Cerita Dewasa - Bunga Dikubangan Lumpur Kenikmatan Sex 2

Baca cerita part 1 agar nyambung..
Kisah Nyata Dewasa - Bunga Dikubangan Lumpur Kenikmatan Sex 1



cewek amoy


Part 3

Enam bulan sudah aku bekerja di rumah ini. Keadaan mas Bima semakin hari semakin membaik, dia kini sudah bisa belajar berjalan walaupun masih menggunakan alat bantu. Setiap pagi aku tuntun dia untuk belajar berjalan dihalaman rumah sambil berjemur dibawah sinar matahari pagi. Aku seakan semakin dekat dengan mas Bima dan diapun terkadang semakin manja kepadaku. Meskipun dia sudah bisa berjalan dan kekamar mandi sendiri, tak jarang dia masih inginkan aku untuk memandikannya. Otomatis dia juga meminta jatah kepadaku untuk memainkan penisnya dengan tangan dan mulutku hingga spermanya menyembur.

Mas Bima juga seakan sudah menganggapku sebagai saudaranya sendiri, segala keluh kesah tanpa canggung dia ceritakan semua padaku. Dari situ aku tahu, mas Bima ini sebenarnya sangat tertekan, dia merasa di usianya kini yang seharusnya dia bisa menikmati masa mudanya seperti teman – temannya yang lain, dia seakan tidak pernah merasakannya sama sekali. Meskipun segala sesuatunya selalu dicukupi dirumah tetapi bu Arini tetap memperlakukannya seperti anak kecil, dia tidak diperkenankan sama sekali untuk bergaul dengan teman sebayanya diluaran, bahkan sampai dia duduk dibangku kuliah dia masih diawasi dengan ketat.

Sampai akhirnya, karena merasa tertekan dia nekad kabur dari rumah dengan mengendarai motor, tapi naas belum jauh dari rumah motornya melaju, dia mengalami kecelakaan yang sangat serius. Mas Bima dari dulu seakan tidak punya teman berkeluh kesah selama ini sampai akhirnya aku datang yang secara usia sebaya dengannya, menurutnya aku adalah teman baru dan satu – satunya yang bisa membuat nyaman. Mas Bima sangat senang apabila ada aku disampingnya. Bu Arini merlakukan mas Bima seperti itu karena bu Arini sangat menyayangi anak semata wayangnya ini, dan berfikiran hanya mas Bimalah satu – satunya orang yang akan meneruskan semua bisnis bu Arini, oleh karena itu bu Arini mengawasinya dengan ketat. Akan tetapi mas Bima tidak bisa menerima itu, jiwa mudanya yang selalu bertolak belakang dengan keinginan orang tua, apalagi ditambah hidupnya serba kecukupan, menurutku sangatlah wajar.

Selama ini aku dan mas Bima belum pernah melakukan hubungan badan sama sekali meskipun sudah sangat sering aku memainkan penisnya disaat ada kesempatan. Aku juga tidak tahu apa yang dipikirannya. Dia hanya memintaku untuk memainkannya dengan tangan dan mulutku saja. Aku sebenarnya sudah sangat menginginkan penis yang besar itu mengoyak liang vaginaku. Sedangkan setiap kali aku memainkannya nafsuku seakan tak terbendung lagi. Pernah aku memancingnya dengan melepas semua pakaian yang aku pakai disaat aku mengulum penisnya dan merayunya dengan nakal, akan tetapi dia hanya meraba dan memainkan vaginaku dengan jari – jarinya saja. Jadi selama itu, aku hanya melampiaskan nafsuku yang tak tertahan dengan mas Imam, dan terkadang dengan masturbasi sendiri dikamar disaat aku dan mas Imam tidak ada kesempatan untuk saling melepas birahi.

Dari mas Imamlah, aku banyak mengetahui tentang hal baru yang belum pernah aku lakukan selama berhubungan badan dengan mantan suamiku dulu. Dia dengan sangat sabar mengajariku nikmatnya bercumbu diranjang, mulai dari memuaskan pasangannya, variasi posisi bercinta yang nikmat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya dan masih banyak lagi hal baru yang aku ketahui darinya. Dari semua itu membuatku semakin lama semakin binal diranjang, entah apa yang terjadi padaku saat ini, aku sering terangsang dengan sendirinya walaupun hanya membayangkan seorang pria. Terlebih ada sentuhan pria di bagian tubuhku, sekejap tubuhku terasa bergetar merinding dan rasa gatal di vagina yang muncul tiba – tiba disertai dengan rembesan cairan disana.

---

‘Tok..tok..tok..”

Kuketuk pelan kamar mas Bima lalu membukanya perlahan, terlihat mas Bima sedang duduk didepan meja dengan serius menatap laptop yang ada didepannya. Sadar akan kedatanganku, mas Bima mengalihkan pandangannya ke arahku dengan tersenyum,

“Mas Mandi dulu ya, sudah sore tuh. Ini baju gantinya baru aja saya setrika,” Kataku sambil meletakkan lipatan baju diranjang,

“Wulan, mama udah pulang?,” Tanyanya

“Belum mas, mas Imam saja masih dibawah belum berangkat untuk jemput ibu,” Jawabku

“Ya udah, aku kangen dimandiin nih..hehe,” Ucapnya sambil tersenyum menatapku nakal,

“hm, dasar manja banget..kangen dimandiin apa kangen dimainin?” Godaku

“Ya dua – duanya lah..” ucapnya dengan kembali tersenyum

“Ya sudah, aku tutup pintu dulu ya mas,” Aku berbalik berjalan kearah pintu lalu aku menutup dan menguncinya dari dalam.

Setelah aku mengunci pintu, aku berbalik terlihat mas Bima sudah melepaskan kaos oblongnya dan kini dia hanya memakai celana pendek. Aku berjalan medekatinya, kini terlihat mas Bima sudah tidak mengenakan celana dalam. Penisnya sudah terlihat mengacung dari balik celana. Aku yang melihat itu, tiba – tiba nafsuku sekan menyala kembali, tubuhku kembali gemetar.

“Aaaah..batang itu yang aku idam – idamkan...” Gumamku

Kugandeng mas Bima kedalam kamar mandi yang ada didalam kamarnya, lalu kududukan dia diatas closet.

