Cerita Seks Dewasa - Kentongan Jumboku Yang disayangi banyak Wanita

cewek amoy


Kenangan bukan suatu yang pasti indah. Aku yang memiliki masa lalu pahit tak akan terbayang apa yang dinamakan masa depan.

Petruk. Bukan tokoh pewayangan jawa, tapi itu namaku. Nama yang aneh dan asing bagi orang kota seperti kalian!!

Aku yang sejak mulai bisa mengingat, aku anak "sial" yang tinggal di atas kandang kambing juragan kaya. Aku dipelihara bagaikan ternak.

Kenapa demikian? Awalnya pun aku tak tahu, aku hanya menjalani hidup untuk hari ini tak pernah berpikir bahkan ada hari esok. Bermain? Maaf, entah sejak kapan tapi dalam ingatanku setiap hari adalah untuk bekerja. Mencari rumput, membersihkan kebun sudah kulakukan sejak kecil. Karena apa? Jelas demi jatah makan dari Sang Juragan.

Kulit hitam dan sangat tinggi mungkin kalian pikir itu wajar karena terlatih dari kecil. Tidak kawan, aku hitam entah keturunan siapa. Aku besar di desa terpencil di jawa yang manusianya masih kolot.

Kulit para pejuang nafkah yang berdinas tiap hari di sawah pun tak sehitam kulitku.

Kulit ku seperti arang, legam.

Mungkin benar kata Lek Parjo, seorang buruh tani yang pernah berkisah tentang keluarga asliku. Berliau berkisah, ibuku dulu merantau entah kemana dan pulang dengan perut besar lalu meninggal saat aku lahir. Dan mungkin itu yang membuat nenekku, yang seharusnya menyayangiku sebagai cucu semata wayangnya malah depresi dan berlaku seperti oranh sesat.

Iya nenekku, diceritakan sejak aku lahir, beliau lalu melakukan hal aneh dan mistik setiap hari. Namun diumurku yang baru 100 hari, nenekku dibunuh warga desa lantaran akan melakukan rintual persembahan. Kalian tahu apa yang beliau persembahkan? Sayangnya itu aku.

Aku yang bodoh tak sekolah ini pun sampai berpikir, kenapa aku bisa bertahan sampai 100hari? Bahkan sekarang aku masih hidup!

Tubuhku yang bongsor dan berwarna hitam legam ini kerap kali dilihat seperti aib, atau bahkan najis. Ironi sekali. Mungkin mereka pikir aku jelmaan genderuwo.

Aku memiliki nama Petruk bukan dari orang tuaku. Memangnya apa yang kalian harapkan dari nenek yang akan menjadikan cucunya sebagai tumbal?? Haha

Aku masih ingat betul kala itu. Awal aku punya nama. Loh jadi sebelumnya aku dipanggil apa? Heh! Ya itu aku, si tanpa nama. Jika ada seruan "heh!" Aku pasti menoleh.

Petruk. Nama yang sangat terkenal di masyarakat jawa. Tokoh pewayangan yang bertubuh tinggi dan kurus.

Aku mendapat nama itu karena seorang mbak cantik dari kota. Ia dan teman-temannya mengadakan sunatan massal. Mbak itu bingung kenapa aku dipanggil hanya dengan "heh" atau "tole" bagi yang masih punya nurani.

Mbak cantik itu bernama Niken, sosok yang akan aku tanam dalam hatiku. Meski awalnya jijik dengan penampakanku dan terkesan asal memberikan nama, tapi aku sangat berterima kasih. Meski sesaat setelah aku disunat, mbak Niken jadi tersenyum manis padaku. Aku tak tahu kenapa bisa berubah. Tapi memang ada sedikit kegaduhan saat aku disunat. Aku tak tahu karena aku takut dan menutup mata. Tapi telingaku mendengar suara-suara perempuan berbunyi "barang bagus, bibit bagus, kecepetan aku kesini".

Bagaimana? Belum kawan. Kenangan pahit tidak sesingkat itu.

Aku tak tau berapa umurku, tapi saat itu anak juragan yang sepertinya sebaya denganku setiap pagi pergi dengan berbaju putih merah. Aku? Tidak lah.. aku kerja membersihkan kebun, halaman dan kandang ternak.

Tapi siang itu aku haus, juraganku ki Harja dan keluarganya mungkin lupa memberiku jatah makan dan minum hari itu jadi aku hanya minum dari air sumur serti perut yang kosong belum makan. Ambil sendiri? Tidak kawan, aku tak dijinkan masuk bahkan aku tak tahu isi rumah mereka seperti apa.

Saat tengah hari aku berinisiatif untuk mengambil kelapa muda untuk ganjal perutku. Lumayan kan?
Tapi sial atau beruntungnya, Ki Harja sedang dikebun tanpa sepengetahuanku yang sedang menuruni pohon kelapa sambil membawa kelapa muda karena kalau dijatuhkan pasti berbunyi dan bahkan mungkin pecah, aku tak mau itu terjadi.

"Truk! Mau buat apa itu?" hardik Ki Harja.

"Anu ndoro, saya belum makan" jawabku dengan penuh ketakutan.

"Ya sudah kamu makan, habiskan dan jangan kamu ulangi. Kelapa itu buat dijual kalau sudah tua!" balas Ki Harja dengan nada tingginya.

"Iya ndoro" aku masih takut.

Aku pun memakannya selepas Ki Harja pergi, tak ku sisakan. Lapar Pak!!

Saat itu aku berpikir bahwa ternyata Ki Harja adalah orang mulia karena merelakan kelapa mudanya dimakan olehku.

Tapi aku salah, saat jadwal panen kelapa berikutnya, aku diperintahkan untuk jadi pemanen. Aku, seorang anak yang masih sebaya dengan anaknya itu. Yang masih pakai baju putih merah setiap harinya. Sudah dia suruh jadi tukang panjang untuk panen kelapa. Tapi mau apa? Ya kerjakan lah daripada gak dapat jatah makan.

Hari-hari ku lalui dengan bekerja keras demi meneruskan hidup. Kini aku sudah punya bulu di kemaluan!! kata bapak-bapak buruh yang biasa bertemu denganku saat kerja, itu merupakan tanda aku sudah dewasa. Aku bahagia sekali kala itu, aku bisa sampai diumur yang mereka katakan sudah dewasa.

Sementara anak juraganku baru berganti pakaian, kini ia tiap pagi pergi sekolah dengan celana panjang. Aku loh udah berjembut!!

Suatu waktu dimusim yang banyak hujannya, juraganku sekeluarga pergi memakai mobil. Aku makannya gimana? Tapi untungnya Ki Harja menyuruhku untuk makan kelapa atau makan singkong dikebun. Aku bagaikan diberi wahyu, aku dapat izin untuk ambil kelapa untuk aku nikmati!!!

Berhari-hari aku kerja bebas tanpa diarahkan. Para pak lek buruh entah kenapa kok bermalas-malasan, dan ajak aku untuk malas juga. Tapi maaf, aku Petruk sudah jadi orang pilihan Juragan. Aku sudah boleh makan kelapa muda!!! Tidak akan bermalas-malasan. Pokoknya aku akan mengabdi demi Juraganku tercinta.

Namun pengabdianku pada ki Harja harus terhenti hari itu juga, lantaran kabar tak mengenakan datang bahwa mobil yang dikendarai Juraganku sekeluarga masuk jurang. Aku kacau kala itu, aku harus mengabdi pada siapa? Anak mantan Pak Kades yang dulu menyelamatkanku dari penumbalan sudah tidak ada lagi yang tinggal di desa ini.

Selang beberapa hari, juragan baruku datang. Beliau adalah Ki Sentana, saudara tua Ki Anom Harja. Aku yang membutuhkan sosok pembimbing pun akhirnya mulai bangkit karena memiliki pembimbing baru.

Ki Sentana hanya berdua bersama sang istri yaitu Ni Darwati, aku tak melihat adanya anggota keluarga lain yang dibawa pindah kesini. Kemana anaknya?

Pertanyaan dan kekalutan mengenai juragan baruku ini dijawab oleh bapak-bapak rumpi di pondok tempat berkumpulnya para buruh tani. Ya ini posko kami, posko kaum proletar. Istana kebebasan tanpa adanya kuasa juragan.

Mereka bercerita bahwa Ki Sentana dan Ni Darwati tidak memiliki momongan. Mereka juga dulu diusir dari desa oleh ayahnya, yaitu mantan Pak Kades "pahlawanku" lantaran membuat malu beliau.

Dikatakan bahwa dulunya Ki Sentana adalah berandalan terkenal yang merupakan penjudi dan pemabuk parah. Tapi dikabarkan sudah berubah, terutama karena Ki Sentana sudah sakit-sakitan. Dan penyakit itu pula yang membuat mereka bangkrut.

Tubuhku menggeliat terbangun dari tidur karena sudah merasa puas beristirahat. Baru kemarin aku berganti majikanku baru. Aku berharap majikanku kali ini titisan dewa yang akan membebaskanku untuk makan buah kelapa muda saat aku bekerja memanen kelapa.

Mungkin kalian berpikir aku manusia yang berpikiran pendek. Tidak! Aku hanya tidak tahu apa ada hal yang lebih istimewa dari kelapa muda.

Aku turun dari gubug ku yang dibawahnya adalah kandang kambing. Lalu pergi ke arah sumur untuk mandi. Karena memang sudah kebiasaanku setiap sebelum matahari terbit aku harus mandi.

