DIGOYANG M3M3K BUDHE

cewek amoy


Aku masih menghadap layar monitor laptopku saat jam yang tepat berada di sebelah laptop ini menunjukkan pukul 03.00 WIB. Mataku sebenarnya sudah cukup mengantuk, tapi apa daya setiap aku memejamkan mata dan berusaha untuk tidur, seolah-olah pikiranku berusaha untuk terus roaming dan memikirkan apa yang seharusnya tidak perlu aku pikirkan.

Kosong, mungkin itu yang bisa aku ungkapkan untuk menggambarkan diriku. Rasa itu menguat beberapa bulan yang lalu, ketika aku kehilangan satu-satunya keluarga intiku, Ibu. Ibuku pergi menyusul Bapak setelah selama dua minggu berjuang melawan virus covid-19 yang mulai mewabah di negeri ini. Bahkan aku tak memiliki kesempatan untuk mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya.

Kini, seakan apa yang aku lakukan tak ada lagi artinya. Ingin aku mengutuk dunia tentang apa yang menimpaku ini. Pandemi ini benar-benar menyiksaku, terutama mental. Hampir 5 bulan ini aku selalu menjalani rutinitas yang monoton dan sangat memuakkan. Yang biasanya masih ada agenda untuk chit-chat bareng teman-teman, kini beralih ke dunia digital yang sungguh memuakkan.

Bayangkan, dirimu setiap hari dituntut untuk standby menatap layar monitor lebih dari 8 jam. Benar-benar aktivitas yang membuat orang sepertiku tersiksa. Hingga beberapa hari yang lalu aku memutuskan untuk melakukan Zoom Meeting dengan psikolog yang pada akhirnya aku dirujuk untuk ditangani oleh psikiater.

Rasanya omongan dari psikolog dan psikiater tak mempan untukku. Berulangkali saran yang mereka berikan telah ku coba, tapi nihil. Termasuk obat yang diberikan oleh psikiater yang juga tak mempan untukku. Entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini.

“Oke, meeting siang ini saya cukupkan. Silahkan yang ingin melanjutkan pekerjaan, atau berdiskusi bisa menggunakan breakout room yang telah tersedia. Untuk Sena, silahkan masuk ke breakout room 1. Saya ingin berdiskusi.” Ucap atasanku saat mengakhiri meeting siang ini.

“Baik, Pak.” Balasku. Aku tau apa yang akan beliau bicarakan kali ini.

Setelah itu, aku masuk ke dalam breakout room yang telah di tunjuk oleh atasanku ini. Terlihat dari layar bahwa ia sedang serius membaca sesuatu.


Dengan perasaan yang menggantung, aku menyapa, “permisi, Pak.”

Ia masih membolak-balik dokumen itu saat menjawab sapaanku, “Ya. Terima kasih untuk waktumu, Sen. Saya melihat kinerja kamu sebenarnya selalu mengesankan. Tapi, apa yang terjadi sama kamu akhir-akhir ini? Kenapa bisa merosot jauh?” tanyanya sembari mengalihkan perhatiannya ke arah kamera.

“Mohon maaf, Pak. Saya selalu berusaha semaksimal mungkin selama bekerja, mungkin hanya sebatas itu kemampuan saya.” Ucapku pasrah.

Ia meletakkan dokumen itu dan menghela napas, “Saya percaya kamu bukan tipe orang yang seperti ini, Sen. Apapun masalahmu saya harap kamu tetap professional.” Ucapnya.

“Baik, Pak.” Jawabku.

“Hmm.. Sen, Kamu itu salah satu karyawan paling berprestasi di kantor ini dan semua orang tak pernah meragukan kemampuanmu, jadi saya minta tolong sama kamu, perbaiki kinerjamu seperti apa yang kamu lakukan dulu. Saya percama sama kamu.”

Aku menunduk, “baik, Pak.”

Hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai seorang karyawan. Karyawan hanya bisa patuh dan tunduk terhadap siapapun yang berada di atas, tak ada kata lain. Itu juga yang lama-lama membuatku muak dengan kehidupan yang seperti ini. Seakan tak ada ruang kebebasan yang tercipta, selain mengikuti apa yang telah diarahkan oleh mereka yang di atas.

Pembicaraan dengan atasanku resmi berakhir saat ia mempersilahkanku untuk meninggalkan Zoom Meeting dan ia pun demikian. Aku mengganti jendela komputerku untuk kembali menyelesaikan pekerjaanku yang cukup terbengkalai akhir-akhir ini. Tak lupa juga aku mengecek kalenderku tentang event apa yang seharusnya aku lakukan.

Aku baru menyadari bahwa hari ini adalah tanggal terakhir untuk pembayaran pajak dan iuran pemerintah. Segera aku membuka aplikasi untuk pembayaran itu. Saat akan membayarkan pajak PBB, aku teringat, bahwa di kampung aku memiliki warisan berupa rumah dan beberapa petak sawah peninggalan orang tuaku.

Aku membayangkan tentang kehidupan di desa. Apakah bakal lebih menenangkan dan menentramkan jika aku tinggal di sana? Tapi bagaimana dengan pekerjaanku? Ah.. imajinasiku berputar tentang Sena kecil dulu yang menghabiskan masa kecilnya di desa itu. Desa yang masih sangat asri, minim polusi, dan tentunya jauh dari tuntutan dan tekanan seperti di kota sebesar Jakarta ini. Apa sebaiknya aku pulang?

Bayang-bayang tentang kampung halamanku itu sangat mengganggu pikiranku. Di satu sisi aku merindukan tempat itu, sama seperti aku merindukan Ibu dan Bapakku. Di sisi lain, aku masih belum rela kehilangan sumber pemasukan utamaku yang telah mencapai dua digit ini.

Aku membuat table pros dan cons dari masing-masing pilihan itu. Mana yang menurutku menguntungkan akan aku pilih. Hingga tanpa aku sadari, ternyata yang sangat aku butuhkan kali ini adalah ketenangan, ketenangan di tengah kehampaan.

Siang ini, aku telah membulatkan tekatku. Apapun konsekuensi dan resiko dari keputusan yang telah aku ambil, aku siap untuk menerimanya. Aku menghubungi atasanku tentang keputusan yang aku ambil ini dan siang ini ia mengajakku untuk berbincang. Dia memang atasan yang baik sebenarnya, tetapi keadaan yang membuatnya menjadi tegas dan kaku.

“Selamat siang, Pak.” Sapaku saat kami kembali bertemu di Zoom Meeting.

“Selamat siang, Sena. Bagaimana? Kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu?” tanyanya dengan ramah.

“Benar, Pak. Keputusan saya sudah bulat dan saya yakin dengan keputusan saya.” Ucapku dengan yakin dan mantab.

“Hmm.. Sebenarnya, saya pribadi sangat menyayangkan keputusan kamu ini. Tapi jika boleh memberikan saran, sebaiknya kamu pertimbangkan sekali lagi keputusan kamu ini.” Jawabnya. Mencoba membuka rasa kebimbanganku, tapi sayangnya aku sudah tidak terlalu peduli dengan bujuk rayu orang.

“Tidak, Pak. Saya telah mempertimbangkannya dengan baik dan keputusan ini lah yang pada akhirnya saya ambil.” Ucapku yang masih bersikukuh mempertahankan keputusanku.

“Apa yang membuatmu yakin?”

“Di tempat ini saya telah mendapatkan apa yang saya cari dan saya telah banyak belajar dari rekan-rekan, termasuk menyerap ilmu dari Bapak. Sehingga saya ingin mencari tantangan baru di luar sana untuk membuat diri saya lebih hidup.” Terangku kepadanya dengan ucapan yang lugas.

Ia tertawa kecil, “kamu memang anak muda yang hebat. Saya paham bara api semangat yang selalu membara di diri anak muda sepertimu. Jika memang itu pilihanmu, saya tidak bisa apa-apa lagi. Saya hanya bisa mendoakan semoga kamu bahagia dan sukses di tempat lain dengan pekerjaan barumu.” Pungkasnya.

Aku tersenyum, “Terima kasih, Pak.”

Setelah surat pengunduran diriku ditanda tangani oleh atasan dan aku kirimkan kepada bagian HR, aku memutuskan untuk mencari tiket kereta untuk kepulanganku. Memang sebenarnya aturan di kantorku ketika ada yang ingin resign maka harus memberitahukan sebulan sebelum off, tapi aku tak peduli, lagi pula pekerjaanku sudah aku selesaikan kemarin dan aku sudah tak memiliki tanggungan lagi.

Aku menganggap pekerjaanku di tempat ini telah selesai. Aku pun tak peduli jika gaji terakhirku dipotong atau tak dibayarkan sekalipun. Yang ada di benakku kali ini aku ingin pulang, segera. Rasanya otakku sudah terlalu penat dan sangat jenuh. Ingin rasanya pergi dari kota yang penuh hiruk-pikuk ini secepatnya. Kebetulan, masa sewa apartemenku ini juga akan segera berakhir, jadi tak ada alasan untuk aku berlama-lama lagi di tempat ini.

“Bro, Lo yakin mau balik ke kampung dan nggak balik ke sini lagi?” tanya Toby, sohibku sekaligus pemilik apartemen ini saat aku berpamitan dan menyerahkan kunci akses kepadanya.

Aku mengangguk, “semua udah selesai di sini, Bro.”

Ia menepuk pundakku, “Gue percaya ama setiap keputusan lo. Apapun yang lo lakuin di sana dan sewaktu-waktu lo butuh bantuan, jangan sungkan kontak gue.”

Aku kembali mengangguk dan tersenyun, “Makasih.”

Sedikit balik ke belakang, Toby ini adalah anak dari pengusaha kaya raya dan telah berteman lama denganku semenjak masa perkuliahan dulu. Dia yang dari dulu selalu mencontek tugas-tugasku, bukan karena dia tak pintar, tapi karena dia sibuk, sibuk dengan urusan bisnisnya yang telah ia pegang setelah ayahnya memberikan kepercayaan.

Tak hanya itu, banyak kenanganku semasa dulu bersama dengan Toby. Meskipun kaya raya, ia adalah manusia yang sangat-sangat humble dan merakyat. Dari situlah awal mula persahabatan kami terjadi.

Setelah itu, aku pergi ke stasiun dan melakukan swab test. Untungnya, swab test ini hasilnya negatif, yang artinya tak ada virus covid-19 di tubuhku dan aku bisa melakukan perjalanan untuk kembali ke kampung halamanku. Kampung yang sudah hampir tiga tahun tak aku sambangi.

Ada perasaan aneh yang muncul saat aku akan kembali ke sana. Perasaan sedih sekaligus senang. Sedih karena setiap tujuanku pulang adalah Ayah dan Ibu, tapi kini mereka telah tiada. Sementara senang karena pada akhirnya aku bisa kembali ke tempat di mana aku dibesarkan dan dilahirkan, tempat yang selalu memiliki makna tersendiri bagiku, meskipun kini aku yakin tak akan seindah dulu.

Sayup-sayup terdengar suara announcer bahwa kereta yang akan aku tumpangi akan segera berangkat. Dengan menggunakan masker, hoodie, dan celana jeans panjang aku melangkahkan kaki melewati area boarding setelah menyerahkan dokumen: tiket, ktp, dan hasil swab test.

Sesampainya di dalam rangkaian gerbong, aku meletakkan koper dan ranselku di rak atas. Lalu aku duduk di bangku sembari menikmati saat-saat terakhirku di kota ini. Sengaja aku memilih bangku paling ujung yang hanya ada satu bangku di sini. Aku sedang tak ingin bersosialisasi dengan siapapun.

Perlahan kereta mulai meninggalkan Stasiun Gambir, meninggalkan segala kepenatan dan problematika yang ada di benakku tentang kota ini. Mataku menyapu pemandangan yang tersaji di kotak jendela yang berada di sampingku. Pikiranku mengawang, membayangkan kehidupan baru apa yang akan aku jalankan di kampung nanti.

Kereta sudah berjalan sangat jauh tanpa aku sadari. Sedari tadi pikiranku hanya mengambang, membayangkan segala kemungkinan yang mungkin bisa aku lakukan di sana nanti. Mungkin akan terasa berat tanpa adanya Ibu dan Bapak, tapi bagaimanapun hidup tetap harus berjalan, kan?

Tak terasa, kereta telah berhenti di stasiun yang aku tuju. Stasiun yang cukup populer di kalangan wisatawan, karena kota ini yang memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka. Terlepas masalah pelik yang hinggap di kota ini tanpa tau kapan selesai.

Segera aku memesan taksi online untuk membawaku ke kampung halamanku, kampung yang terletak di pinggiran provinsi ini. Ketika aku membuka aplikasi penyedia transportasi online ini, ternyata cukup mahal argonya untuk membawaku sampai ke tempatku. Tapi tak apa, itung-itung ikut menjalankan roda perekonomian masyarakat yang cukup sekarat di tengah pandemi seperti ini.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya aku sampai di kampungku. Mataku menyapu melihat sekeliling, seperti tak banyak yang berubah semenjak kepergianku waktu itu. Aku menghirup dalam-dalam udara di tempat ini. Sungguh, sangat berbeda dibandingkan di kota besar yang penuh polusi itu. Di sini udara masih terasa begitu asri dan sejuk.

Aku paham prosedur di setiap desa saat-saat masa PSBB seperti ini, tak bisa aku sebagai pendatang seenaknya masuk ke kampung orang, karena pandemi yang sedang mewabah, takutnya aku malah membawa penyakit untuk mereka. Maka dari itu, aku langsung meminta Pak supir untuk mengantarku ke kantor desa.

Sesampainya di sana, namaku didata dan aku harus menjalani karantina selama satu minggu penuh dan bisa diperpanjang hingga dua minggu jika aku memiliki gejala dan hasil tesnya positif. Setelah ini juga akan ada petugas dari puskesmas yang akan melakukan test covid kepadaku untuk memastikan bahwa virus itu benar-benar tak bersarang di tubuhku.

Aku masuk ke dalam ruangan karantina di kantor desa ini. Terlihat bahwa Gedung serbaguna ini telah disulap sedemikian rupa hingga mirip bangsal di rumah sakit. Untungnya saat ini hanya ada aku seorang, jadi tak memusingkan bagiku harus bersosialisasi dengan orang lain.

Aku lekas bersih-bersih diri dan berganti pakaian saat akhirnya petugas dari puskesmas datang untuk memeriksaku. Aku diminta untuk keluar kamar sejenak dan menghampiri petugas berpakaian hazmat lengkap itu. Dengan langkah gontai, aku mendekat ke arah petugas. Rasanya baru kemaren hidungku dicolok-colok dengan alat aneh itu, dan kini aku harus menjalaninya lagi.

“Senaa..” Ucapnya dengan sorot mata terkejut ketika aku sampai di hadapannya. Setidaknya aku hanya bisa melihat matanya yang samar tertutup face shield.

Aku mengernyitkan dahi, berusaha mencari tau siapa sosok di balik pakaian hazmat ini, tapi aku tidak punya clue lain selain dari matanya. Dan.. yahhh.. aku tak mengenalinya.

“Bulek rum.. yaampun, Leee.. pulang juga kamu..” ucapnya yang seolah tau tentang raut kebingungan yang muncul di wajahku.

“Oalah.. Bulek.. maaf Bulek, aku nggak tau kalo ini Bulek.” Jawabku sembari cengengesan.

“Ooo.. la ya wajar, wong Bulek pakai pakaian begini. Hampir pangling Bulek sama kamu, Le.” Ucapnya.

Aku tertawa kecil, “yang dipanglingi apanya to, Bulek. Wong dari dulu sama aja.” Jawabku.

“Udah.. udah.. ngobrolnya besok lagi, Bulek lagi tugas ini.” Jawabnya.

Batinku, “lah, yang mulai kan dia.”

