"non Riri!, ayo non, nanti telat!", teriak Malih dari luar rumah.
"iya, Pak. bentar!!". Tak lama kemudian, Riri keluar dari dalam rumah dengan menggigit roti di mulutnya.
"mm mm", ucap Riri tak jelas karena terhalang roti.
"apa, non?".
"ayo, Pak".
Riri masuk ke dalam mobil setelah menghabiskan rotinya. Dasar Riri, tak pernah berubah sifatnya yang bodo amat.
Kuliahnya mulai jam setengah 9, tapi dia baru berangkat jam 8 lewat 15 menit. Padahal Malih sudah sering memarahinya supaya jadi orang yang tepat waktu. Riri pun biasanya hanya tersenyum dan memeletkan lidah kalau sedang diomeli Malih.
Tapi, Riri senang kalau diomeli Malih. Dia merasa mendapat perhatian seorang ayah dari nasihat-nasihat Malih, perhatian yang sudah sangat jarang didapatkan Riri dari ayah kandungnya yang lebih memilih tinggal bersama ibu tirinya di luar negeri.
Sebagai seorang anak yang bisa dibilang kurang kasih sayang, tentu Riri selalu mencari gara-gara dengan Malih. Entah itu bangun siang, berangkat ke kampus telat, berpakaian asal-asalan, dan lainnya.
Malih tahu betul kalau majikannya itu selalu mencari perhatiannya. Dia tidak pernah marah ke Riri, paling hanya sekedar menjewer saja, itu pun cuma untuk bercanda saja.
2 orang yang sama-sama kesepian seperti Riri & Malih menimbulkan hubungan yang kompleks. Tidak pernah lagi Riri merasa Malih adalah supirnya, begitu juga sebaliknya.
Riri menganggap Malih sebagai figur ayah & juga kakak yang suka mengayominya. Malih sendiri menganggap Riri seperti anak & juga adiknya yang harus selalu diperhatikan dan dinasehati.
Tapi ketika sudah bermesraan, Malih & Riri tak ubahnya seperti Romeo & Juliet. Mereka bercumbu, bermesraan, berhubungan intim dengan begitu bergairah & bergelora.
Perbedaan umur mereka yang terpaut lebih dari 30 tahun sama sekali tak berarti bagi mereka ketika bercinta. Malih begitu mengagumi tubuh Riri, gadis muda nan cantik.
Sementara bagi Riri, dari percintaannya dengan Malih, dia bisa merasakan kenyamanan & kehangatan, dan yang paling penting, dia mendapatkan kasih sayang dan tak merasa kesepian lagi.
Di dalam mobil, Riri bermanja-manjaan dengan Malih. Dia kadang menggelayut di leher Malih, kadang hanya menyenderkan kepalanya ke bahu Malih sambil chatting dengan hpnya.
Kalau sedang berhenti di lampu merah, biasanya Malih iseng menggelitiki Riri sampai gadis cantik itu ngomel tapi dengan nada yang manja.
Malih tahu betul, di titik mana Riri bisa merasa sangat geli. Tidak sulit bagi Malih yang sudah 'menjelajah' tubuh Riri berkali-kali.
"hihihihi..udaah aah, Pak. udaah. ampuuun. Paaakhh", Riri cekikikan sambil mengeluh manja.
"hayo. siapa suruh non Riri bandel kalau di bilangin..", ucap Malih sambil terus mengkelitiki Riri.
"iyaa, Pak. hihihihi. ampuuun".
Mungkin kalau teman Riri selain Lina, Moniq, dan Intan melihatnya sekarang tidak akan percaya.
Di kampus Riri kelihatan masa bodoh, dan jarang tersenyum apalagi tertawa. Dia cenderung judes & dingin, terutama ke teman-temannya yang pria.
Tapi, lihat Riri bersama Malih sekarang, dia kelihatan begitu periang dan manja.
"ampun nggak?".
"iya, Pak. ampuun. niih Riri bales!!".
Riri pun mencubit perut Malih sambil mencibirkan mulutnya seperti orang yang sedang merungut. Tapi, setelah itu, Riri malah mendekatkan bibirnya ke bibir Malih dan mereka pun bercumbu.
"emmm mmm ccpphhh..".
Mereka berdua saling bertatapan. Tiba-tiba Riri menyudahi ciumannya.
"lampu ijo tuh, Pak".
"oh iya..".
Begitulah cara mereka bercanda mesra setiap harinya. Keduanya sudah benar-benar merasa klop & nyaman satu sama lain. Tak lama, sampai juga di kampus Riri.
"Riri kuliah dulu ya, Pak..". Riri cipika cipiki Malih lalu mengecup bibir supirnya itu.
"iya, non. belajar yang bener ya. jangan godain dosen..", celetuk Malih.
"Riri nggak godain kok. malah digodain dosen..", canda Riri.
Malih segera keluar areal kampus usai memastikan kekasihnya berjalan masuk ke dalam gedung kampusnya. Malih pulang ke rumah, Mbok Ratih sedang menyapu teras.
"Mbok. lagi nyapu?".
"iya, Lih. abis nganter non Riri?".
"iya, biasa non Riri kesiangan".
"non Riri mah emang susah banget kalau bangun pagi dari dulu. gimana kalau punya suami nanti?".
"iya, Mbok. bingung juga gimana bilang ke non Riri".
"iya, susah dibilanginnya".
"yaudah, Mbok. saya mau istirahat dulu".
"iya, Lih..".
Malih masuk ke dalam. Sebenarnya Mbok Ratih sudah tahu hubungan Riri dengan Malih yang bukan hanya sekedar majikan & supir melainkan sepasang kekasih.
Mbok Ratih pernah tak sengaja melihat lewat jendela kamar, Riri sedang duduk di pangkuan Malih tanpa mengenakan apapun dan pria tua itu sedang asik menyusu padanya.
Mbok Ratih benar-benar bingung kenapa majikannya yang cantik & masih muda itu mau berhubungan badan dengan lelaki tua seperti Malih. Malah Riri kelihatan melayani nafsu Malih dengan sama bergairahnya.
Mbok Ratih tak mau ikut campur. Percuma saja kan?. Dia hanya pembantu, bukan siapa-siapanya Riri.
Salah-salah, dia malah bisa dipecat Riri, pikir Mbok Ratih. Jadi, dia tak bicara apa-apa meski pertanyaan besar di hatinya itu tak pernah terjawab sampai sekarang.
Malih tidur-tiduran di ranjang empuk. Ranjang yang jadi 'medan pertempuran'nya bersama Riri hampir setiap malam.
Sambil terlentang, dia memandangi langit-langit kamar sebelum memandang ke arah foto yang ada di meja sebelah tempat tidur. Fotonya bersama Riri yang kelihatan mesra sekali.
Di foto itu, Malih sedang menyosor Riri sementara Riri mengambil foto selfie. Malih memandangi foto itu sambil tiduran. Kehidupannya yang sekarang benar-benar seperti mimpi.
Dulu, untuk sekali makan dengan tahu tempe saja susah sekali. Sekarang, dia bisa makan 3x sehari, lauknya bisa ayam, daging, atau telur.
Makanan seperti pizza, pasta, spagheti, steak, burger, dan lain-lain sekarang sering masuk ke dalam tenggorokan Malih. Makanan yang bahkan tak pernah dikenalnya karena tak pernah mencicipinya satu kali pun.
Tapi, yang paling drastis tentu asmaranya. Sama sekali tak pernah ia bayangkan kalau akan mempunyai kekasih yang masih muda dan begitu cantik.
"iya, Pak. bentar!!". Tak lama kemudian, Riri keluar dari dalam rumah dengan menggigit roti di mulutnya.
"mm mm", ucap Riri tak jelas karena terhalang roti.
"apa, non?".
"ayo, Pak".
Riri masuk ke dalam mobil setelah menghabiskan rotinya. Dasar Riri, tak pernah berubah sifatnya yang bodo amat.
Kuliahnya mulai jam setengah 9, tapi dia baru berangkat jam 8 lewat 15 menit. Padahal Malih sudah sering memarahinya supaya jadi orang yang tepat waktu. Riri pun biasanya hanya tersenyum dan memeletkan lidah kalau sedang diomeli Malih.
Tapi, Riri senang kalau diomeli Malih. Dia merasa mendapat perhatian seorang ayah dari nasihat-nasihat Malih, perhatian yang sudah sangat jarang didapatkan Riri dari ayah kandungnya yang lebih memilih tinggal bersama ibu tirinya di luar negeri.
Sebagai seorang anak yang bisa dibilang kurang kasih sayang, tentu Riri selalu mencari gara-gara dengan Malih. Entah itu bangun siang, berangkat ke kampus telat, berpakaian asal-asalan, dan lainnya.
Malih tahu betul kalau majikannya itu selalu mencari perhatiannya. Dia tidak pernah marah ke Riri, paling hanya sekedar menjewer saja, itu pun cuma untuk bercanda saja.
2 orang yang sama-sama kesepian seperti Riri & Malih menimbulkan hubungan yang kompleks. Tidak pernah lagi Riri merasa Malih adalah supirnya, begitu juga sebaliknya.
Riri menganggap Malih sebagai figur ayah & juga kakak yang suka mengayominya. Malih sendiri menganggap Riri seperti anak & juga adiknya yang harus selalu diperhatikan dan dinasehati.
Tapi ketika sudah bermesraan, Malih & Riri tak ubahnya seperti Romeo & Juliet. Mereka bercumbu, bermesraan, berhubungan intim dengan begitu bergairah & bergelora.
Perbedaan umur mereka yang terpaut lebih dari 30 tahun sama sekali tak berarti bagi mereka ketika bercinta. Malih begitu mengagumi tubuh Riri, gadis muda nan cantik.
Sementara bagi Riri, dari percintaannya dengan Malih, dia bisa merasakan kenyamanan & kehangatan, dan yang paling penting, dia mendapatkan kasih sayang dan tak merasa kesepian lagi.
Di dalam mobil, Riri bermanja-manjaan dengan Malih. Dia kadang menggelayut di leher Malih, kadang hanya menyenderkan kepalanya ke bahu Malih sambil chatting dengan hpnya.
Kalau sedang berhenti di lampu merah, biasanya Malih iseng menggelitiki Riri sampai gadis cantik itu ngomel tapi dengan nada yang manja.
Malih tahu betul, di titik mana Riri bisa merasa sangat geli. Tidak sulit bagi Malih yang sudah 'menjelajah' tubuh Riri berkali-kali.
"hihihihi..udaah aah, Pak. udaah. ampuuun. Paaakhh", Riri cekikikan sambil mengeluh manja.
"hayo. siapa suruh non Riri bandel kalau di bilangin..", ucap Malih sambil terus mengkelitiki Riri.
"iyaa, Pak. hihihihi. ampuuun".
Mungkin kalau teman Riri selain Lina, Moniq, dan Intan melihatnya sekarang tidak akan percaya.
Di kampus Riri kelihatan masa bodoh, dan jarang tersenyum apalagi tertawa. Dia cenderung judes & dingin, terutama ke teman-temannya yang pria.
Tapi, lihat Riri bersama Malih sekarang, dia kelihatan begitu periang dan manja.
"ampun nggak?".
"iya, Pak. ampuun. niih Riri bales!!".
Riri pun mencubit perut Malih sambil mencibirkan mulutnya seperti orang yang sedang merungut. Tapi, setelah itu, Riri malah mendekatkan bibirnya ke bibir Malih dan mereka pun bercumbu.
"emmm mmm ccpphhh..".
Mereka berdua saling bertatapan. Tiba-tiba Riri menyudahi ciumannya.
"lampu ijo tuh, Pak".
"oh iya..".
Begitulah cara mereka bercanda mesra setiap harinya. Keduanya sudah benar-benar merasa klop & nyaman satu sama lain. Tak lama, sampai juga di kampus Riri.
"Riri kuliah dulu ya, Pak..". Riri cipika cipiki Malih lalu mengecup bibir supirnya itu.
"iya, non. belajar yang bener ya. jangan godain dosen..", celetuk Malih.
"Riri nggak godain kok. malah digodain dosen..", canda Riri.
Malih segera keluar areal kampus usai memastikan kekasihnya berjalan masuk ke dalam gedung kampusnya. Malih pulang ke rumah, Mbok Ratih sedang menyapu teras.
"Mbok. lagi nyapu?".
"iya, Lih. abis nganter non Riri?".
"iya, biasa non Riri kesiangan".
"non Riri mah emang susah banget kalau bangun pagi dari dulu. gimana kalau punya suami nanti?".
"iya, Mbok. bingung juga gimana bilang ke non Riri".
"iya, susah dibilanginnya".
"yaudah, Mbok. saya mau istirahat dulu".
"iya, Lih..".
Malih masuk ke dalam. Sebenarnya Mbok Ratih sudah tahu hubungan Riri dengan Malih yang bukan hanya sekedar majikan & supir melainkan sepasang kekasih.
Mbok Ratih pernah tak sengaja melihat lewat jendela kamar, Riri sedang duduk di pangkuan Malih tanpa mengenakan apapun dan pria tua itu sedang asik menyusu padanya.
Mbok Ratih benar-benar bingung kenapa majikannya yang cantik & masih muda itu mau berhubungan badan dengan lelaki tua seperti Malih. Malah Riri kelihatan melayani nafsu Malih dengan sama bergairahnya.
Mbok Ratih tak mau ikut campur. Percuma saja kan?. Dia hanya pembantu, bukan siapa-siapanya Riri.
Salah-salah, dia malah bisa dipecat Riri, pikir Mbok Ratih. Jadi, dia tak bicara apa-apa meski pertanyaan besar di hatinya itu tak pernah terjawab sampai sekarang.
Malih tidur-tiduran di ranjang empuk. Ranjang yang jadi 'medan pertempuran'nya bersama Riri hampir setiap malam.
Sambil terlentang, dia memandangi langit-langit kamar sebelum memandang ke arah foto yang ada di meja sebelah tempat tidur. Fotonya bersama Riri yang kelihatan mesra sekali.
Di foto itu, Malih sedang menyosor Riri sementara Riri mengambil foto selfie. Malih memandangi foto itu sambil tiduran. Kehidupannya yang sekarang benar-benar seperti mimpi.
Dulu, untuk sekali makan dengan tahu tempe saja susah sekali. Sekarang, dia bisa makan 3x sehari, lauknya bisa ayam, daging, atau telur.
Makanan seperti pizza, pasta, spagheti, steak, burger, dan lain-lain sekarang sering masuk ke dalam tenggorokan Malih. Makanan yang bahkan tak pernah dikenalnya karena tak pernah mencicipinya satu kali pun.
Tapi, yang paling drastis tentu asmaranya. Sama sekali tak pernah ia bayangkan kalau akan mempunyai kekasih yang masih muda dan begitu cantik.
Sepeninggal istrinya tentu Malih pasrah dengan hidupnya yang sendiri sampai ia meninggal juga.
Tapi, tak disangka, nasib berkata lain, ia dipertemukan dengan Riri. Well, pertama kali saat diajak Riri makan bubur waktu itu, Malih merasa aneh & janggal.
Dia terbiasa dianggap hina dan dipandang menjijikkan oleh sebagian besar orang, terkecuali yang satu profesi dengannya.
Tapi kenapa tiba-tiba, ada wanita muda yang cantik mengajaknya mengobrol dan bahkan mentraktir makan?.
Dan semenjak kejadian itu, hidupnya pun berubah 180 derajat, baik jasmani & rohani. Tak hanya kebutuhannya akan sandang, pangan, dan papan yang terpenuhi, kebutuhan jiwanya sebagai laki-laki pun terpenuhi.
Meski umurnya memang sudah tua, tak urung membuat nafsu Malih akan tubuh seorang wanita menjadi hilang. Untung sekali memang si Malih.
Kini, dia bisa melampiaskan nafsunya ke seorang bidadari cantik yaitu Riri. Malih bisa mencumbu, meniduri, dan menggumuli Riri kapanpun yang ia mau karena dara belia itu dengan senang hati melayani nafsunya.
Hubungannya dengan Riri benar-benar impian bagi semua laki-laki. Tak hanya berlandaskan nafsu semata, tapi juga melibatkan cinta sehingga tak ada rasa bosan bagi mereka berdua untuk memadu kasih.
Riri selalu mencium Malih setiap hari, dara cantik itu begitu menyayangi Malih, dia tak mau kehilangan si pria tua yang sekarang menemani hari-harinya.
Kalau ada waktu luang, biasanya Riri bilang ke Mbok Ratih agar tak usah datang karena dia ingin menunjukkan ke Malih kalau dia juga bisa memasak & beres-beres layaknya seorang istri yang baik.
Selain itu, Riri juga memberikan variasi dalam bercinta agar mereka tidak bosan. Variasi berupa skenario dan cosplay.
Kadang, Riri berperan sebagai seorang istri yang mempunyai affair dengan pembantunya. Kadang Riri jadi wanita karir yang diperkosa tetangganya.
Kadang Riri jadi mahasiswi yang harus melayani sang dosen untuk mendapatkan nilai bagus.
Dan kadang Riri jadi suster yang harus memberikan 'perawatan' ekstra ke pasiennya agar cepat sembuh. Masih banyak skenario lainnya.
Riri suka sekali membuat naskah & adegan bercinta. Tentu pemeran pria utamanya adalah Malih.
Pastinya, Malih juga sangat senang bercumbu dengan Riri memakai skenario karena jadi lebih 'berbumbu'.
Untuk menunjang skenario, di lemari Riri, banyak kostum seperti seragam SMA, seragam suster, seragam pramugari, seragam pembantu, pokoknya segala kostum seksi yang biasanya hanya ada di film porno, semuanya ada di lemari Riri.
Selain itu, Riri juga mengkoleksi lingerie & kimono-kimono yang sexy & transparan. Biasa ia gunakan untuk menggoda nafsu Malih. Malih senyum-senyum sendiri, hidupnya yang sekarang benar-benar berwarna, semua karena Riri.
Bisa makan enak tiap hari, pakaian juga bagus, dan rumah sudah sangat nyaman, ditambah lagi bisa tidur bersama bidadari cantik tiap hari.
Tak terasa, Malih malah mengantuk dan tertidur. Tadi malam, Malih & Riri bercinta sampai jam 2 malam, tentu saja Riri tadi kesiangan & Malih juga masih mengantuk.
Semua karena mereka terlalu asik berhubungan badan.
"hooaamm..".
"kenapa lo, Ri?", tanya Dewi.
"masih ngantuk gue", gumam Riri seraya mengucek matanya.
"emang tadi malem ngapain lo? ngeronda? hahaha".
"enak aja lo, emangnya lo..".
Dalam hati, Riri merasa geli sendiri. Iya, ngeronda, dirondain sama Pak Malih, jawab Riri dalam hati.
"Ri, nonton yuk ntar sama gue, Ratna, n' Wulan..".
"ah, mm. ntar gue ada acara, Wi. sori ya..".
"acara apa?".
"adaa deeh. mau tau aja lo ah".
"pasti lo mau jalan ya sama cowok lo?".
"yee, none of your business, you know", ejek Riri.
"ah, nggak asik lo.. woo".
Tentu Riri tak bisa ikut, dia sudah ada janji. Dia ingin menonton film baru di bioskop bersama Malih.
"biarin aja, terserah gue kali".
Sementara itu, di tempat parkir, Malih tengah menunggu Riri pulang karena memang sudah sore hari.
"Pak, nunggu juga ya, Pak?", sapa seorang bapak berpakaian rapih.
"iya. Bapak nunggu juga?".
"iya, Pak. saya disuruh jemput anak majikan..".
"oh, sama, saya juga".
"lho? saya kira Bapak ini lagi jemput cucunya?".
"nggak, Pak. saya juga supir..".
"oh.. maaf, Pak. saya nggak enak kalau dipanggil bapak soalnya kan Bapak lebih tua. Panggil aja saya Budi, Pak..".
"oh, iya, nama saya Malih..".
"maaf nih, Pak. saya mau nanya, maaf kalau lancang..".
"oh iya nggak apa-apa. mau tanya apa?".
"apa mata Bapak masih kuat buat nyetir Pak?".
"oh masih, Dek Budi. Mata saya masih terang".
"kok bisa ya, Pak? saya aja, mata saya agak susah ngeliat kalo nyetir malem. rahasianya apa, Pak?".
"saya juga kurang tau. saya nggak pake apa-apa..".
"ooh. Apa Bapak sering olahraga?".
"mm.. lumayan sering seminggu 2 kali..".
Malih sempat geli sendiri. Kalau meranjang bersama Riri dihitung olahraga berarti kan dia berolahraga setiap hari.
"olahraga apa, Pak?".
"ya cuma jalan ngelilingin taman deket rumah majikan saya aja setiap pagi, Dek..".
"ah masa bisa pengaruh ke mata sih, Pak?".
"ya saya kurang tau juga, mungkin bisa karena kan mata jadi segar..".
"oh saya tau maksud, Bapak. hehehe..", celetuk Budi menyeringai kecil.
"Pak, ayo pulang..".
"eh non, udah selesai?".
"udah, Pak. anterin aku pulang ya, tapi nanti anterin aku ke tempat biasa..".
"iya, non. beres! ayo, non!", Budi membukakan pintu mobil.
"mari, Pak..", izin si gadis muda seraya tersenyum.
Alangkah manisnya senyuman gadis itu. Postur tubuhnya kecil, wajahnya cantik, gerakan & gaya bicaranya sungguh anggun nan elegan.
Pas sekali dengan penggambaran seorang bidadari atau putri raja yang sering ada di dalam dongeng. Nampak jelas kalau dia gadis baik-baik dan berasal dari keluarga yang kaya.
"oh, iya, silahkan non..".
"kok Bapak manggil saya non? nama saya Diana, Pak.. panggil aja Dian atau Di".
"saya Malih, no.. eh maaf, neng Diana".
Malih menyambut uluran tangan Diana. Sungguh kulit yang putih mulus sama seperti kulit Riri. Telapak tangannya juga sama dengan Riri, halus seperti sutra.
"mari, Pak Malih. saya pulang duluan..".
"iya, neng".
"mari, Pak..", izin Budi.
"iya, Dek Budi. hati-hati..". Malih memandangi mobil sedan mewah itu.
"hayyo! lagi ngeliatin apa?", tiba-tiba Riri muncul dari belakang dan mengejutkan Malih.
"aduh si non, untung Bapak nggak jantungan..", ujar Malih sambil mengelus dada.
"hehe.. abis Pak Malih bengong aja ngeliatin mobil itu. emang kenapa sih, Pak?".
"nggak itu tadi Bapak kenalan..".
"sama siapa? sama cewek yaa?!", tanya Riri langsung mencubit pinggang Malih.
"aduu duh! bukan, non bukan..", jawab Malih meringis kesakitan.
"itu tadi supir juga, non..".
"awas ya kalau Bapak macem-macem. Riri sentil itunya..", ancam Riri agak nakal.
"nggak kok, nona cantik..", jawab Malih yang kemudian mencubit kecil pipi halus kekasihnya itu.
"ih bisa aja Pak Malih ngerayunya..".
Lucu sekali kalau melihat mereka sedang berduaan. Riri yang terkenal tomboy dan cuek jadi begitu manja & feminim di dekat Malih.
Dia suka sekali bermanja-manja dengan Malih, supir tercintanya itu. Mereka berdua seperti anak ABG yang sedang kasmaran berat. Mereka tidak pernah saling marah satu sama lain.
Mungkin karena sudah terbiasa jadi orang yang dihina dan sendirian bertahun-tahun, Malih tak pernah memarahi Riri. Paling sering dia hanya menasihati saja.
Kalau nasihatnya dibantah Riri dengan nada tinggi itu berarti Riri sedang pra-menstruasi atau benar-benar lagi bad mood.
Biasanya kalau sudah begitu, Malih diam saja dan membiarkan Riri sendirian. Entah beberapa jam kemudian atau keesokan harinya, Riri langsung memeluk Malih dan meminta maaf.
Permintaan maaf Riri tentu make-up sex. Tapi, bukan hanya sekedar sex.
Untuk meminta maaf, Riri akan menjadikan Malih sebagai raja sehari. Dia akan memakai baju yang 'provokatif' selama meminta maaf.
Entah memakai kostum pelayan, suster, pramugari, dokter, guru, dan lainnya seperti yang ada di film porno atau bahkan dia tak mengenakan pakaian sama sekali. Selama seharian, Riri akan menjadi pelayan Malih.
Kalau Malih lapar atau haus, Riri akan mengambilkannya lalu menggunakan tubuhnya sebagai nampan untuk makanan dan mulutnya sebagai sedotan untuk minuman Malih.
Kalau Malih ingin buang air kecil, Riri dengan sigap mengambil botol untuk menampungnya lalu mengambil air dan membersihkan 'cacing' kesayangannya itu dengan telaten.
Kalau masalah BAB, Riri akan membawa Malih ke kamar mandi, menunggu di sebelahnya sampai selesai lalu membersihkan apa saja yang harus dibersihkan.
Untuk mandi, tentu Riri me-mandi kucing-kan Malih sebelum benar-benar memandikan dengan menggunakan tubuhnya untuk membersihkan badan Malih.
Dan pasti, untuk masalah tidur, Riri sangat sigap meninabobokan dan membuat supir tuanya itu nyaman dengan kehangatan dan keharuman tubuhnya sampai pagi.
Awalnya, Malih selalu bilang kalau itu tak perlu karena ia maklum dengan Riri yang memang masih muda.
Namun, Riri bersikeras, dia beralasan itu semua sebagai latihan kalau dia benar-benar jadi istrinya. Yah, Malih tak bisa apa-apa.
Riri memang berkemauan keras dan alasannya itu juga membuat Malih jadi senang. Akhirnya Malih membiarkannya, toh dia juga jadi enak karena dilayani Riri secara full seperti raja & selirnya.
“ayo, Pak. jadi kan kita nonton?".
"nonton apa sih, non?".
"ya nonton film baru. ayo, Pak".
"iya non, ayuk..". Mobil pun menuju bioskop favorit mereka.
"eh non, ngapain?". Malih kaget melihat Riri yang tiba-tiba membuka pakaiannya.
"ganti baju, Pak..".
"kenapa ganti baju di mobil? kan bisa nyari tempat buat ganti baju dulu".
Tapi, tak disangka, nasib berkata lain, ia dipertemukan dengan Riri. Well, pertama kali saat diajak Riri makan bubur waktu itu, Malih merasa aneh & janggal.
Dia terbiasa dianggap hina dan dipandang menjijikkan oleh sebagian besar orang, terkecuali yang satu profesi dengannya.
Tapi kenapa tiba-tiba, ada wanita muda yang cantik mengajaknya mengobrol dan bahkan mentraktir makan?.
Dan semenjak kejadian itu, hidupnya pun berubah 180 derajat, baik jasmani & rohani. Tak hanya kebutuhannya akan sandang, pangan, dan papan yang terpenuhi, kebutuhan jiwanya sebagai laki-laki pun terpenuhi.
Meski umurnya memang sudah tua, tak urung membuat nafsu Malih akan tubuh seorang wanita menjadi hilang. Untung sekali memang si Malih.
Kini, dia bisa melampiaskan nafsunya ke seorang bidadari cantik yaitu Riri. Malih bisa mencumbu, meniduri, dan menggumuli Riri kapanpun yang ia mau karena dara belia itu dengan senang hati melayani nafsunya.
Hubungannya dengan Riri benar-benar impian bagi semua laki-laki. Tak hanya berlandaskan nafsu semata, tapi juga melibatkan cinta sehingga tak ada rasa bosan bagi mereka berdua untuk memadu kasih.
Riri selalu mencium Malih setiap hari, dara cantik itu begitu menyayangi Malih, dia tak mau kehilangan si pria tua yang sekarang menemani hari-harinya.
Kalau ada waktu luang, biasanya Riri bilang ke Mbok Ratih agar tak usah datang karena dia ingin menunjukkan ke Malih kalau dia juga bisa memasak & beres-beres layaknya seorang istri yang baik.
Selain itu, Riri juga memberikan variasi dalam bercinta agar mereka tidak bosan. Variasi berupa skenario dan cosplay.
Kadang, Riri berperan sebagai seorang istri yang mempunyai affair dengan pembantunya. Kadang Riri jadi wanita karir yang diperkosa tetangganya.
Kadang Riri jadi mahasiswi yang harus melayani sang dosen untuk mendapatkan nilai bagus.
Dan kadang Riri jadi suster yang harus memberikan 'perawatan' ekstra ke pasiennya agar cepat sembuh. Masih banyak skenario lainnya.
Riri suka sekali membuat naskah & adegan bercinta. Tentu pemeran pria utamanya adalah Malih.
Pastinya, Malih juga sangat senang bercumbu dengan Riri memakai skenario karena jadi lebih 'berbumbu'.
Untuk menunjang skenario, di lemari Riri, banyak kostum seperti seragam SMA, seragam suster, seragam pramugari, seragam pembantu, pokoknya segala kostum seksi yang biasanya hanya ada di film porno, semuanya ada di lemari Riri.
Selain itu, Riri juga mengkoleksi lingerie & kimono-kimono yang sexy & transparan. Biasa ia gunakan untuk menggoda nafsu Malih. Malih senyum-senyum sendiri, hidupnya yang sekarang benar-benar berwarna, semua karena Riri.
Bisa makan enak tiap hari, pakaian juga bagus, dan rumah sudah sangat nyaman, ditambah lagi bisa tidur bersama bidadari cantik tiap hari.
Tak terasa, Malih malah mengantuk dan tertidur. Tadi malam, Malih & Riri bercinta sampai jam 2 malam, tentu saja Riri tadi kesiangan & Malih juga masih mengantuk.
Semua karena mereka terlalu asik berhubungan badan.
"hooaamm..".
"kenapa lo, Ri?", tanya Dewi.
"masih ngantuk gue", gumam Riri seraya mengucek matanya.
"emang tadi malem ngapain lo? ngeronda? hahaha".
"enak aja lo, emangnya lo..".
Dalam hati, Riri merasa geli sendiri. Iya, ngeronda, dirondain sama Pak Malih, jawab Riri dalam hati.
"Ri, nonton yuk ntar sama gue, Ratna, n' Wulan..".
"ah, mm. ntar gue ada acara, Wi. sori ya..".
"acara apa?".
"adaa deeh. mau tau aja lo ah".
"pasti lo mau jalan ya sama cowok lo?".
"yee, none of your business, you know", ejek Riri.
"ah, nggak asik lo.. woo".
Tentu Riri tak bisa ikut, dia sudah ada janji. Dia ingin menonton film baru di bioskop bersama Malih.
"biarin aja, terserah gue kali".
Sementara itu, di tempat parkir, Malih tengah menunggu Riri pulang karena memang sudah sore hari.
"Pak, nunggu juga ya, Pak?", sapa seorang bapak berpakaian rapih.
"iya. Bapak nunggu juga?".
"iya, Pak. saya disuruh jemput anak majikan..".
"oh, sama, saya juga".
"lho? saya kira Bapak ini lagi jemput cucunya?".
"nggak, Pak. saya juga supir..".
"oh.. maaf, Pak. saya nggak enak kalau dipanggil bapak soalnya kan Bapak lebih tua. Panggil aja saya Budi, Pak..".
"oh, iya, nama saya Malih..".
"maaf nih, Pak. saya mau nanya, maaf kalau lancang..".
"oh iya nggak apa-apa. mau tanya apa?".
"apa mata Bapak masih kuat buat nyetir Pak?".
"oh masih, Dek Budi. Mata saya masih terang".
"kok bisa ya, Pak? saya aja, mata saya agak susah ngeliat kalo nyetir malem. rahasianya apa, Pak?".
"saya juga kurang tau. saya nggak pake apa-apa..".
"ooh. Apa Bapak sering olahraga?".
"mm.. lumayan sering seminggu 2 kali..".
Malih sempat geli sendiri. Kalau meranjang bersama Riri dihitung olahraga berarti kan dia berolahraga setiap hari.
"olahraga apa, Pak?".
"ya cuma jalan ngelilingin taman deket rumah majikan saya aja setiap pagi, Dek..".
"ah masa bisa pengaruh ke mata sih, Pak?".
"ya saya kurang tau juga, mungkin bisa karena kan mata jadi segar..".
"oh saya tau maksud, Bapak. hehehe..", celetuk Budi menyeringai kecil.
"Pak, ayo pulang..".
"eh non, udah selesai?".
"udah, Pak. anterin aku pulang ya, tapi nanti anterin aku ke tempat biasa..".
"iya, non. beres! ayo, non!", Budi membukakan pintu mobil.
"mari, Pak..", izin si gadis muda seraya tersenyum.
Alangkah manisnya senyuman gadis itu. Postur tubuhnya kecil, wajahnya cantik, gerakan & gaya bicaranya sungguh anggun nan elegan.
Pas sekali dengan penggambaran seorang bidadari atau putri raja yang sering ada di dalam dongeng. Nampak jelas kalau dia gadis baik-baik dan berasal dari keluarga yang kaya.
"oh, iya, silahkan non..".
"kok Bapak manggil saya non? nama saya Diana, Pak.. panggil aja Dian atau Di".
"saya Malih, no.. eh maaf, neng Diana".
Malih menyambut uluran tangan Diana. Sungguh kulit yang putih mulus sama seperti kulit Riri. Telapak tangannya juga sama dengan Riri, halus seperti sutra.
"mari, Pak Malih. saya pulang duluan..".
"iya, neng".
"mari, Pak..", izin Budi.
"iya, Dek Budi. hati-hati..". Malih memandangi mobil sedan mewah itu.
"hayyo! lagi ngeliatin apa?", tiba-tiba Riri muncul dari belakang dan mengejutkan Malih.
"aduh si non, untung Bapak nggak jantungan..", ujar Malih sambil mengelus dada.
"hehe.. abis Pak Malih bengong aja ngeliatin mobil itu. emang kenapa sih, Pak?".
"nggak itu tadi Bapak kenalan..".
"sama siapa? sama cewek yaa?!", tanya Riri langsung mencubit pinggang Malih.
"aduu duh! bukan, non bukan..", jawab Malih meringis kesakitan.
"itu tadi supir juga, non..".
"awas ya kalau Bapak macem-macem. Riri sentil itunya..", ancam Riri agak nakal.
"nggak kok, nona cantik..", jawab Malih yang kemudian mencubit kecil pipi halus kekasihnya itu.
"ih bisa aja Pak Malih ngerayunya..".
Lucu sekali kalau melihat mereka sedang berduaan. Riri yang terkenal tomboy dan cuek jadi begitu manja & feminim di dekat Malih.
Dia suka sekali bermanja-manja dengan Malih, supir tercintanya itu. Mereka berdua seperti anak ABG yang sedang kasmaran berat. Mereka tidak pernah saling marah satu sama lain.
Mungkin karena sudah terbiasa jadi orang yang dihina dan sendirian bertahun-tahun, Malih tak pernah memarahi Riri. Paling sering dia hanya menasihati saja.
Kalau nasihatnya dibantah Riri dengan nada tinggi itu berarti Riri sedang pra-menstruasi atau benar-benar lagi bad mood.
Biasanya kalau sudah begitu, Malih diam saja dan membiarkan Riri sendirian. Entah beberapa jam kemudian atau keesokan harinya, Riri langsung memeluk Malih dan meminta maaf.
Permintaan maaf Riri tentu make-up sex. Tapi, bukan hanya sekedar sex.
Untuk meminta maaf, Riri akan menjadikan Malih sebagai raja sehari. Dia akan memakai baju yang 'provokatif' selama meminta maaf.
Entah memakai kostum pelayan, suster, pramugari, dokter, guru, dan lainnya seperti yang ada di film porno atau bahkan dia tak mengenakan pakaian sama sekali. Selama seharian, Riri akan menjadi pelayan Malih.
Kalau Malih lapar atau haus, Riri akan mengambilkannya lalu menggunakan tubuhnya sebagai nampan untuk makanan dan mulutnya sebagai sedotan untuk minuman Malih.
Kalau Malih ingin buang air kecil, Riri dengan sigap mengambil botol untuk menampungnya lalu mengambil air dan membersihkan 'cacing' kesayangannya itu dengan telaten.
Kalau masalah BAB, Riri akan membawa Malih ke kamar mandi, menunggu di sebelahnya sampai selesai lalu membersihkan apa saja yang harus dibersihkan.
Untuk mandi, tentu Riri me-mandi kucing-kan Malih sebelum benar-benar memandikan dengan menggunakan tubuhnya untuk membersihkan badan Malih.
Dan pasti, untuk masalah tidur, Riri sangat sigap meninabobokan dan membuat supir tuanya itu nyaman dengan kehangatan dan keharuman tubuhnya sampai pagi.
Awalnya, Malih selalu bilang kalau itu tak perlu karena ia maklum dengan Riri yang memang masih muda.
Namun, Riri bersikeras, dia beralasan itu semua sebagai latihan kalau dia benar-benar jadi istrinya. Yah, Malih tak bisa apa-apa.
