Ninuk menyembuhkan Kontol Mertua 2

SEBELUMNYA..

Seri 1 - Ninuk menyembuhkan Kontol Mertua


cewek amoy
NINUK


Hari-hari pun berlalu, selasa dan rabu ayah mertuaku itu tidak tidur di rumahku. Takut suamiku pulang katanya. Padahal sudah kujelaskan kalau aku sedang datang bulan begini mas Hendra ga pernah datang di tengah minggu Kalau tiap hari, setelah mengantar anak-anak sekolah dia pasti menemaniku sampai sebelum jam 10, waktu dimana si Bayu pulang sekolah. Aku juga memintanya untuk sarapan bersamaku dirumah. Untuk urusan membuat kopi, aku bahkan yang membikin sendiri untuk mertuaku itu, tanpa menyuruh si Inah lagi. Barulah di kamis malam Kakung menginap lagi.

Hari jum’at sore ketika mandi kusadari bahwa bercak di pembalut yang kupakai seharian sudah sangat sedikit. Bahkan bisa dibilang sudah tidak ada. Tapi untuk lebih memastikannya ya tunggu besok pagi. Tapi nanti malam jadwal mas Hendra datang. Entah kenapa kala itu di dalam pikiranku untuk kebutuhan seks aku lebih berharap terpuaskan dengan ayah mertuaku. Bukan dengan suamiku sendiri.

Mungkin karena ayah mertuaku itu jauh lebih pandai memperlakukanku sebagai seorang perempuan. Atau memang karena partner baru, yang membuatku bisa merasa tereksploitasi fantasi seks ku. Tapi yang jelas, dari beberapa kali berhubungan badan dengan mertuaku itu, aku memang selalu bisa mendapatkan orgasme, lain dengan mas Hendra suamiku sendiri.

Keesokan harinya, kutemukan kalau aku memang sudah benar-benar bersih. Tamu bulananku sudah menghilang. Sejenak aku berpikir. Biarlah akhir pekan ini mas Hendra dengan si Inah saja. Toh juga hari ini kita sekeluarga rencana mau pulang ke Malang, sambang orang tuaku.

Sesuai skenario, siang itu setelah menjemput Doni sekolah kita langsung antar Inah pulang ke Pare dan bablas ke malang. Minggu malam kita pun menghampiri pembantuku itu untuk balik ke rumah. Sekitar pukul 9 malam kita berlima pun sampai rumah dan langsung beristirahat. Untunglah mas Hendra tidak menanyaiku tentang tamu bulananku. mingkin dia mengira masih belum selesai karena melihatku selalu memakai pakaian kebesaranku ketika mens.

“Sama Inah dulu ya mas.. biar besok aku dipake ayahmu dulu, kasihan udah lama nggak ditab, takutnya nanti prostatnya kambuh hehe” gumamku dalam hati sebelum tidur malam itu.

Aku langsung berusaha melelapkan mataku. Tak sabar menunggu hari senin tiba.


===x0x===


Senin pagi seperti biasanya, sekitar jam 5 suamiku berangkat ke kota tempat dia bekerja. Setelah itu aku pun sibuk menyiapkan kedua anakku berangkat sekolah. Pukul 06.10 Bayu dan Doni pun sudah siap di teras menunggu ojek gratis yang akan mengantarkan mereka ke sekolah masing-masing. Sekitar 5 menit kemudian pak ojek yang dinanti itu pun tiba.

“Kung dateng ma” kata si Bayu kemudian berlari keluar tanpa membawa tas sekolahnya. Sedang si Doni hanya berjalan santai. Aku pun menyusulnya dengan membawa tasnya Bayu.

Setelah kedua anakku salim ke aku, giliranku salim ke ayah mertuaku.

“Nanti sarapan disini ya Kung” kataku seusai mencium tangan Kakung.

“Nggak Nuk, habis antar anak-anak aku mau ke kantor pajak. Mau urus NPWP. Kapan hari waktu ambil pensiunan di Bank, ditanyain. Trus disuruh urus. Hari ini harus disusulkan katanya. Kalau nggak, bulan depan pensiunannya bakal telat. Tadi juga sudah sarapan. Kebetulan ada tukang bubur ayam lewat. Berangkat ya Nuk. Oh iya nanti kalau urusanku belum selesai, kamu atau Inah yang jemput Bayu ya. Kalau Doni kayaknya nanti aku bisa. Masak jam 1 nggak selesai” kata Kakung panjang kemudian memacu sepeda motornya pelan.

“Oh iya Kung, hati-hati” jawabku kemudian menutup pagar rumah dan masuk.

Niatku yang mau langsung mandi setelah anak-anak berangkat langsung kubatalkan karena rencana untuk berhubungan intim dengan mertuaku pagi itu harus tertunda. Akhirnya aku memutuskan untuk sarapan. Setelah menyelesaikan makan pagiku, aku kemudian merapikan kamarku dan kamar anak-anakku. Tak butuh waktu lama tapi aktivitasku pagi itu cukup mengeluarkan keringat. Apalagi beberapa hari ini memang hawa terasa sumuk sekali. Mendung sering terkumpul tapi hujan masih belum turun.

Sekitar jam setengah 8 aku pun duduk di sofa tengah sesaat sebelum pembantuku pamit untuk ke pasar krempyeng di blok sebelah.

“Setengah delapan, kantor pajak buka baru antri. Kalo umpama antri sejam, setengah sembilan. Kayaknya masih ada waktu” pikirku mencoba mengkalkulasi waktu.

“Eh iya, setelahnya kan masih harus ke Bank. Ga mungkin lah.. yang jelas ga mungkin jam 10 sudah selesai urusannya. Bahkan bisa molor. Makanya tadi ayah mertuaku itu minta aku atau si Inah siap-siap menjemput anakku”.

“Atau..” Gumamku sendiri pelan.

Mungkin ayah mertuaku itu nggak tahu kalau mens ku sudah selesai dan memang aku belum memberitahunya. Akhirnya kuambil HP ku dan mengirimkan pesan WA kepadanya.

“Kung, M ku sdh selesai..” sebuah pesan yang singkat yang sudah sangat bisa menjelaskan kalau tubuhku sudah siap dia ”pakai”, hehe. Dan memang masih agak wagu juga buatku untuk mengajak duluan walaupun aku sangat menginginkannya.

Meskipun dia tidak bisa pagi itu karena ada urusan di kantor pajak, tapi mungkin Kakung bisa mengaturnya untuk nanti malam. Hari senin kan memang jadwalnya untuk tidur di rumahku. Sejenak kulihat pesanku tadi sudah tercentang biru yang artinya sudah dibaca olehnya tapi karena belum ada respon juga akhirnya kuletakkan gadgetku di meja.

Sekitar 15 menitan terdengar suara pagar rumahku terbuka. Awalnya kupikir si Inah yang datang dari pasar, tetapi kok ada suara motor matic yang masuk rumah yang membuatku bertanya-tanya dan memutuskan untuk menengoknya. Ternyata ayah mertuaku dan si Inah yang datang. Aku pun tersenyum geli melihat ayah mertuaku langsung datang beberapa saat setelah aku text dia.

“Tadi ketemu Inah di jalan, katanya dari pasar. Sekalian aja kuajak bareng” kata ayah mertuaku itu sambil melepas jaket yang dikenakannya.

“udah selesai urusan di kantor pajaknya Kung? kok cepet? Dulu waktu Ninuk urus NPWP, antrinya banyak, jadi lama” tanyaku pura-pura agak kaget mengetahui kedatangannya yang termasuk cepat.

“Nggak jadi Nuk.” Jawabnya.

“Kenapa Kung? ada kendala tah? Apa ada yang kurang ama sarat-saratnya?” tanyaku masih berlagak tidak tahu maksudnya membatalkan urusannya pagi itu. Padahal aku tahu pasti kalau dia menunda urusannya di kantor pajak karena ingin berhubungan intim denganku.

“Ada yang lebih penting Nuk” Jawabnya kemudian sambil menuju tempat aku berdiri.

“Apa Kung, yang lebih penting?” tanyaku sambil bersiap menerima cumbuan Kakung.

“Kamu Nuk yang lebih penting..” gumamnya pelan langsung mencium dan menjilati leherku.

“Ihh.. Kung ah.. nakal!” kataku sambil mendongakkan kepalaku agar dia lebih leluasa melancarkan aksinya.

Semenit kemudian ia mendorong tubuhku pelan agar aku bersandar di sofa. Sadar akan hal itu akupun perlahan duduk dan menyandarkan badanku di kursi panjang itu sehingga bibir Kakung masih menempel di kulitku. Sesaat kubiarkan Kakung terus melahap leherku. Aku semakin mengerang keenakan ketika tangan kanan Kakung meremas-remas payudara kiriku.

“Di kamar tamu aja Kung” bisikku kepada Kakung. Beberapa detik ia seakan tidak menghiraukan perkataanku tapi kemudian ia berdiri dan tangannya lalu membantuku bangkit dari sofa coklat tua itu.

“Ninuk ambil air dulu ya Kung” kataku dengan suara serak kemudian menuju dapur dan mengambil 2 botol air mineral tanggung dari dalam kulkas.

2 menit kemudian aku dan ayah mertuaku itu sudah berada di kamar yang biasanya digunakan untuk kerabat yang datang dan menginap.

Tanpa ragu aku segera melepas daster dan celana dalam yang kupakai dan menaruhnya di ranjang.

“Disetel berapa Nuk?" Tanya Kakung sambil memegang remote AC.

“22 atau 24 Kung” jawabku.

Ia kemudian mulai melepas kancing hem biru kotak-kotak yang dikenakannya. Sambil itu aku lalu jongkok di depannya memantu membuka celana yang dipakainya. Penis Kakung terlihat sudah berdiri tegak dengan gagahnya. Walaupun sebenarnya nggak perlu mengulumnya tapi aku ingin memberikan kenikmatan melalui permainan oralku sehingga aku pun mulai menjilatinya.

“Oooocchh..” Kakung melenguh pelan.

Kemudian jilatanku naik ke perut dan dada Kakung yang dipenuhi oleh bulu. Pentilnya bergantian kuhisap. Tangan kanannya mengusap-usap rambutku dan tangan kirinya meremas susuku yang kanan. Kemudian jilatanku naik ke leher hingga ke kuping sebelah kirinya.

“Masukin Kung” bisikku pelan di telinganya.

Tak perlu berlama-lama lagi. Cairan di vaginaku sudah cukup menjelaskan kalau kala itu aku sudah benar-benar terangsang dan siap untuk permainan yang sesungguhnya.

Aku kemudian merebahkan tubuhku di kasur. Kubuka kedua kakiku ketika Kakung mulai merayap di atasku. Dia tampaknya juga sudah tak sabar ingin segera menyetubuhiku. Kuraih batang kemaluannya dan kutempatkan ke arah yang tepat sehingga dengan sekali dorong penis mertuaku itu langsung masuk ke dalam liang kewanitaanku.

“Oooohh” suara kami hampir bersamaan.

Tanpa dikomando dia langsung menggoyang pinggulnya maju mundur dengan irama yang semakin lama semakin cepat.

“Plak.. plak.. plak.. plak” suara ketika alat kelain kami bertumbukan.

Nafas kami tersengal. Mulut kami sama-sama meracau. Kutatap wajah Kakung yang pas ada di atasku. Mulutnya agak terbuka. Keringat mulai menjalarinya. Belum sampai lima menit kurasakan ia semakin mempercepat gerakannya, sepertinya ia ingin segera mencapai klimaksnya. Beberapa kali kuperhatikan dia selalu begitu ketika akan orgasme. Aku pun mengeraskan cengkraman vaginaku agar dia segera mendapatkannya.

“Nuk.. aku mau keluar nuk.. nuk.. Ohh.. aku mau keluar Nuk”.

“Ooocchh.. Ooocchh.. Occchh” teriaknya ketika spermanya muncrat di dalam tubuhku. Kepalanya ambruk di leher sebelah kiriku.

Kurasakan penis Kakung masih berdenyut-denyut di dalam vaginaku. Kuelus-elus kepala Kakung. Membiarkannya menikmati orgasme pertamanya seminggu ini.

Kemudian perlahan ia mengangkat kepalanya.

“Maaf ya Nuk.. Maaf ya.. aku nggak tahan” katanya.

“Iya kung.. nggak apa-apa..” jawabku pelan sambil mengusap wajahnya yang berpeluh.

Wajar juga, ketika keluar cepat setelah sudah lama menunggu dan menahan birahinya. Aku juga memahami situasi itu. Ingat pertama kali yang di sofa tengah, ia juga nggak lama bisa menahan untuk mencapai klimaksnya.

“Makasih ya Nuk.. “ ucapnya kemudian mengecup mesra keningku dan menarik tubuhnya kebelakang sehingga penisnya tercabut dari liang senggamaku. Ia lalu merebahkan tubuhnya di sebelahku. Kata-kata inilah yang mampu membuatku melayang. Membuatku merasa benar-benar menjadi seorang wanita.

Aku kemudian duduk di tepian ranjang agar air mani Kakung segera keluar dari dalam vaginaku.

“habis ini lagi ya” pintaku.

“Iya Nuk, tapi bentar” jawab Kakung kemudian berdiri.

Melihatnya aku minta tolong diambilkan air yang ada di meja dan segera meminumnya setengah. Ia tampak menungguku mengembalikan botol minuman yang tadi direahkannya. Kakung tampak menghabiskan sisa air dari botol yang kuberikan kemudian beranjak ke kamar mandi dalam kamar itu. Pipis mungkin, pikirku.

Tak lama kemudian ia keluar, tetap masih telanjang bulat ia tampak menggosok-gosok bagian bawah perutnya dengan handuk.

“Sini Kung” Panggilku sambil menatap kemaluannya yang sudah agak mengendur.

Seakan paham dengan maksudku, Kakung berdiri pas di hadapanku. Aku lalu mengulum penisnya, dan ajaibnya hanya dengan dua hisapan, penis itu sudah berdiri tegak hampir sempurna.

“Gila, cepet banget ngacengnya” pikirku sambil membandingkan dengan punya suamiku yang butuh waktu lebih lama untuk berdiri lagi.

“Ayo Kung, Ninuk diatas ya..” kataku ingin segera permainan kedua dimulai.

Aku juga tak ingin melepas momen gairahku yang masih tersisa saat itu. Aku segera menaiki tubuh Kakung sesaat setelah ia membaringkan badannya di ranjang. Dan di posisi WOT ini aku berhasil mendapatkan orgasme pertamaku kala itu. Tubuhku pun ambruk keenakan di atasnya. Perlahan kuangkan kepalaku dan memandangi wajah Kakung yang sekilas mirip aktor Rudi Salam, tapi KW 7 lah.

Saat itu aku tak kuasa menahan romantismeku dengan Kakung. Aku kemudian mencium bibirnya. Ia tampak kaget menerima aksiku. Maklum memang mulai pertama kali intercourse dengan dia, aku nggak pernah mau melakukannya. Tapi kini aku sudah terperosok jauh dalam dekapan Kakung. Beberapa lama bibir kami berpagutan dan lidah kami bermain dalam sebuah adegan French Kiss yang sangat luar biasa.

Aku kemudian membaringkan tubuhku di samping dengan posisi membelakanginya, kaki kiriku kuangkat aku ingin sebuah gaya yang pernah kulihat di film. Kakung tampak paham dan melakukan posisi yang sama sekali tidak pernah kucoba dalam hidupku.

Di ronde kedua itu, di hampir setiap gaya yang kami lakukan, aku dapat mencapai puncak kenikmatanku. Entah berapa kali, 4 atau 5 kali aku bahkan tidak sempat menghitungnya hingga akhirnya hampir sejam kemudian barulah Kakung kembali menumpahkan air maninya di dalam rahimku.

Beberapa lama tubuhku dan ayah mertuaku masih terbaring berdampingan di ranjang dimana tadi menjadi tempat untuk saling memacu birahi untuk saling memuaskan satu sama lain. Permainan yang sungguh sangat nikmat yang tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Entah berapa banyak Joule energi yang dikeluarkan, berapa banyak peluh yang terkuras. Semuanya hanya untuk satu kata, yaitu kepuasan. Kupandangi penis Kakung yang sudah terkulai lemas setelah melaksanakan tugasnya dengan sangat baik.

Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 08.40. jadi hanya 20 menit tersisa sebelum si Bayu, anakku yang kedua pulang sekolah.

“Kung, biar Ninuk suruh Inah jemput Bayu ya. Nanti sekalian Ninuk suruh ajak jalan-jalan dulu biar Kung bisa nyantai dulu dan bisaistirahat disini” kataku.

“jangan Nuk” jawab Kakung pelan yang langsung menarik perhatianku. Aku kemudian menyondongkan tubuhku kepadanya.

“Kenapa Kung?" tanyaku penasaran.

“Biar aku aja yang jemput. Trus nanti Bayu tak ajak kerumah seperti biasanya sambil kupancing-pancing dia untuk memintaku tidur disini lagi nanti malam” jelasnya sambil tersenyum.

“Ihhh.. Kung ada-ada ajah. Kung nggak capek?” tanyaku.

“Ya capek lah Nuk..tapi ga papa.. bentar ya” katanya kemudian beranjak ke kamar mandi lagi.

Lima menit kemudian Kakung mulai memakai bajunya.

“Aku jemput Bayu dulu ya Nuk” katanya terus mencium pipi kiriku.

“Iya Kung.. Ninuk mau bersihin kamar dulu” jawabku. Kemudian Kakung keluar. Beberapa menit kemudian si Inah masuk.

“eh.. ibu.. masih di sini” kata pembantuku itu.

“Iya Nah, ada apa?" Tanyaku.

“Barusan Kung suruh Inah untuk bersihkan kamar bu.. Ihhh Ibu kok belum pake baju?” jawabnya.

“hehehe.. Oh, gitu ya.. ok deh.. aku mau mandi” kataku lalu keluar dan menuju kamar mandi.

Mungkin ayah mertuaku itu itu sengaja menyuruh Inah agar bukan aku yang membereskan kamar. Setelah memastikan rambutku benar-benar kering sesudah mandi, aku memutuskan untuk tidur.

Aku sedikit terkejut ketika membuka mataku. Kamar tempat aku tidur terlihat gelap, seperti sudah sore sekali. Jam di dinding pun tidak terlihat karena lampu kamar yang tidak kuhidupkan.

“Ohh.. masih jam setengah dua” gumamku saat melihat jam di HPku.

Berarti hampir tiga jam setengah aku tidur. Lumayan lama juga aku mengganti waktuku dengan tidur siang. Permainan tadi pagi sungguh menyita tenagaku. Nggak apa-apa, yang penting gelora birahiku sudah plong, lega sega sekalim meskipun aku mendapatkannya dengan berhubungan badan sama ayah mertuaku. Sekarang tinggal perutku yang melilit, menginginkan asupan pengganti energiku yang keluar.

Sejenak kusempatkan membaca pesan baru yang ada di Androidku. Kulihat ayah mertuaku mengirim WA yang belum terbaca.

10.03 Kung : “Istirahat Nuk. Biar nanti anak2 tak ajak kerumah”

13.20 Kung : “ Ini anak2 sudah dirumah. Tidurkah?”

Aku kemudian membalasnya dan terhadilah percakapan via WA.

13.31 Aku : “ Iya Kung. ini baru bangun, hehe. Makasih ya Kung”

13.42 Kung : “Makanya tadi biar Kung yang jemput, biar kamu bisa istirahat..”

“Udah maem Nuk? Nih aku sama anak2 maem Sate Ponorogo, tadi Bayu

minta trus bungkus di pak Siboen deket alun-alun”

13.43 Kung : “ Laper Nuk. Tadi pagi habis bajak sawah, capek”

Ini yang membuatku tersenyum geli sendiri. Kakung mengibaratkan berhubungan intim denganku tadi pagi dengan :Membajak Sawah”.

13.48 Aku : “Emang sawahnya luas ya Kung? kok sampe capek gitu? Hehehe”

13,49 Aku : “Tapi Enak kan??”

13.50 Kung : “Nggak Nuk, nggak enak”

13.50 Kung : “Tapi uuueeenaaaaak hehehe”

Lagi-lagi aku dibuat tersenyum oleh Kakung.

Aku kemudian bangkit dan keluar kamar. Kulihat rumahku sepi sekali. Pintu-pintu tertutup rapat. Pasti si Inah tidur juga. Setelah pipis aku pun makan dengan lahap. Sore itu kuhabiskan waktuku untuk memilih dan menata baju-baju anakku. Pakaian-pakaian yang sudah kekecilan atau nggak layak pakai kusingkirkan untuk dibuang. Sampai tidak terasa waktu maghrib pun tiba, akupun segera mandi.

Setengah jam kemudian ayah mertuaku datang mengantar anak-anakku.