Bulek Rumini atau aku biasa memanggilnya Bulek Rum, dia adalah adik satu-satunya dari Bapakku. Aku baru ingat bahwa ia adalah salah satu perawat di puskesmas kecamatan sini, pantas saja dia yang memeriksaku kali ini.

Setelah obrolan singkat itu, Bulek mulai menyolokkan alat aneh itu ke dalam hidungku. Colokannya benar-benar dalam menusuk hidungku, sampai-sampai membuatku tak nyaman dan sedikit terasa sakit.

Bulek tertawa kecil, “Maaf ya, Le. Kayaknya kedalemen Bulek nyoloknya.” Ucapnya yang melihat hidungku memerah dan mataku yang sedikit berair.

“Aman, Bulek. Kalo prosedurnya memang begitu mau gimana lagi.” Jawabku.

Bulek berlalu pergi sembari membawa sampelku setelah berpamitan denganku. Ia berjanji akan membantuku untuk membereskan rumah peninggalan orang tuaku nanti, biar nanti selesai karantina aku tinggal menempatinya. Aku menyambutnya dengan senang hati, karena tak perlu repot-repot bersih-bersih lagi nantinya.

Aku kembali ke ruangan karantina. Ruangan yang cukup besar dengan beberapa ranjang kosong yang bisa dipisahkan oleh tirai ini hanya diisi aku seorang. Perasaan sepi sebenarnya menyelimuti diriku. Tak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di sini, selain bermain game di ponsel maupun laptopku. Dan suasana seperti ini yang akan aku alami selama satu minggu ke depan.

Hari pertama aku lewati dengan perasaan yang sangat bosan. Aku tak bisa menggunakan shortcut orang-orang yang biasanya tidur untuk memotong waktu mereka. Entah, sudah berapa hari aku tak bisa tidur. Rasanya sudah terlalu lama aku tak merasakan tidur yang nyenyak dan nyaman.

Ketika aku mencoba untuk tidur, lagi-lagi yang muncul di bayanganku adalah sekelebatan orang yang entah itu siapa. Aku jadi parno sendiri, takutnya seperti yang ada di film-film, ketika aku membuka mata tiba-tiba ada sosok dengan muka rusak tepat berada di depan mukaku.

Kepenatan benar-benar sudah menguasai diriku. Aku tak tau lagi harus ngapain di sini. Seringkali aku hanya berjalan mondar mandir di depan dipan-dipan kasur ini seperti orang gila. Kebosanan ini lama-lama bisa membunuhku perlahan.

Hingga di hari keenam malam, tiba-tiba muncul orang di ruangan ini. Sepertinya ia telah beberapa saat berada di sini. Aku tak terlalu fokus memperhatikan karena sedari tadi aku memainkan game di laptopku dan mengenakan headset yang kedap suara. Aku sedikit bahagia dengan kehadiran orang ini, setidaknya ada teman untuk aku menjalani masa karantina yang akan berakhir sebentar lagi. Dan untungnya lagi, orang ini aku perkirakan seumuran denganku.

“Main apa, Mas?” sapanya basa-basi sembari duduk di sampingku.

Aku melepaskan headsetku, “oh ini, Stardew Valley ala Harvest Moon gitu.” jawabku.

Dia mengangguk paham, “game-game Bertani gitu, ya?”

“Bener.” Jawabku singkat.

Dia mendongakkan kepalanya, seolah berpikir dan berkata, “hmmm.. Kayaknya seru ya, kalo bisa bikin gitu di dunia nyata.” Celetuknya.

Aku mencoba mencerna arah bicaranya. Membayangkan jika apa yang ada di dunia game ini aku bawa ke dunia nyata. Membayangkan diriku yang sebelumnya menjadi seorang budak korporat tiba-tiba alih profesi menjadi seorang petani dan peternak. Sungguh profesi yang tidak keren untuk anak muda.

“Menarik tuh..” timpalku.

Dia menatapku. Mata kami bertemu, seolah kami paham satu sama lain dan satu pikiran layaknya teman lama yang telah saling paham isi pikiran satu sama lain. Aku lalu bercerita bahwa Bapakku punya sawah yang mungkin bisa digarap untuk memulai perjalanan sebagai seorang petani. Dia sangat antusias dengan ceritaku ini dan menyambut bahagia tentang ide Bertani ini.

“Emang kamu tau ilmu tentang pertanian-pertanian gini, Mas?” tanyaku.

“Beberapa bulan terakhir aku beli buku tentang pertanian gini, sih. Mungkin dari buku-buku itu kita bisa terapin.” Jawabnya.

Aku mengangguk, “menarik.” Ucapku.

Aku cukup antusias dengan projek kali ini. Tak sabar rasanya untuk segera memulainya. Meskipun aku tak tau bagaimana ini nantinya akan membawaku dan apakah akan menjadi projek yang menguntungkan atau tidak, mengingat bahwa stigma selama ini tentang petani yang sangat sulit untuk sejahtera.

“Kita liat dulu apa kondisi sawahnya?” tanyanya spontan.

Aku sedikit terkejut, karena ketertarikannya seperti bukan hanya isapan jempol belaka, “Ha? Sekarang banget?” ucapku heran.

Dia mengangguk mantap, “lagian bosen juga kan di sini nggak ngapa-ngapain.”

Ucapannya memang benar adanya, tapi bagaimana caranya keluar dari sini di masa karantina seperti ini? Lagian aku tak pernah berbuat aneh-aneh selama hidupku, selalu tunduk dan patuh dengan apa yang telah tersurat maupun tersirat menjadi aturan.

“Tapi..” ucapanku belum selesai.

Ia memotongnya, “tenang. Lagian gapapa juga kali kalo kita keluar sebentar doang mah, nggak ada yang tau juga, kan?” ucapnya berusaha meyakinkanku.

Aku masih ragu untuk melakukan kenakalan kecil ini. Tapi ada dorongan dalam diriku untuk percaya dengan manusia satu ini. Selain itu, aku sebenarnya juga sudah cukup penat dan bosan, seolah-olah menjadi Binatang yang selalu dikurung di mana saja.

Aku menghela napas, “Ayo deh.” Ucapku.

Ia tersenyum simpul, “Pake pakaian item, biar kalo ada apa-apa gampang ngumpetnya.” Ucapnya.

Selanjutnya, ia mengajakku untuk keluar kamar dengan melompat dari jendela yang kebetulan tanpa tralis itu. Jantungku cukup berdebar saat melakukan ini. Tak biasanya aku melakukan hal seperti ini, tapi ternyata cukup seru dan menantang.

Aku mengambil langkah cepat dan mendahuluinya untuk menunjukkan di mana letak sawah warisanku itu berada. Kondisi jalan cukup gelap dan remang-remang, karena ini merupakan pedesaan. Terlebih lagi, kami mengambil jalan yang bisa dibilang tepat di pinggir persawahan, yang sangat jarang dilewati orang di malam hari. Selain itu, kami juga mulai melewati pematang sawah.

Sebenarnya ada rasa sedikit ngeri jika bertemu dengan ular berbisa, tapi semuanya sudah terlanjur dan saatnya menikmati “pelarian sesaat” ini. Tak berselang lama, kami telah sampai di sawah yang dimaksud, sawah peninggalan Bapakku.

Dia menganggukkan kepalanya sesaat setelah aku menunjukkan sawah yang tak terurus sepeninggal Bapakku, “hmm.. Luas juga.” Ucapnya.

“Lumayan sih, remuk juga pinggang kalo kita kerjain berdua.” Jawabku.

“Bisa diatur kalo begituan mah. Asal ada duitnya aja.” Balasnya sembari tertawa.

Aku kembali memperhatikan wajahnya dengan seksama, dibawah sinar rembulan yang lagi terang-terangnya karena sedang bulan purnama, “ngomong-ngomong, kamu bukan dari desa ini, ya? Kok kayaknya aku belum pernah liat kamu selama ini.”

“Bukan.” Jawabnya singkat.

“Terus dari mana?” tanyaku penuh selidik.

“Nanti kamu bakal tau sendiri.” Jawabnya.

Aku jadi ngeri sendiri mendengar jawabannya ini. Aku lihat sekali lagi orang ini, aku liat kakinya, napak di tanah sih, aku jadi parno sendiri, mana di tempat gelap, di bawah bulan purnama lagi, wajahku menjadi pucat pasi, “kkk—kamu bukan setan, kan?” ucapku gugup.

Dia tertawa, “ya bukan lah, mana ada setan modelan gini.” Jawabnya dengan penuh kepedean, seolah-olah dirinya Iqbaal Ramadhan.

“Terus ngapain lagi kita?” tanyaku yang merasa tak nyaman berada di pematang sawah bersama dengan seorang laki-laki seperti ini.

Sorot matanya lurus ke depan, seolah ada sesuatu yang menarik jauh di sana. Tapi sepertinya ia sedang berpikir, “mau sesuatu yang seru?” tanyanya.

Aku mengernyitkan dahi, “apa?”

“Nggak usah banyak tanya.” Timpalnya sembari melangkah kaki menuju ke pemukiman meninggalkan aku yang masih bengong dengan tingkah manusia macam ini.

Ia terus berjalan cepat meninggalkanku yang mulai sedikit berlari untuk mengejarnya. Entah apa yang ia cari untuk keseruan malam ini, kenapa ia begitu semangat untuk itu, sungguh manusia unik bagiku. Aku terus saja mengekor, mengikuti kemana arahnya ia berjalan. Kami melewati beberapa rumah yang nampaknya para penghuninya telah terlelap.

Hingga ia berhenti di tempat yang tidak asing bagiku. Tempat ini, tempat di mana waktuku banyak dihabiskan di tempat ini. Ya.. ini rumahku. Rumah peninggalan orang tuaku. Tapi kenapa kondisi lampunya menyala? Apakah ada yang menempatinya selepas orang tuaku wafat atau Bulek Rum yang katanya mau bersih-bersih?

Tempat di belakang rumahku ini memang ada kamar mandi yang letaknya di pojok belakang, masih menyatu dengan bangunan utama. Dan di situ ada ventilasi yang cukup tinggi. Mungkin karena tak pernah ada kejadian tak senonoh, jadi orang tuaku percaya saja untuk membuat ventilasi di kamar mandi.

“Kenapa ke sini?” tanyaku setengah berbisik.

“Sssttt.. kayaknya ada yang seru di dalem sini. Coba dengerin baik-baik.” Ucapnya sumringah sembari menunjuk ke arah kamar mandi yang menyala terang.

Aku menguping, memicingkan telinga, mencoba mencari tau yang dimaksud oleh manusia ini. Benar saja, samar-samar terdengar suara desahan dari dalam kamar mandi. Desahan demi desahan yang terdengar semakin intens. Aku menatap wajah manusia aneh ini dengan tatapan bertanya-tanya dan hanya dijawab dengan senyuman cringe-nya.

Hingga tibalah manusia unik ini mulai menumpuk batu bata di dekat area ventilasi ini. Batu bata ia susun sedemikian rupa hingga bisa ia jadikan pijakan untuk memuluskan rencana busuknya. Kebetulan juga area belakang rumahku ini cukup datar, sehingga tak membuat batu bata menjadi miring.

“Mau ngapain?” tanyaku.

“Sssstttt.. jangan banyak nanya, ikut aja kalo mau.” Jawabnya.

Aku maju mundur dengan ajakannya. Jantungku berdegup kencang. Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya, bahkan tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya untuk melakukan ini. Tapi aku juga menjadi penasaran tentang siapa orang dibalik tembok ini, meskipun aku yakin ia adalah Bulek Rum.

Cukup lama aku melihat manusia aneh ini mengintip sesuatu di balik ventilasi itu. Aku menjadi semakin gundah, antara mengikuti nafsu dan rasa penasaran atau mengikuti nuraniku. Ditambah lagi, manusia ini seperti sedang melihat bidadari turun dari kayangan, matanya tak berkedip sedetikpun, seolah tak ingin melewati momen-momen kecil.

Pada akhirnya nuraniku kalah. Aku mulai menyusun batu bata dan meminta manusia unik ini untuk geser sedikit. Mulanya, ia sedikit protes karena aku mengganggunya, tapi akhirnya ia menuruti perkataanku. Aku ikut mengintip dari balik tembok dan ventilasi tentang apa yang terjadi di sana.

Aku terkejut dengan apa yang aku lihat. Di sana terlihat Bulek Rum yang sedang telanjang bulat dengan ponsel menyala di hadapannya. Ia terlihat duduk di lantai dengan kaki ngangkang yang cukup lebar. Tangannya memegang sesuatu dan memainkannya di selangkangannya dengan cara maju mundur. Apa yang sebenarnya ia lakukan?

Ia membelakangi kami yang sedang mengintip dan sedikit menyerong dari posisi kami, sehingga tak tau kalau ada dua pasang mata yang sedang mengamatinya. Mungkin jika digambarkan posisinya berada di arah jam 11, kalo kata anak jaman sekarang. Terdengar juga samar-samar Bulek Rum mendesah pelan. Dan setelah diperhatikan, ternyata yang ada terlihat di ponsel itu adalah batang penis.. ya.. tak salah itu batang penis.. batang penis yang sedang diurut? Dikocok? Apa itu penis Om Hendra, suaminya?

Ini pertama kalinya aku melihat tubuh telanjang seorang wanita secara langsung. Tak terbayangkan olehku jika wanita telanjang pertama yang akan aku lihat adalah Bulek Rum. Aku memperhatikan dengan detail lekuk tubuh Bulek Rum ini. Pantatnya.. pantatnya cukup padat dan tak mengendur. Payudaranya.. sekilas masih sangat kencang di sana, karena samar terlihat pentilnya yang berwarna coklat muda. Sementara untuk bagian kewanitaannya masih belum terlihat.

“Ssshhh.. maassshhh.. akuhhh.. mauuhhh.. sampaaiiiggghhh..” pekik Bulek Rum.

“Iyaa dekkk.. terusinnn.. mas juga mau crottt..” suara yang samar terdengar dari speaker telepon itu.

“Uuuughhhhmmm.. mmmhhhhasssss.. aahhhhhh..” tubuh Bulek Rum seperti bergetar. Apakah ia klimaks?

“Hah.. Hahhhh.. ayo mass.. keluarinnn.. adek pengen dipejuhin kontolmu mas..” goda Bulek Rum sembari mengatur nafasnya yang terengah-engah sembari tangannya masih aktif di area selangkangannya, sementara tangannya yang lain meremasi buah dadanya.

Aku tak menyangka bahwa kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulut Bulek Rum. Bulek Rum terlihat sangat menggoda di dalam sana. Apakah memang wajar bagi seorang Perempuan bersama pasangannya mengeluarkan kata-kata seperti itu? ahhh.. tapi itu malah membuatku semakin turn on. Penisku sedari tadi mendobrak celanaku dari dalam seolah ingin berontak keluar, sampai-sampai aku membenarkan posisinya.

“Iiiyahhh deekkk.. mass keluarrr.. terima pejuhku, Dekkk...” Ucap suara dari balik telepon yang kemudian terlihat bahwa kamera terhalang oleh cairan yang baru saja menyembur.

“Gimana mas? udah puas?” tanya Bulek Rum sembari sedikit terkekeh.

Orang di balik telepon mengelap kamera depannya dan terpampang wajah om Hendra di sana. Aku sedikit terkejut tapi tak terlalu khawatir karena untungnya yang muncul adalah om Hendra, bukan orang lain. Tapi apa seperti ini normal untuk pasangan yang sedang LDR?

“Kurang puas kalo belom ngusel-usel tetekmu sama dijepit memekmu, Dek.” Jawab om Hendra.

Bulek Rum kembali terkekeh, “puasa dulu ya, Mas. Kalo nanti kamu pulang aku siap ngelayanin.”

“Oh iya mas, Sena pulang loh. Kemaren aku ketemu dia di tempat karantina.” Ucap Bulek Rum.

“Sena pulang? Wah, sayangnya akunya yang ga bisa pulang. Gimana dia sekarang?” Jawab Om Hendra.