Aku tidak punya kamar mandi pribadi seperti kalian, hanya punya fasilitas sumur dengan dinding anyaman bambu di sekeliling nya. Tingginya saja hanya seperutku. Dan tak jauh dari situ ada WC yang masih aktif milik keluarga majikanku. Maklum lah tak seperti rumah kalian yang memiliki kamar mandi di dalam.

Saat selesai mandi, aku sekalian menjemur pakaianku. Sayangnya aku lupa membawa kain ganti jadi aku bertelanjang bebas. Lagi pula aku tak punya handuk. Handukku ya kain baju yang sudah ku cuci itu. Dan celakanya aku baru sadar jika ada pelita menyala di dalam bilik WC. Semoga siapapun itu tidak melihatku telanjang bulat, kasian kan? Pasti dia takut dengan wujudku.

Pagi itu aku seperti biasa, pergi bekerja. Sarapan? Ya nanti aku ambil singkong untuk dibakar sebagai sarapanku.

## Pagi itu di rumah yang tergolong mewah di desa itu ##

"Romo, si petruk kasian banget ya. Masa dia dari kecil tinggal di kandang kambing. Apa kita adopsi saja dia Romo?" Ucap seorang istri pada suaminya di dalam kamar.

"Dek Watiku sayang, kalau memang Dek Wati berkenan ya boleh saja" jawab sang Suami.

"Maaf ya Romo, sebenarnya aku pengen banget punya anak. Tapi sudah berbagai jamu aku minum, sampai memekku rapet pun kita belum bisa dapat momongan" keluh Ni Wati pada suaminya.

Yah, pasangan suami istri itu adalah Ki Sentana dan Ni Darwati. Mereka belum punya momongan, kemungkinan adalah efek dari sang suami yang dulunya pecandu minuman keras sampai dia sakit-sakitan sekarang.

Hal itu pula yang mungkin jadi sebab mereka belum punya momongan. Umur keduanya sebenarnya masih bisa punya anak, masih cukup muda. Kalaupun mereka sudah punya momongan pastilah seumuran Petruk.

"Kalau Dek Wati mau hamil, apa sebaiknya kita minta tolong Petruk saja Dek? Maaf Dek, bukannya merendahkanmu tapi sepertinya aku yang tidak mampu" ucap Ki Sentana

Ki Sentana tak tahan untuk membendung air matanya. Ia sangat ingin membahagiakan istrinya, demi membalas jasa istrinya yang setia menemaninya dari masa remaja.

"Kenapa Kakang bicara seperti itu, aku masih punya Kakang. Aku setia Kang" balas Ni Darwati dan langsung memeluk suaminya.

"Sepertinya Petruk anak baik dan juga dia masih polos. Kita ajari saja dulu, kita angkat anak dan nanti jika Adek masih mau hamil, lakukanlah dengannya. Asal bukan orang lain, akubrela Dek" ucap suaminya sambil membalas pelukan sang istri dengan tulus.

Ni Darwati sedikit tersenyum lantaran ingat tadi subuh dia samar-samar melihat kentongan yang menggantung di selangkangan petruk saat dia di WC.

#####

Siang itu cuaca mulai mendung, aku pun bergegas pulang demi menyelamatkan pakaian yang aku jemur. Pakaianku hanya 3, itupun satunya khusus untuk kerja. Bisa celaka kalau tidak kering.

Saat aku hendak naik ke lantai 2 istanaku.

"Petruk, sini masuk Le" teriak Ni Darwati memanggil.

Ada apa ini? Aku disuruh masuk ke rumah? Apa pantas? Jangan-jangan aku berbuat salah?!
Pikirku berkecamuk.

Aku pun bergegas mendatangi majikan baruku itu.

"Ada apa ndoro?" suaraku di depan pintu.

Aku masih belum berani masuk rumah.

"Masuk dulu Le" ucap Ni Darwati

Aku pun masuk dan duduk di lantai serta menghadap Ni Darwati. Aku yang tadi sekilas melihat penampilan juraganku yang cantik itu langsung menunduk karena tidak mau kurang ajar.

"Le, dengarkan ya. Romo sama Ibu sudah memutuskan. Mulai sekarang kamu tinggal di dalam. Jangan lagi tinggal di kandang itu. Kalau lapar pun makan di rumah. Ibu nanti masakkan untuk kamu juga. Tapi sebaiknya kita makan bersama sih. Dan besok, kamu ikut bapak ke balai desa untuk urus keperluanmu ya. Kamu ikut saja" ucap Juragan ku yang cantik dengan lemah lembut.

Aku tak menjawab sama sekali. Aku bingung!!!

"Kamu mandi dulu sana, setelah itu kita makan bersama disini" ucap Ni Darwati.

"Sendiko dawuh ndoro" jawabku yang kemudian undur diri untuk mandi.

"Jangan panggil ndoro lagi, panggil Ibu!!" dengan cepat wanita cantik itu berucap dengan nada yang sedikit tinggi.

Aku pun mengiyakan dan meralat ucapanku sebelumnya "Sendiko dawuh Ibu".

Aku pun undur diri, sebelum keluar aku lirik beliau. Ternyata beliau memandangku seakan aku anak kesayangan yang sudah beliau damba selama ini.

Sesaat aku kembali setelah mandi. Aku memakai baju yang baru kering dijemuran. Aku tak mungkin pakai baju tadi karena ini pertama kalinya akan makan di rumah juragan yang selama ini aku masuk pun tidak diizinkan.

Saat aku masuk, Ni Darwati memanggil.

"sini Le, ruang makan" penggil Ni Darwati

Aku pun mencari asal suara. Ya maklum aku belum pernah masuk rumah itu, apalagi hafal.

"Duduk Le, kita makan bersama. Ini bapak juga mau ngomong sesuatu" kembali Ni Darwati menyuruhku dengan suara lembutnya.

Aku pun duduk di kursi yang masih kosong. Aku duduk berhadapan dengan Ni Darwati. Sedangkan Ki Sentana di sisi lainnya.

"Ibu ambilkan ya Le" ucap Ni Darwati.

Aku hanya membalasnya dengan senyum gugup. Sedangkan Ki Sentana hanya memandang kami dengan senyum pula.

Saat kami mulai menyantap hidangan. Ki Sentana buka suara.

"Le, kamu mau kan tinggal bersama kami? Tidak usah tinggal di kandang lagi. Ibumu sudah siapkan kamar. Nanti malam kamu mulai tidur di dalam".

"Iya Le, gak usah diluar lagi. Kita sekarang keluarga" imbuh Ni Darwati.

"Sendiko ndoro" jawabku

"Panggil Romo dan Ibu saja" jawab Ki Sentana.

"Baik Romo"

Mereka tersenyum mendengarku menyebut Romo.

Kami sudah selesai makan bersama, diakhiri dengan Ki Sentana yang kedepannya akan aku panggil Romo itu undur diri masuk ke kamar.

Sebenarnya Ki Sentana terlihat sehat, aku pun tak paham kenapa katanya Ki Sentana diberitakan sakit-sakitan. Badan pun masih tegap, hanya saja sorot matanya sudah tidak setajam yang diceritakan orang mengenai dirinya.

Karena hari hujan, aku pun tak kembali bekerja. Aku ambil minum dan duduk di ruang tamu sendiri. Karena orang tua baruku masuk ke kamar.

Saat sedang santai sendiri, samar terdengar desah dan rintihan dari dalam. Meski baru jadi majikanku tapi aku kenal itu suara Ni Darwati. Aku yang sudah diperlakukan baik pun tanpa berpikir bangkit dan mencari tahu. Aku tak mau sesuatu yang buruk menimpa Ni Darwati.

Aku setengah berlari langsung membuka pintu kamar dan masuk kamar mereka.

"Ehhh" sepasang mulut bersuara kaget karena aku menerobos masuk.

Aku yang bingung dengan adegan itu hanya mematung memandangi apa yang terpampang di depanku dan mencoba mencerna apa yang terjadi.

Ni Darwati ada di bawah mengangkangkan kakinya dan Ki Sentana bersimpuh di antara kaki Ni Darwati sambil memegangi kedua kaki Ni Darwati.

"Le?" suara Ni Darwati menyadarkanku.

Aku yang menganggap adegan itu bukan urusanku berniat keluar dari ruangan. Namun,

"Le sini" panggil Ki Sentana.

Aku yang dipanggil pun mendekat, entah kenapa mataku tak bisa lepas dari daging lunak di dada Ni Darwati, benda itu hanya ditutup dengan telapak tangannya sendiri yang tentu saja tidak cukup menutup.

Posisi mereka kini duduk, Ni Darwati bersimpuh sembari tetap menutup dadanya dengan kedua telapak tangan menangkup disana. Sedangkan Ki Sentana duduk dengan percaya diri memperlihatkan tubuhnya tanpa sehelai kain.

"Kamu tau apa yang sedang kami lakukan Le?" tanya Ki Sentana dengan tatapan tajamnya.

"Tidak Romo" ku jawab dengan menunduk.

"Kamu mau bantu kami Le?" tanya Ki Sentana.

Entah bagaimana mimik mukanya saat itu, meski suaranya tak setegas sebelumnya tapi aku masih tidak berani menatapnya.

"Saya siap disuruh apa saja Romo" jawabku

"Duduk lah sini Le, jangan takut. Romo tidak marah. Romo lakukan ini demi kebahagiaan Ibumu. Kamu bantu romo bahagiakan ibumu ya" Ki Sentana kembali membuatku bingung dengan ucapannya.

