Cerita Dewasa Seri 1 - Ketagihan Selingkuh

cewek amoy


Ridwan tiba di rumah mertuanya seperti biasa, menjemput Hendra, anak semata wayangnya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD. Setiap hari sepulang sekolah, Hendra selalu menghabiskan waktu di rumah ini, bermain di samping rumah bersama teman-temannya.

Sore itu, Ridwan memutuskan untuk langsung menyusul anaknya.

Langkah kakinya terdengar ringan di lantai rumah mertuanya yang terbuat dari kayu jati tua. Ketika ia melewati jendela kamar yang sedikit terbuka, matanya secara tak sengaja menangkap bayangan yang membuat dadanya berdegup kencang.

Di dalam kamar, Nurul, adik iparnya, sedang berdiri di depan cermin, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Nurul terlihat tengah memandangi pantulan dirinya dengan tenang, seolah merenungi sesuatu yang dalam. Ridwan sangat terkejut dan terangsang melihat pemadangan itu. Puting susu Nurul begitu menggiurkan dengan warna coklat kemerahan.

Tiba-tiba Nurul berpaling ke arah jendela. Mata Ridwan dan Nurul bertemu. Mereka saling berpandangan selama beberapa detik yang terasa seperti keabadian. Nurul, wanita yang dikenal selalu berhijab, berpakaian sangat tertutup dan menjaga diri dengan sangat baik, jelas terkejut melihat Ridwan di luar jendela.

Tatapan matanya melebar, namun tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Secepat kilat, Ridwan mengalihkan pandangannya dan melangkah pergi, merasa bersalah dan takut.

Setibanya di samping rumah, Ridwan menemukan Hendra yang sedang asyik bermain dengan tanah, membangun istana pasir kecil.

Namun pikirannya masih kacau. Bayangan Nurul tadi terus berputar di kepalanya. Apa yang baru saja terjadi? Bagaimana jika Nurul menganggapnya tak sopan? Apakah ini akan menjadi masalah di kemudian hari?

Keesokan harinya, saat Ridwan kembali datang untuk menjemput Hendra, perasaan cemas masih membayang di benaknya. Ia berharap bisa menghindari Nurul, setidaknya sampai ia bisa berpikir jernih. Namun, ketika ia memasuki rumah, Nurul sedang duduk di ruang tamu, menyapa dengan senyuman hangat seperti biasa.

"Assalamu'alaikum, Mas Ridwan," sapanya dengan suara lembut yang begitu familiar.

Ridwan sedikit tergagap menjawab, "Wa'alaikumussalam, Nurul."

"Mas Ridwan, kemarin ada yang mau aku dibicarakan. Tapi mas sudah pergi. Kayaknya buru-buru sekali," tanya Nurul sambil tersenyum kecil, seolah tidak ada yang terjadi.

Ridwan terkejut dengan sikapnya yang tenang, "Eh, tidak, nggak ada apa-apa kok. Maaf kalau kemarin saya mengganggu."

Nurul hanya tertawa kecil, "Mas Ridwan nggak mengganggu kok. Aku tahu mas gak sengaja."

Mendengar ucapan itu, Ridwan merasa sedikit lega. Sikap Nurul yang tetap ramah dan bersahaja membuatnya merasa bahwa apa yang terjadi kemarin hanyalah kebetulan yang tak perlu dibesar-besarkan. Namun, dalam hati, Ridwan berjanji untuk lebih berhati-hati lagi di masa depan.

Hari itu, saat ia membawa Hendra pulang, Ridwan menatap langit senja yang mulai berubah warna. Perasaannya kini lebih tenang. Meski ada sesuatu yang aneh terjadi, ia bersyukur bahwa segalanya berjalan baik-baik saja.

Nurul tetaplah Nurul, ipar yang selalu menjaga hubungan keluarga dengan baik, dan Ridwan berjanji akan menjaga perasaan itu tetap demikian.