“Gapapa, yang penting sehat-sehat di sana ya, Mas. Dia makin gagah, Mas, makin ganteng, keren khas anak-anak Ibu kota.”

“Hmmm.. udah kenal udara Ibu kota itu anak.”

“Udah dulu ya, Mas. Aku mau mandi dulu.” Pungkas Bulek Rum yang ingin mengakhiri obrolannya.

“Iya, kamu juga jaga kesehatan di sana.” Tutup om Hendra.

Manusia unik ini menarikku turun dari tempat mengintip kami, “kenapa?” tanyaku setengah berbisik.

Dia terkekeh pelan, “ketagihan, ya?” jawabnya.

Aku menjadi salah tingkah sendiri dengan pertanyaanku sendiri dan jawaban yang diberikan oleh manusia ini. Benar juga, aku sepertinya terlalu menikmati pengalaman pertamaku ini. Tapi anehnya, kenapa aku malah mengintip Bulekku sendiri?

Aku kembali dengan perasaan yang cukup aneh. Apakah ini karena pertama kalinya aku melihat tubuh wanita telanjang secara langsung? Atau karena itu Bulekku sendiri? Tapi entahlah, dari semua itu ternyata memang jika melihat secara langsung memang memiliki sensasi dan keindahan tersendiri.

Hari berikutnya, manusia aneh ini kembali mengajakku untuk mencari kegiatan seru. Begitulah kira-kira ajakannya, selalu menggunakan embel-embel “seru”. Aku pun mengikuti ajakannya ini, sepertinya memang selalu menarik mengikuti langkah kaki orang ini kemana pun.

“Kita mau kemana sih?” tanyaku penasaran saat kami berjalan melalui jalan lingkar desar yang kondisinya sangat sepi dan minim penerangan.

“Belom tau.” Jawabnya cengengesan.

“Namamu siapa sih? sampe sekarang kita belom kenalan, ya?”

“Panca.” Jawabnya singkat.

“Oh, aku Sena.” Balasku.

Kita terus berjalan sembari melipir melewati pekarangan rumah orang-orang yang sudah sangat sepi. Entah karena emang efek dari pandemi atau emang kebiasaan dari dulu yang selalu sepi di desa ini. Tapi memang sepertinya mereka terlalu menjaga desa mereka dari virus jahanam ini.

Hingga tibalah kami melewati rumah yang menarik perhatian Panca. Kami pun berhenti dan saling diam. Memincingkan telinga kami untuk mendengar tentang apa yang sedang terjadi di dalam sana. Tapi tunggu dulu, lagi-lagi aku tak asing dengan rumah ini, rumah paling besar di desa ini.

Panca menunjuk ke arah ventilasi kamar di rumah itu, mengisyarakan ku untuk mengintip melalui lubang ventilasi. Tak menunggu lama, panca langsung mencari pecahan batu bata lagi untuk ia susun sebagai pijakannya agar matanya bisa sampai ke ventilasi. Sepertinya kali ini ia pengertian dengan menyusunkan batu bata juga untukku.

Setelah itu, aku ikut mengintip ke arah ventilasi di mana langsung tersaji pemandangan indah namun samar-samar antara sepasang insan manusia yang sedang ingin memadu kasih di atas ranjang. Cahaya redup yang dihasilkan dari lampu tidur itu benar-benar tak bisa membuat pandanganku ke dalam leluasa.

Dua insan manusia penuh birahi itu sedang saling tindih dengan posisi menungging dan sang Perempuan yang berada di atas, menindih suaminya sembari beradu bibir. Terlihat bahwa keduanya telah telanjang bulat. Samar-samar terdengar juga suara bibir mereka yang saling beradu.

Salah satu tangan pria itu juga terlihat liar meremas-remas bokong super montok itu sembari sesekali diselipkan pada area selangkangan wanita itu. tangan satunya lagi sepertinya memainkan payudara sang istri yang menggantung bebas.

“Duuuhhh.. Bu.. kok ya nonokmu udah becek banget gini.”

“Hihihi.. Bapak sih, dari tadi dielus-elus terus, mana susuku dari tadi buat mainan.” Jawabnya.

“Gemes banget aku sama Susumu ini, Bu.. kok bisa masih kenceng, padet gini lo, wong wes tuwir.” Ucap pria itu sembari meremas lebih kencang payudara sang istri.

Perempuan itu menjerit pelan, “aww.. gemes sih gemes, tapi jangan diremes kenceng-kenceng juga dong, Pak.”

“Wes lah, Bu.. ayo langsung aja.. Bapak juga wes ndak tahan.”

Sang istri menuruti permintaan sang suami dan bergantian, kini wanita itu merebahkan dirinya di kasur dan membuka kakinya lebar-lebar. Sementara pria itu sedikit menunduk, sepertinya sedang mengatur penisnya untuk ia posisikan di vagina istrinya.

“Aaahhh.. pakkk.. terusss..” rintih sang istri.

“Enak, Bu?”

“Mesti to, Pak.. ahhh.. ayo dorong lagihh..”

Pergulatan antar dua kelamin itu resmi di mulai. Pria itu mulai memompa penisnya di dalam vagina sang istri, sementara sang istri hanya bisa mendesah-desah kenikmatan menerima genjotan yang dilakukan oleh sang suami.

Kedua tangan sang suami pun menggenggam telapak tangan istrinya, membuat persetubuhan itu menjadi mesra. Baru beberapa saat kemudian tangan sang suami berpindah pada payudara bergoyang milik istrinya dan menggenggamnya.

“Ayyooohhh.. pakkk.. lebihhh kenceng..”

“Aahhhh.. mmmmaahhhh..”

“Iya, Bu. Ini sudah kenceng. Remuk pinggangku kalo kenceng-kenceng.” Balas pria itu.

Aku dan Panca masih fokus menatap depan, menyaksikan adegan film biru ini secara live. Lagi-lagi ini pengalaman baru untukku, mungkin jika tidak ada Panca, hal-hal seperti ini tak akan pernah terjadi. Mana mungkin aku punya keberanian sebesar ini jika tak ada Panca di sampingku.

Secara tak sadar, ternyata tangan kiriku turun ke bawah, menuju ke penisku yang sedari tadi tegang di bawah sana. Aku menggenggamnya dan menggeseknya perlahan sembari masih fokus menonton adegan panas di dalam sana.

Sementara itu, di dalam sana pria itu masih dengan semangatnya memompa vagina sang istri masih dalam posisi yang sama. Pria itu juga mulai merapatkan kepalanya di payudara sang istri seperti bayi yang ingin nenen di payudara Ibunya.

“Pakkhhh.. oohhhmmm..”

“Bentar, Bu.. Bapak mau crottt..”

Hentakan pria itu menjadi pelan, namun dalam dan cukup kencang. Ada lima kali ia melakukan itu secara berulang. Baru setelahnya ia mencabut penisnya dari vagina sang istri. Pria itu pun tidur terlentang di samping sang istri yang masih mengangkangkan kakinya.

“Hahhhh.. hahhh.. enak ya, Bu.” Ucap pria itu sembari mengatur ritme nafasnya.

Wanita itu mendesah, “huffttt.. baru Bapak aja yang enak, Ibu belum.”

“Lagi yuk, Pak.” Pinta sang istri.

“Istirahat dulu, Bu.” Ucap sang suami masih dengan nafas yang sedikit memburu.

Sepertinya wanita itu tak mau menunggu lama, ia kembali mengecup bibir sang suami. Sementara tangannya mulai bergeriliya ke bawah. Tangannya dengan lembut membelai penis sang suami yang sudah loyo, sesekali juga nampak bahwa ia meremas dengan lembut testis sang suami. Mulai mengusap penisnya dan mengocoknya perlahan.

“Tuhhh.. udah bangun lagi.” Ucap sang istri yang diakhiri dengan tawa kecil.

“Hmm.. tapi Bapak di bawah aja ya, Bu.” Pinta pria itu.

Tanpa menunggu komando, wanita itu mulai mengangkangkan kakinya dan jongkok di selangkangan sang suami. Perlahan ia mulai menurunkan pinggulnya disertai dengan desahan yang keluar dari mulutnya. Mulai digoyangkan pinggulnya layaknya Dewi Perssik yang sedang goyang ngebor.

“Aahhh.. goyanganmu, buu..”

“Enak, Pak?”

“Oohhh.. enakkk..”

Tangan wanita itu menarik kedua tangan suaminya dan membimbingnya untuk berada di kedua payudaranya. Ia pun menurutinya dan sepertinya langsung meremasi payudara milik istrinya itu, karena setelah itu terdengar desahan dari wanita itu agar suaminya terus memainkan payudaranya.

Pergumulan itu terus berjalan dengan wanita itu yang terus “menguleg-uleg” penis suaminya. Sementara sang suami hanya bisa mendesah menahan nikmat yang sepertinya sulit terbayangkan olehku. Namun, semua itu hanya bertahan kurang lebih 5 menit, karena sepertinya mereka berdua atau mungkin hanya suaminya? Yang merasa akan sampai pada puncak kenikmatan.

Bersama dengan itu, ternyata dari celanaku telah menetes cairan yang sedikit membasahi celanaku. Kalau dari ilmu biologi yang pernah aku pelajari sepertinya cairan pra ejakulasi, karena memang tak sampai keluar air maniku.

Setelah persetubuhan panas itu, terlihat keduanya langsung mengambil ponsel mereka dengan kondisi yang masih telanjang. Dari situ lah terlihat jelas bahwa kedua insan yang sedari tadi bergumul itu adalah Pakdhe Tejo dan Budhe Narti. Pakdhe Tejo sendiri adalah kakak dari alm. Bapakku dan Budhe Narti adalah istrinya.

Merasa pertunjukkan telah usai, aku dan Panca memutuskan untuk menyudahi acara perngintipan ini, karena takutnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Aku dan Panca memutuskan untuk kembali ke tempat karantina.

“Gila, ya. Ternyata Budhemu bisa se-hot itu, Bulekmu juga kemaren.” Ucap Panca di tengah keheningan kami ketika berjalan menuju ke tempat karantina.

Aku mengernyitkan dahi, “kok kamu tau mereka ada hubungan keluarga denganku.” Aku kembali dIbuat bingung oleh manusia ini, bahkan aku sendiri belum bicara mengenai sosok yang selama dua hari ini kami intip, tapi ia tau mereka siapa.

Panca tak menjawab pertanyaanku dan hanya tertawa, “Hahahaha..”

Hari berikutnya aku telah resmi mengakhiri masa karantinaku setelah Bulek Rum kembali melakukan test covid-19 kepadaku dan hasilnya negatif, sehingga aku diperbolehkan untuk meninggalkan balai desa dan pulang ke rumah. Sementara Panca sepertinya masih harus tetap berada di sana untuk menyelesaikan masa karantinanya.

“Gimana kamu selama di karantina, Le?” tanya Bulek saat kami berjalan kaki menuju ke rumah.

“Bosen, Bulek.” Jawabku.

Bulek terkekeh, “Ya namanya juga karantina, tapi kan sekarang udah bebas.”

“Terus kenapa kamu pulang? Tumben, Bulek kira kamu udah lupa sama kampungmu ini.” Lanjutnya.

“Aku pengen ke makam Bapak Ibu dulu boleh, Bulek?” jawabku.

Bulek mengangguk dengan ekspresi wajah yang berbeda dan ia menemaniku berjalan menuju ke pemakaman desa. Sepanjang perjalanan kami hanya saling diam. Aku masih terasa sesak jika mengingat kedua orang tuaku yang telah tiada. Aku tak menyangka bahwa mereka akan pergi secepat ini.

Sesampainya di pemakaman, aku langsung duduk bersimpuh di antara dua nisan bertuliskan nama kedua orang tuaku ini. Tanganku mengusap nisan keduanya dengan perasaan yang sangat menyayat hati. Aku sangat merindukan keduanya.

“Pak, Bu, Sena minta maaf. Maaf tak bisa membuat kalian bangga, maaf karena telah merepotkanmu dulu, maaf karena aku jadi manusia yang gagal, gagal menjaga dan merawat kalian. Bahkan aku tak bisa mengantarkan kalian untuk terakhir kalinya.”

Terdengar Bulek Rum juga ikut menangis, ia berjongkok di belakangku dan memegang pundakku, “Maafin Bulek, Le. Bulek yang seharusnya sebagai orang Kesehatan bisa menjaga mereka dengan baik.” Ucapnya.

Aku menepuk tangan Bulek dan menoleh ke belakang, “jika harus ada orang yang paling disalahkan itu aku, Bulek. Aku orang yang paling bersalah.”

Bulek menggeleng, “tak ada yang bisa melawan kuasa Tuhan, Le.”

Setelah cukup lama meratapi kesedihan di depan makam kedua orang tuaku, aku memutuskan untuk pergi pulang ke rumah. “Life must go on” kalau kata Bulek. Aku pergi dengan meninggalkan segenap kesedihan dan rasa bersalahku. Bulek berkata bahwa setelah dari makam ini, hidup harus kembali seperti semula, tinggalkan semuanya di sana.

Menurut Bulek, tak ada artinya untuk kita terus terpuruk dalam rasa sedih dan rasa bersalah, karena semua itu percuma, waktu tidak bisa kembali, termasuk orang yang pergi untuk selamanya. Sebagai orang yang ditinggalkan, yang bisa kita lakukan hanya mengenangnya dan mengamalkan peninggalan yang diberikan.

“Setelah ini kamu mau ngapain, Le?” Tanya Bulek saat kami telah sampai di rumah kecilku.

“Kayaknya aku mau Bertani.”

Bulek sedikit terkejut mendengar jawabanku barusan, “Ha? Kamu serius.”

Aku mengangguk yakin dengan tatapan kosong yang lurus ke depan, “Aku pengen buktiin kalo jadi petani bisa sejahtera.” Ucapku sesumbar.

“Terus gimana kerjaan kamu di Jakarta?”

“Aku udah resign, Bulek.”

“Keputuanmu sangat berani, Le. Kalo gitu kamu bisa tanya-tanya ke Pakdhe Tejo, siapa tau dia bisa bantu.” Sarannya.

“Iya, memang nanti aku bakal sowan ke Pakdhe-Budhe.” Jawabku yang sekaligus mengakhiri obrolan ini, karena Bulek harus kembali ke puskesmas.

Ketika kembali sendiri, otakku kembali memproses kenangan-kenangan lamaku di rumah ini. Kenanganku bersama Bapak Ibuku dulu. Andai beliau masih ada saat ini, pasti aku akan memeluk erat mereka dan akan menuruti apapun kemauan mereka.

Tak ingin berlarut dalam kesedihan, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Pakdhe. Aku ingin sowan sekaligus mengutarakan niatku untuk menggarap sawah peninggalan Bapak. Sudah lama juga rasanya tak berkunjung ke rumah mereka.

“Permisi, Pakdhe.” Sapaku ketika melihat Pakdhe sedang duduk di teras sembari menikmati kreteknya.

Pakdhe memandangku dengan tatapan tajamnya, “Sena? Masuk, Le. Kapan pulang?” tanyanya basa-basi.

“Seminggu lalu, Dhe. Tapi karantina dulu kemaren.” Jawabku sembari melangkahkan kaki ke arah Pakdhe dan salim kepadanya.

“Masuk.. Budhemu kangen sama kamu.” Ucap Pakdhe.

Aku pun mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah sembari memanggil Budhe. Tiba-tiba terdengar suara orang setengah berlari dari dalam dapur. Dia adalah Budhe, dengan dasternya khas Ibu-Ibu desa, Budhe menyambutku dengan bahagia. Setelah salim dan cium tangan, ia memelukku dengan erat saat aku baru saja melangkah di ruang tamunya yang besar ini.

“Ya ampun, Le.. Budhe gak nyangka akhirnya kamu pulang, sekarang makin gagah lagi.” Ucapnya sembari memandangi tubuhku.

“iya, Dhe. Kangen rumah.” jawabku sekenanya.

