senang. Di tengah ruangan, dua perempuan tergeletak lemah. Citra terlentang, pingsan kelelahan. Tia meringkuk, masih sadar, tapi sudah tak berdaya. Lubang dubur Tia masih sedikit menganga, seolah tak mau kembali tertutup seperti semula. Sedikit cairan putih masih mengalir dari sana. Rias wajahnya sudah acak-acakan, ternoda mani yang mulai mengering.
“Eh, bantuin mereka pake baju lagi sana,” perintah Gde.
Untungnya tidak ada pakaian keduanya yang rusak atau robek. Selanjutnya Gde menyuruh anak buahnya memapah kedua perempuan itu keluar. Gde memeriksa barang-barang Citra dan Tia, lalu mencari alamat Tia. Dia sudah tahu di mana salon Citra, dan dia baru mengetahui bahwa rumah Tia tepat di sebelah salon Citra.
Gde dan anak buahnya keluar dari bangunan kantor menuju garasi di samping. Si komandan mendekati satu mobil berwarna abu-abu mobil pribadinya, membuka kunci, dan membuka pintu. Dia menyuruh anak buahnya memasukkan Citra dan Tia di kursi belakang. Kemudian dia menyuruh yang lain kembali ke kantor kecuali Julfan. Gde menyalakan mobilnya. Julfan duduk di sebelah. Di kursi belakang ada dua orang perempuan, satu tergolek tak sadar, satu lagi duduk tegak dengan mata terbuka tapi dalam keadaan syok.
Sepanjang perjalanan dari kantor aparat, Tia hanya bisa terpaku. Dia merasa tersakiti dan ternodai. Dia pun merasa bersalah kepada dirinya sendiri, kepada Bram, kepada Citra. Andai saja tadi dia tidak menuruti keinginannya sendiri untuk berpenampilan lebih seksi.. Andai tadi dia bisa lebih tenang menghadapi para aparat yang salah paham menganggap dia pelacur jalanan.. Andai dia tidak sampai berkata rela menyerahkan kehormatannya kepada man*sia-man*sia bejat tadi demi menyelamatkan Citra..
Tapi, bukankah dirimu memang seperti itu Tia? Sudah, akui saja Tia. Kamu memang pelacur. Kamu sengaja berdandan seksi demi menggoda laki-laki. Kamu bersedia tidur dengan siapa saja.
“Bukan.. bukan.. aku bukan seperti itu.. aku Tia, istri Mas Bram.. bukan perempuan seperti itu..” bisik Tia, tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
Hahaha. Kenapa nyangkal Tia sayang? Kamu senang kan waktu mata semua laki-laki tertuju kepadamu? Kamu menikmati dihimpit tubuh si komandan itu kan? Kamu orgasme waktu disetubuhi tiga orang sekaligus kan tadi?
“Bukan.. tidak..”
Kamu wanita murahan Tia! Kamu pelacur! Akui saja dan terima!
Tia ingin menangis, tapi air matanya tak mau keluar. Siapa sebenarnya yang berbicara dalam kepalanya? Apakah itu dirinya sendiri? Siapa sebenarnya dirinya? Apakah dia memang seperti itu?
“Udah sampe, nih,” kata-kata Gde menghentikan lamunannya.
Mobil Gde sudah berhenti di depan rumah Tia. Julfan dan Gde membantu Tia memapah Citra ke dalam rumah. Bram belum pulang. Sebelum pergi, Gde mengatakan sesuatu kepada Tia.
“Kalau saya jadi kamu, saya gak akan bilang siapa-siapa soal kejadian malam ini. Kalau ada ribut-ribut, kamu sendiri yang rugi.. saya nggak tau apa jadinya ya kalau nama kamu malah jadi masuk koran di halaman kriminalitas. Apalagi kalau bisnis kakak iparmu kebawa-bawa.”
Si komandan aparat itu lantas pergi sambil tersenyum lebar, bersama Julfan.
*****
Citra tertidur seperti orang mati di sofa ruang tamu rumah Tia. Tia duduk lemas, terus merenung. Tia sudah berusaha menenangkan diri dengan mencuci muka, mandi, membersihkan diri, dan mengenakan pakaian tidur yang nyaman, tapi hatinya tetap gundah. Jam 1 malam, terdengar suara pintu garasi dibuka, lalu mobil masuk garasi. Tia tak beranjak dari kursinya. Beberapa menit kemudian pintu rumah terbuka, dan masuklah Bram.
“Yang, aku pulang, maaf kemalaman..”
“MAS BRAM..!!”
Tia langsung menubruk Bram, memeluknya, dan menangis sejadi-jadinya di dada Bram. Segala perasaannya baru bisa tumpah di sana.. tapi dia tak mampu menjelaskan apa yang terjadi.
“Eh, ada apa nih.. Sayang, ada apa.. kenapa kamu nangis?”
Tia memandangi wajah suaminya dengan mata basah. Dia hendak membuka mulut untuk bercerita, tapi semua peristiwa yang baru dia alami berkelebat di dalam benaknya, membuat dia ngeri dan malu sehingga dia pun tak mampu mengungkapkannya kepada Bram. Saat itu Bram tak menyadarinya.. tapi kehidupan Tia sesudahnya tak akan sama lagi.
==X=X=X==
== Pengakuan Tia ==
Menjelang malam di rumah Tia.
Tia duduk sendirian di sofa, merangkul kedua lututnya sendiri sambil menundukkan kepala. Sudah hampir seminggu berlalu sejak insiden salah tangkap terhadap dirinya dan Citra yang menyebabkan mereka berdua terpaksa melayani sekelompok aparat.
Tapi apa benar terpaksa? Itulah yang membuat Tia sudah tersiksa secara batin selama seminggu.
Tia tak tega menceritakan kepada Bram apa yang terjadi di kantor aparat bersama Gde dan anak buahnya. Bukan cuma karena Gde mengancam akan membeberkan kejadian salah tangkap itu kalau Tia cerita ke siapa-siapa. Tapi lebih karena rasa bersalah Tia sendiri. Ia ingat bahwa malam itu, dia dengan sengaja dan sadar menyanggupi permintaan Gde untuk melayaninya layaknya suami-istri.
Memang, saat itu dia tak pikir panjang karena ingin menyelamatkan Citra, tapi setelah semuanya selesai, barulah Tia menyadari bahwa yang diperbuatnya tetap tak pantas. Dia adalah istri Bram.. hanya Bram yang berhak menikmati tubuhnya. Dia menyadari bahwa ada yang berubah dalam dirinya, dan beberapa minggu lalu dia khilaf ketika dalam suatu hari dia bermain api dengan si tukang sayur, Pak Kumis, dan dua pengamen, Janu dan Fi.
Tia sudah bertekad akan menjaga kehormatannya sebagai istri, namun ternyata dia tak mampu menahan godaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, mulai dari dorongan untuk menggoda para karyawan di kantor, berpenampilan seksi ketika di mall, bahkan ketika seharusnya dia bisa menjaga kehormatan waktu dipaksa Gde. Ya, Tia sedang merasa lemah dan bersalah kepada Bram. Tia juga takut rumahtangganya dengan Bram akan tergoncang kalau Bram tahu apa yang terjadi.
Seminggu itu Tia tak banyak bicara, dan sering menangis. Bram bingung dibuatnya. Awal-awalnya, Bram berkali-kali berusaha menghibur Tia dengan berbagai cara, dari membelikan baju baru sampai mengajak makan di luar, tapi Tia tetap murung. Tia juga sudah seminggu tidak menanggapi ajakan Bram untuk berhubungan seks. Ada sedikit trauma yang hinggap dalam benak Tia, tiap kali Bram mendekatinya dan berusaha berintim-intim, misalnya dengan merangkul dan mencium, Tia selalu teringat kembali akan kasar dan brutalnya Gde serta anak buahnya. Jadilah dia selalu menolak dengan halus.
Bram bisa merasakan istrinya sedang bermasalah, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa ketika Tia tidak merespon semua usahanya.
Telepon berdering. Tia menjawabnya.
“Halo..”
“Halo sayang,” rupanya Bram. Terdengar berisik melatarbelakangi suara Bram.
“Aku mesti pulang malam lagi hari ini,” kata Bram.
“Ya udah, aku tiduran di ruang tamu saja Mas, nunggu Mas Bram datang,” kata Tia dengan nada datar.
Percakapan itu berakhir tanpa emosi. Bram mengucapkan rasa sayang dan dijawab oleh Tia, seolah berbasa-basi. Di ujung lain jalur percakapan itu, Bram menutup hubungan telepon dan kembali ke apa yang sedang dilakukannya.
Lagi-lagi dia berada di satu klub malam, bersama Mang Enjup, dua orang lagi anggota DPRD yang sedang mereka lobi untuk menggolkan proyek, berikut beberapa wanita penghibur berpakaian seksi yang merubung keempat laki-laki itu, berharap ikut kecipratan sedikit dari deal proyek yang pastinya bernilai sangat besar.
“Aya naon, Bram?” tanya Mang Enjup sambil merangkul salah satu pramuria.
“Tia, Mang..” keluh Bram. “Kayaknya dia ada masalah, tapi nggak mau cerita, udah seminggu dia nggak mau ngomong banyak.”
Mang Enjup tertarik mendengar nama Tia disebut. Sudah agak lama sejak terakhir kali dia bertemu Tia. Dan Mang Enjup belum lupa dengan niat busuknya terhadap Tia. Tentu saja, Mang Enjup tidak akan menunjukkan itu semua di depan Bram. Laki-laki tua cabul itu sudah sangat berpengalaman. Jadi dia hanya memberi saran.
“Bram,” kata Mang Enjup, “Gimana kalo si Tia disuruh ke psikolog aja? Siapa tau kalau ke orang yang ahli, Tia mau cerita. Sukur-sukur masalahnya bisa dibantu.” Mang Enjup merogoh kantongnya, membuka dompet, mencari-cari sesuatu di dalamnya, lalu akhirnya mengambil satu kartu nama putih dengan tulisan warna merah dan biru.
“Ini ada kenalan Mang. Psikolog ahli biarpun masih muda. Coba ajah kamu ajak Tia ketemu dia,” kata Mang Enjup.
Bram melihat nama yang tertulis di kartu itu. Dr. Lorencia Partomo, M.Psi. Spesialis Trauma Psikologis.
Mungkin bisa dicoba, pikir Bram. Dikantonginya kartu nama Dr. Lorencia.
*****
“Sayang.. kamu mau dengar saranku nggak?” kata Bram pada pagi berikutnya, ketika sedang sarapan bersama Tia.
“Saran apa, Mas?” ujar Tia.
“Aku tahu ada yang ngganggu pikiran kamu.. tapi kamu sepertinya nggak bisa cerita ke aku, atau Citra, atau keluarga kita. Iya kan?” Bram melanjutkan. “Sebenarnya aku pengen banget bisa bantu kamu langsung, apalagi aku kan suamimu, harusnya kita bisa beresin semua masalah kita sama-sama, yang.”
Tia meringis mendengar kata-kata ‘aku kan suamimu’, yang dirasa menohok, karena sangat berkaitan dengan dilema hatinya. Dia diam saja.
“Kalau kamu nggak bisa bicara dengan aku.. Bagaimana kalau dengan yang profesional aja? Aku dikasih info tentang psikolog. Siapa tahu dia bisa bantu kamu.” Bram menunjukkan kartu nama Dr. Lorencia.
Tia memperhatikan kartu nama itu. Spesialis Trauma Psikologis. Dan perempuan. Orang ini profesional, jadi pasti akan menjaga rahasia. Dan dia juga tidak ada kepentingan, jadi semestinya Tia tak usah takut konsekuensi macam-macam, ketimbang kalau dia cerita ke suaminya sendiri. Mungkin bisa dicoba. Bram tahu-tahu sudah berada di samping Tia, merangkul dan membelai rambut Tia, lalu mengecup lembut pipi istrinya. Tia merinding, masih belum bisa menghilangkan trauma-nya.
“Kamu mau, kan?” bisik Bram mesra. “Aku pengen lihat kamu senyum lagi seperti biasa, nggak murung terus seperti ini. Kalau kamu mau, sekarang juga kita ke tempat dia. Dia praktek pagi. Aku bisa antar kamu ketemu dia sambil berangkat ke kantor.”
“Mas..” kata Tia sambil menoleh. Jawaban Tia disampaikan berupa anggukan kepala.