"Baik Romo" jawabku tanpa berpikir.

Tapi apa yang membuat Ni Darwati bahagia? Tadi suaranya saja kesakitan. Kalau menyakiti Ni Darwati, aku tak akan mau!!!

Masih dengan menunduk, aku tak mendengar kata-kata lagi dari Ki Sentana. Kini suara Ni Darwati yang mirip orang kesakitan kembali terdengar di telingaku. Aku pun menoleh. Aku amati muka Ni Darwati.

Tak terlihat tersiksa tapi malah aku yang berpikiran aneh. Ya aneh. Entah kenapa Ni Darwati semakin cantik dimataku saat itu. Dan lebih anehnya lagi kontolku berdenyut padahal tak kurasakan kalau aku kebelet kencing.

"Akhhh Kang, sodok terus kang. Aku pengen punya anak kanggg... Akhhh"

Terlihat kegiatan Ki Sentana yang menabrak-nabrakkan kontolnya ke Ni Darwati terhenti. Ni Darwati nafasnya memburu, seperti aku kalau kelelahan bekerja. Tapi entah kok malah cantik sekali, apalagi ia sambil tersenyum bahagia. Aku juga mau jika membuat Ni Darwati kelihatan sebahagia itu. Aku mau berbakti pada orang tua baruku.

"Le lepas bajumu, lakukan hal yang sama dengan yang romo lakukan pada ibumu" ucap Ki Sentana mengagetkanku dari lamunan.

Aku pun melepas kaos partai yang kukenakan lalu memelorotkan celana kolor gombrang milikku. Aku tak bercelana dalam, memang tak punya. Maka terpampanglah pusaka milikku.

Entah kenapa muka Ki Sentana terlihat panik lalu menoleh ke Ni Darwati yang fokus memelototkan matanya ke kontolku.

"Le, kok gede banget? Kalau nanti ibumu kesakitan, kamu harus sabar dan pelan ya" ucap ki Sentana sambil menelan ludahnya sendiri.

Ia pun lalu berbaring memeluk dan menyatukan bibir dengan Ni Darwati.

"Ayo Le"

"kamu yang atur Dek" Ki Sentana lanjutkan ucapannya pada kami berdua.

Apa yang kalian pikirkan jika bertemu denganku? Lihat lah perawakanku. Orang dewasa saja kadang menghindar bertemu denganku, apalagi anak-anak.

Kalian sekarang bayangkan saja, aku manusia tertinggi, terhitam dan pasti paling menjijikan di desaku. Bagaimana tidak, banyak yang menghindar jika berpapasan denganku. Apa aku semenjijikan itu?

Sudah menjijikan seperti ini, orang tua baruku malah memperlakukan aku dengan baik. Terlebih aku sekarang sedang telanjang di hadapan mereka.

Jika orang lain, pasti akan memuntahkan isi perut mereka. Sungguh baik sekali Romo dan Ibuku ini. Begitu tulus mereka menerimaku. Bahkan dengan wujud seperti ini mereka tidak jijik.

Aku Petruk loh, yang dianggap titisan genderuwo. Tinggiku saja lebih dari pintu rumah, kulitku hitam. Kalian bisa bayangkan bukan? Jelas menjijikan.

"Le, sini. Jangan melamun" ucap Ni Darwati membangunkanku dari lamunan.

Aku menelan ludahku sendiri saat tersadar jika di depanku ada sepasang sejoli yang sedang telanjang. Eh tunggu, aku juga telanjang!!

Aku mendekat dengan ragu dan memposisikan diriku seperti Ki Sentana tadi.

"Sebentar Le, kamu jangan buru-buru dimasukan. Punyamu ukurannya gila banget" ucap Ni Darwati sambil bangkit.

Terlihat Ki Sentana malah tertidur disampingnya.

Bukannya barusan aku lihat beliau sedang memainkan daging kenyal istrinya??

Aku pun mundur lalu kembali berdiri dan disusul Ni Darwati.

"Ke kamar mu aja Le, ibu dah bersihkan buat kamu sayang"

Ohhh lembutnya suara ibu, kenapa dadaku berdesir mendengar ucapannya? Eh kok kontolku juga makin berdenyut? Aduh kenapa ini?

Namun

Grep..

Tangan halus ibuku menggandengku. Tapi yang dipegangnya itu kontol bukan tanganku!!! Bukankah seharusnya jika mengajak seseorang dan menarik pergi, yang digandengan tangan ya? Ah terserah lah, yang jelas kontolku kini terasa sangat nyaman dipegang tangan halus beliau.

Kami pun berjalan keluar kamar mereka menuju kamar yang disediakan untukku.

"Maaf ya Le, kalau disitu takut ganggu Romo" Ni Darwati kembali berucap sembari duduk di tepian ranjang.

Aku tak bisa berkata-kata.

Aku yang bisu atau aku yang sedang menikmati tangan Ibu cantik ini memainkan tangannya di kontolku?

Entah lah rasanya sangat nyaman, tangan halus dan mungil itu mencoba menggenggam kontolku yang ukurannya tak bisa dia genggam penuh.

Sedang asik menikmati perlakuan Ni Darwati, kagetku dibuatnya. Karena kontolku terasa hangat dan geli. Aku pun reflek menoleh ke arah sumber kenikmatan itu berasal.

"Ehhh Buuu, kotorr" aku berucap dengan suara bergetar.

Nafasku pun tak beraturan seperti sedang makan mangga muda dengan sambel super pedas.

"Ahhh" mulutku kembali mengeluarkan suara tanpa aku kontrol.

Aku lihat dibawah sana Ni Darwati sedang mengulum kepala kontol yang kulupnya dibuang Kak Niken saat sunatan massal dulu.

"Uhhh Ibuuu" kembali aku merasakan kenikmatan yang baru pertama aku rasa.

Hangat dan geli. Seperti dibelai sesuatu yang lembut.

Mungkinkah itu lidah Ni Darwati?

"Aaahhh maaf Buuuuu"

Crooott.. crooott

Entah berapa kali kontolku mengeluarkan sesuatu. Rasanya membuat badanku sangat ringan.

"Maaf Bu, aku gak tahan. Mau lari ke WC tapi takut Ibu marah" ucapku.

"Uhukk uhuhhhkkk" Ni Darwati hanya menjawab dengan lambaian tangan.

Aku berlari keluar, mengambil air minum dan gelas untuk ibuku yang tersedak.

"Ahhh... Le, jangan merasa bersalah, itu memang seharusnya. Ibu lakukan itu untuk kamu Le. Biar kamu tau rasanya dulu. Gimana Le, enak?" ucap Ni Darwati sesaat setelah meminum air yang aku bawa.

"Iya Bu, enak" jawabku yang masih tidak mengerti kenapa aku ceroboh mengelurkan air kenikmatanku saat aku masih sadar.

Sebelumnya aku hanya mengeluarkan air itu saat mimpi. Aku tau pastinya setelah bangun pasti basah dan lengket bekasnya. Aku tak tau jika bisa terjadi saat tidak mimpi.

"Nah enak kan? Itu juga yang ibu rasakan Le. Enak. Kamu tolong bikin ibu enak ya. Sini, ini kontolmu gak tidur setelah muntah. Langsung masukin ke sini ya" Ni Darwati seperti senang melihat kontolku masih berdiri.

Tunggu, memang aneh sih. Tadi punya Romo kontolnya sudah tidur setelah mereka berhenti. Apa Romo sudah keluarkan airnya ya? Tapi dimana? Apa di dalam lubang kecil itu? Eh lubang kecil... Apa muat lubang kecil milik Ibu aku masuki dengan kontolku ini? Ahh entah tapi Ibu suruh. Ibu pasti lebih tau.

Kontolku masih berdiri meski tak sekeras sebelumnya tapi perlahan kembali mengeras. Apalagi sekarang sedang di colek-colekan ke selangkangan Ibu.

"Ihhh keras lagi Le, digesek aja berdiri. Ibu bakal bahagia Le. Ayo Le, bahagiakan Ibu. Masukkan sekarang, tapi pelan ya Le" cecar Ni Darwati karena kontol Petruk sudah siap tempur.

Petruk dengan insting dan wejangan Ki Sentana agar sabar serta pelan, ia sedikit demi sedikit mendorong kontolnya menyeruak memek mungil berbulu milik Ni Darwati.

"Ahh iya Le, kamu pinter. Pelan aja. Iya begitu. Ahhh kaangg sentanaa kontol jumbo masuk kangggg. Maaf kangg, tapi aku masih sayang kakaangg.. ahhh. Tapi kontol Petruk enak kangg.. ahh.. iya masukan sayang" racau Ni Darwati seperti orang gila, tak jelas apa maksudnya.

Aku yang sedang merasa keenakan sebenarnya tidak sabar, semakin dalam semakin enak. Meski sangat linu di kepala kontolku, tapi ini sangat enak. Kelapa muda yang segar tak akan bisa bersanding dengan nikmatnya Ibuku ini.

Sungguh, aku harap Ibuku merasa enak dan bahagia juga sepertiku.

Ahhh... Desah kami bersama karena aku sudah merasakan sampai diujung liang milik Ibu baruku.

Aku diam karena jika aku meniru ki Sentana yang menghentakkan pinggulnya, itu artinya aku tak menurut karena aku disuruh sabar dan pelan.

"Enak banget sayang, penuh memekku. Kontolmu bikin Ibu suka Le. Ayo gerakin Le, tapi pelan dulu ya sayang" ucap Ni Darwati sambil merem melek menikmati sumbatan daging di dalam vaginanya.