Riri memang berkemauan keras dan alasannya itu juga membuat Malih jadi senang. Akhirnya Malih membiarkannya, toh dia juga jadi enak karena dilayani Riri secara full seperti raja & selirnya.
“ayo, Pak. jadi kan kita nonton?".
"nonton apa sih, non?".
"ya nonton film baru. ayo, Pak".
"iya non, ayuk..". Mobil pun menuju bioskop favorit mereka.
"eh non, ngapain?". Malih kaget melihat Riri yang tiba-tiba membuka pakaiannya.
"ganti baju, Pak..".
"kenapa ganti baju di mobil? kan bisa nyari tempat buat ganti baju dulu".
"ah kelamaan, Pak. ntar dapet filmnya yang malem".
"ya tapi kan ntar keliatan ama orang?".
"nggak lah, Pak. kan mobil Riri pake kaca film. palingan yang bisa ngeliat cuma Pak Malih".
"emang non Riri nggak malu?".
Malih khawatir pacarnya itu jadi ikut-ikutan ketiga teman dekatnya.
"kalau sama Pak Malih, Riri nggak malu lah kan Pak Malih udah ngeliat semuanya..", pungkas Riri tersenyum nakal.
"hehe.. ya tapi kan non..".
"tapi apa.. ?", goda Riri dengan suara sensual.
"bukannya Pak Malih suka kalau Riri nggak pake baju? hayoo ngaku?".
"ini buktinya nih.. ngaku aja Pak..", tambah Riri sambil menunjuk ke bekas cupangan Malih di permukaan payudara kanannya.
"terus? kalo Bapak emang suka kenapa?", Malih langsung menyergap dan mencumbui leher Riri karena gemas dengan mahasiswi penggodanya ini.
"hihihi.. udaaah, Paakhh.. gelii..", desah manja Riri yang kegelian diciumi Malih di lehernya.
"siapa suruh non Riri bikin Bapak gemes..".
Malih semakin beringas menciumi majikannya yang cantik itu. Tentu Riri sama sekali tak melawan, dia merasakan geli sensual. Lidah Malih menggelitik Riri secara sensual. Gairahnya semakin menghangat.
"mmhh.. udah Pak, geliihh..", desah Riri mulai menghangat.
Malih tak mengindahkannya, dia ingin menghukum nonanya yang manja itu. Habislah leher Riri diciumi Malih. Sang supir tua menurunkan bra yang dikenakan Riri dan langsung mencaplok kantung susu yang terbungkus di dalamnya.
Untungnya memang lampu merah yang menghadang mobil mereka cukup lama jadi Malih bisa berlama-lama mengempeng pada Riri. Kedua puting Riri dikenyot-kenyot Malih dan digilas dengan lidahnya.
"hmmm.. uuummm.. terus, Paakhh.. di situuh..", desah Riri erotis. Seketika, Riri langsung tertawa cekikikan lagi, kegelian, ketiaknya dijilati Malih.
"aahh udaah Paakkhh, jangan di situuhh.. ampuunnhh".
"apa, non? ampun?".
"nggak, siapa yang ngomong?", jawab Riri culas.
"oh okeh kalo gitu..".
"eehh.. iyaahh Pakkhh!! ampuunnhh!! hihihi! ampun ampuun!!", Riri langsung kewalahan menahan serbuan lidah Malih pada ketiaknya.
"nah gitu, baru Bapak ampunin. hehehe..". Riri cuma memeletkan lidahnya.
"itu, Pak. udah lampo ijo..".
"oh iyaa..".
"non nggak di lap dulu? kan ketek sama susu non basah?".
"nggak papa, Pak. basahnya gara-gara ilernya Bapak ini..", jawab Riri menunjukkan bahwa dia senang kalau tubuhnya basah karena liur Malih.
Dia menaikkan brassierenya lagi untuk menutupi kedua daging kembarnya yang merupakan favorit Malih.
Dia mengenakan pakaiannya yang lebih feminim, blue dress yang elegan. Semenjak pacaran dengan Malih, Riri jadi lebih suka membeli pakaian-pakaian yang feminim.
Dia ingin nampak cantik nan anggun di depan Malih kalau mau jalan berdua ke suatu tempat.
Malih memandangi Riri, sungguh cantik makhluk indah yang satu ini.
"non emang cantik banget", puji Malih yang begitu kagum dengan kecantikan majikannya.
"makasih, Pak..", jawab Riri tersenyum manis.
Riri pun melanjutkan dandannya, ia membedaki wajahnya tipis, membalurkan lipgloss merah muda ke bibir tipisnya.
Mereka berdua keluar ketika mobilnya sudah terparkir di tempat yang seharusnya.
"tok tok tok tok..", bunyi high heels yang dipakai Riri. Tentu agar selaras dengan pakaiannya.
Awalnya Riri tak bisa berjalan dengan high heels karena memang dia tak pernah menggunakan sepatu hak tinggi, tapi diam-diam dia belajar sendiri dan akhirnya bisa berjalan dengan high heels.
"ting!", pintu lift terbuka.
Ada 2 pasang muda-mudi yang agak sedikit kaget melihat seorang gadis muda yang begitu cantik dengan pakaiannya yang sangat bagus menggandeng seorang pria tua yang biasa-biasa.
"itu kakek enak banget, gandengan ama cewek cakep begitu".
"non denger nggak?".
"denger. terus kenapa emang?".
"non nggak apa-apa? diomongin begitu?".
"Bapak nggak apa-apa?".
"kalo Bapak sih nggak apa-apa. Bapak udah biasa dihina dulu..".
"yaudah klo gitu, Riri juga nggak apa-apa", jawab Riri dihiasi senyumannya yang menawan.
Mereka tak bisa mengobrol lebih lanjut karena ada orang yang masuk ke dalam lift. Di dalam hati kecil Malih, ada duri kecil yang menganggunya.
Untuknya, dia sudah kebal karena biasa dicaci maki, tapi Riri? Dia anak orang kaya, terpandang dan pasti biasa disanjung. Apakah ia sanggup mendengar semua gunjingan orang-orang karena kelihatan mesra dengannya?.
"yah, dapetnya yang jam 3.15 Pak"
"masih agak lama, sekarang baru jam 2".
"iya. yaudah kalo gitu, kita makan dulu yuk, Pak..".
"boleh..".
Mereka berkeliling di dalam mencari makanan. Mereka berdua jadi pusat perhatian karena Riri tak pernah melepas tangan Malih.
Mungkin ada yang berpikir kalau Malih adalah mantan pejabat yang kaya dan Riri adalah simpanannya.
Mungkin ada juga yang berpikir, Riri terkena pelet si pria lansia itu.
Tapi, mungkin saja ada yang berpikir Malih adalah kakek Riri sehingga tak heran kalau kelihatan begitu dekat.
"nah Bapak mau mesen apa? Riri lagi pengen steak nih..".
"gado-gado atau karedok aja gitu, non. nggak ada?".
"ada sih, cuma kalo di mal-mal mah mahalnya doang, bumbunya hambar udah gitu dikit lagi. jadi sekalian aja makan yang enak, Pak..", saran Riri.
"mm..apa dong, non?".
"yaudah, samain aja kayak Riri. steak juga. biar makin gemuk. hehehe".
"iya, deh, non. boleh..".
Kalau dilihat-lihat, badan Malih memang gemukan. Bagaimana tidak? Dia selalu makan enak sejak berhubungan dengan Riri.
"non, ini gimana makannya?".
"ih, si Bapak mah. kan udah Riri ajarin waktu itu. gini nih, tusuk dulu dagingnya, baru dipotong pake piso. Garpu di tangan kiri, piso di tangan kanan. gini, Pak. liatin yaa".
"nih, Pak.. aaaa". Malih mengunyah potongan daging dari suapan Riri.
"udah bisa kan?".
"okeh, non..".
Mereka pun menikmati waktu makan mereka. Tawa & senyum Riri tanda bahwa dia memang menikmati kebersamaannya dengan Malih.
Orang-orang di sekitar mereka kadang memperhatikan mereka. Cowok-cowok muda yang ada di situ iri sekali melihat seorang gadis muda yang begitu cantik menyuapi kakek tua dengan mesra dan kelihatan begitu manja & riang.
Anjrit, enak banget tuh kakek-kakek, coba gue, pikiran kebanyakan cowok di areal makan itu. Setelah makan & akhirnya menonton film, mereka pun pulang ke rumah yang sudah bersih dibereskan Mbok Ratih.
Malih beristirahat di depan tv yang ada di ruang tengah sementara Riri masuk kamar. Pria tua itu senyum-senyum sendiri mengingat hari ini hari yang manis bersama nonanya yang cantik.
Dia merasa jadi ABG lagi. Alangkah berubah hidupnya di umurnya yang sudah lanjut ini.
"Pak..", panggil Riri, suaranya begitu halus dan manja.
"iya, non?".
"temenin Riri mandi yuk", ajak Riri yang sudah mengenakan bathrobe. Malih langsung sumringah.
"ayo non!", jawab Malih semangat.
Mereka pun berlari kecil menuju kamar mandi bagai 2 orang anak-anak yang sedang main lari-larian. Di depan pintu kamar mandi, Riri melepaskan bathrobenya.
Tubuh elok nan mulus Riri jadi pemandangan yang begitu segar untuk mata Malih.
Tangan Malih langsung mencengkram bongkahan pantat Riri yang kencang & kenyal. Sang gadis muda pun membantu pejantan tuanya melepaskan pakaian.
Begitu selesai, Riri langsung menggandeng Malih masuk ke dalam kamar mandi. Mereka masuk ke dalam shower. Di bawah kucuran air hangat dari shower, mereka bercumbu begitu mesra & bergairah.
Sungguh intens dan keduanya sangat agresif, saling melumat bibir dan saling membelitkan lidah satu sama lain. Benar-benar seperti tak ada hari lain bagi mereka, bercumbu dengan begitu memburu.
Air liur mereka mungkin sudah menyatu bagai sungai kecil. Dengan tubuh sintal nan mulus itu dalam pelukannya, tentu tangan Malih langsung bergrilya menggerayanginya dengan leluasa, tanpa ada penolakan sedikit pun.
Akhirnya mereka pun bercinta di bawah pancuran air dengan gairah yang meletup-letup bagai sepasang ABG yang baru saja menemukan betapa asiknya saling menggesekkan organ intim satu sama lain.
"non, main belakang yaa?", tanya Malih dengan nafas yang agak terengah-engah.
Riri menengok ke belakang, dia menggigit bibir bawahnya dan mengangguk cepat. Wajah Riri benar-benar menggambarkan kalau dia memang ingin disodomi pejantan tuanya.
Tentu rectum atau liang anus Riri sangat bisa menerima penis Malih. Kemaluan dan anus Riri tentu sudah beradaptasi dengan bentuk kejantanan Malih, baik panjang maupun lebarnya.
Lihat betapa pasnya ketika tongkat Malih sudah terkubur sepenuhnya di dalam anus Riri. Tak mungkin kalau tak pas, sudah puluhan kali burung Malih bersangkar di dalam tubuh Riri.
Burung yang merupakan kebanggaan dan harga diri Malih serta burung kesayangan Riri. Tak terasa waktu cepat berlalu.
Mengintimi nonanya yang cantik ini memang membuatnya lupa waktu. Mereka berdua larut dalam kenikmatan tiada tara.
Hanya ada mereka berdua jadi tentu mereka tak perlu buru-buru dan bisa menikmati waktu intim nan sensual mereka selama & senikmat mungkin, tak akan ada yang mengganggu keasyikan mereka. Riri & Malih pun beristirahat dengan berendam berdua di bathtub.
Ya, Riri memang menambahkan bathtub di kamar mandinya sejak Malih pindah ke rumahnya karena menurut Riri, berendam berdua di bathtub adalah cara yang begitu romantis juga sensual di saat bersamaan.
Setidaknya cara itulah yang ia ingat ketika mandi bersama dengan kakek tirinya sewaktu masih SMP dulu.
"ya tapi kan ntar keliatan ama orang?".
"nggak lah, Pak. kan mobil Riri pake kaca film. palingan yang bisa ngeliat cuma Pak Malih".
"emang non Riri nggak malu?".
Malih khawatir pacarnya itu jadi ikut-ikutan ketiga teman dekatnya.
"kalau sama Pak Malih, Riri nggak malu lah kan Pak Malih udah ngeliat semuanya..", pungkas Riri tersenyum nakal.
"hehe.. ya tapi kan non..".
"tapi apa.. ?", goda Riri dengan suara sensual.
"bukannya Pak Malih suka kalau Riri nggak pake baju? hayoo ngaku?".
"ini buktinya nih.. ngaku aja Pak..", tambah Riri sambil menunjuk ke bekas cupangan Malih di permukaan payudara kanannya.
"terus? kalo Bapak emang suka kenapa?", Malih langsung menyergap dan mencumbui leher Riri karena gemas dengan mahasiswi penggodanya ini.
"hihihi.. udaaah, Paakhh.. gelii..", desah manja Riri yang kegelian diciumi Malih di lehernya.
"siapa suruh non Riri bikin Bapak gemes..".
Malih semakin beringas menciumi majikannya yang cantik itu. Tentu Riri sama sekali tak melawan, dia merasakan geli sensual. Lidah Malih menggelitik Riri secara sensual. Gairahnya semakin menghangat.
"mmhh.. udah Pak, geliihh..", desah Riri mulai menghangat.
Malih tak mengindahkannya, dia ingin menghukum nonanya yang manja itu. Habislah leher Riri diciumi Malih. Sang supir tua menurunkan bra yang dikenakan Riri dan langsung mencaplok kantung susu yang terbungkus di dalamnya.
Untungnya memang lampu merah yang menghadang mobil mereka cukup lama jadi Malih bisa berlama-lama mengempeng pada Riri. Kedua puting Riri dikenyot-kenyot Malih dan digilas dengan lidahnya.
"hmmm.. uuummm.. terus, Paakhh.. di situuh..", desah Riri erotis. Seketika, Riri langsung tertawa cekikikan lagi, kegelian, ketiaknya dijilati Malih.
"aahh udaah Paakkhh, jangan di situuhh.. ampuunnhh".
"apa, non? ampun?".
"nggak, siapa yang ngomong?", jawab Riri culas.
"oh okeh kalo gitu..".
"eehh.. iyaahh Pakkhh!! ampuunnhh!! hihihi! ampun ampuun!!", Riri langsung kewalahan menahan serbuan lidah Malih pada ketiaknya.
"nah gitu, baru Bapak ampunin. hehehe..". Riri cuma memeletkan lidahnya.
"itu, Pak. udah lampo ijo..".
"oh iyaa..".
"non nggak di lap dulu? kan ketek sama susu non basah?".
"nggak papa, Pak. basahnya gara-gara ilernya Bapak ini..", jawab Riri menunjukkan bahwa dia senang kalau tubuhnya basah karena liur Malih.
Dia menaikkan brassierenya lagi untuk menutupi kedua daging kembarnya yang merupakan favorit Malih.
Dia mengenakan pakaiannya yang lebih feminim, blue dress yang elegan. Semenjak pacaran dengan Malih, Riri jadi lebih suka membeli pakaian-pakaian yang feminim.
Dia ingin nampak cantik nan anggun di depan Malih kalau mau jalan berdua ke suatu tempat.
Malih memandangi Riri, sungguh cantik makhluk indah yang satu ini.
"non emang cantik banget", puji Malih yang begitu kagum dengan kecantikan majikannya.
"makasih, Pak..", jawab Riri tersenyum manis.
Riri pun melanjutkan dandannya, ia membedaki wajahnya tipis, membalurkan lipgloss merah muda ke bibir tipisnya.
Mereka berdua keluar ketika mobilnya sudah terparkir di tempat yang seharusnya.
"tok tok tok tok..", bunyi high heels yang dipakai Riri. Tentu agar selaras dengan pakaiannya.
Awalnya Riri tak bisa berjalan dengan high heels karena memang dia tak pernah menggunakan sepatu hak tinggi, tapi diam-diam dia belajar sendiri dan akhirnya bisa berjalan dengan high heels.
"ting!", pintu lift terbuka.
Ada 2 pasang muda-mudi yang agak sedikit kaget melihat seorang gadis muda yang begitu cantik dengan pakaiannya yang sangat bagus menggandeng seorang pria tua yang biasa-biasa.
"itu kakek enak banget, gandengan ama cewek cakep begitu".
"non denger nggak?".
"denger. terus kenapa emang?".
"non nggak apa-apa? diomongin begitu?".
"Bapak nggak apa-apa?".
"kalo Bapak sih nggak apa-apa. Bapak udah biasa dihina dulu..".
"yaudah klo gitu, Riri juga nggak apa-apa", jawab Riri dihiasi senyumannya yang menawan.
Mereka tak bisa mengobrol lebih lanjut karena ada orang yang masuk ke dalam lift. Di dalam hati kecil Malih, ada duri kecil yang menganggunya.
Untuknya, dia sudah kebal karena biasa dicaci maki, tapi Riri? Dia anak orang kaya, terpandang dan pasti biasa disanjung. Apakah ia sanggup mendengar semua gunjingan orang-orang karena kelihatan mesra dengannya?.
"yah, dapetnya yang jam 3.15 Pak"
"masih agak lama, sekarang baru jam 2".
"iya. yaudah kalo gitu, kita makan dulu yuk, Pak..".
"boleh..".
Mereka berkeliling di dalam mencari makanan. Mereka berdua jadi pusat perhatian karena Riri tak pernah melepas tangan Malih.
Mungkin ada yang berpikir kalau Malih adalah mantan pejabat yang kaya dan Riri adalah simpanannya.
Mungkin ada juga yang berpikir, Riri terkena pelet si pria lansia itu.
Tapi, mungkin saja ada yang berpikir Malih adalah kakek Riri sehingga tak heran kalau kelihatan begitu dekat.
"nah Bapak mau mesen apa? Riri lagi pengen steak nih..".
"gado-gado atau karedok aja gitu, non. nggak ada?".
"ada sih, cuma kalo di mal-mal mah mahalnya doang, bumbunya hambar udah gitu dikit lagi. jadi sekalian aja makan yang enak, Pak..", saran Riri.
"mm..apa dong, non?".
"yaudah, samain aja kayak Riri. steak juga. biar makin gemuk. hehehe".
"iya, deh, non. boleh..".
Kalau dilihat-lihat, badan Malih memang gemukan. Bagaimana tidak? Dia selalu makan enak sejak berhubungan dengan Riri.
"non, ini gimana makannya?".
"ih, si Bapak mah. kan udah Riri ajarin waktu itu. gini nih, tusuk dulu dagingnya, baru dipotong pake piso. Garpu di tangan kiri, piso di tangan kanan. gini, Pak. liatin yaa".
"nih, Pak.. aaaa". Malih mengunyah potongan daging dari suapan Riri.
"udah bisa kan?".
"okeh, non..".
Mereka pun menikmati waktu makan mereka. Tawa & senyum Riri tanda bahwa dia memang menikmati kebersamaannya dengan Malih.
Orang-orang di sekitar mereka kadang memperhatikan mereka. Cowok-cowok muda yang ada di situ iri sekali melihat seorang gadis muda yang begitu cantik menyuapi kakek tua dengan mesra dan kelihatan begitu manja & riang.
Anjrit, enak banget tuh kakek-kakek, coba gue, pikiran kebanyakan cowok di areal makan itu. Setelah makan & akhirnya menonton film, mereka pun pulang ke rumah yang sudah bersih dibereskan Mbok Ratih.
Malih beristirahat di depan tv yang ada di ruang tengah sementara Riri masuk kamar. Pria tua itu senyum-senyum sendiri mengingat hari ini hari yang manis bersama nonanya yang cantik.
Dia merasa jadi ABG lagi. Alangkah berubah hidupnya di umurnya yang sudah lanjut ini.
"Pak..", panggil Riri, suaranya begitu halus dan manja.
"iya, non?".
"temenin Riri mandi yuk", ajak Riri yang sudah mengenakan bathrobe. Malih langsung sumringah.
"ayo non!", jawab Malih semangat.
Mereka pun berlari kecil menuju kamar mandi bagai 2 orang anak-anak yang sedang main lari-larian. Di depan pintu kamar mandi, Riri melepaskan bathrobenya.
Tubuh elok nan mulus Riri jadi pemandangan yang begitu segar untuk mata Malih.
Tangan Malih langsung mencengkram bongkahan pantat Riri yang kencang & kenyal. Sang gadis muda pun membantu pejantan tuanya melepaskan pakaian.
Begitu selesai, Riri langsung menggandeng Malih masuk ke dalam kamar mandi. Mereka masuk ke dalam shower. Di bawah kucuran air hangat dari shower, mereka bercumbu begitu mesra & bergairah.
Sungguh intens dan keduanya sangat agresif, saling melumat bibir dan saling membelitkan lidah satu sama lain. Benar-benar seperti tak ada hari lain bagi mereka, bercumbu dengan begitu memburu.
Air liur mereka mungkin sudah menyatu bagai sungai kecil. Dengan tubuh sintal nan mulus itu dalam pelukannya, tentu tangan Malih langsung bergrilya menggerayanginya dengan leluasa, tanpa ada penolakan sedikit pun.
Akhirnya mereka pun bercinta di bawah pancuran air dengan gairah yang meletup-letup bagai sepasang ABG yang baru saja menemukan betapa asiknya saling menggesekkan organ intim satu sama lain.
"non, main belakang yaa?", tanya Malih dengan nafas yang agak terengah-engah.
Riri menengok ke belakang, dia menggigit bibir bawahnya dan mengangguk cepat. Wajah Riri benar-benar menggambarkan kalau dia memang ingin disodomi pejantan tuanya.
Tentu rectum atau liang anus Riri sangat bisa menerima penis Malih. Kemaluan dan anus Riri tentu sudah beradaptasi dengan bentuk kejantanan Malih, baik panjang maupun lebarnya.
Lihat betapa pasnya ketika tongkat Malih sudah terkubur sepenuhnya di dalam anus Riri. Tak mungkin kalau tak pas, sudah puluhan kali burung Malih bersangkar di dalam tubuh Riri.
Burung yang merupakan kebanggaan dan harga diri Malih serta burung kesayangan Riri. Tak terasa waktu cepat berlalu.
Mengintimi nonanya yang cantik ini memang membuatnya lupa waktu. Mereka berdua larut dalam kenikmatan tiada tara.
Hanya ada mereka berdua jadi tentu mereka tak perlu buru-buru dan bisa menikmati waktu intim nan sensual mereka selama & senikmat mungkin, tak akan ada yang mengganggu keasyikan mereka. Riri & Malih pun beristirahat dengan berendam berdua di bathtub.
Ya, Riri memang menambahkan bathtub di kamar mandinya sejak Malih pindah ke rumahnya karena menurut Riri, berendam berdua di bathtub adalah cara yang begitu romantis juga sensual di saat bersamaan.
Setidaknya cara itulah yang ia ingat ketika mandi bersama dengan kakek tirinya sewaktu masih SMP dulu.
Mereka beristirahat setelah 2 ronde bercinta di shower.
Dan 2 kali pula Malih berejakulasi di dalam rahim Riri karena nonanya itu yang sendiri menyuruh Malih untuk 'menanami' rahimnya dengan benih-benih cinta.
"anget Pak rasanya..", lirih Riri mengelus-elus perutnya.
"semoga kali ini berhasil ya, Pak..", harap Riri yang sudah lama menginginkan keturunan dari Malih.
"non..apa non Riri yakin?".
"yakin apa?".
"yakin punya anak dari Bapak?".
Tiba-tiba Riri berbalik badan dan memandang mata Malih, dia meletakkan jari telunjuknya di mulut Malih.
"udah Riri bilang, Riri yakin dan siap 100 persen untuk ngandung anak Bapak..".
"tapi kuliah non?".
"itu gampang, Pak. Riri bisa cuti dulu nanti..".
"tapi, sayang non. non kan semester akhir?".
"yaudah gini aja. kalo Riri hamil sebelum skripsi, Riri ambil cuti. kalo nggak, Riri selesain dulu skripsi, baru deh, kita bikin Malih junior..", jawab Riri agak nakal dan mengecup mesra bibir Malih.
"terima kasih, non..", ucap Malih, matanya terlihat berkaca-kaca.
"terima kasih buat apa, Pak?".
"udah buat hidup Bapak jadi berubah..".
"sama-sama, Pak. Terima kasih juga udah nemenin Riri setiap hari jadi Riri nggak kesepian..cupphh..", Riri mengecup mesra bibir Malih lagi.
Dia berbalik badan lagi, ingin menyenderkan punggungnya ke Malih.
"oh iya, Pak. Bapak pernah bilang kan sering bosen kalau Riri lagi kuliah?".
"iya, non. kalo non Riri kuliah, palingan Bapak nonton tv aja, ngobrolnya paling sama Mbok Ratih. kenapa emangnya, non?".
"gini, gimana kalo Riri modalin Bapak buka bengkel gitu? gimana, Pak?".
"tapi kan kalo gitu, nanti Bapak susah ketemu non Ririnya?".
"oh iya, Pak. bener juga yaa? terus gimana dong, Pak?".
"ya nggak gimana-gimana, non. Bapak bosennya kalo non Riri kuliah, kalo udah ketemu non Riri lagi kan ilang bosennya hehehe..", sanjung Malih.
"iyalah, soalnya Pak Malih bisa ngisengin Riri kayak gini kan?", sindir Riri tentang tangan Malih yang sudah menggenggam dan meremas-remas payudaranya.
"hehe.. tau aja non", Malih pun mengguncang-guncang payudara Riri seperti sedang mengocok minuman.
"demen banget Pak megang-megang toket Riri?".
"hehehe.. biarin kenapa non? Bapak kan nggak punya.. lagian toket non Riri empuk banget bikin gemes jadinya. hehehe. non Riri juga suka kan dipegang-pegang toketnya sama Bapak?", goda Malih seraya memencet-mencet kedua puting Riri.
"ahh Bapak, pake diomongin..", gerutu Riri manja.
"jadi boleh kan Bapak pegang-pegang?".
"he emh.. Bapak kan emang boleh megang badan Riri kapan aja.. hehehe..".
Sebuah pernyataan jelas dari mulut Riri kalau dia memberikan hak akses penuh tubuhnya kepada supirnya yang sudah uzur itu.
Malih semakin asik sendiri memainkan kedua susu calon istrinya yang masih belia itu. Sementara Riri tentu menikmati gerayangan tangan Malih.
"non, kalo Bapak pegang-pegang. kayaknya toket non Riri makin gede aja ya?".
"emang iya? kayaknya nggak deh, Pak?".
"iya, non. makin gede kok, kan Bapak merhatiin toketnya non tiap hari hehehe..".
"kalo emang makin gede. berarti kan gara-gara Bapak".
"kok gara-gara Bapak?".
"kan tiap hari Bapak maenin toket Riri. terus Bapak kan nggak bisa tidur kalo nggak sambil ngeremesin toket Riri. hayo, ngaku?!", tunjuk Riri ke wajah Malih setelah balik badan.
"hehe..iya, non. Bapak ngaku deh, tapi kan makin gede makin bagus non?".
"huh, dasar cowok sama aja. demen sama toket gede..", Riri mencubit perut Malih.
"nih rasaiin!". Riri membekap wajah Malih dengan kedua susunya.
Lalu Riri langsung keluar dari bathtub dan mengambil handuk.
"kejar Riri kalo bisa! weee!", ledek Riri dengan gaya meledek anak kecil.
"awas yaa!".
Malih keluar dari bathtub, mencabut penyumbat bathtub, dan mengeringkan badannya dulu sebelum keluar kamar mandi untuk menguber si gadis cantik.
"hei kamu! ayo sini kalo berani!", tantang Riri yang berdiri mengangkang di atas tempat tidur dengan jari telunjuknya.
"awas ya non!".
Malih & Riri pun bermain gulat ala 'smackdown' meski tidak sekasar acara itu. Begitulah salah satu cara mereka ketika foreplay, bercanda dulu sebelum mulai berhubungan badan agar lebih meningkatkan gairah mereka.
Malih tahu betul kalau gadisnya ini sedang dalam masa ovulasi atau masa subur. Biasanya hitungan masa subur Riri dimulai kira-kira 12 sampai 14 hari setelah hari pertama ia haid.
Setidaknya itu yang Malih tahu dari penjelasan istrinya yang telah mangkat. Malih tak usah menghitung kapan masa subur Riri. Dia tinggal melihat tingkah laku nonanya yang cantik itu.
Kalau dia kelihatan manja dan bertingkah nakal nan sensual, biasanya dia lagi 'kepengen' berat. Dan biasanya kalau sudah begitu, dia sengaja mondar-mandir di depan Malih dengan mengenakan gaun tidur atau lingerie yang 'provokatif', transparan atau sangat minim.
Setelah bermain gulat, Riri pun kelelahan, dan terlentang pasrah di kasur dengan handuk yang sedikit menutupi tubuhnya seperti sudah siap untuk diterkam Malih.
Pagi menjelang, mereka berdua masih tertidur seperti bayi. Lelah habis bersenggama 7 ronde secara total tadi malam.
Jutaan sel sperma Malih yang telah menggenang di rahim Riri semenjak tadi malam kini sudah mengering dan mengerak di 'terowongan' gadis cantik itu.
Entahlah, apakah ada sel sperma Malih yang berhasil menembus dan membuahi sel telur Riri atau tidak. Malih membuka mata duluan, dia hati-hati mengangkat tangan Riri yang sedang merangkulnya.
Dia menyelimuti tubuh Riri yang tak tertutup apapun kemudian keluar kamar setelah mengenakan kaos oblong dan sarungnya.
Kalau pagi hari, ia memang lebih suka mengenakan sarung untuk meng'adem'kan senjatanya karena sudah dipakai bertempur semalaman. Malih duduk di depan tv dengan kopi yang baru saja ia buat.
Sambil menyeruput kopi dan menonton tv, Malih berpikir. Dia kan memang sudah tua, mana mungkin bisa menghamili gadis muda seperti Riri?.
Sudah begitu, sebelum bertemu Riri, dia tidak pernah menggunakan 'pedang' tumpulnya itu untuk memuaskan seorang wanita. Pasti lah spermanya tidak subur lagi.
Padahal ia & Riri ingin sekali bisa mendapatkan buah hati mereka. Tapi, bagaimana mungkin?, Malih geleng-geleng kepala.
Tak lama kemudian, Riri keluar dari kamar. Dia tak mengenakan pakaian alias telanjang bulat.
"ih, Pak Malih nggak bangunin Riri", omel Riri.
"eh non Riri udah bangun? maaf non, abisnya non Riri pules banget tidurnya".
"hehehe..iya sih. maaf yaa, Pak. Bapak jadinya bikin kopi sendiri deh".
"ah nggak apa-apa, non".
"yaudah, Pak. Riri mau nyapu dulu aja deh..".
"pake baju dulu, non..".
"nggak ah, Pak. tanggung, ntar kotor. ntar aja abis mandi..".
"yee, si non bandel banget di bilangin..".
"biarin, kan cuma ada Bapak ini sekarang..", kilah Riri.
Tiba-tiba Riri berjongkok dan masuk ke dalam sarung Malih.
"eh non mau ngapain?".
"mainin burung Bapak.. hihihi", canda nakal Riri.
Malih hanya kaget saja, tentu dia tak akan menolak karena dia juga sering tiba-tiba seperti itu kalau Riri sedang mengenakan rok.
Dia mengelus-elus tonjolan di sarungnya yang merupakan kepala Riri. Kecupan-kecupan lembut diberikan sang dara cantik ke sekujur kemaluan Malih yang sudah setengah 'bangun'.
Setiap senti kantung zakarnya pun dikecup mesra oleh Riri sebelum mulai.
"mmmm..mmmm.. cccpphh", berulang-ulang Riri mengemut-emut biji kembar Malih.
Lidah Riri pun tak henti-hentinya membelai kantong 'telur' supir tuanya itu.
"oohh.. enaak noonnh..", badan Malih gemetar keenakan, matanya merem-melek karena Riri memang benar-benar lihai soal mengkaraoke penisnya.
Jejaka tua itu bisa meresapi sensasi basah nikmat dari lidah Riri yang terus melata di alat kelaminnya. Sungguh surga dunia bagi pria tua seperti Malih.
Pagi-pagi sudah di oral gadis muda nan cantik.
Malih tak dapat melihat apa yang dilakukan nonanya itu di dalam sarungnya, tapi yang pasti, rasanya sungguh nikmat. Pangkal pahanya dijilati, kantung zakarnya berasa dihisap-hisap, dan batangnya dikulum terus menerus.
Nikmatnya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, apalagi saat lubang pipisnya dicolok-colok oleh Riri dengan lidahnya. Riri menciumi, menjilati, dan mengemut-emut perkakas tua namun masih sakti itu.
Malih tak perlu bertanya langsung, dia tahu kalau bidadari bugil yang sedang ada di dalam sarungnya itu benar-benar suka & begitu menggandrungi kemaluannya. Terasa jelas dari kuluman dan jilatannya yang begitu telaten.
"oohh, enaak noonhh!!", erang Malih. Dia membuka sarungnya dan melongok ke bawah.
Ternyata, bidadarinya tengah meng'urut' batang penisnya dengan mulut yang mengatup rapat.
"cckk ckck cckk", bunyi dari mulut Riri yang naik turun di batang penis Malih yang sudah berlumuran air liur.
"uuuhh", desah Malih seraya bergetar karena merasa geli-geli ngilu tapi enak saat 'topi' bajanya diemut-emut dan dienyam oleh nona mudanya itu.
Si dara cantik bisa merasakan 'meriam' pejantan tuanya itu sudah berdenyut-denyut, pertanda akan meledak.
Langsung lah ia mempercepat kocokannya dan lidahnya terus membelai bagian 'kuncup' penis kekasihnya yang uzur.
"eegghh uugghh noonh! ooKKHH!!".
"crot! crot! crot!".
Malih mengatur nafasnya, agak ngilu karena Riri masih saja mengulum alat kelaminnya. Tak lama, Riri mengeluarkan kepalanya dari dalam sarung.
Nampak wajahnya berlumuran cairan putih yang kental. Senyum tersungging di wajah Riri setelah meratakan air mani Malih ke seluruh permukaan wajahnya.
Sudah biasa ia melakukan facial dengan sperma Malih, malah setiap hari.
Dia melakukan itu bukan untuk tujuan tertentu, Riri hanya suka wajahnya berlumuran lahar putih pasangannya.
Dan 2 kali pula Malih berejakulasi di dalam rahim Riri karena nonanya itu yang sendiri menyuruh Malih untuk 'menanami' rahimnya dengan benih-benih cinta.
"anget Pak rasanya..", lirih Riri mengelus-elus perutnya.
"semoga kali ini berhasil ya, Pak..", harap Riri yang sudah lama menginginkan keturunan dari Malih.
"non..apa non Riri yakin?".
"yakin apa?".
"yakin punya anak dari Bapak?".
Tiba-tiba Riri berbalik badan dan memandang mata Malih, dia meletakkan jari telunjuknya di mulut Malih.
"udah Riri bilang, Riri yakin dan siap 100 persen untuk ngandung anak Bapak..".
"tapi kuliah non?".
"itu gampang, Pak. Riri bisa cuti dulu nanti..".
"tapi, sayang non. non kan semester akhir?".
"yaudah gini aja. kalo Riri hamil sebelum skripsi, Riri ambil cuti. kalo nggak, Riri selesain dulu skripsi, baru deh, kita bikin Malih junior..", jawab Riri agak nakal dan mengecup mesra bibir Malih.
"terima kasih, non..", ucap Malih, matanya terlihat berkaca-kaca.
"terima kasih buat apa, Pak?".
"udah buat hidup Bapak jadi berubah..".
"sama-sama, Pak. Terima kasih juga udah nemenin Riri setiap hari jadi Riri nggak kesepian..cupphh..", Riri mengecup mesra bibir Malih lagi.
Dia berbalik badan lagi, ingin menyenderkan punggungnya ke Malih.
"oh iya, Pak. Bapak pernah bilang kan sering bosen kalau Riri lagi kuliah?".
"iya, non. kalo non Riri kuliah, palingan Bapak nonton tv aja, ngobrolnya paling sama Mbok Ratih. kenapa emangnya, non?".
"gini, gimana kalo Riri modalin Bapak buka bengkel gitu? gimana, Pak?".
"tapi kan kalo gitu, nanti Bapak susah ketemu non Ririnya?".
"oh iya, Pak. bener juga yaa? terus gimana dong, Pak?".
"ya nggak gimana-gimana, non. Bapak bosennya kalo non Riri kuliah, kalo udah ketemu non Riri lagi kan ilang bosennya hehehe..", sanjung Malih.
"iyalah, soalnya Pak Malih bisa ngisengin Riri kayak gini kan?", sindir Riri tentang tangan Malih yang sudah menggenggam dan meremas-remas payudaranya.
"hehe.. tau aja non", Malih pun mengguncang-guncang payudara Riri seperti sedang mengocok minuman.
"demen banget Pak megang-megang toket Riri?".