*****
Pagi itu, ketika berangkat bersama Bram, Tia belum bisa tersenyum lepas. Tapi siapa tahu orang yang akan ditemuinya bisa membantu. Tempat praktik Dr. Lorencia Partomo terletak di satu rumah mewah, agaknya rumah pribadi sang psikolog spesialis. Bram dan Tia masuk dan disambut asisten Dr. Lorencia.
“Sudah ada janji?” tanya si asisten.
“Ya, kemarin malam saya sudah buat janji jam 9,” kata Bram. “Atas nama Tia.”
“Oke. Sebentar ya Pak,” kata si asisten, yang lantas menggunakan interkom. “Bu Loren, yang perjanjian jam 9 sudah datang.”
“Suruh langsung masuk saja,” jawab suara di interkom.
Bram menengok ke Tia. “Kamu nggak apa-apa kan sendirian, yang?” tanyanya.
“Nggak apa-apa, Mas..” kata Tia pelan. “Nanti kutelepon kalau sudah selesai.”
“Oke, aku berangkat dulu ya,” kata Bram yang kemudian mengecup kening istrinya. wajah Tia tetap tanpa ekspresi.
Bram kemudian meninggalkan Tia dan berangkat ke kantor.
Si asisten mengarahkan Tia menuju ke satu pintu besar, dan membukakan pintu itu. Tia masuk sendirian ke ruangan di belakangnya. Ruang praktik Dr. Lorencia terbilang besar dan mewah, dengan meja jati ukir yang terlihat mahal di tengah-tengah, beberapa kursi antik, dan satu sofa besar. Dindingnya tertutup kertas dinding berwarna kuning muda, dihias beberapa lukisan, antara lain satu lukisan pemandangan dan satu lukisan perempuan Bali yang bertelanjang dada. Terlihat juga beberapa pot tanaman dan rak buku. Lantai marmernya sebagian tertutup permadani empuk.
Tia juga mencium semacam wewangian di dalam ruangan itu, baunya tidak biasa, tapi menenangkan. Di samping ruangan itu ada satu pintu tertutup. Di balik meja jati, di kursi putar yang besar dan nyaman, duduklah Dr. Lorencia Partomo. Dr. Lorencia memandangi perempuan yang baru masuk ke kantornya. Tia yang bertubuh sintal, tidak terlalu pendek maupun tinggi, berumur dua puluhan pertengahan, dengan rambut panjang yang digerai dan wajah cantik dipoles make-up tipis (sejak shock, Tia tidak lagi berdandan tebal seperti sebelumnya). Wajah Tia terlihat tak santai, bibirnya tak sekalipun tersenyum.
Tia memandangi Dr. Lorencia dan tidak bisa tidak mengagumi sang spesialis. Dr. Lorencia adalah perempuan yang sangat cantik, mengenakan kacamata berbingkai warna emas, kira-kira beberapa tahun lebih tua daripada Tia, mungkin seumuran Citra. Rambut tebal Dr. Lorencia yang diwarnai pirang gelap seperti madu dikepang dan dijadikan sanggul besar di belakang kepala. Wajahnya berkesan tegas dan kuat, sedangkan tubuhnya yang agak montok namun tetap seksi itu terbungkus blazer, kemeja, dan celana panjang putih yang membuatnya kelihatan profesional—tapi Tia bisa melihat kemeja yang dikenakan Dr. Lorencia terbuka sedikit di bagian dada, dan dalaman hitam berenda yang dipakai di bawah kemeja itu terlihat menyelip, memberikan kesan seksi yang misterius. Tia bergerak ke arah kursi di depan meja Dr. Lorencia.
Dr. Lorencia berdiri dan menjabat tangan Tia sambil memperkenalkan diri.
“Ibu Tia, kan? Atau boleh kupanggil Tia saja? Panggil saja aku Loren,” katanya.
“Nggak apa-apa nih?” tanya Tia malu-malu. “Apa nggak sebaiknya Bu Loren atau Mbak Loren..”
“Jangan, jangan. Loren aja. Biar kita bisa lebih akrab,” kata Dr. Lorencia alias Loren, dengan ramah.
Tia merasakan tatapan mata Loren yang amat tajam dan kata-katanya yang berirama. Sekilas Tia terpikir tentang seseorang, tapi dia tidak bisa mengingat siapa yang tingkahlakunya mirip dengan Loren.
“Silakan duduk,” kata Loren. “Jadi..”
Tia diam saja, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.
“Masih bingung kenapa ketemu saya?” ujar Loren. “Nggak apa-apa. Suamimu sudah cerita sedikit tentang keadaan kamu. Dia rasa kamu ada masalah yang nggak bisa kamu ceritakan ke dia, betul kan?”
“Nggg..” Tia ragu-ragu untuk menjawab. Dia belum tahu apa yang diceritakan Bram ke si psikolog.
“Nggak usah ragu-ragu. Aku juga sebenarnya belum tahu kok apa masalahnya. Tapi kalau Tia mau cerita, mungkin bisa kubantu bereskan masalah itu. Dan apapun yang diceritakan di ruang ini, nggak akan keluar. Kode etik. Rahasia pasien harus dijaga, Gimana?” Loren menjelaskan.
Tia terus menatap wajah Loren yang cantik dan terlihat menenangkan itu. Pelan-pelan, Tia mulai merasa bisa percaya dengan si psikolog. Loren berdiri dari kursinya dan berjalan ke samping Tia. Si psikolog lalu menepuk bahu Tia.
“Tia, kita pindah tempat ya? Coba kamu tiduran di sofa itu. Kalau kamu santai, kamu bisa cerita dengan lebih enak,” bisik Loren.
Ketika bahunya ditepuk, Tia merasa pikirannya kosong. Mirip ketika waktu itu..
“Ya..” Tia mengiyakan saran Loren, lalu berdiri dan menuju sofa besar di sebelah meja Loren. Loren berjalan di sampingnya. Di sebelah sofa itu ada kursi. Loren duduk di kursi itu sementara Tia berbaring di sofa.
“Oke..” kata Loren. “Sekarang kamu kosongkan pikiran. Posisimu sudah enak belum? Kalau belum, cari posisi yang enak. Anggap aja sedang tiduran di ranjang sendiri. Santai saja. Santai.. Jangan mikir apa-apa dulu. Apapun masalah Tia, lupakan saja dulu. Nikmati aja dulu posisi seperti ini, tenang, hening, damai..”
Tia mulai nyaman mendengarkan sugesti dari Loren. Dia bisa melemaskan otot-otot bahu dan punggungnya, mengendorkan ketegangan pikirannya, hanya dengan berbaring di sofa besar itu dan mendengarkan kata-kata Loren. Si psikolog duduk di sampingnya, dengan posisi menghadap dirinya. Tangan Loren menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.
Suasana damai, sofa empuk, gerakan teratur yang dipandu Loren, suara Loren yang lembut, serta wangi ruangan yang tak biasa tapi menyenangkan itu semuanya membuat Tia merasa aman. Dan mengantuk.
“Bagaimana, Tia? Sudah merasa santai? Nyaman? Rileks? Sekarang..”
Mendadak Loren menarik tangan Tia dengan gerakan menyentak.
“Tidur!”
Sontak mata Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Tia tertidur atas perintah Loren, tapi sebenarnya itu bukan tidur. Loren terus menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.
“Tia, Tia.. bisa dengar kata-kataku? Kalau bisa dengar, tolong buka mata.”
Mata Tia terbuka kembali. Tatapannya kosong.
“Bagus. Sekarang dengar semua kata-kataku. Kalau ngerti, tolong kedipkan mata.”
Tia berkedip. Loren tersenyum. Tia sudah berada dalam keadaan hipnotik.
“Tia. Mulai sekarang, kalau kamu bicara denganku, kamu tidak akan ragu-ragu bercerita. Kamu ngerti? Kalau ngerti tolong bilang ‘Ya’,” kata Loren.
“Ya,” jawab Tia.
“Bagus. Kamu akan jawab semua yang kutanya tanpa kecuali, biarpun kamu selama ini malu untuk menceritakannya. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya,” Loren meneruskan sugesti.
Telepon berdering. Tia menjawabnya.
“Halo..”
“Halo sayang,” rupanya Bram. Terdengar berisik melatarbelakangi suara Bram.
“Aku mesti pulang malam lagi hari ini,” kata Bram.
“Ya udah, aku tiduran di ruang tamu saja Mas, nunggu Mas Bram datang,” kata Tia dengan nada datar.
Percakapan itu berakhir tanpa emosi. Bram mengucapkan rasa sayang dan dijawab oleh Tia, seolah berbasa-basi. Di ujung lain jalur percakapan itu, Bram menutup hubungan telepon dan kembali ke apa yang sedang dilakukannya.
Lagi-lagi dia berada di satu klub malam, bersama Mang Enjup, dua orang lagi anggota DPRD yang sedang mereka lobi untuk menggolkan proyek, berikut beberapa wanita penghibur berpakaian seksi yang merubung keempat laki-laki itu, berharap ikut kecipratan sedikit dari deal proyek yang pastinya bernilai sangat besar.
“Aya naon, Bram?” tanya Mang Enjup sambil merangkul salah satu pramuria.
“Tia, Mang..” keluh Bram. “Kayaknya dia ada masalah, tapi nggak mau cerita, udah seminggu dia nggak mau ngomong banyak.”
Mang Enjup tertarik mendengar nama Tia disebut. Sudah agak lama sejak terakhir kali dia bertemu Tia. Dan Mang Enjup belum lupa dengan niat busuknya terhadap Tia. Tentu saja, Mang Enjup tidak akan menunjukkan itu semua di depan Bram. Laki-laki tua cabul itu sudah sangat berpengalaman. Jadi dia hanya memberi saran.
“Bram,” kata Mang Enjup, “Gimana kalo si Tia disuruh ke psikolog aja? Siapa tau kalau ke orang yang ahli, Tia mau cerita. Sukur-sukur masalahnya bisa dibantu.” Mang Enjup merogoh kantongnya, membuka dompet, mencari-cari sesuatu di dalamnya, lalu akhirnya mengambil satu kartu nama putih dengan tulisan warna merah dan biru.
“Ini ada kenalan Mang. Psikolog ahli biarpun masih muda. Coba ajah kamu ajak Tia ketemu dia,” kata Mang Enjup.
Bram melihat nama yang tertulis di kartu itu. Dr. Lorencia Partomo, M.Psi. Spesialis Trauma Psikologis.
Mungkin bisa dicoba, pikir Bram. Dikantonginya kartu nama Dr. Lorencia.
*****
“Sayang.. kamu mau dengar saranku nggak?” kata Bram pada pagi berikutnya, ketika sedang sarapan bersama Tia.
“Saran apa, Mas?” ujar Tia.
“Aku tahu ada yang ngganggu pikiran kamu.. tapi kamu sepertinya nggak bisa cerita ke aku, atau Citra, atau keluarga kita. Iya kan?” Bram melanjutkan. “Sebenarnya aku pengen banget bisa bantu kamu langsung, apalagi aku kan suamimu, harusnya kita bisa beresin semua masalah kita sama-sama, yang.”
Tia meringis mendengar kata-kata ‘aku kan suamimu’, yang dirasa menohok, karena sangat berkaitan dengan dilema hatinya. Dia diam saja.
“Kalau kamu nggak bisa bicara dengan aku.. Bagaimana kalau dengan yang profesional aja? Aku dikasih info tentang psikolog. Siapa tahu dia bisa bantu kamu.” Bram menunjukkan kartu nama Dr. Lorencia.
Tia memperhatikan kartu nama itu. Spesialis Trauma Psikologis. Dan perempuan. Orang ini profesional, jadi pasti akan menjaga rahasia. Dan dia juga tidak ada kepentingan, jadi semestinya Tia tak usah takut konsekuensi macam-macam, ketimbang kalau dia cerita ke suaminya sendiri. Mungkin bisa dicoba. Bram tahu-tahu sudah berada di samping Tia, merangkul dan membelai rambut Tia, lalu mengecup lembut pipi istrinya. Tia merinding, masih belum bisa menghilangkan trauma-nya.
“Kamu mau, kan?” bisik Bram mesra. “Aku pengen lihat kamu senyum lagi seperti biasa, nggak murung terus seperti ini. Kalau kamu mau, sekarang juga kita ke tempat dia. Dia praktek pagi. Aku bisa antar kamu ketemu dia sambil berangkat ke kantor.”