“Aku kangen kamu mandikan Wulan, kangen tangan kamu menggosok tubuhku,” Katanya sambil menatapku

“Iya mas aku mandiin,,duh..tumben sih manja banget,” kataku dengan senyum sambil menyolek hidungnya

“Ini dilepas ya,” tanganku memegang celana pendeknya,

Mendengar pintaku dia hanya mengangguk dan tersenyum, dan hampir bersamaan tangannya melolosi celana hingga terlepas. Benar yang aku duga, dia sudah tidak mengenakan celana dalam lagi. Terlihat batang penisnya yang sudah tegak dengan kerasnya mengacung seakan menantangku untuk melumatnya. Aku menelan ludah melihat itu, dan hasratku seketika kembali berkobar. Tubuhku bergetar, ingin rasanya langsung melumat batang yang besar itu. Kudekatkan tubuhku ke arahnya yang sedang duduk diatas closet seraya berbisik ketelinganya,

“Mas, boleh gak kalau kita mandi bareng?” Bisikku dengan nafasku mulai berat

Mas Bima hanya mengangguk tanpa menjawab pertanyaanku.

Segera aku berdiri, kulolosi semua pakain yang aku pakai beserta daleman hingga aku telanjang bulat tepat didepannya. Aku menatap wajah mas Bima dengan senyuman nafsuku, pandangan kita sesaat bertemu. Terlihat mas Bima sedikit tertegun melihat aku telanjang bulat didepannya, meskipun sudah bukan pertama kalinya aku telanjang didepannya, tapi pandangannya sore ini sangatlah lain, disertai dengusan nafasnya yang juga mulai berat, tak kalah berat denganku.

Beberapa saat kemudian kedua tangannya meraih payudaraku yang menggantung tepat didepannya, diremasnya pelan dan sesekali jemarinya memilin putingnya,

“Aaaah....” tanpa sadar aku mendesah

Gejolak birahiku kini sudah benar – benar berkobar, tubuhku merinding diperlakukan itu oleh mas Bima.

“Aaaah......remas terus mas...aaaahhhh...” Kini tanganku mendekap tangan mas Bima yang ada didadaku, seakan tanganku menekannya mengisayaratkan untuk tidak menghentikn remasan itu,

“Ohhhh, terrrussss masss....”

Diperlakukan seperti itu, tanpa sadar aku kini sedikit menunduk, sehingga wajah kami berhadapan dengan sangat dekat hingga dengusan nafasnya sangat terasa di hidungku, kita berpandangan sesaat, pandangannya yang sayu membuatku semakin bernafsu. Kupejamkan mataku menikmati remasan dan sentuhan lembut tangan mas Bima di kedua payudaraku. Baru saja aku terpejam, terasa bibir mas Bima menyentuh bibirku dan seketika itu lidahnya hendak menyeruak masuk kedalam mulutku. Karena aku sudah sangat bernafsu kali ini, aku sambut ciuman itu dengan lidahku, kini lidah kami saling beradu dan saling melumat,

“Slrrrupppp....slrruppp....”

“Aaaahmm.............ssssluurrrpp...” Suara desahanku tertahan

Saling hisap dan saling lumat di iringi desahan tertahan kami memenuhi ruangan kamar mandi,

Tangan kanan mas Bima kini berangsur turun kecelah pangkal pahaku, jemarinya mengusap lembut kelentitku membuat tubuhku semakin bergetar hebat,

“aaaaah....” Aku melepaskan ciuman dan seketika kepalaku mendongak keatas sambil mata terpejam

Aku raih batang penisnya dengan tangan kiriku, ku elus lembut dari atas kebawah berututan, dan sesekali aku gelitik lubang di ujung penisnya,

“Aaaah...jari kamu nakal sayaaannng...” Desah mas Bima, kini dia memanggilku dengan kata sayang

Setelah sekitar lima menit diposisi itu, aku jongkok dihapannya. Mas Bima masih duduk diatas closet. Kini wajahku tepat didepan penisnya. Tak menunggu lama, batang itu segera aku lumat dengan rakus, jilatan dan hisapan mulutku dibatangnya membuat mas Bima sesekali meracau ke enakan,

“Ohhh.....aaah...hisapanmu sekarang enak sekali sayangggggg...aaaah...” desahnya

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ini adalah hasil dari mas Imam yang dengan sabar mengajariku selama kita memacu birahi hampir tiap ada kesempatan. Mas Imam mengajariku semuanya, hingga aku menjadi binal seperti sekarang.

Ditengah aktifitasku mengulum penis mas Bima, vaginaku terasa sangat membanjir, aku seakan sudah tidak kuat lagi menahan nafsu yang sudah di ubun- ubun. Kulepas kulumanku dan berdiri didepan mas Bima. Melihat itu, mas Bima heran karena biasanya aku mengulum penisnya hingga dia menyemburkan spermanya, ada sedikit kecewa diraut wajahnya.

“Kenapa berhenti sayang..?” Ucap mas Bima heran

“Mas, aku boleh minta sesuatu gak?” Kataku dengan senyuman penuh nafsu

“Apa itu,?”

“Aku ingin ini memasuki vaginaku, selama ini aku mengidamkan ini mas..” Bisikku sambil tanganku mengelus lembut penisnya

“Ta..tapi Wulan..aku takut...” Katanya sedikit gemetar

“Plis mas, tolong aku,” Kataku memelas,

Mendengar ini, mas Bima tidak bereaksi sama sekali, dia hanya terdiam. Aku yang sudah sangat bernafsu sudah tak perduli lagi siapa yang ada didepanku, aku langsung membalikkan badanku tanpa menunggu jawabannya. Kuturunkan pinggulku diatas paha mas Bima dan tanganku meraih batang penis mas Bima yang selama ini aku idamkan, dia masih terdiam. Setelah aku rasa ujung penis mas Bima tepat diliang vaginaku, segera kuturunkan lagi pinggulku sehingga batang penis itu sedikit demi sedikit menyeruak masuk disana.

“Aaaaah...”Aku sedikit tersentak menerima batang itu, kugigit bibir bawahku

Meskipun liang vaginaku terasa sudah sangat basah, tetapi masih terasa penuh sesak dan sedikit perih ketika penis mas Bima menerobos liang vaginaku. Aku tekan lagi pinggulku dan “Bless...”, batang itu sudah tertelan disana.

“Oh.....” Mas Bima mulai terdengar mendesah, dan aku diamkan beberapa saat

Setelah rasa perih sudah sedikit mereda, kini aku mulai menaik turunkan pinggulku, sehingga penisnya terlihat keluar masuk disana,

“aaah....aaaah...Aku selalu memimpikan kontol ini sayaaanggg..” Aku mulai meracau

“aaah..memekmu juga sempit banget Wulan..” desah mas Bima

Aku semakin mempercepat ritmenya,

“Plok.plok.plok...” Suara paha mas Bima dngan pantatku saling beradu

Baru sekitar lima menit batang itu keluar masuk di liang vaginaku, terasa dinding rahimku berkedut dengan sangat hebat, tubuhku kembali bergetar disertai cairanku keluar semakin deras disana.