"hehehe.. biarin kenapa non? Bapak kan nggak punya.. lagian toket non Riri empuk banget bikin gemes jadinya. hehehe. non Riri juga suka kan dipegang-pegang toketnya sama Bapak?", goda Malih seraya memencet-mencet kedua puting Riri.
"ahh Bapak, pake diomongin..", gerutu Riri manja.
"jadi boleh kan Bapak pegang-pegang?".
"he emh.. Bapak kan emang boleh megang badan Riri kapan aja.. hehehe..".
Sebuah pernyataan jelas dari mulut Riri kalau dia memberikan hak akses penuh tubuhnya kepada supirnya yang sudah uzur itu.
Malih semakin asik sendiri memainkan kedua susu calon istrinya yang masih belia itu. Sementara Riri tentu menikmati gerayangan tangan Malih.
"non, kalo Bapak pegang-pegang. kayaknya toket non Riri makin gede aja ya?".
"emang iya? kayaknya nggak deh, Pak?".
"iya, non. makin gede kok, kan Bapak merhatiin toketnya non tiap hari hehehe..".
"kalo emang makin gede. berarti kan gara-gara Bapak".
"kok gara-gara Bapak?".
"kan tiap hari Bapak maenin toket Riri. terus Bapak kan nggak bisa tidur kalo nggak sambil ngeremesin toket Riri. hayo, ngaku?!", tunjuk Riri ke wajah Malih setelah balik badan.
"hehe..iya, non. Bapak ngaku deh, tapi kan makin gede makin bagus non?".
"huh, dasar cowok sama aja. demen sama toket gede..", Riri mencubit perut Malih.
"nih rasaiin!". Riri membekap wajah Malih dengan kedua susunya.
Lalu Riri langsung keluar dari bathtub dan mengambil handuk.
"kejar Riri kalo bisa! weee!", ledek Riri dengan gaya meledek anak kecil.
"awas yaa!".
Malih keluar dari bathtub, mencabut penyumbat bathtub, dan mengeringkan badannya dulu sebelum keluar kamar mandi untuk menguber si gadis cantik.
"hei kamu! ayo sini kalo berani!", tantang Riri yang berdiri mengangkang di atas tempat tidur dengan jari telunjuknya.
"awas ya non!".
Malih & Riri pun bermain gulat ala 'smackdown' meski tidak sekasar acara itu. Begitulah salah satu cara mereka ketika foreplay, bercanda dulu sebelum mulai berhubungan badan agar lebih meningkatkan gairah mereka.
Malih tahu betul kalau gadisnya ini sedang dalam masa ovulasi atau masa subur. Biasanya hitungan masa subur Riri dimulai kira-kira 12 sampai 14 hari setelah hari pertama ia haid.
Setidaknya itu yang Malih tahu dari penjelasan istrinya yang telah mangkat. Malih tak usah menghitung kapan masa subur Riri. Dia tinggal melihat tingkah laku nonanya yang cantik itu.
Kalau dia kelihatan manja dan bertingkah nakal nan sensual, biasanya dia lagi 'kepengen' berat. Dan biasanya kalau sudah begitu, dia sengaja mondar-mandir di depan Malih dengan mengenakan gaun tidur atau lingerie yang 'provokatif', transparan atau sangat minim.
Setelah bermain gulat, Riri pun kelelahan, dan terlentang pasrah di kasur dengan handuk yang sedikit menutupi tubuhnya seperti sudah siap untuk diterkam Malih.
Pagi menjelang, mereka berdua masih tertidur seperti bayi. Lelah habis bersenggama 7 ronde secara total tadi malam.
Jutaan sel sperma Malih yang telah menggenang di rahim Riri semenjak tadi malam kini sudah mengering dan mengerak di 'terowongan' gadis cantik itu.
Entahlah, apakah ada sel sperma Malih yang berhasil menembus dan membuahi sel telur Riri atau tidak. Malih membuka mata duluan, dia hati-hati mengangkat tangan Riri yang sedang merangkulnya.
Dia menyelimuti tubuh Riri yang tak tertutup apapun kemudian keluar kamar setelah mengenakan kaos oblong dan sarungnya.
Kalau pagi hari, ia memang lebih suka mengenakan sarung untuk meng'adem'kan senjatanya karena sudah dipakai bertempur semalaman. Malih duduk di depan tv dengan kopi yang baru saja ia buat.
Sambil menyeruput kopi dan menonton tv, Malih berpikir. Dia kan memang sudah tua, mana mungkin bisa menghamili gadis muda seperti Riri?.
Sudah begitu, sebelum bertemu Riri, dia tidak pernah menggunakan 'pedang' tumpulnya itu untuk memuaskan seorang wanita. Pasti lah spermanya tidak subur lagi.
Padahal ia & Riri ingin sekali bisa mendapatkan buah hati mereka. Tapi, bagaimana mungkin?, Malih geleng-geleng kepala.
Tak lama kemudian, Riri keluar dari kamar. Dia tak mengenakan pakaian alias telanjang bulat.
"ih, Pak Malih nggak bangunin Riri", omel Riri.
"eh non Riri udah bangun? maaf non, abisnya non Riri pules banget tidurnya".
"hehehe..iya sih. maaf yaa, Pak. Bapak jadinya bikin kopi sendiri deh".
"ah nggak apa-apa, non".
"yaudah, Pak. Riri mau nyapu dulu aja deh..".
"pake baju dulu, non..".
"nggak ah, Pak. tanggung, ntar kotor. ntar aja abis mandi..".
"yee, si non bandel banget di bilangin..".
"biarin, kan cuma ada Bapak ini sekarang..", kilah Riri.
Tiba-tiba Riri berjongkok dan masuk ke dalam sarung Malih.
"eh non mau ngapain?".
"mainin burung Bapak.. hihihi", canda nakal Riri.
Malih hanya kaget saja, tentu dia tak akan menolak karena dia juga sering tiba-tiba seperti itu kalau Riri sedang mengenakan rok.
Dia mengelus-elus tonjolan di sarungnya yang merupakan kepala Riri. Kecupan-kecupan lembut diberikan sang dara cantik ke sekujur kemaluan Malih yang sudah setengah 'bangun'.
Setiap senti kantung zakarnya pun dikecup mesra oleh Riri sebelum mulai.
"mmmm..mmmm.. cccpphh", berulang-ulang Riri mengemut-emut biji kembar Malih.
Lidah Riri pun tak henti-hentinya membelai kantong 'telur' supir tuanya itu.
"oohh.. enaak noonnh..", badan Malih gemetar keenakan, matanya merem-melek karena Riri memang benar-benar lihai soal mengkaraoke penisnya.
Jejaka tua itu bisa meresapi sensasi basah nikmat dari lidah Riri yang terus melata di alat kelaminnya. Sungguh surga dunia bagi pria tua seperti Malih.
Pagi-pagi sudah di oral gadis muda nan cantik.
Malih tak dapat melihat apa yang dilakukan nonanya itu di dalam sarungnya, tapi yang pasti, rasanya sungguh nikmat. Pangkal pahanya dijilati, kantung zakarnya berasa dihisap-hisap, dan batangnya dikulum terus menerus.
Nikmatnya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, apalagi saat lubang pipisnya dicolok-colok oleh Riri dengan lidahnya. Riri menciumi, menjilati, dan mengemut-emut perkakas tua namun masih sakti itu.
Malih tak perlu bertanya langsung, dia tahu kalau bidadari bugil yang sedang ada di dalam sarungnya itu benar-benar suka & begitu menggandrungi kemaluannya. Terasa jelas dari kuluman dan jilatannya yang begitu telaten.
"oohh, enaak noonhh!!", erang Malih. Dia membuka sarungnya dan melongok ke bawah.
Ternyata, bidadarinya tengah meng'urut' batang penisnya dengan mulut yang mengatup rapat.
"cckk ckck cckk", bunyi dari mulut Riri yang naik turun di batang penis Malih yang sudah berlumuran air liur.
"uuuhh", desah Malih seraya bergetar karena merasa geli-geli ngilu tapi enak saat 'topi' bajanya diemut-emut dan dienyam oleh nona mudanya itu.
Si dara cantik bisa merasakan 'meriam' pejantan tuanya itu sudah berdenyut-denyut, pertanda akan meledak.
Langsung lah ia mempercepat kocokannya dan lidahnya terus membelai bagian 'kuncup' penis kekasihnya yang uzur.
"eegghh uugghh noonh! ooKKHH!!".
"crot! crot! crot!".
Malih mengatur nafasnya, agak ngilu karena Riri masih saja mengulum alat kelaminnya. Tak lama, Riri mengeluarkan kepalanya dari dalam sarung.
Nampak wajahnya berlumuran cairan putih yang kental. Senyum tersungging di wajah Riri setelah meratakan air mani Malih ke seluruh permukaan wajahnya.
Sudah biasa ia melakukan facial dengan sperma Malih, malah setiap hari.
Dia melakukan itu bukan untuk tujuan tertentu, Riri hanya suka wajahnya berlumuran lahar putih pasangannya.
Tanpa Riri sadari, sperma Malih membuat kulit wajahnya jadi lebih halus & mulus seperti efek dari obat perawatan kulit wajah yang mahal.
Hasilnya sama, bedanya obat-obat itu harganya mahal, sedangkan air mani Malih gratis dan 'berlimpah'.
Mungkin kandungan protein yang memang ada di sperma yang membuatnya cukup bagus untuk kulit wajah.
"Bapak mau dibuatin sarapan?".
"udah, non. kopi aja juga udah mantep. hehehe..".
"oh yaudah, kalo gitu. Riri mau beres-beres dulu..".
"lho? non nggak cuci muka dulu?".
"nggak ah, Pak. Riri suka, lengket-lengket gimana gitu. hehehe..", canda Riri sedikit nakal.
Ya, ini hari minggu, Riri sengaja tidak memanggil Mbok Ratih. Ia ingin berlatih jadi istri Malih nanti, membersihkan rumah, merawat & melayani Malih secara jasmani dan rohani.
Selain itu, dia jadi bisa leluasa bermesraan dan berbuat hal-hal yang sensual & nakal bersama Malih. Riri mondar-mandir membersihkan seluruh ruangan rumahnya tanpa pakaian.
Itu jadi pemandangan erotis tersendiri bagi Malih, melihat pacarnya yang masih muda dan begitu cantik itu mondar-mandir membersihkan rumah dengan bertelanjang ria.
Kalau Riri sedang di dekatnya, Malih biasanya iseng dengan menepuk pantatnya. Riri cuma tertawa kecil sambil menggoyang-goyangkan pantatnya.
Kelihatan mesra sekali mereka. Terbesit di otak Malih yang takut Riri akan jadi eksibisionis seperti 3 temannya. Namun, setelah dipikir-pikir, Riri cuma mau berbugil ria di rumah kalau cuma berdua dengannya saja.
Lagipula, pemandangan Riri mondar-mandir tak berpakaian sungguh menyegarkan mata bagi Malih jadi si jejaka tua membiarkannya. Tak hanya menyapu, Riri juga mengepel dan membersihkan langit-langit dengan kemoceng.
Bagian teras, Malih yang membersihkannya, dia tak mengizinkan Riri keluar dengan tak berbusana seperti itu. Hampir semuanya dibereskan Riri, tubuhnya berkemilauan karena keringat yang bercucuran keluar sementara sperma Malih yang menyelubungi wajah cantik Riri sudah mengering dan menjadi kerak. Lengket dan rasanya seperti sedang mengenakan masker.
"glek.. gleek..", Riri menenggak minuman dingin yang baru dibuatnya.
"capek ya non?", tanya Malih memeluk tubuh Riri yang bermandikan keringat dari belakang. Tangannya melingkar di pinggang Riri.
"iya, Pak. fuuh! capek juga, tapi badan Riri jadi seger".
"iya non, kan beres-beres rumah bisa sekalian olah raga juga..".
"iya, bener tuh, Pak..", Riri balik badan.
"nah sekarang kan Riri mau mandi. Bapak mau mandi juga nggak?", goda nakal Riri seraya menuntun tangan Malih ke pantatnya.
"pasti mau, non. hehehe..".
Riri tersenyum manis, lalu dia membuka lilitan sarung Malih dan masuk ke dalamnya.
"cuuupphh ccppphh", mereka bercumbu sebelum akhirnya menuju kamar mandi.
Usai menyegarkan tubuh sambil bermesraan di kamar mandi, mereka berdua pun keluar dan berpakaian.
Kaos dan celana pendek sepaha membungkus tubuh indah Riri. Pakaian santai yang biasa ia kenakan di dalam rumah.
"Pak, Riri mau ngerjain tugas dulu yaa".
"oke, non. kalo gitu Bapak nyuci mobil dulu..".
Baik Riri atau Malih mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Tugas Riri memang menumpuk, makanya ia harus mengerjakannya.
Siang menjelang sore Riri pun selesai mengerjakan tugasnya.
"Pak, makan di luar yuk. laper banget nih..".
"ayo, non..".
Mereka langsung berangkat menuju tempat makan kesukaan mereka setelah keduanya berganti pakaian.
Riri & Malih makan berdua, beberapa kali mereka diperhatikan oleh orang sekitar, mungkin karena Riri yang kelihatan genit sekali ke Malih dan ditambah pakaian Riri yang cukup menggoda mata lelaki.
"bentar, Pak. Riri mau ke belakang dulu yaa..".
"iya, non..". Selagi Malih menunggu Riri, tiba-tiba ada yang mendekatinya.
"eh, Malih?!".
"lho, Darsono?!".
"apa kabar lo?!".
"baek. lo??".
"baek juga gue. udah lama nggak ada kabar lo. kemane aja lo?".
"yah, gue emang ada urusan sih..".
"oh, sombong lo! yang laen aja masih sering telpon-telpon, ngumpul-ngumpul. cuma lo aja yang nggak ada kabar abis lulus SMP. baru sekarang keliatan batang idung lo, Lih!".
"sori dah. Emang nggak bisa ngasih kabar gue. nggak memungkinkan pokoknya..".
"ah, payah emang lo dari dulu. huahahaha!!".
Darsono adalah teman SMP Malih. Kalau di film-film ABG zaman sekarang, Darsono adalah tipe anak kaya yang sombong & punya anak buah.
Sedangkan Malih memang dari dulu sederhana dan terima saja. Bisa dibilang, dulu Malih adalah pesuruh Darso. Dia bagian disuruh-suruh untuk beli makanan atau minuman.
Saat SMP, Malih senang-senang saja disuruh Darso untuk beli makanan atau minuman karena biasanya juga ditraktir sekalian.
Keuntungan bagi Malih yang diberi uang jajan yang hanya cukup untuk beli minuman 1x saja. Meskipun begitu, rasanya Malih enggan bilang ke Darso kalau selama ini dia jadi tukang sampah.
"terus lo ngapain di sini?".
"ya, gue abis makan, So..".
"wuih, banyak duit lo sekarang, Lih?! HAHAHA!! BAGUS! BAGUS!".
"oh iya, Lih. mane bini lo?".
"udah lama meninggal, So..".
"iya, sama, gue juga. senasib ternyata gue sama lo.. terus lo nggak nyari bini lagi?".
"nggak..", jawab Malih singkat.
Sebenarnya, sudah ada calon istri, masih muda dan cantiknya seperti bidadari, namun Malih tak ingin mengumbarnya.
"kalo gue sih lagi nyari lagi. kagak enak sendirian, Lih. HAHAHA!!".
"siapa? Si Dahlia? mantan lo dulu?".
"ah kagak mau gue yang seumuran. udah pada peyot semua. gue nyarinya yang daun muda. biar gue awet muda. HAK HAK HAK HAK!!", tertawa Darso yang seakan meledek Malih kalau dia bisa mudah cari gadis muda karena punya uang berlimpah.
Dalam hati, sempat juga Malih mengejek Darso. Nggak tau aje lo, tiap hari gue nidurin mahasiswi cakep n' kaya, nggak perlu pake uang banyak, begitulah ejekan Malih dalam hati yang seakan merasa menang dari Darso.
"Lih, nih alamat gue. dateng lo hari minggu depan, kita ngobrol-ngobrol nostalgia di rumah gue..".
"kita berdua doang?".
"nggak, sama si Waskito n' Ginanjar..".
"si Adang nggak di undang?".
"udah koid dia".
"ha? yang bener lo?".
"iye, beneran gue. baru 3 bulan yang lalu".
"oh. nggak tau gue. terus yang laen? Tuti? Kamal? Irma?".
"ah ribet, nggak tau gue alamat yang laen. udeh kite-kite aja kayak dulu. ok?".
"ok deh. gue mah ayo aja..".
"sip dah. jangan lupa lo ye, minggu depan. sore aje datengnya tapi".
"Ok, So!".
"sip. gue balik ye, gue ada urusan. YOK!".
"YOK!".
"oh iye, ngomong-ngomong, makin jelek aja lo, Lih. HAHAHA!!".
Malih cuma tersenyum. Tak lama Darso pergi, Riri kembali dari kamar mandi.
"itu tadi siapa, Pak?".
"itu tadi Darso. temen SMP Bapak dulu".
"wah, asik donk, Pak. ketemu temen lama..".
"asik nggak asik sih, non..".
"lho? kenapa emangnya?".
Malih pun curhat kepada Riri tentang masa SMPnya dulu. Bagai seorang istri yang tak terima suaminya dihina, Riri jadi merasa kesal dengan yang namanya Darso ini.
"kok Bapak mau aja disuruh-suruh si Darso itu?", ucap Riri dengan nada agak kesal.
"ya abis gimana lagi, non. Bapak dulu kan sering dijajanin sama dia..".
Datang sebuah ide untuk membalas Darso di pikiran Riri. Lihat saja, nanti Darso yang akan kalah, pernyataan Riri dalam hatinya.
"oh iya, Pak. Riri kan udah bikin janji sama dokter Rizal".
"mau check up lagi, non?".
"iya, Pak. siapa tau aja berhasil..", senyum Riri menghias wajah cantiknya.
Dokter Rizal adalah dokter kandungan kenalan Riri.
Sebenarnya, bukan kenalan Riri langsung, dia kenal karena pernah diajak temannya mengantar ibunya pergi ke dokter kandungan.
Setiap sebulan sekali sejak 4 bulan lalu, Riri selalu mengunjungi dokter Rizal untuk memeriksa apakah Malih berhasil menghamilinya atau tidak. Jadi, dia sudah cukup akrab dengan dokter Rizal.
"iya, non. mudah-mudahan ya, non..".
"ayo, Pak. keburu dokter Rizalnya pulang..".
"ayo, non..". Mereka sampai di tempat praktek dr. Rizal yang cukup besar.
"ayo, Pak. masuk".
"nggak non, Bapak nunggu di sini aja..".
"ah, Bapak maaah. ayoo dong, masa Riri sendiri terus konsultasinya..", rayu Riri.
"nggak, non. Bapak di sini aja..".
"yaudah..", jawab Riri agak bt, dengan wajahnya yang merungut, dia masuk ke dalam.
Bukannya tidak mau menemani Riri untuk konsultasi soal kehamilan, Malih merasa tidak enak saja.
Tidak enak dan kasihan kalau sampai ada orang lain yang tahu kalau gadis muda secantik Riri ingin dihamili oleh lelaki tua sepertinya. Malih memikirkan harga diri Riri di mata orang lain.
"misi, dok".
"eh kamu Riri. ayo masuk..".
"iya..".
"apa kabar?".
"baik, Dok. seger selalu. hehe..", jawab Riri ceria.
"gimana? mau check-up kayak biasa?".
"iya, Dok".
"sendiri lagi? kok suaminya nggak pernah dampingin?".
"kemaren-kemaren suami saya sibuk, Dok".
"berarti sekarang ada?".
"ada sih, Dok. tapi dia lagi sibuk nelpon", jawab Riri bohong.
"oh ya sudah. nggak apa-apa. kalo gitu kita langsung saja..".
Sang doktor pun memeriksa keadaan Riri terutama perutnya, memang tak ada tanda-tanda kehamilan sama sekali.
Untuk kesekian kalinya, Riri belum bisa memberikan keturunan untuk supir tercintanya yang sudah uzur itu.
"ya memang kamu belum hamil, Riri".
"iya, Dok. padahal saya sama suami saya udah berharap banget..".
"apa kamu udah ikuti saran saya? berhubungan intim saat kamu masa subur?".
"sudah, Dok".
"berapa kali?".
"mm..", Riri menunduk. Dia agak malu.
"kamu malu ya?", goda dr. Rizal.
Riri mengangguk.
Hasilnya sama, bedanya obat-obat itu harganya mahal, sedangkan air mani Malih gratis dan 'berlimpah'.
Mungkin kandungan protein yang memang ada di sperma yang membuatnya cukup bagus untuk kulit wajah.
"Bapak mau dibuatin sarapan?".
"udah, non. kopi aja juga udah mantep. hehehe..".
"oh yaudah, kalo gitu. Riri mau beres-beres dulu..".
"lho? non nggak cuci muka dulu?".
"nggak ah, Pak. Riri suka, lengket-lengket gimana gitu. hehehe..", canda Riri sedikit nakal.
Ya, ini hari minggu, Riri sengaja tidak memanggil Mbok Ratih. Ia ingin berlatih jadi istri Malih nanti, membersihkan rumah, merawat & melayani Malih secara jasmani dan rohani.
Selain itu, dia jadi bisa leluasa bermesraan dan berbuat hal-hal yang sensual & nakal bersama Malih. Riri mondar-mandir membersihkan seluruh ruangan rumahnya tanpa pakaian.
Itu jadi pemandangan erotis tersendiri bagi Malih, melihat pacarnya yang masih muda dan begitu cantik itu mondar-mandir membersihkan rumah dengan bertelanjang ria.
Kalau Riri sedang di dekatnya, Malih biasanya iseng dengan menepuk pantatnya. Riri cuma tertawa kecil sambil menggoyang-goyangkan pantatnya.
Kelihatan mesra sekali mereka. Terbesit di otak Malih yang takut Riri akan jadi eksibisionis seperti 3 temannya. Namun, setelah dipikir-pikir, Riri cuma mau berbugil ria di rumah kalau cuma berdua dengannya saja.
Lagipula, pemandangan Riri mondar-mandir tak berpakaian sungguh menyegarkan mata bagi Malih jadi si jejaka tua membiarkannya. Tak hanya menyapu, Riri juga mengepel dan membersihkan langit-langit dengan kemoceng.
Bagian teras, Malih yang membersihkannya, dia tak mengizinkan Riri keluar dengan tak berbusana seperti itu. Hampir semuanya dibereskan Riri, tubuhnya berkemilauan karena keringat yang bercucuran keluar sementara sperma Malih yang menyelubungi wajah cantik Riri sudah mengering dan menjadi kerak. Lengket dan rasanya seperti sedang mengenakan masker.
"glek.. gleek..", Riri menenggak minuman dingin yang baru dibuatnya.
"capek ya non?", tanya Malih memeluk tubuh Riri yang bermandikan keringat dari belakang. Tangannya melingkar di pinggang Riri.
"iya, Pak. fuuh! capek juga, tapi badan Riri jadi seger".
"iya non, kan beres-beres rumah bisa sekalian olah raga juga..".
"iya, bener tuh, Pak..", Riri balik badan.
"nah sekarang kan Riri mau mandi. Bapak mau mandi juga nggak?", goda nakal Riri seraya menuntun tangan Malih ke pantatnya.
"pasti mau, non. hehehe..".
Riri tersenyum manis, lalu dia membuka lilitan sarung Malih dan masuk ke dalamnya.
"cuuupphh ccppphh", mereka bercumbu sebelum akhirnya menuju kamar mandi.
Usai menyegarkan tubuh sambil bermesraan di kamar mandi, mereka berdua pun keluar dan berpakaian.
Kaos dan celana pendek sepaha membungkus tubuh indah Riri. Pakaian santai yang biasa ia kenakan di dalam rumah.
"Pak, Riri mau ngerjain tugas dulu yaa".
"oke, non. kalo gitu Bapak nyuci mobil dulu..".
Baik Riri atau Malih mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Tugas Riri memang menumpuk, makanya ia harus mengerjakannya.
Siang menjelang sore Riri pun selesai mengerjakan tugasnya.
"Pak, makan di luar yuk. laper banget nih..".
"ayo, non..".
Mereka langsung berangkat menuju tempat makan kesukaan mereka setelah keduanya berganti pakaian.
Riri & Malih makan berdua, beberapa kali mereka diperhatikan oleh orang sekitar, mungkin karena Riri yang kelihatan genit sekali ke Malih dan ditambah pakaian Riri yang cukup menggoda mata lelaki.
"bentar, Pak. Riri mau ke belakang dulu yaa..".
"iya, non..". Selagi Malih menunggu Riri, tiba-tiba ada yang mendekatinya.
"eh, Malih?!".
"lho, Darsono?!".
"apa kabar lo?!".
"baek. lo??".
"baek juga gue. udah lama nggak ada kabar lo. kemane aja lo?".
"yah, gue emang ada urusan sih..".
"oh, sombong lo! yang laen aja masih sering telpon-telpon, ngumpul-ngumpul. cuma lo aja yang nggak ada kabar abis lulus SMP. baru sekarang keliatan batang idung lo, Lih!".
"sori dah. Emang nggak bisa ngasih kabar gue. nggak memungkinkan pokoknya..".
"ah, payah emang lo dari dulu. huahahaha!!".
Darsono adalah teman SMP Malih. Kalau di film-film ABG zaman sekarang, Darsono adalah tipe anak kaya yang sombong & punya anak buah.
Sedangkan Malih memang dari dulu sederhana dan terima saja. Bisa dibilang, dulu Malih adalah pesuruh Darso. Dia bagian disuruh-suruh untuk beli makanan atau minuman.
Saat SMP, Malih senang-senang saja disuruh Darso untuk beli makanan atau minuman karena biasanya juga ditraktir sekalian.
Keuntungan bagi Malih yang diberi uang jajan yang hanya cukup untuk beli minuman 1x saja. Meskipun begitu, rasanya Malih enggan bilang ke Darso kalau selama ini dia jadi tukang sampah.
"terus lo ngapain di sini?".
"ya, gue abis makan, So..".
"wuih, banyak duit lo sekarang, Lih?! HAHAHA!! BAGUS! BAGUS!".
"oh iya, Lih. mane bini lo?".
"udah lama meninggal, So..".
"iya, sama, gue juga. senasib ternyata gue sama lo.. terus lo nggak nyari bini lagi?".
"nggak..", jawab Malih singkat.
Sebenarnya, sudah ada calon istri, masih muda dan cantiknya seperti bidadari, namun Malih tak ingin mengumbarnya.
"kalo gue sih lagi nyari lagi. kagak enak sendirian, Lih. HAHAHA!!".
"siapa? Si Dahlia? mantan lo dulu?".
"ah kagak mau gue yang seumuran. udah pada peyot semua. gue nyarinya yang daun muda. biar gue awet muda. HAK HAK HAK HAK!!", tertawa Darso yang seakan meledek Malih kalau dia bisa mudah cari gadis muda karena punya uang berlimpah.
Dalam hati, sempat juga Malih mengejek Darso. Nggak tau aje lo, tiap hari gue nidurin mahasiswi cakep n' kaya, nggak perlu pake uang banyak, begitulah ejekan Malih dalam hati yang seakan merasa menang dari Darso.
"Lih, nih alamat gue. dateng lo hari minggu depan, kita ngobrol-ngobrol nostalgia di rumah gue..".
"kita berdua doang?".
"nggak, sama si Waskito n' Ginanjar..".
"si Adang nggak di undang?".
"udah koid dia".
"ha? yang bener lo?".
"iye, beneran gue. baru 3 bulan yang lalu".
"oh. nggak tau gue. terus yang laen? Tuti? Kamal? Irma?".
"ah ribet, nggak tau gue alamat yang laen. udeh kite-kite aja kayak dulu. ok?".
"ok deh. gue mah ayo aja..".
"sip dah. jangan lupa lo ye, minggu depan. sore aje datengnya tapi".
"Ok, So!".
"sip. gue balik ye, gue ada urusan. YOK!".
"YOK!".
"oh iye, ngomong-ngomong, makin jelek aja lo, Lih. HAHAHA!!".
Malih cuma tersenyum. Tak lama Darso pergi, Riri kembali dari kamar mandi.
"itu tadi siapa, Pak?".
"itu tadi Darso. temen SMP Bapak dulu".
"wah, asik donk, Pak. ketemu temen lama..".
"asik nggak asik sih, non..".
"lho? kenapa emangnya?".
Malih pun curhat kepada Riri tentang masa SMPnya dulu. Bagai seorang istri yang tak terima suaminya dihina, Riri jadi merasa kesal dengan yang namanya Darso ini.
"kok Bapak mau aja disuruh-suruh si Darso itu?", ucap Riri dengan nada agak kesal.
"ya abis gimana lagi, non. Bapak dulu kan sering dijajanin sama dia..".
Datang sebuah ide untuk membalas Darso di pikiran Riri. Lihat saja, nanti Darso yang akan kalah, pernyataan Riri dalam hatinya.
"oh iya, Pak. Riri kan udah bikin janji sama dokter Rizal".
"mau check up lagi, non?".
"iya, Pak. siapa tau aja berhasil..", senyum Riri menghias wajah cantiknya.
Dokter Rizal adalah dokter kandungan kenalan Riri.
Sebenarnya, bukan kenalan Riri langsung, dia kenal karena pernah diajak temannya mengantar ibunya pergi ke dokter kandungan.
Setiap sebulan sekali sejak 4 bulan lalu, Riri selalu mengunjungi dokter Rizal untuk memeriksa apakah Malih berhasil menghamilinya atau tidak. Jadi, dia sudah cukup akrab dengan dokter Rizal.
"iya, non. mudah-mudahan ya, non..".
"ayo, Pak. keburu dokter Rizalnya pulang..".
"ayo, non..". Mereka sampai di tempat praktek dr. Rizal yang cukup besar.
"ayo, Pak. masuk".
"nggak non, Bapak nunggu di sini aja..".
"ah, Bapak maaah. ayoo dong, masa Riri sendiri terus konsultasinya..", rayu Riri.
"nggak, non. Bapak di sini aja..".
"yaudah..", jawab Riri agak bt, dengan wajahnya yang merungut, dia masuk ke dalam.
Bukannya tidak mau menemani Riri untuk konsultasi soal kehamilan, Malih merasa tidak enak saja.
Tidak enak dan kasihan kalau sampai ada orang lain yang tahu kalau gadis muda secantik Riri ingin dihamili oleh lelaki tua sepertinya. Malih memikirkan harga diri Riri di mata orang lain.
"misi, dok".
"eh kamu Riri. ayo masuk..".
"iya..".
"apa kabar?".
"baik, Dok. seger selalu. hehe..", jawab Riri ceria.
"gimana? mau check-up kayak biasa?".
"iya, Dok".
"sendiri lagi? kok suaminya nggak pernah dampingin?".
"kemaren-kemaren suami saya sibuk, Dok".
"berarti sekarang ada?".
"ada sih, Dok. tapi dia lagi sibuk nelpon", jawab Riri bohong.
"oh ya sudah. nggak apa-apa. kalo gitu kita langsung saja..".
Sang doktor pun memeriksa keadaan Riri terutama perutnya, memang tak ada tanda-tanda kehamilan sama sekali.
Untuk kesekian kalinya, Riri belum bisa memberikan keturunan untuk supir tercintanya yang sudah uzur itu.
"ya memang kamu belum hamil, Riri".
"iya, Dok. padahal saya sama suami saya udah berharap banget..".
"apa kamu udah ikuti saran saya? berhubungan intim saat kamu masa subur?".
"sudah, Dok".
"berapa kali?".
"mm..", Riri menunduk. Dia agak malu.
"kamu malu ya?", goda dr. Rizal.
Riri mengangguk.
"ayo, jawab saja, Riri. nggak apa-apa".
"ngg.. seharian, Dok".
"owh. wah, jadi selama 3-4 hari, kamu sama suami kamu seharian berhubungan badan?".
"iya, Dok..", wajah Riri jadi merah padam, malu.
"wah, hebat juga suami kamu ya..".
"kalau selain saran saya, kamu juga sex dengan suami kamu?".
"iya, Dok..".
"berapa hari sekali?".
"mm..".
"tiap hari, Dok". Wajah Riri benar-benar merah.
"waw, sepertinya kamu sama suami kamu benar-benar ingin punya anak ya?", tanya dr. Rizal, sedikit menggoda Riri. Sang mahasiswi cantik pun tersenyum malu mendengarnya.
"kegiatan seksnya rutin, dan rahim kamu juga sehat & subur, tidak menunjukkan adanya gejala kemandulan. Mungkin masalahnya di suami kamu. Suami kamu tidak ejakulasi dini kan?".
"tidak, Dok. Suami saya normal..".
Lebih dari normal sebenarnya, canda Riri sendiri dalam hatinya.
"hmm. dengan intensitas sex seperti yang kamu bilang, harusnya kamu sudah bisa bikin kesebelasan sendiri", papar dr. Rizal sedikit bercanda.
"ah, Dokter bisa aja..", jawab Riri malu-malu.
"kalau begitu mungkin masalahnya ada di sperma suami kamu".
"maksudnya, Dok?".
"ya bisa saja kualitas sperma suami kamu buruk jadi tidak bisa membuahi sel telur kamu".
"buruk karena apa, Dok?".
"bisa buruk karena makannya kurang mengandung gizi, kurang olahraga, atau bisa juga faktor usia".
Deg! Riri langsung tersambar petir.
"terus bagaimana mengatasinya, Dok?".
"sebelumnya, saya harus periksa sampel sperma suami kamu".
"oh begitu, Dok. kalau sekarang aja, gimana?".
"oh iya, bagus. tapi harus masih fresh yaa..".
"iyaa, Dok. Biar saya ke suami ke saya dulu..".
"oh iya. ini, tampung di sini..".
"iya, Dok. sebentar..".
Beberapa saat kemudian, Riri kembali dengan tabung kecil yang diberikan dr. Rizal yang kini sudah penuh dengan cairan putih nan kental.
"ini, Dok". Sang dokter mengambil tabung itu sambil memperhatikan ada cairan putih di sudut mulut Riri.
"kamu bantu suami kamu ya?".
"ha? apa, Dok?".
"itu di bibir kamu ada putih-putih".
"oh..", Riri tersenyum malu seraya menyeka sudut bibirnya.
"kamu sama suami kamu kayaknya bener-bener jatuh cinta ya?", tanya dr. Rizal.
"iya, Dok. hehe".
"memang sudah berapa lama menikahnya?".
"mm. baru 7 bulanan, Dok".
"owh, pantas. sedang hot-hotnya kalau begitu..", tak heran kalau Riri sangat gemar bercinta dengan suaminya, pikir dr. Rizal.
"oke kalau begitu, kamu balik lagi ke sini 2 - 3 hari, Ri. biar saya analisis dulu sampelnya. nanti baru saya kasih tahu hasil dan solusinya".
"ok, Dok. terima kasih banyak..".
"iya, sama-sama. oh iya, Ri!".
"kenapa, Dok?".
"kalau bisa, suaminya juga ikut ya. biar saya enak ngasih sarannya".
"oh iya, Dok. nanti saya bilangin. Terima kasih banyak, Dok".
"iya, sama-sama".
Sebenarnya dr. Rizal cuma ingin melihat wajah laki-laki yang sungguh beruntung bisa mempersunting gadis muda yang begitu atraktif dan menarik seperti Riri.
Rizal juga lelaki normal, dia mengakui kalau Riri adalah seorang perempuan yang sangat cantik, bahkan dia yang sudah berkeluarga pun sempat tertarik dengan Riri. Namun, dia harus profesional.
Lagipula, pasiennya yang cantik itu juga sudah bersuami. Tak mungkin dia merusak hubungan orang lain. Tapi, rasa penasarannya tak bisa terbendung. Ia ingin melihat suami Riri.
Pastilah tampan & perkasa karena bisa membuat dara jelita seperti Riri klepek-klepek dan mampu mengajak Riri meranjang setiap harinya.
3 hari kemudian, Riri datang kembali setelah dapat sms dari dr. Rizal.
"bagaimana, Dok. hasilnya?".
"suami kamu mana?".
"ada, Dok. tadi ke kamar mandi. memangnya kenapa, Dok?".
"coba tolong panggil dulu. saya ingin membicarakan sesuatu".
"oh iya, sebentar Dok..". Riri masuk kembali ke ruangan bersama Malih.
"silahkan duduk", suruh dr. Rizal yang sedang mencatat.
"siang, Dok".
"owh, siang Pak". Rizal menjabat tangan Malih.
"ini Bapak..".
"nama saya Malih, Dok".
"saya Rizal. Bapak ini baik ya, sampai sempet-sempetin dampingin anak sama mantunya konsultasi".
"kalau boleh saya bertanya. Mantu Bapak dimana ya?".
"bukan, Dok. Ini bukan ayah saya, tapi suami saya..". Mata Rizal mungkin hampir terbelalak keluar.
