Seri 5 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI

SEBELUMNYA..

Seri 1 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI


Seri 2 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI


Seri 3 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI


Seri 4 - KETIKA NAFSU BIRAHI MENGUASAI


cewek amoy


Ustadz Mamat dan Iparnya

Ustadz Mamat bersiap-siap untuk pulang ke desanya di hari Jum'at itu. Sudah beberapa hari ini ia uring-uringan karena Murtiasih, murid kesayangan sekaligus jugasimpanannya, sedang sakit sehingga tidak masuk sekolah. Selain itu kedua murid lainnya yang genit dan terkadang dapat dijadikan pengganti Murtiasih di ranjang, yaitu Sumirah dan Rofikah, agaknya lebih asyik dengan dua pejantan lainnya yang telah merenggut kegadisan mereka, yaitu pak Jamal dan pak Fikri.

Kedua pejantan dan kedua pelajar madrasah itu telah terbuai dan tenggelam didalam lumpur kemaksiatan, sehingga mereka sama sekali tak tertarik untukmenggoda guru mereka yaitu ustadz Mamat. Mereka bahkan saling bertukar dan bergonta-ganti pasangan tidur - tak kalah dengan kehidupan seks selebs di kota besar. Karena itu ustadz Mamat merasakan ‘kekeringan’ dan berharap agar week-end ini bisa pulang ke desanya untuk menagih jatah kepada istrinya sendiri, yaitu Aida.

Namun apa mau dikata, sehari sebelumnya, yaitu Kamis malam, ustadz Mamat mendapat kabar dari istrinya bahwa teman akrab istrinya sejak sebelum sekolah mengalami keguguran dan masuk rumah sakit karena ada komplikasi pendarahan. Karena itu Aida akan pergi mengunjungi teman akrabnya itu di rumah sakit yang terletak di kota agak jauh. Jika sudah terlalu malam maka Aida akan menginap dirumah orang tua temannya itu karena jalur bus antar kota sudah tak ada.

Ustadz Mamat tak pernah mengetahui bahwa alasan yang diberikan istrinya itu hanya separuhnya benar, karena istrinya Aida tidak naik bus antar kota, melainkan akan pulang pergi diantarkan oleh.. pak Sobri, dan menginapnya di rumah pak Fikri!!!

Karena itulah ustadz Mamat sangat kesal dan menggerutu sepanjang perjalanannya menuju ke desa tempat tinggalnya, gairahnya sebagai lelaki telah menggelora dan membutuhkan penyaluran. Tak terasa akhirnya Mamat melenggut dan tertidur di dalam bus. Dalam mimpinya terbayang semua wajah wanita-wanitamuda cantik yang pernah ditidurinya, mulai dari istrinya Aida, Rofikah, Sumirah serta Murtiasih yang paling muda dan paling banyak memberikannya kepuasan sebagai lelaki.

Apa yang tak diketahuinya adalah adik perempuan istrinya yang termuda yaitu Asmi Maharani, dengan panggilan sehari-hari Rani, week-end itu akan mudik pulang ke kampung untuk menengok kakaknya yaitu Aida yang telah lama tidak dikunjunginya. Rani masih sekolah menengah kelas akhir di Bandung. Sebelum pulang ke rumah kakaknya yang tertua itu, Rani mampir dulu ke tempat kakaknya yang lain yaitu Farah (Baca prequel : Farah dan pak Burhan).

Akhirnya ustadz Mamat tiba di desanya dan dengan penuh kejengkelan ia perlahan-lahan berjalan kaki dari bus halte menuju rumahnya. Sesampainya dirumah, ia langsung mandi dan menghempaskan diri ke bangku yang terbuat dari bambu di belakang rumah.

Di situ dilihatnya pelbagai pohon buah-buahan yang selama ini dipeliharanya dengan seksama telah menampakkan hasil : ada jambu klutuk, kedongdong dan pepaya.

Mamat merenung dan menyadari bahwa selama ini ia agak mengabaikan semua yang berkembang di rumahnya. Dipejamkannya mata dan diingat-ingatnya kapan terakhir kali ia menggauli istrinya Aida. Agak malu ustadz Mamat menyadari bahwa ia telah lupa kapan istrinya itu diberikannya nafkah jasmani yang selayaknya harus diberikan sebagai suami yang sah.

Ustadz Mamat mengambil galah bambu panjang lalu dipetiknya beberapa kedongdong, beberapa jambu klutuk, serta satu pepaya. Dibawanya ke dalam karena hujan mulai turun dan di dapur dilihatnya bahwa Aida telah menyediakan pepesan tempe serta urap-urap kesukaannya, sebelum ia pergi mengunjungi teman akrabnya. Terasa betapa sepinya rumah tanpa istrinya Aida dan ustadz Mamat menarik nafas panjang sambil berjanji akan memanjakan Aida jika pulang.

Pada saat itu didengarnya beberapa kali ketukan di pintu depan disertai dengan suara wanita..

Ustadz Mamat mengintip dari balik jendela ruang tamu dan melihat di depan pintu rumah berdiri seorang wanita muda berbusana baju kurung dengan jilbab berwarna putih. Wajah wanita muda itu agak terlindung payung karena memang diluar hujan rintik-rintik, namun ustadz Mamat dapat mengenali langsung karena penampilan gadis muda itu banyak persamaaannya dengan Aida istrinya.

Tidak salah lagi, itu adalah adik Aida yang paling bungsu, yaitu Asmi Maharani atau biasa dipanggil Rani oleh teman-temannya. Hal ini sangat tak diduga oleh Mamat karena biasanya kedatangan Rani selalu diberitahukan terlebih dahulu kepada kakaknya Aida. Kali ini pun Rani telah memberitahukan sehari sebelumnya, namun karena agaknya Aida telah dipenuhi benaknya oleh temannya yang masuk rumah sakit sehingga lupa diteruskan kepada ustadz Mamat, suaminya.

Selain itu Aida memang menerima telpon dari adiknya itu ketika sedang sibuk melayani pak Sobri yang lagi memuaskan nafsu birahi di tubuh istri sang ustadz. Tak heran jika Aida tanpa banyak pikir panjang menerima tawaran pak Sobri untuk mengantarkannya ke rumah sakit dimana teman akrabnya dirawat. Memang dalam waktu hanya beberapa bulan Aida telah berubah akibat kemahiran pak Sobri, dia yang awalnya seorang ustazah dan istri alim shalihah, kini berubah menjadi wanita dewasa binal yang mengenal semua teknik percintaan. Kelalaian Aida ini akan mengubah nasib adiknya...

Tanpa terasa darah ustadz Mamat berdesir melihat gadis muda adik istrinya itu - dan memang dari ketiga adik perempuan Aida, Rani inilah yang paling miripdengan istrinya. Karena hujan rintik-rintik semakin lebat, maka ustadz Mamatsegera membukakan pintu dan Rani pun lekas-lekas masuk sambil memberikan salam sebagaimana lazimnya.

"Assalamualaikum, bang Mamat. Apa kabar nih? Kak Aida pasti sudah pulang dari rumah sakit mengunjungi temannya," Rani menaruh payung yang dipakainya dibalik pintu.

"Mungkin sebentar lagi dia pulang, masuklah nanti basah kena hujan dan sakit masuk angin," jawab dusta ustadz Mamat sopan santun karena tahu Aida tak akan cepat pulang. Jantungnya mulai berdebar keras serta matanya melirik ke arah wajah ayu manis Rani, serta tubuhnya yang meskipun terbalut baju kurung namun tak dapat menyembunyikan tonjolan-tonjolan kewanitaannya.

"Pasti adik Rani sudah lapar, di dapur masih cukup masakan yang tadi dibuatsama Aida sebelum ia pergi mengunjungi temannya. Silahkan dipanasi dan dimakan apa yang Rani inginkan, tak usah sungkan-sungkan. Abang sendiri sudah makan dan mau ke warung untuk beli minyak tanah," lanjut ustadz Mamat berusaha menenangkan Rani karena merasa agak canggung berduaan dengan ipar laki-lakinya. "Setelah itu abang akan melawat ke tetangga yang minggu lalu meninggal sehingga abang baru akan pulang larut nanti dan pasti Aida udah pulang."

"Iya, terima kasih, Bang. Nanti saya urus diri saya sendiri, jangan repot dan silahkan kalau mau ke warung, tapi pakai payung karena hujan agaknya semakin lebat," demikian Rani dengan tetap memakai jilbabnya masuk ke dapur untuk memanaskan makanan yang akan segera dinikmatinya.

Ustadz Mamat tersenyum memuji dirinya sendiri yang sanggup dalam waktu amat singkat mencari akal bulus sehingga sang ipar cantik akan tetap menunggu sendirian di rumahnya, sementara itu ia akan bersembunyi di warung untuk minum kopi dan sesudah itu kembali ke rumahnya untuk..

***

Satu setengah jam kemudian..

Dengan bantuan suasana di luar yang sudah gelap maka ustadz Mamat kembali ke rumahnya lewat jalan memutar belakang, dengan demikian sama sekali tak terlihat orang lain karena letak rumahnya jauh dari jalan besar, selain itu jugatersembunyi di balik pelbagai pohon rimbun. Ustadz Mamat tahu kebiasaan ipar termudanya ini, yaitu mandi sepuas-puasnya setelah selesai melakukan ibadah maghrib.

Dari luar Mamat mendekati bagian belakang rumahnya sebelah kiri karena di bagian itulahletaknya kamar mandi - dan dari suara guyuran air maka ia mengetahui bahwa iparnya Rani sedang mandi.

Perlahan lahan Mamat memasuki rumahnya lewat pintu samping belakang, dan sambil menunggu Rani selesai mandi maka ustadz yang telah dikuasai iblis sepenuhnya itu bersembunyi di balik lemari besar di kamarnya sendiri. Sebelumnya ia sempat melongok ke dalam salah satu kamar tidur lain yang memang hanya dipakai jika ada tamu, terutama oleh ketiga iparnya yang cantik-cantik : Farah, Sri Lestari dan Asma Maharani alias Rani.

Hampir setengah jam lamanya ustadz Mamat menunggu sampai tak terdengar lagi suara guyuran air di kamar mandi, inilah yang ditunggu oleh Mamat yanglangsung berjingkat-jingkat meninggalkan kamar tidurnya sendiri lalu masuk kekamar tidur tamu dan menanti di belakang pintu yang agak terbuka.

Lima menit kemudian terdengar pintu kamar mandi terkuak dan Rani keluar dengan tubuh ditutup rapat oleh baju kurung. Mamat mendengar langkah kaki memakai sandal yang berjalan tergesa-gesa ke arah kamar tidur tamu. Sejenak kemudian pintu terbuka dan Rani melangkah masuk.

"Fffhhsssmsshff.. nghhffhhhff.." Rani menjerit kaget saat tiba-tiba tubuhnya dirangkul oleh seseorang.

Cepat dia menghentak-hentakkan kakinya serta meronta sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari rangkulan ustadz Mamat yang mendekap pinggangnya yang langsing. Kepalanya berusaha menggeleng ke kiri dan ke kanan karena mulutnya dibekap sekuat tenaga oleh kakak ipar lelakinya yang sama sekali tak diduga akan melakukan hal semacam ini. Rani tak pernah menyangka bahwa kakak iparnya yang selama ini dikenal sebagai ustadz sholeh, kini malah merencanakan perbuatan maksiat terhadap dirinya.

Rani mengharapkan agar kakaknya Aida segera tiba setiap saat dan dapat memergoki suaminya yang melakukan perbuatan tak senonoh ini. Rani tak tahu bahwa Aida malam itu tak akan pulang karena sedang mengunjungi temannya di RS diantarkan oleh pak Sobri yang telah menjadi kekasih gelapnya sejak beberapa waktu lalu. Aida tak menyadari pula bahwa sepulangnya dari RS setelahmengunjungi temannya, ia akan dibawa ke tempat lain oleh pak Sobri, yaitu kerumah pak Fikri untuk dinikmati bersama oleh kedua lelaki durjana itu.

"Ssshh.. Rani manisku, aku sudah lama memimpikan tubuhmu meronta menggeliat dalam pelukanku! Ssshh.. nikmati aja lah, nanti aku berikan hadiah yang paling berharga dan kamu pasti akan ketagihan! Sssshh.. Rani, kakakmu sedang sibuk dan tak pulang malam ini," ustadz Mamat melanjutkan niat maksiatnya.

Kini diseretnya Rani ke arah kamar tidur meskipun korbannya masih berusaha melawan sekuat tenaga, namun tak lama kemudian mereka telah berada di tepi ranjang. Tanpa banyak kesulitan ustadz Mamat menghempaskan tubuh Rani keatas ranjang, sekaligus ditindihnya dan mulutnya dengan rakus mulai menciumi bibirtipis Rani sambil kedua tangannya berusaha mencabik dan melepaskan baju kurung gadis itu.

Sia-sia saja Rani melawan sekuat tenaga karena ustadz Mamat telah menindih badannya, bahkan kini tubuhnya dibalikkan hingga telungkup. Dalam posisi ini semakin sukar bagi Rani untuk menggunakan kaki dan tangannya secara effektif, kedua nadinya dicekal ditelikung dan agak dipelintir di belakang punggung. Jeritan kesakitan Rani tak dapat keluar seluruhnya karena wajahnya tertelungkup dan tertekan ke arah bantal di bagian kepala ranjang.

Menggunakan sabuk ikat pinggangnya, Ustadz Mamat segera mengikat erat-erat kedua nadi Rani ke arah punggung. Setelah ia melihat Rani semakin sukaruntuk melawan karena tangannya terikat, maka mulailah ustadz Mamat melepaskan semua pakaiannya sendiri. Tindakan selanjutnya ustadz yang kemasukan iblis ini adalah melorotkan baju kurung, sarung dan gamis serta sekaligus juga celana dalam Rani. Celana dalam yang dirasakannya agak lembab basah itu diciuminya sebentar penuh nafsu birahi, juga digosok-gosokkan ke penisnya yang telah mengacung berat. Baru setelah itu dibaliknya tubuh Rani dan sebelum gadis itusempat berteriak, mulutnya yang mungil langsung disumpalnya dengan celana dalamnya sendiri.

Kini Rani hanya dapat menatap Mamat dengan penuh rasa marah sekaligus ketakutan, sementara ustadz cabul ini melanjutkan melepaskan kebaya Rani serta kedua BH-nya yang berukuran 34C...

Lima menit kemudian tubuh Rani telah telanjang bulat menggeletak di ranjang dihadapan ustadz Mamat, kakak iparnya yang juga telah telanjang bulat dengan penis mengangguk-angguk amat gagah.

Rani melengoskan kepala karena sangat malu mengahadapi pemandangan yang sama sekali tak pernah ia duga akan dialami sebelum memasuki malam pernikahan. Air matanya mulai mengalir di pipi karena sadar bahwa dia dalam keadaan yang tak berdaya menghadapi kakak iparnya yang tengah dirasuki iblis, yang tak pernah diduganya akan melakukan hal ini terhadap dirinya.

Rani berusaha meronta-ronta dalam posisi tubuh menyamping sambil menekuk dan merapatkan kedua pahanya sejauh mungkin, sehingga diharapkannya semua bagian vital dan intimnya dapat tersembunyi dari tatapan liar Mamat. Dengan sekuat tenaga Rani berusaha melepaskan kedua pergelangannya yang terikat dipunggung oleh sabuk ikat pinggang, namun sampai saat ini hanya sia-sia belaka.

Ustadz Mamat kini telah merebahkan kembali tubuhnya di samping Rani, digolekkannya tubuh gadis manis itu kembali telentang, lalu dengan paksa dibukanya paha Rani yang tegang merapat.

Lutut kiri Rani diletakkan dan ditekan ke ranjang oleh ustadz Mamat, kemudian ditindihnya dengan lutut kanannya, sementara kedua tangannya dengan dibantu lutut kirinya mendorong lutut Rani ke samping. Sekuat-kuatnya Rani melawan namun kalah tenaga sehingga perlahan-lahan kedua pahanya terbuka dan muncullah pemandangan yang sangat-sangat merangsang : selangkangan seorang gadis shalihah yang tak pernah terjamah oleh gadis manapun.

Walaupun ustadz Mamat telah beberapa kali melihat pemandangan serupa,namun selangkangan iparnya yang masih sedemikian muda ini membuatnya blingsatan. Dengan rasa birahi tak tertahan Mamat segera meletakkan tubuhnya diantara paha sang adik ipar sambil ciumannya menghujani leher jenjang Rani. Bahkan tak hanya mencium, namun juga menjilat-jilat bagaikan hewan buas sebelum menyantap mangsanya. Ciuman dan jilatan lidah Mamat memasuki pula kedua telinga Rani secara bergantian hingga menyebabkan rasa geli tak terkirayang membuat gadis muda ini mulai menggeliat dan mendesah penuh keresahan.

"Cuupp, cuupp, hmmmh.. geli nggak? Tapi enaak, kan?! Jangan ngelawan,nduk, nikmati saja! Ntar juga ikut ketagihan.. bagus amat tetek kamu, abang jadi pengen nyusu, hhhmmh.." ustadz Mamat kini mulai menggerayangi bukit kembar didada Rani dan mulai meremas-remasnya dengan gemas sambil menyedot-nyedotrakus putingnya yang mungil, menyebabkan Rani semakin meronta marah.