“Aaaaah.....” Aku mendesah panjang

Hampir bersamaan dengan itu, terasa penis mas Bima juga terasa berkedut bersamaan dengan cairan hangat telah menyembur dari ujung penisnya didalam rahimku,

“Ohhh...aku juga keluar sayaaang...” Erang mas Bima sambil memelukku dari belakang,

Nafasku tersengal dan tubuhku sangat lemas seakan tak bertenaga sehingga tubuhku merebah bersandar didada mas Bima. Dengusan nafas mas Bima ditelingaku juga terdengar sangat berat.

Aku tatap wajah wajah mas Bima dengan senyum setelah nafas kita kembali teratur.

“Kamu sangat nekat Wulan,” Katanya lirih

“Apa sih yang mas takutkan..?” Tanyaku

“Ya aku belum siap saja,”

“Karena aku hanya seorang pembantu ya mas, sehingga mas takut?” Tanyaku

“Bukan, sungguh aku tidak punya fikiran itu sama sekali. Karena mungkin ini adalah pertama bagiku Wulan,” katanya yang kini menatapku

Mendengar itu aku hanya tersenyum, kita sama – sama berpandangan dan sesekali kembali berciuman.

Part 4

Sikap manja dan perhatian mas Bima semakin kesini semakin terasa sangat besar, terlebih setelah kejadian sore itu dikamar mandi. Lambat laun akupun seakan merasakan hal yang sama, entah dari mana datangnya perasaan itu tiba – tiba. Hatiku terasa berdesir setiap kali berada disampingnya. Walaupun kita hanya bercanda dan bercerita, seakan ada setetes embun dihatiku yang telah lama kering karena perceraianku dengan suamiku.

Perasaan yang nyaman dan ingin selalu berada di sampingnya selalu hinggap dihatiku. Sebelumnya aku tidak pernah punya fikiran yang serius kepada mas Bima, aku hanya kagum dengan batang penisnya yang bisa melampiaskan hasrat birahiku yang kian hari kian menggebu. Akan tetapi kini perasaan ini sudah tidak bisa dibohongi lagi, benih – benih cinta seakan tumbuh begitu saja dihatiku. Perasaan yang baru aku rasakan pertama kali selama hidupku bahkan perasaan ini belum pernah aku rasakan dengan mantan suamiku dulu.

Tetapi disisi lain hatiku seakan menentang perasaan ini, memaki diri diriku sendiri untuk berkaca sekali lagi siapa diriku. Aku hanya seorang pembantu yang tidak pantas memiliki perasaan lebih terhadap anak majikannya sendiri. Airmataku sering menetes dengan sendirinya.

---

“Mbak Narti jadi pulang besok pagi?” Tanyaku memperhatikan mbak Narti sedang sibuk memasukkan barang – barangnya kedalam tas didalam kamarnya

Mendengar suaraku, dia menoleh kearahku yang sudah berdiri tepat dibelakangnya sambil tersenyum,

“Iya Wulan, rencananya sih bulan depan aku pulangnya, tetapi kemarin ada kabar dari kampung kalau ibu sedang sakit, makanya aku harus pulang sekarang,”

“Oh iya, besok kamu ikut anter aku kestasiun ya, aku sudah ijin bu Arini tadi untuk ajak kamu,” lanjutnya

“Ya udah, mbak hati – hati ya. Aku juga mau titip sesuatu buat ibu dirumah,” Kataku

“Oh iya Wulan, aku ingin bicara serius padamu,” Kata mbak Narti tiba – tiba sambil menghentikan aktifitisnya

Aku seketika mengernyitkan kening mendengar itu,

“Bicara serius? Apa itu mbak?” Tanyaku penasaran

“Sini duduk,” Katanya seraya tangannya menyeret tanganku untuk duduk diranjang

Aku hanya terdiam dengan menatap mbak Narti penuh tanda tanya

“Kamu ingat gak, waktu aku bilang kalau mas Imam ini cocok buat kamu?” Tanyanya tiba – tiba

“Itu kan hanya bercanda mbak,” Jawabku enteng

“Ternyata gayung bersambut Wulan,” Ucapnya dengan mata berbinar

“Maksud mbak?”

“Tadi sore, mas Imam ngobrol serius denganku, dia sudah benar – benar mencintaimu, dan akan membawamu ke jenjang pernikahan dalam waktu dekat ini. Aku yakin kok, dia itu pria yang baik, aku sudah mengenal dia lama disini,” Ucapnya

Aku sangat terkejut mendengar cerita mbak Narti. Sejujurnya mas Imam sama sekali tidak ada didalam hatiku meskipun kita sudah sering melakukan hubungan badan. Aku hanya menganggap mas Imam hanya untuk melampiaskan nafsuku disaat sudah tidak terbendung lagi.

“Mbak Narti tidak bercanda?,” Kataku sedikit tersentak

“Tidak Wulan, aku tahu ucapan mas Imam itu benar – benar dari hatinya,”

Aku kembali terdiam mendengar itu

“Kenapa Wulan?, kamu tidak ada perasaan sama sekali buat mas Imam?” Tanyanya yang seakan menebak perasaanku. Aku yang mendengar itu tetap terdiam beberapa saat lalu menatap wajah mbak Narti dengan mengangguk dengan mataku mulai berkaca - kaca.

“Ada apa dengan mu Wulan, niat mas Imam sangatlah baik. Apa kamu ada masalah yang lain sehingga kamu menolaknya?” Tanyanya dengan menatapku tajam,

Aku kembali terdiam dan menundukkan wajahku, karena tak terasa airmataku mulai mengalir

“Ceritakanlah sebagai sesama wanita Wulan,” Suara mbak Narti terdengar lirih sembari menatapku

“Aku tahu, mas Imam ini adalah orang yang baik. Akan tetapi sepertinya saat ini aku belum bisa menerima mas Imam mbak,” Kataku sedikit bergetar

“Aku tak ingin menikah dengan orang yang tidak ku cintai, aku tak ingin mengulanginya lagi seperti aku menikah dengan mantan suamiku dulu,”

“Apakah ada seseorang yang sudah mengisi hatimu sekarang?” Tanyanya sembari tangan nya menyibakkan rambut yang hampir menutupi wajahku

Mendengar pertanyaan mbak Narti aku hanya mengangguk dan seketika air mataku mengalir di pipi,

“Lantas, apa yang membuatmu menangis Wulan?”