Aku menuruti perintah karena pada dasarnya aku hanya makhluk rendahan yang harus menuruti majikannya. Seperti kata majikanku yang dulu.

Aku lakukan sesuai arahan Ni Darwati. Pelan dan sabar sesuai pesan Ki Sentana. Tapi aku keenakan, apakah ini benar?

Desah dan rintihan Ni Darwati memenuhi seisi rumah. Entah perasaanku atau bukan, tapi beliau bersuara lebih keras dari saat bersama Ki Sentana. Bahkan suara hujan di luar pun hampir tak terdengar karena suara Ni Darwati.

Entah berapa lama aku maju mundurkan kontolku dengan seksama dan tempo yang sederhana. Kenikmatan pun aku luapkan dengan suara, tapi percuma karena tertutup suara Ni Darwati.

"Enak Le.. kamu nakal ya. Sekarang lebih cepet Le! Pokoknya cepeeet!!!!" rengek dan perintah Ni Darwati.

Ehh iya kok genjotanku jadi cepet? Kok malah disuruh lebih cepet? Emang boleh?

Aku pun tak perlu berpikir lagi, lalu dengan sekuat tenaga menggenjotnya. Rintihan dan desahan kini berubah, mungkin lebih tepatnya beliau berteriak.

Tapi entah kenapa jepitan liang Ibuku ini malah kian terik. Selaras dengan makin nyaringnya suara beliau.

"Aaahhh!!!!!!" Teriak nikmat Ni Darwati.

Aku reflek menghentikan gerakanku. Mencari tahu apakah aku menyakiti Ibuku.

"Enak banget Le. Sebentar ibu istirahat ya. Nanti kamu bebas lakukan sampai airmu keluar lagi" ucap Ni Darwati yang disusul dengan gerakan menarikku untuk ia peluk.

Aku pun kesulitan mengatur posisi agar bisa memeluknya, karena badan kami memiliki ukuran yang sangat berbeda. Tapi sudah lah yang penting aku bisa memeluknya seperti yang beliau inginkan.

"Le, nanti kamu bebas ya. Mau pelan atau cepet, Ibu juga enak. Ibu bahagia Le" ucap Ni Darwati yang kini ia menggeliat memposisikan berada di atasku.

Ahhh... beliau masukan lagi kontolku di liang sempit miliknya. Ia menelungkupkan badannya diatasku sambik goyangkan pinggulnya.

Aku keenakan dengan perlakuan beliau.

"Kamu gerakin lagi Le, cepet juga gapapa Le"

Aku pun dengan bermodal motivasi membara kembali menginginkan kenikmatan. Aku hujam hujamkan kontolku ke liang sempit milik beliau sambil menghentak-hentak.

Ahh.. enak... Ahh ahhh ahh

Suara beliau saat aku hentak dengan kuat.

Aku hentak makin cepat dan cepat.

Beliau makin menggeliat di atasku.

Rasa nyaman dan kenikmatan yang berasal dari selangkangan kamiu bagaikan kenikmatan yang tak ada tandingnya.

Tapi dasar pemula, aku sedang menggerakkan pinggulku tapi tak senada dengan gerakan Ni Darwati yang akhirnya kontolku tertarik lepas.

"Le ganti ya, ibu nungging. Kamu dari belakang"

Oh aku kira aku yang salah, ternyata Ibuku minta ganti posisi.

Aku pun kembali memasukan kontolku yang sejak tadi menghasilkan kenikmatan pada kami berdua.

Tanpa dikomando aku kembali menggenjot tubuh Ni Darwati.

"Ahh pinter... Enak Lee.." pekik Ni Darwati yang terkaget kala aku menggenjotnya dengan penuh semangat.

"Buu.. ahh aku mau keluar lagiii.. ahh ahhh" ucapku sambil tetap genjot pantat bahenol Ni Darwati.

"Ayoo Lee.. ayooo cepetttiiinnn"

Ahhh kontolku teras seperti diremas lubang nikmat Ibu saat aku hentakkan dengan keras dan menyemburkan cairan enak dari kontolku di dalam sana.

Peganganku pada pinggul Ni Darwati pun terlepas karena saking enaknya.

Ni Darwati ambruk dengan kondisi ngosngosan dan lemah sehingga kontolku tercabut dari liangnya.

Aku pun berbaring di sebelah Ibuku.

"Peluk sayang" ucap Ni Darwati dengan lemah.

Aku pun memeluknya sembari menikmati aksi kami yang barusan terjadi.

Aku menerawang dan terbayang semua perlakuan Ki Sentana dan Ni Darwati. Aku membuka memori di kepalaku, sama sekali tak ada perbuatan mereka yang menyakitiku. Aku merasa bahagia bahkan sekarang sepertinya mereka akan memperlakukanku lebih baik, apalagi aku diangkat jadi anaknya.

Aku terus memeluk Ibu baruku ini sampai terdengar nafasnya yang mulai teratur.

Ternyata beliau tertidur.

Aku pun beranjak dan menutup tubuh beliau dengan kain yang ada disana.

Aku berpakaian kembali lalu keluar karena haus.

Setelah aku minum, aku tersadar bahwa hujan sudah reda dan hari sudah mulai gelap. Aku pun berinisiatif menyalakan penerangan. Saat hendak menyalakan penerangan di ruang tamu, aku terkaget karena disana ada Ki Sentana.

"Romo" sapaku.

"Iya Le. Sudah gelap, nyalakan dulu lampunya" balas Ki Sentana.

Aku pun menyalakan penerangan. Di desa kami masih era kegelapan memang, listrik belum ada.

"Le gimana Ibumu?" tanya Ki Sentana

"Tidur Romo"

"Oh sukurlah. Pasti lelah. Sana kamu mandi dulu. Kamu pakai baju Harja saja, sepertinya ada yang muat"

Aku pun hendak melangkah pergi untuk mandi.

"Tunggu Le. Kamu harus rahasiakan apa yang kita lakukan itu ya Le. Jangan sampai orang lain tahu. Ingat, rahasiakan. Dan jika ibumu butuh, kamu harus berikan. Buat Ibumu bahagia!!!" tegas Ki Sentana

"Iya Romo, baik Romo. Pasti akan saya lakukan semuanya" jawabku dengan menunduk.

"Ya sudah Le, sana mandi dulu" ucap Ki Sentana yang kini bernada lembut.

Hidup memang tak bisa ditebak, dulu tidur saja diatas kandang kambing. Sekarang dikasur kapuk yang empuk. Kapuk sudah empuk kok, daripada papan dan bambu lantai 2 kandang kambing.

Ibuku sudah bangun dan kembali ke kamarnya. Dia nampak bahagia, terlihat saat perpapasan dengan ku saat aku hendak masuk kamar. Ya meski aku masih menunduk, tapi aku tau ada senyum di wajah manis ibuku, Ni Darwati.

Sungguh beruntung aku memiliki beliau jadi Ibuku. Jika juraganku masih Ki Harja, jangankan tidur di kasur, masuk rumah saja tidak akan bisa.

Sudah sangat malam tapi aku belum bisa tidur, mungkin belum terbiasa tidur di tempat yang empuk. Atau karena kontol yang bangun karena mendengar suara kenikmatan Ni Darwati lagi? Ohhh.. Ki Sentana pasti menabrak-nabrakan selangkangannya lagi.

Dengan ditemani alunan merdu suara rintih dan desahan pasangan itu aku diantar kedalam alam tidur.

***

Esok harinya

Seperti biasa aku terbangun sebelum matahari terbit, namun pagi itu aku merasa ada yang aneh. Bukan, bukan karena aku terbangun ditempat yang baru tapi aku merasa kontolku dijepit benda hangat dan empuk.

"Ohhh Leee... Selamat pagi sayang. Maaf Ibu sudah pengen kenthu sama kamu pagi-pagi" Ni Darwati sambil naik turunkan pinggulnya.

"Ohh Buu.. enak Buuu.. awas Bu. Mau kencing.. ohhh"

"Iya Lee.. Ibu pun sama.. ayoo Leee.. Ohhh.."

Aku pun menyemburkan cairan nikmat lagi kedalam liang senggama Ni Darwati di pagi buta yang dingin.

Tubuh Ni Darwati menindihku. Aku pun pasrah, hanya membalas dengan memeluknya.

Rasanya seperti mimpi, hidupku berubah. Kini kenyamanan dan kenikmatan sudah aku lalui, mungkin sudah tidak ada lagi penderitaanku kedepannya. Karena baru sehari saja aku sudah dibuat nyaman apalagi nanti.

"Le, hari ini kamu ikut Romo ke balai desa ya. Gak usah kerja dulu. Paling cari rumput saja lah. Kasian kambingmu itu kalau tidak ada makanan" ucap Ni Darwati membuyarkan lamunanku.

"Nggih Bu. Nanti saya ikut Romo" jawabku.

Lalu Ni Darwati bangkit dan menenteng pakaiannya keluar dari kamarku. Sungguh nikmat dan aneh. Apakah memang seperti ini bentuk pengabdian seorang anak pada orang tuanya? Entahlah yang jelas aku disuruh merahasiakan semuanya.

Aku pun juga bangkit dan memulai kegiatanku sebelum ikut Romo ke balaidesa, entah ada urusan apa yang jelas aku harus ikut karena perintah Ibuku juga juraganku.

"Sudah siap anak Ibu ya?" Ni Darwati yang melihatku sudah rapih dengan baju bekas Ki Harja.

