Cerita Dewasa - Seri 2 - Wawan Yang diBerkahi


CERITA SEBELUMNYA..


Wawan Yang diBerkahi 1


cewek amoy


Esok pagi ini aku agak buru-buru meninggalkan rumah. Karena sebelum ke kantor, aku mau membeli mobil dulu, seperti yang dianjurkan oleh Bu Laila. Sengaja aku mencari mobil di showroom mobil second tapi masih bagus-bagus.

Kebetulan di showroom yang cukup terkenal itu ada mobil yang masih sangat baru.

SUV berwarna hitam itu tidak tergolong mobil mahal, tapi juga bukan mobil murahan. Dengan harga yang sangat miring, mobil itu sudah bisa langsung dibawa pulang. Tidak seperti mobil brand new, yang harus pakai nomor sementara dulu lah, STNK dan BPKBnya pun harus menunggu sekian hari lah. Sementara mobil yang sudah kupilih itu bisa langsung dipakai ke mana saja, dengan surat-surat yang sudah lengkap.

Setelah test driver sebentar, aku langsung menyatakan setuju kepada mobil SUV hitam metalik itu. Setelah melaksanakan transaksi di showroom, aku langsung membawa mobil itu ke kantor, untuk memulai bekerja sebagai aspri Bu Laila yang selalu ingin dipanggil Cinta itu (kalau sedang berduaan saja).

Ketika aku memberesi barang-barangku di ruang kerja lamaku, di lantai tiga, teman-teman pada heran.

"Mau ke mana Wan?" tanya salah seorang di antara mereka.

"Dipindahin ke lantai lima," sahutku.

"Haaa?! Lantai lima kan kantor para dirut dan para manager?!"

"Iya."

"Terus dijadiin apa kamu di sana nanti?"

"Belum tau," sahutku pura-pura belum tahu apa jabatan baruku nanti, "Pokoknya aku ikut aja. Pindah, ya pindah. Oke gaes.. doakan aku bisa melaksanakan tugas baruku di lantai lima."

Aku naik lift menuju lantai lima. Langsung mengetuk pintu ruang kerja Bu Laila.

Bu Laila tampak semringah sekali melihat kedatanganku. Dia mengecup pipi kanan dan pipi kiriku dengan hangatnya.

"Maaf aku terlambat, karena tadi beli mobil dulu," kataku.

"Ohya?! Sudah beli mobil?" Bu Laila tampak senang sekali.

"Sudah. Tapi tadi beli di showroom mobil-mobil second. Kebetulan ada mobil yang baru dipakai tiga bulan. Keadaannya masih 95% baru. Harganya lumayan murah. Sudah langsung bisa dipakai ke luar kota pula."

"Mobil apa? "tanyanya.

"mobil XX-crot-XX".

"Hihihihii.. pintar juga kamu pilih mobil Honey."

"Nggak mau lihat mobilnya?"

"Jangan. Nanti karyawan malah curiga. Masa mobil aja dilihat langsung olehku. Kalau ada yang nanya nanti, bilang aja mobil itu dibeli dengan uangmu sendiri Honey. Jangan sampai ada yang tau kalau aku yang ngasih duitnya. Nanti mereka pada ngiri sama kamu," kata Bu Laila yang disusul dengan kecupan hangatnya di bibirku.

Kemudian Bu Laila menunjukkan ruang kerjaku yang letaknya berdampingan dengan ruang kerjanya. Bahkan boleh dibilang ruang kerjaku ini satu ruangan dengan ruang kerja Bu Laila, karena hanya dibatasi oleh partisi yang terbuat dari kaca buram (blur).

"Apakah ini bukannya ruang kerja sekretaris?" tanyaku sambil meletakkan barang-barangku di atas meja kerjaku.

"Hush.. tadinya ruang kerja ini tempat kerjaku. Sedangkan ruang kerjaku yang kutempati sekarang, tadinya ruang kerja ayahku. Sekarang ruang kerja ayahku diserahkan padaku. Tapi secara resminya dua bulan lagi perusahaan ini jadi milikku. Siap-siap aja untuk kuangkat sebagai dirut nanti."

"Wow.. mudah-mudahan aku mampu melaksanakan tugas yang berat itu. Terus Cinta sendiri jadi apa nanti?"

"Aku jadi komisaris utama lah. Mmm.. mulai sekarang harus rajin baca buku tentang managemen, marketing dan leadership ya. Setelah kuanggap pasti mampu, aku akan segera mengangkatmu sebagai direktur utama. Keren kan?"

"Sangat-sangat keren. Tapi Cinta harus tetap membimbingku, sjupaya aku tidak salah dalam mengeluarkan kebijaksanaan."

"Gampang itu sih. Sebenarnya yang benar-benar bekerja itu para manager dan stafnya masking-masing. Direktur utama hanya perlu menetapkan garis-garis besar beleid perusahaan saja."

"Beleid itu kebijakan ya."

"Iya, Ada lagi yang lebih penting," kata Bu Leila kemudian berbisik, "Kamu harus bisa menghamiliku Honey."

Aku mengangguk tersenyum, "Mudah-mudahan aku bisa mewujudkan keinginan itu, Cinta."

"Tapi sekarang aku baru saja dapet.." ucapnya tersipu.

"Dapet apa?" tanyaku penasaran.

"Dapet datang bulan," sahutnya.

"O gitu.. hihihi.. kirain dapet apa."

"Sabar ya Honey. Nanti setelah memasuki masa subur. Pada masa itulah kita harus melakukannya secara intensif, supaya aku bisa hamil."

"Iya Cinta.. apa pun akan ku lakukan untuk mewujudkan keinginanmu itu."

Bu Laila mencium bibirku mesra.

Hari itu aku lumayan sibuk untuk beradaptasi dengan suasana baru ini. Sebagai aspri Bu Laila ini. Bukan sekadar jadi karyawan biasa di bagian administrasi itu.

Namun pada jam makan siang, Bu Laila membolehkanku pulang duluan. Untuk mengurus renovasi rumahku.

Siang itu aku langsung menjumpai Mas Bowo, ahli bangunan yang biasa dipakai oleh boss lamaku (pemilik beberapa taksi yang dahulu jadi tempatku bekerja itu). Setelah ngomong sedikit tentang rencanaku, Mas Bowo pun kuajak ke rumahku.

Rumahku menghadap ke utara. Bukan rumah besar, tapi tanah di sekitarnya lumayan luas. Karena itu aku berencana untuk membangun dua kamar baru di sebelah timur dan satu garasi berikut sebyuah kamar di belakang garasi itu di sebelah barat rumahku. Dengan demikian, aku bisa membangun semuanya tanpa mengganggu Ibu dan kakakku.

Setelah berunding dengan Mas Bowo, tercepai kesepakatan bahwa pembangunan itu bisa selesai dalam tempo dua bulan.

Setelah Mas Bowo berlalu, aku mengajak Ibu dan kakakku duduk di ruang tamu. Aku duduk di kursi panjang, diapit oleh Ibu di sebelah kananku dan Wati di sebelah kiriku.

Kuceritakan semuanya. Bahwa aku sudah punya mobil. Bahwa rumah akan segera direnovasi, tapi takkan mengganggu ibnu dan kakakku karena pembangunan itu takkan mengganggu rumah lama. Jika Rumah baru selesai, rumah lama ini akan dirobohkan dan dibangun ruang lainnya.

Ibu dan Wati tampak gembira sekali mendengar penuturanku. Mereka menciumi pipiku dari sebelah kanan dan kiriku saking gembiranya.

"Nanti aku akan menyetubuhi Ibu dan Wati di atas ranjang Ibu."

"Haaa?!" Ibu kaget. Wati pun terperanjat.

"Gak ada yang perlu dirahasiakan lagi ya. Wati sudah tidak perawan lagi sejak berada di Kalimantan. Ibu juga sudah sering kusetubuhi. Jadi.. mendingan kita bikin acara happy-happy nanti malam ya Bu, ya Wat.." kataku dan menyelinapkan tangan kananku ke balik celana dalam Ibu dan menyelinapkan tangan kiriku ke balik celana dalam Wati.

"Ibu tak usah mempersoalkan masalah Wati. Aku sudah memutuskan, daripada Wati ngeluyur ke tempat jauh lagi untuk mencari kontol, biarlah kontolku saja yang akan memuasinya. Dan karena Ibu masih muda, sebelum Ibu punya suami lagi, biar aku saja yang.."

"Iya Wan.." balas Wati yang merenggangkan kedua kakinya, karena tanganku sudah menggerayangi memeknya.

"Ibu juga.. semuanya terserah Wawan saja bagaimana baiknya.. aaaah.." ucap Ibu yang disusul dengan desahan, karena jari tengah kananku sudah menyelinap ke dalam liang memeknya.

"Kalau begitu, aku mau mandi dulu ya. Biar badannya seger. Setelah mandi kita langsung bikin acara bertiga nanti." kataku

"Aku juga mau ikut mandi sama kamu Wan," kata Wati.

"Ibu juga mau mandi, biar badannya segar dan wangi," kata Ibu.

"Ayo deh.. kita mandi rame-rame kalau gitu," ucapku

Ku tuntun mereka ke dalam kamar mandi.

Di dalam kamar mandi aku membayangkan kehidupan manusia di zaman purbakala. Mungkin seperti ini pula yang terjadi. Bahwa ibu dan kakakku sedang menelanjangi dirinya di dalam kamar mandi, tanpa keraguan sedikit pun kelihatannya.

Menyenangkan sekali rasanya, mandi bersama dua orang wanita yang sudah pada telanjang ini. Meski mereka adalah ibu dan kakak kandungku.


===x=x=x===


Di rumah ini akulah satu-satunya orang yang bisa melihat secara normal. Karena itu baik Ibu mau pun Wati mungkin merasa bahwa mereka harus menurut pada setiap kehendakku. Tapi aku pun tak mau seenaknya saja, karena Ibu adalah wanita yang melahirkanku ke dunia ini, sementara Wati adalah kakak kandungku.

Aku ingin membahagiakan mereka. Satu saat nanti aku akan membawa mereka ke dokter spesialis mata. Aku pernah membaca bahwa tidak semua kebutaan tidak bisa disembuhkan. Siapa tahu ibu dan kakakku bisa disembuhkan kebutaannya.

Setelah selesai mandi dan mengeringkan badan dengan handuk masing-masing, kutuntun Ibu dan Wati ke dalam kamarku. Bukan ke dalam kamar Ibu. Karena di dalam kamarku bednya lebih besar daripada bed Ibu.

Di atas bed itulah Ibu dan Wati menelentang berdampingan.

Aku memilih Ibu dulu. Kujilati memeknya sampai benar-benar basah, kemudian kubenamkan penisku ke dalam liang memeknya yang sudah basah kuyup ini.

Bleeeesssss.. batang kemaluanku membenam ke dalam liang memek Ibu. Membuat Ibu ternganga dan menahan nafasnya.

Aku mulai mengentotnya sambil meraba-raba pangkal paha Wati, sampai menyentuh memeknya.

Asyik sekali rasanya, bisa mengentot Ibu sambil mainin memek Wati yang lama kelamaan jadi basah juga, karena jariku dicolok-colokkan ke dalam liang memeknya. Tanganku yang satu lagi kupakai untuk meremas-remas toket Ibu.

Ibu pun mulai merintih-rintih, "Waaaan.. kontolmu enak sekali Waaan.. entot teruuusss.."

Tampaknya Wati sangat terangsang mendengar rintihan-rintihan Ibu seperti itu. Maka meski pun jariku sedang disodok-sodokkan ke liang memeknya, Wati pun mengelus-elus kelentitnya sendiri. Dengan mulut ternganga-nganga.

Maka setelah lebih dari seperempat jam aku mengentot Ibu, "Aku mau ngentot Wati dulu ya Bu. Kasian dia udah kepengen diewe." bisikku pada Ibu

"Iya," sahut Ibu yang liang memeknya sudah becek sekali.

Aku pun pindah ke atas perut Wati yang sudah menunggu giliran. Dia terlihat senang setelah aku menyelinapkan moncong penisku di mulut memeknya.

Dengan Wati memang tidak perlu berlama-lama foreplay. Langsung saja kubenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memeknya yang sudah basah ini akibat kumainkan saat ngentot memek Ibu.

"aaah.. masuuuk.." desah Wati spontan mendekap pinggangku ketika batang kemaluanku sudah terbenam separohnya.

Wajahku yang sudah berada tepat di atas wajah Wati, ku perhatikan wajahnya dengan seksama. Secara objektif kunilai, wajahnya cantik. Matanya sepintas seperti mata normal. Hmmm.. seandainya dia bisa melihat seperti aku, mungkin lain lagi ceritanya.

Ketika aku mulai mengayun batang kemaluanku, diam-diam aku melamun. Ingin agar Wati bisa melihat seperti cewek normal. Pasti dia bahagia sekali. Sebagai adiknya, aku pun akan turut merasa bahagia. Dan bukankah di zaman sekarang teknologiknya sudah sangat maju, sehingga banyak orang buta jadi bisa melihat secara normal?

Mudah-mudahan saja rejekiku makin lama makin banyak. Supaya aku bisa menyembuhkan kebutaan ibu dan kakakku.

Pada saat batang kemaluanku mulai gencar mengentot liang memek Wati yang luar biasa legitnya ini, aku pun masih sempat meraba-raba memek Ibu yang masih celentang di samping Wati. Bukan hanya meraba-raba. Dua jari tanganku sudah masuk ke dalam liang memek Ibu yang masih basah ini. Sehingga aku mulai mendengar desahan dari dua arah.

Tangan kananku mengentot liang memek Ibu, batang kemaluanku mengentot liang memek Wati, tangan kiriku meremas-remas tgoket kanan Wati, sementara lidahku menjilati leher kakakku yang terasa hangat ini. Disertai dengan gigitan-gigitan kecil, yang membuat Wati ternganga dan mendesah-desah,

"Aaaa.. Ahh.."

Pada waktu sedang enak-enaknya mengentot kakakku, terawanganku pun tetap menggelayuti benak dan batinku. Seandainya ibu dan kakakku sama-sama bisa melihat, mungkin lebih seru lagi suasananya. Atau.. mungkin juga ibu tak mau lagi dientot oleh anaknya sendiri dan Wati pun tak mau lagi dientot olehku.

Tapi soal apa reaksi mereka setelah bisa melihat nanti, aku tak peduli. Yang jelas aku sayang kepada mereka. Karena itu aku tak peduli bagaimana reaksi mereka kelak, asalkan mereka bisa melihat seperti aku. Itu saja.

Dan kini Wati tidak bisa melihat tanganku yang sedang "ngerjain" memek Ibu, sampai Ibu menggeliat-geliat begitu. Wati hanya tahu bahwa genjotanku makin lama makin gencar dan berkali-kali menyundul dasar liang memek kakakku.

Keringat pun mulai membasahi leher dan ketiak Wati. Tapi aku malah semakin bergairah untuk menjilati dan menggigit-gigit leher dan ketiaknya. Yang membuat Watiu meremas-remas rambutku dan merintih,

"Oohh Waaaan.. ini luar biasa enaknya.. entot terusss.."

Cukup lama aku menyetubuhi kakakku. Dan aku tahu bahwa ia sudah lebih dari dua kali orgasme. Tapi dia tidak mau mengatakannya. Padahal liang memek kakakku sudah sangat becek. Dan aku sendiri suidah berada di detik-detik krusial. Sudah dekat-dekat ejakulasi.

Tapi dengan cepat aku melawan diriku sendiri. Cepat kucabut batang kemaluanku dari liang memek kakakku. Lalu menarik nafas panjang tiga kali. Dan kubenamkan batanbg kemaluanku ke dalam memeknya

Ibu tampak senang dan memelukku erat-erat, sementara aku langsung mengayun penisku di dalam liang memek Ibu yang tidak sebecek tadi lagi.

Tapi perlawananku malah melemah. Aku tak bisa bertahan terlalu lama di atas perut Ibu. Akhirnya kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sambil menembak-nembakkan lendir maniku di dalam liang memek Ibu.

Crooottt.. crottt.. crooottt..!

Aku pun menggelepar di atas perut Ibu. Dengan keringat membanjiri sekujur tubuhku..


===x=x=x===


Tiga bulan kemudian..

Rumahku sudah mulai berubah. Di samping kanan sudah ada kamar untuk Ibu dan untuk Wati. Jauh beda dengan kamar lama. Karena kamar baru ini sudah ada kamar mandinya masing-masing, yang dilengkapi p;eh shower dan water heater. Jadi baik Ibu mau pun Wati, tidak perlu memakai gayung plastik lagi. Tidak akan kedinginan lagi kalau mau mandi subuh atau malam.

Kamar tidurnya pun sudah dilengkapi oleh AC dan furniture serba baru yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. Selain lemari-lemari pakaian, tiap kamar dilengkapi dengan satu set sofa model masa kini, pesawat televisi LED kecil (karena percuma juga dibelikan televisi layar lebar, toh mereka hanya bisa mendenarkan suaranya saja).

Di sebelah kiri rumah lama, sudah ada garasi yang berdampingan dengan kamarku. Jadi kalau mobilku sudah masuk ke dalam garasi, aku bisa langsung membuka pintu kamarku.

Sementara itu rumah lama pun sudah dirombak. Ruang tamu dan kamar-kamar lama dijadikan ruang tamu baru, ruang keluarga, kitchen dan kamar pembantu. Dinding luarnya tidak diganggu. Hanya sekat-sekat dan pintu-pintunya yang dirobah, sesuai dengan yang kuinginkan.

Kebetulan aku sudah mendapatkan seorang pembantu yang ingin bekerja di rumahku. Sudah lama aku menginginkan ada pembantu, tapi dahulu aku hidup pas-pasan. Jangankan menggaji pembantu, untuk kebutuhan sehari-hari pun sering ngutang ke warunbg yang dekat dengan rumahku.

Namun sekarang aku merasa sudah mampu menggaji pembantu. Tugasnya adalah masak, membersihkan rumah, cuci pakaian dan cuci piring. Selain daripada itu, Bi Euis (nama pembantu itu) kutugaskan untuk menjaga dan mengawasi Ibu serta Wati. Karena mereka tunanetra, jangan sampai mengalami hal-hal tidak diinginkan.

Untuk itu aku berani menggaji Bi Euis dalam jumlah yang lebih besar daripada pembantu pada umumnya di daerahku.

Dengan demikian, aku merasa nyaman karena telah bisa menempatkan Ibu dan kakakku di rumah yang nyaman ditinggali, ada yang melayani mereka pula kalau aku sedang tidak di rumah.


===x=x=x===


Beberapa bulan setelah Bu Laila mengangkatku sebagai direktur utama, perusahaan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Mujngkin karena tenaga dan pikiranku dipusatkan pada perkembangan perusahaan. Atau mungkin juga karena faktor keberuntungan berpihak padaku.

Namun aku berpegang kepada prinsip managemen modern. Bahwa diam itu berarti mundur.

Jadi buatku perusahaan tidak boleh hari ini tetap sama seperti kemaren. Bagiku, hari ini harus lebih baik daripada kemarin. Dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini.

Pokoknya aku benar-benar all out di perusahaan yang sudah menjadi milik Bu Laila ini.

Namun meski pun aku sibuk dengan urusan perusahaan, aku tak lupa pada tekad semulaku. Yakni untuk membawa Ibu dan Wati ke dokter spesialis mata. Sekaligus ingin tahu berapa biayanya jika mata Ibu dan Wati bisa disembuhkan.