“Malem anak-anak belum makan Nuk” kata Kakung ketika menyerahkan bawaan Bayu dan Doni yang rupanya langsung menuju meja makan.

“Iya Kung, Kung makan disini juga aja” ajakku. Di tengah-tengah kami makan tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya.

“Oh. Syukurlah.. akhirnya hujan juga” kataku menyambut air yang turun dari langit pertama kali di tahun itu.

“Naa.. Kung ga bisa pulang.. Kung tidur sini aja” kata si Bayu sambil mengunyah makanannya.

“Iya Kung, Doni juga ada PR nulis aksara jawa. Ajari ya” sahut si Doni yang disambut anggukan oleh Kakung.

Aku tersenyum dalam hati mendengar permintaan kedua anakku itu.

“Hey.. ayo kalau makan jangan sambil ngomong. Nanti kesedak” kataku.

Kemudian aku menemani si Bayu bermain sambil nonton Upin Ipin di TV sedang si Doni dan Kakeknya sedang serius di meja belajar yang ada di kamar.

“Nggak bobok sayang?” tanyaku pada anakku setelah acara TV kesayangannya habis.

“Aku tidur ama Kung aja. Nggak ama mama” jawabnya kemudian ngelonyor masuk kamar.

“Ehh.. jangan ganggu kakak dulu lho ya. Kakak masih belajar” jawabku.

“Iya maa” sahutnya dari dalam kamar.

Beberapa saat setelah mematikan beberapa lampu dalam rumah, aku pun masuk ke kamar anak-anaku yang ada ayah mertuaku juga di dalam.

“Mama tidur dulu ya” kataku kemudian mencium pipi Doni yang sedang duduk di kursi meja belajar dengan kakeknya. Kemudian aku juga mencium pipi Bayu yang sudah di atas ranjang duluan. Ritual yang selalu kami lakukan setiap malam.

“Ninuk Tidur ya Kung” kataku pamit ke ayah mertuaku itu kemudian meninggalkan kamar mereka dan kangsung masuk ke kamar utama ruamahku.

Hujan sudah berubah menjadi gerimis malam itu menambah suasana syahdu dan sepi meski jam belum menunjukkan pukul 8 malam. Kulepas BH yang seharian telah mennyekap payaudaraku, aku selalu tidak memakai bra tiap malam pas tidur.

Sambil tiduran kubuka Gadgetku. Ternyata ayah mertuaku mengirim pesan yang membuatku tertawa kecil.

“Nuk, aku kok nggak disun juga?” mungkin ia mengirimnya setelah tadi aku mencium anak-anakku.

Tontonan di yutub tidak mampu mempercepat waktu yang sedang berjalan. Hingga akhirnya jam 21.07 ada pesan masuk dari ayah mertuaku, bilang kalau anak-anakku sudah tidur. Aku kemudian bangkit dan keluar kamar. Kutemukan Kakung sudah duduk di sofa tengah. TV 32 Inch yang diletakkan mepet dengan tembok pun sudah hidup kembali dengan volume yang tidak begitu keras. Kulihat pintu kamar anakku pun sudah tertutup.

“Sebentar Kung” kataku kemudian berusaha mengangkat meja yang ada di depan sofa.

Mengetahui hal itu, Kakung kemudian mengambil alih.

“Dipinggirkan tah? Kenapa” tanyanya lalu meindahkannya sesuai petunjukku.

Aku kemudian mengambil kasur lipat yang ada di dekat buffet tempat TV.

“Oh.. pake ini” kata ayah mertuaku itu kemudian membeberkan benda itu pas di depan sofa.

’Kalo gini enak Nuk. Nanti kalo anakmu keluar, aku bisa alasan nonton TV” katanya sambil menata bantal sofa di atasnya.

Kakungpun merebahkan tubuhnya yang segera kususul dengan menempatkan kepalaku bersandar di dada Kakung.

“Tidur Nuk, capek, seharian tadi akhirnya aku ga bisa tidur” kata Kakung membuka kata-kata sambil tangannya mengusuk-usuk dahiku.

Tapi bukannya terlelap, kamipun akhirnya ngobrol ngalor-ngidul, sambil menikmati malam.

Sekitar jam setengah sebelas, sesaat kami berdua terdiam. Mungkin bahan pembicaraan sudah habis atau kami sudah capek.

“Nuk, kamu nggak pengen?” tanyanya pelan.

“Kung mau? Nggak capek?” tanyaku balik yang dibalasnya dengan anggukan.

“Bentar ya Kung..” kataku kemudian beranjak masuk dulu ke kamarku.

Aku kemudian mengganti daster merah yang kupakai dengan pakaian dinas malam warna hitam. Celana dalamku pun juga kutanggalkan. Sesaat sesudahnya aku kemudian berjalan keluar menuju tempat Kakung berada.

Kakung tampak terkejut melihat dandananku ketika berjalan ke arahnya. Aku lalu merebahkan tubuhku di sisinya kembali. Tidak banyak omong, Kakung kemudian mencium bibirku. Aku pun menyambutnya dengan mesra. Tangan kirinya lalu mulai meremas payudaraku.

Bibir kami masih berpagutan ketika tangan kiri Kakung mulai menjamah kemaluanku. Kubuka sedikit kedua kakiku agar jari Kakung bisa dengan leluasa memainkan “Kacang/itil/klitoris”ku. Sesaat kemudian aku melepaskan cengkraman mulut ayah mertuaku itu dari bibirku karena nafasku mulai tersengal yang disebabkan permainan jarinya di klirotisku. Ia kemudian menjilati leherku. Tanganku mencoba menyentuh bagian depan celana pendek kolor yang dipakainya malam itu. Kurasakan penis Kakung sudah berdiri mengeras.

“Masukin Kung.. punya Ninuk sudah basah” pintaku agar Kakung segera menyetubuhiku kala itu.

Ia kemudian berdiri dan melepas celana pendek dan CD nya. Kaosnya tidak ia buka, hanya menaikkan saja sampai di atas perutnya yang tidak sixpack itu. Terlihat batang kemaluan ayah mertuaku itu sudah siap tempur. Aku lalu menata bantal agar sandaran kepalaku enak dan nyaman. Kakung sudah di ujung kakiku ketika aku sudah menemukan posisi tubuh yang enak, segeralah kukangkangkan kedua kakiku seiring tubuh Kakung mulai menaikiku.

“suaranya jangan keras-keras.. nanti anakmu bangun” katanya lalu mulai menyodok-nyodokan batang kemaluannya di dalam lubang vaginaku.

Ada sensasi tersendiri buatku ketika harus menahan mulutku untuk tidak meracau seperti biasanya ketika kami berhubungan badan. Hanya suara nafas yang tersengal yang tidak dapat kami bendung ketika alat kelamin ayah mertuaku itu beradu dan saling memberikan kenikmatan dengan kemaluanku. Beberapa kali aktivitas kami harus terhenti ketika mendengar suara kucing atau apa yang selalu dikira suara pintu kamar anakku yang terbuka. Dinginnya udara malam pun tak kuasa menbendung keluarnya keringat dari tubuh kami berdua.

Di posisi missionari ini pertahanku berhasil dijebol. Sesaat ia menghentikan goyangannya sekedar untuk memberiku kesempatan menikmati orgasmeku. Kemudian perlahan ia mulai menggenjotku kembali. Beberapa menit kemudian Kakung mencabut penisnya dan merebahkan tubuhnya di sampingku. Paham dengan kemauannya, aku segera menaiki tubuh ayah metuaku itu dan menggoyangnya. Entah berapa menit kemudian, aku rasakan aku akan mencapai klimaksku lagi sehingga kupercepat ulegan ku dan berusaha menemukan ritme yang pas agar aku segera bisa meraih puncak kenikmatanku lagi. Kurasakan pinggul Kakung juga bergoyang mengikuti iramaku malah sepertinya lebih menekan-nekan ke atas.

“Ooooocchh..” Kami berdua mengerang dengan suara yang tertahan.

Kurasakan penis Kakung menyembur-nyemburkan air maninya pas tepat bersamaan di saat aku juga meraih orgasmeku yang kedua di malam itu.

Tubuhku kemudian ambruk diatasnya Kakung yang nafasnya masih tersengal.

“aduuhh.. enak Nuk.. aduhh” bisik Kakung tepat di telingaku sambil mengatur nafasnya.

Beberapa menit kemudian aku rasakan sperma Kakung sudah mulai meleleh dari dalam tubuhku melalui batang penis Kakung yang masih menancap. Akupun melepas lingerie hitam yang kupakai dan menyumpalkannya di vaginaku sesaat setelah kukeluarkan penisnya. Takut cairannya berceceran kemana-mana aku pun segera beranjak ke kamar mandi sambil terus menutup bagian lubang kewanitaanku.

Sesampainya di kamar mandi aku segera jongkok agar air mani ayah mertuaku itu segera keluar pas juga aku kebelet pipis. Kulihat Kakung pun menyusulku ke kamar mandi. Kakung sudah selesai bebersih ketika aku masih mencuci memekku dengan sabun khusus wanita. Ia juga sudah memakai celana pendeknya kembali tapi tampaknya ia menungguku.

“Makasih ya Nuk” katanya kemudian mencium bibirku kemudian keningku ketika aku berdiri. Aku tersenyum menjawabnya.

“Tunggu di ruang tengah ya kung” kataku.

Kemudian Kakung keluar. Sambil masih telanjang bulat aku berjalan mengikutinya dari belakang dan langsung masuk ke kamarku. Segera aku memakai celana dalam dan melapisinya dengan pembalut, takut masih ada sisa sperma Kakung di dalam tubuhku. Sesaat setelah memakai dasterku yang tadi, aku segera keluar kamar dan menyusul ayah mertuaku di ruang tengah. tak lama kemudian kami pun terlelap.


x--x--x


Sekitar pukul 3 pagi aku terjaga. Kulihat ayah mertuaku masih pulas di sebelah kiriku. Aku kemdudian duduk sambil merapikan rambutku. Dinginnya udara dinihari sangat menyergap, apalagi tadi sempet turun hujan deras. Malam itu tampaknya tidak ada gangguan sama sekali dari anak-anakku, tidak dengan ketika 2 kali ayah mertuaku itu tidur dirumahku sebelumnya. Atau mungkin mereka tahu kalau mamanya ingin tidak diganggu ketika bersama kakek mereka, gumamku dalam hati yang membuatku tersenyum. Perlahan tapi pasti desiran birahi mulai menyapaku. Mumpung juga masih jam 3, sekali lagi oke lah.. pikirku.

Kemudian aku melepaskan daster yang kupakai dan hanya menyisakan celana dalamku saja. Aku lalu mengeluarkan penis Kakung dari sekapan kolor dan CD nya dan langsung mengulumnya. Perlahan organ kelelakiannya pun mulai bereaksi seiring dengan terjaganya mata Kakung.

“Lagi Nuk?” tanya Kakung yang aku rasa tidak perlu menjawabnya.

Beberapa menit kemudian kamupun terlibat permainan dewasa yang penuh dengan kenikmatan. Akan tetapi saat enak-enaknya Kakung menindihku tiba-tiba pintu kamar anak-anakku dicoba dibuka dari dalam yang langsung membuat ayah mertuaku menghentikan goyangannya.

“Anakmu bangun!!” gumamnya pelan setengah berbisik.

Tanpa aba-aba lagi, Kakung langsung berdiri dan memakai celananya yang berserakan. Demikian juga aku yang langsung berlari masuk ke kamarku. Sialnya aku lupa membawa daster dan celana dalamku di ruang tengah.

Beberapa saat aku duduk di tepian sambil merenungi kejadian yang kualami.

“Mungkin ini gara-gara aku terlalu mengumbar dan tidak bisa menahan nafsuku. Padahal nanti pun setelah anak-anak berangkat sekolah, aku malah bebas melakukannya” resahku dalam hati.

“Ahhh” kuambil nafas panjang dan memejamkan mataku sampai-sampai aku tak sadar kalau pintu kamarku yang tadi lupa kukunci terbuka.

“mamaa, aku tidur disini ya” kata si Bayu yang langsung membuatku kaget setengah mati.

Aku berusaha menutup payudara dan kemaluanku dengan bantal.

“Ihhh.. mama kok ga pake baju sih?? Nggak malu tah” tanya anak itu sambil naik di kasur.

“Eh iya sayang.. ini mama mau mandi, anu.. kamu sih kok masuk kamar mama nggak ketok pintu dulu??” jawabku lalu berdiri dan masuk ke kamar mandi yang ada di kamarku.

Pagi itu setelah mengantar anak-anakku sekolah, ayah mertuaku pun kembali.

“Gimana Nuk” tanyanya.

Memang aktivitas pagi itu sebelumnya, kami nggak sempat untuk berbicara sama sekali.

“Aku masih kepikiran aja Kung. tadi Bayu juga liat aku pas ga pake baju di kamar” jawabku.

“Moga-moga aja ga papa Nuk” jawab Kakung.

“Gimana Kung? kalo mau dikeluarin, sama Inah aja ya” kataku.

Aku tahu kalau Kakung kembali pasti untuk menyelesaikan hasratnya dinihari tadi.

“Kamu kenapa Nuk?” tanyanya.

“Nggak papa Kung.. Cuma masih kepikiran aja” Jawabku singkat.

Memang kala itu birahiku langsung hilang. Yang ada berbagai macam pertanyaan yang membuat pikiranku kalut.

“Iya udah Nuk, kalo gitu. Ga papa, ga peru sama Inah” jawab Kakung.

Kami pun terdiam sesaat. Tampaknya Kakung tetap menjaga konsistensinya untuk tidak melakukannya selain denganku. Kasihan juga Kakung. Karena nggak mau ia pusing atau sakit, aku pun akhirnya mau untuk berhubungan badan dengannya.

“Ga usah lama-lama ya Kung. yang penting Kung keluar” kataku sesaat sebelum Kakung memasukkan penisnya ke liang senggamaku.

Tidak sampai 5 menit akhirnya kemaluan Kakungpun muncrat di dalam tubuhku. Sekitar jam setengah sepuluh Kakung pun pamit untuk menjemput anakku, seperti biasanya.


x--x--x


Mulai pagi itu seharian penuh kugunakan untuk merenung. Memikirkan semua yang bakal terjadi. Berbagai macam pertanyaan masih menyelimuti benakku. Apa mungkin tadi si Bayu mengetahui kalau mama nya ada main sama kungnya. Bagaimana kalau nanti dia bilang ke papa nya.

“Inah..” panggilku.

Tak lama kemudian perempuan itu pun muncul.

“Iya bu” katanya begitu mendekat.

“Duduk sini” perintahku yang langsung dilaksanakannya.

“Oooh.. tadi pagi itu ya bu” gumam pembantuku itu ketika aku menceritakan semua keluh kesahku. Sejenak dia berpikir.

“Mungkin, ya tetep nunggu bapak datang bu” moga-moga saja mas Bayu nggak cerita apa-apa” lanjut perempuan itu.

“Tapi mungkin mas Bayu juga ga tau bu, secara kan masih kecil juga. Hanya dia kaget aja waktu liat ibu nggak pake baju. Kalau umpama yang liat mas Doni, mungkin lain cerita” lanjutnya panjang.

“Atau memang, kalau malam jangan terlalu sering bu. Toh kan kalau pagi bisa bebas. Paling Cuma ada Inah” katanya sambil tersenyum agak meledek.

“Kayaknya Kung cinta deh sama ibu” katanya lagi yang langsung menohokku keras.

“Kenapa kamu kok bisa tanya gitu Nah?” tanyaku balik.

“Ya nggak bu, tapi sejak pertama kali ibu suruh main sama Kung, setelah itu ibu ga pernah suruh Inah main lagi sama Kung. bahkan waktu ibu mens pun, tetep nggak pernah. Kalau pun hanya untuk kebutuhan itu aja, sebenarnya kan ga papa Kung main sama Inah” jelasnya lagi.

“Atau ibu ya, yang cinta sama Kung? hehe” tanyanya.

“Kung ga mau Nah, meski aku suruh juga” jawabku singkat.

“Ya kan, bener berarti tebakan Inah kalau gitu” jawabnya.

Yang membuatku merenung. Entah apa yang kurasakan selama ini, yang jelas kalau buat aku, kalau aku ga sayang aku juga ga bakalan mau sampai berbuat sebegitu jauh. Aku bukan tipe-tipe orang yang bisa mengumbar birahi dengan sembarang orang meskipun kalo boleh dibilang nafsuku juga besar.

Anehnya juga malah perasaan itu muncul setelah aku dan mertuaku itu berhubungan intim. Sebenarnya apa sih yang ada di hatiku ini. Tapi ungkapan sayangku ke Kakungpun sudah terlanjur terlontar. Bahkan boleh aku bilang yang aku lakukan dengan ayah mertuaku itu bukan sekedar berhubungan badan yang hanya sekedar mengumbar nafsu saja, melainkan bercinta. Ya bercinta sepertinya ungkapan yang jauh lebih tepat daripada sekedar berhubungan intim. Kakung juga yang mengisi kesendirianku saat aku bosan dengan aktivitas keseharianku yang itu-itu saja.

“Aduhhh, kenapa malah jadi ruwet begini” gumamku.

“Sudah Nah.. kamu ke belakang lagi” pintaku ke pembantuku itu yang langsung diturutinya.

Kemudian aku pun merenungkan kembali setiap jengkal hubunganku dengan ayah mertuaku dari awal yang hanyalah untuk menjaga kesehatannya tapi kini aku terperosok jauh ke dalam pelukannya. Hingga sampailah pada titik kesimpulan. Komitmenku dengan mas Hendra tetap harus kujaga karena menyangkut juga dengan masa depan anak-anak dan keluarga besar kami. Kalaupun sampai terjadi apa-apa, aku pun pasrah. Ya, pasrah aja. Dan hal itu yang membuatku tenang.

Malam itu atas usulku ayah mertuaku tidak menginap dulu dirumah. Lagian hari selasa juga. Aku pun juga harus mengalah ketika keesokan harinya, hari rabu pagi ayah mertuaku memutuskan untuk mengurus NPWP di kantor pajak yang hari senin kemarin sempat tertunda. Barulah pada kamis pagi, setelah antar anak-anakku berangkat sekolah, aku punya waktu berdua dengan ayah mertuaku itu.

“Kopinya Kung..” kataku sambil menaruh segelas kopi panas di meja tepat di depan Kakung.

“Iya Nuk. Makasih” jawabnya.

Aku kemudian duduk pas di sebelah kanan Kakung yang mulai menuangkan kopi panas itu pada lepek agar bisa segera dinikmati. Sesaat setelah menyeruput kopi ia pun menyalakan rokoknya.

“Hendra tadi malam pulang?” tanyanya pelan sambil melihatku.

“Iya Kung. tadi pagi jam setengah 6 baru berangkat lagi. Agak kesiangan” jawabku.

Sekilas kulihat ada perubahan raut di wajah Kakung yang segera ditutupinya dengan menghisap filternya dalam-dalam.

“Kenapa Kung?” tanyaku.

“Nggak Nuk.. ga papa, Oh iya, Bayu ngak cerita apa-apa? Ke papanya?” tanyanya lagi.

“Nggak kok Kung. makanya tadi pagi Ninuk ajak “Lagi” Cuma biar tau ada apa-apa nggak ketelah kejadian kemarin” jawabku sengaja menggoda Kakung karena perubahan mimik wajahnya yang tadi memang membuat hatiku geli dan memang itu yang kulakukan tadi dinihari. Bukan hal yang baru juga, dulu sebelum ada ayah mertuaku yang mengisi hidupku ini, kadang-kadang aku pun melakukannya.

“Habis Nuk?” tanyanya kemudian.

“Apanya Kung?” tanyaku balik berpura-pura tidak tahu arah pertanyaannya.

“Ya kamu nya Nuk.. dua kali kayaknya tadi malam sama Hendra” sahutnya.

“Nggak Kung. nggak berkurang sama sekali” jawabku sambil mengikat rambutku.

Memang yang kulakukan kini dengan mas Hendra semata-mata hanya untuk menjaga komitmenku saja. That’s All. Kakung kemudian mencium pipi kiriku yang membuatku tersenyum.

“Biar setelah ini aku yang habisin ya Nuk?” pintanya.

“Boleh.. Siapa takut” jawabku dengan nada yang agak menggoda yang membuat Kakung tersenyum.

Setelah itu kami pun kembali berhubungan intim atau lebih tepatnya bercinta di kamar tamu tempat kami biasanya.

Sekitar jam setengah sembilan, setelah selesai mandi, aku pun menyusul Kakung yang kulihat sudah duduk di meja makan. ia tampaknya masih menungguku karena ia masih belum mulai makan.

“Oh iya Kung.. hampir lupa. Kayaknya Ninuk harus ke Malang. Dan kayaknya sama-anak-anak juga, soalnya harus di hari kerja.” Kataku di sela-sela obrolan waktu kami menikmati sarapan.

