Bagi yang belum baca sesen 1 silahkan Baca sesen 1 link di bawah ini sebelum membaca crita sesen 2 ini...
Karena pekerjaan mang ikin yang bagus dan rapi, pak mandor terus mengajak mang ikin setiap kali dia mendapatkan proyek nya. Dan itu membuat mang ikin lebih sering meninggalkan rumah jika mendapat proyek yang jauh dari kampung atau mendapatkan kembali proyek di kota. Sehingga otomatis aku pun semakin sering di tinggal oleh nya.
Dan saat ini pun mang ikin kembali mendapat proyek membangun sekolah di kota bersama pak mandor. Berat sebenar nya harus berpisah dengan mang ikin dalam waktu belasan hari kalau ia mendapat proyek di kota. Tapi apalah daya demi kewajiban nya sebagai kepala keluarga mang ikin selalu bersemangat setiap kali mendapatkan proyek.
"Awas ada barang yang ketinggalan kang... ". Ucap bibi seraya menyajikan kopi hitam.
"Iya nyai... sudah akang periksa semua kok barang yang akan di bawa... ". Balas mang ikin meresapi rokok nya.
Siang ini mang ikin akan kembali lagi ke kota dan tengah menunggu mobil jemputan bersama pak mandor dan yang lain nya. Dan tadi subuh aku sudah dua kali di entot mang ikin sampai masih terasa lemas nya hingga sekarang. Karena tentu saja mang ikin akan lumayan lama lagi di kota sehingga ia kembali menggauli ku dengan penuh nafsu sebelum kami berpisah lama.
Sudah dua hari ini aku merasa tidak bersemangat dan seperti kehilangan selera makan ku. Setiap kali aku melihat nasi terasa mau muntah rasa nya sampai sampai selama dua hari ini aku hanya makan nasi dua kali itupun dengan porsi yang sangat sedikit.
Tubuhku juga terasa lemas dan gampang capek. Wajah ku juga terlihat pucat.
"Sih... tolong angkat jemuran emping di luar... sudah kering kayak nya... ". Titah bibi yang masih menemami mang ikin di ruang tamu.
Aku pun beranjak keluar dan begitu melihat sinar matahari yang cukup terik membuat mata ku berkunang kunang dan kepala ku terasa sangat pusing sekali membuat ku hampir terjatuh saat berjalan. Semakin aku paksakan untuk berjalan semakin pusing rasa nya hingga semua pandangan ku gelap dan tubuhku lunglai. Gelap semakin terasa pekat dan Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Kepalaku masih terasa sangat pusing dan pandanganku berkunang kunang saat ku coba paksa buka mataku. Tubuhku lemas tak berdaya hingga untuk di gerakan pun terasa susah. Aroma minyak kayu putih yang menyengat tercium hidung ku memaksa kesadaran ku mulai kembali secara pelan.
Saat aku mulai pulih dengan kesadaran ku yang pertama aku lihat adalah wajah Bi Nani yang tengah terisak membuat ku bingung. Di tambah lagi saat aku mulai melihat sekitar ku. Di samping bi Nani ku lihat mang Ikin berdiri mendekap tangan di dada dengan raut wajah cemas.
" Kenapa mang Ikin masih ada di rumah... bukannya mang Ikin mau berangkat lagi ke kota... ". Pikirku.
Dan ada juga Abah , Ambu , serta Teh Uum dengan air muka yang sama tampak cemas yang terpancar. Namun raut muka Abah justru menunjukan yang berbeda. Ia tampak menahan amarah sehingga membuat ku semakin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Asiih..., kamu sudah sadar cantik...,, ". Ucap ambu mendekat dan mengelus rambutku dengan mata berkaca kaca.
"Asih kenapa Ambu... ". Ujarku lemah mencari tahu apa yang sebenar nya terjadi.
Aku coba bangkit untuk bangun namun badan ku sangat lemas dan kepalaku kembali terasa berputar dan mata ku berkunang kunang.
"Aaauuuhhh... ". Aku mengaduh menahan rasa pusing di kepalaku.
"Kamu jangan banyak gerak dulu Sih... ". Kali ini bibi yang bersuara dengan wajah sembab nya.
"Asih kenapa Bi... ". tanyaku lirih menggeggam tangannya.
Bukan nya menjawab Bibi malah menggelengkan kepala dan menahan tangis nya.
Dan saat ini pun mang ikin kembali mendapat proyek membangun sekolah di kota bersama pak mandor. Berat sebenar nya harus berpisah dengan mang ikin dalam waktu belasan hari kalau ia mendapat proyek di kota. Tapi apalah daya demi kewajiban nya sebagai kepala keluarga mang ikin selalu bersemangat setiap kali mendapatkan proyek.
"Awas ada barang yang ketinggalan kang... ". Ucap bibi seraya menyajikan kopi hitam.
"Iya nyai... sudah akang periksa semua kok barang yang akan di bawa... ". Balas mang ikin meresapi rokok nya.
Siang ini mang ikin akan kembali lagi ke kota dan tengah menunggu mobil jemputan bersama pak mandor dan yang lain nya. Dan tadi subuh aku sudah dua kali di entot mang ikin sampai masih terasa lemas nya hingga sekarang. Karena tentu saja mang ikin akan lumayan lama lagi di kota sehingga ia kembali menggauli ku dengan penuh nafsu sebelum kami berpisah lama.
Sudah dua hari ini aku merasa tidak bersemangat dan seperti kehilangan selera makan ku. Setiap kali aku melihat nasi terasa mau muntah rasa nya sampai sampai selama dua hari ini aku hanya makan nasi dua kali itupun dengan porsi yang sangat sedikit.
Tubuhku juga terasa lemas dan gampang capek. Wajah ku juga terlihat pucat.
"Sih... tolong angkat jemuran emping di luar... sudah kering kayak nya... ". Titah bibi yang masih menemami mang ikin di ruang tamu.
Aku pun beranjak keluar dan begitu melihat sinar matahari yang cukup terik membuat mata ku berkunang kunang dan kepala ku terasa sangat pusing sekali membuat ku hampir terjatuh saat berjalan. Semakin aku paksakan untuk berjalan semakin pusing rasa nya hingga semua pandangan ku gelap dan tubuhku lunglai. Gelap semakin terasa pekat dan Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Kepalaku masih terasa sangat pusing dan pandanganku berkunang kunang saat ku coba paksa buka mataku. Tubuhku lemas tak berdaya hingga untuk di gerakan pun terasa susah. Aroma minyak kayu putih yang menyengat tercium hidung ku memaksa kesadaran ku mulai kembali secara pelan.
Saat aku mulai pulih dengan kesadaran ku yang pertama aku lihat adalah wajah Bi Nani yang tengah terisak membuat ku bingung. Di tambah lagi saat aku mulai melihat sekitar ku. Di samping bi Nani ku lihat mang Ikin berdiri mendekap tangan di dada dengan raut wajah cemas.
" Kenapa mang Ikin masih ada di rumah... bukannya mang Ikin mau berangkat lagi ke kota... ". Pikirku.
Dan ada juga Abah , Ambu , serta Teh Uum dengan air muka yang sama tampak cemas yang terpancar. Namun raut muka Abah justru menunjukan yang berbeda. Ia tampak menahan amarah sehingga membuat ku semakin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Asiih..., kamu sudah sadar cantik...,, ". Ucap ambu mendekat dan mengelus rambutku dengan mata berkaca kaca.
"Asih kenapa Ambu... ". Ujarku lemah mencari tahu apa yang sebenar nya terjadi.
Aku coba bangkit untuk bangun namun badan ku sangat lemas dan kepalaku kembali terasa berputar dan mata ku berkunang kunang.
"Aaauuuhhh... ". Aku mengaduh menahan rasa pusing di kepalaku.
"Kamu jangan banyak gerak dulu Sih... ". Kali ini bibi yang bersuara dengan wajah sembab nya.
"Asih kenapa Bi... ". tanyaku lirih menggeggam tangannya.
Bukan nya menjawab Bibi malah menggelengkan kepala dan menahan tangis nya.
"Ambuu... ". Tak mendapat jawaban dari Bibi aku menoleh ke Ambu. Dan bukan nya jawaban yang ia lontarkan justru ambu memelukku dan menangis histeris membuat ku semakin kebingungan.
"Asih... sekarang kamu ngaku... anak siapa itu...?". Geram abah menajauhkan tubuh Ambu yang mendekapku.
"Aa... Aanak... ?". Aku semakin bingung dan tak mengerti.
"Ngaku kamu Asih ayo ngaku... itu anak siapa...? siapa yang menghamili kamu...? ". Abah mencengkram pundakku dan membentak bentak dengan kemarahan.
"Haa... haamiill... ". Pekikku begitu syok.
"Aa... akuu hamil... ". Ujar ku bagai tersambar petir.
"Kamu hamil Asih... ayo ngaku siapa yang sudah menghamili kamu...? ". Maki Abah lagi membuat jiwa ku semakin terguncang dan membanting tubuhku.
"Abaah... ". Jerit Ambu menarik tubuh Abah menjauh dan berusaha meredam emosi Abah yang semakin meluap tak terkendali.
" Asiih..., ". Bibi memeluk ku dengan tangis nya yang pecah membuat ku ikut menangis.
"Asiih hamil bi...? ". tanyaku dengan bibir bergetar.
"Iya.. Coba jujur cantik... siapa yang menghamili kamu...? ". Bisik bibi diantara tangis ku.
Dunia seakan runtuh menimpaku. Tubuhku lemas bagai tak bernyawa lagi mendapati kenyataan bahwa aku hamil. Dan aku tak tahu benih siapa yang tumbuh menjadi janin di rahim ku , karena ada dua lelaki yang menyirami rahim ku dengan sperma mereka.
Dengan kebingungan dan ketakutan aku menangis histeris. Bibirku seakan terkunci untuk mengungkap siapa ayah dari janin yang kini ada di rahim ku. Tak mungkin aku menyebutkan nama Mang Ikin apalagi kang Arif.
"Memalukan kamu Asih...! ayoo ngaku sama Abah... siapa yang menghamili kamuuu...? ". Teriak Abah dengan tangan hendak memukul ku membuat Ambu dan Teh Uum berteriak.
"Abaaah... jangaaann... Ingat Abah, istighfar... ". Teriak Ambu dan teh Uum bersamaan.
"Aku yang sudah menghamili Asih Kang... ". Ujar Mang Ikin seraya menahan tangan Abah yang hendak melayang menamparku.
Sontak semua orang terperanjat dan melongo ke arah mang Ikin yang berdiri di samping ayah. Tak terkecuali aku. Semakin syok dengan apa yang aku dengar.
"Jangan sakiti Asih kang... kalau akang mau marah... marah ke Aku... karena aku yang bersalah sudah menghamili Asih... ". Ucap mang ikin lagi dengan tegas.
Emosi Abah semakin meledak dan tanpa di duga Abah melayangkan bogem mentahnya ke wajah Mang Ikin hingga mang Ikin langsung tersungkur ke lantai menerima bogem mentah Abah yang tiba tiba.
"Bangsaaattttt kamu ikin...!! ". Maki abah dengan suara tinggi dan terus menonjok wajah mang ikin berulang kali.
"Abaaahh... ". Teriak ambu kembali dan berusaha menarik tubuh Abah yang begitu menggebu gebu memukuli wajah mang Ikin. Begitu juga dengan bi Nani berusaha melindungi mang Ikin dan dengan susah payah memisahkan mereka.
"Sudaah kang... sudaaahh... ". Teriak bi Nani histeris.
Teh Uum memeluk ku yang terdiam ketakutan. Aku tak menyangka Abah akan semarah ini dan apa yang aku takutkan selama ini kini terjadi juga dimana Aku hamil dan perbuatan ku dengan mang Ikin terbongkar di hadapan keluarga ku.
"Sudaah Abaah Sudaah..., ini semua tak akan menyelesaikan masalah... hentikan Abaah hentikan... ". Raung ibu dan dengan susah payah menarik Abah menjauh.
Dengan terhuyung mang Ikin berusaha berdiri dengan di bantu bi Nani. Wajahnya penuh memar dan darah tampak keluar dari sela bibir dan juga hidung mang Ikin.
"Aku siap bertanggung jawab Kang... dan aku akan menikahi Asih secepat nya... ". Seru mang Ikin lantang membuat kami semua kembali melongo dan terdiam dengan apa yang di ucapkan nya.
Ku lihat badan bi Nani lemas dan jatuh perlahan ke lantai dengan menangis keras. Begitu juga dengan aku , rasa pusing kembali begitu kuat ku rasakan di kepala ku dengan nafas sesak dan pandangan ku terasa kabur semakin lama semakin gelap dan aku kembali lupa segala nya saat semuanya terasa gelap dan pekat.
*****
"Bibi... ". Ucapku pelan sekali saat aku bisa membuka mata ku kembali.
"Asiih... bangun cantik... ". Jawab bibi dengan wajah sendu dan mata bengkak.
Suasana begitu hening kurasakan. Tak ku lihat lagi sosok mang Ikin , Abah , Ambu juga teh Uum di dalam kamar ku.
"Ambu kemana... ". tanyaku masih dengan suara pelan.
"Ambu kamu sudah pulang barusan... kamu makan dulu ya... biar bibi ambilkan bubur... ".
"Bi... ". Aku menarik tangannya saat ia hendak berlalu.
" Bi... asih gak mimpi kan... kalau asih... asih hamil... ". Ujar ku dengan bibir bergetar dan air mata ku tak kuasa kembali mengalir di pipi ku.
Bi Nani mendekap ku. Dan ia mulai menjelaskan semuanya dengan isak tangis.
Siang tadi saat aku mengambil emping yang tengah di jemur aku terjatuh dan tak sadarkan diri. Bibi syok dan langsung berteriak histeris begitu juga dengan mang Ikin. Cukup lama aku tak sadarkan diri hingga mereka panik dan kebingungan. Di tengah rasa cemas dan kebingungan mereka. Bi nani memanggil kedua orang tua ku. Takut terjadi apa-apa dengan ku
Saat orang tua ku dan Teh Uum sudah di rumah bi Nani pun aku belum juga sadar meski sudah di beri minyak kayu putih dan coba di bangun bangunkan membuat semua orang semakin cemas dengan keadaan ku. Sampai mang ikin pun menunda keberangkatan nya kembali ke kota.
Melihat kondisi ku yang semakin lemah mang ikin memanggil bidan untuk memeriksa kondisi kesehatan ku. Dan dari ibu bidan lah di ketahui kalau dalam rahim ku tengah tumbuh calon bayi membuat semua orang syok dan tak percaya.
" Terus Abah bagaimana bi... ". tanyaku masih merasa ketakutan dengan kemarahan Abah.
" Abah kamu sudah mulai menerima... itu urusan bibi dan Amang... kamu jangan banyak pikiran dulu... biar kamu cepat kembali sehat kasihan calon bayi kamu..., ". Ucap bibi mengelus perut ku.
" Ya sudah... bibi ambilkan bubur dulu... ". Ia kembali beranjak keluar kamar.
Tak lama mang Ikin yang masuk ke dalam kamar dan duduk di sisi ku membuat ku bingung dan salah tingkah.
" Kamu tak perlu takut... Amang siap tanggung jawab dan akan menikahi kamu Sih... ". Ucap nya lembut menggenggam erat tangan ku.
Aku merasa salut pada mang Ikin dia mau mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Namun ada hal yang membuat ku ragu dan bingung. Benarkah janin ini adalah janin dari benih mang Ikin. Lalu bagaimana kalau ini bukanlah anak mang ikin tetapi ini justru adalah bayi dari benih kang Arif. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Karena aku masih tak yakin ini adalah bayi mang Ikin. Bukankah mang ikin itu mandul ???.
" Duuuh gustii... kenapa hidupku selalu penuh dengan keraguan dan kebingungan... ". Jerit hatiku.
Mang ikin merangkul pundak ku dan mendaratkan bibirnya di kening ku membuat ku merasa terharu hingga aku pun memeluk tubuh nya erat. Aku bersyukur mang ikin mau bertanggung jawab dengan kehamilan ku. Apa jadi nya jika mang ikin tak mengakui ini adalah anak nya.
" Eeheeem..., ". Sebuah deheman membuat ku buru buru melepaskan pelukan dan merasa malu sekaligus tak enak hati melihat bibi berdiri di pintu dengan semangkok bubur di tangannya.
Mang ikin pun kembali keluar kamar dan dengan penuh kasih bibi menyuapi ku. Aku benar benar merasa begitu berdosa terhadap bi Nani. Wanita yang telah merawat dan membesarkan ku dengan penuh kasih Akung tak ubah nya anak sendiri. Justru aku khianati dan aku cabik cabik hati nya hanya karena nafsu yang membutakan hati dan pikiran ku. Dan tak lama lagi aku akan menjadi madu bibi ku sendiri. Benar benar kejam takdir ku ini.
" Bi... maafin Asih... ". Ucapku lirih dan pedih.
Bi Nani hanya tersenyum berusaha menyembunyikan kesedihan dan kekecewaan nya.
Ibarat pepatah nasi sudah menjadi bubur. Itu juga yang terjadi padaku dan juga keluargaku. Abah yang semula begitu marah perlahan mulai melunak dan menerima kenyataan dengan merelakan aku di persunting oleh mang Ikin untuk menjadi istri kedua sekaligus menjadi madu adik ipar nya sendiri. Daripada aku hamil tak bersuami lebih baik aku di nikahi adik ipar nya sendiri.
Bi Nani tak berubah sedikitpun perhatian nya terhadapku. Meski aku tahu hati nya tengah begitu terluka akibat perbuatan ku dan suami nya. Berita kehamilan ku dengan cepat menyebar ke seantero kampung membuat ku menjadi gunjingan warga meski di depan ku mereka hanya berani bisik bisik saja membuat ku merasa semakin hina dan malu hingga aku lebih banyak mengurung diri di rumah dan jarang keluar rumah.
Pernikahan ku dengan mang ikin akan dilaksanakan seminggu lagi dan akan di lakukan dengan sangat sederhana sekali. Yang terpenting aku dan mang Ikin syah sebagai suami istri.
" Sudah cantik... jangan dengarkan omongan orang,,,, ". Ujar bibi saat melihatku menangis di kamar sekembali nya dari sawah mengantarkan makan siang untuk mang ikin.
Bukan omongan orang lain atau tetangga yang membuat ku menangis dan hatiku terasa pedih. Tapi tanpa bibi tahu saat aku pulang dari sawah aku tak sengaja bertemu dengan kak Burhan.
Langkah ku terhenti ketika sepeda motor berhenti mendadak di depan ku membuat ku terkesiap kaget dan semakin kaget lagi saat ku tahu yang mengendarai motor itu adalah kak Burhan.
Dengan tatapan penuh rasa marah dan kecewa kak Burhan menatap ku dengan bengis.
" kak Burhan... ". Lirih ku antara senang dan sedih.