"oh, ternyata Bapak suaminya Riri..". S
Sungguh kaget bukan kepalang. Tak disangka, tebakannya jauh meleset.
"iya, Dok. benar, saya suaminya no.. Riri", hampir Malih keceplosan.
"oh. Anda benar-benar beruntung mempunyai istri secantik Riri..".
"iya, Dok. terima kasih..".
Rizal dapat menekan rasa terkejutnya dalam-dalam. Air mukanya sudah kembali datar. Dia tersenyum dan bersikap biasa saja seperti sudah biasa menemukan pasangan gadis muda dan kakek-kakek seperti Riri & Malih.
Padahal dalam pikirannya, dr. Rizal membayangkan tangan hitam dan keriput Malih menggerayangi tubuh mulus Riri tiap hari.
Entah kenapa, dr. Rizal merasa iri & cemburu kepada Malih. Tubuh mulus nan ranum Riri bisa digeluti oleh pria tua seperti Malih setiap.
Aih, hoki benar ini pria uzur, umpat Rizal dalam hatinya.
Bagaimana ceritanya bisa jadi suami istri?, pertanyaan besar dalam hati dr. Rizal.
Mau bertanya, tapi itu urusan pribadi mereka. Tak disadarinya, senjatanya bangun sendiri karena khayalannya tentang tubuh Riri yang ranum digumuli Malih yang sudah uzur, keriput, dan bau tanah.
"jadi begini, Pak Malih. setelah saya analisis sperma Bapak, ternyata memang kualitas sperma Bapak Malih tergolong buruk..".
"buruk karena apa, Dok?".
"menurut hasil analisis dan pendapat saya pribadi, kemungkinan besar disebabkan karena faktor usia..".
"oh begitu ya, Dok?".
"iya, Pak. Bisa dibilang, Bapak Malih ini sudah lewat usia produktif dan tidak prima lagi. jadi, kualitas sperma Bapak ikut menurun. Seberapa sering pun Bapak berejakulasi di dalam rahim Riri, sperma Bapak tidak akan kuat untuk menembus dinding sel telur Riri..", papar dr. Rizal.
"jadi, saya sama Riri tidak bisa punya anak, Dok?".
"tidak, Pak. Bapak Malih hanya punya sperma kualitas buruk, bukan mandul. jadi masih ada kemungkinan untuk mempunyai anak".
"bener, Dok. jadi kami masih mungkin punya anak, Dok?", tanya Riri antusias.
"oh, iya, tentu. asalkan Bapak Malih memperbaiki kualitas spermanya dulu..".
"bagaimana caranya, Dok?".
"nanti saya beri resep obat khusus".
"terima kasih banyak, Dok..".
"dan nanti saya akan beri juga daftar makanan dan minuman yang bisa membuat Pak Malih lebih subur..".
"oh iya, Dok. terima kasih, Dok. terima kasih..".
Riri & Malih pun pulang ke rumah dengan secercah harapan. Daftar makanan, minuman, dan saran dari dr. Rizal, Riri pajang di kamar.
Dia membantu Malih untuk memperbaiki kualitas spermanya agar pria tua itu nanti bisa membuatnya hamil sehingga ia dapat membuktikan cintanya kepada supir tercintanya dengan cara memberikan keturunan untuknya.
"non beneran mau nemenin Bapak ke rumah Darso besok?".
"iya, Pak. emangnya kenapa? nggak boleh ya?".
"ya boleh aja sih, non. tapi nanti kalau ditanya, non Riri siapanya Bapak?".
"yaudah, jawab aja kalau Riri itu istrinya Bapak".
"tapi, non..".
"tapi, kenapa? Bapak malu ngakuin Riri istri Bapak?".
"mana mungkin, non. nggak ada laki-laki yang malu ngakuin punya istri cantik kayak non Riri..", rayuan gombal Malih takut Riri marah.
"lha? terus kenapa?".
"justru Bapak takut non Riri yang malu ngakuin Bapak jadi suami..".
Riri mengalungkan tangannya di leher Malih dan merangkulnya.
"Riri nggak pernah malu, ngakuin Pak Malih jadi suaminya Riri..", jelas Riri sebelum mengecup mesra bibir Malih.
"jadi.. besok Riri boleh ikut kan?".
"iya, non. terima kasih banget..". Riri tersenyum manis.
"oh iya, Pak. kita coba bikin Malih jr. lagi yuk?", wajah Riri kembali ceria namun binal untuk menggoda Malih.
"ayo, non!". M
Mereka berdua pun bergelut lagi malam itu sampai benar-benar lelah dan tertidur. Esok siangnya, Riri & Malih bersiap-siap untuk pergi.
"non Riri yakin mau pake baju itu? apa nggak yang laen aja?".
"emangnya kenapa, Pak?".
"nggak. soalnya bagian dada non Riri kebuka banget".
"ah udah, Pak. nggak apa-apa".
"tapi, non..".
"kenapa? Pak Malih nggak rela kalau yang lain bisa ngeliat dada Riri?".
"iyalah, non..", jawab Malih agak kesal.
"jangan marah dulu, Pak. Riri sengaja pake baju begini buat bales si Pak Darsono itu..".
"bales gimana emang?".
"nanti Riri ceritain di jalan sekalian".
"oh, oke non. kalau gitu kita jalan sekarang yuk".
Berpatokan pada alamat yang diberikan Darsono, akhirnya Malih menemukan rumah kawan lamanya itu, mungkin lebih tepat, mantan 'bos'nya. Sedan silver itu berhenti di depan gerbang yang cukup besar. Ada satpam yang mendekat.
"selamat siang, Pak".
"siang, Pak. Bapak ada keperluan apa ya?".
"apa ini rumah Bapak Darsono Subarja?".
"betul. kalau boleh tahu, Bapak ini siapa?".
"saya Malih, kawan SMPnya Darsono. saya diundang ke rumahnya..".
"ouh, Bapak Malih? silahkan, Pak. sudah ditunggu".
"terima kasih". Sang satpam langsung terkejut saat Riri keluar dari mobil.
Sungguh wanita yang cantik dengan gaun yang anggun nan seksi. Pandangan si satpam tak dapat beralih dari makhluk indah itu.
Entah sadar atau tidak, tonjolan perlahan mencuat di celana sang satpam karena terus memperhatikan kedua buah payudara Riri yang agak terekspos dari model gaunnya yang seksi itu. Mereka berdua masuk ke dalam rumah, sudah ada pembantu yang menunggu.
"Bapak Malih ya?".
"iya, benar. Bapak Darsononya dimana ya?".
"ngg.. seharian, Dok".
"owh. wah, jadi selama 3-4 hari, kamu sama suami kamu seharian berhubungan badan?".
"iya, Dok..", wajah Riri jadi merah padam, malu.
"wah, hebat juga suami kamu ya..".
"kalau selain saran saya, kamu juga sex dengan suami kamu?".
"iya, Dok..".
"berapa hari sekali?".
"mm..".
"tiap hari, Dok". Wajah Riri benar-benar merah.
"waw, sepertinya kamu sama suami kamu benar-benar ingin punya anak ya?", tanya dr. Rizal, sedikit menggoda Riri. Sang mahasiswi cantik pun tersenyum malu mendengarnya.
"kegiatan seksnya rutin, dan rahim kamu juga sehat & subur, tidak menunjukkan adanya gejala kemandulan. Mungkin masalahnya di suami kamu. Suami kamu tidak ejakulasi dini kan?".
"tidak, Dok. Suami saya normal..".
Lebih dari normal sebenarnya, canda Riri sendiri dalam hatinya.
"hmm. dengan intensitas sex seperti yang kamu bilang, harusnya kamu sudah bisa bikin kesebelasan sendiri", papar dr. Rizal sedikit bercanda.
"ah, Dokter bisa aja..", jawab Riri malu-malu.
"kalau begitu mungkin masalahnya ada di sperma suami kamu".
"maksudnya, Dok?".
"ya bisa saja kualitas sperma suami kamu buruk jadi tidak bisa membuahi sel telur kamu".
"buruk karena apa, Dok?".
"bisa buruk karena makannya kurang mengandung gizi, kurang olahraga, atau bisa juga faktor usia".
Deg! Riri langsung tersambar petir.
"terus bagaimana mengatasinya, Dok?".
"sebelumnya, saya harus periksa sampel sperma suami kamu".
"oh begitu, Dok. kalau sekarang aja, gimana?".
"oh iya, bagus. tapi harus masih fresh yaa..".
"iyaa, Dok. Biar saya ke suami ke saya dulu..".
"oh iya. ini, tampung di sini..".
"iya, Dok. sebentar..".
Beberapa saat kemudian, Riri kembali dengan tabung kecil yang diberikan dr. Rizal yang kini sudah penuh dengan cairan putih nan kental.
"ini, Dok". Sang dokter mengambil tabung itu sambil memperhatikan ada cairan putih di sudut mulut Riri.
"kamu bantu suami kamu ya?".
"ha? apa, Dok?".
"itu di bibir kamu ada putih-putih".
"oh..", Riri tersenyum malu seraya menyeka sudut bibirnya.
"kamu sama suami kamu kayaknya bener-bener jatuh cinta ya?", tanya dr. Rizal.
"iya, Dok. hehe".
"memang sudah berapa lama menikahnya?".
"mm. baru 7 bulanan, Dok".
"owh, pantas. sedang hot-hotnya kalau begitu..", tak heran kalau Riri sangat gemar bercinta dengan suaminya, pikir dr. Rizal.
"oke kalau begitu, kamu balik lagi ke sini 2 - 3 hari, Ri. biar saya analisis dulu sampelnya. nanti baru saya kasih tahu hasil dan solusinya".
"ok, Dok. terima kasih banyak..".
"iya, sama-sama. oh iya, Ri!".
"kenapa, Dok?".
"kalau bisa, suaminya juga ikut ya. biar saya enak ngasih sarannya".
"oh iya, Dok. nanti saya bilangin. Terima kasih banyak, Dok".
"iya, sama-sama".
Sebenarnya dr. Rizal cuma ingin melihat wajah laki-laki yang sungguh beruntung bisa mempersunting gadis muda yang begitu atraktif dan menarik seperti Riri.
Rizal juga lelaki normal, dia mengakui kalau Riri adalah seorang perempuan yang sangat cantik, bahkan dia yang sudah berkeluarga pun sempat tertarik dengan Riri. Namun, dia harus profesional.
Lagipula, pasiennya yang cantik itu juga sudah bersuami. Tak mungkin dia merusak hubungan orang lain. Tapi, rasa penasarannya tak bisa terbendung. Ia ingin melihat suami Riri.
Pastilah tampan & perkasa karena bisa membuat dara jelita seperti Riri klepek-klepek dan mampu mengajak Riri meranjang setiap harinya.
3 hari kemudian, Riri datang kembali setelah dapat sms dari dr. Rizal.
"bagaimana, Dok. hasilnya?".
"suami kamu mana?".
"ada, Dok. tadi ke kamar mandi. memangnya kenapa, Dok?".
"coba tolong panggil dulu. saya ingin membicarakan sesuatu".
"oh iya, sebentar Dok..". Riri masuk kembali ke ruangan bersama Malih.
"silahkan duduk", suruh dr. Rizal yang sedang mencatat.
"siang, Dok".
"owh, siang Pak". Rizal menjabat tangan Malih.
"ini Bapak..".
"nama saya Malih, Dok".
"saya Rizal. Bapak ini baik ya, sampai sempet-sempetin dampingin anak sama mantunya konsultasi".
"kalau boleh saya bertanya. Mantu Bapak dimana ya?".
"bukan, Dok. Ini bukan ayah saya, tapi suami saya..". Mata Rizal mungkin hampir terbelalak keluar.
"oh, ternyata Bapak suaminya Riri..". S
Sungguh kaget bukan kepalang. Tak disangka, tebakannya jauh meleset.
"iya, Dok. benar, saya suaminya no.. Riri", hampir Malih keceplosan.
"oh. Anda benar-benar beruntung mempunyai istri secantik Riri..".
"iya, Dok. terima kasih..".
Rizal dapat menekan rasa terkejutnya dalam-dalam. Air mukanya sudah kembali datar. Dia tersenyum dan bersikap biasa saja seperti sudah biasa menemukan pasangan gadis muda dan kakek-kakek seperti Riri & Malih.
Padahal dalam pikirannya, dr. Rizal membayangkan tangan hitam dan keriput Malih menggerayangi tubuh mulus Riri tiap hari.
Entah kenapa, dr. Rizal merasa iri & cemburu kepada Malih. Tubuh mulus nan ranum Riri bisa digeluti oleh pria tua seperti Malih setiap.
Aih, hoki benar ini pria uzur, umpat Rizal dalam hatinya.
Bagaimana ceritanya bisa jadi suami istri?, pertanyaan besar dalam hati dr. Rizal.
Mau bertanya, tapi itu urusan pribadi mereka. Tak disadarinya, senjatanya bangun sendiri karena khayalannya tentang tubuh Riri yang ranum digumuli Malih yang sudah uzur, keriput, dan bau tanah.
"jadi begini, Pak Malih. setelah saya analisis sperma Bapak, ternyata memang kualitas sperma Bapak Malih tergolong buruk..".
"buruk karena apa, Dok?".
"menurut hasil analisis dan pendapat saya pribadi, kemungkinan besar disebabkan karena faktor usia..".
"oh begitu ya, Dok?".
"iya, Pak. Bisa dibilang, Bapak Malih ini sudah lewat usia produktif dan tidak prima lagi. jadi, kualitas sperma Bapak ikut menurun. Seberapa sering pun Bapak berejakulasi di dalam rahim Riri, sperma Bapak tidak akan kuat untuk menembus dinding sel telur Riri..", papar dr. Rizal.
"jadi, saya sama Riri tidak bisa punya anak, Dok?".
"tidak, Pak. Bapak Malih hanya punya sperma kualitas buruk, bukan mandul. jadi masih ada kemungkinan untuk mempunyai anak".
"bener, Dok. jadi kami masih mungkin punya anak, Dok?", tanya Riri antusias.
"oh, iya, tentu. asalkan Bapak Malih memperbaiki kualitas spermanya dulu..".
"bagaimana caranya, Dok?".
"nanti saya beri resep obat khusus".
"terima kasih banyak, Dok..".
"dan nanti saya akan beri juga daftar makanan dan minuman yang bisa membuat Pak Malih lebih subur..".
"oh iya, Dok. terima kasih, Dok. terima kasih..".
Riri & Malih pun pulang ke rumah dengan secercah harapan. Daftar makanan, minuman, dan saran dari dr. Rizal, Riri pajang di kamar.
Dia membantu Malih untuk memperbaiki kualitas spermanya agar pria tua itu nanti bisa membuatnya hamil sehingga ia dapat membuktikan cintanya kepada supir tercintanya dengan cara memberikan keturunan untuknya.
"non beneran mau nemenin Bapak ke rumah Darso besok?".
"iya, Pak. emangnya kenapa? nggak boleh ya?".
"ya boleh aja sih, non. tapi nanti kalau ditanya, non Riri siapanya Bapak?".
"yaudah, jawab aja kalau Riri itu istrinya Bapak".
"tapi, non..".
"tapi, kenapa? Bapak malu ngakuin Riri istri Bapak?".
"mana mungkin, non. nggak ada laki-laki yang malu ngakuin punya istri cantik kayak non Riri..", rayuan gombal Malih takut Riri marah.
"lha? terus kenapa?".
"justru Bapak takut non Riri yang malu ngakuin Bapak jadi suami..".
Riri mengalungkan tangannya di leher Malih dan merangkulnya.
"Riri nggak pernah malu, ngakuin Pak Malih jadi suaminya Riri..", jelas Riri sebelum mengecup mesra bibir Malih.
"jadi.. besok Riri boleh ikut kan?".
"iya, non. terima kasih banget..". Riri tersenyum manis.
"oh iya, Pak. kita coba bikin Malih jr. lagi yuk?", wajah Riri kembali ceria namun binal untuk menggoda Malih.
"ayo, non!". M
Mereka berdua pun bergelut lagi malam itu sampai benar-benar lelah dan tertidur. Esok siangnya, Riri & Malih bersiap-siap untuk pergi.
"non Riri yakin mau pake baju itu? apa nggak yang laen aja?".
"emangnya kenapa, Pak?".
"nggak. soalnya bagian dada non Riri kebuka banget".
"ah udah, Pak. nggak apa-apa".
"tapi, non..".
"kenapa? Pak Malih nggak rela kalau yang lain bisa ngeliat dada Riri?".
"iyalah, non..", jawab Malih agak kesal.
"jangan marah dulu, Pak. Riri sengaja pake baju begini buat bales si Pak Darsono itu..".
"bales gimana emang?".
"nanti Riri ceritain di jalan sekalian".
"oh, oke non. kalau gitu kita jalan sekarang yuk".
Berpatokan pada alamat yang diberikan Darsono, akhirnya Malih menemukan rumah kawan lamanya itu, mungkin lebih tepat, mantan 'bos'nya. Sedan silver itu berhenti di depan gerbang yang cukup besar. Ada satpam yang mendekat.
"selamat siang, Pak".
"siang, Pak. Bapak ada keperluan apa ya?".
"apa ini rumah Bapak Darsono Subarja?".
"betul. kalau boleh tahu, Bapak ini siapa?".
"saya Malih, kawan SMPnya Darsono. saya diundang ke rumahnya..".
"ouh, Bapak Malih? silahkan, Pak. sudah ditunggu".
"terima kasih". Sang satpam langsung terkejut saat Riri keluar dari mobil.
Sungguh wanita yang cantik dengan gaun yang anggun nan seksi. Pandangan si satpam tak dapat beralih dari makhluk indah itu.
Entah sadar atau tidak, tonjolan perlahan mencuat di celana sang satpam karena terus memperhatikan kedua buah payudara Riri yang agak terekspos dari model gaunnya yang seksi itu. Mereka berdua masuk ke dalam rumah, sudah ada pembantu yang menunggu.
"Bapak Malih ya?".
"iya, benar. Bapak Darsononya dimana ya?".
"silahkan, Pak. beliau ada di ruang tengah..".
"oh, terima kasih..".
"So..".
"eh lo Lih. dateng juga akhirnya lo! gue tungguin juga..".
"tau lo Lih, kita tungguin juga".
"eh, udah dateng juga lo To. udah dateng juga Njar..".
Malih bersalaman dengan teman-teman lamanya.
"eh, itu siapa? cucu lo ya? cakep banget, Lih", bisik Darsono bertanya.
"cucu lo jadi bini gue aja Lih, gimana?", ujar Darsono yang 'ngiler' melihat wajah cantik serta 'paket susu' Riri yang mengintip dari belahan gaun seksinya tersebut.
"Riri, sini. kenalin ini, Pak Darsono".
"sore, Pak Darsono. kenalkan, nama saya Riri..", sapa Riri tersenyum manis dan menyalami tangan Darsono.
"nah kalau yang ini namanya Waskito sama Ginanjar".
"Waskito..".
"Riri..".
"saya Ginanjar".
"Riri..".
Memang usia mereka sudah menginjak lanjut usia semua namun mereka laki-laki normal, mereka tetap terkesima dengan kecantikan & tubuh mulus Riri.
"wah, kamu cantik sekali. apa benar kamu cucunya Malih? nggak bisa dipercaya..". Riri & Malih pun bertatapan.
"bukan, So. gue nggak punya anak, jadi nggak mungkin gue punya cucu".
"lho? jadi nona cantik ini siapa?", Darsono bersemangat setelah tahu Riri bukan cucu Malih, itu artinya dia akan semakin mudah menggaet Riri.
"suster perawat lo ya?".
"oh bukan juga, ini..".
"saya istrinya, Pak..".
Jeger!, bagaikan gluduk yang menyambar ketiga pria tua itu.
"maaf, kamu bilang apa tadi?", Darsono masih belum percaya.
"saya istrinya..".
Bukk! Bagaikan ada seseorang yang memukul perutnya dengan kencang, Darsono langsung merasa kalah telak oleh Malih.
Dia yang waktu itu menyombongkan diri tentang betapa mudahnya mendekati gadis muda kalau punya uang banyak merasa dikalahkan oleh Malih yang sederhana.
"beneran Lih?".
"iya, Riri ini istri gue".
"wah, hoki banget lo, Lih".
"ini bini muda lo?".
"ini istri kedua gue..".
"iya, bini muda lo kan?".
"bukan, istri kedua gue. istri gue yang pertama udah lama meninggal. nah ini istri gue yang kedua..".
"gila, hoki banget lo".
Waskito & Ginanjar geleng-geleng, tak percaya kalau kawan lama mereka begitu beruntung bisa memiliki istri yang masih muda dan sangat cantik.
"Pak, makanannya sudah siap..".
"ya sudah, ya sudah, kita lanjutin di meja makan..", ujar Darsono menghentikan sementara pembicaraan yang agak membuatnya kesal ini.
Kesal karena iri dengan Malih yang bisa merangkul Riri.
"jadi, gimana kamu bisa ketemu sama Malih?", tanya Darsono.
"mm, waktu itu saya mau ke kampus, mobil saya mogok di jalan. udah jalannya sepi, pulsa saya juga abis jadi saya nggak bisa nelpon mobil derek".
"terus?".
"ya saya bingung harus gimana. untung Pak Malih kebetulan lewat n' bisa benerin".
"terus udah gitu doang?".
"ya karena udah nolong saya. ya saya tawarin untuk nganter Pak Malih. kebetulan arahnya sama. selanjutnya rahasia..", papar Riri sedikit tersenyum nakal.
"lah, nak Riri ini ceritanya setengah-setengah. bikin kita penasaran", gerutu Ginanjar yang penasaran dengan apa yang dimaksud dengan rahasia, pasti ada 'cerita' lebih, pikirnya mesum.
"ya kan terserah saya, Pak..".
"terus, lo gimana nafkahin istri, Li?", tanya Darsono seperti ingin memojokkan Malih.
"Pak Malih punya bengkel, Pak. makanya dia bisa benerin mobil saya..".
"oh. hebat juga lo, Lih! bisa punya bengkel. di daerah mane?".
"daerah Pramuka, So".
"woh, boleh donk kapan-kapan gue servis mobil di bengkel lo?".
"boleh, silahkan aja, So..".
"sip deh. oh iya, kalo soal nafkah bathin? ya kan kita udah ngerti semua. Malih kan udah tua kayak kita, nah nak Riri masih muda".
"apa malam pertamanya lancar?".
"mmm..itu juga rahasia..", jawab Riri menunduk dan tersipu malu.
Sikap Riri yang malu-malu langsung membuat khayalan ketiga bujang tua itu melanglang buana. Langsung terbayang di pikiran mereka saat gadis semulus Riri dijamah kakek tua seperti Malih.
"wah, untung banget lo, Lih. bisa ketemu sama nak Riri ini..", ujar Darsono berusaha menyembunyikan rasa irinya.
"iya, gue bener-bener beruntung bisa ketemu sama kamu, Ri..".
Malih memandang Riri dengan mata berkaca-kaca karena dia benar-benar terharu. Dia memang sangat bersyukur, sejak bertemu Riri, hidupnya menanjak drastis.
Tak heran ia selalu berterima kasih kepada Riri yang telah mengubah hari-hari tuanya yang dulu serba kekurangan dan kesepian kini jadi serba kecukupan dan penuh kehangatan & kasih sayang.
Riri pun tersenyum manis dan membelai pipi Malih seakan mengatakan hal yang sama juga namun tanpa berucap. Mereka pun mengobrol meski Darsono masih merasa ngiri dengan Malih.
"permisi, Pak. toiletnya dimana ya?".
"oh itu di bawah tangga".
"oh. kalo gitu saya permisi ke belakang dulu..".
"eh, gila lu Lih. kok lo bisa dapet bini bening kayak gitu?", tanya Waskito setelah Riri meninggalkan meja makan dan pergi ke wc.
"lo maen pelet?".
"enak aja. gue nggak maen begituan..".
"lah terus? kakek-kakek bangkotan kayak lo mana bisa dapet bini masih muda kayak gitu kalo gak maen pelet?".
"yah, dibilangin. gue mah anti maen begituan".
"oh, apa lo banyak duit sekarang? jadinya dia nempel ama lo?".
"nggak, duit gue pas-pasan".
"bukannya tadi katanya lo buka bengkel?".
"yah, cuma bengkel biasa doang. nggak dapet duit banyak".
"terus? kenapa bisa?".
"ya, istri gue ngerasa cocok aja ama gue. katanya kayak ketemu temen lama. gue juga sendiri bingung".
"terus, Lih. di depan mobil siapa?".
"ya mobil Riri".
"ha?! itu kan mobil yang lumayan mahal? berarti Riri itu anak orang kaya donk?".
"iya, bisa dibilang begitu".
"gila! beneran hoki banget lo, Lih! ajarin caranya ke kita biar bisa ngegaet ABG kayak lo, Lih?".
"atau gini aje, Lih. gue minjem bini lo semingguu aja Lih. gue udah lama nggak pernah ngerasain hangat tubuh perempuan sejak istri gue meninggal".
"kalo gue 3 hari aja Lih. biar bisa ngelepas hajat gue nih. abis cere dari istri gue 2 tahun lalu, belum pernah lagi nih gue begituan..".
"sialan lo! emangnya bini gue jablay dipinjem-pinjem!", jawab Malih sedikit marah.
"ah pelit lo!".
Waskito & Ginanjar memang sohib sekali dengan Malih. Jadi, mereka tak pikir-pikir dulu untuk bicara seenaknya seperti itu.
"tapi, Malih. emang lo udah berapa lama nikahnya?", tanya Darsono.
"baru 7 bulan, So".
"wah. masih anget-angetnya tuh. apalagi bini lo masih muda. pasti seneng ngasih jatah ke lo. ye kan? ye kan?".
"iya".
"pas bulan madu, lo kemana?".
"gue sama istri gue ke Bali".
"wah asik tuh..". Mereka berhenti mengobrol karena Riri sudah kembali. Tidak enak rasanya.
"pada ngobrolin apa nih?".
"ah nggak, nak Riri. lagi nostalgia aja".
"oh..jadi jadi, gimana awal Bapak-bapak ketemu pas SMP?".
Mereka semua bernostalgia tentang masa-masa SMP mereka. Setiap kali ada kesempatan, Waskito, Ginanjar, dan Darsono mencuri pandang ke arah belahan payudara Riri yang terekspos.
Cukup menyegarkan mata ketiga lelaki uzur nan mesum yang sudah lama tak melihat keindahan tubuh dari seorang gadis.
Tertawa renyah & memberikan timpal balik omongan mereka dengan antusias membuat Riri semakin disukai kawan-kawan tua dari supirnya.
Malih juga merasa senang, Riri kelihatan bisa beradaptasi dengan kawan-kawannya tanpa canggung sedikit pun. Nampaknya memang bidadari cantik ini benar-benar berjodoh dengannya.
Seorang gadis muda yang mempesona mengobrol dengan empat lelaki lansia tanpa ada rasa jengah dirasakannya adalah suatu hal yang jarang dilihat di zaman modern ini karena para remaja perempuan masa kini lebih gemar menghabiskan waktu untuk berbelanja di mall, berfoya-foya, atau hang out dengan teman-temannya di tempat-tempat yang mereka bilang gaul seperti kafe, night club, restoran, dan lain-lain dibandingkan meluangkan waktu dengan orang tua mereka.
Darsono benar-benar gemas dan ingin sekali menggenggam kedua buah payudara Riri yang kelihatan begitu mengkal nan besar itu.
Tapi, dia harus menahan keinginannya. Reputasinya sebagai pemilik lisensi franchise ternama bisa hancur karena menggerayangi dada seorang perempuan muda. Matahari telah terbenam, Riri memutuskan untuk pulang.
"Pak Ginanjar, Pak Waskito. Kami mau pulang dulu yaa".
"kenapa buru-buru, nak Riri?".
"besok saya ada kuliah pagi".
"ha? jadi nak Riri masih kuliah?".
"iya, Pak. saya masih mahasiswi".
"tingkat berapa?".
"tingkat akhir, Pak..".
"wah, berarti lagi tugas akhir?".
"iya, Pak. tapi nanti, belum dimulai..".
"oh begitu, yang rajin ya, nak Riri. biar cepet dapet gelar sarjananya..".
"mudah-mudahan, Pak. terima kasih doanya..".
Ketiga teman Malih semakin iri saja dengan keberuntungan teman mereka yang sederhana itu. Ibaratnya, di umur 22 tahun, Riri adalah buah yang sedikit lagi matang.
Tubuh gadis umur 20an adalah idaman para lelaki yang sudah berumur di atas 40an karena di umur 20an, tubuh seorang gadis sebentar lagi akan 'matang', tapi juga masih 'ranum' karena masih akan membentuk lekukan tubuh yang lebih indah lagi sehingga tak dapat disangkal tubuh gadis umur 20an sedang hangat-hangatnya dan sedang empuk-empuknya untuk dinikmati para pria 40 tahunan.
"eh Lih, lo sekarang tinggal di mana?", tanya Darsono yang mengantar sampai dekat mobil Riri.
"di komplek..".
"kartu nama lo deh, gue udah susah inget alamat..".
"oh yaudah, ini..".
"okeh sip deh. kapan-kapan gue maen ke rumah lo".
"oh, terima kasih..".
"So..".
"eh lo Lih. dateng juga akhirnya lo! gue tungguin juga..".
"tau lo Lih, kita tungguin juga".
"eh, udah dateng juga lo To. udah dateng juga Njar..".
Malih bersalaman dengan teman-teman lamanya.
"eh, itu siapa? cucu lo ya? cakep banget, Lih", bisik Darsono bertanya.
"cucu lo jadi bini gue aja Lih, gimana?", ujar Darsono yang 'ngiler' melihat wajah cantik serta 'paket susu' Riri yang mengintip dari belahan gaun seksinya tersebut.
"Riri, sini. kenalin ini, Pak Darsono".
"sore, Pak Darsono. kenalkan, nama saya Riri..", sapa Riri tersenyum manis dan menyalami tangan Darsono.
"nah kalau yang ini namanya Waskito sama Ginanjar".
"Waskito..".
"Riri..".
"saya Ginanjar".
"Riri..".
Memang usia mereka sudah menginjak lanjut usia semua namun mereka laki-laki normal, mereka tetap terkesima dengan kecantikan & tubuh mulus Riri.
"wah, kamu cantik sekali. apa benar kamu cucunya Malih? nggak bisa dipercaya..". Riri & Malih pun bertatapan.
"bukan, So. gue nggak punya anak, jadi nggak mungkin gue punya cucu".
"lho? jadi nona cantik ini siapa?", Darsono bersemangat setelah tahu Riri bukan cucu Malih, itu artinya dia akan semakin mudah menggaet Riri.
"suster perawat lo ya?".
"oh bukan juga, ini..".
"saya istrinya, Pak..".
Jeger!, bagaikan gluduk yang menyambar ketiga pria tua itu.
"maaf, kamu bilang apa tadi?", Darsono masih belum percaya.
"saya istrinya..".
Bukk! Bagaikan ada seseorang yang memukul perutnya dengan kencang, Darsono langsung merasa kalah telak oleh Malih.
Dia yang waktu itu menyombongkan diri tentang betapa mudahnya mendekati gadis muda kalau punya uang banyak merasa dikalahkan oleh Malih yang sederhana.
"beneran Lih?".
"iya, Riri ini istri gue".
"wah, hoki banget lo, Lih".
"ini bini muda lo?".
"ini istri kedua gue..".
"iya, bini muda lo kan?".
"bukan, istri kedua gue. istri gue yang pertama udah lama meninggal. nah ini istri gue yang kedua..".
"gila, hoki banget lo".
Waskito & Ginanjar geleng-geleng, tak percaya kalau kawan lama mereka begitu beruntung bisa memiliki istri yang masih muda dan sangat cantik.
"Pak, makanannya sudah siap..".
"ya sudah, ya sudah, kita lanjutin di meja makan..", ujar Darsono menghentikan sementara pembicaraan yang agak membuatnya kesal ini.
Kesal karena iri dengan Malih yang bisa merangkul Riri.
"jadi, gimana kamu bisa ketemu sama Malih?", tanya Darsono.
"mm, waktu itu saya mau ke kampus, mobil saya mogok di jalan. udah jalannya sepi, pulsa saya juga abis jadi saya nggak bisa nelpon mobil derek".
"terus?".
"ya saya bingung harus gimana. untung Pak Malih kebetulan lewat n' bisa benerin".
"terus udah gitu doang?".
"ya karena udah nolong saya. ya saya tawarin untuk nganter Pak Malih. kebetulan arahnya sama. selanjutnya rahasia..", papar Riri sedikit tersenyum nakal.
"lah, nak Riri ini ceritanya setengah-setengah. bikin kita penasaran", gerutu Ginanjar yang penasaran dengan apa yang dimaksud dengan rahasia, pasti ada 'cerita' lebih, pikirnya mesum.
"ya kan terserah saya, Pak..".
"terus, lo gimana nafkahin istri, Li?", tanya Darsono seperti ingin memojokkan Malih.
"Pak Malih punya bengkel, Pak. makanya dia bisa benerin mobil saya..".
"oh. hebat juga lo, Lih! bisa punya bengkel. di daerah mane?".
"daerah Pramuka, So".
"woh, boleh donk kapan-kapan gue servis mobil di bengkel lo?".
"boleh, silahkan aja, So..".
"sip deh. oh iya, kalo soal nafkah bathin? ya kan kita udah ngerti semua. Malih kan udah tua kayak kita, nah nak Riri masih muda".
"apa malam pertamanya lancar?".
"mmm..itu juga rahasia..", jawab Riri menunduk dan tersipu malu.
Sikap Riri yang malu-malu langsung membuat khayalan ketiga bujang tua itu melanglang buana. Langsung terbayang di pikiran mereka saat gadis semulus Riri dijamah kakek tua seperti Malih.
"wah, untung banget lo, Lih. bisa ketemu sama nak Riri ini..", ujar Darsono berusaha menyembunyikan rasa irinya.
"iya, gue bener-bener beruntung bisa ketemu sama kamu, Ri..".
Malih memandang Riri dengan mata berkaca-kaca karena dia benar-benar terharu. Dia memang sangat bersyukur, sejak bertemu Riri, hidupnya menanjak drastis.
Tak heran ia selalu berterima kasih kepada Riri yang telah mengubah hari-hari tuanya yang dulu serba kekurangan dan kesepian kini jadi serba kecukupan dan penuh kehangatan & kasih sayang.
Riri pun tersenyum manis dan membelai pipi Malih seakan mengatakan hal yang sama juga namun tanpa berucap. Mereka pun mengobrol meski Darsono masih merasa ngiri dengan Malih.
"permisi, Pak. toiletnya dimana ya?".
"oh itu di bawah tangga".
"oh. kalo gitu saya permisi ke belakang dulu..".
"eh, gila lu Lih. kok lo bisa dapet bini bening kayak gitu?", tanya Waskito setelah Riri meninggalkan meja makan dan pergi ke wc.
"lo maen pelet?".
"enak aja. gue nggak maen begituan..".
"lah terus? kakek-kakek bangkotan kayak lo mana bisa dapet bini masih muda kayak gitu kalo gak maen pelet?".
"yah, dibilangin. gue mah anti maen begituan".
"oh, apa lo banyak duit sekarang? jadinya dia nempel ama lo?".
"nggak, duit gue pas-pasan".
"bukannya tadi katanya lo buka bengkel?".
"yah, cuma bengkel biasa doang. nggak dapet duit banyak".
"terus? kenapa bisa?".
"ya, istri gue ngerasa cocok aja ama gue. katanya kayak ketemu temen lama. gue juga sendiri bingung".
"terus, Lih. di depan mobil siapa?".
"ya mobil Riri".
"ha?! itu kan mobil yang lumayan mahal? berarti Riri itu anak orang kaya donk?".
"iya, bisa dibilang begitu".
"gila! beneran hoki banget lo, Lih! ajarin caranya ke kita biar bisa ngegaet ABG kayak lo, Lih?".
"atau gini aje, Lih. gue minjem bini lo semingguu aja Lih. gue udah lama nggak pernah ngerasain hangat tubuh perempuan sejak istri gue meninggal".
"kalo gue 3 hari aja Lih. biar bisa ngelepas hajat gue nih. abis cere dari istri gue 2 tahun lalu, belum pernah lagi nih gue begituan..".
"sialan lo! emangnya bini gue jablay dipinjem-pinjem!", jawab Malih sedikit marah.
"ah pelit lo!".
Waskito & Ginanjar memang sohib sekali dengan Malih. Jadi, mereka tak pikir-pikir dulu untuk bicara seenaknya seperti itu.
"tapi, Malih. emang lo udah berapa lama nikahnya?", tanya Darsono.
"baru 7 bulan, So".
"wah. masih anget-angetnya tuh. apalagi bini lo masih muda. pasti seneng ngasih jatah ke lo. ye kan? ye kan?".
"iya".
"pas bulan madu, lo kemana?".
"gue sama istri gue ke Bali".