“Oalah, Le.. sekarang kamu udah nggak ada orang tua, anggap Pakdhe Budhemu ini pengganti mereka, ya.” Ucap Budhe sembari kembali memelukku, seakan tau apa yang aku rasakan.

Beberapa saat kemudian,

“Wes.. Ayo makan siang, kebetulan Budhe udah masak.” Ajak Budhe. Budhe juga memanggil Pakdhe untuk makan siang bareng.

Akhirnya aku bersama dengan Pakdhe dan Budhe duduk di meja makan yang di atasnya tersaji masakan sayur sop, tahu, tempe, dan ayam goreng. Budhe mengambilkanku nasi dan lauknya, ia terlihat sangat bersemangat atas kehadiranku. Sementara Pakdhe masih sama sifatnya dari dulu, dingin.

“Terus kamu pulang Cuma mau liburan apa ada kegiatan lain?” tanya Budhe di tengah-tengah makan siang kami.

Merasa mendapatkan kesempatan, akhirnya aku mengungkapkan niatku, “Aku bakal tinggal lama, Dhe. Rencana mau nerusin Bapak jadi petani.” Jawabku.

Budhe melirik ke arah Pakdhe. “tapi jadi petani itu gak seenak kerja kantoran lo, Le.” Ucap Budhe.

“Aku tau, Dhe. Makanya pengen coba dan ngrasain apa yang dulu Bapak rasain.” Jawabku.

“Pakdhe sih terserah kamu, wong yang jalani kamu, tapi sawah Bapakmu itu sudah mulai Pakdhe garap kemaren, kamu tinggal ngelanjutin.” Celetuk Pakdhe yang mulai angkat bicara.

Aku antusias mendengar ucapan dari Pakdhe, “Wahh.. makasih, Dhe.”

“Tapi ya buat bibit, pupuk, sama solar pompa diesel kan ga gratis to, Le? Kamu tau lah, wong nanti kalo panen yang nikmatin juga kamu to?” Lanjut Pakdhe, sementara Budhe terlihat seperti bergumam.

“Berapa, Dhe? Biar aku ganti.”

“Tiga juta aja.” Jawab Pakdhe.

Aku sedikit tertunduk dan menghela napas. Tak habis pikir bahwa untuk memulai saja kita harus mengeluarkan uang sebanyak itu, mana tak ada jaminan bahwa panen kita akan berhasil dan untung. Pantas saja banyak petani yang memilih menjual tanah mereka untuk dijadikan perumahan.

Setelah makan siang itu, aku langsung mengganti uang yang dimaksudkan Pakdhe tadi, karena kebetulan aku juga sedang membawa dompet dan memiliki pegangan cash. Pakdhe pun setelah itu juga pergi, katanya mau ke gudang ngurus bisnisnya. Pakdhe berpesan kepadaku untuk menemui Pak Basri, karena ia yang membantu mengurus sawahku.

“Le, Budhe jadi ga enak sama kamu.” Ucap Budhe saat aku membantunya mencuci piring di wastafel.

“Nggak enak kenapa to, Dhe?” tanyaku.

“Pakdhemu itu, orang kamu baru datang udah dimintai duit.”

“Namanya bisnis kan ya emang harus gitu, Dhe.” Jawabku.

Setelah itu, aku kembali berbincang ringan dengan Budhe dan setelahnya aku berpamitan kepada Budhe untuk menemui Pak Basri dan pulang. Aku sebenarnya sudah cukup mengenal Pak Basri karena ia pernah beberapa kali berkunjung ke rumahku dulu, ketika Bapak masih ada.

*Tokkk.. Tokkk.. Tokkk..* aku mengetuk pintu rumah Pak Basri.

“Permisi, Pak.” Ucapku.

Dan tak lama berselang disambut suara dari dalam, “Ya..”

Pak Basri terlihat keluar dengan kain sarung dan singletnya, “Mas Sena, ya?” ucap Pak Basri ramah.

Aku tersenyum, “iya, Pak.”

“Oalah. Duduk Mas. Kapan Pulang? Kok sepertinya saya lama nggak lihat. Hampir pangling lo saya.” Ucap Pak Basri sembari mempersilahkanku untuk masuk dan duduk di kursi ruang tamunya yang menyatu dengan ruang TV.

“Baru minggu kemarin, Pak.” Jawabku.

“Pantes, saya baru lihat ini soalnya.” Celetuk Pak Basri sembari terkekeh. “Ya gini to, Mas. Nengok kampung halaman, biar tau kondisinya. Oh iya, ada keperluan apa kok Mas Sena repot-repot ke gubuk saya?” Lanjutnya.

“Ini, Pak. Saya rencana mau Bertani, kata Pakdhe Pak Basri yang bantu-bantu ngurus sawah almarhum Bapak.” Jawabku.

Pak Basri tersenyum, matanya berbinar, entah apa maksudnya. “Iya, bener. Dari dulu saya, Mas, ikut bantu-bantu keluarganya Mas Sena. Saya seneng denger ada anak muda seperti Mas Sena ini mau jadi petani. Supaya ada perubahan.”

Aku sumringah, “mohon bimbingan dan bantuannya, Pak.”

Obrolan-obrolan ringan antara aku dan Pak Basri mengalir begitu saja, hingga tak terasa waktu mulai malam. Aku pun berpamitan untuk pulang karena hari sudah gelap. Aku cukup antusias dengan semua ini, aku merasa bahwa banyak yang mendukungku untuk menjadi petani muda.

Di perjalanan pulang ke rumah, tanpa disengaja aku bertemu Bulek Rum yang sepertinya juga baru saja pulang dari puskesmas, karena masih mengenakan seragamnya. Aku berjalan beriringan sembari ngobrol santai bersamanya.

“Baru pulang, Bulek?” Tanyaku.

“Iya nih, Capek banget.” Jawabnya.

Aku hanya mengangguk, tak tau lagi harus ngomong apa. “Oh iya, besok-besok kamu ga perlu mikir makan, Bulek siapin buat kamu. Sama mungkin tiga hari sekali kalo Bulek punya waktu, Bulek bantu beres-beres rumah.” ucapnya memecah keheningan.

Aku merasa tak enak hati dengan Bulek, “nggak usah, Bulek. Aku semuanya bisa sendiri kok.” Jawabku.

Bulek malah terkekeh, “Bulek itu tau kamu dari kecil, Bulek hapal sifat-sifatmu. Kamu itu bisanya belajar, baca buku. Liat aja tiga hari ke depan, rumahmu pasti berantakan.” Celotehnya.

“Dahhh.. Bulek pulang dulu.” Ucapnya saat kami lewat di depan rumahnya.

Aku terus berjalan hingga ke rumah dan lagi-lagi Nasib tak bisa tidurku tumbuh. Aku tak tau harus ngapain lagi. Padahal juga hari ini aku telah menyIbukkan diri, tapi rasa kantuk tak kunjung datang. Entah bagaimana aku bisa mengakhiri ini semua.

Hari demi hari berjalan. Bulek, Budhe, bahkan Panca adalah tiga orang yang seringkali muncul untuk mengisi kekosongan hidupku. Panca ini bisa dikatakan seperti jelangkung, tiba-tiba muncul, tiba-tiba hilang entah kemana. Tapi aku masih yakin bahwa ia manusia, karena beberapa hari lalu aku memergokinya menggoda Bulek.

Bulek saat itu sedang bersih-bersih rumahku dan datanglah panca yang keluar dari kamarku. Aku mengintipnya dari balik pintu saat Panca mulai mengeluarkan kata-kata manisnya. Sungguh, aku tak habis pikir, bagaimana seorang anak muda seperti Panca ini bisa menggoda wanita yang hampir berkepala 4 yang sudah dan masih bersuami.

“Bulek, kalo di rumah sendirian sepi dong.” Ucap Panca saat Bulek masih fokus menyapu.

Bulek masih fokus dengan sapunya, “Ya sepi lah, namanya juga sendiri.”

“Kalo gitu kenapa nggak di sini aja, ada kamar kosong juga tuh.” Celetuknya.

“Husss.. nanti jadi fitnah.” Jawab Bulek.

“Gausah peduli lah, Bulek sama omongan tetangga gitu.” bujuknya.

Bulek mendengus, “kamu ini benar-benar udah jadi anak Ibu kota, ya.” Jawab Bulek.

Panca terkekeh, “emang kalo sendirian di rumah gitu ngapain sih, Bulek?” tanyanya.

“Ya ngapain kek.” Jawab Bulek sekenanya.

“Kalo kangen suami?” tanya Panca yang tembak langsung. Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya.

“Ya video call, lah.”

“Gitu doang? Kalo kangennya beda?”

Bulek meletakkan sapunya, “Bulek tau ya arah pembicaraan kamu. Udah ah, males.” Ucap Bulek yang mengambek sembari kembali melanjutkan proses menyapunya.

Beberapa hari berikutnya, Budhe yang berkunjung ke rumahku. Namun kali ini tak ada tanda-tanda batang hidung Panca. Aku pun menyambut baik kedatangan Budhe yang membawakanku bekal, untuk nanti di sawah katanya. Proses bertaniku memang terus berlanjut dengan aku dan Panca yang sering bantu-bantu di sawah.

“Kok kamu jarang main ke rumah Budhe, Le?” tanya Budhe saat kami sedang duduk-duduk santai di kursi ruang tamu.

“Sibuk ngurusin sawah, Dhe. Nih, badanku jadi makin item, kan.” Ucapku sembari menengok lengan kanan kiriku.

Budhe terkekeh, “hihihi.. gapapa, tapi keliatan tambah kekar kok.” Jawabnya.

“Kekar apanya. Kurus kering begini kok kekar.” Elakku.

“Enggak lo, Le. Coba gendong Budhe, pasti kamu kuat.” Kelakarnya.

“Enggakk, ah.. ngapain gendong Budhe.” Jawabku.

Budhe kembali terkekeh, “kamu dulu waktu kecil juga Budhe gendong-gendong, sambil minta nenen lagi, padahal kan punya Budhe ga ngeluarin ASI.” Celetuk Budhe.

“Enggak, ah” elakku.

“Kamu mah masih kecil, mana inget.” Jawabnya.

Setelah itu obrolan-obrolan ringan nggak jelas itu, Budhe berpamitan dan aku juga pergi ke sawah untuk memantau padiku. Entah kenapa ada kesenangan tersendiri ketika mengikuti pertumbuhan dari padi-padi ini.

Hari demi hari telah aku lewati, hingga tak terasa aku sudah hampir satu bulan berada di kampung halamanku. Banyak waktu aku habiskan di sawah. Panca menjadi sosok teman setiaku meskipun seringkali ia berbuat nyeleneh. Pernah ia malam-malam mengajakku untuk berburu belut, entah ide dari mana anak itu.

Terlebih lagi, Panca semakin intens menggoda Bulek Rum, entah apa motivasinya. Bulek Rum masih setia pada janjinya untuk menengokku beberapa hari sekali sembari membersihkan rumah dan mengantar makanan. Dan saat-saat itulah kekuatan mulut Panca beraksi. Aku ingat betul kejadian itu, lagi-lagi aku mengintip mereka.

“Kamu kapan rencana mau nikah?” tanya Bulek di tengah-tengah istirahatnya setelah lelah bersih-bersih rumah.

“Calonnya aja belum ada, Bulek.” Jawab Panca.

“Masa sih nggak ada yang mau sama kamu?” Celoteh Bulek dengan bercanda.

“Bukan nggak ada, tapi belum nemu yang pas aja.” Jawab Panca.

“Emang kamu nyari yang gimana?”

“Yang kayak Bulek gini masih ada ngga sih?”

“Kalo yang modelan gini sih cuma satu, Le.” Jawab Bulek sembali terkekeh.

“Nunggu bulek janda aja apa?” Celetuk Panca.

Bulek mendekat ke arah Panca dan meraupi wajah Panca dengan ijuk sapu, “Nguawur..” jawab Bulek.

“Emang apa yang kamu suka dari Bulek?” Lanjutnya sembari duduk di sebelah Panca.

Panca melihat Bulek dari ujung rambut hingga ujung kaki, “Bulek tuh awet muda gitu lo.”

“Masa sih?” Pancing Bulek.

“Iya, masih kenceng.” Jawabnya.

“Apanya?”

“Mmm—semuanya.”

Bulek tersipu, namun menutupinya dengan berkata, “udah ah, kamu mah pikirannya kemana-mana.” Lalu beranjak pergi.

Itu adalah obrolan Panca yang sangat berani dengan Bulek, entah apa yang ada di pikiran anak itu sampai-sampai dengan beraninya berkata seperti itu kepada Bulek. Mesti tak bisa dipungkiri bahwa Bulek masih terlihat muda dengan paras ayunya.

Aku sedikit heran dengan Panca dan Bulek, seakan mereka ini cukup akrab dan telah kenal lama. Hingga tiba waktu itu, tepat di hari minggu, dimana Bulek sedang lIbur bekerja dan hanya standby saja jika memang ada hal yang mendesak sedang bersih-bersih rumahku. Setelahnya ia mandi di kamar mandi rumahku ketika ia tiba-tiba berteriak memangil.

“Le..” teriaknya dari dalam kamar mandi.

Aku yang merasa terpanggil pun berjalan mendekat ke kamar mandi, tapi Panca datang mendahuluiku sembari tersenyum, seakan ia berkata, “biar aku aja.” Aku mengalah dan memilih melihatnya dari jauh.

“Tolong ambilin daleman Bulek di rumah, Bulek lupa bawa.” Ucap Bulek dengan entengnya.

Tanpa menunggu perintah dua kali, ia langsung meluncur ke rumah Bulek yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Tak lama kemudian, Panca kembali dengan membawa apa yang diminta oleh Bulek tadi dengan dIbungkus kresek.

*Tokkk.. Tokkk.. Tokkk..* Panca mengetuk pintu kamar mandi.

Bulek langsung membuka sedikit pintu dan mengeluarkan kepalanya dan satu tangannya mengambil bungkusan yang dibawa Panca. Namun tak lama berselang Bulek sedikit berteriak dari dalam kamar mandi, “Kok kamu ambil yang ini..”

“Emang kenapa? itu bagus, Bulek.” Jawabnya.

Tak lama berselang, Bulek membuka pintu kamar mandinya, “emang Bulek masih pantes pake ginian?” tanya Bulek.

Aku yang mengintip dIbuat melongo sejadi-jadinya, apalagi Panca yang berada di hadapannya. Ternyata apa yang diambil Panca tadi adalah lingerie berwarna merah muda. Sungguh pemandangan yang sayang jika dilewatkan.

Panca mengangguk dan aku yakin sambil mulutnya menganga, “ppp—pantes, Bulek.” Jawabnya sedikit gugup.

Bulek tersenyum, sembari menengok kanan kiri ke arah bokongnya yang menawan, “sini bantu Bulek foto buat dikirim ke Mas Hendra.” Ucapnya sembari menarik tangan Panca ke dalam kamar mandi.

Aku yang ikut penasaran pun mendekat ke arah kamar mandi dan mengintipnya dari lubang ventilasi yang ada di atas pintu. Panca terlihat sudah memegang HP dengan Bulek yang sedang pose sedemikian rupa. Hingga setelah itu Bulek meminta HP-nya kembali, sepertinya ingin mengirimkan hasil jepretan Panca ke Om Hendra.

“Kamu kenapa diem aja, ngeliatin Bulek terus lagi.” Ucap Bulek sembari memainkan HP-nya.

Panca yang diam mematung pun angkat bicara, “Bulek sekarang cantik banget.” Celetuknya.

“Cantik apa sexy?” Goda Bulek.

“Ddd—dua-duanya..” jawab Panca gugup.

Bulek terkekeh, “tuh burungmu bangun. Hihihi..”

Panca segera menutupi selangkangan dengan tangannya. Bulek kembali terkekeh, “ga usah ditutupin, Bulek udah tau bentuknya, dulu sih kecil.” Ucapya.

