Cerita Dewasa - Kecantol Tukang Sayur





PROLOG CERITA

POV Liya

Sebelumnya, aku tak pernah menyangka kalau kepindahanku ke Jakarta dapat berdampak besar dan merubahku menjadi seperti sekarang ini. Dari awal ketika suamiku memutuskan untuk pindah dari Sumatera Barat ke ibukota, aku sebenarnya menentang dengan keras keputusan tersebut karena tak mau tinggal berjauhan dengan keluarga besarku. Namun tawaran promosi jabatan yang di terima suamiku begitu menggoda sehingga pada akhirnya kamipun pindah ke jakarta.

Namaku Aliyatul Husna. Banyak orang memanggilku dengan sebutan Liya. Aku berumur 27 tahun dan merupakan seorang istri yang juga seorang ibu dari putriku yang berumur 5 tahun. Secara garis besar, aku bisa dikatakan sebagai wanita yang alim. Aku selalu menjaga lisan dan sopan santun kepada siapapun, begitu juga dengan cara berpakaianku yang selalu tertutup dengan gamis dan hijab besarku.

Pun begitu dengan suamiku yang bernama Hadi Chaniago. Dia merupakan anak seorang Ustadz yang lumayan terkenal di daerah tempat aku tinggal. Orangnya begitu alim dan sangat mementingkan agama diatas segala-galanya. Bersama-sama, kamipun terus menjalankan ibadah dan membangun rumah tangga yang harmonis meski kami berdua di jodohkan oleh orang tua.

Suamiku juga merupakan pria yang sangat pengertian. Selepas kami menikah, dia tidak pernah memaksakan kehendaknya untuk melakukan hubungan suami istri secara langsung. Dia tahu bahwa kita masih butuh waktu untuk saling mengenal lebih dalam satu sama lain. Sehingga diminggu-minggu pertama kami menikah, kami hanya menghabiskan romantisme dengan berpegangan tangan dan bercium pipi saja.

Barulah setelah sebulan kami menikah, aku pun resmi melepas keperawananku kepada pria yang sudah berjanji sehidup semati denganku tersebut.

Awal pertama aku melakukan seks, aku merasa sangat canggung dan gemetar karena untuk pertama kalinya aku membiarkan seorang lelaki melihat tubuh polosku. Aku merasa begitu tidak percaya diri dan sadar kalau aku ini tidak lah begitu cantik.

Seumur hidupku, aku hanya diajarkan untuk menjaga adab dan akhlakku untuk menjadi seorang istri yang baik. Tidak pernah diajarkan untuk merawat diri sendiri atau tampilan fisik lainnya.

Satu-satunya yang bisa aku banggakan dari tubuhku hanyalah kulitku yang putih dan badanku yang selalu kurus meski aku makan banyak sekalipun. Banyak yang bilang aku sedikit terlihat lebih muda untuk ukuran wanita yang sudah punya anak satu karena aku terlihat yang kurus langsing. Buah dadakupun tidaklah besar dan hanyak berukuran 34b saja.

Suamikupun juga tidak terlalu hebat untuk ukuran fisik. Meski wajahnya tergolong tampan, namun badannya sedikit gemuk dan penis miliknya tidaklah begitu panjang. Bahkan terlihat agak kecil dari apa yang aku bayangkan selama ini.

Dulu suamiku sempat bertanya apakah aku tidak keberatan dengan ukuran penis miliknya. Tapi aku dengan sangat yakin mengatakan padanya kalau hal tersebut bukanlah masalah bagiku. Karena pada saat itu, aku tidak pernah tau kalau ukuran juga menjadi penentu kenikmatan dalam bercinta.

Jadi meskipun ukuran penis suamiku kecil, aku tetap dapat merasa nikmat tiap kali bersetubuh walau tak pernah merasakan yang namanya orgasme.

Kamipun rutin selalu melakukan hal yang sama ketika kami bercinta. Setelah berciuman mulut, suamiku akan menghisap buah dadaku sebentar lalu memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Dan setelah menggenjotnya beberapa kali, dia akhirnya memutahkan sperma miliknya di dalam vaginaku.

Setelahnya, aku merasa kalau tugasku sebagai istri sudah selesai. Asalkan sang suami sudah puas, maka tidak ada hal lain yang perlu dilakukan.



Dan 6 tahun akhirnya berlalu dengan begitu saja. Hidupku sekarang terasa sudah sempurna. Aku mempunyai suami yang baik dan sholeh. Kehidupan ekonomi kami yang semakin hari semakin baik berkat promosi yang diterimanya. Kamipun juga sudah dikaruniai seorang putri cantik bernama Tasha.

Namun semenjak aku pindah ke jakarta, keadaan kami mulai sedikit renggang karena suamiku sudah jarang dirumah berkat kesibukan yang dia jalani di kantor barunya. Aku sadar kalau dengan datangnya promosi, berarti akan lebih banyak pula pekerjaan yang harus di tangani oleh suamiku. Sedangkan aku hanya berdiam diri di rumah tak melakukan apa-apa.

Bahkan seringkali ketika aku merasa horny dan ingin bersenggama, suamiku malah menolaknya mentah-mentah dengan alasan capek dan tidak bergairah. Hasratku yang akhir-akhir ini selalu menggebu itupun terpaksa aku kubur dalam rasa kecewa yang semakin hari semakin membuatku jenuh dengan keadaan.

Beruntungnya saat ini aku sudah mulai mengenal beberapa orang yang menjadi tetanggaku di perumahan baru ini. Jadi ada sedikit kegiatan yang dapat meringankan stressku saat aku berbincang-bincang ringan dengan mereka setiap pagi.

Dari situ pulalah akhirnya aku ikut mengenal sosok Mang Dedi, seorang Tukang sayur yang menjadi langganan warga komplek perumahan tempat aku tinggal. Orangnya sudah sedikit berumur namun masih terlihat bugar dan prima untuk ukuran seorang pria setengah baya. Dia juga sangat pandai bergurau, kadang suka merayu dan sangat ramah kepada siapapun.

Aku yang masih baru mengenalnya pun jadi cepat akrab karena dia memiliki sifat mudah bergaul dan selalu bisa menemukan topik yang seru untuk dibicarakan. Bahkan sekarang sudah menjadi rutinitasku untuk berbelanja lebih lama dari ibu-ibu lainnya karena terlalu keasikan mengobrol dengannya. Kami berdua selalu membual dan bercerita tentang banyak hal seakan kami sudah mengenal begitu lama.

Pada mulanya aku menganggap hubungan kami hanyalah sebatas seorang penjual dan pembeli saja, namun siapa sangka hubungan itupun semakin hari semakin mesra saat kami memutuskan untuk bertukaran kontak di aplikasi WA.

Sejak saat itu, aku dan Mang Dedi semakin sering berbicara satu sama lain. Berbagai macam topik seperi pekerjaaan, politik, kehidupan bahkan candaan yang sedikit menjurus pun sudah menjadi hal lumrah untuk kami bahas. Mang Dedi pun mengaku sangat senang bisa akrab denganku karena dia selalu bilang kalau aku adalah tipe wanita idamannya.

Kemesraan di WA itu juga sudah sampai terbawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari kami. Sampai pernah suatu hari kami lagi-lagi bercanda kearah yang sedikit menjurus pada hal-hal mesum.

"Maaf lama yah Mbak. Kalau pagi tuh emang suka begitu, kebelet mulu kagak jelas. Kalau gak di buang pasti nih keras banget kayak tiang listrik" Ucap Mang Dedi bercanda.

Aku kemudian tertawa mendengar pengakuan Mang Dedi yang komplain tak bisa pergi kencing karena masih banyak yang membeli. Barulah setelah aku datang, para ibu-ibu sudah selesai belanja dan dia bisa menitipkan dagangannya sebentar kepadaku.

"Gapapa Mang, lagian saya juga ga buru-buru kok" balasku singkat.

Namun pada saat itu aku tidak sengaja menangkap sebuah siluet tonjolan besar dibalik celana pendek yang di pakai Mang Dedi. Tonjolan itu terlihat sangat membokong hingga aku bertanya-tanya dalam hati apakah dia tak memakai celana dalam sama sekali.

“Kalau dipikir-pikir, jika tonjolannya saja sudah sebesar itu, lalu sebesar apakah ukuran penis yang ada di dalamnya???”

Pikiran-pikiran kotor itu pun mulai berputar-putar meracuni benakku bahkan setelah beberapa hari berikutnya. Entah karena hasrat seksualku yang tak pernah dipenuhi oleh suamiku belakangan ini, aku jadi gampang sekali merasa horny dan bergairah luar biasa. Namun untungnya semua itu dapat aku lampiaskan dengan bercengkrama ria bersama Mang Dedi.


Sekarang kami sudah semakin nyaman satu sama lain hingga terkadang Mang Dedi mulai berani bersayang-sayang denganku. Dari situ juga awal mula datang sebuah perasaan aneh yang menggelitik hatiku. Tapi karena aku memang sudah terlanjur dekat, jadi aku tak sungkan melayani interaksi Mang Dedi seperti seorang kekasih.

Hanya saja, Aku juga merasa cukup tau batas. Bagaimanapun juga aku adalah seorang istri dan seorang perempuan baik-baik. Tidak ada sedikit pun niat untuk menyelingkuhi suamiku atau pun niat-niat untuk berbuat curang lainnya. Aku dan Mang Dedi hanya teman yang saling bersenang-senang saja untuk mengisi waktu luang.

Setidaknya begitulah pemikiran naif ku pada awal kedekatan kami.

Aku tidak sadar kalau apa yang aku lakukan tersebut sudah membukakan pintu dari segala macam badai yang siap menghantam kehidupanku.

Badai yang pada akhirnya mengubahku menjadi seorang perempuan yang mengenal dunia dari sudut pandang yang berbeda.



Part 1: Tidak Sengaja


Sudah menjadi rahasia umum kalau malam Jumat adalah malam yang sakral untuk pasangan suami istri. karena di malam inilah pasangan yang sudah menikah dianjurkan untuk melakukan hubungan seksual sesuai dengan perintah agama. Biasanya banyak yang menyebutnya dengan sebutan Sunnah Rasul.

Aku pun sebenarnya ikut menentukan momen ini karena sudah hampir dua minggu lamanya suamiku tidak menyentuhku sama sekali. Kesibukannya di kantor menyita banyak waktu dan tenaga. Sehingga ketika dia di rumah, suami ku hanya menghabiskan waktu dengan tidur saja.

Akan tetapi momen yang aku tunggu-tunggu itupun tampaknya harus Pupus karena suamiku tiba-tiba mengabarkan kalau dia harus lembur di kantornya.

Suamiku langsung meminta maaf kepadaku dan berjanji akan menebusnya di lain hari. Dia bahkan juga bilang kalau dirinya sudah meminta pada atasannya untuk tidak diberikan lembur di malam jumat dan malam sabtu.

Aku yang sempat kecewa berat tadinyapun bisa sedikit bernafas lega. Suamiku ternyata juga merasa rindu berduaan denganku terbukti dari keinginannnya untuk tidak lembur terus-terusan. Jadi untuk sekarang aku terpaksa harus berusaha memaklumi keadaannya.

Mungkin saja dia lebih merasa kesepian daripada apa yang aku rasakan karena memang kami sudah jarang melakukan hal-hal yang romantis sebagai pasangan suami istri.

“Mi, Abi boleh minta sesuatu nggak?” tanya suamiku ditelepon

“Minta apaan bi?” Tanyaku.

“Umi kirimin foto bugil dong buat Abi”

Aku terkejut mendengar permintaan aneh yang tiba-tiba tersebut “Buat apaan bi?" tanyaku heran.

“Abi kangen nih sama umi” jawab suamiku.

“Iya Umi tahu, tapi kenapa harus bugil?” tanyaku penuh selidik.

“Kan ini buat suami kamu doang bukan buat orang lain”

“Tapi kan takut Bi!!, kalau misalnya tersebar dan dilihat orang gimana?”

“Ya mana mungkin Abi lihatin sama orang mi”

"Iya, tapi kalau temen Abi minjem HP nya Abi gimana??? Atau gak HP nya ilang?? Kan bisa bahaya Bi!!"

"Jadi Umi gak mau nih??"

“Nggak mau lah” jawabku singkat.

Suamiku tiba-tiba diam begitu saja seperti sedang kecewa dengan ketidakmauan ku. Tapi mau gimana lagi, aku takut dan risau kalau fotoku tersebar dan menjadi aib untuk keluarga. Namun di sisi lain aku juga tidak tega terhadap Suami ku sendiri dan tak mau durhaka karena tidak patuh.

Lantas setelah berpikir beberapa saat akhirnya aku pun memanggil suamiku kembali “Yaudah Bi nanti aku kirimin” ucapku singkat.

“Beneran ya Mi?” suara suamiku bersemangat.

“Iya. Tapi Abi janji harus hati-hati, jangan sampai dilihat sama orang” ucapku memperingatkan.

“Iya sayangku. Abi janji akan berhati-hati. Kirim yang banyak ya” balasnya manja.

Kami pun kemudian berbicara sebentar sebelum suamiku berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sebelum menutup telepon, sekali lagi suamiku mengingatkanku untuk tidak lupa mengirimkan foto bugilku sesuai permintaannya tadi.

Setelah selesai menelepon, aku pun segera beranjak ke dalam kamar untuk mengambil beberapa foto selfie yang akan aku kirimkan kepada suamiku. Tapi karena aku tidak pernah melakukan selfie secara telanjang sebelumnya, akupun merasa sedikit bingung dan canggung-canggung melakukannya.

Karena itu aku memutuskan untuk tidak langsung berfoto tanpa busana terlebih dahulu. Aku hanya membuka dua buah kancing baju gamisku di bagian dada dan memperlihatkan sedikit BHku dari luar lalu memfotonya.

Berapa menit setelah aku mengirimkannya kepada suamiku, dia pun langsung membalasnya dengan mengatakan kalau dia sangat beruntung mendapatkan istri yang cantik seperti aku.



Dan untuk pertama kalinya, aku pun begitu senang mendapat pujian dari suamiku tersebut karena selama ini dia jarang memuji-mujiku dari tampilan fisik.

Aku hanya tersenyum membaca balasannya tersebut dan kembali mengambil beberapa selfie dengan gaya dan pose yang berbeda. Kali ini aku mengangkat ujung bawah gamisku sampai ke bagian paha sehingga menampakan betis ku yang putih dan ramping. Setelah aku foto, akupun mengirimkannya kembali kepada suamiku.

Tak berapa lama suamikupun kembali membalas. Responnya pun kurang lebih sama seperti yang tadi, berbagai macam pujian dilontarkan suamiku sambil terus mengomentari betapa indahnya tubuhku ini.

Aku sampai menoleh ke arah cermin di sampingku untuk memastikan apakah yang suamiku bilang tersebut adalah benar. Aku bahkan mematut dengan seksama badanku sendiri dari arah pantulan cermin dan berpose-pose bak seorang model yang tengah mengadakan pemotretan.

Harus diakui memang kalau badanku tidak semolek atau semontok wanita-wanita diluar sana. Namun badanku terlihat proposional dengan payudara kecil dan pinggul yang membulat kencang. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegemukan serta semuanya terlihat pas dengan wajahku.

Dengan pujian-pujian tersebut pun, lama kelamaan membuatku menjadi semakin percaya diri dan mulai berpikir bahwa sebenarnya aku memang lumayan menarik di mata lelaki. Entah perasaan darimana, aku merasa sangat bangga dengan tubuhku sendiri saat ini.

Mungkin karena itu jugalah aku mulai dilanda badai syahwat dan sedikit terangsang. Hingga tanpa malu-malu lagi aku menanggalkan seluruh pakaian yang aku kenakan satu persatu sampai dimana aku sudah sepenuhnya bertelanjang. Hanya tertinggal sebuah hijab lebar yang melilit dikepalaku saja.

Tak lama kemudian, suamiku kembali mengirim pesan sambil meminta kepadaku untuk berfoto sambil mengangkang.

Awalnya aku sedikit ragu dan protes, namun karena sudah terlanjur horny ditambah bujuk dan rayuan suamiku, aku pun mengiyakan permintaan nakalnya tersebut.

Aku menyangga HPku dengan bantal dan menyalakan timer kameranya. Setelah merasa posisinya sudah pas, akupun mundur sambil mengangkangkan kedua kakiku dengan lebar. Tak lupa tanganku secara spontan meremas payudaraku sendiri sambil membuat ekspresi menggigit bibir dan berpose ala-ala perempuan seksi.

Beberapa kali HPku berbunyi pertanda kalau fotonya sudah diambil. Lalu dengan cepat aku mengirimkannya kepada suamiku dan menunggu respon seperti apa yang akan dia berikan sambil berdebar-debar.

Namun lagi-lagi ketika aku menyaksikan foto yang kuambil barusan dengan seksama, aku terdiam dan terperangah dengan hasil foto tersebut. Aku benar-benar terlihat seperti seorang wanita yang jauh dari kategori Alim.