" Tega kamu Asih... Tegaaa... ". Gertak nya turun dari motor dan mendekati ku membuat ku melangkah mundur.
" Jadi ini balasan dari kamu untuk penantianku selama empat tahun ini haaah !!!!... ". Ujarnya lagi mengguncang tubuhku dengan menahan rasa kecewa nya.
Aku tak berani melihat wajah apalagi menatap mata nya. Hanya menundukan kepala memandang tanah yang ku injak.
" Kenapa kamu lakukan semua ini pada ku asih... kenapa... aku yang dengan tulus mencintaimu dan menunggu kepastian dari mu untuk ku persunting... tapi kamu justru akan menikah dengan orang lain... kenapa kamu lakukan ini semua Asih ,, kenapaaaa !!! ". Teriak kak Burhan kencang dengan tubuh bergetar.
Sakit rasa nya hati ku bagai teriris sembilu. Dan mungkin apa yang di rasakan kak Burhan justru beribu kali lebih sakit karena orang yang dinantikan nya selama empat tahun justru akan di nikahi oleh orang lain. Ku dengar isakan dari kak Burhan. Menandakan ia tengah menahan tangis nya akibat perlakukan ku terhadap nya.
Betapa berdosa nya diri ku ini. Orang orang yang mencintai dan juga aku cintai bukan nya aku buat bahagia namun justru aku buat menangis karena aku sakiti hati mereka. Aku sakiti mereka dengan perbuatan ku. Dengan kelakuan ku.
" Jawaab Asih jawaab... kenapa kamu balas semua penantian ku dengan cara begini Asih... kamu ternyata tak sebaik yang aku pikirkan... aku pikir kamu gadis baik yang layak aku tunggu tapi..., kamu justru sebalik nya... kamu justru mengkhianati ketulusan hati ku dengan menikah sama orang lain... dan itu adalah paman mu sendiri asih... paman muuu... !!!!... ". Teriak nya lagi membuat diri ku semakin merasa bersalah dan hina di hadapan orang yang aku cintai.
Nafas kak Burhan memburu menahan nafsu amarah nya dengan terus mencengkram bahu dan mengguncankan tubuhku. Hingga membuat beberapa orang merasa heran dengan nya.
"Sudahlah kang... perempuan masih banyak... perempuan macam begini tak pantas di jadikan istri... yang ada bikin malu kampung... hamil sama paman sendiri... ". Cibir seseorang yang seperti nya daritadi melihat kami.
" Menjijikaaannn..., !!!! ". Cibir kak Burhan dan mendorong tubuhku hingga aku terjerembab ke tanah.
Orang yang tadi ikut mencibir ku bukan nya menolong aku yang jatuh tersungkur tapi justru mentertawakan ku dan ikut berlalu dengan menghilang nya kak Burhan kembali melajukan motor nya.
Hati ku terasa begitu sakit rasa nya. Bukan karena sakit karena di dorong hingga jatuh namun karena sakit dengan kata-kata terakhir dari kak Burhan.
" Menjijikan... ". kata-kata itu yang terus terngiang di kepalaku hingga aku terus menangis sepanjang jalan.
Aku memang hina dan kotor hingga kata-kata itu memang pantas buatku karena memang aku benar benar menjijikan tapi kata-kata itu tetap saja begitu menyakitkan hati ku dan terasa pedang samurai yang merobek hati dan jantungku hingga tercabik cabik.
Hari pernikahanku dengan mang Ikin sudah semakin dekat. Kini aku sudah terbiasa dengan gunjingan para tetangga dan orang orang kampung dan aku hanya memiliki dua tangan yang tak mungkin bisa untuk menutup mulut mereka aku hanya bisa menggunakan kedua tanganku untuk menutup telingaku.
Aku sudah kebal dengan hinaan dan cibiran yang merendahkan bahkan melecehkan ku. Aku berusaha sabar dan ikhlas atas buah dari perbuatan yang telah aku lakukan. Kini aku hanya fokus memikirkan persiapan pernikahan dan juga bayi yang ada dalam kandunganku.
Semenjak aku berbadan dua. Ada yang berubah dari sikap kang Arif sekembalinya dari kota. Ia terkesan menghindar dan menjauh saat bertemu denganku. Mungkinkah ia merasa bahwa dirinya lah yang seharusnya bertanggung jawab atas kehamilanku , atau justru dia merasa takut kalau aku menuntut nya untuk bertangggung jawab atas benih yang tengah aku kandung.
Seperti pagi hari tadi saat aku ke rumah Ambu untuk mengambil baju kebaya putih bekas pernikahan teh Uum dulu yang akan aku pinjam dan aku kenakan saat ijab kabul nanti. Aku bertemu dengan Kang Arif saat ia baru saja bangun tidur.
" Assalamualikum... Ambu... Teh... Teh Uum... ". Aku memanggil penghuni rumah karena merasa heran pintu tidak di kunci tapi rumah dalam keadaan kosong.
" Ai Ambu sama teh Uum kamarana kok gak ada orang... ". Pikirku celingak celinguk.
" Teh uum... Ambuu... ". Teriakku lagi namun tak jua ada jawaban.
" Siapa... ". Ujar seseorang keluar kamar saat aku hendak kembali keluar rumah.
" Kang Arif... ". Desisku.
" Asiih... ". Serunya dengan wajah terkejut saat melihatku di rumah ini.
Wajah kang Arif terlihat kusut dengan rambut gondrong nya yang terlihat acak acakan , sepertinya ia baru saja bangun tidur karena busana yang ia kenakan pun hanya sarung yang menutupi tubuh berbulu nya.
" Ambu sama Teh Uum kemana kang..., ". Tanyaku menatap nya.
" Emang pada gak ada gitu... ". Ia malah balik bertanya dan menghindari tatapanku.
" Ya kalau ada sih Asih gak akan nanya sama kang Arif atuh... ". Balasku beranjak ke arah nya.
Kang Arif salah tingkah dan mundur beberapa langkah saat aku terus berjalan ke arah kursi. Membuatku merasa heran.
" Kang Arif kenapa... kok takut begitu melihat Asih... ". Tanyaku.
" Gak... gak apa-apa... ya sudah, kamu balik saja sana kalau si Uum sama Ambu pada gak ada mah... ". Jawabnya terkesan mengusir ku membuat ku merasa tersinggung.
" Kang Arif ngusir Asih... ini kan rumah nya Abah sama Ambu Asih juga... ". Dengusku.
Kang Arif terdiam dan menatap tajam ke arahku dengan tatapan tak suka.
" Akang tidak kangen sama memek Asih... ". Godaku mengangkat kain sampingku dan menaikan satu kaki ke atas kursi hingga memek ku tersaji indah di depan nya. Aku sengaja menggodanya seperti ini.
"Gilaa kamu Asih... apa-apaan kamu... ". Ujarnya namun mata nya tak lepas dari memekku.
" Bukankah kemarin kemarin Akang yang selalu memaksa dan meminta Asih untuk melayani kang Arif kalau rumah sedang sepi... ". Ujar ku lagi dan kang Arif hanya terdiam dengan masih menatapku tajam.
" Sejak Asih hamil... sepertinya kang Arif menghindar dari Asih... kenapa kang... kang Arif takut ? ". Celetuk ku.
" Takut kenapa... ". Jawab nya sengit.
" Ya takut Asih minta tanggung jawab sama Akang... atas bayi yang sedang Asih kandung ini... ". Balasku sambil mengelus perut.
" Jangan ngaco kamu Asih... itu sudah jelas jelas bayi mang ikin... ". Bentak nya dengan mata melotot marah.
" Bukan !!!... ini bukan bayi mang ikin... tapi ini bayi akang... ". Serangku.
" Jaga mulut kamu Asih... akang cuma berapa kali saja ngentotin kamu... sementara mang ikin sudah berulang kali ngentotin kamu... ". Bentak nya lagi semakin naik pitam.
" Bukaan... ini bukan anak mang ikin... tapi sudah jelas ini anak nya akang... mang ikin itu mandul... dan sejak asih di entot akang Asih hamil...,, ". Aku semakin geram.
" Heeeh lonte... terserah kamu mau ngomong apa yang jelas aku tidak sudi ngakuin kalau itu anak dari benih Aku... ". Kang Arif mencengkram pipi dan mendorong tubuhku ke kursi.
" Akang jahaaatt... ". Teriakku merasa semakin sakit hati dan terhina dengan kata-kata nya yang menyebutku lonte. Padahal kang Arif sendiri yang memaksaku untuk melayani nya. Menyesal aku telah ikut menikmati saat di entoti nya.
" Sudaah sana pergi... dan jangan coba coba kamu ngoceh kalau ini anak Aku... atau aku hancurkan keluarga kamu dan aku tinggalkan Teteh kamu... ". Ancam nya dan mengusir ku dengan menyeret tubuh dan mendorong ku keluar rumah.
Benar benar tak punya hati kang Arif ini. Habis manis sepah di buang , aku benar benar tak menyangka kalau kang Arif ini ternyata lelaki brengsek berhati iblis yang hanya mau mereguk nikmat dari tubuhku saja. Bahkan untuk menutupi kebobrokan nya yang tak mau mengakui perbuatannya ia sampai mengancam akan meninggalkan Teh Uum. Benar benar biadab dia.
*Saatnya Akad Nikah*
"Aku terima nikah dan kawin nya Asih binti masduki dengan mas kawin seperangkat alat shalat di bayar tunaaai... ". Ucap mang ikin lantang dan tegas.
" Saaaahhh..., ". Ucap para saksi serempak membuat air mataku menetes tanpa bisa aku tahan.
Aku menangis tersedu. Entah apa yang aku tangisi. Yang pasti perasaanku begitu campur aduk. Hari ini aku sudah resmi menjadi istri sah dan istri kedua mang Ikin. Lelaki yang sudah delapan belas tahun menjaga dan merawatku. Dan aku pun mulai hari ini resmi menjadi madu untuk bi Nani , bibi ku sendiri yang tak lain adalah adik kandung Ambu.
Semua impian dan harapanku sirna sudah untuk bisa bersama dengan kak Burhan. Lenyap sudah anganku yang menginginkan bersanding dengan nya di pelaminan dan memebina rumah tangga dengan nya. Karena takdir berkata lain. Nasib memilihku untuk bersanding dengan mang Ikin dan mengharuskan ku membangun rumah tangga dengan lelaki yang telah mengoyak perawan dan masa depanku. Bukan lelaki yang aku cintai yaitu kak Burhan.
Namun aku merasa bersyukur karena mang Ikin mau bertanggung jawab atas bayi yang tengah aku kandung. Mesti aku sendiri ibu nya masih ragu benih siapa yang tumbuh di rahimku ini. Aku merasa heran dan memiliki banyak pertanyaan kenapa mang ikin begitu yakin kalau ini adalah bayi nya sememtara yang aku tahu mang ikin dan bi Nani ini mandul sehingga mereka mengangkatku sebagai anak nya.
" Assiih... sekarang kamu sudah menjadi seorang istri neng..., ". Ucap Ambu lirih dan memeluk ku penuh keharuan.
Kami saling berpelukan dan melepas tangis satu sama lain. seharusnya hari ini adalah hari yang berbahagia buat kami sekeluarga. Tapi raut duka dan kecewa tak bisa kami sembunyikan satu sama lain karena pernikahan ini bukanlah apa yang kami impikan. Pernikahan ini pernikahan yang tak pernah kami pikirkan dan harapkan.
" Bi..., Asih minta maaf sama bibi...,,,,, ". Ucapku parau dan bersimpuh di pangkuan bibi yang tampak berusaha tegar.
Sebagai sesama wanita aku bisa merasakan rasa kecewa nya hati bi Nani. Meski ia berusaha tegar dan menahan linangan air mata nya. Pasti hati nya menjerit maratan langit ngoceak maratan jagat. Menyaksikan suami yang sudah mendampingi nya selama puluhan tahun menikah lagi dengan wanita lain terlebih lagi wanita itu adalah aku keponakan nya sendiri. Pasrti bibi begitu berat menahan beban mental dan juga bathin.
Tak ada kata yang terucap dari bibirnya selain suara tangis nya yang tersedu dan mendekap tubuhku erat.
" Bibi ikhlas Asih... ikhlaas... ". Ucapnya kemudian dengan suara bergetar membuat hati ku seperti tersayat.
Dan hatiku semakin tersayat dan terasa begitu perih bak luka yang tersiram air garam saat mata ku menoleh ke pintu mushola tempat aku dan mang Ikin melaksanakan ijab kabul pernikahan. Di pintu yang terbuka lebar itu di sana ku lihat seorang lelaki berdiri dengan ringkih dan tatapan penuh marah dan kekecewaan yang begitu dalam melihat gadis yang di cintai nya telah resmi di persunting oleh orang lain.
" kak Burhan... ". Desisku dengan air mata yang semakin menganak sungai.
Kak Burhan memukul pintu melampiaskan rasa marah dan kecewa nya kemudian segera berlalu pergi membuatku ingin mengejarnya namun tanganku di tarik oleh bibi.
" Jangan Sih..., ". Ucap bibi lirih yang juga melihat kehadiran kak Burhan.
" Pernikahan macam apa ini... Duuuh Gusti... kenapa pernikahan yang seharusnya penuh kegembiraan dan kebahagiaan ini justru penuh dengan linangan air mata dari orang orang yang aku cintai... begitu kotor kah diriku ini... ". Jerit hatiku di tengah tangis yang tak kunjung reda.
*****
Tak ada pesta yang penuh suka cita menghiasi pernikahan ku. Hanya sebuah acara ijab kabul yang begitu sederhana di mushola tak jauh dari rumah ini yang menjadi saksi bisu bersatu nya aku dan mang ikin dalam ikatan suami istri yang sah. Tak ada kemewahan di hari pernikahan ku bahkan kebaya pengantin yang aku kenakan pun kebaya teh uum yang ia pinjamkan padaku bekas ia menikah dulu.
Malam belum begitu larut. Namun sudah terasa sunyi karena warga sudah berada di peraduan nya masing masing. Kini aku justru merasa canggung berada di rumah ini dengan status sebagai istri mang Ikin. Membuat ku dari sore hari terus mengurung diri di kamar.
" Siih... sudah tidur... ". Tanya mang ikin masuk ke dalam kamarku.
" Be... belum mang... ". Jawab ku gugup.
Mang ikin duduk di ranjang di sampingku.
" Malam ini Amang tidur di sini sama kamu... ". Ucapnya merangkul bahu ku. Tentu saja karena ini adalah malam pengantin kami meski aku dan mang ikin sudah melakuan hubungan suami istri sejak empat tahun lalu.
" Sekarang kita sudah sah jadi suami istri... kita tidak perlu sembunyi sembunyi lagi diri bibi kamu... dan kita tidak lagi berzinah karena kita sudah halal... ". Ujar mang ikin mengelus pundak ku dengan tangan kiri dan tangan kanan nya mengelus perutku.
" Dan sebentar lagi kita juga akan punya anak... akhirnya penantian amang selama berpuluh tahun untuk bisa menjadi seorang bapak akhirnya tercapai... Asih jaga baik baik ya Anak kita... ". Ujar mang ikin lagi tersenyum dan meremas tanganku.
Begitu bahagia nya mang ikin dengan kehamilanku. Karena ia akan menjadi seorang ayah. Lalu bagaimana jika mang ikin tahu dan benar bahwa anak ini bukanlah anak dari benih yang ia semaikan di rahim ku. Pasti mang ikin akan sangat kecewa dan dia pun bisa mengusirku dari sini membuatku merasa ketakutan.
" Amang... jangan tinggalin Asih dan bayi ini ya... ". Lirihku memeluk tubuhnya.
Mang ikin balas mendekapku. Dan entah siapa yang memulai nya kami sudah saling berpagutan dan tangan kami sudah saling mengelus dan meraba membuka malam pengantin kami. Ada getaran yang berbeda yang ku rasakan setiap tangan mang ikin menyentuh kulit tubuhku. Bukan hanya nafsu semata yang berkobar dalam aliran darahku. Tapi ada rasa kewajiban untuk melayani dan memuaskan mang ikin karena sekarang ia adalah suami ku. Ayah dari calon bayiku.
" Aaaaahhhh..., ". Lenguhku saat bibir kami terpisah.
" Uuhh... kamu cantik sekali asih... ". Puji mang ikin mengelus kulit pipi ku membuat ku tersanjung dan tersipu malu.
Mang ikin kembali mengecup lembut bibir ku. Kecupan penuh kelembutan. Malam ini kami saling mencumbu dan menggoda satu sama lain. Kami melakukan nya dengan tenang tanpa harus merasa takut ketahuan bibi dengan apa yang sedang kami lakukan karena sekarang kami sedang melaksanakan kewajiban kami sebagai suami istri.
" Oouuhhh..., amang... ". Desahku saat tangan mang ikin mempreteli pakaian ku seraya terus mencumbu ku.
Tanganku juga tak mau kalah merayap ke selangkangan mang ikin saat ku rasakan jari mang ikin mulai mengobel bukit memek ku dan jempolnya menekan dan menggosok itil ku yang sudah mencuat.
" Aaakkhhh... amanghh... ". Mata ku mendelik sayu saat jari tangannya mulai menerobos lorong memek ku yang mulai lembab karena cairan yang merembes keluar.
" Eeempphhh... oouhhh... ". Tubuhku kelojotan ketika memek ku semakin basah karena ulah tangan mang ikin yang mengobok obok lubang memek ku membuka jalan untuk di masuki kontol hitam nya.
" Aaarrhhhh... aamangghh..., ". Lolong ku panjang meremas rambut nya saat gelombang orgasmeku meledak untuk yang pertama kali nya.
Tubuh nya mengejang dengan nafas tersengal saat cairan memek ku menyemprot deras karena sudah beberapa hari ini aku tak di entoti oleh mang ikin menjelang hari pernikahan kami.
" Memek kamu sudah basah Sih...,,, ".
Mang ikin meloloskan sarung nya yang sudah merosot dan menaiki tubuhku yang baru saja mendapatkan puncak orgasme. Mulut nya kembali menyambar mulutku dan kami kembali saling berpagutan. Kedua tangannya meremasi bukit payudara ku dengan lembut dan gemas membuat nafas ku kembali memburu karena nafsu.
" Amang rojok ya memek asih... ".
Dengan bantuan kedua tangannya mang ikin membuka lebar paha ku dan tanpa kesulitan mang ikin menyodokan kontolnya ke memek ku yang sudah basah dengan cairan orgasmeku setelah sebelum nya menggesek gesek kepala kontolnya di belahan memekku membuat aliran nafsu ku kembali melonjak.
" Aaahhh... ooouhhhh... ". Desah kami bersamaan ketika tubuh kami saling menyatu untuk pertama kali nya dalam ikatan suami istri.
" Memek kamu hangat sih... nikmat... aaahhh leugit... ". Racau mang ikin mulai menggenjot ku pelan dan perlahan.