Tak pernah hal ini dialami oleh gadis yang alim ini. Jiwanya menolak perlakuan tak senonoh iparnya ini, namun di sisi lain hormon kewanitaannya mulai terbangun akibat rangsangan itu.

Karena kedua pergelangan tangannya masih terikat di punggung dan dalam keadaan terlentang Rani merasakan sakit dan ngilu di sendi bahunya. Hal ini rupanya disadari oleh ustadz Mamat, dan kembali ia membalikkan tubuh Ranimenelungkup, namun tetap ditindihnya sambil dilepasnya ikatan sabuk di pergelangan tangan mangsanya.

Merasakan kedua tangannya terlepas, Rani berusaha untuk melawan dan mencakar, namun ustadz Mamat rupanya telah siap mengatasi hal itu. Dalam posisi tertelungkup maka sukar bagi Rani untuk melawan, apalagi tubuhnya ditindih olehMamat yang memeluk pinggangnya dari arah belakang menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menjalar ke arah perut Rani, lalu ke pusar, dan terusmengembara menuju ke arah selangkangan gadis muda itu.

Dengan panik Rani mencakar dan mencubiti tangan serta paha Mamat dengancukup keras, namun sama sekali tak dipedulikan oleh laki-laki itu. Jari-jari tangan kiri Mamat kini malah menjalar dari pinggang menuju ke arah puting buah dada kanannya. Mamat memijit, memilin dan mencubitnya dengan gemas hinggamembuat Rani sampai menjerit-jerit.

Jari-jari tangan kanan Mamat telah mencapai bukit venus Rani dan rambut halus penghias kemaluan gadis itu mulai dicabut-cabutnya pula dengan sadis, yang mana membuat Rani semakin memekik kesakitan.

"Hssst, ssshh.. tenang, manis! Kan udah dibilang jangan menjerit, jangan ngelawan, santai dan nikmati aja! Cupp cuppp, aaah.. abang jadi gemes banget nih, dicupangin telinganya ya," Mamat kembali menjulurkan lidahnya bergantian ke liang telinga Rani kiri dan kanan, sambil sesekali diselingimencupangi leher samping dan belakang gadis muda itu.

"Hiiiikkss, hhikkks.. abang, jangan begini dong! Kasihani Rani, kan abang udah punya Kak Aida! Jangan bikin malu saya, bang! Insyaaaf, bang! Saya enggak akan bilang siapapun.. tolooong, bang! Jangaaan!!!" Rani berusaha menasihati iparnya karena sadar sebentar lagi ia akan kehilangan milik satu-satunya yang paling berharga.

"Nggak apa-apa, nduk. Ini permainan kita berdua, nggak ada orang lain yang perduli dan tahu. Ikutin aja hasrat badan kamu.. mulai kerasa enak kan? Ngaku aja deh, ntar kamu pasti akan ketagihan minta nambah," ustadz Mamat tak perduli dengan isak tangis korbannya, sementara jari-jari nakal tangan kanannya berusaha membelah bibir kemaluan Rani dan mencari biji kelentit pusat kenikmatan wanitamuda itu.

Rani merasa sangat malu dan berusaha mengelak dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya yang montok padat ke kiri dan ke kanan, namun hal ini ditafsirkan oleh Mamat bahwa korbannya mulai merasakan kenikmatan. Akhirnya ibu jari dan telunjuk Mamat berhasil menemukan itil Rani dan langsung dijepitnya dengan kedua jari, lalu dipilin-pilinnya seperti yang ia lakukan pada kedua puting buah dada Rani yang kini telah terasa mengeras.

Rani tak menduga sama sekali betapa tubuhnya sebagai wanita muda dan sehat akan merespons rangsangan itu : setiap sentuhan apalagi pilinan jari tangan Mamat di kelentitnya bagaikan aliran listrik yang menyengat tajam. Dia benar-benartak berdaya untuk menolak apalagi melawan karena tubuhnya tertindih pasrahsehingga ia hanya dapat merintih-rintih saja.

"Aaaiiih.. ooohh.. eennggff.. sssh.. aaauuuuw.. udah, bang, ngiluuuu..geliii, lepasiiin aku! Tolooong, bang, udaaah.. hiiks, hiikks.. toloooong, kasihaniaku, bang!!" Rani mulai merasakan tenaganya berkurang, dan ini pun dirasakan oleh Mamat yang justru kini semakin meningkatkan usaha dan rangsangan agar mangsanya ini terkuras seluruhnya ketika nanti mengalami orgasme.

"Hmmmh.. nduk mulai keenakan ya? Tunggu bentar lagi, pasti nduk akan masuk surga ke tujuh, hehehe.. jari abang mulai dimandiin ama liur memek nduk nih, hmmh.. mulai licin nih lobang," ustadz Mamat semakin getol menggoda iparnya yang masih lugu dan masih belum berpengalaman itu.

Rani merasakan wajahnya memerah panas hingga ke kedua telinganya karena malu mendengar celoteh rayuan itu, namun ia pun harus mengakui bahwa tubuhnya semakin terangsang oleh belaian ustadz Mamat. Semua rontaannya sama sekali tak memberikan hasil, jari-jari tangan Mamat tetap nangkring dan mengaduk-adukdiantara bibir kemaluannya, mengusap dan mencubit-cubit klitorisnya, sementara putingnya juga mengalami perlakuan sama.

Gelombang demi gelombang kegelian dan kenikmatan menjalar dari pusat kewanitaan Rani menuju ke kulit badannya yang merinding, kemudian mencapai susunan syaraf pusat di kepala dan kembali ke liang senggamanya, hinggaakhirnya berlawanan dengan rasa penolakan akal sehatnya, Rani malah tak sanggup lagi menahan orgasme pertamanya. Tubuhnya yang masih tertelungkup ditindih ustadz Mamat bergetar hebat sebelum kemudian kaku dan mengejangkencang. Rani menggigit sprei penutup kasur saat semua itu terjadi.

"Uuuugggh.. mfffhh.. sssffhh.." hanya desis dan desah putus asa itu yang terdengar keluar dari bibirnya.

Tanpa mempedulikan keadaan Rani yang masih orgasme, ustadz Mamat tetap mengulik dan menggaruk-garuk ujung kelentit si gadis muda yang kini telah berubah menjadi super peka. Beberapa menit kemudian terasa oleh Mamat bahwa tubuh korbannya mulai berkurang kekejangannya, dan dari hembusan nafas Rani yang sebelumnya sangat mendesah cepat, kini mulai agak tenang.

Merasa yakin bahwa mangsanya telah dapat ditaklukkan sepenuhnya, maka ustadz Mamat membalikkan tubuh Rani kembali menelentang. Kedua nadi tangangadis itu dicekal dan direntangkannya ke samping kepala.

Ustadz Mamat menindih kembali tubuh bugil Rani dan ia meletakkan dirinya diantara paha mulus yang kini terkuak lebar. Mati-matian Rani berusaha menutup selangkangannya, namun sang ipar lelaki yang telah dikuasai nafsu birahi itu jauh lebih cepat dan kuat menekan paha putih semampainya ke samping.

"Jangaaan, bang! Jangan nodai Rani! Ingat, bang, aku kan adik ipar abang! Sadarlah, Aida kan istri abang! Hiikks, hiikkss.. aku nggak akan ngadu sama siapapun, termasuk juga sama Kak Aida," Di tengah rasa putus asa dan isak tangisnya, Rani masih berusaha menyadarkan ustadz yang kerasukan itu.

"Udahlah, nduk! Udah kepalang basah, kita mandi aja sekalian. Kamu barusan udah ngerasain enaknya kan? Itu baru permulaan, nduk. Ntar nikmatnya berlipat ganda," ustadz Mamat tetap dengan gemasnya meremas-remas kembali kedua puting mungil di dada Rani, sementara tubuhnya kian merosot ke bawah.

Bibirnya mengembara di sekitar pusar Rani, lalu menjalar ke bawah mendekati bukit Venus yang terlindungi bulu-bulu halus mengelilingi celah kegadisannya yang sempit. Ciuman panas dan jilatan lidah basah Mamat kini memasuki daerah terlarang itu: bukit kemaluan Rani yang masih belum pernah dilihat oleh lelaki lain.

Nafas hangat ustadz cabul itu menyerang bertubi-tubi di lipatan paha selangkangan Rani, menjalar ke paha yang menghentak meronta kegelian, lalukembali ke arah pusar, dan turun ke lembah mungil yang berbulu halus.

Lidah kasap Mamat menjalar bagaikan ular kecil menyelinap diantara bibir kemaluan berwarna coklat muda kemerahan, menyentuh dindingnya, menjulur kedalam mencari selaput pertahanan nan tipis, lalu kembali ke atas diantara lipatan pelindung dan akhirnya menyentuh pusaka kecil nan peka.

"Hhhmmhh.. ini dia yang abang cari! Ci-luk-ba, ci-luk-ba.. cupp, cupp..hhhmmh.. di-gowel enak ya, nduk? Wuuuiih.. udah mulai keluar lagi nih sumber madu perawan.. sluurrp, sluuurrp.. aaaah.." Mamat ngoceh tiada hentinya sambil memusatkan jepitan bibir dan juluran lidahnya ke kelentit Rani.

"Oooohh, baaang! Geeliii, udaah.. aku lemees! Aaaaah.. aaaih, bang! Aaaooh.. stop, udaah, bang! Rani mau pipis lagi.. aaaaihh.. hiks, hiks..udaah.. oooh.. hiyaaaah!!" Rani menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan kekanan seolah tak percaya apa yang sedang dialaminya sekarang.

"Hhhmmmhh.. iya betul, manis.. enggak usah malu ama abang! Pipis aja yang banyak, licinin memek nduk.. jadi ntar lancar masuknya nih adek abang yang udah nggak sabaran, hhhmmhh.." ustadz Mamat merasakan lidahnya terjepit diantara bibir kemaluan Rani.

Tak lama kemudian lidah itu terasa bagaikan diurut-urut dan diremas-remasoleh dinding vagina Rani, sekaligus ludahnya yang membasahi bibir kemaluan Rani tercampur pula oleh lumasan lendir yang memancar keluar. Mula-mula terasa agak asam, namun tak lama kemudian berubah menjadi agak sepat dan akhirnya tanpa rasa tertentu, hanya kelicinan yang menyambut permukaan bibirnya sendiri, bahkan sempat membasahi kumis kecilnya.

"Aaaah.. ooooh.. duh gusti.. ooohh.. aaah.. ampuun, bang! Gelii..udaah.. aaaaih.. aku keluar pipisnya! Oooohh.. baang!!" Rani tak sanggup lagi menahan semua rangsangan yang menyerang tubuh mudanya - kembali diamenegang dan mengejang-ngejang.

Wajahnya menengadah ke atas, kedua matanya kuyu mengarah ke langit-langit, nafasnya mendesah melalui lubang hidung yang kembang kempis serta mulutnya yang setengah terbuka. Selain itu tanpa sadar Rani memegang kedua buah dadanya sendiri dan meremas-remasnya, menandakan naluri wanita dewasa yang sedang dilanda oleh gelora birahi memuncak. Hal itu sangat memuaskan 'ego' ustadz Mamat yang bangga dapat membangkitkan nafsu seorang gadis alim shalihah. Kini tinggal selangkah lagi untuk mengubah iparnya itu dari status 'gadis' menjadi seorang wanita dewasa!

Ditatapnya geliatan tubuh Rani yang langsing namun padat itu, kaki jenjanggadis itu ditarik dan diletakkannya di atas bahu, sementara ibu jari serta telunjuknya menyibak belahan bukit Venus milik Rani. Terlihat dinding vagina yang mengkilat basah terlumas oleh lendir kewanitaan. Dengan tangan kanannya Mamat mengarahkan kejantanannya yang telah menegang mengacung ke atas menuju bagian tengah belahan itu. Setelah kepala jamurnya terjepit diantara bibir lembutyang berwarna kemerah-merahan, perlahan-lahan ustadz Mamat memajukan pinggulnya sambil kedua nadi Rani dicekalnya erat-erat.

"Aduh, aduduh.. aaaaauuuuwww! S-sakiitt, baaang! Udah.. keluariin.. Rani nggak tahan sakitnya, bang! Oooooouuu.. hikks, hikkss.. abang jahaat! Auuuuwww..kumohon, baang! Sakiiit!!" Rani menjerit memilukan hati pada saat ustadz Mamat mulai menodainya.

Wajahnya yang ayu cantik menggeleng ke kiri dan ke kanan. Meski kedua nadinya dicekal tak mampu bergerak, namun kepalanya membuka menutup membentuk tinju kecil. Pinggulnya berusaha menggeser ke kiri kanan untuk menghindaro hunjaman kemaluan ustadz Mamat, namun semua sia-sia saja karenaujung penis bagaikan kepala jamur kini semakin menerobos ke dalam dan akhirnya terhenti karena tertahan selaput tipis.

Hal ini juga dirasakan oleh ustadz Mamat yang mulai banyak pengalaman merenggut kegadisan wanita; bukan hanya Aida istrinya, namun juga murid-murid di madrasahnya, dan kini iparnya yang muda lagi lugu.

Dinikmatinya wajah Rani yang kesakitan, mata gadis itu membelalak penuh air mata, sementara nafas dan rintihan halus keluar dari belahan bibirnya yang manis setengah terbuka. Tak tahan dengan nafsu birahinya sendiri, ustadz Mamat melumat kembali bibir basah terbuka itu, dijulurkannya kembali lidahnya ke dalam rongga mulut Rani yang harum. Sementara itu pinggulnya semakin maju menekan tirai tipis selaput kegadisan milik Rani, dinding licin vagina iparnya terasa mengerut menjepit ingin menolak dan mengeluarkan batang daging yang sedang menyiksanya, menolak nasib malang yang tak mungkin terelakkan.

"Hmmgrh.. peretnya nih memek! Alot juga pertahanannya si nduk, tapi abang udah mau masuk nih.. uuuuhh.. tahan dikit lagi ya, nduk! Mmmmmmmhh.. akhirnyajebol juga! Wuiih, enak tenaaan!!" ustadz Mamat akhirnya berhasil menjebol kegadisan Rani, lolongan dan jeritan kesakitan iparnya ia bungkam secara ganas dengan mencium mulut Rani penuh kerakusan dan nafsu birahi.

Rani hanya dapat menggelepar dan menggeliatkan tubuhnya secara sia-sia karena tetap ditindih oleh tubuh Mamat. Tanpa rasa kasihan dan tanpa memperdulikan isak tangis Rani yang kesakitan tak terkira karena sudahdiperawani secara brutal, maka Mamat mulai dengan gerakan memompa maju mundur. Cabikan sisa selaput dara yang masih berdarah dan peka di dalam vagina Rani kini digesek-gesek oleh batang daging perkasa sehingga semakin terasa sakit dan perih. Akibatnya Rani jadi merintih-rintih.

Amat berbeda dengan Rani yang kesakitan, maka ustadz Mamat sangat menikmati ulah jahanamnya. Ciumannya yang sedemikian rakus terusmembungkam mulut Rani, menyebabkan korbannya sukar untuk sekedar bernafas. Kedua pergelangan tangan Rani yang sejak tadi direjang dicekal kini telah dilepaskan, tangan Mamat ganti merengkuh kedua paha Rani yang demikian jenjang halus dan dipaksanya untuk merangkul pinggangnya seolah-olah Raniadalah seorang istri yang sedang menikmati ML dengan suaminya.

Tak cukup sampai disitu saja, setelah Rani yang telah lemas digagahinya itu menuruti keinginan merangkul pinggulnya yang tetap saja memompa maju mundur, maka kedua tangan ustadz Mamat kembali menggerayangi bukit kembar Rani yang tertindih dadanya. Diremas-remasnya bergantian kiri dan kanan, terkadang lemah lembut, terkadang gemas kasar, sekaligus lidahnya menyapu, menjilat, sambilgiginya menjepit kedua puting yang telah mengeras itu, digewel-gewelnya, jugadigigit dan ditarik-tariknya pula.

"Hmmmmmh.. ssshhhh.. legitnya nih tetek, abang mau nyusu ah! Cupp-cuppp..hehehe, geli ngilu ya, nduk? Halus mulus, hhhmmmhh.. abang bikin cupangan ya, gigit lagi ah, hehe!!" Tak henti-hentinya ustadz Mamat berceloteh sambil menggenjot mangsanya habis-habisan bagaikan sang iblis selalu menambahkan stamina, sementara Rani semakin lemah, lemas dan pasrah tak berdaya.

Bagaimanapun penderitaan dan sakit yang dialaminya, namun perlahan-lahan timbul perasaan dan gejolak lain di dalam tubuh gadis itu. Semua tindakan pelecehan yang dialaminya, kasar atau lemah lembut, sakit - ngilu – perih, kini tercampur pula dengan kehangatan, panas, gatal dan juga rasa nikmat yang tak pernah diduga maupun dialami sebelumnya. Orgasme yang beberapa saat lalu hadir, kini mulai 'dipersiapkan' lagi oleh gelora hormon wanita muda yang dipaksa keluar oleh Mamat.

