Cerita Dewasa - Kecantol Tukang Sayur S-3


Mimin Sarankan baca Sesen 1 dan 2 dulu selum membaca Sesen 3..




Cerita Dewasa - Kecantol Tukang Sayur S-3
L I Y A


Part 13 : Tujuan Dan Harapan


“Memang binal kamu Dek” Ucap Mang Dedi menggeleng-geleng melihatku dengan tatapan tidak percaya.

Aku kemudian tersentak dari ilusi birahiku sendiri sambil tertunduk malu mendengar perkataan Mang Dedi. Tak kusadari di sebelah tempat ku berdiri terdapat sebuah cermin yang memperlihatkan tubuhku dalam ketelanjangan dan ekspresi yang begitu bernafsu.

“Itu aku??” tanyaku dalam hati.

Aku tiba-tiba memandang diri seperti orang yang kehilangan akal sehat. Rasanya sungguh tak percaya bagaimana aku menjadi binal dan senakal ini.

Wajahku yang tampak memerah, nafasku yang naik turun terengah, dan badanku yang mengkilat oleh keringat gairah, seolah memberitahu bahwa aku benar-benar sudah bertransformasi menjadi wanita pengejar syahwat dan birahi. Bukan yang baik-baik dan alim lagi.

Dalam keheningan tatapku ke arah cermin itu kurasakan ada semacam aliran listrik yang menggelitik badanku hingga menggigil kehilangan tenaga. Rasa malu itu pula membuatku secara reflek menutupi bagian-bagian tubuhku yang sedari tadi sudah aku pamerkan secara gratis kepada Mang Dedi.

“Kenapa ditutup??” tanya Mang Dedi menggodaku.

Aku menggeleng pelan tak berani menatapnya balik, “Gapapa” jawabku singkat menahan malu.

Dari sudut mataku, aku kemudian melihat Mang Dedi beranjak mendekat. Dia meraih telapak tanganku dan memegangnya dengan erat. Sejenak Mang Dedi menghembuskan nafas lirih seolah ingin memberitahukan sesuatu padaku.

“Dia akan merayu lagi..” batinku seolah bisa menebak apa yang akan dia lakukan.

Namun betapa kagetnya aku saat Mang Dedi malah membawa tanganku ke bagian bibirnya dengan begitu cepat. Mang Dedi menciumi punggung tanganku tersebut dengan mesra dan begitu hangat sedemikian rupa hingga aku bisa merasakannya sampai sejauh lututku.

Untuk sesaat Mang Dedi tak berkata-kata, dia menarik daguku dan memandangi wajahku. Tangannnya membelai bagian kepalaku yang tertutup hijab dengan lembut, kemudian merayapi pipiku yang merona kemerahan karena menahan nafsu dan syahwat itu.

“Kamu tidak perlu malu Dek Liya. Tubuhmu indah, dan sudah seharusnya kamu perlihatkan itu semua padaku” ucapnya melayangkan pujian.

Spontan aku mengulum senyum, “Bisa gak sih gak gombal terus??” ucapku memprotes.

Tapi dari dalam lubuk hati, aku begitu senang dan melayang mendengar pujian Mang Dedi yang tak pernah berhenti itu. Seolah tersihir oleh kata-kata manis yang secara tidak langsung membuatku merasa bahwa aku adalah wanita paling beruntung di dunia ini.

“Wanita cantik seperti kamu gak boleh menyentuh diri sendiri kayak tadi Dek Liya..” ucap Mang Dedi tersenyum menoel hidungku.

“Lain kali kalau sange bilang aja..." lanjutnya mengeluarkan candaan.

Aku tepuk dadanya pelan sambil tersenyum malu mendengar gurauan Mang Dedi tersebut. Rasa hangat menyebar dalam hatiku seiring perlakuan manis dan candaannya yang selalu berhasil membuatku tersenyum renyah. Rasanya, karena hal-hal kecil seperti ini pula kenapa aku selalu bisa dengan mudah mabuk dan hanyut kedalam pelukannya.

“Sini Dek Liya, rebahan sama aku! Kamu pasti capek” ucap Mang Dedi merebahkan diri diatas kasur dan menepuk bagian kosong disampingnya.

Disaat Mang Dedi telentang itu, mataku tak sengaja memandang ke arah paha dan celana pendek Mang Dedi yang terlihat agak mengembung karena isi didalamnya. Beberapa kali ku teguk ludahku sendiri karena tiba-tiba saja pikiranku jadi nakal, ingin merasakan kembali batang penis besar dan tak disunat itu di dalam mulutku sendiri.

Entah darimana datangnya keberanianku, tiba-tiba saja aku berucap, “Ma--mas mau aku kulum gak??” tanyaku sedikit gugup.

Dadaku tiba-tiba berdesir kencang, merasa sangat nakal dan sexy disaat bersamaan ketika dengan penuh sukarela ku tawarkan mulutku sendiri untuk memberikan kenikmatan.



Belum lagi rasanya hatiku semakin gugup ketika Mang Dedi hanya diam menatap tak percaya padaku belum memberikan jawaban.

“Ihh.. malah diem!!” ucapku ketus menghilangkan malu.

Tapi Mang Dedi dengan santai menahan senyumnya, “Coba, kamu bilang apa tadi Dek??” tanyanya terlihat senang.

"Kamu mau ngulum ini??" Sambungnya berpura-pura mengelus penisnya di balik celana.

Ku anggukan kepalaku pelan merasa diriku sungguh amat berani saat itu. Dengan hati yang berdebar aku kemudian merangkak menghampiri Mang Dedi yang terduduk dan bersandar di tembok kontrakannya dengan selangkangannya yang terbuka mengangkang.

Tanpa berbasa basi lagi, Kuraih pinggiran karet celana pendek Mang Dedi dan ku tarik turun melewati selangkangannya. Seketika itu juga, batang penisnya yang masih nampak tertidur itu mencuat keluar seperti melambai-lambai menyapa birahiku.

Aku meneguk ludahku berkali-kali. Seketika menjadi begitu bernafsu, rasanya kemaluan besar milik penjual sayur langgananku itu seperti magnet bagi gairahku.

"Gila besar sekali!!" Batinku berteriak tetap saja merasa kaget melihat kebesaran penis Mang Dedi.

Meski sudah sebanyak dua kali aku melihatnya, tetap saja aku masih dibuat kaget dan tidak percaya. Selama ini aku tidak terlalu sadar dan memperhatikan kalau ukuran penis Mang Dedi ternyata hampir sama dengan ukuran lenganku.

Walau dalam keadaan yang masih belum tegang saja, satu genggaman tanganku saja belum cukup untuk melingkar secara penuh disana.

“Hehehe....., kenapa sayang?? Masih kaget aja sama kontolku.." ucap Mang Dedi terkekeh.

Kuurut pelan batang tersebut sambil ku tatap mata Mang Dedi, "Kok bisa si Mas?" Tanyaku sangat-sangat penasaran. Dalam genggaman tanganku tersebut, kurasakan penis Mang Dedi berdenyut dan sedikit mengangguk-angguk.

"Bisa apa Dek Liya?" Ucapnya malah menanya balik.

Kugoyangkan batang penisnya sekali, "Bisa besar kayak gini.." jawabku makin diburu nafsu.

"Hehehe. Itu emang anugerah dari tuhanku untuk bisa melaksanakan tugas memuaskan wanita-wanita kayak kamu sayang...," balasnya terkekeh mengelus kepalaku.

"Kayak aku gimana?" Tanyaku penasaran.

Kali ini Mang Dedi mengangkat bahunya, "Ya kayak kamu sayang.. terperangkap gak bisa bebas menikmati kenikmatan dunia sama sekali.." jawabnya semakin membuatku bingung.

"Ga ngerti aku Mas.." ucapku menggeleng.

Lagi-lagi Mang Dedi terkekeh, "Hehehe..., apa coba yang berubah setelah kamu kenal sama aku?" Tanyanya lagi.

"Banyak sih.." jawabku singkat tanpa berpikir.

"Pernah kepikiran gak kalau kamu bakalan kayak gini?"

Aku menggeleng, "Ga pernah, aku gapernah kepikiran jadi begini" jawabku singkat.

"Nah! Itulah tujuan aku datang ke kehidupanmu Dek Liya. Buat nyadarin kalau selama ini kamu udah menjalani kehidupan yang salah..." balas Mang Dedi berbicara banyak.

"Apa sih Mas bikin orang pusing aja!!" Ucapku ketus dibuatnya berpikir. Gairah yang tadi sudah bangkit menggebu-gebu itu terpaksa harus padam kembali dengan terpaksa.

Untuk sesaat Mang Dedi hanya tersenyum, dia menarik daguku dan membelai pipiku. "Kamu tidak perlu mengerti sayang.. cukup jadi dirimu sekarang dan ikuti saja setiap prosesnya. Percayalah aku akan membawamu ke dalam jalan keselamatan." Ucap Mang Dedi tersenyum.

Tangannnya membelai bagian kepalaku yang tertutup hijab dengan lembut, kemudian merayapi pipiku sekali lagi yang merona kemerahan karena menahan nafsu dan syahwat itu. Masih belum kumengerti apa maksud dari perkatannya tersebut, namun masa bodoh denga hal itu karena aku sudah sangat terangsang.

"Yaudah ayo dilanjutin Dek..," senyum Mang Dedi nakal menggodaku.

Diarahkannya kepalaku yang masih tertutup hijab itu ke arah penisnya sementara tangan satunya lagi memegang pangkal batang kemaluannya. Aku tahu Mang Dedi menginginkan aku untuk mengulum batang kemaluannya sesegera mungkin.


Karena itu tanpa perasaan malu lagi kubuka mulutku dan kujilati batang kemaluan Mang Dedi yang masih dalam keadaan setengah menegang itu. Jari-jariku amat telaten mengurut pangkal penisnya agar kulit kulup yang menutupi bagian kepala jamurnya bisa turun ke bawah.

"Uugghh.. angetnya mulutmu Dek... sshhhhh...," Mang Dedi mendesis saat ku caplok dengan pelan ujung penisnya memakai mulutku.

Kujilati pelan kepala jamur Mang Dedi yang berwarna coklat itu sambil sesekali ujung lidahku bermain di lubang yang ada di ujung kepala penisnya hingga ia mendesis-desis seperti orang kepedasan.

Sambil mulut dan tanganku terus bekerja memanjakan penisnya, mataku senantiasa menatap mata Mang Dedi. Sesekali aku pun melempar senyum manisku padanya jika mulutku sedang tak dipenuhi oleh alat kemaluannya. Dengan begitu, aku seolah ingin memberitahunya kalau aku begitu menikmati kulumanku pada penis besarnya.

"Mmmmmppphhh.... emmmppp...,"

Mulutku bergumam tertahan layaknya seorang anak kecil yang sedang menikmati sebuah es krim yang begitu lezat.

Sementara itu, kedua tangan Mang Dedi terus memegangi kepalaku yang berbalut hijab seolah takut aku akan melepas kulumanku dari selangkangannya. Dipeganginya kepalaku tersebut dengan agak kuat sehingga mau tak mau aku harus bisa mencuri-curi nafas di tengah kulumanku.

Ditambah lagi dengan bau kelelakian yang semakin semerbak menyentuh hidungku dari arah selangkangan dan batang Mang Dedi. Membuatku mau tak mau semakin bersemangat dibuat begitu melayang oleh baunya yang memabukkan itu.

Tidak puas hanya bermain-main dengan bagian batangnya saja, mulutku lalu bergeser ke bawah menyusuri pangkal penis Mang Dedi yang di tumbuhi bulu-bulu itu. Aku hanya bergerak secara naluri bertujuan untuk memuaskan nafsu Mang Dedi, hingga tanpa sadar mulutku bergerak semakin ke bawah sampai pada buah kemaluannya yang menggantung begitu penuh.

"Oouuuuch..., Yaahh..., bener disitu.., sayanggg!!" Desah Mang Dedi semakin blingsatan.

Aku pun semakin bersemangat nakal mendengarnya, bibirku kini tidak hanya mencium saja buah zakarnya itu, tetapi juga sesekali menyedot kantungnya ke dalam mulutku hingga Mang Dedi semakin membukakan kakinya lebar-lebar agar aku lebih leluasa memuaskannya.

Aku tahu aku telah bertindak sangat gila. Belum pernah aku menjilati kemaluan lelaki sebernafsu dan sesemangat seperti ini. Bahkan tak ada sedikitpun rasa jijik dalam diriku ketika tanpa sengaja lidahku yang menari-nari di selangkangan Mang Dedi itu menyerempet mengenai lubang anusnya. Sangat yakin aku telah mengalahkan pelacur manapun saat memberikan layanan kepada pelanggannya.

"Oooohhh... gila.., ooohhh gilaa sekali mulutmu Dek Liyaa..," racau Mang Dedi terdengar lagi.

Tubuh Mang Dedi ku lihat bergetar-getar dalam kenikmatan sambil sesekali kepalanya menengadah memejamkan mata menahan nikmat. Kulirik dan kurekam setiap ekspresi keenakan si penjual sayur langgananku tersebut karena aku merasa sudah begitu hebat melayaninya.

Beberapa saat kemudian Mang Dedi tiba-tiba bangkit dari posisinya yang menyender di tembok. Seketika dia sudah terduduk dan menjangkau bagian pantatku. Batang penisnya terdorong masuk cukup dalam hingga membuatku hampir tersedak karena menyentuh rongga kerongkonganku.

"Hehehe.. Maaf ya Dek..," ucap Mang Dedi saat melihatku terbatuk-batuk.

Tapi dengan sekuat tenaga tak kulepas kulumanku pada batang penisnya sehingga air liurku yang paling kental keluar membasahi setiap inci batangnya hingga mengkilat. Kurasakan juga air mataku sedikit menetes karena aku menahan diri untuk tidak tersedak oleh batang penis Mang Dedi.

"Mmmmpp.., emmmphhhh...," gumamku tertahan.

Sesaat Mang Dedi meraih paha dalamku dengan tangan dan membungkukkan badannya menuju ke arah selangkanganku. Posisi kamipun seketika menjadi berubah miring, saling berhadapan-hadapan diatas kasur namun dengan letak kepala yang berada di selangkangan masing-masing.