Hal itu kuungkapkan kepada Ibu pada suatu malam, ketika aku baru pulang kerja, selesai mandi malam dan mengenakan kimono yang terbuat dari bahan handuk putih bersih.

Saat itu kulihat Wati sudah tidur, tapi Ibu masih duduk di sofa depan televisi. Aku terharu melihat ibuku yang senang sekali mendengarkan suara televisi, tanpa melihat gambarnya.

Saat itu Ibu mengenakan kimono hitam, sehingga kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih.

Sejak ditempatkan di kamar barunya, Ibu jadi kelihatan lebih cantik. Wajahnya pun seperti memancarkan sinar saking cantiknya. Mungkin karena Ibu jadi lebih rajin mandi dengan air hangat. Sehingga sekujur tubuhnya jadi bersih sekali. Wajahnya pun tampak lebih cemerlang, meski tanpa polesan make up. Semuanya natural.

Seandainya Ibu bisa melihat, mungkin akan lebih cantik lagi. Karena bisa memoles wajahnya di depan cermin rias.

Meski pun tidak bisa melihat, Ibu menyadari kehadiranku di dalam kamarnya.

"Baru pulang Wan?" tanyanya.

"Iya Bu. Di kantor sibuk sekali," sahutku disusul dengan kecupan di pipinya dan duduk di sampingnya.

Begitu aku duduk di sampingnya, Ibu langsung meraba-raba kimonoku, menyelinap ke baliknya dan langsung memegang batang kemaluanku, karena aku tidak mengenakan celana dalam.

"Ibu udah kangen sama kontolmu Wan. Udah empat hari kamu gak ngecrotin rahimku kan?"

"Mau dientot? Ayo di tempat tidur aja, biar leluasa," ucapku dan menuntunnya ke tempat tidur.

Di atas tempat tidur kami sama-sama telanjang bulat.

Ibu lansung rebahan dan ngangkang. Aku menepuk-nepuk memeknya yang sudah 4 hari tidak ku genjot.

"Memek Ibu memang cantik sekali bentuknya. Seperti belum pernah melahirkan."

"Padahal ibu sudah tiga kali melahirkan Wan."

"Tiga kali? Bukankah Ibu hanya punya dua orang anak, Wati dan aku?"

"Sebenarnya setahun setelah melahirkan kamu, ibu melahirkan anak lagi. Tapi dia diadopsi oleh orang kaya bernama Hasyim. Ibu kasihkan saja, karena ibu ini buta, tidak bisa mengurus anak banyak-banyak."

"Jadi aku ini punya adik?!"

"Iya Wan. Adikmu perempuan. Matanya normal seperti kamu."

"Siapa namanya?"

"Belum dikasih nama. Gak tau Pak Hasyim ngasih nama apa sama adikmu itu."

"Sekarang Pak Hasyim itu tinggal di mana?"

"Nggak tau. Ibu hanya dengar adikmu itu dibawa ke luar Jawa. Entah ke Sumatra atau Kalimantan atau Sulawesi.. entahlah. Bahkan mungkin juga dibawa ke luar negeri, karena kabarnya Pak Hasyim itu punya perusahaan di luar negeri segala."

"Ya biarlah, kalau dia diadopsi oleh orang tajir, kehidupannya pun tentu bergelimang harta. Tak usah kita pikirkan benar," kataku

Aku jilati memeknya. Ibu menikmati enaknya jilatanku ini.

Terlebih lagi aku sedoti kelentitnya, Ibu menggeliat-geliat.

"Aaah.. Waaaan.. masukin kontolmu.."

Aku arahkan kontolku dan ku benamkan ke dalam liang memeknya. Ku gencarkan genjotanku dengan gairah menggebu-gebu.

Ibu pun merintih histeris sambil meremas-remas rambutku, "Aaah.. Waaaan.. kontolmu memang enak sekali aaah.."

Aku pun menyahut dalam bisikan terengah di dekat telinga Ibu, "Memek Ibu juga enak sekali.. ughhh.. legit sekali Buuu.."

Sementara itu genjotanku semakin ku gencarkan, ku jilati lehernya diiringi dengan gigitan-gigitan kecil.

Hal ini berlangsung lama. Lebih dari duapuluh menit aku "berpush-up" di atas perut ibuku, sementara mulutku tetap asyik menjilati dan menggigit-gigit leher Ibu. Tanganku pun ikut asyik meremas-remas toketnya yang tidak sekencang toket Wati namun masih enak untuk diremnas dan diemut pentilnya.

Ibu pun merintih-rintih terus sambil meremas-remas bahuku. sesaat kemudian Ibu mulai berkelojotan sambil memekik-mekik perlahan,

"Waaan.. ibu udah mau lepas Waaaan..!"

Tubuh ibuku kejang sambil memejamkan matanya, mencengkram sepasang bahuku erat-erat. Trasa nikmat di kontolku dalam liang memek Ibu yang berkedut-kedut erotis.

Tak lama kemudian mata ibuku terbuka kembali, dengan sorot sayu.

"Cabut kontolmu Wan.. ibu udah kepayahan nih.."

"Tapi aku belkum ngecrot Bu," sahutku bernada complain.

"Lepasin di memek Wati aja gih. Ibu sudah kekenyangan Wan.." ucap Ibu sambil mendorong dadaku, agar tidak menghimpit toketnya lagi.

Meski agak jengkel, kucabut juga penisku dari dalam liang memek Ibu, mengambil kimonoku dan melangkah ke luar. Dan membuka pintu kamar Wati.

Aku tersenyum sendiri merlihat kakakku tidurnya celentang dengan kedua kaki mengangkang begitu. Sehingga memeknya yang tidak bercelana dalam itu pun tampak ternganga. Seperti trenggiling yang sedang menunggu semut masuk ke dalam mulutnya.

Kuletakkan kimonoku di samping kanan Wati. Kemudian kusingkapkan daster katun putihnya perlahan-lahan. Dan kudekatkan mulutku ke memeknya.

Aku tahu bahwa Wati kalau sudah tidur susah sekali dibangunkannya. Karena itu aku yakin kalau sekadar dijilatin memeknya takkan membuat dia bangun, kecuali kalau kelentitnya kusedot-sedot. Tapi kali ini aku bukan ingin menjilati memeknya. Aku hanya ingin mengalirkan air liurku ke dalam celah memeknya.

Aku berhasil melakukannya, mengalirkan air liurku ke dalam celah memek Wati tanpa menyentuh memeknya. Karena memeknya memang agak menengadah ke atas.

Setelah cukup basah, dengan hati-hati kuselipkan moncong penisku ke dalam mulut memek kakakku. Kemudian kudorong sekuat tenaga.

Blesssss..

masuk lebih dari separohnya..!

Pada saat yang sama, Wati memekik tapi cepat kututup mulutnya dengan telapak tanganku,

"Ini aku Wat.."

"Wawan?! Aaaah.. kamu bikin aku kaget aja. Kirain ada orang jahat. Ternyata kamu.. adikku tersayang," sahut Wati sambil meraih leherku tampak enjoy.. menikmati genjotanku.

Saat itu daster masih melekat di tubuh Wati. Hanya bawahnya saja disingkapkan sampai ke perut. Wati pun menyadari hal ini, dengan susah payah daster itu dilepaskan lewat kepalanya.

"Kalau gak telanjang, terasa kurang sempurna."

Wati mulai menggoyang pinggulnya. Membuatku semakin bersemangat menyetubuhinya.

Tapi tiba-tiba Wati menghentikan goyangannya. "Bosen posisi begini terus. Posisi doggy aja yok."

"Boleh," sahutku sambil menarik penisku sampai terlepas dari memek kakakku.

Kemudian Wati merangkak dan menungging di atas bed. Aku pun berlutut di dekat pantatnya. Dan kujebloskan batang kemaluanku ke dalam liang memeknya kembali. Dalam posisi doggy kami lanjutkan persetubuhan ini. Aku berlutut mengentot kakakku yang sedang menungging sambil memeluk bantalnya.


===x=x=x===


Wati juga kunilai seperti Ibu. Seandainya dika bisa melihat secara normal, aku yakin banyak cowok yang bakal naksir dia. Karena kakakku itu bukan hanya cantik, tapi juga punya kulit yang putih mulus, punya bentuk tubuh yang seksi habis.

Ya, Wati punya tubuh tinggi langsing, dengan pinggang yang ramping, tapi baik toket mau pun bokongnya gede banget. Sehingga bentuk tubuhnya mirip biola.

Wajahnya pun cantik. Bahkan sepasang matanya tampak seperti mata normal. Tidak seperti mata tunanetra pada umumnya. Maka kalau dilihat sepintas lalu, orang takkan mengira bahwa Wati itu seorang gadis tunanetra.

Dan kini tubuh seksi abis itu sedang kusetubuhi dalam posisi doggy seperti yang diinginkannya.

Sambil mengentot liang memeknya, aku mulai menepuk-nepuk pantat kakakku yang gede semok ini.

Tampaknya kakakku senang dengan tepukan itu. "Iya Wan.. tabokin bokongku lebih keras lagi. Enak tuh."

Kuikuti keinginan Wati itu dengan menabok-nabok pantat gedenya.

Berbeda dengan Ibu yang senang dientot dalam irama "nyiur melambai", kakakku ini seneng dientot dengan gaya banteng ngamuk. Bayangin aja kalau banteng ngamuk, apa pun yang ada di depannya pasti diseruduk.

Aku pun melakukannya dengan gaya banteng ngamuk itu. Tapi bukan mau menghancurkan, melainkan ingin agar genjotanku "terasa" oleh kakakku.

Dengan batang kemaluan diayun scepat bdan sekeras mungkin, kutampar-tampar pantat kakakku sekuatnya seperti yang diinginkannya. Maka suara unik pun terdengar dari dua arah. Suara penisku yang sedang maju mundur di dalam liang memek Wati, dan suara tamparan-tamparanku di pantatnya.

Crrek srttt..

Bunyi tamparan-tamparanku di pantat Wati baru berhenti kalau aku sudah mrapatkan dadaku ke punggung kakakku, sambil meremas-remas toket gedenya sepuasku. Wati memang tidak protes kalau aku meremas toket gedenya kuat-kuat. Bahkan kelihatannya dia lebih suka kalau tokletnya diremas kuat-kuat. Berbeda dengan ibuku yang ingin agar payudaranya diremas pelan-pelan, secara lembut.

Kalau diibaratkan musik, mungkin Ibu lebih suka musik yang slow dan mendayu-dayu. Sementara Wati lebih suka musik metal atau deephouse..!

Dalam masalah sex, aku memang tidak mau egois. Aku selalu ingin mengikuti keinginan pasangan seksualku. Karena kalau pasanganku merasa puas, aku pun ikut puas.

Setiap kali kusetubuhi, Wati tak pernah berdiam diri seperti patung. Pantatnya selalu saja bergoyang-goyang diiringi rintihan-rintihan histerisnya.

"Aaaah.. enak sekali Waaaan.. enaaaak.."

Kini goyangan pantat Wati terasa ngawur. Dan akhirnya dia ambruk diiringi pekikan lirihnya, "aaa.. aaahhh.."

Dengan sendirinya penisku pun terlepas dari liang memeknya. Dia orgasme.

Wati lalu menelentang dengan sepasang tangan direntangkan, Kedua kakinya pun direnggangkan.

Wati seolah mempersilakanku melanjutkan genjotanku. Tanpa buang-buang waktu aku pun merangkak sambil memegangi kontolku yang masih ngaceng berat ini.

Dan dengan sekali dorong, penisku langsung masuk seluruhnya ke dalam liang memek Wati yang sudah becek ini..

blessskkkk ..

Wati masih tampak tepar. Tapi aku langsung mengayun batang kemaluanku. Bermaju mundur lagi di dalam liang memek yang sudah becek ini. Sambil meremas-remas toket gedenya, aku pun mulai menjilati leher kakakku, disertai dengan gigitan-gigitan kecil yang tidak menyakitkan.

Wati pun tampak mulai bergairah kembali. Dengan menggeol-geolkan pinggulnya. Bergoyang menyerupai angka 8. Sehingga meski liang memeknya sudah becek, tapi masih mampu membesot-besot dan meremas-remas kontol ngacengku.

"Waaan.. oooh.. kontolmu memang gede dan panjang sekali.. ini luar biasa enaknya Wan.. yang kencang aja Wan.. terus Waaaan.. enak sekaliiii.."

Cukup lama batang kemaluanku "memompa" liang memek kakakku. Sehingga keringat mulai membanjiri tubuhku, bercampur aduk dengan keringat kakakku.

"Memekmu juga enak sekali Wat.. legit lagi.. enak sekali.." ucapku sambil meremas-remas toket gede dan menjilati lehernya yang sudah keringatan.

Wati tidak menyahut. Tapi pantatnya semakin gila-gilaan bergoyang memutar-mutar dan meliuk-liuk.

Sampai terdengar suaranya terengah-engah, "Aaaa.. aku udah.. mau.. mau lepas lagi.. aaaah.."

Kebetulan aku pun sudah tiba di detik-detik krusial. Tanda-tanda mau ejakulasi sudah kurasakan. Maka genjotanku semakin kupercepat.

Maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya. Sementara Wati pun mulai berkelojotan sambil meremas-remas rambutku.

Kami berhasil mencapai puncak kenikmatan secara berbarengan. Bahwa ketika Wati terkejang-kejang dengan liang memek berkedut-kedut kencang, moncong kontolku pun sedang mengejut-ngejut sambil menembak-nembakkan lendir kenikmatanku.

Crooottt.. crooottt.. crooottt..!

Lalu kami terkulai lemas. Dalam kepuasan sedalam lautan.


==x=x=x==


Sepuluh hari kemudian, Ibu dan Wati dirawat di rumah sakit spesialis mata, atas rujukan dokter spesialis mata yang sudah memeriksanya secara teliti di tempat prakteknya. Nanti di rumah sakit itu Ibu dan Wati akan diteliti secara intensif, kemudian dicarikan solusinya agar bisa melihat secara normal.

Setelah mengantarkan Ibu dan Wati ke rumah sakit, aku pun pulang dengan badan terasa pegal-pegal. Karena dari pagi sibuk di kantor, dari siang sampai sore mengurus Ibu dan Wati.

Setibanya di rumah, badanku terasa pegal-pegalku, kupanggil Bi Euis.

"Ada apa Den?" tanya Bi Euis di ambang pintu kamarku.

"Bisa mijit Bi? Badanku pegel-pegel sekali," sahutku.

"Bisa sih sedikit-sedikit. Tapi sebentar ya Den. Mau nyisir dulu, baru selesai mandi."

"Iya, jangan lama-lama ya."

"Iya Den."

Setelah Bi Euis berlalu, kulepaskan baju dan celana piyamaku. Lalu dalam keadaan cuma tinggal bercelana dalam, aku menelungkup di atas bedku.

Tak lama kemudian terdengar suara Bi Euis, "Mau pakai balsem atau minyak apa Den?"

Sambil tetap menelungkup kusahut, "Gak usah pakai minyak apa-apa Bi. Pakai tangan Bibi aja."

Lalu terasa bed bergoyang. Bi Euis sudah naik ke atas bedku. Lalu mulai memegangi telapak kakiku. Dan mulai memijatnya.

"Yang lama mijitnya ya Bi. Nanti kukasih bonus."

"Iya Den."

Lalu terasa kedua tangan Bi Euis mulai memijat dan mengurut-urut betisku, sambil bertanya, "Ibu dan Neng Wati jadi dirawat di rumah sakit Den?"

"Iya. Cuma usaha aja Bi. Mudah-mudahan mereka bisa melihat sepertti kita."

"Den.. Ibu itu ibu kandung Den Wawan?"

"Iya. Emang kenapa?"

"Heheheh.. gak kenapa-kenapa Den. Anu.. mmm.. anu.. Den Wawan tidak tunanetra seperti Ibu dan Neng Wati ya."

Aku heran. Pertanyaan itu berdasarkan apa?

Aaah.. jangan-jangan suara rintihan Ibu waktu kusetubuhi terdengar oleh Bi Euis. Mangkanya Bi Euis seperti kurang percaya kalau Ibu itu ibu kandungku.

Jangan-jangan Bi Euis curiga pada apa yang sering terjadi di rumah ini..!

Aku harus mencegahnya. Siapa tahu dia sudah menyadari apa saja yang terjadi di antara aku dengan Ibu dan Wati. Lalu bisa saja dia menyebar gossip ke tetangga nanti.

Untuk membungkam mulut Bi Euis aku punya caraku sendiri.

Tadinya aku tak pernah punya perhatian berlebih kepada Bi Euis. Tapi setelah mencium gelagat mencurigakan, aku merasa harus melawannya dengan caraku sendiri.

Kalau mau main libas sembarangan, di kantor juga banyak cewek yang kelihatan memancxing-mancing padaku. Tapi aku tak pernah menggoda seorang karyawati pun di kantor. Terlebih kalau mengingat Bu Laila yang begitu dalam mencintaiku. Kalau ketahuan macem-macem di kantor, bisa dipecat aku nanti.

Tapi Bi Euis ini, harus mendapatkan perlakuan khusus dariku. Agar seandainya dia tahu rahasiaku dengan Ibu dan kakakku, dia akan tutup mulut.

Lalu aku telentang, "Bagian depannya juga Bi."

"Iya.." sahutnya

Dia menunduk, memandang ke arah yang sedang dipijitnya. Pada saat itulah kuperhatikan bentuk Bi Euis yang lumayan cantik. Bahkan kulitnya lebih putih daripada kulit ibu dan kakakku.

"Umur Bibi sekarang berapa tahun?" tanyaku.

"26 Den."

"Wah.. cuma beda dua tahun denganku. Terus.. sejak kapan hidup menjanda?"

"Sudah setahun Den."

"Punya anak berapa orang?"

"Belum punya anak seorang pun. Justru mantan suami menceraikan saya juga karena sudah lima tahun berumah tangga, tidak punya anak seorang pun."

"Memangnya Bibi menikah pada usia berapa?"

"Duapuluh tahun Den."

"Umur duapuluh kawin, umur duapuluhlima jadi janda ya."

"Hehehee.. iya Den. Sudah takdirnya harus begini," ucapnya dengan suara lirih.

Pada saat itulah diam-diam kusembulkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini dari celah celana dalamku. "Gak kangen sama yang begini?" tanyaku sambil menarik tangannya sampai menempel di batang kemaluanku.

"Waaauuu Deeen..!" serunya dengan mata terbeliak dan tangan gemetaran, "Iiii.. ininya ha.. harus dipijit juga? Iiiih.. gede dan panjang sekali.. hihihiiii.."

"Iya.. pijitnya pake memek aja Bi. Supaya nikmat," kataku sambil menarik kedua tangannya, sehingga dadanya terhempas ke atas dadaku.

Dengan sigap aku pun mendekap pinggangnya erat-erat. Ku rapatkan pipiku ke pipinya, "Sebenarnya kalau didandani, Bi Euis ini cantik lho.."

"Siapa yang mau dandani saya.." sahutnya nyaris tak terdengar.

"Nanti aku yang dandani. Asalkan bisa nyimpen rahasia aja," ucapku sambil meremas-remas bokong gedenya. Ya.. salah satu daya tarik Bi Euis adalah bokongnya itu. Gede dan menggiurkan.

"Te.. terus saya harus gimana Den?" tanyanya yang masih nemplok di atas dadaku.