***

Siang itu di kantor, Ridwan duduk di ruang kerjanya, merenungi kejadian yang terus terbayang di kepalanya. Sikap Nurul yang tetap bersahabat membuat Ridwan semakin penasaran. Ada perasaan yang sulit diabaikan, perasaan yang membuat pikirannya terus berkecamuk.

Ia tahu bahwa perasaan ini tidak seharusnya ada, tetapi semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat rasa penasaran itu tumbuh.

Nurul, istri dari adik iparnya Sidik, selalu menjadi sosok yang tertutup dan anggun. Ia selalu berpenampilan sederhana namun menawan dalam balutan hijab yang menutupi seluruh auratnya.

Namun, kejadian tak terduga beberapa hari lalu mengguncang keseimbangan Ridwan. Ia merasa bersalah, tetapi ada sesuatu yang lain yang membuatnya ingin mengetahui lebih banyak. Mungkin ini adalah godaan terbesar yang pernah ia hadapi. Tubuh telanjang Nurul terus membayang kepalanya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ridwan meraih ponselnya. Siang ini dia yakin bahwa Nurul sedang tidak bersama suaminya, Ridwan memberanikan diri untuk mengirim pesan WhatsApp kepada Nurul.

"Nurul, maafkan saya untuk kejadian waktu itu!”

Debar di dada Ridwan makin kencang. Dia tidak sabar menanti balasan Nurul.

"Gapapa, Mas aku tahu kamu gak sengaja!”

“Thanks Nurul,. Tapi jujur, saya penasaran... Saya hanya melihat bagian atas... Saya jadi ingin melihat semuanya. Maaf kalau keinginanku ini aneh. Tapi aku tidak bisa menahan beban ini."

Setelah menekan tombol kirim, Ridwan merasa jantungnya berdegup kencang.

Pesan itu kini ada di tangan Nurul, dan ia tidak bisa menariknya kembali. Ridwan tahu betul bahwa ini bisa menjadi kesalahan besar, kesalahan yang bisa menghancurkan semuanya. Namun, entah mengapa, ada bagian dari dirinya yang merasa tertantang oleh situasi ini. Mungkin karena dia jenuh dengan kehidupan yang lurus-lurus saja.

Beberapa menit berlalu, dan setiap detik terasa seperti sebuah keabadian. Ridwan hampir saja menutup ponselnya dan mencoba melupakan apa yang baru saja ia lakukan, ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Pesan balasan dari Nurul muncul di layar.

"Mas Ridwan... Saya sudah tahu dari awal Mas melihat saya itu saya yakin pasti mas kepengen lagi. Tidak apa-apa, saya maklumi. Tapi kalau Mas benar-benar penasaran dan ingin melihat semuanya... saya tantang Mas. Emangnya mas berani?"

Mata Ridwan membelalak membaca balasan itu.

Nurul yang selalu tampak tenang dan bersahaja, kini mengajukan tantangan untuk bermain dengan api. Rasa penasaran di dalam dirinya kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya. Ini bukan lagi sekadar godaan; ini adalah perang batin yang sangat sulit dimenangkan.

Ridwan termenung, di satu sisi ia tahu apa yang dia lakukan ini salah, tapi di sisi lain, ada sesuatu yang menggoda dan memanggilnya untuk melangkah lebih jauh. Dengan napas yang semakin berat, Ridwan membalas pesan itu, menguji batas dirinya sendiri, menantang takdir dengan pilihan yang ia tahu penuh dengan resiko.

"Aku sangat senang dengan tantangan kamu. Mana ada takutnya aku kalau di tantang untuk hal kayak gini."

Tombol kirim ditekan, dan Ridwan merasa seakan-akan seluruh dunia berhenti sejenak.

Ia tahu bahwa pesan itu mungkin bisa mengubah segalanya, tapi ia telah membuat keputusan. Malam itu, Ridwan tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, merenungi apa yang mungkin terjadi esok hari.

"Oke aku tunggu besok pagi saat rumah sepi. Cuma itu waktu yang ada buat Mas."