"Aaaaah.. ooooohhh.. udah, bang! Aku nggak tahan lagi, oooohh.. Rani nggaksanggup lagi melayani abang! Udah, baang.. perih!! Aaaaaaiiiihh.. aaaauuuww..aaaaah.. oooohhh.. ngiluuuu.. ssshhhh.." Rani mengeluh dan mendesah melalui belahan bibir dan hidung bangirnya yang kembang kempis.

"Hhhmmmh.. duuuuuh, cakepnya nduk pas lagi dijarah.. mulai enak kan? Jangan ditahan, nduk, ikutin aja.. nyerah dan pasrah ya, nduk, ntar lagi pasti ketagihan! Ngaku deh, nduk.. ayo bilang, nikmat nggak? Nih abang tambahin lagi jedugannya biar mantap, nikmat kan? Ngaku deh," Mamat semakin ganas menggenjot habis-habisan mangsanya yang telah tak sanggup melawan lagi.

"Ooooh.. abang jahat! Rani sakit, bang! Oooooh.. aaiiihh.. shhhhhhh.. aaaahhh..auuuw.. aauuw.. abang mainnya sadis! Aaaauuuw.. oooohh.. Rani nyerah, lepasin dong! Mau pipis lagi," Rani menggeliat meronta dan merintih memelas sambil menatap Mamat dengan muka kuyu mohon dikasihani.

Wajah sedemikian manis tak berdaya dan berjengit meringis kesakitan setiap kali kepala penisnya menghantam mulut rahim mangsanya itu menyebabkan kejantanan Mamat semakin membesar dan gejolak lahar kelelakiannya mulai mendidih ingin muncrat keluar dari kedua biji pelirnya. Ustadz cabul ini semakin mempercepat ritme pompaannya, maju mundur, ke atas dan ke bawah, lalumemutar dan kembali menghantam mulut rahim.

Rani bagaikan hanyut oleh gelombang laut yang meninggi, lalu menghempaskannya ke bawah, melemparkannya ke atas, berputar-putar,menyebabkannya jadi semakin pusing setengah pingsan. Dia telah mendekati batas kesadarannya dan daya tahan malunya, sampai akhirnya...

"Aduh, bang! Tolooong.. auuuuuuww.. ampuuuunnn.. ampuuuuun.. lepasin, Rani mau pipis! Aaaahhhh.. aaaaiiihhh.. ssssshhh.. ooohhhhh.." Tanpa menyadari statusnya sebagai gadis alim shalihah, akhirnya Rani dilanda oleh orgasme kedua yang jauh lebih hebat daripada yang pertama. Wajahnya menengadah ke atas, matanya terbalik dan hanya terlihat pelupuk putihnya, sementara hidung bangirnya kembang kempis dan mulutnya terbuka.

"Ooooohhh.. abang juga mau banjir nih! Iya gitu, jepit barang abang! Iya, peres keluar santennya! Nih keluar.. duh, enak tenan ngewein perawan alim!!" Mamat akhirnya memeluk tubuh telanjang Rani yang mengejang, dan keduanya berdengus bagai dua hewan yang sedang berkelahi mempertaruhkan nyawa.

Tubuh keduanya mengkilat oleh keringat yang membasahi dan kini telah bercampur menjadi satu, sebelum kemudian menggeletak tindih-menindih...

Setengah jam kedua insan berlawanan jenis itu berangkulan dalam keadaantubuh telanjang di bawah selimut tipis. Rani berusaha beberapa kali melepaskan diri dari rangkulan ipar lelakinya yang kini telah sepenuhnya dalam kekuasaan iblis. Permohonan Rani untuk membersihkan diri yang dirasakannya sangat kotor tak dikabulkan oleh ustadz Mamat. Bukan hanya suara berbisik memelas, bahkan aliran air mata Rani tak menggugah hati nurani Mamat.

Tidak cukup dengan menolak permohonan Rani, namun Mamat bahkan tetap memeluk erat korban pelecehannya yang terakhir itu. Tubuh Rani yang bergetar lemah karena sesenggukan tangisnya dipeluk dari belakang oleh Mamat, yang tetap mengusap meraba-raba paha putih mulus, sebelum jari-jari nakal sang ustadz kembali menjalar memaksa memasuki celah vagina Rani.

Celah surgawi Rani masih terasa rapat licin karena terlumas cairan kewanitaannya sendiri, tercampur dengan sperma pemerkosanya, dan bercak darah dari selaput perawan yang telah dikoyak secara paksa. Ustadz Mamat sangat bangga melihat jari tangannya dilumasi sisa spermanya sendiri dan darah keperawanan - jari tangan yang mana kini dipaksakannya masuk ke mulut Raniuntuk dijilat bersih. Gadis malang ini telah terlalu lemah, sangat lemas dan hanya pasrah memenuhi keinginan Mamat.

Dan malam itu iblis kembali berpesta pora..!


***


Aida Dalam Cengkeraman Empat Lelaki

Sementara itu, di saat hampir bersamaan ketika Ustad Mamat menggagahi Rani, di rumah pak Fikri juga tengah terjadi peristiwa yang sama. Namun kali ini korbannya adalah Aida, istri sang Ustad..

Percuma saja Aida meronta dan menggeliat kesana sini : menghadapi kekuatan bersama pak Sobri yang menelikungnya dari belakang sambil membopong dan pak Fikri yang menangkap merejang kedua pergelangan kakinya, maka istri ustadz Mamat itu kalah tenaga. Aida tak menduga bahwa pak Sobri yang telah ‘baik hati’ mengantarkannya mengunjungi temannya di RS akibat keguguran dan perdarahan, ketika pulang malah membawanya ke rumah asing : rumah pak Fikri.

Aida telah ‘terbiasa’ dengan pelecehan pak Sobri dan menduganya bahwa sepulang dari RS itu pak Sobri yang nafsu birahinya selalu menggebu-gebu akan membawa ke rumahnya sendiri dan semalam suntuk akan menguras tenaganya diranjang. Tak terbersit sedikit pun dalam benak Aida bahwa pak Sobri kali ini ingin membawanya ke dunia gelap berikutnya!

Kedua lelaki pejantan itu berhasil menyeret dan membopong tubuh Aida memasuki ruang tamu rumah pak Fikri yang besar namun letaknya terpencil di atas bukit. Wajah Aida semakin pucat dan matanya membesar penuh rasa takut ketika dilihatnya ada dua lelaki lain yang telah menunggu di situ. Yang satu adalah seorang lelaki yang tidak asing lagi baginya karena sudah pernah melakukan pelecehan bersama pak Sobri beberapa waktu lalu : yaitu Fadillah, sedangkan hadir pula seorang lelaki lain yang tak dikenalnya : pak Jamal!

Aida semakin panik dan meronta sekuat tenaga sehingga berhasil melepaskan diri, kemudian mencoba berlari ke arah pintu depan. Sayang pintu itu telah sempat dikunci oleh pak Fikri, dan pinggang langsing Aida segera dirangkul oleh sepasang tangan kuat Fadillah yang kembali menyeretnya ke dalam.

"Hehehe.. masih binal juga ya, padahal udah sering di-roncé. Rupanya mesti ditambah pelajaran lagi nih, pak." dengus dan ejek Fadillah di telinga Aida sambil menoleh kepada pak Sobri.

"Lepasin! Sialan semuanya! Tolongin saya, pak Sobri.. saya enggak mau dikeroyok barengan begini! Tolooooonngg!!" Aida menjerit sekuat tenaga, sementara pakaiannya semakin kusut karena meronta-ronta dan Fadillah kini telah menelikung merejang kedua tangannya di punggung.

Dengan sengaja Fadillah menekuk dan memelintir tangan Aida di punggunghingga menyebabkan agak kesakitan sehingga tanpa sadar Aida malahmembusungkan dadanya ke depan, mengakibatkan kedua bukit kembarnya jadiamat menonjol dan 'mencetak' jelas di kebaya panjang yang ia pakai. Hal ini tak luput dari penglihatan pak Fikri yang memang sejak tadi mengawasi liukan dan rontaan tubuh Aida dengan jakun turun naik. Tak sanggup lagi menahan nafsunya, ia pun maju ke depan sambil kedua tangan besarnya mencakup bukit kembar Aida serta mulai diremas-remasnya gemas sehingga Aida menggeliat-geliat.

"Baiknya kita main dimana nih, pak? Di ranjang, di sofa, atau di atas meja makan?" tanya Fadillah yang tetap menelikung Aida sambil menoleh bergantian kearah pak Sobri dan pak Fikri.

"Ini rumahnya pak Fikri kan, dan lagian dia tuan rumah yang kita bawain persembahan spesial, jadi kita serahkan aja ama pak Fikri. Cuma kelihatannya masih binal menolak nih si mojang," jawab pak Sobri sambil cengengesan menyaksikan wanita simpanannya yang masih menolak untuk menyerahkan diri begitu saja kepada pak Fikri yang belum pernah menjamahnya.

"Kita gampangin aja. Si neng kan santapan nikmat kita bersama, jadi boleh kita mulai di atas meja. Ntar kita terusin ronde berikutnya di ranjang. Setuju kan, neng? Hehehe," pak Fikri memberikan aba-aba kepada Fadillah yang telah mengerti dan mendorong korbannya ke arah meja makan besar.

Selama ini Aida mulai terbiasa dengan kehidupannya sebagai simpanan pak Sobri dan terhanyut oleh semua permainan ranjang yang semakin lama semakin berani. Aida telah diajarkan dan dipaksa oleh pak Sobri melakukan segala macam eksperimen yang tak layak dilakukan oleh istri alim shalihah manapun. Apa yang semula dilakukan oleh Aida karena dipaksakan, bahkan diawal mula juga disertai dengan bayaran uang semacam honorarium.

Namun semakin lama Aida yang masih sangat muda cantik merasa kecewa terhadap suaminya usradz Mamat, karena suaminya lebih sering menghabiskan waktu di tempat kerja dan jika pulang ke rumah semakin lama semakin ‘melupakan’kewajibannya sebagai suami. Karena itu Aida yang ibarat bunga sering ‘kehausan’itu menjadi tergoda dan bahkan ‘menjawab’ hasrat birahi pak Sobri. Segala sesuatu yang semula asing dan dirasakan jijik memuakkan akhirnya menjadi‘biasa’, sehingga pak Sobri menjadi amat puas dengan perlayanan Aida.

Selama hubungan gelap mereka maka pak Sobri memenuhi keinginan Aida bahwa Fadillah tidak lagi diberikan kesempatan untuk memperkosanya seperti yang pernah terjadi di awal mula. Aida merasa lega karena selama ini pak Sobri memenuhi janjinya itu - sampai pada hari ini ..

Tak diduga oleh Aida bahwa pak Sobri dan pak Fikri telah membentuk semacam jaringan rahasia di pelbagai desa di daerah itu. Banyak istri-istri yang sangat kekurangan uang belanja karena dibatasi oleh suami, akhirnya terjebak jaringan pak Sobri, bekas penjahat yang pernah bertobat sementara dengan bantuan ustadz Mamat yang ketika itu masih belum terjebak pengaruh iblis. Pak Sobri memperoleh bantuan pak Fikri yang menyediakan rumahnya, yang kebetulan letaknya sangat ideal terpencil di atas bukit, hingga jeritan-jeritan para istri yang menjadi korban tak akan terdengar keluar.

Untuk malam ini pak Sobri memang merencanakan semacam pesta seks ala desa, dimana diundang kembali kaki tangannya sendiri yaitu Fadillah. Sedangkan pak Fikri memberikan kesempatan untuk kaki tangannya dari madrasah tempat ustadz Mamat bekerja, yaitu pak Jamal.

Jamal dengan wajah yang menyeringai mesum kini ikut maju membantu Fadillah memegang kedua kaki Aida yang masih berusaha menendang ke sana-sini. Pergelangan kaki yang langsing itu dicekal oleh Jamal, lalu bersama dengan Fadillah, tubuh Aida yang nan langsing semampai diangkat dinaikkan ke atas meja. Dengan cengkraman Jamal di kedua pergelangan kaki dan cekalan Fadillah di kedua nadi tangan, maka sia-sialah semua usaha Aida melepaskan diri.

Kini majulah pak Sobri serta pak Fikri masing-masing di samping kiri kanan Aida dan bersama-sama mereka mulai melepaskan busana sang korban. Pak Sobri melepaskan semua kancing serta peniti kebaya Aida sehingga muncullah bukit kembar putih tertutup beha krem berukuran 34C. Sedangkan pak Fikri dengan penuh rasa gairah menarik sarung baju kurung Aida, kain itu dilorotkannya kebawah sehingga terpampanglah betis paha putih mulus bagaikan pualam tanpa cacat sedikitpun milik Aida, menyebabkan ke-empat lelaki itu menelan ludah saat melihatnya.

"Jangan, pak! Lepasin saya! Tolong, pak Sobri.. saya enggak mau! Enggakrela! S-sialan semua! Ooh.. insyaflah kalian! Oooh.. hiks, hiks! Saya mau pulang,pak Sobri!!" ratapan Aida menggema disertai isak tangisnya karena menyadari apa yang akan menimpanya malam ini.

"Ssh.. neng manis, percuma ngelawan! Nikmati aja, kan udah sering ama bapak. Sekarang neng bisa ngelayanin yang lain juga. Ntar juga jadi biasa ama pak Fikri yang sayang ama perempuan bahenol. Sshh.. tenang, neng. Nyerah aja, kitanggak ada yang mau nyakitin! Shh.. cupp," pak Sobri berusaha menghibur sambil matanya mengawasi tubuh Aida yang kini hanya terlindung BH dan celana dalamsaja, dan kedua penutup bagian vital itu pun langsung direnggut oleh pak Fikri.

"Ck-ck-ck.. emang bener, Bri, simpenan loe emang luar biasa yahud. Badan gini mulus putih enggak ada tandingannya di desa ini," pak Fikri menelan ludah berkali-kali dengan jakun turun naik dan mulai melepaskan pakaiannya sendiri, tak lama kemudian ia pun menurunkan celana dalamnya.

Setelah telanjang bulat dengan tubuh agak tambun, pak Fikri semakin mendekati Aida yang direjang kaki tangannya tergeletak di atas meja. Kemaluannya yang disunat telah mengacung keras, perlahan-lahan didekatkan kearah wajah manis Aida. Langsung sang korban ini melengoskan kepalanya ke arah lain, namun yang dilihatnya justru pak Sobri yang juga telah melucuti semua pakaiannya. Badan pak Sobri yang penuh bulu sudah sering dilihat oleh Aida, bahkan telah sering dijilat dan diciuminya selama ia menjadi simpanan pak Sobri selama ini. Juga rudal pak Sobri yang begitu sering memasuki semua lubang intim tubuhnya, telah tak asing lagi untuk Aida. Rudal daging yang telah sering dikulum dan disepongnya itu kini menyebabkan kembali rasa mual dan ngeri - mungkin disebabkan oleh situasi tak berdaya dan dipaksa untuk melayani kemauan empat lelaki.

"Ayolah kita mulai maenan petak umpet ama si denok, tapi semuanya mesti bugil dulu biar seru," demikian pak Fikri yang memberikan tanda kepada kedua pegawai bawahannya, lalu ia mengambil alih tempat Jamal yang memegangi pergelangan kaki Aida. Tindakannya itu diikuti oleh pak Sobri dengan langsung mencekal nadi tangan Aida yang terentang meronta-ronta di atas kepalanya.

Fikri merentangkan paksa kedua kaki jenjang Aida ke samping sambil matanya tak puas-puas menatap belahan selangkangan Aida yang begitu halus mulus terawat, merangsang setiap lelaki.

Kesempatan ini dipakai oleh Fadillah dan Jamal untuk membuka semua pakaian masing-masing sehingga hanya dalam waktu dua tiga menit kemudian,keempat lelaki pejantan itu telah bugil total. Jamal diberi aba-aba oleh Fikri untuk menggantikan kembali memegang pergelangan kaki Aida, lalu Fikri mendekati korbannya. Dengan penuh nafsu Fikri meremas-remas gundukan buah dada Aidayang menggunung padat.

Penuh rasa ketakutan, Aida hanya dapat menangis terisak-isak ketika tubuhnya sedikit ditegakkan dan dirasakannya jari-jari tangan Fikri menyentuh ke belakang punggungnya. Tak lama kemudian kaitan BH penutup buah dadanya telah dilepaskan oleh Fikri sehingga muncullah gunung kembar yang sedemikian padatdan montok, berkulit putih licin, dengan puting coklat muda kemerahan yang selalu tegak seolah mengundang tangan lelaki untuk menjamahnya.

Karena kedua tangannya direjang sekuatnya oleh pak Sobri, maka Aida tak dapat menutup buah dada kebanggaannya yang memang sangat sekal montok dan kini mulai diraba, diusap serta diremas-remas gemas oleh pak Fikri.