“Mas..” kata Tia sambil menoleh. Jawaban Tia disampaikan berupa anggukan kepala.
*****
Pagi itu, ketika berangkat bersama Bram, Tia belum bisa tersenyum lepas. Tapi siapa tahu orang yang akan ditemuinya bisa membantu. Tempat praktik Dr. Lorencia Partomo terletak di satu rumah mewah, agaknya rumah pribadi sang psikolog spesialis. Bram dan Tia masuk dan disambut asisten Dr. Lorencia.
“Sudah ada janji?” tanya si asisten.
“Ya, kemarin malam saya sudah buat janji jam 9,” kata Bram. “Atas nama Tia.”
“Oke. Sebentar ya Pak,” kata si asisten, yang lantas menggunakan interkom. “Bu Loren, yang perjanjian jam 9 sudah datang.”
“Suruh langsung masuk saja,” jawab suara di interkom.
Bram menengok ke Tia. “Kamu nggak apa-apa kan sendirian, yang?” tanyanya.
“Nggak apa-apa, Mas..” kata Tia pelan. “Nanti kutelepon kalau sudah selesai.”
“Oke, aku berangkat dulu ya,” kata Bram yang kemudian mengecup kening istrinya. wajah Tia tetap tanpa ekspresi.
Bram kemudian meninggalkan Tia dan berangkat ke kantor.
Si asisten mengarahkan Tia menuju ke satu pintu besar, dan membukakan pintu itu. Tia masuk sendirian ke ruangan di belakangnya. Ruang praktik Dr. Lorencia terbilang besar dan mewah, dengan meja jati ukir yang terlihat mahal di tengah-tengah, beberapa kursi antik, dan satu sofa besar. Dindingnya tertutup kertas dinding berwarna kuning muda, dihias beberapa lukisan, antara lain satu lukisan pemandangan dan satu lukisan perempuan Bali yang bertelanjang dada. Terlihat juga beberapa pot tanaman dan rak buku. Lantai marmernya sebagian tertutup permadani empuk.
Tia juga mencium semacam wewangian di dalam ruangan itu, baunya tidak biasa, tapi menenangkan. Di samping ruangan itu ada satu pintu tertutup. Di balik meja jati, di kursi putar yang besar dan nyaman, duduklah Dr. Lorencia Partomo. Dr. Lorencia memandangi perempuan yang baru masuk ke kantornya. Tia yang bertubuh sintal, tidak terlalu pendek maupun tinggi, berumur dua puluhan pertengahan, dengan rambut panjang yang digerai dan wajah cantik dipoles make-up tipis (sejak shock, Tia tidak lagi berdandan tebal seperti sebelumnya). Wajah Tia terlihat tak santai, bibirnya tak sekalipun tersenyum.
Tia memandangi Dr. Lorencia dan tidak bisa tidak mengagumi sang spesialis. Dr. Lorencia adalah perempuan yang sangat cantik, mengenakan kacamata berbingkai warna emas, kira-kira beberapa tahun lebih tua daripada Tia, mungkin seumuran Citra. Rambut tebal Dr. Lorencia yang diwarnai pirang gelap seperti madu dikepang dan dijadikan sanggul besar di belakang kepala. Wajahnya berkesan tegas dan kuat, sedangkan tubuhnya yang agak montok namun tetap seksi itu terbungkus blazer, kemeja, dan celana panjang putih yang membuatnya kelihatan profesional—tapi Tia bisa melihat kemeja yang dikenakan Dr. Lorencia terbuka sedikit di bagian dada, dan dalaman hitam berenda yang dipakai di bawah kemeja itu terlihat menyelip, memberikan kesan seksi yang misterius. Tia bergerak ke arah kursi di depan meja Dr. Lorencia.
Dr. Lorencia berdiri dan menjabat tangan Tia sambil memperkenalkan diri.
“Ibu Tia, kan? Atau boleh kupanggil Tia saja? Panggil saja aku Loren,” katanya.
“Nggak apa-apa nih?” tanya Tia malu-malu. “Apa nggak sebaiknya Bu Loren atau Mbak Loren..”
“Jangan, jangan. Loren aja. Biar kita bisa lebih akrab,” kata Dr. Lorencia alias Loren, dengan ramah.
Tia merasakan tatapan mata Loren yang amat tajam dan kata-katanya yang berirama. Sekilas Tia terpikir tentang seseorang, tapi dia tidak bisa mengingat siapa yang tingkahlakunya mirip dengan Loren.
“Silakan duduk,” kata Loren. “Jadi..”
Tia diam saja, tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.
“Masih bingung kenapa ketemu saya?” ujar Loren. “Nggak apa-apa. Suamimu sudah cerita sedikit tentang keadaan kamu. Dia rasa kamu ada masalah yang nggak bisa kamu ceritakan ke dia, betul kan?”
“Nggg..” Tia ragu-ragu untuk menjawab. Dia belum tahu apa yang diceritakan Bram ke si psikolog.
“Nggak usah ragu-ragu. Aku juga sebenarnya belum tahu kok apa masalahnya. Tapi kalau Tia mau cerita, mungkin bisa kubantu bereskan masalah itu. Dan apapun yang diceritakan di ruang ini, nggak akan keluar. Kode etik. Rahasia pasien harus dijaga, Gimana?” Loren menjelaskan.
Tia terus menatap wajah Loren yang cantik dan terlihat menenangkan itu. Pelan-pelan, Tia mulai merasa bisa percaya dengan si psikolog. Loren berdiri dari kursinya dan berjalan ke samping Tia. Si psikolog lalu menepuk bahu Tia.
“Tia, kita pindah tempat ya? Coba kamu tiduran di sofa itu. Kalau kamu santai, kamu bisa cerita dengan lebih enak,” bisik Loren.
Ketika bahunya ditepuk, Tia merasa pikirannya kosong. Mirip ketika waktu itu..
“Ya..” Tia mengiyakan saran Loren, lalu berdiri dan menuju sofa besar di sebelah meja Loren. Loren berjalan di sampingnya. Di sebelah sofa itu ada kursi. Loren duduk di kursi itu sementara Tia berbaring di sofa.
“Oke..” kata Loren. “Sekarang kamu kosongkan pikiran. Posisimu sudah enak belum? Kalau belum, cari posisi yang enak. Anggap aja sedang tiduran di ranjang sendiri. Santai saja. Santai.. Jangan mikir apa-apa dulu. Apapun masalah Tia, lupakan saja dulu. Nikmati aja dulu posisi seperti ini, tenang, hening, damai..”
Tia mulai nyaman mendengarkan sugesti dari Loren. Dia bisa melemaskan otot-otot bahu dan punggungnya, mengendorkan ketegangan pikirannya, hanya dengan berbaring di sofa besar itu dan mendengarkan kata-kata Loren. Si psikolog duduk di sampingnya, dengan posisi menghadap dirinya. Tangan Loren menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.
Suasana damai, sofa empuk, gerakan teratur yang dipandu Loren, suara Loren yang lembut, serta wangi ruangan yang tak biasa tapi menyenangkan itu semuanya membuat Tia merasa aman. Dan mengantuk.
“Bagaimana, Tia? Sudah merasa santai? Nyaman? Rileks? Sekarang..”
Mendadak Loren menarik tangan Tia dengan gerakan menyentak.
“Tidur!”
Sontak mata Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Tia tertidur atas perintah Loren, tapi sebenarnya itu bukan tidur. Loren terus menggenggam dan menggoyang-goyang tangan Tia.
“Tia, Tia.. bisa dengar kata-kataku? Kalau bisa dengar, tolong buka mata.”
Mata Tia terbuka kembali. Tatapannya kosong.
“Bagus. Sekarang dengar semua kata-kataku. Kalau ngerti, tolong kedipkan mata.”
Tia berkedip. Loren tersenyum. Tia sudah berada dalam keadaan hipnotik.
“Tia. Mulai sekarang, kalau kamu bicara denganku, kamu tidak akan ragu-ragu bercerita. Kamu ngerti? Kalau ngerti tolong bilang ‘Ya’,” kata Loren.
“Ya,” jawab Tia.
“Bagus. Kamu akan jawab semua yang kutanya tanpa kecuali, biarpun kamu selama ini malu untuk menceritakannya. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya,” Loren meneruskan sugesti.
Tanpa dapat melawan, kembali Tia menjawab ‘ya’.
“Bagus, Tia. Satu lagi. Semua saran yang akan kamu dengar dariku, akan selalu kamu ingat, bahkan kalau kamu belum setuju. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya.”
Lagi-lagi, “Ya.”
“Terima kasih Tia. Sesi terapi kita sekarang bisa dimulai dengan lancar. Sesudah ini kamu akan tidur sebentar, dan lupa kamu pernah mendengar kata-kata tadi dariku, tapi kamu tidak akan lupa apa-apa yang tadi sudah disampaikan. Begitu aku tepuk tangan sekali, kamu akan tidur lagi, lalu sesudah aku tepuk tangan dua kali, kamu akan bangun lagi seperti biasa.”
Loren bertepuk tangan satu kali. Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Lalu Loren bertepuk tangan dua kali dan Tia terbangun. Ketika terbangun Tia bingung.
“Em.. tadi aku.. ketiduran?” kata Tia.
“Itu tidak penting, anggap biasa saja,” kata Loren, dan berkat pengaruh sugesti barusan, kebingungan Tia langsung hilang. “Nah.. Tia, silakan ceritakan masalahmu.”
Tia sudah merasa nyaman berbaring di kantor Dr. Lorencia. Dia merasa sangat percaya kepada si psikolog yang cantik itu. Dia tak lagi ragu untuk berbicara. Entah kenapa. Mulailah Tia bercerita.
“Aku bingung Ren.. Aku ngerasa sedang berubah,” kata Tia lirih.
“Berubah? Jadi apa?” balas Loren.
“Jadi..” Tia masih sulit mengatakannya. “Jadi..”
“Jangan ragu, Tia.. Kamu bisa cerita apa saja ke aku.. Nggak apa-apa,” kata Loren dengan nada suara sugestif.
“Jadi..”
“Bilang aja Tia, jangan takut..” kata Loren sambil mengusap rambut Tia seolah ibu yang menenangkan anaknya.
“Jadi perempuan nggak bener..” nada bicara Tia berubah berat seolah dia tak rela menyebut dirinya sendiri dengan istilah demikian. “Jadi seperti.. pelacur.”
“Oohh,” Loren menanggapi. Suaranya bernada tertarik. “Kenapa seperti itu, ya? Coba ceritakan Tia.”
“Ungh..” Tia ragu-ragu. Loren kembali membelai rambut Tia dan berkata perlahan, “Jangan ragu-ragu Tia, kamu bisa percaya aku. Ceritakan..”
Sentuhan dan ucapan Loren membuat Tia makin nyaman. Tia akhirnya mulai bercerita.
“Awalnya waktu aku nemu foto-foto.. perempuan lain di HP Mas Bram. Pelacur. Suamiku itu ternyata punya hobi jajan di luar. Tapi..”
“Stop,” Loren menghentikan cerita Tia. “Seperti apa foto-fotonya? Jelaskan.”
“Emm.. mungkin ada 2 atau 3 cewek yang berbeda. Di foto-foto itu mereka berpose.. seksi.”
“Seperti apa?”
“Ada yang seperti mau nyium kamera.. ada yang pamer buah dadanya.. ada yang tiduran sambil pake lingerie..”
“Ceritakan penampilan mereka,” Loren melanjutkan.
“Ya seperti biasanya perempuan nggak bener.. Baju seksi, tank top, rok mini, malah ada yang difoto cuma pakai bra dan celana dalam.. Ada yang rambutnya dicat pirang.. Semuanya pake make-up tebal, bedak tebal, lipstik merah, blush on..”
“Oke. Sekarang teruskan cerita kamu. Sesudah kamu lihat foto-foto itu, gimana?”
“Aku ngadu ke Kak Citra,” kemudian Tia menceritakan siapa itu Citra. “Kata Kak Citra, Bram emang suka jajan dari dulu. Terus.. Kak Citra ngasih saran.. katanya aku suruh tiru saja penampilan mereka supaya Bram nggak usah lagi nyari ke luar.”
Sementara Tia bercerita, Loren terus memandanginya sambil membelai rambutnya dan sesekali mengeluarkan komentar pendek seperti “Hmm” atau “Terus?”