“Loh kenapa Nuk?” tanya Kakung.

Aku pun menjelaskan kalau ada yang harus dirubah dengan Akte kelahiran si Bayu gara-gara namaku disingkat di dalamnya. Entah dulu gimana bisa begitu. Tapi sekarang harus benar-benar disesuaikan dengan nama yang ada di Kartu Keluargaku.

“Tadi malam sudah bilang mas Hendra kok Kung. Cuma Ninuk belum memastikan kapan ke Malangnya” lanjutku.

“Ya kalo itu memang penting, bisa disegerakan Nuk” jawab Kakung.

“Rencananya nanti siang sih setelah Doni pulang sekolah. Besok kan kantor Dinas masih buka. Tapi aku belum memastikan ke mas Hendra” jawabku.

“Lho kenapa?” tanya Kakung lagi.

“Kan Ninuk belum pamit ke Kung.. boleh apa ndak” jawabku sambil menyuap sendokan terakhir makanan ke mulutku.

“Ya boleh lah Nuk.. Andai aku bisa antar kamu Nuk” gumam Kakung.

“Iya Kung.. ga papa Ninuk berangkat sendiri sama anak-anak. Berarti besok mas Hendra biar pulangnya langsung ke Malang” jelasku.

Aku paham kalau sebenarnya ayah mertuaku itu ingin mengantarkanku ke Malang, tapi apa jadinya nanti. Anak-anak juga pasti akan kasih tahu ke semuanya. Bisa saja sih kalau dipaksakan dengan berbagai macam alasan, tapi biarlah.

“Inah nanti tak antar pulang Kung, biar Kung ga macem-macem” kataku ketika mengambil piring bekas makanan Kakung dan membawanya ke belakang.

“Apaan sih Nuk” gumamnya lalu mereguk air putih dan menghabiskannya.

Sekitar jam setengah sepuluh Kakung kemudian bersiap melaksanakan kesehariannya. Menjemput si Bayu, anakku. Sesaat sebelum keluar dari pintu ia memelukku dan mencium kedua pipiku.

“Kamu nanti hati-hati ya” pesannya.

Ia pasti menyampaikan itu sekarang, karena nanti nggak bakalan bisa karena ada anak-anakku. Aku tersenyum sambil mengangguk.

“Oh iya Nuk.. surat ijin anak-anak buatin dulu. Biar besok aku yang antar ke sekolah mereka” katanya sebelum pergi meninggalkan rumahku.

Siang itu setelah anak-anak pulang dari sekolah, kerempongan persiapan pun terjadi. Ayah mertuaku terlihat mengecek kendaraan yang nanti kugunakan ke Malang. Entah apa yang dilakukannya yang jelas kap mesinnya terbuka. Sekitar jam dua siang barulah semuanya siap.

“Berangkat ya Kung” pamitku sambil mencium tangan orang itu.

“Iya Nuk hati-hati. Nanti aku yang hidupkan lampu rumahmu” balasnya.

Memang Kakung yang biasanya merawat rumahku kalau aku sekeluarga sedang keluar kota.


===x0x===


Setelah menurunkan si Inah pembantuku di rumahnya, perjalanan sesungguhnya pun dimulai. Jalan yang menghubungkan dari kota tempat aku tinggal menuju kota kelahiranku dihiasi pemandangan yang sangat menawan karena melewati kawasan pegunungan. Jalanan yang berliku membuatku harus ekstra hati-hati. Sekitar jam empat mobilku pun sudah memasuki batas kota yang langsung disambut dengan kemacetan. Bukan apa memang sepertinya itu jam-jamnya orang pulang kantor. Ditambah volume kendaraan yang memang sepertinya sudah tidak bisa ditampung oleh jalanan kota. Walhasil baru jam lima aku baru sampai di depan rumah orang tuaku.

Rumah itu tampak sepi, tapi lampu-lampunya sudah dihidupkan. Aku segera membuka pagar dan memarkir mobilku di dalam. Tak lama kemudian pintu utama rumah terbuka dan keluarlah sesosok wanita setengah baya yaitu bi Asih, ART di sana.

“Eh, mbak Ninuk. Tak pikir ibu yang datang” sambut wanita itu.

“Lho emang pada kemana bi?” tanyaku.

Anak-anakku pun langsung berhamburan masuk ke dalam rumah.

“Kalau bapak ke Blitar mbak, berangkat tadi pagi, tapi kayaknya nggak nginep. Kalau ibu, barusan aja keluar. Nggak tahu kemana” jawabnya sambil membantuku menurunkan barang bawaanku yang lumayan banyak, maklumlah, kalau ngajak bocil-bocil ini bawaannya seperti mau pergi lama.

“Emang Mbak ga ngabarin kalau mau kesini? Apa perlu bi Asih telponkan?” tanya wanita itu sambil membawa tas terakhir yang kukeluarkan dari mobil.

“Memang nggak bi.. rencana mau buat kejutan. Biar sudah nggak apa-apa” palingan habis ini ya pulang” jawabku.

“Lho kok pada makan? nanti kalau nasinya uti habis gimana. Kan tadi udah maem di mobil” kataku ketika menemukan anak-anakku di meja makan.

“Biar mbak Ninuk.. habis ini biar Bi Asih masak lagi. Nggak apa-apa” sahut bi Asih.

Karena ibuku nggak kunjung pulang meski maghrib sudah menjelang akhirnya aku memutuskan untuk ke rumah pak RT, untuk memperoleh surat pengantar urusanku besok pagi. Mengingat besok juga hari jum’at yang banyak orang menyebutnya hari pendek.

“Kalo rumah pak RT tetep yang kapan hari itu kan bi? Aku mau kesana, minta surat pengantar” tanyaku.

“Iya mbak Ninuk, tetep pak Zen yang kapan hari itu. Kalo RT biasanya lama gantinya. Kalau nggak meninggal ya pindah, baru lah RT nya ganti.” Jawab bi Asih panjang.

“Anak-anak sama bi Asih dulu ya, aku mau ke pak RT dulu” pamitku kemudian keluar rumah.

Kususuri jalanan yang becek mungkin bekas hujan deras siang tadi. Temaramnya lampu-lampu menambah kesahduan suasana petang itu. Dulu di sekitaran rumahku ini masih banyak pekarangan kosong, tapi sekarang sudah penuh dengan bagunan-bangunan rumah. Tempat Tinggal pak RT ini di kompleks sebelah yang harus menyebrangi sungai kecil. Kalau berjalan kaki bisa agak dekat, tapi kalau naik motor harus agak jauh karena jembatan besar yang ada pas di deket jalan raya.

Sekitar sepuluh menit kemudian aku sudah tinggah beberapa puluh meter saja dari rumah yang aku tuju. Langkahku terhenti ketika kulihat sepeda motor matic yang jenis dan warnanya tak asing buatku terparkir di sebelah rumah pak RT dekat pekarangan tempat onggokan mobil-mobil angkot yang rusak parah. Dulu pak Zen ini pernah jadi juragan angkot ketika masih jaya-jayanya. Sekarang angkot nggak seberapa laku, kalah sama ojek online yang semakin menjamur.

“Sepeda Motor mama??” gumamku kemudian aku pun mendekat dan memastikan bahwa itu memang benar-benar sepeda motor ibuku.

“Oh mungkin mama juga ada urusan di Pak RT, lumayan kan biar nanti pulangnya aku bisa sama-sama” pikirku tanpa menaruh curiga meski pintu utama rumah yang sudah bisa dibilang tua itu tertutup, tapi lampu nya tampak menyala.

Niatku untuk mengetok pintu rumah itu terhenti ketika kulihat ruang tamu nya kosong, tidak ada orang, baik tuan rumah atau ibuku tidak ada disana.

“Mungkin ibuku sama istrinya pak Zen keluar bersama, sepeda motornya ditinggal disitu” pikirku mencoba menghalau kecurigaanku yang mulai muncul.

Setelah berpikir aku akhirnya memutuskan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Aku kemudian berjalan kembali memutar untuk bisa mencapai bagian kiri rumah itu. Jalannya tidak mudah, harus menyebrangi sungai lagi dan melewati sekumbulan pohon bambu. Memang rumah pak RT itu pas di sebelah sungai kecil, pagar nya pun terkesan seadanya, memang untuk mencapainya agak sulit.

Sekitar lima menit kemudian dengan susah payah akhirnya aku sampai di bagian pinggir belakang rumah itu. Tampak dua kamar yang bersebelahan, yang satu terlihat lampunya mati, yang satu lampunya hidup meski tidak begitu terang. Dengan berjalan agak merayap di dinding aku pun mendekati kamar yang bercahaya dan memang yang terdekat dariku. Samar terdengar suara orang yang sedang berhubungan badan yang makin lama makin jelas ketika kumendekat.

Desahan, rintihan, nafas yang memburu dan suara “plak..plak..plak” semakin jelas terdengar ketika aku semakin mendekat yang makin membuatku penasaran. Untungnya kain gorden yang ditutup ada yang tersangkut sedikit di kaca krepyak yang rusak. Sehingga memudahkanku untuk melihat isi kamar itu.

Benar saja, kulihat jelas dua orang berlainan jenis sedang memacu birahi di kamar itu. Hanya saja kasur tempat mereka bertempur terletak di sebelah kiri dempet dengan tembok. Yang laki-laki bisa kupastikan kalau itu pak Zen ketua RT wilayah situ. Terlihat dari kulit tubuhnya yang coklat kehitaman karena memang orang ini keturunan orang indonesia timur. Usianya mungkin awal 40 an. Kalau lawan mainnya yang memang tidak terlihat olehku karena tertutup badan lelaki itu yang kekar. Yang terlihat hanya kedua betisnya yang putih bersih yang ditopangkan di pundak lelaki itu.

Jujur adegan itu membuatku panas dingin, pun juga aku masih penasaran siapa lawan main pak Zen kala itu. Beberapa saat kemudian rupanya pak Zen mencapai klimaksnya. Sesaat setelah terdiam kemudian lelaki itu berdiri dan betapa terkejutnya akau ketika mengetahui wanita yang terkulai disitu adalah ibuku sendiri. Jantungku seakan berhenti mengetahui kenyataan bahwa ibuku ada main gila di belakang ayahku dengan pak Zen.

“Gimana bu Eko? Lanjutkah ini?” terdengar suara pak Zen dengan logat khasnya sambil meletakkan gelas teh yang habis diminumnya di meja tempat dia berdiri bersandar.

Yang menjadi perhatianku juga adalah alat vital pak Zen yang ukurannya lebih besar dari dua penis yang aku tahu, milik mas Hendra dan ayah mertuaku. Sebuah latex masih menyelimutinya dengan ujung yang penuh dengan sperma lelaki itu. Rupanya mereka melakukannya dengan kondom.

“Iya lah lagi. Masak Cuma sekali” sahut ibuku kemudian duduk di tepian kasur.

“Siap bu Eko. Kalau untuk bu Eko, saya selalu siap” sahut lelaki itu kemudian melepaskan kondom dari penisnya sendiri, mengikatnya dan membuangnya di tempat sampah yang ada di bawah meja.

Terlihat juga kalau penis lelaki itu tidak disunat. Kulupnya ikut tertarik menutupi bagian kepala penisnya yang berwarna merah marun tua ketika dia melepas kondomnya tadi.

Kemudian pak Zen melangkah menuju tempat ibuku duduk. Tangannya mencoba membuka latex baru dan tampak kesulitan. Mungkin karena tangannya licin. Ibuku langsung mengulum penis lelaki itu yang sudah mulai turun ketika dia sudah pas di hadapannya. Momen blowjob ini sempat kuabadikan dalam foto dan video singkat di HPku.

“Makanya sunatlah kau ini. Tak perlu pakai kondom kan” kata ibuku dengan logat yang seperti meniru lelaki itu ketika melihat pak Zen kesulitan membuka kondom dari bungkusnya.

“Malu lah bu Eko.. sudah tua” sahut pak Zen ketika akhirnya berhasil membuka bungkus plastik itu.

Oh ternyata pak Zen memakai kondom gara-gara penisnya pak Zen nggak disunat. Akhirnya ronde kedua atau yang keberapa aku nggak tahu itupun dimulai dengan posisi ibuku yang diatas. Beberapa saat kemudian aku pun memutuskan untuk pulang kembali ke rumah orang tuaku.

Waktu menunjukkan pukul 8 malam barulah ibuku pulang, namun anehnya beliau datang bersama ayahku.

“Loh.. hei..Halo cucu-cucu” sambut ibuku agak terkejut ketika anak-anakku berhamburan menghampirinya.

“Sebentar ya.. mama uti mandi dulu ya” kata ibuku.

“lho kok tumben Nuk. Anak-anak libur tah? Biasanya kalau datang sabtu. Kejutan nih.. kejutan” tanya ayahku ketika aku salim kepadanya.

Kalau ke ibuku, aku masih agak canggung. Masih teringat jelas di ingatanku apa yang dilakukan ibuku tadi di rumah pak RT. Aku kemudian mengutarakan alasan kedatangan kami yang memang mendadak kepada mereka.

Setengah jam kemudian, ayahku, ibuku dan anak-anakku pun sudah berada di kamar utama, bi Asih entah kemana sedang aku masih sendiri duduk di teras menikmati dinginnya udara malam.

“Oh disini kamu rupanya” kata ibuku ketika melihatku melamun di kursi teras.

Ini mungkin saatnya aku bercerita.

“Mama tadi darimana?” tanyaku sesaat ketika ibuku duduk di kursi teras bersebelahan denganku.

“Jemput papamu” jawabnya santai.

“Sebelum jemput papa kemana?” tanyaku dengan nada serius.

“Kamu ini kenapa sih Nuk? Kok pertanyaannya nadanya kayak interogasi aja” tanya mamaku agak heran dengan mimik mukaku yang serius. Beliau belum menjawab pertanyaanku hingga akhirnya pertanyaan keduaku terlontar.

“Sudah lama ma?” tanyaku.

“Apanya sih Nuk? Kamu kok buat mama bingung. Ada apa?” tanya ibuku seakan tidak mengerti maksud pertanyaanku.

Memang kala itu aku sengaja langsung menyakan langsung ke ibuku. Tidak seperti di hari biasanya ketika aku datang, aku selalu ngobrol santai dengan ibuku. Kadang curhat juga tentang kehidupan berumah tangga. Untuk urusan ini beliau kan memang jauh lebih perpengalaman. Ini langsung ke pembicaraan serius. Alih-aih mungkin saja aku masih bisa menghentikan perbuatan gila dan menyelamatkan perkawinannya.

“Ninuk tadi liat mama di rumah pak RT” kataku yang langsung membuatnya terkejut tapi kemudian ia bisa menguasai keadaan.

“Kamu liat apa Nuk? Liat sepeda motor mama di rumah pak Zen tah?” tanyanya balik.

Aku kemudian mengambil HPku dan menunjukkan foto ibuku yang sedang mengulum penis pak Zen.

“Ihhh, Ninuk hapus Nuk, hapus!” perintah ibuku.

“Nggak, selama mama ga menghentikan hubungan mama sama pak Zen, ini ga bakal tak hapus. Biar Ninuk kasih tau papa” kataku tegas dengan nada yang egak emosi.

Tapi ancamanku ini serasa tidak membuat arti apapun pada wanita itu, bahkan dia malah tersenyum yang semakin membuatku keheranan.

“Mama.. Ninuk serius ma.. kalo nggak Ninuk kasih tau papa” sahutku.

Tiba-tiba ayahku keluar dari dalam rumah sambil membawa kursi plastik. Mungkin beliau ingin ikut ngobrol dengan aku dan ibu tapi di teras hanya ada dua kursi.

“Nah itu papamu” kata ibuku menyambut lelaki itu.

“Ada apa ini.. hayo ngomongin papa ya? eh iya anak-anakmu sudah tidur Nuk” kata ayahku sambil duduk di kursi yang dibawanya.

Aku terdiam, jujur aku bingung dengan keadaan itu. Ibuku tampak santai ketika kuancam akan memberitahu ayahku tentang aibnya dengan pak Zen.

“Ini loh pa.. Ninuk tadi tahu kita ada di rumah pak RT” kata mamaku santai.

Loh kok Kita?? Berarti ayahku tadi juga disana?? Gumamku.

“Udah-udah.. biar mamamu nanti yang cerita ke kamu ya Nuk. Aku capek, mau istirahat dulu. Oh iya, kalau besok, biar aku yang urus keperluanku ya Nuk, biar kamu dirumah aja. Ma, telp pak Zen.. mintakan surat pengantar. Biar papa besok pagi tinggal ngambil. Papa tidur ama anak-anakmu Nuk” kata ayahku panjang.

Ibukupun menuruti perintah suaminya, ia segera menelepon pak RT untuk memintakan surat pengantar.

“Ayo Nuk, cerita-ceritanya di kamar aja. Disini dingin” ajak ibuku setelah ia menutup telponya dengan pak Zen, pak RT.

Aku pun menyetujuinya. Setelah ganti baju ke pakaian kebesaran ibu-ibu, aku pun merebahkan tubuhku di samping wanita yang dulu melahirkan dan membesarkanku itu.

“Entah nanti gimana sudah penilainmu Nuk” pembukaan kata-kata dari ibuku.

Aku hanya diam, semua yang ada di benakku dan kejadian tadi masih membutuhkan banyak penjelasan.

“Sebentar. Ini belum pasti terjadi di semua rumah tangga ya Nuk” katanya kemudian. Hanya saja ini juga terjadi di rumah tangga papa sama mama” lanjutnya.

“Dulu ada beberapa orang yang pernah singgah, baik di papamu maupun di aku..”

“Kamu pasti tanya kok bisa..? nanti, kalau usia perkawinanmu sudah lebih dari 20 tahun, kamu akan merasakan itu. Setiap orang bakalan lain caranya menyikapinya. Dan ini yang kemarin papa sama mama kamu tempuh Nuk”

“Pelarian mah? Atau suasana baru?” tanyaku.

Sejenak wanita itu terdiam. “Keduanya kali Nuk” jawabnya.

“Trus, kok bisa sampai ke pak Zen?” tanyaku.

“Sebentar Nuk. Biar kamu tau rentetan ceritanya. Nah ketika sama-sama punya diluar rumah. Seakan rumah ini bukan tempat yang enak lagi, sampai-sampai aku sama papamu dah mau pisah” jelas mamaku.

“Untunglah waktu itu ada pak dhe Budi. Papamu dimarahi habis-habisan dan suruh kami untuk ngomong baik-baik. Masalahnya apa, dan harus bisa diselesaikan. Semuanya untuk masa depan anak-anak, terutama si Dito, adikmu. Kalo kamu waktu itu kan udah nikah, dan semuanya memang berawal dari pelarian sama cari suasana baru itu, seperti katamu tadi” jelasnya panjang.

“Dan mulai saat itu, kesepakatan pun terjadi diantara papamu sama aku. Kesepakatan itulah yang membuat kita baik-baik saja sampai saat ini. Malah tambah mesra” sambungnya.

“Maksudnya ma?” tanyaku nggak mengerti.

“Ya itulah Nuk.. dengan pak Zen pun dengan persetujuan papamu” lanjutnya.

“Hah.. gila..” gumamku.

Tapi nggak juga sih. Aku juga mengalaminya, ketika aku menyuruh ayah mertuaku berhubungan badan sama si Inah. Pun juga aku tidak melakukan apa-apa ketika tahu kalo mas Hendra pun rutin dengan si Inah itu tadi.

“Maksud mama tadi, orang-orang yang pernah singgah itu tadi berarti sampe..” aku menghentikan perkataanku, agak nggak enak juga ngomongnya.

“Sampe apa Nuk? Seks maksudmu?” tanyanya.

“Iya ma” sahutku.

"ya iyalah Nuk.. apalagi yang dicari, ketika orang-orang dewasa, apalagi yang sudah nikah.. penasaran sama itu ajah. Masak Cuma kangen-kangenan, sayang-sayangan.. kayak ABG” jawab mamaku.

“Untung dulu papamu memang bener-bener ga punya istri lagi atau yang sampe punya anak. Kalo nggak, dulu Pak Dhe Budi sendiri yang akan meyuruh kami bercerai, biar ga ada lagi yang tersakiti, katanya” lanjut mamaku.

Penjelasan mamaku ini membuat pikiranku terbuka. Dulu yang kukira di rumah ini baik-baik saja, ternyata juga pernah diterjang prahara. Meskipun cara yang mereka gunakan untuk mengatasinya termasuk aneh dan tidak masuk akal.

“Maaf ya Nuk.. mama papa bukan ortu yang baik” lanjutnya.

“Nggak ma.. ga papa juga ma, malah Ninuk baru tau sekarang. Artinya dulu memang mama sama papa bener-bener menjaga itu biar anak-anaknya nggak tahu” jawabku.