Tanpa mengeluarkan kata-kata, Mang Dedi mengalungkan tangannya di bagian pantatku, dibentangkannya kedua bongkahan daging semokku dengan lebar, lalu lidahnya mulai bekerja menjilat dan melumat gundukan kemaluanku.

"Ooouuchhhhmmmmppppp....," desahanku tertahan.

Aku semakin gelagapan karena merasa kegelian diselangkanganku sementara mulutku tersumpal batang penis Mang Dedi.

Aku ikut menyedot batang penis Mang Dedi disaat yang bersamaan dia juga menyedot dan menjilat vaginaku. Kami saling menjilat memberi kenikmatan pada kemaluan kami masing-masing dengan posisi saling mengangkang di wajah masing-masing pula.

"Mmaashh.. ngiluh.." ucapku melepas kuluman mulutku di penis Mang Dedi saat merasakan lidahnya yang hangat menerobos masuk ke dalam liang vaginaku.

Sebagai balasan rangsangannya, kugunakan kedua tanganku untuk mengurut penis Mang Dedi karena ukurannya yang begitu besar dan amat panjang tak cukup tergenggam oleh satu tanganku.

Dengan penuh bernafsu, kukulum kembali penis Mang Dedi masuk sedalam mungkin ke dalam mulutku. Walau rasanya begitu penuh didesak oleh batangnya yang keras aku tetap saja berusaha memasukkannya makin dalam.

Sangat kusukai pula saat melihat benda kejantanan tak bersunat itu mulai mengkilat oleh ludahku sendiri dan begitu licin saat tanganku mengocok maju mundur batangnya yang sudah begitu menegang dengan amat keras.

Aku lagi-lagi menggelinjang liar, saat dengan tiba-tiba ku rasakan jemari-jemari Mang Dedi seperti mengais-ngais lubang anusku dengan menekuk kedua pahaku semakin dalam ke arah wajahnya. Aku begitu terangsang dengan perlakuannya itu karena seperti merasakan kegelian di dua lubangku sekaligus.

"Masshh.. jangannn...," protesku kaget merasakan ujung jari Mang Dedi menusuk lubang pantatku.

Namun belum sempat pikiranku bereaksi terlalu jauh, aku dibuat melenguh panjang saat merasakan ujung jari Mang Dedi yang cukup besar telah tertancap sedikit dalam pada jepitan otot-otot anusku.

Tak dapat lagi kucegah tangan nakalnya itu, Apalagi saat lidah Mang Dedi masih saja bekerja menjilat dengan rakus seluruh wilayah vaginaku sambil sesekali lidah itu dimasukkannya dalam-dalam ke lubang vaginaku. Yang dapat kulakukan saat itu hanyalah menjerit tertahan sambil ku sumpal lagi mulutku dengan penis Mang Dedi untuk membalas perlakuannya padaku.

"Mmmmpphhh....., mmmmpppphhh....,"

Tubuhku bergetar hebat menahan kenikmatan yang menyergapku. Mang Dedi dengan ganas menjilat-jilat tonjolan kecil yang berada tepat diatas bibir lubang vaginaku sambil jari-jarinya terus menusuk keluar masuk lubang anusku.

Sedikit demi sedikit, jepitan kuat lubang pantatku itu mulai dapat menerima jari Mang Dedi masuk untuk lebih dalam lagi. Terasa lumayan perih pula saat jemarinya yang besar itu menyeruak masuk. Akan tetapi dengan begitu pintarnya, Mang Dedi sesekali melumasi jarinya dengan lendiri vaginaku dan membasahi lubang anusku agar semakin licin.

Disaat yang bersamaan pula, tubuhku mengejan dan berkelejat seperti cacing kepanasan. Kurasakan sapuan lidah Mang Dedi mengusap panjang pada bibir vaginaku yang kurasakan semakin ngilu. Sapuan itupun semakin berulang naik turun menjelajah, sehingga otot-otot pinggulku berkedut-kedut dan seakan membersitkan cairan dari dalam vaginaku.

"Kkkcllllaakkkk...., cklllaakkkkk...,, kklooooockkkk..., kkklllaaackkk.."

Suara dari hisapan mulutku pada penis Mang Dedi bergema sangat indah bersahutan dengan bunyi kecipak vaginaku yang tengah dijilatinya. Pun seiring dengan kelezatan yang menghantar pada seantero tubuhku tersebut, kurasakan buncah-buncah kelezatan dari dalam kewanitaanku bergelombang untuk menjebol pertahananku.

Aku tersentak, Ku pegang begitu erat penis Mang Dedi dan kukulum sedalam mungkin seolah itu adalah satu-satunya pegangan terakhirku untuk dapat selamat dari hantaman ombak orgasme besar yang akan melandaku. Ku benamkan wajahku di pangkal penisnya yang di tumbuhi bulu-bulu tipis itu sambil kemudian aku berteriak.

“Ooooooouughhhhhh.......,, akuuuuuhh...,, keluaaaaaaaaaarrrrrhh..” teriakku parau meledak dalam rintihan yang keras dan begitu panjang.




cewek amoy
L I Y A


Namun seperti tidak terganggu dengan hal tersebut, kurasakan lidah Mang Dedi masih saja bekerja mengorek-ngorek dinding kewanitaanku saat kukucurkan begitu banyak cairan yang keluar dari dalamnya.

Lezat nikmat, kuat melayang-layang, geli lalu ngilu, begitulah sekiranya sensasi campuran kenikmatan yang aku rasakan saat orgasmeku melanda bak sebuah ombak tsunami. Walau rasanya aku tidak punya tenaga untuk menahan tubuhku, tapi berkat penis dan badan Mang Dedi yang ada di wajahku membiay aku bisa berpegangan menikmati orgasmeku yang akhirnya berlalu dalam beberapa menit kemudian.

Setelah akhirnya puncak kenikmatan itu mereda, ku habiskan waktuku dengan mengatur nafas dan memejamkan mata merasai sisa-sisa kenikmatannya. Mang Dedipun seakan membiarkan penisnya terus kukulum ringan dan kucium dengan penuh rasa sukacita terima kasih.

"Enak ya sayang??” tanya Mang Dedi tersenyum sudah bangkit terduduk lagi. Batang penisnya tiba-tiba terlepas dari mulutku mengikuti tubuhnya yang kini tengah bersila di samping kepalaku.

Sengaja tak kujawab pertanyaannya itu karena aku yakin dia hanya berniat menggodaiku saja. “Kayaknya sih enak banget ya??” sambungnya kemudian membelai wajahku yang masih terasa panas.

Tiba-tiba saja, kurasai bibir Mang Dedi menciumi keningku dengan lembut, beranjak ke mataku yang sedang terpejam, lalu pipi dan hidungku, hingga kemudian hinggap pada bibirku yang setengah terbuka.

“Masih kuatkan??” bisik Mang Dedi memancing-mancing kesadaranku yang juga sudah mulai pulih.

Ditekannya lembut bibirku dengan bibirnya. Kurasakan pula lidah Mang Dedi bergerak menyapu setiap inci bibirku untuk membasahi sebelum akhirnya dia melumat lembut sambil menekannya semakin dalam, menggodaku secara naluri mencium balik untuk membalasnya.

"Sabar ih Mas.., masih capeekkk..," rengekku begitu manja masih dengan mata yang ku pejamkan.

Pikirankupun masih melayang di awang-awang, mencoba mengingat-ngingat kembali apa yang barusan terjadi. Begitu nikmatnya perlakuan Mang Dedi hingga tanpa bersetubuhpun sudah dapat membuatku merakasan puncak kenikmatan.

Kudengar Mang Dedi terkekeh, "Oh iya sayang, maaf..., kamu istirahat aja dulu." Ucapnya terdengar senang.

"Kamu kalau orgasme muncrat-muncrat kayak orang kencing gitu, gimana gak capek coba. Sampai basah muka aku...," sambung Mang Dedi mulai bercanda lagi.

"Oh iya, aku boleh nusuk pantat kamu pake kontol gak?" Tanya Mang Dedi tiba-tiba.

Kali ini aku sangat kaget mendengarnya hingga aku membuka mata, "Apa? Ga boleh Mas!!" Ucapku amat sangat tidak menyetujuinya.

"Hahahhaa.. becanda sayang! Pake kaget segala mukanya.." balas Mang Dedi tertawa terbahak-bahak.

Kututup kembali mataku dan ku gulingkan badanku miring membelakanginya, "Bodo" ucapku dengan ketus.

Namun dari belakangku, Mang Dedi tiba-tiba saja merapatkan badannya ke punggungku dan mengalungkan tangannya memeluk.
"Jangan ngambek sekarang dong sayang. Aku kentang nih.." ucapnya sedikit memelas. Dielusnya pelan permukaan tanganku dan diciumnya bahuku.

"Bodo.." ucapku yang kali ini merasa senang mendengarnya merajuk.

Tapi kemudian Mang Dedi bertindak nekat dengan melompatkan badannya melewati badanku hingga kami jadinya berhadap-hadapan, "Ciluk Baaa!!" Ucapnya terkekeh setelah menyadari bawah aku tersenyum.

"Paan sih gaje...," ketusku yang berusaha berbalik membelakanginya lagi.

Tapi dengan cepat Mang Dedi menahan pinggangku dan merapatkan tubuh kami. "I Love You Dek Liya" ucapnya tiba-tiba mengecup bibirku.

"Kamu cantik dan begitu alim. Wanita idaman dan tujuan hidupku" sambungnya tersenyum tanpa beban.

Tak dapat aku mengeluarkan kata-kata karena merasa sangat senang mendengar pengakuan Mang Dedi tersebut. Jantungku berdebar-debar begitu cepat layaknya seorang remaja yang baru saja mengenal cinta.

"Emangnya Mas mau ngapain kalau berhasil dapetin aku?" Tanyaku amat penasaran.



Mang Dedi lalu tersenyum merekah, "Aku ingin menikahimu, membuatmu beranak pinak dan membawamu dalam keselamatan" jawabnya dengan mantap.

"Keselamatan?" Tanyaku heran.

"Keselamatan yang ma--mmmmpphhhh" ucapanku terpotong karena Mang Dedi tiba-tiba saja melumat bibirku.

"Sudah. Kamu tidak perlu tau sayang" ucapnya tersenyum. "Kamu percaya sama aku kan?" Lanjut Mang Dedi bertanya.

Tanpa mengerti apa maksud perkataannya tersebut, aku mengangguk pelan karena memang aku mempercayainya, "Iya Mas, aku percaya sama kamu..," jawabku dengan pelan.

"Good" Ucap Mang Dedi tersenyum sok berbahasa inggris.

Dia lalu mengecupku dengan ciuman paling hangat yang pernah aku rasakan. Begitu lembut, pelan dan nikmat penuh dengan luapan emosi yang tak bisa aku gambarkan.

Kubuka mulutku sedikit untuk membiarkan lidah Mang Dedi menyapa lidahku. Kubiarkan dengan pasrah bibirnya membelit dan menukar air liur kami dalam mulutku. Terasa sedikit bau rokok dari bibirnya yang kasar itu, namun tetap saja membuatku terus membalas dan menciumnya balik.

Ciuman Mang Dedi bertahan di bibirku untuk sementara sebelum akhirnya merambat turun ke leherku yang tertutupi oleh hijab, menghisapnya sebentar dari luar hingga aku menggelinjang merasakan geli.

Lalu merosot lagi sampai akhirnya hinggap di salah satu puting payudaraku.

“Ughh..” Aku mendengus dengan lirih.

Pertama lidahnya tepat menyapu puting payudaraku yang mencuat begitu keras, lalu bergerak memutari seluruh daerah areolanya yang kecil berwarna pink bergantian sebelah kiri dan kanannya.

Dengan liar, diraihnya salah satu payudaraku dan dihisapnya dengan kuat kedalam mulutnya yang kasar dan basah itu.

Tubuhku secara tiba-tiba bagaikan disengat listrik, terasa geli yang luar biasa bercampur sedikit nyeri saat putingku bersentuhan dengan gigi Mang Dedi di dalam mulutnya.

"Hmmmppphh... Masshh..."

Aku menggelinjang, melenguh ketika Mang Dedi menggigit-gigit kecil putingku. Dipilin-pilinnya kesana kemari, dikecupinya, dan disedotnya kuat-kuat sampai tanganku refleks meremas dan menarik kepalanya semakin membenam di kedua payudaraku.

“Kamu merasa gatel lagi gak Dek Liya??” bisik Mang Dedi tersenyum menggodaku.

Sedangkan aku hanya bisa pasrah menatapnya sayu dengan pandangan bernafsu sambil sesekali merintih, dan mengeluarkan racauan kenikmatan melawan gejolak yang mulai bangkit mengharubiru di seluruh tubuhku sekali lagi.

“Ouuughhh.. Mashhh.. dadakuuh.. geliihh..” ucapku terus mendesah.

Seperti seorang bayi yang kehausan, Mang Dedi menyusu pada puting payudaraku berganti-ganti kiri dan kanan. Tak bisa kutahan gejolak ini lantaran area payudaraku adalah salah satu bagian tubuhku yang sangat sensitif apabila disentuh dan diberikan rangsangan.

Ditambah oleh rayuan manis dan kecupan-kecupannya, membuatku merasakan gairah sedikit demi sedikit bangkit dan meletup-letup keluar dari tubuhku melalui area vaginaku yang berkedut-kedut.

Tak puas dengan hanya bermain lidah dibagian payudaraku saja, ciuman Mang Dedi sesekali turun melata dikulit perutku yang ramping. Sengaja ku picingkan mata dan kurapatkan tubuhku ke bagian kepala Mang Dedi agar nafas hangatnya semakin terasa menghembusi kulit-kulit tubuhku.

Aku bahkan merasakan rasa basah dan gatal dibagian kewanitaanku seiring tak berapa lama kemudian Mang Dedi ikut menggigit-gigit kecil area dada dan perutku dengan lembut, meninggalkan tanda-tanda merah dikulitku yang putih.