Ego Panca terasa disentil, “Sekarang besar, kok.” Jawabnya sembari melepaskan tangan dari selangkangannya.

“Masa sih, coba Bulek lihat.” Goda Bulek sembari meletakkan hpnya dan berjongkok di hadapan Panca.

Panca masih termenung kala tangan Bulek mulai menarik boxer dan CD yang ia kenakan hingga sebatas lutunya. Tangan Bulek mulai membelai penis tegang milik Panca sembari berkata, “beneran gede ternyata.”

Bulek mengambil gayung dan mengguyur penis Panca dengan air, dilanjutkan melumerinya dengan sabun. Kemudian tangannya dengan lihai mulai mengocok penis Panca dengan lumayan cepat. Mata Bulek melirik ke atas dan berkata, “enak gak, Le?” tanyanya.

“Enak, Bulekk..”

Tak lama berselang, Bulek kembali membasuh penis Panca yang penuh sabun itu. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke selangkangan Panca dan menjulurkan lidahnya, bergerak melingkar di kepala penisnya.

“Aaahhh.. enaakk, Buleekkk..”



Sejurus kemudian, Bulek memajukan kepalanya dan melahap penis Panca. Dilanjut dengan gerakan kepalanya yang maju mundur diiringi dengan desahan Panca yang sangat menikmatinya. Sesekali panca ikut menggerakkan pinggulnya hingga membuat Bulek terkejut karena penis Panca yang mendobrak tenggorokannya.

Setelah itu, Bulek melepaskan kulumannya, “gimana rasanya?” tanyanya dengan air liur yang menetes dari bibir merahnya.

“Enak banget, Bulek.” Jawab Panca.

Bulek berdiri, “gentian boleh?” ucapnya.

Panca yang sepertinya sangat paham pun mulai mendekatkan wajahnya ke arah Bulek dan mereka langsung berciuman dengan sangat panas. Tangan Bulek melingkar di leher Panca, sementara tangan Panca bergerak ke payudara Bulek dan meremasinya.

Selanjutnya, ia mulai melepaskan tali bra Bulek hingga payudaranya menggantung bebas. Panca kemudian menurunkan kepalanya dan menjilat serta meremasi payudara Bulek yang hanya bisa memegangi kepala Panca dan medesah.

*SSSLLLRRRPPPP.. CCRRPPPP..*

“Sssshhh.. uhhhmmmm..”

“Aauuhhhh.. ooohhhh..”

Tangan Panca juga mulai bergerak ke bawah, ke selangkangan Bulek. Ia sepertinya mulai membelai selangkangan Bulek yang masih berbalut CD-nya. Jarinya seperti telah menemukan celah untuk masuk dan mulai menusuk liang senggama Bulek.

“Aaahhh.. Leee.. masuukkhhh..”

“Terusshhh.. Leehhh..”

Panca kemudian turun ke bawah, berjongkok di hadapan Bulek. Ditariknya CD lingerie itu dan mulai melahap area intim Bulek. Bulek sampai mendongakkan kepalanya dan memegangi kepala Panca. Kaki kanannya ia naikkan ke atas pundak Panca dan membuat Panca semakin beringas di bawah sana.

*CLOKKK.. CLLOOOKKK.. CLOOKK..* Panca sepertinya juga mulai mengobok-obok vagina Bulek dengan jarinya sembari tetap memainkan klitoris Bulek dengan lidah dan tangannya yang lain.

“Leeehhhh.. udahhhh.. aaahhh.. amppuuhhhnn..”

Panca menghentikan aksinya, “kenapa, Bulek?” tanyanya.

“Bulek ga mau keluar duluan, masukin sekarang, ya.” Pinta Bulek manja.

Bulek kemudian memposisikan dirinya rebah di lantai kamar mandi dan membuka lebar-lebar kakinya sembari membelai vaginanya dan meremasi payudaranya sendiri. “Ayo, Le. Bulek ga tahan.” Ucapnya.

Panca nurut saja dan mulai memposisikan kepala penisnya di tempat yang seharusnya. Dibelainya lembut bibir vagina Bulek dengan kepala penisnya sebelum ia mulai menusukkannya. Bulek menengadahkan kepala sembari memejamkan matanya ketika menikmati tusukan dari Panca.

“aaaahhhh.. pelann.. pelan.. oohhhh..”

“sempit.. Bulekk..”

“aaahhhhh.. ssshhh..”

Beberapa saat kemudian panca juga mulai aktif meremasi payudara Bulek yang bergoyang. Sesekali ia juga menciumi bibir Bulek.

*PLOOOKK.. PLOOOKK.. PLOOOKK..* Bunyi nyaring terdengar mengisi ruangan, mereka seakan tak peduli denganku dan menganggap dunia hanya milik mereka berdua.

“Enak Bulek?” tanya panca di tengah-tengah genjotannya.

“Iyahhh.. iyahhhh.. massshhh.. istrimuhhh digenjotthhh orangggg.. ahhhhh..”

Beberapa saat kemudian..

“Keelluuaarrrhhhh.. oooohhhh.. uuhhhh.. ga tahahnn.. aaahhhhh..”

“Samaaahhh.. aahhhh..”

Panca sepertinya menusuk dalam-dalam vagina Bulek sembari memuncratkan sperma hangatnya. Demikian juga dengan Bulek yang sepertinya sampai di orgasmenya. Panca kemudian mencabut penisnya dan duduk di kursi ruang tamu. Sementara Bulek masih diam termenung sembari mengatur nafasnya.

Panca kemudian mencabut penisnya dari vagina Bulek hingga terlihat cairan yang meleleh dari sana. Sementara Bulek mengambil HP-nya dan berkata, “nih mas, memekku dipejuhin.” Ucapnya sembari menghadapkan kamera hp-nya ke lubang vaginanya yang sedikit terbuka. “nih tersangkanya.” Ucapnya yang kemudian mengalihkan kameranya ke arah Panca.

“aahhhh.. aku juga keluar gara-gara kalian..” bunyi suara dari speaker HP.

“jjj—jadi dari tadi ada yang ikut nonton selain aku?” ucapku dalam hati.

Hari demi hari Panca semakin berani menggarap Bulek, bahkan hampir seluruh ruangan di rumahku ini hampir semuanya pernah menjadi saksi bisu pertumpahan lendir keduanya dan aku saksi hidupnya. Beragam gaya telah mereka jelajahi, hingga tak terhitung berapa gaya yang telah mereka gunakan untuk memuaskan satu sama lain. Namun, ia selalu tak mau cerita dan hanya berkata, “rasakan sendiri.”

Salah satunya adalah hari ini. Setelah Panca dan Bulek “bermain”, aku memutuskan untuk mandi. Sementara Bulek masih menikmati sisa-sisa kenikmatannya di ruang tengah tanpa mempedulikanku yang berlalu ke kamar mandi. Namun, tiba-tiba saat aku masih berada di kamar mandi, terdengar suara Budhe yang sepertinya baru saja datang.

Ketika aku keluar dari kamar mandi, Bulek dan Budhe terlihat sedang mengobrol di sana dan mereka langsung menatapku yang baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya berbalut handuk. Handuk yang hanya bisa menutupi pusar ke bawah hingga setengah pahaku.

“Rajin banget anak Budhe, udah mandi aja.” Goda Budhe.

“Iya dong, biar wangi terus.” Jawabku sekenanya.

Budhe malah terkekeh, “Tuh liat keponakanmu, Rum. Cepet ya gedenya, udah bisa mandi sendiri, padahal dulu sering kita mandiin. Sekarang mana mau kita mandiin.” Celetuk Budhe sembari terkekeh.

Bulek hanya tersipu mendengar ucapan Budhe. “Budhe mah yang dibahas pas aku kecil terus.” Protesku.

Budhe kembali terkekeh, “Habisnya kamu pas kecil itu lucu, banyak tanya. Masa pas mandi bareng Budhe bisa-bisanya tanya kenapa punya kamu ada belalainya tapi punya Budhe kayak jagung karena banyak bulunya. Hahaha..” celoteh Budhe lagi.

Aku berlalu masuk ke kamar meninggalkan celotehan Budhe yang mulai nggak jelas. Namun baru berjalan beberapa langkah, Budhe kembali mengejekku, “tuh kan. Malu anaknya.” Candanya.

Setelah berganti pakaian, aku ikut bergabung bersama dengan Budhe dan Bulek di ruang tengah. Mereka sedang asik ngobrol, eh, sepertinya bukan “mereka”, tapi Budhe yang asik sendiri. Sementara Bulek sepertinya ada sesuatu yang membuatnya seperti malu-malu di hadapan Budhe kali ini, padahal biasanya mereka selalu cocok ketika ngobrol.

Budhe seringkali membahas masa kecilku yang menurutnya lucu, karena aku ia katakan sebagai anak yang terlalu pintar dan banyak bertanya dulu. Entah mengapa Budhe seperti itu, apakah ia memiliki kerinduan tentang sosok anak kecil, mengingat bahwa sampai sekarang ia belum juga memiliki momongan? Meskipun Bulek juga demikian.

Setelah penantian kurang lebih dua bulan, akhirnya tibalah masa panen. Aku sangat antusias untuk itu, meskipun aku tau bahwa masih cukup panjang prosesnya untuk padi-padi ini menjadi beras, tapi setidaknya tinggal beberapa langkah lagi. Aku, Panca, dan Pak Basri sedang mengawasi para buruh tani yang sedang mengayunkan sabit mereka, membantu kami memanen padi.

Hingga akhirnya mereka selesai dengan padiku dan kini telah berubah menjadi gabah. Proses selanjutnya adalah penjemuran, penjemuran ini aku lakukan sendiri untuk menghemat biaya. Dan dalam kurun waktu beberapa hari akhirnya semuanya selesai. Tinggal masuk ke proses penggilingan saja setelah ini.

Entah, beberapa hari ini Panca menghilang bak ditelan bumi, begitu pula dengan Bulek Rum yang entah kenapa jarang mampir ke rumah. apakah keduanya saling berkaitan? Aku tak tau. Aku juga belum memiliki waktu untuk berkunjung menanyakan kabar ke rumah Bulek Rum, karena kesIbukanku mengurus ini semua.

Aku sangat tidak sabar untuk melihat hasil beras dari sawahku ini. Dengan meminjam mobil bak terbuka milik Pakdhe, aku membawa karung-karung beras itu ke pusat penggilingan padi yang juga milik Pakdhe. Sesampainya aku di sana, ternyata Pakdhe juga sedang berada di sana.

Pakdhe menatap kedatanganku dengan mata berbinar, “Panen, Le?”

Aku tersenyum, “Iya, Dhe.”

Akhirnya gabahku mulai digiling hingga menjadi bulir-bulir beras. Aku sangat antusias melihatnya. Akhirnya penantianku setelah kurang lebih dua bulan berbuah manis. Padi-padi yang tertanam di sawahku bisa menjadi beras dan uang.

“kira-kira laku berapa ya, Dhe?” tanyaku saat gabahku selesai di giling semuanya.

“coba tak liat e dulu.” Jawab Pakdhe.

Pakdhe berjalan mendekat ke beras-berasku yang selesai digiling. Dilihat-lihatnya beras yang mengalir di telapak tangannya hingga dihirupnya aroma beras itu. Aku masih tak cukup paham dengan hal-hal seperti itu.

“hmm.. lumayan ini berasmu.” Ucapnya setelah selesai mengecek kondisi berasku.

“berapa, dhe, kira-kira?” tanyaku antusias yang tak sabar mendengar harga yang akan keluar dari mulut Pakdhe.

Pakdhe seperti sedang berpikir, “mungkin Pakdhe Cuma berani di 6 rIbu per kilo.” Ucapnya.

Aku yang semula antusias menjadi lemes ketika mendengar jawaban dari Pakdhe, “masa Cuma 6 rIbu per kilo.” Gerutuku.

“namanya lagi musim begini harga pada turun, Le. Belum saingan sama petani lain. Banyak yang berasnya lebih bagus dari ini.” Terangnya.

“tapi masa Cuma 6 rIbu sih, dhe? Buat modal aja nggak nutup loh ini.” Protesku.

“kamu harus paham kondisi pasar. Aku juga butuh tenaga dan biaya buat distrIbusi dan lain-lain.” Jawab Pakdhe dengan nada yang sedikit tinggi.

Akhirnya aku pasrah dan menerima uang yang diberikan Pakdhe karena semua berasnya ia beli. Aku kembali ke rumah dengan perasaan lemas, ternyata semenyedihkan ini menjadi petani. Aku yang awalnya ingin meninggalkan kehidupan “modern” dan lebih memilih hidup dengan ketenangan nyatanya tidak tenang-tenang amat.

“Kenapa?” tanya Panca yang tiba-tiba muncul saat aku sampai di rumah.

Aku melemparkan uang hasil jual berasku ke atas meja dan duduk bersandar di kursi ruang tamu, “tuh cuman dapet segitu jerih payah kita.” Jawabku.

Panca mengambil uang itu dan menghitungnya, “Cuma segini?” protesnya.

Aku mengangguk lemas, “iya.”

Panca melemparkan uang itu ke meja kembali, “bajingan emang Pakdhemu.” Umpatnya.

Aku terkejut mendengarnya mengumpat, “ada apa emang?”

“tadi aku sempet ketemu ngobrol sama petani lain, dia juga mengeluh hal yang sama. Dia bilang semua petani di sini dIbuat sengsara sama Pakdhemu.”

Aku tersentak mendengar ucapan dari Panca, “maksudnya?”

“Para pemilik lahan di desa ini punya perjanjian sama Pakdhe, setiap panen, mereka harus jual ke Pakdhe dan Pakdhe selalu ngasih harga yang nggak masuk akal buat mereka, syukur bisa untung.” Jelasnya.

Aku masih belum bisa percaya dengan ucapan Panca, “masa Pakdhe kek gitu, sih. tapi kenapa nggak ada yang berani protes?”

“Pakdhemu punya power dan koneksi, dia bisa lakuin apa aja.”

“Tanya ke mereka sendiri kalo kamu masih belum percaya.” Lanjut Panca.

Aku tergerak dan bangkit dari posisi dudukku. Segera aku kembali keluar rumah dan menuju ke rumah Pak Basri. Sepanjang perjalanan aku masih merasa tak percaya bahwa Pakdhe sekejam itu kepada para petani. Apakah orang tuaku juga korban dari semua ini?

“Permisi, Pak.” Ucapku saat aku berada di ambang pintu rumah Pak Basri. Terlihat sedikit ramai ruang tamu Pak Basri dengan kehadiran beberapa petani lain.

“Masuk, Mas Sena.” Jawab Pak Basri dengan ramah.

“Ada apa ini, Pak, kok rame-rame.” Tanyaku sembari masuk dan duduk di kursi yang kosong.

Mereka saling lirik satu sama lain seolah ada yang tak ingin mereka sampaikan di hadapanku, “oh, ga ada apa-apa, Mas, Cuma kumpul-kumpul biasa aja.” Jawab Pak Basri.

“Mas Sena sendiri ada apa datang ke sini?” lanjutnya.

“ini.. saya mau tanya, emang harga beras sekarang itu lagi murah ya, Pak? Kok saya jual hasil panen saya ke Pakdhe itu Cuma dihargai 6 rIbu per kilonya.”

Pak Basri dan petani yang lain kembali saling lirik, “hmmm.. gimana ya, Mas.”

“Kita di sini juga ngerasa rugi, Mas, sama harga beli yang segitu rendahnya, padahal kita ini ngerasa kalo panen kita ini bagus. Tapi ya gimana lagi, kita ga punya pilihan lain, Mas.” Saut petani lain.

“kenapa nggak punya pilihan lain, Pak?” tanyaku.