"Sini Le, cium Ibu dulu" ucap Ni Darwati seraya berusaha merangkulku.

Aku pun bingung. Karena Ibuku memonyongkan bibirnya, aku pun menempelkan bibirku disana. Ternyata bibirku seperti ia gigit dan kunyah. Tapi enak rasanya.

"Sudah Le, nanti ibu mau lagi" ucap Ni Darwati melepas ciumannya.

"Romo kira mau lanjut, katanya mau sarapan. kalau mau lanjut Romo tunggu loh Dek." ucap Ki Setana melihat kami dari kursi ruang makan.

"Duh Romo, jangan Lah. Tadi pagi aja memekku sudah disiram. Masa mau lagi. Menang sih biar cepat berbuah harus sering disiram. Hehe" jawab Ni Darwati dengan manjanya dan berjalan ke arah Ki Sentana.

"Ayo sarapan dulu Le, baru ke balaidesa. Kasian ibumu sudah masak" ajak Ki Sentana

"Nggih Romo" jawabku singkat karena canggung

Kami pun mengobrol dan Ki Sentana memberitahu kalau tujuannya ke balaidesa adalah untuk membuatku jadi anggota keluarga, yaitu sebagai anak.

Kami juga membahas mengenai namaku yang hanya Petruk, sebenarnya Ki Sentana kurang suka dan mau digantinya. Tapi aku menolak karena aku merasa sudah nyaman dengan label Petruk. Ki Sentana pun mau mengerti dan hanya menambahkan namaku dengan mantan juraganku dan juga nama dirinya. Karena bagaimanapun meski diperlakukan tidak manusiawi, Ki Harja sempat jadi waliku sebelumnya.

Kami pun pergi ke Balai desa dengan berjalan kaki, karena Ki Sentana bilang ingin sekalian berolahraga. Tapi aneh rasanya, Ki Sentana jadi seperti orang yang sakit. Berjalan saja pakai tongkat, padahal tadi dirumah sehat bugar.

Ki Sentana berjalan dengan aku disamping, warga pun menyapa Ki Sentana. Tapi mereka aneh melihatku yang berjalan disampingnya. Mungkin dianggapnya aku tak layak jalan disebelah beliau. Harusnya aku di belakang Ki Sentana tapi beliau sendiri yang menyuruhku untuk jalan bersebelahan. Aku merasa senang dengan perlakuan Ki Sentana.

Sesampainya di balaidesa, kami disambut perangkat desa dan dipersilahkan menemui kepala desa. Aku tahu sikap itu ditunjukan kepada Ki Sentana, bukan aku. Karena aku sempat disuruh menunggu diluar oleh perangkat desa namun Ki Sentana yang membantah perkataan perangkat desa tersebut.
Kami pun bertemu dengan Kepala Desa.

"Silahkan Kang Sentana, silahkan duduk" sambut Kepala Desa

"Saya sebenarnya terkejut ada perihal apa Kang Sentana mau bertemu saya di sini, karena harusnya saya saja yang sowan ke tempat Kakang" lanjut Kepala Desa

"Sudah selayaknya seperti ini Pak Kades, sebagai warga saya yang menghadap Pak Kades" jawab Ki Sentana.

"Ah Kang Sentana jangan seperti itu, saya mau sampai kapanpun tidak akan berubah. Kang Sentana sudah berbuat banyak untuk saya. Sampai sekarang saya tidak akan pernah bisa membalasnya" balas Pak Kades

Ki Sentana pun melirikku "duduk sini Le" Ki Sentana sembari menepuk kursi disebelahnya.


Aku pun duduk ditempat yang dimaksud.

Pak Kades pun memasang wajah terkejut dengan perlakuan Ki Sentana. Tapi beliau tak berani menyangkalnya.

"Begini Pak Margo, aku mau masukan Petruk dalam keluargaku. Karena tahu sendiri, aku tak punya anak dan aku lihat Petruk anak baik. Maka aku angkat sebagai anak." ucap Ki Sentana yang sukses membuat Pak Kades melongo tak percaya.

"Bisa tolong diurus Pak Margo?" Ki Sentana kembali bersuara membuyarkan Pak Kades yang plonga-plongo dari tadi.

"Bisa Kang, bisa" jawab Pak Kades yang sadar bahwa itu bukan hanya lamunannya.

"Bagus lah, aku bisa tenang. Semoga aku bisa terus berbuat baik meski dengan tangan nista ini" ucap Ki Sentana sembari menerawang entah apa yang ia pikirkan.

"Kang Sentana tidak perlu berpikir seperti itu, masa lalu biar saja. Lagipula sekarang ini malah sudah jadi tradisi di desa. Setiap tahun ada saja mereka yang datang malah mencari. Mereka bukan lagi korban Kang" ucap Pak Kades

Aku bingung apa yang mereka bahas. Aku tak paham sama sekali.

"Untuk urusan Petruk biar saya yang urus Kang. Hanya perlu koordinasi dengan pengurus kependudukan saja kok, tidak repot Kang" ucap Pak Kades

"Baik lah kalau begitu tolong dicatat, namanya Petruk Harja Sentana. Untuk data lain, mungkin arsip desa masih menyimpannya. Kami undur diri Pak Kades, mohon bantuannya" ucap Ki Sentana seraya berdiri dan aku pun mengikuti beliau.

Kami pun pulang ke rumah karena sudah tidak ada urusan lagi di kantor desa.

"Le, mulai hari ini kamu akan belajar tapi maaf Romo tidak bisa menyekolahkanmu. Nanti ibumu yang akan mengajarimu semuanya, ibumu dulu sekolah tinggi. Kamu juga berhak jadi orang pintar, meski tidak sekolah" ucap Ki Sentana sambil kami berjalan menuju rumah.

"Nggih Romo" jawabku singkat

Kami sampai dirumah dan Ki Sentana sudah kembali bugar tidak seperti tadi. Aku hanya bingung tak berani bertanya.

Aku berganti baju dan bersiap mencari rumput. Tentu saja mau mampir dulu menengok sawah dan kebun. Rajin kan? Tentu lah, anak semata wayang Ki Sentana dan Ni Darwati kok.

*****

Hari-hari berlalu seperti bisa, aku masih bekerja seperti sebelumnya. Namun badanku kini kekar berisi, tak secungkring sebelumnya. Perbaikan gizi yang diberikan Ni Darwati berhasil.

Pembelajaranku pun masih berlanjut, kini aku bisa membaca dan berhitung meski kurang lancar seperti orang pada umumnya. Dan juga tugasku sebagai anak yang membahagiakan Ibunya pun masih berlanjut, kadang bersama Romo aku menyirami liang Ibu.



Tapi lebih sering sendiri karena Ibu sekarang sering tidur denganku, alasannya ia ingin lebih dekat denganku. Romo tak mempermasalah itu, karena baginya kebahagiaan Ibu adalah yang utama.

Begitu pula pagi ini, aku telah menyelesaikan tugas sebagai anak yang membahagiakan orang tuanya. Aku menyiram liang kenikmatan Ibuku bersama Romo sampai Ibu lupa bersiap untuk pergi ke kota. Padahal katanya mau periksa ke dokter bersama Romo.

Memang ibuku ini kalau sedang melakukan kegiatan itu pasti lupa diri. Kebahagiaannya sampai diluapkan dengan berteriak, untung saja rumah di kampungku berjauhan. Jika tidak pasti hal yang katanya agar dirahasiakan bisa diketahui tetangga.

***

Siang ini aku sedang bersantai di gubug kebun yang letaknya dekat sungai. Tak ada pekerja buruh yang mampir karena memang bukan musim panen dan tanam.

Suasana begitu hening, sampai tiba2 terdengar jerit dan rintih wanita. Tapi itu bukan suara ibu, apakah ada wanita yang minta dibahagiakan juga seperti Ibu?

Aku sempat berpikir jika Ibu dan Romo ini aneh, aku harus ikut memasukan kontol ke liang ibu. Belum lama ini aku dengar dari bapak-bapak yang sedang ngobrol kalau itu adalah kegiatan suami istri. Lalu kenapa aku sebagai anak harus melakukan itu juga? Aku ingin bertanya tapi sungkan.

Suara desahan dan rintihan makin jelas terdengar. Padahal ini jauh dari rumah warga. Aku yang penasaran pun mencari letak asal suara.

Dengan hanya bercelana gombrang tanpa kaos yang biasa aku pakai kerja, aku berjalan ke arah sungai. Suara itu makin terdengar, tapi kini suara itu jelas terdengar kalau itu suara 2 wanita.

Ya benar, dugaanku tak salah. Disana terlihat Lek Paijo dan Lek Ngamijan sedang berbuat seperti aku dan Ibu.
Tapi wanita yang disana aku tak tahu siapa. Aku pernah beberapa kali bertemu dengan istri mereka dan aku yakin kedua wanita itu bukan istri mereka. Lalu jika bukan istri mereka lalu siapa? Memangnya boleh memberikan kebahagiaan pada orang lain?

"Ayoo Leeekk, teruuss kontolmu enaaak.. akkkhhh" racau salah satu wanita disana.

Suara-suara mereka sukses membuat kontolku bangun. Aku bingung kenapa saat seperti ini malah bangun. Ibu sedang pergi ke kota bersama Romo. Ke lubang siapa aku akan masukan? Ahh sial

Niat hati untuk meninggalkan tontonan gratis itu tapi entah kakiku seperti tak mau beranjak dari sana.