"wah asik tuh..". Mereka berhenti mengobrol karena Riri sudah kembali. Tidak enak rasanya.
"pada ngobrolin apa nih?".
"ah nggak, nak Riri. lagi nostalgia aja".
"oh..jadi jadi, gimana awal Bapak-bapak ketemu pas SMP?".
Mereka semua bernostalgia tentang masa-masa SMP mereka. Setiap kali ada kesempatan, Waskito, Ginanjar, dan Darsono mencuri pandang ke arah belahan payudara Riri yang terekspos.
Cukup menyegarkan mata ketiga lelaki uzur nan mesum yang sudah lama tak melihat keindahan tubuh dari seorang gadis.
Tertawa renyah & memberikan timpal balik omongan mereka dengan antusias membuat Riri semakin disukai kawan-kawan tua dari supirnya.
Malih juga merasa senang, Riri kelihatan bisa beradaptasi dengan kawan-kawannya tanpa canggung sedikit pun. Nampaknya memang bidadari cantik ini benar-benar berjodoh dengannya.
Seorang gadis muda yang mempesona mengobrol dengan empat lelaki lansia tanpa ada rasa jengah dirasakannya adalah suatu hal yang jarang dilihat di zaman modern ini karena para remaja perempuan masa kini lebih gemar menghabiskan waktu untuk berbelanja di mall, berfoya-foya, atau hang out dengan teman-temannya di tempat-tempat yang mereka bilang gaul seperti kafe, night club, restoran, dan lain-lain dibandingkan meluangkan waktu dengan orang tua mereka.
Darsono benar-benar gemas dan ingin sekali menggenggam kedua buah payudara Riri yang kelihatan begitu mengkal nan besar itu.
Tapi, dia harus menahan keinginannya. Reputasinya sebagai pemilik lisensi franchise ternama bisa hancur karena menggerayangi dada seorang perempuan muda. Matahari telah terbenam, Riri memutuskan untuk pulang.
"Pak Ginanjar, Pak Waskito. Kami mau pulang dulu yaa".
"kenapa buru-buru, nak Riri?".
"besok saya ada kuliah pagi".
"ha? jadi nak Riri masih kuliah?".
"iya, Pak. saya masih mahasiswi".
"tingkat berapa?".
"tingkat akhir, Pak..".
"wah, berarti lagi tugas akhir?".
"iya, Pak. tapi nanti, belum dimulai..".
"oh begitu, yang rajin ya, nak Riri. biar cepet dapet gelar sarjananya..".
"mudah-mudahan, Pak. terima kasih doanya..".
Ketiga teman Malih semakin iri saja dengan keberuntungan teman mereka yang sederhana itu. Ibaratnya, di umur 22 tahun, Riri adalah buah yang sedikit lagi matang.
Tubuh gadis umur 20an adalah idaman para lelaki yang sudah berumur di atas 40an karena di umur 20an, tubuh seorang gadis sebentar lagi akan 'matang', tapi juga masih 'ranum' karena masih akan membentuk lekukan tubuh yang lebih indah lagi sehingga tak dapat disangkal tubuh gadis umur 20an sedang hangat-hangatnya dan sedang empuk-empuknya untuk dinikmati para pria 40 tahunan.
"eh Lih, lo sekarang tinggal di mana?", tanya Darsono yang mengantar sampai dekat mobil Riri.
"di komplek..".
"kartu nama lo deh, gue udah susah inget alamat..".
"oh yaudah, ini..".
"okeh sip deh. kapan-kapan gue maen ke rumah lo".
"iya, So. gue balik dulu".
"eh, beneran tuh bini lu?", tanya Darsono masih tak percaya.
"bener, emang lo nggak percaya? kan tadi istri gue sendiri yang bilang".
"iya sih, tapi gue nggak yakin. abisnya lo kan biasa-biasa aja, kok lo bisa dapet istri cantik, masih muda, kaya lagi?".
"nggak tau juga. mungkin gue lagi hoki aja", ledek Malih yang akhirnya bisa merasa menang dari Darsono.
"bagi-bagi hoki lo ke gue. gue juga pengen punya bini masih muda kayak bini lo. kan enak tiap hari, mata jadi seger".
"ya gimane donk, gue aja hoki bisa ketemu istri gue..".
"kan bini lo masih kuliah tuh, kali aja ada temennya yang mau juga jadi istri kakek-kakek kaya", ujar Darsono tetap merasa kaya.
"hm, iye deh. ntar kalo ada, langsung gue kenalin..".
"awas lo! jangan lupa!".
"iye, So. masih demen ngancem aje lo".
Akhirnya, Malih & Riri pun pulang ke rumah. Di perjalanan pulang, Riri ketawa-ketiwi dari kejadian di rumah Darsono.
Dia sudah biasa dipandangi lelaki jadi dia sadar betul kalau tadi, Waskito, Ginanjar, dan Darsono selalu curi-curi pandang terutama ke daerah kemasan susunya.
Malih kelihatannya biasa saja tapi memang rasanya puas sekali, merasa menang atas Darsono yang sombong itu.
Hari pun berlanjut seperti biasa, pagi sampai sore, Riri jadi mahasiswi normal yang cantik dan banyak disukai oleh kawan-kawan prianya di kampus namun galak kalau ada yang merayunya.
Tapi saat pulang kuliah, dia berubah jadi istri yang sungguh manja & sensual untuk pria uzur favoritnya.
Buah hati yang mereka nantikan tak kunjung tiba. Entah apa yang salah, padahal sudah mengikuti semua petunjuk dr. Rizal.
"dok, kenapa saya dan suami belum berhasil juga untuk punya anak?".
"hmm. suami kamu sudah mengikuti semua yang saya bilang?".
"sudah, Dok. suami saya sudah mengikuti semua saran Dokter..".
"hmm.. mungkin bisa saja karena sperma suami kamu terlalu encer".
"terlalu encer? kenapa bisa begitu, Dok?".
"kamu bilang, kamu sama suami kamu sex setiap hari?".
"iya, Dok".
"nah, itu penyebabnya. terlalu sering dikeluarkan, sperma suami kamu jadi encer. kandungan sel sperma & proteinnya juga jadi terlalu sedikit untuk membuahi kamu".
"oh begitu ya, Dok? lalu, gimana solusinya?".
"ya setidaknya, kalian jangan berhubungan badan dulu untuk 1 bulan. apa kamu sanggup?".
"saya rasa, saya sanggup, Dok. tapi apa itu artinya, saya hanya boleh diintimi suami saya sebulan sekali, Dok?", tanya Riri malu-malu.
"oh tidak, Riri. 1 bulan itu supaya testis suami kamu bisa istirahat dulu jadi bisa produksi banyak sperma yang kental. untuk selanjutnya, ya kalian bisa meranjang lagi. yah setidaknya dalam jangka waktu 3 hari sekali".
"oh. begitu, Dok. saya mengerti. oke, terima kasih penjelasannya. kalau begitu, saya pulang dulu, Dok".
"oh iya, Riri. kalau ada apa-apa, jangan malu, datang lagi konsultasi dengan saya".
"baik, Dok. saya permisi dulu..".
"oh, sebentar!".
"iya, Dok?".
"saya mau bertanya. kamu bilang, kamu dan suami kamu hubungan badan setiap hari?".
"iya, Dok. memangnya kenapa lagi, Dok?".
"apa suami kamu minum obat kuat setiap mau berhubungan intim?".
"oh tidak, Dok. dia nggak pernah minum obat kuat", ungkap Riri agak malu-malu.
"oh, bagus!. berarti memang suami kamu itu masih gagah ya? ya sudah, saya cuma mau bilang. suami kamu jangan dibolehin minum obat kuat. takut ada efek samping, kan suami kamu, maaf, sudah agak tua".
"oh, iya, Dok. saya nanti bilang ke suami saya. kalau begitu, saya permisi dulu".
Riri pun keluar dari ruangan dr. Rizal. Dia menuju ke wc ingin buang air kecil.
"eh. kamu Riri kan?", sapa seseorang ketika Riri keluar dari wc.
"iyaa. lo..?", Riri ragu-ragu, dia agak pangling. Kenal wajahnya, tapi lupa namanya.
"aku Diana".
"oh iyaa! Diana!!". Mereka berdua langsung berpelukan.
"jahat kamu, Ri. masa lupa sama aku", gerutu Diana.
"sori deh sori Di. habis kan udah lama nggak ketemu lo. terakhir kan pas SMP kelas 1".
"iyaa yaa. udah lama banget. berarti udah sekitar 8 tahunan ya?".
"iya, makanya gue lupa muka lo. hehe..".
"dasar kamu, Ri..".
Diana & Riri adalah sahabat sejak SD. Mereka berdua tak terpisahkan seperti kakak adik. Karena saat SD, Riri memang sudah tomboy, mereka jadi seperti 2 sisi koin.
Diana seorang gadis kecil yang feminim, anggun, dan ramah. Sedangkan Riri lebih bersifat tomboy & galak. Keduanya memang pintar dan cantik, tapi teman-temannya lebih menyukai Diana yang lemah lembut.
Biarpun waktu itu masih SD, sudah banyak yang naksir Diana. Namun Riri lah yang melindungi Diana kalau ada teman-temannya yang berusaha mendekatinya.
Riri jadi bodyguard sekaligus figur kakak bagi Diana yang memang anak semata wayang. Diam-diam Diana menyukai Riri. Suka karena kagum akan keberanian & spontanitas Riri sebab ia sendiri orangnya tertutup dan pemalu.
Saking mengagumi Riri, Diana sampai merengek ke orang tuanya agar bisa satu sekolah dengan Riri. Di SMP, persahabatan mereka berlanjut. Dimana ada Riri, ada Diana, begitu pula sebaliknya.
Bocah-bocah lelaki yang puber sebelum waktunya sering berfantasi berpacaran dengan 2 bidadari kecil itu sekaligus. Tapi kegalakan Riri membuat mereka mengurungkan niat untuk mendekati sepasang bidadari tersebut.
Bagi para bocah lelaki yang tak mau menyerah, biasanya mereka mendekati Diana karena lebih ramah sehingga mudah didekati.
Untung ada Riri yang menjauhkan Diana yang agak lugu itu dari bocah-bocah lelaki yang mulai 'cabul'. Begitu kentalnya persahabatan mereka sampai mereka berdua tak jarang mandi & tidur bersama.
Namun, Diana harus meninggalkan Riri saat akan naik ke kelas 2 SMP karena keluarganya pindah ke luar negeri. Riri jadi sangat kesepian semenjak itu dan mungkin itu alasannya kenapa Riri menjalin 'hubungan' dengan kakek tirinya.
"ya ampun, Ri. kamu jadi cantik banget. kamu manjangin rambut?".
"iya, Di. sekarang gue suka rambut panjang".
"udah aku bilang kan, kamu pasti tambah cantik kalau rambut kamu panjang".
"ah bisa aja lo, Di. oh iya, lagi apa lo di sini?".
"aku abis nganter file papa aku yang ketinggalan".
"oh, dimana bokap lo? udah lama nggak ketemu nih..".
"papa aku udah meninggal, Ri. sekarang aku tinggal sama papa tiri aku".
"ha? kenapa?".
"papa aku punya penyakit jantung".
"maaf, Di. gue bener-bener nggak tau. pasti lo sedih banget. kita udah ketemu lagi, jadi gue jamin lo nggak bakal kesepian lagi".
Riri memeluk erat sahabat lamanya itu. Diana pun tersenyum senang, si guardian angelnya kembali ke dalam kehidupannya.
"terus kamu lagi apa di sini?".
"oh, gue tadi abis konsultasi".
"konsultasi sama dr. Rizal?".
"iya, kok lo tau?".
"dia papa tiri aku".
"oh, papa tiri lo itu dr. Rizal?".
"iya, tapi kenapa konsultasi sama papa aku? papa aku kan dokter kandungan? apa kamu hamil, Ri?".
"gue nggak hamil, Di. tapi gue konsultasi supaya hamil".
"owh, berarti kamu udah nikah ya, Ri? sama siapa? kenapa nggak ngundang aku?".
"mm, gimana kalo kita sekalian aja yuk Di. udah lama nih nggak jalan bareng".
"iya. ide bagus tuh Ri! ayuuk ayuuk! tapi nanti kamu cerita ya?".
"iya, Di. lo bawa mobil?".
"nggak, Ri. Tadi aku ke sini naik taksi".
"oh bagus kalo gitu, kita naik mobil gue aja".
Mereka berdua pergi untuk menghabiskan waktu bersama. Sepasang bidadari cantik itu akhirnya bisa bertemu lagi. Mereka kelihatan senang sekali bisa bertemu lagi.
Keduanya tertawa dengan renyah saat bersenda gurau. Asik membicarakan pengalaman mereka masing-masing. Mereka berdua memang benar-benar soulmate, begitu akrab seperti kakak beradik kandung.
Mereka berdua sama-sama kaget karena kuliah di kampus yang sama tapi tak pernah bertemu.
Memang, Diana baru masuk ke universitas tersebut di tingkat 4 karena dia pindah dari universitasnya yang dulu. Diana kaget ketika Riri mulai bercerita kehidupan pribadinya.
Dia tak percaya kalau sahabat baiknya itu menjalin hubungan yang serius bahkan intim dengan kakek tirinya sendiri. Diana merasa bersalah karena mungkin kepergiannya mempunyai andil besar dalam hubungan taboo tersebut.
Namun, Riri bilang kalau dia tak pernah menyesali saat dia diperawani oleh kakek tirinya sendiri karena dia memang menyayanginya. Diana tahu betul kalau temannya itu berkemauan keras dan nekat, tapi dia tak menyangka kalau Riri akan senekat itu.
Namun, Diana malah serius sekali mendengarkan cerita Riri. Mulai dari cerita Riri yang menyelinap ke kamar kakeknya setiap malam hanya untuk bermesraan dengan kakeknya sampai mandi bersama tiap pagi sebelum berangkat sekolah.
Riri pun bercerita kalau orang tuanya tidak ada di rumah, dia lebih suka telanjang di depan kakek tirinya.
Dikarenakan kakek tirinya sering memuji betapa cantik wajahnya dan betapa mulus tubuhnya, membuat Riri merasa sangat dipuja, jadinya ia gemar memamerkan tubuh mudanya ke kakek tirinya itu.
Kalau sudah gemas, kakek tiri Riri langsung mendekap cucunya itu dan menggelitiki tubuh telanjang sang cucu sampai Riri minta ampun kegelian.
Tapi, Riri & kakeknya hanya sekedar bercumbu dengan lidah dan saling meraba tubuh. Tidak pernah sekali pun, 'burung' kakek tiri Riri masuk ke dalam tubuh belia sang cucu. Dia merasa tidak tega.
Namun, akhirnya kegiatan seksual itu terjadi juga, setelah kedua orang tua Riri yang sama sekali tidak curiga membolehkan Riri tidur di kamar kakeknya karena Riri selalu memaksa.
"eh, beneran tuh bini lu?", tanya Darsono masih tak percaya.
"bener, emang lo nggak percaya? kan tadi istri gue sendiri yang bilang".
"iya sih, tapi gue nggak yakin. abisnya lo kan biasa-biasa aja, kok lo bisa dapet istri cantik, masih muda, kaya lagi?".
"nggak tau juga. mungkin gue lagi hoki aja", ledek Malih yang akhirnya bisa merasa menang dari Darsono.
"bagi-bagi hoki lo ke gue. gue juga pengen punya bini masih muda kayak bini lo. kan enak tiap hari, mata jadi seger".
"ya gimane donk, gue aja hoki bisa ketemu istri gue..".
"kan bini lo masih kuliah tuh, kali aja ada temennya yang mau juga jadi istri kakek-kakek kaya", ujar Darsono tetap merasa kaya.
"hm, iye deh. ntar kalo ada, langsung gue kenalin..".
"awas lo! jangan lupa!".
"iye, So. masih demen ngancem aje lo".
Akhirnya, Malih & Riri pun pulang ke rumah. Di perjalanan pulang, Riri ketawa-ketiwi dari kejadian di rumah Darsono.
Dia sudah biasa dipandangi lelaki jadi dia sadar betul kalau tadi, Waskito, Ginanjar, dan Darsono selalu curi-curi pandang terutama ke daerah kemasan susunya.
Malih kelihatannya biasa saja tapi memang rasanya puas sekali, merasa menang atas Darsono yang sombong itu.
Hari pun berlanjut seperti biasa, pagi sampai sore, Riri jadi mahasiswi normal yang cantik dan banyak disukai oleh kawan-kawan prianya di kampus namun galak kalau ada yang merayunya.
Tapi saat pulang kuliah, dia berubah jadi istri yang sungguh manja & sensual untuk pria uzur favoritnya.
Buah hati yang mereka nantikan tak kunjung tiba. Entah apa yang salah, padahal sudah mengikuti semua petunjuk dr. Rizal.
"dok, kenapa saya dan suami belum berhasil juga untuk punya anak?".
"hmm. suami kamu sudah mengikuti semua yang saya bilang?".
"sudah, Dok. suami saya sudah mengikuti semua saran Dokter..".
"hmm.. mungkin bisa saja karena sperma suami kamu terlalu encer".
"terlalu encer? kenapa bisa begitu, Dok?".
"kamu bilang, kamu sama suami kamu sex setiap hari?".
"iya, Dok".
"nah, itu penyebabnya. terlalu sering dikeluarkan, sperma suami kamu jadi encer. kandungan sel sperma & proteinnya juga jadi terlalu sedikit untuk membuahi kamu".
"oh begitu ya, Dok? lalu, gimana solusinya?".
"ya setidaknya, kalian jangan berhubungan badan dulu untuk 1 bulan. apa kamu sanggup?".
"saya rasa, saya sanggup, Dok. tapi apa itu artinya, saya hanya boleh diintimi suami saya sebulan sekali, Dok?", tanya Riri malu-malu.
"oh tidak, Riri. 1 bulan itu supaya testis suami kamu bisa istirahat dulu jadi bisa produksi banyak sperma yang kental. untuk selanjutnya, ya kalian bisa meranjang lagi. yah setidaknya dalam jangka waktu 3 hari sekali".
"oh. begitu, Dok. saya mengerti. oke, terima kasih penjelasannya. kalau begitu, saya pulang dulu, Dok".
"oh iya, Riri. kalau ada apa-apa, jangan malu, datang lagi konsultasi dengan saya".
"baik, Dok. saya permisi dulu..".
"oh, sebentar!".
"iya, Dok?".
"saya mau bertanya. kamu bilang, kamu dan suami kamu hubungan badan setiap hari?".
"iya, Dok. memangnya kenapa lagi, Dok?".
"apa suami kamu minum obat kuat setiap mau berhubungan intim?".
"oh tidak, Dok. dia nggak pernah minum obat kuat", ungkap Riri agak malu-malu.
"oh, bagus!. berarti memang suami kamu itu masih gagah ya? ya sudah, saya cuma mau bilang. suami kamu jangan dibolehin minum obat kuat. takut ada efek samping, kan suami kamu, maaf, sudah agak tua".
"oh, iya, Dok. saya nanti bilang ke suami saya. kalau begitu, saya permisi dulu".
Riri pun keluar dari ruangan dr. Rizal. Dia menuju ke wc ingin buang air kecil.
"eh. kamu Riri kan?", sapa seseorang ketika Riri keluar dari wc.
"iyaa. lo..?", Riri ragu-ragu, dia agak pangling. Kenal wajahnya, tapi lupa namanya.
"aku Diana".
"oh iyaa! Diana!!". Mereka berdua langsung berpelukan.
"jahat kamu, Ri. masa lupa sama aku", gerutu Diana.
"sori deh sori Di. habis kan udah lama nggak ketemu lo. terakhir kan pas SMP kelas 1".
"iyaa yaa. udah lama banget. berarti udah sekitar 8 tahunan ya?".
"iya, makanya gue lupa muka lo. hehe..".
"dasar kamu, Ri..".
Diana & Riri adalah sahabat sejak SD. Mereka berdua tak terpisahkan seperti kakak adik. Karena saat SD, Riri memang sudah tomboy, mereka jadi seperti 2 sisi koin.
Diana seorang gadis kecil yang feminim, anggun, dan ramah. Sedangkan Riri lebih bersifat tomboy & galak. Keduanya memang pintar dan cantik, tapi teman-temannya lebih menyukai Diana yang lemah lembut.
Biarpun waktu itu masih SD, sudah banyak yang naksir Diana. Namun Riri lah yang melindungi Diana kalau ada teman-temannya yang berusaha mendekatinya.
Riri jadi bodyguard sekaligus figur kakak bagi Diana yang memang anak semata wayang. Diam-diam Diana menyukai Riri. Suka karena kagum akan keberanian & spontanitas Riri sebab ia sendiri orangnya tertutup dan pemalu.
Saking mengagumi Riri, Diana sampai merengek ke orang tuanya agar bisa satu sekolah dengan Riri. Di SMP, persahabatan mereka berlanjut. Dimana ada Riri, ada Diana, begitu pula sebaliknya.
Bocah-bocah lelaki yang puber sebelum waktunya sering berfantasi berpacaran dengan 2 bidadari kecil itu sekaligus. Tapi kegalakan Riri membuat mereka mengurungkan niat untuk mendekati sepasang bidadari tersebut.
Bagi para bocah lelaki yang tak mau menyerah, biasanya mereka mendekati Diana karena lebih ramah sehingga mudah didekati.
Untung ada Riri yang menjauhkan Diana yang agak lugu itu dari bocah-bocah lelaki yang mulai 'cabul'. Begitu kentalnya persahabatan mereka sampai mereka berdua tak jarang mandi & tidur bersama.
Namun, Diana harus meninggalkan Riri saat akan naik ke kelas 2 SMP karena keluarganya pindah ke luar negeri. Riri jadi sangat kesepian semenjak itu dan mungkin itu alasannya kenapa Riri menjalin 'hubungan' dengan kakek tirinya.
"ya ampun, Ri. kamu jadi cantik banget. kamu manjangin rambut?".
"iya, Di. sekarang gue suka rambut panjang".
"udah aku bilang kan, kamu pasti tambah cantik kalau rambut kamu panjang".
"ah bisa aja lo, Di. oh iya, lagi apa lo di sini?".
"aku abis nganter file papa aku yang ketinggalan".
"oh, dimana bokap lo? udah lama nggak ketemu nih..".
"papa aku udah meninggal, Ri. sekarang aku tinggal sama papa tiri aku".
"ha? kenapa?".
"papa aku punya penyakit jantung".
"maaf, Di. gue bener-bener nggak tau. pasti lo sedih banget. kita udah ketemu lagi, jadi gue jamin lo nggak bakal kesepian lagi".
Riri memeluk erat sahabat lamanya itu. Diana pun tersenyum senang, si guardian angelnya kembali ke dalam kehidupannya.
"terus kamu lagi apa di sini?".
"oh, gue tadi abis konsultasi".
"konsultasi sama dr. Rizal?".
"iya, kok lo tau?".
"dia papa tiri aku".
"oh, papa tiri lo itu dr. Rizal?".
"iya, tapi kenapa konsultasi sama papa aku? papa aku kan dokter kandungan? apa kamu hamil, Ri?".
"gue nggak hamil, Di. tapi gue konsultasi supaya hamil".
"owh, berarti kamu udah nikah ya, Ri? sama siapa? kenapa nggak ngundang aku?".
"mm, gimana kalo kita sekalian aja yuk Di. udah lama nih nggak jalan bareng".
"iya. ide bagus tuh Ri! ayuuk ayuuk! tapi nanti kamu cerita ya?".
"iya, Di. lo bawa mobil?".
"nggak, Ri. Tadi aku ke sini naik taksi".
"oh bagus kalo gitu, kita naik mobil gue aja".
Mereka berdua pergi untuk menghabiskan waktu bersama. Sepasang bidadari cantik itu akhirnya bisa bertemu lagi. Mereka kelihatan senang sekali bisa bertemu lagi.
Keduanya tertawa dengan renyah saat bersenda gurau. Asik membicarakan pengalaman mereka masing-masing. Mereka berdua memang benar-benar soulmate, begitu akrab seperti kakak beradik kandung.
Mereka berdua sama-sama kaget karena kuliah di kampus yang sama tapi tak pernah bertemu.
Memang, Diana baru masuk ke universitas tersebut di tingkat 4 karena dia pindah dari universitasnya yang dulu. Diana kaget ketika Riri mulai bercerita kehidupan pribadinya.
Dia tak percaya kalau sahabat baiknya itu menjalin hubungan yang serius bahkan intim dengan kakek tirinya sendiri. Diana merasa bersalah karena mungkin kepergiannya mempunyai andil besar dalam hubungan taboo tersebut.
Namun, Riri bilang kalau dia tak pernah menyesali saat dia diperawani oleh kakek tirinya sendiri karena dia memang menyayanginya. Diana tahu betul kalau temannya itu berkemauan keras dan nekat, tapi dia tak menyangka kalau Riri akan senekat itu.
Namun, Diana malah serius sekali mendengarkan cerita Riri. Mulai dari cerita Riri yang menyelinap ke kamar kakeknya setiap malam hanya untuk bermesraan dengan kakeknya sampai mandi bersama tiap pagi sebelum berangkat sekolah.
Riri pun bercerita kalau orang tuanya tidak ada di rumah, dia lebih suka telanjang di depan kakek tirinya.
Dikarenakan kakek tirinya sering memuji betapa cantik wajahnya dan betapa mulus tubuhnya, membuat Riri merasa sangat dipuja, jadinya ia gemar memamerkan tubuh mudanya ke kakek tirinya itu.
Kalau sudah gemas, kakek tiri Riri langsung mendekap cucunya itu dan menggelitiki tubuh telanjang sang cucu sampai Riri minta ampun kegelian.
Tapi, Riri & kakeknya hanya sekedar bercumbu dengan lidah dan saling meraba tubuh. Tidak pernah sekali pun, 'burung' kakek tiri Riri masuk ke dalam tubuh belia sang cucu. Dia merasa tidak tega.
Namun, akhirnya kegiatan seksual itu terjadi juga, setelah kedua orang tua Riri yang sama sekali tidak curiga membolehkan Riri tidur di kamar kakeknya karena Riri selalu memaksa.
Malam pertama Riri dilakukan bersama kakek tirinya di rumahnya sendiri, dan orang tuanya sedang ada di rumah. Kedua orang tua Riri yang sedang bersantai di lantai bawah sama sekali tak kepikiran kalau anak kesayangan mereka sedang bersenggama dengan sang kakek di lantai atas.
Sampai sekarang pun, ayah Riri tetap tidak tahu kalau alat kelamin sang kakek lah yang pertama kali 'mengunjungi' kemaluan sang anak tercinta serta air mani yang pertama kali mengisi & berenang-renang di rahim anaknya adalah milik sang ayah tiri dari istrinya yang kini sudah meninggal.
Bersama sang kakek tirinya lah, Riri mengeksplorasi surga duniawi dari kemaluan belianya dengan batang kejantanan veteran milik kakek tirinya.
Mulai dari oral seks, vaginal seks, anal seks, posisi sex 69, doggy style, wot, wheelchair, standing still, missionary, dan lain-lain ia pelajari bersama kakek tirinya.
Dan tentu, 'mandi kucing', ia ciptakan bersama sang kakek tirinya.
Lebih kaget lagi Diana saat mendengar Riri yang seranjang dengan supirnya sendiri, Malih. Pria tua yang waktu itu ia sapa di parkiran kampus. Tak terbayangkan kalau sahabat baiknya yang cantik ini bermesraan di ranjang dengan pria yang sudah begitu tua.
Riri baru tahu kalau Diana pernah bertemu dengan Malih di parkiran kampus.
Riri pun jadi semakin semangat menceritakan kekasih tuanya itu. Dia bercerita bagaimana bisa bertemu dengan Malih, kenapa bisa jatuh cinta dengannya, dan kehidupannya sekarang pada Diana.
"non Riri kemana sih? jam segini belum pulang", ujar Malih khawatir dengan nona mudanya yang belum pulang dan tak memberi kabar padahal sudah jam 10 malam.
Ditelepon pun tak bisa karena handphone Riri mati. Malih jadi tak enak melakukan apapun. Tak lama cahaya lampu terlihat di depan rumah.
Malih langsung bergegas keluar rumah. Dia memperhatikan Riri keluar dari mobil. Melihat wajah Malih yang agak asam, Riri tersenyum merajuk.
"non Riri dari mana?", tanya Malih dengan nada agak tinggi.
"hehehe.. maaf, Pak. tadi Riri ketemu temen SMP. udah lama nggak ketemu, jadinya kangen banget. maaaf, Paak..", jawab Riri begitu manja untuk merayu Malih agar tidak marah.
"terus hpnya dimatiin juga?".
"hp Riri lowbat, Pak. jadinya Riri matiin deh. maaf, Pak. udah yaa, jangan marah", bujuk Riri menaruh tangannya di dada Malih.
"ya udah, non Riri masuk dulu".
"emang non Riri dari mana?", tanya Malih ketika Riri sudah duduk di sofa, mengistirahatkan tubuh eloknya itu.
"Riri abis ketemu temen SMP Riri, Diana. Bapak pernah ketemu kan?".
"iya, tapi non Riri kemana aja? sampai malam gini?", Malih tidak terpengaruh dengan Riri yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
"ya namanya juga ketemu temen lama, Pak. kita ngobrol sampe lupa waktu".
"Bapak khawatir aja sama non. jangan diulangin ya", tak tega juga Malih mengomeli nona mudanya yang cantik itu.
"makasih, Pak". Riri tersenyum dan memeluk Malih dengan mesra.
"oh iya, Pak. Riri mau ngeliatin sesuatu..".
"apa, non?".
Tiba-tiba sang bidadari membuka kancing blouse putihnya satu per satu. Dia menghadap ke belakang dan melepaskan kaitan 'pembungkus' payudaranya.
"ini, Pak. bagus nggak?". Riri membusungkan payudaranya ke depan, dia mempertontonkan sesuatu yang baru di buntalan daging kembarnya.
"non bikin tato di situ?".
"iya, Pak. gimana? bagus kan?".
"tapi kok, tatonya nama Bapak?".
Tato bertuliskan 'Malih' menghiasi payudara kanan Riri, sedangkan di payudara kirinya tercetak 'Setiawan', membuat Malih agak heran tapi juga senang.
"iya, Pak. ini tato permanen soalnya Riri pengen Bapak tahu kalau payudara Riri itu cuma buat Bapak", jawab Riri sangat manja. Jawaban yang sungguh menyenangkan hati pria tua seperti Malih.
"berarti non Riri dipegang-pegang sama tukang tato?".
"tenang, Pak. Riri bikin tato di kenalan Riri, cewek kok..".
"Bapak nggak tau harus bilang apa. non Riri sampai ngelakuin ini..", Malih kelihatan begitu terharu.
Gadis muda nan cantik yang ada di depannya sekarang memang benar-benar mencintainya.
"masih ada yang lain kok, Pak..". Riri melorotkan celananya beserta celana dalamnya juga. Kini, ia bugil sepenuhnya di depan calon suaminya itu. Riri membelakangi Malih lagi.
"ini satu lagi, Pak..". Mahasiswi cantik itu memamerkan satu tatonya lagi di bongkahan pantatnya.
Tato permanen yang bertuliskan 'milik Malih Setiawan'. Sebuah tato kecil yang benar-benar menunjukkan kalau tubuh indahnya milik sang supir tua yang dicintainya.
"ya ampun, non. beneran nggak apa-apa, tato kayak gitu? kan tatonya permanen, susah diilangin", ujar Malih seraya berjongkok dan mengelus-elus tato di pantat montok sang pacar yang masih belia.
"emang nggak ada niat untuk diilangin kok. hehehe..".
"makasih banyak non. Bapak nggak tau harus gimana. non terlalu baik sama Bapak. ucapan terima kasih rasanya nggak cukup".
"Riri cinta Bapak. jadi Bapak nggak perlu merasa nggak enak. Riri seneng bisa bikin Bapak bahagia", ungkap Riri sebelum merangkul dan mencium mesra supirnya itu.
"terima kasih banyak, non", air mata merembes keluar dari sudut mata keriput Malih.
Riri kemudian bersender pada Malih dan melingkarkan kedua tangan Malih yang keriput ke perutnya yang rata nan mulus. Pemandangan yang sungguh erotis ketika ada seorang gadis muda nan cantik yang bugil dipeluk dari belakang oleh pria tua yang masih berbaju lengkap.
Momen sunyi yang mesra sangat dinikmati oleh keduanya.
"oh iya, Pak. tadi Riri ketemu dr. Rizal lagi".
"oh iya, terus gimana, non?".
"dr. Rizal bilang, kita nggak boleh senggama dulu selama 1 bulan. soalnya kemungkinan karena kita sering nge sex, sperma Bapak jadi encer dan nggak ada nutrisinya".
"oh begitu ya, non? berarti Bapak nggak boleh nyentuh non Riri selama sebulan?".
"kalo nyentuh boleh-boleh aja kok, Pak. Riri nggak keberatan. hehehe", canda nakal Riri.
"yang nggak boleh tuh Bapak orgasme".
"oh begitu ya, non? Bapak coba deh. tapi kalo begini doang, boleh kan?". Malih langsung mengunyeng-unyeng kedua susu Riri dengan gemas.
"mmmmhh.. Bapak, kalo ini mah, Riri bolehin banget. hehehe..".
"kalo gitu, non. selama sebulan, non Riri sekalian aja ngerjain tugas akhirnya?".
"iya, Pak. Riri juga mikir gitu. jadi pas udah selesai sebulan, skripsi Riri juga mudah-mudahan udah selesai. kan abis itu Riri bisa siap 100%".
"siap buat apa, non?".
"buat jadi ibu dari anak kita nanti".
Malih tersenyum senang mendengarnya. Dia merangkul tubuh telanjang kemudian mengecup bibir gadis cantik yang benar-benar mencintainya itu dengan mesra.
"non, tapi mulainya besok aja ya?".
Riri mengulum bibir bawahnya dan mengangguk. Malih segera 'mengangkut' tubuh elok sang pujaan hati yang sudah tak tertutup apapun ke dalam kamar untuk bersenggama sepuas-puasnya sebelum mulai berpuasa sementara besok, demi mendapatkan buah hati yang dinanti-nanti.
Malam itu untuk kesekian kalinya, 'bayonet' tumpul sang pria lansia kembali merojoki liang senggama si dara cantik yang masih belia, memberikan kepuasan batin yang maksimal bagi keduanya yang bercinta penuh gairah & begitu liar dibandingkan malam-malam sebelumnya.
Sesuai persetujuan yang telah disepakati keduanya, mereka tak melakukan semua hal yang biasanya mereka lakukan seperti berciuman, berpelukan, ataupun bermanja-manjaan.
Akhirnya jalinan mereka jadi supir-majikan sebenarnya.
Riri serius kuliah dan cepat mengumpulkan materi skripsinya. Malih sendiri, tanpa sepengatahuan Riri, menjalani pengobatan tradisional untuk mengembalikan kesuburannya.
Ikrar telah diucapkan, keduanya menetapkan hati untuk tidak mengingkarinya. Sudah 2 minggu berlalu, mereka mulai merasa hampa. Seperti ada yang kurang dan keduanya tahu apa itu.
Riri tak pernah berpakaian seksi atau bertingkah sensual di depan Malih seperti biasanya. Puasa sex ini memang untuk kebaikan Malih jadi dia harus mendukungnya sebaik mungkin karena kondisi rahim dia sendiri sebenarnya sudah sangat siap menerima sumbangan sperma.
Namun, sepasang manusia beda generasi tersebut tak bisa membohongi diri sendiri. Setiap kali memandang wajah satu sama lain, tubuh mereka bergetar dan menghangat secara bertahap seakan ingin ditempel satu sama lain.
Mungkin itu efek dari seringnya mereka bergumul. Makin lama, Riri makin tidak tahan, dia jadi merasa jengah & tak nyaman melakukan apapun, dia memutuskan untuk membeli dildo.
Dildo yang disamakan panjang & diameternya dengan alat kelamin Malih. Sangat mudah bagi Riri yang sudah biasa memandangi, mengocok, menciumi, dan menjilati batang kokoh Malih, untuk mengetahui bentuk, panjang, dan diameternya.
Dan untuk tak mengganggu konsentrasi Malih, Riri memberanikan diri untuk tak melakukan masturbasi di rumah melainkan wc umum termasuk wc di kampusnya.
Dengan semangat, Riri mengerjakan skripsinya secepat mungkin. Dia rajin mencari referensi ke sana kemari & langsung menemui dosen pembimbingnya dimanapun dosennya berada jika menemui masalah pada skripsinya.
Bunyi siulan bersenandung nada kopi dangdut terdengar dari luar. Datangnya dari mulut Malih yang sedang mencuci mobil di sabtu pagi yang cerah. Riri bilang kepadanya kalau ingin istirahat dulu, tak mau ke kampus, mengikuti nasihat Malih.