“Rasa cinta itu datang dengan sendirinya mbak, dan membuatku sangat nyaman selama ini. Akan tetapi perasaan itu jatuh kepada orang yang tidak tepat, jangankan untuk mencintainya, aku membayangkannya saja itu sungguh tidak pantas buatku,” Kataku lirih sambil menatap wajah mbak Narti

“Siapa dia?” Tanyanya dengan heran

Aku hanya terdiam dan menunduk kembali

“Ya sudah, aku tidak memaksakan hal ini kepadamu Wulan. Kamu sudah bisa memilih yang terbaik buat diri kamu sendiri dan yang terbaik buat orang terdekat kamu. Akan tetapi apakah tidak ada sedikitpun mas Imam dihatimu Wulan?” Tanyanya sekali lagi

Aku hanya menggelengkan kepala mendengar pertanyaan ini,

“Meskipun kalian berdua sudah pernah tidur sekamar?” Tanyanya lagi

“Deg..” Seakan aliran darah ditubuhku berhenti seketika mendengar pertanyaan dari mbak Narti ini, tubuhku serasa lemas. Aku sangat terkejut mendengar pertanyaannya

“Ma..maksud mbak Narti..?” kataku sedikit tersentak dengan menatapnya

“Aku tahu kok Wulan, dan itu tidak hanya sekali kalian melakukan itu.” ucapnya

“Maafkan aku mbak, aku sebenarnya bukan wanita yang baik seperti yang mbak kira..Aku hanya…” segera kupeluk tubuh mbak Narti dan tangisku pecah seketika seakan tak sanggup meneruskan kalimatku

“Sudah – sudah, kamu tidak perlu seperti itu Wulan. Aku mengerti kok. Aku akan jaga rahasia kalian berdua ini dengan tidak menceritakan kepada siapapun,” Ucapnya sembari melepaskan pelukannya lalu menatapku lekat

“Tapi ingat Wulan, aku cuma pesan kepadamu dan kamu harus berjanji kepadaku,”

“Apa itu mbak?” Suaraku masih sedikit sesenggukan

“Jangan hamil sebelum menikah ya Wulan, meskipun kita ini orang kampung dan disini cuma sebagai pembantu, kita masih punya harga diri, pegang kata ini baik – baik.” Ucapnya dengan senyum

Ucapan mbak Narti kali ini seperti pukulan yang keras dihatiku, andai dia tahu dengan apa yang aku lakukan selama dirumah ini. Karena nafsu yang semakin hari semakin berkobar seakan mengalahkan akal sehatku dan sudah tidak perduli lagi tentang apa itu harga diri seperti yang di ucapkan mbak Narti.

Aku hanya mengangguk pelan mendengar ucapan mbak Narti bersamaan dengan air mata yang kembali mengalir,

“Maafkan aku mbak…” Ucapku dalam hati..



Part 5

“Aku pamit dulu ya, tuh keretanya sudah bersiap,” Kata mbak Narti menyalamiku kemudian menyalami mas Imam di lobi stasiun hendak masuk keruangan penumpang

“Mbak hati – hati ya, salam buat ibu. Bilang ke ibu bulan depan ganti aku yang pulang,” kataku

“Iya Wulan,”

“Tata hatimu lagi ya, pikirkanlah sekali lagi dengan matang tentang penawarannya,” Bisik mbak Narti ketelingaku dibarengi dengan lirikan matanya yang menuju ke arah mas Imam yang sedang berdiri dibelakang kami berdua

“Iya – iya..bawel banget ih..” Kataku dengan gurauan

“Hehe, ya udah aku berangkat dulu,” Katanya yang kemudian berlalu meninggalkan kami berdua,

Beberapa saat kemudian setelah mbak Narti berlalu meninggalkan kami, suara mas Imam terdengar dibelakangku

“Wulan, aku ingin ngobrol serius denganmu, kamu ada waktu kan?”

“Eh, i..iya mas, kok tumben. Ada apa sih?” Tanyaku yang hampir bersamaan aku membalikkan badan menghadapnya

“Kita cari tempat ngobrol didepan yuk,” Ajaknya, aku hanya mengangguk.

Mas imam mengajakku meninggalkan tempat itu, dan melangkah menuju café stasiun yang jaraknya tidak jauh dari pintu penumpang tadi. Setelah memesan minuman, aku dan mas Imam memilih duduk di meja sudut ruangan dan kita saling berseberangan,

“Ada apa sih mas, kelihatannya serius banget?” Tanyaku penasaran sambil menyeruput jus jeruk yang sudah dipesannya

“Tidak ada apa – apa Wulan, aku hanya ingin kita ngobrol berdua saja,”

Mas Imam berhenti sejenak dengan menarik nafas pelan sebelum melanjutkannya kata – katanya,

“Wulan, aku sebenarnya ingin bicara ini serius dengan kamu. Entah kenapa akhir – akhir ini ada rasa takut disaat kita berdua sedang dikamar. Mungkin untuk saat ini kita masih bisa bernafas lega, disaat kita melakukan hubungan yang harusnya dilakukan sepasang suami istri tanpa ketahuan siapapun dikamarmu, akan tetapi aku khawatir kalau lambat laun hubungan kita akan tercium juga oleh orang rumah Wulan,” Suaranya lirih, kedua matanya menatapku teduh

“Sebenarnya aku juga berfikir demikian mas, akan tetapi mas tau sendiri kalau nafsuku sedang naik , aku sudah lupa akan itu semua sedangkan perbuatan kita bisa kapan saja diketahui orang rumah,” Kataku

“Aku juga tidak ingin hal itu terjadi Wulan,” Kata mas Imam

“Lantas, rencana mas Imam bagaimana?”