****

Keesokan paginya,

Ridwan mendapati dirinya berdiri di depan pintu rumah mertuanya dengan perasaan yang campur aduk. Dia sengaj izin agak telat ke kantor. Tangan kirinya menggenggam erat setir mobil, seolah-olah mencari keberanian untuk melangkah masuk. Pikirannya penuh dengan keraguan, namun ada juga rasa penasaran yang tak terbendung. Pesan dari Nurul kemarin masih terngiang-ngiang di benaknya, menggoda akal sehatnya untuk mengambil langkah berani.

Akhirnya, dengan napas panjang, Ridwan memutuskan untuk masuk. Ia berjalan melewati lorong rumah yang sunyi, kedua mertuanya pagi seperti ini biasanya pergi berdagang di pasar. Siang baru pulang.

Ridwan merasa setiap langkahnya terasa berat namun juga dipenuhi oleh adrenalin. Ketika ia tiba di depan kamar Nurul, pintu kamar itu sudah sedikit terbuka, seolah-olah Nurul telah menunggunya.

Ridwan mendorong pintu itu perlahan, dan di dalam kamar yang Nurul sudah berdiri di dekat jendela, tubuhnya diselimuti oleh cahaya matahari pagi yang lembut. Kali ini, Nurul tampak berbeda dari biasanya. Meski ia tetap berhijab, wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda ketegangan atau rasa malu.

Sebaliknya, ada ketenangan yang aneh di matanya, seolah-olah ia telah berdamai dengan keputusan yang diambilnya.

"Mas Ridwan, kita sepakat ya, mas hanya mau melihat saja kan?" ucap Nurul dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan.

Ridwan mengangguk, mulutnya kering seolah-olah kehilangan kata-kata. Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini, namun sekarang ia telah melangkah terlalu jauh untuk mundur. Melihat saja sudah cukup.

Mana ada di dunia wanita yang bukan milik kita tidak keberatan untuk dilihat tubuhnya oleh kita. Kecuali bintang film porno atau model majalah porno juga.

Dengan tangan yang gemetar, Nurul mulai membuka satu per satu pakaian yang menutupi tubuhnya, hingga akhirnya ia berdiri tanpa sehelai kain pun. Tubuhnya yang selama ini tersembunyi di balik hijab kini terpampang di depan Ridwan, seperti sebuah misteri yang terungkap.

Kini semua lebih nyata dari saat dia melihat lewat jendela. Pinggil yang meliuk indah. Selangkangan yang berbulu halus. Payudara montok berukuran sedang dengan putting coklat kemerahan. Wajah cantik pemiliknya. Semua memuat kontol Ridwan mengeras dalam celana.

Ridwan hanya bisa terpaku, matanya tak bisa berpaling dari sosok yang selama ini ia hormati dan anggap sebagai wanita yang alim. Hanya melihat, itu adalah kesepakatan mereka. Dan meski godaan untuk melangkah lebih jauh sangat kuat, Ridwan menahan diri ini cukup. Ia menikmati pemandangan di depannya, namun dengan perasaan yang bercampur antara rasa cukup puas dengan melihat dan keinginan untuk sekalian merasakannya.

Tapi saat ini cukup begini saja.


===X=X=X===


Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menegangkan, hingga akhirnya Nurul meraih pakaian dan mulai mengenakannya kembali. Ketika semua selesai, ia menatap Ridwan dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Sekarang Mas Ridwan sudah melihat semuanya. Jangan ada apa-apa lagi di antara kita setelah ini. Anggap saja ini sebagai pengalaman yang tidak pernah terjadi," kata Nurul dengan suara yang tegas namun penuh pengertian.

Ridwan mengangguk, merasa jantungnya masih berdegup kencang.

"Terima kasih, Nurul. Saya... Saya akan menjaga rahasia ini."

Nurul hanya tersenyum tipis sebelum beranjak keluar kamar, meninggalkan Ridwan yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Meski apa yang terjadi baru saja adalah sesuatu yang sangat melanggar batas, Ridwan tidak bisa mengingkari bahwa pengalaman itu begitu mendebarkan dan menyenangkan.