"Duhh.." dalam hati aku membatin bagaimana jika suamiku nantinya melihat cupangan-cupangan semerah ini?

Akan tetapi sebelum sempat pikiranku melanglang buana dipenuhi rasa bersalah dan khawatir. Mang Dedi malah semakin merangsek turun sembari mulutnya yang kasar itu kurasakan malah menjilat-jilat pusarku beberapa saat.

"Iiihh gelihh.. jangan disituhh Masshh..." protesku tertahan.

Mang Dedi berhenti sejenak dan membenamkan wajahnya di perutku. Nafas hangatnya yang berhembus tak beraturan itu sungguh terasa sangat nyaman. Dalam keadaan masih lemah, kuusap lembut kepalanya seakan menunjukkan bahwa aku begitu menyukai perlakuannya padaku.



“Tubuhmu sangat indah Dek Liya, rasanya aku tak pernah bosan mencicipinya..,” rayu Mang Dedi dengan kata-kata.

Hatiku melambung jauh terbang ke angkasa dengan ucapannya tersebut, makin kuikuti kemaunnya saat kurasakan kalau pahaku di renggangkannya teramat pelan.

“Wanginya badanmu Dek..,” ucapnya sekali lagi.

Mang Dedi lalu mengecup pelan pahaku di bagian pangkalnya, membuatku mengeluarkan sedikit desahan tertahan dalam tubuh yang ikut menggelinjang.

“Ahhh... sshhh...” Bagaikan keong, kurasakan bibir Mang Dedi merayap menelusuri setiap inci pahaku yang semakin jelas kemana arahnya.

Jantungku bergemuruh, berdetak seakan ingin meledak saat kurasakan denyutan vaginaku seperti berkedut merespon jilatan Mang Dedi yang sebentar lagi akan hinggap kembali disana.

Tiba-tiba saja, Mang Dedi melepaskan ciumannya begitu saja. Kubuka mataku karena sedikit kecewa harus merasakan gejolak yang baru naik itu padam kembali saat mulutnya berhenti bergerak dari tubuhku.

“Balik badan Dek..,” bisiknya pelan di telingaku.

Seperti sebuah perintah mutlak, otakku reflek merespon dan mengikuti bisikan Mang Dedi hingga aku membalik badan dan tengkurap di bawah badannya. Kurasakan jantungku berdegub-degub penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Mang Dedi di bagian belakang tubuhku itu.

“Pinter banget kamu sayang..,” Ucap Mang Dedi menyibak sedikit hijabku dan mengecupi bagian tengkukku dengan gigitan yang begitu pelan.

“Mmmnnghhh.. Mass.. aahhh..” desahku geli meremas desahku sprei.

Bibir Mang Dedi masih membuat cupang di tengkukku saat tangannya menyusup ke depan dan memilin putingku sekali lagi dari belakang. Dengan gerakan sedikit meramas, Mang Dedi bergerak memancing nafsuku dengan menggigiti bagian bahu, pundak dan punggungku bergantian.

Didaerah pantatku, aku bisa merakan penis besar milik Mang Dedi masih menegang basah menari-nari dan menggesek pelan selangkanganku seirama dengan gerakan tubuhnya. Aku dapat merasakan kebasahan dari vaginaku yang cairannya masih mengalir banyak dari bibir vagina ke selangkangan sampai pahaku bagian dalam

“Kamu sudah basah lagi Dek..,” bisik Mang Dedi merayuku.

Ku tekuk kepalaku sedikit kebawah untuk melihat apa yang tengah di perbuat oleh Mang Dedi di bagian selangkanganku sana. Tampak pada saat itu dia sedang memegang batang kemaluannya sambil sesekali mengocoknya pelan.

Kemudian Mang Dedi memasang ujung batang penisnya tepat di celah-celah bibir kemaluanku sebelum akhirnya dia mencucukkan kepala penisnya yang besar itu ke dalam lubang vaginaku yang sudah sangat licin.

"Aku masukin ya sayang??" bisik Mang Dedi dengan napasnya yang mendengus-dengus. Pertanda kalau nafsunya juga sudah semakin meningkat.

Dengan sedikit pelan, aku kemudian mengangguk lemah mempersiapkan diriku untuk dinikmati oleh Mang Dedi. Pinggulku refleks bergetar dan terangkat-angkat tanpa kontrol sama sekali, seakan menyodor-nyodorkan diri untuk dinikmati segera oleh tusukan penis besar Mang Dedi. Rasanya aku sudah semakin tidak bisa sabar dengan perlakuannya yang memancing-mancing itu.

"Silahkan Mas.." jawabku semakin melebarkan selangkanganku.

Dengan pelan Mang Dedi mendorong pantatnya hingga ujung kemaluan penisnya berhasil menerobos bibir kemaluanku. Aku merasa gemetar luar biasa ketika merasakan kepala batangnya yang besar itu mulai perlahan-lahan membelah lubang vaginaku yang masih sangat sempit.

"Uughhhh... rapetnya memekmu Dek Liyaa.." ceracau Mang Dedi tak karuan.

Walaupun pada mulanya masih ada sedikit rasa perih, tetapi perlahan namun pasti ada rasa nikmat yang juga berhasil kurasakan mulai mengalahkan perihnya selangkanganku.

Dengan geraknya yang perlahan itu, Mang Dedi tetap menggoyangkan penisnya maju hingga menggesek semakin masuk ke dalam vaginaku.

Walaupun pada mulanya masih ada sedikit rasa perih, tetapi perlahan namun pasti ada rasa nikmat yang juga berhasil kurasakan mulai mengalahkan perihnya selangkanganku.



Dengan geraknya yang perlahan itu, Mang Dedi tetap menggoyangkan penisnya maju hingga menggesek semakin masuk ke dalam vaginaku.

"Ugghhh... kegedean Mass..." ucapku memprotesnya seperti pertama kali saja aku di belah oleh penis besar itu.

Namun meskipun hanya masuk kepalanya saja, kenikmatan yang kurasa betuI-betul membuatku hampir berteriak histeris. Sungguh batang kemaluan Mang Dedi itu luar biasa nikmatnya. Liang kemaluanku bahkan serasa berdenyut-denyut saat menjepit ujung kepala jamur Mang Dedi yang bergerak maju-mundur secara pelahan.

"Oughh... nikmatnyaa..." desah Mang Dedi di belakangku.

Dia terus menerus mengayunkan pantatnya maju-mundur walau hanya sebatas ujungnya saja yang terjepit dalam liang vaginaku. Keringatku pun mengucur semakin deras mengalir membasahi setiap kulit yang ada di tubuhku.

“Pe--Pelan-pelan Masssh..," Aku menjerit saat kurasakan betapa batang penis Mang Dedi menyeruak semakin dalam.

Entah karena vaginaku yang masih terlalu sempit, atau karena penis Mang Dedi yang terlalu besar.
Hingga aku menggelengkan kepala tak percaya kalau proses penetrasi ini masih saja terasa sulit meski aku dan Mang Dedi sudah pernah bersetubuh sebelumnya.

Namun rasa perih itu perlahan-lahan mulai menghilang saat Mang Dedi menghentikan gerakan penetrasinya yang begitu sesak memenuhi liang vaginaku. Rasa sakit itu mulai berubah menjadi nikmat karena batang kemaluannya kurasakan berdenyut-denyut dalam jepitan liang vaginaku.

"Hmmppp... ennakk Mashh...," ucapku semakin mengawang.

Kurasakan bibir panas milik Mang Dedi mulai menyapu-nyapu seluruh area pundak dan punggungku dengan ganasnya. Bulu kudukku serasa merinding hingga tak sadar lagi saat Mang Dedi kembali mendorong pantatnya hingga batang penisnya yang terjepit erat dalam vaginaku semakin menyeruak masuk.

Aku yang sudah sangat terangsang pun tak sadar akhirnya menggoyangkan pantatku seolah-olah memperlancar gerakan dan tusukan penis Mang Dedi dalam lubang vaginaku.

Ku benamankan kepalaku kekasur dan ku remas kuat kain spreinya dengan liar merasakan sensasi hebat yang aku rasakan kembali. Liang kemaluanku semakin berdenyut-denyut dan ada semacam gejolak yang meletup-letup hendak pecah di dalam diriku.

Dalam keadaanku yang sedang menungging itu, batang penis Mang Dedi akhirnya melesak jauh ke dalam vaginaku dengan utuh

"Ooggghhhhmmmmmmm....," lenguhku dan Mang Dedi berbarengan.

Vaginaku terasa penuh sesak oleh penisnya yang telah menancap seutuhnya. Ada rasa perih saat kurasakan kepala penisnya seperti menghunjam di pintu rahimku. Entah kenapa, tusukan penis Mang Dedi itu terasa semakin dalam saat berada pada posisi seperti ini.

Aku pun terdiam sejenak mengatur nafas dan membiasakan vaginaku di sesak oleh penis besar Mang Dedi. Dalam diam itu juga dapat ku rasakan kehangatan batang penis Mang Dedi yang hangat dalam jepitan liang kemaluanku.

"Masih kayak perawan kamu Dek Liya...," bisik Mang Dedi manja di telingaku.

Kugerakkan kepalaku ke samping dan tersenyum mengarah padanya, "Masih perawan kalau punya Mas segede ini.." ucapku membalas.

"Emang suamimu segede apa Dek?" Tanya Mang Dedi menggodaku. "Segini ada gak?" Lanjutnya menunjukkan jari kelingkingnya di depan wajahku.

Ku tepis tangannya itu dengan gemas, "Enak aja! Itu mah kekecilan" ucapku gemas.

Kemudian dengan perlahan sekali Mang Dedi mulai mengayunkan pantatnya hingga kurasakan batang kemaluannya mundur menyusuri setiap inci liang kemaluanku.

"Yang pasti gak segede punya ku ini kan?" Balasnya berbangga diri.

Kudiamkan saja ocehan Mang Dedi tersebut karena aku merasakan nikmat yang begitu luar biasanya pada vaginaku. Aku sempat mengerang kaget dibuatnya ketika tiba-tiba Mang Dedi kembali menghentakkan penisnya masuk secara utuh sekali lagi.

"Uughh.. legit dan licin.." racau Mang Dedi mendengus.



Gerakan batang kemaluannya semakin mantap keluar masuk di dalam jepitan liang kemaluanku dengan tempo pelan. Aku merasakan betapa batang kemaluannya yang keras itu terus menggesek-gesek lubang vaginaku yang amat sangat gatal.

"Aaaaccchhh.. Massh..,, enakkk...."

Aku pun mengerang dan tubuhku bergerak liar menyambut gesekan batang penis Mang Dedi. Pantatku semakin mundur seolah-olah membalas gerakan Mang Dedi yang memajukan batang kemaluannya dengan cara yang begitu memabukkan.

Saat Mang Dedi menarik penisnya dari vaginaku, yang tersisa hanyalah ujung kepala jamurnya yang masih terjepit dalam liang kemaluanku. Lalu setelah itu didorongnya dengan kuat hingga ujungnya seolah menumbuk bibir rahimku.

"Oohhhh.. enakk bangett Masss...., enakk bangett" rintihku semakin menjadi-jadi.

Dalam posisi seperti anjing yang sedang kawin ini, tubuhku disodok-sodok Mang Dedi dengan gairah meluap-luap. Aku tersentak-sentak ke depan saat Mang Dedi dengan semangatnya menghunjamkan batang penisnya ke dalam jepitan liang vaginaku.

Lalu dengan agak kasar ditekannya punggungku hingga Payudara ku agak sesak menekan permukaan kasur. Tangan kiri Mang Dedi menekan punggungku sedangkan tangan kanannya meremas-remas buah pantatku dengan gemasnya.

Tanpa kusadari tubuhku ikut bergoyang seolah-olah menyambut dorongan batang kemaluan Mang Dedi. Pantatku bergoyang memutar mengimbangi tusukan-tusukan batang kemaluannya yang menghunjam dalam-dalam.

"Claaackkk..., clllackk......, kclaakkk..." bunyi gesekan alat kelamin Mang Dedi yang terus memompa vaginaku.

Suara benturan pantatku dengan tulang kemaluan Mang Dedi terdengar di sela-sela suara desah dan eranganku yang menambah gairah kian berkobar. Apalagi bau keringat Mang Dedi semakin tajam tercium hidungku. Membuat keperkasaan dan kejantanannya semakin menenggelamkan aku dalam kenikmatan.

"Ouuughh.. Mass.., terushh.. Terushh.. Yang kerashh.." Aku menceracau dan menggoyang pantatku kian liar saat aku merasakan detik-detik menuju puncak.

Napasku semakin terengah-engah dan merasakan kenikmatan yang kini semakin tak tertahankan. Begitu besarnya batang kemaluan penis Mang Dedi sehingga lubang vaginaku terasa sangat sempit dibuatnya.

"Akhh.... akkhgg... emmmhhpp Mmasshh.." erangku berulang-ulang. Sungguh semakin lama rasanya semakin nikmat membuatku seperti kehilangan akal sehatku sendiri.
Masih dalam pejaman mataku, Aku menggigit bibir bawahku sendiri merasakan nikmat hubungan badan kami yang semakin erat melekat. Hujaman Mang Dedi amat berbeda dengan apa yang kurasakan selama ini bersama suamiku. Kedewasaan dan pengalaman Mang Dedi yang mampu mengontrol emosi membuat Aku nyaman menikmati persebadanan terlarang kita yang entah sampai kapan akan berakhir itu.

Kekuatan Mang Dedi dalam genjotannya itupun membuatku amat salut dan begitu senang. Meski bisa dikatakan umurnya hampir menyentuh angka setengah abad, namun genjotannya masih saja sangat kuat dan hebat sampai membuat kasur dan badanku bergetar seperti kapal yang diserang badai.

“Gantian sekarang kamu diatas Dik!!” pinta Mang Dedi bergetar menahan geramannya memberi instruksi.

Lalu tanpa melepaskan batang kemaluannya dari jepitan liang vaginaku, Mang Dedi meraih kedua pinggir pinggangku dengan tangannya, secepat kilat dia menarik tubuhku bangkit dari posisi tengkurap, kemudian dia menggulingkan tubuhnya ke samping.