Lelaki tua itu tak mau gadis cantiknya jatuh sakit karena terlalu fokus pada skripsinya agar bisa menyelesaikannya dengan cepat. Sudah agak siang, tapi Riri belum keluar kamar juga, Malih jadi khawatir.
"tok tok tok! non! udah siang ini, ayo bangun!", teriak Malih dari luar kamar Riri. Tak ada jawaban dari dalam.
"aduh si non! bangun! matahari udah tinggi! non Riri!". Tak ada jawaban juga, Malih membuka pintu. Malih membuka pintu, dia melihat Riri sedang berselimut.
"ada apa, Pak?", wajah Riri nampak pucat dan begitu lesu.
"non Riri sakit ya?".
"Iya nih, Pak. Riri rasanya lemess banget".
"coba sini". Malih menempelkan tangannya di kening Riri.
"Wah, non, panas banget badannya. Bapak anter ke dokter ya?".
"Nggak usah, Pak. Paling ini cuma demam biasa. Istirahat sebentar juga sembuh, Pak".
Sampai sekarang pun, ayah Riri tetap tidak tahu kalau alat kelamin sang kakek lah yang pertama kali 'mengunjungi' kemaluan sang anak tercinta serta air mani yang pertama kali mengisi & berenang-renang di rahim anaknya adalah milik sang ayah tiri dari istrinya yang kini sudah meninggal.
Bersama sang kakek tirinya lah, Riri mengeksplorasi surga duniawi dari kemaluan belianya dengan batang kejantanan veteran milik kakek tirinya.
Mulai dari oral seks, vaginal seks, anal seks, posisi sex 69, doggy style, wot, wheelchair, standing still, missionary, dan lain-lain ia pelajari bersama kakek tirinya.
Dan tentu, 'mandi kucing', ia ciptakan bersama sang kakek tirinya.
Lebih kaget lagi Diana saat mendengar Riri yang seranjang dengan supirnya sendiri, Malih. Pria tua yang waktu itu ia sapa di parkiran kampus. Tak terbayangkan kalau sahabat baiknya yang cantik ini bermesraan di ranjang dengan pria yang sudah begitu tua.
Riri baru tahu kalau Diana pernah bertemu dengan Malih di parkiran kampus.
Riri pun jadi semakin semangat menceritakan kekasih tuanya itu. Dia bercerita bagaimana bisa bertemu dengan Malih, kenapa bisa jatuh cinta dengannya, dan kehidupannya sekarang pada Diana.
"non Riri kemana sih? jam segini belum pulang", ujar Malih khawatir dengan nona mudanya yang belum pulang dan tak memberi kabar padahal sudah jam 10 malam.
Ditelepon pun tak bisa karena handphone Riri mati. Malih jadi tak enak melakukan apapun. Tak lama cahaya lampu terlihat di depan rumah.
Malih langsung bergegas keluar rumah. Dia memperhatikan Riri keluar dari mobil. Melihat wajah Malih yang agak asam, Riri tersenyum merajuk.
"non Riri dari mana?", tanya Malih dengan nada agak tinggi.
"hehehe.. maaf, Pak. tadi Riri ketemu temen SMP. udah lama nggak ketemu, jadinya kangen banget. maaaf, Paak..", jawab Riri begitu manja untuk merayu Malih agar tidak marah.
"terus hpnya dimatiin juga?".
"hp Riri lowbat, Pak. jadinya Riri matiin deh. maaf, Pak. udah yaa, jangan marah", bujuk Riri menaruh tangannya di dada Malih.
"ya udah, non Riri masuk dulu".
"emang non Riri dari mana?", tanya Malih ketika Riri sudah duduk di sofa, mengistirahatkan tubuh eloknya itu.
"Riri abis ketemu temen SMP Riri, Diana. Bapak pernah ketemu kan?".
"iya, tapi non Riri kemana aja? sampai malam gini?", Malih tidak terpengaruh dengan Riri yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
"ya namanya juga ketemu temen lama, Pak. kita ngobrol sampe lupa waktu".
"Bapak khawatir aja sama non. jangan diulangin ya", tak tega juga Malih mengomeli nona mudanya yang cantik itu.
"makasih, Pak". Riri tersenyum dan memeluk Malih dengan mesra.
"oh iya, Pak. Riri mau ngeliatin sesuatu..".
"apa, non?".
Tiba-tiba sang bidadari membuka kancing blouse putihnya satu per satu. Dia menghadap ke belakang dan melepaskan kaitan 'pembungkus' payudaranya.
"ini, Pak. bagus nggak?". Riri membusungkan payudaranya ke depan, dia mempertontonkan sesuatu yang baru di buntalan daging kembarnya.
"non bikin tato di situ?".
"iya, Pak. gimana? bagus kan?".
"tapi kok, tatonya nama Bapak?".
Tato bertuliskan 'Malih' menghiasi payudara kanan Riri, sedangkan di payudara kirinya tercetak 'Setiawan', membuat Malih agak heran tapi juga senang.
"iya, Pak. ini tato permanen soalnya Riri pengen Bapak tahu kalau payudara Riri itu cuma buat Bapak", jawab Riri sangat manja. Jawaban yang sungguh menyenangkan hati pria tua seperti Malih.
"berarti non Riri dipegang-pegang sama tukang tato?".
"tenang, Pak. Riri bikin tato di kenalan Riri, cewek kok..".
"Bapak nggak tau harus bilang apa. non Riri sampai ngelakuin ini..", Malih kelihatan begitu terharu.
Gadis muda nan cantik yang ada di depannya sekarang memang benar-benar mencintainya.
"masih ada yang lain kok, Pak..". Riri melorotkan celananya beserta celana dalamnya juga. Kini, ia bugil sepenuhnya di depan calon suaminya itu. Riri membelakangi Malih lagi.
"ini satu lagi, Pak..". Mahasiswi cantik itu memamerkan satu tatonya lagi di bongkahan pantatnya.
Tato permanen yang bertuliskan 'milik Malih Setiawan'. Sebuah tato kecil yang benar-benar menunjukkan kalau tubuh indahnya milik sang supir tua yang dicintainya.
"ya ampun, non. beneran nggak apa-apa, tato kayak gitu? kan tatonya permanen, susah diilangin", ujar Malih seraya berjongkok dan mengelus-elus tato di pantat montok sang pacar yang masih belia.
"emang nggak ada niat untuk diilangin kok. hehehe..".
"makasih banyak non. Bapak nggak tau harus gimana. non terlalu baik sama Bapak. ucapan terima kasih rasanya nggak cukup".
"Riri cinta Bapak. jadi Bapak nggak perlu merasa nggak enak. Riri seneng bisa bikin Bapak bahagia", ungkap Riri sebelum merangkul dan mencium mesra supirnya itu.
"terima kasih banyak, non", air mata merembes keluar dari sudut mata keriput Malih.
Riri kemudian bersender pada Malih dan melingkarkan kedua tangan Malih yang keriput ke perutnya yang rata nan mulus. Pemandangan yang sungguh erotis ketika ada seorang gadis muda nan cantik yang bugil dipeluk dari belakang oleh pria tua yang masih berbaju lengkap.
Momen sunyi yang mesra sangat dinikmati oleh keduanya.
"oh iya, Pak. tadi Riri ketemu dr. Rizal lagi".
"oh iya, terus gimana, non?".
"dr. Rizal bilang, kita nggak boleh senggama dulu selama 1 bulan. soalnya kemungkinan karena kita sering nge sex, sperma Bapak jadi encer dan nggak ada nutrisinya".
"oh begitu ya, non? berarti Bapak nggak boleh nyentuh non Riri selama sebulan?".
"kalo nyentuh boleh-boleh aja kok, Pak. Riri nggak keberatan. hehehe", canda nakal Riri.
"yang nggak boleh tuh Bapak orgasme".
"oh begitu ya, non? Bapak coba deh. tapi kalo begini doang, boleh kan?". Malih langsung mengunyeng-unyeng kedua susu Riri dengan gemas.
"mmmmhh.. Bapak, kalo ini mah, Riri bolehin banget. hehehe..".
"kalo gitu, non. selama sebulan, non Riri sekalian aja ngerjain tugas akhirnya?".
"iya, Pak. Riri juga mikir gitu. jadi pas udah selesai sebulan, skripsi Riri juga mudah-mudahan udah selesai. kan abis itu Riri bisa siap 100%".
"siap buat apa, non?".
"buat jadi ibu dari anak kita nanti".
Malih tersenyum senang mendengarnya. Dia merangkul tubuh telanjang kemudian mengecup bibir gadis cantik yang benar-benar mencintainya itu dengan mesra.
"non, tapi mulainya besok aja ya?".
Riri mengulum bibir bawahnya dan mengangguk. Malih segera 'mengangkut' tubuh elok sang pujaan hati yang sudah tak tertutup apapun ke dalam kamar untuk bersenggama sepuas-puasnya sebelum mulai berpuasa sementara besok, demi mendapatkan buah hati yang dinanti-nanti.
Malam itu untuk kesekian kalinya, 'bayonet' tumpul sang pria lansia kembali merojoki liang senggama si dara cantik yang masih belia, memberikan kepuasan batin yang maksimal bagi keduanya yang bercinta penuh gairah & begitu liar dibandingkan malam-malam sebelumnya.
Sesuai persetujuan yang telah disepakati keduanya, mereka tak melakukan semua hal yang biasanya mereka lakukan seperti berciuman, berpelukan, ataupun bermanja-manjaan.
Akhirnya jalinan mereka jadi supir-majikan sebenarnya.
Riri serius kuliah dan cepat mengumpulkan materi skripsinya. Malih sendiri, tanpa sepengatahuan Riri, menjalani pengobatan tradisional untuk mengembalikan kesuburannya.
Ikrar telah diucapkan, keduanya menetapkan hati untuk tidak mengingkarinya. Sudah 2 minggu berlalu, mereka mulai merasa hampa. Seperti ada yang kurang dan keduanya tahu apa itu.
Riri tak pernah berpakaian seksi atau bertingkah sensual di depan Malih seperti biasanya. Puasa sex ini memang untuk kebaikan Malih jadi dia harus mendukungnya sebaik mungkin karena kondisi rahim dia sendiri sebenarnya sudah sangat siap menerima sumbangan sperma.
Namun, sepasang manusia beda generasi tersebut tak bisa membohongi diri sendiri. Setiap kali memandang wajah satu sama lain, tubuh mereka bergetar dan menghangat secara bertahap seakan ingin ditempel satu sama lain.
Mungkin itu efek dari seringnya mereka bergumul. Makin lama, Riri makin tidak tahan, dia jadi merasa jengah & tak nyaman melakukan apapun, dia memutuskan untuk membeli dildo.
Dildo yang disamakan panjang & diameternya dengan alat kelamin Malih. Sangat mudah bagi Riri yang sudah biasa memandangi, mengocok, menciumi, dan menjilati batang kokoh Malih, untuk mengetahui bentuk, panjang, dan diameternya.
Dan untuk tak mengganggu konsentrasi Malih, Riri memberanikan diri untuk tak melakukan masturbasi di rumah melainkan wc umum termasuk wc di kampusnya.
Dengan semangat, Riri mengerjakan skripsinya secepat mungkin. Dia rajin mencari referensi ke sana kemari & langsung menemui dosen pembimbingnya dimanapun dosennya berada jika menemui masalah pada skripsinya.
Bunyi siulan bersenandung nada kopi dangdut terdengar dari luar. Datangnya dari mulut Malih yang sedang mencuci mobil di sabtu pagi yang cerah. Riri bilang kepadanya kalau ingin istirahat dulu, tak mau ke kampus, mengikuti nasihat Malih.
Lelaki tua itu tak mau gadis cantiknya jatuh sakit karena terlalu fokus pada skripsinya agar bisa menyelesaikannya dengan cepat. Sudah agak siang, tapi Riri belum keluar kamar juga, Malih jadi khawatir.
"tok tok tok! non! udah siang ini, ayo bangun!", teriak Malih dari luar kamar Riri. Tak ada jawaban dari dalam.
"aduh si non! bangun! matahari udah tinggi! non Riri!". Tak ada jawaban juga, Malih membuka pintu. Malih membuka pintu, dia melihat Riri sedang berselimut.
"ada apa, Pak?", wajah Riri nampak pucat dan begitu lesu.
"non Riri sakit ya?".
"Iya nih, Pak. Riri rasanya lemess banget".
"coba sini". Malih menempelkan tangannya di kening Riri.
"Wah, non, panas banget badannya. Bapak anter ke dokter ya?".
"Nggak usah, Pak. Paling ini cuma demam biasa. Istirahat sebentar juga sembuh, Pak".
"Ya tapi kan supaya lebih aman, kita ke dokter aja ya non".
"Iya, tapi nanti aja ya, Pak. Riri masih lemess banget", keluh Riri pelan.
"Oh iya non, nanti sore kita ke dokternya. Sekarang Bapak kompres pake air dingin dulu ya?".
"Iya, Pak. Maaf ngerepotin".
"nggak ngerepotin lah Non. emang tugas Bapak ngerawat non", jawab Malih lembut membuat Riri tersenyum kecil meski dengan wajahnya yang lesu. Tak lama Malih kembali dengan membawa sebaskom air dingin dan handuk kecil.
Dia basahkan handuk kecil itu dan memerasnya kemudian ia letakkan perlahan di kening Riri lalu menutupi badan Riri dengan selimut.
"Non, acnya matiin aja yaa". Riri mengangguk lemah.
"Oh iya, non Riri udah makan?".
"Nggak, Pak. Riri nggak laper".
"Jangan gitu non. Orang sakit harus makan, kalau nggak, nanti tambah parah".
"Tapi Riri nggak nafsu makan".
"Ya tapi harus makan, non. Sesuap juga nggak apa-apa. Biar ada isinya dikit. Ya non? Mau ya makan, non?".
"Iya deh, Pak".
"Nah gitu, non. Bapak cari bubur dulu yaa". Tak beberapa lama, Malih kembali dengan membawa semangkuk bubur.
"Maaf lama, non. Tukang buburnya tadi udah sampe ujung kompleks".
"Nggak apa-apa, Pak", jawab Riri tersenyum.
"Ayo, non. Makan dulu".
Malih membantu Riri untuk bangun dari tempat tidur dan bersender pada sandaran tempat tidurnya yang besar itu dengan diganjal bantal.
"Ayo, non. Aaaa".
Riri membuka mulut untuk melahap bubur yang dibeli Malih.
Hanya 5x suap, Riri merasa sudah kenyang dan tidak bernafsu lagi makan.
"ayo non, sesuap lagi".
"nggak, Pak. Riri udah kenyang", tolak Riri seraya menjauhkan mulutnya dari sendok yang disodorkan Malih.
"Jangan gitu non. Ayo sesuap lagi deh, bener deh, janji deh. Ayo non. Aaaa".
"Nggak mau", tolak Riri manja.
"Ayo nih, pesawatnya mau lewat. Ngiung ngiung".
"Emangnya Riri anak kecil".
"Oh yaudah, kalo gitu. Ini keretanya mau lewat. Gujes gujes gujes".
"Iih, itu mah sama aja".
Riri tertawa kecil dengan wajah lesunya, tapi setelah itu dia membuka mulutnya.
Malih senang sekali melihat Riri yang tertawa meski sakit. Dia berhasil menghiburnya agar tidak terlalu lemas.
Pria itu memang benar-benar mencintai si dara belia, bukan karena Riri masih muda, tubuhnya yang mulus, wajahnya yang cantik, dan hartanya yang cukup berlimpah, tapi karena Riri menemaninya di hari tua sehingga penuh kehangatan dan tidak kesepian lagi.
"non, kenapa? kok nangiis? Bapak ada salah kata ya? Maaf, non".
"eemmm", Riri menggelengkan kepala seraya menyeka air matanya.
"Bukan, Pak. Riri cuma keinget dulu pas masih kecil. Riri masih sering disuapin sama ibu kandung Riri, ayah Riri juga sambil ngajak Riri main supaya mau makan terus. Sama caranya kayak Bapak sekarang nyuapin Riri".
"Riri bener-bener kangen saat-saat itu, andai bisa balik lagi ke sana".
Malih tak dapat berkata apa-apa, dia hanya bisa tersenyum dan mengelus-elus punggung Riri. Tetesan air mata semakin banyak menetes dari mata Riri.
Ungkapan hati yang memilukan dari seorang gadis yang sangat cantik & kaya.
Bagi gadis lain, mungkin kehidupan Riri seperti putri di dalam dongeng, tapi mereka tidak tahu bahwa ada jiwa yang sangat kesepian di dalamnya.
Tiba-tiba Riri memeluk erat Malih dan menangis. Malih yang kebingungan menaruh mangkuk di meja, dan balas memeluk Riri.
"udah udah, non. jangan sedih lagi".
"makasih, Pak. udah nemenin hari-hari Riri. Riri jadi nggak ngerasa sendiri lagi sejak kenal sama Pak Malih".
"Bapak juga, terima kasiih banget sama non Riri yang baik banget sama Bapak".
Mereka saling mendekap satu sama lain dengan begitu erat. Malih biarkan Riri menangis di pundaknya.
Sepasang kekasih yang mempunyai beda usia sangat jauh ini memang sering mengungkapkan satu sama lain tentang betapa bersyukurnya mereka telah bertemu dan saling mengisi hari-hari dengan kehangatan dan kasih sayang.
Hanya orang-orang seperti Riri dan Malih yang tahu perasaan orang yang sudah lama merasakan sepi dan sendiri dan tiba-tiba bertemu dengan orang yang cocok, sungguh tak bisa diungkapkan betapa senangnya. Akhirnya Riri sanggup menghabiskan buburnya seperti anak kecil manja yang sedang disuapi ayahnya.
Meski sakit, nampak jelas di wajah Riri kalau dia begitu senang. Sore menjelang, Malih pun mengantarkan Riri ke tempat praktek dokter langganan Riri.
"Tadi berapa biayanya, Pak?".
"Udah non, udah Bapak bayar".
"Pake uang Bapak?".
"Iya, udah, non nggak usah pikirin".
"Tapi kan, Pak..".
"Udah, non, kan gaji Bapak dari non, masa pas non butuh, Bapak nggak ngasih".
"Makasih banyak ya, Pak".
Begitu pulang, Malih langsung membopoh Riri ke kamar dan langsung meminumkan obat dari dokter pada Riri.
Lelaki tua itu begitu sigap merawat nona mudanya, dia selalu ada di sampingnya meski Riri sedang tertidur. Riri tersenyum lepas melihat Malih tetap menunggunya di samping tempat tidur sampai malam.
Riri membelai lembut kepala Malih, dia semakin cinta kepada pria tua itu yang dengan setia tetap menungguinya di kamarnya sampai ikut tertidur.
Jelas kalau laki-laki uzur ini sangat mengkhawatirkannya, menyayanginya dengan tulus, bukan hanya mencintai kecantikan wajah dan keelokan tubuhnya.
Riri semakin yakin kalau Malih ini adalah jodohnya. Selisih usia yang begitu jauh sampai 2x lipat terasa tak ada artinya.
Riri ingin sekali menghabiskan hari-hari bersamanya, memberikan kehangatan pada Malih dengan tubuh belianya, menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat pagi, dan menyediakan rahimnya untuk keturunan-keturunan Malih nantinya.
Berapapun anak yang diinginkan Malih, Riri akan selalu siap menyediakan 'sarana' yang diperlukan pria tua itu.
"eh, non Riri udah bangun?".
"iya, Pak", jawab Riri tersenyum manis.
"maaf, non. Bapak ketiduran".
"nggak apa-apa, Pak. Riri malah mau minta maaf, udah ngerepotin Bapak".
"ya ampun si non. nggak apa-apa lah. oh iya, non Riri pasti laper. Bapak buatin bubur instan ya".
"iya, Pak. makasih".
Pacarnya yang sudah renta itu memang sopan. Padahal sudah sangat sering mereka bergumul dan saling menjamah tubuh satu sama lain, tapi dia masih menganggap Riri sebagai majikannya.
"Bapak mau kemana?", tanya Riri yang sudah selesai makan.
"mau ke kamar, biar nggak ganggu non istirahat".
"temenin Riri di sini, Pak".
"non Riri nggak keganggu?".
Riri menggelengkan kepala sembari tersenyum. Gadis cantik itu pun tidur dengan memeluk manja sang supir tua.
Malih serasa seperti sedang mengeloni anaknya sendiri. Aroma harum alami tubuh Riri pun mulai membangkitkan 'bagian' laki-laki Malih.
"mm..Bapak on ya?", tanya Riri lembut.
"iya, non. hehe. maaf, non. wangi non Riri emang selalu bikin Bapak jadi nafsu".
"sabar ya, Pak. Nanti kalau skripsi Riri udah selesai. Itunya Bapak, nggak akan Riri bolehin kemana-mana", ancam Riri begitu nakal padahal ia sedang sakit & sudah agak ngelindur.
"yaudah, non. non Riri tidur aja sekarang, itu urusan nanti..".
Malih mengelus-elus rambut Riri. Malam itu penuh kehangatan & sangat romantis antara seorang dara belia yang cantik dengan pria tua yang agak kurus & sudah keriput.
Keesokan harinya, Riri sudah baikan, manjur sekali obat dari dokter. Setidaknya, panas Riri sudah agak menurun meski dia masih merasa sedikit meriang.
"non, ukur dulu suhu badannya".
"mau ditaro dimana, Pak?".
"di ketiak, non aja".
"oh kirain di pantat Riri".
"emang kenapa, non?".
"ya takut aja, nanti Bapak ganti pake termometer yang lain", canda Riri sedikit nakal.
"si non, lagi sakit, masih suka becanda yang begitu juga", ucap Malih sembari mencubit pipi Riri.
Riri pun membuka 3 kancing piyamanya dan menampilkan sebelah payudaranya kepada Malih.
"gleekk!". Malih meneguk ludahnya.
Meski sudah puluhan kali ia memandangi 'buah' mengkal itu, tapi dia tetap gemas dan ingin mencaploknya apalagi karena sudah berhari-hari tak menyusu pada nona mudanya yang cantik itu. Jadi tanpa permisi, Malih langsung mengenyot payudara kiri Riri.
"iih, Pak Malih maen kenyot aja", eluh Riri manja yang mulai merasa 'gelisah' atau geli-geli basah pada puting kirinya.
"hehe.. udah lama nggak ngempengin susunya non. jadi gemes deh", jawab Malih enteng sebelum menjepitkan termometer di ketiak Riri.
"wuu. bisa aja".
"sambil nunggu termometernya, Pak Malih boleh ya ngempeng susu non Riri lagi? hehe", canda Malih mesum.
"udah gede, masih ngempeng", balas Riri dengan canda juga.
"boleh ya, non?".
"iya, iya, Pak. masa nggak boleh. tapi Riri tiduran aja ya. masih lemes".
"oh iya, non. makasii, non".
"inget, jangan sampe ngelanggar aturan dokter lho, Pak".
"beres, non".
Jadilah Malih mengempeng pada kedua puting nonanya yang terlentang pasrah untuk memberikan keleluasaan baginya untuk bermain-main dengan buntalan daging kembar yang bulat nan empuk itu.
Suara desahan lembut & tawa kecil Riri memenuhi kamar. Dia membelai kepala Malih, persis seperti ibu yang sedang membiarkan balitanya bermain-main dengan payudaranya.
Tapi, sesekali Riri memukul pelan kepala Malih sambil tertawa kecil saat kedua putingnya dikunyah pelan oleh supirnya yang sudah lansia itu. Momen yang begitu romantis nan 'menggelitik' bagi keduanya.
Namun, Malih agak sedikit frustasi, dia masih di dalam masa puasanya untuk menggumuli nonanya yang cantik & seksi. Kalau saja sedang tidak ada larangan, sudah ia tunggangi tubuh indah milik dara belia ini berkali-kali.
"Iya, tapi nanti aja ya, Pak. Riri masih lemess banget", keluh Riri pelan.
"Oh iya non, nanti sore kita ke dokternya. Sekarang Bapak kompres pake air dingin dulu ya?".
"Iya, Pak. Maaf ngerepotin".
"nggak ngerepotin lah Non. emang tugas Bapak ngerawat non", jawab Malih lembut membuat Riri tersenyum kecil meski dengan wajahnya yang lesu. Tak lama Malih kembali dengan membawa sebaskom air dingin dan handuk kecil.
Dia basahkan handuk kecil itu dan memerasnya kemudian ia letakkan perlahan di kening Riri lalu menutupi badan Riri dengan selimut.
"Non, acnya matiin aja yaa". Riri mengangguk lemah.
"Oh iya, non Riri udah makan?".
"Nggak, Pak. Riri nggak laper".
"Jangan gitu non. Orang sakit harus makan, kalau nggak, nanti tambah parah".
"Tapi Riri nggak nafsu makan".
"Ya tapi harus makan, non. Sesuap juga nggak apa-apa. Biar ada isinya dikit. Ya non? Mau ya makan, non?".
"Iya deh, Pak".
"Nah gitu, non. Bapak cari bubur dulu yaa". Tak beberapa lama, Malih kembali dengan membawa semangkuk bubur.
"Maaf lama, non. Tukang buburnya tadi udah sampe ujung kompleks".
"Nggak apa-apa, Pak", jawab Riri tersenyum.
"Ayo, non. Makan dulu".
Malih membantu Riri untuk bangun dari tempat tidur dan bersender pada sandaran tempat tidurnya yang besar itu dengan diganjal bantal.
"Ayo, non. Aaaa".
Riri membuka mulut untuk melahap bubur yang dibeli Malih.
Hanya 5x suap, Riri merasa sudah kenyang dan tidak bernafsu lagi makan.
"ayo non, sesuap lagi".
"nggak, Pak. Riri udah kenyang", tolak Riri seraya menjauhkan mulutnya dari sendok yang disodorkan Malih.
"Jangan gitu non. Ayo sesuap lagi deh, bener deh, janji deh. Ayo non. Aaaa".
"Nggak mau", tolak Riri manja.
"Ayo nih, pesawatnya mau lewat. Ngiung ngiung".
"Emangnya Riri anak kecil".
"Oh yaudah, kalo gitu. Ini keretanya mau lewat. Gujes gujes gujes".
"Iih, itu mah sama aja".
Riri tertawa kecil dengan wajah lesunya, tapi setelah itu dia membuka mulutnya.
Malih senang sekali melihat Riri yang tertawa meski sakit. Dia berhasil menghiburnya agar tidak terlalu lemas.
Pria itu memang benar-benar mencintai si dara belia, bukan karena Riri masih muda, tubuhnya yang mulus, wajahnya yang cantik, dan hartanya yang cukup berlimpah, tapi karena Riri menemaninya di hari tua sehingga penuh kehangatan dan tidak kesepian lagi.
"non, kenapa? kok nangiis? Bapak ada salah kata ya? Maaf, non".
"eemmm", Riri menggelengkan kepala seraya menyeka air matanya.
"Bukan, Pak. Riri cuma keinget dulu pas masih kecil. Riri masih sering disuapin sama ibu kandung Riri, ayah Riri juga sambil ngajak Riri main supaya mau makan terus. Sama caranya kayak Bapak sekarang nyuapin Riri".
"Riri bener-bener kangen saat-saat itu, andai bisa balik lagi ke sana".
Malih tak dapat berkata apa-apa, dia hanya bisa tersenyum dan mengelus-elus punggung Riri. Tetesan air mata semakin banyak menetes dari mata Riri.
Ungkapan hati yang memilukan dari seorang gadis yang sangat cantik & kaya.
Bagi gadis lain, mungkin kehidupan Riri seperti putri di dalam dongeng, tapi mereka tidak tahu bahwa ada jiwa yang sangat kesepian di dalamnya.
Tiba-tiba Riri memeluk erat Malih dan menangis. Malih yang kebingungan menaruh mangkuk di meja, dan balas memeluk Riri.
"udah udah, non. jangan sedih lagi".
"makasih, Pak. udah nemenin hari-hari Riri. Riri jadi nggak ngerasa sendiri lagi sejak kenal sama Pak Malih".
"Bapak juga, terima kasiih banget sama non Riri yang baik banget sama Bapak".
Mereka saling mendekap satu sama lain dengan begitu erat. Malih biarkan Riri menangis di pundaknya.
Sepasang kekasih yang mempunyai beda usia sangat jauh ini memang sering mengungkapkan satu sama lain tentang betapa bersyukurnya mereka telah bertemu dan saling mengisi hari-hari dengan kehangatan dan kasih sayang.
Hanya orang-orang seperti Riri dan Malih yang tahu perasaan orang yang sudah lama merasakan sepi dan sendiri dan tiba-tiba bertemu dengan orang yang cocok, sungguh tak bisa diungkapkan betapa senangnya. Akhirnya Riri sanggup menghabiskan buburnya seperti anak kecil manja yang sedang disuapi ayahnya.
Meski sakit, nampak jelas di wajah Riri kalau dia begitu senang. Sore menjelang, Malih pun mengantarkan Riri ke tempat praktek dokter langganan Riri.
"Tadi berapa biayanya, Pak?".
"Udah non, udah Bapak bayar".
"Pake uang Bapak?".
"Iya, udah, non nggak usah pikirin".
"Tapi kan, Pak..".
"Udah, non, kan gaji Bapak dari non, masa pas non butuh, Bapak nggak ngasih".
"Makasih banyak ya, Pak".
Begitu pulang, Malih langsung membopoh Riri ke kamar dan langsung meminumkan obat dari dokter pada Riri.
Lelaki tua itu begitu sigap merawat nona mudanya, dia selalu ada di sampingnya meski Riri sedang tertidur. Riri tersenyum lepas melihat Malih tetap menunggunya di samping tempat tidur sampai malam.
Riri membelai lembut kepala Malih, dia semakin cinta kepada pria tua itu yang dengan setia tetap menungguinya di kamarnya sampai ikut tertidur.
Jelas kalau laki-laki uzur ini sangat mengkhawatirkannya, menyayanginya dengan tulus, bukan hanya mencintai kecantikan wajah dan keelokan tubuhnya.
Riri semakin yakin kalau Malih ini adalah jodohnya. Selisih usia yang begitu jauh sampai 2x lipat terasa tak ada artinya.
Riri ingin sekali menghabiskan hari-hari bersamanya, memberikan kehangatan pada Malih dengan tubuh belianya, menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat pagi, dan menyediakan rahimnya untuk keturunan-keturunan Malih nantinya.
Berapapun anak yang diinginkan Malih, Riri akan selalu siap menyediakan 'sarana' yang diperlukan pria tua itu.
"eh, non Riri udah bangun?".
"iya, Pak", jawab Riri tersenyum manis.
"maaf, non. Bapak ketiduran".
"nggak apa-apa, Pak. Riri malah mau minta maaf, udah ngerepotin Bapak".
"ya ampun si non. nggak apa-apa lah. oh iya, non Riri pasti laper. Bapak buatin bubur instan ya".
"iya, Pak. makasih".
Pacarnya yang sudah renta itu memang sopan. Padahal sudah sangat sering mereka bergumul dan saling menjamah tubuh satu sama lain, tapi dia masih menganggap Riri sebagai majikannya.
"Bapak mau kemana?", tanya Riri yang sudah selesai makan.
"mau ke kamar, biar nggak ganggu non istirahat".
"temenin Riri di sini, Pak".
"non Riri nggak keganggu?".
Riri menggelengkan kepala sembari tersenyum. Gadis cantik itu pun tidur dengan memeluk manja sang supir tua.
Malih serasa seperti sedang mengeloni anaknya sendiri. Aroma harum alami tubuh Riri pun mulai membangkitkan 'bagian' laki-laki Malih.
"mm..Bapak on ya?", tanya Riri lembut.
"iya, non. hehe. maaf, non. wangi non Riri emang selalu bikin Bapak jadi nafsu".
"sabar ya, Pak. Nanti kalau skripsi Riri udah selesai. Itunya Bapak, nggak akan Riri bolehin kemana-mana", ancam Riri begitu nakal padahal ia sedang sakit & sudah agak ngelindur.
"yaudah, non. non Riri tidur aja sekarang, itu urusan nanti..".
Malih mengelus-elus rambut Riri. Malam itu penuh kehangatan & sangat romantis antara seorang dara belia yang cantik dengan pria tua yang agak kurus & sudah keriput.
Keesokan harinya, Riri sudah baikan, manjur sekali obat dari dokter. Setidaknya, panas Riri sudah agak menurun meski dia masih merasa sedikit meriang.
"non, ukur dulu suhu badannya".
"mau ditaro dimana, Pak?".
"di ketiak, non aja".
"oh kirain di pantat Riri".
"emang kenapa, non?".
"ya takut aja, nanti Bapak ganti pake termometer yang lain", canda Riri sedikit nakal.
"si non, lagi sakit, masih suka becanda yang begitu juga", ucap Malih sembari mencubit pipi Riri.
Riri pun membuka 3 kancing piyamanya dan menampilkan sebelah payudaranya kepada Malih.
"gleekk!". Malih meneguk ludahnya.
Meski sudah puluhan kali ia memandangi 'buah' mengkal itu, tapi dia tetap gemas dan ingin mencaploknya apalagi karena sudah berhari-hari tak menyusu pada nona mudanya yang cantik itu. Jadi tanpa permisi, Malih langsung mengenyot payudara kiri Riri.
"iih, Pak Malih maen kenyot aja", eluh Riri manja yang mulai merasa 'gelisah' atau geli-geli basah pada puting kirinya.
"hehe.. udah lama nggak ngempengin susunya non. jadi gemes deh", jawab Malih enteng sebelum menjepitkan termometer di ketiak Riri.
"wuu. bisa aja".
"sambil nunggu termometernya, Pak Malih boleh ya ngempeng susu non Riri lagi? hehe", canda Malih mesum.
"udah gede, masih ngempeng", balas Riri dengan canda juga.
"boleh ya, non?".
"iya, iya, Pak. masa nggak boleh. tapi Riri tiduran aja ya. masih lemes".
"oh iya, non. makasii, non".
"inget, jangan sampe ngelanggar aturan dokter lho, Pak".
"beres, non".
Jadilah Malih mengempeng pada kedua puting nonanya yang terlentang pasrah untuk memberikan keleluasaan baginya untuk bermain-main dengan buntalan daging kembar yang bulat nan empuk itu.
Suara desahan lembut & tawa kecil Riri memenuhi kamar. Dia membelai kepala Malih, persis seperti ibu yang sedang membiarkan balitanya bermain-main dengan payudaranya.
Tapi, sesekali Riri memukul pelan kepala Malih sambil tertawa kecil saat kedua putingnya dikunyah pelan oleh supirnya yang sudah lansia itu. Momen yang begitu romantis nan 'menggelitik' bagi keduanya.
Namun, Malih agak sedikit frustasi, dia masih di dalam masa puasanya untuk menggumuli nonanya yang cantik & seksi. Kalau saja sedang tidak ada larangan, sudah ia tunggangi tubuh indah milik dara belia ini berkali-kali.
Memang harus sabar karena tujuan utamanya harus didahulukan yakni menghamili si bidadari manjanya dan untuk mencapainya, dia harus merehabilitasi dulu kantung pelirnya yang sebenarnya sudah melewati masa produksinya itu agar bisa memproduksi sperma yang kental & kuat untuk menembus sel telur Riri.
3 hari penuh Malih merawat gadis mudanya itu hingga kembali sehat.
Dan begitu sehat, Riri langsung tancap gas mengerjakan skripsinya seperti orang yang dikejar deadline, mengumpulkan data kesana kemari, menemui dosen pembimbingnya sesegera mungkin setelah ia membenarkan bab-babnya yang salah.
Dosennya pun sampai geleng-geleng tapi senang dengan Riri yang sangat rajin dan nampak begitu bersemangat mengerjakan skripsinya. Seandainya sang dosen tahu penyebab Riri begitu bersemangat.
Motivasi mahasiswi cantik itu tak lain karena sudah tak sabar ingin dihamili oleh supirnya yang sudah uzur. Siapapun tak akan menyangka gadis secantik Riri mempunyai motivasi seperti itu.
Akhirnya Riri bisa menyelesaikan tugasnya, meski memang molor dari targetnya. Target awal 1 bulan, tapi Riri baru bisa menyelesaikannya dalam satu setengah bulan. Tadinya, mereka langsung ingin melakukannya, tapi ditunda lagi sampai Riri sidang.
Sebenarnya keduanya sudah begitu rindu bermesraan seperti biasanya. Tapi yang lebih penting diutamakan terlebih dulu. Hari sidang Riri pun tiba, Malih tentu mengantarkan nona cantiknya ke tempat sidang skripsinya. Malih antara merasa tenang dan cemas menunggu Riri.
Dia tahu kalau nonanya itu pasti bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan karena dia memang mengerjakannya sendiri, tapi si bidadari cantik memang agak tempramen kalau dibantah atau berdebat. Cukup lama juga Malih menunggu, dari pagi sampai menjelang sore.
Dan akhirnya, dia melihat Riri keluar dari gedung bersama teman-temannya. Wajahnya terlihat sumringah dan senang. Dia nampak ceria sekali dan beberapa teman-temannya nampak ada yang habis menangis bahagia.