Mata nya menatapku nanar penuh api birahi. Pinggul nya bergerak maju mundur menghantarkan rasa nikmat yang semakin menjalar di seluruh tubuhku dan berkumpul di satu titik di dalam memekku.
" Aaahh... aaouhhhh... sssshhh...". Rintih ku keenakan. Tanganku membelai dada mang ikin yang gempal memberikan semangat agar ia semakin cepat mengentoti ku.
Meski sudah tak terhitung aku di entoti oleh mang ikin. Tapi persenggamaan kali ini terasa lebih nikmat ku rasakan. Karena lelaki yang kini tengah mendayung di samudera birahi denganku kini adalah suami ku yang harus aku layani dengan sepenuh hati.
" Aaahhh... yang kenceng amang genjot nya... oouhhhh yang keraas... ". Kini aku tak malu lagi untuk meminta pada nya.
" Aaahhh... asih sudah mau nyampe lagi yaah... aahh... oouhh... ". Tanya nya dengan genjotan nya yang semakin cepat seperti yang aku minta.
" Oouuhh... iyaah amang aaahh... iyaaa yang cepet manghh ,, aauhh nikmat sekali amanghh... aaarrhhhh... ". Aku melolong dengan racauan binal yang baru kali ini aku lakukan saaat badai orgasme kembali meluluh lantahkan ku.
" Oouhhh..., memek kamu makin nikmat asih kalau lagi muncrat... ouuhh kontol amang kayak di pijit aaauuhhh... ".
Tubuhku makin terlonjak lonjak karena mang ikin semakin cepat dan keras menyodok ku hingga aku yang baru saja meraih orgasme kembali meraung raung nikmat siap kembali meraih puncak orgasme.
" Aaarrhhhhh..., aamanghh... assih nyampe lagi..., aahhhh kontol amanghh... oouhhh nikmaattthh... ". Aku lepas kendali sampai sampai tak bisa mengontrol kata-kataku.
" Amanghh jugaa... auuhhh amangh jugaaa bucaatth asiihhh... aahhhh bucaatthhh aahhhh... ".
" Croott... crrottt... crroottr... ".
Semburan pejuh mang ikin yang kencang dan semburan cairan memek ku kembali bertemu menyirami pintu rahimku. Menyembur menyirami calon bayi kami. Nafas kami ngos ngosan dengan badan bersimbah keringat. Lemas dan puas rasa yang kurasakan di sekujur tubuhku.
" Uuuhh... memek kamu makin nikmat saja Sih rasa nya lagi hamil mah... ". Dengus mang ikin di sela nafas nya yang masih memburu.
Kami masih saling bertindihan dengan tubuh masih menyatu. Seakan tak mau berpisah satu sama lain. Setidak nya aku bersyukur meski tak ada pesta yang meriah di hari pernikahanku. Namun malam pengantin kami bermandikan kenikmatan yang tiada tara nya. Malam ini akan menjadi malam yang panjang karena kami akan menghabiskan malam pengantin kami dengan saling mereguk nikmat sepuas puas nya hingga kami benar benar merasa lelah.
POV BIBI NANI
LUKA BI NANI
LUKA BI NANI
" aku terima nikah dan kawin nya Asih binti Masduki dengan seperangkat alat shalat di bayar tunaai... ".
Hancur hati ku berkeping keping mendengarkan Kang Ikin suami ku dengan lantang mengucapkan ijab kabul di depan mata kepalaku sendiri.
" Saaahhh... ". Ucap para saksi serentak membuat perasaanku semakin terkoyak.
Wanita mana yang hatinya tak hancur dan bathinnya menjerit pilu menyaksikan suami yang di cintai nya menikah lagi dengan wanita lain. Terlebih wanita yang dinikahi nya adalah gadis yang selama ini di asuh dan di rawat sedari kecil.
Ku coba tegar namun airmata yang meleleh menjadi bukti bahwa ketegaranku hanya palsu. Kesedihan dan rasa kecewa tak dapat aku bohongi tengah mencabik cabik hati dan perasaanku menjadi butiran butiran airmata yang terus mengalir dari kelopak mataku.
Aku menghela nafas panjang berusaha menerima kenyataan terpahit dalam sejarah hidupku dimana aku di madu oleh orang yang sudah aku anggap anakku sendiri. Inilah kenyataan yang kini terjadi dan harus aku jalani. Karena seribu kali aku berteriak memarahi takdirpun semua hanya percuma karena semuanya telah menjadi nyata apa yang aku takutkan selama ini.
Haruskah aku membenci takdir dan memaki maki nasib yang telah membuatku merasa langit tengah runtuh mengancurkan hidup dan segala kebahagiaanku. Tentu saja itu hanya akan menambah kepedihanku karena semua yang terjadi ini tak lepas dari kesalahanku juga.
Apa yang aku takutkan selama ini akhirnya terjadi juga. Selama ini aku diam bukan berarti tak tahu apa yang di lakukan selama ini oleh Kang Ikin suami ku dan juga Asih di belakangku. Aku tahu semuanya aku tahu !!!.
Tapi aku tidak bisa berbuat banyak dan tak memiliki keberanian sama sekali untuk menghentikan kegilaan suami ku dan Asih. Karena akan menghancurkan nama baik keluarga ku juga keluarga saudaraku karena Aib besar ini. Namun kini Aib dan borok keluarga yang aku sembunyikan serapat mungkin terbongkar juga dengan kehamilan Asih.
Aku sama sekali tidak menyangka kang Ikin akan berbuat nekat dan melakukan hal gila dengan menggagahi Asih tanpa sepengetahuanku. Namun perasaan seorang istri sangatlah kuat sehingga apa yang di sembunyikan dan di tutupi nya ketahuan juga olehku.
Masih ingat subuh itu menjadi subuh paling mengerikan dalam hidupku. Dimana saat aku kembali ke rumah untuk mengambil tasbehku yang ketinggalan. Aku mendengar suara aneh namun tak asing buatku saat melintasi kamar asih yang tak jauh dari pintu belakang rumah karena pintu depan di kunci sehingga aku masuk lewat pintu belakang.
Semakin dekat dengan kamar Asih suara itu semakin jelas terdengar membuat langkahku seakan tak berpijak pada tanah karena aku tahu suara itu sebuah erangan dan juga desahan orang yang sedang bergumul dalam arena pertarungan birahi.
Ku coba atur nafasku yang tiba tiba sesak mendengar suara suara khas orang ngentot itu dan betapa terkejut nya aku serasa dunia ini kiamat saat mata ku melihat ke lubang kunci dari pintu kamar asih. Meski kecil namun mata ku cukup jeli untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam sana.
Di atas ranjang Asih ku lihat kang Ikin tengah menindh tubuh Asih dengan pinggul bergerak maju mundur dengan cepat menghantam selangkangan Asih yang terbuka lebar di bawah nya.
Dengan tubuh bersimbah keringat kang Ikin dengan penuh nafsu memompa asih yang terus merintih rintih dengan tubuh menggelinjang. Tubuhku lemas serasa tulang tulang ku di cabuti. Mata ku nanar dengan air mata yang tak bisa aku tahan lagi. Dengan hati yang hancur berkeping keping dan kaki yang terasa melayang aku berlari keluar rumah dan menangis sejadi jadi nya.
Aku benar benar tidak menyangka dengan apa yang di lihat oleh mata dan kepala ku sendiri.
" Kang Ikiiinn... ". Jeritku.
Rasanya aku masih tak percaya dengan apa yang aku lihat semuanya seperti mimpi buruk namun ini bukanlah mimpi tapi kenyataan pahit yang baru saja aku saksikan. Kenapa kang Ikin kembali tega mengkhianati ku lagi. Aku pikir kang Ikin sudah berubah tapi nyata nya ia kembali bermain serong bahkan dengan Asih anak angkat nya sendiri.
Ya... ini bukan kali pertama kang Ikin bermain serong dan selingkuh selama perkawinan kami yang sudah lebih dari dua puluh tahun. Sebelum nya kang Ikin pernah melakukan hal yang sama dengan seorang janda dari kampung tetangga beberapa tahun yang lalu saat asih masih kecil.
Aku akui kalau kang Ikin sangat ingin sekali memiliki keturunan namun apa daya sebanyak apapun spermanya masuk ke dalam rahimku tak pernah jadi karena aku mandul. Aku tak bisa memberinya keturunan sampai saat ini juga. Oleh karena itu kang Ikin bermain serong dengan seorang janda dengan dalih ingin memiliki keturunan dari benih nya sendiri bukan anak angkat. sampai akhirnya janda itu hamil dan hampir saja membuat perkawinan kami kandas.
Kang Ikin merasa senang sekali karena janda itu tengah mengandung bayi dari benihnya. Ia siap mengawini janda itu dan siap menceraian aku karena aku keukeuh tak mau di madu dan lebih memilih cerai. Namun takdir berkata lain janda itu keguguran dan akhirnya meninggal dunia karena mengalami pendarahan yang hebat.
Karena peristiwa itu membuat kang Ikin sadar dan memintaku untuk membatalkan rencana perceraian. Kang Ikin dengan sungguh sungguh dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan nya lgi dan memintaku kembali rujuk dengan nya.
Dengan berbagai macam pertimbangan akhirnya aku membatalkan niat untuk bercerai dan menerima kembali kang Ikin dengan syarat ia akan menerima aku apa adanya sebagai seorang istri meski tak bisa memberinya keturunan.
Dan kini janji itu hanya tinggal janji kang Ikin kembali mengkhianati janji nya dan kembali mengulangi perbuatannya yang salah. Bahkan apa yang ia lakukan kali ini jauh lebih menyakitkan hatiku karena ia melakukan nya dengan Asih anak angkat ku. Anak angkat kami.
Ingin rasa nya aku menghentikan semua perbuatan mereka karena aku takut peristiwa beberapa tahun lalu kembali terulang. Apa jadinya kalau Asih hamil mengandung benih kang Ikin hidupku akan benar benar kiamat.
Namun setiap kali ingin menghentikan perbuatan mereka lidahku kelu tak bisa bersuara dan nyaliku ciut dengan rasa takut nantinya perselingkuhan mereka akan di ketahui pula oleh tetangga dan juga keluarga lain nya sampai akhirnya aku terus diam meski sudah berpuluh kali aku memergoki perbuatan mereka tanpa mereka sadari.
Meski aku sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi namun aku berusaha bersikap biasa seolah aku benar benar tidak tahu. Perhatian ku tak pernah sedikitpun berubah pada Asih maupun kang Ikin meski terkadang aku tak bisa menahan rasa sakit di hatiku.
Namun aku sedikit lega karena meski sudah berulang kali Asih di entot kang Ikin tak ada tanda tanda kehamilan pada diri Asih. Membuatku selalu berharap dan memanjatkan doa jangan sampai perbuatan terlarang mereka membuahkan hasil. Terlebih saat aku tahu kalau kang Burhan terpikat dengan Asih dan ingin meminang nya untuk di jadikan istri aku sangat setuju sekali.
Bukan hanya setuju karena kang Burhan pemuda yang baik dan santun juga dari keluarga berada. Aku berharap dengan menikah nya Asih akan mengakhiri petualangan asmara terlarang dirinya dengan suamiku. Namun setiap aku membujuk nya untuk menerima lamaran kang Burhan ia selalu merasa ragu dan takut. Aku tahu apa yang menjadi keraguan dan ketakutan nya meski ia tak pernah ungkapkan pada ku ia takut dan ragu karena perawan nya sudah terkoyak.
Semua doa dan harapanku musnah sudah ketika apa yang aku takutkan benar benar terjadi. Asih hamil dari benih kang Ikin. Kiamat yang aku berusaha hindari kini benar benar terjadi dan lebih menakutkan apa yang selama ini aku bayangkan karena dengan cepat nya kedua orang tua kandung Asih tahu kalau asih Hamil dan kang ikin pun dengan lantang mengakui bahwa anak yang tengah di kandung Asih adalah bayi hasil perbuatannya dan siap bertanggung jawab dengan menikahi nya.
Kayu sudah menjadi abu dan sudah jatuh tertimpa tangga pula itulah yang terjadi padaku kini. Kesedihan dan kemalangan hidup terus merongrongku. Terkadang aku menyesali diri andai saja aku berani berteriak untuk menghentikan perbuatan terlarang mereka mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi namun tak ada guna nya menyalahkan diri sendiri dengan perbuatan kotor mereka.
" Akang tidur di kamar Asih ya nyai..., ". Ucap suamiku pelan.
Aku tak menjawab sepatah katapun karena aku tahu malam ini adalah malam pengantin mereka meski mereka sudah berpuluh kali melakukan hubungan suami istri meski tak ada ikatan perkawinan dan kini perbuatan mereka sudah menghasilkan janin di rahim Asih.
Air mataku kembali meleleh seiring rasa pedih kembali menggelayuti hati ku yang sudah tercabik cabik ini. Telinga ku sudah kebal rasa nya mendengar erangan dan desahan saat mereka ngentot namun tetap saja membuat hati ku menangis mendengar setiap desah dan erangan mereka.
Aku berdiri di depan cermin meratapi kesedihan dan luka di hatiku. Aku akui memang kalah jika di bandingkan dengan Asih yang masih muda , cantik dengan tubuh sintal namun berisi nya. Berbeda dengan aku yang sudah kepala empat , tubuh sedikit gemuk berisi dengan payudara yang tak lagi begitu kencang dan pinggul ku sudah lebar tak se semok asih.
Dan mungkin memek ku tak serapat dan se sempit memek Asih yang masih muda. Sehingga kang Ikin pun mulai jarang untuk menggauli ku. Aku kira karena sering kecapean sehingga sering langsung tidur jika malam tiba hanya sekali kali ia menyentuh dan menggauli ku.
Aku awal nya merasa sedikit merasa heran karena kang Ikin mulai jarang mengentoti ku karena ku tahu kang Ikin memiliki nafsu besar dan selalu ingin di puaskan hampir tiap hari. Aku percaya saja ketika kang Ikin selalu mengeluh capek namun ternyata itu hanya sebuah alasan belaka karena ia lebih memilih mengentoti Asih setiap subuh saat aku ke mushola untuk shalat berjamaah.
Ku coba tutup telingaku dengan kedua tangan saat samar samar mulai ku dengar desahan dari kamar Asih. Hati ku kembali tersayat dan diri ku tersiksa. Karena di balik rasa perih hatiku tak bisa ku bohongi tubuhku menginginkan hal yang sama dengan apa yang tengah di dapatkan Asih.
Aku juga masih memiliki nafsu yang cukup besar dan sering merasa terangsang hebat setiap kali aku harus memergoki mereka sedang ngentot. Tapi apalah daya kang Ikin lebih sering mengentoti Asih sedangkan memek ku lebih sering di anggurkan nya hingga setan terkutuk terus membisiki ku untuk membalas apa yang sudah kedua orang yang aku cintai lakukan di belakang ku.
Menyesal rasa nya jika aku ingat kembali kejadian itu namun di balik rasa sesal itu tak dapat aku pungkiri ada rasa puas yang aku dapatkan bukan hanya puas telah membalas perbuatan kang Ikin namun juga kepuasaan bathin yang jarang kang Ikin berikan sekarang ini. Hingga kesalahan ini terus terulang sampai sekarang ini.
Subuh itu seperti biasa aku shalat berjamaah di mushola. Namun karena banyak pesenan emping yang harus aku bereskan. Setelah beres shalat aku langsung pulang tanpa ikut ceramah subuh dulu.
Namun sekembali nya aku ke rumah seperti biasa pintu depan terkunci rapat membuat hati ku berdebar karena aku tahu pasti apa yang tengah terjadi di dalam rumah. Dengan berjalan mengendap aku menuju pintu belakang dan kali ini pintu belakang pun terkunci. Aku mendekati kamar asih bermaksud untuk meminta nya membuka pintu.
Namun aku membatalkan niatku saat aku dengan samar samar mendengar erangan dan desahan tertahan dari dalam kamar Asih membuatku penasaran untuk mencari lubang agar aku bisa mengintip ke dalam. Dengan jantung berdetak kencang aku picingkan mata ku dari lubang jendela yang tidak tertutup rapat.
Tubuhku kembali lemas dengan apa yang aku saksikan untuk yang ke sekian kali nya itu. Namun di balik rasa lemas ada desiran nafsu mulai merambat menuju otak ku. Saat mataku melihat tubuh gempal kang ikin yang sudah berkeringat bergerak aktif maju mundur dan menghentak kuat hingga tubuh asih yang berada di bawah nya terlonjak lonjak seiring genjotan kang ikin.
Memek ku mulai terasa basah dengan cairan yang mulai merembes keluar dari dalam memek ku. Badan ku panas terserang setruman birahi terlebih sudah cukup lama aku tak di gauli kang Ikin. Aaahhh tubuh gempal itu membuat memek ku semakin basah. Aku rindu tubuh kang ikin , rindu bau badannya yang jantan , rindu genjotan liar nya dan juga rindu kontolnya keluar masuk memompa memek ku hingga tak sadar tangan ku menelusup masuk ke dalam kain batikku.
"Bi Nani lagi ngapain... ". Sebuah tepukan di pundak dan suara seorang lelaki membuat ku terkesiap.
"Ja... kang Arif... ". Jawab ku gagap saat aku menoleh ke belakang.
"Bibi lagi apa di sini... dari tadi aku cari-cari... ". Bingung nya.
"Aaa... aanu rif... bi... bibi... ". Gagapku.
Arif mengernyitkan dahi dan menatap ku heran saat desahan dari dalam kamar Asih semakin jelas terdengar mirip seperti lolongan. Tanpa komando Arif langsung mengintip ke dalam dari tempat aku mengintip kaget. Ku lihat mulut nya menganga saat ia tahu apa yang terjadi di dalam.
"Mang Ikin... Asiih... ". Pekik nya melihat ku sebentar kemudian kembali mengintip.
Aku menarik tangan Arif menjauh dari kamar Asih.
"Rif... bibi mohon ini jadi rahasia kita... jangan sampai ada orang lain yang tahu... ". Ujar ku khawatir.
"Mang Ikin ngentotin si Asih... bibi malah minta buat di rahasiain... Aneh bibi mah... ". Seru Arif keheranan.
"Bibi mohon Rif... demi nama baik keluarga kita semua... jangan sampai Aib ini di ketahui orang lain Rif... ". Aku terisak memegangi tangan Arif.
Arif terdiam namun mata nya jelalatan memandangi ku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Arif akan tutup mulut... asal bibi mau turutin syarat nya... ". Seringai Arif membuat ku yang kini kebingungan.
"Syaa... syarat apa ? ".
"Hehehe... kita lakuin juga yang sedang Mang Ikin dan Asih lakuin di dalam... ". Ia tersenyum menyeringai.
"Astgahfirullah... gelo kamu rif... ". Bentak ku.
"Itu sih tererah Bi Nani saja... mau Arif bilang sama Abah dan Ambu atau Arif enak bibi juga Enak... ". kata-kata nya terdengar seperti ancaman yang menyudutkanku.