“Awhhhh..” pekikku kaget.

Posisi kami akhirnya berbalik. Kini tubuhku sedikit berjongkok membelakangi Mang Dedi dengan kedua kakiku berada di sisi pinggulnya. Aku terdiam sejenak merasakan kalau penis besar Mang Dedi tersebut semakin menusuk ke dalam vaginaku karena ditekan ke bawah oleh berat badanku sendiri.

“Hehehe.. digoyang Dekk..” ucap Mang menepuk pelan bagian pantatku.

Kutarik nafas sedikit sebelum kutumpukan tanganku ke lutut Mang Dedi. Dengan perlahan-lahan menahan ngilu, ku goyangkan pinggulku maju mundur menggesek menikmati sensasi gatal dan ngilu yang bercampur padu menjadi satu.

“Uugghhh....” aku sedikit mengerang.



Kurengkuh sebanyak mungkin kenikmatan dari penis Mang Dedi dengan cara mengaduk-adukkan vaginaku. Kurobah gerakan maju mundur menjadi berputar seperti orang yang sedang bermain hula-hop, sesekali juga aku bergerak naik turun memompa lalu bergerak maju mundur lagi di kemudiannya.

Aku melakukan variasi gerakan sesuka hatiku karena aku yang memegang peranan, kombinasi antara hula-hop lalu maju mundur kemudian naik turun kembali lagi berhula-hop membuat Mang Dedi melenguh seakan terbang tinggi dalam kenikmatan birahi.

“Aaaacchhh....., Mantepnya goyanganmu Dek Liya..,” Ucap Mang Dedi memegangi pinggangku.

Tak mau kalah, Mang Dedipun akhirnya ikut menggoyangkan pinggulnya sendiri melawan gerakanku, semakin cepat aku menurunkan tubuhku semakin cepat pula dia menaikkan pinggulnya hingga vaginaku tersodok dengan kerasnya.

Benar-benar luar biasa sensasi yang kurasakan. Mang Dedi benar-benar telah menyeretku menuju sorga kenikmatan yang begitu indah dan tak bisa kuraih selain dengan dirinya. Membuatku lupa dengan jati diriku yang seharusnya jadi perempuan baik-baik dan seorang istri sholehah itu.

Tak berapa lama kemudian, gerakan kami pun berubah semakin liar. Napas kami semakin menderu seolah mengisi suasana sunyi yang entah sudah menunjukkan pukul berapa. Dan dalam tubuh yang penuh gairah itu pula kurasakan desir-desir puncak kenikmatanku kembali terasa terbayang.

"Maasshhh... akkuu... sebentarrr lagiiihh..." desahku makin kencang memberitahukan.

Selang tak berapa lama Aku semakin tak bisa menahan diriku yang sudah mulai dibayangi oleh puncak kenikmatan sekali lagi. Denyutan-denyutan dalam rahimku kurasakan makin sering, makin kuat dan mendesak-desak, seperti meminta untuk segera di tuntaskan.

Begitu luar biasa pula rasa nikmat yang kuterima saat makin kuat ku ayun-ayunkan pantatku menelan batang penis Mang Dedi bulat-bulat. Aku merasa saat itu akan diamuk oleh birahi yang begitu jelas membayangi tubuhku.

Hingga dengan tiba-tiba aku mendongak kebelakang merasakan letupan dari dalam vaginaku menjalar-jalar sepanjang lorong di dalam tubuhku, seperti menyetrum setiap tali-tali syarafku yang amat peka.

"Ooouuuuuggggghhhh. Maaasshhhhhhhh....., enaakkkkk...., kelllluaaaarrrhhhh.."

Teriakku kencang saat kenikmatan itupun akhirnya meletup keluar begitu saja tanpa tertahan lagi. Seketika itu kurasakan seluruh tubuhku menggeletar lemah seperti terlolosi dari tulangnya, pandanganku mengabur dan jiwaku terasa melayang tinggi diatas awan-awan kenikmatan.

Sedetik, dua detik, sepuluh detik, entah berapa lama aku merasakan gelombang orgasmeku kembali menyapa. Membuat kesadaranku memudar dan tubuhku langsung ambruk ke atas tubuh Mang Dedi.

Beruntung saat itu Mang Dedi dengan cekatan menopang tubuh lemahku. Namun tanpa memberikanku sedikit waktu untuk bernafas, Mang Dedi lalu bergerak memutar tubuhku yang loyo dan lemah itu dengan begitu mudahnya.

Aku pun sudah tidak mampu bergerak lagi saat Mang Dedi mengangkat tubuhku dengan posisi terlentang pasrah di atas kasur. Tanpa melepas tusukan penisnya yang panjang itu, Mang Dedi membentangkan kedua pahaku selebar mungkin.

"Maaf ya sayang.. aku juga udah ga tahan pengen ngecrotin kamu..." ucap Mang Dedi setengah berdengus.

Perlahan namun pasti, Mang Dedi mulai menggenjotkan sendiri batang penisnya untuk menembus liang vaginaku yang terasa berdenyut amat sangat ngilu.

Aku tidak diberinya kesempatan untuk bicara maupun bertindak menolak. Bibirku kembali dilumat Mang Dedi sementara kemaluanku digenjot lagi dengan tusukan-tusukan nikmat dari batang kemaluannya yang amat sangat besar untuk ukuran orang Indonesia.

Setelah puas melumat bibirku, kini giliran payudaraku yang dijadikan sasaran lumatan bibir Mang Dedi dengan begitu rakusnya. Kedua puting payudaraku kembali dijadikan bulan-bulanan lidah dan mulut nakalnya hingga tubuhku mengkilat oleh air liurnya.



Secara serentak, dia juga ikut mengayunkan pantatnya maju mundur dengan tempo dan ritme yang berubah-ubah merasakan betapa jepitan liang vaginaku kian erat menjepit batangnya karena baru saja orgasme dan berkontraksi.

Aku bermaksud ingin membantunya menggerakkan pantatku untuk mengikuti gerakannya, tetapi rasa ngilu itu kian menjadi-jadi dan pompaan Mang Dedi terlalu kuat untuk kulawan hingga aku pasrah saja.

Aku benar-benar dibawah penguasaannya secara total. Kasur spring bed tanpa dipan inipun bahkan ikut bergoyang seiring dengan ayunan batang kemaluan Mang Dedi yang menghunjam ke dalam liang vaginaku semakin cepat.

Hingga tak berapa lama kemudian, Dengus napas Mang Dedi terdengar semakin bergemuruh di telingaku. Bibirnya semakin ketat melumat bibirku. Lalu kedua tangannya menopang pantatku dan menggenjot lubang kemaluanku dengan tusukan-tusukan yang begitu keras.

Aku yang tahu kalau sebentar lagi Mang Dedi akan sampai, memeluk tubuhnya begitu kuat, mengalungkan tanganku di lehernya dan kakiku di pinggangnya. Aku menggerakkan pantatku dengan sisa-sisa tenaga yang ada menantikan cairan pembawa benihnya mengaliri liang rahimku.

Benar saja, Mang Dedi kemudian mengeram seperti singa yang terluka sambil menggigit bibirku dan menghunjamkan batang kemaluannya dalam-dalam ke vaginaku.

"CROTTT!!!CROOOTT!!CROOOTT!!CROOTTT!!!CROOOTTT!!CROOTTT"

Beberapa kali sperma Mang Dedi terasa sangat hangat menyirami rahimku seolah menjadi pengobat dahaga liarku yang selalu saja tak pernah tuntas selama ini. Tubuh Mang Dedi kian berkejat-kejat liar dalam pelukanku sambil dengan ganasnya dia masih memagut bibirku.

Tubuhku pun seolah terkena aliran listrik yang dahsyat dan pantatku bergerak liar menyongsong hujaman batang penis Mang Dedi yang terasa mentok di pintu rahimku masih dengan menyemprotkan sisa-sisa air maninya.

Tiba-tiba saja, seseorang mengetuk pintu kontrakan Mang Dedi dan berteriak kencang, "WOI DEDI!!! NGANA SAKIT APA MATI??" Ucap suara seorang perempuan.



Part 14 : Terulang Kah?


Aku terlonjak kaget dari pelukan Mang Dedi saat mendengar suara ketukan pada pintu kontrakannya. Pintu tersebut di gedor begitu keras, di barengi oleh suara seorang wanita yang terdengar seperti marah-marah dengan bahasa yang sama sekali tidak aku mengerti.

Segera saja ku tatap wajah Mang Dedi untuk meminta penjelasan. Namun dengan santainya Mang Dedi tersenyum melihatku yang tampak panik duluan.

“Udah biarin aja Dek!” ucap Mang Dedi mengencengkan pelukannya.

Tapi suara ketukan di pintu kontrakannya itu terdenger semakin keras,

“Capat buka pintunya Dedi!! ato ta langsung dobrek ini!!” teriak suara perempuan itu.

“Marah tuh dia Mas!!” ucapku semakin panik walau tidak mengerti apa yang wanita itu katakan.

Mang lalu Dedi berdecih malas,

“Kamu pakai baju dulu aja Dek! Biar aku yang buka pintu” ucapnya melepas pelukan.

“Tapi itu siapa??” tanyaku ikut penasaran.

“Hmm.., Kakak aku paling...,” jawab Mang Dedi begitu santai.

Saat itu juga jantungku serasa mau copot mengetahui kalau ternyata yang menggedor pintu tersebut adalah kakak dari Mang Dedi. Aku kaget dan langsung mencabut batang penis Mang Dedi yang sedari tadi masih tertancap nyaman dalam vaginaku dengan cepat,

“Awwh...,” ucapku merasa sedikit ngilu.

“Ka—kakak kamu Mas?” sambungku bertanya dengan gugupnya.

Pikiran dan rasa maluku tiba-tiba muncul saat membayangkan kalau sebentar lagi aku mungkin akan bertemu dengan salah satu anggota keluarga Mang Dedi. Hatiku semakin panik dan perasaanku ikut bingung karena aku tidak tau bagaimana harus bersikap dan memperkenalkan diriku jika seandainya kami bertatap muka.

“Hehehee.. gausah salting gitu sayang..” celetuk Mang Dedi terkekeh.

Kupukul bahunya dengan pelan karena dia seperti menganggap remeh situasi seperti ini,

“Ih serius Mas!! Aku harus gimana ini Mas??” tanyaku semakin panik.

“Gimana apanya?? kamu tinggal pake bajumu doang sayang.” balasnya

Mang Dedi bangkit dari atas kasur dan memakai celana pendeknya.

“Atau kamu mau tetep begitu aja di depan kakak aku??” goda Mang Dedi tertawa nyeleneh.

“Dih!! serius Mas!! Nanti kalau kakak Mas liat aku gimana??” tanyaku balik.

Mang Dedi lalu tersenyum santai ke arahku,

“Ya gapapa Dek! kamu kan istri aku..” balasnya tertawa.

“Emang kakak Mas gak bakal curiga??” tanyaku lagi.

“Curiga kenapa sih sayang?? udah gede ini kok. Dia pasti ngerti lah” jawab Mang Dedi mengerlingkan matanya.

“Udah gapapa.. kamu pake baju aja.” lanjutnya kemudian berlalu ke arah depan.

Sambil berjalan Mang Dedi terdengar membalas perkataan kakaknya dengan suara tak kalah tinggi,

“Sabar sadiki kwa!! Ada sakit ngana bataria terus” ucapnya dalam bahasa yang ikut tak kumengerti.

Dengan cepat akupun beranjak dari atas kasur menuju kamar mandi Mang Dedi. Tanpa sadar kusentuh vaginaku dengan tangan sambil menatap nanar wajahku di depan cermin. Gelenyar panas dan ngilu masih amat terasa pada liang yang menerima sodokan penis si tukang sayur langgananku itu. Semuanya terasa seperti candu yang ingin kunikmati lagi, lagi dan lagi.

Dan aku benci itu semua. Benci karena hubungan kita adalah hubungan yang begitu terlarang.

Bagaimana aku akan menjelaskan kepada kakak Mang Dedi tentang keberadaanku ini?? Bagaimana pula cara aku memperkenalkan diri kalau seandainya dia menanyakan apa hubunganku dengan adiknya?? atau yang lebih parah, bagaimana kalau dia mengetahui apa yang telah kami perbuat barusan??

Plakk!!

Aku menampar pipiku sendiri mencoba meraih kesadaran dari rasa gugup yang menumbuhkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dalam hatiku. Setelah beberapa saat mengatur nafas, aku lalu merapikan make up wajahku yang sedikit berantakan akibat pergumulanku dengan Mang Dedi barusan, lalu kemudian memakai kembali pakaianku satu persatu dan beranjak keluar dari kamar mandi.



Begitu aku membuka pintu, telingaku langsung menangkap beberapa suara dari arah depan kontrakan Mang Dedi seperti riuh dengan beberapa orang.

"So tau jomblo, pas dapa suruh kaweng ngana nimau" Ucap kakak Mang Dedi dengan logat yang terdengar sangat kental seperti logat dari indonesia timur.

"Serta saki, beking siksa banya orang ngana.." Lanjut kakaknya lagi.

Lalu Mang Dedi terdengar membalas,

"Sok tau ngoni samua!! Kita so nda jomblo skarang doe" ucapnya dengan nada tak kalah tinggi.

"Co mo lia depe foto?" Kata kakak Mang Dedi sekali lagi.

Karena aku penasaran, akupun melangkahkan kakiku berjalan pelan menuju tempat Mang Dedi berada dengan hati yang berdebar-debar. Aku takut kalau Mang Dedi sedang ada masalah dengan kakaknya sehingga mereka terdengar sedikit agak ribut.

"Nda perlu foto, depe orang langsung leh kita se lia" Jawab Mang Dedi yang tiba-tiba saja berjalan muncul di depanku.

Aku panik melihat hal tersebut sedangkan Mang Dedi hanya tersenyum menggenggam tanganku,

“Ke—kenapa Mas??” tanyaku bingung.

Namun Mang Dedi tidak menjawab dan hanya menarik tanganku berjalan mengikutinya ke arah depan,

“Ni orangnya!!” ucap Mang Dedi dengan lantang.