Saat Ridwan keluar dari kamar dia merasakan birahi yang begitu kuatan segera masuk ke kamar mandi untuk onani. Sebenarnya dia bisa onani di depan Nurul tapi dia takut ini akan merusak segalanya.

****

Setelah kejadian di kamar itu, Nurul tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang menghantui pikirannya.

Setiap kali ia mengingat bagaimana dirinya membuka semua pakaiannnya dan bugil di hadapan Ridwan, ada sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya, sesuatu yang tak seharusnya ada namun begitu nyata. Ada gairah yang membara, sebuah dorongan yang ia sendiri sulit untuk pahami.

Nurul tahu bahwa apa yang telah ia lakukan sangat salah. Namun, entah mengapa, ada bagian dari dirinya yang ingin merasakannya lagi. Ia berusaha mengabaikan perasaan itu, menutupi dengan rutinitas sehari-hari, tapi setiap kali ia melihat ponselnya, ada harapan yang samar-samar bahwa Ridwan akan menghubunginya lagi. Kemarin dia sudah siap dengan resiko lebih.

Tantanganya kepada Ridwan dia sadar akan berakhir lebih dari sekedar melihat. Karena lelaki mana yang tahan melihat tubuh telanjang wanita. Tapi dia heran Ridwan masih bisa menahan diri. Ada perasaan campur aduk melihat Ridwan patuh begitu saja pada permintaannya untuk hanya sekedar melihat ketelanjangannya.

Tapi perasaan Nurul begitu kuat bahwa pasti Ridwan menghendaki lebih. Benar saja, siang ini ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ridwan muncul di layar.

"Nurul... Aku tak bisa berhenti memikirkan kejadian kemarin. Aku ingin melihatmu lagi, jika kamu bersedia aku juga ingin merasakannya."

Mata Nurul terpaku pada pesan itu. Jantungnya berdegup kencang, dan rasa panas menyebar di seluruh tubuhnya. Ini adalah situasi yang sudah ia bayangkan akan terjadi,. Keinginan Ridwan yang terang-terangan membuat hati Nurul berdebar, bukan karena takut, tetapi karena dorongan aneh yang sama yang ia rasakan sebelumnya.

Nurul tahu bahwa jika ia melangkah lebih jauh, tidak ada jalan kembali. Ia memahami betul resiko dan konsekuensi dari perbuatannya. Namun, rasa penasaran yang membara dan gairah yang tak terduga seolah-olah menariknya kembali ke dalam pusaran yang sama.

Jemarinya dengan gemetar mengetik balasan, meski hati kecilnya masih berusaha menahan. Tapi keinginan itu terlalu kuat, dan sebelum ia menyadarinya, pesan itu telah terkirim.

"Mas Ridwan... Kalau kamu memang ingin lebih, aku akan menunggu di tempat yang sama besok pagi!”

Pesan itu singkat namun jelas, mengisyaratkan bahwa ia tidak keberatan dengan keinginan Ridwan, Nurul masih berusaha menjaga batas. Ridwan mungkin sudah berhasil membuka pintu yang selama ini tertutup rapat, dan kini, ia hanya perlu melangkah masuk untuk melihat apa yang ada di dalamnya.

Nurul menatap ponselnya, menunggu balasan dari Ridwan dengan perasaan campur aduk. Ada kegelisahan, ada rasa bersalah, tetapi ada juga harapan yang tak terucapkan.

Malam itu, Nurul tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang akan membawa dirinya dan Ridwan lebih jauh ke dalam hubungan yang penuh dengan godaan dan risiko.

Dan entah bagaimana, ia merasa bahwa dirinya tidak lagi berdaya untuk melawan arus yang telah mereka ciptakan bersama.

“Oke tunggu aku besok!”

***
Pagi itu, Ridwan berdiri di depan pintu kamar Nurul dengan perasaan yang menggebu-gebu. Tubuhnya terasa panas, terbakar oleh hasrat yang selama ini ia coba abaikan.