" Sudah lah Rif... kamu jangan aneh aneh... Bibi sih sudah tua... ". Ucapku akhirnya.
"Siapa bilang sudah tua... bibi bikin Arif ngaceng..., ". Dengan kurang ajar tangan kiri nya meremas susu ku sedang tangan kanan nya menarik tanganku dan di sentuhkan ke selangkangan nya yang hanya mengenakan celana kolor bola.
"Lepasin Rif... ". Tolak ku dari selangkangan nya yang terasa mulai menyembul besar.
"Ayoo bi... ". Ajak nya menarik tangan ku dan di bawa nya aku ke bekas kandang kambing yang kini di gunakan sebagai gudang tak jauh dari rumah ku.
"Rif... eling Rif... ini bibi kamu istighfar... ". Ingatku saat arif mendorong tubuhku dan memepetnya ke tumpukan padi dalam karung.
Arif mengangkat kain batik ku sebatas pinggang hingga pantatku terbuka di depan nya karena aku tak pernah memakai celana dalam seperti yang kang Ikin minta.
"Rif... istighfar Arif... ". Ingatku lagi saat Arif semakin berani menggesekan selangkangan nya yang keras ke bongkahan pantat ku.
Aku sama sekali tak berontak dengan sungguh sungguh. Entah kenapa di perlakukan tak senonoh seperti ini membuat darahku berdesir dan nafsu ku memuncak tanpa bisa aku kendalikan bahkan memek ku langsung basah dengan cairan yang mengalir deras.
"Uuuuhh besar juga ternyata pantat bibi... ". Arif meremas bongkahan pantat ku.
Aku menggigit bibir ku berusaha menahan erangan saat ku rasakan daging hangat menggesek belahan memek ku. Ku yakin itu kontol Arif yang sudah siap merojok memek ku. Arif menarik sedikit mundur pantat ku dan aku tanpa di perintah melebarkan kaki ku.
"Aaaahhhhh...,, ". desahku
Akhirnya aku terseret dalam kenikmatan ini, dengan tubuh menggelinjang saat ku rasakan daging panas (kontol) milik Arif menembus masuk memek ku hingga terasa mentok. Kontolnya menggedor ujung memek ku yang tak pernah tertembus kontol kang Ikin.
" Aaaaahhh..., Adduh Ariif... ". Aku menggigil nikmat saat kontol itu mulai menggenjot memek ku yang sudah lama tak terjamah kontol.
"Oouuhhh..., panas sekali memek bibi... ouuhh... ". Racau arif semakin cepat memaju mundurkan pinggul nya memompa ku.
"Aaahhh... plokk... aaahh... plookkk... aaahh... ". Erangan ku beradu dengan suara pantat ku yang bergoyang tertumbuk selangkangan Arif yang semakin cepat dan kasar mengentoti ku.
Aku merem melek dengan posisi menungging bertumpu pada tumpukan padi dengan kain tersingkap sebatas paha sementara bagian atas ku sudah tak karuan karena tangan Arif sudah mempreteli kancing baju bagian depan ku dan tangannya meremas dan memelintir payudara ku. Sementara hijab panjang masih menempel utuh menutupi kepala ku.
" Aaaahhh... aaduuhh ,, Ariif... aduuhhh... oouuhhh... ". Aku mengerang tak kuasa menahan nikmat saat pinggul arif memutar dan kontolnya terasa mengorek dan mengobok seluruh isi memek ku hingga tubuhku begertar bak orang tersetrum.
" Oouuhh... nikmati bi... memek bibi nikmat sekali... ". Erang arif
" Aaaahh..., Ariiff... aduuuuhh..., aaaaahhhhhhhhh... ". Aku melolong panjang saat cairan memek ku meledak dan menyemprot banyak hingga merembes di paha ku.
Tubuhku lunglai dan nafasku tersengal. Kepala ku terjatuh pada tumpukan padi tempak aku menopang. Nikmat luar biasa. Nikmat yang sudah lama tak lagi aku rasakan sejak kang ikin jarang mengentoti ku.
" Oouuuhhhh... ". Memek ku terasa hampa saat arif menarik lepas kontolnya.
Aku pikir semuanya telah berakhir namun aku salah karena arif menarik tubuhku dan membalikan tubuhku hingga kami saling berhadapan. Ku lihat wajah arif yang masih merah menahan nafsu birahi dengan beberapa bukir keringat di dahi.
Benar dugaan ku kontol arif lebih panjang dari kang Ikin namun masih besar kontol kang Ikin. Arif menyuruhku duduk di meja bekas dan bersandar kembali ke tumpukan karung padi. Aku yang masih lemas menuruti saja keingian nya. Dengan paha di bukanya lebar Arif kembali melesakan kontol panjang nya ke memek ku yang sudah sangat basah.
" Aaaahhh... memek bibi nikmat aaahh...,, angeeet bi... ". Desah nya yang langsung memompaku dengan cepat dan liar.
Aku kembali di buat mendesah desah saat arif menyusu di payudara ku dengan rakus nya. Puting ku yang sensitif di gigit nya dengan buas membuat tubuhku menggelinjang.
Sementara di bawah sana memek ku di obok obok tanpa henti hingga rasa gatal kembali menguat di memek ku.
" Aaaahhh..., aaduuh riff...,, aaahhh..., ".
Genjotan arif semakin tak beraturan membuat ku semakin tak tahan dengan ledakan orgasme yang akan aku raih kembali.
" Rriiff ,, aaah... bibi... aahhhh bibi sampee riifff..., ". Jeritku.
" Bareng bii... ariff jugaa ahhhh udah mau buu... aaahh bucaat biii... memek bibi nikmaat aaahhh..., ". Racau nya
Crot.. Crot.. Crott..
Dengan hentakan keras, Kontol arif mengeluarkan semburan panas dan banyak ku rasakan di lorong-lorong memek ku membuat tubuhku bergetar nikmat merasakan setiap semprotan nya.
Nafas kami memburu dan ngos ngosan sementara arif masih menghentakan pinggul nya meski tak sekeras tadi.
" Aaduuh..., udah rif... memek bibi ngilu... riif... ". Keluh ku dengan suara parau dan lirih.
Langit kesedihan mulai tersibak dengan awan kebahagiaan seiring terus berganti nya hari dan berputar nya sang waktu. Gunjingan para tetangga pun mulai mereda seiring dengan kenyataan yang tak bisa di sangkal lagi bahwa kini aku telah resmi menjadi sepasang suami istri dengan mang ikin yang dulu mengangkatku menjadi anak nya.
Ambu dan Teh Uum sering menyempatkan diri untuk mengunjungi ku ke sini. Dan Ambu tampak bahagia sekali karena kedua anak perempuan nya sama-sama tengah mengandung. Beda nya teh Uum tak lama lagi akan melahirkan karena sudah memasuki usia delapan bulan. Namun berbeda dengan Abah ia rupa nya masih belum bisa sepenuh nya menerima kenyataan ini. Sehingga ia sering Acuh terhadapku.
Kehamilan aku pun mulai semakin terlihat dengan membuncit nya perut ku dan berat badan pun semakin bertambah membuat ku terkadang merasa tak percaya diri dengan berat badan ku yang semakin gemuk. Namun mang ikin selalu menghiburku dengan selalu memuji kalau aku semakin semok dan seksi.
" Asih makin gemuk ya Mang... ". Keluh ku suatu malam.
" Aahh... justru Asih makin seksi kalau semok begini teh... bujur nya ( pantat nya ) juga makin bohay... makin nafsu amang mah... apalagi memek kamu makin nikmat sih... makin leugit rasa nya... ". Balas mang Ikin membuat ku tersipu malu.
Dan semakin bertambah nya usia kehamilan ku. Ada perubahan lain yang aku rasakan dalam diri ku. Yaitu gejolak nafsu ku semakin besar dan terus berkobar setiap hari nya. Bahkan aku selalu ingin di setubuhi tiap hari nya. Aku juga tak mengerti kenapa bisa seperti ini. Yang pasti selama masa kehamilan ku aku tak merasakan yang nama nya ngidam menginginkan sesuatu. Justru yang aku inginkan justru hanya ngentot setiap hari nya. Apalagi kalau melihat mang ikin hanya mengenakan sempak saja birahi ku langsung mendidih dan memek ku basah seketika.
Bahkan yang ku rasakan bukan hanya pada mang ikin saja. Pernah suatu waktu aku melewati sungai sepulang mengambil kangkung dari sawah di sungai ku lihat mang komar tengah memandikan kerbau nya hanya mengenakan sempak yang sudah lusuh sehingga hamparan jembut nya yang lebat tampak keluar membuat memek ku langsung basah dengan cairan yang terus merembes keluar.
Aku sendiri tak habis pikir kenapa aku bisa menjadi seperti ini. Mungkin kah ini bawaan bayi yang tengah aku kandung.
Untung nya mang ikin pun merasakan hal yang sama dengan ku. Mang ikin pun seperti tak pernah puas mengentoti memek ku. Setiap malam nya ia selalu mengentoti ku dua sampai tiga kali membuat ku benar benar bermandikan kenikmatan. Memang sangat luar biasa stamina mang ikin meski setiap hari nya ia harus kerja keras untuk mencari uang menfkahi kami. Tapi seperti tak kenal lelah malam nya ia sanggup melayani birahi ku yang terus meletup letup membuat ranjang kami selalu berisik hampir tiap malam nya.
" Kandungan kamu masih muda Sih... coba jangan tiap malam begituan nya... takut kandungan kamu kenapa napa... ". Goda bibi terkekeh saat kami membuat emping membuat wajah ku merah menahan malu.
Mang ikin memang lebih sering tidur di kamar ku. Dan jika ia tidur bersama bi Nani ia selalu sempatkan untuk mengentoti ku dulu. Terkadang membuatku merasa kasihan juga pada bi Nani karena sebagai seorang wanita pasti ia menginginkan hal yang sama dengan ku.
Namun sejauh ini tak ada perbedaan dari sikap bi Nani meski terkadang aku sering merasa tak enak jika mang ikin sering memeluk ku dengan mesra jika di hadapan bi Nani. Bahkan pernah suatu malam saat bi Nani pulang dari mushola aku dan mang ikin tengah duduk bercengkrama di ruang tamu. Dan tangannya dengan nakal terus mengobel memek dan memainkan itil ku. Bukan nya berhenti memainkan memek ku mang ikin terus saja dengan aksi nya hingga malah bi Nani yang merasa jengah dan buru buru masuk ke kamar.
Kejadian itu membuat ku semakin merasa tak enak hati dengan bibi namun setiap kali aku menyampaikan rasa tak enak hati ku bibi selalu menjawab tidak apa-apa dengan senyum yang ia sunggingkan dari bibirnya.
*Skip*
" Asih... kamu jangan capek capek... kasihan bayi kamu kalau kamu kecapean... ". Ucap bibi penuh perhatian saat aku membantu nya membuat emping.
" Gak apa-apa kok Bi... Asih gak merasa capek... ". Jawab ku melanjutkan apa yang sedang aku lakukan.
" Sudah kamu istirahat saja... biar bibi yang melanjutkan...". Keukeuh bibi.
Akhirnya aku mengalah dan membiarkan bibi melanjutkan membuat emping seorang diri. Aku merasa bersyukur memiliki bi Nani yang berhati malaikat ini.
" Permisi..., Teh Asih..., ". Seseorang memanggil nama ku.
" Siapa itu cantik... ". Tanya bibi menoleh ke arah ku.
Aku menggeleng dan berjalan ke depan membuka pintu.
" Eehh... mbak Tinah... ayo masuk... ". Ajak ku mempersilahkan.
" Gak usah... ini lagi bagi bagi undangan dari si Euis... ini buat Asih..., ". Ujarnya menyodorkan kertas undangan.
" Masya Allah si Euis mau nikah..., ". Ujar ku terkejut dan mbak Tinah kembali berlalu.
Aku sama sekali tidak tahu kalau Euis akan menikah padahal rumah nya tak jauh di depan ku. Apa karena aku yang lebih sering mengurung diri di rumah ya. Dan bi nani pun sama sekali tidak pernah cerita kalau Euis akan menikah.
" Euis nikah sama siapa... kok bibi gak pernah cerita ya... ". Ujar ku membuka surat undangan.
Bagai di sambar petir. Tubuhku lunglai dan lemas seketika dan mata ku berkaca kaca saat ku baca tulisan di kertas undangan itu tertera bahwa Euis akan menikah dengan kak Burhan.
" Euis... A burhan... ". Desis ku dengan tubuh merosot karena lemas.
Aku sama sekali tidak menyangka kalau Euis akan di nikahi oleh kak Burhan. Dan aku sama sekali tidak tahu. Atau kah sengaja bibi tidak memberitahu akan hal ini. Hati ku menjerit rasa nya menahan pilu karena hati ku tak bisa berbohong kalau hati ku tercipta untuk A burhan dan sampai detik ini pun rasa cinta ini masih besar untuk nya. Sehingga aku merasa sedih saat tahu Euis akan menikah dengan kak Burhan.
Dan yang lebih membuatku sakit lagi kenapa Euis yang di pilih oleh kak Burhan untuk menjadi istrinya. Kenapa bukan gadis lain yang tidak aku kenal. Karena dengan menikahi Euis itu arti nya aku akan kembali sering bertemu dengan nya karena rumah Euis tak jauh di depan ku. Apakah kak Burhan sengaja memilih Euis untuk membalas rasa sakit hati nya terhadap ku. Agar aku merasakan apa yang di rasakan nya. Betapa hancur dan kecewa nya orang yang di cintai bersanding dengan orang lain. Atau justru ini adalah karma dari apa yang telah aku berikan pada orang orang yang mencintai ku.
" Astaghfirullah... kamu kenapa Asih..., ". Pekik bibi menghambur ke arah ku yang menangis di lantai.
Aku menangis sejadi jadi nya di pelukan bibi dengan tangan meremas hancur surat undangan yang ada di genggaman tangan ku. Sehancur hati yang aku rasakan.
" Sabaar Asih... Sabaar... ikhlaskan kang Burhan... ". Ucap bibi lirih.
Kesedihan yang ku rasakan masih belum sirna meski malam tengah menggantikan siang. Bibi tak bisa berbuat banyak melihat ku terus berdiam diri meratapi kesedihan ku.
Aku menangisi nasib ku. Kenapa bahagia seakan tak pantas menghampiri ku. Baru saja awan kesedihan menjauh kini justru datang badai yang menghancurkan kembali rona rona bahagia yang hendak mendekati ku.
" Kamu sakit Sih... ". Tanya mang ikin saat melihat ku terus tiduran di kamar.
" Iya mang... Asih gak enak badan... ". Bohong ku menutupi luka hati ku. Meski aku sudah sepenuh nya menerima mang ikin sebagai suami ku tapi tetap saja hati ku tak bisa berpaling dari kak Burhan.
" Besok Amang dapat proyek bangunan lagi di kota... ". Bisik mang Ikin mengelus rambut ku.
" Berapa lama mang... ". tanyaku tak bersemangat.
" Bisa sampai sebulan... tapi seminggu sekali amang usahakan untuk pulang... ". Balas nya tiduran di sampingku.
Mang ikin memeluk tubuhku dan tangannya mengelus perut ku lembut. Perlahan tangannya merambat turun dan menelusup masuk ke dalam kain batik ku dan jari jari kasar nya terasa meraba jembut tipis ku dan semakin merayap ke bawah mengobel memek ku.
" Siihh..., ". Bisik nya dengan suara parau.
" Mang... malam ini Asih sedang tidak enak badan... ". Tolak ku saat mang ikin mulai mencumbu dan menggosok itil ku.
Malam ini aku benar benar sama sekali tidak bernafsu untuk ngentot. Nafsu ku seakan lenyap tergulung rasa sedih ku.
" Ya sudah atuh... kamu istirahat saja... ". Ucap nya dengan nada kecewa.
Tak lama mang ikin beranjak keluar kamar dan tak kembali lagi ke kamar ku. Mungkin mang ikin tidur dan ngentotin bi Nani.
******
Fajar mulai menyingsing dan mentari mulai meninggi saat aku dan bi nani melepas mang ikin yang akan kembali mencari rezeki di kota. Dia sudah di jemput oleh pak mandor dan rombongan. Entah kenapa kepergian mang Ikin kali ini terasa berat untuk ku. Hingga tak terasa aku sempat meneteskan air mata saat mang ikin mengelus perut ku yang membuncit.
" Jaga bayi kamu Sih... ". Pesan nya.
Dengan perasaan sedih aku melepas mang Ikin yang naik ke mobil dan mulai menjauh pergi saat mobil melaju perlahan meninggalkan kampung.
" Sudah dong jangan nangis gitu... kayak baru pertama saja kang Ikin ke kota... ". Tenang bibi memeluk ku.
Sejak mengetahui Euis dan kak Burhan akan menikah perasaan ku kacau tak karuan. Aku yang sudah mulai melupakan nya beberapa bulan ini kembali terus teringat dan di bayang bayangi oleh wajah kak Burhan. Terlebih dari jendela rumah sering ku intip ke arah rumah Euis yang mulai sibuk mempersiapkan acara pernikahan nya dengan kak Burhan.
******
" Bibi mau bantu bantu dulu di rumah Euis... kamu tidak usah ikut ke sana ya... kamu di rumah saja... ". Ucap bibi yang tahu pasti dengan apa yang tengah aku rasakan karena pernikahan Euis dan kak Burhan akan di laksanakan lusa.
Aku mengangguk dengan lemah dan coba tersenyum menyembunyikan luka hati ku.
" Bibi tahu apa yang saat ini kamu
rasakan... ". Ucap bibi lagi mengelus rambut dan memeluk ku.
Ya betul bibi sangat tahu pasti betapa kecewa dan sakit nya hati ku saat ini karena bibi pun pernah mengalami hal yang sama saat suami nya harus menikah dengan ku.
" mbak... mbak Nani... Asih... ". Seseorang mengagetkan kami dengan kehadiran nya yang tampak rusuh.
" Pak mandor... ada apa ? ". Tanya kami serempak dengan keheranan.
" Aaa... anu... hayu ikut aku ke rumah sakit... ". Jawab nya gagap membuat kami semakin kebingungan.
" Siapa yang sakit pak mandor... ". tanyaku dengan perasaan tak enak.
" Kang... kang ikin... kang ikin kecelakaan..., ". Jelas nya bak sambaran petir di pagi hari.
Bi nani menjerit histeris dan tubuhku terasa lunglai. Pak mandor dengan sigap menangkap tubuh kami dan meminta tolong bantuan tetangga yang kebetulan lewat.
Setelah kondisi kami stabil aku dan bi nani ikut dengan pak Mandor ke rumah sakit di kota. Sepanjang perjalanan air mata ku terus mengalir begitu juga dengan bibi. Dan aku terus berdoa agar kang ikin baik baik saja.