“Iya Nuk, kamu juga harus begitu. Semua yang kamu lakukan hanya untuk anak-anakmu. Demi masa depan mereka” kata mamaku lagi.

Sejenak kami terdiam.

“Ma..” kataku pelan.

“Iya Nuk” sahutnya.

“Nggak papa ma” sahutku.

Kemudian ibuku juga memintaku untuk tidak berdiam diri agar otakku berkembang katanya. Katanya dulu dia sempat agak kecewa ketika mendengar keputusanku keluar dari pekerjaan, eman-eman sekolahku katanya. Tapi karena semuanya menyangkut anakku, akhirnya beliau menerimanya. Kala itu sebenarnya aku ingin menceritakan hubunganku dengan ayah mertuaku, tapi setelah kupikir-pikir, lebih baik jangan. Biarlah ini tetap menjadi rahasiaku bertiga, aku Kung dan Inah.

“Ma..” kataku lagi. “Iya Nuk” sahutnya. Aku terdiam sesaat. “Kenapa mama tadi pake pengaman?” tanyaku.

“Ihhh Ninuk ah.. apa’an sih. Kok malah bahas gituan” jawab mamaku agak kesal.

“Kenapa ma?” desakku.

“sebenarnya pak Zen bersih kok Nuk orangnya.. Cuma, kontolnya ga sunat” jawab ibuku akhirnya.

“mama pernah anal sex” tanyaku lagi.

“Ihhh, Ninuk sekarang tanyanya macem-macem.. ya pernah lah.. masak kamu ga pernah?? bohong kamu” jawabnya sambil tersenyum.

“Udah udah, ayo tidur, besok mama kerja” kata ibuku.

Keesokan harinya semua masih sesuai dengan apa yang direncanakan. Urusan aktanya Doni juga selesai hari itu juga. Malam nya mas Hendra datang. Bahkan keesokan harinya kita sempatkan jalan-jalan alias rekreasi di seputaran kota dan hingga akhirnya di minggu malam kita pun balik menuju kota dimana aku sekeluarga tinggal.

Aktivitas sehari-hari pun seperti biasanya. Hanya saja hidupku kini sudah ada ayah mertuaku yang mengisi kekosongan waktuku. Untuk urusan bathin, harus kuakui memang kalau aku lebih sering terpuaskan oleh ayah mertuaku. Tadinya yang awal hanya untuk membantu menjaga kesehatannya saja, ujung-ujungnya malah aku yang ga bisa lepas dari lelaki tua itu.

Hingga akhirnya di beberapa bulan kemudian, kalau nggak salah di awal bulan agustus mas Hendra ditunjuk untuk mewakili cabang mengikuti gathering Nasional di Bandung hari jum’at s/d minggu. Berangkatnya hari kamis jam 2 siang. Karena rencana ikut semua, akhirnya di rabu malam mas Hendra pulang bawa mobil kantor.

“Gimana mas, ternyata Doni besok ada kegiatan Perjusami di sekolahnya. Kayaknya dia ingin sekali ikut itu” kataku pas makan malam berdua dengan mas Hendra, suamiku.

Perjusami itu adalah Perkemahan Jumat Sabtu Minggu, salah satu kegiatan pramuka.

“Yaitu.. kalaupun kita berangkat bertiga pun kayaknya aku juga ga tega. Meskipun Kung juga bisa urus sih semuanya, tapi kok ga enak juga” lanjut suamiku.

“Coba deh Bayu ditanya, kalo umpama dia berangkat Cuma ama aku aja, mau apa nggak” perintah mas Hendra.

“Hei.. mama ga ikut.. mama ga ikut” kata anakku itu ketika diberitahu kalau hanya dia dan Ayahnya yang akan berangkat ke Bandung.

“Bilang Inah untuk ga pulang minggu ini ya, biar nemani kamu” kata suamiku sebelum berangkat.

Sekitar jam setengah 12, expander putih itupun melaju menuju ibukota provinsi. Sekala itu juga aku langsung mengabari ayah mertuaku kalau mas Hendra sudah berangkat.

Aku : “Mas Hendra sdh brgkt Kung, barusan. Nanti mlm nginep sini ya?”

Kung : “Bsk aja Nuk, sekalian setelah antar Doni perjusami”

Aku : “Huu. dah lama lho Kung.mulai selasa kmrn mens nya Ninuk selesai,blm disambangi”

Kung : “Iya, besok Nuk”

Iya ada benernya juga sih, kalau besok setelah Doni berangkat Perjusami, tinggal aku sama Inah yang ada dirumah.

“Ok deh. Sip” gumamku.


===x0x===


Siang itu setelah Doni pulang sekolah aku pun berniat tidur siang. Ayah mertuaku juga tidak mampir sejenak meskipun hanya untuk makan siang .

“Mah, nanti sore antar Doni beli barang keperluan untuk besok kemah ya?” kata anakku yang langsung kuiyakan.

“Tapi Mama mau tidur dulu ya mas” kataku kemudian lalu masuk ke kamarku.

Perlahan kubuka mataku, rasa dahaga memaksaku bangun dari mimpiku siang itu. Aku pun duduk di ranjang. Samar terdengar suara percakapan di luar kamarku yang memang sengaja tidak kututup pintunya. Suara dari seseorang dengan logat yang sangat tidak asing bagiku. Aku pun segera keluar untuk memastikan dugaanku kalau ada mamaku di rumah ini.

“Heiii.. itu mamamu bangun Don” kata ibuku ketika aku mendekat.

“Mama.. kapan datang?” tanyaku kemudian salim ke ibuku yang sedang ngobrol di ruang tengah bersama anakku.

Kalau kuamati dandanannya, nggak mungkin kalau beliau baru datang. Terlihat wanita itu sudah mengenakan daster, pakaian kebesaran emak-emak kalau dirumah. Dan sangatlah tidak mungkin juga kalau perjalanan dari Malang memakai itu di badannya.

Ibuku ini termasuk orang yang sangat memperhatikan penampilan, modis istilahnya. Bahkan untuk urusan rambutpun, sering beliau semir sehingga uban yang mulai menjalar dapat disamarkan meskipun dalam kesehariannya diluar rumah tetap tertutup hijab. Tak ayal di usianya yang baru 50 tahun februari kemarin, ia masih tampak jauh lebih muda.

“Libur kah? Kok njanur gunung datang di hari Kamis mama uti datang. Tadi naik apa ma?” tanyaku.

“Iya Nuk.. ini mama sudah terlanjur ambil cuti hari ini ama besok. Rencananya mau ikut papamu ke Jogja, eh ternyata papamu yang acaranya cancel, soalnya harus ke jember tadi siang. Ya udah, daripada dirumah sendiri, mama kesini. Lagian juga lama mama nggak kesini.” jawab ibuku panjang lebar.

“Cuma, ternyata jagoan mama uti besok kemah sampe minggu ya. Oh ya, tadi naik kereta, kesininya nge-Grab. Habisnya nelpon kamu nggak diangkat-angkat” lanjutnya lagi.

“Ya ga papa ma.. kan bisa nemenin Ninuk sampe minggu. Biar Inah yang rencananya tak suruh nggak pulang minggu ini, biar tetep bisa pulang” jawabku.

Memang cucu dimata kakek neneknya ini sungguh spesial, yang pertama kali dicari ketika datangpun ya cucunya, bukan anaknya lagi.

“Don, jadi keluarkah sore ini? Katanya mau cari keperluanmu besok?” tanyaku.

“Iya ma, ini Doni sudah mandi. Tunggu mama” jawabnya.

“Oke, mama uti kalo ga capek, ikut ya. Ninuk mandi dulu” kataku kemudian beranjak ke kamar mandi.

Sekitaran menjelang maghrib, kami bertiga sudah sampai dirumah lagi. Sehabis makan malam aku dan ibuku juga ikut sibuk menyiapkan keperluan Doni selama 3 hari kedepan di acara kemah pertamanya. Setelah itu ibuku dan anakku pun masuk ke kamarnya untuk tidur, meninggalkanku sendiri di ruang tengah tempat TV berada. Semua pintu sudah kukunci termasuk pagar depan yang tergembok.

Bisa kupastikan rencanaku dengan ayah mertuaku minggu ini gagal total. Oh iya, aku belum memberitahu ayah mertuaku itu kalau ibuku datang, aku pun segera mengambil Gadgetku. Tapi belum sempat aku membuka pesan, tiba-tiba ibuku keluar dari kamar anakku dan duduk di sebelahku.

“Sudah lama Nuk?” tanya ibuku pelan, pandangannya tertuju ke acara TV yang tidak jelas.

Itu membuatku langsung berpikir untuk mencerna pertanyaan yang menurutku sangat menjebak. Apa maksud kata-kata yang keluar dari bibir ibuku itu. Hanya saja aku seakan tak punya bahan lain untuk mengalihkannya.

“Apanya ma” tanyaku balik.

“Mama inget dulu ini pertanyaan yang kamu berikan waktu kamu tahu mama ada main dengan pak Zen” jawab ibuku.

Sebuah rangkaian kata yang sungguh sangat mampu membuatku terdiam kala itu, tidak tahu harus menjawab apa. Yang jelas ibuku pastinya sudah tahu ada apa denganku. Persis sama dengan pertanyaan yang kulontarkan kala itu di Malang. Dan pastinya ini tentang ayah mertuaku. Tapi kok bisa ibuku tahu sebegitu cepat. Apakah Inah yang cerita. Ahh!.

“Yang penting, anak-anakmu jangan sampai tahu ya Nuk” katanya lagi.

Mungkin diamku sudah cukup baginya untuk menjadi jawaban atas pertanyaannya tadi. Beberapa lama ibuku terdiam, begitu juga aku yang terus membisu dan pasrah. Siap kalaupun ibuku akan memarahiku habis-habisan.

“Ihhh.. anak mama sekarang yaaa” kata ibuku sambil tersenyum dan tiba-tiba mengucek-ucek rambutku.

“Ayo ceritakan semuanya ke mama!” kata mamaku sambil mencubit pinggangku.

“Nggak ma.. malu ah.. mama ihhh” jawabku.

Entah kenapa ternyata ibuku ternyata tidak marah sama sekali. Setelah mengancamku, meskipun dengan nada bercanda sih, akan menceritakan ke suamiku katanya, akhirnya aku pun buka suara.

Kuceritakan detailnya dari awal, mulai dari niatku yang hanya ingin membantu masalahnya sampai dengan tercebur bahkan tenggelam jauh ke dalam.

“Itu yang sebaiknya jangan Nuk.. sedikit banyak perasaanmu ke ayah mertuamu itu yang akan mempengaruhi sikapmu ke Hendra. Trus yang paling penting, jangan sampai anak-anakmu tahu” kata ibuku lagi serasa merestui hubunganku dengan ayah mertuaku sendiri.

“Iya ma” jawabku pasti.

“Emangnya pak Hadi masih kuatkah Nuk? Hehe” tanya mamaku sambil tersenyum.

Oh iya, nama ayah mertuaku itu Hadi Tjahjono, biasa dipanggilnya Hadi.

“Mantap ma. Malah lebih dari mas Hendra” jawabku.

“Hah.. iya kah ? masak sih?” tanyanya seperti penasaran.

Aku pun menceritakan kalau ada waktu banyak, dia seringnya 2 kali. Itupun jeda nya nggak lama, bahkan bisa dibilang langsung.

“Oooo.. ternyata pak Hadi ya..” gumam ibuku.

“Tapi, gimana mama bisa tahu sih??” tanyaku penasaran atau mungkin aku barusan terjebak kata-katanya sampai-sampai aku membeberkan rahasiaku dengan ayah mertuaku.

Ibuku itu pun tersenyum. “Kelakuanmu mulai dulu itu tetep Nuk.. sembrono. Mama tadi itu nelpon kamu, ga kamu angkat, sampe mama kesini naik grab. Ternyata HP kamu di-silent, kamu taruh di deket TV. Kamunya lagi ngorok di kamar. Waktu kulihat, pak Hadi WA, ya mama baca lah.. eh ternyata isinya..” jelas ibuku panjang.

“Nuk, besok mama pagi antar ke terminal ya. Mama pulang aja ke Malang” kata mamaku kemudian.

“Loh kok pulang sih ma?? Kan rencananya sampe minggu disini” tanyaku.

“Trus kalo mama disini kan mama ganggu waktumu sama kekasihmu hehe..” sahutnya.

“Ihhh.. apaan sih ma.. Ya ga gitu juga, kan lain waktu bisa ma” jawabku.

Kembali ibuku tertawa. “Ya nggak lah Nuk.. mama tetep disini sesuai rencana, sampe minggu. Moga-moga bisa intip orang lagi pacaran, hehe.. Untuk rencanamu ya terserah kamu Nuk..” kata ibuku yang kembali membuatku agak kesal karena terus saja menggodaku.

“Atau..” Gumam ibuku terhenti.

“Kenapa ma?” tanyaku.

“kalo cuma untuk urusan kesehatannya pak Hadi, seperti yang kamu cerita tadi, mama juga bisa bantu kok Nuk..” kata ibuku dengan senyum tersungging di bibirnya.

“Ihhh mamaaa.. tak bilangin papa lho!” jawabku.

“Biarin.. tapi kamu juga bakal tak bilangin..” sahut wanita itu lagi.

Anganku langsung menerawang, gimana jadinya kalau misalnya aku, ibuku dan ayah mertuaku main bareng, seru mungkin ya. Pikiran nakalku kemudian muncul.

“Ehh.. kamu ini malah melamun.. gimana? Tinggal nunggu keputusan dari yang punya nih..” kata ibuku yang langsung membuyarkan khayalanku.

“Loh emang siapa yang punya ma?” tanyaku bingung.

“Ya kamu lah Nuk.. gimana sih” sahut mama sambil tersenyum.

Memang tadi ibuku sempat menyimpulkan hubunganku dengan ayah mertuaku itu sudah bukan hanya sekedar berhubungan badan untuk memenuhi kebutuhan seksual saja, tapi lebih dari itu. Sampai ibuku mengingatkanku tadi tentang perasaanku jangan sampai mempengaruhi hubunganku dengan mas Hendra.

“Iya ma” jawabku singkat.

“Ihh.. kok kamu kayak ga ikhlas gitu sih” sahut ibuku.

“Iya mamaku sayang.. iyaaaa” jawabku sambil menggelitik pinggang wanita itu kemudian kami pun tertawa terkikik.

“Tapi gimana caranya ma.. secara, kalo inget mama atau papa ngobrol sama Kung, kayak formal gitu. Terus tiba-tiba ini malah mau main seru-seruan bertiga. Gimana ma?” tanyaku.

“Udah. Biar nanti mama yang pikirin, yang penting kamu pastiin Inah besok pagi-pagi pulang ke Pare. Ayo bobok Nuk. Dah mau jam 10” ajak mamaku.

Kamipun akhirnya tidur bertiga di kamar anakku.


===x0x===


Pagi harinya, ibuku menyuruhku untuk menaruh barang-barangnya Doni di mobil saja. Kasihan nanti kalau Kung membawa segitu banyak barang pakai sepeda motor. Aku pun menurutinya karena si Inah setelah masak tadi langsung berangkat pulang.

Sebelumnya, ketika ibuku mandi dan Doni sedang siap-siap memakai baju, aku sempatkan untuk menelepon ayah mertuaku untuk memberitahu keberadaan ibuku dan rencana edan pagi ini setelah Doni berangkat.

“Maksudmu, sama bu Eko juga Nuk?” tanya ayah mertuaku itu.

“Iya Kung, kenapa. Seneng ya.. huuu” jawabku.

“Nggak.. nggak gitu Nuk.. kaget aja Nuk.. kalo kamu nggak bolehin ya sekalian aja aku ga mau” jawabnya yang cukup menyenangkanku.

Nah inilah yang aku takutkan sehingga aku berinisiatif menghubungi Kakung dulu. Nanti rencana yang disusun bakal buyar kalau ayah mertuaku itu tidak mau melakukannya atau bahkan memilih pulang.

“Iya Kung, nanti ikuti alur aja deh gimana rencananya mama. Ninuk juga nggak tau, tadi malem cuma bilang, apa kata mama dah Nuk, gitu” kataku yang diiyakan oleh Kakung.

“Nanti kalo sudah ada waktu berdua bakal Ninuk ceritakan semua kung” kataku kemudian menutup telponku.

Sekitar jam setengah 8, ayah mertuaku datang dan langsung memasukkan motornya ketika tahu pintu pagar rumah terbuka lebar.

“Ngantarnya naik mobil aja Kung, bawaan Doni banyak” kataku menyambut Kakung ketika berjalan mendekat kearah dimana aku dan ibuku berdiri.

Kata-kataku tadi sepertinya tidak begitu dihiraukannya, perhatiannya tertuju pada sesosok wanita yang ada sekitar semeter di sebelah kananku.

“Lho bu Eko, kapan datang? Gimana kabarnya?” kata ayah mertuaku kemudian bersalaman dengan ibuku. Kulihat mereka pun ngobrol dengan bersahaja.

“Ayo Kung, berangkat.. maa.. berangkat, mama uti, berangkat” kata Doni sambil salim ke aku dan ibuku.

Tak lama berselang, mobil itupun bergerak meninggalkan rumah. Sekitar sejam an kemudian ayah mertuaku yang sudah kembali kemudian masuk ke dalam rumah.

“Biar Ninuk yang tutup pagarnya Kung” kataku.

Aku lalu menutup pagar, rolling door garasi yang hanya bisa dikunci dari dalam sehingga untuk ke ruang tengah aku harus lewat depan kamar tamu yang tembus ke dapur.

Butuh waktu tak lebih dari 10 menit buatku sampai di ruang tempat ibuku dan ayah mertuaku berada. Entah bagaimana cara ibuku tapi yang jelas ku temukan wanita itu sudah mengulum penis ayah mertuaku ketika aku tiba di ruang tengah. Kepala Kakung menengadah dan matanya terpejam, mulutnya agak terbuka. Kedua tangannya terlentang di atas sandaran sofa tang didudukinya.

Loh, sudah mulai ternyata. Tanpa banyak kata, aku pun langsung duduk di sebelah kanan Kakung. Sadar akan kehadiranku, Kakung membuka matanya dan menoleh kearahku. Kemudian kucium bibir ayah mertuaku itu. Ia menyambut permainan bibirku dengan gentle. Tangannya kemudian mengusap-usap rambutku.

Beberapa lama permainan itu berlangsung. Sesekali Kakung melepas cengkraman bibirnya di bibirku, sekedar mengatur nafas menikmati permainan oral ibuku di penisnya.

Kemudian ibuku berdiri dan melepas hijab yang dipakainya. Lalu gamis yang dipakainya pun ditanggalkan juga hingga menyisakan bra dan CD hitam yang kontras dengan warna kulitnya. Ayah mertuaku itu tampaknya menikmati pemandangan yang hanya semeter di depannya.

Tanganku lalu mulai mengusap penis mertuaku menambah sensasi padanya sambil kuciumi leher dan telinga nya. BH dan celana dalam ibuku ternyata sudah terlepas dan kini ia telanjang bulat. Yang juga menarik perhatianku yaitu bagian bawah perut ibuku sama sekali tidak ada jembutnya, alias polos. Hanya tampak lipatan kulit seperti garis vertikal pas di pangkal kedua pahanya ketika ia masih berdiri, padahal dulu pernah kuingat, kemaluan mamaku juga ada pubic hair-nya.

Perawakanku dengan ibuku itu hampir sama. Kulitnya pun sama, tapi memang punya ibuku ada beberapa bagian yang terlihat sedikit keriput. Hanya badan ibuku agak lebih berisi sedikit, payudaranya juga agak lebih besar meskipun sudah turun karena usia, pun juga putingnya. Tapi kalau warnanya sama, coklat muda. Yang membedakan, ibuku ini bersih dari bulu, lain denganku. Mungkin aku nurun dari papaku yang memang banyak bulunya.

“Jilat punya mama Kung” bisikku di telinga Kakung yang segera dilakukannya.

Ia bangkit dan jari tangan kanannya mulai menyentuh bagian kewanitaan punya ibuku yang sedang membetulkan rambutnya. Sentuhan itu secara reflek agak membuka kedua kakinya. Ayah mertuaku lalu berdiri dan melepas celana panjang sekaligus CD yang dipakainya. Kemudian ia memeluk tubuh ibuku dan seakan menuntunnya untu bersandar di sisiku. Terlihat wanita itu mendesah sambil terpejam ketika ayah mertuaku menjilati pentil payudaranya bergantian.

Tak lama, jilatan Kakung kemudian turun menuju perut dan makin ke bawah. Ibu ku tanggap, ia lalu mengangkat kedua kakinya dan memeganginya dengan tangan sehingga Kakung dengan leluasa bisa menjilat vaginanya. Ibuku semakin mendesah, nafasnya tersengal. Mulutnya pun meracau yang membuatku semakin bernafsu juga.