“Jadi aku coba sarannya Kak Citra. Dia dandani aku supaya jadi.. seperti mereka. Terus kutemui Mas Bram..” Tia berhenti.
“Terus?” Loren mendorong Tia untuk melanjutkan. “Ayo dong cerita.”
Sepintas Tia tersenyum kecil, mukanya memerah. Tapi kemudian mukanya kembali ke ekspresi kosong semula.
“Yang jelas malam itu sih kami.. bercinta.. nggak seperti biasanya, emmm rasanya lebih.. hebat aja dari sebelumnya,” bisik Tia lirih. “Tapi Mas Bram juga waktu itu seperti berubah.. kelihatan sekali dia lebih nafsu.”
“Oke..” kata Loren, “Jadi awalnya begitu. Terus?”
“Mas Bram minta aku terus seperti itu.. jadi kucoba saja terus. Awalnya risi dan nggak biasa, mesti dandan terus dan bergenit-genit, dari dulu aku nggak pernah begitu. Tapi..” Tia mencoba mengingat sesuatu, tapi yang ingin diingatnya tak kunjung muncul. “Ada satu malam, waktu itu aku dandan seksi untuk Mas Bram, dan dia pulang diantar teman-teman kantornya karena mabuk.. nggak ingat apa yang terjadi sesudah itu, tapi rasanya dia semangat sekali bercinta malam itu biarpun mabuk. Nah..”
“Ayo teruskan.”
“Rasanya sesudah malam itu aku berubah.. aku jadi lebih terbiasa tampil seksi, nggak lagi malu-malu.. Tapi..”
“Ada apa?”
“Kadang aku seperti lepas kendali,” suara Tia kembali melemah setelah sebelumnya naik karena bersemangat. “Aku.. aku nggak tahu harus cerita atau nggak.. aku..”
“Ayo ceritakan Tia.. Kalau kamu nggak cerita, masalahmu nggak akan selesai..” bujuk Loren.
“Pernah dalam satu hari aku nggoda beberapa orang sekaligus.. dan mereka orang asing.. bukan Mas Bram. Tukang sayur langganan. Pengamen yang datang ke rumah.”
“Waah..” Loren berkomentar. “Apa yang kamu lakukan ke mereka?”
“Umh..” Tia ragu, mukanya memerah. “Aku.. kalau ke Pak Kumis itu nggak sengaja.. waktu itu aku beli terong dari dia, terus..”
“Terus?”
“Umm.. aku main-main dengan terong itu.. Nggak tahunya Pak Kumis masuk rumah mergoki aku.. tapi aku malah jadi.. jadi..”
“Kamu apain dia Tia?”
“..kusepong dia..”
“Hmm..” Loren berkomentar tanpa kaget, tapi tetap terdengar tertarik. “Terus dengan pengamen tadi? Gimana tuh?”
“Pengamennya berdua, masih ABG.. salah satunya aku kenal. Jadi kuajak masuk dan kukasih makan.. tapi satunya usil, dia nyolek bokongku..”
“Terus? Kamu marah nggak?”
“Ungh.. anehnya.. enggak. Akhirnya malah kuladenin mereka berdua.. yang satu kuisep.. yang satu lagi kubiarkan gesek-gesek kemaluannya ke pantatku sampai dia keluar..”
“Oke.. Tapi kamu nggak sampai berhubungan seks dengan mereka kan?”
“Iya.. syukurnya..” kata Tia.
“Kenapa syukurnya?” tanya Loren.
“Soalnya waktu itu aku seperti ingat.. aku istrinya Mas Bram. Aku cuma boleh setubuh sama Mas Bram..”
“Oh gitu. Ceritamu masih lanjut kan Tia?”
“..masih.”
“Tolong lanjutkan.”
“Sesudahnya.. suatu hari aku ke kantor bareng Mas Bram. Aku sengaja dandan dan pakai baju biasa. Tapi.. aku tetap dilihat orang. Semua orang nengok kalau aku lewat.”
“Gimana perasaan kamu Tia, waktu diperhatikan orang kantor?”
“..kok.. aku seperti senang, ya?”
“Wajar Tia,” kata Loren. “Kamu cantik.”
“Aku.. cantik?” Pujian Loren membuat Tia tersipu. Memang seperti biasanya perempuan, Tia senang dipuji, apalagi mengenai kecantikannya.
“Iya..” Loren kembali membelai rambut Tia, dan kini malah terus membelai pipi Tia. “Kamu cantik.. makanya semua orang suka melihat kamu. Semua orang itu. Orang kantor. Pengamen. Tukang sayur. ..Aku juga Tia..”
Tia berdebar-debar ketika Loren berkata seperti itu.
“Aku pengen cium kamu Tia,” pinta Loren.
Tanpa menunggu jawaban, Loren langsung mencium pipi Tia, tepat di ujung bibir Tia.
Tia merasa geli seperti kesemutan, dan perasaan itu makin menjadi ketika Loren melanjutkan melumat bibir Tia, memainkan lidahnya dalam mulut Tia. Untuk pertama kalinya Tia merasakan ciuman mesra dengan sesama perempuan, mulut bertemu mulut. Loren melepas bibir Tia, kemudian kembali bicara.
“Kamu senang kan dikagumi orang Tia?” kata Loren.
“..Iya..” jawab Tia.
Loren tersenyum, sugestinya masuk sendiri tanpa dilawan. Dilihatnya mata Tia setengah terpejam, membayangkan nikmatnya ciuman barusan.
“Terusin ceritamu,” kata Loren.
“Sesudah dari kantor aku ketemu Kak Citra di mall.. Kak Citra cantik banget.. dia juga dilihatin semua orang.. Malah lebih hebat lagi, orang sampai meleng karena gak bisa lepas matanya dari Kak Citra. Aku.. iri.”
“Hmm.. Iri? Iri karena Kak Citra lebih cantik?”
“Iri karena Kak Citra lebih menarik perhatian.. tapi sesudah itu aku di-makeover, terus ganti baju juga..”
“Terus gimana? Kamu masih iri?”
“Terus.. kami.. Kami..” Tia seperti susah menceritakan lanjutannya. Jelas itu karena yang terjadi adalah dia dan Citra diciduk aparat, lalu digilir. Bukan sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah, bahkan di bawah pengaruh hipnotis Loren.
Jadi Loren menaikkan tingkat pengaruhnya.
“Susah ya ceritanya?” kata Loren sambil tangannya mulai hinggap di tubuh Tia. Loren mulai menyentuh dan meremas-remas payudara Tia.
Tia pagi itu mengenakan kemeja merah jambu dan rok hitam selutut. Sementara tangan kanan Loren mencopot satu dua kancing kemeja Tia, tangan kiri Loren menyelinap ke dalam rok Tia. Loren kemudian menyelipkan tangan kanannya ke dalam baju Tia, dan langsung menyentuh kulit payudara Tia. Dia mencari-cari dan menemukan pentil Tia yang sudah terasa keras. Sementara tangan kiri Loren mulai meraba-raba daerah kemaluan Tia. Loren menemukan sesuatu di sana.
“Hmmm.. Tia, kamu ngerasa basah nggak?” bisik Loren.
“Iya..” kata Tia jujur.
“Basah mananya Tia?” Loren mendorong lagi.
“Basah di..” Tia berhenti, lalu berbisik, “..aku malu nyebut nya..”
“Memek kamu basah Tia?” kata Loren tegas sambil mencubit klitoris Tia
Membuat Tia memekik lirih, “Aauhh!!”
“Enak kan Tia?” tanya Loren.
“Enak Ren..” jawab Tia.
“Tahu nggak kenapa itu enak?”
“...”
“Soalnya kamu terangsang sewaktu kamu cerita pengalaman seks kamu Tia.. Mulai sekarang, kamu bakal terangsang kalau kamu cerita.. Ngerti Tia?”
“Iya.. ahhh..”
“Bagus. Kamu mau cerita semuanya kan Tia?”
“Iya..”
“Semuanya akan kamu ceritakan Tia. Dan kamu mau cerita apa saja, karena itu enak kan?”
“Ya..”
“Oke.. Tia.. Ayo cerita apa yang terjadi sesudahnya.” Tangan Loren tetap di kemaluan Tia, membuat celana dalam Tia makin basah dengan cairan kewanitaan Tia.
“Ah.. Kami pulang.. tapi terus ditangkap aparat..”
“Ditangkap? Hmm. Cerita terus deh... Eh tapi tolong ganti posisi. Duduk tegak ya. Nyender aja,” Loren membantu Tia bangun, sehingga Tia duduk bersender di sofa, dengan kedua kaki kembali menjejak lantai.
“Bagus, Tia. Satu lagi. Semua saran yang akan kamu dengar dariku, akan selalu kamu ingat, bahkan kalau kamu belum setuju. Ngerti? Kalau ngerti bilang ya.”
Lagi-lagi, “Ya.”
“Terima kasih Tia. Sesi terapi kita sekarang bisa dimulai dengan lancar. Sesudah ini kamu akan tidur sebentar, dan lupa kamu pernah mendengar kata-kata tadi dariku, tapi kamu tidak akan lupa apa-apa yang tadi sudah disampaikan. Begitu aku tepuk tangan sekali, kamu akan tidur lagi, lalu sesudah aku tepuk tangan dua kali, kamu akan bangun lagi seperti biasa.”
Loren bertepuk tangan satu kali. Tia terpejam dan kepalanya terkulai. Lalu Loren bertepuk tangan dua kali dan Tia terbangun. Ketika terbangun Tia bingung.
“Em.. tadi aku.. ketiduran?” kata Tia.
“Itu tidak penting, anggap biasa saja,” kata Loren, dan berkat pengaruh sugesti barusan, kebingungan Tia langsung hilang. “Nah.. Tia, silakan ceritakan masalahmu.”
Tia sudah merasa nyaman berbaring di kantor Dr. Lorencia. Dia merasa sangat percaya kepada si psikolog yang cantik itu. Dia tak lagi ragu untuk berbicara. Entah kenapa. Mulailah Tia bercerita.
“Aku bingung Ren.. Aku ngerasa sedang berubah,” kata Tia lirih.
“Berubah? Jadi apa?” balas Loren.
“Jadi..” Tia masih sulit mengatakannya. “Jadi..”
“Jangan ragu, Tia.. Kamu bisa cerita apa saja ke aku.. Nggak apa-apa,” kata Loren dengan nada suara sugestif.
“Jadi..”
“Bilang aja Tia, jangan takut..” kata Loren sambil mengusap rambut Tia seolah ibu yang menenangkan anaknya.
“Jadi perempuan nggak bener..” nada bicara Tia berubah berat seolah dia tak rela menyebut dirinya sendiri dengan istilah demikian. “Jadi seperti.. pelacur.”
“Oohh,” Loren menanggapi. Suaranya bernada tertarik. “Kenapa seperti itu, ya? Coba ceritakan Tia.”
“Ungh..” Tia ragu-ragu. Loren kembali membelai rambut Tia dan berkata perlahan, “Jangan ragu-ragu Tia, kamu bisa percaya aku. Ceritakan..”
Sentuhan dan ucapan Loren membuat Tia makin nyaman. Tia akhirnya mulai bercerita.
“Awalnya waktu aku nemu foto-foto.. perempuan lain di HP Mas Bram. Pelacur. Suamiku itu ternyata punya hobi jajan di luar. Tapi..”
“Stop,” Loren menghentikan cerita Tia. “Seperti apa foto-fotonya? Jelaskan.”
“Emm.. mungkin ada 2 atau 3 cewek yang berbeda. Di foto-foto itu mereka berpose.. seksi.”
“Seperti apa?”
“Ada yang seperti mau nyium kamera.. ada yang pamer buah dadanya.. ada yang tiduran sambil pake lingerie..”
“Ceritakan penampilan mereka,” Loren melanjutkan.
“Ya seperti biasanya perempuan nggak bener.. Baju seksi, tank top, rok mini, malah ada yang difoto cuma pakai bra dan celana dalam.. Ada yang rambutnya dicat pirang.. Semuanya pake make-up tebal, bedak tebal, lipstik merah, blush on..”
“Oke. Sekarang teruskan cerita kamu. Sesudah kamu lihat foto-foto itu, gimana?”