Aku tersentak ketika melihat kalau ternyata di ruangan itu terdapat tiga orang lagi selain Mang Dedi. Mereka tampak tak kalah kaget pula melihatku tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Rasanya kikuk, canggung dan malu saat ketiga orang yang semuanya wanita berbeda usia itu menatapku dengan tatapan tidak percaya.

“Sapa pe anak leh yang ngana di bawa ka rumah?” Tanya wanita paling muda yang ternyata adalah kakak dari Mang Dedi.

Kutahu itu dari suaranya yang dari tadi paling sering terdengar.

Kakak Mang Dedi itu terlihat masih sedikit muda dengan kulit yang amat putih, jauh berbeda dari kulitnya Mang Dedi. Rambutnya panjang tidak diikat dan dicat dengan warna ke kuning-kuningan.

“Kita pe cewe nooo!!” balas Mang Dedi mengangkat tanganku.

Tiba-tiba aku menjadi kian gugup, walau tidak terlalu mengerti apa yang diucapkan oleh Mang Dedi dan kakaknya itu, namun aku dapat sedikit menerka bahwa aku sedang di perkenalkannya kepada mereka.

“Jang mangaku-mangaku ngana. Mana mungkin cewe pe pasung bagini mo mau pa ngana!!” ucap salah satu wanita lagi.

Kuperhatikan wanita yang berbicara seperti meledek itu tampak lebih tua dari kakak Mang Dedi, namun lebih muda dari yang ada di sebelahnya. Dandanan wanita itu cukup mencolok, dengan make up yang cukup tebal dan lipstick merah menyala seperti yang ku pakai, rambutnya juga hitam pekat disasak cukup tinggi, memberi kesan angkuh pada penampilannya.

“Tante boleh tanya langsung jo pa dia..” jawab Mang Dedi menunjukku.

“Kenalin Dek. Ini Tante aku namanya Julie.” ucap Mang Dedi memberitahuku kalau yang barusan berbicara ternyata adalah tantenya.

Aku mengangguk pelan sambil mengulurkan tanganku,

“Liya Tante” ucapku memperkenalkan diri.

Ditatapnya aku penuh selidik dan nanar dari ujung kaki sampai ujung kepala sebelum akhirnya dia menjabat tanganku, “Julie” jawabnya tersenyum.

“Kalau yang dari tadi cerewet terus, itu kakak aku Dek. panggil aja Kak Bela” lanjut Mang Dedi memperkenalkan kakaknya,

kusalami dan kuperkenalkan namaku juga.

Terakhir, tinggallah wanita yang paling tua diantara mereka bertiga.

“Nah.. kalau yang terkahir ini, Mama aku tercinta. Namanya Mama Martha!!” Ucap Mang Dedi lantang seperti seorang MC di acara dangdutan.



Kusapa Ibu Mang Dedi tersebut dengan penuh ramah tamah sambil mengulurkan tangan. Beliau menjawabnya sambil tersenyum tak kalah ramah kepadaku. Disambutnya uluran tanganku dan kuciumi punggung tangannya dengan sopan.

“Sa--saya Liya Bu” ucapku tergugup mengucap salam.

Namun belum sempat ku salami dengan benar, Ibu Mang Dedi tersebut memegang erat tanganku dan langsung bertanya,

“Kamu beneran pacar anak saya??” ucapnya dengan nada yang tidak percaya.

"Ah.., masa mama ba bilang bagitu!!” protes Mang Dedi cemberut.

Lalu dia segera di marahi oleh ibunya,

“Sudah jo badiang jo ngana!!” tatapnya tajam.

Aku terhening menatap ke arah Mang Dedi sebentar sebelum aku menjawab,

“I—iya Bu, saya pacarnya Mas Dedi” balasku tersenyum.

Entah apa yang terlintas dipikiranku saat itu hingga aku dengan beraninya mengaku sebagai pacarnya Mang Dedi di depan orang tuanya sendiri.

Sementara pada kenyataannya, kami berdua tak lebih dari sekedar pasangan selingkuh. Namun kulihat Mang Dedi berdengus bangga mendengar jawabanku tersebut.

“Tuh kan. Kalian saja yang gak pernah percaya!!” Ucapnya mencibir ketiga wanita yang ada didepannya.

Sedangkan kakak dan tante Mang Dedi malah senyum-senyum sumringah meledek ke arahnya.

“Jangan panggil Ibu! Panggil mama saja.” ucap Ibu Mang Dedi memegang tanganku dengan kedua tangannya.

Kuperhatikan sejenak raut muka ibu Mang Dedi yang sudah bisa dibilang cukup berumur, tapi dengan potongan rambutnya yang dibuat sependek mungkin itu menambah kesan kalau dia masihlah cukup awet muda untuk ukuran wanita seusianya.

Kuanggukkan kepalaku pelan,

“I--iya Ma!” jawabku gugup memaksa tersenyum.

“Kamu umur berapa sekarang??” tanya Ibu Mang Dedi sekali lagi.

“27 tahun, Ma” balasku singkat.

“Hmm... masih muda” ucap Ibu Mang Dedi mengangguk-angguk pelan.

Disebelahnya, kakak Mang Dedi bertepuk tangan,

“Luar biasa pelet kau Dedi” ucapnya meledek.

“Enak saja! Ini murni karena cinta woi. Iya gak Dek??” tanya Mang Dedi menyentuh punggungku dengan pelan.

Dengan sedikit malu aku kemudian mengangguk,

“I—iya Kak, Mas Dedi gak pakai pelet kok” jawabku membela Mang Dedi.

Memang bukanlah ilmu hitam ataupun pelet yang membuatku jatuh ke dalam pelukan Mang Dedi. Justru sikap dan caranya berkomunikasilah yang membuatku hanyut semakin melupakan diri.

Apalagi di tambah dengan keperkasaan dan kejantanannya yang senantiasa memberikan kepuasan syahwat kepadaku, membuat aku semakin tidak bisa melepaskan diri dari daya pikat tukang sayur langgananku tersebut.

“Emang sudah edan dunia ini” timpal Tante Mang Dedi menggeleng tidak percaya.

Namun kemudian Ibu Mang Dedi tampak menyadari kalau di jari manisku terdapat sebuah cincin,

“Kamu sudah menikah Liya??” tanyanya tiba-tiba mengangkat jariku.

DEGH!

Hatiku berdetak kaget, jantungku bergemuruh kencang dan tubuhku merasa panas. Rasanya aliran darahku berhenti seperti terbakar dan meledak seketika, mungkin juga saat ini wajahku sedang pucat pasi kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh ibu Mang Dedi tersebut.

“Jujur aja sama Mama! Gapapa kok” sambung Ibu Mang Dedi sekali lagi.

Aku kemudian mengalihkan pandanganku lagi kearah Mang Dedi seolah meminta bantuan darinya, akan tetapi Mang Dedi hanya mengangguk tersenyum memintaku agar menjawabnya sendiri entah harus berbohong atau jujur.

Ku hela nafasku pelan dan mengangguk ragu,

“Su—sudah Ma” jawabku tergugup.

Aku rasa tak ada gunanya berbohong karena pasti akan langsung ketahuan.

“Tapi tetep masih mau sama bujang lapuk ini??” tanyanya kembali menunjuk Mang Dedi.

Lagi-lagi aku berdiam diri sebentar, kehabisan kata-kata.

Beruntung, akhirnya Mang Dedi memotong pembicaraan ini dan langsung saja menjawab,

“Ya pasti mau lah Ma!!! Kalau gak, ngapain dia mau kesini segala. Iya gak Dek??” tanya Mang Dedi merangkul bahuku.



Aku lalu menatap bingung padanya, seolah meminta penjelasan dari perkataannya tersebut. Tapi yang kudapat dari sorot mata Mang Dedi justru sebuah permintaan untuk mengiyakan saja perkataannya mengikuti arus pembicaraan.

“I—iya Ma! Masih kok” jawabku mengangguk.

Hatiku bergemuruh dengan kencang penuh penolakan, disatu sisi aku memang masih ingin melanjutkan hubungan terlarangku ini bersama Mang Dedi, tapi di sisi lain nuraniku berkata kalau aku sudah terlalu jauh melangkah mengkhinati suamiku sendiri, bahkan dengan memberitahu ibu Mang Dedi bahwa aku masih menginginkan anaknya walau aku sudah mempunyai suamisekalipun.

Namun tanpa kuduga reaksi Ibu Mang Dedi begitu berlawanan dengan apa yang aku takutkan, ia tersenyum sumringah,

“Yasudah kalau gitu gapapa” ucapnya padaku.

Cukup kaget juga mendengar persetujuan dari Ibu Mang Dedi walaupun dia tahu kalau statusku sudah menjadi istri dari orang lain. Namun entah kenapa dia tampak senang-senang saja setelah mengetahui hal tersebut.

“Mama tidak masalah selama kamu menjaga anak Mama dengan baik” sambung Ibu Mang Dedi sekali lagi.

Disebelahnya, kakak Mang Dedi ikut menimpali,

“Iya Ma! Dari pada kita terus yang repot jagain dia kalau ada apa-apa” ucapnya.

“Jang ngana lupa kase selamat pa dia Dedi. Gagah ini ngana beking jadi ngana pe bini” sahut tante Mang Dedi tiba-tiba tersenyum.

Mang Dedi mengelus hidungnya sambil tertawa,

"Wahaha.. batenang jo tante. sementara olah ini” ucapnya dengan bangga.

Walau aku tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan tersebut, namun hatiku amat senang mendapati kalau aku cukup di terima baik oleh keluarga Mang Dedi. Rasanya perkenalan awalku berjalan mulus meski selanjutnya tampak seperti sebuah ajang wawancara.

Ibu, Tante, dan Kakak Mang Dedi begitu mendominasi pembicaraan dengan melontarkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mengorek lebih jauh kehidupan pribadiku. Mulai dari tempat dan asalku berada, keseharianku, hingga yang paling gila tentang hubunganku dengan suamiku sendiri.

"So itu kwa dia suka pa ngana, lantaran depe suami pe lolo kacili." ucap Kakak Mang Dedi masih dengan bahasa daerahnya.

Mang Dedipun tertawa membalas,

“Butul komaling. Liar deng binal ini parampuan satu. Nyanda pias deng depe laki" jawabnya memelukku.

“Kalian pada ngomong apaan sih??” ucapku bingung dan heran.

Kini giliran tante Mang Dedi yang menimpali,

“Mereka pada bilang kamu cantik Liya” balasnya menjelaskan padaku.

Seketika aku bersemu merah mendengar hal tersebut,

"Dia le lebe sanang kalo kita mo bilang binal." Sambung tante Mang Dedi lagi.

"Brenti jo. Kiapa ngoni ni dia be tatawa kita pe maitua." protes Mang Dedi pada keluarganya.

Namun ibu Mang Dedi tidak tinggal diam menyahuti,

"So dapa ba cuki frey tagal itu ngana bela" ucapnya.

“Yang penting kita so rasa depe sadap ma" balas Mang meledek.

Mereka bersama-sama tertawa berbarengan tanpa aku ketahui sama sekali apa yang mereka bicarakan tersebut. Aku hanya sesekali menyahuti pertanyaan mereka jika aku mengerti apa yang mereka bicarakan, lalu sisanya aku mengikuti mereka tertawa dan mengangguk-angguk saja seperti orang bodoh.

Pembicaraan kamipun semakin asik dan mulai lugas seperti orang yang sudah akrab satu sama lain, bahkan tak jarang baik Ibu ataupun tante Mang Dedi begitu bersemangat menggodaku jika hal tersebut bersangkutan dengan urusan ranjang dan topik-topik mesum.

“Wah. Berarti tadi Mama mengganggu kalian dong ya?” ucap Ibu Mang Dedi.

Dengan santai Mang Dedi lalu menjawab,

“Gak kok Ma! Udah selesai satu ronde” ucap Mang Dedi tersenyum.



“Silahkan kalau kalian mau lanjut, Mama mau balik dulu” ucap Ibu Mang Dedi mengerlingkan mata padaku.

“Jangan lupa bikinin Mama cucu ya Liya” sambungnya menahan tawa menggodaku.

Aku menunduk malu mengetahui kalau ibu Mang Dedi ternyata amat paham dengan apa yang baru saja aku lakukan dengan anaknya. Rasanya seperti tertangkap basah sudah berbuat sesuatu, namun ujung-ujungnya diizinkan begitu saja.

“Wiihh.. Baru direstuin udah mau minta cucu aja nih!” sahut Kakak Mang Dedi.

“Emang bisa kamu bisa ngasih Ded??” sambungnya menyenggol lengan Mang Dedi.

Dengan wajah yang di tegakkan Mang Dedi lalu menjawabnya,

“Ya tentu bisa dong. Ya gak Dek?” balasnya menatapku.

“Apaan sih Mas!! malu ahh” jawabku mencubit lengannya.

Merekapun kembali tertawa terbahak-bahak begitu senang,

“MAMAM!!” ucap Tante Mang Dedi meledek keponakannya itu.

Tidak berapa lama kemudian keluarga Mang Dedipun berpamitan pulang kepadaku usai berbicara panjang lebar dan bercanda riuh denganku. Tak lupa aku berjanji kepada mereka untuk sesegera mungkin mampir ke rumah besar keluarga Mang Dedi, setelah tadinya mereka mengatakan kalau mereka ingin bertemu denganku dilain hari.

Setelah kepergian keluarga Mang Dedi tersebut, Beberapa kali aku melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore, yang itu berarti sudah lebih dari tiga jam lamanya aku berada di rumah Mang Dedi.

“Udah mau pulang Dek??” tanya Mang Dedi melihatku merapikan tempat makan yang tadi ku bawa dari rumah.

Aku mengangguk pelan,

“Iya Mas! Nanti aku dicariin suamiku. Sudah jam lima soalnya” balasku menjelaskan .

“Tapi aku masih pengen lagi nih” ucap Mang Dedi memelukku dari belakang.

“Nanti biar aku yang nganterin kamu ke rumah deh” sambungnya sambil berbisik.

“Mas lagi sakit juga. Gausah!” balasku menolak.