“Aku sebagai laki - laki ingin tanggung jawab dengan apa yang telah aku lakukan padamu selama ini,” Ucapnya sembari kedua tangannya meremas kedua tanganku diatas meja

“Maksud mas Imam?” Tanyaku menatapnya tajam

“Aku akan menikahimu dalam waktu dekat ini Wulan?” Ucapnya

Sebenarnya sedari awal mas Imam mengajakku ngobrol serius seperti ini, aku sudah bisa menebak akan tujuannya. Pasti ini berhubungan dengan cerita dari mbak Narti semalam. Tetapi entah kenapa, ucapan mas Imam yang begitu tulus didepanku saat ini tidak mengubah sama sekali atas perasaanku kepada mas Bima meskipun perasaanku itu sangat mustahil akan terbalas. Aku terdiam dan menunduk, serasa mataku mulai berkaca kembali,

“Kenapa Wulan? Kamu tidak menerimaku?” Ucapan mas Imam

“Maafkan aku mas, kasih aku waktu untuk memberikan jawaban itu,” kataku terbata

“Aku seakan masih trauma dengan rumah tanggaku yang telah hancur,” Lanjutku

“Kita berdua mempunyai nasib yang hampir sama Wulan, kita sama – sama gagal menjalin rumah tangga sebelumnya. Oleh sebab itu aku mengajakmu untuk melupakan itu semua dengan membuka lembaran baru bersama,” Ucapnya, tangannya kini terasa menggenggam tanganku semakin erat.

“Tolong mas..kasih aku waktu..” Jawabku lirih dan tak terasa airmataku kembali meleleh.

Mas Imam terlihat menghela nafas, dan terdiam sesaat.

“Baiklah, aku tidak memaksamu untuk menjawabnya sekarang Wulan. akan tetapi akan selalu menunggu jawaban itu,” Katanya sembari menatapku lekat

Aku hanya mengangguk dengan sedikit tersenyum menatap wajah mas Imam

“Maafkan aku mas Imam, bukan kamu yang ada dihati Wulan…” Ucapku dalam hati

Beberapa menit kemudian, mas Imam mengajakku untuk kembali kerumah. Selama perjalanan pulang, didalam mobil kita berdua sama – sama membisu, ada guratan rasa kecewa yang luar biasa diwajah mas Imam.

---

Sejak pagi aku telah disibukkan dengan aktifitas didapur. Semua pekerjaan yang biasanya dikerjakan mbak Narti, aku menggantikannya selama mbak Narti pulang kampung. Mulai dari memasak, menyiapkan sarapan pagi dan bersih bersih rumah. Disaat aku sedang beraktifitas didapur, terdengar suara bu arini memanggil dari ruang tengah dengan sedikit berteriak,

“Wulan...bisa kesini sebentar,”

Mendengar itu, bergegas aku meninggalkan semua aktifitas lalu melangkah meuju ruang tengah. Disana terlihat bu Arini sudah berpakaian rapi, begitu juga dengan mas Bima, terlihat mas Imam juga sudah memarkir mobilnya didepan teras.

“Iya bu, ada yang bisa Wulan bantu?” Kataku

“Pagi ini Bima mau check up ke dokter dan aku akan ikut anter, kamu jaga rumah ya. Tolong sekalian bawain tas itu ke mobil?” Kata bu Arini

“Bukannya jadwal periksanya baru minggu depan ya bu?” Tanyaku

“iya memang, harusnya minggu depan. Akan tetapi minggu depan aku akan keluar kota, jadi aku ajukan sekarang. Aku juga ingin tahu perkembangan Bima saat ini,”

“Sudah2, cepat bantuin, nanti keburu kesiangan,” Lanjutnya

“Baik Bu,” kataku sambil meraih tas dan memasukkan kedalam mobil dengan dibantu mas Imam.

--

Semua pekerjaan rumah telah usai, kulirik jam masih menunjukkan pukul 10 pagi. Baru satu jam bu Arini dan mas Bima meninggalkan rumah. Aku berjalan menuju ruang tengah dan ingin merebahkan sejenak tubuhku yang sangat lelah, karena sejak pagi aku disibukkan didapur. Kuhempaskan tubuhku disofa ruang tengah lalu menyalakan TV.

“Mumpung dirumah tidak ada orang, aku bisa santai sejenak,” Pikirku

Sekitar lima belas menit aku tiduran disofa sambil menatap layar Tv, bel pintu rumah berbunyi,

“Ting tong..”

“Duh, siapa sih ini. Ganggu orang istirahat saja,” Aku menggerutu dalam hati

Dengan sedikit malas aku beranjak dari sofa lalu menuju ruang tamu untuk membuka pintu.

“Klek..” Gagang pintu kudorong dan pintu itu terbuka,

Terlihat didepan pintu ada pak Johan berdiri disana, dia sedikit terhenyak setelah tau aku yang membuka pintu. Aku yang pagi ini hanya memakai kaos agak ketat membuat pandangan pak Johan seakan tak berkedip menelusuri seluruh bagian tubuhku. Tetapi dengan melihat pandangannya yang nakal, tubuhku tiba – tiba kembali bergetar, aku seakan menikmati pandangan itu.

“Maaf pak, bu Arini tidak ada dirumah, beliau sedang mengantar mas Bima ke dokter,” Kataku

“Iya saya tahu kok, pak shobirin sudah memberitahuku didepan tadi,”

“Bolehkan kalau aku akan menunggu disini, sekalian ingin santai sejenak disini,” Lanjutnya

“Oh, baik pak. Silahkan masuk pak,” Aku mempersilahkannya masuk

Setelah terlihat pak Johan duduk disofa, aku yang hendak berbalik melangkah ke ruang belakang, terdengar suaranya memanggilku sehingga ku urungkan untuk melangkah,

“Wulan, kamu sibuk kah dibelakang?,” Tanyanya

“Eh..tidak pak, Semua kerjaan rumah sudah selesai, tinggal menyiapkan makan siang,” kataku yang kembali menoleh ke arahnya

“duduk sinilah sebentar, temani aku ngobrol, biar tidak bosan sendiri,” Ucapnya

“Ta..tapi pak..” Kataku gugup

“Udah tidak papa, kamu juga biar istirahat sebentar,”

Dengan sedikit gugup, aku kembali berbalik dan duduk disofa yang berseberangan dengannya,

“Kamu ini kalau aku perhatikan sepertinya masih sangat muda, umur berapa kamu sebenarnya?” Tanyanya membuka obrolan

“Saya tahun ini baru masuk 22 tahun pak,” jawabku sambil menunduk

“Oh, pantesan. Kamu mengingatkanku pada anakku yang telah tiada,” Suaranya lirih

“Anak bapak seusia saya?” Tanyaku yang kini kuberanikan menatap wajahnya

“Iya, Dia gadis yang kuat, ceria dan sangat taat pada orang tuanya. Tapi takdir berkata lain, dia meninggalkan kami semua setelah dia berjuang keras melawan kanker yang ada diotaknya,” dia mengawali ceritanya

Aku hanya terdiam mendengarnya, hingga tak terasa hampir 30 menit dia bercerita, mulai dari anaknya hingga dia bercerai dengan istrinya. Akan tetapi ditengah dia bercerita dia sesekali mencuri pandang kearah bagian tubuhku dengan tatapan nakalnya.