"Mumpung Bi Euis belum kawin lagi, kita main aja yok. Biar aku jadi sayang sama Bibi."

"Ma.. main apa Den?"

Aku menyahutnya dengan bisikan, "Bersetubuh.."

"Mmm.. siapa sih yang gak mau digauli sama cowok seganteng Den Wawan. Tapi saya takut.. takut hamil Den."

"Soal itu sih jangan takut. Aku punya pil anti hamil."

"Kalau gitu.. terserah Aden aja deh.."

"Wanita kalau sudah bilang terserah, berarti mau kan?" cetusku sambil bangkit. Bi Euis pun duduk dengan sikap canggung dan malu-malu.

Dalam keadaan cuma bercelana dalam ini, aku mendekap pinggang Bi Euis dari belakang. Saat itu Bi Euis mengenakan daster batik yang sudah agak lusuh. Tapi aku tak peduli dengan daster lusuhnya. Yang penting tubuh di balik daster lusuh itu.

Dan tanganku mulai menyelinap ke dalam dasternya. Mulai mengusap-usap perutnya yang masih terasa kencang dan ramping.

"Sebenarnya sudah lama aku menunggu kesempatan ini," bisikku sambil menyelinapkan tangan ke balik celana dalamnya. Tentu saja ini suatu kebohonganku. Karena tadinya aku tak punya perhatian sedikit p;un kepada Bi Euis.

"Mumpung Ibu dan Neng Wati gak ada ya Den. Kalau mereka sudah pulang, gak bisa bebas lagi mungkin," ucapnya tanpa menepiskan tanganku yang sudah berkeliaran di dalam celana dalamnya. Dan membuatku tahu bahwa memek Bi Euis tidak ada jembutnya, dicukur habis. Ternyata seorang pembokat juga sudah mengikuti zaman, dengan mencukur habis jembutnya.

"Siapa bilang? Coba aja kalau mereka sudah pulang nanti, aku akan tetap bebas ngajak Bibi tidur di kamarku ini."

"Iya sih. Den Wawan kan yang berkuasa di sini. Aduuuduuuh.. Deeen.. kalau memek saya sudah dimainin gini, saya suka gak bisa nahan nafsu."

"Lepasin dong dasternya. Aku seneng memek Bibi dicukur habis gini. Pasti enak jilatinnya."

"Iiih.. merinding saya dengernya juga.." sahut Bi Euis sambil melepaskan daster batik lusuhnya.

Dalam keadaan tinggal mengenakan beha dan celana dalam yang serba hitam, aku dibuat terlongong menyaksikan betapa iundahnya tubuh Bi Euis itu. Sehingga aku lupa bahwa aku hanya ingin menutup mulutnya agar tidak menyebar gosip dengan caraku sendirti. Dengan mengentotnya dan membuatnya ketagihan..!

Tapi setelah melihat betapa cemerlangnya kulit putih mulus yang dimilikinya itu, aku lupa pada tujuan awalku. Aku ingin menelanjangi dan menyetubuhinya, hanya untuk menyalurkan nafsu syahwatku semata.

Maka dengan sedikit gugup kubuka kancing beha hitam yang terletak di punggungnya itu. Lalu dia sendirti yang melepaskan behanya itu.

Sehingga sepasang payudara yang berukuran sedang terbuka jelas di depabn mataku. Dan setelah kupegang, terasa masih kencang dan padat.

"Masih kencang gini toketnya Bi" komentarku.

"Saya kan belum pernah menyusui Den," sahutnya sambvil melepaskan celana dalam hitamnya. Sehingga bentuk memek gundulnya tampak jelas di mataku. Memek yang sangat tembem. Sehingga bagian dalamnya disembunyikan oleh ketembeman "sepasang pipinya".

Kutepuk-tepuk memek tembem itu, "Ini yang sangat ku sukai. Tembem dan dicukur bersih jembutnya. Pasti enak menjilatinya."

Wanita yang hanya 2 thn lebih tua dariku itu mendadak manja. Ia merapatkan pipinya ke pipiku, sementara tangannya menyelinap ke balik celana dalamku. Memegang batang kemaluanku,

"Saya juga ingin ngemut titit Den Wawan.."

"Titit itu sebutan buat anak kecil. Kalau buat orang dewasa sih sebut aja kontol.. !"

"Hihihiii.. takut dianggap kasar," sahut Bi Euis mendekatkan wajahnya ke celana dalamku.

Kuturunkan celana dalamku, sehingga jadi telanjang bulat seperti Bi Euis juga.

Wanita yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu tampak senang bisa memegang batang kemaluanku. Lalu menciumi dan menjilatinya. Bahkan lalu memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya.

Lalu ia menggelutkan lidah dan bibirnya ke penisku. Samnbil mengalirkan air liurnya ke badan kontolku, untuk melicinkan tangannya yang lalu mengurut-urut badan kontolku yang tidak terkulum olehnya.

Sebenarnya aku kurang suka dioral oleh pasangan seksualku. Karena kalau kelamaan dioral, bisa-bisa cepat ngecrot pada waktu ngentot beneran nanti.

Namun kali ini ada keasyikan tersendiri bagiku. Bahwa ketika sedang menyelomoti kontolku, memek Bi Euis ada di dekat tanganku. Sehingga aku bisa mencolek-colek mulut memeknya. Bahkan kuselusupkan jari tengahku ke dalam lubang memeknya yang terasa hangat dan licin.

Hmmm.. dioral oleh Bi Euis sambil menggerak-gerakkan jari tengahku di dalam liang memeknya, membuat nafsuku semakin bergejolak. Mungkin Bi Euis pun seperti aku. Mulai horny berat. Karena dalam tempo singkat saja liang memeknya jadi basah.

Kemudian Bi Euis melepaskan selomotannya,

"Saya sudah horny sekali Den. Langsung masukin aja ya. Gak usah dijilatin dulu. Memek saya udah basah sekali nih."

Aku mengangguk sambil merangkak ke atas perutnya. Lalu meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek tembem Bi Euis.

Bi Euis pun membantuku. Memegang leher kontolku, lalu mendesakkan moncongnya ke mulut memeknya. Setelah terasa ngepas, ia memberi isyarat dengan kedipan matanya.

Aku pun spontan mendorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Dan.. blesss.. kontolku melesak ke dalam liang memek Bi Euis.

Gila.. baru didorong saja sudah terasa enaknya liang memek janda muda ini.

"ooohhh.. masuk Deeen.. gak nyangka punya Den Wawan segede dan sepanjang ini.." ucap Bi Euis sambil merengkuh leherku ke dalam pelukan hangatnya. Lalu merapatkan pipinya ke pipiku, "gak nyangka saya akan merasakan semua ini Den.."

Aku pun mulai mengentotnya perlahan-lahan, sambil menjauhkan pipiku dari pipinya. Karena aku ingin melihat ekspresi wajahnya pada waktu sedang kuentot.

Dan.. aku seolah disadarkan pada suatu kenyataan. Bahwa wajah yang sedang kulihat dari jarak dekat ini cantik sekaligus manis.

"Bibi terlalu cantik buat seorang pembantu," kataku sambil mencolek bibir sensualnya, tanpa menghentikan entotan pelanku.

"Den Wawan juga tampan sekali. Bahkan sampai mirip cewek saking tampannya," sahut Bi Euis sambil mendekap punggungku.

Aku tersenyum, karena sejak masih kuliah banyak temanku yang berkata seperti itu.

Kemudian kuayun penisku dengan gerakan agak cepat sampai batas normalnya lelaki yang sedang mengentot pasangan seksualnya.

Bi Euis pun mulai merintih-rintih erotis, namun suaranya perlahan sekali, "Den.. ooo.. oooh.. Deeen.. iiii.. iini enak sekali Deeeen.. ayo Den.. entot terus.. ini luar biasa enaknya.. oooh.. gak nyhangka saya akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa ini.."

Aku pun semakin bergairah untuk mengayun batang kemaluanku di dalam liang memek Bi Euis yang luar biasa nikmatnya ini..

Tarian birahiku di atas perut Bi Euis benar-benar bermutu, menurutku. Karena gesekan demi gesekan membuatku serasa dialiri arus listrik dari ujung kaki sampai ubun-ubun di kepalaku.

Apakah aku merasa hina? Seorang dirut menyetubuhi pembantunya sendiri?

Tidak.

Bi Euis punya kulit putih mulus. Punya wajah cantik sekaligus manis. Punya bentuk tubuh yang sangat menggiurkan, terutama bokong gedenya itu. Punya sepasang payudara yang masih padat kencang.

Hanya nasibnya saja yang kurang beruntung. Sehingga harus bekerja di rumahku sebagai seorang pembantu.

Dan aku bertekad untuk menyenangkannya kelak. Aku ingin mendandaninya, ingin mencukupi kebutuhan hidupnya, ingin juga menempatkannya di rumah yang layak huni.

Aku bahkan bisa membayangkan seandainya Bi Euis sudah didandani, membawanya ke tengah kelompok kaum elite pun takkan memalukan. Karena hanya dengan dandanan sederhana saja sudah kelihatan cemerlangnya wajah Bi Euis, yang usianya kira-kira sebaya dengan Wati itu. Apalagi kalau sudah benar-benar didandani dan dipoles make up.

Dan liang memeknya yang tengah kuentot ini bermacam-macam nikmat yang kurasakan, yang sulit menjelaskannya. Yang pasti aku merasakan sesuatu yang lain dari biasanya. Aku menilai Bi Euis ini punya rasa yang lain dari perempuan-perempuan yang pernah kusetubuhi. Dan ini membuatku jadi sangat bergairah menyetubuhinya.

Untuk itu aku pun ingin menciptakan kesan, bahwa aku pun lelaki yang lain dari yang lain. Karena itu ketika batang kemaluanku sedang gencar-gencarnya mengentot, mulut dan tanganku pun mulai beraksi. Aku mulai memagut bibirnya yang tipis mungil, lalu melumatnya habis-habisan. Bukan sekadar menciumnya.

Terasa tubuh Bi Euis bergetar-getar. Mungkin saking menikmatinya. Mungkin juga karena baru sekali ini dia merasakan bibirnya dilumat pada saat liang memeknya sedang "dipompa" oleh kontol.

Ketika mulutku pindah sasaran, untuk menjilati lehernya, disertai gigitan-gigitan kecil, tangan kiriku tetap asyik meremas toketnya yang berukuran ideal dan masih kencang itu, rintihan-rintihan histerisnya terdengar lagi.

"Deeen.. ooo.. oooh.. be..belum pernah.. sa..saya merasakan.. di..disetubuhi yang seenak ini Deeen.. ini akan menjadi kenangan tak terlupakan di seumur hidup saya Feeen.. ini.. ini luar biasa enaknya.. aaah.. Deeen.."

Mendengar pengakuan itu aku baru ngeh bahwa Bi Euis sudah dua kali orgasme. Pantasan keringat sudah membanjiri leher dan ketiaknya. Dan kini dia mau orgasme lagi untuk ketiga kalinya. Sementara tubuhku pun sudah bermandikan keringat.

Maka kupacu batang kemaluanku untuik mengentot liang memek Bi Euis habis-habisan. Dengan target ingin mencapai puncak kenikmatan secara berbarengan.

Berhasil. Ketika sekujur tubuh Bi Euis terkejang-kejang, dengan perut sedikit terangkat, sementara liang memeknya terasa mengejut-ngejut erotis, batang kemaluyanku pun sedang kutancapkan sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.

Lalu kontolku mengejut-ngejut di dalam liang heunceut Bi Euis, sambil menembak-nembakkan lendir pejuhku.

Creeeettt.. cret..!

crooottt.. croottt.. crooottt..!

"uuughhh.. uuuggggghhh.." nafasku berdengus-dengus, lalu terkapar di atas perut Bi Euis.

Namun aku masih bisa memperhatikan wajah Bi Euis yang seakan memancarkan aura kecantikannya, sebagai wanita muda yang baru mengalami orgasme.

Ia pun menatapku dengan senyum manis di bibirnya. Lalu terdengar suaranya lirih, "Sekarang saya sudah menjadi milik Den Wawan."

"Bagaimana perasaan Bibi setelah menjadi milikku?"

"Bahagia sekali," sahutnya, "tapi bercampur perasaan kuatir."

"Kuatir kenapa?"

"Takut kalau Aden sudah bosan lalu memecat saya dari sini."

"Aku bukan manusia sekejam itu Bi," sahutku sambil mencabut kontolku yang sudah lemas dari dalam liang memek Bi Euis,

"Ohya.. umur Bibi kan cuma beda dua tahun denganku. Panggilan Bibi kan cocoknya buat orang yang belasan tahun lebih tua dariku. Bagaimana kalau kupanggil Ceu Euis aja?"

"Panggil nama langsung, saya malah lebih suka."

"Ya udah, aku buang aja sebutan Bibinya. Karena usia Euis kan sebaya dengan usia Wati. Kepada Wati pun aku manggil nama langsung. Padahal dia kakakku. Tapi dia sendiri yang ingin dipanggil namanya saja, gak usah pakai Ceu atau Kak dan sebagainya," ucapku sambil meraih pergelangan tangan Euis, "Kita mandi bareng yuk."

"Malem-malem gini mau mandi Den?" tanyanya seperti ragu.

Tapi dia turun juga dari bed dan mengikuti langkahku menuju kamar mandi, dalam keadaan sama-sama telanjang bulat.

"Kita kan mau mandi pakai air hangat, bukan air dingin. Jadi mandi malam juga gak apa-apa," kataku setelah berada di dalam kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, lagi-lagi kuperhatikan sekujur tubuh Euis dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Penilaianku semakin teguh. Tiada cela yang ada di tubuh sempurna (menurut ukuran manusia biasa) itu. Bahkan nilai plusnya adalkah.. penmuh dengan daya pesona.

Memang tadinya aku tak pernah memperhatikan Euis sedikit pun. Bahkan tadi pun aku takkan memperhatikannya andai tiada alasan, yakni perasaan takutku kalau rahasia pribadiku dengan ibu dan kakakku bocor ke luar.

Tapi aku tak mau memperlihatkan rasa kagumku secara berlebihan. Aku memutar keran shower utama, air hangat pun memancar dari atas kepala kami.

Ku ambil sabun shower, "Kita gantian menyabuni ya. Sekarang aku mau menyabuni Euis dulu."

"Aaah.. masa saya disabuni sama Den Wawan?"

"Nggak apa-apa. Aku hanya ingin memperlihatkan perasaan sayangku padamu Is."

Euis menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan. Lalu dibiarkannya aku menyabuni punggungnya, bokong gede dan betis indah dan telapak kakinya.

Pada waktu aku menyabuni bagian depannya, Euis tampak tersipu-sipu terus. Mungkin karena tak mengira akan disabuni olehku dengan telaten. Terlebih ketika aku menyhabuni kemaluannya, ia semakin tersipu-sipu. Padahal aku melakukan semua ini dengan senang hati. Terutama waktu menyabuni memeknya yang sudah memberikan kenikmatan luar biasa bagiku.

Tapi aku sekadar menyabuninya saja. Tidak memanfaatkan kesempatan untuk "macem-macem" di kamar mandi. Kalau masih bernafsu, toh kamarku masih leluasa untuk melakukannya.

Ketika tiba giliran Euis yang harus menyabuniku, terasa benar dia lebih telaten daripada aku. Setiap bagian yang tidak terjangkau oleh tanganku, disabuninya dengan cermat. Dan ketika sedang menyabuni batang kemaluan berikut kantung pelernya, Euis tampak tersenyum-senyum. Lalu menciumi moncong kontolku yang sudah berlepotan air sabun.

"Iya, tapi nanti aja kalau sudah selesai mandinya. Kalau diselomoti di sini, nanti kontolku bakal nagih, bakal ngaceng dan pengen ngentot di sini juga. Kalau bisa di atas kasur empuk, ngapain ngewe sambil berdiri di dalam kamar mandi." sahutku

Euis mengangguk-angguk sambil tersenyum.

Lalu keran shower air hangat kuputar lagi. Untuk membilkas tubuh kami sampai bersih.

"Saya pasti bakal ketagihan," ucap Euis pada waktu sedang menghanduki badannya sendiri yang sudah bersih dan harum sabun.

"Aku juga pasti ketagihan," sahutku.

"Terus kalau Ibu dan Neng Wati sudah pulang bagaimana?"

"Kita tetap bisa melakukannya di dalam kamarku."

"Kalau ketahuan sama Ibu atau Neng Wati nanti gimana?"

"Alaaa.. aku jamin mereka takkan berani memarahi kita. Aku kan tulang punggung di rumah ini," sahutku dan kukecup pipinya.

Euis mendekapku, "Kalau Den Wawan takkan memutuskan hubungan ini, saya hamil pun gak apa-apa."

"Jadi simpananku mau?"

"Siap Den."

"Tapi sekarang sih jangan hamil dulu. Nanti gak ada yang bantuin Ibu dan Wati di sini. Tapi bukankah Euis sudah bertahun-tahun punya suami gak hamil juga? Sebenarnya siapa yang mandul?"

"Gak tau. Belum pernah diperiksa ke dokter. Tapi kayaknya sih mantan suami saya yang mandul. Setelah kawin lagi juga, istrinya belum hamil-hamil sampai sekarang. Jadi mungkin saja dia yang mandul."

"Bekas suamimu itu kerja apa?"

"Cuma buruh bangunan Den."

"Kalau Euis sedang dapoat libur, pulang ke mana?"

"Ke rumah ibu saya, satu-satunya orang tua yang masih saya miliki."

"Ayahmu sudah meninggal?"

"Iya. Meninggal karena kecelakaan lalu lintas."

"Ogitu.. jadi kalau sedang libur, Euis pulang ke rumah ibu?"

"Iya Den."

"Rumah punya ibumu?"

"Bukan. Rumah kontrakan Den."

"Yang bayar uang kontrakan rumahnya siapa?"

"Tadinya ibu saya sendiri. Karena dia suka usaha kecil-kecilan. Tapi setelah saya bekerja di sini, saya yang membayar uang kontrakannya."

"Ibumu masih kuat usaha segala?"

"Masih Den. Ibu saya kan belum tua-tua benar. Baru empatpuluhtiga tahun. Dia menikah di usia enambelas. Lalu di usia tujuhbelas melahirkan saya."

"Berarti ibumu sebaya dengan ibuku ya?"

"Iya.. usia Emak kira-kira seumuran sama Ibu."

"Kamu manggil Emak sama ibumu?"

"Iya, sejak kecil saya manggil Emak sama ibu dan manggil Bapa sama ayah. Nggak mau ikut-ikutan manggil papa dan mama seperti anak-anak lain. Tau diri aja, orang miskin masa manggil mama atau mamie kepada ibu. Bisa diketawain orang nanti."

Obrolan itu kami lanjutkan di atas sofa kamar tidurku.

"Euis kan punya jatah libur sehari dalam seminggu. Tapi hari liburnya selalu berubah-ubah. Siapa yang menentukan hari libur itu Is?" tanyaku ketika Euis sudah mengenakan daster batik lusuhnya lagi.

"Yang menentukan hari libur itu Ibu Den. Jadi libur saya kadang Senin, kadang Selasa dan seterusnya. Saya malah belum pernah dikasih hari libur hari Sabtu dan Minggu. Mungkin karena Den Wawan ada di rumah. Jadi ada yang masakin buat Aden," sahut Euis, "Tapi selama Ibu dan Neng Wati ada di rumah sakit, saya tidak boleh ngambil libur dulu."