“Ayolah Dek. Aku kalau sama kamu bisa sembuh kok” katanya tidak menyerah.

Kueratkan pejaman mataku dan cengkraman pada baju gamisku. Begitu menggiurkannya tawaran kenikmatan dari perlakuan Mang Dedi hingga tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku menahan gejolak birahi yang sekali lagi datang mendorong-dorong.

Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak terpengaruh dengan kata tersebut mengingat saat ini hari sudah cukup sore. Aku pasti akan dicurigai suamiku jika aku terlambat untuk pulang. Namun sekali lagi, aku tak dapat menguasai diriku didalam pelukan dan tindakan hangat Mang Dedi tersebut.

“Tuh! Kamu sebenernya masih pengen juga kan!!” ucap Mang Dedi setengah berbisik.

Mang Dedi merayapkan tangannya ke perutku, memelukku erat hingga merapatkan tubuh kami berdua. Dadanya yang sedikit berlemak itu melekat erat di punggungku. Wajahnya diletakkan begitu saja di bahuku, diantara lekukan leher yang tertutupi oleh hijab yang ku pakai.

Membuat bulu kudukku meremang seketika,

“Udah Mas!! aku mau pulang” pintaku berusaha mengatur nada suaraku yang bergetar.

Menutupi debaran jantungku yang semakin tak berirama.

“Jangan pulang dulu sayang ih” sahutnya santai di telingaku.

“Tapi ini udah sore Mas!! Suamiku pasti nyariin” balasku memperingatkannya.

Namun Mang Dedi tetap saja bersetingkah menekan benda keras yang ada diselangkangannya ke bagian belakang tubuhku. Seolah sedang membuktikan bahwa dia amat bergairah saat ini.

“Biar aku yang tanggung jawab Dek Liya” balasnya tiba-tiba mendaratkan sebuah ciuman ringan di leherku.

“Oh Tuhaan jangan lagi!!” batinku hampir terlonjak.

Membuat satu desahan keluar dan lolos dari bibirku,

“Ehhmmm...”



Mang Dedi tampak senang mendengarnya, apalagi ketika desahan lain segera menyusul keluar dari mulutku saat bibirnya mulai menyusuri bagian leher dan tengkukku. Lalu memperdalam kecupannya disitu sambil menggigit memberikan tanda cupang dari balik hijab lebar yang tengah ku pakai.

Hingga akhirnya dia melepas kecupannya,

“Jangan pulang dulu ya?” pintanya merajuk seketika memutar tubuhku menghadapnya.

Mata Mang Dedi terlihat sayu penuh gairah menatapku. Napas kamu berdua sama-sama mulai memburu. Lalu secepat kilat, bibirnya mendarat di bibirku. Lidahnya begitu saja memasuki mulutku, berusaha melilit dan menarik lidahku.

“Ahhh... terulang lagi..,” batinku akhirnya pasrah dalam ciuman kami yang begitu bergairah.

Rasanya darahku kembali berdesir dan ciumanku terasa menuntut untuk kembali dipenuhi. Apalagi di tambah dengan tangan Mang Dedi yang merayap menjelajah bagian-bagian sensitif tubuhku, membuatku semakin kehilangan akal sehatku yang dari tadi sudah diburu waktu.

“Mas kamu nakal!!” ucapku tersenyum menepuk pundaknya.

Mang Dedi mengecupku membalasnya,

“Tapi kamunya suka kan Dek Liya??” tanyanya terkekeh.

Mang Dedi lalu memposisikan kedua lengannya di bawah bokongku, dan dengan begitu saja tubuhku tiba-tiba melayang naik saat dia mengangkatku begitu mudah dalam gendongannya. Secara spontan aku mengalungkan lenganku erat di lehernya. Lalu kedua kakiku melingkar di pinggangnya, terkait sempurna pada tubuhnya yang menopang tubuhku dengan kedua tangannya agar aku tidak jatuh.

Kami lagi-lagi berciuman dengan liar. Hingga akhirnya suara smartphoneku berdering menghentikan aksi gila ini.

“Ahh mengganggu saja!!” Ucap Mang Dedi menggeram menghentikan ciumannya.

Kulirik layar hapeku sedikit melihat kalau nama “Suamiku” tertera memanggil disana.

Gairah yang baru saja menyelimutiku dan Mang Dedi terpecah saat aku menatap layar ponsel pintarku. Dengan perasaan dag dig dug berdebar kencang dan ketakutan, ku picingkan mataku saat melihat kalau “Suamiku” tengah memanggil disana. Sedangkan saat ini, aku tengah berduaan dengan Mang Dedi yang mengeram penuh ketidaksukaan saat momen intim kami tersebut harus terhenti oleh nyaringnya nada deringku.

“Biarkan saja!” perintah Mang Dedi kembali melumat bibirku.

Aku kemudian menurut, kuurungkan niatku untuk mengangkat telepon tersebut karena rasanya tidak mungkin juga aku mengangkatnya dalam keadaan seperti ini. Jadi kubiarkan saja panggilan dari suamiku itu berakhir, membuat degub jantungku sedikit merasa lega.

Namun selang beberapa saat saja, ponselku tersebut kembali berbunyi.

“Kayaknya penting Mas” ucapku kebingungan.

Mang Dedi mendengus kesal,

“Yasudah angkat saja!” jawabnya menurunkan badanku dari gendongannya.

Aku mengigit bibir. Mendadak keraguan menyerangku, namun akhirnya aku tetap memberanikan diri memilih mengangkat telepon itu karena sudah kedua kalinya suamiku menelepon. Yang berarti hal tersebut cukup penting ataupun mendadak.

“Ha--halo! Assalamualaikum Abi” ucapku bergetar mengangkatnya

Dibalik sana, aku mendengar suara renyah suamiku.

“Waalaikumsalam Umi! Umi masih di pasar ya??” tanyanya penasaran.

“Masih Abi. Emangnya kenapa?” tanyaku balik.

Sejenak ku lirik ke arah Mang Dedi yang menatapku dengan memelas.

“Ini Mi, Abi lupa banget kemaren punya janji sama temen kantor” Jawab suamiku.

Aku mengangkat alis, “Lah trus Bi??”

“Iya, jadi hari ini Abi mau keluar sebentar. Nanti pulangnya malem” terang suamiku.

Entah kenapa, hatiku melonjak riang mendengar hal tersebut,

“Trus Abi mau pergi sampai jam berapa???” tanyaku lagi.

“Paling jam delapan atau gak jam sembilan, Mi” jawab suamiku lagi.

Kualihkan pandanganku sejenak pada jam dinding yang ada di kamar Mang Dedi, sekitar tiga jam lagi aku mempunyai waktu bebas dengan penjual sayur langgananku tersebut.



“Yasudah kalau gitu Bi” balasku tersenyum.

“Iya Mi! Umi tenang aja, Caca bakal Abi bawa kok” ucap suamiku terkekeh.

“Yaiyalah Abi! Masa Caca mau di tinggal di rumah sendirian” balasku ikut tertawa.

Tiba-tiba saja,…..



Part 15 : Tusukan




Tiba-tiba saja, kurasakan tangan Mang Dedi bergerak di belakangku sambil mengangkat kedua ujung gamisku keatas dengan cepat.

“Aaahh!” pekikku kaget.

“Umi kenapa??” Tanya suamiku ikut kaget di seberang sana.

Kutatap tajam mata Mang Dedi yang ada di belakangku mengisyaratkan padanya untuk berhenti,

“Gapapa Bi! Ini kantong belanjaan Umi sobek” jawabku berbohong.

Akan tetapi Mang Dedi tetap saja tidak mengindahkan permintaanku. Malah dia semakin bergerak agresif dengan tiba-tiba melorotkan celana dalamku dari atas pinggul dengan satu kali tarikan saja.

“Pasti keberatan ya Mi!” sahut suamiku.

Aku sedikit menggigil merasakan bagian pantatku tiba-tiba saja diterpa angin karena tidak berpenutup lagi.

“I—iya Bi! Belanjaannya banyak” Ucapku sekuat tenaga berkonsentrasi dengan telepon suamiku.

Gelora syahwatku mulai melabrak nilai-nilai tabu yang berusaha aku jaga agar suamiku tidak curiga, namun sensasi luar biasa menjalari sekujur tubuhku sebanding dengan sentuhan fisik telapak tangan Mang Dedi yang merayap pada permukaan kedua daging pantatku.

“Coba kalau tadi Abi ikut, pasti Umi gak perlu capek bawa belanjaannya” ucap suamiku tak sadar apa yang sedang ku perbuat dibalik telepon ini.

Rasanya begitu pribadi, begitu rahasia, begitu tabu dan begitu sakral saat tiba-tiba kuimajinasikan kembali adegan ketika aku mengulum penis Mang Dedi, disaat yang bersamaan pula ketika suamiku juga berada di dekatku.

“Hehehe. Umi kuat kok Abi sayang!” balasku ingin bermanja.

Suamiku, tak pernah tau kalau saat ini tubuh istrinya yang tercinta ini sedang digerayangi oleh laki-laki lain. Yang secara tidak sadar pula ikut menikmati sensasi berselingkuh saat dengan berani berbicara langsung dengannya. Sungguh aku sudah kehilangan akal sehat, begitu kurang ajar dan tidak tahu malu sama sekali.

Tapi aku begitu menikmatinya,

“Abi sudah mandi??” tanyaku memperpanjang pembicaraan kami.

Muncul perasaan aneh yang lebih kuat untuk membiarkan diriku digerayangi Mang Dedi sambil terus berbicara dengan suamiku. Rasa takut ketahuan dan rasa malu penuh ketabuan berbaur dengan sensasi-sensasi aneh lainnya. Membuat diriku semakin bergejolak meninggi, bahkan lebih tinggi daripada ketika aku bersetubuh tadi.

“Belum Mi. Baru aja mau mandi” suara suamiku terdengar makin kabur ditelinga.

Fokusku terpecah saat kurasakan Mang Dedi mengelusi bagian selangkanganku yang mulai basah dengan telapak tangannya. Masih di dalam pelukannya yang begitu erat, Mang Dedi menciumi bagian tengkukku pelan dengan tak membiarkan ada ruang sedikitpun dicelah tubuh kami.

“Ma—mandi dong Bi! Udah sore” kataku pendek tertahan.

Sebuah gelitikan nikmat menjalar pada tulang belakangku saat Mang Dedi ikut berbisik menimpali,

“Kalau kita kapan mandinya Dek Liya??” tanyanya dengan suara bergetar.

Aku lalu menyodoknya dengan sikuku, kutahan senyumku sejenak saat diseberang sana suamiku menjawab.

“Iya Mi! ini Abi baru mandiin Caca duluan” ucap suamiku terkekeh.

“Umi juga ngerasa gerah nih Bi! Nyampe rumah juga mau cepet-cepet mandi” kataku pada suami.

Dibelakangku, kudengar Mang Dedi kembali berbisik.

“Biar aku yang mandiin kamu Dek” ucapnya menggodaku.

“Tapi sebelum itu kita buat kotor dulu badanmu” sambungnya kemudian memegangi pinggangku.

Kurasakan tangan Mang Dedi menarik bagian pinggangku ke belakang seakan-akan menyuruhku untuk menungging dalam keadaan berdiri. Aku menggigit bibir bawahku dengan pelan saat aku bergerak menuruti kemauannya begitu saja sambil tetap berusaha fokus dengan pembicaraanku dengan suami.

“Yasudah kalau gitu Abi mandi dulu ya Mi!!” ucap suamiku dibalik telepon.

Tak mau sensasi gila ini cepat berakhir, aku kemudian menahan suamiku,

“Ntar dulu Bi! Temenin Umi bentar--eeenggh” ucapanku terpotong dengan sebuah lenguhan.



Kurasakan ujung jari Mang Dedi membelai pintu lubang anusku dengan begitu pelan. Menimbulkan rasa geli yang membuat badanku terlonjak kaget saat menerima serangan yang mendadak itu.

“Umi kenapa??” suara suamiku kembai panik.

“Enghh.. Enggak apa-apa Bi! Ada semut tadi” jawabku berusaha menatap balik ke arah Mang Dedi.

Tapi Mang Dedi malah tersenyum meletakkan jari telunjuk di bibirnya,

“Ssssttt.., Jangan berisik!!” ucapnya begitu pelan.

Dengan lembut tangannya mengelus pantatku lagi sebelum tiba-tiba dia memukulnya dengan agak keras.

“Awwhhh!!” teriakku cukup kencang.


“Umi kenapa sih??” tanya suamiku semakin curiga.

Aku mendengus marah,

“Semutnya masuk ke dalam baju Bi!! Umi digigit” ucapku menahan rasa panas pada bagian pantatku.

Tamparan Mang Dedi terasa cukup keras sehingga aku yakin kalau pantatku memerah dibuatnya.

“Makanya Umi jangan terlalu manis jadi orang. Dikerubutin semut kan!” kata suamiku terkekeh di balik telepon.

Sedangkan aku mengigit bibir bawahku ketika Mang Dedi mengelus pelan bekas tamparannya yang masih terasa agak perih itu. Badanku semakin merinding saat kucoba meresapi elusannya yang begitu nikmat dan sakit disaat yang bersamaan.

“Emangnya Umi manis ya Bi??” tanyaku manja.

Seolah menjadi kebutuhan saat aku menikmati gerayangan Mang Dedi sambil berbicara dengan suamiku tersebut.

“Iya dong. Kan istrinya Abi!” balas suamiku terkekeh lagi.

“Oh iya Mi! Umi mau pulang jam berapa?” sambung suamiku bertanya.

Dibawah sana, kurasakan tangan Mang Dedi meremas-remas bongkahan pantatku sambil sesekali menamparnya dengan gemas. Beberapa kali juga kurasakan ujung-ujung jemarinya dengan amat nakal singgah pada permukaan lubang pantatku.

Membuat tubuhku menggelinjang karena rasa geli,

“Ja—jam…, Emmmhh…, Enam kali Bi!” ucapku menahan desahan.