Padahal aku masih memakai hijabku namun aku tidak menyangka kalau aku juga bisa membuat ekspresi seperti itu. Karena dalam foto tersebut aku tampak seperti seorang wanita yang sangat-sangat binal.

Suamiku pun tampaknya juga sepemikiran denganku, selang hanya beberapa detik saja dia sudah membalas pesanku dengan kata-kata yang semakin membuatku percaya diri.

"Umi seksi banget kayak model"

"Umi bener-bener wanita idaman laki-laki"

"Istriku binal banget"

Begitulah kira-kira pesan chat suamiku yang tak berhenti-henti dia kirimkan.

Dan akupun juga tak mau kalah dengan kembali mengirimkan beberapa foto bugilku dalam berbagai macam pose dan gaya.

Entah kenapa, semakin aku di puji oleh suamiku maka semakin bersemangatnya aku untuk berpose lebih liar dan menantang. Padahal sebenarnya aku hanya mengikuti instingku saja dan tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.

Badankupun tiba-tiba menjadi semakin panas dingin tak karuan, darahku berdesir hebat dan vaginaku terasa sangat-sangat gatal dan basah.

Aku mencoba menyerahkan semuanya pada naluri hewaniahku sendiri dengan menggerakkan tanganku untuk mengelus bagian luar bibir vaginaku karena terasa gatal.

Namun ketika tanganku bersentuhan dengan kulit dibagian vaginaku, aku malah merasa seperti disetrum oleh sebuah aliran listrik ringan disekujur sendi-sendi tulangku sampai aku langsung merebahkan diri diatas kasur.

Perasaan yang kudapat begitu aneh namun sangat memuaskan. Semakin aku mencoba untuk melakukan gerakan mengelus, maka semakin besar pulalah rasa nikmat yang aku terima.



Sebelum ini pun sebenarnya aku sudah pernah menyentuh bagian vaginaku sendiri. Namun untuk sekarang, rasanya 180 derajat begitu berbeda.

Saking berbedanya, aku bahkan tanpa sadar mulai merubah gerakan mengelusku menjadi sebuah gerakan menggosok-gosok dengan ritme yang lumayan kencang.

Saat itu juga mataku terpejam menahan nikmat yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan. Rasanya begitu berbeda jika dibandingkan dengan rasa nikmat yang aku terima sewaktu aku bersenggama dengan suamiku.

Tapi hanya selang beberapa saat ketika aku menikmati kegiatan baruku itu, sebuah notif muncul diatas layar hp ku dan menunjukkan kalau pesan tersebut berasal dari Mang Dedi si tukang sayur.

Aku langsung terkikik sejenak karena terbayang akan sosok laki-laki paruh baya yang belakangan ini tengah mengganggu pikiranku dengan tonjolan besar dibalik celananya itu.

Jadilah aku menunda sejenak kegiatan yang mendatangkan rasa nikmat tersebut dan langsung mengecek pesan yang ada di HP ku.

"Malam Mbak Liya sayang" tulis Mang Dedi di pesan WAnya dengan beberapa selipan emot-emot manja.

"Malam juga Mang Dedi sayang" balasku tak kalah mesra.

Ini adalah pertama kalinya aku memanggil Mang Dedi dengan panggilan sayang setelah sebelumnya aku menahan diri untuk tidak melakukannya.

Mungkin keadaanku yang sedang horny dan terangsang ini membuat akal sehatku sedikit buntu dan rasa malu ku berkurang. Hanya saja, rasanya begitu senang ketika aku memanggilnya dengan sebutan tersebut. Aku bahkan menahan nafasku karena saking berdebar-debarnya.

"Asik nih udah di panggil sayang. Tinggal tunggu diberi kasih sayang aja nih. Heheheheh" balas Mang Dedi dengan candaannya seperti biasa.

"Emangnya Mang Dedi mau kasih sayang dari aku?" Tanyaku lagi.

"Ya mau dong Mbak cantik"

"Nih aku kasih" balasku sambil mengirimkan sebuah foto selfie yang aku ambil dengan cepat.

Foto tersebut hanya menampakkan bagian kepalaku yang terbalut hijab dan mimik muka seperti sedang mencium.

Akupun buru-buru memejamkan mataku merasa sangat nakal ketika berbagi foto intim dengan pria lain selain suamiku. Lagi-lagi rasanya begitu mendebarkan dan anehnya membuat aku semakin merasa horny.

"Loh!! Mbak Liya kok ga pake baju?? Abis ena-ena sama suaminya ya??" Balas Mang Dedi tak berapa lama.

Sontak saja aku terlonjak kaget dengan balasannya tersebut karena Mang Dedi seakan tau kalau aku sedang dalam keadaan tanpa busana. Padahal aku cuma mengirimkan foto wajahku saja.

Baru aku ingin bertanya, Mang Dedi sudah kembali mengirim pesan.

"Itu di belakang Mbak ada cermin loh. Aku bisa liat punggung sama pantatnya Mbak"

ASTAGFIRULLAHH!!!!! teriakku sangat kencang.

Aku buru-buru melihat hasil jepretan ku tadi dan menyadari kalau foto wajah yang aku kirimkan kepada Mang Dedi barusan secara tidak sengaja juga menangkap cermin yang ada di belakangku. Dan cermin tersebut begitu jelas memantulkan bayangan punggung dan garis pantatku.

Aku pun dengan cepat meng-unsend foto yang aku kirim ke Mang Dedi tersebut sambil mengutuk diriku yang sangat ceroboh akibat terlalu asik berselfie. Apalagi aku malah secara tidak sengaja mengirimkan foto tubuhku kepada lelaki lain selain suamiku.

Oh tidak!!! Gimana ini???????



Part 2 : Tarik Ulur


Sudah seminggu berlalu semenjak insiden foto selfie yang tak sengaja itu, aku memutuskan untuk membatasi interaksiku dengan Mang Dedi. Baik di kehidupan sehari-hari maupun di aplikasi WA, aku sebisa mungkin menghindar untuk berbicara dengannya untuk sementara waktu.

Memang setiap kali Mang Dedi mengirim pesan WA padaku, dia tidak pernah membahas sedikitpun tentang foto tersebut. Dia hanya bertanya kenapa aku tidak lagi datang membeli dagangannya atau sekedar menanyakan kabarku.

Tapi karena aku masih dirundung rasa malu yang luar biasa, akupun hanya menjawab sekenanya dan tidak pernah bertanya balik sebagaimana aku dulu. Namun anehnya Mang Dedi tampak tidak menyerah sama sekali untuk mengajakku berbicara dan tak peduli dengan balasan singkatku tersebut.

Setiap pukul 9 pagi, Hp ku pasti akan berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk darinya. Dan setiap pesan itu datang, pasti membuat semua rasa jenuhku hilang seketika berganti dengan senyuman.

"Pagi Mbak Liya" sapa Mang Dedi dalam pesannya.

"Pagi juga Mang" balasku singkat.

"Apa kabar hari ini??"

"Alhamdulillah baik Mang"

"Puji tuhan baguslah.. Mbak gak belanja lagi nih??"

"Enggak Mang"

"Yahh.. padahal sayur saya udah kangen dibeli sama Mbak" balasnya masih dengan candaan.

"Aku juga kangen kamu Mang" Ucapku dalam hati.

Seolah aku mengerti kalau Mang Dedi sebenarnya mau bilang kangen padaku secara tidak langsung. Tapi tak berani aku menuliskannya di pesan WA tersebut karena tidak ada baiknya seorang istri berucap rindu pada laki-laki lain selain suaminya.

"Mamang boleh nanya sesuatu gak sama Mbak Liya?" Tanya Mang Dedi.

"Tanya apa?"

"Mbak Liya marah ya sama Mamang??"

"Enggak Mang, aku gak marah sama mamang" balasku.

"Tapi kok Mbak Liya kayak ngehindar gitu?"

"Aku malu Mang" balasku lagi. Mungkin inilah saatnya aku berterus terang kepada Mang Dedi agar hubungan kami tidak canggung lagi dan bisa kembali seperti semula.

Dengan cepat Mang Dedipun membalas pesanku "Loh? Mbak Liya malu kenapa?"

"Malu aja Mang, sama foto kemarin"

"Foto yang keliatan punggungnya itu?"

"Tuhkan Mamang inget" balasku.

"Ngapain malu atuh Mbak?? Mamang tau itu ga di sengaja, dan Mamang minta maaf kalau misalnya candaan Mamang kelewatan"

"Iya tapi kan malu Mang!! Mamang udah liat badan aku" balasku lagi.

"Ah. Udah sama-sama gede ini kok sayang. Kalau kamu mau, Mamang bakal foto badan Mamang juga. Biar kita impas. Gimana??"

"Ih jangan atuh Mang" balasku lagi.

Tapi dalam benakku justru malah ingin sebaliknya. Aku bahkan penasaran seperti apa badan pria paruh baya yang tiap hari bekerja keras mendorong gerobaknya tersebut.

Namun dengan cepat aku buang pikiran-pikiran kotor itu jauh-jauh. Karena sungguh itu adalah pikiran yang sangat tidak etis untuk dipikirkan oleh seorang istri sepertiku.

Diluar dugaan, aku yang jelas-jelas sudah menolak tawaran Mang Dedi tadinya malah dibuat kaget ketika dia mengirim foto selfi badannya yang hanya dibalut oleh celana boxer pendek.

"Astagfirullah" teriakku melemparkan hp ke atas kasur.

Aku menarik nafasku sebentar mencoba menenangkan diriku. Sebelum kemudian aku mengambil kembali hpku tersebut dan diam-diam memperhatikan foto badan Mang Dedi dengan sedikit rasa malu tapi mau.

Foto tersebut hanya menampakkan bagian badan Mang Dedi dari leher ke bawahnya. Namun yang menjadi fokusku saat itu justru lagi-lagi adalah tonjolan besar dibalik celana Mang Dedi yang semakin membuatku begitu penasaran.

"Mamang ih fotonya porno!" Balasku dengan secepat mungkin.

Jantungku berdegub dengan begitu cepat dan wajahku terasa panas dingin dibuatnya ketika membayangkan betapa besarnya isi di dalam celana Mang Dedi tersebut dan apakah aku bisa melihatnya secara langsung.



"Porno gimana Mbak Liyaku sayang??? Itu kan cuma foto badan Mamang" balas Mang Dedi setelahnya.

"Tapi itu ada yang menonjol dibawah Mang" jawabku berterus terang.

Namun dengan entengnya Mang Dedi membalas pesanku, "Ahh. Kalau yang itumah Mbak Liya juga sering liat kali sama suami Mbak"

"Iya tapi gak segede itu" balasku secara tidak sadar.

Entah apa yang aku pikirkan, aku malah semakin terbawa arus untuk meladeni chat Mang Dedi yang arahnya sudah sangat ketebak ujungnya. Namun aneh aku tetap ingin melanjutkan percakapan ini meski sudah sangat melanggar normaku sebagai seorang istri dari pria lain.

"Punya suamimu gak segede ini ya??" Balas Mang Dedi tiba-tiba.

Akan tetapi bersamaan dengan pertanyaannya tersebut, Mang Dedi langsung menyalipkan sebuah foto yang membuat jantungku seakan copot seketika itu juga. Pria yang menjadi tukang sayur langganan ku tersebut dengan sangat beraninya memerkan alat kemaluan miliknya padaku tanpa merasa malu sedikitpun.

"Astagfirullah"

"Astagfirullah"

"Astagfirullah"

Aku mengucap berkali-kali dalam hatiku. Foto penis Mang Dedi yang selalu membuatku penasaran tersebut akhirnya terpampang jelas di mataku. Dan ini adalah penis lelaki kedua yang pernah aku lihat setelah punya suamiku sendiri.

Sesuai dugaanku sebelumnya, penis Mang Dedi berukuran sangat besar dan panjang diluar nalarku. Jauh berbeda juga dengan ukuran milik suamiku yang pendek dan kecil. Warnanyapun gelap sedikit kecoklatan dan ujungnya terlihat aneh seperti memiliki kulup.

Melihatnya aku bahkan sampai menelan ludah berkali-kali karena kerongkonganku terasa sangat kering penuh dahaga. Aku mencoba membayangkan bagaimana caranya benda sebesar itu dapat masuk ke dalam liang senggama perempuan jika bentuk dan ukurannya saja jauh dari kata normal.

Dan andai saja penis besar itu masuk kedalam vaginaku sendiri, mungkin aku sudah bergidik ngeri sambil berteriak kesakitan dan menjerit tidak karuan karenanya.

Tapi untung akal sehatku masih berfungsi dengan baik, sehingga sebelum semuanya bergerak terlampau jauh, aku pun mencoba menghentikan Mang Dedi, “Mamang udah ihh! Aku ga suka kayak gini!” balasku di pesan.

Lama aku tak mendapat jawabannya, Hp ku tiba-tiba berdering kencang memperlihatkan nama Mang Dedi di layar smartphoneku memanggil. Aku kaget sekaligus berdebar karena untuk pertama kalinya Mang Dedi berani menelfonku.

“Ha—halo Mang” Jawabku sedikit gugup mengangkat telfon.

Namun bukannya menyapa balik, Mang Dedi malah langsung bertanya kepadaku, “Kenapa Mbak?? Mbak ga suka sama punya Mamang??”

“Bukan gitu ih Mang, Mamang gak malu apa ngirim foto punya Mamang sama aku??”

“Enggak Mbak! Mamang pengen ngebuktiin sama Mbak Liya kalau kita berdua ga perlu malu satu sama lain lagi”

“Tapi kan gak gitu caranya Mang!!” protesku.

“Tetep aja Mbak! Mamang gamau Mbak Liya canggung dan menjauh gitu dari Mamang karena Mbak Liya merasa malu. Rasanya gak enak kalau Mamang gak bisa deket sama Mbak Liya lagi. Mamang merasa kangen sama Mbak Liya” Ujarnya berterus terang.

Jujur kata-kata yang diucapkan Mang Dedi di pesannya tersebut sedikit menyentuh hatiku karena tak dapat dipungkiri kalau akupun merasakan hal yang sama dengannya. Pertukaran kata-kata antara aku dan Mang Dedi di whatsapp selama ini tampaknya memang sudah meninggalkan bekas yang mendalam.

“Aku juga kangen sama Mamang” balasku akhirnya memberanikan diri mengucap kata tabu yang seharusnya tak pernah terucap dari seorang istri sekaligus seorang perempuan yang menjaga iman sepertiku.



Tapi apa daya, aku tak menyangka kalau dari pria penjual sayur itu aku kembali bisa merasakan sensasi jatuh cinta. Rasa kangen, debaran jantung yang keras, senyum yang selalu menghiasi bibirku, wajah yang berseri, dan pikiran yang tenang kembali tumbuh bermekaran semenjak aku berkenalan dengannya.

“Janji ya Mbak ga bakal begitu lagi??” pinta Mang Dedi merajut.

Aku tertawa menyenderkan bahuku di sofa, “Iya aku janji Mamang sayanggg” jawabku bermanja-manja.

“Asikk!! tapi Mbak jangan panggil Mamang terus dong. Panggil apa kek biar akrab dikit”

“Dipanggil Uda mau ga Mang??” candaku sambil tertawa.

Diseberang sana ku dengar Mang Dedi juga ikut tertawa oleh candaanku, “Aku kan bukan orang minang sayang. Masa di panggil Uda” balasnya.

“Yaudah dipanggil Mas aja. Gimana??” tanyaku lagi.

“Nah kalau itu pas! Mamang panggil kamu Dek Liya boleh yaa?”

“Boleh Mas. Boleh banget” balasku lagi sambil tersenyum.

Percakapan kami itupun berlanjut sampai kurang lebih 3 jam lamanya sambil melepas kangen yang sudah seminggu ini aku tahan-tahan. Suasana diantara kami menjadi normal lagi seperti sedia kala karena Mang Dedi begitu pandai membawa suasana, menciptakan humor, rasa penasaran, penghargaan, dan pengetahuannya yang lumayan mempuni dalam banyak hal.

Sehingga lama kelamaan, akupun kembali terhanyut dalam setiap pembicaraannya yang seperti menuntutku untuk menerima tanpa memaksa. Gila. Aku rindu dengan suaranya, rindu dengan percakapan ringan bersamanya dan rindu akan sosoknya yang hangat.

Diakhir telpon akupun berkata kalau mulai besok aku akan kembali berbelanja di tempat Mang Dedi tanpa perlu merasa malu lagi. Dan dia sangat senang serta menantikan momen untuk bisa bertemu dan berbincang denganku.

Usai kami berpamitan, aku pun menutup telfon Mang Dedi dengan perasaan puas namun meninggalkan sedikit rasa bersalah. Aku merasa sudah mengkhianati suamiku karena telah berintim dengan pria selain dirinya. Namun aku berusaha untuk membenarkan itu semua dengan percaya bahwa aku dan Mang Dedi hanya punya hubungan sebatas teman. Dan kamipun tidaklah berbuat terlalu jauh untuk dapat dikatakan sebagai sebuah perselingkuhan.