Cepat-cepat aku melepas daster yang kupakai serta celana dalamku sehingga aku juga telanjang bulat dan kembali duduk di sebelah ibuku. Kumanjakan birahiku dengan permainan tanganku sendiri di kemaluanku sambil menikmati pertunjukkan live porno di sebelahku. Ayah mertuaku yang melihatku langsung berganti menjilat vaginaku yang sudah banjir lendir kenikmatan.

Tak lama kemudian Kakung menghentikan jilatannya di kemaluanku dan mengarahkan penisnya. Aku pun menyiapkan vaginaku untuk menyongsong kemaluannya.

“Aku dulu mas..” kata mamaku dengan suara serak meminta Kakung untuk menyetubuhinya dulu.

Ayah mertuaku sesaat melihatku seakan meminta persetujuanku yang langsung kubalas dengan anggukan pelan.

Tapi bukannya mulai menyetubuhi mamaku, Kakung menjulurkan tangannya seakan meminta mamaku bangkit. Wanita itupun berdiri dan sedetik kemudian ayah mertuaku itu langsung membopong tubuh ibuku dan berjalan menjauh.

“Ke kamar tamu” kata Kakung.

Tampak dia meletakkan mamaku lagi ketika pas di depan pintu karena kesulitan untuk membukanya. Kulihat mereka pun masuk. Aku yang sempat terbengong sesaat kemudian menuju kamar tempat mereka masuk tadi.

Ayah mertuaku sudah menggenjot mamaku dengan rpm tinggi di posisi missionari ketika aku masuk dan menutup pintu kamar itu. Segera aku menghidupkan AC ruangan juga. Tubuh mamaku menggeliat-geliat keenakan diiringi mulutnya yang meracau dengan keras. Kadang ayah mertuaku juga berhenti untuk sekedar mengatur nafas yang ia gunakan untuk menjilati leher, payudara bahkan ketiak mamaku yang memang putih bersih itu.

Entah berapa lama kemudian mamaku mencapai puncak kenikmatannya. Tubuhnya menggelinjang hebat seiring orgasmenya pagi itu.

Beberapa saat kemudian ayah mertuaku mencabut penisnya dari liang kewanitaan mamaku dan mengarah kepadaku. Dengan sigap aku pun mengakangkan kedua kakiku dan Kakungpun langsung menyodok-nyodokkan penisnya di dalam vaginaku yang sudah basah.

Dengan irama yang stabil, hanya beberapa menit saja pertahananku sudah akan jebol, mungkin karena rangsangan berat dan beban cemburu ketika ayah mertuaku itu menindih mamaku sendiri. Kakung sadar ketika aku ingin menggapai klimaksku dan rupanya juga ia berkonsentrasi untuk mendapatkannya. Tidak perlu lama apabila bisa sama mencapai bersamaan, jauh lebih nikmat. Lebih lega.

Sesaat kemudian tubuh Kakung pun terbaring di sebelahku. Mamaku kemudian langsung menghisap penis Kakung seakan tidak mau membiarkannya mengendur. Walhasil penis tua itupun kembali tegak dengan gagahnya.

Menyadari itu mamaku langsung menaiki tubuh ayah mertuaku dan menggoyangnya, sebuah awal ronde kedua pagi itu. Di babak ini benar-benar seperti adegan threesome di film-film biru. Kadang aku dan mamaku nungging berjejeran dan Kakung bergantian menggenjot kami berdua. Kadang apabila Kakung terlalu lama menggoyangku, mamaku mengiba untuk segera menyetubuhinya. Begitu pula sebaliknya.

Dua kali aku dapat mencapai pincak kenikmatanku. Entah mamaku berapa kali mendapatkannya di permainan yang berdurasi hampir satu jam itu hingga akhirnya di posisi misionari dengan mamaku Kakung tampaknya akan klimaks juga. Tetapi bukannya menancapkannya lebih dalam di kemaluan mamaku, ia malah menariknya keluar dan dengan terhuyung mengarahkannya ke mulut mamaku sambil terus mengocoknya. Mamakupun tanggap, dibuka mulutnya lebar-lebar seakan ia ingin menelan sari pati Kakung.

“Ooooccghh..” Jerit ayah mertuaku ketika penisnya menyembur-nyemburkan maninya banyak sekali. Hampir memenuhi wajah mamaku.

Wanita itu pun langsung menghisap batang kelelakian ayah mertuaku seperti ingin mengeluarkan sisa-sisa sperma yang ada. Sejenak kemudian mamakupun langsung ke kamar mandi seddangkan aku memposisikan tubuhku berdampingan dengan tubuh Kakung. Sebuah permainan yang luar biasa dengan sensasi yang luar biasa pula.

Beberapa saat kemudian Kakung tampak tertidur. Kulihat wajahnya yang memang menggambarkan raut-raut kecapekan. Kemudian mamaku keluar dari kamar mandi.

“Disini ga ada handuk Nuk.. tidurkah?” kata mamaku menanyakan lelaki yang ada si sebelahku.

“Iya ma.. handuk ga ada” jawabku.

Kemudian masih dengan posisi telanjang bulat, mamaku keluar kamar.

Beberapa saat kemudian, aku pun memutuskan untuk mandi juga tapi di kamar mandi utama rumah dan membiarkan ayah mertuaku menikmati tidurnya. Selesai mandi aku pun menuju ruang tengah.

“Eh Nuk, ini pakaiannya pak Hadi kamu taruh di kamar tamu ya. Sambil bawakan handuk. Biar nanti dia bisa mandi disana” perintah mamaku yang langsung kulaksanakan.

Setelah itu kami berbincang di ruang tengah. Ia juga kagum dengan stamina ayah mertuaku yang memang prima. Trus yang paling membuatnya takjub yaitu semprotan air maninya.

“Gila itu Nuk.. gila.. ga pernah mama temuin yang seperti itu!” kata mamaku.

Dia juga berkomentar kalau ayah mertuaku memang bener-bener luar biasa. Makanya aku ga bisa lepas, katanya sambil tertawa.

Sekitar jam setengah dua siang, ayah mertuaku keluar dari kamar tamu. Tampaknya ia sudah mandi dan bebersih.

“Waduh, saya ketidurannya lama ya” kata ayah mertuaku itu ketika mendekat ke arah kami yang sedang mengobrol di ruang tengah.

“Santai pak Hadi.. Aman..” Kata mamaku.

“Makan ya.. kita tadi dah makan pak. Kelaparan, hehe, Nuk temenin pak Hadi makan” kata mamaku.

Aku pun mengajak Kakung ke meja makan dan menyiapkan segala sesuatunya. Aku pun menceritakan bagimana bisa ibuku tahu tentang hubunganku dan Kakung.

Kakung juga mengingatkanku untuk lebih hati-hati kedepannya.

"Untung aja bu Eko yang tahu, kalau yang lainnya, gimana,..?" Katanya.

“Kopi ya Kung?” tanyaku ketika membereskan piring bekas makannya dan membawa ke belakang.

“Iya Nuk” sahutnya kemudian beranjak ke ruang tengah.

“Nanti malam ga usah tidur sini pak, takutnya nambah-nambah terus nantinya” kata mamaku yang disambut gelak tawa ayah mertuaku.

“Iya bu, saya juga inget umur. Dah nggak kayak dulu lagi” jawab Kakung ketika aku menaruh kopi lengkap dengan lepeknya di atas meja.

“Gimana pak Hadi? Kopi buatan Ninuk” tanya mamaku lagi kepada Kakung sesaat setelah ia menyeruputnya.

“Mantab bu Eko” jawab ayah mertuaku.

“Iya mantab, soalnya kalau ga bilang mantab, mana mau Ninuk buatin lagi” sahut mamaku.

“Ihh mama..” sahutku.

“Nggak gitu, soalnya dulu ga pernah dia buat kopi. Setahuku dirumah ini juga Inah yang buatin terus” lanjut mamaku.

Sekitar jam 3 sore kita pun melakukannya lagi, di tempat yang sama. Kamar tamu rumahku. Di permainan sore itu bahkan aku dan mamaku tak segan lagi untuk berintercourse. Tidak hanya meremas-remas payudaranya saja, tapi juga menjilatinya. Bahkan juga vagina mamaku. Begitu juga sebaliknya yang semakin menambah gairah dan sensasi permainan itu hingga akhirnya sekitar sejam kemudian ayah mertuaku yang mengakhirinya. Kakung kembali memuntahkan lahar spermanya di dalam tubuhku.

Belum jam 8 malam aku dan mamaku sudah terbaring di ranjang yang ada di kamarku dan beberapa saat kemudian kudapati mamaku sudah terlelap. Memang wanita itu yang kutahu jarang sekali untuk kuat terjaga malam. Ayah mertuaku sudah pulang menjelang maghrib tadi dan berencana akan kembali besok pagi.

Masih terbayang jelas di ingatanku bagaimana ayah mertuaku ketika menindih tubuh mamaku. Bagaimana ketika Kakung menjilati bagian kewanitaan ibuku yang putih mulus.

Pikiranku semakin gelisah terbakar api cemburu. Kalaulah si Inah aku masih tidak apa-apa. Tidak ada rasa takut akan kehilangan. Tapi ini dengan mamaku yang notabene ga kalah kecantikannya denganku. Bahkan ada beberapa hal lebih yang tidak ada padaku.

Aku kemudian keluar kamar dan duduk sendiri di sofa ruang tengah. Keheningan malam semakin menyengat ulu hati. Mataku terpejam, pikiranku entah ada dimana.

“Kalo kamu nyesel gini, besok mama ga ikut dah Nuk” kata mamaku tanpa kusadari ternyata wanita itu sudah berdiri di dekatku.

“Mama..” gumamku, kemudian wanita itu duduk pas di sebelahku.

“Besok mama nggak akan ganggu lagi dah Nuk” kata mamaku.

“Apa sih mama ini” jawabku.

“Ya daripada kamu akhirnya begini. Asal kamu tau ya Nuk.. itu hal yang sama yang mama rasakan ketika papamu sama wanita lain. Dan mungkin juga yang papamu rasakan pas mama main sama laki-laki lain. Cuma mama herannya, kok sama pak Hadi ya kamu gini ini? ama suamimu sendiri gimana?” tanya mamaku.

Ku jawab dengan gelengan kepala.

Mamaku kemudian mencubit hidungku.

“Asal kamu tau ya Nuk.. ayah mertuamu itu kayaknya juga sama deh kayak kamu. Mama tau dari caranya dia main kemarin, meski ada mama” lanjut ibuku.

“Kok bisa ma?” tanyaku balik agak penasaran.

“Ihhh masak kamu ga tau sih. Bedain sayang.. antara seks ama cinta..“ lanjut mamaku agak geram.

“Emang bisa ya, seks tanpa perasaan” tanyaku lagi.

“Ya bisa lah.. Cuma nafsu ajah. Kayak mama kemarin. Kayak mama pas lagi ama pak Zen” jawab mamaku.

“Memang kadang-kadang mama bisa terbawa perasaan kalau memang pasangan mama pandai melakukannya. Tapi setelah itu ya, ga perlu ditelusuri sayang..” jelas mamaku.

“kalu terus ditelusuri, ya kayak kamu sekarang ini, hehe” kata mamaku.

“Nanti coba deh, ama yang lain.. trus manjain perasaanmu kayak gini. Kan nanti hasilnya bakalan sama” lanjutnya lagi.

Setelah kupikir-pikir memang benar apa kata mamaku ini. Kemarin aku memang terus mencari jejak-jejak hati yang ditinggalkan ayah mertuaku seusai kami selesai berhubungan badan pertama kali. Dan malah kubiarkan diriku hanyut di dalamnya. Tapi biarlah, semua sudah terjadi. Dan apa yang aku punya untuk ayah mertuaku ini kayaknya ga cukup setahun atau dua tahun untuk menghilangkan atau membiarkannya pergi. Biar!.

“Untungnya aja ama mertuamu sendiri.. jadi ga seberapa masalah lah” lanjut mamaku.

“Dulu mama ya gitu sayang, pas pertama kali have sex sama orang lain.. baper.. nah itu yang yang malah buat mama pengen pisah sama papamu. Entah kalau dulu mama ga bisa hilangin itu, gimana jadinya” jelas mamaku.

“Ayo sayang, tidur.. dah malem“ ajak mamaku kemudian berlalu masuk ke kamarnya.

Setelah itu kami pun tidur.

Keesokan harinya dudapati rumahku sepi ketika aku bangun. Waktu baru menunjukkan kurang dari jam 7. Akhirnya kuambil HPku dan kulihat mamaku text aku sejam yang lalu.

“Ninuk sayang.. mama jalan-jalan dulu ya.. sama Inah.. mobilmu tak pake. Makanan sudah siap di meja makan. have fun honey. Nanti mama pulang sore, jam 4 lah” wa mamaku yang membuatku tersenyum.

Dia membuktikan omongannya tadi malam. Sepertinya mamaku ingin memberiku waktu berdua dengan ayah mertuaku. Aku kemudian video call dengan suami dan anakku yang sedang berada di Bandung. Absen pagi.

x--x--x

Sekitar jam 9 ayah mertuaku baru datang. Tadinya sempat mau ku WA Kakung, tapi ternyata dia sudah WA duluan. Katanya masih lihat-lihat di sekolahnya Doni, tempat anakku itu perjusami. Tanpa dia suruh aku segera ke dapur untuk membuatkannya kopi ketika Kakung masuk ke dalam rumah.

“Bu Eko mana Nuk?” tanyanya ketika aku mendekat dan mau menaruh segelas kopi yang kubawa.

“Cari Ninuk atau cari mama kung?” tanyaku sambil seperti mengurungkan niatku meletakkan nampan yang aku bawa.

“Kalo cari mama, kopinya Ninuk bawa balik ke dapur” kataku lagi.

“Ya cari kamu lah Nuk.. Cuma tanya mamamu kemana” jawab Kakung yang kubalas dengan senyuman dan segera menaruh barang yang aku bawa di atas meja tepat di depan ayah mertuaku itu.

Setelah menaruh nampan di kolong meja, aku menempatkan diriku bersebelahan dengan Kakung yang langsung menuangkan kopinya di lepek lalu meneguknya.

“Tadi pagi belum ngopi Nuk, pengennya kamu yang buatin pagi ini. Eh tadi ternyata lama di sekolahnya Doni” kata ayah mertuaku yang membuatku tersenyum.

“Mama tadi keluar Kung, bawa mobil.. jalan-jalan ajak Inah katanya” kataku menjawab pertanyaan Kakung yang tadi.

“Inah datang atau bu Eko yang jemput ke Pare?” tanyanya lagi sambil menyalakan rokoknya.

“Kayaknya mama deh yang ke pare. Ga ada jejak-jejak Inah datang Kung” jawabku.

Sejenak aku berpikir gimana cara menggoda ayah mertuaku itu. Androg krem tanpa BH tampaknya sudah tidak begitu spesial lagi baginya, atau masih menarik perhatiannya tapi hanya dia ga bilang aku juga nggak tahu.

Aku kemudian berdiri dan beranjak.

“Kemana Nuk” tanya Kakung.

“Kan yang dicari bukan Ninuk, tapi mamanya Ninuk.. ya udah Ninuk tidur aja” kataku lalu masuk ke kamarku tapi dalam hati berharap Kakung akan menyusulku.

Benar saja, tidak sampai sepuluh detik kurasakan bayangan Kakung sudah ada di belakangku yang berdiri menghadap ke ranjang dan semakin mendekat. Kulepaskan ikatan karet di rambutku sambil masih pura-pura tidak tahu. Kakung kemudian mendekapku dari belakang dan menciumi leherku. Rambutku kusibakkan ke samping agar dia dapat juga menjelajah tengkukku. Mataku terpejam menikmati aksi Kakung.

Serasa cukup aku kemudian membalikkan badanku, ayah mertuaku itu langsung menyosor bibirku. Lama mulut kami berpagutan hingga akhirnya kurasakan tangan Kakung meraih tanktop dress di pinggangku dan sepertinya akan melepasnya.

Dua detik kemudian daleman berbahan silk itupun hengkang dari badanku. Sekejap Kakung langsung menjilati leherku dan perlahan turun ke buah dadaku dan mulau menjilati pentilnya bergantian kanan dan kiri.

“oohh.. Aduhh.. Ooohh..” mulutku meracau menikmati permainan Kakung. Tanganku mengusap-usap rambut di kepalanya.

Tangan kiri lelaku itu kemudian menyusup masuk ke celada dalam yang kupakai. Melalui rimbunnya pubic-hair ku, jari tengahnya menyelinap memainkan klirotisku yang semakin membuatnya basah. Kubuka sedikit kedua kakiku agar dia dapat dengan mudah menemukannya. Beberapa saat kemudian, tanpa kuduga Kakung kemudian membopongku. Sama persis yang dia lakukan ke mamaku kemarin.

“Kamar tamu aja” gumamnya.

Menarik juga, seakan Kakung tahu apa yang akan kujadikan bahan pagi itu. Kemarin mama digendong, aku nggak, itu rencanaku.

Bahkan ia tidak menurunkanku ketika sampai di depan pintu kamar tamu. Ia menggunakan kaki kanannya untuk membuka pintu kayu coklat tua itu dan segera masuk lalu meletakkan tubuhku perlahan di ranjang.Kakung kemudian menutup pintu kamar dan menyalakan AC, lalu mulai melucuti pakaian yang dikenakannya sampai benar-benar telanjang bulat, terlihat penisnya sudah tegak berdiri siap melaksanakan tugasnya. Aku pun kemudian melepas celana dalamku sendiri.

“Masukin ya Nuk” katanya pelan kemudian merayap di atas tubuhku.

Dengan sigap tangan kiriku meraih batang kemaluannya dan membimbingnya ke jalan yang benar sehingga dengan sekali dorongan penisnya pun langsung menerobos masuk ke dalam liang senggamaku. Ia kemudian mulai menyodok-nyodokkan penisnya.

“Gimana kung enak mana sama punya mama?” tanyaku dengan suara terputus-putus menikmati permainan itu.

“Apa sih Nuk??” kata Kakung sambil terus menggoyangku dari atas.

“Enak mana ama punya mama??” kuulangi pertanyaanku sambil mengusap wajah Kakung yang mulai berkeringat.

Kakung lagi-lagi tidak menjawabnya, ia malah mempercepat gerakannya yang semakin membuatku mendesah dan menggelinjang keenakan.

“Oooocchh..” Rintihnya sambil membenamkan penisnya dalam-dalam di vaginaku.

Kurasakan penis Kakung berdenut-denyut dengan hebat menyertai cairan hangat yang memenuhi rongga bagian kewanitaanku.

“Keluar kung?” tanyaku.

Kakung tidak menjawab, kemudian menarik dirinya dan merebahkan tubuhnya.

Aku juga dibuat keheranan dengan apa yang terjadi. Bahkan permainan itu lebih cepat dari pertama kali Kakung menyetubuhiku waktu di sofa dulu. Tidak sampai lima menit ayah mertuaku sudah mencapai klimaksnya bahkan aku pun belum mendapat orgasmeku.

“Bingung Nuk.. gak mau salah, giliran mau crot, kamu bahas itu terus” kata Kakung ketika aku mensejajarkan badanku di sampingnya.

“Ninuk kan bercanda kung” jawabku.

“Maaf ya Kung” lanjutku. Kakung mengusap-usap rambutku tanda ia mengerti.

“Kok cepet amat sih kung?” tanyaku lagi.

“Kamu sih bahas itu aja terus” jawabnya.

“Maaf ya Nuk, kamu belum dapet tadi ya” katanya.

“Ga papa kung, habis ini kan bisa lagi” jawabku sambil memainkan telunjukku di penis Kakung yang mulai turun.

Ia lalu mencubit pelan hidungku. Aku kemudian mengulum penis Kakung agar tidak jadi melemas. Walhasil, senjata tumpul itu batal turun bahkan langsung mengeras lagi. Tanda nya dia sudah siap melaksanakan tugasnya yang kedua pagi itu.

Durasi ronde kedua itu juga tidak seberapa lama, hanya sekitaran 15 menit, tapi sudah berhasil membuatku dua kali mencapai puncak kenikmatanku. Aku pun memintanya mengeluarkan maninya pas ketika aku mencapai orgasme ku yang kedua. Sensasi keluar bareng ini memang tidak ada duanya, dan yang berhasil melakukannya ya hanya ayah mertuaku itu.

Sekitar jam 1 siang aku dan ayah mertuaku kembali ngobrol di ruang tengah setelah selesai makan.

“besok Doni jam 10 an tak jemput Nuk. Infonya, jam 9 Upacara penutupan, dihadiri pak Walikota katanya. Tapi biasanya kalo pak wali hadir, acara tambah molor” kata Kakung sambil menikmati rokoknya.