Namun rupanya pak Sobri dan pak Fikri telah merencanakan pesta seks yang agak berkepanjangan karena Aida merasakan semua rejangan dan cekalan di pergelangan kaki tangannya dilepaskan!

Kini ia berdiri di tengah ruangan hanya dengan memakai celana dalam kecil pelindung auratnya yang terakhir, sedangkan keempat lelaki biadab mengelilinginya bagaikan singa buas menantikan kancil kecil mangsanya untuk dijadikan santapanterakhir. Penuh rasa malu tak terkira, Aida meletakkan kedua tangan di depan dadauntuk melindungi kedua bukit daging kebanggaannya, sedangkan matanya yang penuh air mata mencari-cari tempat untuk berlindung, dan anehnya keempat lelaki itu agak mundur, namun tetap mengepungnya dari empat jurusan dengan penis-penis tegak mengacung bagaikan meriam sundut.

Rupanya ini memang sudah diatur oleh Fikri dan Sobri yang menginginkan permainan bagai anak kecil di sekolah dasar. Aida berusaha menekan rasa takut dan panik, tubuhnya mengelak ke samping, ke belakang, sementara matanya mencari-cari dimana kiranya ada kamar yang dapat dimasuki sehingga ia dapat mengunci diri dan bersembunyi di dalamnya. Ternyata di bagian bawah rumah Fikri tidak ada ruangan tempat tidur, sehingga tanpa sadar Aida semakin lama berjalan mundur mendekati tangga mengarah ke tingkat atas dimana memang ada beberapa kamar tidur. Aida hanya mengharap bahwa salah satu kamar itu dapat dikunci dari dalam sebagaimana keinginannya.

Dengan rasa putus asa Aida mendadak lari ke atas tangga dan memasuki salah satu kamar tidur, ternyata tidak ada kuncinya. Dimasukinya lagi ketiga kamar yang lain, semua sama saja : juga tak ada kuncinya.

Perlahan-lahan, sambil menikmati adegan wanita muda cantik hampir telanjang bulat berlari-lari kesana sini keluar masuk kamar, keempat lelaki jahanam itu naik tangga pula mendekati mangsa mereka.

Bagaikan anak kecil di sekolah dasar yang berlari-lari kesana sini dalampermainan petak umpet, kejar-kejaran itu pun berlanjut di atas loteng. Dengan kelicikannya, pak Fikri dan pak Sobri, dengan disertai Fadillah dan juga Jamal,berhasil mendesak Aida masuk ke dalam kamar tidur terbesar. Di kamar tidur ini tentu saja terdapat pula ranjang terbesar yang terbuat dari kayu jati, dengan disemua sudut terlihat pilar kuat berukiran kepala harimau.

Kamar itu dilengkapi pula dengan sebuah kaca besar di dinding yang belum terlalu lama dipasang atas kemauan pak Fikri. Setelah istrinya meninggal dan iapuasa cukup lama, maka gairah hidup pak Fikri muncul kembali setelah dapat menggarap Rofikah, murid madrasah genit itu (baca kisah sebelum ini). Selepas peristiwa itu, maka pak Fikri semakin sering menikmati daun muda di desa kediamannya itu, yang semuanya adalah hasil jebakan dari kaki tangannya : Jamaldan Fadillah.

Untuk lebih dapat memenuhi hasrat birahinya maka pak Fikri memasang kaca di-dinding kamarnya, sehingga segala tindakannya selama menggarap wanita dapat dilihat pula olehnya. Bahkan wajah si wanita yang sedang mengalami perkosaan dan meringis kesakitan dapat pula ia nikmati sepuasnya - sedemikian jauhnya kemajuan pak Fikri yang menjadi pejantan jahanam.

Ketika akhirnya secara tak sadar berdiri di dekat cermin besar di dinding,dimana terlihat betapa mulus menggairahkan tubuhnya di kaca itu, dan dihadapannya terpampang ranjang sangat besar, maka barulah Aida dicekam rasa putus asa dan ketakutan tak terhingga menghadapi keempat pria pemerkosanya.Dia hanya dapat menjatuhkan dirinya ke lantai sambil menutup wajahnya danmenangis tersedu-sedu, dilupakannya bahwa kedua buah dadanya kini tak lagi terlindung oleh tangannya.

Keempat lelaki yang juga telah bugil seluruhnya itu kini mendekati mangsa mereka. Fikri dan Sobri menarik lengan Aida dan dengan perlahan-lahan mereka meletakkan mangsa yang terkepung tanpa daya itu ke atas ranjang. Rupanya mereka telah sepakat bahwa pertama pak Fikri yang akan menikmati tubuh Aida, setelah itu mereka akan bergantian satu persatu menguras tenaga Aida, dan akhirnya mereka bersama-sama membagi kenikmatan surgawi istri seorang ustadz yang juga dikuasai iblis.

"Jangan nangis gitu ah, kan neng belom diapa-apain. Matanya jadi sembabnanti, kan malah nggak cantik. Kita cuma mau senang-senang kok. Ayo sini, janganmenggigil gitu. Dingin ya? Sini masuk pelukan bapak, hhm.. wanginya nih rambut," Fikri menarik Aida dari posisi di lantai ke dalam pelukannya, tak perduli Aida yangmenolak keras.

"Tolong, pak, saya mau pulang! J-jangan nodai saya, pak! Hiks, hiks.. Ingat,pak, insyaflah! Saya ini istri orang! Anterin saya pulang, pak! Jangan..emmppfffhh!!" kata-kata Aida hilang di dalam ciuman buas dan rakus pak Fikri yang semakin menarik Aida ke atas ranjang yang besar.

"Kalo perlu dibantuin bilang ya,pak, pokoknya kita semua siap tempur. Hehehe," Jamal bersama Fadillah dan pak Sobri menyeringai mesum sambil mengundurkan diri meninggalkan kamar tidur.

"Beres lah. Nih mojang masih malu, belom biasa ngadepin banyak lelaki sekaligus. Jadi terpaksagantian satu persatu, tapi ntar semua dapet bagian kok. Sekarang bapak yang mulai ya, neng," Fikri kembali menciumi dan menjulurkan lidahnya ke dalam mulut Aida, menyebabkanperempuan itu menjadi mual dengan bau tembakau kretek.

Dengan kedua tangannya yang kuat, Fikri merebahkan dan menekan Aida kekasur, lalu menindih serta menarik celana dalam pelindung aurat terakhir istri ustadz Mamat, tak dipedulikannya tendangan serta rontaan mangsanya. Hanya dalam waktu satu menit kemudian, sempurnalah Aida telanjang bulat bagaikan Eva di taman Firdaus, dan tanpa menunggu banyak waktu lagi, pak Fikri menutupi tubuh langsing semampai itu dengan tubuh kekarnya. Ciuman pak Fikri beralih ke leher jenjang Aida, dijilati dan dicupanginya disitu, lalu bagaikan ular, lidahnya mengembara bergantian ke-ketiak yang gundul kelimis. Di situ kembali digigit dan dicupanginya.

Aida merasa sangat kewalahan dengan rangsangan pak Fikri. Meskipun benaknya menolak mati-matian, namun tubuhnya mulai ‘menjawab’.

"Duh.. wangi amat nih ketek. Emang laen neng piaraan si Sobri ama perek kampung. Apalagi memeknya, pasti lebih harum lagi. Cupp, cupp, hehehe.. geli-geli enak ya, neng?" celoteh Fikri menyebabkan wajah Aida merah padam karena memang merasa sangat geli diperlakukan begitu, sekaligus juga terhina karena disebut 'piaraan si Sobri', tapi harus dia akui memang itulah kenyataannya.

Aida menggeliat ke kiri dan ke kanan di bawah tindihan tubuh pak Fikri, kakinya menghentak tak karuan menahan geli ketika ciuman Fikri telah turun ke dadanya, naik turun di lembah dan bukit kembar sekal menggemaskan miliknya. Bibir Fikri dengan kumis ijuk di atas dan di janggutnya menambah kegelian karena menusuk-nusuk puting Aida yang mencuat ke atas. Kedua tangan Aida berusaha menolak kepala Fikri yang menyelundup di lembah di antara buah dadanya, namun Fikri menangkap pergelangan tangan Aida. Dia meletakkan dan merejangnya di atas kepala perempuan itu, menyebabkan Aida jadi tak berdaya.

Kini Fikri mencakup bergantian puting merah coklat muda di kiri kanan itu dengan bibirnya, dikulum dan disedot-sedotnya sekuat tenaga bagaikan bayi raksasa yang kehausan. Tak cukup sampai di situ, Fikri lalu mengulum puting itu,serta menggigit dan menariknya sekuat tenaga hingga menyebabkan Aida menjerit ngilu.

"Aahh.. aiiih.. oohhh.. pak, udaah! Ngilu! Ngilu! J-jangan digigit.. auw! Pelan-pelan, ooh.. jangan sadis gitu dong, pak! Saya enggak tahan, aaaah!!" lenguhan Aida semakin memenuhi ruangan, apalagi dirasakannya tangan Fikri yang bebaskini turun ke arah perutnya.

"Ck-ck-ck.. duh, gempal banget nih tetek, bapak jadi gemes pengen nyusu lagi! Shh.. isep lagi ah, hehehe.. si neng ngegelinjang kaya cacing, emang enak ya?" Fikri mulai menjalarkan jari-jari tangannya yang bebas ke rambut halus tercukur rapi pelindung bukit Venus Aida.

Disitu jari-jari nakal Fikri mengusap dan memelintir beberapa rambut halus kemaluan Aida, yang mana tak pernah dirasakan oleh istri ustadz yang malang ini. Telah sering badannya digauli sang suami, telah sering pula tubuhnya dijarah oleh pak Sobri dengan segala macam teknik cintanya, namun kali ini pak Fikri menggarap dengan cara setengah menggoda setengah sadis, amat berbeda dengan apa yang selama ini dialaminya. Semuanya menyebabkan tubuh Aida semakin menggeliat melawan arus birahi yang mulai menyerang.

Pak Fikri bukan anak kemarin sore, senyum iblisnya semakin nyata ketika dilihatnya tatapan mata Aida semakin redup kuyu, mulutnya setengah terbuka, dan dari belahan bibir manis serta kembang kempis hidung mungil itu terdengar desahan dan lenguhan wanita yang semakin hanyut akan birahi.

Ciuman pak Fikri kini menurun dari bukit kembar putih yang telah penuh dengan bercak bekas remasannya serta cupangan merah, menjalar ke pusar Aida yang cekung. Dia bermain-main di situ sebentar dengan mencelupkan ujung lidahnya kedasar pusar, mengutik-utik dan menjilat-jilat bagaikan kucing garong.

Aida semakin tenggelam dalam gelombang arus permainan pak Fikri, kepalanya menggeleng dan rambutnya yang telah tak ditutupi oleh jilbab berurai kesana-sini, kaki jenjangnya menghentak dan menendang-nendang. Pak Fikri melanjutkan jelajahan mulutnya ke arah lipatan perut dan juga pahamulusnya. Di situ kembali ia menjilat dan mengecup mencupangi.

Usaha mati-matian Aida untuk mengatupkan kedua paha jenjangnya hanya berhasil sebentar saja, karena Fikri dengan kedua lengannya yang berotot walaupun telah berusia lanjut berhasil menguakkannya ke samping. Beberapa saat kemudian terbuka dan terbentanglah selangkangan Aida selebar-lebarnya – yang mana kesempatan itu segera dipakai oleh pak Fikri untuk menempatkan dirinya diantara paha putih mulus itu. Bibir tebal Fikri langsung melekat di bibir bawah Aida, mengendus-ngendus disitu, kumisnya menggelitik dan lidahnya menjalar masuk ke memek Aida.

"Slruup.. sssh.. wuih, udah basah nih memek. Udah enggak sabaran ya, neng,pengen ngerasain dientot? Sluurp.. ahh, sepet-sepet manis nih air mazi. Bapak cobain lagi ya," Fikri makin dalam menyelupkan lidahnya ke lembah vagina Aida yang semakin lemas tak berdaya.

"Oooh, pak! Aaah.. aaiihh.. jangan, pak! Kasihani saya! J-jangan terusin, pak!Jangan nodai saya! Oooh.. hiks, ampuun! Ooh, pak.. udah dong!!" Aida menggeliat-liat menahan semua godaan yang melanda ujung syaraf di tubuhnya yang mulai basah kuyup dengan keringat.

"Tenang, neng, nikmati aja semuanya! Neng kan udah sering ginian ama siSobri, gantian dong sekali-sekali ngerasain gimana dikerjain ama pejantan lain. Bapak enggak akan nyakitin, malah mau jilat itil neng sekarang! Mmhh.. mungil amat, sshh.."

Fikri menjulurkan lidahnya semakin dalam ke arah G-spot, lalu merantau diantara lipatan bibir kemaluan Aida untuk mencari kelentitnya. Setelah ditemukan,maka daging kecil merah muda itu dijilati, dikecup, digigit-gigit , dijilat lagi, sehingga semakin lama semakin membengkak dan luar biasa peka dan berubah menjadi merah tua.

"Oouh.. Ya Allah, gelinya! Ampun! Oooh.. pak, udah! Ngilu, pak! Oohh.. tolong,pak! Geli, lepasin dong! Saya mesti ke belakang, mau pipis! Oooouu.." jerit Aida mengiringi kekelahannya melawan gairah birahi yang disebabkan rangsangan di klitorisnya.

Namun pak Fikri yang telah naik nafsunya ke-ubun-ubun, malah meneruskan rangsangannya. Tangannya kini merambat ke atas dan menemukan lagi bukit buah dada Aida yang membusung indah. Sambil meremas kedua puting yang begitu mengeras itu, lidah serta kumis pendeknya yang bagai sapu ijuk terus menggesek-gesek kelentit Aida yang semakin menjerit-jerit bagaikan terkena aliran listrik,hingga akhirnya..

“Aahh.. aduh! Aaooooouuu.. aaauuuuuuwww.. ooooohhh.. iya, terus pak!"lengking Aida menyertai kelojotan tubuhnya yang bagaikan busur menegang melengkung naik menekan bukit kemaluannya ke wajah Fikri hingga basah kuyupoleh air mazinya.

Sekitar tiga menit Fikri meneruskan kegiatannya merangsang Aida sehingga akhirnya orgasme yang dialami perempuan itu mulai mereda dan tubuh Aida menghempas lemas disertai kucuran keringat yang cukup deras. Pak Fikri menyeringai melihat usaha pertamanya berhasil dan kini ia telah meletakkan kedua kaki jenjang Aida di pundaknya. Dilihatnya getaran kecil dan denyutan lemah bibir kemaluan Aida yang kini perlahan-lahan dikuaknya ke samping, sementara dengan tangan satunya ia mengarahkan batang rudalnya yang telah ereksi maksimal bagaikan pentungan kayu ke antara bibir vagina Aida.

"Oooh, lembutnya nih memek! Anget, halus, licin, sempit peret kaya perawan. Oooh.. bapak mesti kerja keras nantinya. Tahan dikit ya, neng, bapak mau ngejos daleman neng! Mau jedug-jedug biar manteb!" pak Fikri mulai memaju-mundurkan pinggulnya; menjelajahi, membelah vagina Aida semakin dalam dan dalam, dan terus menusuk hingga dirasakannya kepala jamurnya menekan rahim.

"Oooummpffh, pak! Aauw.. oooh.. ngilu! A-ampun!" Aida melupakan semua derajatnya sebagai istri ustadz. Kuku-kuku jari tangannya menekan kuat-kuat lengan pemerkosanya, bahkan sesekali mencakar, namun semuanya tak dipedulikan oleh Fikri.

"Gimana, neng, enak ya? Ayo ngaku, enak kan.. ngilu-ngilu sakit? Terusin ya, ntar lebih enak lagi," demikianlah Fikri menggoda korbannya, dan diturunkannya kedua kaki Aida dari pundaknya. Lalu dengan penis tetap menancap di dalam vagina, mendadak ia membalikkan tubuh hingga menjadi posisi di bawah, sedangkan Aida kini duduk di atas dalam posisi 'woman on top'.

Sekarang Aida yang mengambil inisiatif, dan karena seluruh vaginanya telah basah, licin, panas, serta gatal tak terkira, maka dia pun mulai menaik-turunkan tubuhnya. Makin lama menjadi semakin cepat. Fikri merasa sangat puas karena istri muda alim shalihah ini telah terbawa birahi hewaniah dan lupa akan segalanya.

Aida telah melupakan kedudukan serta martabatnya, yang dirasakan hanya satu : keinginan untuk mencapai kepuasan yang semaksimal mungkin malam ini. Tubuhnya menghempas naik turun, wajahnya menengadah ke atas, sementara matanya terpejam dan bibirnya terbuka.

Dalam keadaan semacam itu maka semua panca indera Aida pun sangat terbatas, yang didengarnya hanyalah dengusan dan geram pak Fikri yang seirama dan berselang seling dengan lenguhannya sendiri.

Oleh karena itu Aida tak menyadari bahwa pintu kamar tidur perlahan-lahan terbuka, dan ketiga lelaki lainnya memasuki ruangan pertarungan badaniah itu. Pak Fikri melihatnya, namun tetap menikmati naik turunnya tubuh Aida yang sedang menikmati tikaman rudal daging di liang memeknya.