“Oh iya, saya mohon maaf pak. Saya hampir lupa tidak menawarkan minuman ke bapak,” Kataku menyela ceritanya

“Hm..boleh..tolong buatkan kopi saja,”

“Baik pak, saya mohon diri dulu kebelakang,” Kataku sambil beranjak menuju ruang belakang.

Didapur aku selalu terbayang pandangan nakal pak Johan, entah kenapa pandangan itu malah seakan membuatku bergairah. Nafsu birahiku kini seakan merambat naik kembali.

Ditengah aku menyiapkan kopi dimeja dapur sambil masih membayangkan tatapan nakal itu, tiba – tiba aku merasakan ada seseorang yang memelukku dari belakang, kedua tangannya merangkul perutku dan dagunya diletakkan di bahuku. Aku sangat terkejut dan seketika hendak berteriak merasakan perlakuan ini,

“Wulan, ini aku. Tolong jangan teriak.” Terdengar suara ditelingaku lirih dengan hembusan nafas yang sedikit berat

Entah kenapa, suara itu seakan mencegahku untuk teriak sekaligus mencegahku untuk melawan perlakuannya yang bisa dibilang kurang ajar terhadapku. Itu adalah suara pak Johan, yang aku tidak tahu sejak kapan dia berada dibelakangku.

“Pak, kumohon, jangan pak..” Ucapku lirih, akan tetapi aku tetap membiarkan tangan pak johan mendekapku

“Tolong aku Wulan, disini cuma kita berdua dan tidak ada yang tahu,” Katanya yang kini dekapan itu terasa lebih erat sehingga terasa gundukan batang penisnya yang sudah mengeras di belahan pantatku.

Pak johan dengan lembut menggesek – gesekkan penisnya disana, semakin lama terasa penis itu semakin mengembang. Diperlakukan seperti itu, jujur aku juga sudah sangat terangsang. Nafsuku seakan tersulut begitu saja.

“Taa..tapi aku takut apabila ini ketahuan ibu,” Kataku sedikit gemetar

“Tenang, Arini masih lama dan kita masih punya banyak waktu,” Katanya yang bersamaan bibir itu mencium telinga belakangku

Ciuman itu membuat tubuhku semakin bergetar merinding, terlebih lidahnya kini menyapu leher belakangku yang bersamaan kedua tangannya yang tadi mendekap perut, kini berpindah ke payudaraku dan meremasnya disana.

“Ssshhh....” Tanpa sadar aku mendesis pelan diperlakukan seperti itu dengan mata terpejam

Kini aku seakan sudah tidak perduli lagi dengan siapa aku saat ini, dan akupun tak perduli lagi apabila kami berdua akan mudah dipergoki siapa saja. Nafsuku kini kembali mengalahkan akal sehatku, aku ingin menuntaskan ini bersama pak Johan, kekasih majikanku sendiri.

“Kekamarku saja ya,” Kataku lirih sambil melepaskan pelukannya lalu melangkah kekamarku yang bersebelahan dengan dapur

Pak Johan hanya mengangguk, dan mengikutiku dari belakang,

Sesampai dikamar, pak johan kembali memelukku dengan saling berhadapan. Kedua tangannya meremas pantatku yang bulat disertai bibirnya yang tiba – tiba mendarat dibibirku. Kusambut ciuman itu dengan mulut sedikit terbuka, sehingga lidah kami saling beradu, kita saling lumat dengan panasnya,

“Slrrruppp....slrruuuppp.”

“Sssh.......aaaaahh...” Aku mulai mendesah kembali disaat tangannya sudah menelusup kedalam celana pendek yang aku pakai, dirabanya vaginaku yang mulai lembab disana..

“Oohhh.....,terrrruuuuussss....eeemmm...” Aku mulai meracau

Setelah beberapa saat, diloloskannya celana pendek beserta celana dalamku kebawah, sehingga kini bagian bawahku sudah tidak memakai apa – apa lagi. Jilatan mas Johan kembali menyapu leher dan telingaku...

“Ssllrrrupppp...”

“Oh..lidah kamu nakal sekalliiii....aaaah...” Aku semakin terbakar oleh nafsu

Mendengar aku semakin mendesah, dengan sigap tangannya mengangkat kaosku keatas, dan sekali sentak BH yang aku pakaipun ikut terlepas, aku kini telanjang bulat,

“Oh..bagus sekali tubuhmu Wulan..” Ucapnya dengan nafas yang berat

Dihisapnya putingku secara bergantian, tangan kirinya kini mulai melepas semua kancing kemejanya lalu berpindah ke celananya. Tidak lama kemudian, baju yang kami pakai sudah berserakan dilantai, kita berdua sudah telanjang bulat. Batang Penisnya yang sudah tegak mengacung dengan kerasnya ku elus pelan, pak Johan mulai mendesah,

“Aaah...” Suara desahannya kini terdengar

Kedua tangannya menarik tubuhku kebawah, seakan menyuruh untuk jongkok didepannya. Seakan paham akan maksudnya, aku segera mengambil posisi jongkok tepat dihapannya. Kini batang penisnya yang sudah sangat kaku tepat didepan wajahlu, kuelus pelan dengan jemariku kemudian lidahku menyapu ujung penisnya dan kini aku melahapnya,

“Aaaaaaaah.....seponganmu enak sekali Wulan...” Desahnya

Ku maju mundurkan mulutku, dan sesekali lidahku menyapu semua bagian penisnya didalam mulutku. Terasa kedua tangannya kini berada dikepala belakangku dan menariknya, sehingga batang penisnya masuk kemulutku semakin dalam,

“Orrrggghhhh....” Batang itu semakin masuk membuatku tidak bisa bernafas,

Setelah sekitar 10 menit diposisi itu, terasa batang penisnya mulai berkedut, segera tangannya menarik kepalaku kebelakang,

“Plup..” batang itu terlepas dari mulutku.

Pak Johan kini ikut jongkok dan meraih tubuhku untuk direbahkannya diatas ranjang, aku hanya bisa pasrah mengikuti arahannya. Kini aku terbaring diatas ranjang dengan posisi pak Johan diatasku. Kembali leherku disapu dengan lidahnya bersamaan tangan kirinya meremas payudaraku dengan gemas...
“Aaaah....ayo cepat sayaaanggg, entot aku....” Erangku tertahan

Pak Johan menghiraukan ceracauku, dia seakan betah berlama – lama memainkan lidahnya di payudaraku secara bergantian. Sekitar beberapa menit kemudian, sapuan lidahnya yang mulanya dipayudara berangsur turun dan hampir lidahnya menyapu vaginaku.