"Besok kan Sabtu. Berarti aku libur. Kita jalan-jalan ya."

"Iya Den. Saya kan sudah menjadi milik Aden. Jadi, dibawa ke mana pun saya siap."

"Sekarang ewean lagi siap?"

"Hihihihiii.. siap Den. Saya juga malah kepengen lagi. Soalnya waktu Aden nyabunin memek saya tadi, saya langsung kepengen.."

Kami telanjang kembali dan bersetubuh sepuasnya.

Entah kenapa aku ingin sekali membahagiakan hati Euis dengan apa pun yang bisa kulakukan.


===x=x=x===


Keesokan harinya, setelah menyantap sarapan pagi yang dibuatkan oleh Euis, aku mengajaknya ke toko pakaian yang di kotaku suka disebut FO (factory outlet). Kupilih FO yang harganya tidak murah, tapi mahal pun tidak. Sengaja kuajak Euis ke FO pilihanku itu, agar dia bisa cepat adaptasi dengan pakaian kelas sedang-sedang saja.

Euis menurut saja ketika kupilihkan selusin gaun dan tiga helai daster untuk pakaian sehari-harinya. Bahkan salah satu gaun kuminta dipakai langsung di FO itu.

Kemudian kubawa dia ke toko sepatu. Kupersilakan dia memilih sendirik sepatu yang cocok dengan seleranya, sekalian sandal wanitanya juga untuk keseharian pada waktu sedang bekerja di rumahku.

Kemudian kubawa dia ke sebuah perumahan, tanpa memberitahu dahulu mau dibawa ke mana.

Sebenarnya aku akan membawanya ke sebuah rumah, yang kuterima sebagai bonus (di luar fee) setelah sukses menjual tanah seluas 275 hektar milik sebuah PT, yang lalu dibekli oleh pihak lain (tentu PT juga buyernya, karena kalau perseorangan takkan diijinkan membeli tanah seluas itu). Selain mendapatkan fee yangv sangat banyak menurutku, janji owner lama dipenuhi.

Rumah itu murni hasil jerih payah pribadiku, sama sekali tiada hbubungannya dengan p[erusahaan Bu Laila. Tadinya rumah itu akan kupakai sendiri. Karena aku pun sering punya pikiran ingin menyendiri untuk memusatkan pikiran bisnisku di perusahaan punya Bu Laila itu.

Tapi kini aku punya pikiran lain. Ada yang lebih membutuhkan rumah berikut segala isinya itu, yakni Euis. Dia belum punya rumah dan masih tinggal di rumah kontrakan. Entah kenapa setiap kali mendengar kata rumah kontrakan, aku selalu merasa prihatin. Kalau aku jadi konglomerat, ingin kuhadiahkan ribuan rumah untuk orang-orang yang belum punya rumah dan masih tinggal di rumah kontrakan.

Terlebih lagi kata rumah kontrakan itu terlontar dari mulut wanita muda yang sudah memberiku 1001 nikmat di kamarku tadi malam. Karena itu aku ingin menghadiahkan rumah itu untuk Euis yang sudah dan akan tetap memberiku 1001 nikmat dalam permainan birahi kami.

Setibanya di depan rumah type 54 yang sudah diupgrade dan isinya sudah lengkap itu, Euis tampak heran. "Ini rumah siapa Den?"

Aku menjawabnya sambil melingkarkan lenganku di pinggang rampingnya, "Tadinya rumah ini punyaku. Tapi mulai sekarang, rumah ini menjadi hak milikmu, Sayang."

"Den.. apakah saya gak salah dengar? Rumah secantik dan sekokoh ini akan menjadi milik saya?"

"Sudah menjadiu milikmu. Bukan cuma akan. Nanti sertifikat hak miliknya akan atas namamu, Sayang," sahutku sambil membuka kunci pintu depan. Kemudian kubawa Euis memasuki rumah yang sudah kuhadiahkan ini padanya.

"Wah.. di dalamnya sudah lengkap semua.. !" seru Euis sambil memeluk pinggangku dari belakang.

"Tadi malam aku kan menawarkan Euis untuk menjadi simpananku. Nah.. di rumah inilah Euis akan kusimpan."

"Siap Den. Tapi ibu saya boleh dibawa ke sini, agar tidak tinggal di rumah kontrakan lagi?"

"Tentu saja boleh. Asalkan ibumu tidak mengganggu hubungan kita nanti."

"Nggak akan mengganggu Den. Pada waktu saya masih gadis saja, Emak sih tidak pernah mencampuri urusan pribadi saya. Apalagi sekarang, saya kan sudah janda."

"Kalau begitu, sekarang aja kita ke rumahmu. Untuk mengajak ibumu ke rumahmu ini. Gimana?"

"Iya Den.. iyaaa.. hihi.. Emak pasti seneng banget."

(mohon dibedakan antara Emak untuk ibu dalam bahasa Sunda E nya dibaca seperti E di kata "perang". Sedangkan Emak untuk nama orang E nya dibaca seperti E dalam kata "sore". Panggilan Emak untuk ibu, tidak pakai hurup K di ujungnya. Jadi kata Emak, pasti bukan berasal dari tatar Pasundan).

Beberapa saat kemudian Euis sudahg berada di dalam mobilku kembali, untuk menjemput ibunya. Euis sudah menelepon ibunya dulu, agar siap-siap akan dijemput olehnya dengan majikannya. Tapi Euis tak mengatakan bahwa ia akan memperlihatkan rumah yang sudah menjadi miliknya itu. Mungkin Euis ingin membuat surprise pada ibunya.

Ternyata rumah kontrakan Euis dan ibunya kecil sekali. Ada di dalam gang kecil pula. Tapi ibunya Euis itu.. gede sekali! Ia tampak sudah berdandan, mengenakan celana legging hitam yang sangat ketat (mungkin ukuran XXXL), dengan baju kaus tebal berwarna hitam pula. Sehingga pakaian ibunya Euis itu seolah sudah memamerkan bentuk tubuh yang sebenarnya.

Ia menyambut kedatanganku dengan sangat ramah. Dan ketika berjabatan tangan denganku, terdengar suaranya menyebut nama, "Mimin.."

"Wawan," kataku.

"Sudah siap Ma?" tanya Euis kepada ibunya.

"Sudah," sahut ibunya Euis yang chubby habis itu, "Tapi masa Den Wawan gak disuguhi minum-minum acan? Kan pertama kalinya Den Wawan bertamu ke rumah ini."

"Tak usah bikin minum Bu," sahutku, "mending langsung berangkat mumpung masih siang."

Setelah berada di dalam mobilku, ibunya Euis yang bernama Mimin itu bertanya, "Ini mau ke mana Is? Mau ngajak piknik ke luar kota?"

"Nggak Ma. Masih di dalam kota kok," sahut Euis yang duduk di belakang juga, di samping ibunya.

"Ohhh.."

Lalu Bu Mimin terdiam. Tidak bertanya apa-apa lagi. Mungkin Euis sudah memberi isyarat agar jangan bertanya lagi.

Setibanya di depan rumah yang sudah kuberikan kepada Euis itu, kami bertiga turun dari mobil.

Pada saat itulah Euis berkata kepada ibunya, "Ma.. Den Wawan itu majikan yang baik hati. Beliau mengerti keadaan kita yang setiap tahun harus menyediakan uang untuk kontrakan rumah. Karena itu Den Wawan menghadiahkan rumah ini untuk Euis.

"Hadiah untuk Euis? Aku gak salah denger Is?"

Aku yang menjawab. Kutempelkan telapak tanganku di punggung Bu Mimin, "Benar Bu. Rumah ini hadiah untuk Euis. Tinggal surat-suratnya aja yang belum dikasihkan. Rumah ini sudah dibayar lunas. Jadi tidak ada bayar cicilan dan macem-macem lagi. Hanya rekening listrik dan ledeng saja yang harus dibayar tiap bulan.

Bu Mimin merangkul anaknya, "Kamu sangat berunbtung punya majikan yang sedemikian baiknya. Baru bekerja beberapa bulanb sudah dikasih rumah segala Is."

"Bukan cuma rumah Ma. Perabotannya pun sudah lengkap semua. Yuk kita lihat ke dalam," ucap Euis sambil mengeluarkan seikat kunci-kunci rumah itu dari dalam tas kecilnya. Kunci-kunci yang tadi sudah kuserahkan padanya, sebagai tanda bahwa rumah itu sudah menjadi miliknya.

Rumah itu memiliki dua kamar tidur yang masing-masing ada kamar mandinya. Di belakang ada kamar yang lebih kecil, berdampingan dengan dapur dan kamar mandi yang bisa dipakai oleh pembantu. Tapi kamar mandinya bisa juga dipakai oleh tamu yang ingin buang air dan sebagainya. Ruang makannya pun lumayan besar, karena bersatu dengan ruanbg keluarga.

Di situ sudah ada televisi LED layar lebar. Di dapour pun sudah ada kulkas dua pintu. Di belakang sudah ada mesin cuci juga. Semua barang-barang elektroinik itu masih 100% baru. Begitu juga semua furniture-nbya masih 100% baru semua, terdiri dari lemari pakaian di kamar masing-masing, lemari makanan di dapur.

Bu Mimin tampak ceria sekali menyaksikan semuanya itu. Bahkan aku dapat menangkap karakter ibunya Euis itu. Dia sangat ceria, sementara Euis agak pendiam, tidak seperti ibunya yang tiap sebentar ketawa ketiwi.

Mereka merencanakan untuk menempati rumah itu mulai besok.

Maka kataku kepada Euis, "Kalau begitu hari ini dan besok libur aja Is. Kan mungkin banyak barang yang harus diangkut ke sini juga."

"Iya, terima kasih Den," sahut Euis.

Kemudian mereka kuajak makan di sebuah rumah makan yang tak jauh letaknya dari perumahan itu. Kemudian kuberikan uang secukupnya kepada Euis, untguk biaya angkutan barang-barang yang akan dipindahkan dari rumah kontrakan ke rumah baru itu.


===X=X=X===


Beberapa hari kemudian aku mendatangi rumah yang sudah Euis tempati. Tadinya aku sekadar cek apa saja yang masih kurang. Dan aku harus menanyakannya kepada ibunya Euis yang bernama Bu Mimin itu.

Saat itu baru jam sepuluh pagi. Tentu saja Euis sedang bekerja di rumahku. Tidak berada di rumah yang sudah menjadi miliknya itu.

Ketika melihat aku datang, Bu Mimin yang cuma mengenakan daster katun berwarna coklat muda, tampak kaget dan memegang kedua pipoinya. "Aduuuh.. Den Wawan datang.. kenapa Euis gak ngasih tau kalau Aden mau datang yaaa.."

"Euis tidak tau aku mau ke sini Bu," sahutku sambil mencium tangannya, karena aku punya hubungan dengan Euis, jadi aku harus memperlakukannya seperti dengan calon mertua (walau pun aku belum punya niat menikahi Euis).

Lalu aku dipersilakan duduk.

"Maaf saya baru selesai mandi, jadi dasteran gini. Gak apa-apa?" tanyanya yang sudah duduk di sofa berhadapan dengan sofa yang kududuki.

"Nggak apa-apa Bu," sahutku, "Nggak usah resmi-resmian lah. Aku datang ke sini cuma ingin tau apakah di rumah ini masih ada kekurangan yang Bu Mimin rasakan?"

"Wah.. sudah lengkap semua Den. Cuma ada satu hal yang kurang.." sahut Bu Mimin sambil tersenyum-senyum centil.

"Apa yang kurang Bu?"

"hihi.. malu ah nyebutinnya, "sikap Bu Mimin mendadak centil.

"Lho.. sama aku terbuka aja Bu. Katakan aja apa yang masih kurang itu. Gak usah disimpan di dalam hati."

"Anu yang belum ada teh.. calon suami.. hihi.."

Aku tersentak sambilk menahan tawaku. "Bu Mimin masih pengen kawin lagi?" tanyaku sambil memperhatikan sosok wanita STW di depan mataku. Memang kecantikannya kalah oleh kecantikan Euis. Tapi bodynya.. maaak.. chubby sekali..!

"Ya masih Den.. saya kan belum tua-tua benar. Tapi ingin punya calon yang setampan Den Wawan.."

Mendengar ucapan itu, spontan batinku merasakan sesuatu yang lain dari biasanya. Ada desir nakal di dalam batinku. Bahkan pikiranku langsung ngeres. Bertanya-tanya seperti apa tubuh wanita setengah baya yang chubby itu kalau sudah telanjang ya? Aku bangkit dari sofa. Melangkah dan duduk di samping Bu Mimin.

"Den Wawan kan punya Euis," sahutnya sambil mengerlingkan matanya yang masih tampak bening itu.

"Euis kan kerja di rumahku Bu. Hanya seminggu sekali dia bisa pulang ke sini kan? Jadi yang enam hari dalam seminggu, aku bisa sering nemenin Bu Mimin di sini."

Wanita itu menatapku dengan senyum malu-malu tapi lumayan centil sikapnya.

"Den Wawan jangan PHP ah. Memangnya saya yang ndut ini menarik bagi Aden?" tanyanya, tau bahasa gaul segala ini ibunya Euis.

"Aku gak PHP. Bu Mimin sangat seksi di mataku. Cuma soal rasanya sih perlu dibuktikan dulu. Setelah dirasakan, nanti ketahuan enak nggaknya. hihi.." kataku sambil memperhatikan daster yang dikenakannya. Daster yang membuatku semakin yakin bahwa toket Bu Mimin jauh lebih gede daripada toket Euis.

"Jadi Ibu suka pada cowok seperti aku ini?" tanyaku setengah berbisik di dekat telinga Bu Mimin.

"Perempuan mana pun pasti suka sama Den Wawan yang begini tampannya. Saya sampai gemes melihatnya juga. Pengen cium bibirnya. hihi.. maklum saya sudah 25thn tidak merasakan sentuhan lelaki Den."

"Duapuluhlimathn tidak disentuh lelaki?"

"Iya. Kan suami saya meninggal pada saat Euis baru berumur setahun. Sejak saat itu saya tidak mau didekati lelaki secara serius. Tapi sekarang ini, begitu melihat Den Wawan secara seksama tadi, semangat saya jadi bangkit Den."

"Jadi gemes dan pengen mencium bibirku?" tanyaklu sambil melingkarkan lengan di lehernya, lalu mendekatkan bibirku ke bibirnya.

"Iya.. tapi saya tidak berani mencium bibir Aden.."

Aku tersenyum. Lalu merapatkan bibirku ke pipinya. Dan perlahan-lahan bergerak ke arah bibirnya. Dan.. ia memagut bibirku duluan. Lalu terasa lumatannya yang sangat agresif. Membuatku terlupa bahwa wanita yang tengah melumat bibirku ini ibunya Euis.

Pada saat Bu Mimin sedang enjoy-enjoynya melumat bibirklu, tanganku pun tak mau berdiam pasif. Mulai memegang lututnya yang terbvuka di bawah dasternya, kemudian langsung nyelonong ke balik daster katun berwarna coklat muda itu. Merayapi paha gempalnya dan menyelinap ke balik celana dalamnya.

Kusentuh memek yang lebih tembem daripada memek Euis. Memek berjembut tapi terasa tipis sekali jembutnya.

Begitu jemariku menyentuh memeknya, Bu Mimin spontan memelukku erat-erat. Lumatannya pun semakin lahap. Sementara tubuhnya terasa mulai menghangat.

Tentu saja jemariku tak sekadar meraba-raba permukaan memek Bu Mimin. Melainkan juga menyelinap ke dalam celah memek tembem itu.

Tiba-tiba Bu Mimin melepaskan lumatannya dan berkata, "oooh.. saya gak kuat lagi Den kalau memekku sudah digerayangi gini, gak nahan."

"Ya ayo kita lanjutkan sampai tuntas," sahutku dengan nafsu birahi yang sudah bergolak dan membutuhkan pelampiasan ini.

"Di dalam kamar saya aja yuk," ucap Bu Mimin sambil bangkit dari sofa, sambil memegang pergelangan tanganku.

Aku pun mengikuti langkah Bu Mimin masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamarnya itulah BU Mimin melepaskan dasternya, sehingga tinggal beha dan celana dalam serba hitam yang masih melekat di tubuhnya.

Gila.. baru melihat tubuh yang masih berbeha dan bercelana dalam saja itu kontolku langsung ngaceng.

Terlebih setelah Bu Mimin melepaskan beha dan celana dalamnya.

Aduhai.. dia benar-benar menggiurkan di mataku. Sepasang toket gede dan bokong yang super gede pula. Aku belum pernah mendapatkan pasangan seksual semontok dan semenggiurkan itu. Maka aku ingin merasakannya, tak peduli apa pun akibatnya kelak.

Tubuh Bu Mimin ini sangat menggoda dan menggiurkan. Sepasang toket gede dan bokong yang extra large. Pinggang yang ramping dan kulit yang putih mulus. Membuatku gemas dan spontan memeluknya dari belakang dan berbisik,

"Tubuh montok seperti Bu Mimin ini sejak lama kuinginkan." Dan kini, pucuk dicinta ulam tiba.

"Saya justru sampai lupa daratan melihat ketampanan Aden. Sampai lupa bahwa Den Wawan ini punya Euis.. punya anak kandung saya sendiri." balas Bu Mimin

"Tapi aku gak pernah berjanji untuk menikahi Euis. Jadi kita bebas-bebas aja saling bagi rasa," ucapku sambil mempererat dekapanku di pinggang Bu Mimin.

"Iya, Euis juga pernah bilang begitu. Gak apa-apalah. Yang penting Aden bisa memenuhi kebutuhan Euis sehari-hari. Den Wawan sudah sering menggauli Euis kan?"

"Euis cerita begitu?"

"Dia sih gak pernah cerita apa-apa. Tapi saya sudah punya dugaan kuat aja."

"Iya.. Euis sudah sering kugauli.. dan aku menjamin masa depannya takkan terlantar."

"Nanti bandingin ya.. enak mana memek Euis dengan memek saya."

"Hahahaaa.. mau bersaing dengan anak sendiri?"

"Bukan bersaing. Saya hanya ingin tau keadaan saya sendiri, masih enak apa nggak. Maklum sudah duapuluhlimathn memek saya nggak pernah dipakai," sahut Bu Mimin sambil memutar badannya. Untuk melepaskan baju kausku, kemudian menarik ritsleting celana denimku.

Dan ketika ia berjongkok di depanku sambil memelorotkan celana dalamku, ia berseru tertahan, "Waaaw..! Panjang gede gini punya Adeen.. !"

"Kenapa? Gak suka kontol panjang gede?" tanyaku sambil memegangi kepala Bi Mimin yang masih berjongkok di depan kakiku.

"iiih.. justru terangsang, kebayang enaknya dirodok sama zakar sepanjang dan segede ini. Mwuaaah.. mwuaaah.." ucap Bu Mimin yang diakhiri dengan ciuman-ciuman hangatnya di moncong zakarku. Lalu ia bangkit sambil meraih pergelangan tanganku, "Ayo Den ah.. jangan buang-buang waktu..

Aku pun naik ke atas bed sambil tersenyum-senyum. Lalu menerkam tubuh tinggi montok itu dengan gairah menggebu-gebu. Dia pun menyambut terkamanku dengan gumulan agresif.