“Iya Kung.. bawa mobil lagi aja besok” jawabku.

“Kung, kapan Ninuk mau diajari lewat belakang?” tanyaku dengan bahasa halus untuk mengganti istilah anal.

“Maksudmu?” tanya Kakung seakan tidak mengerti apa yang kutanyakan.

“Lubang belakang nya Ninuk” jawabku singkat.

“Oooo.. itu tah.. kamu yakin?” tanya nya lagi.

Aku mengangguk.

“Ya minggu depan lah. Kan sekarang ada Bu Eko” tolaknya.

“Kata mama sih pertamanya sakit kalo ga tau caranya. Tapi buat cowok sensasinya luar biasa. Iya ta Kung?” tanyaku lagi yang langsung dijawabnya dengan anggukan.

“Nanti malam aja Kung, sekalian tidur sini” kataku.

“Nggak, kan masih ada mamamu Nuk. Aku ga mau lagi. Besok-besok malah kamu kayak tadi lagi” jawabnya.

“Nggak-nggak Kung.. kan tadi Ninuk cuma bercanda” jawabku sambil ngalem ke pundak Kakung.

“Nanti malem masih ada acara kampung Nuk. Paling selesai jam 9 an” katanya lagi.

“Iya ga papa Kung.. nanti gimana cara Ninuk untuk ajak mama boboknya di kamar tamu. Biar kasih kejutan. Kung kan punya kunci rumah sini, biar Ninuk ga perlu bukain” kataku.

“Iya, tapi janji ga kayak tadi lagi lho ya” katanya.

“Iya iya Kung..” sahutku.

“Kalo gitu nanti aku beli kondom” katanya lagi.

“Loh kok pake kondom?” tanyaku.

“Iya Nuk, kalo ke lubang itu harus pake kondom. Kan bukan pasangannya, hehe.. eh pelumasmu masih ada kan? Nanti juga perlu itu.” Katanya kemudian pamit. Ia mencium kedua pipiku, kening dan bibirku sebelum meninggalkan rumah.

Baru sekitaran maghrib ibuku pulang. Aku membantunya mengeluarkan bawaannya. Sepertinya ia habis belanja. Banyak tas-tas plastik ramayana berisikan sepertinya baju-baju.

“Buat Ninuk ada ma?” tanyaku.

“Ga ada Nuk, cuma buat Doni ama Bayu ajah” jawabnya.

“Yaaa.. mama.. kok Ninuk ga dibeliin sih” kataku dengan suara manja.

“Heh, kalo kamu bisa beli sendiri” jawab mamaku singkat.

“Ma, nanti kayaknya harus tidur di kamarnya anak-anak atau di kamar tamu deh. AC kamar mati ma” kataku setelah makan malam. Padahal batereinya remotnya aja yang kubalik sehingga tidak berfungsi.

“Di kamar tamu aja Nuk. Eman-eman kamar anakmu, sudah bersih. Lagian besok kamar tamu juga harus dibersihkan sebelum suamimu datang” ujarnya yang membuatku tidak mencari alasan lagi untuk mensukseskan rencana dengan ayah mertuaku siang tadi.

Jam baru menunjukkan pukul 7 malam lewat sedikit ketika mamaku mengajakku tidur. Kami berdua pun masuk ke kamar tamu. Kulihat mamaku menanggalkan semua dalemannya, bh dan cd nya dicopot semua. Beda denganku yang masih tetap memakai celana dalam ketika tidur. Saat tiduran wanita itupun memintaku menceritakan kegiatanku tadi siang. Aku memberitahunya secara garis besar saja, tidak detail.

“Oh iya Nuk, tadi aku minta Inah untuk datang agak pagi, biar bisa bantu bersih-bersih. Sebenarnya tadi mau kuajak langsung kesini, tapi ga mau karena kalau malam minggu suaminya pulang” kata ibuku.

Setelah mamaku tidur, aku lalu keluar kamar mempersiapkan segala sesuatunya untuk malam ini. Air mineral, beberapa handuk dan pelumas khusus pasutri kubawa ke kamar tamu. Kulihat waktu masih menunjukkan pukul setengah 9 malam, akhirnya kuputuskan melihat acara TV sambil menunggu kedatangan ayah mertuaku.

Baru sekitar jam setengah sepuluh pagar rumahku terdengar dibuka yang bisa kupastikan itu adalah ayah mertuaku. Setelah mematikan TV aku segera menyambut kedatangan Kakung yang tampak membawa 2 buah tas kresek warna merah.

“Ini Nuk, dapat berkatan, kalau tak taruh di rumah, ga ada yang ngerawat, eman-eman kalau bau” katanya.

Berkatan ini istilah di daerah kami untuk bawaan atau gift yang diberikan yang punya hajat kepada undangan yang hadir. Isinya biasanya nasi lengkap dengan lauk dan sekotak kue.

“Iya kung", kataku dan langsung memasukkannya ke dalam kulkas.

Kemudian aku masuk ke kamarku dan mengganti dasterku dengan pakaian dinas malam hitam yang dulu pernah kupakai ketika berhubungan badan dengan ayah mertuaku. CD yang kupakaipun kulepas. Kakung masih berdiri menungguku di ruang tengah ketika aku keluar kamar. Matanya agak terbelalak melihat penampilanku.

Tanpa ragu Kakung langsung memelukku.

“Nuk, ga usah ajak bu Eko dah.. berdua aja.. yaaa” kata Kakung.

“Kenapa..” tanyaku tehenti ketika Kakung langsung mencium bibirku.

Kudongakkan kepalaku ketika dia mulai menjilat leherku dan tangannya meremas payudaraku.

“Iya kung.. ga usah ajak mama” kataku yang mulai terangsang kemudian kulepaskan pelukan Kakung.

“Di depan TV aja Kung, pake kasur lipat. Aku ambil pelumas dulu. Tadi dah Ninuk taruh di kamar tamu” kataku kemudian berlalu.

Kulihat mamaku tertidur pulas ketika aku masuk ke kamar tamu.

“Maaf ya ma..” gumamku pelan kemudian keluar kamar.

Kulihat kasur lipat itu sudah terpasang dan ayah mertuaku mulai melucuti pakaiannya ketika aku sampai lagi di ruang tengah.

“Duduk di sofa dulu Nuk” kata Kakung yang langsung kuturuti.

Kakung kemudian duduk tepat di bawahku dan langsung menjilati bagian kewanitaanku.

“Oooohhh..“ desahku ketika lidahnya juga mulai beraksi.

Cukup lama Kakung memberikan permainan oral yang sangat-sangat kunikmati sampai-sampai aku bisa mencapai orgasmeku hanya melalui permainan lidahnya.

“Nungging Nuk.. disini” katanya pelan sambil menunjuk ke kasur lipat yang sejak tadi sudah terpasang.

Aku kira Kakung akan menusukku dari belakang tetapi ternyata menyibak belahan pantatku dan mulai menjilati lubang duburku. Sensasi unik yang pertama kali kurasakan. Untuk beberapa lama dia terus menjilati sun hole-ku. Kadang juga dengan kemaluanku di posisi doggy-ku. kemudian Kakung menghentikan aksinya. Tampaknya dia mengambil pelumas yang tadi kubawa, diteteskannya pas di lubang anusku.

Jari Kakung kemudian mengoles-oleskanya dan perlahan ditusuknya sun Hole-ku dengan jarinya. Reaksi pertamaku ya terkejut dan secara reflek lubang belakangku seperti mencegah ketika ada barang masuk.

“Jangan di cegah Nuk.. pasrah aja.. biarin masuk..” kata Kakung pelan.

Di percobaan kedua sudah mulai lancar, sekitar setengah jari tengah Kakung masuk. Ada sensasi lain yang kurasakan memang. Tapi gimana rasanya nanti kalo penis Kakung yang masuk, yang notabene diameternya beberapa kali ukuran jari tengahnya. Beberapa kali Kakung mengulangi dengan jari tengahnya yang akhirnya berhenti.

Kulihat Kakung melepas boxer nya sehingga telanjang bulat dan memasangkan caps di penisnya sendiri. Setelah itu dia kembali memposisikan badannya tepat di belakang bokongku yang sejak tadi tetep menungging.

“It’s time” pikirku dan berkosentrasi gimana seperti yang Kakung tadi katakan.

“Coba ya Nuk..” gumamnya pelan lalu kurasakan penis Kakung sudah menempel di sun hole ku.

Gel plumas dituangkannya agak banyak. Kemudian Kakung mulai menekan penisnya di lubang anusku. Mataku terpejam. Ada rasa aneh, sakit ketika kepala kemaluannya masuk, tapi aku tetep pasrah membiarkannya, seperti yang Kakung perintahkan. Ia terus mencoba sambil menarik dan menekankan lagi penisnya. Dan akhirnya mulai lancar.

Sensasi awal memang agak sakit tapi tertutup sensasi lain yang kurasakan. Tangan Kakung lalu mengucek-ucek kemaluanku, mungkin agar aku juga merasakan nikmat dari rangsangan alat vitalku.

Kakung mulai menyodok-nyodokkan kemaluannya pelan yang makin lama makin cepat. Makin lama aku semakin menikmati permainan itu.

Rasa sakit yang tadi kurasakan sudah hampir tidak ada, berganti dengan sensasi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sesekali Kakung mengoleskan gel pelumasnya lagi. Memang untuk lubang belakangku ini, pelumas alaminya sedikit, lain dengan vaginaku yang selalu banjir.

Tidak sampai lima menit Kakung tambah mempercepat goyangannya, sepertinya dia mau mencapai puncak kenikmatannya.

“Oooohhg.. aku keluar Nuk” jeritnya ketika spermanya muncrat tapi tertahan di kondom yang dipakainya.

Beberapa saat kemudian ia menarik keluar kemaluannya dari lubang anusku. Aku pun ambruk di kasur lipat dan berbaring. Kakung melepas latex yang ujungnya seakan tidak mampu menampung air maninya yang memang selalu banyak, bahkan beberapa juga ada yang tumpah. Ia mengikatnya dan menaruhnya di dalam kresek kecil tempat bungkus kondomnya tadi.

Ia lalu duduk di sisiku yang terbaring beralaskan bantal sofa.

“Gimana Nuk?” tanyanya.

“Enak Kung?” tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya.

“Enak Nuk.. tapi kamu ga sakit? Punyamu kayak seret gitu” tanyanya.

“Iya sih Kung, agak sakit tapi memang sensasinya lain” jawabku.

“Kalo kamu ga suka, ga usah lagi ga papa Nuk” katanya lagi.

“Yang penting Kung enak dan puas, Ninuk suka!” jawabku sambil merasakan ada yang aneh di duburku.

Seperti ada yang mengganjal. Sama persis seperti ketika dulu waktu pertama kali keperawananku jebol, tapi ini di lubang belakangku.

Sekitar setengah jam kemudian kami berhubungan badan lagi. Awalnya kukira ia bakal langsung meng-analku, tapi ternyata tidak. Kami melakukan seperti biasanya sampai aku beberapa kali mencapai puncak kenikmatanku. Barulah setelah itu dia memakai lubang belakangku ketika dia mencapai klimaksnya dengan tidak lupa memakai kondom tentunya.

Sekitar jam setengah 12 malam akhirnya kamipun tertidur dengan posisi masih telanjang bulat. Awalnya tidak terasa dingin tapi sekitaran jam 2 pagi akhirnya kami memakai baju masing-masing sebelum cepat-cepat tidur kembali.


===x0x===


Pagi harinya sekitar jam setengah enam aku terbangun. Ayah mertuaku masih pulas terbaring di sampingku. Kemudian aku memungut kresek tempat kondom bekas yang penuh dengan sperma ayah mertuaku itu yang tadi malam mengajariku pertama kali apa yang namanya anal sex. Kemudian aku beranjak menuju ke dapur yang terlihat lampunya sudah menyala dan ternyata ada mamaku sedang sibuk masak.

Rasa seperti mengganjal di lubang belakangku masih agak sedikit terasa, apalagi ketika dibuat berjalan. Untunglah pagi itu ada ibuku, hal urusan masak-memasak dua hari itu beliau yang handel. Kalau aku, jangan diharap, buat sambel aja ga bisa, hehe. Buat kopi juga baru belajar ketika mambuatkan ayah mertuaku. Sebelum-sebelumnya juga si Inah yang mengerjakan.

“Eh, anak mama udah bangun ya.. kecapekan yaa tadi malam berapa ronde Nuk?” ledek mamaku ketika mengetahui aku mendekat kepadanya.

“Ihhh.. mama, apaan sih ma..” jawabku. Kulhat wanita itu sepertinya sudah mandi.

“Jam berapa pak Hadi datang tadi malam Nuk?” tanyanya lagi sambil terus sibuk berdiri di depan kompor.

“Jam 10 an ma” sahutku.

“Oooo, makanya mama disuruh tidur di kamar tamu, biar mama ga ganggu ya..” kata wanita itu sambil tersenyum.

“Buatin kopi dulu sana gih, nanti kalo kopinya sudah jadi, baru bangunin ayah mertuamu” kata mamaku seakan mengajariku gimana memperlakukan lelaki di pagi hari.

“Oh iya ma, di kulkas ada berkatan. Kung tadi malam bawa. Ada dua” kataku.

“Iya sudah tahu Nuk.. ini mama angetin, bisa buat sarapan habis ini” sahutnya singkat.

Aku pun segera melakukan apa yang dikatakan mamaku.

“Eiits.. mandi dulu anak cantiik” kata mamaku ketika aku mau menyalakan kompor untuk memasak air untuk membuat kopi.

“Iya ma” sahutku.

“Ehhh.. bentar-bentar.. jalanmu kenapa Nuk? Ooohh mama tau, tadi malem ada lewat belakang yaa” tanya mamaku yang di jawabnya sendiri.

“Ihhh.. mama apaan sih” sahutku kemudian meninggalkannya menuju kamar mandi.

Setelah mandi aku pun menuju kamarku untuk memakai daster marun tanpa lenganku.

Sesaat setelah menaruh kopi di meja ruang tengah, aku kemudian duduk di sebelah ayah mertuaku yang masih saja bermimpi dalam tidurnya. Kuusap-usap kening Kakung.

“Kung.. bangun kung” bisikku pelan. Tubuh Kakung mulai menggeliat, matanya kemudian terbuka.

“Eh Nuk.. kamu sudah bangun” kata Kakung menyambut paginya.

“Eh, malah sudah mandi kayaknya. Kok tumben.” Katanya lagi ketika melihat handuk yang kututupkan di kepalaku menandakan aku habis mandi keramas.

Kakung sudah sangat tahu dengan kebiasaanku yang jarang mandi di pagi hari. Seringnya agak siang, setelah anak-anakku berangkat sekolah. Bahkan sering juga Kakung berhubungan badan denganku dalam kondisi aku yang belum mandi. Biar sekalian mandinya, katanya. Bahkan aroma tubuhku malah buat dia lebih terangsang katanya juga. Aku sih seneng-seneng aja.

“Air putih sama kopinya di meja Kung” kataku ketika melihat Kakung berdiri kemudian duduk di sofa.

Aku segera melipat dan menaruh kasur busa yang tadi malam menjadi alas tidurku dan ayah mertuaku itu. Beberapa saat setelah minum air putih dan menyeruput sedikit kopinya, kemudian Kakung berdiri dan beranjak ke kamar mandi untuk bebersih.

“Nuk, kamu bagian nyapu lantai plus ngepel. Aku bersihkan halaman. Kamar tamu sudah mama bersihin tadi pagi. Baju-baju kotor yang nggantung-nggantung taruh di mesin cuci” perintah mamaku mengatur pembagian pekerjaan pagi itu.

“Saya bagian apa bu Eko?” tanya ayah mertuaku ketika keluar dari kamar mandi.

“Eh, pak Hadi santai saja. Biar saya sama Ninuk saja yang bersih-bersih” jawab mamaku sambil tersenyum.

Akhirnya Kakung memutuskan untuk membantu tugasku. Menyapu dan mengepel seluruh bagian rumah. Setelah semua pekerjaan selesai, kami bertiga pun sarapan.

Sekitar jam 9 an terdengar pagar rumah terbuka, ternyata si Inah yang datang.

“Kamu ini Nah, pas semuanya selesai baru datang” kataku menyambutnya.

“Maaf bu, tadi Inah kesiangan bangunnya” jawabnya.

“Tuh tinggal cuci baju sana, yang ada di mesin cuci” perintahku.

“Eh, Nah, baju-baju kotorku tolong dibungkus kresek ta, biar nanti tak cuci di rumah aja” kata mamaku.

“Lho nanti balik ke Malang bu Eko?” tanya ayah mertuaku ke besannya.

“Iya pak, besok kan sudah harus dines lagi” jawab mamaku.

Tiba-tiba HP ayah mertuaku berdering.

“ssttsss.. Hendra nelpon” kata Kakung menyuruh aku dan mamaku tidak bersuara. Terdengar suara ayah mertuaku yang bercakap-cakap dengan anaknya.

“Iya, nanti bilang ke Ninuk aja” terdengar suaranya.

“Hendra sama Bayu sudah OTW dari Bandung. Perkiraan sampe Surabaya jam 10 malam, kalau nggak molor. Nanti aku diminta jemput Bayu ke Surabaya. Soalnya Hendra sekalian nggak pulang katanya, nanggung, besoknya sudah senin” kata ayah mertuaku itu menjelaskan hasil pembicaraannya dengan mas Hendra barusan.

Beberapa saat kemudian gantian lalu HPku yang bersuara.

“Dek, nanti malam aku sampe Surabaya paling jam 10 an. Aku nanti ga pulang, nanggung biar sekalian di surabaya. Aku tadi dah telp Kung untuk jemput Bayu di Surabaya. Ga papa kan?” suara mas Hendra.

“Iya mas.. eh tapi kalau umpama kita ke Malang dulu, antar mama gimana? Mama juga mau pulang hari ini ke Malang. Nanti setelah dari Malang baru ke Surabaya” jawabku.

“oh iya mama pulang hari ini ya. Iya, bagus kalo gitu. Nanti kamu bilang ke Kung ya” kata mas Hendra lagi.

“Ya mas lah yang telp Kung. Ninuk kan ndak enak kalau suruh-suruh Kung. Kung mau apa nggak. Oh ya, sekalian bilang ke Kung kalau nanti jemput Doni dari sekolah, bawa mobil aja. Bawaan Doni banyak, kasihan kalau naik sepeda motor” jawabku.

Kulihat mamaku dan ayah mertuaku menahan senyum.

“Oke deh, sungkem buat mama ya” kata suamiku lalu menutup teleponya.

Kami bertiga kemudian sepakat untuk tertawa bersama. Mas Hendra nggak tahu kalau sebenarnya ayahnya ada di rumahku saat itu.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 10, saatnya ayah mertuaku menjemput anak pertamaku dari kegiatan perjusaminya.

Setengah jam kemudian mereka pun datang. Anakku langsung menuju ke kamarnya untuk tidur. Sedangkan aku, mamaku dan ayah mertuaku membereskan bawaan Doni yang lumayan menyita waktu dan tenaga.

“Nanti coba tanya Doni dulu, dia capek atau nggak, kasihan juga kalau nanti harus ke Malang trus ke Surabaya nanti” kata mamaku.

“iya ma” jawabku singkat.

Sekitar jam setengah 12, anak itu bangun dan langsung makan.

“Mas, kamu capek nggak?” tanyaku.

“Ini mama sama Kung mau antar mamauti pulang ke Malang, trus nanti malam jemput adikmu ke Surabaya” lanjutku.

“Nggak ma.. asiiik nanti jalan-jalan” sorak anakku kegirangan yang membuatku tersenyum.

Sekitar jam 1 siang, setelah semua persiapan selesai akhirnya mobilku sudah meluncur menuju ke kota kelahiranku. Inah, pembantuku juga akhirnya kuajak turut serta.

“Saatnya kamu ganti mobil Nuk” kata mamaku mengomentari sesaknya duduk kami berlima mengisi Honda Brioku.

“Siap ma.. jadi tukar sama mobil mama kan?” jawabku.

“Eh, enak ajah” sahutnya lagi.

Entah jalanan yang sepi atau ayah mertuaku yang nyetirnya kenceng, sekitar jam 3.15 kami sudah sampai di rumah orang tuaku.

“Kung, sebaiknya kung istirahat, tidur dulu. Nanti malem kan harus nyetir ke Surabaya, langsung ke Kediri juga” kataku yang langsung disetujui oleh Kakung.

“Iya Kung, sama aku. Aku juga mau bobok” sahut Doni yang rupanya juga masih mengantuk setelah kegiatan perjusaminya.