Aku tersenyum senang, kembali aku cek pesan-pesan yang dikirim oleh Mang Dedi sedari tadi sampai aku menemukan foto penis besar miliknya masih terpampang jelas dan tidak dihapusnya sama sekali.

Tiba-tiba saja darahku kembali berdesir memperhatikan benda pusaka milik si tukang sayur itu tampak begitu perkasa dan tak ada duanya. Sambil celingukan ke kanan dan kekiri, akupun menggigit bibirku sendiri seraya tanganku memencet tombol screenshoot dan menyimpan foto penis besar itu di smarphoneku.

“Lumayan buat kenang-kenangan.. Hihihihihihihihi”



Bagian 3 : Tali Asmara


Setelah kemarin siang aku kembali berbaikan dengan mang Dedi, aku menjadi tidak sabar untuk menunggu hari berganti dan kembali bertemu dengan pria yang diam-diam sudah menarik hatiku tersebut.

Pagi yang kutunggu-tunggu itu pun akhirnya datang menjelang. Aku terbangun dalam keadaan yang senang dan penuh rasa antusias luar biasa.

Kubangunkan suamiku untuk sama-sama menunaikan ibadah salat subuh berjamaah seperti yang biasa kami lakukan setiap paginya.

Setelah itu, suamiku pun memilih untuk tidur kembali. Sedangkan aku mulai melakukan pekerjaan rumah rutinku seperti menyapu halaman, menyuci baju, dan memasak sarapan pagi.

Anehnya ketika aku sedang menyiapkan bahan makanan untuk dimasak, aku malah teringat kepada sosok Mang Dedi yang pasti belum sempat sarapan. Karena setiap harinya dia berangkat lebih awal dari siapapun untuk menjajakan dagangannya.

Lalu terbesit lah dalam benakku untuk memberikannya hadiah. Itung-itung sebagai tanda permintaan maaf juga atas sikapku yang tidak mengenakkan selama seminggu terakhir.

Nasi goreng telur ceplokpun menjadi menu andalanku untuk sarapan pagi kali ini. Hanya saja porsi bahan bakunya tinggal sedikit dan terasa kurang untuk dapat dibagi kepada suamiku atau pun Mang Dedi.

Karena itulah aku memutuskan membuat sarapan khusus untuk Mang Dedi terlebih dahulu. Sebab suamiku pun masih tidur dan hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak perlu buru-buru.

Aku pun kemudian menanak nasi sekali lagi dan berencana untuk membuat sayur toge yang menjadi kesukaan suamiku setelah aku kembali dari belanja nanti. Jadi semuanya bisa sarapan dan tidak ada yang ketinggalan.

Usai melakukan semua kewajibanku dan membuatkan sarapan untuk mang Dedi, aku pun kemudian memilih mandi dan membersihkan badanku yang berkeringat.

Hari ini juga aku mulai punya keinginan untuk berdandan secantik mungkin agar bisa tampil cantik dihadapan Mang Dedi nanti. Entah motivasi macam apa yang membuatku punya pikiran seperti itu, namun aku cukup senang membayangkan diriku tampul menarik dihadapan penjual sayur itu.

"Umi mau kemana??" Kaget suamiku yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.

Akupun hanya tersenyum sambil terus merias wajahku, "Mau belanja Bi! Buat sarapan kita" balasku.

"Tumben pake dandan segala, biasanya mah kamu pake daster doang" ledek suamiku.

"Gak ada salahnya dong tampil cantik" ucapku percaya diri.

Suamiku tertawa mendengarnya, "Iya, tapi siapa juga yang mau liat Mi?? Paling tukang sayur???" ledeknya lagi.

"Ya gapapa lah Bi! Mending dandan depan tukang sayur sekalian daripada dandan depan Abi"

"Lah kok gitu Mi?" Tanya suamiku heran.

Aku membalik badan dan mencibir suamiku, "Iya, percuma dandan kalau gak diajak jalan" ucapku meledek.

Suamikupun tertawa terbahak-bahak mendengar candaanku yang sebenarnya adalah isi hatiku juga. Tapi tampaknya laki-laki yang sudah berumah tangga selama 6 tahun bersamaku ini sama sekali tidak peka seperti kebanyakan laki-laki diluar sana.

"Awas nanti kamu diajak jalan sama tukang sayur loh" ucap suamiku masih becanda.

"Asalkan tukang sayurnya baik mah gapapa" balasku beranjak dari meja rias.

Mendengar perkataan ku tersebut, suamiku tampak sedikit syok tak bergeming dari tempatnya. Dia tiba-tiba terdiam dan bengong seperti orang yang terkena hipnotis.

Beruntung aku cepat menyadari situasi dan menghampiri suamiku sambil tersenyum meledek, "Canda suamiku sayang" ucapku sambil mengecup pipinya.

"Hampir jantungan aku Mi" balasnya masih tak percaya.

Aku pun tertawa melihat ekspresi suamiku yang tampak mengelus-elus dadanya "Salah sendiri becandanya begitu" Ucapku beranjak dari kasur.



Setelah berbincang-bincang sebentar dengan suamiku, aku pun berpamitan kepadanya untuk pergi berbelanja. Tak lupa aku membawa kotak nasi dan tempat air minum yang berisikan teh manis untuk aku sajikan kepada Mang Dedi sebagi hadiah.

Kemudian dengan perasaan senang dan berdebar-debar, aku pun melangkahkan kakiku menuju ke tempat Mang Dedi yang berada di pertigaan tak jauh dari rumahku.

Setiap pagi dia memang selalu mangkal dan berjualan disana karena lokasinya yang strategis berada di dekat dengan jalur akses masuk dan keluar perumahan.

Disana juga terdapat sebuah pos yang biasanya menjadi tempat berkumpulnya para tukang ojek mencari pelanggan.

"Pagi Mang!" Sapaku tersenyum melihat Mang Dedi tengah duduk di dalam pos.

"Waduh, ada bidadari mau belanja sayuran nih" balasnya sumringah melihat kehadiranku.

Akupun bersemu merah mendengar pujian pria itu dan menunduk malu-malu, "Mamang bisa aja ih" ucapku yang sebenernya sangat-sangat senang.

"Kok dipanggil Mamang lagi sih? Kemaren kan kita udah sepakat atuh" Protes Mang Dedi padaku.

"Eh iya lupa Mas" balasku terkekeh.

"Nah gitu dong adem" tawa Mang Dedi sangat senang mendengarku memanggilnya dengan sebutan "Mas"

"Oh iya Mas, ini aku bawa sarapan buat Mas Dedi" ucapku menyodorkan kotak makanan dan botol minuman yang aku bawa dari rumah tadi.

Wajah Mang Dedipun tampak berseri melihat aku menawarkan sarapan untuknya, "Puji tuhan!!! kebetulan banget aku belum sarapan. Dek Liya emang paling tau kebutuhan Mas" jawabnya menyambut makanan dariku.

"Iya Mas sama-sama. Dimakan ya" balasku begitu senang melihat Mang Dedi yang juga tampak antusias dengan pemberianku.

"Duduk sini Dek! Nanti kamu capek berdiri terus disana" tawar Mang Dedi menepuk-nepuk kursi lesehan yang ada di sebelahnya.

Akupun dengan sedikit sungkan dan malu-malu masuk ke dalam pos yang sebenarnya tidak terlalu besar tersebut. Didalamnya terdapat sebuah lesehan yang terbuat dari bambu dan berukuran lumayan besar.

Pos tersebut juga terbuka dengan bagian dinding yang hanya dibuat setengahnya saja. Jadi kalau ada orang yang masuk kesana, yang terlihat dari luar hanyalah bagian kepala sampai lehernya saja.

Sambil celingak-celinguk akupun memperhatikan keadaan sekitar yang tak seperti biasanya terasa lumayan sepi.

"Sepi kok Dek! Ibu-ibu lain udah pada belanja tadi" ucap Mang Dedi yang seakan tau dengan apa yang aku pikirkan.

"Kok pada cepet ya Mas? Baru juga jam 7 ini" tanyaku melirik jam di tangan.

"Kamu gak tau kalau di kelurahan lagi ada acara acara senam massal??"

Aku menggeleng, "Enggak Mas" jawabku singkat.

"Oh iya lupa, kamu kan baru ya disini" balas Mang Dedi sambil membuka kotak nasi yang berisi nasi goreng buatanku tadi.

"Wahhh. Nasi goreng Uni-uni padang nih. Pasti enak banget" lanjutnya begitu senang.

Akupun tertawa melihat reaksinya yang berbinar-binar seperti seekor kucing yang dikasih makan ikan, "Spesial buat Mas Dedi" balasku.

"Hehehe. Makasih ya Dek Liya sayang" ucap Mang Dedi mengelus pundakku dengan pelan.

Namun bukannya protes, aku malah membiarkan Mang Dedi meyentuh bagian badanku tersebut dengan santai. Padahal selama ini aku tak pernah membiarkan laki-laki lain selain suamiku untuk menyentuh diriku bahkan untuk bersalaman tangan saja.

Tapi dengan Mang Dedi lagi-lagi ada pengecualian yang tak dapat aku jabarkan dengan kata-kata. Tatapannya yang hangat dan lemah lembut itu seolah berkata padaku bahwa dia tidak akan pernah punya niatan untuk menjahatiku. Jadi secara tidak sadar akupun terbawa untuk bersikap biasa saja di depannya.

"Waduhh.. enak banget nih nasih gorengnya" ucap Mang Dedi saat dia memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya.



"Masa sih Mas?? Nasi goreng biasa aja kok itu" jawabku merendah.

Mang Dedi lalu menggeleng, "Kayaknya ini spesial deh. Bikin nya pasti penuh rasa cinta" rayu Mang Dedi padaku.

"Mang Dedi bisa aja" senyumku makin merasa senang.

Sambil Mang Dedi makan kamipun tetap mengobrol ringan seputar banyak hal seperti kegiatan warga perumahan sini yang setiap hari minggunya acap kali mengadakan kegiatan senam massal.

Mang Dedi juga bilang kalau kegiatan tersebut digandrungi berbagai macam kalangan seperti ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak. Jadi wajar pada jam seperti ini komplek perumahan tampak sepi tidak ada orang.

"Lain kali Dek Liya coba ikut deh sama suami. Itung-itung buat refreshing" saran Mang Dedi padaku.

"Suamiku mana mau Mas ikut acara kayak gitu. Dia paling males sama yang namanya olahrga" jawabku teringat momen dimana dulu suamiku selalu menyerah duluan ketika kami jogging bersama.

"Kalau gitu sama Mas aja gimana??" Tawar Mang Dedi tiba-tiba.

Aku tersenyum senang mendengarnya, "Boleh sih Mas, tapi Mas kan jualan" jawabku tak mau terlalu berterus terang.

"Demi menemani bidadari, aku rela tak jualan sayur sehari" candanya dengan wajah serius.

"Paan sih Mas!! Kamu gaje" tawaku pecah mendengarnya bercanda dengan wajah serius seperti itu.

Kami terus mengobrol ngalor ngidul kesana kemari tanpa sadar sudah menyerempet pada hal-hal yang sedikit menujurus kearah yang jorok.

Aku dengan sedikit malu-malu tetap meladeni pembicaraan tersebut karena Mang Dedi selalu menyelingi obrolan kita dengan suasana bercanda dan humor-humor recehnya.

"Beneran tau Dek, cewe kalau jembutnya banyak pasti orangnya napsuan" lanjut Mang Dedi ditengah obrolan kita tentang masalah keintiman.

"Ah. Mas sok tau!! Aku bulunya banyak tapi gak napsuan tuh" jawabku membantah

Mang Dedi menggeleng, "Kamu belum sadar aja sama diri kamu. Mas berani taruhan kalau kamu sering masturbasi di kamar mandi. Iya kan??"

"Masturbasi apaan?" Tanyaku bingung dengan istilah yang digunakan Mang Dedi.

"Itu! Yang main-main sama punya kamu sendiri" ucapnya dengan frontal.

Sontak aku kaget dan langsung teringat dengan kejadian kemarin-kemarin hari dimana aku beberapa kali sempat melakukan hal yang dimaksud masturbasi tersebut oleh Mang Dedi. Beberapa kali ketika aku terangsang, aku mengikuti instingku dengan mengelus-elus bagian luar vaginaku sampai becek dan basah.

"Tuh kan pernah" ucap Mang Dedi dengan percaya diri.

Tapi aku masih tidak terima dan protes padanya,
"Iya tapikan gak sering juga" balasku sewot.

"Aku yakin sering" angguk-angguk Mang Dedi menuduhku.

"Mas kali yang sering begitu" balasku mengalihkan pembicaraan.

Namun Mang Dedi malah terkekeh mengakuinya, "Kalau Mas mah emang sering Dek. Maklumlah Mas belum punya istri buat begitu-begituan"

"Idiihh najong. Ngomongnya kayak orang bener" ledekku becanda.

"Beneran dong. Daripada aku memperkosa orang, lebih baik dikocok pake tangan sendiri" tawa Mang Dedi lepas begitu keras.

"Emangnya enak ya Mas pake tangan sendiri?" Tanyaku penasaran.

Mang Dedipun mengangguk, "Enak sih Dek. Tapi bakalan lebih enak lagi kalau pakai tangan kamu ini" ucapnya Mang Dedi meraih dan memegang tanganku. Tapi anehnya, aku tidak berusaha menarik tanganku dan membiarkan saja tangan kasar milik Mang Dedi tersebut menggenggamnya.

"Apaansih kamu Mas!!" Ucapku malu-malu tak berani menatap wajah Mang Dedi.

Jantungku berdebar-debar sangat kencang seperti sebuah tabuh yang terus dipukul tak henti-hentinya. Suasana pagi itupun mulai terasa sedikit panas dan membuatku kegerahan.



Apalagi dalam situasi tempat yang terbuka seperti ini semakin menambah rasa berdebarku takut-takut kalau ada yang lewat dan melihatku bergandengan dengan pria yang bukan suamiku tersebut.

Tiba-tiba saja, Mang Dedi mengangkat tanganku dan menciumnya "Iya. Kalau tangan halus punya kamu ini yang ngocokin aku, pasti bakal enak banget" rayunya semakin berani.

"Mas jangan ih!! Nanti diliat orang" protesku padanya.

Cukup aneh memang karena seharusnya aku memprotes tindakan Mang Dedi yang memegang dan mencium tanganku, bukan malah memprotes dia yang melakukannya di tempat terbuka seperti ini.

"Abis tangan kamu wangi sih Dek" balasnya terkekeh.

Suasana diantara kamipun menjadi sedikit canggung setelah itu karena aku memilih diam sejenak tak bisa lagi berkata-kata banyak. Jantungku sudah sangat terpacu oleh tindakan kecil Mang Dedi itu dan darahku berdesir merasakan adrenalin mengalir keseluruh tubuhku.

Aku membiarkan saja tanganku tersebut di genggam lama oleh Mang Dedi sebelum akhirnya dia tiba-tiba menuntunnya pada daerah selangkangannya sendiri.

"ASTAGFIRULLAH MAS!!" teriakku lumayan kencang sambil menarik tanganku dari selangkangannya.

Dapat aku rasakan kalau di balik celana yang tengah dipakainya saat ini, batang penis Mang Dedi tengah menegang dengan sangat kerasnya.

Namun dengan tanpa bersalah sedikitpun Mang Dedi malah tertawa, "Kenapa Dek?" Ucapnya bertanya dengan polos.

"Mas nakal iiihhhhh!" Protesku lagi.

"Abis kamunya diem aja gak ngomong" sungut Mang Dedi malah menyalahkanku.

"Mas tuh ya!! Iseng banget jadi orang!!" Ucapku melayangkan sebuah cubitan dipinggangnya.

"Awhhh sakit Dek" ringis Mang Dedi sambil tertawa.

Setelah itu, Mang Dedi malah menggelitik balik pinggangku dengan tangannya, "Ini serangan balasan" teriaknya menggelitikku.

Akupun langsung berkelojotan merasa geli karena Mang Dedi menggelitik di kedua area pinggangku sehingga aku yang gampang gelian inipun jatuh tertidur di lesehan bambu yang ada disana.

"Ampun Mas, Ampun" ucapku tertawa menahan geli meminta Mang Dedi berhenti untuk menggelitikku.

Tanpa aku sadari, posisiku kami saat ini sedang berhimpitan satu sama lain dengan Mas Dedi berada diatasku yang tengah telentang kegelian. Untungnya posisi tersebut tidak bertahan lama karena Mang Dedi segera menghentikan gelitikannya padaku.



Mang Dedi tertawa puas setelah berhasil mengerjaiku sebelum akhirnya dia menjatuhkan diri disampingku. Nafas kami berdua saling berpacu terengah-engah setelah beberapa saat kami bergelut layaknya anak kecil yang tengah asik bermain.

“Kamu cantik Dek Liya” ucap Mang Dedi tiba-tiba memegang pipiku.

Ada hawa hangat yang aku rasakan saat tangan kasarnya tersebut menyentuh kulit wajahku. Bahkan tak ada sedikitpun niat untuk menolak sentuhan pria penjual sayur itu karena yang aku rasakan justru malah sebuah ketentraman.