Memang mengasyikkan bergumul dengan wanita STW bertubuh tinggi gempal ini. Hatiku pun berkata, "Ngentot perempuan semontok ini sih pasti kenyang.. !"

Tanpa harus kebanyakan foreplay, beberapa menit kemudian aku sudah meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Bu Mimin yang sudah ternganga basah. Dan dengan sekali dorong.

blesss..

batang zakarku melesak separohnya ke dalam liang memek Bu Mimin, meski aku harus mengerahkan segenap kekuatanku untuk membenamkannya.

Wanita itu pun menyambut dengan pelukan hangat di leherku disertai ringisan histerisnya, "Aaahhh.. akhirnya saya bisa merasakan lagi enaknya titit Deen.."

"Titit sih buat anak kecil. Kalau orang dewasa sih bilang aja kontoool.." sahutku sambil mulai mengayun batang kemaluanku di dalam liang memek Bu Mimin yang ternyata enak sekali rasanya.

Bu Mimin terpejam-pejam sambil mendekap pinggangku erat-erat, diiringi rengekan manjanya yang terdengar erotis di telingaku,

"duduhhh.. enak sekali.. aaah.. uuuh.."

"Memek Bu Mimin juga enak sekali.. legit.."

"Masa mau ngajak Euis segala. Malu dong.. dilihat sama anak sendiri selagi beginian.."

"Tapi memek Bu Mimin bakal bikin aku ketagihan nih. Bisa tiap pagi nanti aku ke sini. Khusus buat ngentot Bu Mimin."

"iii.. iiiyaaa.. kapan pun Aden mau, saya siap buat ngeladeni Den Wawan.. oooh Deen.. kontol Den Wawan ini terlalu enak buat saya.. ini.. ini.. saya udah mau lepas Deen.."

"Ayo lepasin aja, biar becek memeknya. Aku suka kok sama memek yang becek setelah orgasme."

"Aduh.. Deen.. ini.. sa.. saya.. mau.. mau lepas Deen.."

Bu Mimin mengejang tegang sambil menahan nafasnya. Liang memek Bu Mimin berkedut-kedut kencang, disusul dengan membasahnya liang sanggama legit itu.

Bu Mimin langsung terkulai sambil menghela nafas. Lalu ia menatapku dengan sorot wanita yang baru mencapai puncak kenikmatannya.

Kubiarkan ia memulihkan gairahnya kembali.

Dan setelah wajahnya tak pucat lagi, aku pun melanjutkan aksiku, mengayun kontolku bermaju mundur di dalam liang memek Bu Mimin yang legit ini. Memang terasa basah liang memek ibunya Euis ini. Tapi tidak becek. Padahal dia sudah orgasme. Dan biasanya kalau sudah orgasme, liang memeknya jadi becek.

Mungkin hal itulah yang membuatnya ingin membandingkan "rasa" memeknya dengan memek anaknya.

Dan aku harus mengakui, bahwa liang memek Bu Mimin.. lebih enak..!

Karena itu, dengan sepenuh gairah aku mengentotnya lagi. Dalam kecepatan standard. Bahkan sempat juga aku membisiki telinganya, "Memek Bu Mimin memang lebih enak daripada memek Euis. Kenapa bisa begini ya?"

"Betul begitu Den? Syukurlah kalau Den Wawan merasa lebih enak. Jadi biar nanti ketagihan. Saya siap kok untuk meladeni Den Wawan tiap hari sekali pun," sahutnya sambil mendekap pinggangku lagi.

Makin l;ama makin asyik juga rasanya mengentot wanita setengah baya ini. Maka sambil mempergencar genjotanku, tanpa merasakan jijik sedikit pun lidahku mulai menjilati leher Bu Mimin yang sudah keringatan. Dengan lahap sekali.

Sehingga Bu Mimin mulai merintih-rintih histeris lagi, "Deen.. aaahhh.. enak Deen.. aaah.."

"Ka.. kalau aku ma.. mau buceng.. le.. lepasin di mana Bu?" tanyaku terengah.

"Di dalem aja Den. Biar nikmat. Me.. memangnya Den Wawan udah mau ngecrot?"

"Iii.. iyaa.."

"Ayo Den.. saya juga mau lepas lagi.. ooohhh.. barengin aja Den.. biar nikmaaat.."

Lalu aku dan wanita setengah baya itu seperti sepasang manusia yang sedang kesurupan. Aku mengentotnya habis-habisan. Sementara dia pun menggoyang-goyangkan pinggulnya gila-gilaan. Sambil saling cengkram dan saling remas.

Dan akhirnya kami sama-sama berkelojotan di puncak kenikmatan ini.

Liang memek Bu Mimin terasa kedut-kedutan lagi, tepat pada saat kontolku mengejut-ngejut juga sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Jrooottt.. jrooottt.. jrooottt!

Lalu kami sama sama terkapar di pantai kepuasan birahi kami.

Sebenarnya Bu Mimin bukan satu-satunya perempuan setengah baya yang kujadikan sasaran pelampiasan nafsu birahiku. Meski tidak memperlihatkan diri, aku ini memang penggila wanita setengah baya.

Aku masih ingat benar bahwa karyawan di kantorku boleh dibilang 80% cewek muda. Tapi aku malah mengincar Mbak Erma, manager keuangan di perusahaan punya Ibu Laila itu.

Mbak Erma memang chubby. Tapi entah kenapa aku jadi penasaran terus, ingin tau seperti apa rasanya wanita setengah baya yang tinggi montok itu.

Aku sering menggodanya di ruang kerjanya. Tentu saja hal itu hanya kulakukan jika tidak ada orang lain di ruang kerjanya kecuali aku dengan Mbak Erma.

Aku tahu dia senang kalau kugodain seperti itu. Tapi ketika aku semakin intensif menggodanya, ia menyahut, "Sayangnya saya sudah punya suami Boss."

Sampai pada suatu hari, Mbak Erma kuajak ke Bogor, untuk mengaudit cabang perusahaan yang ada di kota hujan itu.

Sengaja aku tidak memakai sopir kantor, karena aku ingin sebebasnya menggoda Mbak Erma.

Dalam perjalanan menuju Bogor, aku mulai membuka percakapan, "Auditnya banyak sekali. Mungkin Mbak takkan bisa menyelesaikan hari ini."

"Iya Boss. Saya sudah minta ijin sama suami, kalau-kalau harus nginep di Bogor nanti," sahut mbak Erma.

"Baguslah. Kita check in di hotel yang bagus, lalu.. nanti malam aku bisa mewujudkan apa yang kukhayalkan selama ini," ucapku.

"hihi.. apa yang Boss khayalkan selama ini?"

"Pengen ikut memiliki Mbak. Hmmm.. pasti indah sekali nanti malam.. bisa melukin Mbak sebelum tidur."

"Saya kan punya suami Boss. Biar pun suami saya sudah tua, saya gak pernah nyeleweng."

"Jadi Mbak menolak ajakan bagusku nih? Ya gak apa-apa kalau gak mau sih, aku juga gak bakalan maksa."

"Saya kan sudah tua Boss.thn depan usia saya pas empatpuluhthn. SUdah tuda kan?"

"Itu usia yang paling menggiurkan bagiku Mbak. Karena pada dasarnya aku ini penggila wanita setengah baya."

"Masa sih?!"

"Iya. Mbak kan bisa buktikan sendiri. Di kantor banyak cewek muda. Tapi aku tetap mengincar Mbak. Ingin berbagi rasa dengan Mbak."

Mbak Ermi terdiam. Mungkin membenarkan ucapanku. Bahwa aku tak pernah menggoda cewek-cewek muda di kantorku. Hanya Mbak Erma ini yang sering kugoda.

"Nanti kita check ini di hotel yang terdekat aja sama kantor cabang itu. Silakan Mbak audit, sementara aku mau istirahat aja di hotel. Sambil nungguin Mbak datang."

"Seharusnya kita berangkatnya besok pagi-pagi sekali. Sekarang sudah mulai sore Boss. Mungkin kita tiba di Bogor, kantor cabangnya pun sudah tutup."

"Gak apa-apa. Kita langsung check in aja di hotel yang terdekat dengan kantor cabang. Auditnya dilaksanakan besok pagi juga gak apa-apa."

"Terus kita mau ngapain aja Boss?"

"Kita.. ena-ena aja."

"hihi.. saya.. saya takut Boss."

"Takut apa?"

"Takut ketagihan. Memangnya Boss mau ena-ena lagi kalau saya lagi kepengen?"

"Ya mau lah. Masa gak mau. Jadi kita sepakat nih.. kita check in aja di hotel yang terdekat dengan kantor cabang kita. Lalu auditnya besok pagi aja. Oke?"

"Terus.. kita mau ngapain aja di hotel itu Boss?"

"Pengen ngerasain apa yang belum pernah kurasakan dari Mbak."

"Ngerasain apa?"

"Pengen jilatin bibir yang di bawah perut Mbak.." sahutku perlahan tapi tajam.

"Duh Boss.. saya jadi merinding nih.."

"Kenapa merinding? Takut apa horny?"

"Boss tentu tau apa yang sedang terjadi pada saya saat ini."

"Mbak bisa kuat lama begituan dengan suami?"

"Wah, suami saya udah letoy Boss. Usianya kan limabelasthn lebih tua dari saya. Tapi dia sangat sayang pada saya. Itulah yang membuat hati saya berat. Kalau dia nggak sayang sih sama saya, udah lama saya pisah sama dia."

"Kalau begitu, silakan pertahankan rumah tangga Mbak sama dia. Tapi kalau untuk kepuasan birahi.. minta padaku aja yaaa.."

"hihi.. Boss bisa aja. Saya sampai merinding-rinding nih dengarnya. Karena sudah membayangkan apa yang bakal terjadi di hotel nanti."

Sambil tetap nyetir mobilku, diam-diam kuturunkan ritsleting celana panjangku, lalu kusembulkan kontolku yang sudah tegang ini dari balik celana dalamku. Lalu kupegang tangan kanan Mbak Erma dengan tangan kiriku, "Aku udah ngaceng berat nih Mbak.. coba pegang.." ucapku sambil menarik tangan kanan Mbak Erma sampai menempel di kontolku..

"Waaaw..! Ini penis apa belalai gajah Boss?!" seru Mbak Erma tertahan. Namun ia memegang kontolku dengan tangan gemetaran.

"Nanti kan Mbak bisa rasain sendiri apa yang sedang Mbak genggam ini."

"hihi.. berarti Boss serius nih mau nyobain punya saya?"

"Tentu aja serius Mbak. Masa main-main?!"

"Meski pun saya ndut begini, punya saya kecil Boss. Saya kan belum pernah melahirkan."

"Ohya?! Mbak belum punya anak?! Asyik dong. Pasti memek Mbak enak banget."

"Gak tau. Nanti kan Boss sendiri yang ngerasainnya. Wah.. udah masuk Bogor Boss," ucapnya sambil melepaskan kembali kontol ngacengku dari genggamannya.

Aku mengangguk sambil memasukkan kembali kontolku ke balik celana dalam, kemudian membetulkan lagi ritsleting celana denimku.

Lalu aku fokus nyetir lagi.

Belasan menit kemudian, kubelokkan mobilku ke pekarangan sebuah hotel bintang empat, yang letaknya tak begitu jauh dari kantor cabang perusahaan.

Kebetulan hari itu bukan hari-hari weekend. Sehingga dengan mudah kudapatkan kamar di lantai 5.

Di dalam mlift menuju lantai 5, tidak ada orang lain kecuali aku dengan Mbak Ermi. Sehingga aku sempat memeluk dan mencium bibirnya yang tebal tapi sensual itu.

"Sudah siap untuk ena-ena?" tanyaku.

Mbak Ermi mengangguk sambil tersenyum. Lalu kami keluar dari pintu lift, menuju pintu kamar bernomor five O five alias 505.

Setelah berada di dalam kamar, Mbak Ermi bergegas masuk ke dalam kamar mandi sambil membekal sehelai kimono putih yang dikeluarkan dari tasnya. Mau pipis dulu, katanya.

Mungkin dia mau bersih-bersih dulu, bukan kebelet pengen kencing.

Aku pun melepaskan busanaku dan menggantinya dengan celana pendek putih dan baju kaus hitam. Tanpa mengenakan celana dalam. Biar gampang nanti.. hahahaa..!

Tak lama kemudian Mbak Ermi muncul dari ambang pintu kamar mandi. Dalam keadaan sudah mengenakan kimono putih. Tapi aku yakin di balik kimono putih itu tidak ada beha mau pun celana dalam. Karena tonjolan pentil toketnya

Dengan nafsu bergejolak dahsyat, kusambut Mbak Erma dengan pelukan di lehernya. Lalu kucium bibir sensualnya sepuasku.

Setelah ciumanku terlepas, Mbak Erma berjongkok di depan kakiku, sambil memelorotkan celana pendekku yang memang elastis di bagian pinggangku ini.

Ternyata Mbak Erma pun sudah sangat bernafsu. Setelah menanggalkan celana pendekku, ia memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini. Dan happpp.. ia mengulum dan menyelomoti kontolku dengan lahapnya.

Kubiarkan ia beraksi beberapa menit. Sampai akhirnya ia melepaskan kontolku dari mulutnya, kemudian menariknyha ke atas bed..

Tanpa harus disuruh lagi, ia melepaskan ikatan tali kimononya, kemudian menanggalkan kimono putih itu.

Dan sekujur tubuhnya sudah telanjang bulat di depan mataku kini..!


===x=x=x===


Aku jadi teringat ibuku dan Wati yang masih dirawat di rumah sakit. Lalu terbayang olehku, seandainya mereka sudah bisa melihat kelak, mereka tidak kalah seksinya dengan Mbak Erma ini. Terutama Wati yang belakangan ini tubuhnya semakin montok saja.

Tapi aku harus melupakan mereka dahulu. Biarkan mereka tetap tenang menjalani pemeriksaan dalam rangka persiapan untuk dilakukan operasi pada mata mereka.

Dan kini wajahku sudah berhadapan dengan kemaluan Mbak Erma, ingin membuktikan benar tidaknya pengakuan dia tadi. Bahwa meski pun tubuhnya montok gempal, tapi liang memeknya kecil.

Seperti tahu apa yang akan kulakukan, Mbak Erma merenggangkan sepasang paha gempalnya selebar mungkin.

Ternyata benar. Setelah bibir luar memeknya (labia mayora) kungangakan, tampak jelas bagian dalamnya yang berwarna pink itu. Memang kelihatannya liang memek Mbak Erma kecil. Itu terbukti setelah jari tengahku diselusupkan ke dalamnya.. betul pengakuannya itu. Bahwa liang memeknya sempit.

Maka dengan lahap kujilati bagian yang berwarna pink itu, membuat Mbak Erma menggeliat sambil meremas-remas kain seprai. Terlebih lagi setelah aku memfokuskan jilatanku ke clitorisnya, terasa Mbak Erma mengejang-ngejang dibuatnya.

Cukup lama aku menjilati labia minora (bibir dalam) dan clitoris Mbak Erma.

Sampai akhirnya aku merasa sudah saatnya untuk melakukan penetrasi.

Mbak Erma cuma terpejam ketika aku mulai meletakkan moncong kontolku di mulut memeknya yang empuk hangat dan basah.

Lalu kudorong kontol ngacengku tanpa tenaga, asalkan kepalanya masuk saja dulu. Duuuh.. terasa "pulen"nya memek Mbak Erma ini ketika kepala kontolku sudah membenam ke dalam liang memeknya yang memang sempit tapi sudah basah dengan air liurku.

Lalu kukerahkan tenagaku untuk membenamkan kontolku semakin dalam. uuugh.. memang sempit sekali liang memek Mbak Erma ini. Tapi sedikit demi sedikit akhirnya kontolku membenam juga, sampai lebih dari separohnya.

"oooh.. penis Boss gedenya.. sampai seret gini masuknya.." rintih Mbak Erma sambil mendekap pinggangku.

Empuk, hangat, licin tapi sempit liang kewanitaan Mbak Erma ini. Hal itu kurasakan setelah mengayun kontolku perlahan-lahan dulu. Makin lama makin cepat, sampai pada kecepatan normal.

Mbak Erma pun merintih dan merengek manja, yang malah terdengar erotis di telingaku. "duduhhh.. Bosss.. enaknya.."

Aku pun menanggapi rintihannya tanpa menghentikan genjotanku, "Liang memek Mbak juga luar biasa legitnya.. aku suka sekali.. aku pasti ketagihan nanti.."

"Saya juga pasti ketagihan.. duduh.. sampai merinding gini saking enaknya Boss.. ooohhh.."

Aku tak cuma mengentot liang memeknya. Mulutku pun mulai beraksi, untuk menjilati leher Mbak Erma yang mulai lembab oleh keringat. Sementara tanganku pun tak kubiarkan nganggur. Karena masih bisa meremas toket gedenya, sambil sesekali mengelus-eluskan ujung jariku ke pentil toketnya.

Karuan saja Mbak Erma semakin meraung-raung hsiteris.

"Bosss.. saya mau lepas.."

Tubuh sintal itu pun berkelojotan. Lalu mengejang tegang, dengan perut terangkat sedikit. Dan.. liang memek legit itu pun mengedut-ngeduit kencang, disusul dengan gerakan seperti ular melilit kontolku.

"aaahhh.. "Mbak Erma melepaskan nafasnya yang barusan tertahan selama beberapa detik.

Kubiarkan kontolku terendam beberapa saat di dalam liang memek yang luar biasa enaknya itu.

Setelah wajah Mbak Erma kemerahan lagi, barulah aku mengayun kembali kontolku sambil mencium dan melumat bibir tebal yang sensual itu.

Maka rintihan dan rengekan Mbak Erma pun berkumandang lagi di dalam kamar hotel ini.

Mbak Erma menatapku, "Boss mau nyobain posisi lain?"

Kuhentikan genjotanku, "Boleh. Posisi doggy yok."

Mbak Erma sambil menarik kontolku sampai terlepas dari liang memek legitnya. Kemudian ia merangkak dan nungging.

Sambil berlutut kudorong batang kemaluanku dan langsung terbenam ke dalam liang surgawi Mbak Erma..

blesss..

Lalu dalam posisi berlutut ini aku mulai mengentotnya lagi sambil berpegangan ke buah pantat Mbak Erma yang gede tapi masih sangat kencang ini.

Sambil mengayhun penisku, kucoba menepuk kedua buah pantat Mbak Erma. Plaaak.. ploook..!

"Iya Boss.. tamparin bokong saya sepuas Boss. Malah enak rasanya."

Kuikuti permintaan Mbak Erma itu. Mengentot liang memek legitnya sambil menampar-nampar sepasang buah pantat gedenya.

Plaaak.. plaaakkk.. plaaakkk..

Hampir setengah jam aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringatku semakin membanjir. Begitu juga dengan keringat Mbak Erma.

"Sa..saya mau orgasme lagi Booosss.."

Lalu wanita setengah baya itu ambruk. Kontolku pun terlepas dari liang memeknya.

Padahal aku sedang menikmati detik-detik di ambang pintu ejakulasiku. Karena itu, setelah Mbak Erma celentang lagi, aku langsung membenamkan kembali kontolku yang masih ngaceng berat ini ke dalam liang memek legit itu.

Sesaat kemudian aku sudah mulai mengentot Mbak Erma lagi, dalam posisi missionary kembali.

Dengan gencar kugenjot kontolku untuk "memompa" liang memek legit itu.