“Aaaaah…..” Aku kembali mendesah panjang

Hampir bersamaan dengan desahanku yang panjang itu, tiba – tiba ada suara yang membuat kita berdua terperanjat.

“Braaak....”

Tubuhku seketika bergetar dan lemas tak berdaya. Seakan petir menyambar tubuhku disiang hari setelah tahu apa yang terjadi. Dobrakan yang kuat membuat pintu kamarku terbuka dengan lebar, pandanganku seketika tertuju ke arah pintu kamar, begitupun dengan pak Johan, kita berdua menatap ke arah pintu dengan mulut menganga karena sangat terkejut. Didepan pintu terlihat bu Arini sedang berdiri disana dengan wajah merah padam memendam emosi yang sangat besar. Mas Imam dan mas Bima terlihat berdiri mematung dibelakang bu Arini dengan wajah yang sangat tercengang melihatku dengan pak johan yang sama – sama telanjang tanpa memakai apapun dengan posisi pak johan berada diatas tubuhku.



Part 6

“Biadaaappp...keluar kalian berdua..!!” Teriak bu Arini dengan nada yang sangat marah.

Wajah pak Johan terlihat pucat seketika, begitupun denganku. Kita saling berpandangan tanpa bisa mengeluarkan kata – kata.

“Kenapa diam saja, cepat kalian keluar, lalu temui aku diruang tengah..” Teriakan bu Arini semakin menjadi, setelah itu berlalu dari tempatnya berdiri menuju ruang tengah di ikuti dengan mas Imam dan mas Bima dibelakangnya.

Dengan bergegas aku dan pak Johan segera kembali berpakaian. Tulangku seakan terlepas dari persendiannya kali ini, tubuhku benar – benar lemas seketika. Guratan wajah pak Johan terlihat bercampur aduk, antara takut dan sangat cemas.

“Sial..Kok mereka cepat sekali ya pulangnya..” gerutu pak Johan terdengar ditelingaku

Setelah kita berdua sama – sama berpakaian kembali, kita kembali saling berpandangan, pak Johan seakan enggan untuk segera beranjak dari kamarku.

“Ayo, kita hadapi bersama..” Kataku sambil menatapnya dengan suara gemetar

Mendengar kalimatku, pak johan menghela nafas panjang, lalu beranjak keluar dari kamar. Aku berjalan mengikutinya dibelakang menuju ruang tengah.

Sesampai ruang tengah, disana sudah berdiri bu Arini dengan wajah yang terlihat semakin memerah karena memendam emosi yang luar biasa. Mas Imam sudah tidak terlihat lagi diruangan itu, hanya terlihat mas Bima berdiri mematung di belakang mamanya. Mata mas Bima tak lepas menatapku, tatapan yang seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya dikamarku.

Aku berdiri disamping pak Johan dengan wajah tertunduk. Kulirik pak Johan juga demikian, dia juga menundukkan wajahnya. Kita berdua sama – sama terdiam sampai terlihat dari sudut mataku bu Arini melangkah mendekati pak Johan,

“Enak ya, gak kusangka kamu doyan juga sama pembantu, dasar bajingan..”

“Plaaak...” suara teriakan bu Arini disertai tamparan yang sangat keras di pipi pak johan

“Ta..tapi sayang..aku akan jelaskan dulu...” Kata pak Johan dengan gugup

“Tidak perlu ada penjelasan lagi. Kalian berdua sama – sama telanjang dikamar sudah sangat jelas bagiku,” Sela bu Arini yang kini melangkah ke arahku

“Kamu juga sama saja, aku kira kamu ini wanita yang polos, ternyata gak jauh beda dengan pelacur, kamu harusnya tahu siapa Johan?” Suara teriakan bu Arini kini tepat di depan wajahku

“Plaak...” Kini tamparannya mendarat di pipiku,

Badanku terasa gemetar seketika disertai air mata yang mulai mengalir.

“Tolong sayang, dengarkan aku...” Kata pak Johan kembali memohon

“Mau alasan apalagi kau Johan, hah?”

“Apa selama ini kurang apa yang kuberikan padamu?” Suara bu Arini teriakan semakin menjadi

“Mobil, rumah serta jabatan diperusahaan sudah kuberikan, sekarang malah milih sama pembantu. Mau alasan apalagi kamu bajingan?” Lanjutnya

“Sayang, aku…” Suara pak Johan terbata

“Sudahlah, aku sudah muak denganmu. Sekarang kalian berdua angkat kaki dari rumah ini, aku sudah tidak ingin melihat kalian lagi,” Sela bu Arini,

Pak Johan terlihat masih berdiri mematung dan akupun demikian,

“Cepat, angkat kaki dari rumah ini Johan..” Teriaknya semakin terdengar menggelegar

“Baik, aku kan pergi dari sini,” Jawab pak Johan dan hendak melangkahkan kaki tetapi suara teriakan bu Arini terdengar lagi

“Kamu ajak sekalian pelacur sialan ini, aku tidak mau lagi rumahku dikotori oleh seorang pelacur.” Bu Arini kini menatapku tajam dengan menunjukkan jari kearahku dengan wajah yang sangat marah

“Tunggu ma, apa tidak sebaiknya kita kasih kesempatan dulu kepada Wulan? Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Suara mas Bima tiba – tiba

“Mama tidak bisa menghakimi mereka sebelum tahu jelas ceritanya, terlebih cerita dari Wulan.” lanjutnya

“Mereka berdua sudah sama – sama telanjang didalam kamar apa masih kurang jelas Bim?.” Kata bu Arini yang kini menatap Bima tajam

“Bisa juga Wulan dirayu atau bahkan diancam kalau tidak mau melayani pria bejat ini, tolong kasih kesempatan buat Wulan bercerita dulu,” Kini suara mas Bima sedikit tegas

“Tidak, aku sudah muak melihat mereka berdua..” Ucap bu Arini

“Tapi ma..”