Dadaku pun tak berhenti berdegup dengan kencang, saking kencangnya sampai aku takut kalau Mang Dedi akan mendengarnya. Aneh memang aku bahkan tidak sadar kalau aku ini adalah perempuan yang sudah bersuami.

Yang tersbesit dalam benakku saat itu adalah bagaimana bisa aku menahan getaran yang menelusup ke sumsum tulangku, merambat melalui setiap pembuluh nadiku, dan berusaha keluar melesak meminta untuk dibebaskan.

“Mas!!” lirihku menahan badan Mang Dedi yang mencoba mendekat.

Namun Mang Dedipun tampaknya tau kalau usaha penolakanku itu hanyalah setengah-setengah saja, “CUPPP!!” Dalam sekejab bibir Mang Dedi mendarat di bibirku. Sepersekian detik sebelum dia melepas dan menjauhkannya kembali.

Sedangkan aku terpatung, sadar bahwa sebenarnya momen ini pasti akan terjadi namun tetap merasa tak siap menyambutnya. Dalam keadaan itu, kami berdua saling menatap satu sama lain tanpa sedikitpun mengeluarkan kata-kata. Tapi dari pancaran mata Mang Dedi, aku bisa menangkap banyak hal yang ingin dia sampaikan padaku namun tak bisa dia ungkapkan secara terus terang.

“Mas, kita tida--mpphhhhh”

Kata-kataku terhenti ketika Mang Dedi kembali mendaratkan ciuman bibirnya mengunci bibirku. Namun untuk kali ini bibir kasarnya tersebut tidak hanya sekedar menyentuh seperti tadi. Ciuman Mang Dedi mulai berani melumat bibirku dengan halus dan penuh gairah.

Aku langsung tahu, kalau aku sudah tidak bisa menghindar. Maka yang aku lakukan justru menutup mataku, menikmati setiap getaran tabu yang dialirkan oleh Mang Dedi lewat ciumannya yang begitu lembut.

Kalo mau jujur, aku juga ikut menikmatinya. Bahkan beberapa saat secara refleks aku juga membalas melumat bibir Mang Dedi, mengisyaratkan kalau aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dia rasakan.

“Maaf Dek. Aku terlalu nekat” ucap Mang Dedi menghentikan ciumannya.

“Jangan minta maaf Mas” balasku melumat balik bibirnya.



Bagian 4 : Terbawa Suasana


"Jangan minta maaf Mas" ucapku melumat balik bibirnya.

Akal sehatku saat itu hilang, terkubur dalam bahasa tubuh yang menginginkan sesuatu yang sebenarnya sudah melanggar semua kode etik ku sebagai seorang istri dan seorang wanita yang agamis.

Kami hanyut dalam cumbuan tabu itu. Rasanya hangat dan lembut, namun masih ada keragu-raguan yang membayanginya.

Mang Dedipun membalas melumat bibirku dengan penuh kehati-hatian. Aku bisa merasakan bahwa kami berdua sedang mencoba meluapkan emosi dengan saling melumat dan mencium satu sama lain.

Bibirku mengunci bibir Mang Dedi agar tak lepas dari ciuman itu, mengisyaratkan kalau aku tidak ingin melepaskan momen ini secepat mungkin. Pun kemudian diapun membalas dengan sebuah lumatan yang tak kalah hebat penuh gairah seperti berkata kalau dia juga menginginkan hal yang sama.

Katakan aku gila, tapi merasakan cumbuan dari laki-laki lain selain suamiku justru memang sungguh-sungguh nikmat dan memberikan sensasi yang berbeda. Apalagi ketika melakukannya di tempat terbuka seperti ini. BIsa saja, seseorang tiba-tiba datang dan akhirnya memergoki kami yang sedang mencumbu satu sama lain.

"Kamu cantik Dek Liya. Sayang bukan milikku" ucap Mang Dedi menahan daguku dengan jari-jarinya.

Kami menghentikan cumbuan itu. Berdiam diri sejenak, mengatur nafas dan menarik oksigen yang habis menipis. Saling tatap dan tersenyum meledek. Seolah-olah kami tau kalau apa yang kami lakukan adalah sebuah kegilaan yang benar-benar gila.

"Mas nakal!!" ungkapku menepuk pelan dadanya.

Aku tersipu malu. Mengalihkan pandanganku yang tak berani menatapnya lama-lama.

"Kamu yang agresif loh ya!" Balas Mang Dedi meledekku.

Akupun kembali tersenyum mendengar perkataannya. Kemudian, aku bangkit dari lesehan tersebut dan duduk membelakangi Mang Dedi.

"Mau kemana??" Tanya Mang Dedi memegang tanganku.

"Pulang" balasku singkat.

Namun dari posisi belakang itu, Mang Dedi tiba-tiba memeluk tubuhku dengan kuat, "Jangan dulu" tahannya memelas.

"Lepasin Mas! nanti dilihat orang loh" protesku berusaha melepaskan diri.

"Kalau begitu ayo tiduran lagi sayang!" Ajak Mang Dedi padaku.

Aku menggeleng menolaknya, "Sudah Mas! Nanti ketahuan sama orang ih" Ucapku.

Untungnya, Mang Dedi pun tampak sadar dengan situasi yang sudah semakin siang tersebut dan sebentar lagi akan banyak kendaraan yang berlalu lalang.

Tapi sebelum melepaskan pelukannya, Mang Dedi kembali memajukan wajahnya kearah wajahku. "CUPPPPPP" sebuah ciuman kembali mendarat di bibirku. Bahkan dia langsung melumatnya begitu saja.

Akupun menggeliat memprotesnya dan mencoba melepaskan diri, tapi kali ini ciuman Mang Dedi itu sedikit lebih intens dari yang pertama dan terkesan sangat bernafsu.

Tidak hanya melumat bibirku, lidah Mang Dedi pun mulai ikut masuk dan menggelitik setiap rongga mulutku. Aku bisa merasakan kelembutan dari lidah Pria penjual sayur itu bermain-main dalam mulutku. Bahkan terkadang ia berusaha melilit lidahku dan menarik-nariknya sehingga tak lama lidah kamipun bertautan dan saling bertukar air liur.

Untuk kesekian kalinya, akupun kembali berciuman dengan Mang Dedi tanpa ada lagi penolakan yang berarti. Bahkan untuk berhenti saja rasanya aku enggan karena pikiranku sudah tidak selaras dengan nafsu yang mengambil alih tubuhku.

Tapi disisi lain aku tau kalau semua ini sudah melewati batas kenormaan yang aku yakini. Ini salah dan Ini adalah dosa. Hanya saja, pembenaran demi pembenaran telah aku lakukan sejak pertama kali Mang Dedi menciumku. Sehingga tak ada lagi jalan balik yang dapat ku tempuh untuk kembali seperti semula.

Tanpa sadar badanku kembali ditarik oleh Mang Dedi ke lesehan bambu yang ada disana sehingga mau tak mau aku jatuh memutar badanku dan berada dalam posisi miring saling peluk dan berhadap-hadapan.



Aku tidak berkata apa-apa untuk memprotesnya, malah aku menutup mataku dan tersenyum menantikan cumbuannya kembali. Mang Dedipun tampak tak menyia-nyiakan waktunya dengan langsung memajukan wajahnya ke wajahku, dan bibir kami kembali berciuman dengan lembut dan mesra.

"cllpp... cllppp... cllpp..."

Begitulah suara perpaduan bibir kami berdua yang terdengar basah dan begitu menggairahkan di telingaku.

Perlahan tapi pasti, nafsu birahi mulai mengambil alih dan semakin kuat menguasaiku. Harus kuakui, Mang Dedi sangat pandai memainkan ritme dalam kecupan-kecupannya sehingga aku terhanyut dalam kenikmatan. Bahkan dengan suamiku sekalipun, aku belum pernah merasakan rangsangan sehebat ini.

Akupun tidak tau kemana ombak birahi ini akan membawaku hanyut. Tapi yang pasti, perasaan dan hatiku lama-lama menjadi tenang meski tadinya aku sempat merasa gelisah karena keadaan dan tempat aku berada saat ini.

“Dek, Mas mau minta sesuatu boleh gak?” tanya Mang Dedi menghentikan ciumannya.

Aku mengangkat alisku, “Minta apa Mas?” tanyaku penasaran.

“Ini sayang!” ucap Mang dedi tiba-tiba saja memindahkan tangannya dari pinggangku menuju ke bagian buah dadaku.

Aku betul-betul kaget dan terkejut. Tanganku secara reflek menahan tangan Mang Dedi, “Jangan Mas! Jangan disitu” ucapku meminta pengertiannya.

Mang Dedi kemudian benar-benar menjauhkan tangannya dari buah dadaku, Akan tetapi kedua tangannya yang kekar dan kuat itu kembali beranjak memeluk pinggang rampingku dengan erat dan memaksaku untuk semakin merapat.

“Kenapa Sayang?? Apa aku gak berhak??” tanya Mang Dedi setengah berbisik dan memelas.

Ada perasaan bersalah saat aku mendengar pertanyaan Mang Dedi tersebut. Dalam hati aku ikut bertanya kenapa aku melarangnya. Bukankah daritadi aku juga sudah mengikhlaskan bagian tubuhku yang lain untuk dinikmatinya. Lalu apa yang membuat ini menjadi berbeda??

Entahlah. Rasanya aku masih ragu untuk memberikan raga dan hatiku untuknya. Karena akupun tau kalau aku tak akan pernah bisa melakukan hal tersebut. Sebab aku adalah wanita yang sudah mengikat janji suci bersama pria lain. Itu berarti, tak peduli seberapa inginnya aku menghamburkan diriku pada Mang Dedi, separuh dari apa yang aku dia inginkan saat ini tetaplah menjadi milik dari suamiku.

“Aku istri orang Mas!” ucapku memasang tembok pertahanan yang tinggi untuknya.

Namun bukannya mundur, Mang Dedi malah tersenyum mendengar hal tersebut, “Apa bedanya Dek Liya?? aku dan kamu sama-sama menginginkan ini bukan??” Ucap Mang Dedi kembali menciumku.

Aku lagi-lagi terbawa, terbius oleh kata-kata dan perbuatan Mang Dedi yang semakin pandai memainkan emosi dan meruntuhkan pertahananku. Bahkan permainan tarik ulur yang dimainkannya ini telah sukses membuatku berpikir kalau tak ada lagi yang perlu aku sesali.

Aku meraih tangan Mang Dedi yang tadi berada di pinggangku. Kuarahkan tangan tersebut tepat dibagian dada, seolah mengisyaratkan padanya bahwa aku telah memberikan izin untuk kepadanya untuk menyentuh gundukan gunung kembar milikku itu.

Mang Dedi tersenyum, mengecupku pelan beberapa kali hingga dia mulai menggerakkan tangannya didadaku. Pelan dia menggenggam bongkahan daging mungil yang tak pernah disentuh oleh laki-laki lain selain suamiku itu. Bahkan tak sampai menggenggam, tangan Mang Dedi itupun memijat-mijat kedua buah dadaku dan meremas-remasnya bergantian.

“Masshh--” aku langsung menutup mulutku dengan tanganku sendiri. Hampir saja aku kelepasan dan mendesah akibat perbuatan Mang Dedi tersebut.

Namun Mang Dedi tak mempedulikan, dia terus melancarkan aksi mesumnya pada tubuhku dengan terus bergerak nakal. Satu tangannya bahkan beralih ke area bokongku dan juga ikut meremasnya.

“Ohh tuhan ini nikmat sekali” kataku dalam hati.



Aku terbawa suasana, aku menikmati ini dan bahkan aku mulai agresif menyodorkan tubuhku agar dapat digerayangi oleh tangan kasar Mang Dedi. Dibawah sana, pangkal pahaku juga sudah terasa panas dan basah, seperti ada sesuatu mengalir keluar. Rasanya geli sekali, seolah-olah tingkat sesitifitasnya meningkat berkali-kali lipat.

“Acccchhhhhh..”

Tanpa disengaja, aku memekikkan desahan yang lumayan keras. Cukup keras hingga Mang Dedi terpaksa berhenti melancarkan aksinya.

“Hmmm...Kamu basah sayang??” tanya Mang Dedi yang tanpa aba-aba dia menyentuh selangkanganku dari balik baju gamis yang aku gunakan.

Aku terpekik kaget merasakannya. Tapi apa yang terjadi, badanku malah tak mau beranjak dan tanganku tak mau bergerak untuk mencegah tangan Mang Dedi. Malah rasanya semakin lama semakin nikmat saat Mang Dedipun mulai bergerak pelan mengelusnya.

“Gatell Masshh...” ucapku yang tanpa sadar menggesek balik bagian selangkanganku di tangannya.

Tak cukup itu saja, rangsangan tangan Mang Dedi di selangkanganku tersebut dibarengi dengan sodokan-sodokan sebuah benda keras yang menyundul-nyundul pangkal pahaku. Nampaknya Mang Dedipun juga sudah mulai terangsang.

Aku dapat merasakan napasnya mulai terengah-engah. Sementara aku sendiri semakin tidak kuat untuk menahan erangan meski aku sadar kalau saat ini kami masih berada di dalam pos ronda. Maka yang bisa aku lakukan hanyalah mendesis-desis untuk meredam kenikmatan yang mulai membakar kesadaranku.

Saat aku terhanyut itulah tanpa kusadari tangan Mang Dedi sudah berhasil mengangkat setengah baju gamisku dan menyusup masuk kedalam celanaku yang longgar. Belum sempat aku bereaksi, tangan itu sudah dengan cekatan menyentuh permukaan vaginaku yang memang sudah basah sedari tadi.

“Banjir kamu Dek Liya” komentar Mang Dedi setelah ia berhasil mendaratkan tangannya di vaginaku.

Reflek aku mengatupkan kedua pahaku sehingga tangan Mang Dedi malah terjepit kuat oleh keduanya. Tangan kasar yang terjepit di selangkanganku itupun malah langsung saja bergerak mengorek-orek kemaluaanku hingga rasa nikmat pun datang tak terhindarkan.

Namun belum cukup aku dikagetkan dengan aksi Mang Dedi itu, tiba-tiba Hpku berbunyi. Berbunyi sangat keras hingga mampu membuat kesadaranku kembali. Aku langsung mendorong tubuh Mang Dedi dengan kuat dan segera bangkit duduk sambil merapikan pakaianku yang berantakan akibat perlakuan Mang Dedi.

Aku meraih smartphone milikku dari dompet dan segera mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari suamiku, “Ha—hallo Bi!” angkatku terbata-bata.

“Assalamualikum Umi! Umi kok lama?” tanya Suamiku dibalik telfon.

Aku berdehem membenarkan pita suaraku, “Waalaikumsalam Bi! Umi tadi ngobrol dulu sama Ibu-ibu komplek” jawabku berbohong. Sudahlah aku berbuat mesum dengan pria lain, sekarang aku malah ikut membohongi suamiku secara langsung.

“Buruan dong Mi! Abi udah laper banget nih” pinta suamiku.

“Iya Bi! Ini udah mau jalan pulang kok” lagi-lagi aku berbohong.

Tak lama akhirnya telpon pun di tutup dan aku menghembuskan nafas lega yang begitu panjang. Beberapa menit aku hanya diam mengingat perbuatan gilaku yang benar-benar sudah jauh melampaui batasnya. Tapi dengan cepat aku kuasai diriku karena semuanya sudah kembali normal dan harus dihentikan sekarang juga.

Aku masih belum bisa berkata apapun. Bahkan untuk membalik badan dan melihat Mang Dedi saja aku tak berani. Ingin rasanya cepat-cepat pergi dari sini. Malu, rasanya malu sekali sampai-sampai wajahku terasa begitu panas dan mungkin sekarang memerah seperti udang rebus.

“Kayaknya aku harus pulang” ucapku memecah keheningan dintara kami.

Dari belakangku terdengar Mang Dedi ikut bangkit dari tidurnya, “Iya harus” balasnya singkat.



Kemudian dengan kikuk aku memaksa diriku untuk berdiri walau masih tenggelam dalam rasa malu yang tak terkira. Rasa malu karena Mang Dedi sudah menangkap basah aku yang sedang terangsang begitu hebat. Rasa malu karena sudah memperlihatkan sisi liarku kepada laki-laki lain selain suamiku.

“Aku mau sayur bayam dan ikan tongkolnya” Ucapku pada Mang Dedi.

“Ga sekalian sama terongnya?? Gede-gede loh” balas Mang Dedi melempar candaan.

Namun sekuat hati aku menahan senyumku, “Ga lucu” balasku berpura-pura jutek padanya.

Usai membeli semua barang belanjaan yang aku butuhkan dari Mang Dedi, aku pun kemudian berpamitan pulang kepadanya. Diakhir sebelum aku pergi, Mang Dedi sempat memberikan kecupan ringan pada bibirku serta meremas buah dadaku sebentar.

“Hati-hati ya sayang” ucapnya begitu manja padaku.