Mbak Erma cuma mendesah dan merintih dan membiarkanku meremas sepasang toket gedenya, mencium dan melumat bibir sensualnya, menjilati lehernya yang sudah basah oleh keringat dan bahkan menjilati ketiaknya yang basah oleh keringat dan harum dedodorant.

"Mbak.. lepasin di mana nih?" tanyaku.

"Mau di dalam memek boleh. Mau di dalam mulut saya juga boleh. Nanti saya telan air mani Boss, takkan disisakan setetes pun," sahut Mbak Erma.

Dengan penuh gairah kugenjot kontolku segencar mujngkin. Lalu kucabut dan bergerak cepat menuju dada Mbak Erma. Kuletakkan kontolku di antara sepasang buah dada Mbak Erma. Dan langsung ditanggapi oleh Mbak Erma.. ia menjepit kontolku dengan sepasang toketnya. Aku pun melanjutkannya, mengayun kontolku yang berada di dalam jepitan sepasang toket gede itu.

Dan ketika terasa sudah hampir ejakulasi, kutarik kontolku dari jepitan toket gede itu. Lalu cepat-cepat kumasukkan kontolku ke dalam mulut Mbak Erma.

Hanya sebentar Mbak Erfma menyedot-nyedot kontolku. Lalu lendir kenikmatanku pun berlompatan di dalam mulut Mbak Erma.

Crooottt.. crooottt.. crooottt..!

Mbak Erma membuktikan kata-katanya. Air maniku ditelannya semua sampai tak tersisa setetes pun.. glek.. glekkk..!

Aku pun terkapar lunglai di samping Mbak Erma.

Beberapa saat kemudian..

"Mbak Erma masih punya orang tua?" tanyaku yang masih rebah di samping Mbak Erma.

"Tinggal ibu yang masih ada Boss. Sudah tua. Sudah enampuluhthnan," sahutnya.

"Ayah Mbak sudah meninggal?"

"Iya. Tapi ayah saya meninggalnya di rumah istri barunya. Bukan di rumah ibu saya. Karena ibu saya diceraikan, gara-gara tergoda oleh gadis tunanetra."

Mendengar kata "tunanetra" itu aku agak kaget. Lalu bertanya, "Boleh aku tau siapa nama ayah Mbak itu?"

"Zaelani Boss."

Kembali aku tersentak. Lalu bertanya lagi, "Mbak tau siapa nama wanita tunanetra yang dinikahi oleh ayah Mbak itu?"

Mbak Erma tampak seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu menyahut, "Mmmm.. kalau tidak salah, nama wanita tunanetra itu Hayati. Kalau masih hidup, mungkin wanita itu sebaya dengan saya."

Aku kaget lagi. Karena Hayati itu nama ibuku.

Lalu kuambil handphone dan kutampilkan foto almarhum ayah di layar handphoneku. "Mbak kenal dengan lelaki tua ini?" tanyaku sambil memperlihatkan layar hanphoneku padanya.

"Iii.. ini foto ayah Boss," sahut Mbak Erma sambil memegang handphoneku, "Kenapa foto almarhum ayah saya bisa ada sama Boss?"

"Karena beliau itu ayahku," sahutku dengan batin melemah, "Dan wanita tunanetra itu adalah ibuku."

"O my God! Jadi kalau begitu Boss ini adik saya.."

"Iya. Adik seayah berbeda ibu. Mmm.. jangan dendam kepada ibuku ya Mbak."

Mbak Erma malah memelukku. Menciumi pipiku, "Tidak Boss. Karena seorang gadis tunanetra takkan mungkin menggoda ayah. Pasti semua itu atas keinginan almarhum ayah sendiri. Aku malah merasa bahagia, karena ternyata saya punya adik.. yang sekarang menjadi atasan saya pula di kantor."

"Masih ada dua orang lagi adik Mbak. Yang satu tunanetra juga seperti Ibu. Yang satulagi belum kutemukan, karena sejak kecil diadopsi oleh seorang pengusaha. Ohya, almarhum Ayah pernah curhat padaku. Bahwa beliau menikahi Ibu atas dasar perasaan kasihan kepada Ibu yang tidak bisa melihat."

"Te.. terus sekarang ibunya masih ada?"

"Masih. Sekarang Ibu sedang dirawat di rumah sakit mata. Masih menunggu saat yang tepat untuk menjalani operasi matanya. Kakakku juga sama, tidak bisa melihat seperti Ibu. Dia juga sama-sama sedang dirawat di rumnah sakit mata. Jadi anak-anak Ibu yang bisa melihat hanya aku dan adikku yang belum kutemukan itu.

"Terus.. bagaimana dengan kita Boss?"

"Panggil namaku aja. Sekarang kan udah jelas bahwa aku ini adikmu Mbak."

"Tapi biar bagaimana kan Boss ini atasanku. Karena di dalam kedudukan eksekutif, Boss ini orang nomor satu di perusahaan."

"Kalau di kantor, boleh manggil boss. Seolah-olah kita ini bukan saudara. Lagian peraturan di kantor kita kan sudah jelas. Tidak boleh ada dua orang yang punya hubungan darah bekerja sebagai karyawan. Salah seorang harus resign. Jadi sebaiknya jangan ada yang tau kalau kita ini kakak beradik seayah berlainan ibu.

"Iya.. tapi kita sudah melakukannya.. padahal kita ini saudara," kata Mbak Erma.

"Biar aja. Aku bahkan semakin bernafsu setelah tau masalah ini," sahutku sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut vagina Mbak Erma.

Ku dorong sekuatnya. Dan melesak masuk lagi ke dalam liang memek legit itu..

blesss..

Rintihan-rintihan Mbak Erma pun terdengar lagi. Bahkan kali ini kami merasa lebih bebas melakukannya.


===x=x=x===


Keesokan paginya Mbak Erma melakukan tugasnya secara profesional. Untuk mengaudit kantor cabang perusahaan di wilayah Bogor. Dan ternyata jam duabelas siang juga tugasnya sudah selesai. Kemudian meneleponku yang sedang rebahan di hotel. Melaporkan bahwa auditnya sudah selesai dan tidak ada masalah.

"Ya udah Mbak ke hotel aja langsung. Jalan kaki juga bisa kan?"

"Iya Boss. Ini juga sambil jalan kaki menuju hotel. Memang deket banget kok."

Tak lama kemudian Mbak Erma sudah muncul di ambang pintu kamar bernomor 505 ini.

"Sekarang mau pulang Boss?" tanyanya.

"Ziaaah.. boss lagi boss lagi."

"Mmm.. manggil Dek Wawan boleh gitu?"

"Iya. Manggil nama langsung juga boleh."

"Jangan ah. Dek Wawan kan manggil Mbak sama aku. Jadi aku manggil Dek, sebagai tanda saling menghormati, meski pun kita kakak beradik."

"Iya, iya. Terus kita mau ngapain sekarang?" tanyaku sambil melingkarkan lenganku di leher Mbak Erma.

"Nggak tau ya. Terserah Dek Wawan aja."

"Kalau aku sih inginnya nginep semalam lagi aja. Rasanya aku belum kenyang menggauli Mbak."

"Iya, aku juga punya perasaan masih ingin berdekatan dengan Dek Wawan. Rasanya seperti baru menemukan sesuatu yang hilang dari diriku selama ini."

"Mbak.. jujur aja ya.. memek Mbak luar biasa enaknya. Makanya aku ingin habis-habisan dulu di sini sebelum pulang."

Mbak Erma pun mendekap pinggangku. Mencium dan melumat bibirku.

"Sama Dek. Perasaanku juga seperti itu. Pokoknya selama aku berumahtangga, aku tak pernah merasakan senikmat disetubuhi seperti dengan Dek Wawan. Bahkan setelah tau bahwa Dek Wawan ini adekku, birahiku malah tambah bergejolak.

"Iya.. sama aku juga begitu. Setelah tau Mbak ini kakakku, aku malah merasa Mbak semakin bernilai bagi kebutuhan perasaan dan birahiku. Ohya, Mbak udah makan siang?"

"Udah. Tadi di kantor cabang disuguhi makan sama direktur cabang."

"Aku juga udah makan siang di resto hotel tadi. Sekarang kita ena-ena lagi aja ya, ya, ya?"

"Tadi malem udah dua kali ngecrot. Sekarang masih bisa maen lagi?"

Kugeluti bibir sensual dan lidahnya yang terjulur ke luar dengan mulutku."Bisa lah. ini udah ngaceng lagi Mbak."

"Ayo deh.. nafsuku memang gede Dek. Makanya di rumah sih gak pernah bisa puas. Tapi dengan Dek Wawan.. puas sekali," ucap Mbak Erma sambil melepaskan segala yang melekat di tuibuhnya, sampai telanjang bulat lagi seperti tadi malam.

Entah kenapa, begitu menyaksikan tubuh sintal yang sudah telanjang itu, nafsu birahiku langsung meronta dan menggejolak.

Maka kugumuli tubuh sintal tapi padat itu dengan segenap gairahku. Kucium dan kulumat bibir sensualnya dengan penuh nafsu.

Sementara tanganku mulai bermain di permukaan memek tembemnya. Bahkan sesekali jemariku menyelusup ke dalam celah memeknya yang terasa sudah basah, sehingga aku tak perlu main jilat lagi rasanya.

Maka dengan cekatan kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek tembem Mbak Erma. Rasanya aku suidah mulai hafal bentuk memek kakak seayah berbeda ibu itu. Maka dengan sekali dorong kontolku mulai melesak ke dalam liang memek Mbak Erma. Lalu kudorong sedikit demi sedikit sampai masuk separohnya.

"oooh.. kontol Dek Wawan ini lain rasanya.." sambut Mbak Erma sambil melingkarkan lengannya di leherku.

Dia mencium dan melumat bibirku dengan lahapnya, sementara aku sudah mulai mengayun batang kemaluanku di dalam jepitan liang memek Mbak Erma yang sempit tapi licin dan legit ini.

Mbak Erma pun mulai merintih-rintih histeris lagi, "Deek.. duuuh.. enak Deek.."

Sementara mulutku menancap di lehernya yang sudah mulai keringatan. Terkadang mulutku terbenam di ketiaknya yang juga sudah keringatanb. Di situlah lidahku menjilat-jilat disertai dengan sedotan sedotan kuat.

Tak cukup dengan itu. Pada suatu saat Mbak Erma ingin main di atas. Kukabulkan saja. Lalu kami bertukar posisi. Mbak Erma seperti penunggang kuda jadinya. Bokongnya naik turun dengan cepatnya. Sehingga selangkangannya terus-terusan bertabrakan dengan selangkanganku.

Menimbulkan bunyi unik.. plokkk..

Sambil celentang begini, aku jadi bisa melihat jelas kontolku terkadang "lenyap ditelan" memek Mbak Erma. Terkadang "dimuntahkan" lagi. Lalu ditelan lagi dan dimuntahkan lagi.

Sepasang toket gedenya yang bergelantungan dsi atas dadaku pun tak kubiarkan nganggur. Kedua tanganku meremasnya dengan lembut, tapi terkadang meremasnya dengan kuat juga.

Dalam posisi WOT inilah Mbak Erma mencapai orgasme pertamanya.

Lalu kami kembali ke posisi missionary. Memang posisi klasik ini paling sempurna di antara posisi-posisi seksual yang ada. Karena dalam posisi missionary ini aku bisa mencium bibir Mbak Erma sepuasnya. Biusa mengemut pentil toketnya, bisa menjilati lehernya, bisa menjilati telinganya dan bahkan bisa juga menjilati ketiaknya.

Memang aku senantiasa berprinsip bahwa aku harus "take and give" dengan pasangan seksualku. Aku ingin agar jangan aku sendiri yang merasa puas, tapi pasangan seksualku pun harus merasa puas.

Dalam posisi missionary ini aku bisa menyentuh titik-titik sensitif di tubuh Mbak Erma. Sehingga rintihan dan rengakjan manjanya terdengar terus di kamar hotel ini.

Dan.. ketika terasa aku mau ejakulasi, ternyata Mbak Erma pun mau orgasme untuk kedua kalinya.

Aku berhasil menciptakan sesuatu yang paling indah di dalam hubungan seks. Bahwa ketika liang memek Mbak Erma mengejut-ngejut di puncak orgasmenya, kontolku pun mengejut-ngejut sambil memuncratkan lendir kenikmatanku.

Crottt.. crooottt. crooottt..!

Lalu kami sama-sama terkapar di pantai kepuasan kami.

Kami habis-habisan melampiaskan nafsu birahi kami yang seolah tiada kenyangnya di hotel itu. Malamnya kami ulangi lagi persetubuhan kami. Bahkan menje;lang fajar menyingsing pun kami ulangi lagi saling melampiaskan nafsu birahi kami.

Bahkan setelah kami pulang ke kota kami dan sama-sama bekerja kembali di kantor kami, keindahan itu kureguk kembali.

Mbak Erma ku panggil ke ruang kerjaku. Ku setubuhi dia di ruang rehat yang biasanya dipakai untuk istirahat olehku.

Mbak Erma selalu mengiyakan setiap kali ku ajak bersetubuh. Karena pada dasarnya dia seorang wanita yang haus sex. Laksana kafilah dahaga di tengah padang pasir. Lalu diriku seolah oase baginya. Lalu direguklah kenikmatan dariku dengan lahapnya. Aku laksana berada di surga dunia. Karena kebutuhan material tercukupi, kebutuhan batin pun terpuasi.


===X=X=X===


Pada suatu hari aku diajak ketemuan oleh Bu Laila di sebuah restoran paling bergengsi di kotaku.

Pada saat itulah Bu Laila berkata setengah berbisik padaku, "Aku mulai hamil Sayang. Sudah empat minggu hamilnya."

"Ohya?!" aku terkejut bercampur girang, "Mengandung benihku kan?"

"Tentu saja. Memangnya siapa lagi kalau bukan dirimu Cinta."

"Bahagia sekali mendengarnya langsung dari mulut bidadariku. Lantas apa yang bisa kulakukan untuk menyambut berita gembira ini?"

"Aku ingin merawat kandujnganku sebaik mungkin. Jadi.. kamu harus puasa dulu sampai aku hamil tua. Setelah kandunganku berumur tujuh bulan sih, kamu bisa gauli aku lagi sepuasnya. Sekarang puasa dulu, bisa kan?"

"Iya Cinta. Demi kesehatan anak kita, aku akan berpuasa sampai bisa melakukannya lagi."

"Syukurlah kalau pangeranku bisa mengerti," ucap Bu Laila sambil meremas tanganku yang terletak di atas meja restgoran.

"Suami Cinta gimana reaksinya setelah tahu Cinta sudah hamil?"

"Nggak kenapa-kenapa. Dia malah kelihatan senang. Tapi pada waktu dia bertanya siapa yang menghamiliku, aku tidak menjawabnya. Pokoknya adalah seseorang, jawabku saat itu."

"Jadi sampai sekarang dia tidak tau kalau aku yang menghamili Cinta?"

"Sampai kapan pun dia tak boleh tau. Karena aku ingin agar hubungan kita terjalin terus sampai kapan pun."

"Iya.. "aku mengangguk-angguk.

"Ohya.. ini ada hadiah dariku, sebagai ungkapan rasa bahagiaku saat ini," ucap Bu Laila sambil mengeluarkan amplop dari dalam tas kecilnya.

"Apa ini?" tanyaku heran sambil membuka amlop itu.

"Baca aja sendiri," sahut Bu Laila sambil tersenyum.

Ternyata isi amplop itu tanda pembelian sebuah mobil mahal built up Jerman (bukan bulit up Thailand yang tekniknya tidak lebih baik dari negaraku). Dan aku tahu harfga mobil itu mahal sekali.

"Besok mobil itu sudah bisa kamu ambil Honey. Ini remote controlnya, karena sedan itu sudah berteknologi keyless," ucap Bu Laila sambil menyerahkan dua buah remote control. Berarti salah satunya untuk cadangan.

"Aku jadi speechless Cinta. Sedikit pun aku tak pernah membayangkan bakal memiliki mobil semahal itu."

"Sudah saatnya dirimu memakai sedan yang keren, karena jabatanmu sekarang sudah menjadi direktur utama kan?"

"Iya Cinta. Terima kasih yaaa," ucapku disusul dengan kecupan di pipinya. Tanpa peduli kalau ada yang melihat di dalam restoran ini.

Bu Laila menyahutku dengan bisikan, "Kembali kasih. Tapi nanti setelah kandunganku berumur tujuh bulan, kamu harus sering menggauliku ya Honey."

"Siap Cinta. Mau tiap hari juga siap !"

"Tiap hari sih jangan. Kasihan babynya."

Begitulah. Akhirnya malam itu kami berpisah, tanpa hubungan sex. Karena Bu Laila ingin agar kandungannya jangan tergoncang-goncang dulu. Maklum masih hamil muda.

Esok paginya aku memakai taksi untuk mendatangi dealer sedan mahal itu. Sengaja aku pakai taksi, karena akan membawa mobil yang sudah dibayar lunas berikut asuransinya oleh Bu Laila. Surat-suratnya atas namaku. Seolah-olah aku yang membeli mobil mahal itu.

Sebuah sedan hitam yang sangat keren di mataku.

Setelah pihak dealer menerangkan beberapa hal tentang cara penggunaan sedan mahal itu, aku pun mengemudikan sedan hitam itu. Meninggalkan kantor dan showroom dealer dengan hati berbunga-bunga.

Aku seolah sudah menggenggam salah satu kemenangan di dalam mengarungi kehidupan ini. Dan aku sjudah membayangkan betapa tambah kerennya diriku pada waktu mengemudikan mobil mewah ini.

Namun kehidupan di dunia ini selalu ada pasangannya. Ada siang ada malam. Ada pria ada wanita. Ada keuntungan ada kerugian. Ada kemanisan ada kepahitan. Ada kemenangan ada kekalahan.

Aku sudah memperoileh salah satu kemenangan di dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan mendengar berita menggembirakan bahwa Bu Laila mulai hamil, lalu menerima hadiah yang sangat mahal ini darinya.

Tapi kemenangan itu disusul dengan suatu kekalahan. Bahwa dokter hanya mampu membuat Wati bisa melihat, tapi tidak mampu membuat Ibu bisa melihat seperti manusia bermata normal.

Banyak alasan yang dokter kemukakan. Sehingga sampai pada suatu kesimpulan, bahwa ibuku takkan mungkin bisa melihat, karena jaringan syaraf yang menunjang untuknya agar bisa melihat, sudah tidak berfungsi semua.

Wati tampak bahagia sekali karena ia tidak buta lagi. Tapi bagaimana dengan ibuku?

Sedih hatiku mnenerima kenyataan pahit ini. Tapi sepulangnya dari rumah sakit, Ibu berkata, "Biar sajalah, ibu sih jangan terlalu dipikirkan Wan. Karena kalau dipikir-pikir, ibu ini sudah tua. Bisa melihat pun untuk apa? Toh ibu sudah terbiasa dalam keadaan tunanetra begini. Yang penting Wati itu.

"Iya Bu. Ternyata tidak semua orang buta bisa ditolong dokter agar bisa melihat. Aku sudah berusaha untuk menormalkan mata Ibu. Tapi apa daya.. para dokter pun tidak berdaya menghadapi kenyataan pahit ini."

"Iya sudah. Jangan bahas lagi masalah itu. Sekarang pusatkan saja pikiranmu untuk membahagiakan Wati. Bahkan kalau bisa, carilah jodoh untuknya. Supaya dia juga merasakan berumahtangga seperti perempuan lain."