Aku masih setia menonton kegiatan mereka di bebatuan sungai. Memandangi tubuh kedua wanita disana dan aksi kedua prianya.

Kedua wanita itu sangat mulus, jauh kalau dibandingkan denganku. Bahkan wanita-wanita di desa ini pun hanya ada beberapa yang semulus itu, Ibuku salah satunya.

Tapi siapa mereka? Kenapa aku tak mengenal sama sekali.

Aku sadar, aku bukan orang yang bergaul tapi setidaknya aku hafal muka-muka warga desa meski aku tak tahu nama mereka.

Terlihat Lek Paijo selesai mengerjai wanita yang terlihat badannya berisi dan berdada super. Aku bahkan membandingkan dengan milik Ibu, memang kalah besar milik Ibu mungkin faktor badannya yang juga lebih berisi dibanding Ibu.

Tak berselang lama, Lek Ngamijan pun selesai. Kini terlihat jelas wanita yang disana berbadan sangat bagus. Dadanya pun ukurannya sesuai dengan badannya. Dan dia tak punya jembut?? Dicukur atau tidak tumbuh ya? Entah lah masa iya aku tanyakan? Haha

Kedua pria terlihat bergegas pergi setelah berpakaian dan mencium pasangannya. Sedangkan kedua wanita itu masih terengah-engah nafasnya sembari terbaring di batu sungai.

Kenapa langsung pergi ya? Kalau ibuku pasti minta dipeluk sampai ketiduran.

Terik matahari yang terhalang rindangnya pepohonan membuat kedua wanita itu mungkin nyaman. Apalagi suara riak air sungai di belakang mereka.

Aku pun masih damai di tempatku memandangi kedua tubuh yang pakaiannya sudah terlepas dari tempatnya. Entah kenapa rasanya aku sangat ingin melakukan itu juga pada mereka.

Iya, aku ingin berikan kasih sayang juga pada mereka, tak hanya pada Ibuku. Tapi kata ibuku, wanita harus mau dan rela. Aku tak boleh memaksakan kemauanku.

Aku mencoba berpikir, memutar otak dunguku. Dan yah tidak ada cara yang aku temukan. Haha

Sudah lah aku pergi saja. Toh memandangi kedua wanita itu malah membuat kontolku semakin tersiksa.

Akupun berdiri dan berbalik tapi tololnya aku tersandung saat melangkah.

"Siapa ituu!!!???" terdengar suara salah satu wanita.

Aku yang terlanjur ketahuan pun muncul dan membuat mereka yang sedang berusaha berbenah jadi terkejut dengan penampakanku.

"Maaf mbak, aku gak sengaja lihat" ucapku

Entah kenapa wajah mereka tak lagi tegang, mungkin lega aku manusia sedangkan tadi pasti mereka mengira aku genderuwo penunggu rumpun bambu.

"Kamu ngintip ya?" tanya wanita yang berbadan sintal.

"Kenapa tidak ikut saja? Toh sudah biasa kan?" lanjutnya lagi

Aku bingung apa maksudnya. Apa mereka tahu kalau aku biasa memasukkan kontolku ke liang ibuku?? Bukankah itu rahasia kami sesuai apa kata Romo??

"Maaf mbak" aku menunduk karena mengira kedua wanita ini kenal dengan Romo

"Ya sudah sini kamu pakai aku saja. Tapi jangan sampai teman-temanku tahu" kata wanita yang berbadan sintal

Aku harus berbuat apa? Aku bingung.
Aku hanya diam menunduk

"Alah jangan sok suci. Sini" ucapnya sambil menarik celana gombrangku

"Bangsat!!! kontol gede bener!!! Hen!! Ini gila sih. Bisa ancur memekku" ucapnya sambil melihat ke arah temannya.

Sedangkan temannya hanya terpaku menatap benda bergantung yang setengah bangun di selangkanganku.

"Hen.. gimana ini? Hajar gak nih? Penasaran tapi takut ancur gue" ucapnya lagi pada temennya

"Taiiik.. coba aja lah daripada dia ngomong ke cowok lo" jawabnya

Entah kenapa aku terasa asing dengan apa yang mereka ucapkan. Banyak yang tak aku mengerti. Aku harus bagaimana?

Tapi celana sudah terlanjur ditarik dan terasa tangan halus memegangnya. Dia memainkan tangannya begitu lembut. Kontol yang belum bangun sepenuhnya kini beranjak seakan tertantang.

"Hen.. jadi lebih gede dan keras Hen!!!" ucap wanita yang berbadan sintal pada temannya dengan senangnya

"Eh lo sini, masukin ke memek gue. Mumpung masih belum pake celana!" perintah wanita montok yang dipanggil Hen.

"Bangsat, lo malah pengen. Memek lo emang juara kalau soal kontol" saut wanita berbadan sintal yang sedang sibuk mengocok kontolku

"Barang bagus Tan, itu kontol istimewa. Kali aja lo gak mau" jawab si Hen

"Yaudah lo duluan, gue mau liat dulu gimana aksi kontol jumbo ini" kata wanita yang dipanggil Tan

"Sini lo, nih memek kota!!" perintah pemilik memek tembem dan berbulu tipis yang sekarang sedang mengangkangkan kakinya di atas batu besar.

Aku pun mendekat.

Sebenarnya dilema di dalam hatiku. Memang sesuai kata Ibuku, aku tak boleh memaksa. Tapi apa boleh berbuat seperti ini dengan wanita yang tidak aku kenal? Bolehkah aku berbagi kebahagiaan dengan mereka?

Ah tapi aku juga butuh penuntasan untuk kontolku yang dari tadi terbangun oleh aksi mereka.

"Udah jangan bengong, gak pernah liat barang bagus ya?" ucap wanita bahenol itu lagi

Aku pun mendekatkan kontolku ke lubang yang benar, ku tekan sedikit demi sedikit. Karena dari pengalamanku dengan Ibu, katanya itu paling enak bagi Ibu.

"Akhhh.. enak banget Tann.. kontol Tann.. ahh memek gue enak Taaan.. akhhh kontoll jumbo ohhh" racau si Hen saat aku masukan kontolku dengan seksama.

Aku tak hiraukan perkataan si Hen. Lagi pula aku tak paham apa yang dia maksud. Yang jelas dia merasa enak, begitu juga yang aku rasakan.

Kini kontolku sudah masuk sempurna meski cukup sulit menerobosnya. Terasa pijatan liang senggamanya sangat hebat. Ditambah hangat dan basah di dalam sana.

"Mentok.. enak banget. Sayang ayo entot.. goyang sayang.. akhhh" rengek si Hen

Loh kok sayang? Tadi anjing?
Ehh bodo amat lah penting enak kontolku masuk disana.

Aku pun mulai bergerak sesuai pengalaman, dari yang pelan sampai sedang lalu terus bertambah cepat. Aku yang tak paham dengan rancauannya tak peduli apa yang keluar dari mulutnya.

Aku hanya memandang wajah cantik si badan montok itu sambil sesekali melihat buah dada yang bergoyang akibat sodokanku.

Aku gemas pada dada besar yang berguncang itu, aku raih sembari masih menggenjot pinggulku ke selangkangannya.

Aku remas dan aku buat mainan biji kecil yang ada disana. Yah kalau dengan Ibu aku suka disuruh mengisap dan memainkannya, ibu suka itu.

"Ahh ahhhkhhh ahhhkhhhkk" pekik panjang wanita semok itu.

Aku pun berhenti lantaran wajahnya terlihat lemas dan nafas tak karuan.

"Udah sini gantian. Memek gue juga mau" ujar si wanita berbadan sintal yang ternyata juga sudah kembali telanjang sembari mengangkangkan kakinya disamping kami.

Aku pun mencabut kontolku dari lubang nikmat yang tembem itu. Aku beralih ke depan lubang polos tanpa jembut.

"Cepet, bikin enak juga!!" perintah wanita sintal itu

Aku tanpa menjawab namun menurut kemauannya. Aku hentakan kontolku menerobos liang kecil itu. Terasa ngilu sebenarnya tapi dia bilang cepat. Ya mau tak mau aku harus turuti.

"Akhhh bangsat!!! Kontol gede banget. Sobek memek gue!!! Diem dulu tolol!!!" teriak wanita cantik itu

Ah kata yang lama tak aku dengar. Dulu mantan majikanku sering teriak “bangsat”.

Aku seperti kerbau yang menurut. Aku berhenti sesaat setelah menghentakan kontolku masuk sampai habis.

"Penuh banget. Mantap gilaa. Ayo pelan dulu" perintah kembali terdengar

Aku menurutinya lagi. Aku sambil berpikir kenapa mereka berbahasa aneh. Beberapa aku tak paham.

"Akhhh kontolmu enak banget. Andai bisa dibawa pulangg.. akhhhh sialan.. enakkk" racau si Tan yang mulai aku sodok pelan

Entah kenapa aku lebih suka memek si montok. Lebih enak, hangat dan terik di kontolku. Tapi memek ini juga enak. Hanya saja tak sehangat memek si montok.

Kalau bisa memilih aku mau dengan si montok saja. Ah benar, gimana kalau aku hajar cepet. Biar aku cepat pindah ke si montok lagi?

Aku yang mulai cerdas ini pun merealisasikan apa yang aku pikirkan. Aku perlahan menaikan tempo gerakan pinggulku. Memompa memek gundul itu agar cepat menyerah.

"Akhhh ya ya yaa enak yaa enakk.. akhhh enak sayang enakk" racaunya menikmati perbuatanku

Sayang lagi? Ada apa dengan dia? Tadi aku dibilang “bangsat” sekarang “sayang”.