Akupun hanya bisa mengulum senyum sambil beranjak pergi layaknya sepasang kekasih yang baru saja pulang sehabis berkencan. Hatiku senang sekaligus berbunga-bunga diperlakukan seperti seorang wanita spesial oleh tukang sayur langgananku itu.

“TING” sebuah pesan masuk ke dalam smartphoneku.

Aku segera membukanya dan melihat kalau pesan tersebut ternyata dari Mang Dedi, “Lain kali kamu harus beli terong yang ini!” tulisnya sambil mengirim foto penisnya yang tengah tegang berdiri.

ASTAGFIRULLAH!!!



Part 5 : Tak Sampai Juga


Usai kejadian di pos ronda waktu itu, kehidupan sehari-hariku tak berubah banyak. Tiga hari berlalu secara normal seperti biasanya, sampai dimana pada hari ini sebuah rumor beredar luas di komplek perumahan tempatku tinggal.

Rumor tersebut mengatakan bahwa ada sepasang muda mudi yang melakukan kegiatan mesum di pos ronda pada pagi hari. Untungnya sampai saat ini belum ada kejelasan tentang kapan dan siapa identitas muda-mudi yang disebutkan itu.

Hanya saja, rumor tersebut seolah kebetulan mengarah kepadaku dan Mang Dedi. Sehingga mau tak mau akupun mulai merasa khawatir tentang hal tersebut. Namun meskipun begitu, aku tak mau menjadi munafik dengan mengatakan kalau aku ingin menghentikan hubunganku dengan si penjual sayur langganan ku itu.

Barangkali aku mabuk. Atau memang aku hanyut dalam rasa tabu yang membuatku terus terlena sampai aku tak merasa menyesal lagi mengkhianati kepercayaan suamiku. Bahkan pelan-pelan aku mulai berani mengatakan rindu secara terang-terangan kepada laki-laki itu.

Selama tiga hari ini pula, kedekatanku dengan Mang Dedi sebenarnya semakin terjalin kuat satu sama lain usai perbuatan “gila” kami tempo hari. Seperti malam ini saja, disebelah suamiku yang sedang rebahan aku tetap saling bertukar pesan dengan Mang Dedi.

“Menurut Umi, siapa kira-kira??” celetuk suamiku menyela lamunanku.

“Siapa apanya Bi?” tanyaku heran.

“Yang mesum di pos ronda” jawab suamiku.

Hampir saja aku tersedak, “Ah bukan urusan kita itu Bi!” balasku tak mau membahas topik tersebut.

“Emangnya Umi gak penasaran??” tanya suamiku lagi.

Aku menggeleng, “Engga Bi! Lagian Abi ngapain ikut ngegosip kayak ibu-ibu komplek” ledekku padanya.

“Ya penasaran aja gitu Mi! Masa begituan di pos ronda” kata suamiku.

“Emangnya kenapa kalau di pos ronda Bi??”

Suamiku berbalik, “Aneh aja, kayak gak ada tempat lain” balasnya dengan santai.

Namun dalam hati aku merasa sedikit tersinggung dengan ucapannya tersebut. Karena apa yang dikatakan suamiku secara kebetulan seolah-olah seperti menyindirku.

“Biarin aja kali Bi! Itu kan terserah mereka” ucapku melakukan pembelaan.

“Iya sih. Tapi bukannya itu terlalu nekat?? Kalau misalnya itu Abi, Abi pasti bakal nyari tempat yang lebih aman”

Aku menatap tak percaya pada suamiku, “Ya mungkin saja mereka belum berani berbuat sejauh itu Bi” ucapku berbicara seolah-olah itu memanglah aku.

“Berarti mereka pasangan selingkuh kali ya Mi??”

DEGHHH!!

Jantungku seperti ditikam oleh sebuah benda tumpul saat mendengar pernyataan dari suamiku tersebut. Entah kenapa rasanya seperti benar-benar menyindiriku yang memang sudah berbuat curang di belakang suamiku sendiri.

“Kok diam Mi??” tanya Suamiku sekali lagi.

Aku merasa tergugup tiba-tiba, “Eh.. Anu... Gapapa Bi!” balasku salah tingkah. “Jadi Abi mau selingkuh nih ceritanya??” lanjutku berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Dih. Bukanlah Mi!! itu kan seandainya” bela suamiku tertawa terbahak-bahak.

Kamipun mulai berbicara untuk menghabiskan waktu sebelum tidur dengan bercanda satu sama lain. Di momen seperti ini, rasanya aku benar-benar diliputi rasa bersalah yang mendalam. Tapi disisi lain, aku sungguh tak bisa menghentikan "kegilaan"ku bersama Mang Dedi dengan cara apa pun.

Apalagi kalau dipikir-pikir, aku tidak pernah berselingkuh sampai naik ranjang, hanya saling pegang dan cium saja. Tak ada bagian intimku yang telah cemar. Tak ada tubuhku yang telah tak setia. Semua masih terjaga, masih menjadi milik suamiku seutuhnya.



Aku tahu ini salah dan ‘’berbahaya’’. Tapi mau bagaimana lagi, inilah sisi lainku yang baru saja aku kenali dan tak bisa kukendalikan, yang kadang membuatku merasa utuh dan berharga sekali lagi sebagai seorang wanita normal kebanyakan.

“Mi!” Ucap suamiku memanggil.

“Kenapa Bi??” tanyaku.

Suamiku tersenyum, “Bikin adek buat Tasha yuk!!” ucapnya mendekat kearahku.

“Tapi jangan berisik Bi! Nanti Tashanya bangun” balasku menunjuk kasur kecil disebelah kami tempat anakku tertidur pulas.

Suamikupun menggangguk tersenyum sumringah sambil langsung memelukku kedalam dekapannya. Aku dipeluk dan dicium dengan begitu nafsu seperti orang yang sedang kesetanan. Tiap kali bercinta, suamiku memang adalah tipe orang yang tidak pernah sabaran dan selalu terburu-buru untuk segera menuntaskan birahinya.

“Pelan-pelan Abi!!” protesku saat suamiku meremas buah dadaku dengan kuat.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk pemanasan, suamiku dengan cepat melucuti pakaiannya sendiri dan juga ikut menelanjangiku. Setiap malam, akupun biasanya tidur menggunakan daster yang tipis serta selalu tanpa memakai BH.

Jadi dalam sekali gerakan, dasterku sudah berhasil dia tanggalkan melewati kepalaku. “Umi seksi banget deh” Ucap suamiku sebelum akhirnya dia menciumku.

Akupun meladeni ciuman suami tercintaku tersebut dengan sepenuh hati. Walau rasanya memang tak senikmat ketika aku berciuman dengan Mang Dedi, tapi dari suamikupun sebenarnya juga sudah memberikan aku rasa nikmat dan membangkitkan gairah.

“Pelan-pelan Abi ihhh!!” ucapku lagi-lagi memperingatkan suamiku yang terburu-buru.

Beberapa menit lamanya kami berciuman dengan penuh gairah. Lidah kami saling membelit dan saling mengulum satu sama lain seperti tak mau melepas.

Setelah itu, mulut suamiku bergerak segera menuju ke leherku. Dijilatinya sebentar area tersebut sambil tangannya bermain di bagian dadaku. Putingku sebelah kiri di pilin-pilin dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengelus-elus bagian bokongku yang masih terbalut celana dalam.

Sambil mendongakkan kepalaku ke atas, aku mendesah-desah "Yahh.. Bii.. teruushh.. Biiihh!!" desahku pelan menahan nikmat.

Jilatan suamiku beralih dari leher ke belahan buah dadaku dengan pelan hingga membuat bulu kudukku merinding. Satu hal yang membuatku menikmati percintaan suamiku selama ini adalah permainan lidahnya yang cukup membuatku keenakan.

“Ohhh... jilatin susu Umii Bi!!” ucapku tiba-tiba tak sadar.

Suamiku kaget dan langsung menghentikan aksinya, ”Tumben Umi” ucapnya keheranan karena selama ini aku tidak pernah berkata-kata vulgar seperti itu ketika bercinta. Anehnya, ada perasaan lega saat aku mengucapkan kata-kata tersebut.

“Udah ih!! lanjutin dong.. Umi udah pengen nih” ucapku dengan nada manja nan menggoda.

Suamikupun tersenyum sumringah sambil berkata, “Abi suka gaya Umi”

Dengan perlahan-lahan, suamiku menarik badanku untuk rebahan dibawahnya sambil dia berada diatas menindihku. Aku yang paham dengan maksudnya tersebut langsung membuka kakiku dan mengangkang siap menerima penetrasinya.

"Ooohhhh......" rasa geli sekaligus nikmat mulai menyeruak dalam dinding vaginaku manakala penis suamiku dengan pelan mulai memasukinya.

Suamiku ikut mengerang pelan, matanya terbeliak melihat penisnya pelan-pelan masuk ditelan vaginaku. Segera dengan satu kali gerakan saja, penis yang berukuran tak terlalu besar itupun telah masuk seluruhnya dalam lobang vaginaku.

“Ughhh.. mantaappp!!” erang Suamiku mendongakkan kepalanya.

Aku sendiri merasakan kenikmatan. Vaginaku juga terasa basah dan syaraf-syarafku memang terasa sensitif karena dilanda birahi. Namun entah kenapa, aku masih merasa ada sesuatu yang kurang. Suatu pencapaian yang harusnya bisa aku dapatkan dengan bercinta dengan suamiku.

“Aku goyang ya Mi!" erang suamiku dengan badan yang bergetar.

Segera setelahnya, suamikupun mulai menarik pelan pantatnya mundur. Kami berdua melenguh bersamaan, menikmati sensasi gesekan perpaduan alat kelamin masing-masing yang mendatangkan nikmat luar biasa.



Aku berinisiatif memegangang leher suamiku sambil menurunkan mukanya. Lalu tanpa aba-aba kami langsung berciuman saling mengulum dan bermain lidah penuh gairah.

Sengaja ku kalungkan kakiku ke pinggang suamiku sambil mengangkat sedikit pantatku untuk merasakan seluruh batang itu semakin amblas ke dalam vaginaku.

Walaupun kecil, penis milik suamiku masih terasa keras dan mendatangkan nikmat dalam vaginaku.

“Ooohhyahh... enakk Bi!!... yang kenceeeng atuh... oohhh” pintaku sambil mengerang-ngerang keenakan.

Tanpa sadar aku pun mengimbangi genjotan Suamiku dengan ikut menggoyangkan pantatku.
Suamiku pun bergerak cepat memaju-mundurkan penisnya menusuk-nusuk vaginaku.

Semakin lama gerakan dan pompaan suamiku terasa semakin kencang. Sementara mulutnya tidak henti-henti menciumi pipi, bibir dan buah dadaku secara bergantian.

Mendapat rangsangan tanpa henti seperti itu tiba-tiba saja membuat badanku terasa aneh. Sebab, kenikmatan-kenikmatan yang aku dapatkan dari genjotan suamiku itu, seolah merambat pada satu titik temu.

"Aaahhhh... Abiiiihhh!! Eenaakkkk Bihh.." racauku sangat tidak karuan.

Aku balik membalas ciuman suamiku, sementara pantatku kembali kuputar-putar mengimbangi gerakan penisnya yang tak seperti biasa mampu bertahan cukup lama.

“Ouugghh.. yah begituuhh Mii!! Goyang begituuhh" ceracau suamiku meluapkan kenikmatannya.

Selang tak berapa lama kemudian, suamiku tampak mulai mendengus-dengus semakin cepat. Tangannya sudah tak bergerilya lagi di tubuh melainkan mendekapku erat-erat seperti ingin meremukkan tulang-tulangku.

"Miihhh... Abiii.. mauu... keluarr sayang" bisiknya menahan nikmat.

Disitu aku merasa sangat kecewa, gairahku yang tadi menggebu-gebu itu serasa padam begitu saja. Kenikmatan yang seolah-olah ingin memuncak itupun, harus terpaksa berhenti di tengah jalan.

Padahal aku begitu penasaran, ingin mengetahui seperti apa rasanya jika rasa nikmat itu benar-benar memuncak dan membuncah keluar dari tubuhku. Pastilah begitu nikmat tiada tandingnya.

Akan tetapi aku tak bisa berkata apa-apa. Melihat suamiku yang hampir keluar tersebut, aku hanya bisa menggoyangkan pantatku membantunya.

Kubalas pelukannya dengan tak kalah erat sampai akhirnya tubuh suamiku tersebut bergetar dengan hebatnya.

"Ooooooogghhhhh... enaakkkkhhhh.." geram suamiku seperti seekor harimau yang terluka.

Berbarengan dengan itu, kurasakan sperma suami ku menembak begitu deras ke dalam lubang vaginaku. Suamiku memajukan pantatnya sekuat tenaga, sehingga batang kejantanannya benar-benar menancap sedalam-dalamnya di lubang senggamaku itu.

Aku pun dapat merasakan lubang vaginaku menjadi hangat oleh cairan sperma yang terasa memenuhi setiap rongga yang ada di dalamnya.

Untuk beberapa saat, Suamiku terdiam sambil tetap menindih tubuhku. Keringat kami masih bercucuran membasahi tubuh masing-masing. Setelahnya, suamiku berguling ke sampingku sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.

"Abi bener-bener puas Mi!! Umi istri hebat yang tak ada duanya" puji suamiku bergelayut manja padaku.

Aku membalas senyumannya meski sedikit aku paksakan, "Dari dulu Umi juga sudah hebat bikin Abi puas terus" balasku bermaksud menyindirnya yang tak pernah memberikanku kepuasan balik.

"Hehehe. Iya Umi sayang.. Kamu bener-bener luar biasa" jawabnya tak peka.

Seperti biasa, definisi bersenggama bagiku dan suami hanyalah sampai dimana suamiku keluar menuntaskan hajatnya di dalam vaginaku. Tak ada yang namanya kepuasan timbal balik karena baik aku dan suamiku belum mengenal yang namanya orgasme pada perempuan.

Menurut aku dan suamiku, seks hanya diperuntukkan untuk suami saja, sedangkan seorang istri bertindak sebagai pemuas nafsu dan pelayan bagi suami-suami mereka.

Begitulah sekiranya saat dulu aku diajarkan sebelum kami menikah. Maka tak heran sampai sekarangpun aku tak pernah memprotes pada suamiku. Hanya saja, ada sedikit rasa kecewa yang membuat hatiku terasa kosong setiap kami selesai bercinta.

Dan rasa kosong itulah yang kembali mendorongku untuk merindukan sosok Mang Dedi si penjual sayur.



Aku melirik ke arah suamiku yang ternyata sudah terlelap begitu saja usai bercinta denganku. Aku menggeleng tak habis pikir. Tak percaya ketika dia meninggalkanku pergi tidur begitu saja setelah aku memberikannya kenikmatan.

Aku sedikit jengkel namun bisa memakluminya. Malah ada perasaan sedikit senang ketika tau kalau suamiku sudah terlelap dengan cepat.

Itu berarti aku bisa dengan bebas melakukan apa saja termasuk melanjutkan chatku dengan Mang Dedi yang tadi sempat teralihkan.

Kulihat pada layar smarphoneku ada pesan dari Mang Dedi yang belum aku baca 15 menit yang lalu.

"Maaf Mas aku telat bales. Tadi suamiku minta jatah. Hihihihi" tulisku berterus terang.

Selama tiga hari ini kami memang banyak menghabiskan percakapan kami dengan topik yang berbau hal-hal intim. Mang Dedi bahkan kadang tak segan menggodaku dengan mengirim foto-foto telanjang miliknya yang lagi-lagi memperlihatkan "Terong" besarnya kepadaku.

Tak berapa lama Mang Dedipun membalas, "Iya Gapapa Dek Liya.. tapi kok cuma 15 menit doang?" Tanya balik Mang Dedi.

"Itupun sudah rekor Mas" balasku lagi.

"Hah?? Sebelum-sebelumnya emang bertahan berapa menit?"

"Paling 5 sampai 8 menitan lah" tulisku sedikit menerka-nerka karena aku tak pernah juga menghitungnya berapa lama.

Mang Dedipun kembali membalas, "Waduh. Dek Liya ga puas dong berarti ?"

"Puas gimana maksudnya?? Tanyaku penasaran.

"Ya sampai muncrat gitu" balas Mang Dedi.

Aku semakin penasaran, "Emang wanita bisa muncrat juga Mas?" Tanyaku heran.

"Bisa dong sayang!! Ngewe itu kan bukan cuma buat laki-laki. Harus sampai keluar dan puas dua-duanya dong"

"Masa sih?" Tanyaku bingung.

"Mau coba??" Tawar Mang Dedi.

"Coba sama siapa??"

Tak lama Mang Dedi mengirimkan sebuah foto, "Sama inilah sayangkuu" tulisnya pada foto tersebut.

Sesuai dugaanku, Mang Dedi lagi-lagi tak segan mengirimkan foto penis miliknya yang terlihat sedang menegang dengan keras.

"Iiihhh.. kok tegang sih Mas??" Tanyaku.