“Perjanjian, Mas. kita semua di sini terikat perjanjian lama. Semenjak puluhan tahun lalu ketika pupuk dan lain-lainnya itu susah masuk ke sini dan kita bingung, karena Bertani adalah satu-satunya mata pencaharian dan kebisaan kami. Pak Tejo datang membawa solusi, dia bisa bawa pupuk, bibit, dan segala keperluan tani untuk kita, tapi syaratnya kami harus jual hasil panen ke dia.” Jelasnya.

Aku tersentak mendengar ucapan darinya, “Berarti Bapakku juga merasakan hal yang sama?” selidikku.

Mereka kembali pandang memandang satu sama lain, “Pak Tejo gak peduli mau dia keluarga atau bukan, semuanya dipukul rata.” Jawabnya.

Aku meghela napas, “oke, begini saja, berhubung Bapak-Bapak belum terlanjur menjualnya ke Pakdhe, saya punya ide. Bagaimana kalau kita potong rantai pasok ke Pakdhe, dan kita langsung jual ke konsumen, salah satunya lewat pasar online?”

“Tapi, Mas, kami nggak berani ambil resiko. Terlalu bahaya buat kami.” Celetuk yang lainnya.

“Saya bertanggung jawab penuh untuk itu.” jawabku.

Mereka kembali saling lirik, matanya masih mengisyaratkan keraguan. Tapi pada akhirnya mereka setuju dengan ideku. Gairahku menjadi bergelora kembali, senang pada akhirnya bisa membantu mereka untuk tidak kembali masuk pada jurang yang sama. Aku juga mengambil beberapa foto dari beras petani untuk aku jadikan sample jualan nanti.

Aku juga masih tak habis pikir bahwa Pakdhe juga setega itu dengan Bapakku yang notabene adalah adik kandungnya sendiri. Pantas saja dari dulu aku merasa hidup dalam keluarga yang dekat sekali dengan kemiskinan. Untungnya, aku selalu mendapatkan beasiswa hingga sarjana dan bisa mengubah hidupku menjadi seperti sekarang ini.

“Gimana? Udah dapet pencerahan?” tanya Panca saat aku telah kembali ke rumah.

Aku mengangguk, “benar semua ucapanmu tadi.”

“Terus sekarang apa?”

“Aku mau bantu para petani itu untuk lepas dari semua ini.” Jawabku.

“Gimana dengan Pakdhe?” Tanya Panca.

Aku menggeleng.

“Cuy, kamu ini mikir ga sih? dengan fakta seterang itu kamu masih nggak tau harus ngapain?” Hardik Panca dengan nada yang mulai meninggi.

“Tapi dia Pakdheku. Dia kakak dari Bapak. Keluargaku sendiri.”

“Peduli setan. Dia bahkan tak peduli kalo kamu ini keluarganya. Banyak orang miskin ia bikin sengsara dan apa dia mikir? come on lah..” pungkasnya sembari pergi entah kemana.

Aku hanya bisa diam membisu mendengar ucapan dari Panca. Semua yang diomongkannya adalah benar. Tapi nuraniku masih berkata bahwa Pakdhe adalah bagian dari keluargaku dan aku tak berani untuk melakukan apapun terhadapnya. Entahlah, aku pun bingung dengan diriku sendiri, mengapa aku selemah ini.

Aku memutuskan untuk mengontak teman lamaku, Toby. Siapa tau ia memiliki solusi untuk ini dan bisa membantuku keluar dari segala permasalah pelik ini. Aku tau dia memiliki koneksi di mana-mana dan rata-rata adalah orang-orang besar.

“Halo, apa kabar, Bro?” sautnya ramah saat telepon kami saling tersambung melalui panggilan suara.

“Baik, Tob.” Jawabku.

“Ada apa nih, tumben telpon.”

“Ini, ternyata di desaku itu petaninya pada kejebak di lingkaran setan, aku kontak kamu siapa tau bisa bantu.”

“Lingkaran setan gimana maksudnya?”

“Mereka terikat sama mafia beras yang seenaknya mainin harga ke petani di sini. Makanya banyak petani di sini yang nggak bisa Sejahtera. Bahkan buat balik modal aja susah.” Jelasku.

“Buset, parah juga ya. Hmm.. mungkin bisa gue tawarin nanti beras-beras dari tempat lo ke kenalan gue, lo kirim aja gambar samplenya dulu.” Jawabnya.

Aku tersenyum bahagia, “Makasih banyak, Bro.”


Keesokan paginya, aku tiba-tiba dihubungi oleh Pak Basri. Beberapa petani mendapatkan intimidasi dari Pakdhe katanya, karena mereka tidak mau menjual beras atau gabah mereka ke tempat Pakdhe dan memilih bekerja sama denganku. Aku dan Panca pun mendatangi mereka untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi.

Sesampainya di sana, ternyata terdapat beberapa orang yang berkumpul. Mereka sepertinya sedang membicarakan tentang apa yang baru saja menimpa rekan seperjuangannya itu. Semua mata langsung tertuju kepadaku sesampainya aku di sana.

“Gimana ini, Mas?” tanya Pak Tani yang tadi mendapatkan intimidasi dan ancaman dari Pakdhe.

“Bapak tenang aja, kan saya udah bilang kalo saya yang akan tanggung jawab.” Jawabku mencoba untuk menenangkan mereka.

“Tapi saya yang dapat ancaman, Mas. Saya ga bisa melawan. Tolong kami.”

“Tenang, Pak. Selama Bapak masih ikut rencana saya, saya akan bertanggung jawab penuh.” Ucapku membujuknya agar tetap bertahan di rencana awal dan tidak berubah pikiran.

“Iya lo, Mas. kami butuh kepastian dan jaminan, kami jadi was-was kalo seperti ini.” Saut yang lain.

“Oke, begini saja. Semua beras dan gabah kalian tolong disembunyikan di tempat yang aman dan tak terjangkau oleh Pakdhe. Nanti jika sewaktu-waktu Pakdhe datang lagi, bilang saja kalau panen kalian semuanya telah dijual ke tempatku.” Celetuk Panca yang sedikit membuatku terkejut, karena pada akhirnya ia angkat bicara.

“Apa ini bisa menjamin kalo kami tidak akan kenapa-kenapa?”

“Tak ada yang tau kalo tak dicoba.” Timpalku.

Pada akhirnya mereka semua setuju dengan rencana Panca itu. setelah dirasa beres, aku dan Panca pamit undur diri dan kembali pulang ke rumah. beruntungnya lagi, ternyata Toby berhasil mendapatkan customer untuk kami dan besok akan ada truk yang datang untuk mengambil beras kami. Aku juga telah memberitahukan Pak Basri tentang kabar bahagia ini

Malam harinya, tiba-tiba pintu rumahku digedor keras. Aku sudah bisa memprediksi bahwa yang ada di balik pintu itu adalah Pakdhe. Tanpa menunggu lama aku langsung membukakan pintu dan disambut dengan muka geram dari Pakdhe.

“Monggo masuk dulu, Pakdhe.” Ucapku berusaha untuk tetap sopan.

“Ndak usah sok sopan kamu. Maksudmu apa ambil barang dari petani?! Mau saingan sama Pakdhemu sendiri?!” Ucap Pakdhe dengan nada tinggi.

“Bukan gitu, Dhe. Saya itu Cuma mau petani di sini juga sejahtera.”

“Alah.. peduli apa kamu sama mereka?! Mereka itu udah puluhan tahun kerja sama sama aku, terus kamu tiba-tiba datang mengacak-acak bisnisku. Maumu apa?!”

“Pakdhe, tolong tenang dulu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Bujukku.

“Nggak perlu! Kamu jangan pernah macam-macam sama aku!” gertaknya sembari berlalu pergi.

Aku kembali duduk di kursi ruang tamu sembari memegangi kepalaku. Entah, akan menjadi sebesar apa masalah ini esok hari setelah truk yang akan mengangkut hasil panen ini datang. Pasti amarah Pakdhe akan semakin memuncak.

Kembali aku mengingat tentang bagaimana struggle-nya dulu keluargaku. Baru setelah aku bekerja perlahan ekonomi keluargaku membaik. Sayangnya itu tak berjalan lama lantaran orang tuaku telah pergi mendahuluiku.

Keesokan paginya, Toby mengirimkan pesan kepadaku bahwa sebentar lagi truk itu akan sampai. Aku dan Panca langsung bergegas untuk memberitahukan kepada para petani untuk mempersiapkan hasil panen mereka, supaya bisa lekas diangkut nantinya, dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

“Bagaimana Bapak-Bapak, apakah semuanya sudah siap?” tanyaku kepada para petani yang telah berkumpul di tanah lapang sembari membawa beras mereka.

Para Bapak-Bapak itu mengangguk antusias, “semuanya sudah siap, Mas.” saut salah satu dari mereka.

“Baiklah, berarti kita tinggal menunggu truk itu datang.”

Tak berselang lama kemudian, bukannya truk dari Toby yang datang tetapi malah Pakdhe bersama dengan para anak buahnya yang berbadan besar layaknya preman. Mereka datang dengan motor secara beriringan dan menggeber-geber motor mereka secara arogan.

“Bawa pulang hasil panen kalian atau kami bakar!” teriak Pakdhe dengan nada tingginya.

Panca mengambil inisiatif untuk maju paling depan dan menghadapi komplotan Pakdhe, “Apa urusan kalian nyuruh-nyuruh kami.” Ucap panca tanpa kenal rasa takut.

“Ini bukan urusanmu!” Hardiknya dengan suara tinggi.

Panca tak mau kalah, “aku di sini dan semua yang ada di sini jadi urusanku.”

“Banyak omong kamu, ya..” teriaknya dan diikuti dengan kang pukul yang maju ke arah Panca.

*BRAKKK.. BRUGGHHH.. BRAGGHHH..*

Baku pukul tak bisa dihindarkan dengan Panca yang kesulitan melawan kang pukul yang dibawa oleh Pakdhe. Sementara itu, para petani itu juga tak ada yang berani membantu Panca dan hanya diam mematung menyaksikan adegan baku pukul itu. Kerennya, ia berhasil menangkis dan menghindar.

Beberapa saat kemudian, muncul truk yang akan membawa beras petani desa ini. Dan ternyata mereka tak sendirian, ada mobil polisi yang mengekor di belakang mereka. Bahkan aku sendiri terkejut kenapa bisa ada mobil polisi yang ikut datang bersama dengan truk itu.

Melihat dari jauh ada kejadian yang melanggar hukum, beberapa polisi itu segera turun dari mobil dan langsung berlari ke arah kami. Para kang pukul yang menghajar Panca itu Bersiap untuk lari menyelamatkan diri, tapi nyali mereka menciut ketika polisi itu menembakkan tembakan peringatan.

*Dorrr..*

“Jangan bergerak, angkat tangan kalian, dan letakkan di belakang kepala.” Seru salah seorang polisi.

Pakdhe bersama dengan para anteknya hanya bisa diam, terpaku dengan seruan polisi. Sementara para petani yang berada di sana bersorak seolah mendapatkan kemenangan mereka. Aku masih melihat Panca yang sedikit lebam mukanya karena dihajar oleh kang preman anak buah Pakdhe.

“Kalian semua ikut kami ke kantor.” Seru komandan polisi sembari menginstruksikan anak buahnya untuk mengikat tangan para tersangka.

Panca bangkit, “Pak, ini mafia berasnya. Dia yang memaksa para petani di sini untuk menjual hasil panen mereka ke dia dengan harga yang tak masuk akal. Benar begitu, Bapak-Bapak?”

Pak Basri maju, mendekat ke arah Panca dan komandan polisi itu ditengah teriakan para petani, “benar, Pak. Saya siap menjadi saksi atas masalah ini.”

“Baik kalau begitu, apakah ada bukti lain?” tanya sang komandan.

“Surat perjanjian tertulis yang disepakati sepihak.” Jawab Pak Basri.

Selanjutnya, polisi membawa Pakdhe dan komplotannya dengan mobil mereka. Pakdhe sepertinya akan digiring ke rumahnya terlebih dahulu untuk mencari bukti-bukti lain. Sementara itu, para petani-petani itu dengan semangat memasukkan hasil panen mereka ke dalam mobil truk yang sedari tadi telah standby.

Setelah ini semua selesai, Pak Basri pun pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Sementara aku langsung menuju ke rumah Budhe untuk melihat kondisi di sana dan meninggalkan panca. Dengan berlari aku menuju ke sana dan sesampainya di sana rumah dalam kondisi kosong. Sepertinya Budhe ikut dibawa oleh pihak kepolisian untuk diminta keterangan. Aku memutuskan untuk pulang saja sembari menunggu perkembangannya.

“Ca, ini semua bukan rencana kamu, kan?” tanyaku pada panca saat aku sampai di rumah.

Panca tersenyum, “ini semua rencana kita.” Jawabnya.

“Nggak.. aku nggak pernah punya rencana memenjarakan Pakdheku sendiri.” Balasku.

“Lalu kamu mau apa? Berdiskusi sama dia sambil ngopi dan makan singkong rebus? Percuma.” Tegasnya.

“Aku dan Pakdhe itu keluarga dan aku pengen masalah kayak gini selesai di dalem aja, tanpa polisi yang terlibat.” Terangku dengan nada menggebu-gebu.

“Keluarga? Kekeluargaan maksudmu? Emang Pakdhemu itu dan para petani yang ia ‘jajah’ selama ini keluarga? Bahkan Pakdhemu aja nggak pernah ngaggep keluargamu itu keluarga.”

“Tapi gimana dengan Budhe, Ca.. kasian Budhe..”

“Itulah tugasmu menghIburnya.” Jawab panca sembari menaik turunkan alisnya.

Malam harinya, aku pergi ke rumah Budhe untuk memastikan apakah ia ikut di tahan atau tidak. Tetapi sesampainya aku di sana, ternyata rumahnya telah terkunci rapat dan ada lampu yang menyala di dalam. Sepertinya, Budhe tidak ikut ditahan lantaran tadi kondisi rumahnya yang tak terkunci dan kini terkunci.

Keesokan harinya, aku menarik uang di bank dengan ditemani oleh Pak Basri. Transferan dari Toby telah masuk karena kliennya akhirnya sepakat untuk menggunakan beras dari kami dan akan mengambil beras lagi beberapa hari ke depan. Aku sangat bahagia dengan kabar tersebut dan tak sabar untuk menyebarkan kabar bahagia ini kepada para petani yang lain.

Setelah selesai mengambil uang untuk para petani, aku dan Pak Basri memutuskan untuk pulang dan segera membagikan hak-hak para petani. Sempat terjadi obrolan antara aku dan Pak Basri untuk mendirikan koperasi tani yang anggotanya para petani, demi mensejahterakan para petani, katanya.

“Bapak-Ibu sekalian, terima kasih telah berkumpul di tempat ini. Saya Sena mengucapkan terima kasih atas kerjasama kalian dan maka dari itu saya akan membagikan uang hasil dari penjualan hasil panen dari Bapak-Bapak sekalian.” Ucapku di tengah-tengah para petani saat aku dan Pak Basri telah sampai kembali di desa dan mengadakan pertemuan.

“Saya perwakilan dari petani yang lain juga ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Mas Sena atas bantuannya, tanpa Mas Sena mungkin kami masih berada dalam belenggu londo ireng.” Jawab salah seorang petani.

“Saya mewakili keluarga besar juga ingin menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang Pakdhe saya lakukan dan banyak merugikan para petani di sini. Tapi dari itu semua ada satu keyakinan bahwa Budhe saya tidak terlibat dalam masalah ini, jadi besar harapan saya bahwa Bapak dan Ibu sekalian tidak menggunjing beliau.”

Suara sedikit gemuruh terdengar, “iya, Mas Sena, kami juga percaya kalo Bu Narti itu orang yang baik kok.” Celetuk salah satunya.

Acara pembagian hasil dari penjualan beras ini telah berakhir dengan senyum sumringah yang tersungging di bibir para petani. Mereka sangat bahagia dengan apa yang mereka dapat, tidak seperti ketika mereka menjualnya kepada Pakdhe. Aku juga ikut bahagia melihat kebahagiaan dari para petani ini, aku merasa seperti telah menjadi bagian mereka.