Aku pun kini bergerak brutal. Sampai terdengar bunyi kecipak di selangkangan kami makin sering dan nyaring.

"Akhhh akhh akhh aku sampe sayanggghhh akkkhhhh..." pekik si Tan yang membuatku menghentikan gerakanku.

Aku nikmati pijatan dan kehangatan yang tak lebih dari si montok. Memang si montok ini terbaik. Aku pindah saja lah.

Setelah rasa kedutan di dalam liang memek gundul itu selesai, aku tarik kontolku. Terlihat sangat mengkilap karena air kenikmatan darinya. Aku pun beralih ke si montok yang tersenyum menyambut kontolku pulang ke memek tembemnya.

"Sini sayang, nikmati sesuka kamu yah" ucap si montok dengan manja.

Namun aku tak langsung memasukan kontolku ke liang senggamanya. Aku mau menikmati dulu kemasan susu yang jumbo itu. Entah kenapa sangat menarik perhatianku dari tadi.

Aku pun mendekatkan wajahku dan hendak melahap gunung kenyal ukuran jumbo itu. Namun,

"ah bau rokok"

Mereka tertawa mendengar ucapanku.

"Sekarang yang bawah aja ya sayang, lain kali pasti gak bau rokok" ucap si montok sambil tertawa.

Aku yang sedikit kecewa pun kembali memasukan kontolku ke memek tembem berjembut tipis.

"Akhhh bentar sayang"

"Eh Tan kalau dia aku jadikan pacar, gimana ya?" ucap wanita itu ke temannya

"Bebas lah, tapi gue mau sesekali nyicip sih" balas wanita berbadan sintal

"Ayo sayang. Aku dah siap. Aku milikmu sayang" ucap wanita montok sambil mengarahkan tanganku ke buah dada jumbo miliknya

Aku pun meremas dada berbau rokok itu sambil mulai menggoyangkan pinggulku

Suara selangkangan kami berbalas dengan desahan si montok. Aku yang merasa gemas dan sudah menahan keluarnya airku sejak dari si badan sintal pun mulai tak tahan.

Aku mulai menambah dan terus menambah kecepatan seperti kesetanan, sebenarnya aku masih mau ada didalam liang hangat dan super ketat milik wanita ini. Tapi kenikmatannya tak bisa terbendung lagi.

"Akhhh mbakkk aku gak tahannn"

"Iya sayang... Akhhhh aku jugaa akhhh"

Croott!!

Aku menembakkan peluru kehidupan di dalam liang senggama favoritku itu.

Kulihat wanita dibawahku melotot. Tapi aku tak peduli, aku menikmati yang dibawah sana.

Sedang khusyuk menikmati denyutan liang senggamanya, wanita itu seperti mendorongku. Ya meski tak membuatku bergeser tapi aku sadar diri, aku pun menarik diriku menjauh.

"Sayang kalau aku hamil gimana? Kok buang di dalam?" rengek wanita itu yang terlihat panik

Loh? Gimana? Hamil?

Sebentar, maksudnya membuang air di dalam memek jadi hamil? Lalu ibuku gimana? Kalau ini harus aku tanyakan nanti. Tapi sekarang, gimana wanita ini?? Jika dia hamil, bagaimana ini?

Aku panik tapi badanku tak bereaksi dan tak bergerak. Apalagi menanggapi ucapan wanita itu.

"Udah tuh ada pil di tas ku. Cepet minum!" ucap wanita berbadan sintal itu sambil dia beranjak dari berbaring di batu lalu memposisikan dirinya bersimpuh di depanku

Aku lihat wanita montok itu meminum obat dan mukanya jadi tak sepanik sebelumnya.

"Akhhh" aku kaget ternyata kontolku dihisap oleh wanita berbadan sintal ini dan kemudian ia menjilati semua bagian kontolku.

"Enak banget kontolmu. Besok kita cari kamu ya" ucap wanita berbadan sintal itu sambil berdiri

"Sayang nama kamu siapa? Kita belum kenalan ya. Maaf ya, namaku Heni" ucap wanita montok itu

"Kalau aku Intan" ucap wanita berbadan sintal

"Saya Petruk mbak" jawabku

"Yuk mandi di sungai sayang" ajak Heni sambil meraih tanganku

Aku menurut saja lagi pula badanku lengket akibat kegiatan tadi

Kami bertiga pun membersihkan diri di sungai sambil ngobrol. Dari situ aku baru tahu jika mereka dari Jakarta. Mereka kesini untuk KKN, aku tak tanya sih apa itu KKN, nanti aku tanya Ibu saja.

Dan mereka selain untuk KKN juga karena mencari hiburan. Ya hiburan selangkangan.

Mereka tahu dari senior mereka, katanya di desa ini banyak pria perkasa yang punya ukuran kontol diatas rata-rata. Karena itulah tadi aku melihat mereka melakukan kegiatan berbagi kebahagiaan dengan kedua bapak-bapak itu.

Aku mulai agak paham disini. Tapi kenapa bagi mereka itu hiburan? Bukankah itu berbagi kebahagiaan? Hmm sepertinya aku harus banyak belajar lagi.

Aku pun bertukar informasi dengan mereka bahwa aku akan berada di gubug dekat kejadian itu saat tengah hari dan mereka akan datang untuk mengulangi kejadian tadi. Heni juga berjanji untuk tidak melakukan dengan warga lain lagi. Entah kenapa dia berjanji seperti itu, aku iyakan saja.

Kami pun selesai mandi dan pindah ke gubug tempatku istirahat yang biasa kami para pekerja pakai untuk sekedar menyantap bekal dan istirahat sembari mengobrol.

Entah kenapa dari tadi Heni menempel terus padaku. Ia terus memelukku sejak tadi. Sedangkan si Intan hanya senyum melihat tingkah temannya yang sangat manja itu.

Tak terasa hari mulai sore, mereka pun kembali. Katanya mereka tinggal di balaidesa bersama teman-temannya. Aku pun pulang sambil menenteng sabit dan karung kosong. Iya, aku lupa cari rumput. Semoga persediaan masih cukup untuk mantan teman satu rumahku, kambing.

Rumah adalah tempat kita pulang. Tapi pernahkah kalian berpikir jika masih banyak orang diluar sana yang punya tempat pulang tapi bukan rumah. Dulu aku pun begitu, pulang bukan karena rindu dengan kenyamanan di tempat ini. Bagaimana nyaman jika setiap hari bermandikan aroma prengus kambing?

Aku sedang memberi makan kambing dengan sedikit bernostalgia dengan suasana kandang. Entah kenapa, mungkin ada rindu pada kami. Mungkin karena sudah tak seatap. Kini aku tinggal di dalam bersama Ki Sentana dan Ni Darwati. Sayangnya rumah masih sepi, sepertinya kedua orang tuaku itu belum pulang.

Aku pun masuk ke dalam lewat jalan seperti biasa, karena aku tau pasti pintu belakang tidak terkunci. Memang kebiasaan mereka, katanya biar aku bisa langsung masuk jika dari kebun makanya mereka tak pernah kunci jika siang hari.

Aku pun bebersih diri lalu menyalakan penerangan. Saat menyalakan lampu ruang makan, aku lihat secarik kertas. Aku baca dengan gaya terbata karena memang aku belum terlalu lancar membaca.

Dari situ aku tahu, ternyata mereka ke kota bukan kota sini, memelainkan kota asal Ni Darwati.

Mereka akan pergi seminggu, aku disuruh menjaga diri dan rumah. Aku pun mereka tinggalkan beberapa uang di bawah bantal kamarku.

"Seminggu Romo dan Ibu pergi. Semoga sehat-sehat saja mereka. Aku tak mau ganti majikan lagi. Mereka adalah yang terbaik. Bahkan aku sudah dianggap anak oleh mereka" gumamku setelah membaca pesan dari mereka

Aku pun membuka tudung saji di meja makan dan memakan masakan ibu tadi pagi. Aku sayang Ibu, aku tak akan biarkan masakannya sia-sia.

Aku yang merasa tak terlalu letih pun berniat jalan untuk sekedar cari angin. Yah memang aku hari ini tak bekerja, rumput pakan kambing saja aku lupa gara-gara kedua memek kota.

Apa kalian kira aku akan berkeliling desa? Haha jangan terlalu berharap kawan. Aku tak pernah melakukannya. Kalau pun aku pergi, itu pasti bersama majikanku. Ya terakhir itu bersama Ki Sentana ke balaidesa.

Lalu kemana aku? Tentu saja ke sekitaran kebun, tempat dimana hari-hari kuhabiskan. Memang rasanya sepi, tapi itu sangat menenangkan. Apalagi tak perlu bertemu warga yang memandangku dengan ekspresi jijiknya.

Aku pun berjalan ke arah gubug yang biasa kami para pekerja istirahat. Aku malam itu hanya bercelana gombrang seperti biasa dengan kaos yang aku sampirkan di bahu. Gelap? Tentu karena ini kebun, tapi aku sudah biasa dengan kegelapan begitu juga para warga desa lain. Karena memang kami terlatih secara alami untuk hal ini.

Malam yang sepi kunang-kunang beterbangan disepanjang jalan setapak yang aku lalui. Sunyi sepi.. sampai terlihat ada cahaya dari arah gubug yang tak berdinding itu.

Aku menghentikan langkahku karena merasa disana ada orang. Padahal biasanya gelap dan paling hanya aku saja yang kurang kerjaan malam-malam ke tempat itu karena pegah dengan bau kambing.