"Iya dong. Udah siap dimasukin ke dalam memekmu Dek Liya" balasnya.

Badanku bergetar membaca pesan tersebut, "Astagfirullah Mas! Jangan ngomong jorok begitu" balasku padanya.

"Lah emang bener kok! Ini tegang karena ngebayangin masuk ke lubangmu yang sempit itu Dek Liya" jawabnya semakin frontal.

Darahku tiba-tiba berdesir hebat dan vaginaku terasa berdenyut. Kata-kata vulgar dan frontal Mang Dedi itu malah membuatku membayangkan bagaimana kalau seandainya penis besar miliknya itu benar-benar masuk ke dalam vaginaku.

Dan rupanya bukan aku saja yang membayangkan hal tersebut, "Kalau kontol ini masuk ke dalam memek Dek Liya, Mas bisa jamin Dek Liya pasti bakal mendesah keenakan sampai muncrat-muncrat" tulis Mang Dedi sekali lagi.

"Ihhh Mas bikin pengen aja" balasku yang sebenarnya bercanda.

Namun Mang Dedi tampak serius dengan ajakannya, "Kapan suamimu gak di rumah? Mas bakal mampir" balasnya padaku.

"Dih aku cuma becanda tau" jawabku berdebar-debar.

Tak pernah aku membayangkan bagaimana kalau misalnya aku berselingkuh hingga ke tahap ranjang dengan Mang Dedi. Tapi setelah dia berkata ingin mampir tersebut, mau tak mau akupun merasa panas dingin dibuatnya.

"Hahahha. Aku juga becanda atuh Dek Liya" tulis Mang Dedi membalas pesanku.

Ada sedikit rasa kecewa dalam hatiku ketika mengetahui kalau Mang Dedi cuma sebatas becanda saja. Padahal tadinya yang duluan bercanda adalah aku sendiri. Tapi justru aku sendirilah yang terbawa perasaan karenanya.

"Yasudah kalau becanda" balasku jutek.

"Iya becanda.. Ntar Mas juga bakal becanda ngentot kamu sambil berdiri. Toket kamu bakal Mas remas kuat-kuat dan bibir kamu Mas cium sampai basah" tulisnya panjang lebar.



"Apaan sih Mas" balasku yang sebenernya diam-diam penasaran dengan khalayan pria penjual sayur itu.

"Hehehe. Ga sampai disitu aja Dek Liya. Nanti Mas bakal ngecrot sepuasnya di memek kamu sampai kamu hamil anaknya Mas" balas Mang Dedi.

Jantungku berdegub-degub sangat kencang membayangkan betapa liarnya khayalan yang dimiliki Mang Dedi terhadapku. Aku bahkan tidak menyangka kalau diam-diam pria penjual sayur langgananku itu punya keinginan untuk menghamiliku.

"Emangnya Mas bisa bikin aku hamil apa?" Pancingku padanya.

"Ya jelas bisa dong Dek Liyaku. Tinggal kamunya aja yang mau apa enggak Mas bikin hamil" balasnya lagi.

Sambil terus betukar pesan mesum bersama Mang Dedi tersebut. Aku secara tidak sadar menggerakkan tanganku untuj mengelus-elus buah dadaku sendiri.

Gairahku naik dengan cepat dan hasratku jadi memuncak saat membayangkan bagaimana kalau khayalan-khayalan Mang Dedi terhadapku itu benar-benar terwujud nantinya.

Mataku terasa sayu dan merem melek merasakan nikmatnya usapan tanganku sendiri. Ditambah dengan dinginnya AC kamar yang semakin membuat putingku mencuat dengan keras.

"Kalau aku bilang mau gimana Mas??" Tanyaku semakin kehilangan akal sehat.

Darahku tak berhenti berdesir dan tubuhku merasa semakin bernafsu ketika aku malag memancing-mancing Mang Dedi untuk mengeluarkan lagi bermacam khayalannya terhadapku.

"Kalau kamu mau, biar Mas mampir ke rumahmu. Nanti kita ngentot sepuasnya" jawab Mang Dedi dengan kata frontalnya.

Akupun semakin terbakar oleh birahi yang tadi sempat tak dapat tuntas ditangan suamiku. Masih dalam keadaan penuh nafsu itu, kuturunkan tanganku ke arah selangkangan yang sudah basah oleh cairan dan lendirku sendiri.

Badanku meliuk bagaikan cacing yang kepanasan saat tanganku mulai beraksi di bawah sana. Rasanya pikiran dan badanku seperti punya kemauan mereka masing-masing sehingga aku seperti bergerak tanpa sadar.

"Mas. Aku mau lihat penis kamu dong" pintaku mulai berani pada Mang Dedi.

Tak lama Mang Dedipun membalas dengan mengirimkan foto penis miliknya sambil menuliskan kata-kata tak senonoh yang semakin menambah gairahku.

"Nih kontol gede spesial buat Dek Liya tersayang" tulisnya pada pesan tersebut.

Akupun semakin kelojotan tak karuan mana kala ujung jari telunjukku, ku arahkan ke pintu masuk liang kenikmatanku, kusorongkan sedikit demi sedikit masuk ke dalam hingga rasa nikmat itu memenuhi setiap syaraf-syarafku yang ada disana.

"Oohhh Mang Dediihh..." racauku membayangkan kalau saat ini justru Mang Dedilah yang sedang memainkan vaginaku.

Hingga tanpa sadar, racauan yang kukeluarkan tersebut ternyata cukup keras untuk membangunkan suamiku yang tertidur di sebelahku.

"Umi ngapain?" Tanyanya sambil membuka mata.

OH TIDAKK!!!!!



Part 6 : Terlanjur


Sore hari ketika semua pekerjaan rumahku telah selesai, aku memutuskan untuk beristirahat di teras rumah sambil bermain bersama anakku Tasha.

Langit sore terlihat mendung dengan gumpalan awan-awan gelap yang seperti siap menurunkan bebannya ke bumi. Pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan lebat.

Suasana itupun nampaknya selaras dengan suasana hatiku yang tengah mendung dan kelut karena sedari pagi aku tak sempat bertemu dengan Mang Dedi.

Aku bangun kesiangan gara-gara semalam aku kesulitan untuk tertidur. Itu semua karena suamiku yang hampir saja menangkap basah aku yang tengah asik bermain-main dengan tubuhku sendiri.

Bahkan sampai saat inipun, percakapanku semalam dengan suami masih saja berputar-putar jelas dalam benakku.

"Paha Umi gatel Bi! Makanya tadi Umi garuk" jawabku pada saat dia bertanya.

"Tapi kok Umi kayak nyebut nama Mang Dedi gitu deh?" Selidik suamiku.

Hampir saja jantungku copot saat itu juga, "Ah cuma perasaan Abi aja kali!! Lagian Umi ngapain nyebut-nyebut nama Mang Dedi segala??" Jawabku dengan mantap.

Beruntung, setelahnya Suamiku mengiyakan saja alasanku tersebut tanpa merasa curiga sedikitpun.

Namun ketika pagi hari saat semua gairah dan birahiku itu menghilang, aku jadi sedikit malu menghadapi suamiku karena telah berbohong secara terang-terangan di depannya.

Seharian aku melamun dan bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa aku bisa berubah secepat ini? Kenapa setalah semua hal buruk yang aku lakukan bersama Mang Dedi itu, tetap saja masih belum dapat memenuhi hasrat terpendam dalam diriku.

Aku masih saja menginginkan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang setidaknya dapat mengusir kekosongan dalam bilik hatiku seperti saat aku bercerita maupun bertukar pesan bersama Mang Dedi.

Sadar rasanya aku tidak bisa bermain-main, statusku sebagai seorang istri dan seorang Ibu saja, sudah cukup menjelaskan bahwa aku sudah tak dapat melangkah lebih jauh untuk melanggar batas itu.

Tapi apa daya, sekarang aku menyadari betapa pentingnya peran dan sosok Mang Dedi dalam mengisi kekosongan hatiku tersebut. Jadi sekali lagi, tak dapat aku pungkiri bahwa aku sudah mulai tertarik pada sosok penjual sayur itu.

"Kangen sama kamu Mas" ketikku pada keyboard smartphone yang ku genggam. Tapi dengan cepat aku menghapus kata-kata itu dan menggantinya dengan sebuah sapaan.

"Sore Mas" kirimku pada Mang Dedi.

Tak perlu menunggu lama, Mang Dedipun langsung membalas, "Sore juga Dek Liya"

"Mas lagi ngapain?" Tanyaku berbasa basi.

"Lagi nongkrong nih di warungnya Haji Naim" balasnya padaku.

"Yang deket Masjid bukan?"

"Iya Dek Liya" balasnya singkat.

Aku tersenyun sumringah, ternyata Mang Dedi kebetulan berada tak jauh dari rumahku. "Mas ngapain disana?" Tanyaku lagi.

"Mau bayar utang Dek Liya. Kemaren saya pinjam duit sama Pak Haji" terang Mang Dedi secara gamblang.

"Ohh gitu.. tapi Mas bawa jas hujan kan?" Balasku khawatir.

"Gak bawa sih Dek. Tadi niatnya cuma sebentar aja. Tapi Pak Haji nya malah ngajakin ngobrol"

"Yaudah kalau gitu Mas pulang sekarang aja. Nanti kehujanan" balasku lagi.

"Gak enak sama Pak Haji Dek!! Dek Liya gak punya jas hujan??" Tanya Mang Dedi tiba-tiba.

Aku teringat kalau suamiku biasanya punya jas hujan cadangan yang di letakkannya di bawah lemari sepatu. "Ada nih Mas" balasku setelah aku dengan cepat mengeceknya ke dalam.

"Yaudah nanti saya mampir ke rumah Dek Liya sebelum pulang" balasnya lagi.

Pucuk dicinta, ulampun tiba. Aku yang seharian tak bertemu dengan Mang Dedi itu akhirnya punya kesempatan untuk bertatap muka lagi.



Suasana hatiku seketika berubah menjadi senang dan bahagia.

Aku mengajak anakku Tasha untuk masuk ke dalam rumah. Sebentar lagi Mang Dedi akan mampir kesini dan aku lagi-lagi merasa punya keinginan untuk tampil cantik di depannya.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk mengganti baju daster yang tengah kugunakan dengan pakaian gamis yang lebih bagus. Tak lupa juga, aku sedikit merias wajahku dengan berdandan natural serta memakai parfum.

Saat semua sudah selesai, aku kemudian mematut diriku didepan kaca untuk memastikan bahwa penampilanku sudah sempurna.

Aku tersenyum sumringah, Tampak dari pantulan kaca itu wajahku bersemu merah menantikan kedatangan Mang Dedi layaknya seorang remaja yang menunggu kekasihnya.

Tapi tak dipungkiri, ada rasa takut sekaligus berdebar saat membayangkan kalau Mang Dedi benar-benar datang berkunjung ke rumahku seorang diri.

Rentetan perbuatan "gila" yang pernah aku lakukan dengan Mang Dedipun kembali terputar-putar dalam benakku saat aku sadar kalau aku dan penjual sayur langgananku itu akan berdua untuk sementara waktu.

Sontak badanku jadi lemas dibarengi rasa panas dingin dibuatnya. Aku bertanya dalam hati, adakah kebenaran yang aku lakukan ketika dengan sadarnya aku mengundang pria lain untuk berkunjung ke rumah tanpa sepengetahuan suamiku.

Namun semuanya seakan terlambat untuk dibatalkan karena aku mendengar pintu depanku di ketuk oleh seseorang. Dan tentu saja itu adalah suara Mang Dedi.

"Sore Dek Liya" sapanya tersenyum saat aku membukakan pintu.

Aku membalas senyumnya, "Sore juga Mas" ucapku merasa senang. Rasa kangenku itu telah terobati.

"Anaknya kemana?" Tanya Mang Dedi celingak-celinguk melihat kebelakangku.

"Ada di kamar Mas. Mari masuk dulu!" Ajakku mempersilahkan.

Mang Dedipun dengan terkekeh kemudian masuk ke dalam rumahku yang tidak terlalu besar ini. Aku mengajaknya duduk diruang tamu dengan perasaan yang semakin berdebar-debar.

"Bentar ya Mas aku ambilin minum" ucapku beralasan untuk pergi menenangkan diri.

Rupayanya memang benar apa yang dikatakan oleh orang banyak, kenyataan akan selalu lebih menakutkan dari yang aku bayangkan.

Aku tadinya sempat berpikir bahwa aku tidak punya niatan lain saat mengundang Mang Dedi selain untuk meminjamkan jas hujan kepadanya.

Akan tetapi setelah sosoknya datang, aku malah dibuat sadar kalau apa yang aku lakukan ini benar-benar sebuah kesalahan besar. Terlebih ketika hubungan kami yang begitu dekat tersebut, bisa saja membuat hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di rumah ini.

"Aku telah mengundang serigala ke kandang kelinci." Ucapku mengutuk dalam hati.

Dengan pelan aku kemudian menyiapkan minuman berupa teh manis hangat untuk aku hidangkan sambil terus berusaha membenarkan degub jantungku. Aku menarik nafas dalam-dalam berulang kali sebelum akhirnya aku berjalan balik ke arah ruang tamu.

Ketika aku sampai, aku terkejut melihat Tasha anakku sudah berada dengan Mang Dedi disana, "Itu mah ayam om, bukan bebek" ucap Tasha berbicara lantang.

Mang Dedi melirik ke arahku sambil tersenyum, "Om kira itu bebek tadi" balasnya pada Tasha.

"Kalau bebek itu kakinya pendek Om. Kayak gini" balas Tasha nampak bersemangat.

Aku tersenyum menghampiri mereka berdua yang tampak tengah asik berbincang sambil menggambar gambar hewan di buku gambar kesukaan Tasha.

"Caca gak jadi tidur sayang?" Tanyaku meletakkan nampan.

Anakku itu menggeleng dengan manja, "Gak jadi Mi! Aku mau menggambar sama Om ini" ucapnya terlihat begitu fokus.

"Nah kalau yang ini namanya bebek Om" lanjut Tasha menunjukkan hasil gambarnya pada Mang Dedi.



Mang Dedipun tampak antusias mengimbangi Tasha yang masih berumur 5 tahun itu. "Ohhh kalau kakinya pendek berarti bebek ya" balasnya yang lagi-lagi tersenyum ke arahku.

Seketika rasa was-was yang ada dalam hatiku tadi menghilang setelah aku melihat kedekatan anakku dengan Mang Dedi. Aku tidak menyangka kalau Mang Dedi juga cukup pandai dengan anak-anak kecil.

"Diminum Mas" ucapku menawarkan minum yang telah aku siapkan.

Mang Dedi terlihat mengangguk sambil kemudian menyeruput cangkir yang berisi air teh tersebut. Namun dia masih saja fokus berbincang-bincang dengan anakku Tasha.

"Ini bebeknya punya anak Om. Anaknya banyak" ucap Tasha mendominasi percakapan.

Mang Dedi memangut-mangut melihat gambar yang dibuat oleh Tasha tersebut, "Kok anaknya banyak banget?" Tanya Mang Dedi.

"Iya. Biar temennya juga banyak" jawab Tasha tiba-tiba.

"Kalau Caca gimana? Banyak temennya juga gak?" Tanya Mang Dedi sekali lagi.

Tasha kemudian menggeleng, "Caca gak ada temennya" jawab putriku tersebut begitu polos.

"Loh? Kok gapunya temen?" Tanya Mang Dedi penasaran.

"Iyalah. Caca kan belum punya adek Om" Ucap Tasha dengan analogi lucunya.

Sontak tawa Mang Dedipun pecah mendengar jawaban polos anakku tersebut. "Minta dong dedeknya sama Umi" ucapnya melirikku.

"Udah aku minta Om. Tapi belum jadi-jadi" balas Tasha cemberut.

Akupun menjadi tak tega mendengar jawaban anakku tersebut dan langsung memeluknya, "Nanti Umi bilangin sama Abi" ucapku pelan.

"Tapi kan Abi kerja Mi" balas Tasha dengan polosnya.

Lalu tanpa kuduga, Mang Dedi ikut mendekat kepadaku sambil mengelus kepala Tasha, "Ntar Om yang bantuin deh" ucapnya dengan berani.

Aku menatap tajam pada Mang Dedi yang terkekeh senang dengan candaannya yang memang sudah kelewat itu. Tapi tampaknya kata-kata itu sudah cukup membuat Tasha terhibur dan kembali ceria.

"Om gambarin caca kambing dong!" Pinta Tasha kembali bersemangat.

"Mau kambingnya berapa??" Tanya Mang Dedi bersiap mengambil pensilnya.

Tasha berpikir sebentar memegang dagunya, "Mau empat aja Om" ucapnya mengacungkan jari.

"Kok empat?" Tanya Mang Dedi.

"Iya, biar ada mama kambing, anak kambing, adik kambing dan Om kambing" jelasnya.

Mang Dedi melihat ke arahku sebentar sebelum akhirnya bertanya kembali pada Tasha, "Papa kambingnya kemana?"

"Papa kambingnya kan harus kerja Om" balas Tasha dengan amat polosnya.