Malih tersenyum, kini pujaan hatinya sudah menyelesaikan pendidikannya sampai sarjana dengan usaha sendiri. Memang hebat gadis belia yang sering seranjang dengannya ini. Riri masuk ke dalam mobil.
“gimana, non? non Riri lulus kan?". Tanpa menjawab, Riri langsung memeluk Malih.
"Riri lulus, Pak", dengan suara yang agak parau. Sepertinya dia menangis terharu.
"non Riri emang hebat, Bapak bangga banget sama non Riri..", balas Malih memeluk nona mudanya itu dan membelai rambutnya.
"ini semua berkat Pak Malih..".
"kok karena Bapak? kan non Riri ngerjain sendiri, Bapak nggak bantu apa-apa".
"Pak Malih selalu kasih semangat ke Riri dan selalu ada kalau Riri lagi butuh temen".
"ya kalau itu sih emang Bapak yang suka, deket-deket sama non Riri. hehehe", canda Malih sedikit merayu untuk membuat Riri tersenyum.
"Riri juga suka deket-deket Bapak", jawab Riri manja dan mencubit lengan Malih.
"jadi kita pulang sekarang nih non?".
"kita makan dulu, Pak. Riri laper nih".
"oke, non!".
Pulang makan, mereka berdua pulang ke rumah. Melihat Riri yang sudah seharian beraktifitas, Malih pun menyuruh nona mudanya yang cantik itu istirahat meski sebenarnya ia sudah gatal ingin menggerayangi tubuh mulus Riri.
Bagaimana tidak? dua bulan lebih, ia tak dapat menikmati hangat dan harumnya tubuh Riri, jadi wajar kalau Malih ingin merasakannya lagi, namun dia tidak enak, toh statusnya cuma supir.
Ya, dia cuma bisa menunggu 'undangan' resmi dari Riri. Malih tidur di kamarnya sendiri karena tidak mau mengganggu Riri. Pagi menjelang, Malih keluar kamar melihat Riri sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan, masih mengenakan piyama.
"eh non Riri udah bangun?".
"iya dong, Pak", jawab Riri begitu riang.
Wajahnya nampak cerah dan ceria seperti orang yang baru saja diangkat beban hidupnya.
"ayo, Pak. dimakan nasi gorengnya, udah Riri buatin. spesial pake telor".
"makasih banget, non".
"oh iya, tadi malem Bapak tidur dimana? kok nggak tidur bareng Riri?", tanya Riri begitu lepas seakan-akan Malih sudah benar-benar jadi suaminya.
"anu, non. Bapak ngeliat non Riri capek banget kayaknya, tidurnya pules banget. jadi daripada non keganggu, ya Bapak tidur di kamar Bapak".
"ooh, iya sih, Pak, tadi malem emang capek banget. makasih ya, Pak".
"iya, non. sama-sama". Mereka pun melanjutkan sarapan bersama.
"oh iya, non. kalo sidang itu langsung diumumin ya lulus atau nggaknya?".
"ya tergantung kampusnya juga sih, Pak. ada yang langsung hari itu, tapi ada juga yang nunggu sebulan dulu".
"oh gitu ya, non. terus wisudanya kapan, non?".
"wah kalo itu sih masih lama, Pak. katanya sih dua bulan lagi lah, Pak".
"kok lama banget, non?".
"ya kan kampus nunggu mahasiswa yang lain udah sidang semua, jadi biar sekalian gitu, wisudanya".
"oh gitu".
"oh iya, Pak, jadi keinget, bentar, Pak". Tak lama, Riri kembali dari kamarnya.
"ini, Pak", ucap Riri riang menunjukkan 2 lembar tiket pesawat.
"apa ini, non?".
"tiket pesawat, Pak".
"tiket pesawat buat siapa, non?".
"ya buat kita berdua lah, Pak".
"ha? kemana, non?".
"kita bulan madu ke Bali", bisik Riri menggoda.
"bulan madu, non?", tanya Malih nampak senang mendengarnya.
"iya, Pak. kita bulan madu. Riri udah nyelesain sarjana Riri. Sesuai janji, tugas Riri selanjutnya, punya anak dari Bapak", jawab Riri.
Sebuah jawaban yang aneh sekaligus membangkitkan gairah, karena seorang gadis muda yang begitu cantik seperti Riri, dengan sadar dan tanpa paksaan sedikitpun memberikan pernyataan bahwa ia ingin dihamili dan mengandung anak dari seorang pria yang sudah lanjut usia dan tergolong uzur seperti Malih.
"yang bener, non?".
"iya, Pak. kan Riri udah janji, kalau Riri udah selesai, kita bakal bikin Malih junior sebanyak-banyaknya", goda Riri sungguh nakal.
Mendengar hal itu, 'tongkat' Malih langsung mencuat seketika di celananya.
"emang berangkatnya kapan, non?".
"dua hari lagi, Pak".
"terus berapa hari, non?".
"1 bulan, Pak. tanggal 15 bulan depan baru kita pulang".
"yang bener, non? wah asik dong, non".
"iya dong, Pak. biar puas bulan madunya", pungkas Riri manja seraya duduk di pangkuan Malih.
"emm, kalau gitu, sekarang boleh nggak kalau Bapak..nngg..".
Riri tentu langsung tanggap apa yang diinginkan Malih, apalagi tangan keriput Malih mulai mengelus-elus pahanya.
"sabar ya, Pak", jawab Riri sembari tersenyum manis.
"Riri mau semuanya ini spesial. Riri pengen ngerasain bulan madu sama Pak Malih. Riri mau punya kenangan anak pertama kita nanti, seakan-akan kita baru malam pertama pas bulan madu itu".
"oh iya, non. Bapak juga mau seperti itu".
"terima kasih ya, Pak. Riri janji, sampai di sana, Riri pasrah diapain aja sama Pak Malih", tukas Riri sungguh nakal dan menggoda, sebelum mengecup bibir Malih dengan mesra.
"kalo gitu, abis ini kita belanja-belanja yuk, Pak. buat di sana nanti, besok baru kita packing".
"ayo, non. siap".
Hari yang tertera pada tiket itu pun tiba, Riri & Malih sudah menyiapkan semuanya untuk bulan madu mereka.
Bulan madu antara seorang dara cantik yang masih belia dengan seorang jejaka tua yang sudah keriput dan agak kurus.
Bagi kebanyakan orang, mungkin enggan membayangkannya, tapi bagi sebagian orang, membayangkan tubuh putih mulus seorang gadis muda yang cantik seperti Riri digerayangi dan dijamah seorang kakek renta seperti Malih sungguh memberi fantasi liar yang tiada batasnya yang mungkin mampu membangkitkan nafsu tersendiri setinggi-tingginya.
"ah!! sampe jugaa!", Riri menghempaskan badannya ke ranjangnya yang besar.
Mereka tak perlu menginap di penginapan atau hotel mewah untuk berbulan madu. Dengan sisa uang jajannya yang dari dulu ditabung olehnya semenjak lulus SMP, Riri bisa membeli sebuah rumah di dekat pinggir pantai Bali saat dia semester 5 lalu.
Tak terlalu mewah jika dibandingkan rumah utamanya di Jakarta, tapi cukup besar juga untuk ukuran rumah yang berada dekat dari pinggir pantai. Malih menaruh semua barang bawaan mereka di dekat lemari.
"Ini rumah siapa, non?".
"Rumah Riri, Pak. waktu itu beli pas masih awal semester 5, soalnya dari pas SMP, Riri pengen ngerasain tinggal di rumah deket pantai. Yaudah, Riri kumpulin uang sampe akhirnya kebeli deh rumah ini".
"Wah, berarti ini rumah non Riri sendiri dong? Hebat, non Riri bisa nabung buat beli rumah sendiri".
"Ah, apa sih Pak. kan uangnya juga masih dari orang tua Riri".
"Ya tetep aja, non. Non Riri hebat bisa nabung buat beli rumah sendiri".
"Ah udah ah, Pak. Bisa aja nih. Mending kita keluarin baju-baju kita, Pak. Biar sekalian capek".
"Okeh, non".
Sementara Malih mengeluarkan semuanya dari koper & tas yang mereka bawa seperti peralatan mandi, pakaian, charger hp, dan lain-lain, Riri membereskan kamar tidur serta menyapu & mengepel semua ruangan karena memang sudah lumayan lama tak ditempati sehingga cukup berdebu.
Selang tak beberapa lama, Malih keluar dengan membawa sesuatu.
"Non. Ini punya non Riri?". Riri mengulum bibir sendiri dan terlihat malu-malu.
"Iya, Pak hehe. Itu punya Riri".
"Baru ya, non?".
"Iya, Pak. Tadinya buat surprise ke Bapak. hehehe".
"jadi penasaran kalau udah dipake", singgung Malih tentang lingerie baru nona mudanya itu.
"Pak Malih mau liat? bentar yaa, Pak", ucap Riri seraya mengambil lingerienya dan tersipu malu.
Riri masuk ke dalam kamar sementara Malih duduk di sofa, menunggu dengan setengah sabar, dia sudah bisa membayangkan akan semakin mengunggah hawa nafsu melihat nonanya yang cantik jelita mengenakan lingerie seksi tersebut.
3 hari penuh Malih merawat gadis mudanya itu hingga kembali sehat.
Dan begitu sehat, Riri langsung tancap gas mengerjakan skripsinya seperti orang yang dikejar deadline, mengumpulkan data kesana kemari, menemui dosen pembimbingnya sesegera mungkin setelah ia membenarkan bab-babnya yang salah.
Dosennya pun sampai geleng-geleng tapi senang dengan Riri yang sangat rajin dan nampak begitu bersemangat mengerjakan skripsinya. Seandainya sang dosen tahu penyebab Riri begitu bersemangat.
Motivasi mahasiswi cantik itu tak lain karena sudah tak sabar ingin dihamili oleh supirnya yang sudah uzur. Siapapun tak akan menyangka gadis secantik Riri mempunyai motivasi seperti itu.
Akhirnya Riri bisa menyelesaikan tugasnya, meski memang molor dari targetnya. Target awal 1 bulan, tapi Riri baru bisa menyelesaikannya dalam satu setengah bulan. Tadinya, mereka langsung ingin melakukannya, tapi ditunda lagi sampai Riri sidang.
Sebenarnya keduanya sudah begitu rindu bermesraan seperti biasanya. Tapi yang lebih penting diutamakan terlebih dulu. Hari sidang Riri pun tiba, Malih tentu mengantarkan nona cantiknya ke tempat sidang skripsinya. Malih antara merasa tenang dan cemas menunggu Riri.
Dia tahu kalau nonanya itu pasti bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan karena dia memang mengerjakannya sendiri, tapi si bidadari cantik memang agak tempramen kalau dibantah atau berdebat. Cukup lama juga Malih menunggu, dari pagi sampai menjelang sore.
Dan akhirnya, dia melihat Riri keluar dari gedung bersama teman-temannya. Wajahnya terlihat sumringah dan senang. Dia nampak ceria sekali dan beberapa teman-temannya nampak ada yang habis menangis bahagia.
Malih tersenyum, kini pujaan hatinya sudah menyelesaikan pendidikannya sampai sarjana dengan usaha sendiri. Memang hebat gadis belia yang sering seranjang dengannya ini. Riri masuk ke dalam mobil.
“gimana, non? non Riri lulus kan?". Tanpa menjawab, Riri langsung memeluk Malih.
"Riri lulus, Pak", dengan suara yang agak parau. Sepertinya dia menangis terharu.
"non Riri emang hebat, Bapak bangga banget sama non Riri..", balas Malih memeluk nona mudanya itu dan membelai rambutnya.
"ini semua berkat Pak Malih..".
"kok karena Bapak? kan non Riri ngerjain sendiri, Bapak nggak bantu apa-apa".
"Pak Malih selalu kasih semangat ke Riri dan selalu ada kalau Riri lagi butuh temen".
"ya kalau itu sih emang Bapak yang suka, deket-deket sama non Riri. hehehe", canda Malih sedikit merayu untuk membuat Riri tersenyum.
"Riri juga suka deket-deket Bapak", jawab Riri manja dan mencubit lengan Malih.
"jadi kita pulang sekarang nih non?".
"kita makan dulu, Pak. Riri laper nih".
"oke, non!".
Pulang makan, mereka berdua pulang ke rumah. Melihat Riri yang sudah seharian beraktifitas, Malih pun menyuruh nona mudanya yang cantik itu istirahat meski sebenarnya ia sudah gatal ingin menggerayangi tubuh mulus Riri.
Bagaimana tidak? dua bulan lebih, ia tak dapat menikmati hangat dan harumnya tubuh Riri, jadi wajar kalau Malih ingin merasakannya lagi, namun dia tidak enak, toh statusnya cuma supir.
Ya, dia cuma bisa menunggu 'undangan' resmi dari Riri. Malih tidur di kamarnya sendiri karena tidak mau mengganggu Riri. Pagi menjelang, Malih keluar kamar melihat Riri sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan, masih mengenakan piyama.
"eh non Riri udah bangun?".
"iya dong, Pak", jawab Riri begitu riang.
Wajahnya nampak cerah dan ceria seperti orang yang baru saja diangkat beban hidupnya.
"ayo, Pak. dimakan nasi gorengnya, udah Riri buatin. spesial pake telor".
"makasih banget, non".
"oh iya, tadi malem Bapak tidur dimana? kok nggak tidur bareng Riri?", tanya Riri begitu lepas seakan-akan Malih sudah benar-benar jadi suaminya.
"anu, non. Bapak ngeliat non Riri capek banget kayaknya, tidurnya pules banget. jadi daripada non keganggu, ya Bapak tidur di kamar Bapak".
"ooh, iya sih, Pak, tadi malem emang capek banget. makasih ya, Pak".
"iya, non. sama-sama". Mereka pun melanjutkan sarapan bersama.
"oh iya, non. kalo sidang itu langsung diumumin ya lulus atau nggaknya?".
"ya tergantung kampusnya juga sih, Pak. ada yang langsung hari itu, tapi ada juga yang nunggu sebulan dulu".
"oh gitu ya, non. terus wisudanya kapan, non?".
"wah kalo itu sih masih lama, Pak. katanya sih dua bulan lagi lah, Pak".
"kok lama banget, non?".
"ya kan kampus nunggu mahasiswa yang lain udah sidang semua, jadi biar sekalian gitu, wisudanya".
"oh gitu".
"oh iya, Pak, jadi keinget, bentar, Pak". Tak lama, Riri kembali dari kamarnya.
"ini, Pak", ucap Riri riang menunjukkan 2 lembar tiket pesawat.
"apa ini, non?".
"tiket pesawat, Pak".
"tiket pesawat buat siapa, non?".
"ya buat kita berdua lah, Pak".
"ha? kemana, non?".
"kita bulan madu ke Bali", bisik Riri menggoda.
"bulan madu, non?", tanya Malih nampak senang mendengarnya.
"iya, Pak. kita bulan madu. Riri udah nyelesain sarjana Riri. Sesuai janji, tugas Riri selanjutnya, punya anak dari Bapak", jawab Riri.
Sebuah jawaban yang aneh sekaligus membangkitkan gairah, karena seorang gadis muda yang begitu cantik seperti Riri, dengan sadar dan tanpa paksaan sedikitpun memberikan pernyataan bahwa ia ingin dihamili dan mengandung anak dari seorang pria yang sudah lanjut usia dan tergolong uzur seperti Malih.
"yang bener, non?".
"iya, Pak. kan Riri udah janji, kalau Riri udah selesai, kita bakal bikin Malih junior sebanyak-banyaknya", goda Riri sungguh nakal.
Mendengar hal itu, 'tongkat' Malih langsung mencuat seketika di celananya.
"emang berangkatnya kapan, non?".
"dua hari lagi, Pak".
"terus berapa hari, non?".
"1 bulan, Pak. tanggal 15 bulan depan baru kita pulang".
"yang bener, non? wah asik dong, non".
"iya dong, Pak. biar puas bulan madunya", pungkas Riri manja seraya duduk di pangkuan Malih.
"emm, kalau gitu, sekarang boleh nggak kalau Bapak..nngg..".
Riri tentu langsung tanggap apa yang diinginkan Malih, apalagi tangan keriput Malih mulai mengelus-elus pahanya.
"sabar ya, Pak", jawab Riri sembari tersenyum manis.
"Riri mau semuanya ini spesial. Riri pengen ngerasain bulan madu sama Pak Malih. Riri mau punya kenangan anak pertama kita nanti, seakan-akan kita baru malam pertama pas bulan madu itu".
"oh iya, non. Bapak juga mau seperti itu".
"terima kasih ya, Pak. Riri janji, sampai di sana, Riri pasrah diapain aja sama Pak Malih", tukas Riri sungguh nakal dan menggoda, sebelum mengecup bibir Malih dengan mesra.
"kalo gitu, abis ini kita belanja-belanja yuk, Pak. buat di sana nanti, besok baru kita packing".
"ayo, non. siap".
Hari yang tertera pada tiket itu pun tiba, Riri & Malih sudah menyiapkan semuanya untuk bulan madu mereka.
Bulan madu antara seorang dara cantik yang masih belia dengan seorang jejaka tua yang sudah keriput dan agak kurus.
Bagi kebanyakan orang, mungkin enggan membayangkannya, tapi bagi sebagian orang, membayangkan tubuh putih mulus seorang gadis muda yang cantik seperti Riri digerayangi dan dijamah seorang kakek renta seperti Malih sungguh memberi fantasi liar yang tiada batasnya yang mungkin mampu membangkitkan nafsu tersendiri setinggi-tingginya.
"ah!! sampe jugaa!", Riri menghempaskan badannya ke ranjangnya yang besar.
Mereka tak perlu menginap di penginapan atau hotel mewah untuk berbulan madu. Dengan sisa uang jajannya yang dari dulu ditabung olehnya semenjak lulus SMP, Riri bisa membeli sebuah rumah di dekat pinggir pantai Bali saat dia semester 5 lalu.
Tak terlalu mewah jika dibandingkan rumah utamanya di Jakarta, tapi cukup besar juga untuk ukuran rumah yang berada dekat dari pinggir pantai. Malih menaruh semua barang bawaan mereka di dekat lemari.
"Ini rumah siapa, non?".
"Rumah Riri, Pak. waktu itu beli pas masih awal semester 5, soalnya dari pas SMP, Riri pengen ngerasain tinggal di rumah deket pantai. Yaudah, Riri kumpulin uang sampe akhirnya kebeli deh rumah ini".
"Wah, berarti ini rumah non Riri sendiri dong? Hebat, non Riri bisa nabung buat beli rumah sendiri".
"Ah, apa sih Pak. kan uangnya juga masih dari orang tua Riri".
"Ya tetep aja, non. Non Riri hebat bisa nabung buat beli rumah sendiri".
"Ah udah ah, Pak. Bisa aja nih. Mending kita keluarin baju-baju kita, Pak. Biar sekalian capek".
"Okeh, non".
Sementara Malih mengeluarkan semuanya dari koper & tas yang mereka bawa seperti peralatan mandi, pakaian, charger hp, dan lain-lain, Riri membereskan kamar tidur serta menyapu & mengepel semua ruangan karena memang sudah lumayan lama tak ditempati sehingga cukup berdebu.
Selang tak beberapa lama, Malih keluar dengan membawa sesuatu.
"Non. Ini punya non Riri?". Riri mengulum bibir sendiri dan terlihat malu-malu.
"Iya, Pak hehe. Itu punya Riri".
"Baru ya, non?".
"Iya, Pak. Tadinya buat surprise ke Bapak. hehehe".
"jadi penasaran kalau udah dipake", singgung Malih tentang lingerie baru nona mudanya itu.
"Pak Malih mau liat? bentar yaa, Pak", ucap Riri seraya mengambil lingerienya dan tersipu malu.
Riri masuk ke dalam kamar sementara Malih duduk di sofa, menunggu dengan setengah sabar, dia sudah bisa membayangkan akan semakin mengunggah hawa nafsu melihat nonanya yang cantik jelita mengenakan lingerie seksi tersebut.
Begitu Riri keluar, Malih menghela nafas, meneguk ludahnya.
"gimana, Pak?", Riri bertanya dengan malu-malu, pipinya agak merona.
Sang nona cantik merasa agak malu namun merasa sensual di waktu yang bersamaan, mempertontokan keelokan tubuhnya yang bisa dibilang hanya sedikit tertutupi oleh lingerie yang dikenakannya pada seorang pria lanjut usia yang memandanginya seakan mau memakannya.
Mata Malih seperti mendelik keluar menatap nona mudanya yang begitu sexy dengan lingerie baru itu.
Batang kebanggan Malih pun bereaksi dengan cepat, sudah mengeras bagai tongkat besi yang siap digunakan untuk 'memukul' makhluk seksi yang ada di depannya.
Tanpa perlu pikir panjang, Malih segera menyergap si gadis muda cantik yang ada di depannya.
"aaaah, Pak Malih..geeliihh..", lirih Riri manja menerima ciuman-ciuman Malih yang bertubi-tubi di lehernya.
Tangan Malih mulai bergrilya, menggenggam buntalan empuk milik Riri yang tertutup hanya bagian 'pucuk'nya saja.
"cccphh ccphh", si lelaki tua berkali-kali mencupangi leher nona mudanya hingga mendesah manja.
Wajah cantiknya, mulusnya, hangatnya, aroma harum tubuh serta lirihan pelan nan manja Riri menguasai semua panca indera Malih karena nafsu si lelaki renta ini sudah mendidih hingga ke ubun-ubun. Pastilah bukan salah Malih.
Lelaki dewasa normal manapun, baik muda, paruh-baya, atau tua sekalipun pasti akan sangat bernafsu jika di depannya ada seorang gadis belia yang cantik dan sexy dengan lingerie yang sangat 'provokatif' dan begitu 'mengundang' .
Namun, seketika Riri menghentikan tangan Malih yang mulai merayap turun ke daerah V miliknya.
"Pak..beres-beresnya belum selesai".
"Tapi, non..Bapak udah nggak tahan", pinta Malih agak memohon pada nonanya yang cantik agar boleh melampiaskan nafsu padanya.
"kita baru aja sampe, Pak. Beres-beres aja belum selesai. Riri masih agak capek..", sebenarnya Riri juga sudah gregetan ingin memasukkan benda tumpul yang sudah menyundul-nyundul di bawah sana, tapi gadis muda itu harus tegas.
Dengan sangat kecewa, Malih harus menahan nafsunya.
"Maafin Riri, Pak. Bukannya Riri nolak atau gimana. Kita baru sampe dan belum istirahat. Riri nggak mau kita asal begituan aja karena ini bulan madu kita".
"Iya, non Riri. Bapak ngerti, ya sudah kalau begitu, kita lanjutin beberesnya".
"Sipp, Pak. Makasih yaa udah ngertiin Riri..", ujar Riri diselingi kecupan mesra pada bibir Malih.
"Besok, Riri bakal pelintir itunya Bapak seharian sampe habis nggak bersisa", bisik Riri nakal.
Malih tersenyum sambil mencubit kecil pantat Riri dari belakang.
"Yaudah yuk, Pak. Kita lanjutin beres-beresnya".
"Tapi non, nggak pake baju dulu?", Malih mengingatkan kalau Riri belum mengenakan pakaian, hanya lingerie seksi yang tentu tidak menutupi semua lekukan tubuh indahnya.
"Nggak apa-apa, gini aja. Bapak suka kan?".
Malih mengangguk dan senyuman kecil tergambar di wajahnya. Mereka pun lanjut membereskan rumah yang agak lama tidak ditempati itu.
Cukup repot juga membersihkan rumah hanya berdua, tapi untungnya furnitur dan segala peralatan dapur atau elektronik masih lengkap dan menyala.
Namun Malih tentu semangat-semangat saja, sembari bersih-bersih, ia dapat 'penyejuk' sekaligus 'penambah' stamina, yakni nona mudanya yang berlalu lalang dengan mengenakan lingerienya yang begitu memancing hawa nafsu.
Setelah akhirnya beres dan rapi, mereka pun beristirahat. Di depan tv, Malih bersantai dengan kepalanya berada di atas kedua paha mulus Riri.
Sesekali Malih memalingkan wajahnya dari tv ke surga dunia milik nona mudanya. Dari jarak sedekat itu, tentu aroma wangi daerah kewanitaan Riri yang khas sangat tajam menusuk hidung Malih. Membuat birahi si supir tua jadi mendidih.
"Pak, kita jalan-jalan di pantai yuk, pas banget nih, deket-deket sunset", usaha Riri mengalihkan perhatian Malih karena ia sendiri sudah mulai merasa 'gerah'.
"Sunset? Apa itu non?".
"Hihihi, bapak nggak tau ya? Itu lho, Pak. Matahari terbenam".
"ooh, matahari terbenam, kalo itu sih Bapak tau. Abis non pake nyebutnya sunset segala".
"Ya kan emang itu yang populer, Pak".
"Bapak mana ngarti, non".
"Oh iya, Pak. Hehehee, maaf, Pak. Mau nggak nih Pak? Mumpung deket pantai. Di Jakarta kan susah liat sunset eh matahari terbenam".
"Boleh, non. Bapak seumur-umur, belum pernah ngeliat matahari terbenam".
"Pernah kali, Pak. Tapi nggak sadar".
"Iya mungkin".
"Yaudah, ayuk, Pak. Kita jalan sekarang".
"Eh, tunggu Non, masa non Riri mau keluar pake pakean kayak gini".
"Oh iyaa, hihihi. Lupa, Pak".
"Ayo ganti dulu, kalo pakean begitu, nanti non Riri diperkosa orang lagi".
"Tapi kalo diperkosa sama Bapak, Riri malah minta lagi kayaknya", godaan nakal si gadis cantik ke pria tua.
"Eh, jangan mancing-mancing ya, non", Malih membalasnya dengan cubitan kecil pada bongkahan pantat kenyal Riri.
"Hihi, ayuk Pak. Temenin Riri mandi n' ganti baju".
"Ok".
Di dalam kamar mandi, Riri sengaja menggoda Malih lagi. Ia cekikikan senang melihat Malih menahan nafsu sebisa mungkin agar tidak mengintiminya.
Memang dasarnya Riri orang yang iseng, apalagi kalau soal menggoda Malih. Ia memang senang sekali memancing-mancing gelora nafsu kekasih tuanya itu dengan tubuhnya yang seksi nan mulus.
Malih hanya bisa membalas 'pancingan' majikannya itu dengan cubitan & tamparan gemas pada pantat Riri serta memencet kedua puting susu Riri kalau sudah benar-benar gemas.
Riri membayangkan pasti besok daerah V-nya tidak akan selamat karena 'pembalasan dendam' Malih. Riri dengan nyaman dan tanpa canggung berganti-ganti pakaian di depan Malih, sebentar ia memakai baju, sebentar ia telanjang bulat di depan Malih.
Tadinya Riri mau mengenakan bikini untuk pergi ke pantai atau sekedar hotpants dan kaos tanpa lengan, tapi Malih melarangnya. Riri tersenyum, memang tidak salah ia memilih calon suami.
Meski ia tidak kaya, tidak tampan, dan sudah tua bahkan lebih cocok untuk jadi kakeknya, tapi Riri merasa Malih benar-benar jodohnya yang tidak ingin melihatnya disakiti, merasa sedih atau kesepian, dan mengekspos bagian tubuh di tempat umum.
Rasanya tubuh mulusnya pun belum cukup untuk membalas kasih sayang, perhatian, dan kebaikan si pria renta itu. Tiba-tiba Riri menciumnya mesra setelah mengenakan pakaian yang dirasa Malih cukup sopan.
Mereka berjalan-jalan di pantai, menikmati pergantian waktu dari sore menuju malam hari di pantai yang memang terkenal di Bali akan keindahannya saat matahari terbenam. Beberapa orang memperhatikan mereka berdua yang kelihatan sungguh mesra dan intim.
Mungkin ada yang hanya mengira kalau mereka berdua adalah cucu dan kakeknya, dan mungkin ada yang berpikiran sinis dan jijik melihat gadis muda nan cantik seperti Riri yang bermanja-manjaan ke pria tua seperti Malih karena berpikir Riri adalah wanita simpanan atau wanita 'nakal' yang sedang bersama teman kencan, seorang pria tua yang kaya.
Mereka pun bermesraan di pantai, Riri begitu manja ke Malih. Malih pun begitu mesra ke Riri, karena ini Bali, tak ada yang mengenal mereka berdua dan juga karena ini bulan madu mereka, Malih tidak merasa tidak enak lagi terhadap Riri yang nota bene adalah majikannya.
Sekarang dia sudah menganggap Riri benar-benar istrinya yang bisa diajak bermesraan dan bermanja-manjaan. Sungguh sore yang romantis bagi mereka berdua, menikmati pemandangan indah dari matahari terbenam sambil makan dan minum minuman yang mereka pesan berduaan saja.
Dan si Riri sebagai gadis cantik yang masih muda tak malu-malu apalagi jijik untuk mencumbu Malih duluan.
Mereka pun menutup sore romantis mereka dengan ciuman hangat yang membuat mereka larut dengan kemesraan mereka sendiri seakan tiada orang lain di pantai itu, hanya mereka berdua saja.
Hari itu, hari permulaan bulan madu mereka ditutup dengan begitu indah dan hangat yang dirasakan mereka berdua. Seorang gadis muda yang kaya dan begitu cantik menjalin cinta tanpa syarat dengan seorang pria tua renta yang awalnya kurang beruntung dalam hal ekonomi, sungguh tiada satu pun yang akan menyangkanya.
Malam itu, mereka tidur saling memeluk satu sama lain, mereka terlihat damai dan bahagia. Keesokan hari, saat Malih baru terbangun, Riri sudah tidak ada di atas tempat tidur.
Oh, mungkin sudah duluan, terus lagi siapin sarapan, pikir Malih sambil berharap. Malih keluar kamar dan tak kunjung menemukan Riri kecuali secarik kertas di depan tudung saji yang berisi, "Pak, Riri udah siapin sarapan.
Maaf Riri ada urusan sebentar, nanti sore baru pulang, maaf bgt. Love, Riri". Ah, gagal lagi bisa melampiaskan hajat kawinnya ke nona nya yang cantik itu, pikir Malih kecewa karena dia sudah berencana untuk 'menyekap' bidadari cantiknya itu di dalam kamar dan menginjeksikan benih-benihnya yang tidak dikeluarkan 2 bulan lebih ke dalam rahim Riri sebanyak-banyaknya.
Ya udahlah, mau apa lagi, Malih pasrah dan melanjutkan dengan sarapan. Pria tua tersebut membuang waktu dengan membereskan rumah bulan madunya lebih lanjut, dia juga sedikit menghias kamarnya agar terlihat lebih nyaman dan menggairahkan nanti karena rencanya nanti malam, mau tidak mau si non cantik akan ia intimi sampai isi dari kantung zakarnya habis disemprot ke dalam liang vagina si non cantik.
"gimana, Pak?", Riri bertanya dengan malu-malu, pipinya agak merona.
Sang nona cantik merasa agak malu namun merasa sensual di waktu yang bersamaan, mempertontokan keelokan tubuhnya yang bisa dibilang hanya sedikit tertutupi oleh lingerie yang dikenakannya pada seorang pria lanjut usia yang memandanginya seakan mau memakannya.
Mata Malih seperti mendelik keluar menatap nona mudanya yang begitu sexy dengan lingerie baru itu.
Batang kebanggan Malih pun bereaksi dengan cepat, sudah mengeras bagai tongkat besi yang siap digunakan untuk 'memukul' makhluk seksi yang ada di depannya.
Tanpa perlu pikir panjang, Malih segera menyergap si gadis muda cantik yang ada di depannya.
"aaaah, Pak Malih..geeliihh..", lirih Riri manja menerima ciuman-ciuman Malih yang bertubi-tubi di lehernya.
Tangan Malih mulai bergrilya, menggenggam buntalan empuk milik Riri yang tertutup hanya bagian 'pucuk'nya saja.
"cccphh ccphh", si lelaki tua berkali-kali mencupangi leher nona mudanya hingga mendesah manja.
Wajah cantiknya, mulusnya, hangatnya, aroma harum tubuh serta lirihan pelan nan manja Riri menguasai semua panca indera Malih karena nafsu si lelaki renta ini sudah mendidih hingga ke ubun-ubun. Pastilah bukan salah Malih.
Lelaki dewasa normal manapun, baik muda, paruh-baya, atau tua sekalipun pasti akan sangat bernafsu jika di depannya ada seorang gadis belia yang cantik dan sexy dengan lingerie yang sangat 'provokatif' dan begitu 'mengundang' .
Namun, seketika Riri menghentikan tangan Malih yang mulai merayap turun ke daerah V miliknya.
"Pak..beres-beresnya belum selesai".
"Tapi, non..Bapak udah nggak tahan", pinta Malih agak memohon pada nonanya yang cantik agar boleh melampiaskan nafsu padanya.
"kita baru aja sampe, Pak. Beres-beres aja belum selesai. Riri masih agak capek..", sebenarnya Riri juga sudah gregetan ingin memasukkan benda tumpul yang sudah menyundul-nyundul di bawah sana, tapi gadis muda itu harus tegas.
Dengan sangat kecewa, Malih harus menahan nafsunya.
"Maafin Riri, Pak. Bukannya Riri nolak atau gimana. Kita baru sampe dan belum istirahat. Riri nggak mau kita asal begituan aja karena ini bulan madu kita".
"Iya, non Riri. Bapak ngerti, ya sudah kalau begitu, kita lanjutin beberesnya".
"Sipp, Pak. Makasih yaa udah ngertiin Riri..", ujar Riri diselingi kecupan mesra pada bibir Malih.
"Besok, Riri bakal pelintir itunya Bapak seharian sampe habis nggak bersisa", bisik Riri nakal.
Malih tersenyum sambil mencubit kecil pantat Riri dari belakang.
"Yaudah yuk, Pak. Kita lanjutin beres-beresnya".
"Tapi non, nggak pake baju dulu?", Malih mengingatkan kalau Riri belum mengenakan pakaian, hanya lingerie seksi yang tentu tidak menutupi semua lekukan tubuh indahnya.
"Nggak apa-apa, gini aja. Bapak suka kan?".
Malih mengangguk dan senyuman kecil tergambar di wajahnya. Mereka pun lanjut membereskan rumah yang agak lama tidak ditempati itu.
Cukup repot juga membersihkan rumah hanya berdua, tapi untungnya furnitur dan segala peralatan dapur atau elektronik masih lengkap dan menyala.
Namun Malih tentu semangat-semangat saja, sembari bersih-bersih, ia dapat 'penyejuk' sekaligus 'penambah' stamina, yakni nona mudanya yang berlalu lalang dengan mengenakan lingerienya yang begitu memancing hawa nafsu.
Setelah akhirnya beres dan rapi, mereka pun beristirahat. Di depan tv, Malih bersantai dengan kepalanya berada di atas kedua paha mulus Riri.
Sesekali Malih memalingkan wajahnya dari tv ke surga dunia milik nona mudanya. Dari jarak sedekat itu, tentu aroma wangi daerah kewanitaan Riri yang khas sangat tajam menusuk hidung Malih. Membuat birahi si supir tua jadi mendidih.
"Pak, kita jalan-jalan di pantai yuk, pas banget nih, deket-deket sunset", usaha Riri mengalihkan perhatian Malih karena ia sendiri sudah mulai merasa 'gerah'.
"Sunset? Apa itu non?".
"Hihihi, bapak nggak tau ya? Itu lho, Pak. Matahari terbenam".
"ooh, matahari terbenam, kalo itu sih Bapak tau. Abis non pake nyebutnya sunset segala".
"Ya kan emang itu yang populer, Pak".
"Bapak mana ngarti, non".
"Oh iya, Pak. Hehehee, maaf, Pak. Mau nggak nih Pak? Mumpung deket pantai. Di Jakarta kan susah liat sunset eh matahari terbenam".
"Boleh, non. Bapak seumur-umur, belum pernah ngeliat matahari terbenam".
"Pernah kali, Pak. Tapi nggak sadar".
"Iya mungkin".
"Yaudah, ayuk, Pak. Kita jalan sekarang".
"Eh, tunggu Non, masa non Riri mau keluar pake pakean kayak gini".
"Oh iyaa, hihihi. Lupa, Pak".
"Ayo ganti dulu, kalo pakean begitu, nanti non Riri diperkosa orang lagi".
"Tapi kalo diperkosa sama Bapak, Riri malah minta lagi kayaknya", godaan nakal si gadis cantik ke pria tua.
"Eh, jangan mancing-mancing ya, non", Malih membalasnya dengan cubitan kecil pada bongkahan pantat kenyal Riri.
"Hihi, ayuk Pak. Temenin Riri mandi n' ganti baju".
"Ok".
Di dalam kamar mandi, Riri sengaja menggoda Malih lagi. Ia cekikikan senang melihat Malih menahan nafsu sebisa mungkin agar tidak mengintiminya.