Dari keterangan pak mandor kang Ikin jatuh saat hendak memasang plafon untuk genteng. Tangga kayu yang tengah ia naiki tiba tiba goyah dan mang Ikin terjatuh dan langsung tak sadarkan diri. Perjalanan menuju rumah sakit terasa lama sekali ku rasakan karena sudah tak sabar ingin melihat keadaan mang Ikin.
Dengan langkah goyah dan hampir tak merasa menginjak tanah aku berlari melewati lorong rumah sakit. Tak ku pedulikan lagi dengan perut besar ku. Begitu juga dengan bi nani kami seolah tengah saling berlari agar segera bisa menemui mang Ikin.
" Asiih pelan pelan... ". Ingat pak mandor di belakang ku.
Takdir benar benar sedang mempermainkan kehidupan dan mengoyak perasaan ku. Nasib seolah tengah menertawakan kesedihan ku yang terus datang bertubi tubi. Besok lusa orang yang aku cintai akan menikahi tetangga ku. Dan hari ini suami ku mengalami musibah kecelakaan.
Ingin rasa nya aku menjerit keras dan berteriak meluapkan rasa sedih ku saat di ruangan Unit Gawat Darurat ku lihat tubuh mang Ikin tergolek tak berdaya di atas ranjang dengan baju berlumur darah.
" Amaangggg..., ". Jerit ku seraya menghambur ke tubuh mang Ikin yang tak sadarkan diri.
" Buu... tenang bu... ". Ujar seorang perawat menenangkan dan membawa ku menjauh.
" Mang ikiiinnn...,,, ". Jerit ku lagi terus meronta.
" Buu... tenang buu... dokter lagi memeriksa kondisi bapak ikin... ". Seru perawat yang masih memegangi badan ku.
Kepala mang ikin tengah di perban oleh dokter dan hidung nya pun di bantu oleh oksigen untuk pernafasan nya. Dua orang berpakaian dokter dan tiga orang perawat dengan intens memeriksa kondisi mang ikin yang benar benar lemah tak berdaya.
Beberapa alat pun di pasangkan untuk memeriksa detak jantung mang ikin. Aku masih histeris dengan apa yang aku saksikan di depan ku begitu juga dengan bi Nani begitu syok dan menangis tiada henti. Aku sama sekali tak menyangka mang Ikin yang gagah kini terbaring tak berdaya dengan berbagai macam alat medis hingga kepala ku terasa berat dan semuanya menjadi gelap.
"Siih..., Eling sih... istighfar... ". Sebuah suara terasa mengembalikan kesadaran ku.
"Bibi...,". Ucap ku lirih dan coba mengingat apa yang terjadi.
"Mang Ikin gimana bi... amang gimana... ". Aku terlonjak dan kembali histeris.
"Tenang Asih... sabaar... tenang dulu..., Kang ikin..., kaang ikin... ". Ujar bibi seakan berat memberitahu ku.
"Amang kenapa bi... kenapa... ".
Bibi memeluk ku dan tangis nya kembali pecah. Membuat ku semakin bertanya tanya dengan apa yang terjadi dengan kondisi mang ikin. Tak jauh di depan ku ku lihat pak mandor dan seorang yang tidak aku kenal berdiri mematung dengan raut wajah menampakan kesedihan. Berbagai macam pikiran buruk menghantui pikiran ku terlebih saat aku membaca sebuah tulisan di atas ruangan dimana dinding nya tempat aku bersandar di peluk bi Nani.
"Tidaaakkkkk...,, "
"Tidaakkk...,, ". Jerit ku membuat orang-orang menatapku prihatin.
"Asiih tenang cantik..., Tenang... istighfar... ". Bibi berusaha menenangkan ku di tengah isak tangis nya.
"Mang ikin koma Sih... dan sekarang sudah di pindahkan ke ruang ICU... sebaiknya kita sama-sama berdoa agar mang ikin segera sadar... ". Ucap pak Mandor bijak seraya menunjuk tulisan di atas pintu tempat mang ikin di rawat.
Dengan tubuh serasa melayang tanpa tenaga , aku berusaha bangkit dan melihat ke dalam ruangan dari balik kaca. Di dalam sana ku lihat mang Ikin masih terbaring lemah dengan berbagai macam alat medis terpasang di tubuh nya.
"Kita sama-sama berdoa ya Sih... ". Ujar bibi menggenggam tangan ku.
"Permisi... keluarga nya Bapak Ikin di panggil ke ruangan dokter... ". Seru salah seorang perawat menghampiri.
"aku sus..., ". Jawabku dan bibi serempak.
"Mari ikut aku ke ruangan dokter...,,, ". Ajak nya ramah dan tersenyum.
Aku dan bibi mengikuti langkah suster yang berjalan di depan kami. Aku terus menggenggam tangan bibi dengan perasaan tak karuan dan jantung berdebar debar.
"Semoga Kang Ikin tidak kenapa napa ya Sih... ". Ujar bibi pelan tak bisa menyembunyikan rasa cemas nya.
"Silahkan masuk bu... ". Ujar suster itu lagi masih dengan ramah nya.
Aku dan bibi setengah tergesa masuk ke ruangan yang sangat dingin dan jantung ku semakin berdetak lebih cepat.
"Keluarga nya Bapak ikin ?... ". Tanya dokter yang berusia setengah baya menyambut kami dengan senyum ramah.
"Muhun pak dokter aku istrinya... ". Jawab bibi.
"aku juga pak dokter istrinya... ". Jawab ku membuat dokter mengernyitkan dahi nya.
"Ooh... iya... iya silahkan duduk... ".
"Ada beberapa hal yang harus aku sampaikan terkait kondisi bapak Ikin setelah melalui beberapa pemeriksaan..., ". Ucap nya mulai membuka suara pada kami yang duduk di depan nya dengan perasaan tegang.
"Jadi gimana pak dokter suami aku kenapa sampai sekarang teh belum sadar juga...,,, ". Tanya bibi tak sabaran.
"Iya bu... ada beberapa hal buruk yang harus aku sampaikan... ". Jawab dokter dengan wajah serius.
"Kabar buruk apa pak dokter... ". Potong ku.
"Suami ibu berdua mengalami benturan lumayan keras di kepala nya sehingga sampai sekarang masih belum sadarkan diri... namun untung nya tidak terlalu fatal sehingga tak ada masalah dengan benturan di kepala nya mudah mudahan dalam waktu dekat suami ibu bisa segera sadar... ". Terang dokter.
" Alhamdulilah..., ". Jawab kami serempak.
"Tapi...,, ada hal buruk lain nya yang harus aku sampaikan bu... ". Ujar dokter lagi dengan wajah seperti enggan untuk menyampaikan nya.
"Aaa... Apaa itu pak dokter ? ". tanyaku tercekat.
"Tulang ekor bapak Ikin mengalami cidera yang cukup parah... dan kemungkinan... kemungkinan besar bapak ikin akan mengalami kelumpuhan... ". Jelas dokter bak halilintar yang menyambar dan menghancurkan harapan kami.
"Luum..., lumpuuh pak dokter... ". Aku dan bibi tak kuasa menahan air mata yang kembali menetes.
"Iya bu... dan kemungkinan suami ibu juga akan mengalami impotensi... ".
"Impotensi itu apa pak dokter... ". tanyaku tak begitu faham.
"Eemm... mohon maaf bu... impotensi itu... penis pak ikin mengalami disfungsi ereksi karena beberapa syaraf nya terganggu sehingga penis pak ikin nantinya tidak bisa lagi berdiri dan melakukan hubungan suami istri..., ". Terang dokter kembali.
tubuhku benar benar tersambar petir berkali kali mendengar apa yang di jelaskan oleh dokter. Aku sama sekali tak menyangka kecelakaan mang ikin begitu fatal akibat nya sampai sampai mang ikin lumpuh dan ia akan jadi peluh.
( Peluh = Impotensi ).
Pikiran ku benar benar kacau saat ini. Musibah demi musibah seakan terus membuntuti setiap langkah ku. Baru saja aku mereguk beberapa tetes manis nya kebahagian. Kini aku harus kembali menguyup pahit nya kenyataan hidup.
Aku sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan kami jika mang ikin menjadi lumpuh. Sedangkan ia adalah kepala keluarga yang menafkahi aku dan bibi. Terlebih lagi yang begitu membuat jantung ku terasa tertohok adalah bahwa mang ikin tak bisa lagi ngaceng kontolnya.
Bagaimana dengan aku yang saat sekarang ini memiliki nafsu birahi yang begitu menggebu gebu. Sementara mang ikin tak bisa lagi ngentotin aku. Dunia ku rasa nya benar benar hancur dan runtuh.
" Kamu makan dulu Sih... jangan banyak pikiran... takut kandungan kamu terganggu... kita sama-sama berdoa semoga Gusti Allah kasih keajaiban nya... semoga mang ikin bisa kembali sehat seperti sedia kala... ". Ujar bibi dengan tangan menyodorkan nasi bungkus.
" Asih gak lapar bi... ". Tolak ku.
" Dari pagi kamu belum makan... ayo makan dulu sedikit nanti kamu malah sakit... ". Bibi terus memaksa ku.
Bi Nani sudah terlihat lebih tegar di bandingkan aku yang masih terpuruk dalam lautan duka dan kesedihan.
" semuanya sudah terjadi Sih... kita harus bisa menerima dengan sabar dan ikhlas... tak ada yang bisa kita lakukan selain terus berdoa meminta kesembuhan buat mang Ikin dan semoga mang ikin segera sadar... ". Ucap bibi begitu bijak.
" Pati... Bagja... cilaka itu sudah takdir dari yang maha kuasa... ". Tambah bibi memeluk ku yang mulai kembali tersedu.
*****
Malam mulai menggeser siang dan mang ikin masih belum juga sadarkan diri membuat kami berdua masih merasa cemas. Pak mandor dan yang lain nya sudah pulang tinggal aku dan bibi saja yang kini menunggu mang ikin di rumah sakit.
" Bibi mau shalat ke mesjid dulu... kita gantian saja shalat nya ya... ". Ujar bibi yang ku balas dengan anggukan.
Aku kembali termenung seorang diri dengan perasaan cemas terus menggelayuti dan pikiran pikiran buruk terus menghantui ku. Lantunan doa terus ku panjatkan tiada henti meminta kesembuhan untuk mang ikin dan terus berdoa mang ikin segera sadar.
" Asiiih..., ". Seru Ambu setengah berteriak dengan jalan tergesa gesa menghampiri ku.
" Ambuuu...".
Aku dan Ambu saling berpelukan dengan kembali berurai air mata. Di susul pelukan teh Uum yang mendekap ku dari belakang.
" Bi Nani kemana neng... ". Tanya Ambu menyeka air mata ku.
" Lagi shalat di mesjid... ". Jawab ku lirih.
" Bagaimana keadaan nya si Ikin... ". Tanya Abah memandang ku prihatin.
" Masih belum sadar bah... ". Jawabku.
" Yang sabar ya Sih..., ". Ucap teh Uum mengelus pundak ku.
" Tadi sore ada pak Mandor ke rumah... ngabarin kalau mang Ikin kecelakaan... ". Seru ibu seakan membaca isi hati ku karena merasa kaget dan senang dengan kehadiran nya.
Abah , Ambu , Teh Uum dan juga Kang Arif datang berkunjung ke rumah sakit. Tak begitu ku hiraukan Kang Arif yang sejak datang hanya diam mematung tanpa sepatah kata pun.
" Asiih... kamu pulang saja sama Teteh kamu... biar Ambu sama Abah yang menginap di sini nemenin bi Nani... ". Ujar Abah saat jam sudah menunjukan pukul sembilan malam.
" Tapi Bah... ".
" Iyaa Sih..., kasihan sama bayi dalam kandungan kamu... kalau kamu harus nginep di sini..., nanti kamu malah sakit... ". Timpal bibi menyetujui usulan Abah.
" ayo sih kita pulang saja... nanti kamu nginep di rumah Teteh saja biar ada teman nya... ". Ajak teh Uum.
Sebenar nya aku merasa enggan untuk pulang namun karena semua orang terus memaksa ku dengan dalih merasa kasihan terhadap kandungan ku akhirnya aku tak punya pilihan lain selain mengalah demi kebaikan bayi yang ku kandung juga.
Aku , Teh Uum dan Kang Arif akhirnya pulang bersama mobil mang Baron yang di sewa Abah. Perjalanan dari rumah sakit menuju kampung lumayan juga memakan waktu sehingga hampir jam sebelas malam kami baru sampai di rumah.
" Teh... Asih pulang ke rumah saja ya... ". Ujar ku merasa tak enak harus menginap di rumah Abah terlebih ada Kang Arif.
"Kok pulang..., kan di rumah kamu gak ada siapa siapa... ". Jawab teh Uum merasa heran.
" Gak apa kok teh... sekalian nyalain listrik di rumah... ". Dalih ku.
" Sudah biarin saja rumah sih gelap juga... Asih pokok nya nginep sama teteh... ". Keukeuh nya menarik tangan ku masuk ke dalam rumah.
Akhirnya aku harus kembali mengalah dengan kemauan Teh Uum karena sejujur nya aku merasa takut juga kalau harus pulang ke rumah tengah malam begini. Tapi aku merasa tak nyaman juga kalau harus menginap di rumah Ambu karena Ada Kang Arif meski sejak dari rumah sakit juga dia sama sekali tak berbicara sepatah kata pun dengan ku bahkan terkesan acuh pada ku.
" Kamu tidur di kamar teteh saja ya... biar kang Arif tidur di ruang tamu...". Ajak teh Uum yang langsung aku tolak.
" Gak usah Teh..., gak enak atuh... Asih sih tidur di kamar ya Ambu saja... ".
" Beneran kamu mau tidur di kamar nya Ambu... ".
" Iyaa teh..., ". Jawab ku mengangguk mantap.
" Ya sudah kalau gitu... sudah malam kita istirahat... ".
Teh Uum masuk ke dalam kamar nya menyusul suami nya kang Arif yang sudah lebih dulu masuk kamar sejak tadi. Dan aku pun beranjak ke kamar Ambu. Di rumah ini hanya ada tiga kamar dimana di tempati Abah dan Ambu , Teh Uum dan Kang Arif dan satu kamar lagi oleh kedua adik laki laki ku.
Aku merebahkan diri yang terasa lelah di kasur ambu yang tipis. Aku coba pejamkan mata ku berusaha melupakan semua kejadian buruk hari ini. Dan berharap semua peristiwa buruk ini hanya lah mimpi belaka.
Aku yang baru saja memasuki alam mimpi kembali terbangun saat merasakan usapan halus di selangkangan dan paha dalam ku membuat ku terperanjat bangun.
" Ssssstttt..., jangan bersuara nanti Teteh kamu bangun... ". Tangan kiri kang Arif membekap mulut ku yang hendak berteriak.
Apa yang aku khawatirkan sejak tadi kini menjadi nyata. Aku pikir kang Arif tidak akan berbuat macam macam lagi terhadap ku karena ia bersikap acuh pada ku. Namun rupa nya itu hanya kamuflase belaka agar tak menimbulkan curiga di mata istrinya. Kamar ambu yang hanya terkunci dengan kayu kecil dapat dengan mudah di congkel oleh siapa pun. Sehingga kang Arif pun dengan mudah nya bisa masuk ke kamar ini.
Aku bergidik memandang nya yang sudah telanjang bulat dengan kontol panjang nya yang sudah setengah ngaceng.
" Jangan kang... jangan... ". Aku menggelengkan kepala ku saat kang Arif mulai menelanjangi diri ku.
" Lama tak di ewe... kamu makin semok saja Asih... " bisik nya dengan nafas memburu dan mengelus perut ku yang sudah membuncit.
" Eemmhhhhh... aaaahhh... ". Bagai tersengat aliran listrik tubuhku bergetar saat kang Arif menjilat kulit leher ku yang sensitif.
" Kangghh... jangan kangh... takut teh Uum bangun... ". Ucap ku mencegah nya namun berbanding terbalik dengan reaksi tubuhku yang semakin panas terbakar api birahi.
" Memek kamu makin temben wae sih..., ".
tubuhku menggelinjang saat ku rasakan memek ku di kobel dan itil ku di mainkan oleh tangan kang Arif. Hati ku berusaha melawan namun tubuhku justru memberikan reaksi yang lain. Nafsaku semakin memburu terbakar nafsu dan memek ku semakin becek oleh lendir yang semakin merembes deras.
Nafsu ku membuncah tanpa bisa aku kendalikan terlebih sudah beberapa hari sejak mang ikin kembali ke kota tubuhku tak ada yang menjamah sehingga meski bukan jamahan dari suami ku justru tensi birahi ku terus melonjak naik sampai ke ubun ubun dengan cumbuan dan jamahan tangan Kang Arif yang tak lain adalah suami Teteh ku.
" Aauuhhh... aaaahhh... ". Aku tak bisa menahan desahan saat rasa nikmat menjalar di bagian memek ku saat lidah kasar Kang Arif mencongkel congkel itil ku.
Dengan kedua tangan mencengkram pinggiran ranjang. Pinggul ku ikut bergerak tak tahan dengan sensasi nikmat dari jilatan lidah kang arif terlebih saat mulut nya menyedot bibir memek ku dan lidah nya melingkar dan memutar di lubang memek ku yang terus berdenyut gatal.
" Aaahhhhh..., ouuhhhhh..., ".
Tak hanya lidah dan mulut kang Arif yang bermain di memek ku tapi juga kini jari jari nya dengan lincah mengorek dan mengobok ngobok lubang ku yang semakin basah dan licin hingga aku tak ubah nya cacing tersiram garam terus kelojotan.
" Aarrrrhhhh... ". Dengan menggigit bibir untuk meredam jeritan ku dalam waktu singkat aku meraih orgasme ku.
Kang Arif tersenyum melihat ku menyemprotkan cairan yang deras dari memek ku dengan nafas terengah engah.
" Hehehe... kamu gampang sekali sengenya... ". Seru nya menggesekan kontol panjang nya di belahan memek ku yang sudah licin.
" Oouughhh... ". Rintih ku saat kontol kang Arif mulai merangsek masuk merojok memek ku.
" Aaaaahhh..., memek kamu makin legit dan menjepit sekali sekarang sih aaahh..., ". Desah nya menghentak kuat hingga kontolnya amblas tertelan memek ku menyatukan jembut kami.
" Oouhhh..., ". Kontol panjang kang arif terasa menyentuh ujung rahim ku yang tak pernah tersentuh oleh kontol mang ikin memberikan sensasi dan kenikmatan yang berbeda.
" Uuuhhh..., memek kamu benar benar makin nikmat Sih... aaaakkkhh... ". Pelan pelan kang Arif menarik kontolnya dan kembali membenamkan nya hingga mentok terus berulang ulang.
Tubuh nya menindih tubuhku dan bibir ku di pagut nya. Aku yang sudah di butakan oleh nafsu membalas pagutan nya dengan agresif dan mendekap tubuh nya. seakan lupa kalau aku justru awal nya menolak dan tak menginginkan ini kembali terjadi namun sekarang justru aku yang liar dan binal ingin di gauli.