“Aku ngadu ke Kak Citra,” kemudian Tia menceritakan siapa itu Citra. “Kata Kak Citra, Bram emang suka jajan dari dulu. Terus.. Kak Citra ngasih saran.. katanya aku suruh tiru saja penampilan mereka supaya Bram nggak usah lagi nyari ke luar.”
Sementara Tia bercerita, Loren terus memandanginya sambil membelai rambutnya dan sesekali mengeluarkan komentar pendek seperti “Hmm” atau “Terus?”
“Jadi aku coba sarannya Kak Citra. Dia dandani aku supaya jadi.. seperti mereka. Terus kutemui Mas Bram..” Tia berhenti.
“Terus?” Loren mendorong Tia untuk melanjutkan. “Ayo dong cerita.”
Sepintas Tia tersenyum kecil, mukanya memerah. Tapi kemudian mukanya kembali ke ekspresi kosong semula.
“Yang jelas malam itu sih kami.. bercinta.. nggak seperti biasanya, emmm rasanya lebih.. hebat aja dari sebelumnya,” bisik Tia lirih. “Tapi Mas Bram juga waktu itu seperti berubah.. kelihatan sekali dia lebih nafsu.”
“Oke..” kata Loren, “Jadi awalnya begitu. Terus?”
“Mas Bram minta aku terus seperti itu.. jadi kucoba saja terus. Awalnya risi dan nggak biasa, mesti dandan terus dan bergenit-genit, dari dulu aku nggak pernah begitu. Tapi..” Tia mencoba mengingat sesuatu, tapi yang ingin diingatnya tak kunjung muncul. “Ada satu malam, waktu itu aku dandan seksi untuk Mas Bram, dan dia pulang diantar teman-teman kantornya karena mabuk.. nggak ingat apa yang terjadi sesudah itu, tapi rasanya dia semangat sekali bercinta malam itu biarpun mabuk. Nah..”
“Ayo teruskan.”
“Rasanya sesudah malam itu aku berubah.. aku jadi lebih terbiasa tampil seksi, nggak lagi malu-malu.. Tapi..”
“Ada apa?”
“Kadang aku seperti lepas kendali,” suara Tia kembali melemah setelah sebelumnya naik karena bersemangat. “Aku.. aku nggak tahu harus cerita atau nggak.. aku..”
“Ayo ceritakan Tia.. Kalau kamu nggak cerita, masalahmu nggak akan selesai..” bujuk Loren.
“Pernah dalam satu hari aku nggoda beberapa orang sekaligus.. dan mereka orang asing.. bukan Mas Bram. Tukang sayur langganan. Pengamen yang datang ke rumah.”
“Waah..” Loren berkomentar. “Apa yang kamu lakukan ke mereka?”
“Umh..” Tia ragu, mukanya memerah. “Aku.. kalau ke Pak Kumis itu nggak sengaja.. waktu itu aku beli terong dari dia, terus..”
“Terus?”
“Umm.. aku main-main dengan terong itu.. Nggak tahunya Pak Kumis masuk rumah mergoki aku.. tapi aku malah jadi.. jadi..”
“Kamu apain dia Tia?”
“..kusepong dia..”
“Hmm..” Loren berkomentar tanpa kaget, tapi tetap terdengar tertarik. “Terus dengan pengamen tadi? Gimana tuh?”
“Pengamennya berdua, masih ABG.. salah satunya aku kenal. Jadi kuajak masuk dan kukasih makan.. tapi satunya usil, dia nyolek bokongku..”
“Terus? Kamu marah nggak?”
“Ungh.. anehnya.. enggak. Akhirnya malah kuladenin mereka berdua.. yang satu kuisep.. yang satu lagi kubiarkan gesek-gesek kemaluannya ke pantatku sampai dia keluar..”
“Oke.. Tapi kamu nggak sampai berhubungan seks dengan mereka kan?”
“Iya.. syukurnya..” kata Tia.
“Kenapa syukurnya?” tanya Loren.
“Soalnya waktu itu aku seperti ingat.. aku istrinya Mas Bram. Aku cuma boleh setubuh sama Mas Bram..”
“Oh gitu. Ceritamu masih lanjut kan Tia?”
“..masih.”
“Tolong lanjutkan.”
“Sesudahnya.. suatu hari aku ke kantor bareng Mas Bram. Aku sengaja dandan dan pakai baju biasa. Tapi.. aku tetap dilihat orang. Semua orang nengok kalau aku lewat.”
“Gimana perasaan kamu Tia, waktu diperhatikan orang kantor?”
“..kok.. aku seperti senang, ya?”
“Wajar Tia,” kata Loren. “Kamu cantik.”
“Aku.. cantik?” Pujian Loren membuat Tia tersipu. Memang seperti biasanya perempuan, Tia senang dipuji, apalagi mengenai kecantikannya.
“Iya..” Loren kembali membelai rambut Tia, dan kini malah terus membelai pipi Tia. “Kamu cantik.. makanya semua orang suka melihat kamu. Semua orang itu. Orang kantor. Pengamen. Tukang sayur. ..Aku juga Tia..”
Tia berdebar-debar ketika Loren berkata seperti itu.
“Aku pengen cium kamu Tia,” pinta Loren.
Tanpa menunggu jawaban, Loren langsung mencium pipi Tia, tepat di ujung bibir Tia.
Tia merasa geli seperti kesemutan, dan perasaan itu makin menjadi ketika Loren melanjutkan melumat bibir Tia, memainkan lidahnya dalam mulut Tia. Untuk pertama kalinya Tia merasakan ciuman mesra dengan sesama perempuan, mulut bertemu mulut. Loren melepas bibir Tia, kemudian kembali bicara.
“Kamu senang kan dikagumi orang Tia?” kata Loren.
“..Iya..” jawab Tia.
Loren tersenyum, sugestinya masuk sendiri tanpa dilawan. Dilihatnya mata Tia setengah terpejam, membayangkan nikmatnya ciuman barusan.
“Terusin ceritamu,” kata Loren.
“Sesudah dari kantor aku ketemu Kak Citra di mall.. Kak Citra cantik banget.. dia juga dilihatin semua orang.. Malah lebih hebat lagi, orang sampai meleng karena gak bisa lepas matanya dari Kak Citra. Aku.. iri.”
“Hmm.. Iri? Iri karena Kak Citra lebih cantik?”
“Iri karena Kak Citra lebih menarik perhatian.. tapi sesudah itu aku di-makeover, terus ganti baju juga..”
“Terus gimana? Kamu masih iri?”
“Terus.. kami.. Kami..” Tia seperti susah menceritakan lanjutannya. Jelas itu karena yang terjadi adalah dia dan Citra diciduk aparat, lalu digilir. Bukan sesuatu yang bisa diceritakan dengan mudah, bahkan di bawah pengaruh hipnotis Loren.
Jadi Loren menaikkan tingkat pengaruhnya.
“Susah ya ceritanya?” kata Loren sambil tangannya mulai hinggap di tubuh Tia. Loren mulai menyentuh dan meremas-remas payudara Tia.
Tia pagi itu mengenakan kemeja merah jambu dan rok hitam selutut. Sementara tangan kanan Loren mencopot satu dua kancing kemeja Tia, tangan kiri Loren menyelinap ke dalam rok Tia. Loren kemudian menyelipkan tangan kanannya ke dalam baju Tia, dan langsung menyentuh kulit payudara Tia. Dia mencari-cari dan menemukan pentil Tia yang sudah terasa keras. Sementara tangan kiri Loren mulai meraba-raba daerah kemaluan Tia. Loren menemukan sesuatu di sana.
“Hmmm.. Tia, kamu ngerasa basah nggak?” bisik Loren.
“Iya..” kata Tia jujur.
“Basah mananya Tia?” Loren mendorong lagi.
“Basah di..” Tia berhenti, lalu berbisik, “..aku malu nyebut nya..”
“Memek kamu basah Tia?” kata Loren tegas sambil mencubit klitoris Tia
Membuat Tia memekik lirih, “Aauhh!!”
“Enak kan Tia?” tanya Loren.
“Enak Ren..” jawab Tia.
“Tahu nggak kenapa itu enak?”
“...”
“Soalnya kamu terangsang sewaktu kamu cerita pengalaman seks kamu Tia.. Mulai sekarang, kamu bakal terangsang kalau kamu cerita.. Ngerti Tia?”
“Iya.. ahhh..”
“Bagus. Kamu mau cerita semuanya kan Tia?”
“Iya..”
“Semuanya akan kamu ceritakan Tia. Dan kamu mau cerita apa saja, karena itu enak kan?”
“Ya..”
“Oke.. Tia.. Ayo cerita apa yang terjadi sesudahnya.” Tangan Loren tetap di kemaluan Tia, membuat celana dalam Tia makin basah dengan cairan kewanitaan Tia.
“Ah.. Kami pulang.. tapi terus ditangkap aparat..”
“Ditangkap? Hmm. Cerita terus deh... Eh tapi tolong ganti posisi. Duduk tegak ya. Nyender aja,” Loren membantu Tia bangun, sehingga Tia duduk bersender di sofa, dengan kedua kaki kembali menjejak lantai.
Kemudian Loren duduk di depan Tia, dan memegang kedua lutut Tia. Pelan-pelan Loren menggerakkan kedua lutut Tia saling menjauh, membuat pasiennya mengangkang. Tia sudah pasrah menjadi boneka Loren yang bisa diposisikan semaunya. Si psikolog cantik itu kemudian turun dari kursinya, lalu berlutut di depan selangkangan Tia. Dia menyibak rok Tia dan kemudian mengesampingkan celana dalam Tia yang sudah basah.
“Cerita terus Tia.. Aku dengar dari bawah sini,” kata Loren sambil mulai menggarap vagina Tia, dengan satu jilatan dari bawah ke atas sepanjang rekahan itu.
Semestinya Tia bingung, karena jelas praktik psikolog normal bukan dengan menggerayangi dan bahkan melakukan seks oral dengan pasien.. tapi Tia sudah keburu menganggap wajar semua yang Loren lakukan, karena sugesti tadi.
“Aku.. umh ditangkap karena disangka.. pelacur.. Aku dan Kak Citra dibawa ke kantor.. terus.. uhh..”
“Emm.. *lep lep* Terus apa Tia?” kata Loren sambil terus menjilati gurihnya kemaluan Tia. Loren mulai menjamah klitoris Tia pula.. menyedot dan mencium.
“Aahh.. Terus Kak Citra masuk ketemu komandan mereka.. aku ditinggal lama.. waktu kutengok.. ternyata Kak Citra lagi digarap sama mereka..”
“Gimana perasaanmu waktu melihat Kak Citra digarap Tia?” Loren mengatakan itu semua dengan sangat tenang, nyaris tanpa perasaan.
“Aku kasihan.. Kak Citra kesakitan.. Dia.. dia lagi disetubuhi merekaa.. di.. pantatnya.. Pantatnya di..”
“Dientot sama mereka?” Loren membantu.
“Iya.. pantat Kak Citra dientot sama mereka.. Aku minta mereka stop.. Kasihan Kak Citra.. ahh..hhh” Tia jelas keenakan dioral oleh Loren yang rupanya ahli memberikan kenikmatan kepada sesama perempuan.
“ENGG!!” Tahu-tahu saja Tia orgasme ketika vaginanya disodok lidah Loren, membanjiri mulut Loren dengan cairan cinta.
“Ti-a,” panggil Loren dengan nada naik-turun, “kok kamu orgasme sih? Kan kamu lagi kasihan sama Kak Citra? Hmm..”
“Awh.. ah..” Tia tak bisa menjawab, masih kaget karena mendadak orgasme.
“Oo kamu sebenarnya suka ya ngelihatnya.. sampai kamu terangsang sendiri.. terus gimana ceritanya?”
“Suka? Hh.. ehh..” selagi dia mulai pulih, baru Tia bicara lagi, “Aku.. tawarin buat gantiin Kak Citra.. daripada Kak Citra kecapekan.. biar aku yang dientot sama mereka..”
“Waktu itu kamu sampai basah seperti sekarang kan..?” sugesti Loren.
“Iya..?” Tia merasa aneh karena ceritanya diubah Loren. Tapi dia tak kuasa menolak Loren. Ditambah lagi akal sehatnya sedang kewalahan sehabis dilanda orgasme mendadak.
“Iya Tia.. kamu basah karena terangsang melihat kakakmu digilir sama aparat.. Lalu kamu minta gantian? Biar kamu ganti dientot sama mereka?”