Sepulang dari acara itu, aku berniat untuk langsung pergi ke rumah Budhe. Aku sangat khawatir jika terjadi apa-apa dengan Budhe. Aku tak ingin ia larut dalam permasalahan yang menimpa suaminya tersebut.

*Tokkk..Tokkkk.. Tokkk..* aku mengetuk pintu rumah Budhe.

Tak lama berselang Budhe membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu dengan berhadap-hadapan. “Ada apa?” tanya Budhe dengan nadanya yang datar.

“Aku khawatir sama Budhe. Budhe gapapa, kan?” tanyaku.

“Budhe gapapa.” Jawabnya singkat.

“Budhe, aku minta maaf.. karena aku Pakdhe jadi di penjara seperti ini.”

“Kamu nggak salah, Le. Pakdhemu yang salah. Sudah berulang kali Budhe ingatkan supaya tidak melakukan praktek seperti ini, tapi Pakdhemu selalu ngeyel dan bantah setiap Budhe nasehatin. Sekarang dia biar kapok ndekem di sana 6 tahun.” Jawab Budhe masih dengan nadanya yang datar dan tatapan matanya kosong.

Aku bergerak ke samping Budhe yang sofanya lebih panjang, aku merangkulnya dari samping, dan berkata “aku sayang sama Budhe.”

Wajah Budhe tenggelam di dadaku tapi ia masih bisa tuk berkata, “Budhe juga sayang sama kamu, Le. Ini wajahmu lebam pasti karena ulah Pakdhemu, kan?” Budhe sedikit mendongakkan kepalanya dan mengelus wajahku dengan lembut.

Cukup lama keheningan menjalar di antara kami. Aku masih memeluk Budhe dan Budhe masih tenggelam dalam pelukanku. Aku mencium harum bau rambutnya yang panjang terurai. Keheningan ini benar-benar membawa ketentraman tersendiri bagi kami.

“Le.. Budhe boleh ngomong sesuatu?” ucap Budhe sembari melepaskan pelukanku.

“Silahkan, Dhe.”

“Budhe tau sebenernya ini nggak boleh Budhe omongin, tapi dari lubuk hati yang paling dalam Budhe harus ngomong ini.”

“Emangnya ada apa to, Dhe?” tanyaku.

Budhe memberikan secarik kertas yang warnanya telah sangat kusam, bahkan mendekati warna kuning, tapi tulisan di dalamnya masih bisa dibaca dengan jelas. Di sana tertulis ucapan permintaan maaf dari eyangku tentang apa yang pernah beliau lakukan dulu. Permintaan maaf yang tertulis cukup panjang, hingga di akhir paragraf itu terdapat tulisan yang membuatku tercengang.

“Keluarga kita terkena malapetaka dengan anak-anakku yang tak bisa memiliki keturunan. Hingga akan ada satu keturunanku yang lahir dari Rahim salah satu menantuku yang akan bisa melepaskan dahaga anak-anakku yang lainnya dan dialah yang akan menjadi ksatria di keluarga ini.”

Aku tak bisa berkata-kata setelah membaca surat wasiat yang dituliskan oleh eyangku. Badanku gemetar dan bibirku bisu seakan tak siap dengan fakta yang seperti ini. Aku melihat ke arah Budhe dan ia sepertinya paham akan kebingunganku.

“Itu Budhe temukan pas kemarin polisi menggeledah lemari Pakdhe dan kertas itu terjatuh saat polisi menarik dan mengambil surat perjanjian Pakdhe dengan para petani.” Jelas Budhe.

“Jadi ini alasan kenapa Budhe sama Bulek belum punya anak sampai sekarang?”

Budhe menunduk, “Cuma Budhe, Rumini sudah mengandung janinnya dua minggu.”

Aku kembali tersentak, “maksud Budhe?”

Budhe menegakkan kepalanya, menatap mataku dengan tatapan yang sangat dalam dan penuh arti. Perlahan kepalanya bergerak mendekati kepalaku. Aku masih bingung dengan semua ini dan badanku hanya mematung. Perlahan Budhe sedikit memiringkan kepalanya dan mengecup bibirku.

“Budhe pengen seperti Rumini, Le.. tolong bantu Budhe.” Ucap Budhe setelah melepaskan kecupan bibirnya.

Budhe langsung kembali mengecup bibirku, tapi kali ini lebih panas. Lidahnya memancing bibirku untuk membuka. Aku sendiri masih belum tau harus berbuat apa, hingga entah setan dari mana, aku membuka bibirku dan meladeni permainan lidah Budhe. Lidah Budhe benar-benar liar bermain di mulutku, seakan akan mengajak lidahku menari-nari di sana. Hingga terasa bahwa ludah kami saling bertukaran di tengah cumbuan bibir panas ini.

Tangan Budhe mulai bergeriliya ke bagian selangkanganku yang sudah terasa sesak oleh desakan penisku yang mulai tegang. Diusapnya dengan lembut penisku dari balik celana yang aku kenakan, usapan yang membuatku merinding karena baru ini kejantananku disentuh oleh tangan lembut wanita.

Sejenak bude melepaskan pagutan bibir kami dan belaiannya pada penisku. Menatap mataku dengan tatapan sayunya dan tangannya bergerak melepaskan kancing dasternya sendiri dan melorotkannya ke bawah. Hingga kini terpampang BH berwarna cream dengan payudara yang seperti tergencet oleh tarikan BH-nya hingga belahannya terlihat jelas. Sementara itu, di perutnya terbalut stagen senada yang sepertinya menjadi alasan kenapa tubuhnya masih sangat bagus hingga sekarang. Warna yang sangat pas untuk Budhe yang berkulit putih. Aku menelan ludah dibuatnya.

“Kamu masih tertarik sama tubuh tua Budhe to, Le?” tanya Budhe sembari menggodaku dengan mengelus payudaranya sendiri dan memainkannya dengan cara menggesek kan tangannya dari bawah ke atas hingga payudaranya memantul bak bola bekel.

Aku tak tau harus menjawab apa. Tubuhku panas dingin di hadapan Budhe. Bibirku berasa kaku tak berkutik. Mataku hanya bisa fokus melihat Budhe yang memainkan payudaranya sendiri. Hingga tiba-tiba seperti ada bisikan halus yang terasa di kupingku, “Aku dari dulu pengen ngerasain tubuh Budhe.” Bisikan yang suaranya tak asing bagiku. Ya.. suara dari Panca.

Hingga tanpa sadar kata-kata itu juga yang keluar dari mulutku, “Aku dari dulu pengen ngerasain tubuh Budhe.”

Budhe menatapku sembari tersenyum mendengar jawaban itu, “Buat Budhe seperti Rumini, Le.” Ucap Budhe sembari membantuku melucuti pakaianku. Ia juga lekas membelai penisku dengan sangat lembut.

Aku masih belum mengerti apa yang sedari tadi Budhe katakan tentang Bulek Rum. Padahal aku sendiri tak pernah ngapa-ngapain dengan Bulek Rum, tapi kenapa Budhe berkata seperti itu. memang aku beberapa kali melihat Panca melakukan itu bersama Bulek Rum, tapi kenapa Budhe berkata seolah-olah aku yang melakukan itu?

Tiba-tiba pikiranku melayang, mendapatkan gambaran dari Panca bagaimana memperlakukan tubuh Bulek. Bayangan itu benar-benar melekat erat di pikiranku dan sangat sulit untuk dilepas. Panca.. ia sangat lihai membuat Bulek Rum menjerit-jerit tapi bukan kesakitan. Panca yang berhasil membuat Bulek menari-nari diatas selangkangannya.

Hingga tiba-tiba aku seperti orang yang kesetanan, seolah kini aku tau harus berbuat apa, memposisikan seakan aku adalah Panca. Aku mulai merapatkan tubuhku pada tubuh Budhe dengan sedikit mendorongnya hingga ia rebah di atas sofa. Aku kini berada di atas dan menindih tubuh Budhe. Kembali bibir kami bertemu dan saling berpagutan. Lidah kami kembali saling menari-nari seperti ingin melilit satu sama lain.

Bibirku bergeser sedikit ke samping. Aku mengulum daun telinganya dan turun ke bawah hingga bagian lehernya. Memainkan lidahku di bagian itu dan membuat Budhe mendesis. Kemudian, kepalaku terus bergerak turun mampir ke area ketiak dan menuju ke belahan dadanya yang masih berbalut bra. Menenggelamkan wajahku di tengah-tengah belahan dada itu sembari sedikit menggoyangkan kepalaku di tengah-tengah Gunung Everest yang menjadi dua itu dan menarik nafasku menikmati aroma yang sangat-sangat membangkitkan gairah seksualku.

Aku mengigit bagian atas cup bra sebelah kiri milik Budhe dan menariknya ke bawah menggunakan gigiku. Disusul dengan jari telunjukku yang bergerak liar memainkan puting Budhe yang seperti knop dengan mengesek-geseknya dengan sesekali memilin dan menyedot putingnya serta meremas payudaranya. Sementara payudaranya yang lain masih terbalut cup bra dan aku remas-remas lembut.

“Aahhh.. Leee.. geliii.. ssshhhh..”

Kepalaku bergeser ke payudara sebelah kanan Budhe dan melakukan hal yang sama dengn jari telunjukku yang masih bermain di puting sebelah kiri Budhe. Tapi kali ini begitu payudara itu menyembul, aku langsung menangkap putingnya dengan bibirku. Aku kulum putingnya dan aku hisap kuat-kuat payudara tak ber-ASI milik Budhe, bergantian dengan lidahku yang juga ikut menari seperti jari telunjukku.

*SLLRRRPPP.. CCRRPPP..*

“iyaahhh.. Le.. kayak gituhhh.. uuuhhhmmm.. sshhhh.. awwhhh.. pentilkuhhh.. enakhhh..” ucapnya dengan tangan memegangi kepalaku yang mengenyot putingnya.

Aku melepaskan cumbuan bibirku pada puting Budhe, menggantikannya dengan jariku, dan menaikkan wajahku di hadapan wajah Budhe. Ia membuka matanya yang sayu sembari tersenyum. Aku menjulurkan lidahku untuk mengajak lidah Budhe menari. Lidah kami menari-nari kembali dengan sesekali aku menyedot lidahnya dengan bibirku.

“Putingmu makin keras, Dhe.” Ucapku.

“Iya, Le. Budhe udah nggak tahan, masukin sekarang ya, Le.” Balasnya.

Tanpa menunggu komando, aku langsung bergerak ke bawah. Menyisir seluruh area tubuh Budhe yang aku lewati dengan lidahku. melebarkan kaki Budhe hingga terlihat cd creamnya yang sudah dipenuhi cairan precum. Aku meletakkan jari telunjukku tepat di tengah-tengah belahan vaginanya, menggeseknya ke atas bawah di garis belahannya. Sementara pangkal pahanya juga menjadi target lidahku.

Aku mulai menyingkapkan cd Budhe ke kanan dan langsung disambut dengan pemandangan vaginanya yang dihiasi oleh bulu kemaluan yang ia cukur pendek. Klitorisnya yang seperti kacang polong aku sentuh, aku mainkan dengan jari telunjukku, aku sedot, dan aku mainkan dengan lidahku, disusul dengan bibirku yang langsung menyosor lubang senggama Budhe, menghisap dan menjilat cairan precum yang keluar.

*CRRPPP.. SLLRRRPPPP.. SLRRPPPP..*

“Leeehhhh.. apaaa iniihhh.. aaahhh.. gelihh, Lee.. itillkuuhhh..”

“Lehhh.. udahhh.. ahhhh.. kotorr ituhhh..” rintih Budhe dengan tangannya yang seakan malah menahan kepalaku untuk tetap di situ.

Aku yang mendengar rintihan manja dari Budhe malah menjadi makin semangat. Kini bergantian, jari telunjukku aku gunakan untuk membelai vagina Budhe, sementara klitorisnya aku mainkan dengan bibir dan lidahku. Jariku perlahan mulai menusuk masuk ke vaginanya dan langsung mengobok-oboknya.

*CLOOPPP.. CLOOOPPP.. CLOOPPP.. CLOOOPPP..* jariku mulai memompa memek Budhe dengan cukup kencang hingga suaranya menggema mengisi ruangan.

“Leehhhh.. ammmpuuhhhhnnn.. ahhhhh.. leeehhh..”

“aahhhh.. ohhhh.. udahhhhh.. ga nahan.. leee.. awaaashhh..”

Aku menarik jari telunjukku dan berganti menggesek klitoris Budhe.

“AAAAARRGGHHH.. HAHHHH..” tubuh Budhe menggenjang dan sedikit bergetar.

*SHHEEEERRR.. SEEEERRR.. SEEERRRR..* tubuh Budhe menggelinjat seperti cacing kepanasan. Ia menembakkan cairan squirt-nya bersama dengan orgasme pertamanya. Aku kembali mendekatkan wajahku ke vagina Budhe dan menghisap serta menjilat cairan yang belepotan.

Aku kembali mendekatkan wajahku ke wajah Budhe. Bulir keringat mulai menetes di wajahnya, matanya sayu menatapku, nafasnya masih terengah-engah. Aku mendekatkan lagi bibirku ke bibirnya, tapi ia menahanku.

“Jorok.” Ucapnya.

“Budhe harus ngerasain rasa enaknya punya Budhe sendiri.” Bujukku dengan ucapan yang manis.

Hingga akhirnya Budhe nurut dan menyambut bibirku, “gimana, Dhe?” tanyaku.

“Enak kalo udah di bibirmuhhhhh.. uuggghhh..” Belum selesai menyelesaikan kata-katanya, aku sudah menusukkan kepala penisku di liang senggamanya yang tanpa ia sadari sudah aku posisikan untuk melakukan penetrasi. Budhe sedikit terbelalak dengan apa yang aku lakukan barusan.

*SLEBBBB.. CEPLAKPLOKKK.. PLOKKK..*

“Ohhh.. Lehhh.. pelannn.. pelannn.. sssshhhhh..”

“Aaaahhh.. ahhhh.. aaahhh..”

“Becek bangethhh, Dhhheee..”

Aku terus menggenjot Budhe dengan tempo yang semakin kencang. Budhe tiada hentinya terus mendesah dan merintih, ditambah lagi penisku berhasil mentok di dalam sana. Tak hanya rangsangan dari bawah, kepalaku kini berada di area leher Budhe dengan mengecup serta menjilatnya, sungguh rasa dan aroma keringat Budhe semakin membuatku bergairah. Tanganku juga meremasi payudara kanan dan kiri milik Budhe dan memainkan putingnya.

“Leehhhh.. budhheehhh.. ggaaakkhhh.. tahan lagihhh..”

“Ahhhh.. ahhhh.. terusshhh, Leehhh.. genhhhjoohhhttt.. Budhehhhmuuhhh..”

Aku semakin kesetanan, aku mengangkat kaki Budhe hingga merapat ke tubuhnya dan aku hujami vaginanya yang menganga ke atas dengan penisku dari atas. Tangaku menahan kaki Budhe dengan menumpu tubuhku di kasur sembari penisku terus memompa vaginanya. Budhe merem melek dibawah sana atas aksi liarku ini.

*SPLOOOKKK.. SPLOKK.. SPLOOOKK..* bunyi yang dihasilkan menjadi semakin merdu.

“AAWWHHH.. AHHH.. AHHH.. LEEEHHH..”

“OHHH.. AAAAIIIHHH.. SSHHH.. AAHHH.. LEEEEHHH..”

Vagina Budhe tiba-tiba berkedut dan seperti menghisap penisku. Setelah itu penisku terasa di siram cairan hangat yang menyembur dari dalam vagina Budhe. Aku membiarkan penisku tetap tenggelam di sana sembari ikut merasakan sensasi dari orgasme yang Budhe rasakan. Baru setelah mulai reda, aku mencabutnya dan kembali memagut bibir Budhe.