Pompaan kang arif yang pelan dan lembut hanya menimbulkan rasa gatal yang semakin menjadi di liang memek ku. Aku menginginkan lebih. Menginginkan Genjotan yang lebih kuat dan lebih cepat seperti biasa nya. Namun entah kenapa kali ini kang arif mengentoti ku begitu pelan dan lembut sekali hingga ranjang besi pun tak begitu berisik.
" Oouuhh... kanghhh... ". Desah ku meminta lebih cepat dengan memutarkan pinggul ku.
" Aahhh... memek kamu hangat bangeett... ". Kang arif memutarkan pinggul nya membuat memek ku terasa di ulek dan di obok obok membuat mata ku mendelik.
" Aaauuhh... kaanghh... ouuhh nikmaat kaanghh... aaahh... ". Racau ku tak tahu malu. Aku benar benar lupa segala nya. Lupa siapa yang tengah mengentoti ku dan lupa dengan mang ikin suami ku yang tengah berbaring tak sadarkan diri di ruang ICU rumah sakit.
" Nikmat sih... nikmat ya di ewe kanjut akangh... aaahh... nikmat sih di rojok begini... ".
Kang Arif semakin cepat memutarkan pinggul nya dan sesekali menghentak kuat membuat tubuhku benar benar merinding di siram nikmat hingga tembok orgasme ku kembali luluh lantah.
" Aaaarrhhhhh...,,, ". tubuhku mengejang dengan mendekap kuat tubuh kang arif yang mulai berkeringat.
" Ouuhhh... kamu bucaat lagi siih... aahhh nikmat sekali siih jepitan memek kamu kalau lagi bucaaatthh..., ".
Kang arif menghentikan genjotan nya seakan meresapi kontraksi otot otot memek ku yang tengah orgasme membuat kontolnya terasa di pijat dan di hisap kuat oleh memek ku.
Kang Arif mencabut kontolnya yang basah licin karena cairan orgasme ku dan menarik ku berdiri.
" Lihat sih... kanjut akang basah sekali sama lendir memek kamu...". Tunjuk Kang Arif pada kontol panjang nya membuat ku merasa malu.
Dalam posisi berdiri kang arif memagut bibir ku dan tangannya meremasi bongkahan pantat ku yang semakin bohay dan semok.
Dengan tenaga yang masih tesisa aku membalas lumatan bibir kang Arif. Meski sudah dua kali aku orgasme namun kobaran birahi masih belum juga padam membakar tubuhku.
Kang arif mengangkat satu kaki ku ke ranjang hingga memek ku kembali terbuka dan masih dalam posisi berdiri kang arif menyodokan kembali kontolnya ke memek ku yang merekah merah.
" Oouuhhhh... ". Aku mengerang menerima sodokan kontol kang arif.
Masih dengan pelan dan lembut kang arif menggerakan maju mundur pantat nya mengentoti memek ku yang sudah kembali terasa gatal.
" Aaahh..., kaang... yang keras ". Pinta ku.
" Apa nya yang keras sih... uuuhhh...".
" Rooo... rojok nyaa kang... yang keras kayak biasa... aaaahh..., ". Pinta ku seperti kehilangan urat malu ku.
" Bayi kamu kasihan kalo di rojok keras... oouuhhh ".
" Gak apa-apa kanghh... aaahh... gataal kang... ". Racau ku lagi tak ubah nya wanita murahan haus kontol.
" Apa nya yang gataaal assih... sshhh... ".
" Mee... meeemek asih kaanghh... ".
Kang Arif menyeringai penuh kemenangan dan langsung memompa memek ku dengan cepat dan kasar hingga aku megap megap dengan genjotan nya.
" Kayak gini haah... pengen di rojook kayak gini haah... wanita binal kamu asih... aaahh... wanita nakal... ". Racau nya semakin cepat menyodok ku membuat ku tak henti merintih rintih.
Dengan cepat ia menarik kontolnya lepas dan membalikan badan ku hingga menungging. Dengan bersandar pada kasur aku menunggingkan pantat ku. Dari belakang masih dalam keadaan posisi berdiri kang arif kembali melesakan kontolnya ke lubang memek ku yang menganga merah masih mendambakan sodokan keras kontol kang arif.
" Plookk... aahh... plookkk... ahhhh... plook... plookk... plookk ".
Kang arif mengentoti ku seperti orang kesurupan namun justru ini yang aku inginkan dan akibat nya aku kembali melolong saat orgasme kembali aku raih. tubuhku mengejang kelojotan dan tak lama kang arif pun menyusul menyemprotkan benih nya di rahim ku yang sudah terisi janin dari benih nya juga.
" Aarrrhghhhh..., aarrghhhh..., ".
" Siih... Asiih..., ". Sebuah ketukan di pintu kamar membuat ku terperanjat kaget.
" Teh Uum... ". Desis ku ketakutan.
" Siih... Asiihh... kamu gak apa-apa...,, ". Tanya teh Uum dengan ketukan di pintu.
Kang Arif segera mengemasi pakaian nya dan loncat dari jendela. Aku pun segera merapikan pakaian ku.
" Siih... Asiih... kamu gak apa-apa... ". Tanya Teh Uum lagi berusaha membuka pintu.
" Ii... iyaa teh Uum... ". Jawab ku beranjak membuka pintu dengan nafas memburu.
" Tadi Teteh denger kamu kayak menjerit jerit... kamu gak apa-apa ?... ". Teh Uum terlihat cemas dan mengelus rambut ku.
" Ngg... nggak apa-apa teh... ta... tadi Asih mimpi buruk... ". Jawab ku terbata menahan rasa gugup.
" Syukur lah kalau gitu mah... kamu jangan mikir macem macem... insya Allah semuanya akan baik baik saja... kita sama-sama berdoa yang terbaik untuk mang ikin... yawdah sana tidur lagi masih malam...". Ujar Teh Uum yang ku jawab dengan anggukan dan merasa sangat bersalah pada kakak ku sendiri.
" Maafin Asih ya Teh... Asih jadi merepotkan semuanya... ". Aku memeluk erat tubuh nya.
" Iyaa Sih gak apa-apa... Teteh kebelet ni mau ke kamar mandi... Kang Arif juga gak ada di kamar... kayak nya dia ke bale bale belakang...".
" Ngapain teh di bale bale belakang...".
" Dia sih kalau ngelilir tidur... suka gak bisa tidur lagi... jadi ya kayak gitu suka nyari angin sambil ngerokok di bale bale belakang... kebiasaan yang aneh... teteh juga bingung hehehe... ". Jelas teh uum seraya berlalu ke kamar mandi.
Aku menarik nafas panjang dan menutup kembali pintu kamar. Aku merenungi apa yang baru saja terjadi. Aku merasa diri ku benar benar sangat berdosa. Membiarkan diri ku di setubuhi dan rahim ku di siram noda sperma kang arif. Aku istri yang begitu berdosa telah mengkhianati mang Ikin suami ku dan juga adik tak tahu diri telah bermain api birahi dengan kakak ipar ku sendiri.
" Duuhh Gusti... apa semua musibah yang silih berganti ini adalah karma atas semua perbuatan diri ku yang tak mampu melawan nafsu... ". Rintih Bathinku.
*****
Kokok ayam jago membangunkan tidur ku yang terasa nyenyak karena begitu kelelahan. Dengan malas aku coba melawan rasa kantuk yang masih menyerang ku. tubuhku terasa pegal dan memek ku terasa lengket karena sperma kang arif yang belum sempat aku bersihkan.
" Sih... ayo kita sarapan dulu... kata pak mandor... kalau mau ke rumah sakit nanti di anterin sama saudara nya... ". Sapa teh Uum yang sedang menyiapkan sarapan dengan tubuh yang terlihat segar dan rambut yang basah.
" Iya teh... Asih ke kamar mandi dulu... ". Jawab ku buru buru ke kamar mandi merasa tak nyaman dengan rasa lengket di memek ku.
" Kang arif kemana teh... ". tanyaku karena dari tadi tak melihat batang hidung nya.
" Sudah berangkat ke rumah nya juragan karta... kan hari ini seserahan dan nikahan nya Burhan Sih... ". Jawab teh Uum hati hati.
Seketika hati ku kembali terasa hancur berkeping keping. Dan nyawa ku terasa terenggut membuat ku lemas.
" Teh... Asih mau ke rumah dulu mau ngambil baju ganti buat ni nani... ". Aku coba mengalihkan pembicaraan tak mau membahas lebih jauh tentang pernikahan kak Burhan yang hanya membuat hati ku akan semakin hancur.
" Apa gak sebaik nya pinjem baju Ambu saja... ". Saran teh Uum tak tega kalau aku ke rumah dan melihat ijab kabul kak Burhan dan Euis yang mungkin tinggal beberapa jam lagi.
" Sekalian Asih juga mau ganti baju Teh..., ".
" Taaapi Sih... ". Larang teh Uum lagi.
" Asih gak apa-apa kok teh... ". Ujar ku dengan suara tercekat dan sekuat tenaga menahan air mata agar tak menetes.
" Ya sudah, teteh temenin ya... ".
Selesai sarapan tanpa selera sama sekali , karena apa yang aku makan sangat terasa hambar sekali sehambar perasaan ku saat ini. Dengan di temani teh Uum aku coba kuatkan diri ku dengan terus melangkah di atas tanah yang serasa tak aku pijak. Beberapa warga hilir mudik dengan pakaian terbagus mereka untuk menghadiri acara ijab kabul kak Burhan dan Euis.
Semakin dekat dengan rumah ku semakin berdebar jantung ku dan langkah kaki pun semakin terasa melayang dan limbung. Suara degung sunda semakin dekat semakin terdengar jelas. Alunan degung yang biasa nya terdengar merdu di telinga ku justru terasa menyanyat nyayat hati ku yang sudah hancur lebur.
Janur kuning yang melambai lambai tak jauh di depan mata ku seakan mengejek dan mentertawakan kesedihan yang tengah aku rasakan hingga kaki ini tiba tiba terasa begitu berat sekali untuk di langkahkan.
" Sebaik nya kita pulang lagi Sih... kamu pake baju teteh saja... ". Seru teh Uum khawatir dan juga prihatin.
" Gak apa-apa teh... kan sudah dekat masa harus balik lagi... ". Jawab ku pelan.
" Asih... teteh tahu apa yang sedang kamu rasakan sekarang... ini justru akan membuat hati kamu terluka... karena teteh bisa melihat dan merasakan kalau kamu masih mencintai Burhan... ". Ujarnya menyeka air mata yang tak bisa aku tahan lagi.
Namun aku coba melawan hati ku dan dengan sangat berat aku kembali langkahkan kaki ku. Namun seperti nya alam masih belum puas mencabik cabik hati ku. Tinggal beberapa langkah lagi menuju rumah. Aku berpapasan dengan iring iringan pengantin membuat langkah kaki ku berhenti seketika.
Di depan sana ku lihat kak Burhan begitu gagah dan tampan dengan busana serba putih dan di gandeng oleh kedua orang tua nya. Sorak sorai dan bunyi petasan begitu riuh menyambut kedatangan mempelai laki laki di kediaman mempelai wanita.
Suara yang begitu riuh semakin membuat hati ku tertohok dan tubuhku lemas dan limbung ke tanah.
" Assiihhh..., ". Pekik teh uum merangkul tubuhku dan tangisan ku pecah di dalam rangkulan nya.
Tengah hari aku sampai di rumah sakit tempat mang Ikin di rawat dengan di antar oleh saudara nya pak mandor dan di temani teh Uum.
" Asiih... Uum... ". Panggil Bi Nani ketika kami bertemu di lorong rumah sakit.
" Bi... bagaimana keadaan amang...". tanyaku tak sabar.
" Alhamdulilah Asih... Amang sudah sadar semalam dan dia nanyain kamu terus... ". Jawab bibi dengan wajah sumringah.
" Alhamdulilaah... ". Pekik ku dengan tangis bahagia.
" Sekarang sudah di pindahkan ke ruang perawatan sebelah sana... ". Tunjuk bibi.
Dengan berlari aku segera menuju ruangan yang di tunjukan oleh bibi ku. Di susul oleh Bi Nani dan teh uum yang jauh tertinggal di belakang karena perut besar nya.
" Amaaangg..., ".
Aku segera menghambur memeluk nya tak memperdulikan Ambu yang tengah menyuapi mang ikin.
" Asiih..., ". Lirih mang ikin membalas pelukan ku. Kami berpelukan sambil menangis satu sama lain.
" Maafin Asih Amang... ".
Di balik kesedihan terselip rasa kebahagiaan yang sudah Tuhan atur dengan semua skenario kehidupan nya. Tadi pagi hati ku begitu hancur menyaksikan pernikahan kak Burhan dan Euis. Dan sekarang Tuhan coba merekatkan kembali puing puing hati dengan siuman nya mang ikin.
Meski kami semua masih prihatin dengan kecelakaan mang ikin namun setidak nya sekarang kami punya harapan baru karena mang ikin sudah kembali sadar dan kami semua terus berharap mang ikin kembali sehat.
Semua perhatian ku aku curahkan sepenuh nya pada mang Ikin. Dengan merawat dan menajaga nya dengan sepenuh jiwa raga ku. Mungkin hanya dengan ini sedikit demi sedikit aku bisa menebus dosa dari setiap noda pengkhiatan yang aku lakukan pada nya. dan aku juga terus memberikan nya rasa semangat untuk nya saat ia begitu terpukul jiwa nya begitu mengetahui diri nya lumpuh tak bisa berjalan kembali.
Dengan telaten dan penuh perhatian aku dan bi nani saling bergantian menjaga dan merawat mang ikin selama di rumah sakit. Aku dan bibi sepakat untuk tak memberitahui dulu perihal impotensi yang kemungkinan akan di alami oleh nya karena khawatir akan membuat mang ikin semakin terguncang jiwa dan mental nya. Dan kami terus berharap dan berdoa semoga semua prediksi dokter itu salah.
Semakin hari kondisi mang Ikin semakin stabil dan setelah di rawat lebih dari seminggu mang ikin pun di perbolehkan pulang dari rumah sakit yang kami sambut dengan gembira.
" Mang... Asih suapin ya sekalian minum obat nya... ". Seru ku pada mang ikin yang kini hanya bisa berbaring di kasur.
" Bibi kamu kemana Sih... ". Tanya nya.
" Bibi lagi ke sawah mang... ". Balas ku mulai menyuapi nya.
Kini aku dan bibi harus menjadi wanita yang kuat untuk menggantikan tugas mang ikin sebagai kepala keluarga. Aku dan bi nani harus bekerja keras mencari uang untuk kebutuhan kami sehari hari juga untuk membiayai pengobatan mang ikin yang harus kontrol ke rumah sakit.
" Maafin amang sih... kini Amang hanya bisa merepotkan kalian saja...,,, ". Ucap Mang Ikin terisak.
" Huussh... jangan ngomong begitu dong mang... sebagai seorang istri sudah seharusnya aku dan bibi merawat amang... amang jangan banyak pikiran macem macem biar cepet sembuh... ".
" Amang sekarang merasa menjadi lelaki yang gagal Asih... hanya jadi benalu buat kalian... amang malu..."
" Eeeh.. si Amang jangan bilang begitu... apapun kondisi amang sekarang... amang tetap suami Asih dan Bibi... Amang tetap imam dan kepala rumah tangga di rumah ini...". Aku memeluk mang Ikin terus memberinya semangat dan rasa percaya diri.
" Tapi Amang sudah tidak bisa lagi mencari nafkah buat menghidupi kalian... ". Mang Ikin masih merasa lemah.
" Kan kita masih punya sawah... masih bisa jualan emping buat kebutuhan sehari hari kita mah... ".
" Tetap saja Sih... Amang merasa malu pada diri Amang sendiri... seharusnya Amang membahagiakan Kamu , bibi dan juga calon bayi kita... ".
" Mang.. Aahh..., nanti saja... ". Ujar ku dengan terengah dan buru-buru membawa baskom kecil kembali ke kamar mandi.
Aku menyandar di dinding kamar mandi. Dan berusaha meredam birahi yang terasa semakin menyiksa ku. Hati ku menangis merasa kasihan terhadap mang ikin. Dan juga diri ku sendiri.
Bukan nya birahi ku menghilang namun justru semakin mengamuk dalam tubuhku. Dan tak kuasa ku telusupkan tangan ku ke dalam kain yang aku kenakan. Tubuhku terasa tersengat listrik saat jari jari ku mengelus gundukan memek ku dan sebelah tangan ku lagi meremas payudara ku.
" Aaaoocccuhh...,,, ". Aku mendesah saat coba ku tusuk memekku dua jari ku hingga aku merinding nikmat.
" Aaaauughhh... sssshh... ".
Semakin aku mainkan jari-jari di memekku, semakin nikmat menyerang sendi sendi di tubuhku. Dengan kombinasi pelintiran dan remasan di susu ku serta kocokan oleh jari di memek ku. Aku terus mendesah dan mengerang mendaki puncak kenikmatan dengan permainan tangan ku sendiri.
" Aaauuhh... ssshhh... aaoocchh ". Semakin cepat kocokan jari ku semakin nikmat dan gatal di dalam memek ku.
Kini tiga jari ku yang ku masukan dan terus mengocok memek ku hingga tubuh aku mengejang dan mulut ku mengerang panjang melampiaskan amukan birahi ku.
" Kasihan sekali kamu Asih... ". Ujar sepasang mata yang tengah mengawasi perbuatan masturbasi yang tengah di lakukan oleh Asih.
" Bi Nani... ". Pekik ku kaget ketika membuka pintu belakang hendak menjemur handuk bekas mengelap tubuh mang Ikin.
" Asih... kamu kenapa kok kaget gitu lihat bibi... ". Tanya bibi keheranan.
" Eehh... Engg... Enggak apa-apa bi... itu bawa apa... ". tanyaku mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk pada sesuatu yang di bungkus daun sekalig.
" Ini kangkung tadi di kasih sama bu Haji... lumayan buat lauk kita makan nanti sore... ". Jawab bibi seraya masuk ke dalam rumah.
Aku masih merasa terkejut dengan kehadiran bibi yang sudah berada di belakang rumah. Aku takut kalau bibi memergoki apa yang tadi aku lakukan di kamar mandi. Terlebih lagi kamar mandi hanya terbuat dari bilik bambu sehingga jika ada orang iseng dengan mudah nya bisa mengintip ke dalam kamar mandi.
" Sih... Amang kamu sudah minum obat... ". Seru bibi membuat ku menoleh ke arah nya.
" Suu... sudah bi... sekarang lagi tidur... ". Jawab ku melempar senyum pada bibi.
" Sih... kamu simpan uang ini buat biaya kontrol Amang ke rumah sakit minggu depan... ". Bibi menyerahkan uang lumayan banyak pada ku.
" Bibi dapat uang ini darimana ? ". tanyaku bingung karena bibi mendapatkan uang sebanyak ini.