Kemudian aku keluar dari kamar Ibu dan membuka pintu kamar Wati, lalu masuk ke dalamnya. Kamar ini sudah dibangun dengan cara semodern mungkin. Pasti Wati senang sekali melihat bentuk kamarnya yang tidak kalah dengan kamar-kamar mandi orang kaya di sekitar rumah peninggalan almarhum ayahku ini.

Ternyata Wati sedang mandi. Aku pun langsung membuka pintu kamar mandi.

Tampak kakakku itu sedang berendam di dalam bathtub. Memang pada saat Ibu dan Wati sedang berada di rumah sakit, kutambahkan bathtub ke kamar mandi mereka.

"Enak kan pakai bathtub gitu?" tanyaku.

Wati agak kaget karena baru sadar ada orang lain di dalam kamar mandi ini.

"Enak Wan. Makasih yaaa.. akhirnya aku bisa merasakan juga enaknya berendam di dalam bathtub."

Mata jalangku memperhatikan bentuk kakakku dalam keadaan telanjang bulat itu. Kelihatannya toket Wati jadi ngegedin sedikit. Bokongnya juga ngegedein. Maka bisalah aku menilai kakakku itu manis dan seksi.

"Kamu masih butuh kontolku gak?" tanyaku sambil menjawil toket gedenya.

"Ya maulah. Selama dirawat di rumah sakit, tak sekali pun aku bisa melihat yang namanya kontol. Apalagi menyentuhnya. hihi.. !"

"Jadi sekarang mau kuentot gak?"

"Mauuu.. tapi sebentar kuselesaikan dulu mandinya ya Wan."

"Kirain setelah bisa melihat, kamu gak butuh kontolku lagi. Ayo cepetan dong mandinya."


===x=x=x===


Aku keluar dari kamar mandi. Lalu kututup dan kukuncikan pintu kamar Wati ini, agar aku leluasa main dengannya tanpa gangguan siapa pun.

Tak lama kemudian Wati pun muncul dari kamar mandi, dengan membelitkan handuk di badannya.

Handuk itu pun kutarik sampai terlepas dari tubuh Wati. Dan ternyata benar dugaanku. Di balik handuk itu tiada apa-apa selain tubuh Wati yang seksi abis itu.

Wati tidak marah. Malah mendekap pinggangku sambil menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan. "Kamu kangen kan sama aku?"

"Kamu sendiri gimana?"

"Iiih.. orang nanya malah balik nanya."

"Iya kangen Wat. Apalagi sekarang, kamu jadi tampak benar-benar hidup."

"Emangnya pada waktu aku masih buta kayak mayat gitu?"

"Nggak kayak mayat sih. Tapi sekarang kamu memang jadi lebih seksi. Kulitmu juga jadi lebih bersih sekarang."

"Di rumah sakit kan cuma makan-tidur makan-tidur selama lebih dari sebulan. Makanya jadi lebih montok dan bersih."

"Jadi lebih seksi pula," ucapku sambil mengusap-usap toket gedenya.

"Kalau memang jadi seksi, cariin cowok buat calon suamiku Wan."

"Terus aku mau dilupakan begitu aja?"

"Ya nggak lah. Tapi biar gimana kita kan gak bisa menikah Wan. Makanya cariin aku calon suami. Yang udah tua juga gak apa-apa, asalkan tajir. Soal hubungan kita sih bisa aja dilanjutkan secara rahasia."

"Ya nanti kalau sudah bosan sama kamu, kucariin cowok tua tapi tajir," sahutku sambil menelanjangi diriku sendiri.

Wati terlongong. Mengamati batang kemaluanku. Lalu memegangnya, "Inilah pertama kalinya aku bisa melihat bentuk kontol. Lucu ya.. kepalanya seperti helm.. seperti jamur kancing juga.. hihi.."

Tak cuma memegangnya, Wati pun lalu menjilati leher dan moncong penisku. Bahkan kemudian mengulum dan menyelomotinya dengan lahap.

Cukup lama kubiarkan Wati mengoral kontolku. Setelah kontolku benar-benar ngaceng, cepat Wati menelentang, "Jangan jilati memekku. Langsung aja masukin kontolmu. Aku ingin merasakan nikmatnya gesekan kontolmu dalam keadaan belum becek."

Aku menurut saja. Lalu meletakkan moncong kontolku di ambang mulut vagina kakakku.

Wati pun ikut memegang leher klontolku, sambil mengarahkan moncongnya agar berada di posisi yang pas menuju mulut liang memeknya.

Lalu kudorong kontol ngacengku sekuat tenaga. Dan melesak masuk sedikit demi sedikit.

"ooohhh.. enak sekali Wan.!"

Dengan penuh nafsu aku pun mulai mengayun kontolku perlahan-lahan. Setelah liang memek Wati terasa licin, barulah aku bisa mempercepat genjotanku, sampai pada kecepatan standard.

Dengan trampilnya Wati pun menggeol-geolkan pinggulnya, sehingga kontolku terasa dibesot-besot oleh liang memeknya yang bergerinjal-gerinjal empuk hangat dan licin itu.

Wati pun mulai merintih-rintih erotis.

"Waaan.. aaah.. teruuusss.."

Sementara itu aku mulai menjilati leher Wati yang mulai lembab oleh keringat, disertai dengan gigitan-gigitan kecil. Aksiku ini membuat Wati semakin merem melek. Semakin berlontaran pula rintihan-rintihan histeris dari mulutnya.

Tapi Wati tetap menggoyangkan pinggul dengan lincahnya. Mungkin pada waktu di Kalimantan dia sudah dilatih oleh lelaki yang pernah memboyongnya ke sana. Dilatih untuk menggoyangkan pinggulnya selincah mungkin.

Cukup lama aku menggenjot liang memek Wati yang terasa licin tapi lumayan sempit ini.

Ketika Wati berkelojotan aku pun menggencarkan genjotanku. Dia mengejang tegang, aku pun sudah tiba di puncak kenikmatanku.

Lalu terasa liang memek Wati berkedut-kedut di puncak orgasmenya. Pada saat yang sama kutancapkan kontolku sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi.

Lalu.. kontolku pun mengejut-ngejut sambil memuntahkan air maniku.

Crooottt.. cooottt.. crooottt..!

Aku pun terkapar di atas perut kakakku. Dengan tubuh bersimbah keringat.

"Barusan dibarengin ya?"

"Iya," sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek kakakku, "Lebih enak kan?"

"Iya. Tapi kalau aku tidak ikutan kabe sih bisa hamil."

"Ogitu ya," ucapku sambil meraih pakaianku yang berserakan di lantai, "Aku mau bobo sama Ibu ah. Kangen.. pengen tidur dalam pelukannya."

Kemudian, aku melangkah menuju kamar Ibu, dalam keadaan telanjang bulat sambil menggenggam pakaian yang belum kukenakan kembali.

Setelah berada di dalam kamar Ibu, kututupkan kembali pintunya, lalu kukunci sekalian.

Ibu agak kaget mendengar langkah menuju bednya. "Wan !" panggilnya.

"Iya Bu," sahutku.

"Owh.. kirain siapa."

Lalu aku naik ke atas bed Ibu, "Aku kangen, pengen bobo di dalam pelukan Ibu."

Ibu meraba-raba kakiku, perutku dan juga kontolku yang masih lemas ini.

"Kok tamu telanjang? Mau nidurin ibu ya? Sekarang mah gak bisa ibunya Wan."

"Kenapa?"

"Ibu lagi datang bulan."

"Owh.. ya udah.. aku mau sabar aja menunggu sampai Ibu bersih."

"Mungkin lima hari lagi bersihnya Sayang."

"Kalau Ibu lagi mens sih gak jadi ah tidur sama Ibunya."

"hihi.. kasian anak ibu."

Akhirnya kutinggalkan kamar Ibu, dengan perasaan kecewa. Lalu masuk ke dalam kamarku. Dan langsung masuk ke kamar mandi pribadiku. Keringat bekas bersetubuh dengan Wati tadi membuat badanku lengket-lengket. Karena itu aku mandi dengan air hangat yang memancar dari shower utama di atas kepalaku. Lalu menyabuni tubuhku sebersih mungkin.

Setelah mandi, badanku terasa segar kembali. Tapi perasaan kecewa masih tersimpan di dalam hatiku. Karena tadinya aku ingin menyetubuhi ibuku. Tapi ternyata ibuku sedang "palang merah".

Meski pun sudah ngecrot di dalam liang memek Wati tadi, aku yakin masih bisa bersetubuh sekali atau dua kali lagi. Karena dalam beberapa hari belakangan ini aku tidak menggauli siapa pun. Sementara Bu Laila ingin "berpuasa" dulu katanya, agar janin di dalam perutnya tenang.

Lalu siapa yang harus kusetubuhi?

Entahlah. Yang jelas, jangan dengan Wati lagi. Sebaiknya ada sosok lain yang akan kujadikan target.

Kalau ada Euis, pasti aku akan menyetubuhi dia habis-habisan. Tapi Euis sudah pulang tadi sore.

Lalu kenapa aku tidak ke rumahnya saja? Kalau perlu kusikat dengan ibunya sekalian.

Ya, biar bagaimana pun Bu Mimin sudah pernah memberiku kenangan dan kepuasan. Tapi seandainya Euis tahu bahwa aku sudah pernah menggauli ibunya segala, apakah Euis takkan merajuk?

Entahlah. Biar bagaimana nanti saja. Aku akan melihat situasinya saja dulu. Siapa tahu ada salah seorang yang sedang datang bulan pula di antara Euis dan ibunya.

Ketika jam tanganku baru menunjukkan pukul delapan malam, aku mengeluarkan mobil lamaku keluar dari garasi. Sedan hadiah dari Bu Laila hanya akan kupakai untuk ke kantor atau kalau ada meeting dengan para pengusaha relasiku saja.

Tak lama kemudian aku sudah menjalankan mobil lamaku menuju rumah Euis.

Hanya dibutuhkan waktu sejam untuk mencapai rumah yang sudah kuhadiahkan kepada Euis itu. Lalu aku pun turun dari mobilku.

Belum lagi kuketuk pintu depan rumah Euis, pintu itu terbuka dan Bu Mimin berdiri di ambang pintu depan.

"Firasat saya tajam juga ya. Saya barusan sedang mikirin Den Wawan. ee, gak taunya Aden datang, "sambut Bu Mimin sambil mempersilakanku masuk.

"Euis mana?" tanyaku.

"Sudah tidur Den," sahut Bu Mimin yang malam itu mengenakan daster katun berwarna light brown polos alias tanpa corak, "Sejak jam tujuh tadi dia sudah tidur nyenyak. Aden ada perlu sama dia?"

"Nggak," sahutku sambil menarik pergelangan tangan Bu Mimin dan mengajaknya duduk di sofa ruang keluarga.

Dia menurut saja. Duduk di sampingku sambil merapatkan pipinya ke pipiku. "Aden kangen sama saya atau sama Euis?"

Tanganku langsung merayap ke balik daster coklat mudanya.

"Dua-duanya," sahutku sambil menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya.

Mengusap-usap permukaan memeknya. Dan menyelundupkan jari tengahku ke dalam celah vaginanya yang agak basah.. dan semakin basah setelah jemariku mmenggesek-gesek dinding liang memeknya.

"Den.. kalau memek saya udah dibeginiin.. saya langsung kepengen.." ucap Bu Mimin setengah berbisik.

"Ya udah.. kita main di sini aja Bu. Lepasin dulu dasternya dong."

"Jangan di sini Den. Perasaan saya jadi gak tenang kalau di sini sih. Di kamar saya aja yok."

Akhirnya kuikuti ajakan Bu Mimin, melangkah di sampingnya menuju pintu kamarnya.

Setelah berada di dalam kamarnya, Bu Mimin langsung melepaskan daster, beha dan celana dalamnya. Sehingga tubuh tinggi montoknya telanjang bulat di depan mataku.

Aku pun cep[at menelanjangi diriku sendiri, kemudian menyergap pinggang Bu Mimin dan meraihnya ke atas bed.

"Duuuh.. senengnya hati saya Den.. pas lagi kangen, Aden datang," ucap Bu Mimin setelah celentang di atas bed akibat dadanya kudorong.

Tanpa basa-basi lagi kuserudukkan mulutku ke memek Bu Mimin yang tembem dan sangat merangsang itu.

Buj Mimin tersentak kaget. Mungkin karena tidak mengira kalau aku akan langsung menjilati memek tembemnya. Namun lalu ia mulai mewndesah-desah sambil meremas-remas kain seprai. Karena aku sudah gencar menjilati memeknya, sementara telunjuk dan jari tengahku mulai menyodok-nyodok liang memeknya.

Dalam trempo singkat saja liang memek Bu Mimin sudah basah dibuatnya.

Lalu.. dengan sekali dorong saja kontolku mulai melesak masuk ke dalam liang sanggama wanita setengah baya itu.

"ooohhh.. sudah masuk Deen.." rintih Bu Mimin sambil mendekap kedua pangkal lenganku erat-erat, seperti orang yang takut jatuh dari ketinggian.

Aku pun mulai mengayun batang kemaluanku, bergerak maju mundur seperti sedang memompa liang memek wanita setengah baya yang cantik itu.

Bu Mimin pun mulai mendesah dan merintih, "aaah.. Deen.. aaah..!"

Bu Mimin meraung-raung histeris terus. Dan mungkin rintihan histeris Bu Mimin itu terlalu keras dan sulit dikendalikan. Sehingga rintihannya itu terdengar oleh anaknya. Entahlah apa yang menyebabkan Euis terbangun dan membuka pintu kamar ibunya. Entahlah. Yang jelas tiba-tiba aku mendengar suara Euis dari samping kiriku, "Ema..

Tentu saja aku terkejut. Lalu menoleh ke arah Euis yang sudah berdiri di ambang pintu. Dengan sikap malu-malu. Mungkin dia malu sendiri melihat ibunya sedang kusetubuhi begini.

Aku pun menghentikan genjotanku dan berkata kepada Euis, "Sini.. kita bikin keseruan di dalam kamar ini. Lepaskan seluruh pakaianmu dan naik ke atas bed sini."

Sambil tersenyum-senyum Euis menghampiri bed yang tengah kami pakai bersetubuh ini.

"Ayo jangan malu-malu. Lepasin semua pakaianmu, "perintahku.

Euis mengangguk dan mengikuti apa yang kuperintahkan.

Emak Mimin memegang tangan anaknya, "Maafkan emak ya Euis. Emak sudah mencuri kepunyaanmu. Karena emak juga masih sangat butuh, untuk penyemangat hidup emak."

Euis seperti terharu, lalu mencium pipi ibunya yang sedang berada di bawah himpitanku itu, "Gak apa-apa Mak. Den Wawan kan bukan suamiku. Lagian Emak masih berhak untuk menikmatinya.. menikmati hukum alam bahwa seorang wanita membutuhkan pria."

Ku tepuk bokong Euis yang berada di dekat tanganku,

"Pokoknya kita bertiga kompak aja ya Is. Aku memiliki kalian berdua dan kalian berdua memilikiku. Bahkan mulai saat ini setiap kali kita melakukannya pasti lebih sewru daripada biasanya."

"Iya Den. Saya malah senang kalau Aden berkenan menggauli emak saya. Kasihan Emak.. sudah bertahun-tahun tidak merasakan sentuhan lelaki."

"Berarti kamu bijaksana Is," ucapku sambil menarik lehernya ke dekatku. Lalu kucium bibirnya. Kemudian kulanjutkan aksiku "memompa" liang memek tembem Bu Mimin di depan mata anak semata wayangnya.

Bu Mimin pun mulai lupa daratan lagi. Ia tak peduli lagi dengan kehadiran anaknya. Dia merintih-rintih histeris lagi,

"Deen.. eenaaak sekaliii.."

Sambil meremas sepasang toket Bu Mimin, kugenjot liang memeknya segencar mungkin. Agar dia cepat orgasme.

"aaah.. aaah.. ooohhh.. enaknyaaa.." rintih Bu Mimin sambil menggoyang pinggulnya dengan gerakan menukik-nukik.

Beberapa saat kemudian Bu Mimin berkelojotan. Kemudian mengejang tegang sambil menahan nafasnya, sementara perutnya sedikit terangkat ke atas.

Aku mengerti apa yang sedang terjadi dengan Bu Mimin. Lalu kutancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang memek Bu Mimin.

Pada saat itulah liang memek Bu Mimin terasa berkedut-kedut kencang, disusul dengan gerakan seperti spiral yang membelit batang kemaluanku. seolah ingin memuntahkan kontolku dari dalam liang memeknya.

Ini adalah detik-detikm yang sangat indah. Bahwa aku ikut menikmati denyhut-denyut orgasme memek Bu Mimin, sambil memasukkan jari tengahku ke liang memek Euis yang sudah basah (karena dari tadi aku mengentot Bu Mimin sambil memainkan memek Euis).

Setelah Bu Mimin terkulai lemas, cepat kucabut kontolku dari liang memeknya. Kemudian pindah ke atas perut Euis yang sejak tadi kelihatan terangsang menyaksikan persetubuhanku dengan ibunya.

Karena liang memek Euis sudah cukup basah, aku tak sulit untuk membenamkan kontolku ke dalamnya..

blesss.. melesak amblas sampai menyundul dasar liang memek Euis.

Sebenarnya ini merupakan persetubuhanku yang ketiga. Karena tadi jam 19.00 aku menyetubuhi Wati. Memang aku belum ngecrot dalam persetubuhanku dengan Bu Mimin barusan. Tapi aku menganggap persetubuhan dengan ibu dan anaknya ini merupakan "ronde kedua", karena ronde pertamanya bersama Wati.

Dengan sendirinya durasi genjotanku pasti akan lama nanti.

Dan kini aku sudah mulai mengayun kontolku di dalam liang memek Euis yang cantik ini.

Tentu saja liang memek Euis lebih sempit dibandingkan dengan liang memek ibunya. Karena Euis belum pernah melahirkan. Tapi kalau aku harus menilainya secara jujur, memek Bu Mimin sedikit lebih enak daripada memek Euis.

Tapi memek Euis tetap enak. Hanya saja memek ibunya lebih merangsang birahiku. Terlebih kalau mengingat ketrampilan Bu Mimin dalam menggoyang pinggulnya, yang seolah ingin memuaskan nafsu birahiku, sekaligus mereguk kepuasan untuk dirinya sendiri.

Maka untuk mencari kepuasan bagiku sekaligus buat Euis juga, aku menarik sepasang kaki Euis dan kuletakkan di bahuku. Sementara aku mengentotnya sambil berlutut dan membungkuk. Sehingga dadaku tidak bisa bertempelan dengan dada Euis, karena terhalang oleh sepasang pahanya yang terangkat dan sepasang lututnya berada di kanan kiri sepasang toketnya.

Kelebihannya dalah, kontolku bisa jauh sekali jangkauannya. Sehingga tiap kali kudorong, moncongnya terasa menyundul dan mendesak dasar liang memek Euis.

Begitulah.. kini aku mengentot Euis dalam posisi missionary hardcore.

Kelebihan lain, aku bisa mengentot Euis sambil menggesek-gesekkan ujung jariku ke kelentitnya. Memek Euis pun jadi menengadah ke atas dalam posisi ini.