Tak berhenti sampai disitu saja, Mang Dedi kemudian bergerak mundur menarik kedua pahaku agar saling berjauhan. Dia memposisikan dirinya berjongkok diantara selangkanganku yang saat ini dalam keadaan setengah mengangkang dengan pantat menungging ke belakang.

Mulut nakal penjual sayur langgananku itu juga tak tinggal diam mengecup daging pantatku yang bulat, mulus dan kencang itu.

“Masih banyak ya belanjaannya??” tanya suamiku tidak berhenti.

Sementara sambil tetap berkonsentrasi, aku berusaha menggigit bibirku sendiri agar desahanku tak terdengar saat kurasakan ada yang menyentuh lubang anusku dari belakang. Walau pandanganku cukup terbatas saat itu, namun aku begitu tau kalau benda kenyal, panas dan licin itu adalah lidahnya Mang Dedi.

“Emmmhhh.. Masih Bi!!” jawabku menengadah merasakan nikmat.

Tubuhku meliuk dan meregang merasakan rangsangan terhebat yang baru kali ini kurasakan saat lidah Mang Dedi yang panas mulai menyusuri belahan pantatku. Tanpa rasa jijik sedikitpun Mang Dedi menjilati lobang anusku, membuat tubuhku tergetar hebat oleh rasa geli-geli nikmat yang menjalar di seluruh tubuhku.

Diseberang telfon, masih saja kudengar suara suamiku mengoceh dengan kata-katanya,

“Emangnya Umi beli apa aja??” tanyanya antusias.

“Biasa Bi!! Beli sayur, beli ikan..” balasku berusaha secepat mungkin.

Tekanan-tekanan lidah Mang Dedi membuatku keenakan hingga darahku terpompa dari ujung kepala sampai ujung kakiku. Sempat kaget pula ketika telapak tangannya tidak berhenti menampar pantatku pelan hingga berkali-kali. Sedangkan lidahnya terasa ingin menusuk masuk ke lubang anusku dan menari-nari nakal di pintunya.

“Pasti mau beli terong lagi” ucap suamiku.

“Ko--kok Abi tau sih?? Emmpphh..,” balasku tergugup hampir saja mendesah.

Liang vaginaku ikut berkedut-kedut geli saat rangsangan lidah Mang Dedi semakin hebat mencium dan menyedot-nyedot lubang anusku dari arah belakang. Secara otomatis, kakiku semakin melebar untuk memberikan ruang bagi kepalanya agar lebih leluasa menyeruak masuk.



Aku seperti semakin bergairah. Karena baru kali ini aku bermain gila dengan laki-laki lain sambil berbicara dengan suamiku sendiri.

“Ya tau dong Mi!! itukan kesukaan Umi!” kata suamiku.

Aku sekali lagi melenguh,

“Enggghh.. Abisnya Mang Dedi gak jualan sih. Makanya Umi nyari ke sumbernya langsung” balasku semakin tak bisa menahan nafsu.

Mataku terpejam dan mulutku berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara desahan. Aku takut suamiku curiga namun menikmati sensasi penuh debaran seperti ini. Akupun tidak mau memprotes apa yang dilakukan Mang Dedi pada anusku di bawah sana meski sesekali aku merasa cukup jijik dengan perbuatannya.

“Terus nemu gak Mi?” tanya suamiku.

Aku berdehem kecil memperbaiki suaraku,

“Eng—enggak nemu Bi! Gak ada yang kayak terongnya Mang Dedi” balasku tidak sadar.

Konsentrasiku sudah begitu hilang saat kurasakan tenggorokanku begitu kering. Jelas aku tidak merasa haus. TIdak, aku memang merasa haus. Tapi bukan air yang aku butuhkan, melainkan belaian tangan dan jilatan lidah Mang Dedi yang aku inginkan menyirami dahaga syahwatku yang meronta kekeringan.

“Hahahha. Emangnya terong Mang Dedi beda dari terong lain Mi??” suamiku tertawa terbahak-bahak dibalik sana.

Tiba-tiba saja kurasakan jari-jari Mang Dedi bergerak meraba permukaan vaginaku,

“Ennngggghhh… beda lah Bi!” balasku melenguh terdengar seperti sedang berpikir.

“Bedanya dimana coba??” suamiku penasaran.

Aku terdiam sebentar merasakan tubuhku bergetar saat sedikit demi dikit jari telunjuk Mang Dedi bergerak mencolok-colok ke dalam vaginaku. Kenikmatanku itupun bertambah dua kali lipat karena disaat yang bersamaan lidah Mang Dedi masih menyapu-nyapu lubang pantatku.

Tanpa aku sadari, aku berjinjit mengangkat pantatku sambil kaki kananku berada dibagian bahu Mang Dedi. posisiku makin menungging ke arah kepala Mang Dedi dengan sebelah tangan bertumpu ke meja yang ada di depanku dan sebelahnya lagi menekan ponsel di telinga.

“Ba—banyak lah bedanya Bi!!” jawabku hampir lupa dengan suamiku.

Dia terdengar mendengus dibalik sana, “Terong mah sama aja kali Mi!” balasnya.

“I—iya.., tapi kalau sama Mang Dedi lebih gede, lebih seger Biihh!!” ucapku menggelinjang.

Hampir saja aku mengeluarkan lenguhan panjang saat salah satu jari Mang Dedi mengelus kerutan di lubang pantatku. Aku merinding geli ketika jari Mang Dedi itu kemudian menyusup masuk ke dalam anusku yang basah dan licin oleh air liurnya. Terasa sedikit mules pula ketika ujung jemarinya yang besar itu menusuk anusku menggantikan lidahnya yang kini menciumi daging pantatku dengan pelan.

"Wahahha.. kok jadi ambigu sih omongan Umi" ucap suamiku yang tak lagi kuhiraukan.

Dengan gerakan yang sangat lembut, jemari Mang Dedi perlahan mulai masuk semakin dalam di lubang pantatku. Aku mendesis kesakitan. Pantatku berdenyut-denyut seolah protes ingin menyingkirkan benda asing yang berusaha masuk ke dalamnya. Sensasi aneh di selangkanganku bergerak naik ke daerah perutku menyebabkan sedikit otot pantatku menegang.

"Massh.." rintihku memprotes.

Tidak sadar kalau suamiku masih mendengarkan suara ku lewat telepon,

"Mas siapa Mi??" tanyanya terheran.

"Gapapa Bihh.. sshh" desisku mulai tak dapat di bendung.

Dibelakang sana, Mang Dedi berusaha meyakinkanku agar tetap tenang dan tak bersuara. Dengan lembut dia memberiku semangat dengan mendaratkan kecupan-kecupan ringan pada bongkahan daging pantatku.

“Umi kok kayak orang kepedesan sih?? Lagi makan ya??” suamiku kembali bertanya heran.

Bersamaan dengan itu aku menahan nafas merasakan jari Mang Dedi menguak anusku semakin masuk ke dalam. Rasanya pedih dan sedikit panas walau sudah terlubrikasi oleh ludah Mang Dedi sedari tadi.



Hingga pada akhirnya, kurasakan satu jari Mang Dedi telah berhasil masuk secara utuh di dalam lubang anusku.

Aku kembali melenguh, “Engggghhh.. enggak Bi!! Umi lagi mules nih!” ucapku di telfon.

Ketika Mang Dedi merasa sudah cukup dalam membiarkan salah satu jarinya masuk di lubang anusku, dia menghentikan gerakannya beberapa saat, membiarkan aku mulai terbiasa dengan jarinya hingga nafasku kembali teratur.

“Emmppphh.. peelaann!” ucapku menahan tangan Mang Dedi.

Diseberang sana, suamiku semakin heran mendengarku. “Umi lagi ngapain sih ini??” tanyanya sewot.

Kurasakan jari Mang Dedi yang telah memasuki anusku tersebut bergerak. Ditekannya begitu rupa dengan gerakan agak memutar untuk melebarkan lubang yang sangat sempit itu. Dikeluarkannya jari yang sudah masuk, kemudian dimasukannya kembali, ditekan, masuk keluar dan direnggangkannya.

“Emmmmhhh.. ga ngapa-ngapain Bih!! Sshhhhhh”

Lagi-lagi aku mendesis pelan karena terasa pedih. Anehnya, ujung jemari Mang Dedi memijat suatu bagian di kedalaman anusku yang membuatku berdesir karena terasa enak. “Uu—udah dulu ya Bi! Umi mau ke toilet” sambungku melanjutkan.

“Yasudah kalau--”

TUUUTTT!!!! Panggilannya ku putuskan begitu saja, membuat suamiku tidak menyelesaikan pembicaraannya.

Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran suamiku saat ini. Dia pasti sangat keheranan dengan sikapku. Akan tetapi nafsu birahi sudah menguasai seluruh inderaku sehingga masa bodoh dengan semua itu. Untuk jaga-jaga segera ku matikan handphone ku, karena bila dia menelpon balik aku belum punya alasan yang cukup bagus untuk membohonginya.

Setelah itu, aku memalingkan wajahku menatap wajah Mang Dedi heran, “Mas jangan disitu jorok ihh!!” protesku langsung berteriak.

Memang rasa pedih itu telah berkurang. Otot-otot dinding anusku pun mulai rileks tak lagi meronta. Namun ini adalah pertama kalinya aku di perlakukan seperti ini di lubang pembuanganku tersebut.

“Tapi enakkan Dek Liya??” tanya Mang Dedi menyeringai seolah dia tahu kalau dia telah melakukan hal yang benar.

“Enak sih enak Mas, tapi itu kan---Awwwhhhhhh… ngiluu” ucapanku terpotong oleh teriakan ku sendiri.

Pantatku tersentak kaget saat lidah panas Mang Dedi tiba-tiba menyelusup ke dalam alur sempit di selangkanganku yang sudah sangat basah oleh lendirku sendiri. Mang Dedi menjilat-jilat permukaan bibir vaginaku yang sudah sangat mengembang karena birahi sambil sesekali dilepaskannya vaginaku dari mulutnya dan dia langsung menjilati anusku.

“Ouuuughhh.. Masshhh.. geliih ihhh!!” desahku semakin lancar keluar dari mulutku.

Mang Dedi memutar-mutar jarinya di dalam anusku sehingga membuatku merasa sedikit perih. Jari-jarinya yang gemuk dan panjang itu bergerak semakin bebas sedangkan aku hanya bisa mengerang sambil mempertahankan posisiku.

Sekujur tubuhku bergetar menahan sakit. Namun anehnya, rasa sakit itu malah membuatku semakin bergairah. Makin lama Mang Dedi pun makin berkonsentrasi di daerah lubang pantatku itu. Secara bergiliran, Mang Dedi memasukan jarinya dan menjilati anusku. Pun begitu dengan vaginaku yang sesekali juga diraba dan dimasuki oleh jari-jarinya yang lain.

“Massshh… kamuuhh.. ngapaiinn sihhhh??” ucapku mendelik.

Mang Dedi memasukkan jari telunjuk kanan kirinya ke dalam anusku, lalu ditariknya kearah yang berlawanan seperti ingin melonggarkan lubangnya yang begitu sempit, sambil sesekali pula dia meludahi dan membasahi anusku saat lidahnya masuk kedalam rongga pantatku. Lidahnya diputar-putar menggelitik anusku dan kurasakan ada beberapa jari lain ikut masuk juga, masuk keluar, masuk keluar dengan dijilati, begitu terus sampai aku benar-benar berkelojotan geli.

“Arrrghhh…,” desahku tidak berhenti-henti.

“Enak ya Dek??” Tanya Mang Dedi pelan.



Suaranya terdengar begitu memabukkan, membuatku semakin bernafsu oleh kegiatannya yang menyodomi pantatku dengan jari-jarinya.

“Lebih enakan mana?? Di pantat atau di memek??” sambungnya kembali bertanya.

Dalam hati aku cukup kebingungan dengan pertanyaan Mang Dedi tersebut. Entah apa maksudnya membanding-bandingkan dua hal yang menurutku sama sekali tidak berkaitan. Aku memang menikmati ketika vaginaku di mainkan dan disodok olehnya.

Namun kenikmatan tersebut tidak bisa dibandingkan dengan saat dia memainkan anusku. Bahkan rasa orgasmeku yang beberapa kali membayang terpaksa harus gagal menemui puncaknya karena rasa sakit yang mendera bagian pantatku.

“Masshhh.. udah jangan di situ lagi!!” rengekku manja pada Mang Dedi.

Namun Mang Dedi tidak mendengarkanku,

“Jawab dulu!! Di pantat apa di memek??” tanyanya meminta jawaban.

“Di memek Mass!! Oooouugghhh….., di memeeekkk”

Urat maluku mendadak putus begitu saja. Aku tidak peduli bagaimana mulut seorang perempuan baik-baik sepertiku mengeluarkan kata-kata yang begitu tak senonoh di dengar oleh orang lain. Yang kutahu adalah aku terlalu bergairah akibat perbuatan Mang Dedi dan aku harus menuntaskannya.

“Hehehe. Kamu yang minta loh ya..” ujar Mang Dedi menjawab.

Dengan cepat, Mang Dedi lalu menarik pinggangku yang tengah berdiri menungging tadi kearahnya tubuhnya. Lalu kemudian dia menuntunku kembali telentang diatas kasur dengan posisi mengangkang begitu lebar.

Kuperhatikan tanpa sadar kalau Mang Dedi telah bertelanjang bulat dihadapanku dengan penisnya yang sudah menegang begitu maksimal. Aku bahkan tidak tau sejak kapan dia melepas celananya itu.

“Mau dijilat apa dimasukin kontol??” sambungnya bertanya sambil tersenyum menatapku.

Amat malu-malu aku menggigit bibir bawahku,

“Dimasukin” jawabku pelan.

“Dimasukin apaan Dek??” tanyanya menggoda.

Lagi-lagi dengan tanpa malu aku memonyongkan bibirku,

“Sa—sama kontol” balasku berterus terang.

Vaginaku berdenyut-denyut hebat saat aku mengucapkan kata-kata kotor itu.

Aku kali ini sudah tak malu-malu lagi mengatakannya dengan vulgar saking tak tahannya menanggung gelombang birahi yang menggebu-gebu. Aku merasa seperti wanita jalang yang haus seks. Aku hampir tak percaya mendengar ucapan itu keluar dari bibirku sendiri. Tapi apa mau dikata, memang aku sangat menginginkannya segera.