" Bibi... Bibi pinjam dari pak mandor... ". Jawab nya dengan suara pelan.
" Ya Allah Bi... terus nanti kita balikin uang nya bagaimana... ".
" Sudah... kamu tidak usah khawatir... Bibi sudah bilang sama pak mandor nya kita balikin uang nya setelah panen padi... mudah mudahan hasil panen kita bagus... ". Jawa bibi tersenyum kecut.
Aku menerima uang dari bibi dengan berat hati dan merasa tak yakin hasil panen akan cukup untuk membayar semua hutang pada pak mandor karena padi yang kami tanam tak seberapa banyak , sedangkan kebutuhan kami sehari hari pun mengandalkan dari beras yang kami jual atau dari hasil membuat emping jika ada pesanan.
Musibah kecelakaan yang menimpa mang ikin membuat kami benar benar harus membanting tulang untuk memcari uang demi memenuhi kebutuhan hidup kami sehari hari sampai sampai bibi harus meminjam uang kesana kemari membuat ku merasa kasihan dan prihatin pada bibi.
Kehidupan kami yang semakin susah membuat ku merasa sangat tersiksa lahir bathin. Sehingga semakin hari tubuhku rasa nya semakin kurus saja sedangkan perut ku semakin besar persis seperti orang busung lapar.
Namun berbeda dengan bibi. Bibi seperti tidak ada beban dalam hidup nya. Raut wajah nya tak menampakan beban apapun. Mungkin kah karena bibi sudah terbiasa sehingga dengan keadaan mang ikin sekarang membuat nya merasa tak terbebani termasuk menanggung beban birahi. Karena sebelum nya pun bibi jarang sekali di sentuh dan di jamah oleh mang ikin.
Tapi tidak dengan ku. Keadaan mang ikin sekarang benar benar mengubah hidup ku tiga ratus enam puluh derajat. Hidup ku benar benar nelangsa lahir bathin. Untuk memenuhi kebutuhan lahiriah ku mungkin aku masih bisa mencari semampu ku bersama-sama dengan bibi. Tapi untuk memenuhi kebutuhan bathin dan biologis ku aku tak tahu harus bagaimana benar benar membuat ku tersiksa.
Aku merasa tak puas hanya dengan permainan tangan ku sendiri sedangkan nafsu ku semakin hari semakin besar tak bisa aku tahan. Benar benar membuat ku merasa sangat tersiksa sekali dengan beban birahi yang ku tanggung ini.
Pernah terpikir untuk mencari lelaki lain untuk memuaskan dahaga birahi ku yang benar benar haus untuk merasakan entotan di memek ku yang sudah lama kering kerontang. Namun aku tak mau hidup ku semakin hancur dan nama baik ku juga keluarga ku semakin hancur nanti nya. Sementara kang Arif sendiri sudah lama tak pernah aku bertemu dengan nya hanya dari cerita teh Uum kalau Kang Arif sudah cukup lama tak pulang kampung karena kesibukan pekerjaan nya di kota.
Mang ikin sendiri seperti nya mulai menyadari kalau ia tak bisa lagi ngaceng sehingga akhir akhir ini sering terlihat murung dan sedih membuat ku merasa sedih dan kasihan terhadap nya. Aku merasa semua kebahagiaan hidup kami sudah benar benar terampas.
*****
" Mang... Asih mau nganterin emping pesenan nya bu haji dulu ya... ". Pamit ku pada mang ikin yang tengah duduk di teras rumah.
" Iyaa sok..., ". Jawab ku singkat.
Aku menyalami tangannya dan sempat mengecup pipi mang ikin yang semakin kurus sebelum berangkat. Tak ku hiraukan rasa berat di tangan ku dari emping yang tengah aku jinjing. tubuhkurus ku dengan langkah penuh semangat terus melangkahkan kaki menuju rumah bu Haji.
" Teh Asih mau kemana..., ". Sebuah suara membuat ku memelankan langkah.
" Eeeh Euis..., ini mau nganterin emping ke bu Haji... ". Jawab ku menahan rasa sesak yang tiba tiba memenuhi rongga dada ku.
Bagaimana tidak di depan ku ada Euis yang tengah menggandeng mesra tangan kak Burhan. Dan seperti biasa kak Burhan selalu membuang muka setiap kali aku bertemu dengan nya membuat hati ku semakin teriris dan merasa bersalah terhadap nya.
" Jangan bawa yang berat berat teh Asih... kasihan dede bayi nya... sudah berapa bulan sekarang ? ". Tanya Euis selalu ramah.
" Sudah mau tujuh bulan... ". Jawab ku menundukan kepala ku.
" Syukur lah Teh... sing sehat sehat ya... ini Euis juga mau ke ibu bidan... sudah telat tiga minggu teh... semoga saja udah ngisi... ". Balas Euis sumringah seraya mengelus perut datar nya.
Suara lembut Euis terdengar seperti sambaran petir buat ku. Entah kenapa hati ku semakin terasa sakit dan perih rasa nya mendengar Euis sudah telat datang bulan dan kemungkinan tengah mengandung janin dari benih kak Burhan suami nya.
" Ya sudah Teh... Euis duluan ya... ayo kak..., ". Pamit nya pada ku dan mengamit tangan kak Burhan semakin erat.
Kak Burhan kembali membuang wajah nya seperti merasa jijik melihat ku tanpa sepatah kata pun yang ia ucapkan. Aku masih berdiam diri mematung memandang Euis dan kak Burhan yang berjalan menjauh dari ku. Ini bukan kali pertama aku melihat kemesraan Euis dan kak Burhan namun tetap saja terasa menyakitkan hati ku. Terlebih melihat penampilan Euis sekarang.
Sejak menjadi istri kak Burhan Euis semakin terlihat cantik dan menawan dengan pakaian bagus yang senantiasa membalut tubuh nya. Perhiasan emas yang di kenakan nya membuat nya semakin terlihat anggun dan menjadi tanda status sosial nya. Terkadang aku merasa iri dan merutuki nasib buruk ku.
Andai saja aku yang menjadi istrinya kak Burhan mungkin sekarang hidup ku sudah enak dan bahagia seperti yang di rasakan Euis sekarang. Sementara keadaan ku sekarang ibarat langit dan bumi dengan nya. Pakaian yang aku kenakan sudah usang dan lebih pantas menjadi serbet sudah sangat tidak layak pakai. Tapi mau bagaimana lagi karena hanya pakaian seperti ini yang aku miliki. Hidup ku yang begitu susah Jangan kan untuk membeli pakaian bagus dan perhiasan mewah. Untuk makan dan membeli obat mang ikin saja aku dan bi nani harus pinjam uang kesana kemari.
" Menyedihkan sekali memang Asih jalan hidup mu... ". Ungkap hati ku hingga tak terasa air mata ku mengalir.
*****
Rasa sedih ku sedikit terobati saat bu Haji yang memang terkenal sangat dermawan ini memberiku uang lebih membayar upah pada ku membuat ku terharu dan beberapa kali mengucap rasa terima kasih pada nya.
Panas mentari belum terasa terik menyengat tubuh membuat ku sepulang dari bu haji memutuskan untuk ke sawah sebentar menemui bibi sekalian memetik kangkung dan daun singkong untuk lalab dan sayur untuk makan nanti siang.
" Neng... Neng Asih... mau kemana..., ". Tanya Mang Kosim saat berpapasan dengan ku di jalan.
" Eeh Mang Kosim... ini mau ke sawah... ". Jawab ku melempar senyum.
" Mumpung ketemu ya neng Asih... ada yang mau aku omongin... ". Ujar mang Kosim dengan wajah serius.
" Mangga mang... ada apa ya ?...".
" Begini neng Asih... tolong bilangin sama bibi kamu... upah ngebajak sawah musim tandur kemaren gimana... ini sudah mau panen lagi belum di bayar juga... ". Ujar Mang Kosim membuat ku merasa malu dan tak enak hati dengan nya.
" Ooh iya mang... punten sekali ya... Asih gak tahu... nanti Asih bilangin sama bibi... ". Balas ku.
" Iya Neng Asih... tolong ya... aku lagi butuh uang... Anak aku yang kecil lagi sakit... istri belum juga ngirim uang... ". Keluh nya.
" Mu... muhun mang... punten sekali ya... ". Balas ku semakin tak enak hati pada nya.
Mang kosim ini memang biasa ngebajak sawah dengan kerbau nya jika musim tandur tiba. Usia nya tak beda jauh dengan mang ikin mungkin lebih muda satu atau dua tahun dari mang ikin dan yang aku tahu istrinya bekerja sebagai TKW di luar negeri. Dan kedua anak nya di asuh oleh mertua nya yang sudah tua dan rumah mang kosim sendiri tak begitu jauh dari rumah ku.
Sepanjang perjalanan menuju sawah aku tak enak hati dan terus kepikiran dengan apa yang di sampaikan oleh mang kosim. Aku tahu pasti bibi saat ini sama sekali tidak punya uang bahkan saat sarapan tadi pun bibi hanya dengan garam saja karena tempe hanya cukup buat ku dan mang ikin saja.
Sementara uang yang aku dapat dari upah membuat emping rencana nya mau aku belikan obat untuk mang ikin. Namun bisa saja sebenar nya aku bayarkan pada mang kosim namun akan aku tanyakan dulu sama bibi bagaimana baik nya.
Semilir angin menerpa kulit tubuhku memberikan rasa sejuk. Tanaman padi yang menguning siap di panen tampak bergoyang goyang tertiup angin. Dengan hati hati aku berjalan di atas jalan setapak menuju saung di ujung selatan. Di sana banyak tanaman kangkung dekat kolam kecil dan juga tanaman singkong yang di tanam bibi. Dan seperti nya bibi juga tengah berisitirahat di saung karena tak ku temukan ia di kotakan padi.
Dengan hati hati ku langkahkan kaki jenjang ku menuju saung karena jalan yang lumayan licin bekas hujan semalam. Semakin dekat menuju saung samar telinga ku mendengar suara bibi yang terdengar seperti tengah menahan rasa sakit.
" Aduuhhh... Aaduuhh... ".
" Bibi... ". Panik ku dan mempercepat langkah kaki karena merasa khawatir. Takut bibi kenapa napa. Semakin dekat suara rintihan kesakitan itu semakin jelas terdengar.
" Deeeggghh... ".
Mata ku melotot dan langkah ku terhenti. Dada ku terasa sesak saat ku lihat apa yang sedang terjadi pada bibi. Di atas kayu di dalam saung sana ku lihat bibi tengah mengaduh dan merintih kesakitan. Dan seseorang tengah menindih badan bibi di atas nya dengan pantat maju mundur dengan cepat.
" Aduuh... oouhhh... aduuh... oouhh... aduuhh... ". Rintih bibi tiada henti.
Posisi bibi dalam keadaan mengangkang dengan pantat terangkat. Kain batik yang ia kenakan sudah teronggok jatuh di tanah di bawah saung bertumpuk dengan celana dan sempak yang ku yakini milik lelaki yang tengah mengentoti bibi.
" Aaakkhh... aduuh... aduuh... ". Bibi menjerit saat pantat lelaki hitam itu menghentak kuat menumbuk selangkangan bibi membuat dada ku semakin sesak dan nafas ku memburu.
Entah siapa lelaki yang tengah mengentoti bi nani karena posisi mereka membelakangi aku yang sedang memergoki perbuatan mesum mereka. Lelaki itu masih ku lihat memakai kaos biru sementara bagian bawah tubuh nya telanjang.
Mata ku melotot kagum dan kaget saat lelaki itu menarik pantat nya mundur sehingga kontolnya tercabut keluar. Kontol hitam yang besar dan panjang. Bahkan jauh lebih besar dari kontol mang ikin dan kang Arif dengan beberapa butiran aneh di batang kontolnya membuat tubuhku merinding antara nafsu dan merasa aneh melihat kontol hitam yang tampak basah oleh lendir dari cairan memek bibi.
" Aaoouwww... aoouuwww... aduuuh... aduuhh... ". Jerit bibi saat memek nya tampak kesulitan menelan kontol lelaki yang masih belum aku tahu siapa orang nya.
Kaki ku terasa menginjak lem sehingga tak bisa bergerak dan terus terpaku diam di tempat dengan nafas semakin memburu melihat adegan yang semakin panas yang sedang terjadi di depan mata ku. tubuhku semakin bergetar di aliri sengatan birahi yang membuat memek ku dengan cepat terasa basah dan becek.
" Aaouuhh... memek kamu nikmat nani... sempiithh aahh... ". Desah lelaki itu dengan suara parau nya.
Suara itu tidak asing di telinga ku namun suara siapa itu. Aku masih tak begitu yakin karena suara nya parau menahan nafsu birahi yang tengah membakar tubuh nya.
Lelaki itu bangkit berdiri dan mengangkat pantat bi nani tinggi tinggi. Dengan cepat dan kasar lelaki itu mengentoti bi nani yang terus mengaduh merintih dan mengerang.
" Plookk... plookk... pllookk... ". Suara bertemu nya selangkangan mereka membuat tubuhku blingsatan menahan nafsu.
" Aaduuh... aampun pak mandor... ampun...,, aahhhh... aaoouuwww...". Jerit bi Nani lagi.
" Pak Mandor... ? Jadi lelaki yang sedang mengentoti bibi itu adalah pak mandor ? ".
" Kontol hitam yang besar, panjang dan ada butiran butiran aneh seperti biji tasbeh itu kontol milik pak mandor... ". Bathin ku merinding.
" Aaahh..., pak mandoorr... auuhhh... sampee akuu pak mandoor sampee... aahhh muncraatthh... ". Erang bibi keras seolah tak perduli ada orang yang mendengar jeritan klimaks nya.
" Oouhh... terus nani... terus semprot kanjut Aku... oouuhh enak nani memek nani makin becek dan hangat... aakhh... ". Dengus lelaki yang rupa nya itu adalah pak mandor semakin kesetanan merojok memek bi nani yang sudah licin berlendir.
" Oouhh... ampuunhh pak mandor... ampuun... sudaah pak mandor... aahh ngilu memek Aku... ". Ringis bibi.
Pak mandor menurunkan pantat bi Nani dan ia dengan cepat menindih tubuh semok bi nani. Pantat nya kembali maju mundur dengan cepat menyodok memek bi nani membuat ku yang melihat nya merasa megap megap.
" Oouuhh... nikmat nani memek kamu... nikmat... oouuhh ayoo nani bucathh lagii... aaahh ayoo bucatin lagi memek kamu... aku mau bucatthh... aaah ayoo nani bucaathh barengghh... ssshhh...,oouhhh... ".
Aku yang melihat nya saja sudah merasa ngos ngosan di entot begitu cepat dan liar bagaimana bi nani yang sedang merasakan nya langsung. Tubuh nya tampak menggelapar dan kelojotan di susul jeritan lirih dari bibirnya.
" Aaarrghhh... bucaathh nani..., aaaarrggghh... bucatthh... ". Geram pak mandor menghentak kuat dan keras saat kontol besar nya menyemburkan pejuh di rahim bi nani.
Seketika suasana hening hanya deru nafas mereka yang ngos ngosan yang terdengar di sahuti suara burung. Sedang nafas ku sendiri masih memburu dan perlahan kaki ku mulai bisa di gerakan. Perlahan aku berjalan mundur namun sial ranting pohon membuat ku terpeleset.
" Buughh... Addduuuhh... ". Pekik ku keras.
" Asiihh..., ". Pekik bibi kaget dengan wajah pucat pasi melihat ku terjatuh di luar saung.
" Assiiih... kaaa... kamuu ". Pekik nya lagi berusaha membenahi pakaian nya dengan wajah yang semakin pucat pasi begitu juga dengan pak mandor.
Aku berusaha bangun berdiri dengan mata masih menatap bagian bawah tubuh bi nani dan pak mandor yang masih polos. tubuhku bergidik melihat kontol pak mandor yang masih tampak mengacung dan basah licin dengan cairan orgasme mereka berdua yang menyatu.
*** PPOV BIBI NANI ***
" Aaakkhh... oooughh..., aaduuh... ampuun gustii... aaakkhh... ". Jerit ku histeris menerima tumbukan kontol Pak Mandor yang menggenjot memek ku dengan cepat dan kasar membuat nafas ku megap megap.
Kedua tangan ku mencengkram erat pinggiran bale bale yang terbuat dari kayu yang menjadi saksi bisu perselingkuhan dan pengkhianatan ku pada Kang Ikin suami ku yang tengah terbaring lumpuh di rumah. Mata ku mendelik dan membeliak menyisakan putih nya saja setiap kali pintu rahim ku terasa di gedor gedor oleh kepala kontol pak mandor yang membonggol.
Jeritan dan lenguhan keras yang terus di nyanyikan oleh bibir ku membuat ku lupa diri sedang berada dimana aku sekarang dan bersama siapa aku sedang berpacu bertarung nafsu. Suara jeritan dan desahan yang tak bisa aku kontrol bisa saja di dengar oleh orang lain yang kebetulan melintas dekat sawah ku namun kenikmatan yang tengah menyerang ku membuat ku lupa segala nya.
" Aaahh... nikmat Nani... nikmat sekali memek kamu... ". Racau pak mandor berulang kali semakin mempercepat genjotan nya sehingga aku semakin terlempar ke awang awang melupakan semua dosa dari apa yang tengah aku lakukan.
" Aaarrgghh... ampuun pakhh... aduuh... Aarrghhh... ". Aku mengejang untuk yang ke sekian kali nya.
Cairan kembali menyemprot deras dari dalam memek ku menyiram kontol pak mandor sehingga tampak semakin licin dan berkilatan dengan lendir birahi ku dan tak ayal lagi lubang memek ku semakin becek sehingga bunyi kecipak kecipak dari tumbukan kontol pak mandor di dalam sana semakin nyaring bersahutan dengan desahan dan jeritan ku yang tiada henti.
Bak ayam di sembelih tubuhku masih kelojotan dan menggelepar menjemput orgasme ku yang ke tiga atau yang ke empat kali nya. Aaah entahlah aku tak menghitung nya yang pasti tubuhku sudah beberapa kali mengejang setiap kali puncak orgamse ku raih. Sementara pak mandor masih dengan gencar nya menggenjot memek ku yang sudah terasa ngilu.
" Aaooughh... Enakkkkhh nanii... bucaatthhh... Aarrhhhhh... ". Lolong nya keras dengan pantat di tekan kuat sehingga kontolnya terasa menancap di dasar memek ku.
Semburan demi semburan panas ku rasakan menyirami rahim ku membuat tubuhku menggelinjang. Nafas kami tersengal sengal terlebih nafas pak mandor begitu ngos ngosan dengan wajah penuh butiran keringat dan tubuh nya yang besar ambruk menindih tubuhku.
tubuhku lunglai tak bertenaga karena seluruh tenaga ku terkuras habis di arena pertempuran birahi pagi ini. Mata ku terpejam menikmati sisa sisa kenikmatan yang baru ku raih. Kenikmatan yang di berikan oleh lelaki yang bukan suami ku.