Samar aku dengar suara yang tak asing. Ya itu adalah desahan sepasang manusia.

"Akhh iya sayang, memek ku gatel lama gak digaruk kontolmu. Akhhh.. bener sayang yang kenceng. Kalau pelan gak enak" desah dan racau sang wanita

Tak lama terdengar suara lenguhan pendek dari sang wanita.

"Anjing.. memek lo jadi longgar amat. Kontol apa sih yang lo pake. Bangsat.. kayak memek si Intan aja gak ada enaknya sama sekali. Biasa memek lo paling sedep" ujar sang pria yang terdengar kecewa

"Kontol lo aja yang kecil Gas. Gue tadi nemu kontol monster disini. Anjing lo mana cepet lagi, memek gue baru mulai enak padahal. Tai bacot doang!" balas si wanita tak kalah kecewa

"Jadi lo sama Intan ngentot sama kontol monster? Pantes jadi gak jepit sama sekali. Kalau aja Intan gak ada duitnya, dah gue buang dia. Tunggu aja sampe gue ada gantinya" ucap si pria

Aku tak terlalu paham dengan bahasa mereka. Tapi aku paham apa yang mereka maksud.

Aku sedikit kecewa dengan kenyataan ini. Aku ingat betul tadi sore Heni bilang tak akan melakukan itu dengan orang lain, tapi sekarang aku jelas melihat mereka melakukan itu dengan mataku sendiri. Aku tak tahu apa ini tapi terasa sedikit sesak di dadaku.

Selain itu apa maksud ucapan pria itu, aku pasti salah dengar. Katanya mau membuang Intan? Bukankah Intan manusia? Kenapa dibuang? Tunggu!!! Jangan sampai Intan dibuang, nanti bisa jadi sepertiku, jadi ikut juragan dan menanti keajaiban datang.

Aku masih tahan karena aku laki-laki, apalagi sekarang juraganku adalah orang mulia yang bahkan mau mengangkatku jadi anaknya. Aku harus menyelamatkan Intan, aku harus beri tahu dia besok saat bertemu.

Aku melihat mereka berjalan menjauh dari gubung. Aku terus menunggu dengan berdiri. Aku tak mau ketahuan lagi seperti sebelumnya. Lagipula kulitku hitam legam, mereka tak akan sadar aku menatap mereka dari tempatku.

*****Esoknya*****

Pagi aku bangun seperti biasa. Sebenarnya aku punya kebiasaan baru saat bangun, tapi sekarang tidak karena Ibu belum pulang.

Aku pun bergegas bangkit lalu mandi agar badanku segar sebelum beraktivitas. Aku berniat mengeluarkan kambing hari ini sambil nanti aku cari rumput untuk mereka. Pekerjaan kebun paling hanya bersihkan rumput disekitaran sayuran saja jadi tak akan terlalu berat karena bisa dicicil tiap hari. Sedangkan kelapa pun belum waktunya panen, baru beberapa hari lalu aku memanennya jadi tinggal yang muda saja.

Setelah mandi dan mencuci baju serta gerabah bekas kemarin, aku mengeluarkan kambing dan mengikatnya tak jauh dari kebun sayur. Aku mau menyiangi kebun sayur dulu pagi ini mumpung masih teduh. Nanti baru cari rumput lalu siangnya bersantai dan bertemu dua gadis kota kemarin.

Sembari menyiangi kebun sayur, aku memikirkan kejadian tadi malam. Bagaimana pun aku harus menyampaikan hal itu pada Mbak Intan. Aku tak menyangka mereka berniat membuang Mbak Intan. Walaupun kemarin Mbak Intan memakiku dengan kata ****** dan tolol, tapi mungkin itu karena aku berbuat salah.

Aku maklumi saja. Entah seperti apa aslinya Mbak Intan, aku tak akan tega jika ia bernasib sepertiku. Dibuang dan hidup serta bekerja ikut juragan yang belum tentu baik seperti Ki Sentana dan Ni Darwati. Atau mungkin jika ia dibuang, biar Ki Sentana dan Ni Darwati mengambilnya ya? Seperti mantan Pak Kades dulu, tapi sayangnya Pak Kades menyerahkanku pada anaknya jadi nasibku tak terlalu bagus.

Untung saja sekarang sudah berubah. Aku sangat bersyukur dengan keadaan sekarang, jangan sampai mbak Intan juga merasakan hal pahit sepertiku.

Matahari tak terasa sudah diatas ubun-ubun. Aku pun sudah membawa pulang rumput yang cukup untuk 2 hari.

Aku pulang, mandi lalu pergi ke gubug tempat biasa. Dan benar saja, mereka sudah disana. Mereka hanya berdua. Tak ada laki-laki semalam atau bapak-bapak kemarin. Aku malu jika ada Lek Paijo dan Ngamijan. Takut nanti aku jadi bahan ledekan dan omongan kalau sedang berkumpul.

"Mas Pet sinii.. baru selesai kerjanya ya? Kita nunggu loh" sambut Heni saat dia menyadari aku datang.

Sialan kan? Aku udah mandi, dikira baru selesai kerja. Aku mandi demi dia loh, biar kalau gelendotan gak bau keringat. Sembarangan mulut dia.

"Maaf telat mbak" jawabku sambil duduk.

Terlihat Mbak Intan hanya tersenyum sambil memegang buku yang mungkin baru ia baca.

Aku merasakan kecanggungan. Tak seperti kemarin mereka dengan semangat menginginkanku. Kali ini mereka cukup tenang. Hanya si Heni saja yang menempel dan terus menggesekan lenganku ke dadanya.

Kami hanya mengobrol. Sebenarnya lebih ke mereka yang aktif, aku hanya menanggapi setahu ku saja.

Dari obrolan ini aku tahu kalau di desaku sudah jadi rahasia umum kalau kita bisa melakukan hal itu dengan siapa saja asal tidak dengan memaksa. Bahkan katanya Heni pernah dengan Pak Margo dan istri Pak Margo tahu karena mereka melakukan di kamar Pak Margo.

Aku jadi bingung, kenapa Ki Sentana bilang harus merahasiakannya? Sedangkan warga di desa ini sudah biasa melakukan itu dengan orang bukan pasangannya. Tapi meski penasaran, aku tak akan pernah sekalipun menanyakannya. Ya aku memang tak berani. Sepengecut itu lah aku.

Aku sedang seksama memperhatikan apa yang diceritakan Intan tentang kota. Entah kenapa si Heni malah sibuk sendiri mengelus kontolku yang sudah sukses dia buat berdiri di dalam celana. Sakit? Tidak lah, aku pakai celana gombrang tanpa dalaman karena memang tidak punya.

"Mas Pet, itu Heni dah mau. Kamu juga dah ngaceng. Kenapa gak kamu garap dulu Heni? Apa mau sama aku?" tiba-tiba mbak Intan mengubah topik.

"Anu maaf, bukan saya gak mau Mbak. Tapi Mbak Heni kemarin bilang gak mau lakuin sama orang lain tapi dia bohong. Makanya saya biarkan saja dari tadi" ucapku yang membuat mereka terkejut, terutama Heni

"Kamu ngomong apa sih Mas Pet, pentilku dah gak bau rokok loh. Mas Pet kan pengen nyusu belum jadi.." ujar Heni berusaha membujuk

"Maaf mbak Hen, aku gak mau" jawabku

Plakk

Suara pipiku ditampar Heni

Tamparannya keras tapi aku tak merasa sakit.

"Anjing kampung sok banget. Dikasih enak aja gak mau. Mentang-mentang kontol lo enak, lo jadi betingkah. Gak usah fitnah orang, gue dari kemarin gak ngentot sama sekali. Kalau lo bilang gue ngentot, sama siapa gue ngentot?" kemarahan Heni keluar sambil membelalakan matanya.

Tanpa ragu aku menceritakan kejadian tadi malam, dimana aku melihat dia dan seorang pria berbuat digubug ini. Bahkan aku bilang pria itu mau membuang Intan karena memeknya gak enak.

Intan pun kaget mendengar ceritaku. Ia menatap tajam Heni yang masih bertelanjang dada karena tadi berusaha menggodaku.

"Maaf Tan, gue semalem ngentot sama Bagas. Sumpah gue cuma khilaf Tan. Memek gue gatel mulu sejak dientot kemarin. Sorry Tan" ujar Heni dengan nada takut

"Gue gak marah lo ngentot sama Bagas. Lagian dia cuma menang tampang doang. Kontolnya biasa aja. Mantan gue yang lebih enak juga gak gue anggep. Mau lo ambil juga gak masalah. Tapi gue gak nyangka, ada lo dibalik alasan bagas buang gue. Lo tau gak? Tadi pagi dia mutusin gue. Padahal tadi malem gue udah lakuin semua gaya yang dia mau! Kalau lo pengen gue down karena ini, lo sukses Hen" balas Intan lalu meninggalkan kami.

"Anjing anjing anjing... Puas lo njing!!!" maki Heni

Plakkkk

Aku ditamparnya sekali lagi, ia bergegas menyusul Intan meninggalkanku.

Aku merenungi semuanya.

Aku sudah jujur tapi kenapa aku yang ditampar?
Apakah harusnya aku diam saja? Tapi aku tak tega jika Intan dibuang.

Ah sudah lah, aku pulang saja. Mungkin aku harus banyak belajar lagi tentang kehidupan ini.

cerita sex yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya

Related Posts