Akhirnya mereka berdua masuk ke kamar yang biasa kutempati ketika aku pulang ke sana. Beberapa saat kemudian mamaku muncul dari belakang menanyakan Doni dan ayah mertuaku.

“wah, kalo gitu mama tidur juga aja” katanya lalu masuk ke kamar meninggalkanku sendiri.

“Loh ini gimana sih, aku kok jadi sendirian” gumamku.

Si Inah lagi asik ngobrol sama bi Asih di belakang. Beberapa saat kemudian tiba-tiba muncul keinginanku untuk pijat. Lama juga sejak terakhir kali nggak di massage. Kemudian aku pun browsing mencari pusat kebugaran khusus wanita yang dekat dengan rumah. Ternyata tidak ada, yang paling dekat jaraknya hampir 10 km.

“Bu Zen” gumamku.

Entah benar atau nggak, tapi memang pak Zen dan Bu Zen ini bisa mijat dan juga melayani pijat. Kalau cewek ke bu Zen, kalau cowok ke pak Zen. Kecuali mama papaku tentunya. Itu sih yang pernah diceritakan mamaku.

“Inah, bi Asih. Aku mau keluar dulu. Jalan-jalan, pake sepeda motornya mama” pamitku ke dua orang yang sore itu tidak tidur.

“Kemana mbak Ninuk, kayaknya mendung. Mau hujan” jawab bi Asih.

“Ga papa, bentar kok bi” sahutku kemudian pergi.

Kusempatkan untuk mampir ke swalayan sekedar membeli handbody lotion. Aku memang tidak terbiasa dengan minyak yang dipakai tukang urut.

Keadaan seperti beberapa bulan yang lalu, rumah itu tampak sepi. Pintunya juga tertutup. Aku kemudian memarkir motor yang aku bawa di tempat dulu mama memarkirkan motornya. Beberapa kali kuketok pintu utama rumah itu tapi tetap tidak ada jawaban hingga akhirnya aku berkesimpulan tidak ada manusia di dalamnya.

“Eh.. Bu Ninuk.. anaknya bu Eko yaa” sapa seseorang bukan dari dalam rumah, tapi dari belakangku yang ternyata itu adalah bu Zen, isterinya pak RT.

Kamipun bersalaman. Melihat dandanannya, kupastikan niatku untuk pijat kala itu pupus. Wanita yang usianya kira-kira lima tahun di atasku itu memakai baju warna hijau tosca, seragam khas ibu-ibu PKK.

“Ada apa ya bu Ninuk?” tanya wanita itu.

“Ini sebenarnya saya mau pijat, tapi nampaknya bu Zen sedang sibuk ya” jawabku dengan logat seperti meniru wanita itu.

“Waduh, gimana ya. Memang ini saya sedang ada PKK rutin. Ini pun pulang sebentar karena ada yang ketinggalan” jawab bu Zen dengan nada khasnya.

“Iya sudah tidak apa-apa bu. Mungkin di lain waktu” jawabku.

“Kalau umpama dengan pak Zen gimana. Pak Zen ada, mungkin sekarang sedang tidur. saya bangunkankan dulu ya” katanya seolah ingin tidak mengecewakanku.

“Loh, katanya kalau cewek ke bu Zen, kalau cowok baru ke pak Zen” kataku kemudian.

“Oh iya, tapi berhubung bu Ninuk anaknya bu Eko, tidak apalah. Bu Eko sering pijat sama pak Zen, pak Eko dengan saya. Katanya kalau yang memijat sama jenis, geli” jelasnya dengan bahasa indonesia yang bagus tapi malah terdengar aneh di kupingku.

Bener juga kata mamaku, pikirku.

“Gimana Bu Ninuk? Ayo-ayo masuk dulu. Saya bangunkan pak Zen sebentar” ajaknya kemudian membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci.

Kemudian ia masuk ke dalam meninggalkanku duduk sendiri di ruang tamu. Sesaat kemudian ia dan pak Zen muncul.

“Eh, adik Ninuk.. sebentar ya, saya mandi dulu. Barusan ketiduran” kata pak Zen kemudian masuk.

Sebuah tata bahasa yang agak tidak lazim di telingaku.

“Saya tinggal dulu ya bu Ninuk, nanti biar dengan pak Zen saja” kata bu Zen kemudian berjalan pergi meninggalkanku sendiri di ruang tamunya.

Dadaku berdebar-debar. Akankah nanti ada apa-apa selain pijat. Benakku langsung terbayang sewaktu ketika aku mengintip mamaku dan pak Zen berhubungan badan. Langsung kubayangkan alat vital pak Zen yang ukurannya lebih panjang dari penis-penis yang pernah yang aku tahu secara langsung, bukan yang aku lihat di film-film.

“Maaf ya adik Ninuk.. buat Adik Ninuk menunggu. Mari-mari di dalam sini” kata pak Zen yang langsung membuyarkan lamunanku.

Melihatku yang ragu untuk berdiri, lelaku itu tersenyum.

“Tidak perlu takut adik Ninuk. Bu Eko sering ke mari kok” katanya menyakinkanku.

Aku kemudian berjalan mengikuti lelaki yang termasuk tinggi itu menuju kamar nomor 2 di rumah itu. Btw, tinggiku hanya sepundak laki-laki itu.

“Ini adik Ninuk.. tolong pakaiannya dilepas. Kalau BH dan celana dalam tidak usah. Terus bisa pakai ini. Saya tunggu diluar dulu” kata pak Zen sambil menyerahkan handuk putih yang besar.

Ia kemudian keluar kamar dan menutup pintunya.

“Sopan juga ternyata” pikirku yang mulai nyaman dengan situasi itu.

Pertama kutanggalkan hijab yang kupakai, berturut kemudian kaos lengan panjang dan tanktop krem yang kupakai. Kutata rapi dan kutaruh di meja agar nanti ketika mau pulang gampang memakainya kembali. Kemudian celana Lea ku pun kulepas. Lalu aku memakai handuk yang diberikan pria itu untuk menutup tubuhku dan membuka pintu kamar. Ternyata pak Zen berdiri menunggu tidak jauh dari sana. Mengetahui aku membuka pintu kamar, dia pun kembali masuk meski tanpa kupanggil.

Tiba-tiba terdengar suara hujan mulai turun membasahi bumi malang. pak Zen cepat-cepat menutup krepyak jendelanya sekalian dengan gorden coklat tua yang menempel di sisinya.

“Tiduran di sana adik Ninuk” kata pak Zen.

Ternyata kasur tempat pijat itu tidak menempel tembok seperti yang aku kira sebelumnya.

“Oh iya pak.. pakai ini ya.. jangan pakai minyak” kataku kepada pak Zen sambil menyerahkan sebotol handbody yang tadi baru kubeli.

“Oh. Baik. Siap” sahutnya.

Aku kemudian tengkurap di kasur yang sepertinya dilapisi perlak di kamar itu.

“Saya mulai ya” katanya lalu mulai memijit kaki kananku.

“kalau terlalu keras tolong adik Ninuk bicara ya” katanya lagi.

Ternyata pak Zen benar-benar bisa memijat dan meskipun aku hanya memakai BH dan CD saja, tampaknya ia memang bener-bener menjaganya. Ketika akan memijat pantatku pun dia juga bilang seakan minta ijin.

Waktu memijat punggungku pun begitu, klip bra ku saja yang dilepas agar dia leluasa memijatku. Setelahnya dia pun memasangkannya kembali. Aku pun semakin nyaman meski tidak bisa kupungkiri, sentuhan pak Zen juga membuatku sungguh terangsang. Vaginaku sudah becek maksimal.

“Bisa berbalik badannya. Saya mau memijat lengan dan tangan adik Ninuk?” kata pak Zen yang segera kuturuti.

pak Zenpun menutupkan handuk putih tadi di atas tubuhku supaya bagian-bagian pentingku tidak terlihat. pak Zen pun mulai memijat tangan kiriku. Kubuka mataku yang sejak tadi terpejam. Kulihat pak Zen masih berkonsentrasi memijatku.

Kedua tanganku pun selesai dipijatnya. Kemudian ia beralih ke paha kiriku. Aku semakin tidak tahan dengan birahiku sendiri tapi seakan pak Zen tidak tampak tergoda sama sekali. Kulirik celana kolor pendek yang dipakai pak Zen kala itu dan terlihatlah gundukan di depannya.

“Eh, kau bisa berpura-pura, tapi itu kau tak bisa” kataku dalam hati mencoba menirukan logat bicaranya.

“Duduk adik Ninuk” katanya yang segera kuturuti ia mulai memijat punggungku lagi.

Tali bra yang ada di pundakku hanya dilorotkan pada kedua lenganku saja tidak membuka klip belakangnya.

Tak sabar lagi aku pun segera melorotkan bra ku, dan berbalik ke arah pak Zen. Kuraih tangan pak Zen dan menempelkannya di dadaku meyuruhnya untuk meremas payudaraku. Kuraih gundukan yang ada di bagian depan celanannya dan meremasnya.

Tampaknya pak Zen juga sudah tidak bisa menahan nafsunya. Ia langsung melorotkan celananya dan mengarahkan penisnya ke arahku. Terlihat penis coklat tua itu bersih dari bulu sama sekali, kulupnya agak tertarik sehingga pucuk bagian dalam kepalanya tersembul.

Kupegang penis itu dan kutarik kulupnya sehingga bagian kepalanya tersembul dengan utuh, lebih mengkilap. Tanpa banyak omong aku lalu mengulumnya, baunya khas sekali, lain dengan punya mas Hendra atau ayah mertuaku. Tangan pak Zen mulai menyusup ke celana dalamku dan menguceknya.

“Sebentar” gumamnya dengan suara parau.

Ia lalu menutup pintu kamar yang sejak tadi terbuka. Sambil berjalan kearahku ia melepas kaos yang dipakainya.

Aku pun segera melepas CD ku. Segera kukangkangkan kedua kakiku. Aku ingin segera merasakan penis hitam itu menusuk vaginaku.

pak Zen tanggap. Dia segera memasukkan penisnya perlahan ke dalam liang senggamaku.

“oooohhh..” rintih kami berdua.

Ia langsung menghajarku dengan rpm tinggi. Sensasi luar biasa, memang ada yang unik ketika penis nggak sunat mengocok-ngocok vaginaku, tapi tetep sama-sama enak. Gila, seakan penis pak Zen dengan mudah bisa mencapai titik g-spot ku yang membuatku cepat mencapai orgasme.

Belum sepuluh menit aku sudah dapat 3 kali puncak kenikmatanku. Kemudian ia mencabut penisnya dan mengocoknya tepat diatas vaginaku.

“Oooocch..” erangnya ketika maninya muncrat.

Tidak begitu banyak tapi terlihat kental. Ia lalu memasukkannya lagi ke dalam vaginaku. Rupanya pak Zen pengin langsung memulai ronde kedua tanpa jeda.

Cukup sudah bagiku 3 orgasme yang kurasakan. Kucabut penis hitam itu sebelum ia menggoyangku lagi dan kuarahkan ke lubang anusku.

Pak Zen tanggap. Dia gunakan spermanya yang ada di perutku untuk pelumas anal sex yang kuinginkan. Benar juga, tidak sampai dua menit pak Zen memuntahkan kembali spermanya, kini di dalam lubang belakangku. Ia kemudian keluar kamar, katanya ke kamar mandi mau bebersih.

Sekitar lima menit kemudian ia kembali dalam tetap telanjang bulat. Memang bajunya ada di kamar tempat aku berada.

“Dik Ninuk bisa mandi dulu di belakang” katanya.

“Iya pak sebantar” kataku kemudian aku berdiri dan melangkah.

Belum sampai pintu kamar, pak Zen langsung mendekapku.

“Maaf dik Ninuk” gumamnya.

Ia lalu mengakat tubuhku dan menaruhnya lagi di kasur dan langsung menyetubuhiku untuk yang ketiga kalinya sore itu.

“kamu cantik sekali.. sexy sekali.. ooocch aku ga tahan.. memekmu enak sekali” teriaknya.

Bahkan di permainan ketiga itu ia juga menjilati tubuhku sampai habis. Hal yang tidak dilakukannya pada ronde pertama dan kedua tadi. Entah berapa kali aku mencapai puncak kenikmatanku. Tubuhku sampai lemas.

Sekitar lima belas menit permainan itu berlangsung. Ia mengakhirinya dengan memuntahkan spermanya di payudaraku. Aku kemudian ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku.

Setengah jam kemudian saat hujan mulai reda, aku segera pulang. Pas menjelang maghrib.


===x0x===


“Darimana aja kamu Nuk?” sambut mamaku ketika aku memasuki rumah.

“Ditelp ga bisa” lanjutnya.

“Iya ma, tadi kehujanan jadi neduh di swalayan depan jalan besar” jawabku.

“HP kumatikan takut petir” lanjutku.

Sekitar pukul delapan malam aku, ayah mertuaku, Doni dan Inah melanjutkan perjalanan ke surabaya untuk menjemput Bayu, anakku yang kedua. Ingin kuhabiskan perjalanan itu untuk tidur karena kelelahan. Ayah mertuaku pun juga tidak menaruh curiga. Sesaat akan memasuki Tol Trans jawa, terdengar ada suara WA masuk ke HPku.

“Ninuuuk.. kamu dari rumah pak RT ya..” Bunyi pesan mamaku lengkap dengan emoji marahnya.

“Aman ma.. aman” jawabku singkat. Pasti mamaku sekarang ada di rumah pak Zen.

Kemudian aku pun tertidur bareng Doni yang juga terlelap.

“maaf ya dik, aku ga pulang.. malah ngerepotin kalian semua” kata mas Hendra sesaat sebelum kita berangkat lagi menuju kota dimana kami tinggal.

“Pak kalau ngantuk jangan dipaksa, istirahat dulu” pesan suamiku pada ayahnya yang membawa kemudi mobilku.

Sekitar pukul 2 pagi akhirnya kamipun sampai di rumah. Semua langsung pada masuk kamar.

“Kung nanti tidur di kamar anak-anak ya” bisikku kepada ayah mertuaku.

Ia mengangguk tanda setuju. Aku kemudian masuk kamarku dan ganti baju dengan daster yang kupakai tadi pagi. Setelah itu aku rebahkan tubuhku di ranjang. Belum sempat terlelap, ayah mertuaku masuk ke kamarku.

“Nuk.. nuk..”

"iya kung” jawabku kemudian bangkit.

“Aku ga bisa tidur” jawabnya.

“Pengen dikeluarin ta Kung” tanyaku yang dibalasnya dengan anggukan.

“Di ruang tengah ya” kataku lalu beranjak, kuambil pelumas yang biasa kugunakan kemudian keluar kamar menuju ruang tengah.

Kakung kemudian melorotkan celana pendeknya ketika melihat kedatanganku. Aku pun langsung melepas CD yang kupakai. Melihat penis mertuaku itu masih lemas, aku pun segera mengulumnya. Tak perlu waktu lama untuk penis Kakung berdiri. Kemudian aku melumasi nya dengan gel yang aku bawa tadi.

“Kenapa Nuk?” tnya Kakung.

“Kamu lagi nggak pengen ta?” tanyanya.

“kalo gitu ndak usah nuk” lanjutnya lagi.

“Ndak apa-apa Kung, yang penting kung bisa dapet, trus istirahat” kataku kemudian aku mengakangkan kedua kakiku agar Kakung bisa langsung menyetubuhiku.

Lelali itu langsung memasukan penisnya dan langsung menggoyangku. Tidak sampai 5 menit ia sudah memuntahkan spermanya di dalam liang kewanitaanku.

“Maaf ya Nuk..” katanya pelan yang kujawab dengan senyuman.

“Maksih ya sayang” katanya lagi lalu mencium pipiku kemudian berdiri dan beranjak.

Aku pun segera ke kamar mandi untuk membersihkan kemaluanku. Setelahnya akupun tidur.


===x0x===


Hari pun berganti, minggu pun juga terus berputar menuju beberapa bulan kemudian. Aktivitasku pun sama seperti biasa, tidak ada yang extraordinary. Keadaan kesehatan prostat ayah mertuaku juga semakin membaik, berkat aku kali ya. Sudah tidak ada keluhan lagi dan tampaknya normal seperti dulu kala. Malah dikira dokter ayah mertuaku sudah menjalankan apa yang disarankannya, yaitu menikah lagi.

Hingga akhirnya tiba di pergantian tahun. seberti sebelum-sebelumnya, di perbankan seperti yang suamiku bekerja, tiap akhir tahun selalu sibuk bahkan sampai lembur-lembur. Barulah setelah tahun berganti, dia bisa pulang. Kebetulan juga hari jum’at.

Keesokan harinya, tidak seperti biasanya di Sabtu pagi, mas Hendra mengajakku ngobrol serius. Aku sempat juga deg-deg an karena belum tahu apa yang akan dibicarakannya dimana sampai dengan saat itu aku masih mempunyai rahasia dan komitmenku dengan ayah mertuaku di atas komitmenku padanya.

“Dik, aku punya kabar buruk. Aku ga tau nanti gimana kamu sama anak-anak menyikapinya” kata suamiku.

“Kenapa mas?” tanyaku penasaran.

Ia mengatakan bahwa mulai minggu depan dia dipindah tugaskan ke salah satu cabang di ibukota jawa tengah.

“nggak mungkin lagi kalau aku harus kesana sendiri, bisa pulang tiap minggu kesini. Tiap bulan mungkin aku usahakan” katanya sepertinya menginginkanku dan anak-anak untuk ikut pindah juga.

“Aku sebagai isteri, tetep harus manut apa kata suami mas. Kalau mas memutuskan aku dan anak-anak ikut ke Semarang, ya kami berangkat. Tapi tolong juga dipertimbangkan, disini ada Kung. dan kalau aku ingin atau perlu pulang ke Malang juga tidak terlalu jauh. Tapi kembali lagi, keputusan ada di mas” jawabku, tapi dalam hatiku, aku berharap suamiku itu tidak mengajakku untuk ikut dengannya.

Sejenak kulihat lelaki itu berpikir.

“Iya sudah, mungkin sebaiknya aku sendiri saja disana. Kung juga kasihan kalau harus jauh dari Bayu dan Doni. Dan juga kita kan juga sudah terbiasa seperti ini. Hanya, yang biasanya tiap minggu ketemu, sekarang sebulan aja belum tentu” katanya.

“iya mas. Lagian sayang juga rumah ini, baru dua bulan lunas eh harus ditinggal, entah dijual atau disewakan” sahutku, padahal dalam hati aku bersorak riang.

Senin berikutnya aku langsung menceritakan berita itu ke ayah mertuaku ketika kami ngobrol setelah dia mngantarkan anak-anakku sekolah.

“Iya Nuk, Hendra juga kasih tau aku. Aku juga diminta untuk pindah untuk tinggal disini. Tapi aku ga mau. Eman-eman rumahku Nuk, itu rumah perjuangan dulu aku sama ibumu. Akhirnya aku hanya diminta untuk sering-sering tidur disini” kata ayah mertuaku itu.

“Asiiik..” sahutku. Lelaki itu lalu mencubit hidungku.

“Untuk temani Bayu sama Doni Nuk, di Sabtu atau Minggu” lanjutnya.

“Loh, Ninuk ga ditemani?” protesku.

“Kalo kamu ya harus.. tapi juga harus pas sendirian, ga sama anak-anak” sahutnya sambil tersenyum.

“Ihhh.. Kung” jawabku.

Semuanya berjalan normal, bahkan di bulan pertama suamiku di jawa tengah, aku anak-anak dan Kung menyempatkan untuk sambang. Sekalian jalan-jalan tentunya. Hubunganku dengan ayah mertuaku juga baik-baik saja, dalam urusan ranjang pun demikian. Memang kuakui, dulu di awal-awal kami berhubungan intim, selalu terasa sangat spesial.

Lambat laun dan seiring dengan intensitas kami melakukannya, rasanya sudah menjadi saling mengisi, dia mengisi hari-hariku yang ditinggal suamiku bekerja di tempat yang jauh, aku pun mengisi kekosongannya setelah istrinya meninggal. Meskipun lelaki itu sering juga membuatku istimewa dan unik. Misalnya, ia mengajakku berhubungan badan di tempat jemuran pakaian yang kondisinya terbuka atau di dalam mobil meski mobilnya pun masih terparkir di dalam garasiku, hehe.

Hingga sampai pada sekitar beberapa bulan kemudian, lelaki itu sempat pergi keluar kota, 3 hari. Katanya sih ke Solo dan Jogja atau sekitaran situ, ada urusan dengan saudara jauhnya yang ada disana.

Nah sepulangnya dari situ ini yang kurasakan ada perbedaan sang mencolok dengan sikap ayah mertuaku itu. Dia tampak sering merenung, diam sepertinya melamun. Aku yang merasakan hal itu pun akhirnya ingin mengetahui apa yang sebenarnya jadi beban di pikirannya. Lelaki itu tidak mau mengutarakannya.