Bahkan ketika pak Sobri telah naik perlahan-lahan di ranjang dan mendekat dari arah belakang, hal ini masih belum disadari oleh istri ustadz Mamat. Aida baru sadar dan terpekik ingin berdiri dan melepaskan dirinya dari tikaman penis Fikri pada saat Jamal dan Fadillah telah berlutut di samping kiri kanan pasangan yang sedang bersenggama itu. Namun sudah terlambat.

Fikri dengan sigap memeluk tubuh Aida dari bawah dengan kuat, kedua pergelangan tangan Aida disergap dan dicekal oleh Jamal serta Fadillah yang memaksanya memegang penis mereka masing-masing. Rontaan Aida hanya sia-sia saja karena tubuhnya ditarik ke bawah dan mulutnya dibekap ciuman Fikri yang berbau rokok kretek.

Dengan dirangkuh pinggangnya dan ditekan ke bawah oleh Fikri, maka tanpa disadari Aida pinggulnya mencuat menungging ke atas, hal mana telah ditunggu oleh pak Sobri yang berada di belakang pantatnya. Dengan dua tangan dia langsung mencekal bongkahan pantat Aida yang bulat putih mulus itu.

Aida mulai menduga apa yang akan menimpa dirinya. Dengan sisa-sisa tenaga dicobanya berontak, badannya berusaha bangun dari posisi yang sangat tak menguntungkan itu, namun tetap dirangkul amat kuat oleh Fikri. Kini Fikri melepaskan ciumannya di mulut Aida, bibirnya yang dower itu turun ke bawah dan mencakup puncak buah dada mangsanya, dikenyot dan dikulum-kulumnya gunung kembar yang sekal itu, sambil putingnya kembali ia pilin-pilin dan digigit secara gemas dan sadis.

"Aduh, pak! Jangan begitu dong! Jangan digigit, pak! Auw.. s-sakit! Tolong, pak Sobri, ampun.. jangan dimasukin disitu! Saya 'kan paling enggak tahan! Oooh..pak, kasihani saya! Bapak kan bilangnya sayang Aida, auww! Aaahhhh.." lolongan Aida meraung memenuhi ruangan kamar ketika dirasakannya Sobri mulai meludahi gerbang anusnya.

Pak Sobri hanya tersenyum melihat simpanan hatinya menggeliat meronta. Setelah meludahi beberapa kali, kini ia mulai memasukkan satu, berikutnya dua dan akhirnya tiga jari ke anus Aida.

Semua geliat dan rontaan Aida tak dapat menandingi tenaga lelaki yang menjarahnya, tangannya sama sekali tak dapat digunakan karena kedua nadinya dicekal kuat ke kiri kanan dan dipaksa mengocok kemaluan Jamal dan Fadillah. Kedua lelaki ini dalam posisi berlutut merem melek keenakan karena kejantanan mereka yang disunat itu digenggam kuat oleh Aida yang sedang ketakutan karena menunggu saatnya disodomi oleh kekasih gelapnya : pak Sobri.

"Ooooh.. iya, neng geulis! Iyah, kocok begitu! Pelanan dikit! Duh, konak banget digrepe sama neng bahenol. Nggak tahan lama nih, bisa cepet ngecrot nih! Aaaahh.." Fadillah ngoceh keenakan.

"Busyet! Neng belajar ama siapa ngocok begini? Mesti simpen tenaga nih, aaah.. abang ntar pengen diemut disepong ya, neng," Jamal tak kalah berceloteh - bersaing dengan Fadillah.

Pak Sobri menyentuh kaki pak Fikri memberikan tanda untuk merangkul Aida sekuatnya sekaligus memberikan sedikit ‘ruangan’ untuknya. Pak Fikri yangmengerti aba-aba ini, segera menarik keluar sedikit si otongnya, yang kesempatanitu segera dipakai oleh Sobri dengan menekan penisnya di lingkaran anus Aida.

"Aaauuhh.. aaauuuww.. sakiit!! Bapak jahat! Jangan masukin! S-sakit,pak! Hiks-hiks-hiks, ooohh.. saya mau mati aja! Kasihani saya, pak! Jangan disiksa begini, hiks-hiks.. ouuh, ampun! Ya Allah, sakitnya!!" Jutaan bintang bertebaran di depan mata Aida sementara air mata mengucur membasahi pipinya menahan rasa sakit tak terkira.

"Rileks, sayang. Tenang, rileks aja. Ntar juga ilang sakitnya. Jangan dilawan,sayang. Bapak kan maennya pelan-pelan, masuknya juga kan pelan-pelan gini," pak Sobri berusaha berbisik di telinga Aida untuk menghibur kekasih gelapnya, namun penisnya justru semakin membesar di saat menembus pertahanan otot lingkaran anus. Dia semakin terangsang mendengar rintih dan jerit memilukan Aida yang menggema karena di-sandwich oleh dua lelaki.

"Udah, pak! Bapak jahat! Ooouuww.. tambah sakit! A-ampuun!!" Aida semakin lemah saat mulutnya kembali dibekap ciuman ganas Fikri. Kedua buah dadanya yang montok menggantung kini lepas dari mulut Fikri, namun ganti diremas-remasoleh Fadillah dan Jamal yang tetap mencekal keras nadi Aida untuk memperingatkannya agar tetap melakukan ‘tugas’ mengocok. Kini kedua lelaki kasar itu malah dapat memperingatkan Aida agar tetap mengocok penis mereka dengan gemas meremas-remas buah dada, bahkan sesekali mencubiti putingnya.

Aida telah kehabisan tenaga dan hanya dapat mengharapkan agar dirinya secepat mungkin pingsan sehingga semua yang dialaminya segera berakhir. Selama ini dirinya telah mulai ‘terbiasa’ dengan kedatangan pak Sobri yang teratur menagih jatah. Di awal permulaan memang ia diperkosa oleh pak Sobri dan kaki tangannya : Fadillah, namun sesudah itu hanya Sobri yang menjarahnya.

Kini dialaminya peristiwa pelecehan keroyokan yang sama sekali tak pernah iaduga : empat lelaki sekaligus menguasai dirinya. Aida merasakan tak ada harga dirinya lagi untuk berjumpa dengan suaminya : seorang ustadz yang dihormati didesa. Aida tak menyadari bahwa suaminya pun telah memasuki dunia gelap karena dikuasai oleh iblis, membuatnya menjadi pejantan mesum yang tak segan-segan mencari mangsa ABG diantara murid madrasahnya sendiri.

Pak Fikri dan pak Sobri yang terus dengan puas menyodok, merojok serta menghunjam tanpa memperdulikan lagi semua keluhan dan rintihan memilukan hati korbannya, mulai merasakan didih dan gejolak lahar panas mendesak ingin keluar dari biji pelir mereka. Bagaikan banteng terluka yang sedang murka, keduanya keluar masuk bergantian di dalam lubang vagina dan anus Aida.

Hawa nafsu mereka yang semakin memuncak membuat alat kemaluan mereka semakin membesar, masuk keluar, tarik dorong, semuanya memberikan kesan kepada Aida seolah tubuhnya dibelah menjadi dua. Setiap hunjaman entah melalui vagina maupun anus, dirasakan Aida seolah masuk sedemikian dalam menyentuh ulu hatinya, semakin dalam, semakin keras, semakin membuat ngilu, sakit, namun juga nikmat tak terkira. Semuanya bercampur menjadi satu, dan akhirnya ..

Ssssrr.. crooott.. crooott.. sssrrr.. denyutan demi denyutan dari penis besar pak Sobri dan pak Fikri hampir bersamaan mengiringi semburan sperma mereka membanjiri kedua lubang Aida.

Tak ada yang dapat dilakukan oleh istri ustadz ini, Aida hanya ingin menyelesaikan pelecehan ini secepatnya. Maka dengan sisa energi terakhir dikocoknya sekuat tenaga penis Jamal dan Fadillah, hingga dua menit kemudian keduanya pun menyemprotkan sperma mereka.

Aida menduga bahwa dirinya telah bebas dari perlecehan, namun ternyata Fadillah dan Jamal masih tetap sanggup ereksi, dan baru melepaskan Aida setelah mereka bergantian disepong dan memaksa Aida minum air mani, menyebabkan Aida terbatuk-batuk dan mual hampir muntah.

Di akhir malam itu, Aida pasrah terhadap nasibnya dan menyerah dijadikan budak sex siapa pun.


***


"Nikmat nggak, Neng? Bapak masih kuat ngelayanin kamu semalam suntuk. Nih masuk lagi ke dalem.. sempit, peret, biar udah digenjot lama! Uuh.. enaknya nih memek," Pak Sobri tak puasnya membisikkan kata rayuan gombal di telinga Aida yang sudah kewalahan setengah pingsan menghadapi kejantanannya. Batang penis itu terus menegang, biraho Pak Sobri yang tengah dipengaruhi iblis bagaikan tak adahabisnya.

Ditindih oleh badan Pak Sobri yang cukup besar dan berat itu, Aida merasakan sukar bernapas. Apalagi tak henti-hentinya kedua bibir basahnya yang setengah terbuka dan megap-megap dicakup dan diciumi dengan rakus sehingga dia hanya dapat mendengus-dengus lewat lubang hidung mungil yang kembang kempis.

"Oooh.. udah dong, Pak! Kasihani saya.. saya nggak sanggup lagi ngelayanin, bapak terlalu kuat! Ssshh.. pelan-pelaaaan! Bapak sadis mainnya.. aduh, auuw! A-ampuun.. aauuwmmpfh," hanya keluhan itu yang dapat keluar dari mulut Aida yang setengah terbuka.

Di sudut bibirnya masih terlihat sedikit lelehan cairan pejuh putih milik Pak Sobri yang tadi telah membanjiri mulutnya. Telah dua kali Pak Sobri ejakulasi, namun tetap saja kemaluannya tegar dan tegak bagaikan kayu, dan kini lembing daging itu menumbuk-numbuk sejak sepuluh menit yang lalu ke lubang rahim Aida yang peka sehingga ia jadi merintih-rintih kengiluan, namun rintihan itu segera dibungkam oleh ciuman Pak Sobri yang amat buas.

.Di dalam hati kecilnya Aida mengakui bahwa ‘kekasih’ gelapnya ini memang mempunyai stamina luar biasa untuk ukuran seusianya. Setiap kali Aida merasakan seolah seluruh tulang-tulang badannya dilolosi, bagaikan remuk badannya digelutiPak Sobri. Segala macam posisi dan teknik pernah dilakukan mereka, terutama posisi berlutut dan nungging memasuki lubang senggama Aida dari arah belakangyang merupakan salah satu favorit Pak Sobri.

Dalam posisi ini Aida tak dapat berontak dan berbuat apa pun, hanya dapat menerima sodokan buas dan sadis dari Pak Sobri. Kontol lelaki tua itu terasa sangat ngilu saat menghantam gerbang rahimnya. Dengan puas Pak Sobri selalu mendengarkan keluhan dan rintihan Aida yang semakin meninggi, lalu menjadi jeritan histeris yang memohon agar permainan dihentikan.

Lebih dari satu jam barulah Pak Sobri melepaskan mangsanya setelah istri Ustadz yang ayu cantik jelita itu digarapnya habis-habisan tanpa rasa belas kasih sedikit pun. Dilepaskannya tubuh Aida yang lunglai menggeletak telanjang bulat diranjang, diawasinya dengan penuh kepuasan keadaan Aida yang ‘babak belur’hampir pingsan dengan tubuh mandi keringat, juga wajah, dada dan perutnya penuholeh sperma. Dengan sadis digigitnya puting Aida sehingga perempuan itumemekik manja penuh kelemahan.

Pak Sobri dengan tubuhnya yang masih kekar dan agak tambun itu bangun dan mencari air minum ke dapur. Sambil meneguk air dingin di gelasnya, Pak Sobri berjalan ke arah ruang tamu rumah Ustadz Mamat; semuanya terlihat biasa dan sangat sederhana, tak ada barang mewah. Hanya ada lemari kayu rendah tempat menaruh perabot rumah tangga, dan di atas lemari itu terlihat beberapa foto keluarga, baik dari Ustadz Mamat sendiri maupun Aida dengan saudara-saudaranya.

Pak Sobri mendekat dan memperhatikan salah satu foto; dikenalinya Aida yang berdiri di tengah bersama ketiga adiknya : Farah Wulandari, yang termuda paling kecil Asma Maharani, dan seorang lagi yang terlihat malu-malu namun sangat ayu dan manis, Nurul Sri Lestari. Pak Sobri pernah berjumpa dengan semua adik Aida di saat upacara pernikahan ‘guru’nya, yaitu Ustadz Mamat. Juga di acarasilaturahmi setahun setelah itu ketika Farah baru selesai wisuda tamat kuliah, bersamaan dengan ulang tahunnya.

Pak Sobri tahu bahwa Farah telah berhasil dikuasai dan digaét menjadi ‘istri’sang rentenir kakap, Pak Burhan, yang memberikan modal untuk mencetak pelbagai novel keimanan, tentu saja sebagai ‘ganti jasa’ terhadap servis ranjang, mirip dengan apa yang dialami oleh Aida dengan dirinya.

Mata liar pak Sobri menatap kedua adik Aida yang lain di foto keluarga itu :terlihat Asma Maharani yang bungsu masih duduk di sekolah menengah, dan Nurul Sri Lestari yang diketahuinya pula masih kuliah di bidang ilmu komunikasi di perguruan tinggi terkenal di Jakarta. Belum diketahuinya bahwa Asma Maharani lebih dua minggu lalu telah direnggut kegadisannya oleh Ustadz Mamat, iparnya sendiri. Peristiwa maksiat itu terjadi ketika Aida dipaksa melayani nafsu bejat Pak Sobri dan kaki tangannya, Fadillah, di rumah Pak Sobri di desa lain yang lumayan jauh dari rumah Aida.

Perenggutan kegadisan Asma bahkan berlangsung di ranjang sama ketika Pak Sobri menodai Aida pertama kali dan beberapa menit lalu kembali menjadi saksi bisu pertarungannya dengan istri Ustadz itu. Pak Sobri semakin lama merasa semakin aman karena melalui pelbagai saluran gosip desa didengarnya bahwa jarangnya Ustadz Mamat pulang ke rumah tak hanya karena 'tugas' di madrasah didesa lain, namun karena adanya hubungan gelap dengan beberapa muridnya, terutama Murtiasih kesayangannya, bahkan kadang-kadang juga dengan yanglainnya, terutama Rofikah dan Sumirah.

Gairah Pak Sobri muncul ketika menatap wajah Nurul Sri Lestari di foto yang terlihat sangat alim shalihah. Benaknya yang telah dipenuhi iblis itu kini bekerja keras mencari akal bulus berikutnya.

Pak Sobri menduga bahwa kedua adik Aida yang masih menempuh ilmu diperguruan tinggi dan di sekolah menengah itu selalu hidup dengan alim, berbeda dengan anak-anak muda seusia mereka. Oleh karena itu ia perkirakan bahwa keduanya masih gadis murni, masih perawan, bahkan mungkin sekali belum pernah pacaran dan kalau misalnya ada teman lelaki, pasti hanya kenalan sekedarnya saja.

Hhm, kalau Aida yang telah bersuami saja masih sedemikian nikmatnya digarap, apalagi adiknya yang belum pernah dijamah oleh lelaki. Siapakah yang berikutnya dapat masuk ke dalam jebakanku dan bagaimana caranya? pikir Pak Sobri, keduanya tak tinggal di desa sini dan mereka pun jarang pulang.

Ternyata peristiwa penggarapan Nurul Sri Lestari akan terjadi beberapa hari kemudian, namun pejantan yang memperoleh rejeki itu bukanlah pak Sobri, melainkan..

***

Dalam rangka mendapatkan ijazah sarjana pertama (S1) Nurul Sri Lestari - nama panggilan sehari-hari ‘Tari’ - memilih skripsi dengan tema "Memperbaiki sistim komunikasi di pedalaman." Tari menyadari bahwa masa depan penghuni diluar kota besar amat tergantung pada jumlah penduduk pedalaman yang sanggup berhubungan dengan dunia luar.

Tentu saja tak mungkin mengharapkan agar rakyat desa angkatan tua yang pengetahuan membaca menulis pun hanya sekedarnya saja, langsung duduk dibelakang komputer dan berkomunikasi melalui internet. Kalaupun ada internet cafedi tepi jalan penghubung kota besar dengan desa, maka sarana komputer itu masih jauh dari memuaskan. Baik soal provider yang belum dapat dipercaya sepenuhnya, sistim operasi yang dipakai telah kadaluwarsa, kecepatan transfer menyedihkan untuk misalnya upload atau download, kapasitas tampung di hard disk, anti virus yang diandalkan, dan 1001 persoalan lainnya.