“Ehm.. iya?”
Loren bangkit lalu tiba-tiba menjambak sebagian rambut Tia. Namun gerakannya tetap luwes, tidak sampai membuat Tia sakit. Dan anehnya Tia tak melawan, dia seolah sudah jadi boneka yang bisa digerakkan Loren seenaknya. Loren mendorong kepala Tia ke samping sampai Tia terhempas di dudukan sofa.
“Kamu nakal Tia..” kata Loren, pelan tapi tegas. “Nakal.. Kamu suka ya, keseksian badanmu dikagumi laki-laki? Kamu suka ya, kalau laki-laki terangsang gara-gara kamu goda? Kamu pengen ngentot sama siapa aja? Sama banyak orang sekaligus?”
Sambil mengatakan semua itu, Loren kembali memainkan tangannya di klitoris dan vagina Tia, merangsang alat kelamin yang baru saja orgasme.
“Iya kan Tia? Ayo jawab!”
“Ah, uhh, ah.. iyaahhh..” Tia mengiyakan, tanpa sadar apa yang dikatakannya.
“Terus gimana ceritanya Tia..” Loren mengurangi intensitas godaannya, memberi kesempatan bagi Tia untuk bercerita.
“Aku.. awalnya aku nggak mau.. tapi terus aku kasih mereka.. Mereka kusepong..”
“Apanya?” tanya Loren sambil langsung memberi jawaban, “Kontolnya?”
“I..y..a.. Kontol.. nya..” lanjut Tia, “terus aku buka baju.. komandannya.. ngentotin aku.. badannya besar.. kontolnya juga.. sampai sesak ditindih dia.. ah.. Ren.. tambah basah nih..”
Loren terus membuat Tia terangsang, membangun asosiasi antara kenikmatan dengan cerita mengenai pengalaman seksual. Si psikolog terus mendengarkan cerita Tia.
“Tapinya enakh.. ah.. enak banget digenjot dia.. aku sampai keluar.. enak.. terusnya yang lain ikutan juga.. aku dientot juga.. sekali dua.. ahh.. di pantat juga..”
Loren mulai main di lubang an*s Tia
“mereka muncrat di dalam.. di luar.. enak.. ah!!!” Orgasme lagi-lagi melanda Tia.
“Hmm.. terus?”
“Ahah.. hh.. ah.. habis itu.. selesai.. aku diantar pulang sama mereka..”
“Ooh gitu.. Terus gimana?”
“Mas Bram pulang.. aku.. aku.. ehhh!?” Tia tiba-tiba seperti bingung. “Aku.. aku bingung.. aku dientot orang lain.. aku.. ga berani cerita sama Mas Bram..uuhhh... Hhuuu..”
Tiba-tiba Tia menangis. Loren menyimpulkan, di situlah trauma Tia. Dia dengan tegas berbicara ke Tia, dan berhenti menggerayangi Tia.
“Hmm.. jadi itu masalahnya? Kamu nggak bisa cerita sama suami bahwa kamu disetubuhi orang lain?”
“Iya..*hiks*” jawab Tia sambil terisak.
“Kenapa?”
“Aku.. istri Mas Bram.. seharusnya nggak boleh tidur dengan orang lain.. tapi..” kata Tia di sela-sela nafasnya yang sesenggukan.
“Tenang Tia. Berhenti menangis,” Loren kembali membelai Tia dan Tia pun terdiam. “Kamu merasa bersalah Tia?”
“Iya..”
“Tapi kamu merasa apa waktu disetubuhi mereka Tia?”
“Ahh,” suaranya tersekat ketika Tia mau menjawab.
Loren menundukkan kepala dan mengecup lehernya. Loren juga membuka kancing kemeja Tia semua dan melepas kemeja Tia.
“Enak kah?” tanya Loren.
“Iya..”
“Ya Tia. Kamu ngerasa enak kok disetubuhi mereka. Sama aja kan dengan suami sendiri,” ujar Loren.
“Sama..? AHH!!” Jawaban Tia diganggu pagutan Loren ke bagian atas payudaranya.
Selanjutnya Loren membuka BH Tia sehingga kini tubuh Tia dari pinggang ke atas sudah tak berbusana. Loren berhenti bicara dan memberi kenikmatan ke Tia dengan mulutnya di sepasang payudara Tia. Tia menggigit bibir, keenakan, kemaluannya kembali membanjir.
“Enak kan.. Tia?” Loren membuka blazer dan kemeja putihnya, memperlihatkan bra seksi hitam berenda di bawah itu.
Si psikolog juga membuka celana panjangnya, memperlihatkan sepasang kaki yang jenjang dan indah, serta G-string hitam. Kemudian Loren melucuti sisa pakaian Tia, rok dan celana dalam. Tia terbaring telanjang di sofa Loren, dan Loren kembali mencium bibir Tia. Lama, dalam, dan penuh nafsu. Tia terengah keenakan ketika Loren akhirnya melepaskan mulutnya, seutas liur menyambungkan mulut kedua perempuan jelita itu.
“Tunggu sebentar ya cantik..” ujar Loren mesra, lalu si psikolog beranjak ke mejanya, mengeluarkan sesuatu dari laci, dan kembali lagi.
Loren memamerkan benda yang baru diambilnya kepada Tia. Tia membelalak melihatnya, sesuatu yang mirip celana dalam kulit, namun di bagian depannya terdapat dildo (mainan tiruan penis) berujung dua, yang kalau dipakai satu akan menghadap ke luar dan satu lagi ke dalam.
Loren melepas celana dalamnya sendiri, lalu mengenakan celana dalam dildo itu. Tia melihat ekspresi lapar di wajah Loren ketika Loren memasukkan satu ujungnya ke dalam kemaluannya sendiri. Sungguh pemandangan yang ganjil, seorang perempuan cantik seperti Loren di hadapannya dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam, tapi dengan batangan yang mencuat gagah di depan selangkangannya. Tia menahan nafas, melihat betapa penis palsu Loren begitu panjang dan besar dan keras, tak kalah dengan semua yang pernah dirasakannya.
Kedua perempuan itu pun kembali saling cium, Loren mengajak, Tia menerima. Tia mulai terbiasa mendapat sentuhan intim dari sesama perempuan, dalam pikirannya dia merasakan kenikmatan yang sama seperti dari Bram.. atau dari semua pengalamannya dengan laki-laki.
“Tia.. Jangan anggap aku perempuan. Anggap saja aku laki-laki yang punya penis, yang mau bercinta denganmu, ngerti? Tapi aku bukan suamimu,” kembali sugesti datang dari Loren.
Loren tersenyum nakal selagi dia mengacak-acak pikiran pasiennya yang cantik itu. Harus diakui, dia mulai tertarik dengan Tia. Dan andai saja dia bisa berbuat semaunya, dia sendiri ingin mencoba merebut Tia dari siapapun yang memilikinya. Tapi.. Loren kembali menggunakan mulutnya pada vagina Tia, mencium dan menjilat dan memastikan kewanitaan Tia cukup basah.
Tia merintih keenakan, apalagi ketika Loren mengganti mulut dan lidahnya dengan satu jari, lalu dua jari. Kemudian Loren mengangkangi perut Tia, sengaja memamerkan penis palsu di selangkangannya, dengan panjang 20cm dan garis tengah hampir 3 cm.. mungkin sebesar penis orang bule atau Afrika. Yang tercolok ke dalam vagina Loren sendiri tak sepanjang itu. Tia gemetar membayangkan batang itu memasuki tubuhnya.. dan itu akan terjadi sebentar lagi.
Setelah memberi pelumas pada penis palsu itu Loren menempatkan ujungnya di bukaan kemaluan Tia, lalu pelan-pelan mendesak masuk.
“UNNGGHH!” jerit Tia tertahan.
Loren juga merintih selagi desakan dari depan membuat bagian yang tertancap dalam kemaluannya sendiri bergeser. Pelan-pelan, senti demi senti, batang itu melesak ke dalam vagina Tia. Tia melotot, matanya menganga, dilanda rasa sakit bercampur nikmat akibat penyusupan benda berukuran tak senonoh di kemaluannya. Sampai menitik air mata Tia dibuatnya. Loren tak sampai memasukkan seluruh batang itu dan mulai bergerak maju mundur, awalnya pelan, makin lama makin cepat. Loren menatap mata Tia, Tia seolah akan gila terlanda nafsu.
“Enak kan, Tia?” kata Loren sambil menggenjot pasiennya.
“AAHHH!! AHKHH!! AIAAHH!!” Tia tak menjawab, hanya bisa menjerit-jerit keenakan.
Tubuh Tia menggeliat-geliat hebat, tapi tak mampu ke mana-mana karena tubuh Loren tepat di atasnya, Loren membungkam mulut Tia dengan ciuman selagi Tia mengalami orgasme ketiga.
“OOHHHMMM!!”
Tapi Loren tak berhenti, dia terus menghajar vagina Tia tanpa ampun sampai-sampai Tia orgasme untuk kedua kalinya, susul-menyusul dengan orgasme sebelumnya.
Tia nyaris pingsan andai saja Loren masih mau terus melanjutkan, tapi si psikolog merasa sudah cukup dan dia menarik keluar penis palsu-nya dari dalam tubuh Tia. Tia terkapar kelelahan, keenakan setelah dua orgasme berturut-turut, pikirannya melayang ke mana-mana, rentan..
“Tadi enak kan Tia..? Orgasme itu enak ya Tia?” kata Loren sambil membetulkan posisi kacamatanya. “Kamu suka?”
“Cerita terus Tia.. Aku dengar dari bawah sini,” kata Loren sambil mulai menggarap vagina Tia, dengan satu jilatan dari bawah ke atas sepanjang rekahan itu.
Semestinya Tia bingung, karena jelas praktik psikolog normal bukan dengan menggerayangi dan bahkan melakukan seks oral dengan pasien.. tapi Tia sudah keburu menganggap wajar semua yang Loren lakukan, karena sugesti tadi.
“Aku.. umh ditangkap karena disangka.. pelacur.. Aku dan Kak Citra dibawa ke kantor.. terus.. uhh..”
“Emm.. *lep lep* Terus apa Tia?” kata Loren sambil terus menjilati gurihnya kemaluan Tia. Loren mulai menjamah klitoris Tia pula.. menyedot dan mencium.
“Aahh.. Terus Kak Citra masuk ketemu komandan mereka.. aku ditinggal lama.. waktu kutengok.. ternyata Kak Citra lagi digarap sama mereka..”
“Gimana perasaanmu waktu melihat Kak Citra digarap Tia?” Loren mengatakan itu semua dengan sangat tenang, nyaris tanpa perasaan.
“Aku kasihan.. Kak Citra kesakitan.. Dia.. dia lagi disetubuhi merekaa.. di.. pantatnya.. Pantatnya di..”
“Dientot sama mereka?” Loren membantu.
“Iya.. pantat Kak Citra dientot sama mereka.. Aku minta mereka stop.. Kasihan Kak Citra.. ahh..hhh” Tia jelas keenakan dioral oleh Loren yang rupanya ahli memberikan kenikmatan kepada sesama perempuan.
“ENGG!!” Tahu-tahu saja Tia orgasme ketika vaginanya disodok lidah Loren, membanjiri mulut Loren dengan cairan cinta.
“Ti-a,” panggil Loren dengan nada naik-turun, “kok kamu orgasme sih? Kan kamu lagi kasihan sama Kak Citra? Hmm..”
“Awh.. ah..” Tia tak bisa menjawab, masih kaget karena mendadak orgasme.
“Oo kamu sebenarnya suka ya ngelihatnya.. sampai kamu terangsang sendiri.. terus gimana ceritanya?”
“Suka? Hh.. ehh..” selagi dia mulai pulih, baru Tia bicara lagi, “Aku.. tawarin buat gantiin Kak Citra.. daripada Kak Citra kecapekan.. biar aku yang dientot sama mereka..”
“Waktu itu kamu sampai basah seperti sekarang kan..?” sugesti Loren.
“Iya..?” Tia merasa aneh karena ceritanya diubah Loren. Tapi dia tak kuasa menolak Loren. Ditambah lagi akal sehatnya sedang kewalahan sehabis dilanda orgasme mendadak.
“Iya Tia.. kamu basah karena terangsang melihat kakakmu digilir sama aparat.. Lalu kamu minta gantian? Biar kamu ganti dientot sama mereka?”