“Apa yang kamu lakukan ke Budhe, Le.. Budhe belum pernah merasa seperti ini, Budhe merasa muda lagi.” Ucapnya setelah aku melepaskan pagutan bibirku.

“Aku Cuma pengen kasih yang terbaik buat Budhe.” Jawabku sembari kembali memagut bibirnya.

Budhe mendorongku dan melepas pagutan bibirku, “ayo mulai lagi, memek Budhe pengen disiram pejuhmu.”

“Bersihin burungku dulu dong, Dhe.” Rengekku manja.

“Loh, kenapa harus dibersihin, kan mau dicelup lagi.” Jawab Budhe sembari tertawa kecil.

“Aku pengen ngerasain diemut sama mulut Budhe maksudnya.” Terangku.

“Husss.. Budhe gamau, jorok.” Balasnya.

“Ayolah, Dhe, gentian.. tadi udah enak kan pas mulutku main di bawah? Aku juga pengen ngerasain, Dhe.”

Budhe menghela napasnya, “yaudah, tapi Budhe diajarin ya.. Budhe belum pernah begituan.” Jawabnya pasrah.

Aku tersenyum sembari menarik tangan Budhe untuk duduk di sofa dan menyandarkan punggungnya dengan posisi tegak. Sementara aku mulai mengangkangi muka Budhe dan memposisikan penisku di hadapan wajahnya. Ia tersenyum melihat penisku yang sedikit loyo dan melirikku.

“Buka mulutmu, Dhe. Buat seperti huruf ‘O’ yang besar.” perintahku dan langsung dituruti Budhe yang kembali melirikku.

Setelah itu, aku mulai memposisikan kepala penis di bibir bude dan mendorongnya masuk. “Nah.. gitu dhee.. jepit pake bibir tapi jangan sampe kena gigi.” Aku mulai mendorongnya semakin dalam hingga terasa mentok dan menariknya lagi.

“Aahhh.. enakk bangetthhh, Dheee..”

Aku memegangi kepala Budhe dan menggerakkannya maju mundur. Terlihat bahwa penisku kini kembali mengkilap oleh ludah Budhe. Hingga aku iseng untuk mendorong kepala Budhe mentok hingga pangkal penisku tenggelam di mulutnya. Budhe memukul-mukul pahaku sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

*MWAAHH.. PLOOPP..* aku mengendurkan dorongan pada kepalanya dan ia berhasil melepaskan penisku dari mulutnya, hingga air liur ikut menetes dari mulutnya yang sangat basah.

“HUEEKKHHH.. HAAAAHHH.. HAAHHH.. BUDHE GABISA NAPAS.” Protesnya.

Kemudian, aku duduk di pangkuan Budhe dan langsung melahab bibir basahnya hingga turun ke dagunya yang juga ada ludahnya sendiri. Aku kemudian menarik tangan Budhe ke lantai dan memintanya untuk menungging. Dengan posisi seperti ini aku bisa melihat pemandangan pantat bulat Budhe dengan leluasa.

Aku meremasi pantatnya dengan gemas dan membuka lebar-lebar pantatnya. Langsung terpampang vagina milik Budhe yang berwarna coklat ketuaan namun begitu dibelai, warna pink merekah di dalamnya. Segera aku benamkan wajahku di tengah pantatnya dan aku jilat vaginanya dari belakang. Kemudian disusul dengan tusukkan jariku di liang peranakannya.

“Ahhhh.. Lehhhh.. udaahhh.. udahhhh.. uuhhhhmmm..”

*CLEEEPPP.. CLOKK.. CLLOOOKK.. CLOOKK..* Bunyi jariku yang beradu dengan vagina becek milik Budhe.

“Leehhhh.. cukkuuphhh.. uuuhhh..”

Aku kali ini menurutinya dan menghentikan aktivitasku. Segera aku ganti jariku dengan penisku yang telah Bersiap untuk masuk ke dalam sarangnya kembali. Kepala penisku telah berada di bibir memek Budhe dan dengan perlahan aku mulai mendorongnya. Setelah amblas sepenuhnya, aku mulai menggenjot Budhe dengan doggy style.

*PLLLOKK.. PLOOKKK.. PLOOOKK..* Suara pertemuan antara pantat bulat Budhe dan selangkanganmu terdengar merdu.

“Ahhh.. enaakkk bangetthh, Dheee..”

“Terussshhh.. Leeehhh.. Budhee jugahh.. enakkhhh..”

“sshhh.. ahhhh.. oohhhhmmm..”

Beberapa saat kemudian, aku menarik tangan Budhe ke belakang dan membuatnya terduduk di pangkuanku. Aku berdiri dan membawanya kembali naik ke sofa dengan Budhe masih duduk di pangkuanku dan membelakangiku.

“Aku pengen ngerasain goyangan Budhe.” Bisikku di sebelah telinganya.

Budhe paham, dan langsung menggoyangkan pinggulnya memutar. Aaahhh... sensasi luar biasa ini benar-benar kurasakan, sulit mendeskripsikannya. Rasanya benar-benar seperti diremas-remas vagina Budhe di dalam sana, sepertinya Budhe tau Teknik empot-empotan.

“Apa iniihhh.. aaahhhh.. shhhh.. ini enaakkkhhh bangethhh.. dheee..” ucapku sembari menyandarkan tubuhku menikmati goyangan Budhe yang sangat enak.

Budhe menarik tanganku dan meletakkannya di kedua payudaranya. Aku menurutinya dan langsung meremasi payudara Budhe dari belakang dan memainkan putingnya. Budhe juga terus mendesah kenikmatan sembari tiada henti menggoyangkan pinggulnya.

“aahhh.. dhhee.. ga kuaatthhh akuuuhhh kaloo ginihhh terusss..” ucapku.

Budhe justru menghentikan goyangannya dan berdiri, melepaskan penisku dari jepitan vaginanya. Ia mengangkat kedua kakiku ke atas sofa dan membuatku tidur terlentang di atas sofa. Segera ia ikut naik ke atas sofa dan berjongkong tepat di atas penisku.

“Jangan keluar dulu, kita harus bareng-bareng keluarnya.” Ucap Budhe sembari memegangi batang penisku dan diposisikan di lubang senggamanya. Kemudian, Budhe mulai menurunkan dan vaginanya mulai menelan penisku disertai lenguhan panjangnya.

“ssshhh.. leehhh.. enaakkhhh bangetthhh..”

“iyaahhh.. dhheee..”

Budhe mulai menggerakkan pinggulnya naik turun membuat pemandangan yang sangat indah bagiku. Karena aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah Budhe yang sangat ayu ketika merintih kenikmatan dari bawah. Selain itu, melon yang melekat di dada Budhe juga sangat indah bergoyang mengikuti irama pinggulnya Budhe. Itu membuatku tak tahan dan langsung meremasinya dengan gemas.

Hingga beberapa saat kemudian, aku menarik tubuh Budhe untuk merapat ke tubuhku, sedikit meremas dan menarik bokongnya agar sedikit ke aras dan menghujami vagina Budhe dari bawah dengan tempo yang cepat. Aku memagut bibirnya tapi malah ia menggigit bibirku dan mendesah.

*Ploookkkk.. ploookkkk.. plooookkkk.. pllooookkkk.. Ploookkkk.. ploookkkk.. plooookkkk.. pllooookkkk..*

“AAAAAAAHHH.. AHHH.. AAAHHH.. AHHH... AAAHHH.. OOOHHHH.. SSSHHH..”

“BUDHEEEE.. AKU KELUAARRRR..” pekikku saat terasa penisku mulai berkedut dan ingin memuncratkan apa yang ada di dalam sana.

“SSSHHH.. UUHHH.. SAMA-SAMAAAAA..” ucap Budhe yang melepaskan gigitan bibirnya.

*PLOOOKK.. PLOOOKK.. PLOOOOKK.. PLLOOOOKK.. CRRROOOOTTTT.. CRRROOOTTT.. CRRROOTTTT..* aku menekan dalam-dalam penisku di dalam vagina Budhe yang juga menjepit dan meremas-remas penisku sembari menumpahkan cairan hangat. Aku juga menambaknya dengan spremaku yang entah menyembur berapa kali

Budhe ambruk di pelukanku sembari nafasnya terengah-engah. Aku mendekap tubuhnya dan ikut mengatur nafasku yang juga memburu. Kita sama-sama masih terdiam setelah pertempuran hebat ini, menikmati momen ini dengan sebaik-baiknya.

“Terima kasih, Le. Ini luar biasa buat Budhe.” Celetuk Budhe.

Budhe menatapku dengan tatapan sayunya. Aku tersenyum, seakan kini aku kembali pada diriku, bukan Panca lagi. Tadi apa yang aku lakukan entah sadar atau tidak sadar seperti mengambil ilmu yang secara tak langsung panca berikan.

“Maaf bibirmu berdarah gara-gara Budhe.” Ucap Budhe sembari kembali menyosor dan menyedot bibir berdarahku yang baru terasa perih.

“Budhe, aku boleh tanya?” ucapku saat Budhe melepaskan kecupan bibirnya.

Budhe mengangguk di dadaku, “kenapa tadi Budhe bilang kalo aku yang ngehamilin Bulek Rum? Emang Bulek cerita?” selidikku.

Budhe menghela napas, “aku dan Rum itu kan punya masalah yang sama. Aku bahkan tiap hari berusaha buat dapet momongan dengan terus berhubungan sama Pakdhemu, tapi pada akhirnya semuanya sia-sia, begitu juga sama Rum, apalagi sekarang suaminya lagi dinas di luar. Kebetulan kok kemarin Rum cerita kalau dia hamil dan aku nemu surat itu. akhirnya Rum ngaku kalo dia hamil sama kamu, dia..” Budhe menghentikan kata-katanya sejenak.

“Kenapa, Dhe?” tanyaku lagi.

“Dia ngirim rekaman persetubuhan kalian. Rekaman yang juga ia kirimkan ke suaminya supaya Budhe percaya kalau dia tidak main dengan orang lain.” Jawabnya.

“Rekaman? Boleh aku lihat, dhe?” tanyaku.

Budhe kemudian beranjak dari posisi menindihku dan membuat penisku terlepas dari vaginanya yang langsung disambut dengan lelehan cairan yang keluar dari lubang senggamanya itu. ia berjalan menuju ke kamarnya mengambil hpnya. Beberapa saat kemudian ia kembali dan menunjukkan rekaman itu.

Aku terkejut ketika melihat rekaman itu. bagaimana bisa? Kenapa aku yang tiba-tiba terlihat di kamera sedang menindih Bulek Rum dengan Bulek Rum yang mendesah di bawah. Bahkan beberapa kali wajahku terlihat jelas di sana. Bukankah selama ini yang menggauli Bulek Rum adalah Panca. Terus kenapa tiba-tiba aku yang di sana.

Aku langsung bangkit dari posisi dudukku dan mengenakkan pakaianku. “Dhe, aku pergi sebentar.” Pamitku kepada Budhe.

Budhe terkejut dengan apa yang aku lakukan, ia juga merasakan ada yang tidak beres, “Mau kemana to, Le?” tanya Budhe.

“Ada urusan bentar, Dhe.” Jawabku.

Segera aku melangkahkan kaki ke rumahku dan mencari panca. Aku langsung masuk ke dalam rumah dan meneriaki nama panca, tapi tak ada jawaban. Aku dIbuat pusing sendiri dengan manusia aneh itu, eh.. dia benar manusia atau bukan?

Hingga aku pusing sendiri dan memutuskan duduk di kursi ruang tamuku. Pikiranku benar-benar tak bisa mencerna dengan kejadian yang menimpaku ini. Aku memandangi langit-langit rumahku dengan tatapan kosong, mencari arti siapa panca sebenarnya. Hingga tiba-tiba entah dari mana datangnya ia muncul di hadapanku.

“Kenapa?” Ucapnya yang duduk bersebrangan denganku.

Aku terkejut dengan kehadirannya, “Panca.. sekarang tolong jelasin semua yang terjadi semenjak aku ketemu kamu dan.. siapa kamu sebenarnya?”

Ia tertawa, “harusnya dari kemarin kamu udah tau siapa aku sebenarnya.”

Aku mengernyitkan dahi, “Apa maksudmu? Jangan bilang kamu iblis!”

Ia kembali tertawa, “tentu bukan, kamu ini benar-benar bodoh atau gimana.”

“Aku adalah bentuk dari kebebasan dalam ucapanmu.” Lanjutnya.

“Nggak. Aku tak percaya dengan dirimu.”

Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Panca. Aku mengambil sandalku dan aku lemparkan ke dia dengan keras. Tapi benar, dia tak merasa kesakitan dan malah tertawa sembari berucap, “dasar bodoh!”

Aku lantas pergi keluar, ke rumah Bulek. Aku mengetuk pintunya beberapa kali, namun tak ada jawaban darinya. Aku sempat mengirimkan pesan singkat, namun tak ada balasan darinya. Di tengah keputus asaan itu, aku kembali ke rumah Budhe.

*Tookkk.. Tokkk.. Toookkkk..* aku mengetuk pintu depan rumah Budhe.

Tak berselang lama kemudian, Budhe membukakan pintu untukku, “masuk, Le.” Ucapnya.

Tanpa aku sadari, ternyata Bulek berada di sini. Aku melihatnya duduk di depan tv saat aku dan Budhe berjalan masuk. Ia menatapku, aku menatapnya. Mata kita bertemu untuk beberapa saat sebelum ia memalingkan wajahnya.

“Rum udah cerita semuanya ke Budhe.” Ucap Budhe saat aku dan Budhe ikut duduk di karpet bersama Bulek.

“Kenapa kamu tiba-tiba berubah sikap ke Bulekmu to, Le? Dia itu Bulekmu lo, pas udah dapet enaknya kok sikapmu tiba-tiba berubah. Sakit hati to Bulekmu.” Lanjut Budhe.

Aku menunduk, “Dhe, Bulek. Terserah kalian mau percaya atau enggak. Aku dari awal itu ngira kalau Bulek itu berhubungan sama Panca, bukan sama aku. Makanya aku ngerasa selama ini aku sama Bulek ya biasa-biasa aja. Aku minta maaf kalo ternyata aku salah.”

Mereka terkejut mendengar ucapanku, “Panca?” tanya Budhe.

Aku pun menjelaskan kepada mereka tentang sosok Panca ini, dari awal kemunculannya hingga bagaimana ia bisa menaklukkan Bulek. Mereka seakan tak percaya tentang ceritaku tersebut, tapi aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku tak mengarang cerita.

“Itu juga yang membuatmu berani menggoda Bulek?” tanya Bulek yang akhirnya angkat bicara.

Aku mengangguk, “Bulek sama Budhe pasti paham betul sifatku gimana, kan?” jawabku.

Akhirnya masalah ini clear dan kami bisa kembali ngobrol tanpa ada yang mengganjal lagi. Bulek seakan melupakan semua amarahnya kepadaku dan mulai biasa kembali. Kami kembali mulai cair dengan candaan-candaan ringan kami.

“Budhe, mau staycation gak?” tanyaku.

“Apa itu?” tanyanya.

“LIburan, tapi di hotel doang.” Jawabku.

Bude mengernyitkan dahinya, “terus ngapain kalau lIburan tapi di hotel doang.”

“Yaampun, mbak. Pake nanya lagi, udah pasti lah..” seru Bulek.

Budhe tersipu, “ini Panca apa Sena yang ngajak?” jawabnya.


TAMAT


cerita sex yes.. ahhh.. fuck my pussy... oh.. good dick.. Big cock... Yes cum inside my pussy.. lick my nipples... my tits are tingling.. drink milk in my breast.. enjoying my milk nipples... play with my big tits.. fuck my vagina until I get pregnant.. play "Adult sex games" with me.. satisfy your cock in my wet vagina..
Klik Nomor untuk lanjutannya
x
x