Tari menyadari semua kesulitan itu, namun dengan idealisme remajaseusianya, dia tak berputus asa. Untuk KKN-nya (Kuliah Kerja Nyata) itu ia sadar harus bekerja sama dengan penguasa desa yang mungkin bersedia membantunya. Tari menyadari bahwa yang dapat dilakukannya hanya minim sekali : ia sudah puas jika diberikan kesempatan untuk beberapa kali berdiri di depan kelas dan menerangkan bagaimana komunikasi di masa depan dengan komputer. Jika ada beberapa anak desa cerdas yang akhirnya memperoleh rejeki untuk meneruskan menempuh ilmu ke perguruan tinggi sehingga menjadi sarjana, maka hal secara tak langsung adalah ‘jasanya’ karena pernah mendengar informasi yang diberikan oleh calon sarjana komunikasi bernama Tari di depan kelas.

Tari memilih lokasi untuk KKN-nya di daerah yang tak terlalu jauh dari tempat dimana ia pernah duduk di sekolah menengah. Apalagi jika dapat ber-KKN di sekolah menengah dimana ia sendiri pernah menjadi murid, beberapa guru disitu bahkan masih dikenalnya, yang tentu akan bangga.

Namun sebelum Tari dapat memulai, maka ia harus mengatasi segala macam birokrasi ruwet yang merajalela sampai ke sudut-sudut pedalaman. Ia harus ‘lapor’dan memperoleh izin dari penguasa setempat - sebetulnya hanya formalitas, namun sebagaimana birokrasi maka semua prosedur harus dilalui, dan tak jarang segala‘halangan’ ini dapat dilancarkan dengan sedikit ‘pelumas’.

Sejak jauh-jauh hari Tari telah mengajukan permohonan untuk melakukan KKN-nya di desa situ, namun jawaban yang ditunggu-tunggu sampai berminggu-minggu tak kunjung keluar. Karena itu Tari coba menanyakan kepada bekas teman kelasnya di desa tersebut, karena Tari tahu bahwa ayah tiri dari teman sekolahnya dulu itu mempunyai kedudukan cukup penting di daerah sana. Apa yang tak diketahui oleh Tari adalah bahwa ayah tiri bekas teman sekelasnya itu yang bernama Pak Soleh adalah ipar dari Pak Jamal, pejantan yang kita kenal ulahnya dari kisah "Ketika Iblis Menguasai 5" (Des. 2014)

Sebagaimana lazimnya maka urusan permohonan yang dianggap tak begitu penting diabaikan dan dibiarkan saja menggeletak berminggu-minggu di atas meja Soleh. Sampai di satu hari kebetulan Pak Fikri ada urusan di kantor Soleh, dan secara tak sengaja ikut melihat surat permohonan KKN Tari itu.

Pak Fikri mengingat-ingat percakapan di saat silaturahmi bersama dengan Pak Burhan, Fadillah, Pak Jamal dan Ustadz Mamat (baca episode “Ketika Iblis Menguasai 4” Nopember 2014). Ketika Fikri menanyakan data-data lebih lanjut kepada Soleh dan melihat pas foto gadis berjilbab itu, maka semakin yakinlah ia bahwa si pelamar untuk KKN bernama Nurul Sri Lestari adalah iparnya Ustadz Mamat, salah satu adik dari Aida Handayani, istri si Mamat.

Dengan kedudukannya sebagai bekas kepala polisi, Pak Fikri segeramempengaruhi Pak Soleh agar mengeluarkan izin KKN kepada Nurul Sri Lestari, namun keduanya sepakat untuk sebelumnya mewajibkan Tari datang ke kantordesa buat mengisi dan menandatangani pelbagai formulir yang sebetulnya sama sekali tak diperlukan. Mereka merencanakan kembali pesta seks di rumah Fikri seperti yang telah pernah mereka lakukan sebelumnya dengan Pak Jamal, Sumirah dan Rofikah.

Setelah mencari-cari waktu yang dikira paling cocok, akhirnya tujuh orang diundang untuk ikut ‘meramaikan’ masuknya 'peserta baru' di-klub swinger mereka,yaitu : Ustadz Mamat, Pak Soleh, Sumirah, Rofikah, Pak Jamal, Pak Fadillah, dan tentunya juga Pak Fikri sebagai tuan rumahnya. Pak Sobri, Pak Burhan, Aida, dan Farah belum ‘diundang’ kali ini, karena Fikri masih belum yakin apakah kedua pejantan itu telah menguasai kekasih gelap dan istri paksaan mereka sepenuhnya sehingga tak membocorkan rahasia 'pesta' mereka ke pihak berwajib.

Namun ternyata mendekati hari H, Ustadz Mamat, Sumirah dan Rofikah telah mempunyai acara sendiri sehingga mereka memberitahukan bahwa tak dapat hadir. Kini hanya tinggal empat pejantan saja, yaitu : Fikri, Soleh, Jamal dan Fadillah.

Akhirnya disepakati oleh para pejantan untuk memilih hari Jum'at siang, karena kebetulan hari Sabtu esoknya hari libur bersama untuk penganut agama tertentu. Nurul Sri Lestari menerima undangan untuk menyelesaikan dan menandatangani surat-surat penting birokrasi di kantor Pak Soleh.

Tari sangat gembira dan sama sekali tak menduga akan adanya udang di balik batu. Pagi-pagi ia telah berangkat naik bus dari salah satu terminal di Jakarta menuju ke alamat kantor Pak Soleh yang terletak di pinggir desa tak jauh dari tempat kediaman kakaknya, Aida. Karena memang sudah agak lama juga Tari tak berkunjung ke rumah kakaknya, maka ia berniat untuk sekaligus bermalam disitu. Tari sama sekali tak mengetahui bahwa kakaknya telah menjadi 'peliharaan' Pak Sobri, sementara iparnya Ustadz Mamat juga telah dikuasai iblis dan mempunyai‘kesibukan’ sendiri.

Sesuai dengan undangan yang tertera di surat, maka Tari tiba di kantor Pak Soleh tengah hari – tepat setelah jam makan siang. Setibanya disitu, Tari disambut oleh pria berusia setengah baya yang mempersilahkannya duduk di ruangan tunggu, dimana ternyata tak ada orang lain disitu. Dengan sabar Tari menunggu, dan pria yang menyambutnya muncul kembali sambil menyuguhkan segelas es teh, sembari menjelaskan kalau Pak Soleh akan segera datang dan mohon maaf karena Tari harus menunggu.

Tanpa curiga Tari meminum es teh yang telah dicampuri obat bius dan obat perangsang oleh tokoh pejantan yang telah kita kenal dalam pelbagai cerita terdahulu, yaitu.. Pak Jamal.

Hanya beberapa puluh meter dari kantor dimana Tari menunggu, terlihat mobil tua milik Pak Soleh, mobil yang mana terbuka kap mesinnya, sementara tiga pria setengah baya berdiri mengelilingi sambil berdiskusi. Ketiganya ialah Pak Soleh,Pak Fikri dan Pak Fadillah, namun mereka hanya berpura-pura saja membicarakan soal mesin mobil yang katanya mogok. Padahal mesin mobil itu sama sekali tak ada masalah, mereka berdiri disitu hanya untuk menunggu tanda dari Pak Jamal yang sedang memberikan minuman berisikan obat tidur dan perangsang kepada Tari.

Ketiga lelaki itu tentu saja mengawasi apakah ada orang lain yang kebetulan lewat pada saat mereka menggotong Tari masuk ke dalam mobil, demikian rencana dan muslihat mereka.

Ketika terlihat pak Jamal keluar dari pintu kantor sambil menunjukkan jempolnya ke atas, maka mereka langsung naik ke mobil Panther itu. Fadillah menyetirnya sehingga dekat sekali ke pintu kantor.

Hanya Pak Fikri dan Pak Soleh yang masuk ke dalam, karena mereka yakin bertiga dengan Pak Jamal akan mudah menggotong tubuh Nurul Sri Lestari yang nampak montok. Sedangkan Pak Fadillah tetap menunggu di mobil yang tak dimatikan mesinnya sehingga mereka akan langsung dapat berangkat, selain itu Fadillah pun mengawasi apakah ada orang lewat yang mungkin dapat menjadi saksi kelakuan mereka. Jika Fadillah membunyikan klakson sekali artinya 'aman', jika dua atau tiga kali, maka mereka harus menunggu.

Demikianlah iblis memberikan segala akal bulus dan busuk sehingga mereka tetap menjadi anak buahnya - dan kali ini adalah adik Aida berikutnya : Nurul Sri Lestari yang akan menjadi mangsa.

Tak ada sepuluh menit kemudian - ketika tak ada orang yang lewat disitu, Fadillah memberikan tanda dengan bunyi klakson pendek sekali, dan semenit kemudian terlihat Pak Jamal keluar kemudian membuka serta menahan pintu depan agar tetap terbuka. Fadillah langsung turun untuk membuka lebar-lebar pintu belakang mobil, dan Pak Fikri serta Pak Soleh segera keluar menggotong mangsa mereka yang terlihat amat ringan di dalam digenggaman mereka berdua.

Tari yang sama sekali tak sadar itu mereka dudukkan menyandar di sebelah belakang mobil, dengan didampingi dan dijepit di tengah oleh Pak Soleh serta Pak Fikri maka tubuh tinggi langsing yang semampai itu tertahan tak akan meleset jatuh ke samping. Apalagi kemudian ditambah dengan dipasangnya sabuk pengaman.

Fadillah kemudian diberikan aba-aba agar segera menjalankan mobil 'Panther' yang kini meluncur cepat meninggalkan kantor Pak Soleh menuju rumah Pak Fikri yang sangat terpencil itu.

***

Sekitar tiga perempat jam kemudian, di kamar tidur besar di rumah pak Fikri...

Perlahan-lahan Tari membuka matanya dan merasa aneh ketika menatap langit-langit kamar yang sama sekali tak dikenalnya. Kepalanya terasa masih berat dan pelupuk matanya sukar untuk dibuka, namun tetap dipaksakannya juga, terutama ketika Tari mendengar beberapa suara lelaki berbisik-bisik!

Betapa terkejutnya Tari ketika melihat tiga lelaki yang telah berusia sekitar lima puluhan, salah satunya langsung dikenalinya adalah Pak Soleh, sedangkan kedua lelaki lainnya : Pak Fadillah dan Pak Fikri belum pernah dilihatnya sama sekali. Di kaki ranjang tampak menyeringai seorang lelaki setengah baya lainnya yang tadi menyuguhinya minuman : Pak Jamal!

Yang sangat mengejutkannya karena ke-empat lelaki itu hanya memakai kaos dan celana dalam kolor mereka, dan ketika Tari menoleh dirinya sendiri ia langsung memekik karena baju kurung dan gamisnya serta jilbab penutup rambutnya tampak berantakan di kursi yang terletak jauh di sudut kamar. Tari kini hanya memakai BH berukuran 36B dan celana dalam putihnya yang terlihat kekecilan!

Secara refleks Tari langsung berusaha menarik sprei untuk digunakanmelindungi tubuhnya yang kini diawasi dengan tajam oleh keempat lelaki setengah baya itu, disertai dengan seringai mesum penuh arti.

"Sialan kalian semua! Ayo pergi, atau saya akan lapor polisi! Tolooooong.. tolooooong..!!" Tari segera menjerit sekuat tenaga, sambil berusaha menyelusup ke bawah kain sprei penutup ranjang yang diusahakannya ditarik sebanyak mungkin untuk melindungi tubuhnya. Belum pernah seumur hidupnya Tari memperlihatkan badannya terhadap pria asing, apalagi dengan penutup seminim ini.

Namun usahanya segera digagalkan karena ketiga lelaki jahanam itu buru-burumenarik sprei putih ke bawah, menyebabkan Tari mulai menangis ketakutan dan kini ia melingkarkan tubuhnya dalam posisi seperti janin, sehingga bagian-bagian vitalnya sejauh mungkin terhalang dari mata para lelaki tersebut.

"Hehehe.. si neng pengen ngumpet ya, ngelingker badannya kayak gitu? Nggakusah malu, Neng. Kita semua udah biasa ngeliat perempuan telanjang, tapi nggakpernah yang secakep Neng, hehehe.." rayuan gombal Fadillah semakin membuat Tari merinding membayangkan apa yang akan menimpa dirinya.

"Iya, Neng manis, nggak usah malu-malu lah. Tadi kan waktu Neng masih tidur,kita semua udah lepasin baju kurung dan gamis si Neng. Badan Neng yahud banget!! Sini deket-deketan ama bapak biar anget," ujar pak Fikri sambil mendekati calon mangsanya yang terlihat gemetar ketakutan.

"Kita janji Neng nggak bakalan disakitin kalo Neng nurut nggak ngelawan. Kita kan cuma mau senang-senang, betul nggak?" lanjut Pak Jamal mencoba menghibur sambil cengar-cengir mesum ke konco-konconya.

"Tolong, Pak Soleh! Saya kan mau KKN di desa bapak, ini untuk kebaikan dan kemajuan rakyat. Bapak kan punya kuasa dan pengaruh, tolong lepasin saya, Pak! Saya janji tak akan lapor ke siapapun," tangis Tari terisak-isak, mengharapkan bantuan dari Pak Soleh yang tentu saja akan sia-sia belaka.

Kedua lelaki setengah baya kini telah naik ke ranjang mendekati Tari yang semakin menggigil karena takut, dan tetap berteriak tak henti-hentinya disertai isak tangis sehingga suaranya semakin serak. Namun tentu saja tak akan ada yang mendengar teriakannya itu, apalagi akan menolong.

Pak Fikri yang rupanya telah sangat bernafsu melihat gadis alim shalihah itu kini naik ke ranjang dan langsung mencekal kedua pergelangan kaki Tari yang langsing,lalu ditarik dan diusahakannya untuk direntangkan. Tari menendang dan menyepak bagaikan sedang kalap sehingga Pak Soleh kini ikut membantu : Pak Fikri mencekal pergelangan kaki kanan, sedangkan Pak Soleh mencekal pergelangan kaki kiri.

Mereka sedikit menarik ke bawah sehingga ada celah di atas kepala Tari, dengan begitu Pak Fadillah dan Pak Jamal dapat duduk di situ dan mencekal pergelangan tangan Tari, serta ditarik pula ke kiri dan ke kanan. Akibatnya tubuh Tari terbuka lebar bagaikan huruf "X".

Karena kuatnya tenaga Jamal dan Fadillah, maka cukuplah kedua nadi tangan Tari dicekal dengan satu tangan mereka, sedangkan tangan satunya dengan kurang ajar mulai mengusap-usap lengan bawah, lengan atas dan akhirnya meraba-raba ketiak Tari yang sangat mulus licin karena selalu rajin dicukur. Diusap-usaplah kulit yang putih mulus itu hingga menyebabkan Tari menggelinjang geli.

Sementara itu Pak Soleh dan Pak Fikri juga tak mau kalah, mereka telah mengunci betis Tari sekaligus dipaksa merentang selebar-lebarnya sehingga terpampanglah selangkangan si gadis alim cantik ini.

Tari berusaha meronta mati-matian sambil menangis tersedu-sedu, namun tindihan lutut Pak Soleh dan Pak Fikri terlalu kuat memaksa merentangkan betis belalang nan halus mulus itu.

Setelah selangkangan gadis alim ini terbuka lebar, maka kedua lelaki setengah baya jahanam itu mulai meraba dan mengusap-usap kulit betis serta paha Tari; mulai dari tumit yang sempurna hingga ke betis langsing, lalu menjalar ke paha yang tentu saja sangat peka dan demikian halus kulitnya.

Sementara itu Fadillah dan Jamal ikut beraksi pula dengan meraba-raba lebih jauh. Mereka menarik BH Tari ke atas sehingga dua bukit putih kembar begitu sekal sintal muncul keluar, dihiasi puting merah muda kecoklatan, membuat keduanya membelalak dan meleletkan lidah.

"Lepaskan! Sialan! J-jahanam semuanya! Tolooong! Aaah.. j-jangan! Hmmmpffhh," Tari berteriak dengan suara serak disertai isak tangis, namun mulutnya mendadak dibekap oleh mulut Fadillah yang rupanya tak sanggup menahan nafsunya melihat mulut mungil setengah basah itu.

"Busyet! Gempalnya nih sumber susu! Beneran bikin nggak tahan, bapak mau nyoba ya," ujar Pak Jamal sambil langsung mencaplok bukit daging Tari sebelah kiri dengan rakus, lalu dikunyah-kunyahnya amat ganas.

Kumisnya bagaikan sapu ijuk menusuk kulit yang sedemikian peka, sehingga Tari menggelinjang, apalagi sejenak kemudian puting yang mulai tegang mencuat digigit dan ditarik-tarik oleh bibir dower Pak Jamal. Air mata deras mengalir turun di pipi Tari ketika dirasakannya kain segitiga terakhir penutup auratnya ditarik paksa oleh Pak Fikri, dan BH-nya pun dihentakkan ke samping oleh Pak Soleh yang kini pindah meremas-remas buah dada kanannya, sementara puting kirinya disedot dikenyot-kenyot oleh Jamal. Tari meronta dan menendang bagaikan kesurupan,namun sia-sia belaka.