Ketika pintu kamar itu terbuka dan Ridwan melangkah masuk, ia mendapati Nurul sudah menunggunya, kali ini dengan pandangan yang penuh gairah dan birahi.

Kamar itu sunyi, hanya terdengar suara napas keduanya yang saling berpacu. Di antara cahaya temaram, Ridwan bisa melihat Nurul duduk di tepi tempat tidur, wajahnya yang biasanya penuh keyakinan kini tampak ragu. Ada ketegangan yang menggantung di udara, seolah-olah keduanya tahu bahwa apa yang akan terjadi bisa mengubah segalanya.

"Mas Ridwan lakukanlah… sejujurnya aku memang suka dengan Mas sejak lama."

Ridwan menelan ludah, ia baru sadar bahwa mengapa Nurul mau melakukan semua ini karena dia memiliki perasaan padanya. Perasaan yang selama ini ia pendam, rasa penasaran yang berubah menjadi hasrat yang semakin tak terkendali, kini mencapai puncaknya.

Dengan napas yang berat, Nurul memberanikan diri untuk jujur, meski ia tahu bahwa kejujuran ini bisa menyeret mereka ke arah jurang.

"Nurul... Aku harus jujur padamu. Aku juga mau jujur sejak melihat kamu di jendela itu aku sudah tidak bisa menahan hasratku."

Selanjutnya Nurul bangkit dari tempat tidurnya dan mendekati Ridwan. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar semakin kencang, napas yang semakin berat.

Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, Nurul perlahan mulai melepaskan pakaiannya, satu per satu, hingga akhirnya ia berdiri tanpa sehelai kain pun, sama seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.

Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada keberanian baru dalam matanya, sebuah keputusan yang telah ia buat dalam diam.

"Mas Ridwan..." ucapnya pelan, suaranya hampir berbisik. "Jika ini benar-benar yang kamu inginkan... aku tidak akan menolak. Tapi ingat, setelah ini, semuanya akan berubah."

Ridwan terpaku, tak bisa percaya dengan apa yang ia dengar. Ia tahu bahwa Nurul sedang memberinya izin, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Dengan hati yang berdebar, Ridwan mendekati Nurul, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan apa yang selama ini hanya ia lihat.

Apa yang terjadi di kamar itu malam itu adalah pertemuan dua hati yang terjebak dalam godaan yang tak terhindarkan. Nurul, dengan segala keraguannya, menyerah pada dorongan aneh yang tak bisa ia lawan, sementara Ridwan memenuhi hasratnya yang telah lama tertahan. Keduanya tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah kesalahan besar, namun pada saat itu, mereka tak mampu lagi untuk mundur.

Setelah semuanya selesai, kamar itu kembali sunyi. Nurul mengenakan pakaiannya kembali dengan tangan yang gemetar, sementara Ridwan duduk di tepi tempat tidur, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Keduanya sadar bahwa apa yang terjadi malam itu akan meninggalkan jejak yang mendalam di hati mereka, sesuatu yang tidak akan pernah bisa dilupakan.

Nurul menatap Ridwan sekali lagi, kali ini dengan tatapan yang penuh penyesalan dan kesadaran akan konsekuensi dari apa yang telah mereka lakukan.

"Mas Ridwan... Kita harus berhenti sampai di sini. Apa yang kita lakukan... tidak bisa terulang lagi."

Ridwan hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu bahwa perasaan itu tidak akan hilang begitu saja. Malam itu, keduanya berpisah dengan perasaan yang sama, sebuah campuran antara rasa bersalah dan kelegaan, serta kesadaran bahwa mereka telah melangkah terlalu jauh ke dalam godaan yang seharusnya tidak pernah mereka sentuh.

Malam itu, meski Nurul dan Ridwan telah sepakat untuk menghentikan segala hal yang telah mereka lakukan, perasaan yang menggelayut di hati keduanya tidaklah semudah itu lenyap. Nurul, yang biasanya begitu tegar dan penuh kendali atas dirinya, mendapati dirinya berada dalam pusaran perasaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Setiap detik yang berlalu, pikirannya terus menerawang kembali ke momen di kamar itu, bagaimana tubuhnya dan tubuh Ridwan bertemu dalam kehangatan yang penuh gairah.