Memang dasarnya Riri orang yang iseng, apalagi kalau soal menggoda Malih. Ia memang senang sekali memancing-mancing gelora nafsu kekasih tuanya itu dengan tubuhnya yang seksi nan mulus.
Malih hanya bisa membalas 'pancingan' majikannya itu dengan cubitan & tamparan gemas pada pantat Riri serta memencet kedua puting susu Riri kalau sudah benar-benar gemas.
Riri membayangkan pasti besok daerah V-nya tidak akan selamat karena 'pembalasan dendam' Malih. Riri dengan nyaman dan tanpa canggung berganti-ganti pakaian di depan Malih, sebentar ia memakai baju, sebentar ia telanjang bulat di depan Malih.
Tadinya Riri mau mengenakan bikini untuk pergi ke pantai atau sekedar hotpants dan kaos tanpa lengan, tapi Malih melarangnya. Riri tersenyum, memang tidak salah ia memilih calon suami.
Meski ia tidak kaya, tidak tampan, dan sudah tua bahkan lebih cocok untuk jadi kakeknya, tapi Riri merasa Malih benar-benar jodohnya yang tidak ingin melihatnya disakiti, merasa sedih atau kesepian, dan mengekspos bagian tubuh di tempat umum.
Rasanya tubuh mulusnya pun belum cukup untuk membalas kasih sayang, perhatian, dan kebaikan si pria renta itu. Tiba-tiba Riri menciumnya mesra setelah mengenakan pakaian yang dirasa Malih cukup sopan.
Mereka berjalan-jalan di pantai, menikmati pergantian waktu dari sore menuju malam hari di pantai yang memang terkenal di Bali akan keindahannya saat matahari terbenam. Beberapa orang memperhatikan mereka berdua yang kelihatan sungguh mesra dan intim.
Mungkin ada yang hanya mengira kalau mereka berdua adalah cucu dan kakeknya, dan mungkin ada yang berpikiran sinis dan jijik melihat gadis muda nan cantik seperti Riri yang bermanja-manjaan ke pria tua seperti Malih karena berpikir Riri adalah wanita simpanan atau wanita 'nakal' yang sedang bersama teman kencan, seorang pria tua yang kaya.
Mereka pun bermesraan di pantai, Riri begitu manja ke Malih. Malih pun begitu mesra ke Riri, karena ini Bali, tak ada yang mengenal mereka berdua dan juga karena ini bulan madu mereka, Malih tidak merasa tidak enak lagi terhadap Riri yang nota bene adalah majikannya.
Sekarang dia sudah menganggap Riri benar-benar istrinya yang bisa diajak bermesraan dan bermanja-manjaan. Sungguh sore yang romantis bagi mereka berdua, menikmati pemandangan indah dari matahari terbenam sambil makan dan minum minuman yang mereka pesan berduaan saja.
Dan si Riri sebagai gadis cantik yang masih muda tak malu-malu apalagi jijik untuk mencumbu Malih duluan.
Mereka pun menutup sore romantis mereka dengan ciuman hangat yang membuat mereka larut dengan kemesraan mereka sendiri seakan tiada orang lain di pantai itu, hanya mereka berdua saja.
Hari itu, hari permulaan bulan madu mereka ditutup dengan begitu indah dan hangat yang dirasakan mereka berdua. Seorang gadis muda yang kaya dan begitu cantik menjalin cinta tanpa syarat dengan seorang pria tua renta yang awalnya kurang beruntung dalam hal ekonomi, sungguh tiada satu pun yang akan menyangkanya.
Malam itu, mereka tidur saling memeluk satu sama lain, mereka terlihat damai dan bahagia. Keesokan hari, saat Malih baru terbangun, Riri sudah tidak ada di atas tempat tidur.
Oh, mungkin sudah duluan, terus lagi siapin sarapan, pikir Malih sambil berharap. Malih keluar kamar dan tak kunjung menemukan Riri kecuali secarik kertas di depan tudung saji yang berisi, "Pak, Riri udah siapin sarapan.
Maaf Riri ada urusan sebentar, nanti sore baru pulang, maaf bgt. Love, Riri". Ah, gagal lagi bisa melampiaskan hajat kawinnya ke nona nya yang cantik itu, pikir Malih kecewa karena dia sudah berencana untuk 'menyekap' bidadari cantiknya itu di dalam kamar dan menginjeksikan benih-benihnya yang tidak dikeluarkan 2 bulan lebih ke dalam rahim Riri sebanyak-banyaknya.
Ya udahlah, mau apa lagi, Malih pasrah dan melanjutkan dengan sarapan. Pria tua tersebut membuang waktu dengan membereskan rumah bulan madunya lebih lanjut, dia juga sedikit menghias kamarnya agar terlihat lebih nyaman dan menggairahkan nanti karena rencanya nanti malam, mau tidak mau si non cantik akan ia intimi sampai isi dari kantung zakarnya habis disemprot ke dalam liang vagina si non cantik.
Sebenarnya, Malih tidak perlu obat kuat untuk menjaga 'fungsionalitas' barangnya tapi dia membelinya untuk 'balas dendam' ke nona nya. Tentu saat Malih membelinya, penjaga tokonya bertanya.
"Bapak, bukan orang sini ya?", tanya sang penjaga toko dengan logat khas Balinya.
"Oh iya, Bu, saya bukan orang sini. Saya dari Jakarta, saya lagi main ke rumah anak saya".
"Oh, pantas, lalu Bapak beli obat kuat ini untuk apa?", tak heran kalau sang penjaga toko bertanya demikian mengingat penampilan Malih yang sudah demikian renta.
"Oh ini, untuk anak saya, Bu. Dia malu beli sendiri".
"ooh, saya kira untuk Bapak".
"Ya nggak lah, Bu. Buat apa saya beli ini, sudah tua".
"Makanya saya tadi bingung. Oh ya, anak Bapak laki-laki atau perempuan?".
"Laki-laki, Bu. Dia dulu kecelakaan, akibatnya jadi kurang staminanya saat dengan istrinya", jawab Malih lebih lanjut untuk mempersingkat waktu dengan jawaban yang telah disusunnya saat berangkat dari rumah tadi.
"Oh, begitu. Kalau begitu, sebentar Pak", sang penjaga toko masuk dan membawa kembali dengan bungkusan plastik hitam.
"Obat itu kurang kuat. Ini, obat kuat yang lebih manjur, Pak".
"Yang benar, Bu?".
"Iya, Pak. Ini rahasia turun temurun di keluarga saya".
"Wah, terima kasih, Bu. Berapa harganya?".
"Oh, nggak usah, Pak. Anggap ini hadiah untuk anak Bapak".
"Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu".
Sudah tak sabar, Malih ingin mencoba obat kuat pemberian penjaga toko tadi, tapi harus ditunda karena sang 'target operasi' belum pulang, jadi Malih lanjut menghias suasana rumah seromantis sekaligus seerotis mungkin.
Sampai sore, Riri tak ada kabar, hpnya tidak bisa dihubungi sama sekali. Malih merasa sangat cemas, takutnya terjadi apa-apa pada nonanya.
Sesaat dia sudah bertekad untuk memutar-mutar mencari nonanya dengan motor sewaan, handphonenya berbunyi.
"Halo, Pak".
"Halo, non Riri. Non kemana aja sih, pergi dari pagi sampai jam segini, hpnya mati juga lagi".
"Maaf, Pak. Riri lupa kalo hp Riri low bat", jawab Riri dengan nada memelas seperti anak kecil yang sedang dimarahi.
"Memangnya non ada urusan apa sih?".
"Ada urusan sedikit, Pak, sama temen lama di Bali, maafin Riri, Pak".
Malih menghela nafas, menghilangkan kekesalannya karena tidak enak juga memarahi Riri yang notabene adalah majikannya, ditambah Riri lah yang telah mengangkat nasibnya dan sekaligus memberikan kesempatan padanya agar bisa melampiaskan nafsu alami laki-lakinya setiap hari.
"Yaudah, non, gak apa-apa, sekarang Non lagi dimana?".
"Di restoran yang waktu itu kita lewatin pas dari bandara. Bapak inget nggak jalannya?".
"Oh iya, non, Bapak inget, non mau dijemput?".
"Iya, Pak, Riri lupa jalan pulangnya".
"Oh, iya, non, non Riri tunggu di sana ya".
"Makasiih ya, Pak. Nanti Riri kasih hadiah spesial buat Pak Malih sayang", bujuk Riri mesra.
Akhirnya Malih berangkat ke restoran yang dimaksud Riri. Karena Riri tidak kelihatan, Malih menelpon Riri dan ternyata Riri sudah pulang diantar temannya itu.
Malih tidak kesal, tidak apa, yang penting nonanya sudah pulang ke rumah dengan selamat karena dengan wajah dan kemulusan tubuh nona mudanya itu pasti dengan mudah 'mengundang' para pemerkosa.
Malih pun kembali ke rumah, ketika dia membuka pintu dan menyalakan lampu.
"TARAAA!! HAPPY BIRTHDAY, Pak Malih. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday, Pak Malih", nyanyian Riri begitu riangnya sembari menyodorkan kue tart kecil dengan beberapa lilin di atasnya. Malih terdiam mematung, tidak berkata a, b, atau lainnya.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekaraaang juuuugaaaa, sekarang juuugaaaaa", lanjut Riri bernyanyi.
Terlihat bulir-bulir air mata mulai merembes keluar dari pinggir matanya yang sudah agak cekung karena sudah tua.
"Ayoo dong, Pak, ditiup lilinnya".
Dengan dua kali hembusan, Malih memadamkan api di lilin-lilin kecil pada kue itu.
"Make a wish, Pak".
"Apaan tuh, non?".
"Ih, si Bapak, buat permohonan, doa, doa".
"Ooh". Malih menutup mata dan ketika selesai mengusapkan tangannya ke wajahnya.
"Yeeeey", teriak Riri untuk menghebohkan suasana karena mereka cuma berdua saja.
"Kok malah keliatan sedih, Pak?".
"nnggak..apa-apa, non", elak Malih berbohong.
"Hmmm, kan Bapak harusnya seneng..", Riri menggerutu manja.
"Seneng, Non, Bapak cuma terharu aja, nggak nyangka Non Riri tau ulang tahun Bapak. Bapak sendiri aja nggak inget".
"Tau dong, Pak. Masa Riri nggak tau ulang taun pacar sendiri, eh..suami sendiri hihihi", jawab Riri tanpa ragu-ragu mengucapkannya.
Kata yang mungkin tidak disangka orang lain akan keluar dari mulut seorang gadis muda yang begitu cantik seperti Riri, tanpa ada paksaan, mengakui kalau Malih, seorang kakek yang sudah keriput sebagai suaminya.
Bukan karena harta atau kekuasaan, murni hanya cinta sepasang lelaki & perempuan yang didasari rasa nyaman ketika berduaan. Yang membedakan Riri-Malih dari pasutri lainnya tentu saja perbedaan umur yang sangat jauh. Lebih jauh dari pasutri lainnya.
Di umur Riri yang 20an tentu rahimnya sedang dalam keadaan yang benar-benar optimal untuk digunakan. Di luar sana, gadis seumuran mungkin sudah menikah dengan lelaki yang umurnya hanya berbeda 2-6 tahun, maksimal 10 tahun.
Sedangkan Riri, dia malah diintimi dan rahimnya 'digunakan' oleh lelaki yang berumur 3x lipat darinya bahkan lebih. Tiada yang akan menyangka kalau bidadari seperti Riri akan senang hati memberikan tubuhnya yang memang sintal & mulus untuk digrayangi seorang kakek tua renta seperti Malih.
"Kalo gitu, potong dong, Pak kuenya".
"Oke, mana pisaunya". Riri meletakkan kue di atas meja dan memberikan pisau ke Malih.
Dengan khidmat, Malih memotong kuenya dan memberikannya ke Riri.
"Ehhmmm, enaak, Pak", tukas Riri setelah melahap cheese cake yang memang favoritnya. Mereka bergantian saling menyuapi satu sama lain sampai potongan kue itu habis.
"Bapak mau lagi?".
"Boleh, non, enak banget kuenya. Apa, non tadi namanya?".
"Cheese cake, Pak", jawab Riri seraya memotong kue lagi untuk Malih.
"Chis kek? Yang pas lagi foto ya, Non?".
"Ah jayus ah, Pak", ledek Riri. Gadis cantik itu mengambilkan kue lagi untuk kekasih tuanya.
"Nah sekarang, hadiah berikutnya".
Mulai terdengar alunan musik yang lembut namun terdengar seksi mengiringi gerakan tubuh Riri. Dia menari dengan gerakan-gerakan perlahan nan sensual.
Meski wajah Riri agak memerah, dia meliuk-liukkan tubuh indahnya di depan Malih dengan begitu anggun.
Malih pun tak berkedip menonton striptease live show dari bidadarinya sembari terus memakan kuenya tanpa melihat kue. Cheese cake yang lezat itu terasa hambar begitu saja di mulut Malih. Otaknya terlalu fokus pada 'acara' menarik yang ada di depan matanya.
Sudah cukup lama ia berpacaran dan bercinta dengan seorang bidadari yang kini sedang menari di depannya, bernama Riri, tapi baru kesempatan ini, mata tuanya dapat melihat nonanya menari sensual di hadapannya.
Keadaan semakin memanas ketika tinggal tanktop dan mini hotpants yang menempel pada tubuh mulus Riri. Meski awalnya, masih merasa malu karena baru pertama kali melakukan striptease, Riri mulai percaya diri karena melihat Malih yang benar-benar menikmati suguhan tariannya.
Dia tersenyum nakal seraya maju ke arah Malih dengan gaya berjalan yang sungguh sensual. Dia menarik tangan Malih ke pinggulnya, mengangkat sedikit tanktopnya. Begitu perut putih mulus Riri nampak, Malih segera menciumi dan menjilatinya seperti makanan lezat saja.
Riri tersenyum dan sedikit melenguh pelan. Dia merasa begitu dipuja dan diinginkan oleh lelaki tua yang nantinya akan jadi ayah bagi anak-anaknya ini.
Itulah yang membuat Riri selalu ingin bercinta dengan pacar lansianya itu. Dia seakan ketagihan menyediakan tubuhnya yang mulus dan seksi sebagai tempat pelampiasan nafsu bagi si supir tua.
Tak mau kehilangan ritme tariannya terlalu lama, Riri mulai mundur perlahan, menjauhkan perut mulusnya dari sosoran bibir tua Malih.
Dia lanjutkan tarian erotisnya dengan gerakan perlahan, mulai menarik tanktopnya ke atas. Satu-satunya potongan pakaian yang memisahkan buntalan payudaranya yang putih mulus nan sekal itu dengan pandangan mata kekasih lansianya.
Begitu tanktopnya terangkat, payudara Riri berguncang naik-turun dengan indahnya. Dia melempar tanktopnya ke Malih yang langsung mengendus-endus wangi tubuh Riri yang masih tertinggal di sana.
Si gadis muda terus berlanjut melakukan tarian erotisnya dengan payudara yang terbuka bebas dan bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti gerakan tubuhnya.
Suatu pemandangan yang semakin membuat tangan Malih 'gatal' ingin mencengkram dan meremas-remasnya karena sepasang daging kenyal itu memang mainan tangannya sehari-hari.
Tanpa sadar, Malih mulai berkeringat, hawa malam tidak begitu pengap tapi tontonannya ini yang bikin ngap-ngapan.
Batang keperkasaannya mungkin sudah sekeras besi pedang para ksatria jaman dahulu yang bisa menembus jubah besi musuhnya.
"Riri ada surprise yang lain, Pak. Liat yaa", jelas Riri seraya mulai menurunkan hotpants mininya ke bawah. Bidadari itu pun menunduk, membuat buntalan daging di dadanya menggantung dengan menggoda.
Riri menutupi daerah sensitifnya dengan tangan kanannya dan melempar hotpantsnya ke Malih lagi. Dan sama seperti sebelumnya, Malih menciumi hotpants yang dikenakan Riri. Menghirup sedalam-dalamnya aroma daerah kewanitaan yang harum dan khas itu. Dengan menghirup aromanya saja, Malih sudah bisa membayangkan 'tempik' bidadarinya yang begitu lembut nan hangat akan membelai 'junior'nya dengan penuh kasih sayang semalaman penuh.
"Bapak, bukan orang sini ya?", tanya sang penjaga toko dengan logat khas Balinya.
"Oh iya, Bu, saya bukan orang sini. Saya dari Jakarta, saya lagi main ke rumah anak saya".
"Oh, pantas, lalu Bapak beli obat kuat ini untuk apa?", tak heran kalau sang penjaga toko bertanya demikian mengingat penampilan Malih yang sudah demikian renta.
"Oh ini, untuk anak saya, Bu. Dia malu beli sendiri".
"ooh, saya kira untuk Bapak".
"Ya nggak lah, Bu. Buat apa saya beli ini, sudah tua".
"Makanya saya tadi bingung. Oh ya, anak Bapak laki-laki atau perempuan?".
"Laki-laki, Bu. Dia dulu kecelakaan, akibatnya jadi kurang staminanya saat dengan istrinya", jawab Malih lebih lanjut untuk mempersingkat waktu dengan jawaban yang telah disusunnya saat berangkat dari rumah tadi.
"Oh, begitu. Kalau begitu, sebentar Pak", sang penjaga toko masuk dan membawa kembali dengan bungkusan plastik hitam.
"Obat itu kurang kuat. Ini, obat kuat yang lebih manjur, Pak".
"Yang benar, Bu?".
"Iya, Pak. Ini rahasia turun temurun di keluarga saya".
"Wah, terima kasih, Bu. Berapa harganya?".
"Oh, nggak usah, Pak. Anggap ini hadiah untuk anak Bapak".
"Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu".
Sudah tak sabar, Malih ingin mencoba obat kuat pemberian penjaga toko tadi, tapi harus ditunda karena sang 'target operasi' belum pulang, jadi Malih lanjut menghias suasana rumah seromantis sekaligus seerotis mungkin.
Sampai sore, Riri tak ada kabar, hpnya tidak bisa dihubungi sama sekali. Malih merasa sangat cemas, takutnya terjadi apa-apa pada nonanya.
Sesaat dia sudah bertekad untuk memutar-mutar mencari nonanya dengan motor sewaan, handphonenya berbunyi.
"Halo, Pak".
"Halo, non Riri. Non kemana aja sih, pergi dari pagi sampai jam segini, hpnya mati juga lagi".
"Maaf, Pak. Riri lupa kalo hp Riri low bat", jawab Riri dengan nada memelas seperti anak kecil yang sedang dimarahi.
"Memangnya non ada urusan apa sih?".
"Ada urusan sedikit, Pak, sama temen lama di Bali, maafin Riri, Pak".
Malih menghela nafas, menghilangkan kekesalannya karena tidak enak juga memarahi Riri yang notabene adalah majikannya, ditambah Riri lah yang telah mengangkat nasibnya dan sekaligus memberikan kesempatan padanya agar bisa melampiaskan nafsu alami laki-lakinya setiap hari.
"Yaudah, non, gak apa-apa, sekarang Non lagi dimana?".
"Di restoran yang waktu itu kita lewatin pas dari bandara. Bapak inget nggak jalannya?".
"Oh iya, non, Bapak inget, non mau dijemput?".
"Iya, Pak, Riri lupa jalan pulangnya".
"Oh, iya, non, non Riri tunggu di sana ya".
"Makasiih ya, Pak. Nanti Riri kasih hadiah spesial buat Pak Malih sayang", bujuk Riri mesra.
Akhirnya Malih berangkat ke restoran yang dimaksud Riri. Karena Riri tidak kelihatan, Malih menelpon Riri dan ternyata Riri sudah pulang diantar temannya itu.
Malih tidak kesal, tidak apa, yang penting nonanya sudah pulang ke rumah dengan selamat karena dengan wajah dan kemulusan tubuh nona mudanya itu pasti dengan mudah 'mengundang' para pemerkosa.
Malih pun kembali ke rumah, ketika dia membuka pintu dan menyalakan lampu.
"TARAAA!! HAPPY BIRTHDAY, Pak Malih. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday, Pak Malih", nyanyian Riri begitu riangnya sembari menyodorkan kue tart kecil dengan beberapa lilin di atasnya. Malih terdiam mematung, tidak berkata a, b, atau lainnya.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekaraaang juuuugaaaa, sekarang juuugaaaaa", lanjut Riri bernyanyi.
Terlihat bulir-bulir air mata mulai merembes keluar dari pinggir matanya yang sudah agak cekung karena sudah tua.
"Ayoo dong, Pak, ditiup lilinnya".
Dengan dua kali hembusan, Malih memadamkan api di lilin-lilin kecil pada kue itu.
"Make a wish, Pak".
"Apaan tuh, non?".
"Ih, si Bapak, buat permohonan, doa, doa".
"Ooh". Malih menutup mata dan ketika selesai mengusapkan tangannya ke wajahnya.
"Yeeeey", teriak Riri untuk menghebohkan suasana karena mereka cuma berdua saja.
"Kok malah keliatan sedih, Pak?".
"nnggak..apa-apa, non", elak Malih berbohong.
"Hmmm, kan Bapak harusnya seneng..", Riri menggerutu manja.
"Seneng, Non, Bapak cuma terharu aja, nggak nyangka Non Riri tau ulang tahun Bapak. Bapak sendiri aja nggak inget".
"Tau dong, Pak. Masa Riri nggak tau ulang taun pacar sendiri, eh..suami sendiri hihihi", jawab Riri tanpa ragu-ragu mengucapkannya.
Kata yang mungkin tidak disangka orang lain akan keluar dari mulut seorang gadis muda yang begitu cantik seperti Riri, tanpa ada paksaan, mengakui kalau Malih, seorang kakek yang sudah keriput sebagai suaminya.
Bukan karena harta atau kekuasaan, murni hanya cinta sepasang lelaki & perempuan yang didasari rasa nyaman ketika berduaan. Yang membedakan Riri-Malih dari pasutri lainnya tentu saja perbedaan umur yang sangat jauh. Lebih jauh dari pasutri lainnya.
Di umur Riri yang 20an tentu rahimnya sedang dalam keadaan yang benar-benar optimal untuk digunakan. Di luar sana, gadis seumuran mungkin sudah menikah dengan lelaki yang umurnya hanya berbeda 2-6 tahun, maksimal 10 tahun.
Sedangkan Riri, dia malah diintimi dan rahimnya 'digunakan' oleh lelaki yang berumur 3x lipat darinya bahkan lebih. Tiada yang akan menyangka kalau bidadari seperti Riri akan senang hati memberikan tubuhnya yang memang sintal & mulus untuk digrayangi seorang kakek tua renta seperti Malih.
"Kalo gitu, potong dong, Pak kuenya".
"Oke, mana pisaunya". Riri meletakkan kue di atas meja dan memberikan pisau ke Malih.
Dengan khidmat, Malih memotong kuenya dan memberikannya ke Riri.
"Ehhmmm, enaak, Pak", tukas Riri setelah melahap cheese cake yang memang favoritnya. Mereka bergantian saling menyuapi satu sama lain sampai potongan kue itu habis.
"Bapak mau lagi?".
"Boleh, non, enak banget kuenya. Apa, non tadi namanya?".
"Cheese cake, Pak", jawab Riri seraya memotong kue lagi untuk Malih.
"Chis kek? Yang pas lagi foto ya, Non?".
"Ah jayus ah, Pak", ledek Riri. Gadis cantik itu mengambilkan kue lagi untuk kekasih tuanya.
"Nah sekarang, hadiah berikutnya".
Mulai terdengar alunan musik yang lembut namun terdengar seksi mengiringi gerakan tubuh Riri. Dia menari dengan gerakan-gerakan perlahan nan sensual.
Meski wajah Riri agak memerah, dia meliuk-liukkan tubuh indahnya di depan Malih dengan begitu anggun.
Malih pun tak berkedip menonton striptease live show dari bidadarinya sembari terus memakan kuenya tanpa melihat kue. Cheese cake yang lezat itu terasa hambar begitu saja di mulut Malih. Otaknya terlalu fokus pada 'acara' menarik yang ada di depan matanya.
Sudah cukup lama ia berpacaran dan bercinta dengan seorang bidadari yang kini sedang menari di depannya, bernama Riri, tapi baru kesempatan ini, mata tuanya dapat melihat nonanya menari sensual di hadapannya.
Keadaan semakin memanas ketika tinggal tanktop dan mini hotpants yang menempel pada tubuh mulus Riri. Meski awalnya, masih merasa malu karena baru pertama kali melakukan striptease, Riri mulai percaya diri karena melihat Malih yang benar-benar menikmati suguhan tariannya.
Dia tersenyum nakal seraya maju ke arah Malih dengan gaya berjalan yang sungguh sensual. Dia menarik tangan Malih ke pinggulnya, mengangkat sedikit tanktopnya. Begitu perut putih mulus Riri nampak, Malih segera menciumi dan menjilatinya seperti makanan lezat saja.
Riri tersenyum dan sedikit melenguh pelan. Dia merasa begitu dipuja dan diinginkan oleh lelaki tua yang nantinya akan jadi ayah bagi anak-anaknya ini.
Itulah yang membuat Riri selalu ingin bercinta dengan pacar lansianya itu. Dia seakan ketagihan menyediakan tubuhnya yang mulus dan seksi sebagai tempat pelampiasan nafsu bagi si supir tua.
Tak mau kehilangan ritme tariannya terlalu lama, Riri mulai mundur perlahan, menjauhkan perut mulusnya dari sosoran bibir tua Malih.
Dia lanjutkan tarian erotisnya dengan gerakan perlahan, mulai menarik tanktopnya ke atas. Satu-satunya potongan pakaian yang memisahkan buntalan payudaranya yang putih mulus nan sekal itu dengan pandangan mata kekasih lansianya.
Begitu tanktopnya terangkat, payudara Riri berguncang naik-turun dengan indahnya. Dia melempar tanktopnya ke Malih yang langsung mengendus-endus wangi tubuh Riri yang masih tertinggal di sana.
Si gadis muda terus berlanjut melakukan tarian erotisnya dengan payudara yang terbuka bebas dan bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti gerakan tubuhnya.
Suatu pemandangan yang semakin membuat tangan Malih 'gatal' ingin mencengkram dan meremas-remasnya karena sepasang daging kenyal itu memang mainan tangannya sehari-hari.
Tanpa sadar, Malih mulai berkeringat, hawa malam tidak begitu pengap tapi tontonannya ini yang bikin ngap-ngapan.
Batang keperkasaannya mungkin sudah sekeras besi pedang para ksatria jaman dahulu yang bisa menembus jubah besi musuhnya.
"Riri ada surprise yang lain, Pak. Liat yaa", jelas Riri seraya mulai menurunkan hotpants mininya ke bawah. Bidadari itu pun menunduk, membuat buntalan daging di dadanya menggantung dengan menggoda.
Riri menutupi daerah sensitifnya dengan tangan kanannya dan melempar hotpantsnya ke Malih lagi. Dan sama seperti sebelumnya, Malih menciumi hotpants yang dikenakan Riri. Menghirup sedalam-dalamnya aroma daerah kewanitaan yang harum dan khas itu. Dengan menghirup aromanya saja, Malih sudah bisa membayangkan 'tempik' bidadarinya yang begitu lembut nan hangat akan membelai 'junior'nya dengan penuh kasih sayang semalaman penuh.
Ternyata Riri sudah membelakangi Malih, dan cukup terkejut lah si jejaka tua itu melihat bagian belakang dari tubuh kekasih mudanya, khususnya di daerah pinggang & pantat sebab ia melihat ada namanya di sana. Malih di bongkahan pantat kiri, Setiadi di bongkahan pantat kanan. Malih Setiadi, itu nama panjangnya. Dan ada tulisan 'Milik' di pinggang Riri. Kalau dibaca sekaligus seperti biasa jadi Milik Malih Setiadi.
"Non, kok? Ada nama Bapak?".
"Iya, Pak, tadi Riri bikin tato", ujar Riri seraya berjalan mundur untuk memperlihatkan tato barunya ke Malih.
Tatonya memang tidak terlalu besar tapi cukup jelas kalau tulisannya adalah Milik Malih Setiadi dari jarak beberapa meter.
"Gimana, Pak? Bagus nggak? Ini tato permanen".
"Hah? Permanen? Aduh, non. Kenapa nama Bapak yang di tato?".
"Kenapa? Bapak nggak suka Riri tatoan ya?", tanya Riri agak takut Malih tidak suka dengan badannya yang bertato.
"Nggak sih, Non. Tapi kenapa harus nama Bapak? Emangnya Non nggak apa-apa?".
"Nggak apa-apa, Pak. Emang Riri mau nato nama Bapak di badan Riri, supaya cowok lain tau kalo badan Riri cuma punya Pak Malih jadinya mereka nggak berani macem-macem".
"Ya ampun, non..", pria tua itu entah harus senang, bangga, atau apa.
"Hehe.. satu lagi, Pak".
Riri membalik badan, dan memperlihatkan tatonya yang satu lagi yakni berupa tanda tangan Malih berukuran agak kecil tepat di atas belahan vaginanya.
Dan karena tidak ada rambut kemaluan, tanda tangan Malih itu dapat terlihat jelas.
"Ini tanda tangan, Bapak?".
"Aww, pelan-pelan, Pak. Masih perih", pekik Riri.
"Ini permanen juga". Riri mengangguk sambil tersenyum.
"Tapi gimana caranya?".
"Ada deh".
"Bener-bener si non Riri ini. Kalau bikin tato kan, bisa gambar yang lain yang lebih bagus".
"Tapi Riri cuma pengen tato nama Bapak di badan Riri, nggak boleh?".
"Yaa nggak, Non. Bapak ngerasa nggak pantes aja, Non Riri sampe bikin tato nama Bapak di badan non".
"Pantes lah, Pak. Ini bukti Riri bener-bener sayang sama Pak Malih", kecup Riri di kening Malih.
Dengan 2 tato itu, Riri jelas sekali ingin menunjukkan kepada dunia kalau tubuhnya yang sintal nan mulus itu adalah 'properti' Malih Setiadi, seorang tukang sampah tua yang kini sudah jadi suaminya dan nanti akan menjadi ayah dari anak-anaknya kelak.
"Ini, gimana sih Non bikinnya?", tanya Malih mengusap-usap tato tanda tangannya yang terletak di atas daerah sensitif Riri.
"Riri scan ktp Bapak abis itu minta di buat tato deh..".
"Sebentar, Non. Berarti kalo buat tato disini, yang buat tato ngeliat anunya non dong?", Malih baru menyadarinya.
"Tenang, Pak. Tenang. Riri bikin tatonya sama cewek kok, Pak".
"Ada juga, Non? Cewek yang bisa bikin tato?".
"Ah, disini mah banyak, Pak".
"Oh..tapi ada yang kurang, Non? Sidik jari Bapak belum ada", canda Malih.
"Yee. Sidik jari Pak Malih ada dimana-mana kalii. Nih contohnya", Riri menunjuk ke belakang dimana tangan Malih sedang asik meremas-remas bongkahan pantat nonanya itu.
"Oh iyaa juga. hehehe", tawa mesum Malih.
"Apalagi di sini nih", Riri menunjuk buntalan daging kembarnya.
"Habis, non Riri seksi banget, nggak tahan, tiap hari rasanya pengen grepe-grepe non terus.. hehehe".
Malih mulai cabul. Puluhan kali berhubungan intim tentu menghilangkan canggung di antara mereka berdua, apalagi sekarang sedang bulan madu, cuma mereka berdua sehingga Malih tak perlu berpikir dua kali untuk berbuat cabul dan mesum ke bidadarinya ini.
Dengan penuh pengertian, Riri mulai sedikit mereganggakan kedua kakinya, dan memajukan celah kenikmatannya itu ke wajah keriput Malih. Disambut Malih dengan memajukan juga wajahnya. Dalam waktu kurang dari satu detik, wajah keriput itu sudah terbenam di selangkangan hangat milik Riri.
Tercium semerbak aroma kewanitaan yang begitu harum nan khas. Home sweet home, ucapan yang menggambarkan Malih saat ini, dia merasa seperti sudah pulang ke 'rumah'nya, hangat dan nyaman.
BERSAMBUNG..
Holiday Challenge 4 - RIRI 2
"Non, kok? Ada nama Bapak?".
"Iya, Pak, tadi Riri bikin tato", ujar Riri seraya berjalan mundur untuk memperlihatkan tato barunya ke Malih.
Tatonya memang tidak terlalu besar tapi cukup jelas kalau tulisannya adalah Milik Malih Setiadi dari jarak beberapa meter.
"Gimana, Pak? Bagus nggak? Ini tato permanen".
"Hah? Permanen? Aduh, non. Kenapa nama Bapak yang di tato?".
"Kenapa? Bapak nggak suka Riri tatoan ya?", tanya Riri agak takut Malih tidak suka dengan badannya yang bertato.
"Nggak sih, Non. Tapi kenapa harus nama Bapak? Emangnya Non nggak apa-apa?".
"Nggak apa-apa, Pak. Emang Riri mau nato nama Bapak di badan Riri, supaya cowok lain tau kalo badan Riri cuma punya Pak Malih jadinya mereka nggak berani macem-macem".
"Ya ampun, non..", pria tua itu entah harus senang, bangga, atau apa.
"Hehe.. satu lagi, Pak".
Riri membalik badan, dan memperlihatkan tatonya yang satu lagi yakni berupa tanda tangan Malih berukuran agak kecil tepat di atas belahan vaginanya.
Dan karena tidak ada rambut kemaluan, tanda tangan Malih itu dapat terlihat jelas.
"Ini tanda tangan, Bapak?".
"Aww, pelan-pelan, Pak. Masih perih", pekik Riri.
"Ini permanen juga". Riri mengangguk sambil tersenyum.
"Tapi gimana caranya?".
"Ada deh".
"Bener-bener si non Riri ini. Kalau bikin tato kan, bisa gambar yang lain yang lebih bagus".
"Tapi Riri cuma pengen tato nama Bapak di badan Riri, nggak boleh?".
"Yaa nggak, Non. Bapak ngerasa nggak pantes aja, Non Riri sampe bikin tato nama Bapak di badan non".
"Pantes lah, Pak. Ini bukti Riri bener-bener sayang sama Pak Malih", kecup Riri di kening Malih.
Dengan 2 tato itu, Riri jelas sekali ingin menunjukkan kepada dunia kalau tubuhnya yang sintal nan mulus itu adalah 'properti' Malih Setiadi, seorang tukang sampah tua yang kini sudah jadi suaminya dan nanti akan menjadi ayah dari anak-anaknya kelak.
"Ini, gimana sih Non bikinnya?", tanya Malih mengusap-usap tato tanda tangannya yang terletak di atas daerah sensitif Riri.
"Riri scan ktp Bapak abis itu minta di buat tato deh..".
"Sebentar, Non. Berarti kalo buat tato disini, yang buat tato ngeliat anunya non dong?", Malih baru menyadarinya.
"Tenang, Pak. Tenang. Riri bikin tatonya sama cewek kok, Pak".
"Ada juga, Non? Cewek yang bisa bikin tato?".
"Ah, disini mah banyak, Pak".
"Oh..tapi ada yang kurang, Non? Sidik jari Bapak belum ada", canda Malih.
"Yee. Sidik jari Pak Malih ada dimana-mana kalii. Nih contohnya", Riri menunjuk ke belakang dimana tangan Malih sedang asik meremas-remas bongkahan pantat nonanya itu.
"Oh iyaa juga. hehehe", tawa mesum Malih.
"Apalagi di sini nih", Riri menunjuk buntalan daging kembarnya.
"Habis, non Riri seksi banget, nggak tahan, tiap hari rasanya pengen grepe-grepe non terus.. hehehe".
Malih mulai cabul. Puluhan kali berhubungan intim tentu menghilangkan canggung di antara mereka berdua, apalagi sekarang sedang bulan madu, cuma mereka berdua sehingga Malih tak perlu berpikir dua kali untuk berbuat cabul dan mesum ke bidadarinya ini.
Dengan penuh pengertian, Riri mulai sedikit mereganggakan kedua kakinya, dan memajukan celah kenikmatannya itu ke wajah keriput Malih. Disambut Malih dengan memajukan juga wajahnya. Dalam waktu kurang dari satu detik, wajah keriput itu sudah terbenam di selangkangan hangat milik Riri.
Tercium semerbak aroma kewanitaan yang begitu harum nan khas. Home sweet home, ucapan yang menggambarkan Malih saat ini, dia merasa seperti sudah pulang ke 'rumah'nya, hangat dan nyaman.
BERSAMBUNG..
Holiday Challenge 4 - RIRI 2
cerita sex yes, fuck my pussy. good dick. Big cock. Yes cum inside my pussy. lick my nipples. my tits are tingling. drink milk in my breast. enjoying my milk nipples. play with my big tits. fuck my vagina until I get pregnant. play "Adult sex games" with me. satisfy your cock in my wet vagina. Asian girl hottes gorgeus. lonte, lc ngentot live, pramugari ngentot, wikwik, selebgram open BO