“Ehm.. iya?”
Loren bangkit lalu tiba-tiba menjambak sebagian rambut Tia. Namun gerakannya tetap luwes, tidak sampai membuat Tia sakit. Dan anehnya Tia tak melawan, dia seolah sudah jadi boneka yang bisa digerakkan Loren seenaknya. Loren mendorong kepala Tia ke samping sampai Tia terhempas di dudukan sofa.
“Kamu nakal Tia..” kata Loren, pelan tapi tegas. “Nakal.. Kamu suka ya, keseksian badanmu dikagumi laki-laki? Kamu suka ya, kalau laki-laki terangsang gara-gara kamu goda? Kamu pengen ngentot sama siapa aja? Sama banyak orang sekaligus?”
Sambil mengatakan semua itu, Loren kembali memainkan tangannya di klitoris dan vagina Tia, merangsang alat kelamin yang baru saja orgasme.
“Iya kan Tia? Ayo jawab!”
“Ah, uhh, ah.. iyaahhh..” Tia mengiyakan, tanpa sadar apa yang dikatakannya.
“Terus gimana ceritanya Tia..” Loren mengurangi intensitas godaannya, memberi kesempatan bagi Tia untuk bercerita.
“Aku.. awalnya aku nggak mau.. tapi terus aku kasih mereka.. Mereka kusepong..”
“Apanya?” tanya Loren sambil langsung memberi jawaban, “Kontolnya?”
“I..y..a.. Kontol.. nya..” lanjut Tia, “terus aku buka baju.. komandannya.. ngentotin aku.. badannya besar.. kontolnya juga.. sampai sesak ditindih dia.. ah.. Ren.. tambah basah nih..”
Loren terus membuat Tia terangsang, membangun asosiasi antara kenikmatan dengan cerita mengenai pengalaman seksual. Si psikolog terus mendengarkan cerita Tia.
“Tapinya enakh.. ah.. enak banget digenjot dia.. aku sampai keluar.. enak.. terusnya yang lain ikutan juga.. aku dientot juga.. sekali dua.. ahh.. di pantat juga..”
Loren mulai main di lubang an*s Tia
“mereka muncrat di dalam.. di luar.. enak.. ah!!!” Orgasme lagi-lagi melanda Tia.
“Hmm.. terus?”
“Ahah.. hh.. ah.. habis itu.. selesai.. aku diantar pulang sama mereka..”
“Ooh gitu.. Terus gimana?”
“Mas Bram pulang.. aku.. aku.. ehhh!?” Tia tiba-tiba seperti bingung. “Aku.. aku bingung.. aku dientot orang lain.. aku.. ga berani cerita sama Mas Bram..uuhhh... Hhuuu..”
Tiba-tiba Tia menangis. Loren menyimpulkan, di situlah trauma Tia. Dia dengan tegas berbicara ke Tia, dan berhenti menggerayangi Tia.
“Hmm.. jadi itu masalahnya? Kamu nggak bisa cerita sama suami bahwa kamu disetubuhi orang lain?”
“Iya..*hiks*” jawab Tia sambil terisak.
“Kenapa?”
“Aku.. istri Mas Bram.. seharusnya nggak boleh tidur dengan orang lain.. tapi..” kata Tia di sela-sela nafasnya yang sesenggukan.
“Tenang Tia. Berhenti menangis,” Loren kembali membelai Tia dan Tia pun terdiam. “Kamu merasa bersalah Tia?”
“Iya..”
“Tapi kamu merasa apa waktu disetubuhi mereka Tia?”
“Ahh,” suaranya tersekat ketika Tia mau menjawab.
Loren menundukkan kepala dan mengecup lehernya. Loren juga membuka kancing kemeja Tia semua dan melepas kemeja Tia.
“Enak kah?” tanya Loren.
“Iya..”
“Ya Tia. Kamu ngerasa enak kok disetubuhi mereka. Sama aja kan dengan suami sendiri,” ujar Loren.
“Sama..? AHH!!” Jawaban Tia diganggu pagutan Loren ke bagian atas payudaranya.
Selanjutnya Loren membuka BH Tia sehingga kini tubuh Tia dari pinggang ke atas sudah tak berbusana. Loren berhenti bicara dan memberi kenikmatan ke Tia dengan mulutnya di sepasang payudara Tia. Tia menggigit bibir, keenakan, kemaluannya kembali membanjir.
“Enak kan.. Tia?” Loren membuka blazer dan kemeja putihnya, memperlihatkan bra seksi hitam berenda di bawah itu.
Si psikolog juga membuka celana panjangnya, memperlihatkan sepasang kaki yang jenjang dan indah, serta G-string hitam. Kemudian Loren melucuti sisa pakaian Tia, rok dan celana dalam. Tia terbaring telanjang di sofa Loren, dan Loren kembali mencium bibir Tia. Lama, dalam, dan penuh nafsu. Tia terengah keenakan ketika Loren akhirnya melepaskan mulutnya, seutas liur menyambungkan mulut kedua perempuan jelita itu.
“Tunggu sebentar ya cantik..” ujar Loren mesra, lalu si psikolog beranjak ke mejanya, mengeluarkan sesuatu dari laci, dan kembali lagi.
Loren memamerkan benda yang baru diambilnya kepada Tia. Tia membelalak melihatnya, sesuatu yang mirip celana dalam kulit, namun di bagian depannya terdapat dildo (mainan tiruan penis) berujung dua, yang kalau dipakai satu akan menghadap ke luar dan satu lagi ke dalam.
Loren melepas celana dalamnya sendiri, lalu mengenakan celana dalam dildo itu. Tia melihat ekspresi lapar di wajah Loren ketika Loren memasukkan satu ujungnya ke dalam kemaluannya sendiri. Sungguh pemandangan yang ganjil, seorang perempuan cantik seperti Loren di hadapannya dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam, tapi dengan batangan yang mencuat gagah di depan selangkangannya. Tia menahan nafas, melihat betapa penis palsu Loren begitu panjang dan besar dan keras, tak kalah dengan semua yang pernah dirasakannya.
Kedua perempuan itu pun kembali saling cium, Loren mengajak, Tia menerima. Tia mulai terbiasa mendapat sentuhan intim dari sesama perempuan, dalam pikirannya dia merasakan kenikmatan yang sama seperti dari Bram.. atau dari semua pengalamannya dengan laki-laki.
“Tia.. Jangan anggap aku perempuan. Anggap saja aku laki-laki yang punya penis, yang mau bercinta denganmu, ngerti? Tapi aku bukan suamimu,” kembali sugesti datang dari Loren.
Loren tersenyum nakal selagi dia mengacak-acak pikiran pasiennya yang cantik itu. Harus diakui, dia mulai tertarik dengan Tia. Dan andai saja dia bisa berbuat semaunya, dia sendiri ingin mencoba merebut Tia dari siapapun yang memilikinya. Tapi.. Loren kembali menggunakan mulutnya pada vagina Tia, mencium dan menjilat dan memastikan kewanitaan Tia cukup basah.
Tia merintih keenakan, apalagi ketika Loren mengganti mulut dan lidahnya dengan satu jari, lalu dua jari. Kemudian Loren mengangkangi perut Tia, sengaja memamerkan penis palsu di selangkangannya, dengan panjang 20cm dan garis tengah hampir 3 cm.. mungkin sebesar penis orang bule atau Afrika. Yang tercolok ke dalam vagina Loren sendiri tak sepanjang itu. Tia gemetar membayangkan batang itu memasuki tubuhnya.. dan itu akan terjadi sebentar lagi.
Setelah memberi pelumas pada penis palsu itu Loren menempatkan ujungnya di bukaan kemaluan Tia, lalu pelan-pelan mendesak masuk.
“UNNGGHH!” jerit Tia tertahan.
Loren juga merintih selagi desakan dari depan membuat bagian yang tertancap dalam kemaluannya sendiri bergeser. Pelan-pelan, senti demi senti, batang itu melesak ke dalam vagina Tia. Tia melotot, matanya menganga, dilanda rasa sakit bercampur nikmat akibat penyusupan benda berukuran tak senonoh di kemaluannya. Sampai menitik air mata Tia dibuatnya. Loren tak sampai memasukkan seluruh batang itu dan mulai bergerak maju mundur, awalnya pelan, makin lama makin cepat. Loren menatap mata Tia, Tia seolah akan gila terlanda nafsu.
“Enak kan, Tia?” kata Loren sambil menggenjot pasiennya.
“AAHHH!! AHKHH!! AIAAHH!!” Tia tak menjawab, hanya bisa menjerit-jerit keenakan.
Tubuh Tia menggeliat-geliat hebat, tapi tak mampu ke mana-mana karena tubuh Loren tepat di atasnya, Loren membungkam mulut Tia dengan ciuman selagi Tia mengalami orgasme ketiga.
“OOHHHMMM!!”
Tapi Loren tak berhenti, dia terus menghajar vagina Tia tanpa ampun sampai-sampai Tia orgasme untuk kedua kalinya, susul-menyusul dengan orgasme sebelumnya.
Tia nyaris pingsan andai saja Loren masih mau terus melanjutkan, tapi si psikolog merasa sudah cukup dan dia menarik keluar penis palsu-nya dari dalam tubuh Tia. Tia terkapar kelelahan, keenakan setelah dua orgasme berturut-turut, pikirannya melayang ke mana-mana, rentan..
“Tadi enak kan Tia..? Orgasme itu enak ya Tia?” kata Loren sambil membetulkan posisi kacamatanya. “Kamu suka?”
“Ah.. iya.. hhh..” kata Tia lemah.
“Kamu tadi dibikin orgasme, bukan oleh suamimu. Bagaimana rasanya Tia?”
“Emm.. enak..”
“Sama aja kan? Sama-sama enak?”
“Iya..”
“Bagus.. Sebenarnya nggak ada bedanya kamu orgasme karena suami ataupun orang lain.. enak kan? Nggak ada salahnya.. nggak ada bedanya,” Loren terus memberi sugesti.
“Nggak ada bedanya..” tanpa sadar Tia mengikuti sugesti Loren.
“Yang penting hanya orgasme.. hanya kenikmatan.. Pahami itu Tia.”
“Ya..”
“Nikmati saja semuanya.. Nggak usah pikirkan suami kamu.. Pikirkan saja kenikmatannya.. Kenikmatan itu tidak salah..”
“Ya..”
“Bagus,” kata Loren sambil mencium kening Tia.
“Sekarang.. pakai lagi bajumu,” perintah Loren.
Loren sendiri juga melepas celana dalam dildo-nya dan kembali mengenakan bajunya. Setelah dia selesai berpakaian, dilihatnya Tia duduk manis di sofa, sudah kembali ke penampilan semula.
“Baik Tia.. sesudah ini kamu akan tidur sejenak, dan kalau bangun lagi kamu tidak akan ingat apa yang barusan kita lakukan, tapi kamu akan ingat semua saranku dan semua kenikmatannya. Kamu tidak akan lagi ragu-ragu, tidak akan trauma lagi. Ngerti?”
“Ya..”
“Bagus. Tidur Tia.. Tidur..”
Kepala Tia tertunduk, tidur.
“Kuhitung mundur dari sepuluh sampai satu, kalau sudah satu kamu akan bangun.”
“Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam.. Lima.. Empat.. Tiga.. Dua..”
“Satu.”
Tia membuka mata. Dia tersenyum, merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Dilihatnya Dr. Lorencia duduk di depannya, menggenggam tangannya.
“Gimana, sudah enakan?” tanya sang psikolog dengan ramah.
“Emm.. iya.. Ren..” Tia memang merasa beban pikirannya sudah lenyap. Dan entah kenapa, dia merasa sangat ingin bertemu suaminya, karena kangen. “Aku nggak tau, tapi kok rasanya aku sudah tentram ya..”
“Baguslah. Masalahmu sudah selesai. Kamu sudah bisa pulang.. Nanti kalau masih ada masalah, jangan segan-segan mampir lagi.. oke?”
Tia mengangguk, dan dia berterimakasih kepada Dr. Lorencia. Sebenarnya dia agak penasaran apa saja yang sudah dilakukan sang psikolog, tapi entah kenapa dia tak merasa perlu bertanya. Dia sudah merasa nyaman dan memang itulah yang dicarinya. Dia kemudian membereskan urusan yang masih tersisa kemudian meninggalkan rumah Dr. Lorencia.