Meski ia tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah kesalahan besar, perasaan itu justru semakin kuat, semakin menguasai dirinya. Rasa ketagihan yang tak terduga menyelimuti pikiran Nurul, membuatnya merindukan sentuhan yang sama, membuatnya mendambakan pengalaman yang telah ia rasakan. Ia mencoba menahan diri, namun keinginan itu begitu kuat hingga ia merasa tak mampu lagi melawan.

Dengan tangan yang bergetar, Nurul meraih ponselnya. Hatinya berdebar kencang saat ia mulai mengetik pesan untuk Ridwan. Kata-kata yang muncul di layar begitu jujur, begitu penuh dengan hasrat yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Setelah ragu sejenak, Nurul menekan tombol kirim, dan pesan itu pun meluncur ke Ridwan, membawa serta semua perasaan yang ia coba pendam.

"Mas Ridwan... Aku tidak bisa melupakan apa yang terjadi di antara kita. Aku... Aku ingin lagi. Malam ini, bisakah kita bertemu?"

Pesan itu singkat namun penuh makna. Nurul tahu bahwa dengan mengirimkan pesan itu, ia sedang mengundang Ridwan kembali ke dalam situasi yang penuh dengan resiko. Namun, keinginan yang membara di dalam hatinya sudah terlalu kuat untuk diabaikan. Ia tidak lagi memikirkan konsekuensi, hanya ada satu hal di pikirannya: Ridwan.

Di tempat lain, Ridwan yang tengah berusaha mengalihkan pikirannya dari segala yang telah terjadi, tiba-tiba merasakan ponselnya bergetar. Saat ia membuka pesan dari Nurul, matanya membelalak. Pesan yang muncul di layar bukanlah sesuatu yang ia harapkan, namun juga bukan sesuatu yang sepenuhnya tidak ia inginkan. Hatinya berdebar, penuh dengan campuran rasa takut dan keinginan.

Setelah beberapa saat merenung, Ridwan akhirnya mengetik balasan. Ia tahu bahwa mereka sedang bermain dengan api, namun keinginan untuk kembali merasakan apa yang mereka bagi malam itu terlalu besar untuk diabaikan.

"Nurul... Aku juga tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku akan datang malam ini."

Dengan pesan itu, keduanya telah sepakat untuk sekali lagi menyerah pada godaan yang telah membawa mereka ke jalan yang berbahaya. Malam itu, mereka tahu bahwa mereka tidak lagi bisa berpura-pura bahwa apa yang terjadi di antara mereka hanyalah kesalahan.

Perasaan itu terlalu nyata, terlalu kuat untuk dihindari. Dan meski mereka sadar akan konsekuensinya, keduanya memilih untuk melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan yang mereka ciptakan bersama.

Saat malam tiba, Ridwan kembali ke rumah mertuanya, dan Nurul, dengan perasaan yang sama membara, menyambutnya di kamar yang sama. Keduanya tahu bahwa mereka tidak lagi hanya sekadar menyentuh batas, mereka telah melangkah jauh melewatinya, terperangkap dalam hubungan yang semakin dalam dan semakin sulit untuk dihentikan.

Setelah beberapa kali pertemuan rahasia dengan Nurul, Ridwan semakin tenggelam dalam hubungan terlarang itu. Perasaan bersalah yang pernah menghantui pikirannya seolah-olah lenyap, digantikan oleh kenikmatan dan hasrat yang tak terbendung.
Hubungan antara Ridwan dan Nurul berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar godaan sesaat—mereka kini terjebak dalam pusaran gairah yang memabukkan, tak lagi peduli pada konsekuensi.

Malam itu, ketika Ridwan kembali ke rumah setelah bertemu Nurul, ia merasa lelah namun puas. Setiap langkahnya menuju pintu rumah terasa ringan, seolah-olah seluruh dunia telah menjadi tempat yang lebih cerah.