Tentu saja Euis merem melek dibuatnya. Karena Gspot di kelentit dan Gspot di mulut rahimnya yang terletak di dasar liang memeknya tersentuh dan tergesek terus menerus.

Desahan dan rintihannya pun mulai terlontar dari mulutnya, "aaah.. aaah.. enaknyaaa.. enak sekali Deen.."

Aku tidak mempedulikan rintihan Euis itu. Malah melirik ke arah Bu Mimin yang menyaksikan semuanya ini sambil mengusap-usap memek tembemnya. Mungkin dia jadi horny lagi menyaksikannya.

Dugaan Euis benar. Beberapa saat kemudian Euis klepek-klepek dan.. orgasme!

Setelah Euis terkulai lemas, aku pun pindah ke atas perut Bu Mimin lagi.

Dengan mudah kontolku bisa amblas ke dalam liang memek Bu Mimin.

blesss..!

Bu Mimin menyambutku dengan dekapan di kedua pangkal lenganku. "Den Wawan kok kuat sekali ya. Saya dan Euis sudah sama-sama lepas. Tapi Den Wawan belum apa-apa," ucap Bu Mimin sambil menciumi pipi dan bibirku.

Aku tidak menanggapinya. Karena aku tahu alasan sebenarnya. Bahwa tadi aku menyetubuhi Wati dulu sebagai "pemanasan". Dan kini ngentot yang sebenarnya.

Tapi Bu Mimin pun tampak sudah siap dan sigap lagi untuk meladeni kejantananku.

Maka terjadilah pertarungan dahsyat di antara kontolku dengan liang memek wanita setengah baya itu.

Kami melakukannya dengan berganti-ganti posisi. Sekalian mengajari Euis agar semakin trampil pada saat sedang meladeni kejantananku. Cukup lama kami melakukan semuanya ini.

Setelah posisi missionary, kami lanjutkan dalam posisi WOT. Dalam posisi itulah Bu Mimin orgasme lagi untuk kedua kalinya. Tapi fisiknya masih tangguh. Lalu kami lanjutkan dalam posisi doggy. Ternyata Bu Mimin sangat pandai melakukannya. Dia tak cuma menungging pada waktu kuentot sambil berlutut, tapi juga mampu mengoyang-goyangkan bokong gedenya.

Dalam posisi ini Bu Mimin orgasme lagi. Padahal aku juga sudah kritis. Sudah hampir ngecrot. Maka setelah mencabut kontolku dari liang memek Bu Mimin, kuangsurkan kontolku ke dekat mulut Euis.

Euis mengerti keinginanku. Dan mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia menyelomoti kontolku sambil menyedot-nyedot dan mengurut-urut dengan tangannya.

Maka tak kuasa lagi aku menahan ejakulasiku.

Lendir kenikmatanku pun melompat-lompat dari moncong kontolku ke dalam mulut Euis.

Crooottt.. crooottt.. crottt..!

Dan.. tanpa ragu Euis menelan spermaku semuanya, tak disisakan setetes pun.

Glek.. glekkk.. glek ..!

Lalu kami bertiga turun dari bed dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar Bu Mimin.

Kami bertiga mandi dengan air hangat dari shower. Saling menyabuni sambil bercanda.

Pada saat itu pula kami menyatakan untuk tetap kompak menjalin hubungan rahasia ini.

Setelah mandi badanku terasa segar kembali.

Bu Mimin dan Euis mau membuatkan pisang goreng untukku. Aku dipersilakan duduk di ruang keluarga.

Ketika mereka berada di dapur, sementara aku duduk sendirian di sofa ruang keluarga, pandanganku tertumbuk ke sebuah album foto yang berada di bawah daun meja kaca di depan sofa yang tengah kududuki.

Iseng kuambil buku album foto itu. Mungkin ada foto-foto Bu Mimin semasa mudanya atau foto-foto Euis di masa kecilnya.

Maka kubuka dan kuteliti isi album foto itu. Banyak juga foto Bu Mimin di masa mudanya. Memang cantik ibunya Euis itu di masa mudanya. Foto-foto Euis di masa kecil dan masa remajanya juga ada.

Tapi pandanganku lalu terpusat pada beberapa foto yang memperlihatkan Bu Mimin sedang melaksanakan akad nikah dengan seorang lelaki ganteng. Yang membuatku kaget adalah lelaki ganteng di foto itu. Jelas dia itu.. ayahku..!

Ciri khas ayahku adalah tahi lalat di dahinya itu. Dan aku tak mungkin salah lihat, dia memang ayahku di masa mudanya.

Ketika aku sedang mengamati foto-foto itu, Bu Mimin dan Euis muncul di ruang keluarga, sambil membawa baki sebagai wadah sepiring pisang goreng yang masih mengepul panas dan secangkir kopi hitam.

"Nih pisang gorengnya sudah siap Den. Ayo disantap mumpung masih panas," kata Bu Mimin sambil meletakkan pisang goreng dan kopi panas itu di meja kecil depanku.

Aku malah langsung bertanya sambil memperlihatkan foto-foto akad nikah itu kepada Bu Mimin,

"Bu Mimin.. ini foto Ibu waktu nikah ya?"

"Iya Den. Tapi cuma nikah siri. Karena almarhum sudah punya istri saat itu," sahut Bu Mimin.

"Boleh aku tau nama suami ibu ini?" tanyaku sambil menunjuk ke arah lelaki yang sedang akad nikah dengan Bu Mimin itu.

"Namanya Zaelani Den. Tapi dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."

"Nama lengkapnya Zaelani Purnama kan?" tanyaku.

"Kok Aden bisa tau nama lengkapnya? Apakah Den Wawan mengenal almarhum?"

"Dia ayahku Bu. Yang ibu sebut istri almarhum itu ibuku. Apakah Bu Mimin pernah mendengar nama ibuku?"

"Tidak pernah mendengar namanya Den. Waktru itu almarhum hanya bilang sudah punya istri. Jadi pernikahan dengan saya cuma bisa dilaksanakan secara siri. Dari pernikahan dengan almarhum itulah saya punya anak yang duduk di sebelah kiri Den Wawan itu."

Batinku benar-benar limbung saat itu. Lalu kukeluarkan handphoneku. Dan kuperlihatkan foto-foto ayahku semasa masih hidup dahulu.

"Supaya Bu Mimin lebih yakin, ini foto-foto ayahku semasa masih ada dahulu. Tahi lalat di dahi sebelah kanan itu sebagai tanda yang paling meyakinkan Bu."

Bu Mimin memperhatikan foto-foto di hapeku itu. Lalu berseru dengan suara sendu,
"Duuuh Deen.. ini memang foto-foto almarhum suami saya..! Ja.. jadi berarti Den Wawan ini anak tiri saya?"

Masalah Bu Mimin tidak kupikirkan. Toh sejak zaman dahulu sering terjadi hubungan antara seorang wanita dengan anak tirinya. Tapi Euis ini.. kalau dia memang anak dari ayahku, berarti Euis ini kakakku.. kakak seayah berlainan ibu. Jadi kalau aku Wawan Darmawan Bin Zaelani, maka Euis pun binti Zaelani.

Aku lalu teringat pada Mbak Erma, yang kisahnya mirip dengan kisahku dengan Euis ini.

O my God! Apakah aku ini ditakdirkan menjadi seorang incest sejati? Kenapa semua ini harus terjadi?

Aku termenung cukup lama. Memikirkan semuanya ini.

Sampai terdengar suara Euis dari samping kiriku,
"Jadi Den Wawan ini adik saya?"

Aku mengangguk lesu. Tapi ku kuatkan batinku, kemudian berkata,
"Semuanya sudah terjadi. Kita tak mungkin bisa menghapusnya."

"Lalu kita harus bagaimana setelah mengetahui semua ini Den?" tanya Bu Mimin dengan sikap tetap sopan.

Setelah menenangkan diri sejenak, aku berkata, "Kita sudah telanjur jauh melangkah. Aku sendiri sudah telanjur suka kepada Euis dan Bu Mimin. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk menghentikan semuanya. Tapi Euis sebaiknya jangan bekerja di rumahku lagi. Biarlah nanti kucarikan pemecahannya. Yang jelas Euis itu kakakku."

Bu Mimin dan Euis terdiam. Seperti tidak mendengar kata-kataku yang sebenarnya cukup penting itu.

"Atau begini.. Euis bekerja aja di kantorku. Tapi di kantorku ada peraturan tidak boleh ada dua orang karyawan yang ada hubungan darah. Jadi nanti di kantor Euis harus merahasiakan hubungan darah kita." kataku

"Itu lebih baik Den," kata Bu Mimin.

"Bu Mimin dan Euis jangan manggil Den lagi padaku. Panggil namaku aja," sahutku.

"Boleh saya usulkan sesuatu?" kata Euis

Aku menoleh ke arah Euis. Tampak sikapnya jadi rikuh sekali. Dan anehnya setelah mengetahui asal-usul mereka, aku bahkan semakin sayang kepada mereka.

Tanpa ragu kucium bibir Euis di depan ibunya, lalu bertanya, "Mau usul apa?"

Euis berkata canggung, "Begini mmm.. Dek Wawan.. ijazah saya kan cuma SMP. Bekerja di kantor Adek juga pasti sulit menyesuaikan diri. Bagaimana kalau saya usaha sendiri aja kecil-kecilan?"

"Mau usaha apa?" tanyaku.

"Usaha apa aja. Misalnya jualan kebutuhan sehari-hari."

"Mau buka warung? Zaman sekarang usaha seperti itu tergerus oleh minimart yang sudah menjamur di mana-mana. Bagaimana kalau buka warung nasi aja di sini? Euis kan pinter masak. Bakat itu bisa dikembangkan. Siapa tau kelak bisa punya rumah makan besar."

"Iya.. itu jauh lebih baik Den.. eh.. Nak," kata Bu Mimin.

Aku mengangguk-angguk kecil. Laluj memegang tangan Euis, "Untuk mencari resep masakan di zaman sekarang tidak sulit. Tinggal cari aja di internet, pakai handphone. mnanti kubelikan handphone yang bagus, supaya bisa browsing ya."

"Iya Dek."

"Sekarang aku mau tidur di sini ya. Tapi aku mau tidur sama Ceu Euis, ya Bu."

"Iya silakan Den," sahut Bu Mimin, "Itu pisang gorengnya kok gak disentuh sama sekali."

"Kubawa aja ke kamar Euis ya," sahutku sambil mengangkat piring pisang goreng dan kopinya yang sudah dingin."

"Mau diganti kopinya sama yang panas Dek?" tanya Euis.

"Boleh."

Euis bangkit dari sofa lalu melangkah ke dapur.

"Jadi ternyata Bu Mimin ini ibu tiriku ya?" ucapku sambil mengusap-usap lutut Bu Mimin.

"Iya. Bagusnya jangan manggil Bu Mimin lagi sama saya. Panggil ema aja Den. Biar sama seperti Euis," sahut Bu Mimin.

Aku tersenyum. Lalu berbisik di dekat telinga wanita setengah baya itu, "Memek Emak sangat enak. Aku gak rela kalau hubungan kita diputuskan begitu aja."

"Iya Nak.. ema juga udah telanjur ketagihan sama punya Nak Wawan."

"Tapi malam ini udah kenyang kan?"

"Udah Nak. Mungkin Euis yang belum kenyang sih. Kasihan dia.. jatahnya diganggu sama ema."

"Tapi malam ini sih gak mungkin. Aku cuma ingin nyobain aja tidur bersama Euis."

Tak lama kemudian Euis muncul di ruang keluarga, dengan secangkir kopi panas. "Mau langsung dibawa ke kamar saya?" tanyanya.

"Iya Ceu Euis," sahutku.

"hihi.. awalnya manggil Bibi, kemudian manggil nama.. sekarang ditambah dengan Ceu.." ucap Euis sambil melangkah menuju kamarnya.

Aku pun bangkit dari sofa. Mencium bibir Emak disusul bisikanku, "Aku mau istirahat dulu ya Emak Sayang."

"Iya silakan," sahut Emak sambil tersenyum.

Kemudian aku melangkah ke arah kamar Euis.

Ketika aku masuk ke kamar Euis, kulihat dia sedang mengenakan daster weetlook kuning mudanya.

Sambil menutupkan kembali pintu kamar Euis sekaligus menguncinya, aku berkata, "Ngapain pakai daster? Kalau kita mau tidur bareng, mendingan sama-sama telanjang."

"Kalau Dek Wawan perlu kan tinggal singkapin aja daster ini," sahutnya sambil menyingkapkan dasternya. Ternyata ia tidak mengenakan celana dalam, sehingga memeknya langsung "nyengir" di depan mataku.

Aku ketawa kecil. Lalu duduk di atas satu-satunya sofa yang ada di dalam kamar Euis.

"Udah ngantuk?" tanyaku.

"Belum lagi. Tadi kan waktu Dek Wawan datang, saya lagi tidur. Lalu terbangun karena mendengar rintihan Ema. Kirain Emak lagi sakit. Gak taunya.. hihi.."

Kutarik pergelangan tangan Euis sampai terduduk di atas sepasang pahaku.

"Meski pun ternyata kita ini saudara seayah, aku tak rela kehilangan Ceu Euis dan Ema."

"Sama.. saya juga begitu."

"Pakai aku aja deh, jangan pakai istilah saya lagi," ucapku sambil merayapkan tangan ke balik daster Euis.

"Kok megang-megang memek lagi? Emangnya belum kenyang tadi?" tanya Euis

"Sama Emak udah kenyang. Sama Ceu Euis belum."

"Di sana aja yuk," ucap Euis sambil menunjuk ke bednya.

Aku melepaskan segala yang melekat di tubuhku, sampai telanjang bulat. Aku naik ke atas bed. Menerkam Ceu Euis yang baru saja melepaskan dasternya, sehingga kami jadi sama-sama telanjang bulat.

"Dek Wawan kuat banget. Tadi kan udah habis-habisan sama Emak dan aku. Tapi sekarang udah tegang lagi nih penisnya," kata Ceu Euis sambil memegang kontolku yang memang sudah ngaceng lagi ini.

"Aku kan masih muda. Duapuluhlima juga belum. Makanya masih kuat maen semalam dua atau tiga kali aja sih. Nanti kalau umurku sudah di atas empatpuluh, pasti staminaku akan menurun," sahutku sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Ceu Euis.

Sesaat kemudian kontolku sudah membenam sepenuhnya di dalam liang memek Ceu Euis.

Permainan surgawi ini pun dimulai.

Kontolku mulai maju mundur di dalam cengkraman liang memek Ceu Euis. Maju mundur maju mundur.

Entah kenapa. Kali ini aku ingin habis-habisan menyetubuhi Ceu Euis, karena aku tidak rela kalau sampai kehilangan dia. Meski pun aku sudah tahu bahwa sebenarnya Ceu Euis itu kakak seayah berlainan ibu, aku akan tetap melanjutkan hubunganku dengannya. Begitu juga Emak Mimin yang memeknya gurih dan legit itu, harus tetap menjadi milikku..

Ceu Euis pun mulai mendesah-desah.

"aaah.. aaah.. aaah.. hamili aku ya Deek.."

Mendengar ocehan Ceu Euis itu, aku jadi ragu. Kuatir juga kalau ia benar-benar hamil nanti.

Karena itu aku diam-diam mengintai.. kalau Euis sudah orgasme, aku akan pura-pura ejakulasi, kemudian persetubuhan ini akan kuhentikan.

Cukup lama gejala akan orgasme itu terjadi. Lebih dari duapuluh menit aku mengentot Ceu Euis. Tapi dia malah asyik menggoyang pinggulnya mengikuti goyangan ibunya tadi.

Mungkin tadi Ceu Euis diam-diam menyimak cara-cara Emak meladeni genjotanku. Dan kini Ceu Euis mempraktekkannya denganku. Pinggulnya meliuk-liuk dan memutar-mutar dengan lincahnya. Tapi memang Ceu Euis belum setrampil ibunya dalam hal goyang pinggul waktu sedang bersetubuh.

Bahkan akhirnya Ceu Euis ngos-ngosan melontarkan suara, "Dek Wawaaan.. barengin Deek.. biar jadi anak..!"

Lalu Ceu Euis berkelojotan. Pada saat yang sama kugenjot kontolku seedan mungkin. Dan ketika Ceu Euis mengejang tegang, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Lalu aku mengejut-ngejutkan kontolku seolah-olah sedang ejakulasi.

Liang memek Ceu Euis pun berkedut-kedut kencang. Lalu ia terkapar lunglai. Ketika kucabut kontolku dari l, iang memek yang sudah becek itu, Ceu Euis membuka matanya.

"Barusan dibarfengin ya?" tanyanya.

Aku menjawabnya dengan anggukan kepala doang. Lalu mengambil celana dalam dan celana pamnjangku. Dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi pribadi Ceu Euis.

Sebenarnya batang kemaluanku masih ngaceng berat, karena barusan aku hanya pura-pura ngecrot. Karena takut Ceu Euis benar-benar hamil nanti.

Di kamar mandi aku hanya membersihkan alat vitalku yang berlepotan lendir libido Ceu Euis. Kemudian kukenakan kembali celana dalam dan celana panjangku.

Agak lama aku berada di kamar mandi.

Dan ketika aku keluar dari kamar mandi, ku lihat Ceu Euis sepertinya sudah tidur nyenyak. Tanpa mengenakan sehelai benang pun. Mungkin dia mengira aku ejakulasi di dalam memeknya tadi. Sehingga ia sengaja tidak bergerak-gerak, agar "sperma"ku terserap oleh rahimnya.

Aku malah mengambil baju kausku, kemudian keluar dari kamar Ceu Euis. Menuju pintu kamar Emak. Ternyata pintunya tidak dikunci. sehingga dengan mudah aku masuk ke dalam kamar ibunya Ceu Euis itu.

Apa lagi urusanku dengan Emak alias Bu Mimin itu?

Ini kontolku masih ngaceng, karena tadi cuma berpura-pura ejakulasi di dalam liang memek Ceu Euis. Inspirasi pun muncul di benakku.

Entot Emak lagi aja. Nanti spermaku akan kumuntahkan di dalam liang memek Emak..!

Kebetulan Emak sudah tertidur, dengan mengenakan kimono lagi.

Ketika kusingkapkan kimono itu, ternyata Emak tidak mengenakan beha mau pun celana dalam. Maka dengan hati-hati kuselundupkan jariku ke dalam liang memek Ema. Dan setelah tahu bahwa liang memeknya masih basah, aku pun menyelundupkan kontol ngacengku ke dalam liang memek Emak..!

Emak terkaget-kaget setelah sadar bahwa aku sudah membenamkan kontolku ke liang memeknya lagi.

"Deen.. aiiih.. Nak Wawaaan.. kok balik lagi ke sini?" tanyanya setengah berbisik. Namun sorot wajahnya kelihatan ceria, pertanda hatinya senang.

"Iya.. setelah tau Emak ini ibu tiriku, nafsuku malah semakin menjadi-jadi. Pengen ngentot Emak lagi" kilahku.

"Begitu ya? hihi.. ayo deh. Biar sampai pagi Nak Wawan akan ema ladeni."

Dengan gencar aku mulai mengentot Emak Mimin lagi.

Tapi ketika ia merintih-rintih lagi, cepat ku sumpal mulutnya dengan ciuman dan lumatan. Karena takut suaranya bisa membangunkan Ceu Euis lagi.


BERSAMBUNG...

cerita sex yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya

Related Posts