Mata pak Fikri melotot sebesar-besarnya dan bahkan bagaikan orang juling ia menatap belahan tengah selangkangan yang kini terpampang jelas. Bukit Venus si gadis alim bagaikan mengundang semua pria untuk menjamahnya : demikian menggairahkan, demikian gembil dilindungi bulu halus yang sangat rapi terawat, dengan di tengahnya terlihat celah surgawi perawan yang masih murni dan sangat rapat.

Rupanya antara Pak Soleh dan Pak Fikri sudah ada perjanjian sebelum mereka menculik Tari dari kantor, yaitu siapakah yang akan pertama mengicipi keperawanan Tari. Pak Soleh ingin merasakan bagaimana disepong oleh gadis alim yang meminta izin untuk KKN itu, karena istrinya sejak menikah hingga saat ini selalu menolak untuk mengoralnya. Pak Soleh tak berani berbuat kasar memaksa istrinya, karena dua kakak lelaki istrinya adalah tentara dengan pengaruh cukup besar. Selain itu Pak Soleh tak mau ambil risiko bahwa ia dapat menghamili Tari.

"Seorang wanita kan punya tiga lubang, dan menjebol serta banjir di dalam dua lubang itu kan tak mungkin hamil," demikian keputusannya.

Sebaliknya Pak Fikri, sejak ia berhasil merenggut kegadisan Rofikah (baca "Ketika Iblis Menguasai 4, Nopember 2014), maka ia seolah kecanduan menatap wajah wanita muda yang menangis meringis kesakitan ketika diperawani. Hal itu menambah rasa bangganya, menambah rasa ego-nya sebagai lelaki tengah bayayang mampu menggarap gadis muda.

Kedua tokoh lainnya yaitu Fadillah dan Jamal cukup ‘tahu diri’ dalam hal ini, mereka bersedia menunggu giliran dan yakin bahwa pasti akan memperoleh bagian. Apalagi sang korban masih muda belia, pasti sanggup melayani empat lelaki berturut-turut, demikianlah perhitungan mereka.

Oleh karena itu Jamal dan Fadillah kini menyerahkan semua aktivitas kepada‘majikan’ mereka, yaitu Pak Fikri dan Pak Soleh. Apalagi setelah mereka melihatPak Fikri berhasil menempatkan diri di tengah paha Tari yang dipaksa membuka oleh Pak Soleh. Mereka kini menyeringai lebar sambil mengusap-usap alat kejantanan masing-masing yang mengacung besar sambil berkomentar :

"Iya, gitu, Pak! Gigit terus tuh tetek, remes-remes Pak supaya keluar susunya. Ntar bagi-bagi saya juga ya, hehehe.." demikian celoteh Fadillah yang melihat Pak Soleh meremas dan memijit-mijit gundukan daging di dada Tari, sambil bergantian dengan rakus menghisap menyedot dan menggigiti putingnya.

"Asyik banget nangkring di tengah paha mojang bahenol euy, sip lah Pak terusin diendus-endus atuh. Dijilat biar basah licin. Cari jagungnya, Pak, jangan lupa di-gowel biar jadi kegatelan dia, hehe.." Jamal tak mau kalah menghasut Pak Fikri yang terlihat telah mulai melekatkan wajahnya di tengah selangkangan Tari.

Bagi Tari yang belum pernah berpikir sedikit pun untuk melakukan perbuatan intim sebelum menikah, sebelum upacara resmi akad nikah ijab kabul selesai, semua yang sedang dialaminya kini bagaikan mimpi buruk yang sama sekali tak pernah terbayang dalam kehidupannya. Sehari-hari Tari selalu taat kepada ajaran agama, selalu menjaga kesopanan dan kesusilaan ketika bergaul di kampus.

Namun kini hanya dalam waktu demikian singkat, apa yang selama ini dijaga dan dipertahankannya akan direnggut, betapa pun dan apa pun perlawanan yang telah dilakukannya sehingga otot-ototnya kejang terasa sakit pegal. Tubuhnya telah telanjang bulat ditindih oleh lelaki asing yang lebih pantas menjadi ayahnya.

Tak hanya sampai disitu saja : bahkan lelaki itu telah bertahta penuh kejayaan di tengah selangkangannya, di tengah pahanya, dan ooh.. benda keras apa yangterasa menyentuh itu?

Tari berusaha mati-matian mencakar mata Pak Fikri, namun kedua pergelangan tangannya segera dicekal dan ditekan sekuat tenaga ke samping, dan ciuman buas Pak Fikri malah menyerang bertubi-tubi di mulutnya, lalu menjelajah leher jenjangnya, menggigit meniup-niup liang telinganya hingga menyebabkan rasa geli tak terkira. Kemudian bibir tebal Pak Fikri kembali mengatup menekan-nekanbibir Tari yang halus dan merah, memaksanya agar membuka.

Tari berusaha menutup kedua bibirnya serapat mungkin. Dirasakannya Pak Fikri menggeram penuh kegemasan. Sesaat kemudian Tari merasakan kedua nadinya ditarik ke atas kepala, dicekal dengan hanya satu tangan Pak Fikri yang kuat, sedangkan tangan lainnya meremas-remas buah dadanya, mencari putingnya yang peka.

Sebelum Tari dapat memprotes, puting yang mencuat itu telah dijepit oleh ibu jari dan telunjuk Pak Fikri yang lalu menarik, memilin, dan mencubitnya!

Tak menduga akan mengalami perlakuan sadis seperti itu, Tari memekik dan menjerit kesakitan. Dan kesempatan ini dipakai oleh Pak Fikri untuk mencium bibir Tari yang terbuka lebar, kemudian lidahnya yang penuh liur dan berbau tak sedap masuk menerobos ke dalam mulut Tari, menyebabkannya gelagapan dan semakin meronta-ronta tak berdaya.

Berbeda sekali dengan Pak Fikri yang semakin buas dan menciumi betapa harumnya mulut serta ludah Tari yang kini tercampur dengan ludahnya sendiri. LidahPak Fikri mendesak mendorong dan bersilat mengejar lidah Tari yang semakin gelisah berusaha bersembunyi di rongga mulutnya.

Badan Pak Fikri yang cukup berat menindih tubuh langsing semampai korbannya sehingga semakin lama Tari merasakan semakin sukar untuk bernapas. Dan rupanya Pak Fikri memang sengaja berusaha menguras tenaga Tari sebelum ia melanjutkan tindakan penjarahan berikutnya.

Dengan tetap memegang dan mencekal serta menekan kedua nadi Tari di atas kepala, Pak Fikri bergantian meremas-remas buah dada gadis muda itu. Dengan keahliannya sebagai lelaki matang, Pak Fikri terkadang hanya mengusap lembut daging yang empuk itu dan juga putingnya hingga menyebabkan si empunya kegelian. Namun sesaat kemudian diubahnya usapan lembut menjadi remasan-cubitan ganas yang cukup sadis sehingga Tari menggeliat meronta-ronta karena merasa sangat ngilu dan kesakitan.

Sementara itu Pak Jamal dan Pak Fadillah telah memakai lagi celana kolor masing-masing dan ngeloyor keluar untuk merokok karena mereka menduga bahwa giliran untuk menjarah si mahasiswi alim itu masih cukup lama.

Di dalam ruangan kini hanya tinggal Pak Fikri yang tetap menindih Tari sertaPak Soleh yang berada di belakang kepala si cantik untuk memegangi kedua nadi langsingnya. Dengan demikian Pak Fikri jadi lebih bebas tak diganggu oleh cakaran kuku Tari yang cukup tajam.

"Udah, jangan ngelawan, Neng.. ntar jadi makin sakit. Percuma aja menolak. Sini bapak ajarin ngewe, belom pernah dijilat memeknya kan? Pasti ntar ketagihan," Pak Fikri menatap mangsanya dan sekaligus memberikan tanda kepada Pak Soleh agar merejang kedua tangan Tari sekuat tenaga.

Melihat konconya telah mencekal pergelangan tangan Tari, mulailah Pak Fikri merosot ke bawah. Mulutnya bergerak bagaikan anjing kelaparan yang menciumi menjilati seluruh permukaan kulit badan Tari. Dimulai dari leher, lalu turun ke lereng gunung kembar, menciumi dan menggigit puting coklat muda kemerah-merahanyang ada di sana, kemudian menjalar memutar-mutar di sekeliling pusar, sesekali menggelitik perut Tari yang datar dan putih mulus, dan tak lama kemudian mulai turun, turun, dan turun terus hingga mencapai lipatan paha. Di situ lidah dan gigi Pak Fikri semakin aktif dan ganas mencupangi, meninggalkan bercak merah di sana-sini, dan akhirnya mulai mendekati tengah selangkangan, mendaki bukit Venus berbulu halus milik Tari, mencari celah surgawinya.

"Oooh.. udah, Pak! Jangan terusin! Oooh.. kasihani saya, Pak! S-saya nggak mau! Bapak kan udah punya istri.. ini dosa, Pak! Oooh.. insyaf, Pak! Aaaiih.. geli!!" desahan Tari disertai sendat-sendat isak tangisnya ketika merasakan mulut Pak Fikri mendekati auratnya.

"Hmmh, kulitnya halus amat ya.. mana wangi begini. Bapak jadi konak benerannih, di-gowel diciumin semeleman terus-terusan ya, Neng. Bapak nggak puas-puasnih," tiada hentinya Pak Fikri memuji kehalusan kulit perut Tari yang memang putih langsat, namun kini telah basah oleh air liur. Selain itu di sana-sini juga penuh olehcupangan ganas Pak Fikri. Betis dan paha licin milik Tari pun tak hentinya diraba-raba, diremas dan diusap-usap oleh tangan kasar si pemerkosa, terkadang juga dicubit gemas hingga menyebabkan muncul pula pelbagai bercak kemerahan dikulit putih mulus itu.

Mulut pak Fikri kini telah mencapai lipatan paha dalam Tari, berpindah dari kiri ke kanan, balik kembali ke kiri, menyentuh bukit kemaluan yang terhiasi bulu halus, menyentuh-nyentuh di situ, mencium dan mendengus bagaikan anjing mencari tulang.

Akhirnya mulut yang berbau asam itu nangkring dan menghembuskan nafas panas ke tengah celah surgawi yang masih tertutup rapat. Pak Fikri kini berlutut ditengah selangkangan Tari, kedua tangannya yang besar menyanggah kedua bongkahan pantat semok Tari, diangkatnya ke atas, dan paha mulus Tari yang menghentak-hentak tak berdaya diletakkannya di atas bahunya yang tegap. Akibatnya tampaklah bibir kemaluan Tari yang pucat kemerahan, merekah malu-malu di hadapan tatapan mata liar Pak Fikri.

Jari-jari Pak Fikri menjarah dari arah kiri kanan dan dengan perlahan menarik bukit Venus itu ke samping. Tak terhindarkan lagi merekahlah bibir kemaluan Tari walaupun hanya sedikit, namun ini sudah cukup untuk segera dikecup dan diciumioleh Pak Fikri, lidahnya pun mulai menjalar dan menyeruak diantara bibir sempit itu.

"Hmmmh.. wanginya nih selangkangan! Apalagi nih sumber madu, campur aroma keringat gadis alim, hhhmm.. bener-bener rejeki nomplok! Slurrrrp..manisnya nih madu air mazi gadis,"

Pak Fikri menyembunyikan wajah bopengnya di selangkangan Tari dan lidahnya semakin liar menjulur keluar masuk ke dalam celah gadis itu, bagaikan ular berbisa tengah mencari mangsa.

Tari tak sanggup melawan lagi, dia hanya dapat menangis tersengguk-sengguk. Apalagi ketika Pak Soleh berusaha menyodorkan lidahnya kembali ke dalam rongga mulutnya yang mungil. Melihat gadis alim shalihah itu telah sedemikian kuyu kewalahan menghadapi keganasan mereka, bukannya kasihan, Pak Soleh malahsemakin brutal dalam menyodorkan tongkolnya ke depan wajah korbannya. Sekuat tenaga Tari berusaha memalingkan kepala ke arah lain, namun wajahnya dicekal dengan kuat, hidung bangirnya dipencet dengan kasar sehingga ia gelagapan mencari nafas melalui mulut, pada saat mana pak Soleh menekankan penisnya ditengah bibirnya yang terbuka.

"Ayo, Neng manis.., pernah lihat nggak barang kayak begini? Sini bapak ajarin gimana ngulum singkong asli.. ayo, jangan bandel, ntar aku gigit puting kamu. Hehehe.. si Neng makin cakep aja kalo ngelawan," Pak Soleh rupanya makin bangkit nafsunya melihat wajah Tari yang ayu manis penuh air mata putus asa, dibayangkannya jika yang dipaksa nyepong itu adalah istrinya sendiri.

Rasa mual tak terkira menerpa Tari ketika hidungnya menangkap aroma batang kejantanan Soleh yang berada di tengah rekahan bibirnya dan mendorong-dorongberusaha memasuki rongga mulutnya. Tanpa mempedulikan linangan air mata Tari serta wajahnya yang memelas, Pak Soleh tetap menekan kepala jamur dagingnya di ambang mulut gadis itu, disertai dengan ancaman mesumnya.

"Ayo buka mulutnya, jilat nih punya bapak. Awas, jangan digigit ya! Percuma ngelawan, Nduk, paling bener itu nurut kemauan bapak. Ntar kamu baka ngalamin surga dunia. Ayo buka yang lebar, terus buka.. hhhm, oooh!! Iyah, akhirnya nurut juga si Neng! Duh, cakepnya kalo nyepong gitu," Pak Soleh mulai merem-melek merasakan kenikmatan tak terhingga disepong untuk pertama kalinya.

Semua penolakan istrinya kini telah ia lupakan dan Pak Soleh harus konsentrasi sepenuhnya agar tak langsung ejakulasi karena begitu nikmat merasakan si 'otong'nya dicakup mulut hangat basah milik Tari.

"Uewwgghkk! Uuweeeeggk! U-udah, Pak! Uuwweggk! U-udah! Kasihani saya, Pak! Hiks, hiks," Tari menangis tersedu-sedu sambil berusaha menahan keinginan muntah karena dipaksa menyepong rudal Pak Soleh yang tentu saja tak meladeni ratapan si gadis cantik yang sedang dipaksanya itu.

"Uuuumghh.. uuummggh.. uueewwwggk.. ummmggh.." Tari menggelinjang sekaligus meronta-ronta karena Pak Fikri telah menemukan liang air seni korbannya yang langsung disentuh-sentuh dan dijilat, menyebabkan rasa gelitak terkira yang belum pernah dirasakan oleh Tari.

Hal ini disambut dengan rasa kepuasan oleh Pak Fikri yang meningkatkan kegiatan jari-jarinya melebarkan bibir kemaluan milik Tari yang lembut kemerahan itu ke samping. Seolah malu-malu kini muncul dan menonjol keluar sang kelentit yang sejak tadi dicari dan dinantikan oleh Pak Fikri. Daging nan lembut penuh ujung syaraf itu tanpa peringatan lagi disentuh oleh bibir Pak Fikri. Tak sampai disitu saja, pria setengah baya itu juga menggesek-gesekkan dagunya yang memang sejak tiga hari tak dicukur sehingga telah tumbuh sedikit bulu janggut pendek kasar.

"Aaaauw.. aaauuuw.. geli, Pak! J-jangan! U-udah! Oooh.." tubuh Tari melenting ke atas karena tak tahan menahan geli di kelentitnya yang digesek-gesekoleh jenggot pendek bagaikan sapu ijuk.

"Kenapa, Neng, keenakan ya dientot ama bapak? Terusin lagi ah, eeemmh.. mulai keluar nih madu gadis alim, bapak udah lama péngén nyucipin! Slurrp.. slurrp.. wuih, manisnya! Wangi lagi,"

Tanpa mempedulikan penderitaan mangsanya, Pak Fikri semakin asyik meng-oral korbannya. Sementara itu Pak Soleh kembali menarik kepala Tari keselangkangannya dan memaksakan penisnya untuk masuk semakin dalam kerongga mulut si gadis malang itu.

Kedua lelaki jahanam itu tak henti-hentinya merangsang bukit kemaluan dengan kelentit kecil yang belum pernah dijamah dijarah tak hentinya, sementara mulut mungil Tari dipaksa membuka maksimum selebar mungkin untuk mengulum kejantanan yang bergerak keluar masuk, sehingga akhirnya disertai dengan geraman penuh kepuasan, Pak Soleh menyemburkan cairan putih kental ke dalam kerongkongan Tari.

Karena kepalanya dicengkeram kuat, maka dengan tersedak-sedak Tari terpaksa menelan sperma amat menjijikkan itu dengan air mata berlinang-linangturun di pipinya.

Merasakan kenginannya telah meningkat naik ke-ubun-ubun dan mengetahui bahwa Tari sedang kewalahan meneguk cairan yang sangat memualkan itu, makaPak Fikri kini menjepit kelentit mungil Tari di tengah deretan gigi-giginya. Digesek dan digewelnya ke kiri dan ke kanan, sementara salah satu jari tengahnya denganpenuh mesra menggelitik lubang kecil di antara belahan pantat Tari yang semok.