Setiap kali kutanyakan dia selalu memelukku dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Bahkan ketika sedang atau setelah bercinta pun pernah kutanyakan, tetapi jawaban yang kuperoleh selalu sama. Sempat terlintas di benakku kalau lelaki itu sudah bosan atau apa.

“Nuk, kamu nggak mau kerja lagi tah? Maksudku kamu nggak pengen kerja lagi” tanya lelaki itu suatu pagi.

“Emang kenapa Kung” balasku bertanya, karena tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba pertanyaan itu terlontar darinya.

“Ya ga papa, mungkin aja, kan sayang ijazahmu dulu” jawabnya.

“Iya Kung, mama juga pernah tanya itu, tapi akhirnya mama mengerti kalau Ninuk memang mengutamakan anak-anak. Cari uang apa kata mas Hendra. Malah mama dulu juga pernah sarankan Ninuk untuk punya usaha sendiri, kayak online shop atau apa gitu, biar pikiran Ninuk ga buntu, katanya” sahutku panjang.

“Nah, itu.. Onlineshop.. sekarang kayaknya sudah banyak sekali. Orang-orang pada belanja ga ke Toko, tapi lewat HP” kata lelaki itu.

Ayah mertuaku itu kemudian menyuruhku untuk mencoba peruntunganku dengan membuka toko online. Terserah sudah kamu mau buka apa.

“Nanti tak coba tanya-tanya anaknya temanku, sepertinya dia juga sudah punya seperti itu” katanya.

Aku juga mengatakan pada lelaki itu bahwa ibuku juga pernah memintaku untuk melakukan hal yang sama, untuk tetap membuka pikiranku dan bisa punya penghasilan sendiri.

“Nah itu juga Nuk.. biar kamu ada pegangan sendiri tanpa mengharapkan terus ke Hendra” kata ayah mertuaku.

Kemudian apa yang di lakukan oleh lelaki itu kesannya seakan memang benar-benar ingin menyuruhku membuka usahaku sendiri. Mulai dari mengenalkannya ke anak temannya yang sudah memluai bisnis itu, mengenalkan berbagai macam produk-produk yang mungkin bisa dijual dan sebagainya. Mas Hendra, suamiku juga merestui rencanaku tersebut.

Aku yang sebelumnya hanya memikirkan itu hanya sebagai ide atau gagasan saja, akhirnya mau tidak mau benar-benar memikirkannya untuk segera memulainya. Lucunya ketika pikiran buntu, lelaki itu langsung mengajakku berhubungan badan. Dan memang ajaib juga, setelah itu ide-ide bermunculan. Bahkan tak jarang muncul ketika di tengah-tengah aku dan ayah mertuaku itu melakukannya.

Suatu pagi, terdengar suara pagar rumahku terbuka. Kupikir ayah mertuaku yang datang, eh ternyata bukan. 2 orang anak muda berseragam salah satu vendor internet besar di negeri ini memasuki halaman rumahku. Aku yang hanya memakai androg saja kala itu buru-buru langsung memakai jaket dan penutup kepalaku.

“Rumah pak Hendra Hadi Kusuma? Ini kami dari perusahaan X mau memasang instalasi wifi disini atas pesanan nomor bla bla bla.” Ijin salah satu diantara mereka ketika aku membuka pintu.

Beberapa saat kemudian ayah mertuaku datang dan dia lah akhirnya yang menghandel urusan itu.

“Iya Nuk, kemarin aku yang pesan ini. Nanti tiap bulannya, biar aku yang subsidi” kata lelaki itu.

“Terimakasih Kung” jawabku.

Tidak hanya itu, lelaki itu membelikanku sebuah Laptop yang katanya khusus untuk bisnisku nanti.

Ibuku di Malang juga sepertinya antusias sekali. Ia mensupport modal kepadaku.

“20 Juta cukup ya Nuk?" Tanyanya.

“Cukup mah” jawabku.

“Iya nanti mama transfer ke rekeningmu, tapi ingat, ini pinjaman modal loh, bukan dana hibah” kata mamaku.

“Iya mah” sahutku senang mendapatkan pinjaman tanpa bunga dari orang tuaku, bahkan biasanya sih nggak perlu dikembalikan, hehe.


===x0x===


Hari demi hari berlalu yang kugunakan untuk persiapan usahaku melalui platform digital. Dua buah olshop pun kupilih, yang pertama kali hadir dan yang sepertinya paling banyak digunakan, terlihat ketika mengunduh aplikasi di playstore, dia lah yang paling banyak di download. Di awal memang tidak banyak yang kutawarkan, tidak sampai 30 item produk. Tapi ketika mendengar masukan dari pelaku usaha, bahwa kalau jualan online itu deskripsi barang harus benar-benar jelas, ukurannya, bahannya sampai warna. Nah warna ini yang juga akan ada kendala dengan jenis kamera yang kita gunakan.

Nah dari 30 item tersebut ada beberapa barang yang memang khas dan handmade, bahkan produsennya itu keponakan ayah mertuaku sendiri dan sanggup hanya memasarkannya lewat aku saja. Jadi seperti eksklusif di onlineshopku. Sekitar sebulan setengah setalah ide membuka usaha itu muncul, akhirnya bisa direalisasikan dan dibuka juga sesuai dengan hari baik hitungan orang jawa.

“Gimana Nuk” tanya mamaku via telepon.

“Iya ma, sudah buka. Hanya beberapa yang beli di minggu ini” jawabku.

Di situlah tangan magis mama kembali beraksi, dia kerahkan teman-temannya di kantornya untuk beli atau bahkan memborong barang daganganku. Memang ternyata, rating toko sangatlah berpengaruh. Lambat laun mulai meningkat dan semakin ramai hingga omzet per bulanku tertinggi bisa mencapai harga mobil sejuta umat.

Hingga aku pun bisa memperkerjakan beberapa karyawan untuk paruh waktu. Dua orang staf admin dan seorang lagi membantu Inah dan Ayah mertuaku di proses packing. Lalu lalang petugas ekspedisi tiap sore juga menjadi aktivitas di rumahku.

Garasi yang awalnya kujadikan gudang dan tempat packing, akhirnya tidak mampu menampung sehingga merambah sampai ke kamar tamu bahkan di dalam rumah. Aku sendiri bagian menentukan barang-barang yang akan dikulak setelah mendapat laporan harian dari staf adminku itu tadi.

“Gimana Nuk?” tanya ayah mertuaku setelah usahaku berjalan sekitar 3 bulanan.

Memang aktivitas di rumahku dimulai jam 1 siang dan berakhir sekitar jam 8 malam untuk pengambilan dari ekspedisi.

“Ya moga-moga lancar terus Nuk” kata lelaki itu setelah mendengarkan penjelasanku.

Aktivitas dengan ayah mertuaku pun tetap meskipun intensitasnya mulai berkurang. Dulu yang hampir tiap pagi kami berhubungan intim apalagi setelah suamiku pindah tugas jauh dan jarang pulang, kini jadi 2 hari sekali. Tapi malamnya kadang-kadang juga kami lakukan, kalau boleh dibilang masih rutin juga.

“Nuk, nanti habis jumatan aku mau ke Malang. Ada urusan” pamit ayah mertuaku ketika mengantarkan anakku pulang di hari jum’at.

“Loh, ada apa Kung, ke Malang” tanyaku.

Memang ayah mertuaku itu jarang sekali keluar kota kalau memang tidak ada acara yang benar-benar penting. Sebagian besar saudaranya ada di kota ini. Adapun yang jauh, paling di kabupaten sebelah. Aku mengingat kejadian beberapa bulan lalu ketika ayah mertuaku itu pamit pergi ke joga dan solo, pulangnya ada perubahan sikap yang tidak kuketahui sebabnya. Meskipun perubahan sikap itupun hilang dengan sendirinya dan kembali normal.

Karena tidak menginap aku menawarinya untuk membawa mobilku tapi ditolaknya karena akan bisa istirahat kalau naik kendaraan umum.

“Iya udah Kung.. hati-hati, trus pulangnya kabari ya." Kataku sebelum melepas lelaki itu pergi.

Malam harinya aku dikejutkan dengan kedatangan kedua orang tuaku. Tidak biasanya mereka datang malam-malam. Hampir jam 11 mereka datang. Hal yang tidak lazim memang. Kulihat wajah papaku juga seperti tegang, sepertinya memendam sesuatu.

“Bentar pah, biar mama yang ngomong dulu sama Ninuk” kata mamaku dengan nada yang datar ketika mama dan papaku mengajak ngobrol di ruang tamu.

“Loh ada apa sebenarnya ini??” pikirku yang akhirnya juga ikut deg-degan.

“Nggak bisa ma.. nggak bisa.. Nuk.. kamu harus pisah sama Hendra. Pokoknya harus cerai” kata papaku dengan nada tinggi.

“Ada apa sih ma?” tanyaku semakin bingung dengan keaadaan itu dimana ayahku menginginkanku cerai dengan suamiku.

“Pah, biar mama ngomong dulu sama Ninuk berdua dulu ya” kata mamaku lagi.

“Iya ma.. tapi ingat..” kata papaku yang lansgung dicegah oleh mamaku.

Kemaudian papa beranjak ke ruang tengah.

Mamaku akhirnya menceritakan kalau tadi sore pak Hadi dengan adiknya ke rumah Malang. Beliau menceritakan kalau ternyata selama ini suamimu punya istri lagi, dan sudah mempunyai punya anak. Kayaknya juga sudah lama, mungkin waktu dia dinas di Surabaya. Pak Hadi bilang, kalau dia sendiri yang membuktikannya. Dia sampai rela ke jawa tengah untuk itu, dan kebetulan saudaranya tetangganya pak Hadi, ada yang tinggal di daerah sana juga, kalau ga salah di daerah Ungaran. Dikiranya itu kamu yang tinggal dengan Hendra, ternyata bukan. Selidik punya selidik, wanita itu anak buah Hendra waktu di Surabaya.

Aku akhirnya mengingat ketika ayah mertuaku pamit ke solo jogja waktu itu, mungkin itu ayah mertuaku mencari informasi tentang mas Hendra.

“tapi kenapa Kung kok baru cerita sekarang ma? Padahal inget Ninuk, udah lama Kung pemit keluar kota, beberapa bulan yang lalu, tapi ke jogja solo sih” tanyaku.

“Iya Nuk.. tadi pak Hadi juga bilang itu. Sengaja katanya untuk tidak memberitahu dulu. Resiko yang paling buruk adalah kalian berpisah. Nah pak Hadi melihatmu belum siap untuk menghadapi itu, dimana kamu nggak punya penghasilan, nggak kerja. Malah bisa-bisa hak asuh anakmu nanti bakal diambil Hendra” jelas mamaku.

Terjawablah sudah kenapa ada perubahan sikap pada lelaki itu ketika dulu pulang dari Jawa Tengah dan kenapa lelaki itu benar-benar ingin aku membuka usahaku ini.

“Ini sekarang pak Hadi perjalanan ke jawa tengah, besok rencananya mau ngelabrak anaknya. Nuk..“ kata mamaku terhenti.

Aku pun hanya diam, pikiranku langsung kalut. Tak kusangka mas Hendra begitu. Tapi yang ada di pikiranku hanya gimana nasib anak-anakku kalau umpama aku dan suamiku bercerai. Mereka masih membutuhkan sosok ayah di usia pertumbuhannya.

"Nuk..” kata mamaku lagi yang membuyarkan anganku.

“Iya mah” jawabku.

“Kalau menurutku, kalau hanya masalah selingku, soal kebutuhan bathin, itu masih bisa dimaafkan. Tapi kalau sudah punya keturunan, itu juga yang akan membuat perempuan itu juga menangis, anaknya juga tidak bakal terurus” lanjut mamaku yang mengingatkanku bagaimana cerita mama dengan papa yang pernah disampaikannya.

“Tapi semua terserah kamu Nuk. Kamu yang menjalaninya. Kalau mama ama papamu, ingin kamu pisah” katanya lagi.

“Gimana nasib anak-anakku ma?" Tanyaku.

“Itu bisa dipikirkan nanti Nuk.. ya giman lagi, memang anak-anak yang akan jadi korban bila orang tuanya berpisah” jawab mamaku.

“Papa tau antara aku sama Kung?” tanyaku.

“Nggak Nuk.. mama nggak cerita. Tapi kalo kamu dengan pak Zen, papa tau.” jawab mamaku.

“Papa nggak marah” tanyaku. Wanita itu menggeleng.

“Iya Nuk, nanti kita pikirkan sama-sama. Sambil nunggu pak Hadi pulang dari Jawa Tengah. Jangan sampai anakmu tahu dulu” kata mamaku kemudian mengajak istirahat dan tidur.

Setelah ada kepastian kalau ayah mertuaku datang di minggu pagi, aku pun disuruh utnuk meminta Inah datang pagi juga dari Pare. Biar nanti bisa ajak anak-anakku keluar ketika kita membicarakan masalah besar yang ada di rumah tanggaku.

Ayah mertuaku dan adiknya, pak lik Bambang sekitar jam 8 sudah sampai di rumahku. Inah yang baru saja datang dari rumahnya langsung kusuruh untuk ajak Bayu dan Doni keluar, kalo bisa sampe jam makan siang. Terserah kamu mau kemana. Kebetulan juga kalau minggu olshopku libur.

“Gimana Nuk?” tanya ayah mertuaku memulai pembicaraan pagi itu.

Tampaknya mereka juga baru datang dan langsung kerumahku. Pembicaraan itu berakhir sekitar jam 11 siang dengan keputusan aku harus berpisah dengan suamiku. Pak Lik Bambang juga mengatakan bahwa Mas Hendra sudah dicoret dari keluarga besarnya dan bahkan dilarang keras pulang ke rumahnya Kung sekalipun atas kelakuannya.

“Pak Eko, kami atas nama keluarga besar kami, mohon maaf, kami tidak bisa membimbing Hendra” kata ayah mertuaku mengakhiri pertemuan kali itu.

“Iya pak. Tidak apa-apa, semua pasti ada solusinya. Biar nanti selama proses, saya akan tinggal disini menemani Ninuk, takutnya Hendra tiba-tiba datang” jawab papaku.

Hampir 2 bulan proses itu berlangsung. Dan di waktu itu pulalah, aku dan ayah mertuaku kesulitan untuk mencari waktu berdua. Meskipun dia sering juga menginap di rumahku, tapi ada papaku yang belum tahu hubungan kami. Bahkan sering aku ke rumah mertuaku itu hanya untuk menyalurkan hasrat, dengan agak tergesa dan was was. Maklum ayah mertuaku itu tinggal di perkampungan padat.

Aku ingat di hari selasa siang, pak Nur yang ditunjuk untuk menjadi pengacara ku datang. Hanya ada aku, papa dan ayah mertuaku. Sedangkan mamaku masih di Malang karena tidak Libur.

“Pak Eko, Pak Hadi Mbak Ninuk. Ini Akta cerai mbak Ninuk sudah jadi, dan putusan pengadilan juga saya bawa, tentang harta gono gini nya".

Ia juga menjelaskan kalau mobil masih milikku, rumah ini aku juga berhak kutinggali, sampai dengan anak-anakku dewasa karena hak asuh mereka jatuh ke tanganku. Dan itu memang yang paling penting bagiku. Aku kemudian membawa masuk surat-surat itu dan menyimpannya di kamar.

Tak kusangka di usia yang baru menginjak 31 tahun aku telah menyandang status janda. Perpisahanku dengan mas Hendra sebenarnya tidak membuatku bersedih, dan bagaimanapun memang hatiku sudah ada di ayah mertuaku sendiri. Yang aku sedihkan yaitu anak-anakku yang akan kehilangan sosok bapaknya, itu aja. Tapi yang penting aku harus bisa membesarkan anak-anakku demi masa depan mereka. Itu yang paling penting.

Aku kemudian keluar kamar dan menemukan bahwa ayah mertuaku atau yang bisa kusebut mantan ayah mertuaku atau lebih enaknya aku panggil pak Hadi sudah pamit pulang. Papaku kemudian menyuruhku duduk, sepertinya mau ada yang dibicarakannya.

“Nuk, duduk bentar” kata papaku kemudian duduk di depanku.

“Mungkin ini terlalu cepat tapi.. pak Hadi melamarmu Nuk” kata papaku yang membuatku kaget setengah mati.

“Loh pa, kan ga boleh, mantan mertua menikahi mantan menantu.” Jawabku.

“Iya ini juga yang kamu belum tahu” kata papaku.

Kemudian papaku menjelaskan kalau pas pertama datang ke Malang dulu waktu melamarkan kamu untuk Hendra, ia menjelaskan kalau sebenarnya bilang sama papa kalau sebenarnya Hendra itu anak angkat, ada tetangganya dulu waktu masih tinggal di Kandangan ibunya meninggal enam bulan setelah melahirkan Hendra, sedangkan ayahnya kabur entah kemana akhirnya dirawat sama neneknya yang sebatangkara. Akhirnya sama pak Hadi dan alm Bu Hadi diambil anak. Dulu administrasi kependudukan masih sangat mudah untuk dirubah sesuai keinginan. Dan kemarin pak Hadi pun menunjukkan ke papa sama mama, akte kelahirannya Hendra yang asli, yang masih disimpannya baik-baik. Takut kalau Hendra mempermasalahkan hak warisannya, Jelas papaku panjang lebar.

“Trus kenapa dulu papa sama mama merestui aku sama mas Hendra?” protesku.

“Ya kalian sepertinya saling sayang kan, apa boleh buat” kata papaku.

“Gimana Nuk?” tanya papaku.

“Entahlah pa..“ jawabku kemudian masuk ke kamar. Padahal dalam hatiku, aku senang sekali.

Aku lalu keluar menuju tempat tinggal mantan ayah mertuaku itu. Rumah itu masih terlihat sepi ketika aku masuk.

“Eh kamu Nuk..” kata lelaki itu ketika aku menuju ruang tengah. Aku langsung memeluknya.

“Kung ngelamar aku ya tadi??” tanyaku di dekapan lelaki itu.

“Iya Nuk.. kamu mau?” tanyanya yang tak kujawab. Aku hanya menenggelamkan diriku dalam dekapan lelaki itu.

“Eh.. Nuk.. udah.. nanti aku pengen lho ya” kata lelaki itu.

“Kalo pengen ya ayo” kataku lalu sambil mendorong tubuh lelaki itu ke kamar.

“Eh, Nuk.. eh.. pintu depan nggak ditutup” gumam lelaki itu.

“Biarin!” jawabku. Kamipun berhubungan badan siang itu.

Setelah bebersih di kamar mandi, aku pun keluar. Mantan ayah mertuaku itu sedang duduk di kursi ruang tengah menikmati rokoknya. Sengaja aku duduk di pangkuannya.

“Kung kenapa ya.. padahal sudah dapet semua dari Ninuk, tapi ya tetep aja ngelamar Ninuk?” tanyaku dengan nada sedikit manja.

“ya itu bentuk tanggung jawabku Nuk, sebagai laki-laki” jawabnya.

“Eh, Kung enak mana rasanya, gini’in istri orang, atau janda?” tanyaku kali ini dengan agak centil.

“kalo itu kamu ya sama-sama enaknya” jawabnya.

Kulihat waktu sudah hampir jam 1, saatnya jemput Doni.

“Biar Ninuk yg jemput kung.. biar ada alasan tadi keluar ke papa” kataku kemudian pergi.

Singkat cerita, 5 bulan kemudian pak Hadi pun menikahiku secara resmi, karena dia benar-benar bisa membuktikan kalau Mas Hendra bukan anak kandungnya, melainkan hanya anak angkat, bahkan bukan dari jalur keluarga sendiri.

Kamipun pindah tempat tinggal di rumah yang dibangunkan orang tuaku di atas tanah pak Hadi yang sudah dibalik nama menjadi milikku. Tanah seluas hampir 1000 meter persegi itu dibangun 2 bangunan, yang satu rumah inti yang satu tempat yang aku gunakan untuk bisnis online ku. Bagian belakangnya pun tersambung meski di depan pagarnya terpisah, alias sendiri-sendiri.

Dari kehidupanku yang baru ini nanti tetap akan kuceritakan pengalaman-pengalaman yang “Menyenangkan”. Entah kapan, tetap nantikan di blog Susu Super.



TAMAT

Klik Nomor untuk lanjutannya
cerita sex yes, fuck my pussy. good dick. Big cock. Yes cum inside. lick my nipples. my tits are tingling. drink my breast. milk nipples. play with my big tits. fuck my vagina until I get pregnant. play "Adult sex games" with me. satisfy your cock in my wet vagina. Asian girl hottes gorgeus. lonte, lc ngentot live, pramugari ngentot, wikwik, selebgram open BO,cerbung,cam show, naked nude,
close