" Plooopphhh... ".
Terdengar bunyi seperti penutup botol yang di buka saat pak mandor menarik lepas kontolnya dari dalam memek ku dan ia ikut rebah di samping ku. Sehingga sperma kentalnya ikut mengalir keluar membasahi paha hingga menetes ke atas kayu. Namun tubuhku masih terlalu lemas untuk membersihkan noda noda perselingkuhan itu. Aku masih memejamkan mata mengumpulkan kembali sisa sisa tenaga ku.
Baru kali ini aku benar benar di buat merasa kepayahan. Bersama suami ku dan Arif aku masih sanggup mengimbangi nya. Namun dengan pak mandor aku mengaku keok dan menyerah. Stamina nya benar benar sangat luar biasa perkasa.
Meski tak banyak posisi ngentot yang aneh aneh seperti yang Arif ajarkan kepada ku , hanya posisi biasa dimana aku mengangkang lebar dan pak mandor menindih tubuhku dari atas seperti yang sering aku lakukan dengan suami ku namun genjotan , sodokan dan tumbukan kontolnya yang penuh variasi membuat ku harus mengakui kalau pak mandor seorang yang jago ngentot.
Bukan hanya ukuran kontolnya yang sedikit lebih besar dan panjang dari kontol suami ku dan juga arif. Dua lelaki yang kontolnya pernah mengisi relung memek ku.
Namun kontol hitam pak mandor yang di hiasi dua butiran seperti tasbih memberikan kenikmatan yang sangat berbeda. Gerinjal butiran itu terasa mengirimkan ribuan sengatan kenikmatan sehingga dalam waktu singkat aku terus di hantam gelombang orgasme.
Ini adalah kali kedua aku di entoti pak mandor di tempat yang sama. Setelah seminggu yang lalu memek aku di garap habis habisan sampai berjalan pun terasa ngilu dan mengganjal. Kini memek ku tengah kembali di garap nya dengan tak kalah buas dan liar dari minggu lalu membuat ku lupa akan rasa nyeri setelah nya karena yang aku rasakan saat ini hanyalah kenikmatan demi kenikmatan yang tak pernah aku rasakan dari kontol suami ku maupun Arif.
Bukan mau ku sebenar nya untuk kembali mengkhianati suami ku dengan orang yang berbeda. Namun keadaan lah yang memaksa ku untuk melakukan semuanya demi melunasi hutang hutang ku pada pak mandor yang semakin bertambah nya hari dan bulan semakin bertambah nya pula hutang ku pada nya.
Keadaan kang Ikin sekarang yang hanya bisa terbaring lemah di kasur membuat ku harus memutar otak bagaimana cara nya bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kehidupan kami sehari hari di tambah biaya berobat suami ku yang tidak sedikit.
Pesenan emping yang tak sebanyak biasa nya membuat ku harus menahan rasa malu untuk meminjam uang ke sana kemari termasuk pada pak mandor. Dengan kebaikan hati nya pak mandor selalu meminjami ku uang setiap kali aku datang pada nya meminta bantuan dengan menjaminkan hasil panen ku untuk membayar nya.
Namun apalah daya hasil panen ku tak cukup untuk membayar semua hutang hutang ku. Saat pak Mandor datang ke sawah ku minggu lalu untuk menagih aku hanya bisa kembali memberikan nya janji bukan bukti. Pak Mandor terlihat kesal dan kecewa dan dari sini lah semua pengkhiatan itu terjadi.
" Gimana sih Bi Nani... kan janji nya sudah panen mau di bayar... ". Keluh pak mandor kecewa.
"Maaf sekali pak... Bagimana lagi pak, panen sekarang cuma sedikit... dan sudah di pake berobat kang ikin... ". Jawab ku dengan wajah memelas berharap pak mandor masih memberikan kebijakan.
Pak mandor membuang rokok nya dan duduk di atas bale bale dengan wajah mendengus kesal.
" Ya sudah deh, gini aja... kalau belum bisa bayar... ganti aja sama yang lain... ". Ucap nya menatap tajam.
" Gaa... ganti yang lain pake apa... kami gak punya barang berharga apa pun... ". Balas ku kebingungan.
" Ganti sama Si Asih... ". Ujar pak mandor tegas membuat ku terperanjat.
" Asih ???... mak... maksud nya gimana pak mandor... ". tanyaku mulai berpikiran buruk.
" Ganti pake memek si Asih... ".
Aku membelalak tak percaya dengan apa yang di utarakan pak mandor. Aku sama sekali tidak menyangka lelaki yang ku pikir berhati tulus dan sungguh sungguh membantu kami ternyata punya niat yang licik juga.
" aku tahu... si kang ikin sekarang impoten... ya itung-itung saling membantu lah... ". Ujar lelaki seusia suami ku dengan seringai di bibirnya.
" Astaghfirullah... Eling pak mandor... si Asih lagi hamil sekarang... ". Aku mengelengkan kepala tak percaya dengan kemauan pak mandor.
" Justru itu... aku pengen ngentotin memek yang lagi hamil... ". Jawab nya enteng.
" aku janji pak mandor... aku akan segera bayar hutang... pak mandor jangan macam macam sama Asih... ".
" aku sih gak akan macam macam cuma pengen satu macam... memek si Asih... ". Balas pak mandor dengan senyum mesum nya.
Ingin rasa nya aku marah pada lelaki yang sudah sangat kurang ajar ini. Aku sama sekali tak ikhlas jika Asih harus aku korban kan untuk membayar hutang hutang ku pada pak mandor. Lelaki bertampang malaikat namun berhati iblis ini.
Sudah cukup Asih menderita selama ini aku tak mau menambah beban penderitaan nya lagi. Aku tidak mau jika kehidupan Asih semakin hancur lagi.
" Itu sih tinggal pikirin saja... bayar uang secepat nya... aku kasih tempo tiga hari... atau ganti sama memek si Asih... ". Ucap pak mandor memberikan ku pilihan yang sangat sulit.
" Tiga hari... dari mana aku bisa mendapatkan uang yang tidak sedikit dalam waktu tiga hari... dan aku pun tak rela kalau harus mengorbankan Asih... ". Pikir ku.
" Bagaimana kalau aku ganti dengan yang lain... ". Ujar ku ketika pak mandor hendak berlalu meninggalkan ku.
" Ganti dengan apa... ". Tanya nya dengan wajah heran.
" Dengan ini... ". Tunjuk ku pada selangkangan ku.
Entah darimana aku punya keberanian dengan menawarkan memek ku sebagai ganti untuk membayar hutang dan menyelamatkan Asih. Biarlah aku mengorbankan tubuh dan juga memek ku karena aku sudah terlanjur kotor. Tubuh dan memek ku sudah di nodai oleh Arif menantu kakak ku.
Pak mandor tersenyum seakan mengejek diri ku membuat ku merasa tak punya wajah lagi di hadapan nya. Pak mandor memandangi ku dari atas hingga bawah membuat ku benar benar merasa sangat malu sekali rasa nya.
" Bukaa... ". Ucap nya tegas memberi perintah.
" Buka kain nya... ". Ujar pak mandor lagi karena aku hanya diam mematung.
tubuhku gemetar dan nafas ku tercekat. Aku menyesali kebodohan ku karena dengan gampang nya memberikan pilihan dengan menukar memek asih dengan memek ku pada srigala lapar macam pak mandor ini.
" Buruuan dong bukaa... ". Tangan pak mandor menarik kain batik ku dengan setengah memaksa.
Aku menunduk malu dengan kedua tangan menutupi gundukan memek yang langsung tersaji di depan pak mandor begitu kain batik ku di renggut nya karena aku sudah terbiasa tidak memakai celana dalam. Pak mandor tampak terkagum melihat gundukan memek ku yang di tutupi bulu yang cukup lebat.
" Naik... ". Titah nya lagi menyuruh ku naik ke atas dipan kayu.
Pak mandor mendorong tubuhku hingga aku terduduk di atas dipan kayu dan kedua tangannya menaikan kedua kaki ku ke atas dipan sehingga kini posisi ku duduk jongkok di hadapn pak mandor. Dan otomatis memek ku kini tampak terbuka belahan nya.
" Uuuhhh..., mantap... ". Seru pak mandor mengelus dan membelai memek ku dengan tangannya yang terasa kasar.
tubuhku semakin gemetar dan tak berani membuka mata ku untuk melihat apa yang sedang pak mandor lalukan pada ku. Aku terus memejamkan mata karena merasa sangat malu sekali dengan kebodohan dan kecerobohan ku karena dengan begitu gampang nya menyerahkan tubuh dan memek ku untuk membayar hutang.
" Masih bagus memek nya... ". Terdengar suara pak mandor memuji memek ku.
Pak mandor lelaki ketiga yang memuji memek ku setelah arif. Aku memang selalu menjaga memek ku dengan jamu sehingga di usia ku yang hampir kepala empat memek ku masih terlihat kencang dan belahan memek ku tidak terlalu menggelambir.
tubuhku yang semula gemetar kini berubah menggelinjang seiring elusan tangan pak mandor di memek ku hingga tubuhku goyah dan akhirnya ambruk terlentang di atas dipan kayu ini. Memek ku terasa sangat sensitif sekali terlebih ketika itil ku di tekan dan di gesek oleh jempol pak mandor sehingga semakin mencuat dan nafas ku tersengal.
" Aaahhhh..., ". Aku mendesah tanpa bisa aku tahan saat belahan memek ku terasa di sapu sesuatu yang hangat dan kasar dan kedua paha ku semakin di renggangkan oleh pak mandor.
" Aaakkhhh... ". Aku menjerit dan menggelepar saat itil ku terasa di sedot dan di kenyot.
Di perlakukan seperti ini membuat birahi ku dengan cepat terbakar. Terlebih aku sudah cukup lama tidak di entot. Terakhir memek ku di entot kontol Arif sebelum ia kembali ke kota.
" Ooughh... ssshh... aaakhh... ". Erang ku semakin keras saat memek ku di jilat dan di sedot sedemikian rupa.
Memek ku pernah di jilati sebelum nya oleh Arif namun jilatan nya tak senikmat dan se liar ini. Jilatan pak mandor benar benar membuat tubuhku menggelepar bak ikan kehabisan air.
" Aaakkhh... ". Aku tersentak saat memek ku terasa di jejali batang yang keras dan hangat.
Mata ku membuka dan di hadapan ku terlihat wajah pak mandor yang tersenyum. Bukan senyum licik seperti minggu lalu namun senyum kepuasan dengan mata sayu meresapi jepitan lubang memek ku.
" Daripada cuma di bayangin... nih aku kasih kanjut aku lagi... biar nikmat nya lebih terasa... ". Dengus nya seakan membaca pikiran ku yang tengah menerawang pada kejadian di minggu lalu.
Pak mandor melesakan seluruh kontolnya hingga mata ku membeliak dan menjerit lirih saat memek ku kembali terasa penuh. Butiran tasbeh nya terasa menggesek syaraf sensitif memek ku hingga tubuhku kembali di aliri gelombang nikmat.
" Eemmphhh... Eempphhhh... ". Aku melingkarkan kedua tangan ku di leher pak mandor dan membalas pagutan bibirnya tak kalah buas.
Kini semua rasa malu dan rasa terpaksa sirna. Justru aku merasa senang ketika tadi pagi pak mandor mendatangi ku. Wajah ku langsung memerah dan memek ku berkedut basah sehingga aku menjadi salah tingkah terbayangkan kembali kontol hitam besar nya yang berhiaskan tasbih dan genjotan liar nan perkasa nya.
" Aaakkhh... uuuhhh enak nani... aakkhh... ". Desah pak mandor saat aku ikut menggoyangkan pantat semok ku sehingga kontol pak mandor terasa mengulek dinding dinding memek ku.
" Aaauhh... aaduuhh..., ampuun... aaakhh... ". Racau ku.
Kenikmatan membuat ku lupa segala nya sehingga dengan bebas nya aku pun melantunkan desahan dan erangan. Kami saling memberi dan menerima kenikmatan tak ubah nya pasangan suami istri yang sedang menjalankan kewajiban nya sehingga kami lupa dengan keadaan sekitar dimana kami melakukan nya di gubuk sawah.
" Aaarrgghhh..., aaakkhhhhh..., ". Jeritan ku di balas dengan lolongan panjang pak mandor saat kami mencapai puncak birahi secara bersamaan.
Puncak birahi kedua untuk pak mandor pagi ini dan untuk yang kesekian kali nya bagi ku hingga aku serasa tak bertulang lagi.
" Buuggghhh... ". Suara benda jatuh membuat ku terperanjat kaget begitu juga dengan pak mandor hingga ia buru buru memcabut kontolnya yang masih terasa keras dan turun dari tubuhku.
Dan betapa terkejut nya aku saat melihat sesosok di depan saung. Benar benar membuat ku takut dan kalut melebihi melihat hantu. Di depan sana yang barusan terjatuh dan duduk di tanah adalah Asih.
" Asiiihh... ". Pekik ku kaget dan buru buru membenahi pakaian ku yang acak acakan.
Aku buru buru turun dari dipan kayu dan menarik ke bawah kain batik ku menutupi memek ku yang belepotan sperma pak mandor. Wajah ku pucat pasi tak menyangka perbuatan ku akan di pergoki orang lain dan orang yang memergoki itu adalah Asih.
" Assiih..., ". Pekik ku lagi berusaha menghampiri nya dan membantu nya berdiri namun Asih menepiskan tangan ku.
Asih buru buru bangkit berdiri dan setengah berlari ia meninggalkan ku.
" Assiihh...". Teriak ku berusaha mengejar nya namun tangan ku di tarik oleh pak mandor.
" Jangan di kejar... ". Seru pak mandor dengan wajah sama-sama kaget melihat kehadiran Asih.
Pak mandor menarik ku kembali ke dalam saung dan menyuruh ku bersikap tenang.
" Gimana dong ini... ??". Seru ku masih panik.
" Sudah tenang dulu... aku yakin si Asih tidak akan bilang bilang dengan apa yang dia lihat... ".
" Kalau Asih bilang sama kang ikin gimana...?? ". Ujar ku masih ketakutan.
" Tidak akan... aku jamin Asih tidak akan bilang kang ikin... ". Jawab pak mandor yakin membuat ku menatap nya heran.
" Waktu kang ikin ngentotin dia... dia juga gak bilang kan apa yang di lakukan suami mu pada mu ? ". Balas pak mandor menjawab keraguan ku.
" Jadi aku juga yakin Asih tidak akan menceritakan apa yang di lihat nya pada si Kang Ikin... karena aku yakin sekali Asih orang yang pinter menyembunyikan Aib... ". Jelas pak mandor membuat ku sedikit tenang.
Ada benar nya juga apa yang di katakan pak mandor , kalau Asih memang benar benar sangat pintar menyembunyikan Aib. Kalau saja dia tidak hamil pasti dia tidak akan menceritakan apa yang ia perbuat nya dengan suami ku selama ini meski sebenar nya aku juga sudah tahu apa yang mereka lakukan selama ini di belakang ku.
" Sudah tenang saja... kamu jangan panik... kamu bersikap seperti biasa saja... seolah olah tidak ada apa-apa hari ini biar suami kamu juga tidak merasa ada yang aneh... ". Ujar pak mandor lagi menarik bahu ku sehingga kepala ku bersandar di dada nya.
Aku tertegun ketika pandangan ku melihat ke bawah. Karena pak mandor rupa nya belum menaikan celana training nya sehingga kontolnya yang basah penuh lendir masih terbuka bebas. Kemungkinan Asih juga melihat kontol pak mandor ini.
" Tutupin dong pak mandor, malu tau... ". Bisik ku seraya menarik celana training nya ke atas.
" Malu kenapa... kan kamu sudah ngerasain langsung... ". Goda nya membuat ku tersipu.
Kontol pak mandor kini sudah terkulai lemas di antara hamparan jembut nya yang rimbun dan lebat namun ukuran nya tetap saja terlihat besar. Butiran butiran tasbeh itu membuat ku penasaran dan tertarik untuk memegang nya.
" Ini teh tasbeh atau apa... ". tanyaku memegang kontolnya dan meremasnya lembut.
" Hehehe... Suka ? ". Tanya nya.
" Suka... Bisa bikin memekku cepet becek... ". Jawab ku binal membuat pak mandor tertawa.
" Ayoo mandi dulu... aku mau lihat proyek ke kota... ". Ujarnya bangkit berdiri namun tangan ku masih betah memainkan biji tasbeh yang di tanam di bagian atas dan bawah batang kontolnya.
"Udah dong jangan di mainin terus nanti ngaceng lagi... bahaya.. hehehe ". Seru nya menarik tubuhku berdiri.
Kini kami saling berhadapan dan tanpa terduga pak mandor mengecup pelan kening ku membuat hati ku merasa berdesir aneh.
" Kalau kamu mau jadi istri aku mah... aku ewe tiap hari memek kamu... memek kamu nikmat sekali lubang nya dalam... kanjut aku bisa masuk semua tinggal jembut nya saja... ". Kekeh nya membuat ku tertegun.
Pak mandor menelanjangi diri nya di depan ku membuat ku terkesima. Karena meski sudah dua kali kami ngentot , kami tak sepenuh nya bugil. Pak mandor hanya memelorotkan celana nya saja dan kaos nya masih di pakai utuh tanpa di lepas nya. Di usia nya yang sudah menginjak kepala empat badan hitam nya masih terlihat gagah dengan dada cukup bidang dan perut yang rata tak buncit seperti kebanyakan lelaki seusia nya.
Kulit nya yang hitam semakin menambah kesan perkasa diri nya dengan hiasan bulu halus di dada nya. Namun lebat dan rimbun di lembah ketiak nya. Begitu juga jembut nya lebat dan hitam bak semak belukar membuat darah ku berdesir.
" Kenapa kok malah bengong... mau mandi bareng gak... ". Seru nya membuat ku tersadar.
Pak mandor mengajak ku membersihkan diri di sungai di sebelah selatan sawah ku. Di sana ada sungai yang tak seberapa besar namun air nya sangat jernih sekali.
*****
" Kang... Asih kemana ? ". tanyaku pada kang ikin yang seperti biasa hanya tergolek lemah.
" Tadi pulang bentar tapi dia keluar lagi... gak tahu mau kemana... mungkin mau ke rumah Ambu nya... ". Jawab suami ku.
Aku hanya membalas dengan senyum dan kembali ke dapur. Di sana ku lihat seikat kangkung yang masih tampak segar yang baru saja di petik asih. Dan aku pun berusaha bersikap biasa seperti saran pak mandor. Namun tetap saja aku merasa gelisah dan was was karena sejak pulang tadi aku belum bertemu Asih. Bahkan sampai lewat ashar pun Asih belum kembali juga.
" Asih kemana ya... kok jam segini belum pulang... ". tanyaku cemas dan khawatir.
POV BIBI NANI END
Kehidupan Asih S-3