Aku terhenyak mendengar jawaban anakku tersebut. Selama ini dia tidak pernah mempermasalahkan Abinya yang selalu sibuk dengan pekerjaan.

Tapi ternyata, diam-diam anakku itu juga merasakan hal yang sama denganku. Semakin hari semakin kesepian karena terlalu sering di tinggal oleh Abinya.

"Om. Caca jadi ngantuk nih. Gambar Om jelek" ucap Tasha dengan gamblangnya mengomentari hasil karya Mang Dedi.

Aku berbalik tertawa meledek, "Iya nih. Umi kira Omnya mau gambar kambing. Kok malah jadi kebo gitu ya Ca" ucapku memanas-manasi.

"Ini kambingnya lagi hamil sayang. Makanya jadi gede" jawab Mang Dedi menjelaskan.

"Hamil itu gimana?" Tanya Tasha dengan polos.

"Hamil itu kalau mau punya Adek" balas Mang Dedi tak kalah polosnya.

Tasha begitu antusias ketika mendengar kata "Adek" tersebut, "Berarti kalau Tasha mau punya Adek, tunggu Umi hamil dulu Om?" Tanyanya lagi.

"Woiya dong sayang. Pinter banget kamu" ucap Mang Dedi mengelus kepala Tasha.

Sikap Mang Dedi tersebut mengingatkanku kepada suamiku yang dulu juga begitu lengket dan dekat dengan Tasha. Namun karena pekerjaan, waktu untuk berduaan dan bermain seperti ini benar-benar jadi berkurang.

Aku jadi sedikit bersyukur karena lagi-lagi ada sosok Mang Dedi yang bisa mengisi kekosongan itu. Walau memang hanya sebentar, tapi aku ikut merasa senang ketika Tasha dapat bermain dan menjalin hubungan dengan sosok "Ayah" sementaranya itu.



Tanpa disadari, Tasha akhirnya tertidur dalam pelukan Mang Dedi disaat hujan lebat juga ikut turun mengguyur bumi.

"Kamarnya dimana?" Tanya Mang Dedi padaku.

Aku menuntun menunjukkan jalan, "Sebelah sini Mas" Ucapku mempersilahkan Mang Dedi masuk ke dalam kamar pengantinku.

"Kamar kamu Dek?" Tanya Mang Dedi melihat sekitar.

Aku mengangguk, "Iya Mas" balasku singkat.

Kemudian Mang Dedi meletakkan Tasha dengan penuh kehati-hatian diatas ranjang. Dia begitu memastikan kalau posisi Tasha sudah pas dan bisa tidur dengan nyenyak sambil tak lupa memberi sebuah kecupan di kening anakku itu dengan lembut.

Hatiku merasa begitu hangat menyaksikan sisi lain dari Mang Dedi. Tak menyangka kalau sosok yang biasanya selalu bercanda hal-hal mesum itu juga dapat bersikap serius penuh dengan jiwa kebapak-bapakannya.

"Yuk" ajak Mang Dedi menarik tanganku keluar dari kamar.

Kami kembali berjalan ke ruang tamu sambil sedikit berbincang tentang kelucuan Tasha dan tingkah lakunya yang imut. Mang Dedi juga tak kalah senangnya mengetahui kalau anakku tersebut bisa dengan cepat akrab dengan dirinya.

Kami kemudian mengobrol panjang lebar sambil sesekali dibarengi dengan candaan dan gombalan. Suasanapun menjadi sudah cair karena Mang Dedi lagi-lagi menunjukkan keahliannya dalam menarik lawan jenis

"Jadi pengen punya anak" ungkap Mang Dedi tertawa.

Aku tau kemana arah dari becandanya itu, namun aku memilih untuk tidak terlalu meladeninya, "Cari istri Mas" balasku berdehem.

"Gak ada yang mau sama penjual sayur kayak saya. Apalagi udah tua begini" balasnya merendah.

"45 masih belum terlalu tua kali Mas" jawabku tidak setuju.

"Tetep saja Dek Liya. Lagian saya ini minoritas, susah kalau nyari pasangan. Ada yang pas, tapi ga seiman. Ada yang seiman, tapi gamau sama saya." Tawa Mang Dedi pecah.

"Ah Mas bisa aja merendahnya" ucapku meledek.

Mang Dedi masih saja tertawa, "Untung saya ketemu sama Dek Liya" ucapnya lagi.

"Kok gitu?" Tanyaku penasaran.

"Iyalah. Dek Liya orangnya baik. Ga pernah mandang rendah ke saya" jawabnya memujiku.

Aku mengulum lidahku tersenyum karenanya, "Gombal banget" balasku singkat.

Saat itu, ku mendapati kalau sesekali mata Mang Dedi melirik ke arah dadaku. Malu rasanya di tatap seperti itu oleh laki-laki lain selain suamiku. Namun kupilih membiarkannya saja karena sebetulnya kami sudah pernah melakukan hal yang lebih dari sekedar pandang memandang

"Emangnya Mas pengen punya istri yang kayak gimana?" Lanjutku bertanya.

Mang Dedi tampak diam sejenak sebelum akhirnya dia memberanikan diri menjawab, "Maaf kalau saya lancang, tapi saya pengen punya istri yang seperti Dek Liya. Wajahnya, sifatnya, badannya, suaranya. Semuanya saya pengen" ucapnya berterus terang.

Aku tertegun oleh jawaban Mang Dedi, rasa malu yang amat sangat tiba-tiba timbul dalam diriku.
Terasa wajahku tebal dan panas seketika itu juga. Akan tetapi tak dapat di pungkiri, perasaan bangga juga ikut menyeruak dalam hatiku.

Aku diam sejenak, menatap ke arah Mang Dedi yang juga menatapku dalam diam. Dalam tatapannya itu, tersirat dengan sangat jelas kalau dia benar-benar jujur menginginkan aku.

Tapi akalku sadar, "Ini salah Mas" ucapku menunduk saat dia beranjak mendekat padaku.

Aku seperti kehilangan tenaga dan lemas saat itu juga. Bukan karena aku kena guna-guna atau semacamnya. Tapi karena aku sadar kalau aku sudah tak dapat menghindar lagi.

Aku berniat menolak. Tak mau kembali mengkhianati suamiku lebih dari sebelumnya. Namun perasaanku untuk menghalangi semua ini terhalang oleh perasaan aneh yang sukar untuk aku jelaskan dengan kata-kata.



"Dek Liya" panggil Mang Dedi setengah berbisik menghampiriku.

Seolah terpanggil, aku mengangkat wajahku perlahan-lahan menghadapnya. Wajah kami berada begitu dekat hingga terlihat jelas keseriusan dalam raut Mang Dedi.

Mataku kian terasa berat saat wajah Mang Dedi semakin mendekat kearahku. Aku akhirnya memejamkan mata, menandakan bahwa aku telah merelakan segala tindakan yang ingin Mang Dedi lakukan kepada ku.

Saat itulah, Bibir kamipun kemudian bersatu saling menemukan dengan mesra. Meski dalam perasaan yang tak jelas dan keliru dengan tindakan ku itu, naluri dengan cepat mengambil alih tubuhku untuk melangkah maju.

"Masshhh..." ucapku dengan lirih.

Nafas ku semakin tidak teratur akibat perbuatan Mang Dedi. Aku membiarkan tubuhku itu di peluk dan diraba olehnya tanpa ada tindakan untuk memprotes sama sekali.

Aku hanya merasa kalau saat ini tubuhku seperti berada di awang-awang ketidakpercayaan karena merasa suka di dekap dengan lembut oleh laki-laki lain selain suamiku.

Tangan Mang Dedi juga tak melepaskan peluang untuk terus meraba-raba ke arah punggungku seperti sedang mencari sesuatu disana. Dalam keadaan bersandar itu, Tanganku pun tanpa disuruh memeluk leher Mang Dedi dengan kuatnya seakan tak mau lepas dari sana.

Agak lama juga rasanya kami berciuman penuh gairah saling melumat satu sama lain. Ditambah dengan suasana dingin dan hujan yang begitu lebat diluar sana, semakin membuatku bernafsu dan lupa diri dengan statusku.

"Drrrttttttttttt...." suara resleting gamisku terdengar berbunyi. Ternyata sedari tadi, benda itulah yang dicari oleh Mang Dedi dibagian punggungku.

Dengan penuh kehati-hatian, Mang Dedi terus mencium keningku, hidungku, pipiku, sebelum akhirnya dia berhenti sejenak.

"Mas buka ya sayang??" ijinnya berkata lembut padaku.

Aku terdiam sebentar, detak jantungku berdegup sangat kencang. Perasaanku tidak karuan. Antara takut dan menginginkannya.

Tapi aku mengangguk pelan. Dalam hati aku berkata kalau semua sudah terlanjur. Pilihannya hanya tinggal menikmati saja.

Mang Dedipun tersenyum. Dia menatapku dengan tatapan penuh nafsu hingga seluruh bulu kudukku terasa berdiri.

Seiring dengan tatapannya yang tajam itu, dia menarik sedikit demi sedikit pinggiran gamisku ke arah bawah melewati pundakku.

Aku memajamkan mata tak berani melihat bagaimana saat ini aku tengah dilucuti oleh pria yang bukan suamiku tersebut.

"Cantik sekali" Ucap Mang Dedi mengomentari.



Part 7 : Terima


Suasana ruang tamu rumahku benar-benar terasa dingin menyapu setiap pori-pori yang ada di tubuhku. Diluar sana, hujan turun begitu lebat tak menampakkan tanda-tanda untuk berhenti.

Akan tetapi semuanya berbalik dengan keadaanku saat ini. Karena bukan kedingingan, aku justru malah merasa panas. Panas bercampur nafsu yang terus membara membakar birahi hewaniahku.

"Cantik sekali." komentar Mang Dedi berbisik di telingaku.

Meski masih terhalang oleh hijab yang melilit di kepala, aku dapat merasakan dengan kuat hembusan nafas panas Mang Dedi seperti meniup telinga dan bagian kudukku. Nada suaranya yang bergetar agak tertahan itu menandakan kalau dia sendiri tidak tenang dan sedang dalam perasaan yang menggebu.

"Jangan diliatin!!" protesku menutup dadaku dengan hijab lebar yang tengah ku pakai.

Aku sebenarnya malu, wajahku memanas atau mungkin saja memerah. Kali pertama membiarkan tubuhku terbuka di hadapan laki-laki lain selain suamiku . Tapi lagi-lagi aku terdiam, menggigit bibir bawahku sendiri untuk meredam rasa yang timbul akibat ditatap nanar oleh si penjual sayur itu.

“Kamu gak perlu malu Dek Liya. Tubuhmu indah, sayang kalau tak ada yang melihatnya” Kata Mang Dedi dengan lembut.

Mang Dedi kemudian mendekap tubuhku, bibirnya beraksi menciumui bagian belakang telingaku yang tertutup hijab itu sambil meniupkan nafasnya berkali-kali. Aku terdiam, badanku luruh bersandar pasrah diatas sofa yang kami duduki itu.

Sejenak Mang Dedi berhenti, "Biar adil, saya juga buka deh." ucapnya seolah ingin membujukku.

Mang Dedi seakan tau bahwa aku masih memiliki keragu-raguan yang membayang. Dia lalu berdiri, membuka kaos yang digunakannya hingga terlepas dari tubuhnya yang gempal itu. Aku seketika memalingkan wajahku dari sana, tak berani menatap tubuh laki-laki lain yang bertelanjang itu.

"Sudah adilkan?" Ucapnya terkekeh.

Aku kemudian mengangguk pelan. Mungkin ini yang dimaksud adil karena sekarang kami sama-sama bertelanjang dada. Bedanya, aku masih memakai BH dan hijab lebarku masih menutup sempurna bagian dadaku.

“Jangan malu-malu lagi dong kalau gitu!” Pinta Mang Dedi padaku.

Aku mengulum senyum, hatiku berbunga-bunga dengan cara Mang Dedi membujukku. Entah kenapa, rasanya aku seperti diperlakukan layaknya seorang gadis perawan yang baru saja mengenal apa itu cinta.

“Iya.. gak malu lagi” Jawabku lirih berdebar-debar.

"Yaudah sini cium aku coba" Goda Mang Dedi mendekatkan wajahnya padaku.

Aku menepuk dadanya, "Dasar gombal" balasku kemudian memegang kedua belah pipinya.

Tanpa ragu, aku memajukan bibir mungilku untuk menyentuh bibir kasarnya sekali lagi. Mulut kami bersatu dengan cepat, kembali berciuman penuh nafsu dengan saling melumat. Entah untuk keberapa kalinya juga aku berciuman dengan Mang Dedi.

Namun setiap kali bibir kami itu bersentuhan, rasa dan sensasi yang aku rasakan juga ikut berubah. Ditambah dengan tekstur bibirnya yang kasar dan tebal itu, membuatku suka mengulum bibirnya berkali-kali.

“Mmpppphh...” aku mendesah lirih.

Sedang kunikmati lidahnya yang menjelajah di mulutku, tahu-tahu telapak tangan Mang Dedi sudah beraksi menyusuri setiap lekuk pada tubuhku. Aku merinding saat kurasakan tangannya yang kasar itu bergerak pelan-pelan, mengusap sepanjang lenganku yang putih tanpa ditumbuhi bulu-bulu itu.

Kami terus berciuman, hanya desahan dan suara lirihku saja yang sesekali terdengar di sela-sela derasnya hujan yang sedang turun.

Perlahan-lahan gerakan dan usapan Mang Dedi tersebut bergerak semakin liar dengan menyusuri setiap inci tubuh atasku yang sudah terbuka itu.



Tangan kirinya meremas lembut bagian tepi punggungku hingga turun merambat ke daerah pinggang. Tak lupa bagian pantatku yang membulat itu di remas-remasnya sebentar penuh semangat sambil tangan satunya lagi menjalar mengusap perut rampingku.

“BH nya Mas buka ya Dek!” Ucap Mang Dedi berbisik menghentikan ciuman kami.

Belum sempat aku menjawab, tangan-tangan cekatan miliknya itu menyusup kebagian punggungku dan meraih pengait BH ku. Aku hanya diam, bingung tak tahu harus melakukan apa, menolak aku tak mau, tapi membantunya aku malu.

“Mas gak liat kok!” Rayu Mang Dedi melepas BH berwarna hitam yang tengah ku pakai itu.

Aku memejamkan mata, menarik ujung hijab lebarku ke bawah agar gumpalan daging kembarku tak sampai terlihat oleh Mang Dedi. Tapi Mang Dedi malah merengsek sedikit maju, hingga aku tersandar kembali ke sandaran sofa.

“Awwwhhhh!!!” pekikku kaget.

Kurasakan tangan kasar Mang Dedi menyelusup kebalik hijabku. Tangannya meraba pelan buah dadaku yang sudah tak memakai penutup itu, menyentuh putingnya dengan usapan-usapan halus dan sesekali meremasnya dengan lembut.

“Mashh.. Jangan dipeganngg” desahku mencoba setengah-setengah menahan tangannya.

Perasaanku menjadi campur aduk, telapak tangannya yang besar dengan mudah mencakup keseluruhan buah dadaku karena ukurannya yang memang pas-pasan. Bahkan dalam remasannya tersebut dapat kurasakan kalau putingku semakin mengeras dan menonjol akibat nafsu yang sudah memuncak.

Beberapa saat aku dan Mang Dedi saling berpagutan bibir sambil tangannya terus bergerak-gerak meremas dadaku. Sekuat tenaga aku berusaha menahan desahan agar tak keluar dari mulutku karena aku tak mau Mang Dedi menganggapku sebagai wanita gampangan yang mudah dirayu dan digoda.
Tapi meski sekuat tenaga aku mencoba menahan desahan dan desisanku sendiri, sedikit demi sedikit pula mulutku terbuka dengan sendirinya.

"Mendesahlah Dek Liya! Gak ada yang bakal mendengar kita" bisik Mang Dedi merayuku.

Dengan sudah tidak sabar lagi, Mang Dedi kemudian dengan sigapnya menyingkap hijab lebar yang sedari tadi menjadi penutup terakhir buah dadaku.

Aku cukup kaget merasakan angin dingin tiba-tiba saja menyapu kulit dan pori-pori dadaku yang sudah terpampang polos dihadapan Mang Dedi.

Namun tanpa mempedulikan keterkejutanku tersebut, Mang Dedi merundukkan wajahnya dan membuka mulutnya untuk menciumi puting payudaraku sebelah kanan secara tiba-tiba.

"Oouuggghhhhh.....sshhhhhhh" desihku terlepas kencang tak dapat aku tahan.

Badanku menggelinjang, kedua kakiku menegang dibagian betis. Sementara mataku merem melek menikmati sensasi yang aku rasakan. Rasa geli dan nikmat terpancar begitu hebat dari puting buah dadaku akibat permainan lidah Mang Dedi. Dia mencucupnya pelan seperti seorang bayi, mengulum dan menjilatinya dengan sapuan lidah yang begitu hangat dan basah.