Namun, begitu ia masuk ke dalam rumah, suasana hati Ridwan berubah saat ia melihat ponsel istrinya tergeletak di meja ruang tamu, layarnya menyala karena sebuah pesan WhatsApp baru masuk.

Tanpa berpikir panjang, Ridwan mengambil ponsel itu dan melihat notifikasi yang muncul. Sebuah pesan yang tak terduga—dari seorang lelaki yang tidak ia kenal. Ada sesuatu yang aneh dalam nada pesan itu, cukup untuk membuat Ridwan membuka dan membaca seluruh percakapan. Saat ia mulai membaca, jantungnya berdebar kencang.

Pesan-pesan itu penuh dengan keintiman, kata-kata yang jelas-jelas menunjukkan bahwa istrinya terlibat dalam hubungan terlarang dengan lelaki lain. Setiap kalimat, setiap ungkapan mesra yang mereka tukar, menunjukkan bahwa perselingkuhan itu sudah berlangsung cukup lama.

Namun yang lebih mengejutkan Ridwan bukanlah kenyataan bahwa istrinya selingkuh—melainkan reaksinya sendiri.

Alih-alih merasa marah atau dikhianati, Ridwan justru merasakan sesuatu yang sama sekali tak terduga—gairah yang aneh, seperti api yang tiba-tiba menyala di dalam dirinya.

Pikiran bahwa istrinya, wanita yang ia kenal begitu baik, bisa merasakan hasrat yang sama dengan lelaki lain, membuatnya merasakan kegembiraan yang tidak pernah ia duga. Ia merasa seolah-olah dirinya berada dalam sebuah permainan yang baru, sebuah permainan yang memompa adrenalinnya.

Ridwan membaca setiap pesan dengan teliti, membayangkan bagaimana istrinya berada di sisi lain layar, merespons dengan penuh gairah kepada lelaki itu. Ia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat, tubuhnya memanas oleh perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bukan kecemburuan yang membara di hatinya, melainkan dorongan aneh yang semakin lama semakin kuat.

Setelah membaca semua pesan itu, Ridwan menaruh kembali ponsel istrinya di tempat semula. Ia merasa dadanya berdebar, bukan karena kemarahan, tetapi karena rasa ingin tahu yang baru saja terbangun.

Bagaimana mungkin ia merasa bergairah mengetahui bahwa istrinya bersama lelaki lain? Pikiran itu seharusnya membuatnya marah, tapi justru sebaliknya, ia merasa lebih hidup daripada sebelumnya.

Malam itu, Ridwan tidak konfrontasi atau bertanya kepada istrinya tentang pesan-pesan itu. Ia hanya tersenyum kecil, merasakan dorongan yang tidak biasa yang membuatnya ingin menjelajahi lebih jauh perasaan aneh ini.

Kini, baik dirinya maupun Nurul terjebak dalam hubungan yang penuh dengan gairah terlarang, dan Ridwan mendapati bahwa situasi istrinya dengan lelaki lain justru menambah sensasi pada kehidupannya.

Ridwan merenung sejenak sebelum akhirnya mengirim pesan kepada Nurul, memberitahukan bahwa ia ingin bertemu lagi, namun kali ini dengan perasaan yang lebih berani, lebih tak terkendali.

Kini, ia tidak hanya terbawa oleh godaan fisik, tetapi juga oleh permainan emosi yang baru saja ia temukan. Bagi Ridwan, ini adalah babak baru dalam kehidupan yang tak pernah ia bayangkan, sebuah petualangan yang penuh risiko namun juga tak tertahankan.

Ridwan tak bisa mengusir rasa penasaran yang menggantung di benaknya setelah membaca pesan-pesan di ponsel istrinya, Syifa. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar perselingkuhan biasa—sesuatu yang membuat hati Ridwan semakin tertarik untuk memahami perasaan yang mungkin dialami Syifa.

Ia tidak lagi hanya merasakan keinginan untuk menyelidiki, tetapi juga dorongan untuk mengetahui kebenaran dari mulut istrinya sendiri.