*****
Bram di kantor sedang menunggu Pak Jupri alias Mang Enjup yang belum juga datang. Padahal ada beberapa pekerjaan yang memerlukan atasannya itu, tapi ke mana dia? Sambil menunggu, Bram berpikir tentang Tia. Semoga Tia bisa pulih setelah bertemu psikolog itu. Tapi Bram terpikirkan satu hal lagi. Malam itu, malam ketika trauma Tia dimulai.. Citra ada di rumah.
Citra pasti tahu sesuatu. Bram merasa perlu bertanya.
*****
Tia belum lama pergi. Dr. Lorencia kembali duduk di belakang mejanya sambil membayangkan indahnya tubuh Tia yang sempat dicicipinya sebentar tadi.
“Hey Loren, kamu jangan bayangin macem-macem ya. Tia itu buat Mang. Kita udah ada perjanjian,” kata sesosok man*sia yang tiba-tiba muncul dari belakang Dr. Lorencia. Dia datang dari balik pintu samping ruang praktik Dr. Lorencia. Seorang laki-laki tua botak berperut buncit, yang sedang ditunggu oleh bawahannya di kantor. Dia si Mang Enjup.
“Yah, si Mang, gimana ya? Ternyata dia cakep.. Boleh nggak kubikin dia jadi lesbong juga?” Lorencia menimpali.
“Hus. Jangan lah. Kalau yang lain sih silakan ajah.. Yang ini nggak boleh ya. Soalnya dia orang yang spesial buat Mang.” Mang Enjup mendekat dan merangkul Dr. Lorencia dari belakang.
“Emangnya aku enggak Mang..?” tanya Lorencia manja.
“Ooo.. pasti dong, Loren kan kesayangan Mang. Kalau nggak, mana mau Mang ajarin ilmu Mang ke Loren? Kamu istimewa Ren. Nggak banyak awewe yg Mang cobain tapi udah ada bakat buat nerusin ilmu Mang.”
“Hehehe.. Bilang aja waktu itu Mang kecelek soalnya aku ga mempan digendam.. Gapapa deh, yang penting aku jadi dapat ngewarisin ilmunya Mang.”
Bertahun-tahun lalu, Lorencia, seorang sarjana psikologi, melamar kerja kepada Mang Enjup. Melihat parasnya yang cantik, Mang Enjup sempat mengisengi Loren dengan ilmu gendamnya, tapi entah kenapa, hipnotis Mang Enjup kurang mempan kepada Loren. Mungkin karena Mang Enjup berusaha membuat Loren tertarik kepada dirinya, tapi ternyata Loren punya kecenderungan lesbian sehingga tak mempan.
Itulah yang membuat Mang Enjup menyangka Loren istimewa, dan karena rahasianya sudah terbongkar di depan Loren, Loren pun menuntut penjelasan serta imbalan, kalau tidak dia akan membongkar rahasia Mang Enjup. Akhirnya Mang Enjup mengajarkan ilmu gendamnya kepada Loren. Keduanya jadi akrab, dan terus berhubungan, Loren tak jadi bekerja kepada Mang Enjup dan memilih meneruskan studi dan menjadi psikolog praktik, dan ilmu hipnotisnya dia gunakan untuk membantu pasien.
Tapi, sebagaimana Mang Enjup, Loren pun sekali-sekali menyalahgunakan kemampuannya itu. Ketika Bram mengeluhkan Tia, Mang Enjup langsung menyambar kesempatan dan memberitahu tentang Dr. Lorencia. Sesudahnya Mang Enjup menjelaskan apa yang sudah dia lakukan kepada Tia, dan Loren menyanggupi untuk membantu. Loren juga menceritakan semua pengakuan Tia kepada Mang Enjup. Mang Enjup terlihat senang mendengar semua petualangan Tia, apalagi ketika dia tahu pengaruhnya telah membuat Tia jadi lebih berani dan menggoda.
“Tapi Mang,” tanya Loren, “Emang mau diapain si Tia itu? Kan Mang udah dapet nyobain dia.”
“Ada rencana Mang buat dia. Rencana gede. Kapan-kapan Mang ceritain deh. Nanti kalau udah jadi.”
*****
Sepulang kantor, Bram disambut oleh Tia. Sekali lagi penampilan Tia membuat Bram melongo.. Tia malam itu tampak seksi dengan babydoll transparan, rambut tergerai, make-up tebal namun menarik.. dan dia menunggu Bram dengan penampilan seperti itu di depan pintu rumah!
“Mas Brammm...” Tia menyambut suaminya dengan ciuman mesra, lalu dia langsung menarik Bram ke dalam rumah. Sebelum Bram sempat berbuat apa-apa keduanya sudah bercumbu hebat.
Tapi Bram jadi curiga..
BERSAMBUNG..!!
Seri 3 - Tia S4NG3AN
“Kamu tadi dibikin orgasme, bukan oleh suamimu. Bagaimana rasanya Tia?”
“Emm.. enak..”
“Sama aja kan? Sama-sama enak?”
“Iya..”
“Bagus.. Sebenarnya nggak ada bedanya kamu orgasme karena suami ataupun orang lain.. enak kan? Nggak ada salahnya.. nggak ada bedanya,” Loren terus memberi sugesti.
“Nggak ada bedanya..” tanpa sadar Tia mengikuti sugesti Loren.
“Yang penting hanya orgasme.. hanya kenikmatan.. Pahami itu Tia.”
“Ya..”
“Nikmati saja semuanya.. Nggak usah pikirkan suami kamu.. Pikirkan saja kenikmatannya.. Kenikmatan itu tidak salah..”
“Ya..”
“Bagus,” kata Loren sambil mencium kening Tia.
“Sekarang.. pakai lagi bajumu,” perintah Loren.
Loren sendiri juga melepas celana dalam dildo-nya dan kembali mengenakan bajunya. Setelah dia selesai berpakaian, dilihatnya Tia duduk manis di sofa, sudah kembali ke penampilan semula.
“Baik Tia.. sesudah ini kamu akan tidur sejenak, dan kalau bangun lagi kamu tidak akan ingat apa yang barusan kita lakukan, tapi kamu akan ingat semua saranku dan semua kenikmatannya. Kamu tidak akan lagi ragu-ragu, tidak akan trauma lagi. Ngerti?”
“Ya..”
“Bagus. Tidur Tia.. Tidur..”
Kepala Tia tertunduk, tidur.
“Kuhitung mundur dari sepuluh sampai satu, kalau sudah satu kamu akan bangun.”
“Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam.. Lima.. Empat.. Tiga.. Dua..”
“Satu.”
Tia membuka mata. Dia tersenyum, merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Dilihatnya Dr. Lorencia duduk di depannya, menggenggam tangannya.
“Gimana, sudah enakan?” tanya sang psikolog dengan ramah.
“Emm.. iya.. Ren..” Tia memang merasa beban pikirannya sudah lenyap. Dan entah kenapa, dia merasa sangat ingin bertemu suaminya, karena kangen. “Aku nggak tau, tapi kok rasanya aku sudah tentram ya..”
“Baguslah. Masalahmu sudah selesai. Kamu sudah bisa pulang.. Nanti kalau masih ada masalah, jangan segan-segan mampir lagi.. oke?”
Tia mengangguk, dan dia berterimakasih kepada Dr. Lorencia. Sebenarnya dia agak penasaran apa saja yang sudah dilakukan sang psikolog, tapi entah kenapa dia tak merasa perlu bertanya. Dia sudah merasa nyaman dan memang itulah yang dicarinya. Dia kemudian membereskan urusan yang masih tersisa kemudian meninggalkan rumah Dr. Lorencia.
*****
Bram di kantor sedang menunggu Pak Jupri alias Mang Enjup yang belum juga datang. Padahal ada beberapa pekerjaan yang memerlukan atasannya itu, tapi ke mana dia? Sambil menunggu, Bram berpikir tentang Tia. Semoga Tia bisa pulih setelah bertemu psikolog itu. Tapi Bram terpikirkan satu hal lagi. Malam itu, malam ketika trauma Tia dimulai.. Citra ada di rumah.
Citra pasti tahu sesuatu. Bram merasa perlu bertanya.
*****
Tia belum lama pergi. Dr. Lorencia kembali duduk di belakang mejanya sambil membayangkan indahnya tubuh Tia yang sempat dicicipinya sebentar tadi.
“Hey Loren, kamu jangan bayangin macem-macem ya. Tia itu buat Mang. Kita udah ada perjanjian,” kata sesosok man*sia yang tiba-tiba muncul dari belakang Dr. Lorencia. Dia datang dari balik pintu samping ruang praktik Dr. Lorencia. Seorang laki-laki tua botak berperut buncit, yang sedang ditunggu oleh bawahannya di kantor. Dia si Mang Enjup.
“Yah, si Mang, gimana ya? Ternyata dia cakep.. Boleh nggak kubikin dia jadi lesbong juga?” Lorencia menimpali.
“Hus. Jangan lah. Kalau yang lain sih silakan ajah.. Yang ini nggak boleh ya. Soalnya dia orang yang spesial buat Mang.” Mang Enjup mendekat dan merangkul Dr. Lorencia dari belakang.
“Emangnya aku enggak Mang..?” tanya Lorencia manja.
“Ooo.. pasti dong, Loren kan kesayangan Mang. Kalau nggak, mana mau Mang ajarin ilmu Mang ke Loren? Kamu istimewa Ren. Nggak banyak awewe yg Mang cobain tapi udah ada bakat buat nerusin ilmu Mang.”
“Hehehe.. Bilang aja waktu itu Mang kecelek soalnya aku ga mempan digendam.. Gapapa deh, yang penting aku jadi dapat ngewarisin ilmunya Mang.”
Bertahun-tahun lalu, Lorencia, seorang sarjana psikologi, melamar kerja kepada Mang Enjup. Melihat parasnya yang cantik, Mang Enjup sempat mengisengi Loren dengan ilmu gendamnya, tapi entah kenapa, hipnotis Mang Enjup kurang mempan kepada Loren. Mungkin karena Mang Enjup berusaha membuat Loren tertarik kepada dirinya, tapi ternyata Loren punya kecenderungan lesbian sehingga tak mempan.
Itulah yang membuat Mang Enjup menyangka Loren istimewa, dan karena rahasianya sudah terbongkar di depan Loren, Loren pun menuntut penjelasan serta imbalan, kalau tidak dia akan membongkar rahasia Mang Enjup. Akhirnya Mang Enjup mengajarkan ilmu gendamnya kepada Loren. Keduanya jadi akrab, dan terus berhubungan, Loren tak jadi bekerja kepada Mang Enjup dan memilih meneruskan studi dan menjadi psikolog praktik, dan ilmu hipnotisnya dia gunakan untuk membantu pasien.
Tapi, sebagaimana Mang Enjup, Loren pun sekali-sekali menyalahgunakan kemampuannya itu. Ketika Bram mengeluhkan Tia, Mang Enjup langsung menyambar kesempatan dan memberitahu tentang Dr. Lorencia. Sesudahnya Mang Enjup menjelaskan apa yang sudah dia lakukan kepada Tia, dan Loren menyanggupi untuk membantu. Loren juga menceritakan semua pengakuan Tia kepada Mang Enjup. Mang Enjup terlihat senang mendengar semua petualangan Tia, apalagi ketika dia tahu pengaruhnya telah membuat Tia jadi lebih berani dan menggoda.
“Tapi Mang,” tanya Loren, “Emang mau diapain si Tia itu? Kan Mang udah dapet nyobain dia.”
“Ada rencana Mang buat dia. Rencana gede. Kapan-kapan Mang ceritain deh. Nanti kalau udah jadi.”
*****
Sepulang kantor, Bram disambut oleh Tia. Sekali lagi penampilan Tia membuat Bram melongo.. Tia malam itu tampak seksi dengan babydoll transparan, rambut tergerai, make-up tebal namun menarik.. dan dia menunggu Bram dengan penampilan seperti itu di depan pintu rumah!
“Mas Brammm...” Tia menyambut suaminya dengan ciuman mesra, lalu dia langsung menarik Bram ke dalam rumah. Sebelum Bram sempat berbuat apa-apa keduanya sudah bercumbu hebat.
Tapi Bram jadi curiga..
BERSAMBUNG..!!
Seri 3 - Tia S4NG3AN
cerita sex yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..