Kuremas-remas rambut Mang Dedi. Kudekap kepalanya menekan dadaku, kumajukan badan atasku ke depan wajahnya yang terbenam hangat di gumpalan buah dadaku. Dibawah sana, telah kurasakan liang vaginaku basah dan licin karena mengeluarkan cairannya dengan banyak. Bukti bahwa aku sudah sepenuhnya jatuh dalam jurang syahwat yang tak berujung.

"Enak gak sayang??" Tanya Mang Dedi menggodaku.

Aku membalasnya dengan sebuah senyuman dan anggukan pelan, "Enakk Mas" ucapku berterus terang.

Pelan-pelan, rasa malu, rasa bersalah, dan perasaan-perasaan penolakan lainnya malai terkikis dari dalam batin dan pikiranku. Yang tinggal kini hanyalah aku seorang wanita normal yang belum pernah terpuaskan hasrat birahinya, dan seorang laki-laki perkasa yang sibuk mencumbuiku dengan penuh nafsunya.



Kami berdua telah lupa daratan, lupa dengan norma-norma dan aturan agama serta sama-sama hanyut dalam lautan birahi masing-masing.

"Ugghh... toketmu mantap sekali Dek Liya" Ucap Mang Dedi melanjutkan aksi mesumnya pada buah dadaku.

Dengan mulutnya, Mang Dedi mulai menggigit-gigit sekitar bulatan dadaku hingga meninggalkan sedikit jejak-jejak merah. Gigitannya juga sekali-sekali hinggap di puting payudaraku hingga membuatku semakin tak bisa mengontrol diri.

Kemudian tanpa memberi aba-aba sama sekali, Mang Dedi menurunkan jilatannya yang tadi bermain di buah dadaku menyusuri permukaan perutku yang ramping.

"Masshh.." kagetku memegang kepalanya.

Mang Dedi menengadah menatapku, "Kenapa sayang?" Tanya begitu polos.

"Mas mau ngapain?" Tanyaku keheranan.

Dia tertawa sebentar sebelum akhirnya mengecup permukaan perutku, "Mau bikin kamu enak sayang. Percaya sama Mas" balasnya singkat.

Tubuhku kemudian menggelinjang. Merasakan mulut Mang Dedi yang ditumbuhi kumis tipis disekitarnya itu mulai bergerak menciumi permukaan perutku. Napasnya yang mendengus-dengus hangat menerpa kulitku sehingga membuat badanku kehilangan tenaga.

Dalam ketidakberdayaanku itu, Mang Dedi semakin berani melancarkan aksinya dengan mulai mengelus-ngelus pahaku yang masih tertutup oleh gamis berbahan satin yang bertengger di bagian pinggangku.

Mang Dedi sengaja turun dari atas sofa dan bersimpuh di lantai memposisikan kepalanya tepat diatas perutku, sedangkan tangannya dengan leluasa terus menjamahi area paha dan pantatku berkali-kali.

“Ssshhhh... Masshhh geliii” Desahku penuh kenikmatan.

Pikiranku buntu, sementara kenikmatan kian menggerogoti tubuhku. Antara sadar dan tidak, kurasakan tangan Mang Dedi bergerak menarik baju gamis yang ada di pinggangku turun semakin ke bawah.

Mengerti dengan apa yang akan Mang Dedi lakukan, aku pun mulai meringis mempersiapkan diriku untuk ditelanjanginya sambil memejamkan mata. Dengan kedua tanganku, aku raih pinggiran sofa tempatku duduk dan meremasnya dengan kuat.

Sambil terus berciuman penuh gairah, perlahan-lahan aku mulai dapat merasakan baju gamisku terus turun melewati bagian pantatku. Aku dengan reflek mengangkat badanku sedikit agar mempermudah Mang Dedi melorotkan pakaian kebesaranku itu.

Hingga tak berapa lama kemudian, terpampanglah tubuh mulus putihku yang selama ini terus aku tutupi dibalik pakaianku yang serba tertutup. Aku tak menyangka kalau sekarang Mang Dedi sudah dapat melihat ketelanjanganku walau belum utuh sepenuhnya.

"Kamu cantik sekali Dek Liya. Sudah aku duga tubuhmu begitu mulus dan bersih seperti yang aku bayangkan selama ini" Ucap Mang Dedi memuji badanku.

Aku tersipu malu dibuatnya. Badanku terasa panas meski susana disekitarku begitu dingin karena hujan. Rasa dingin itu mulai terasa membelai kulit paha dan selangkanganku yang masih ditutupi oleh sebuah celana dalam tipis.

"Pahamu putih sekali Dek Liya. Boleh aku menciumnya?" Bisik Mang Dedi sekali lagi membuatku merasa dilambungkan.

Aku seketika itu juga mengangguk menyetujuinya. Sudah tak dapat lagi aku berpura-pura tidak menginginkan apa yang ingin dilakukan oleh Mang Dedi tersebut.

"Silahkan Mas! Lakukan semaumu.." balasku bergetar.

Mang Dedipun tersenyum mendengar jawabanku, dia mengecup bibirku sebentar sebelum akhirnya dia duduk bersimpuh dilantai menghadap ke arah aku.

Dengan kedua tangannya, dia mencoba membuka pahaku sedikit agar dapat mengangkang dan memperlihat selangkanganku dengan lebih jelas.

"Indah sekali" Ucapnya yang langsung membenamkan kepalanya di sela-sela selangkanganku.

Sensasi geli menjalar disekujur tubuhku ketika kumis tipis di wajah Mang Dedi menusuk-nusuk kulit pahaku dibagian dalam.

Sementara aku memutuskan untuk menutup kedua mataku, karena tidak kuasa melihat bagaimana tubuhku yang suci itu dicumbu oleh pria lain selain suamiku.

"Ooouggghhhh... Masssshh... geliiih..." desahku panjang.

Aku tak kuasa menahan rasa geli itu, aku menggeliatkan tubuhku sambil tetap memejamkan mata merasa jantungku pun semakin tak kuat menahan sensasi ini.



Perlahan-lahan, dapat ku rasakan ciuman Mang Dedi kini mulai mengarah semakin ke dalam mendekati bagian vaginaku. Endusan-endusan nafasnya pun semakin hangat menerpa selangkanganku.

"Tubuhmu wangi sekali Dek Liya" Ujar Mang Dedi sambil memberikan sebuah kecupannya tepat di bagian vaginaku.

"Oohhh... Masshh..... eemhhhh.."

Bibir dan mulutku berguman lirih. Di bawah sana Mang Dedi menciumi vaginaku dengan rakusnya meski masih tertutup oleh celana dalam yang aku gunakan. Rasa nikmat menjalari sekujur tubuhku, serta nafsuku semakin menggebu dibuatnya.

Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku merasakan kenikmatan dicium di daerah selangkanganku sendiri. Selama ini tak pernah suamiku memperlakukanku dengan lugas seperti ini sehingga tak dapat lagi kutahan nafsuku.

Akan tetapi saat aku sudah semakin terbuai oleh nafsuku tersebut, Mang Dedi tiba-tiba menghentikan gerakan merangsangnya dan berdiri dihadapanku secara tiba-tiba.

Nampak napasnya juga ikut memburu saat kulihat perutnya yang buncit itu naik turun dengan begitu cepat.

“Dek Liya..” panggil Mang Dedi setengah berbisik.

Dia meraih daguku dengan sebelah tangan dan mengangkatnya, akupun menoleh sambil mendongak ke arah Mang Dedi dengan mulut yang terngaga.

“CUPPP!!” kecupannya mendarat di bibirku.

Dalam keadaan setengaj bernafsu itu, Mang Dedi kemudian membimbing tanganku untuk menyentuh penisnya dibalik celana pendek yang di pakainya. Aku berpura-pura menahan tanganku, namun Mang Dedi menariknya dengan kuat hingga telapak tanganku akhirnya merasai batang penisnya yang ternyata sudah mengeras dan menegang.

“Mmppphhh...” suaraku tertahan.

Mang Dedi meremaskan jariku di penisnya, meskipun masih terbungkus oleh celana, aku dengan mudah dapat menggenggamnya karena ukuran penisnya yang sangat besar dan terjiplak menonjol keluar.

Nafsuku bangkit meletup-letup membayangkan betapa sebentar lagi aku akan merasakan benda sebesar ini bersarang dalam vaginaku. Ingin rasanya saat ini aku membukai celana Mang Dedi sampai dia telanjang dan merasakan kehangatan batang penisnya secepat mungkin.

Tapi aku berusaha menahan diri karena akupun tak berani bersikap lepas di depan penjual sayur langgananku itu. Namun bak terkena hipnotis, aku masih saja merabai penis Mang Dedi tersebut tanpa menjauhkan tanganku.

“Sudah tegang!” Ucapku mengelus-eluskan tanganku pada penis Mang Dedi sampai dia mengerang pelan.

“Tegang banget Dek Liya!” ucapnya terkekeh meremas buah dadaku.

Liang vaginaku terasa berkedut-kedut terangsang seperti terpompa untuk mengeluarkan cairannya. Bibir dan mulutku bergumam lirih tak berhenti saat kami berdua saling mengelus dan merabai bagian yang sangat sensitif untuk kami. Mang Dedi pada buah dada dan vaginaku, sementara aku pada penisnya yang menegang dengan keras.

“Mau liat gak Dek?” bisik Mang Dedi nakal padaku. Dia lagi-lagi menyempatkan menyium bibirku dengan hangat.

Aku hanya diam terpana, bahkan tak kuasa mengangguk dengan pelan menginginkannya. Mang Dedi lalu bangkit berdiri lagi, melepaskan celana pendek lusuhnya dengan gerakan yang cepat namun masih terasa pelan dalam mataku.

Ku tatap nanar gerakan tangan Mang Dedi yang membuka celananya turun satu persatu tersebut. Dengan perasaan yang berdebar dan menunggu, aku akhirnya diperlihatkan dengan batang penis Mang Dedi yang selama ini hanya bisa ku saksikan lewat foto yang dikirimkannya.

“Besar sekali!!” teriakku girang dalam hati.

Itu pertama kalinya aku melihat penis laki-laki lain selain suamiku. Perbedaannya sungguh terlihat nyata bukan pada aspek ukuran besarnya saja. Namun juga bentuknya yang sedikit aneh dan lucu. Batangnya sedikit membengkok dan ujung kepalanya tersembunyi dibalik sebuah kulit yang terlihat seperti sebuah kulup.



“Kenapa??” tanya Mang Dedi terheran melihat ekspresiku.

Aku menggeleng, “Gapapa” balasku mengedarkan pandangan.

“Lebih gede dari punya suamimu ya pasti..” ucap Mang Dedi terkekeh melihatku reaksiku.

Dia membimbing tanganku untuk menggenggam penisnya lagi. Kugenggam penis itu sebentar. Terasa hangat, kenyal dan kencang. Urat-uratnya bertonjolan keluar serta ada kedutan-kedutan mengalir didalamnya.

“Jauh lebih besar” Ucapku jujur begitu saja.

Darahku jadi berdesir tiba-tiba dan jantungku berdebar-debar setelah aku mengucapkan kata yang secara langsung mengakui perbedaan antara suamiku dengan Mang Dedi itu.

"Dicobain dong sayang!" Bisik Mang Dedi mengelus kepalaku.

Aku menatap heran tak mengerti maksudnya, "Apaan Mas?" Tanyaku.

"Diemut..." bisiknya.

"Mas pengen diemut sama kamu" bisiknya lagi.

Darahku berdesir mendengar permintaannya yang sungguh sangat cabul itu. Aku tau kalau diluar sana ada wanita yang sengaja mengulum alat kemaluan laki-laki untuk menambah kepuasan dalam bercinta.

Bahkan dulu suamiku juga pernah memintaku melakukannya. Namun aku selalu menolak karena alasan tidak suka dan jijik.

"Gamau ah.. Jijik Mas!" Protesku menjauhkan tangan.

Namun dengan cepat Mang Dedi menahanku, "Mau dong Dek. Tadi udah aku cuci sebelum mampir kesini" ucapnya mengelus-ngelus kepalaku.

Dalam keadaan ragu itu, Mang Dedi mencoba menciumku seakan sedang membujukku untuk menuruti keinginannya. Bibirku di pagut dengan begitu liar dan nakal sampai lidahnya menyeruak masuk ke dalam rongga mulutku.

Tubuhku melemas rileks, yang ada malah bibirku membalas pagutan Mang Dedi dengan hangat dan lembut. Aku mengulum juluran lidahnya dan menjilat-jilat dengan lidahku. Disaat gantian lidahku yang masuk ke mulut Mang Dedi, dia tidak kalah kuatnya menghisap.

Perasaanku jadi terlambungkan lagi. Serasa melayang-layang di awan akibat cumbuan penuh nafsu Mang Dedi sementara tangannya juga ikut meremas dan memainkan payudaraku.

Hebatnya lagi, tanganku yang sedang menggenggam penis besar Mang Dedi bergerak mengikuti naluriku sendiri untuk mengocok dan mengurutnya pelan-pelan.

Sehingga kami berdua sama-sama mendesah lirih di sela-sela ciuman kami tersebut.

"Mas, kamu udah sering begini sama wanita lain ya?" Ucapku spontan tiba-tiba terbawa perasaan.

Mang Dedi menatap heran padaku, "Kenapa sayang? Mas gak sering kok" Jawabnya yang entah sebuah kejujuran atau bukan.

"Gapapa Mas... Mas kayak berpengalaman banget" balasku tersenyum menunjukkan gigi. Terus terang aku cukup senang dengan jawaban yang diberikan oleh Mang Dedi tersebut.

"Kamu cemburu kalau aku sering melakukannya dengan wanita lain Dek Liya??" Bisik Mang Dedi memeluk tubuhku dan merapatkan badannya ke sofa.

Aku menggeleng, "Engga tuh" Ucapku mengecup bibirnya.

Mang Dedi kemudian membalas ciumanku tersebut dengan hangat sambil kemudian mendorong tubuhku jatuh keatas sofa.

"Coba kamu bilang lagi kayak gitu setelah merasakan ini" ucap Mang Dedi yang tiba-tiba menarik celana dalamku.

Dengan gerakan yang cukup cepat, aku merasakan Mang Dedi mulai menurunkan kain penutup selangkanganku yang berwarna putih itu dari tempatnya.

Sehingga akhirnya akupun resmi bertelanjang penuh di depan pria penjual sayur langgananku itu. Satu-satunya benda yang menjadi penutup badanku hanyalah hijab lebarku yang masih terpasang utuh di kepala.

"Aku masukin sekarang ya sayang" Ucap Mang Dedi meminta izin padaku.

Aku mengangguk pelan menyetujuinya. Karena sedari tadi liang vaginaku sudah berdenyut-denyut menantikan persetubuhan diantara kami.

Maka ketika Mang Dedi membuka pahaku dalam posisi telentang, aku tak menolak. Justru sengaja kubuka lebih lebar agar Mang Dedi leluasa.



Dia mengusap-usap ujung penisnya di mulut vaginaku yang sudah basah oleh cairan pelumas alami yang keluar dari liangnya. Rasa hatiku sudah tak karuan menunggu proses masuknya penis besar yang sedari tadi sudah membuatku kelimpungan.

"Aku sayang sama kamu Mas" Ucapku memejamkan mata mengungkapkan perasaan yang sudah ikut menggebu di dada.

Mang Dedi lalu tersenyum memasukkan ujung penisnya pada liang vaginaku, "Aku juga sayang kamu Dek Liya" balasnya dengan penuh kepastian.

Kurasakan seluruh beban dalam pikiran dan dadaku terangkat seiring masuknya penis Mang Dedi ke dalam liang vaginaku sedikit demi sedikit. Bibirku merintih lirih merasakan bahwa vaginaku terlalu kecil untuk menerima penisnya yang begitu besar.

"Pe--pelan-pelann.. Masshh" bisikku sedikit menahan tubuhnya.

Mang Dedi tersenyum, "Memekmu sempit luar biasa Dek Liya" ucapnya ikut mendesah.

Mang Dedi masih bergerak menekan pinggul dan penisnya hingga kurasakan seluruh rongga dalam vaginaku penuh sesak. Ukuran yang tidak main-main itu membuat dinding vaginaku terasa perih dan ngilu secara bersamaan.

Aku mengejangkan pinggangku antara rasa nikmat dan kesakitan, "Gakk.. muuatttthh... Masss....." lirihku merasa tak siap.

Mang Dedi kemudian mengecup keningku, "Sedikit lagi" bisiknya pada telingaku.

Mang Dedi memagut bibirku lagi. Kubalas pagutan bibirnya itu dengan lebih hangat dan penuh perasaan. Kami lalu berpelukan dengan posisi Mang Dedi yang sedikit menindihku memasukkan penisnya dengan perlahan-lahan.

Persentuhan kulit dan kelekatan badan kami itupun semakin terasa menimbulkan sensasi enak dan membuatku berangsur-angsur merasa nyaman.

"UMMI! UMI NGAPAIN!!???"


Klik Nomor untuk lanjutannya

Related Posts