Malam itu, setelah makan malam, Ridwan mengajak Syifa untuk duduk bersamanya di ruang tamu. Ia tahu bahwa ini bukanlah percakapan yang mudah, namun tekadnya untuk mendapatkan jawaban sudah bulat. Syifa duduk di sebelahnya, tampak tenang meski ada sedikit kecemasan di wajahnya.

"Syifa," Ridwan memulai dengan lembut, "Aku ingin kita bicara jujur malam ini. Aku tidak akan marah, aku hanya ingin mengerti apa yang sebenarnya terjadi."

Syifa menatap suaminya dengan mata yang penuh dengan keraguan, namun ia bisa merasakan ketulusan dalam nada suara Ridwan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia akhirnya mengangguk pelan.

"Ridwan," Syifa berkata dengan suara yang lembut namun tegas, "Aku tahu kamu mungkin sudah curiga. Dan aku tidak ingin berbohong padamu lagi. Ya, aku memang menjalin hubungan dengan Frans."

Nama itu, Frans, membuat Ridwan teringat pada pesan-pesan yang telah ia baca. Seorang pendeta, pria yang jelas-jelas berbeda keyakinan dengan mereka. Pikiran itu semakin menguatkan rasa ingin tahunya.

"Kenapa, Syifa?" Ridwan bertanya, nadanya masih tenang. "Apa yang membuatmu... penasaran dengan pria seperti Frans?"

Syifa menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Aku tidak pernah bermaksud untuk melukai kamu, Ridwan. Tapi entah bagaimana, aku merasa tertarik pada Frans bukan hanya karena dia berbeda, tapi juga karena... aku penasaran. Penasaran dengan dunia yang berbeda, dengan cara berpikir yang berbeda. Frans memberiku perspektif yang selama ini tidak pernah aku alami."

Ridwan mengangguk, mencoba memahami apa yang disampaikan oleh istrinya.

"Jadi, ini bukan hanya soal perselingkuhan, ini soal... eksplorasi, begitu?"

Syifa mengangguk kembali.

"Iya, mungkin seperti itu. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaran itu, Ridwan. Bukan hanya karena dia pria lain, tetapi karena dia membawa sesuatu yang baru dalam hidupku, sesuatu yang berbeda dari apa yang selama ini aku kenal."

Ridwan terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Syifa. Alih-alih marah, ia merasakan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Ia menyadari bahwa Syifa tidak hanya terlibat dalam hubungan terlarang, tetapi juga sedang menjalani perjalanan emosional yang dalam, sesuatu yang jauh melampaui sekadar fisik.

"Aku mengerti, Syifa," Ridwan akhirnya berkata, meski dalam hatinya ia sendiri masih mencoba memahami perasaannya sendiri.

"Aku tidak akan marah. Tapi aku ingin kita terbuka satu sama lain. Jika kamu merasa penasaran, jika ada hal-hal yang ingin kamu eksplorasi... katakan padaku. Aku ingin kita bisa jujur satu sama lain, tanpa harus menyembunyikan apapun."

Syifa menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca, tidak menyangka bahwa Ridwan akan merespons dengan begitu tenang dan pengertian. Ada rasa lega yang muncul dalam hatinya, meski ia tahu bahwa hubungan mereka mungkin tak akan pernah sama lagi.

"Terima kasih, Ridwan," ucap Syifa dengan suara yang hampir berbisik. "Aku akan jujur padamu, seperti yang kamu minta."

Malam itu, meski percakapan mereka penuh dengan pengakuan yang sulit, ada sebuah pemahaman baru yang tercipta di antara mereka. Ridwan menyadari bahwa dalam pernikahan mereka, ada banyak hal yang mungkin telah terabaikan, dan kini keduanya berada di persimpangan jalan yang tak terduga.

Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, tetapi mereka juga sadar bahwa kejujuran adalah satu-satunya jalan untuk menemukan apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup mereka.

Klik Nomor untuk lanjutannya
x
x