Mas Bima seakan sudah tidak berdaya lagi untuk membelaku didepan mamanya. Belum selesai dia meneruskan kata-katanya, suara bu Arini kembali menyela,

“Sudah, cepat kalian pergi dari sini..” Suara bu Arini kembali menggelegar sambil menunjuk kearah pintu ruang tamu

Mendengar itu tubuhku semakin gemetar, pak Johan terlihat berjalan menghampiriku lalu menatap dengan tatapan wajah yang sangat kesal,

“Kamu ikut aku..” Ucapnya

Aku hanya mengangguk lalu melangkah berjalan dibelakangnya. Disaat aku berjalan meninggalkan ruangan tengah, sekilas pandanganku menatap wajah mas Bima yang dia juga masih menatapku, pandangan itu teduh. Pandangan orang yang sangat kucintai dan mugkin pandangan itu adalah pandangan yang terahir kali aku lihat setelah ini. Tanpa sadar air mataku keluar dengan begitu derasnya.

Setelah aku berjalan sampai teras, langkahku terhenti sesaat. Aku melihat mas Imam berdiri disebelah pintu utama di teras rumah. Dia menatapku sama seperti tatapan mas Bima,

“Maafkan aku mas..aku bukan wanita yang baik seperti yang mas kira, aku sangat tidak pantas menjadi istri seorang pria yang sangat baik seperti mas Imam,” Ucapku lirih dengan sesenggukan

Mas imam hanya terdiam menatapku beberapa saat lalu anggukan kecil terlihat disana,

“Maafkan aku juga Wulan, aku tidak mungkin bisa membantumu diposisimu saat ini,”

“Kamu baik – baik ya Wulan,” Tatapan mas Imam lekat kearahku sambil tersenyum dengan sangat terpaksa

Entah apa arti senyuman itu,senyuman yang sangat terpaksa dari orang yang benar – benar mencintaiku dari hatinya. Setelah kupandangi wajah itu sesaat, aku berbalik melangkah meninggalkannya dengan tangisan yang seakan meledak.

“Kamu duduk dibelakang,” Kata – kata pak Johan yang membuatku sedikit terkejut disaat kita berdua sudah sampai di dekat mobilnya yang terparkir dihalaman rumah. Aku hanya mengangguk seakan pasrah memasuki mobil itu di kursi belakang, pak Johan menduduki kursi pengemudi lalu menancap gas meninggalkan rumah bu Arini.

Disepanjang perjalanan aku dan pak Johan masih tetap terdiam, entah aku akan dibawa kemana kali ini karena sudah hampir setengah jam mobil ini melaju dan akupun tak tahu dimana posisiku sekarang. Aku yang duduk dikursi belakang seakan masih tidak menyangka akan hal ini.

Bayangan orang – orang yang ada dirumah bu Arini, terus memenuhi pikiranku, Mas Bima, Mas Imam, Mbak Narti, pak Shobirin dan pak Kardi, termasuk bu Arini sendiri. Aku merasa sangat berdosa pada mereka, orang – orang yang sangat baik yang pernah kukenal, orang – orang yang sangat sayang denganku selama aku disini, tanpa mereka aku sudah tidak kenal siapa – siapa lagi dikota besar ini. Semakin lama aku semakin larut dalam lamunan itu bersamaan dengan air mata terus mengalir dengan derasnya.

Bu Arini sangat murka melihatku bersama orang yang dicintainya sudah telanjang bulat didalam satu kamar aku sangat memakluminya, bahkan aku bisa merasakan sakitnya hati bu Arini ketika itu. Tamparan yang sangat keras dipipiku seakan tak ada apa – apanya dibanding rasa sakit yang ada hatinya. Karena aku tahu dari cerita mbak Narti, Bu Arini ini sangat mencintai pak Johan, dan rencana beberapa bulan kedepan mereka akan melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan. Bahkan begitu cintanya bu Arini dengan pak Johan, semua kemewahan telah diberikan oleh bu Arini, termasuk mobil yang aku tumpangi saat ini.

Disaat aku melamun dengan linangan air mata, terasa mobil yang dikemudikan pak Johan menepi ke bahu jalan lalu tiba – tiba berhenti. Aku sedikit heran, karena mobil berhenti di tepat tengah kota dengan samping kiri kanan jalan adalah sebuah bangunan gedung tinggi.

“Sial, ini semua gara – gara kamu, harapanku untuk menguasai harta Arini juga telah sirna,” Tiba – tiba pak Johan mengumpat dengan nada emosi seraya menggebrakkan tangannya ke setir mobil.

Mendengar itu, aku sangat terkejut dan seketika emosiku juga ikut tersulut mendengar perkataannya kali ini, karena seakan dia menyalahkan aku sepenuhnya.

“Maksud kamu? Aku gak salah dengar kamu berucap seperti itu? Kamu yang merayu aku kan, hah?” Kataku dengan sedikit teriak

Dia terdiam dan pandangannya tetap kedepan,

“Oh, aku baru tahu ternyata kamu memilih bu Arini hanya mau mengincar hartanya kan? Licik juga kamu ternyata,” Lanjutku

“Ah..Sok tau dan banyak omong kamu,” pak Johan juga berteriak dengan emosi

“Sekarang juga kamu turun dari mobilku,” Ucapnya dengan membentak, Aku kembali terkejut dibuatnya,

“Apa kamu bilang?” Kataku tersentak

“Cepat turun kataku..!!!” Teriaknya sekali lagi

“Baik, aku juga tidak sudi naik mobil seorang bajingan seperti kamu,” Kataku dengan nada emosi lalu kutamparkan telapak tanganku kepipinya dari bangku belakang dengan keras

“Plaaak…”

Setelah itu aku beranjak turun. seketika itu pak Johan menancap gas mobilnya meninggalkanku seorang diri dibahu jalanan.

---

Aku yang masih berderai air mata, berdiri mematung di bahu jalan dipusat kota. Aku baru tersadar, saat ini aku sudah tidak mempunyai apa – apa lagi dan tidak tahu dimana aku sekarang. Sepeser uang pun tidak sempat terbawa karena aku sangat panik waktu dirumah tadi, hanya baju yang terpakai yang kumiliki saat ini. Aku semakin panik, seakan aku tersesat ditengah hutan yang tak tahu arah.

Aku bertekad untuk melangkah menyusuri jalanan ditengah keramaian hiruk pikuk pusat kota, tetapi aku merasa sendirian disini, mau bertanyapun aku tidak tahu apa yang akan aku tanyakan karena aku sendiri tidak tahu kemana arah tujuanku. Mau kembali kembali kerumah bu Arini juga sangat tidak mungkin, sedangkan mau kembali ke kampung juga aku merasa malu dengan ibu dan saudara dirumah, entah bagaimana perasaan mereka apabila tahu kondisiku sekarang.


BERSAMBUNG...


Cerita Dewasa - Bunga Dikubangan Lumpur Kenikmatan Sex 3

Klik Nomor untuk lanjutannya
x
x