“Tapi ada syaratnya dulu” ucap Mang Dedi menyeringai.

“Syarat apaa??” tanyaku penasaran.

Mang Dedi lalu beranjak mendekati tubuhku yang mengangkang tersebut dan memposisikan badannya diantara selangkanganku.

“Aku mau masukin ke lubang ini” ucapnya mengarahkan kepala penisnya menggesek lubang anusku.

Seketika aku langsung merinding ketakutan membayangkan bagaimana benda sebesar penis Mang Dedi tersebut dapat muat di lubang pantatku. Terlebih lagi, aku bahkan tidak habis pikir kenapa dia harus memasukkannya di lubang pembuanganku sedangkan di vagina saja sudah terasa begitu enak.

“Mas jangan mengada-ngada deh” ucapku menggeleng memprotesnya.

Namun Mang Dedi hanya tersenyum,

“Hehehe.. emangnya kenapa Dek??” tanyanya semakin gencar mengeluskan kepala penisnya ke lubang anusku.

“Jorok ih Mas!! Masukin kesini aja” pintaku manja mencoba menggapai dan memegang batang penisnya.

Mang Dedi hanya menyeringai ketika tanganku berhasil menggenggam batangnya tersebut, sambil kemudian tak berlama-lama kuarahkan kepalanya menuju bibir vaginaku yang sudah begitu basah oleh lendir. Pelan-pelan aku melenguh nikmat merasakan desakan batang penisnya yang besar itu mulai ku gerakkan menerobos liang vaginaku sendiri.

Lagi-lagi aku merasa gemetar luar biasa ketika kepala batang penis Mang Dedi mulai membelah bibir vaginaku. Lalu dengan pelan dan penuh penghayatan dia mendorong pantatnya hingga setengah dari batang Mang Dedi berhasil menerobos vaginaku dengan lumayan mudah.

"Emmmmppphhhhh"



Hampir bersamaan kami mendengus menahan nikmat saat batang penis Mang Dedi sudah terapit oleh dinding liang vaginaku yang sudah sangat licin. Mang Dedi merundukkan badannya hingga kami langsung berciuman dengan begitu menggelora. Lidah kami saling bertaut, saling mendorong dan saling melumat.

Semakin membanjirnya cairan dalam liang memekku membuat penis Mang Dedi masuk dengan lancarnya. Aku mengimbangi dengan gerakan pinggulku. Meliuk perlahan mencoba membetulkan arah dari laju penis tersebut.

Agaknya penetrasi penis Mang Dedi ke dalam vaginaku kali ini sudah sedemikan mudah dari sebelumnya. Mungkin karena otot-otot vaginaku mulai terbiasa dengan penisnya yang besar itu karena sudah beberapa kali di terobos dan direnggangkan.

“Ouuggghhh Massshhh” desahku begitu nikmat.

Perlahan-lahan batang penis itu mulai tenggelam seutuhnya dalam vaginaku, sekuat tenaga aku merenggangkan otot-otot vaginaku agar penis itu dapat menggaruk setiap kegatalan yang ada dalamnya. Aku masih saja merasakan sesak yang begitu memenuhi badanku. Serasa tak sampai-sampai. Selain besar, penis Mang Dedi sangat panjang juga. Sehingga setiap inci batangnya yang masuk, membuat Aku sampai menahan nafas terasa mentok sekali di dalam.

“Ughhh.. jepitan memekmu luar biasa Dek Liya” gumam Mang Dedi di sela-sela ciuman kami.

Badanku panas dan berkeringat luar biasa di dalam himpitan tubuhnya. Karena saat ini aku masih berpakaian lengkap dengan gamis dan hijabku yang terpasang utuh menutupi tubuh bagian atasku. Sedangkan di bawahnya, ujung dari gamisku terangkat sampai ke bagian pinggang untuk menampakkan selangkanganku yang sudah di tusuk oleh penis Mang Dedi.

Dia tidak membuang-buang waktu langsung bergerak semakin dalam mendorong penisnya. Dengan bernafsu Mang Dedi memompa keluar penisnya sejenak sebelum akhirnya ditusuk kembali semakin ke dalam.

“Enggg… maashh enakkk…”

Gerakan kami semakin lama semakin meningkat cepat dan bertambah liar. Gerakanku sudah tidak beraturan karena yang penting bagiku tusukan itu mencapai bagian-bagian peka di dalam relung kewanitaanku. Dan Mang Dedi seakan tahu persis apa yang kuinginkan, dia mengarahkan batangnya dengan tepat ke sasaran sambil terus bergoyang memompa.

Tubuhku meremang nikmat bagaikan berada di awang-awang merasakan kenikmatan yang luar biasa ini. Batang Mang Dedi menjejal penuh seluruh isi liangku, tak ada sedikitpun ruang yang tersisa hingga gesekan batang itu sangat terasa di seluruh dinding vaginaku.

“Aduuhh.. auuffhh.., nngghh.. maasshhhhh!!!”, aku merintih, melenguh dan mengerang sekali lagi merasakan semua kenikmatan ini.

Semenjak bercinta dengan Mang Dedi pula, aku merasa seolah kenikmatan darinya mampu membalik pemikiranku tentang bercinta dengan suamiku selama ini. Benar-benar berbeda. Jika dibandingkan, bercinta dengan suamiku terasa begitu aneh. Aku hanya merasa geli, capek, dan terkadang risih. Sehingga secara tak langusung, aku seolah menjadi kurang tertarik jika harus bersetubuh dengan penis kecil suamiku lagi.

Lain cerita jika aku bersama Mang Dedi dan batang penisnya yang berukuran sebesar lenganku itu, aku merasa berbeda. Ritme, teknik, dan ukuran kejantanan mereka jauh berbeda, sehingga ketika bersama tukang sayur ini, aku seolah tidak bisa menolak segala macam kenikmatan yang Dia hujamkan kedalam liang vaginaku.

“Ooouughh Mass…., mauuhh keluaarrrrr”

Kembali aku mengakui keperkasaan dan kelihaian Mang Dedi dalam bercinta. Dia begitu hebat, jantan dan entah apalagi sebutan yang pantas kuberikan padanya. Bahkan baru beberapa saat sajadia menggenjotku dengan penisnya, puncak kenikmataanku sudah mulai terbayang siap menghampiriku.

Melihat reaksiku yang sudah mulai berkelojotan nikmat, Mang Dedi bergerak semakin cepat. Penisnya bertubi-tubi menusuk daerah-daerah sensitif dalam vaginaku. Menebarkan desiran-desiran yang mulai berdatangan seperti gelombang yang akan mendobrak pertahananku.



Batang penisnya yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya seakan tak memperdulikan liangku yang sempit itu akan terkoyak akibatnya.

“Oooohhh.. aaahhhh…., yaaahhhh… begituuhh.. Masshhhh…., cepetaaann…..,” pintaku menuntut.

Aku mencoba meraih tubuh Mang Dedi untuk mendekapnya. Dan disaat-saat kritis, aku berhasil memeluknya dengan erat. Kurengkuh seluruh tubuhnya sehingga menindih tubuhku dengan erat. Kurasakan tonjolan otot-ototnya yang masih keras dan pejal di sekujur tubuhku. Kubenamkan wajahku di samping bahunya. Pinggul kuangkat tinggi-tinggi sementara kedua kakiku mengalung di pinggangnya dan menarik kuat-kuat.

”Keeellluaar Mashhhhhhhhhhh…..,” teriakku mengejang.

Kurasakan tubuhku menggeletar dengan gerakan yang tak bisa aku kontrol, semburan demi semburan memancar kencang dari dalam diriku membasahi batang penis Mang Dedi yang semakin lancar keluar masuk membelah vaginaku yang terasa begitu ngilu.

Aku kehabisan tenaga tak bisa bergerak seperti tulangku terlolosi dari badan. Begitu lemas dan pasrah saat Mang Dedi tiba-tiba saja membalikkan tubuhku tanpa mencabut batang penisnya dari vaginaku.

Dalam kepasrahanku itu, Mang Dedi mengambil beberapa bantal yang ada di sampingnya untuk mengganjal selangkanganku. Membuat posisiku menjadi setengah menungging dengan badan dan wajah yang terkapar lemas diatas kasur.

Mang Dedi memelukku dari belakang, langsung saja melarikan tangannya menjamahi tubuhku yang masih ditutupi oleh gamisku. Dadaku di belai-belai dan di remasnya dari luar. Leherku yang di tutupi hijab juga tak luput di cium dan sesekali digigitnya dengan pelan. Membuatku agaknya menggeliat kegelian dalam nafsu yang mulai kembali muncul.

Aku memejamkan mata tak bisa memprotes saat merasakan Mang Dedi tiba-tiba membasahi liang anusku dengan cairan lendir yang meleleh begitu banyak dari dalam vaginaku. Begitu cepatnya Mang Dedi bergerak hingga tak sadar aku merasakan dia mencabut penisnya dari dalam vaginaku.

Tiba-tiba saja, kepala penisnya yang keras dan kenyal itu terasa di tusukkannya ke dalam lubang anusku. Kesadaranku saat itu belum sepenuhnya pulih sehingga aku hanya bisa menggerakkan sedikit pantatku menjauh dari batang penis Mang Dedi.

“Mashh.., jaa—jangan dimasukkin!!” pintaku dengan suara yang parau.

Nampaknya Mang Dedi tidak mengindahkan seruanku, Anusku yang masih perawan itu dipaksa untuk melebar selebar-lebanya dengan kedua tangannya. Aku merasa penuh sekali. penisnya itu berdenyut-denyut mulai masuk, seolah hidup, dan menyebarkan kehangatan. Aku pun menjerit sampai akhirnya kusadari aku menangis terisak-isak karena rasa sakit yang kuterima begitu hebatnya.

“Hoooohh… sakiiittt Mass….., caa---cabutt…,, sakitt… arrggggh”

Beberapa kali aku berusaha menghindarkan diri dari hajaran batang penis Mang Dedi yang rasanya sudah tertancap sedikit di pintu anusku. Namun karena dia menahan pinggulku kuat-kuat, akupun tidak bisa kabur dengan tenaga yang masih sangat lemah ini.

Disela-sela tusukannya tersebut, Mang Dedi berbisik di telingaku,

“Jangan tegang Dek Liya, lemaskan pantatmu sedikit!” perintah Mang Dedi sambil merenggangkan daging pantatku.

Aku berusaha menuruti perintahnya. Setelah aku melemaskan sedikit ototku, terasa rasa sakit itu benar-benar sedikit berkurang. Namun masih saja terasa amat perih karena lubangnya begitu sempit tak pernah dimasuki oleh benda apaapun sebelumnya.

“Masshh. Sakittt…,,” Aku terus memohon untuk berhenti, namun Mang Dedi masih saja terus acuh.

Dengan menggigit bibir aku berusaha menahan sakit sementara Mang Dedi terus menggerakkan penisnya masuk melalui lubang anusku. Mang Dedi terus menerus mengambil cairan vaginaku untuk melumasi lubang anusku yang mulai terbiasa dengan masuknya penis besar itu ke dalamnya.

Tanpa kekuatan untuk menguasai diri sendiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, aku mencoba pasrah dan menyerah pada gairah seksual yang semakin menguasai tubuh dan perasaanku.



Aku mulai bergerak mengikuti instruksi Mang Dedi agar sedikit melonggarkan otot anusku dalam tarikan nafas yang begitu pelan.

Lama-kelamaan rasa sakitku mulai pudar berganti menjadi rasa nikmat yang bisa dibilang aneh, karena berbeda dengan kenikmatan yang aku peroleh melalui lubang vagina, rasa perih dan enak bercampur ketika lubang anusku ditembusi oleh penis Mang Dedi.

Meskipun baru pertama kali Aku dimasuki di bagian pantat seperti ini, anehnya Aku dapat menyesuaikan diri dengan begitu cepatnya.

“Masshhh….., pelaninn dikitt!!!” pintaku yang sudah tak menolak tapi memintanya menyesuaikan.

Lubang anusku tidak lagi menegang sekuat tadi sehingga mempermudah penetrasi penis Mang Dedi yang luar biasa besar itu. Aku sendiri heran kenapa Aku dapat mengontrol otot anusku sebegitu baik, padahal Aku tak berpengalaman sama sekali.

“Uuuugghhh.. perawan pantatmu ku ambil Dek Liya” lenguh Mang Dedi yang merasakan betapa penis miliknya pasti sangat keenakan di pijit oleh otot anusku.

Sampai pada akhirnya Penis Mang Dedi itupun bergerak dalam hitungan detik berhasil menembus masuk anusku seutuhnya.

"Ssshhhhhhhh... Masshhhh....," teriakku agak kencang ketika kurasakan pinggulnya menumbuk pantatku.

Rasa sakitku serentak menjadi-jadi sampai ke ubun-ubun saat kurasakan penis Mang Dedi tertancap utuh di dalam lubang anusku. Rasa sesak dan penuh memenuhi rongga pantatku yang rasanya sedikit sobek dimasuki oleh penisnya seperti tertancap oleh sebuah batang balok yang amat besar.

Dalam keadaan tersebut, Mang Dedi seakan tau kalau aku merasakan kesakitan yang begitu hebat. Sehingga kemudian dia meludahkan air liurnya yang hangat ke bibir anusku. Terasa nyaman membuat rasa sakitku menghilang untuk sementara.

“Masshhh… saakiittt. Maassshhh..” rengekku tak kuasa menahan tangisku yang masih saja keluar membasahi pipi.

Mang Dedi merundukkan badannya mencapai telingaku,

“Maaf sayang.. tahan sedikit yaa??” pintanya dengan suara bergetar.

Saat itu juga, entah kenapa pandanganku menjadi agak mengabur dengan kepala yang begitu pusing menahan sakit. Nafasku terengah dan Kesadaranku perlahan memudar sebelum akhirnya tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita.


Apa yang terjadi.. To be continue...

Klik Nomor untuk lanjutannya

Related Posts