Semua rangsangan bertubi-tubi itu tentu saja tak sanggup lagi ditahan oleh Tari. Mulutnya yang masih dipenuhi sisa-sisa sperma Pak Soleh terbuka megap-megap. Terdengar jeritan memilukan penuh histeris disusul dengan rintihan dan dengusan menyertai kekejangan tubuh muda yang putih sekal montok itu.

"Aaaaiihh.. ooohh.. udah, Pak! Aaaaoooww.. Pak! S-saya mau kebelakang, mau pipis!! Ooohh.. lepasin, Pak!! A-ampun.. ooohh.."

Bagaikan sekarat, tubuh Tari melengkung ketika gelombang orgasmemenerpanya bagaikan ombak yang tak berhenti-berhenti. Setelah sekitar dua tiga menit, tubuh yang kini basah kuyup dengan keringat dan aroma khas wanita yang mandi kenikmatan birahi, akhirnya lemas dan lunglai. Tari terhempas tak sanggup melawan lagi.

Pak Soleh pun dengan seringai penuh kepuasan telah melepaskan kepala Tari dari genggamannya. Terlihat di sudut bibir yang begitu menggairahkan itu masihada sedikit meleleh beberapa tetes air maninya yang baru saja memenuhi rongga mulut yang kini pasti beraroma campuran ludah Tari dan lahar kelelakiannya. Saat itu Pak Soleh melupakan istrinya yang selama ini selalu menolak mengoralnya.

Dalam keadaan tak berdaya dan lemas itu, Tari merasakan kedua pahanya kini dikaitkan di pundak yang kekar dan terkangkang sedemikian rupa sehingga vaginanya yang licin dengan air mazi bagaikan ‘mengundang’ Pak Fikri yang siap merenggut harta miliknya satu-satunya.

Dengan senyum iblis yang mengerikan, Pak Fikri kini mengarahkan kepala kejantanannya yang sedemikian tegang keras ke tengah lipatan bibir vagina Tari. Sekali dua kali tujuannya itu meleset, namun akhirnya kepala jamur kebanggaanPak Fikri terjepit diantara rekahan bibir kemaluan Tari, kemudian mulailah Pak Fikri memajukan lembing dagingnya itu, sambil menatap wajah cantik korbannya yang meringis kesakitan.

Dengan penuh kemahiran Pak Fikri kini mencekal kedua pergelangan tangan mangsanya yang langsing, sehingga Tari tak sanggup melawan atau mencakar si pemerkosanya. Hanya kepalanya dengan rambut tergerai acak-acakan yang terlihatmenggeleng-geleng ke kiri dan ke kanan ketika dirasakannya benda keras mulai membelah menyeruak di antara bibir kegadisannya.

Bagaikan pentungan daging penis Pak Fikri semakin masuk menusuk kedalam, yang mana dirasakan Tari semakin tidak nyaman. Dia merasa ngilu karena lubang surgawinya belum pernah dijamah sebelumnya, belum pernah dimasuki apapun, tapi kini dipaksa untuk melebar, semakin melebar, semakin nyeri, dan akhirnya kepala penis berbentuk topi baja itu menyentuh selaput daranya.

"Aduh! Aaaauuww.. a-ampun, Pak! S-sakit!! T-tolong.. auuuww.. u-udah, Pak! Saya nyerah, jangan diterusin!! Auuuww.. hiiks, hikks, aaauwww.. ampuun!!"

Bagaikan hewan terluka, Tari menangis meraung dengan jerit memilukan memenuhi ruangan. Namun apa daya sang pejantan Pak Fikri telah dikuasai iblis sepenuhnya, demikian pula Pak Soleh yang kini memberikan semangat kepada konconya agar meneruskan pembantaian kegadisan Tari. Belahan celah surgawi si gadis malang telah basah tak hanya oleh air ludah Pak Fikri, namun juga cairan lendir dari dinding vagina yang secara tak disadari keluar ketika Tari mengalami orgasme.

Walaupun secara alami liang kewanitaan Tari telah dibasahi dengan pelumas licin, namun belum cukup untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu karena memang perbandingan ukuran kejantanan Pak Fikri dengan lubang yang sedang digalinya itu masih belum serasi dan belum disesuaikan.

"Uuuuh.. bapak mesti kerja keras nih. Alot amat sih pertahanan si Neng, mesti dijedug-jedug dulu kali ya.. biar empukan dikit, baru digenjot lagi."

Sambil mendengus-dengus Pak Fikri menarik sedikit kejantanannya, kemudian menekan lagi ke depan, dan setelah tiga kali melakukan gerakan tarik-dorong itu, dirasakan oleh Pak Fikri bahwa kemaluannya kini sanggup menerobos ke dalam.Sekaligus dirasakannya bahwa ada sesuatu yang pecah, pada saat di mana Tari memekik dan menaikkan wajahnya dari kasur, sehingga walaupun kedua pergelangan tangannya dicekal erat-erat dan tak dapat meronta, namun Tari sempat menancapkan giginya ke bahu si pemerkosa. Hanya itu saja yang dapat dilakukan Tari untuk menguraikan dan mengimbangi rasa sakit tak terkira di saat kegadisannya direbut secara kasar tanpa belas kasihan oleh pria yang pantas menjadi ayahnya itu.

Gigitan Tari di bahunya tidak membuat Pak Fikri mundur teratur dan menghentikan kegiatannya merajah gadis muda itu, namun sebaliknya : rasa ego dan bangganya semakin terpacu untuk menggenjot korbannya habis-habisan. Karena kejantanannya telah menancap dan menguasai celah surgawi ipar ustadz Mamat yang sebelumnya masih sangat lugu itu, Pak Fikri kini melepaskan kedua nadi Tari. Hal ini memberikan kemampuan kepada si gadis yang sedang dikerjai habis-habisan ini untuk mencengkeram sekuatnya lengan atas dan lengan bawah sang pemerkosa.

Pada saat tombak daging Pak Fikri menumbuk menjedug-jedug mulut rahimnya sehingga terasa ngilu tak terkira, maka Tari berkali kali mencakar lengan dan dada pemerkosanya. Namun sang iblis seolah telah memberikan kesanggupan kepadaPak Fikri untuk menahan semuanya, karena kegiatannya bukan berkurang melainkan semakin menjadi-jadi. Tanpa memperdulikan penderitaan gadis yang baru diperawaninya, dia menghantam menusuk vagina Tari sekuat tenaga dari segala arah.

Sementara tenaga Tari semakin terkuras habis, justru Pak Fikri agaknya tak pernah sirna staminanya. Lebih dari setengah jam Tari dijadikannya korban pelampiasan hawa nafsunya, pelbagai posisi telah dilakukan oleh mereka.

Akhirnya Pak Fikri merebahkan dirinya dan menikam Tari dari bawah dalam posisi wanita di atas - dan Pak Fikri yang tetap mengambil inisiatip dengan memegang kuat kedua paha mulus dan pinggul Tari. Tubuh Tari yang jauh lebih ringan dibanding dengan badannya yang kekar kini diturun-naikkannya sehingga penisnya yang mengacung menusuk tak henti-hentinya dari bawah, sedangkan Tari sudah lemas dan hanya menurut saja segala keinginan Pak Fikri.

Pak Fikri menatap gadis alim yang tengah digarapnya itu; betapa ayunya, betapa manisnya, betapa bedanya dengan pelbagai gadis lain yang telah diperkosanya. Dirasakannya betapa tegang dan semakin membesar alat kejantanannya yang sedang nangkring di celah Tari. Pasti pembesaran alat bor daging ini juga dirasakan oleh si gadis alim, dan memang Tari merasakan bahwa memeknya seolah sedang direntangkan sampai batas tak tertahan, membuatnya menggeliat-geliat ngilu, serta melenguh dan merintih perlahan. Semuanya dinikmatioleh pak Fikri yang kemudian berbisik di telinga Tari:

"Nikmat ya, Neng? Tahan sakitnya bentaran, ntar pelan-pelan hilang berubah jadi surga dunia kok. Bapak sayang Neng, jadi simpenan bapak mau ya, Neng?"demikian kata Pak Fikri sambil dengan sengaja bergerak maju mundur sehingga menyebabkan rasa ngilu, perih, tapi juga ada semacam kegatalan di dinding memek Tari yang tentu saja masih luka dan memar karena selaput kegadisannya yang peka tipis baru saja dirobek dan dihancurkan ditembus oleh penis.

Si gadis manis ayu itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala disertai isak tangis dan hidungnya yang kecil bangir kembang kempis menahan emosi. Rasa malu dan sedih tak terkira karena dijarah oleh seorang lelaki tua telahmenghancurkan semua harapannya memperoleh suami tampan seusianya.

Entah mengapa Pak Fikri merasakan adanya kepuasan yang lain dengan menggagahi Tari kalau dibandingkan dengan pengalamannya dengan gadis-gadismadrasah lainnya. Kali ini Pak Fikri malahan menginginkan agar gadis ini betul-betul menjadi simpanannya yang permanen, walaupun tentunya hal ini tak akan menghalanginya jika ia setiap waktu ingin ‘jajan’ daun muda lain di luaran.

"Gimana, Pak, mantap nggak gadis alim shalihah ini?" demikian tegur Pak Soleh yang sedari tadi menyaksikan adegan perkosaan itu. Agaknya dia telah kembali bergairah dan ingin ikut pertarungan ranjang ini.

"Siiip lah! Ini bukan gadis sembarangan, tapi memek yang luar biasa peret! Mungkin biar dikerjain tiap hari tetap aja sempit kaya perawan ting ting, hehehe.. emangnya kenapa, mau ikutan lagi?" sahut Pak Fikri seolah menantang.

"Kalo masih ada tempat ya boleh lah ngebonceng dari belakang, kira-kira muat nggak ya?" tanya Pak Soleh menghampiri pasangan yang mandi keringat itusehingga tubuh mereka terlihat mengkilat.

"Iya, tentu aja boleh. Asal jangan terlalu kasar aja, supaya dia nggak trauma. Tuh masih ada satu lobang nganggur, pasti belum pernah dijebol, hehe.."

Pak Soleh segera berdiri di belakang pinggul Tari yang naik turun secara ritmis, sedangkan pinggangnya yang langsing dipeluk dengan kuat oleh Pak Fikri dari arahbawah. Tak bosan-bosannya Pak Fikri juga menciumi kedua gundukan daging dada Tari, dan terkadang digigit-gigit gemas putingnya hingga menyebabkan Tari melenguh mendengus lemah dan merintih karena telah kehabisan tenaga.

Pak Soleh memberikan tanda kepada Pak Fikri untuk sementara menghentikan gerakan ritmis naik turunkan pinggul sang korban. Kesempatan ini dipakai oleh Pak Soleh untuk mencekal bongkahan pantat Tari yang demikian montok menggemaskan, direngangkannya ke kiri dan ke kanan hingga menyebabkan lubang bulat kecil di bagian tengah nampak bagaikan kuncup bunga yang baru mekar menantikan datangnya sang kumbang.

Sehari-hari Tari tak pernah memikirkan pacaran apalagi ML. Kehidupannya sampai saat ini hanya dipakai untuk belajar dan selalu patuh dengan tata susila sesuai ajaran kepercayaan yang dianutnya. Tak pernah Tari membaca buku atau majalah mengenai kehidupan pasutri - semua diharapkannya akan dialami nanti setelah menikah resmi. Namun apa yang dialaminya sekitar tiga jam terakhir adalah aib yang tak mungkin dihapus, bahkan takkan terlupakan.

Apalagi dalam keadaannya seperti ini - telah direnggut kegadisannya dan dijarah habis-habisan oleh seorang lelaki yang lebih pantas menjadi ayahnya, maka semuanya bagaikan mimpi yang buruk. Tenaganya telah habis terkuras, keadaan tubuhnya lebih menyerupai tawanan yang telah kerja paksa berjam-jam tanpa henti, semua sendi-sendinya bagaikan dilolosi dan tulang-tulangnya terasa remuk.

Oleh karena itu Tari belum bergerak dan belum melawan ketika dilihatnya Pak Soleh beralih dan berdiri di belakangnya. Namun ketika dirasakannya bahwa jari-jari tangan Pak Soleh memaksakan bongkahan pantatnya merekah ke samping, maka sebuah insting naluriah alami seorang perempuan seolah dibangunkan. Insting ini memberikan peringatan bahwa sesuatu yang sangat menyakitkan akansegera terjadi. Di tengah bongkahan pantat Tari ada sebuah lubang kecil intim paling terlindung, dan.. dan.. apakah yang akan dikerjakan oleh Pak Soleh?

Ooh tidak! Itu sama sekali tak mungkin dan tak boleh terjadi, itu adalah sesuatu yang tabu, terlarang.

Bagaikan tersengat kalajengking, Tari berusaha memberontak dan bangun ketika dirasakannya lubang duburnya diludahi berkali-kali. Kemudian Pak Soleh menggelitik pinggiran liang anusnya, lalu dengan perlahan satu jari tengah yang cukup besar berusaha menyelinap masuk ke dalam sana.

"Jangan, Pak! Ooooh.. tolong, saya tak mau! Lepaskan! Ampun!!"

Dengan panik Tari meronta dan menghentak-hentak dengan kakinya yang langsing. Apalagi ketika dirasakannya kini bukan sebuah jari tangan yang berusaha memasuki anusnya, namun benda asing keras tegang yang menekan-nekanberusaha menembus pertahanan otot-otot lingkaran yang bertahan mati-matian melawan penetrasi.

Usahanya hanya membuat kedua lelaki setengah baya itu semakin ganas geregetan. Pak Fikri memeluknya sekuat tenaga dari bawah. Rontaan Tari hanya membuat pinggulnya semakin menonjol tinggi ke atas dan ini malahan memudahkan usaha Pak Soleh karena bongkahan pantat Tari yang begitu montok bahenol semakin merekah, hingga akhirnya...

Raungan dan lengkingan jeritan sakit tak terkira keluar dari mulut Tari disambut dengan geraman Pak Soleh dan tarikan napasnya yang panjang, menandakan usahanya telah berhasil. Kepala penis kebanggaannya berhasil membelah otot-ototlingkar pelindung anus Tari, dan kini milimeter demi milimeter pentungan daging itu memasuki anus yang mengkerut dan berdenyut-denyut saat diperawani.

Kedua lelaki dikuasai iblis itu kini berusaha mengatur dan menyesuaikan ritme mereka menjarah vagina dan anus Tari sekaligus, sementara si gadis muda hanya dapat menangis pasrah terisak-isak.

Sekitar sepuluh menit Pak Soleh dan Pak Fikri membagi tubuh Tari bagaikan sandwich - sebelum akhirnya keduanya merasakan luapan lahar panas menggejolak naik dari biji pelir memasuki penis dan akhirnya menyembur keluar membanjiri memek dan liang dubur Tari yang sangat sempit.

Tari sudah hampir tak merasakan apa-apa lagi. Memeknya terasa ngilu memar, apalagi anusnya terasa sangat panas, perih, dan sakit bagaikan dicolok dengan kayu bakar panas. Semburan air mani yang membasahi kedua lubangnya hanyalah memberikan sedikit rasa ‘keringanan’, dan di dalam puncak penderitaan yang tak terkira itu Tari hanya mendengar jeritan memilukan hati tiada henti di telinganya - jeritan yang lama kelamaan baru ia sadari adalah suaranya sendiri sebelum semuanya gelap di depan matanya.

Tari lemas dan pingsan - tak tahu apalagi yang terjadi dengan tubuh sintalnya.

***

Di malam itu Fadillah dan Jamal membatalkan niat mereka ikut ambil bagiandalam pesta seks, karena ketika menatap wajah Tari yang walaupun pingsan namun tetap ayu manis, seolah-olah Pak Fikri 'sadar' dan tak sekedar berniat menjadikan Tari gundik kesayangannya, tapi menyunting menjadi istri.

Benarkah hal ini akan terjadi?

Namun paling tidak keinginan Pak Fikri yang muncul mendadak itu sempat‘menyelamatkan’ Tari dari perkosaan habis-habisan lebih lanjut di malam itu. Ketika Fadillah dan Jamal dua jam kemudian masuk kembali ke dalam rumah untuk menagih jatah mereka, maka oleh Pak Fikri dicegah dan diberikan uang pengganti. Dengan dalih bahwa si gadis yang baru diperawani dan disodomi itu masih pingsan dan kemungkinan akan trauma serta menderita gangguan jiwa selanjutnya, maka akhirnya Jamal dan Fadillah ngeloyor keluar sambil menggerutu. Mereka mengambil 'uang semir' dan menghilang di kegelapan malam, namun didalam benak mereka merencanakan di suatu waktu tetap akan menjebak Tari untuk dijadikan mangsa dan sasaran keganasan hawa nafsu mereka.

Klik Nomor untuk lanjutannya
cerita sex yes, fuck my pussy. good dick. Big cock. Yes cum inside my pussy. lick my nipples. my tits are tingling. drink milk in my breast. enjoying my milk nipples. play with my big tits. fuck my vagina until I get pregnant. play "Adult sex games" with me. satisfy your cock in my wet vagina. Asian girl hottes gorgeus. lonte, lc ngentot live, pramugari ngentot, wikwik, selebgram open BO
x
x